75
LAPORAN PRAKTIKUM METODE PEMISAHAN BAHAN ALAM ISOLASI DAN IDENTIFIKASI KANDUNGAN TERPENOID DARI HERBA SAMBILOTO (Andrographis paniculata (Burm.f.) ) KELOMPOK PRAKTIKUM : 2 Rabu, 15 Januari 2014 Disusun Oleh : Ida Ayu Risca Wulansari 1008505018 I Gede Pasek Winantara Putra 1008505020 Putu Pebri Cahyana 1008505021 Ni Wayan Restika Novianti 1008505022 Luh Rasmita Dewi 1008505024 Ni Made Gitarini 1008505028 Ni Putu Mita Juniari 1008505029 Ida Bagus Putu Nata Kusuma 1008505037 0

ANDROGRAFOLID MPBA

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ANDROGRAFOLID MPBA

LAPORAN PRAKTIKUM METODE PEMISAHAN BAHAN ALAM

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI KANDUNGAN TERPENOID DARI HERBA

SAMBILOTO (Andrographis paniculata (Burm.f.) )

KELOMPOK PRAKTIKUM : 2

Rabu, 15 Januari 2014

Disusun Oleh :

Ida Ayu Risca Wulansari 1008505018

I Gede Pasek Winantara Putra 1008505020

Putu Pebri Cahyana 1008505021

Ni Wayan Restika Novianti 1008505022

Luh Rasmita Dewi 1008505024

Ni Made Gitarini 1008505028

Ni Putu Mita Juniari 1008505029

Ida Bagus Putu Nata Kusuma 1008505037

Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia

Jurusan Farmasi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Udayana

2014

0

Page 2: ANDROGRAFOLID MPBA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan tanaman obat, dan sangat potensial

untuk dikembangkan. Berdasarkan hasil penelitian, dari sekian banyak jenis tanaman

obat, baru 20-22% yang dibudidayakan. Sedangkan sekitar 78% diperoleh melalui

pengambilan langsung (eksplorasi) dari hutan. Potensi tanaman obat di Indonesia,

termasuk tanaman obat kehutanan, apabila dikelola dengan baik akan sangat bermanfaat

dari dalam bidang kesehatan dan industri kefarmasian. Negara berkembang mempunyai

peranan penting dalam penyediaan bahan baku produk farmasi (38% untuk medical dan

aromatic plants, 24% untuk vegetables saps dan extract, dan 11% untuk vegetables

alkaloids) (Dephut, 2010).

Salah satu tanaman yang banyak digunakan sebagai pengobatan adalah sambiloto.

Sambiloto atau Andrographis paniculata (Burm.f.) atau yang dikenal king of bitter,

yang tergolong family Acanthaceae, merupakan salah satu tanamn obat yang telah

banyak digunakan untuk pengobatan tradisional di India, Cina, Thailand, Jepan,

Scandinavia, Malaysia, dan Indonesia. Secara kimia sambiloto mengandung diterpena,

flavonoid, stigmasterol, alkane, keton, aldehid, mineral (kalsium, natrium, kalium),

asam kersik, dan damar. Komponen utamanya adalah andrografolid, yang merupakan

senyawa diterpen lakton yang memiliki berbagai aktivitas farmakologis, yang banyak

terdapat pada bagian daun dan batang (Rosidah dkk., 2012).

Sambiloto mempunyai berbagai macam manfaat bagi kesehatan manusia.

Berbagai efek farmakologi dari sambiloto adalah antiinflamasi, antibakteri, antipiretik,

antioksidan, antiparasitik, hepatoprotektif, dan antidiabetes (Kumar et al., 2012). Hal

tersebut menunjukkan bahwa sambiloto dapat digunakan untuk mengobati beberapa

penyakit, seperti hepatitis, demam, influenza, dan disentri (Dalimartha, 2006). Beberapa

dari hasil penelitian secara empiris, sambiloto dapat menurunkan kadar lipid dalam

darah (Dzulkarnain dkk., 1996). Di samping itu, tanaman ini juga mempunyai potensi

yang besar sebagai sumber hayati untuk keperluan biopharmaceutical industry serta

dapat dikembangkan dalam industri fitofarmaka (Adelyna, 1999). Telah diketahui juga

bahwa ekstrak terpurifikasi Andrographis paniculata (Burm. f.) Nees dan isolatnya

1

Page 3: ANDROGRAFOLID MPBA

(andrografolid) dapat menurunkan kadar trigliserida dan LDL pada tikus yang diberi

diet tinggi fruktosa dan lemak namun tidak menunjukkan penurunan kadar kolesterol

secara signifikan (Nugroho et al, 2012).

Kandungan senyawa yang ditemukan pada keseluruhan tanaman, daun dan

batang yang diekstraksi dengan etanol atau metanol mengandung lebih dari 20

diterpenoid dan lebih dari 10 flavonoid. Andrografolid adalah diterpenoid utama yang

kandunganya paling banyak dan juga merupakan senyawa fitokimia paling aktif dalam

sambiloto. Selain Andrografolid, senyawa lain yang terdapat di dalam sambiloto adalah

deoksiandrografolid-19-β-D-glukosida dan neo-andrografolid yang keseluruhannya

diisolasi dari daun, 14-deoksi-11,12-didehydroandrografolid (andrografolid- D),

homoandrografolid, andrografan, andrografon, andrografosterin, dan stigmasterol

(Siripong et al, 1992).

Banyaknya kandungan kimia yang terkandung dalam sambiloto, menyebabkan

perlunya dilakukan suatu proses pemisahan, isolasi serta identifikasi untuk mendapatkan

senyawa tunggal berupa andrografolid. Hal inilah yang melatarbelakangi pentingnya

dilakukan suatu pemisahan, isolasi, dan identifikasi senyawa andrografolid dalam

tanaman sambiloto (Andrographis paniculata (Burm. f.) Nees).

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Bagaimana cara mengisolasi andrografolid dari matriks yang terdapat pada herba

sambiloto?

1.2.2 Bagaimana metode identifikasi andrografolid pada herba sambiloto ?

1.3 Modifikasi Sederhana yang Ditampilkan

Modifikasi yang dilakukan pada praktikum kali ini adalah setelah maserasi ekstrak

diuapkan hingga menjadi ekstrak kental kemudian dicuci menggunakan n-hexane dan

etil asetat. Dilakukan KLT untuk mengetahui pengotor yang masih ada dan dicuci

kembali dengan pelarut yang dapat meghilangkan pengotor tersebut.

2

Page 4: ANDROGRAFOLID MPBA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terpenoid

Senyawa terpenoida berasal dari unit C5 yang disebut dengan unit isoprene

(CH2=C(CH3)-CH=CH2). Unit C5 ini dinamakan demikian karena kerangka karbonnya

sama seperti senyawa isopren.

Gambar 2.1. Kerangka Unit Isopren (Achmad, 1986)

Terpenoid dibagi – bagi menjadi beberapa golongan berdasarkan jumlah satuan

unit C5 yang terdapat di dalam senyawa tersebut; dua (C10), tiga (C15), empat (C20), enam

(C30), atau delapan (C40) satuan. Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa, mulai

dari komponen minyak atsiri, yaitu monoterpenoida dan seskuiterpenoida yang mudah

menguap (C10 dan C15), diterpen yang lebih suka rmenguap (C20), sampai senyawa yang

tidak menguap, yaitu triterpenoid dan sterol (C30), serta pigmen karotenoida (C40).

(Harborne,1987). Secara umum biosintesa dari terpenoid melalui 3 reaksi dasar yaitu :

1. Pembentukan isoprene aktif berasal dari asam asetat melalui asam mevalonat.

2. Penggabungan kepala dan ekor unit isoprene akan membentuk mono-, seskui-, di-,

sester-, dan politerpenoid.

3. Penggabungan ekor dan ekor dari unit C15 atau C20 menghasilkan triterpenoid dan

steroid.

Senyawa terpenoid dapat dikelompokkan sebagai berikut :

No Jenis Senyawa Jumlah atom karbon Sumber

1 Monoterpenoid 10 Minyak atsiri

2 Seskuiterpenoid 15 Minyak atsiri

3 Diterpenoid 20 Resin pinus

4 Triterpenoid 30 Damar

3

Page 5: ANDROGRAFOLID MPBA

5 Tetraterpenoid 40 Zat warna karoten

6 Politerpenoid >40 Karet alam

(Lenny, 2006)

Sifat umum Terpenoid :

- Sifat fisika dari terpenoid adalah :

1) Dalam keadaan segar merupakan cairan tidak berwarna, tetapi jika

teroksidasi warna akan berubah menjadi gelap

2) Mempunyai bau yang khas

3) Indeks bias tinggi

4) Kebanyakan optik aktif

5) Kerapatan lebih kecil dari air

6) Larut dalam pelarut organik : eter dan alkohol

- Sifat Kimia dari terpenoid adalah :

1) Senyawa tidak jenuh (rantai terbuka ataupun siklik)

2) Terpenoid kebanyakan bentuknya khiral dan terjadi dalam dua bentuk

enantiomer.

(Lenny, 2006)

2.1.1 Diterpenoid

Diterpenoid merupakan senyawa C20 yang berasal dari empat satuan isoprenoid.

Karena titik didihnya yang tinggi biasanya diterpenoid tidak ditemukan dalam minyak

atisri tumbuhan. Diterpenoid mencakup beberapa senyawa dari segi fisiologi sangat

menarik seperti golongan hormone tumbuhan yang dikenal sebagai giberelin. Seperti

seskuiterpenoid, diterpenoid mencakup banyak senyawa yang bekerja sebagai fungisida,

racun terhadap hewan, penolak serangga dan sebagainya. Senyawa ini dapat bersifat

karsinogen.

Beberapa senyawa ini mempunyai efek racun atau efek penolakan terhadap

serangga sementara senyawa lainnya menarik serangga. Beberapa senyawa mempunyai

aktivitas antivirus dan sebagai fungisida. Satu senyawa dari kemangi mempunyai

aktivitas hormon remaja. Partenolida dari Parthenum tanacetum berguna untuk

mengobati migraine karena menghambat pelepasan serotonin. Andrografolid merupakan

4

Page 6: ANDROGRAFOLID MPBA

senyawa diterpenoid dari tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata) yang

mempunyai aktivitas sebagai antihiperlipidemia ( Nugroho, 2012). Senyawa diterpenoid

dapat berbentuk asiklik, bisiklik, trisiklik dan tetrasiklik (Lenny, 2006)

Gambar 2.2. Struktur Dasar Diterpenoid (Breitmaier, 2006)

2.2 Sambiloto (Andrographis paniculata)

2.2.1 Klasifikasi Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata)

Kingdom : Plantae

Superdivisi : Spermatopita

Divisi : Angiospermae

Kelas : Dikotiledon

Ordo : Personales

Famili : Acanthaceae

Genus : Andrographis

Spesies : Andrographis paniculata

(Sivananthan and Elamaran, 2013)

Gambar 2.3. Andrographis paniculata (Sivananthan and Elamaran, 2013)

2.2.2 Morfologi Tanaman

5

Page 7: ANDROGRAFOLID MPBA

Andrographis paniculata diduga berasal dari India dan dikenal sebagai Chirayetah

dan Kalmegh dalam bahasa Urdu dan Bahasa Hindi. Tanaman ini termasuk tanaman

menahun, tingginya mencapai 1-3 kaki. Andrographis paniculata merupakan salah satu

yang paling sering tanaman yang digunakan dalam sistem tradisional Unani dan obat-

obatan Ayurveda (Akbar, 2011). Di India, Andrographis paniculata merupakan

tumbuhan liar yang digunakan untuk mengobati penyakit disentri, diare, atau malaria.

Hal tersebut tercantum dalam Indian Pharmacopeia dan tercatat paling sedikit dalam 26

formula Ayurveda. Dalam Traditional Chinese Medicine (TCM), Andrographis

paniculata sering digunakan sebagai ”cold property” untuk menurunkan panas serta

sebagai “blood purifying” untuk membersihkan racun-racun di dalam tubuh.

Selanjutnya tanaman ini terus menyebar ke daerah Asia hingga akhirnya sampai di

Indonesia (Widyawati, 2007).

Umumnya Andrographis paniculata tumbuh di tempat-tempat terbuka yang teduh

dan agak lembab, seperti kebun, tepi sungai, semak, atau rumpun bambu. Tanaman

Andrographis paniculata merupakan terna yang tumbuh tegak, tinggi 40 cm sampai 90

cm, percabangan banyak dengan letak yang berlawanan, cabang berbentuk segi empat

dan tidak berambut. Memiliki batang berkayu berbentuk bulat dan segi empat dan

bercabang banyak (monopodial). Daun tunggal saling berhadapan, berbentuk pedang

(lanset) dengan tepi rata (integer) serta permukaan yang halus dan berwarna hijau.

Bunganya berwarna putih keunguan, berbentuk jorong (bulan panjang) dengan pangkal

dan ujung lancip (Widyawati, 2007). Panjang daun 3 cm sampai 12 cm dan lebar 1 cm

sampai 3 cm, panjang tangkai daun 5 mm sampai 25 mm, daun di bagian atasnya

sebagai daun pelindung. Perbungaan tegak bercabang-cabang, gagang bunga 3 mm

sampai 7 mm, panjang kelopak bunga 3 mm sampai 4 mm, bunga berbibir berbentuk

tabung panjang 6 mm, bibir bunga bagian atas berwarna putih dengan warna kuning di

bagian atasnya, bibir bunga bawah lebar, berwarna ung. Bentuk buah jorong dengan

ujung yang tajam, bila tua akan pecah menjadi 4 bagian (Depkes RI, 1979).

Di beberapa daerah di Indonesia, Andrographis paniculata dikenal dengan

beberapa nama tergantung daerah tempat tumbuhnya. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur,

Andrographis paniculata disebut dengan nama bidara, sambiroto, sadilata, takilo,

sambiloto, sandiloto dan paitan. Sebagian besar masyarakat Melayu dan Sumatera

menyebutnya dengan ampadu atau pepaitan. Di Jawa Barat disebut dengan takila,

6

Page 8: ANDROGRAFOLID MPBA

kioray, atau kipeurat. Di Bali lebih dikenal dengan samiroto. Selain itu, terdapat pula

nama lain Andrographis paniculata di negara lain, yaitu: green chiretta dan king of

bitter (Inggris); kirayat, kalmegh, dan kirata (India); quasabhuva (Arab); congcong dan

xuyen tam lien (Vietnam); nainehavandi (Persia); serta yi jian xi, chuan xin lian, dan lan

he lian (Cina) (Widyawati, 2007).

Semua bagian tanaman Andrographis paniculata, seperti daun, batang, bunga,

dan akar, memiliki rasa sangat pahit. Rasa pahit ini diduga ini berasal dari andrografolid

yang terkandung di dalamnya. Bagian tanaman yang sering digunakan dalam

pengobatan adalah herba tanaman. Bagian akar dapat pula digunakan namun masih

memerlukan penelitian lebih lanjut (Akbar, 2011). Namun bagian yang paling sering

digunakan sebagai bahan ramuan obat tradisional adalah bagian daun dan batangnya

(Widyawati, 2007). Dalam pengobatan tradisional, Andrographis paniculata digunakan

dalam bentuk infuse, dekok, dan serbuk baik dengan pemakainan tunggal maupun

kombinasi dengan tanaman herbal lainnya (Akbar, 2011).

2.2.3 Kandungan Kimia

Secara umum Andrographis paniculata mengandung diterpen lakton, dan

flavonoid. Terkandung 3 jenis diterpen lakton pada Andrographis paniculata yaitu

andrografolid, neoandrografolid dan deoksiandrografolid (Wongkittipong et al, tt)

Kandungan tersebut terutama terdapat pada bagian akar, namun dapat pula diisolasi

dari daun. Herba ini mengandung alkana, keton, dan aldehida. Awalnya pahit zat yang

terkandung dalam daun diduga merupakan lakton andrografolid. Penyelidikan

selanjutnya menunjukkan bahwa pada daun terdapat 2 zat pahit, yaitu andrografolid dan

senyawa lain bernama kalmegin. Empat jenis lakton diisolasi dari herba Andrographis

paniculata di China. Dua jenis lakton telah terdeteksi dalam daun dan enam jenis

diterpenoid dari jenis ent-labdane, yaitu dua glukosida diterpen dan 4 diterpen dimer

telah diisolasi dari herba tersebut. Dua jenis flavonoid diidentifikasi sebagai 5,7,2',3'-

tetrametoksiflavanon dan 5-hidroksi-7,2',3'-trimetoksiflavon telah diisolasi dari seluruh

bagian tanaman, sementara 12 flavonoid baru dan 14 diterpenoid telah dilaporkan

terdapat pada herba Andrographis paniculata. Dua flavonoid glikosida baru dan

diterpenoid baru (asam andrografik) telah dilaporkan, dan 2 diterpenoid glikosida ent-

labdane baru telah diisolasi dari herba ini (Akbar, 2011)

7

Page 9: ANDROGRAFOLID MPBA

2.3 Senyawa Andrografolid

Andrografolid merupakan senyawa aktif utama dari tanaman sambiloto.

Andrografolid terkandung paling banyak di daun (kurang lebih 2,39 %) dan paling

sedikit pada biji (Sharma dkk., 1992). Menurut Kumoro (2007) andrografolid

merupakan senyawa yang masuk dalam grup trihidroksilakton memiliki rumus molekul

C20H30O5. Struktur molekul andrografolid dapat terlihat pada gambar 4 berikut:

Gambar 2.4. Struktur Molekul Andrografolid (Kumoro, 2007)

Andrografolid bersifat mudah larut dalam metanol, etanol, pyridine, asam asetat,

dana ceton, tetapi sedikit larut dalam ether dan air. Secara fisika, andrografolid memiliki

titik leleh 228-230oC dan spektrum ultraviolet dalam etanol λ maskimal 223 nm

(Kumoro, 2007).

Andrografolid dan kalmeghin bertanggung jawab terhadap rasa pahit pada

tanaman sambiloto. Selain andrografolid, terdapat senyawa lakton lainnya yang

ditemukan pada sambiloto, antara lain : deoksiandrografolid-19-β-D-glukosa, neo-

andrografolid (yang keseluruhannya diisolasi dari daun) (Chem dan Liang, 1982), 14

deoksi-11,12-didehidroandrografolid (andrografolid D), homoandrografolid,

andrografan, andrografon, andrografosterin, dan stigmasterol (Siripong dkk., 1992).

Beberapa penelitian terkait khasiat andrografolid, Handa dan Sharma (1990)

mengungkapkan andrografolid mampu menetralkan racun yang terdapat di dalam hati

tikus yang diinduksi parasetamol dan galaktosamin. Penelitian ini diperkuat oleh

Sarawat B. dkk. (1995) dan Visen dkk. (1993) yang menyatakan andrografolid mampu

memproteksi hati tikus yang berturut-turut diinduksi dengan galaktosamin dan

parasetamol.

8

Page 10: ANDROGRAFOLID MPBA

Mishra (1992) melaporkan ekstrak sambiloto dapat menghambat pertumbuhan

Plasmodium berghei. Ekstrak metanol, kloroform dan petroleum eter dari sambiloto

juga dilaporkan mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan Plasmodium

falciparum in vitro pada stadium shizontosida (Widyawaruyanti, 1999). Sementara

Widyowati (2003) menyatakan bahwa isolat sambiloto mampu menghambat

pertumbuhan Plasmodium falciparum pada stadium gametosit in vitro.

Penggunaan andrografolid yang diekstrak menggunakan metanol dalam terapi

kombinasi berbasis artemisinin telah diteliti oleh Mishra (2011). Mereka menyatakan

bahwa andrografolid bersinergi baik dengan kurkumin dan artesunat. Secara in vivo,

andrografolid-kurkumin memiliki aktivitas anti malaria 81% lebih tinggi dibandingkan

kontrol dan mampu memperpanjang umur hingga 2-3 kali.

2.4 Ekstraksi, Isolasi dan Identifikasi Metabolit Sekunder dari BahanAlam

Ekstraksi adalah proses pengambilan komponen yang larut dari bahan atau

campuran dengan menggunakan pelarut seperti air, alkohol, eter, aseton dan sebagainya.

Metode ekstraksi yang dipilih untuk mendapatkan senyawa bahan alam tergantung

kepada jenis sampel tumbuhan dan jenis senyawa yang ada. Terutama tergantung pada

keadaan fisik senyawa tersebut misalnya senyawa berupa cairan yang mudah menguap

(Harbone,1987).

Secara umum ekstraksi senyawa metabolit sekunder dari seluruh bagian tanaman

seperti bunga, buah, daun, kulit batang, dan akar menggunakan sistem maserasi

menggunakan pelarut organik polar seperti metanol. Beberapa metode ekstraksi

senyawa bahan alam yang umum digunakan antara lain maserasi, perkolasi, sokletasi,

digesti, destilasi uap (Darwis, 2000).

Hasil yang diperoleh berupa ekstrak yang mana seluruh senyawa bahan alam yang

terlarut dalam pelarut yang digunakan berada pada ekstrak kini. Penentuan jumlah

komponen senyawa dapat dideteksi dengan kromatografi lapis tipis (KLT) dengan

menggunakan plat KLT yang sudah siap pakai. Terjadinya pemisahan komponen-

komponen pada plat KLT dengan Rf tertentu dapat dijadikan sebagai panduan untuk

memisahkan komponen kimia tersebut dengan menggunakan kolom kromatografi dan

sebagai fase diam dapatdigunakan silika gel dan eluen yang digunakan berdasarkan

hasil yang diperoleh dari KLT dan akan lebih baik jika kepolaran eluen pada kolom

9

Page 11: ANDROGRAFOLID MPBA

kromatografi sedikit dibawah kepolaran eluen pada KLT. Pemilihan eluen sebaiknya

dimulai dari pelarut organik yang tidak polar seperti heksana dan peningkatan kepolaran

dengan etil asetat atau pelarut yang lebih polar lainnya (Harbone, 1987)

2.4.1 Maserasi

Istilah maceration berasal dari bahasa latin macerare, yang artinya adalah

“merendam”. Maserasi merupakan proses ekstraksi paling tepat dimana obat yang sudah

halus memungkinkan untuk direndam dalam pelarut sampai meresap dan melunakkan

susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan terlarul di dalamnya (Ansel, 1989).

Maserasi merupakan cara penyarian yang paling sederhana yang dilakukan dengan

meredam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada temperatur

kamar dan terlindung dari cahaya, dimana cairan penyari akan masuk kedalam sel

melewati dinding sel (Sudjadi, 2008).

Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung

komponen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin,

tiraks dan lilin. Pada teknik maserasi, cairan penyari akan masuk kedalam sel melalui

dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan

didalam sel dan diluar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan

diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah melalui proses difusi. Peristiwa

tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan didalam sel

dan diluar sel. Selama proses maserasi, dilakukan pengadukan dan penggantian cairan

penyari setiap hari. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan.

(Gandjar dan Rohman, 2007)

Kecuali dinyatakan lain, maserasi dilakukan sebagai berikut: sepuluh bagian

simpilisia atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok dimasukkan di

dalam bejana, lalu dituangi 75 bagian penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari

terlindung dari cahaya sambil sering diaduk. Setelah 5 hari campuran tersebut diserkai,

diperas, dicuci ampasnya dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100

bagian. Lalu maserat dipindah dalam bejana tertutup dan dibiarkan di tempat sejuk,

terlindung dari cahaya selama 2 hari, maserat disaring. Kemudian maserat disuling atau

diuapkan pada tekanan rendah pada suhu tidak lebih dari 500 hingga konsistensi yang

10

Page 12: ANDROGRAFOLID MPBA

dikehendaki. Maserat dipanasi pada suhu 900 untuk mengendapkan protein agar sediaan

tahan lama (Anief, 1997).

Keuntungan dari metode ini yaitu unit alat yang dipakai sederhana, (hanya

dibutuhkan bejana perendam), biaya operasionalnya relatif rendah. prosesnya relatif

hemat penyari, tanpa pemanasan. Kelemahan dari metode ini yaitu proses penyariannya

tidak sempurna, karena zat aktif hanya mampu terekstraksi sebesar 50% saja, prosesnya

lama, butuh waktu beberapa hari (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992).

2.4.2 Skrining Fitokimia

Sebelum melakukan isolasi terhadap suatu senyawa kimia yang diinginkan dalam

suatu tumbuhan maka perlu dilakukan identifikasi pendahuluan kandungan senyawa

metabolit sekunder yang ada pada masing-masing tumbuhan, sehingga dapat diketahui

kandungan senyawa yang ada secara kualitatif dan mungkin juga secara kuantitatif

golongan senyawa yang dikandung oleh tumbuhan tersebut (Darwis, 2000)

Skrining fitokimia merupakan langkah awal yang dapat membantu untuk

memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman

yang sedang diteliti serta ada atau tidaknya senyawa kimia tertentu dalam tumbuhan

tersebut yang dapat dikaitkan dengan aktivitas biologinya. Secara umum dapat

dikatakan bahwa metodenya sebagian besar merupakan reaksi pengujian warna dengan

suatu pereaksi warna. (Kristanti dkk., 2008).

A. Pemeriksaan alkaloid

Sebanyak 2 mL larutan ekstrak uji diuapkan diatas cawan porselin hingga diperoleh

residu. Residu kemudian dilarutkan dengan 5 mL HCL 2N.Larutan yang didapat

kemudian di bagi ke dalam 3 tabung reaksi. Tabung pertama ditambahkan dengan asam

encer yang berfungsi sebagai blanko. Tabung kedua ditambahkan pereaksi Dragendroff

sebanyak 3 tetes dan tabung ketiga ditambahkan pereaksi Mayer sebanyak 3 tetes.

Terbentuknya endapan jingga pada tabung kedua dan endapan kuning pada tabung

ketiga menunjukkan adanya alkaloid (Farnsworth, 1966).

B. Pemeriksaan saponin

Sebanyak 10 mL larutan ekstrak uji dalam tabung reaksi dikocok vertikal selama 10

detik kemudian dibiarkan selama 10 detik.Pembentukan busa setinggi 1-10 cm yang

11

Page 13: ANDROGRAFOLID MPBA

stabil selama tidak kurang dari 10 menit, menunjukkan adanya saponin. Pada

penambahan 1 tetes HCL 2N, busa tidak hilang (Depkes RI, 1995).

C. Pemeriksaan tanin dan polifenol

Sebanyak 3 mL larutan ekstrak uji dibagi kedalam 3 bagian yaitu tabung A, tabung

B, tabung C. Tabung A digunakan sebagai blanko, tabung B direaksikan dengan larutan

besi (III) klorida 10%, warna biru tua atau hitam kehijauan menunjukkan adanya tanin

dan polifenol, sedangkan pada tabung C hanya ditambahkan garam gelatin. Apabila

terbentuk endapan pada tabung C maka larutan ekstrak positif mengandung tanin

(Robinson, 1991; Marliana dkk, 2005).

D. Pemeriksaan steroid dan triterpenoid

Pemeriksaan steroid dan triterpenoid dilakukan dengan reaksi Liebermamn-

Burchard. Sebanyak 2 mL larutan uji diuapkan dalam cawan penguap. Residu

dilarutkan dengan 0,5 mL kloroform, kemudian ditambahkan 0,5 mL asam asetat

anhidrat. Selanjutnya ditambahkan 2 mL asam sulfat pekat melalui dinding tabung.

Terbentuknya cincin kecoklatan atau violet pada perbatasan larutan menunjukkan

adanya triterpenoid, sedangkan bila muncul cicin biru kehijauan menunjukkan adanya

steroid (Ciulei, 1984).

Kesulitan dalam skrining fitokimia adalah adanya reaksi positif palsu (false-positive

resulte), dimana komposisi campuran senyawa yang terkandung dalam tanaman dapat

memberikan hasil positif meskipun senyawa yang diuji tidak terdapat dalam tanaman

tersebut (Kristanti dkk, 2008).

2.4.3 Ekstraksi Cair-cair

Ekstrasi pelarut merupakan suatu teknik dimana suatu larutan (biasanya dalam

bentuk air) dibuat bersentuhan dengan suatu pelarut kedua (biasanya organic) yang pada

hakikatnya tak tercampurkan dengan pelarut pertama dan menimbulkan perpindahan

satu atau lebih zat terlarut (solute) ke dalam pelarut kedua. (Basset , J.dkk, 1994)

Ekstrasi pelarut digunakan sebagai cara untuk pra perlakuan sampel atau clean up

sample untuk memisahkan analit-analit dari komponen-komponen matriks yang

mungkin menggangu pada saat kuantifikasi atau deteksi analit. Disamping itu, ekstrasi

pelarut juga digunakan untuk memekatkan analit yang ada dalam sampel dengan jumlah

12

Page 14: ANDROGRAFOLID MPBA

kecil sehingga tidak memungkinkan atau menyulitkan deteksi atau kuantifikasinya.

(Gandjar dan Rohman,2007)

Untuk memahami prinsip-prinsip dasar ekstrasi, harus terlebih dahulu dibahas

berbagai istilah yang digunakan untuk menyatakan keefektifan pemisahan. Untuk suatu

zat terlarut A yang didistribusikan diantara dua fase tak tercampurkan antara a dan b,

hukum distribusi (atau partisi) Nernst menyatakan bahwa, asal keadaan molekulnya

sama dalam kedua cairan dan temperature adalah konstan :

Konsentrasi zat terlarut dalam pelarut a = [A]a = Kd

Konsentrasi zat terlarut dalam pelarut b [A]b

Dimana Kd adalah sebuah tetapan yang dikenal sebagai koefisien distribusi

(koefisien partisi). Hukum seperti ini, secara termodinamis tidaklah benar-benar tepat

(misalnya, tidak diperhitungkan aktivitas dari bebagai spesi itu dan karenanya

diharapkan hanya berlaku pada larutan encer dimana angka banding aktivitas itu

mendekati satu), tetapi merupakan suatu pendekatan yang berguna. Hukum ini dalam

bentuknya yang sederhana, tak berlaku bila spesi yang didistribusikan itu mengalami

asosiasi, disosiasi dalam salah satu fase tersebut. Pada penerapan praktis ekstrasi pelarut

ini, kita terutama memperhatikan fraksi zat terlarut total dalam fase yang satu dengan

fase yang lainnya, tak peduli bagaimanapun cara-cara disosiasi, asosiasi atau

interaksinya dengan spesi-spesi lain yang terlarut. Untuk memudahkan, diperkenalkan

istilah angka banding distribusi (D) atau koefisien ekstraksi (E).

Dimana lambang CA menyatakan konsentrasi A dalam bentuknya seperti yang

telah ditetapkan secara analitis.

Efisiensi proses ekstrasi tergantung pada nilai distribusinya (D) dan tergantung

juga pada volume relative kedua fase. Dengan menggunakan ekstrasi, banyaknya analit

yang terekstrasi dapat dihitung dengan rumus berikut :

Vorg dan Vaq masing-masing merupakan banyaknya volume fase organic dan fase air

yang digunakan.D merupakan rasio distribusi. Pada analit dengan nilai D yang kecil,

13

Page 15: ANDROGRAFOLID MPBA

adanya ekstrasi yang berulang (bertingkat) akan meningkatkan efisiensi ekstrasi. Rumus

yang digunakn untuk ekstrasi bertingkat adalah :

Dimana C aq : banyaknya analit dalam fase air mula-mula

(Caq)n : banyaknya analit dalam fase air setelah n kali ekstrasi

V org : banyaknya volume fase organic

V aq : banyaknya volume fase cair

n : banyaknya (frekuensi) ekstrasi

Kebanyakan ekstrasi dilakukan dengan menggunakan corong pisah dalam waktu

beberapa menit. Akan tetapi untuk efektifitas ekstrasi analit dengan rasio distribusi yang

kecil (<1), ekstraksi hanya dapat dicapai dengan mengenakan pelarut baru pada larutan

sampel secara terus menerus. Hal ini dapat dilakukan dengan refluks menggunakan alat

yang digunakan khusus.

Pelarut yang dipakai untuk ekstrasi pelarut adalah : mempunyai kelarutan yang

rendah dalam air (<10%), dapat menguap sehingga memudahkan penghilangan pelarut

organik setelah dilakukan ekstraksi, dan mempunyai kemurnian yang tinggi untuk

meminimalkan adanya kontaminasi sampel. (Basset,J.dkk, 1994)

2.4.4 Kromatografi Lapis Tipis(KLT)

Kromatografi lapis tipis digunakan untuk pemisahan secara cepat, dengan

menggunakan zat penyerap berupa serbuk halus yang dilapiskan serba rata pada

lempeng kaca. Lempeng yang dilapis dapat dianggap sebagai “kolom kromatografi

terbuka” dan pemisahan dapat didasarkan pada penyerapan, pembagian, atau

gabungannya, tergantung dari jenis zat penyerap dan cara pembuatan lapisan zat

penyerap dan jenis pelarut. Harga Rf yang diperoleh kromatografi lapis tipis tidak tetap,

karena itu lempeng yang sama disamping kromatogram zat yang diuji perlu dibuat

kromatogram zat pembanding kimia. Perbandingan ukuran bercak secara visual atau

densitometry dapat digunakan untuk memperkirakan kadar (Depkes RI, 1979).

Fenomena yang terjadi pada KLT adalah berdasarkan pada prinsip adsorpsi.

Setelah sampel ditotolkan di atas fasa diam, senyawa-senyawa dalam sampel akan

terelusi dengan kecepatan yang sangat bergantung pada sifat senyawa-senyawa tersebut

(kemampuan terikat pada fasa diam dan kemampuan larut dalam fasa gerak), sifat fasa

14

Page 16: ANDROGRAFOLID MPBA

diam (kekuatan elektrostatis yang menarik senyawa di atas fasa diam) dan sifat fasa

gerak (kemampuan melarutkan senyawa). Pada KLT, secara umum senyawa-senyawa

yang memiliki kepolaran rendah akan terelusi lebih cepat daripada senyawa-senyawa

polar karena senyawa polar terikat lebih kuat pada bahan silika yang mengandung

silanol (SiOH2) yang pada dasarnya memiliki afinitas yang kuat terhadap senyawa polar

(Kristanti dkk., 2008).

Parameter pada KLT yang digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf. Rf

dikarakterisasi dengan jarak migrasi solut terhadap jarak ujung fase geraknya. Faktor

retardasi solut (Rf) didefinisikan sebagai:

Nilai maksimum Rf adalah 1 dan ini dicapai ketika solut mempunyai

perbandingan distribusi (D) dan faktor retensi (k’) sama dengan 0 yang berarti solut

bermigrasi dengan kecepatan yang sama dengan fase gerak. Nilai minimum Rf, adalah 0

dan ini teramati jika solut tertahan pada posisi titik awal di permukaan fase diam

(Gandjar dan Rohman, 2007).

2.4.5 Kromatografi Kolom Lambat

Pada proses pemisahan dengan Kromatografi kolom lambat, campuran yang akan

dipisahkan diletakkan pada bagian atas kolom adsorben yang berada dalam suatu

tabung. Pelarut sebagai fase gerak karena gaya berat atau dengan tekanan tertentu

dibiarkan mengalir melalui kolom membawa serta pita linarut yang bergerak dengan

kecepatan berbeda. Linarut yang telah memisah dikumpulkan berupa fraksi yang keluar

dari bagian bawah kolom sehingga metode ini merupakan kromatografi elusi. Dalam

pemisahan ini interaksi antara larutan senyawa yang dianalisis dengan fase diam dapat

terjadi dengan cara interaksi langsung antara senyawa dengan permukaan fase diam atau

fase stationer hanya bersifat menyangga cairan kedua sehingga pemisahan terjadi

berdasarkan partisi antara dua fase cairan. (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992).

Faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan jenis adsorben antara lain ialah

sifat tidak boleh bereaksi dengan senyawa yang akan dianalisis, tidak bersifat sebagai

katalis yang menyebabkan dekomposisi zat, tidak larut dalam pelarut yang digunakan,

sedapat mungkin tidak berwarna atau tidak mengganggu pengamatan hasil pemisahan

15

Page 17: ANDROGRAFOLID MPBA

zat berwarna, mempunyai sifat yang stabil selama berlangsungnya proses pemisahan

dan mempunyai ukuran partikel yang seragam. (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992).

Pada kromatografi kolom, kolom yang digunakan berupa tabung yang biasanya

terbuat dari kaca yang dilengkapai dengan kran jenis tertentu pada bagian bawahnya

untuk mengatur aliran pelarut. Pada bagian bawah tabung biasanya segumpal kecil wol

kaca atau kapas untuk menahan adsorben. Ukuran kolom sangat beragam, umumnya

perbandingan panjang terhadap diameter bagian dalam kolom adalah 10 kalinya atau

bisa sampai 100 kalinya, tergantung derajat kesulitan proses pemisahan. (Kusmardiyani

dan Nawawi, 1992).

Penyiapan kolom dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara kering dan cara

basah. Perbedaan kedua cara ini yaitu pada cara kering adsorben langsung dimasukkan

dalam kolom sedangkan pada cara basah dibuat terlebih dahulu campuran adsorben

dengan fase gerak yang digunakan kemudian dimasukkan ke dalam kolom (Gandjar dan

Rohman, 2007).

2.4.6 Rekristalisasi

Kristalisasi  atau sering disebut rekristalisasi adalah teknik permurnian padatan-

padatan organik yang mempunyai kecenderungan membentuk kisi-kisi kristal yang

dilakukan dengan cara mengkristalkan kembali zat tersebut setelah dilarutkan dalam

pelarut yang sesuai. Prinsip umum yang berlaku dalam proses kristalisasi adalah

penurunan temperatur yang akan menyebabkan perbedaan kelarutan antara zat yang

dimurnikan dengan zat pencemarnya dan hanya molekul-molekul yang sama yang

mudah masuk ke dalam struktur lattik kristalnya, sedangkan molekul-molekul lain atau

pengotor tetap di dalam larutan atau berada di luar kristalnya. Metode ini sederhana,

material padatan ini terlarut dalam pelarut yang cocok pada suhu tinggi (pada atau dekat

titik didih pelarutnya) untuk mendapatkan larutan jenuh atau dekat jenuh. Ketika larutan

panas perlahan didinginkan, kristal akan mengendap karena kelarutan padatan biasanya

menurun bila suhu diturunkan. Diharapkan bahwa pengotor tidak akan mengkristal

karena konsentrasinya dalam larutan tidak terlalu tinggi untuk mencapai jenuh.

(Hostettmann, 1995).

Kristal dapat terbentuk karena suatu larutan dalam keadaan atau kondisi lewat

jenuh (supersaturated). Yang dimaksud dengan kondisi lewat jenuh adalah kondisi

16

Page 18: ANDROGRAFOLID MPBA

dimana pelarut (solven) mengandung zat terlarut (solute) melebihi kemampuan pelarut

tersebut untuk melarutkan solute pada suhu tetap. Kondisi tersebut terjadinya karena

pelarut sudah tidak mampu melarutkan zat terlarutnya, atau jumlah zat terlarut sudah

melebihi kapasitas pelarut. Sehingga kita dapat memaksa agar kristal dapat terbentuk

dengan cara mengurangi jumlah pelarutnya, sehingga kondisi lewat jenuh dapat dicapai.

proes kristalisasi dimualai dengan menambahkan senyawa yang akan dimurnikan

dengan pelarut panas sampai kelarutan senyawa tersebut berada pada level super jenuh.

Pada keadaan ini, bila larutan tersebut didinginkan, maka mlekul-molekul senyawa

terlarut akan saling menempel, tumbuh menjadi kristal-kristal yang akan mengendap di

dasar wadah. Sementara kotoran-kotoran yang terlarut tidak ikut mengendap.

Pembentukkan kristal itu sendiri terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah

nukleasi primer atau pembentukkan inti, yaitu tahap dimana kristal-kristal mulai tumbuh

namun belum mengendap. Tahap ini membutuhkan keadaan superjenuh dari zat terlarut.

Saat larutan didinginkan, pelarut tidak dapat “menahan” semua za-zat terlarut, akibatnya

molekul-molekul yang lepas dari pelarut saling menempel, dan mulai tumbuh menjadi

inti kristal. Semakin banyak inti-inti yang bergabung, maka akan semakin cepat pula

pertumbuhan kristal tersebut. Tahap kedua setelah nukleasi primer adalah nukleasi

sekunder. Pada tahap ini petumbuhan kristal semakin cepat, yang ditandai dengan saling

menempelnya inti-inti menjadi kristal-kristal padat.

2.4.7 KLT-Spektrofotodensitometri

Penggunaan kromatografi sangat membantu dalam pendeteksian senyawa

metabolit sekunder dan dapat dijadikan sebagai patokan untuk proses pengerjaan

berikutnya dalam menentukan struktur senyawa. Kromatografi lapis tipis merupakan

metode pemisahan komponen-komponen atas dasar perbedaan adsorpsi atau partisi oleh

fase diam di bawah gerakan pelarut pengembang atau pelarut pengembang campur

(Mulja dan Suharman, 1995). KLT merupakan bentuk kromatografi planar selain

kromatografi kertas, dengan fase diam berupa lapisan yang seragam (uniform) pada

permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat aluminium, atau plat

plastik. Fase gerak dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak disepanjang fase

diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending) atau

karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Gandjar

17

Page 19: ANDROGRAFOLID MPBA

dan Rohman, 2007). Metode ini dapat digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa

yang tidak volatil atau senyawa yang sifat volatilitasnya rendah, senyawa dengan

polaritas rendah hingga tinggi, bahkan untuk memisahkan senyawa-senyawa ionik

(Hahn dan Deinstrop, 2007).

Gambar 2.5. Bejana berisi plat KLT sebelum dan sesudah pengembangan

(Stahl, 1985)

Prinsip dari pemisahan komponen senyawa kimia dengan KLT didasarkan pada

perbedaan laju migrasi masing-masing molekul senyawa diantara fase diam dan fase

gerak yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti adsorpsi/partisi pada fase diam,

kelarutan dalam cairan partisi dan pelarut pembilas, serta polaritas dari cairan partisi

dan pelarut (Satiadarma, 2004).

Fase gerak atau pelarut pengembang akan bergerak naik sepanjang fase diam

karena adanya gaya kapilaritas pada sistem pengembangan menaik (ascending).

Pemilihan fase gerak baik untuk TLC maupun HPTLC didasarkan pada keterpisahan

senyawa-senyawa dalam analit yang didasarkan pada nilai Rf atau hRf (100Rf). Nilai

Rf diperoleh dari membagi jarak pusat kromatografik dari titik awal dengan jarak

pergerakan pelarut dari titik awal. Penghitungan nilai hRf ditunjukkan dengan

persamaan dibawah ini.

Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tapi lebih sering dengan

mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling

sederhana ialah campuran dua pelarut organik karena daya elusi campuran kedua

18

Page 20: ANDROGRAFOLID MPBA

pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara

optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase

gerak:

1. Fase gerak harus memiliki kemurniaan yang sangat tinggi karena KLT

merupakan teknik yang sensitif.

2. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak

antara 0,2 sampai 0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.

3. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel,

polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga

menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti

dietil eter kedalam pelarut non polar seperti metil benzen akan meningkatkan

harga Rf secara signifikan.

4. Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut

sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan methanol dengan perbandingan

tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia masing-masing akan

meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan asam.

(Gandjar dan Rohman, 2007)

Keterulangan harga Rf sangat dipengaruhi oleh perbedaan kondisi proses

pemisahan senyawa tertentu dibandingkan kondisi yang telah dibakukan sekali.

Meskipun dalam hal ini harga Rf bukanlah harga absolut seperti pada konstanta fisik

lain (titik didih, titik lebur, dll). Beberapa faktor yang mempengaruhi penentuan harga

Rf ini antara lain kualitas adsorben (ukuran partikel, pH dan kemurnian), ketebalan

lapisan adsorben (untuk ketebalan 0,25-3 mm), kejenuhan bejana, teknik

pengembangan, suhu (mempengaruhi kapasitas adsorpsi dari adsorben sehingga suhu

pada saat pengukuran Rf harus dicantumkan), dan kualitas pelarut (kromatogram bisa

sangat beragam untuk kualitas pelarut yang berbeda, karena itu untuk penentuan harga

Rf harus selalu digunakan pelarut segar) (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992).

Untuk analisis kuantitatif pada KLT dapat digunakan dua cara. Pertama, bercak

pada plat KLT diukur langsung pada lempeng dengan menggunakan ukuran luas atau

dengan teknik densitometri. Cara kedua adalah dengan mengerok bercak lalu

19

Page 21: ANDROGRAFOLID MPBA

menetapkan kadar senyawa yang terdapat dalam bercak tersebut dengan metode analisis

yang lain, misalkan dengan metode spektrofotometri (Gandjar dan Rohman, 2007).

Analisis kuantitatif dari suatu senyawa yang telah dipisahkan dengan KLT

biasanya dilakukan dengan densitometer langsung pada lempeng KLT (atau secara in

situ). Densitometer dapat bekerja secara serapan atau flouresensi, dimana kebanyakan

densitometer mempunyai sumber cahaya yang diarahkan menuju monokromator (untuk

memilih rentang panjang gelombang yang cocok antara 200-800), sistem untuk

memfokuskan sinar pada lempeng, pengganda foton, dan rekorder (Gandjar dan

Rohman, 2007).

Densitometer atau Thin Layer Chromato Scanner makin banyak digunakan secara

luas. Densitometri adalah metode analisis instrumental yang berdasarkan interaksi

radiasi elektromagnetik dengan analit yang merupakan noda pada KLT. Interaksi radiasi

elektromagnetik dengan noda pada plat KLT yang ditentukan adalah absorpsi, transmisi,

pantulan (refleksi) pendar fluor atau pemadaman pendar fluor dari radiasi semula.

Densitometri lebih dititikberatkan untuk analisis kuantitatif analit-analit dengan kadar

yang sangat kecil yang perlu dilakukan pemisahan terlebih dahulu dengan KLT (Mulja

dan Suharman, 1995).

Prinsip kerja spektrofotodensitometri berdasarkan interaksi antara radiasi

elektromagnetik dari sinar UV-Vis dengan analit yang merupakan noda pada plat.

Radiasi elektromagnetik yang datang pada plat diabsorpsi oleh analit, ditransmisi atau

diteruskan jika plat yang digunakan transparan. Radiasi elektromagnetik yang

diabsorpsi oleh analit atau indikator plat dapat diemisikan berupa flouresensi dan

fosforesensi (Sherma and Fried 1994). Pemadaman flouresensi indikator F-254 dapat

terjadi akibat adanya noda pada plat sehingga teramati di bawah lampu UV sebagai

noda hitam (Mulja dan Suharman, 1995).

Kebanyakan densitometer mempunyai sumber cahaya monokromator (rentang

panjang gelombang 190 s/d 800 nm) untuk memilih panjang gelombang yang cocok,

sistem untuk memfokuskan sinar pada lempeng, pengganda foton, dan rekorder

(Gandjar dan Rohman, 2007). Output detektor dikonversikan menjadi signal dan

diamplifikasi. Sebagai tambahan untuk scanning instrumen densitometer dilengkapi

dengan digital konverter, dan data akan diproses secara digitalisasi oleh komputer.

Analis dapat bekerja dengan densitometri pada jangkauan panjang gelombang 190

20

Page 22: ANDROGRAFOLID MPBA

s/d 800 nm. Terjadinya penyimpangan baseline yang disebabkan oleh variasi ketebalan

dan ketidakseragaman lapisan pada densitometer sangat kecil dan level signalnya relatif

tinggi.

Analisis KLT dengan menggunakan spektrofotodensitometri dapat dilakukan

dengan menggunakan mode absorbsi atau flouresensi. Pada umumnya yang paling

sering digunakan adalah mode absorbsi dengan menggunakan sinar UV pada λ 190-300

nm. Oleh karena kebanyakan plat KLT menggunakan silika gel yang bersifat opaque

(tidak tembus cahaya), maka pengukuran dengan mode transmitan tidak cocok

digunakan. Penentuan absorpsi analit pada plat KLT opaque didasarkan pada rasio

intensitas antara radiasi elektromagnetik yang datang dengan intensitas radiasi

elektromagnetik yang dipantulkan/direfleksikan. Pengukuran flouresensi merupakan

metode pengukuran langsung yang peka untuk senyawa dalam daerah ultraviolet dapat

ditentukan melalui emisi penyinaran sekunder. Intensitas cahaya flouresensi setelah

dipancarkan melalui suatu monokromator, diukur secara selektif dalam kondisi yang

sesuai, berbanding lurus dengan berat senyawa yang ada dalam noda (Sherma and Fried,

1994).

Gambar 2.6. Skema spektrofotodensitometer radiasi berkas ganda dan tunggal(Mulja dan Suharman, 1995)

Keterangan: L (light); SL (slit); MC (monokromator); PM (photomultiplier); FF (filter fluorescens); P (plat); SCS (sistem for circular scanning).

Beberapa keunggulan metode kromatografi lapis tipis atau lebih dikenal dengan

TLC (thin layer chromatography) maupun kromatografi lapis tipis kinerja tinggi yang

dikenal dengan HPTLC (high performance thin layer chromatography) dengan

kombinasi spektrofotodensitometri dibandingkan dengan metode HPLC maupun GC

(Sherma and Fried, 1996) diantaranya adalah:

1. Cepat, karena penggunaannya biasanya tidak membutuhkan preparasi khusus.

21

Page 23: ANDROGRAFOLID MPBA

2. Dapat digunakan untuk analisis sampel dengan jumlah mencapai 30 sampel pada

satu pelat dan dapat memisahkan sampel-sampel tersebut secara bersamaan.

3. Adanya instrumen scanning modern yang dikontrol dengan komputer, instrumen

aplikasi sampel semi otomatis maupun otomatis, serta instrumen pengembangan

dapat membantu memberikan akurasi dan presisi yang setara dengan metode

HPLC maupun GC.

4. Terdapat berbagai pilihan pelarut pengembang (fase gerak) untuk memisahkan

sampel seperti basa, asam, aqua-organik.

5. Setiap sampel dapat dipisahkan dengan pelat baru sehingga dapat menghindari

masalah kontaminasi silang sampel dan tidak perlu melakukan regenerasi sorben.

6. Dalam hal konsumsi pelarut pengembang, metode TLC maupun HPTLC

tergolong hemat, sehingga dapat meminimalkan biaya untuk pembelian pelarut.

7. Kombinasi TLC/HPTLC dengan densitometer adalah dapat dilakukan

pengulangan pada tahap scanning tanpa mengkhawatirkan gangguan pada proses

lanjutan, ini dikarenakan semua proses berjalan secara independen.

BAB III

METODE

22

Page 24: ANDROGRAFOLID MPBA

3.1 Alat dan Bahan

3.1.1 Alat

- Tempat toples kaca

- Kertas saring

- Kain kasa

- Batang pengaduk,

- Botol vial, ,

- Labu ukur,

- Botol semprot,

- Gelas pengembang KLT

- Spektrofotodensitometer,

- Pipet tetes,

- Pipet ukur

- Gelas ukur,

- Corong pisah

- Statif,

- Erlenmeyer,

- Baker glass,

- Rotaevaporator,

- Cawan penguap,

- Hot plate,

- Kolom kromatografi

3.1.2 Bahan

- Serbuk kering Andrographis paniculata

- etanol

- n-hexan

- Etil Asetat

- Aquadest DM

- Metanol pro analis

- Kloroform pro analis

- Plat KLT GF 250

- H2SO4

3.2 Prosedur Kerja

3.2.1 Prosedur Maserasi

Ditimbang sebanyak 100 gram serbuk simplisia sambiloto. Kemudian dimasukkan

ke dalam bejana maserasi, ditambah sebanyak 500 mL etanol 96%, kemudian diaduk

serta didiamkan selama satu malam. Selanjutnya disaring, filtrat disimpan dan ampas

diremaserasi dengan etanol 96% sebanyak 250 mL, diaduk, kemudian didiamkan

selama satu hari dengan sesekali diaduk. Selanjutnya disaring, filtrat ditampung dan

23

Page 25: ANDROGRAFOLID MPBA

ampas diremaserasi kembali dengan 250 mL etanol 96%, diaduk. Didiamkan sehari dan

sesekali diaduk. Selanjutnya disaring, semua filtrat ditampung dan diuapkan

pelarutnya.

3.2.2 Prosedur Skrining Fitokimia

- Pembuatan Larutan Uji

Sebanyak 10 mg ekstrak dilarutkan dalam 25 mL metanol.

- Uji untuk Steroid dan Triterpenoid

Pemeriksaan steroid dan triterpenoid dilakukan dengan reaksi Liebermann-

Burchard. Sebanyak 2 ml larutan uji diuapkan dalam cawan penguap. Residu

dilarutkan dengan 0,5 ml kloroform, kemudian ditambahkan 0,5 ml asam asetat

anhidrat. Selanjutnya ditambahkan 2 ml asam sulfat melalui dinding tabung.

Terbentuknya cincin kecoklatan atau violet pada perbatasan larutan

menunjukkan adanya triterpenoid, sedangkan bila muncul cincin biru kehijauan

menunjukkan adanya steroid.

- Uji untuk Saponin

Sebanyak 10 ml larutan ekstrak uji dalam tabung reaksi dikocok vertikal

selama 10 detik kemudian dibiarkan selama 10 detik. Pembentukkan busa

setinggi 1-10 cm yang stabil selama tidak kurang dari 10 menit, menunjukkan

adanya saponin. Pada penambahan 1 tetes HCl 2 N, busa tidak hilang.

- Uji untuk Alkaloid

Sebanyak 18 ml larutan ekstrak uji diuapkan di atas cawan porselen hingga

didapatkan residu. Residu kemudian dilarutkan dengan 6 ml HCL 2 N. Larutan

yang didapat kemudian dibagi ke dalam 4 tabung reaksi. Tabung pertama

ditambahkan pereaksi Wagner sebanyak 3 tetes. Tabung kedua ditambahkan

pereaksi Mayer sebanyak 3 tetes. Tabung ketiga ditambahkan pereaksi Hager

sebanyak 3 tetes. Tabung keempatditambahkan pereaksi Dragendorff sebanyak 3

tetes. Pada pereaksi Wigner terbentuknya endapan putih. Pada pereaksi Mayer

terbentuknya endapan merah kecoklatan. Pada pereaksi Hager terbentuknya

endapan kuning. Pada pereaksi Dragendroff terbentuknya endapan coklat muda

sampai kuning.

24

Page 26: ANDROGRAFOLID MPBA

3.2.3 Prosedur Pemisahan 1 (purifikasi)

Ekstrak kental disisihkan 10 mg. Ekstrak kental sisanya kemudian dicuci dengan

n-heksan dengan perbandingan 1:20. Ekstrak tidak larut disisihkan secukupnya. Sisanya

dicuci kembali dengan etil asetat dengan perbandingan 1:1dan diambil fase etil

asetatnya. Ekstrak larut etil asetat dan yang tidak larut etil asetat diuapkan pelarutnya

hingga terbentuk ekstrak kental.

3.2.4 KLT Hasil Pemisahan 1

Plat KLT Al Silika gel GF 254 disiapkan dan dipotong 4 cm x 10 cm, ditandai

dengan batas atas 0,5 cm, batas bawah 1 cm, dan batas kiri-kanan 1 cm serta jarak antar

totolan 0,6 cm. Plat dicuci dengan metanol kemudian diaktivasi pada suhu 110ºC

selama 15 menit. Chamber (bejana pengembang kromatografi) dijenuhkan dengan fase

gerak campuran kloroform:metanol (9:1 v/v) sebanyak 10 mL. Kemudian ekstrak kental

sambiloto hasil maserasi, ekstrak tidak larut etil asetat dan ekstrak larut etil asetat

masing-masing dilarutkan 1 mL metanol lalu ditotolkan masing-masing sebanyak 6 µL.

Standar andrografolid ditotolkan pada plat KLT sebanyak 6 µL dengan jarak antar

bercak 0,6 cm. Plat dimasukkan ke dalam chamber yang telah dijenuhkan, dan dielusi

dengan jarak pengembangan 8,5 cm. Setelah dielusi, plat KLT dikeringkan selama 10

menit dengan dryer dan diamati dibawah sinar UV 254 nm dan 366 nm.

Bila masih banyak pengotor yang terdapat pada plat setelah pemisahan, maka

dilakukan pencucian kembali dengan air panas pada ekstrak yang larut etil asetat hingga

warnanya bening. Ekstrak yang tidak larut air panas dan yang larut air panas diuapkan

pelarutnya hingga terbentuk ekstrak kental kemudian di KLT kembali untuk melihat

metode yang sama. Ukuran plat KLT 4 x 10 cm. Pada plat ditotolkan ekstrak tidak larut

air panas, ekstrak larut air panas dan standar andrografolid masing-masing sebanyak 6

µL. Dilihat hasil pemisahannya pada UV 254 nm dan 366 nm.

3.2.5 Prosedur Pemisahan Kolom

Kolom disiapkan dengan bagian bawah diisi dengan glass wool dan dimasukkan

silika gel 60 hingga 10 cm dan ditimbang bobot silika gel 60 tersebut. Kolom diisi

dengan kloroform hingga 10 cm. Silika gel 60 yang telah ditimbang dibuat bubur silika

25

Page 27: ANDROGRAFOLID MPBA

dengan kloroform. Bubur silika dimasukkan ke dalam kolom dengan hati-hati secara

kontinyu bergantian dengan memasukkan kloroform dengan pipet tetes pada dinding

kolom untuk mencegah terbentuknya lapisan-lapisan. Keran pada bagian bawah kolom

dibuka. Fase gerak kloroform ditampung digunakan lagi untuk menyiapkan kolom.

Kolom diekuilibrasi dengan kloroform sebanyak 20 ml dan didiamkan semalam.

Fraksi dari pemisahan 1 (bagian tidak larut air) disisihkan 10 mg, sisanya

ditambahkan metanol hingga larut. Larutan fraksi dimasukkan ke bagian atas kolom

secara hati-hati dengan pipet tetes melalui dinding kolom (agar kolom silika tidak

rusak). Dieluasi dengan pelarut kloroform sebanyak10 ml. Fraksi ditampung dengan

vial. Kemudian dieluasi kembali dengan 10 mL metanol. Fraksi kloroform dan metanol

yang diperoleh kemudian diuapkan dan ditimbang.

3.2.6 KLT Hasil Pemisahan 2

Plat KLT Al Silika gel GF 254 disiapkan dan dipotong 4 cm x 10 cm, dengan

batas atas 0,5 cm, batas bawah 1 cm, dan batas kiri-kanan 1 cm serta jarak antar totolan

0,6 cm. Plat dicuci dengan metanol kemudian diaktivasi pada suhu 110ºC selama 15

menit. Ekstrak etil asetat terpurifikasi (bagian tidak larut air), fraksi kloroform dan

fraksi metanol yang telah diuapkan dilarutkan dengan metanol. Chamber (bejana

pengembang kromatografi) dijenuhkan dengan fase gerak campuran kloroform:metanol

(9:1 v/v) sebanyak 10 mL. Masing-masing ditotolkan pada plat sebanyak 4 µL. Standar

andrografolid ditotolkan pada plat sebanyak 4 µL. Plat dimasukkan ke dalam chamber

yang telah dijenuhkan, dan dielusi dengan jarak pengembangan 8,5 cm. Setelah dielusi,

plat KLT dikeringkan selama 10 menit dengan dryer dan diamati dibawah sinar UV 254

nm dan 366 nm.

3.2.7 KLT Hasil Pemisahan 3

Disiapkan standar andrografolid, kristal yang terbentuk dari fase kloroform dan

fraksi kloroform masing-masing sebagai sampel 1, 2 dan 3. Plat KLT GF254 dipotong

dengan panjang 5 cm dan lebar 3 cm. plat kemudian dicuci dengan methanol

selanjutnya diaktivasi pada suhu 1100C selama 30 menit. Fase gerak dibuat dengan

menggunakan campuran pelarut klorofom methanol (9:1) sebanyak 10 ml dan

selanjutnya digunakan untuk menjenuhkan chamber. Selama proses penjenuhan

26

Page 28: ANDROGRAFOLID MPBA

chamber, dilakukan penotolan sampel pada plat yang telah diaktivasi dengan jarak

penotolan 0,7 cm antar sampel. Plat yang telah ditotol kemudin dieluasi dengan jarak

elusi 3,5 cm. plat dikeringkan dengan cara diangin-anginkan kemudian dideteksi pada

UV 254 nm dan 366 nm. Dihitung nilai Rf masing-masing spot yang terdeteksi pada

tiap sampel.

3.2.8 Rekristalisasi

Disipkan kristal yang diperoleh dari fase kloroform hasil kromatografi kolom

kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 5 ml metanol. Tabung

dipanaskan di atas penangas air hingga kristal larut seluruhnya dan volume pekarut

berkurang ± 1/3 nya. Larutan kemudian disaring dan didinginkan perlahan pada suhu

ruang. Larutan yang telah dingin kemudian dimasukkan ke dalam lemari pendingin

selama 24 jam hingga terbentuk kristal kembali.

3.2.7 Identifikasi Golongan Kandungan Kimia Dengan KLT Densitometer

Plat KLT Silika gel GF 254 disiapkan dan dipotong dengan ukuran 2 x 10 cm dan

diberi batas atas 0,5 cm, batas bawah 1 cm, dan batas kiri-kanan 1 cm. Chamber (bejana

pengembang kromatografi) dijenuhkan dengan fase gerak campuran kloroform:metanol

(9:1 v/v) sebanyak 10 mL. Kristal yang diperoleh dilarutkan dengan 5 mL metanol, lalu

masing-masing ditotol pada plat sebanyak 6 µL. Plat dimasukkan ke dalam chamber

yang telah dijenuhkan, dan dielusi dengan jarak pengembangan 8,5 cm. Setelah dielusi,

plat KLT dikeringkan dengan cara diangin-anginkan dan diamati dibawah sinar UV 254

nm dan 366 nm. Plat dipindai dengan densitometer pada panjang gelombang 200-400

nm. Selanjutnya dilakukan pencocokan spectrum dan nilai Rf dengan pustaka dan

reference data bank yang terdapat pada komputer untuk mengetahui golongan

kandungan kimia yang terdapat pada fraksi.

27

Page 29: ANDROGRAFOLID MPBA

BAB IV

HASIL

4.1. Maserasi

Tabel 1. Hasil Pengamatan Maserasi herba sambiloto

Data Jumlah Warna

Filtrat I 270 mL Hijau tua ***

Filtrat II 225 mL Hijau tua **

28

Page 30: ANDROGRAFOLID MPBA

Filtrat III 252 mL Hijau tua *

Total Filtrat 747 mL

Bobot cawan 67,4931 gram

Bobot cawan +

ekstrak

69,9883 gram

Bobot ekstrak 2,497 gram

* = Tinggat kepekatan warna.

%Rendemen =

=

= 2,497 %

4.2 Skrining Fitokimia

a. Uji Saponin

Hasil negatif (-), larutan berwarna hijau tanpa busa.

b. Uji Steroid dan Triterpenoid

- Steroid

Hasil negatif (-) tidak terbentuk cincin berwarna biru kehijauan.

- Triterpenoid

Hasil positif (+) terbentuk cincin kecoklatan pada pembatas larutan.

c. Uji Tanin

Hasil negatif (-) tidak terbentuk endapan berwarba putih.

d. Uji alkaloid

- Pereaksi Wigner

Hasil negatif (-), larutan berwarna bening tidak terdapat endapan berwarna

merah kecoklatan.

- Pereaksi Mayer

Hasil negatif (-), larutan berwarna bening tidak terdapat endapan putih.

29

Page 31: ANDROGRAFOLID MPBA

- Pereaksi Hager

Hasil negatif (-), larutan berwarna kuning muda tidak terdapat endapan

berwarna kuning.

- Pereaksi Dragendroff

Hasil negatif (-), larutan berwarna kuning tidak terdapat endapat berwarna

coklat muda atau kuning.

4.3 Pemisahan 1 (purifikasi)

Pencucian:a. Jumlah volume N-Heksan yang diperlukan yaitu 1,25 Lb. Jumlah volume etil asetat yang diperlukan yaitu 400 mLc. Jumlah volume air panas yang diperlukan yaitu 100 mL

4.4 KLT Hasil Pemisahan 1Tabel 2. Harga Rf HasilKLT Pencucian N-heksan dan etil asetat

UV 254 nm UV 366 nmFraksi 1 Fraksi 1

Fraksi 2

30

Page 32: ANDROGRAFOLID MPBA

Faksi 2

Fraksi 3

Fraksi 3Fraksi 4

Fraksi 4

Tabel 3. Harga Rf Hasil KLT Hasil Pencucian Air PanasUV 254 nm UV 366nm

Tidak terlihat terbentuk spot yang berfluoresensi

4.5 Pemisahan dengan Kromatografi KolomTabel 4. Fraksi hasil pemisahan dengan kromatografi kolom

No. Fraksi Warna

1 Klorofom berwarna hijau pekat kehitaman

2 Metanol I berwarna coklat kehitaman

3 Metanol II berwarna hijau kecoklatan

4.6 KLT Hasil Pemisahan 2

Tabel 5. Harga Rf Hasil KLT pemisahan 2

UV 254 nm UV 366 nm

31

Page 33: ANDROGRAFOLID MPBA

Fraksi 1 (Kloroform)

Faksi 2 (Metanol I)

Fraksi 3

Fraksi 1 (Kloroform)

Fraksi 2 (Metanol I)

4.7 KLT Hasil Pemisahan 3

Tabel 6. Harga Rf Hasil KLT pemisahan 3

32

Page 34: ANDROGRAFOLID MPBA

UV 254 nm UV 366 nmFraksi 1 (Standar Andrografolid)

Fraksi 2 (Kristal Fase Kloroform)

Fraksi 3 (Fraksi Kloroform)

Fraksi 1 (Standar Andrografolid)

Tidak telihat spot

Fraksi 2 (Kristal Fase Kloroform)

Fraksi 3 (Fraksi Kloroform)

4.8 Rekristalisasi

Tabel 7. Hasil rekristalisasi

Warna Putih kehijauan

Bentuk Kotak

Bobot 61,5 mg

33

Page 35: ANDROGRAFOLID MPBA

4.9 KLT Densitometer

4.9.1 Hasil Scan UV 254 nm dan 366 nm

Tabel 8. Hasil Scan 254 nm dan 366 nm

Lamda Spot yang terlihat Keterangan

254 nm 1 spot Spot besar dan terjadi pemadaman fluoresensi

366 nm Tidak terlihat spot -

Perhitungan harga Rf

4.9.2 Hasil KLT Spektrodensitometer

4.9.2.1 Hasil Pengamatan KLT-Spektrofotodensitometer

Pada pengamatan meggunakan KLT-Spektrodensitometri terlihat adanya 3 spot,

kemudian masing-masing spot discan kembali pada rentang pangjang gelombang 200-

400 nm dan diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel 9. Hasil Pengamatan KLT-Spektrodensitometer

Spot Rf λ maks

Spot 1 0,04 209 nm

Spot 2 0,10 204 nm

Spot 3 0,58 234 nm

4.9.3.2 Gambar Hasil Pengamatan KLT-Spektrodensitometer

34

Page 36: ANDROGRAFOLID MPBA

Gambar 4.1. Spektrum isolat Kristal hasil rekristalisasi fraksi kloroform

Gambar 4.2. Spektrum Spot 1

Gambar 4.3. Spektrum spot 2

Gambar 4.4. Spektrum Spot 3

35

Page 37: ANDROGRAFOLID MPBA

Gambar 4.5. Spektrum Standar Andrografolid pada Reference data bank di Komputer

BAB V

PEMBAHASAN

Herba Sambiloto (Andrographis paniculata) merupakan salah satu tanaman yang

paling sering digunakan dalam sistem pengobatan tradisional. Pada sistem pengobatan

ayurveda, sambiloto digunakan untuk mengobati penyakit disentri, diare, atau malaria.

Dalam Traditional Chinese Medicine (TCM) sambiloto sering digunakan sebagai “cold

36

Standar Andrografolid

Page 38: ANDROGRAFOLID MPBA

property” untuk menurunkan panas serta sebagai “blood purifying” untuk

membersihkan racun-racun dalam tubuh. Senyawa aktif yang merupakan senyawa

mayor pada herba sambiloto adalah androgafolid. Hampir keseluruhan bagian tanaman

(akar, daun, batang, dan bunga) mengandung senyawa diterpen lakton adrografolid,

tetapi dalam persentase yang berbeda (Akbar,2011).

Pada praktikum ini dilakukan pemisahan, isolasi dan identifikasi senyawa

terpenoid dari herba sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.)). Metode yang

digunakan dalam pemisahan, isolasi dan identifikasi senyawa terpenoid dari herba

sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.)), diantaranya ekstraksi dengan metode

maserasi, ekstraksi padat-cair, kromatografi kolom lambat, rekristalisasi. Identifikasi

dilakukan dengan skrining fitokimia alkaloid dan metode KLT-Densitometer.

Tahap pertama dilakukan ekstraksi dengan metode meserasi. Prinsip maserasi

adalah penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia

dalam cairan penyari yang sesuai selama beberapa hari pada temperatur kamar yang

terlindungi dari cahaya. Cairan penyari akan masuk kedalam sel melalui dinding sel. Isi

sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan didalam sel dan diluar

sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan

penyari dengan konsentrasi rendah melalui proses difusi. Peristiwa tersebut berulang

sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan didalam sel dan diluar sel.

Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan menimbang 100 gram serbuk

herba sambiloto kemudian dimasukan ke dalam toples kaca. Ditambahkan 500 ml

etanol 96% sebagai cairan penyari. Toples kemudian ditutup rapat dan dilapisi dengan

kain hitam. Penggunan kain hitam disini bertujuan agar serbuk simplisia terlindung dari

cahaya sehingga dapat mencegah terjadinya dekomposisi dan penguraian zat aktif.

Larutan simplisia didiamkan selama 1 hari sambil dilakukan pengaduk sekali sehari.

Pendiaman selama 1 hari bertujuan agar yang senyawa yang diinginkan dapat larut

dalam cairan penyari. Pengadukan berfungsi untuk meratakan konsentrasi larutan diluar

butir simplisia sehingga perbedaan konsentrasi antara larutan didalam dan diluar sel

dapat dijaga sekecil-kecilnya. Pada saat inilah cairan penyari akan menembus dinding

sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan terdesak

keluar karena adanya perbedaan konsentrasi di dalam dan di luar sel.

37

Page 39: ANDROGRAFOLID MPBA

Setelah 1 hari, dilakukan penyarian serbuk simplisia. Filtrat yang didapat

sebanyak 270 ml kemudian ditampung pada botol. Sedangkan ampasnya diperas dan

ditambahkan lagi dengan 250 ml etanol 96% kemudian didiamkan lagi selama 1 hari.

Setelah 1 hari ampas diperas, filtrate yang diperoleh sebanyak 225 ml dimasukan

kedalam botol yang sama yang berisi filtrat sebelumnya. Ampasnya diperas dan

ditambahkan lagi dengan 250 ml etanol 96% kemudian didiamkan selama 1 hari lagi

kemudian disaring. Adapun penambahan etanol 96% pada ampas maserasi bertujuan

untuk memisahkan maserat yang masih mungkin terkandung dalam ampas sehingga

dapat mengoptimalkan hasil maserasi. Total Filtrat yang didapat pada praktikum kali ini

adalah 747 mL. Filtrat yang didapat kemudian diuapkan diatas penangas dengan

menggunakan cawan porcelain hingga di dapatkan ekstrak kental. Bobot ekstrak kental

yang yang diperoleh adalah sebanyak 2,497 gram.

Pemeriksaan golongan senyawa kimia dalam simplisia herba sambiloto secara

kualitatif dilakukan dengan skrining fitokimia. Skrining fitokimia ini bertujuan untuk

mengetahui apakah didalam serbuk herba sambiloto memiliki kandungan kimia yang

akan ditentukan yaitu terpenoid. Dalam skrining fitokimia pemilihan pelarut merupakan

hal yang penting karena pelarut berperan dalam melarutkan senyawa yang diinginkan

dan apabila pemilihan pelarut sudah tepat maka skrining fitokimia akan menunjukkan

hasil yang tepat. Namun pemilihan pelarut yang spesifik sulit dilakukan pada skrining

fitokimia. Apabila pemilihan pelarut hanya didasarkan pada ketentuan derajat kelarutan

suatu senyawa yang diteliti secara umum, maka akan ada kemungkinan hasil yang

didapat tidak sesuai dengan pustaka. Hal ini disebabkan karena hadirnya senyawa-

senyawa dari golongan lain dalam tanaman tersebut akan berpengaruh terhadap proses

kelarutan senyawa yang diinginkan (Kristanti dkk., 2008).

Sebelum dilakukan skrining fitokimia, hal yang pertama dilakukan adalah

pembuatan larutan uji untuk skrining fotokimia. Sebanyak 10 mg ektrak kental herba

sambiloto dilarutkan dengan 25 ml metanol.Uji skrining fitokimia pertama yang

dilakukan adalah identifikasi saponin. Reaksi saponifikasi adalah hidrolisis basa suatu

ester dengan alkali yang bersifat irreversible. Reaksi saponifikasi adalah RCOOR +

OH- menjadi RCOOR + ROH (Sesmita, 2013). Pada uji saponin, dipipet 10 ml larutan

ekstrak herba sambiloto kedalam tabung reaksi, kemudian dikocok secara vertikal

selama 10 menit. Dibiarkan hasil kocokan tersebut selama 10 menit. Terbentuknya busa

38

Page 40: ANDROGRAFOLID MPBA

setinggi 1-10 cm yang stabil dari hasil pengocokan kuat filtrat selama 10 menit dalam

tabung reaksi menunjukkan adanya senyawa golongan saponin. Dari hasil identifikasi

uji saponin pada ekstrak herba sambiloto tidak terbentuk busa, sehingga pada skrining

fitokimia ektrak herba sambiloto negatif mengandung saponin.

Uji steroid-terpenoid dilakukan dengan reaksi Lieberman Burchard. Sejumlah

Sebanyak 2 ml larutan uji diuapkan dalam cawan porselin. Residu diupkan dengan 0,5

ml klorofom pada tabung reaksi, kemudian ditambahkan 0,5 ml asam asetat anhidrat

dan 2 ml asam sulfat melalui dinding tabung reaksi (pereaksi Liebermann-Buchard).

Jika terbentuknya cincin berwarna kecoklatan atau violet pada pembatas larutan

menunjukkan adanya triterpenoid. Sedangkan terbentuknya cincin berwarna biru

kehijauan menunjukkan adanya steroid. Dari hasil uji skrining fitokimia yang

dilakukan, terbentuk cincin kecoklatan pada pembatas larutan dan larutan yang berada

dibawah cincin berwarna hijau. Dimana dari hasil skrining fitokimia tersebut, ekstrak

herba sambiloto positif mengandung triterpenoid.

Uji skring fitokimia selanjutnya adalah uji tanin. Ditimbang 2 mg ekstrak kental

herba sambiloto ditimbang. Dilarutkan dengan menggunakan 2 ml akuades, kemudian

ditambahkan 3 tetes pereaksi PB asetat. Hasil positif uji tannin, terdapat endapan

berwarna putih pada larutan. Dari hasil skrining fitokimia tersebut, tidak terbentuk

endapan putih, larutan teteap berwarna bening, sehingga dapat disimpulkan ekstrak

herba sambiloto negatif mengandung tannin.

Uji skrining fitokimia yang terakhir dilakukan adalah identifikasi alkaloid.

Sebnayak 2 ml larutan uji diuapkan diatas cawan poselin. Residu yang didapat

dilarutkan dengan 5 ml HCl 2N didalam tabung reaksi. Larutan untuk uji alkaloid

tersebut dibagi kedalam 4 tabung reaksi. Tabung pertama ditambahkan 3 tetes pereaksi

wagner. Tabung kedua ditambahkan 3 tetes pereaksi mayer. Tabung ketiga ditambahkan

3 tetes peraksi hager. Dan tabung terakhir ditambahkan 3 tetes pereaksi dragendroff.

Dari uji skrining fitokimia identifikasi alkaloid didapatkan hasil pada tabung pertama

negatif alkaloid, pada uji alkaloid dengan pereaksi wigner larutan tetap berwarna

bening. Dari hasil yang ditunjukkan pada tabung kedua pada uji alkaloid dengan

pereaksi mayer menunjukkan hasil negatif dengan larutan tetap berwarna bening. Pada

pembuatan pereaksi Mayer, larutan merkurium(II) klorida ditambah kalium iodida

akan bereaksi membentuk endapan merah merkurium(II) iodida. Jika kalium iodida

39

Page 41: ANDROGRAFOLID MPBA

yang ditambahkan berlebih maka akan terbentuk kalium tetraiodomerkurat(II)

(Svehla, 1990). Alkaloid mengandung atom nitrogen yang mempunyai pasangan

elektron bebas sehingga dapat digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat

dengan ion logam (McMurry, 2004). Pada uji alkaloid dengan pereaksi Mayer,

diperkirakan nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+ dari kalium

tetraiodomerkurat(II) membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap.

Gambar 5.1. Perkiraan Reaksi Uji Mayer

Dari hasil yang ditunjukkan pada tabung ketiga pada uji alkaloid dengan pereaksi hager

menunjukkan hasil negatif dengan larutan tetap berwarna kuning muda. Dari hasil yang

ditunjukkan pada tabung keempat pada uji alkaloid dengan pereaksi dragendroff

menunjukkan hasil negatif dengan larutan tetap berwarna kuning. Hasil positif alkaloid

pada uji Dragendorff juga ditandai dengan terbentuknya endapan coklat muda sampai

kuning. Endapan tersebut adalah kalium-alkaloid. Pada pembuatan pereaksi

Dragendorff, bismut nitrat dilarutkan dalam HCl agar tidak terjadi reaksi hidrolisis

karena garam-garam bismuth mudah terhidrolisis membentuk ion bismutil (BiO+).

Berikut gambar reaksi yang terjadi:

Gambar 5.2. Reaksi Hidrolisis Bismut

Agar ion Bi3+ tetap berada dalam larutan, maka larutan itu ditambah asam sehingga

kesetimbangan akan bergeser ke arah kiri. Selanjutnya ion Bi3+ dari bismut nitrat

bereaksi dengan kalium iodida membentuk endapan hitam Bismut(III) iodida yang

40

Page 42: ANDROGRAFOLID MPBA

kemudian melarut dalam kalium iodida berlebih membentuk kalium

tetraiodobismutat (Svehla, 1990). Pada uji alkaloid dengan pereaksi Dragendorff,

nitrogen digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan K+ yang

merupakan ion logam (Miroslav, 1971).

Gambar 5.3. Reaksi Uji Dragendorff (Soerya,2005).

Setelah proses skrining, tahap selanjutnya dilakukan pencucian dengan n-heksan

yang bertujuan untuk purifikasi dengan menghilangkan klorofil yang terkandung dalam

ekstrak herba sambiloto. Digunakan n-heksan karena klorofil larut dalam n-heksan

sedangkan andrografolid tidak larut dalam n-heksan sehingga ketika proses purifikasi,

andrografolid tidak larut dan mengendap pada dasar cawan porselin. Selanjutnya,

purifikasi dilakukan dengan pencucian menggunakan etil asetat. Endapan yang tidak

larut n-heksan dicuci dengan etil asetat. Hasil pencucian yaitu endapan tidak larut etil

asetat dan larutan etil asetat diperiksa dengan KLT untuk melihat distribusi

andrografolid.

Keempat fraksi yang ditotolkan pada plat KLT yaitu fraksi etanol hasil maserasi,

fraksi tidak larut n-heksan, fraksi tidak larut etil asetat dan fraksi etil asetat. Berdasarkan

hasil, semua fraksi berisi spot yang diduga andrografolid namun masih banyak pengotor

yang ditunjukkan dengan adanya spot lebih dari satu. Dari keempat spot tersebut, fraksi

tidak larut etil asetat yang paling bersih, namun masih ada pengotor dibawah spot yang

diduga andrografolid. Oleh karena itu, perlu dicuci kembali dengan air panas untuk

menghilangkan pengtor dimana kelarutan andrografolid sangat rendah dalam air

sehingga diharapkan pengotor yang bersifat polar larut dalam air dan andrografolid

mengendap. Pada fraksi larut etil asetat, secara visual terlihat spot yang diduga

41

Page 43: ANDROGRAFOLID MPBA

andrografolid namun dengan jumlah penotolan yang sama dengan fraksi tidak larut etil

asetat, pada fraksi larut etil asetat lebih redup. Oleh sebab itu, fraksi yang dilanjutkan ke

tahap pemisahan selanjutnya adalah fraksi tidak larut etil asetat. Pada KLT hasil

pencucian dengan air panas, tidak terlihat spot yang diduga andrografolid, hal ini

mungkin disebabkan karena jumlah penotolan yang terlalu kecil yaitu 6 µL. Hal ini

menyebabkan sangat sedikitnya andrografolid yang berfluoresensi sehingga tidak

terlihat oleh mata.

Kemudian dilakukan pemisahan dengan kromatografi kolom lambat yang dimana

dapat digunakan untuk pemisahan pada satu sampel yang berupa campuran dengan

berat beberapa gram (Kristanti dkk., 2008). Prinsip Kromatografi kolom adalah suatu

teknik pemisahan yang didasarkan pada peristiwa adsorpsi. Sampel yang biasanya

berupa larutan pekat diletakkan pada ujung atas kolom. Eluen atau pelarut dialirkan

secara kontinu ke dalam kolom. Dengan adanya gravitasi atau karena bantuan tekanan,

maka eluen atau pelarut akan melewati kolom dan proses pemisahan akan terjadi

(Kristanti dkk., 2008). Pada kromatografi kolom lambat, aliran eluen hanya disebabkan

oleh gravitasi.

Fraksi pemisahan I (bagian yang tidak larut air) yang akan digunakan untuk

pemisahan, diuapkan pelarutnya terlebih dahulu. Ekstrak kental ini kemudian

direkonstitusi dengan metanol sampai larut dan diusahakan larutan yang dibuat sepekat

mungkin. Fase diam yang digunakan dalam kromatografi kolom lambat ini adalah silika

gel. Kolom yang digunakan memiliki tinggi 10 cm. Pembuatan kolom dilakukan dengan

cara basah karena pada umumnya cara basah lebih sering digunakan untuk pembuatan

kolom silika gel, sedangkan cara kering digunakan untuk pembuatan kolom alumina

(Kusmardiyani dan Nawawi, 1992). Pembuatan dengan cara basah juga bertujuan

supaya kolom yang terbentuk lebih kompak karena adsorben telah dibuat menjadi bubur

terlebih dahulu sehingga diharapkan terjadi pemisahan yang optimal. Bagian bawah

kolom diisi dengan glass wool untuk menahan adsorben (Kusmardiyani dan Nawawi,

1992). Glass wool ini berfungsi mencegah fase diam melewati kran yang dapat

menyumbat kran saat dilakukan pengelusian.Silika gel yang digunakan sebagai

adsorben sebanyak 7,449 gram. Silika gel ini dibuat bubur dengan cara melarutkannya

dengan kloroform. Kloroform dipilih karena untuk memberikan pelarut yang cenderung

non-polar. Dengan adanya pelarut non-polar, pengotor-pengotor non-polar yang melekat

42

Page 44: ANDROGRAFOLID MPBA

pada silika gel akan dialirkan bersama aliran eluen. Bubur yang telah terbentuk

dimasukkan sedikit demi sedikit secara kontinyu ke dalam kolom yang telah diisi

kloroform setinggi 10 cm melalui dinding kolom dan diusahakan tidak terbentuk

gelembung udara. Apabila terbentuk gelembung udara, kolom yang dihasilkan tidak

kompak dan proses pemisahan tidak optimum. Gelembung yang terbentuk dapat diatasi

dengan memukul-mukul dinding kolom secara perlahan. Setiap memasukan bubur silika

ke dalam kolom, dinding kolom diketuk-ketukkan agar lapisan adsorben yang terbentuk

benar-benar mampat (tidak ada gelembung udara). Selain itu, pada saat penuangan

bubur silika, bubur silika diaduk dan ditambahkan kloroform secara kontinyu untuk

menghindari keringnya silika. Silika yang menempel pada dinding kolom harus segera

dibilas dengan eluen untuk menghindari mengerasnya silika pada dinding kolom.

Kolom yang baik adalah kolom yang adsorbennya kompak dan tidak terdapat

gelembung udara didalamnya karena gelembung udara dan celah pada adsorben

mengakibatkan kolom akan pecah dan dapat mengganggu proses pemisahan. Saat

pengisian bubur silika gel ke dalam kolom, kran dibuka untuk mengalirkan eluen

dengan kecepatan tertentu dan dijaga supaya eluen tetap membasahi silika. Setelah

semua bubur dimasukkan ke dalam kolom, pada bagian atas silika diberi eluen kira-kira

setinggi 5 cm kemudian ditutup dengan plastik ikan dan aluminium foil untuk mencegah

keringnya silika selama penyimpanan. Kolom yang telah dibuat didiamkan selama satu

hari supaya kolom yang terbentuk lebih kompak dan proses pemampatan fase diam

menjadi lebih sempurna dan selama didiamkan harus terdapat sejumlah tertentu fase

gerak di bagian atas kolom untuk mencegah kering dan rusaknya kolom. Pecahnya

kolom atau fase diam yang mengering dapat mengganggu proses pemisahan, sehingga

pemisahannya tidak maksimal. Selain itu, kolom harus dalam keadaan tertutup rapat

agar tidak memungkinkan udara untuk masuk (Kristanti dkk., 2008).

Sebelum diisi cuplikan, kolom terlebih dahulu diekuilibrasi dengan 20 mL

klorofom supaya kolom tersebut lebih kompak. Pemisahan dengan kromatografi kolom

dilakukan dengan meletakkan campuran yang akan dipisahkan pada bagian atas kolom

adsorben yang berada dalam suatu tabung. Pelarut karena gaya berat dibiarkan mengalir

melalui kolom membawa serta pita linarut yang bergerak dengan kecepatan berbeda.

Linarut yang telah terpisah dikumpulkan berupa fraksi yang keluar dari bagian bawah

kolom (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992). Pengisian cuplikan dilakukan dengan

43

Page 45: ANDROGRAFOLID MPBA

memasukkan cuplikan ke dalam kolom dengan bantuan pipet secara hati-hati melalui

dinding kolom supaya tidak merusak kolom yang telah dibuat. Sampel yang menempel

pada dinding kolom dibilas dengan menggunakan eluen kloroform.

Elusi pertama dilakukan dengan mengalirkan pelarut kloroform. Kecepatan

penetesan eluat keluar dari kolom diatur konstan dan eluat yang keluar ditampung setiap

5 mL dengan cara manual menggunakan botol vial yang telah ditera terlebih dahulu.

Sedangkan elusi kedua menggunakan pelarut metanol. Kecepatan elusi tidak boleh

terlalu cepat sehingga senyawa berada dalam keseimbangan antara fase diam dan fase

gerak, sebaliknya jika kecepatan elusi ini terlalu kecil, maka senyawa-senyawa akan

terdifusi ke dalam eluen dan akan menyebabkan pita makin lama makin lebar yang

akibatnya pemisahan tidak dapat berlangsung dengan baik kecepatan elusi yang besar

dapat dilakukan jika yang akan dipisahkan adalah campuran senyawa yang memiliki

kepolaran yang sangat berbeda (Kristanti dkk., 2008).

Pemisahan dengan kolom kromatografi ini menghasilkan 3 fraksi, yaitu fraksi

klorofom dan metano I dan metanol II. Elusi dengan klorofom untuk bertujuan untuk

menghilangkan pengotor yang bersifat nonpolar dari ekstrak, sedangkan andrografolid

akan tertahan pada fase diam. Andrografolid bersifat mudah larut dalam methanol,

sehingga andrografolid akan terelusi dengan metanol (Kumoro, 2007). Fraksi klorofom

berwarna hijau pekat kehitaman, sedangkan fraksi metanol I dan metanol II berwarna

hijau kecoklatan.Masing – masing fraksi kemudian dianalisis dengan kromatografi lapis

tipis untuk melihat kemurniannya.

Hasil pemisahan kromatografi kolom lambat didapatkan 3 fraksi, yaitu fraksi

kloroform, fraksi metanol I, dan fraksi metanol II. Dari ketiga fraksi tersebut

selanjutnya diuji menggunakan metode kromatografi lapis tipis (KLT) untuk

mengetahui pada fraksi mana yang mengandung senyawa aktif andrografolid.

Pertama –tama disiapkan fase diam yaitu plat KLT silika gel GF254 yang dipotong

dengan ukuran 3,2 x 10 cm. Plat kemudian diberi batas atas dan bawah 0,5cm, batas

kanan dan kiri plat sebesar 1 cm, dan jarak antara penotolan fraksi sebesar 0,6 cm.

Setelah dipotong, plat dicuci dengan metanol dan diaktivasi pada suhu 110oC selama 15

menit. Tujuannya adalah untuk menghilangkan pengotor pada plat selama masa

penyimpanan dan mengaktifkan sisi aktif dari plat silika. Ketiga fraksi kemudian

diuapkan pelarutnya dan dilarutkan kembali dengan metanol lalu ditotolkan pada plat

44

Page 46: ANDROGRAFOLID MPBA

sebanyak 4 µL. Plat kemudian dielusi menggunakan fase gerak kloroform : metanol (9:1 v/v) sebanyak 10 mL dengan jarak pengembangan sebesar 8,5cm. Setelah dielusi, plat

diangin –anginkan dan diamati di bawah lampu UV 254 dan 366 nm.

Pada pengamatan dibawah UV 254 nm dapat diamati semua spot mengalami

pemadaman fluoresensi. Pada fraksi kloroform yang ditotolkan terlihat 3 spot yang

memiliki nilai Rf berturut –turut dari atas ke bawah 0,42 ; 0,73; dan 0,95. Pada fraksi

metanol I yang ditotolkan juga ditemui 3 spot dengan nilai Rf berturut –turut 0,42; 0,72;

dan 0,95. Sedangkan pada fraksi metanol II hanya ditemukan satu spot saja dengan nilai

Rf 0,44.

Pada pengamatan di bawah UV 366 nm, dapat diamati pada fraksi kloroform

terdapat dua spot yang masing –masing memiliki nilai Rf 0,14 dan 0,28. Sedangkan

pada fraksi metanol I ditemukan 4 spot yang memiliki nilai Rf berturut –turut sebesar

0,13; 0,19; 0,24; dan 0,29. Namun, pada fraksi metanol II tidak dijumpai adanya spot.

Berdasarkan data dari pustaka, andografolid mengalami pemadaman fluoresensi

pada UV 254 nm dan berfluoresensi biru di bawah UV 366 nm serta memiliki nilai Rf

0,36 pada sistem fase gerak kloroform : metanol (9:1 v/v). Sehingga dari hasil

pengamatan diduga, senyawa andrografolid berada pada fraksi kloroform dan metanol I.

Namun, adanya pengaruh lingkungan menyebabkan perbedaan pada nilai Rf yang

dihasilkan, yaitu berkisar antara 0,28 dan 0,29. Namun, fraksi kloroform dipilih untuk

dianalisis lebih lanjut karena dilihat dari pemisahan fraksi tersebut lebih baik dan

cenderung lebih sedikit terdapat pengotor karena spot yang dihasilkan terlihat lebih

bersih dibandingkan pada fraksi metanol I.

Berdasarkan hasil KLT terhadap standar kristal andrografolid (sampel 1), kristal

yang terbentuk dari fase kloroform (sampel 2), dan fase kloroform (sampel 3), dapat

disimpulkan bahwa sampel 2 merupakan andrografolid karena memiliki Rf yang mirip

dengan standar yaitu 0,4. Pada fase kloroform juga terdapat spot yang memiliki nilai Rf

yang sama dengan sampel 2 sehingga fase kloroform masih dapat dikristalisasi untuk

mendapatkan kristal.

Kristal yang terbentuk dari fase kloroform kemudian direkristalisasi menggunakan

metanol untuk mendapatkan kristal yang berwarna lebih bersih. Hal tersebut dilakukan

karena pembentukan kristal dari fase kloroform menghasilkan kristal yang berwarna

hijau karena masih tercampur dengan klorofil. Digunakan methanol sebagai pelarut

45

Page 47: ANDROGRAFOLID MPBA

karena andrografolid mudah larut dalam methanol sehingga membutuhkan volume kecil

untuk menjenuhkan pelarut dengan Kristal andrografolid. Larutan yang telah lewat

jenuh dengan proses pendinginan perlahan akan mengendapkan kembali Kristal-kristal

yang lebih bersih. Sebelum dilakukan proses pendinginan, larutan disaring terlebih

dahulu dalam keadaan panas bertujuan untuk memisahkan pengotor-pengotor tak larut.

Proses rekristalisasi memerlukan waktu 24 jam untuk pembentukan kembali kristal

karena dengan pendinginan yang perlahan dapat menghasilkan kristal yang lebih kecil

dan lebih putih karena pengotor (klorofil) tidak ikut terperangkap di dalam kisi kristal.

Apabila pendinginan dilakukan dengan cepat maka akan terbentuk kristal yang besar

namun masih menjerat pengotor sehingga harus dilakukan rekristalisasi kembali.

Identifikasi terhadap kristal yang diperoleh dilakukan uji kualitatif dengan

teknik KLT-Spektrodensitometri. Kristal yang diperoleh dilarutkan dengan metanol

kemudian ditotolkan pada plat KLT Silika Gel GF254. sebelum ditotolkan, plat

seharusnya terlebih dahulu dicuci dengan menggunakan metanol dan diaktivasi pada

suhu 1100C selama 30 menit, namun karena keterbatasan waktu langkah tersebut tidak

dilakukan. Proses pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan pengotor yang dapat

mengganggu proses pendeteksian analit dalam sampel, metanol dipilih karena sifatnya

yang mudah menguap serta merupakan pelarut universal dimana bisa melarutkan

senyawa baik polar maupun non polar. Sedangkan pengaktivasian bertujuan untuk

mengaktifkan sisi aktif dari plat silica GF254 yang digunakan serta menjaga kelembapan

pada plat. Penotolan diusahakan sekecil mungkin agar hasil bercak yang didapat tidak

melebar yang akan mengganggu proses scanning dan memungkinkan terjadinya

himpitan puncak (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992)

Sebelum dielusi dilakukan penjenuhan chamber yang bertujuan

menyeimbangkan tekanan uap dalam chamber sehingga proses pengelusian berjalan

dengan baik. Sebelum ditambahkan fase gerak, didalam chamber terlebih dahulu

diletakkan kertas saring sebagai penanda kejenuhan. Setelah dielusi plat dikeringkan

dengan cara diangin-anginkan. Tujuan dari pengeringan yaitu menguapkan sisa pelarut

yang masih terdapat pada plat KLT sehingga tidak menggangu proses scaning

denganspektrofotodensitometer. Selanjutnya plat dideteksi pada sinar UV 254 nm dan

366 nm untuk melihat spot yang terdapat. Dari hasil pengamatan pada UV 254 terlihat

1 spot yang sangat besar dan berwarna gelap (pemadaman fluoresensi) dengan Rf 0,62

46

Page 48: ANDROGRAFOLID MPBA

dan terdapat tailing. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pemisahan yang kurang

sempurna sehingga spot tidak memisah dengan baik dan menumpuk. Pada pengamatan

UV 366 nm tidak terlihat adanya spot. Andrografolid pada UV 366 akan berpendar biru

jika konsentrasinya mencukupi. Dalam hal ini tidak adanya pendaran biru mungkin

disebabkan kurangnya konsentrasi Andrografolid pada spot.

Selanjutnya dilakukan pengamatan menggunakan KLT-Densitometer. Prinsip

dari densitometer adalah berdasarkan penyerapan radiasi elektromagnetik sinar UV-Vis

dengan analit yang berupa noda pada plat. Scanning dilakukan pada rentang panjang

gelombang 200 sampai 400 nm. Andrografolid dapat dideteksi menggunakan

spektrofotodensitometer pada panjang gelombang UV-Vis karena andrografolid

memiliki gugus kromofor. Radiasi elektromagnetik yang mengenai analit akan diserap

oleh gugus kromofor dari analit dimana besarnya serapan dapat diukur. Radiasi

elektromagnetik yang diabsorpsi oleh analit atau indikator plat dapat diemisikan berupa

flouresensi dan fosforesensi (Sherma and Fried 1994). Pemadaman flouresensi indikator

F-254 dapat terjadi akibat adanya noda pada plat sehingga teramati di bawah lampu UV

sebagai noda hitam (Mulja dan Suharman, 1995).

Hasil dari KLT-Densitometri dicocokan dengan spektrum dan nilai Rf

berdasarkan pustaka dan reference data bank yang terdapat pada komputer untuk

mengetahui golongan kandungan kimia yang terdapat pada fraksi. Dari hasil scanning

diperoleh 3 puncak yaitu pada panjang gelombang 209 nm, 204 nm dan 234 nm. Pada

panjang gelombang 200-210 semua analit baik pengotor dan pelarut dapat terdeteksi,

sehingga puncak yang diduga andrografolid adalah puncak dengan panjang gelombang

234 nm yaitu spot 3. Berdasarkan pustaka panjang gelombang maksimum andrografolid

pada larutan etanol adalah 223 nm (Kumoro, 2007) dan 230 nm (Awal, 2011). Namun

Panjang gelombang maksimum dari spot juga sama dengan panjang gelombang

maksimum andrografolid pada reference data bank yang terdapat pada komputer yaitu

234-235 nm. Pola spektrum spot 3 sampel kristal juga memiliki kemiripan dengan pola

spektrum standar androfragolid pada reference data bank yang terdapat pada computer

sehingga dapat dikatakan bahwa kristal yang diperoleh merupakan andrografolid. Nilai

Rf yang diperoleh sebesar 0,58 dimana nilai tersebut berbeda dengan pustaka yang

mengatakan nilai Rf andrografolid dengan fase gerak kloroform : methanol (9:1) adalah

sebesar 0,36 (Awal, 2011).

47

Page 49: ANDROGRAFOLID MPBA

Gambar 5.4. Spektrum Spot 3 Hasil Scan

Gambar 5.5. Spektrum Standar Andrografolid pada reference data bank.

Terjadinya perbedaan panjang gelombang maksimum dan nilai Rf pada percobaan

dengan literatur mungkin dikarenakan perbedaan kondisi yang digunakan pada

praktikum dan saat penetapan panjang gelombang maksimum pada literatur seperti hal

nya suhu dapat juga mempengaruhi hasil absorbansi yang diperoleh, sehingga sebaiknya

identifikasi dilakukan dengan menggunakan standar baku andrografolid. Adanya 3

puncak pada spektrum menandakan bahwa kristal belum murni dan masih terdapat

pengotor sehingga untuk selanjutnya perlu dilakukan pemurnian terhadap kristal.

BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

6.1.1 Metode yang dapat digunakan dalam isolasi senyawa andrografolid dari herba

sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.)), diantaranya ekstraksi dengan

48

Standar Andrografolid

Page 50: ANDROGRAFOLID MPBA

metode maserasi, ekstraksi padat-cair, kromatografi kolom lambat dan

rekristalisasi.

6.1.2 Identifikasi senyawa andrografolid dari herba sambiloto (Andrographis

paniculata (Burm.f.)), dapat dilakukan dengan skrining fitokimia dengan

melihat hasil positif pada pengujian terpenoid dan metode KLT-Densitometer

dengan cara membandingkan pola spectrum serta nilai Rf dengan pustaka

yang tersedia.

6.2 Saran

Saran penulis untuk praktikum selanjutnya adalah bila memungkinkan

sebaiknya digunakan standar androgafolid dalam identifikasi sehingga dapat dihitung

nilai kemurian isolat androgafolid yang didapat.

49