Upload
ida-ayu-risca
View
302
Download
22
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN PRAKTIKUM METODE PEMISAHAN BAHAN ALAM
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI KANDUNGAN TERPENOID DARI HERBA
SAMBILOTO (Andrographis paniculata (Burm.f.) )
KELOMPOK PRAKTIKUM : 2
Rabu, 15 Januari 2014
Disusun Oleh :
Ida Ayu Risca Wulansari 1008505018
I Gede Pasek Winantara Putra 1008505020
Putu Pebri Cahyana 1008505021
Ni Wayan Restika Novianti 1008505022
Luh Rasmita Dewi 1008505024
Ni Made Gitarini 1008505028
Ni Putu Mita Juniari 1008505029
Ida Bagus Putu Nata Kusuma 1008505037
Laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia
Jurusan Farmasi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Udayana
2014
0
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan tanaman obat, dan sangat potensial
untuk dikembangkan. Berdasarkan hasil penelitian, dari sekian banyak jenis tanaman
obat, baru 20-22% yang dibudidayakan. Sedangkan sekitar 78% diperoleh melalui
pengambilan langsung (eksplorasi) dari hutan. Potensi tanaman obat di Indonesia,
termasuk tanaman obat kehutanan, apabila dikelola dengan baik akan sangat bermanfaat
dari dalam bidang kesehatan dan industri kefarmasian. Negara berkembang mempunyai
peranan penting dalam penyediaan bahan baku produk farmasi (38% untuk medical dan
aromatic plants, 24% untuk vegetables saps dan extract, dan 11% untuk vegetables
alkaloids) (Dephut, 2010).
Salah satu tanaman yang banyak digunakan sebagai pengobatan adalah sambiloto.
Sambiloto atau Andrographis paniculata (Burm.f.) atau yang dikenal king of bitter,
yang tergolong family Acanthaceae, merupakan salah satu tanamn obat yang telah
banyak digunakan untuk pengobatan tradisional di India, Cina, Thailand, Jepan,
Scandinavia, Malaysia, dan Indonesia. Secara kimia sambiloto mengandung diterpena,
flavonoid, stigmasterol, alkane, keton, aldehid, mineral (kalsium, natrium, kalium),
asam kersik, dan damar. Komponen utamanya adalah andrografolid, yang merupakan
senyawa diterpen lakton yang memiliki berbagai aktivitas farmakologis, yang banyak
terdapat pada bagian daun dan batang (Rosidah dkk., 2012).
Sambiloto mempunyai berbagai macam manfaat bagi kesehatan manusia.
Berbagai efek farmakologi dari sambiloto adalah antiinflamasi, antibakteri, antipiretik,
antioksidan, antiparasitik, hepatoprotektif, dan antidiabetes (Kumar et al., 2012). Hal
tersebut menunjukkan bahwa sambiloto dapat digunakan untuk mengobati beberapa
penyakit, seperti hepatitis, demam, influenza, dan disentri (Dalimartha, 2006). Beberapa
dari hasil penelitian secara empiris, sambiloto dapat menurunkan kadar lipid dalam
darah (Dzulkarnain dkk., 1996). Di samping itu, tanaman ini juga mempunyai potensi
yang besar sebagai sumber hayati untuk keperluan biopharmaceutical industry serta
dapat dikembangkan dalam industri fitofarmaka (Adelyna, 1999). Telah diketahui juga
bahwa ekstrak terpurifikasi Andrographis paniculata (Burm. f.) Nees dan isolatnya
1
(andrografolid) dapat menurunkan kadar trigliserida dan LDL pada tikus yang diberi
diet tinggi fruktosa dan lemak namun tidak menunjukkan penurunan kadar kolesterol
secara signifikan (Nugroho et al, 2012).
Kandungan senyawa yang ditemukan pada keseluruhan tanaman, daun dan
batang yang diekstraksi dengan etanol atau metanol mengandung lebih dari 20
diterpenoid dan lebih dari 10 flavonoid. Andrografolid adalah diterpenoid utama yang
kandunganya paling banyak dan juga merupakan senyawa fitokimia paling aktif dalam
sambiloto. Selain Andrografolid, senyawa lain yang terdapat di dalam sambiloto adalah
deoksiandrografolid-19-β-D-glukosida dan neo-andrografolid yang keseluruhannya
diisolasi dari daun, 14-deoksi-11,12-didehydroandrografolid (andrografolid- D),
homoandrografolid, andrografan, andrografon, andrografosterin, dan stigmasterol
(Siripong et al, 1992).
Banyaknya kandungan kimia yang terkandung dalam sambiloto, menyebabkan
perlunya dilakukan suatu proses pemisahan, isolasi serta identifikasi untuk mendapatkan
senyawa tunggal berupa andrografolid. Hal inilah yang melatarbelakangi pentingnya
dilakukan suatu pemisahan, isolasi, dan identifikasi senyawa andrografolid dalam
tanaman sambiloto (Andrographis paniculata (Burm. f.) Nees).
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana cara mengisolasi andrografolid dari matriks yang terdapat pada herba
sambiloto?
1.2.2 Bagaimana metode identifikasi andrografolid pada herba sambiloto ?
1.3 Modifikasi Sederhana yang Ditampilkan
Modifikasi yang dilakukan pada praktikum kali ini adalah setelah maserasi ekstrak
diuapkan hingga menjadi ekstrak kental kemudian dicuci menggunakan n-hexane dan
etil asetat. Dilakukan KLT untuk mengetahui pengotor yang masih ada dan dicuci
kembali dengan pelarut yang dapat meghilangkan pengotor tersebut.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Terpenoid
Senyawa terpenoida berasal dari unit C5 yang disebut dengan unit isoprene
(CH2=C(CH3)-CH=CH2). Unit C5 ini dinamakan demikian karena kerangka karbonnya
sama seperti senyawa isopren.
Gambar 2.1. Kerangka Unit Isopren (Achmad, 1986)
Terpenoid dibagi – bagi menjadi beberapa golongan berdasarkan jumlah satuan
unit C5 yang terdapat di dalam senyawa tersebut; dua (C10), tiga (C15), empat (C20), enam
(C30), atau delapan (C40) satuan. Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa, mulai
dari komponen minyak atsiri, yaitu monoterpenoida dan seskuiterpenoida yang mudah
menguap (C10 dan C15), diterpen yang lebih suka rmenguap (C20), sampai senyawa yang
tidak menguap, yaitu triterpenoid dan sterol (C30), serta pigmen karotenoida (C40).
(Harborne,1987). Secara umum biosintesa dari terpenoid melalui 3 reaksi dasar yaitu :
1. Pembentukan isoprene aktif berasal dari asam asetat melalui asam mevalonat.
2. Penggabungan kepala dan ekor unit isoprene akan membentuk mono-, seskui-, di-,
sester-, dan politerpenoid.
3. Penggabungan ekor dan ekor dari unit C15 atau C20 menghasilkan triterpenoid dan
steroid.
Senyawa terpenoid dapat dikelompokkan sebagai berikut :
No Jenis Senyawa Jumlah atom karbon Sumber
1 Monoterpenoid 10 Minyak atsiri
2 Seskuiterpenoid 15 Minyak atsiri
3 Diterpenoid 20 Resin pinus
4 Triterpenoid 30 Damar
3
5 Tetraterpenoid 40 Zat warna karoten
6 Politerpenoid >40 Karet alam
(Lenny, 2006)
Sifat umum Terpenoid :
- Sifat fisika dari terpenoid adalah :
1) Dalam keadaan segar merupakan cairan tidak berwarna, tetapi jika
teroksidasi warna akan berubah menjadi gelap
2) Mempunyai bau yang khas
3) Indeks bias tinggi
4) Kebanyakan optik aktif
5) Kerapatan lebih kecil dari air
6) Larut dalam pelarut organik : eter dan alkohol
- Sifat Kimia dari terpenoid adalah :
1) Senyawa tidak jenuh (rantai terbuka ataupun siklik)
2) Terpenoid kebanyakan bentuknya khiral dan terjadi dalam dua bentuk
enantiomer.
(Lenny, 2006)
2.1.1 Diterpenoid
Diterpenoid merupakan senyawa C20 yang berasal dari empat satuan isoprenoid.
Karena titik didihnya yang tinggi biasanya diterpenoid tidak ditemukan dalam minyak
atisri tumbuhan. Diterpenoid mencakup beberapa senyawa dari segi fisiologi sangat
menarik seperti golongan hormone tumbuhan yang dikenal sebagai giberelin. Seperti
seskuiterpenoid, diterpenoid mencakup banyak senyawa yang bekerja sebagai fungisida,
racun terhadap hewan, penolak serangga dan sebagainya. Senyawa ini dapat bersifat
karsinogen.
Beberapa senyawa ini mempunyai efek racun atau efek penolakan terhadap
serangga sementara senyawa lainnya menarik serangga. Beberapa senyawa mempunyai
aktivitas antivirus dan sebagai fungisida. Satu senyawa dari kemangi mempunyai
aktivitas hormon remaja. Partenolida dari Parthenum tanacetum berguna untuk
mengobati migraine karena menghambat pelepasan serotonin. Andrografolid merupakan
4
senyawa diterpenoid dari tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata) yang
mempunyai aktivitas sebagai antihiperlipidemia ( Nugroho, 2012). Senyawa diterpenoid
dapat berbentuk asiklik, bisiklik, trisiklik dan tetrasiklik (Lenny, 2006)
Gambar 2.2. Struktur Dasar Diterpenoid (Breitmaier, 2006)
2.2 Sambiloto (Andrographis paniculata)
2.2.1 Klasifikasi Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata)
Kingdom : Plantae
Superdivisi : Spermatopita
Divisi : Angiospermae
Kelas : Dikotiledon
Ordo : Personales
Famili : Acanthaceae
Genus : Andrographis
Spesies : Andrographis paniculata
(Sivananthan and Elamaran, 2013)
Gambar 2.3. Andrographis paniculata (Sivananthan and Elamaran, 2013)
2.2.2 Morfologi Tanaman
5
Andrographis paniculata diduga berasal dari India dan dikenal sebagai Chirayetah
dan Kalmegh dalam bahasa Urdu dan Bahasa Hindi. Tanaman ini termasuk tanaman
menahun, tingginya mencapai 1-3 kaki. Andrographis paniculata merupakan salah satu
yang paling sering tanaman yang digunakan dalam sistem tradisional Unani dan obat-
obatan Ayurveda (Akbar, 2011). Di India, Andrographis paniculata merupakan
tumbuhan liar yang digunakan untuk mengobati penyakit disentri, diare, atau malaria.
Hal tersebut tercantum dalam Indian Pharmacopeia dan tercatat paling sedikit dalam 26
formula Ayurveda. Dalam Traditional Chinese Medicine (TCM), Andrographis
paniculata sering digunakan sebagai ”cold property” untuk menurunkan panas serta
sebagai “blood purifying” untuk membersihkan racun-racun di dalam tubuh.
Selanjutnya tanaman ini terus menyebar ke daerah Asia hingga akhirnya sampai di
Indonesia (Widyawati, 2007).
Umumnya Andrographis paniculata tumbuh di tempat-tempat terbuka yang teduh
dan agak lembab, seperti kebun, tepi sungai, semak, atau rumpun bambu. Tanaman
Andrographis paniculata merupakan terna yang tumbuh tegak, tinggi 40 cm sampai 90
cm, percabangan banyak dengan letak yang berlawanan, cabang berbentuk segi empat
dan tidak berambut. Memiliki batang berkayu berbentuk bulat dan segi empat dan
bercabang banyak (monopodial). Daun tunggal saling berhadapan, berbentuk pedang
(lanset) dengan tepi rata (integer) serta permukaan yang halus dan berwarna hijau.
Bunganya berwarna putih keunguan, berbentuk jorong (bulan panjang) dengan pangkal
dan ujung lancip (Widyawati, 2007). Panjang daun 3 cm sampai 12 cm dan lebar 1 cm
sampai 3 cm, panjang tangkai daun 5 mm sampai 25 mm, daun di bagian atasnya
sebagai daun pelindung. Perbungaan tegak bercabang-cabang, gagang bunga 3 mm
sampai 7 mm, panjang kelopak bunga 3 mm sampai 4 mm, bunga berbibir berbentuk
tabung panjang 6 mm, bibir bunga bagian atas berwarna putih dengan warna kuning di
bagian atasnya, bibir bunga bawah lebar, berwarna ung. Bentuk buah jorong dengan
ujung yang tajam, bila tua akan pecah menjadi 4 bagian (Depkes RI, 1979).
Di beberapa daerah di Indonesia, Andrographis paniculata dikenal dengan
beberapa nama tergantung daerah tempat tumbuhnya. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
Andrographis paniculata disebut dengan nama bidara, sambiroto, sadilata, takilo,
sambiloto, sandiloto dan paitan. Sebagian besar masyarakat Melayu dan Sumatera
menyebutnya dengan ampadu atau pepaitan. Di Jawa Barat disebut dengan takila,
6
kioray, atau kipeurat. Di Bali lebih dikenal dengan samiroto. Selain itu, terdapat pula
nama lain Andrographis paniculata di negara lain, yaitu: green chiretta dan king of
bitter (Inggris); kirayat, kalmegh, dan kirata (India); quasabhuva (Arab); congcong dan
xuyen tam lien (Vietnam); nainehavandi (Persia); serta yi jian xi, chuan xin lian, dan lan
he lian (Cina) (Widyawati, 2007).
Semua bagian tanaman Andrographis paniculata, seperti daun, batang, bunga,
dan akar, memiliki rasa sangat pahit. Rasa pahit ini diduga ini berasal dari andrografolid
yang terkandung di dalamnya. Bagian tanaman yang sering digunakan dalam
pengobatan adalah herba tanaman. Bagian akar dapat pula digunakan namun masih
memerlukan penelitian lebih lanjut (Akbar, 2011). Namun bagian yang paling sering
digunakan sebagai bahan ramuan obat tradisional adalah bagian daun dan batangnya
(Widyawati, 2007). Dalam pengobatan tradisional, Andrographis paniculata digunakan
dalam bentuk infuse, dekok, dan serbuk baik dengan pemakainan tunggal maupun
kombinasi dengan tanaman herbal lainnya (Akbar, 2011).
2.2.3 Kandungan Kimia
Secara umum Andrographis paniculata mengandung diterpen lakton, dan
flavonoid. Terkandung 3 jenis diterpen lakton pada Andrographis paniculata yaitu
andrografolid, neoandrografolid dan deoksiandrografolid (Wongkittipong et al, tt)
Kandungan tersebut terutama terdapat pada bagian akar, namun dapat pula diisolasi
dari daun. Herba ini mengandung alkana, keton, dan aldehida. Awalnya pahit zat yang
terkandung dalam daun diduga merupakan lakton andrografolid. Penyelidikan
selanjutnya menunjukkan bahwa pada daun terdapat 2 zat pahit, yaitu andrografolid dan
senyawa lain bernama kalmegin. Empat jenis lakton diisolasi dari herba Andrographis
paniculata di China. Dua jenis lakton telah terdeteksi dalam daun dan enam jenis
diterpenoid dari jenis ent-labdane, yaitu dua glukosida diterpen dan 4 diterpen dimer
telah diisolasi dari herba tersebut. Dua jenis flavonoid diidentifikasi sebagai 5,7,2',3'-
tetrametoksiflavanon dan 5-hidroksi-7,2',3'-trimetoksiflavon telah diisolasi dari seluruh
bagian tanaman, sementara 12 flavonoid baru dan 14 diterpenoid telah dilaporkan
terdapat pada herba Andrographis paniculata. Dua flavonoid glikosida baru dan
diterpenoid baru (asam andrografik) telah dilaporkan, dan 2 diterpenoid glikosida ent-
labdane baru telah diisolasi dari herba ini (Akbar, 2011)
7
2.3 Senyawa Andrografolid
Andrografolid merupakan senyawa aktif utama dari tanaman sambiloto.
Andrografolid terkandung paling banyak di daun (kurang lebih 2,39 %) dan paling
sedikit pada biji (Sharma dkk., 1992). Menurut Kumoro (2007) andrografolid
merupakan senyawa yang masuk dalam grup trihidroksilakton memiliki rumus molekul
C20H30O5. Struktur molekul andrografolid dapat terlihat pada gambar 4 berikut:
Gambar 2.4. Struktur Molekul Andrografolid (Kumoro, 2007)
Andrografolid bersifat mudah larut dalam metanol, etanol, pyridine, asam asetat,
dana ceton, tetapi sedikit larut dalam ether dan air. Secara fisika, andrografolid memiliki
titik leleh 228-230oC dan spektrum ultraviolet dalam etanol λ maskimal 223 nm
(Kumoro, 2007).
Andrografolid dan kalmeghin bertanggung jawab terhadap rasa pahit pada
tanaman sambiloto. Selain andrografolid, terdapat senyawa lakton lainnya yang
ditemukan pada sambiloto, antara lain : deoksiandrografolid-19-β-D-glukosa, neo-
andrografolid (yang keseluruhannya diisolasi dari daun) (Chem dan Liang, 1982), 14
deoksi-11,12-didehidroandrografolid (andrografolid D), homoandrografolid,
andrografan, andrografon, andrografosterin, dan stigmasterol (Siripong dkk., 1992).
Beberapa penelitian terkait khasiat andrografolid, Handa dan Sharma (1990)
mengungkapkan andrografolid mampu menetralkan racun yang terdapat di dalam hati
tikus yang diinduksi parasetamol dan galaktosamin. Penelitian ini diperkuat oleh
Sarawat B. dkk. (1995) dan Visen dkk. (1993) yang menyatakan andrografolid mampu
memproteksi hati tikus yang berturut-turut diinduksi dengan galaktosamin dan
parasetamol.
8
Mishra (1992) melaporkan ekstrak sambiloto dapat menghambat pertumbuhan
Plasmodium berghei. Ekstrak metanol, kloroform dan petroleum eter dari sambiloto
juga dilaporkan mempunyai daya hambat terhadap pertumbuhan Plasmodium
falciparum in vitro pada stadium shizontosida (Widyawaruyanti, 1999). Sementara
Widyowati (2003) menyatakan bahwa isolat sambiloto mampu menghambat
pertumbuhan Plasmodium falciparum pada stadium gametosit in vitro.
Penggunaan andrografolid yang diekstrak menggunakan metanol dalam terapi
kombinasi berbasis artemisinin telah diteliti oleh Mishra (2011). Mereka menyatakan
bahwa andrografolid bersinergi baik dengan kurkumin dan artesunat. Secara in vivo,
andrografolid-kurkumin memiliki aktivitas anti malaria 81% lebih tinggi dibandingkan
kontrol dan mampu memperpanjang umur hingga 2-3 kali.
2.4 Ekstraksi, Isolasi dan Identifikasi Metabolit Sekunder dari BahanAlam
Ekstraksi adalah proses pengambilan komponen yang larut dari bahan atau
campuran dengan menggunakan pelarut seperti air, alkohol, eter, aseton dan sebagainya.
Metode ekstraksi yang dipilih untuk mendapatkan senyawa bahan alam tergantung
kepada jenis sampel tumbuhan dan jenis senyawa yang ada. Terutama tergantung pada
keadaan fisik senyawa tersebut misalnya senyawa berupa cairan yang mudah menguap
(Harbone,1987).
Secara umum ekstraksi senyawa metabolit sekunder dari seluruh bagian tanaman
seperti bunga, buah, daun, kulit batang, dan akar menggunakan sistem maserasi
menggunakan pelarut organik polar seperti metanol. Beberapa metode ekstraksi
senyawa bahan alam yang umum digunakan antara lain maserasi, perkolasi, sokletasi,
digesti, destilasi uap (Darwis, 2000).
Hasil yang diperoleh berupa ekstrak yang mana seluruh senyawa bahan alam yang
terlarut dalam pelarut yang digunakan berada pada ekstrak kini. Penentuan jumlah
komponen senyawa dapat dideteksi dengan kromatografi lapis tipis (KLT) dengan
menggunakan plat KLT yang sudah siap pakai. Terjadinya pemisahan komponen-
komponen pada plat KLT dengan Rf tertentu dapat dijadikan sebagai panduan untuk
memisahkan komponen kimia tersebut dengan menggunakan kolom kromatografi dan
sebagai fase diam dapatdigunakan silika gel dan eluen yang digunakan berdasarkan
hasil yang diperoleh dari KLT dan akan lebih baik jika kepolaran eluen pada kolom
9
kromatografi sedikit dibawah kepolaran eluen pada KLT. Pemilihan eluen sebaiknya
dimulai dari pelarut organik yang tidak polar seperti heksana dan peningkatan kepolaran
dengan etil asetat atau pelarut yang lebih polar lainnya (Harbone, 1987)
2.4.1 Maserasi
Istilah maceration berasal dari bahasa latin macerare, yang artinya adalah
“merendam”. Maserasi merupakan proses ekstraksi paling tepat dimana obat yang sudah
halus memungkinkan untuk direndam dalam pelarut sampai meresap dan melunakkan
susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan terlarul di dalamnya (Ansel, 1989).
Maserasi merupakan cara penyarian yang paling sederhana yang dilakukan dengan
meredam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa hari pada temperatur
kamar dan terlindung dari cahaya, dimana cairan penyari akan masuk kedalam sel
melewati dinding sel (Sudjadi, 2008).
Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia yang mengandung
komponen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin,
tiraks dan lilin. Pada teknik maserasi, cairan penyari akan masuk kedalam sel melalui
dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan
didalam sel dan diluar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan
diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah melalui proses difusi. Peristiwa
tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan didalam sel
dan diluar sel. Selama proses maserasi, dilakukan pengadukan dan penggantian cairan
penyari setiap hari. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan.
(Gandjar dan Rohman, 2007)
Kecuali dinyatakan lain, maserasi dilakukan sebagai berikut: sepuluh bagian
simpilisia atau campuran simplisia dengan derajat halus yang cocok dimasukkan di
dalam bejana, lalu dituangi 75 bagian penyari, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari
terlindung dari cahaya sambil sering diaduk. Setelah 5 hari campuran tersebut diserkai,
diperas, dicuci ampasnya dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 100
bagian. Lalu maserat dipindah dalam bejana tertutup dan dibiarkan di tempat sejuk,
terlindung dari cahaya selama 2 hari, maserat disaring. Kemudian maserat disuling atau
diuapkan pada tekanan rendah pada suhu tidak lebih dari 500 hingga konsistensi yang
10
dikehendaki. Maserat dipanasi pada suhu 900 untuk mengendapkan protein agar sediaan
tahan lama (Anief, 1997).
Keuntungan dari metode ini yaitu unit alat yang dipakai sederhana, (hanya
dibutuhkan bejana perendam), biaya operasionalnya relatif rendah. prosesnya relatif
hemat penyari, tanpa pemanasan. Kelemahan dari metode ini yaitu proses penyariannya
tidak sempurna, karena zat aktif hanya mampu terekstraksi sebesar 50% saja, prosesnya
lama, butuh waktu beberapa hari (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992).
2.4.2 Skrining Fitokimia
Sebelum melakukan isolasi terhadap suatu senyawa kimia yang diinginkan dalam
suatu tumbuhan maka perlu dilakukan identifikasi pendahuluan kandungan senyawa
metabolit sekunder yang ada pada masing-masing tumbuhan, sehingga dapat diketahui
kandungan senyawa yang ada secara kualitatif dan mungkin juga secara kuantitatif
golongan senyawa yang dikandung oleh tumbuhan tersebut (Darwis, 2000)
Skrining fitokimia merupakan langkah awal yang dapat membantu untuk
memberikan gambaran tentang golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman
yang sedang diteliti serta ada atau tidaknya senyawa kimia tertentu dalam tumbuhan
tersebut yang dapat dikaitkan dengan aktivitas biologinya. Secara umum dapat
dikatakan bahwa metodenya sebagian besar merupakan reaksi pengujian warna dengan
suatu pereaksi warna. (Kristanti dkk., 2008).
A. Pemeriksaan alkaloid
Sebanyak 2 mL larutan ekstrak uji diuapkan diatas cawan porselin hingga diperoleh
residu. Residu kemudian dilarutkan dengan 5 mL HCL 2N.Larutan yang didapat
kemudian di bagi ke dalam 3 tabung reaksi. Tabung pertama ditambahkan dengan asam
encer yang berfungsi sebagai blanko. Tabung kedua ditambahkan pereaksi Dragendroff
sebanyak 3 tetes dan tabung ketiga ditambahkan pereaksi Mayer sebanyak 3 tetes.
Terbentuknya endapan jingga pada tabung kedua dan endapan kuning pada tabung
ketiga menunjukkan adanya alkaloid (Farnsworth, 1966).
B. Pemeriksaan saponin
Sebanyak 10 mL larutan ekstrak uji dalam tabung reaksi dikocok vertikal selama 10
detik kemudian dibiarkan selama 10 detik.Pembentukan busa setinggi 1-10 cm yang
11
stabil selama tidak kurang dari 10 menit, menunjukkan adanya saponin. Pada
penambahan 1 tetes HCL 2N, busa tidak hilang (Depkes RI, 1995).
C. Pemeriksaan tanin dan polifenol
Sebanyak 3 mL larutan ekstrak uji dibagi kedalam 3 bagian yaitu tabung A, tabung
B, tabung C. Tabung A digunakan sebagai blanko, tabung B direaksikan dengan larutan
besi (III) klorida 10%, warna biru tua atau hitam kehijauan menunjukkan adanya tanin
dan polifenol, sedangkan pada tabung C hanya ditambahkan garam gelatin. Apabila
terbentuk endapan pada tabung C maka larutan ekstrak positif mengandung tanin
(Robinson, 1991; Marliana dkk, 2005).
D. Pemeriksaan steroid dan triterpenoid
Pemeriksaan steroid dan triterpenoid dilakukan dengan reaksi Liebermamn-
Burchard. Sebanyak 2 mL larutan uji diuapkan dalam cawan penguap. Residu
dilarutkan dengan 0,5 mL kloroform, kemudian ditambahkan 0,5 mL asam asetat
anhidrat. Selanjutnya ditambahkan 2 mL asam sulfat pekat melalui dinding tabung.
Terbentuknya cincin kecoklatan atau violet pada perbatasan larutan menunjukkan
adanya triterpenoid, sedangkan bila muncul cicin biru kehijauan menunjukkan adanya
steroid (Ciulei, 1984).
Kesulitan dalam skrining fitokimia adalah adanya reaksi positif palsu (false-positive
resulte), dimana komposisi campuran senyawa yang terkandung dalam tanaman dapat
memberikan hasil positif meskipun senyawa yang diuji tidak terdapat dalam tanaman
tersebut (Kristanti dkk, 2008).
2.4.3 Ekstraksi Cair-cair
Ekstrasi pelarut merupakan suatu teknik dimana suatu larutan (biasanya dalam
bentuk air) dibuat bersentuhan dengan suatu pelarut kedua (biasanya organic) yang pada
hakikatnya tak tercampurkan dengan pelarut pertama dan menimbulkan perpindahan
satu atau lebih zat terlarut (solute) ke dalam pelarut kedua. (Basset , J.dkk, 1994)
Ekstrasi pelarut digunakan sebagai cara untuk pra perlakuan sampel atau clean up
sample untuk memisahkan analit-analit dari komponen-komponen matriks yang
mungkin menggangu pada saat kuantifikasi atau deteksi analit. Disamping itu, ekstrasi
pelarut juga digunakan untuk memekatkan analit yang ada dalam sampel dengan jumlah
12
kecil sehingga tidak memungkinkan atau menyulitkan deteksi atau kuantifikasinya.
(Gandjar dan Rohman,2007)
Untuk memahami prinsip-prinsip dasar ekstrasi, harus terlebih dahulu dibahas
berbagai istilah yang digunakan untuk menyatakan keefektifan pemisahan. Untuk suatu
zat terlarut A yang didistribusikan diantara dua fase tak tercampurkan antara a dan b,
hukum distribusi (atau partisi) Nernst menyatakan bahwa, asal keadaan molekulnya
sama dalam kedua cairan dan temperature adalah konstan :
Konsentrasi zat terlarut dalam pelarut a = [A]a = Kd
Konsentrasi zat terlarut dalam pelarut b [A]b
Dimana Kd adalah sebuah tetapan yang dikenal sebagai koefisien distribusi
(koefisien partisi). Hukum seperti ini, secara termodinamis tidaklah benar-benar tepat
(misalnya, tidak diperhitungkan aktivitas dari bebagai spesi itu dan karenanya
diharapkan hanya berlaku pada larutan encer dimana angka banding aktivitas itu
mendekati satu), tetapi merupakan suatu pendekatan yang berguna. Hukum ini dalam
bentuknya yang sederhana, tak berlaku bila spesi yang didistribusikan itu mengalami
asosiasi, disosiasi dalam salah satu fase tersebut. Pada penerapan praktis ekstrasi pelarut
ini, kita terutama memperhatikan fraksi zat terlarut total dalam fase yang satu dengan
fase yang lainnya, tak peduli bagaimanapun cara-cara disosiasi, asosiasi atau
interaksinya dengan spesi-spesi lain yang terlarut. Untuk memudahkan, diperkenalkan
istilah angka banding distribusi (D) atau koefisien ekstraksi (E).
Dimana lambang CA menyatakan konsentrasi A dalam bentuknya seperti yang
telah ditetapkan secara analitis.
Efisiensi proses ekstrasi tergantung pada nilai distribusinya (D) dan tergantung
juga pada volume relative kedua fase. Dengan menggunakan ekstrasi, banyaknya analit
yang terekstrasi dapat dihitung dengan rumus berikut :
Vorg dan Vaq masing-masing merupakan banyaknya volume fase organic dan fase air
yang digunakan.D merupakan rasio distribusi. Pada analit dengan nilai D yang kecil,
13
adanya ekstrasi yang berulang (bertingkat) akan meningkatkan efisiensi ekstrasi. Rumus
yang digunakn untuk ekstrasi bertingkat adalah :
Dimana C aq : banyaknya analit dalam fase air mula-mula
(Caq)n : banyaknya analit dalam fase air setelah n kali ekstrasi
V org : banyaknya volume fase organic
V aq : banyaknya volume fase cair
n : banyaknya (frekuensi) ekstrasi
Kebanyakan ekstrasi dilakukan dengan menggunakan corong pisah dalam waktu
beberapa menit. Akan tetapi untuk efektifitas ekstrasi analit dengan rasio distribusi yang
kecil (<1), ekstraksi hanya dapat dicapai dengan mengenakan pelarut baru pada larutan
sampel secara terus menerus. Hal ini dapat dilakukan dengan refluks menggunakan alat
yang digunakan khusus.
Pelarut yang dipakai untuk ekstrasi pelarut adalah : mempunyai kelarutan yang
rendah dalam air (<10%), dapat menguap sehingga memudahkan penghilangan pelarut
organik setelah dilakukan ekstraksi, dan mempunyai kemurnian yang tinggi untuk
meminimalkan adanya kontaminasi sampel. (Basset,J.dkk, 1994)
2.4.4 Kromatografi Lapis Tipis(KLT)
Kromatografi lapis tipis digunakan untuk pemisahan secara cepat, dengan
menggunakan zat penyerap berupa serbuk halus yang dilapiskan serba rata pada
lempeng kaca. Lempeng yang dilapis dapat dianggap sebagai “kolom kromatografi
terbuka” dan pemisahan dapat didasarkan pada penyerapan, pembagian, atau
gabungannya, tergantung dari jenis zat penyerap dan cara pembuatan lapisan zat
penyerap dan jenis pelarut. Harga Rf yang diperoleh kromatografi lapis tipis tidak tetap,
karena itu lempeng yang sama disamping kromatogram zat yang diuji perlu dibuat
kromatogram zat pembanding kimia. Perbandingan ukuran bercak secara visual atau
densitometry dapat digunakan untuk memperkirakan kadar (Depkes RI, 1979).
Fenomena yang terjadi pada KLT adalah berdasarkan pada prinsip adsorpsi.
Setelah sampel ditotolkan di atas fasa diam, senyawa-senyawa dalam sampel akan
terelusi dengan kecepatan yang sangat bergantung pada sifat senyawa-senyawa tersebut
(kemampuan terikat pada fasa diam dan kemampuan larut dalam fasa gerak), sifat fasa
14
diam (kekuatan elektrostatis yang menarik senyawa di atas fasa diam) dan sifat fasa
gerak (kemampuan melarutkan senyawa). Pada KLT, secara umum senyawa-senyawa
yang memiliki kepolaran rendah akan terelusi lebih cepat daripada senyawa-senyawa
polar karena senyawa polar terikat lebih kuat pada bahan silika yang mengandung
silanol (SiOH2) yang pada dasarnya memiliki afinitas yang kuat terhadap senyawa polar
(Kristanti dkk., 2008).
Parameter pada KLT yang digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf. Rf
dikarakterisasi dengan jarak migrasi solut terhadap jarak ujung fase geraknya. Faktor
retardasi solut (Rf) didefinisikan sebagai:
Nilai maksimum Rf adalah 1 dan ini dicapai ketika solut mempunyai
perbandingan distribusi (D) dan faktor retensi (k’) sama dengan 0 yang berarti solut
bermigrasi dengan kecepatan yang sama dengan fase gerak. Nilai minimum Rf, adalah 0
dan ini teramati jika solut tertahan pada posisi titik awal di permukaan fase diam
(Gandjar dan Rohman, 2007).
2.4.5 Kromatografi Kolom Lambat
Pada proses pemisahan dengan Kromatografi kolom lambat, campuran yang akan
dipisahkan diletakkan pada bagian atas kolom adsorben yang berada dalam suatu
tabung. Pelarut sebagai fase gerak karena gaya berat atau dengan tekanan tertentu
dibiarkan mengalir melalui kolom membawa serta pita linarut yang bergerak dengan
kecepatan berbeda. Linarut yang telah memisah dikumpulkan berupa fraksi yang keluar
dari bagian bawah kolom sehingga metode ini merupakan kromatografi elusi. Dalam
pemisahan ini interaksi antara larutan senyawa yang dianalisis dengan fase diam dapat
terjadi dengan cara interaksi langsung antara senyawa dengan permukaan fase diam atau
fase stationer hanya bersifat menyangga cairan kedua sehingga pemisahan terjadi
berdasarkan partisi antara dua fase cairan. (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992).
Faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan jenis adsorben antara lain ialah
sifat tidak boleh bereaksi dengan senyawa yang akan dianalisis, tidak bersifat sebagai
katalis yang menyebabkan dekomposisi zat, tidak larut dalam pelarut yang digunakan,
sedapat mungkin tidak berwarna atau tidak mengganggu pengamatan hasil pemisahan
15
zat berwarna, mempunyai sifat yang stabil selama berlangsungnya proses pemisahan
dan mempunyai ukuran partikel yang seragam. (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992).
Pada kromatografi kolom, kolom yang digunakan berupa tabung yang biasanya
terbuat dari kaca yang dilengkapai dengan kran jenis tertentu pada bagian bawahnya
untuk mengatur aliran pelarut. Pada bagian bawah tabung biasanya segumpal kecil wol
kaca atau kapas untuk menahan adsorben. Ukuran kolom sangat beragam, umumnya
perbandingan panjang terhadap diameter bagian dalam kolom adalah 10 kalinya atau
bisa sampai 100 kalinya, tergantung derajat kesulitan proses pemisahan. (Kusmardiyani
dan Nawawi, 1992).
Penyiapan kolom dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara kering dan cara
basah. Perbedaan kedua cara ini yaitu pada cara kering adsorben langsung dimasukkan
dalam kolom sedangkan pada cara basah dibuat terlebih dahulu campuran adsorben
dengan fase gerak yang digunakan kemudian dimasukkan ke dalam kolom (Gandjar dan
Rohman, 2007).
2.4.6 Rekristalisasi
Kristalisasi atau sering disebut rekristalisasi adalah teknik permurnian padatan-
padatan organik yang mempunyai kecenderungan membentuk kisi-kisi kristal yang
dilakukan dengan cara mengkristalkan kembali zat tersebut setelah dilarutkan dalam
pelarut yang sesuai. Prinsip umum yang berlaku dalam proses kristalisasi adalah
penurunan temperatur yang akan menyebabkan perbedaan kelarutan antara zat yang
dimurnikan dengan zat pencemarnya dan hanya molekul-molekul yang sama yang
mudah masuk ke dalam struktur lattik kristalnya, sedangkan molekul-molekul lain atau
pengotor tetap di dalam larutan atau berada di luar kristalnya. Metode ini sederhana,
material padatan ini terlarut dalam pelarut yang cocok pada suhu tinggi (pada atau dekat
titik didih pelarutnya) untuk mendapatkan larutan jenuh atau dekat jenuh. Ketika larutan
panas perlahan didinginkan, kristal akan mengendap karena kelarutan padatan biasanya
menurun bila suhu diturunkan. Diharapkan bahwa pengotor tidak akan mengkristal
karena konsentrasinya dalam larutan tidak terlalu tinggi untuk mencapai jenuh.
(Hostettmann, 1995).
Kristal dapat terbentuk karena suatu larutan dalam keadaan atau kondisi lewat
jenuh (supersaturated). Yang dimaksud dengan kondisi lewat jenuh adalah kondisi
16
dimana pelarut (solven) mengandung zat terlarut (solute) melebihi kemampuan pelarut
tersebut untuk melarutkan solute pada suhu tetap. Kondisi tersebut terjadinya karena
pelarut sudah tidak mampu melarutkan zat terlarutnya, atau jumlah zat terlarut sudah
melebihi kapasitas pelarut. Sehingga kita dapat memaksa agar kristal dapat terbentuk
dengan cara mengurangi jumlah pelarutnya, sehingga kondisi lewat jenuh dapat dicapai.
proes kristalisasi dimualai dengan menambahkan senyawa yang akan dimurnikan
dengan pelarut panas sampai kelarutan senyawa tersebut berada pada level super jenuh.
Pada keadaan ini, bila larutan tersebut didinginkan, maka mlekul-molekul senyawa
terlarut akan saling menempel, tumbuh menjadi kristal-kristal yang akan mengendap di
dasar wadah. Sementara kotoran-kotoran yang terlarut tidak ikut mengendap.
Pembentukkan kristal itu sendiri terdiri dari dua tahap. Tahap pertama adalah
nukleasi primer atau pembentukkan inti, yaitu tahap dimana kristal-kristal mulai tumbuh
namun belum mengendap. Tahap ini membutuhkan keadaan superjenuh dari zat terlarut.
Saat larutan didinginkan, pelarut tidak dapat “menahan” semua za-zat terlarut, akibatnya
molekul-molekul yang lepas dari pelarut saling menempel, dan mulai tumbuh menjadi
inti kristal. Semakin banyak inti-inti yang bergabung, maka akan semakin cepat pula
pertumbuhan kristal tersebut. Tahap kedua setelah nukleasi primer adalah nukleasi
sekunder. Pada tahap ini petumbuhan kristal semakin cepat, yang ditandai dengan saling
menempelnya inti-inti menjadi kristal-kristal padat.
2.4.7 KLT-Spektrofotodensitometri
Penggunaan kromatografi sangat membantu dalam pendeteksian senyawa
metabolit sekunder dan dapat dijadikan sebagai patokan untuk proses pengerjaan
berikutnya dalam menentukan struktur senyawa. Kromatografi lapis tipis merupakan
metode pemisahan komponen-komponen atas dasar perbedaan adsorpsi atau partisi oleh
fase diam di bawah gerakan pelarut pengembang atau pelarut pengembang campur
(Mulja dan Suharman, 1995). KLT merupakan bentuk kromatografi planar selain
kromatografi kertas, dengan fase diam berupa lapisan yang seragam (uniform) pada
permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat aluminium, atau plat
plastik. Fase gerak dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak disepanjang fase
diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending) atau
karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Gandjar
17
dan Rohman, 2007). Metode ini dapat digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa
yang tidak volatil atau senyawa yang sifat volatilitasnya rendah, senyawa dengan
polaritas rendah hingga tinggi, bahkan untuk memisahkan senyawa-senyawa ionik
(Hahn dan Deinstrop, 2007).
Gambar 2.5. Bejana berisi plat KLT sebelum dan sesudah pengembangan
(Stahl, 1985)
Prinsip dari pemisahan komponen senyawa kimia dengan KLT didasarkan pada
perbedaan laju migrasi masing-masing molekul senyawa diantara fase diam dan fase
gerak yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti adsorpsi/partisi pada fase diam,
kelarutan dalam cairan partisi dan pelarut pembilas, serta polaritas dari cairan partisi
dan pelarut (Satiadarma, 2004).
Fase gerak atau pelarut pengembang akan bergerak naik sepanjang fase diam
karena adanya gaya kapilaritas pada sistem pengembangan menaik (ascending).
Pemilihan fase gerak baik untuk TLC maupun HPTLC didasarkan pada keterpisahan
senyawa-senyawa dalam analit yang didasarkan pada nilai Rf atau hRf (100Rf). Nilai
Rf diperoleh dari membagi jarak pusat kromatografik dari titik awal dengan jarak
pergerakan pelarut dari titik awal. Penghitungan nilai hRf ditunjukkan dengan
persamaan dibawah ini.
Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tapi lebih sering dengan
mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling
sederhana ialah campuran dua pelarut organik karena daya elusi campuran kedua
18
pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara
optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase
gerak:
1. Fase gerak harus memiliki kemurniaan yang sangat tinggi karena KLT
merupakan teknik yang sensitif.
2. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak
antara 0,2 sampai 0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.
3. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel,
polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga
menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti
dietil eter kedalam pelarut non polar seperti metil benzen akan meningkatkan
harga Rf secara signifikan.
4. Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut
sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan methanol dengan perbandingan
tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia masing-masing akan
meningkatkan solut-solut yang bersifat basa dan asam.
(Gandjar dan Rohman, 2007)
Keterulangan harga Rf sangat dipengaruhi oleh perbedaan kondisi proses
pemisahan senyawa tertentu dibandingkan kondisi yang telah dibakukan sekali.
Meskipun dalam hal ini harga Rf bukanlah harga absolut seperti pada konstanta fisik
lain (titik didih, titik lebur, dll). Beberapa faktor yang mempengaruhi penentuan harga
Rf ini antara lain kualitas adsorben (ukuran partikel, pH dan kemurnian), ketebalan
lapisan adsorben (untuk ketebalan 0,25-3 mm), kejenuhan bejana, teknik
pengembangan, suhu (mempengaruhi kapasitas adsorpsi dari adsorben sehingga suhu
pada saat pengukuran Rf harus dicantumkan), dan kualitas pelarut (kromatogram bisa
sangat beragam untuk kualitas pelarut yang berbeda, karena itu untuk penentuan harga
Rf harus selalu digunakan pelarut segar) (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992).
Untuk analisis kuantitatif pada KLT dapat digunakan dua cara. Pertama, bercak
pada plat KLT diukur langsung pada lempeng dengan menggunakan ukuran luas atau
dengan teknik densitometri. Cara kedua adalah dengan mengerok bercak lalu
19
menetapkan kadar senyawa yang terdapat dalam bercak tersebut dengan metode analisis
yang lain, misalkan dengan metode spektrofotometri (Gandjar dan Rohman, 2007).
Analisis kuantitatif dari suatu senyawa yang telah dipisahkan dengan KLT
biasanya dilakukan dengan densitometer langsung pada lempeng KLT (atau secara in
situ). Densitometer dapat bekerja secara serapan atau flouresensi, dimana kebanyakan
densitometer mempunyai sumber cahaya yang diarahkan menuju monokromator (untuk
memilih rentang panjang gelombang yang cocok antara 200-800), sistem untuk
memfokuskan sinar pada lempeng, pengganda foton, dan rekorder (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Densitometer atau Thin Layer Chromato Scanner makin banyak digunakan secara
luas. Densitometri adalah metode analisis instrumental yang berdasarkan interaksi
radiasi elektromagnetik dengan analit yang merupakan noda pada KLT. Interaksi radiasi
elektromagnetik dengan noda pada plat KLT yang ditentukan adalah absorpsi, transmisi,
pantulan (refleksi) pendar fluor atau pemadaman pendar fluor dari radiasi semula.
Densitometri lebih dititikberatkan untuk analisis kuantitatif analit-analit dengan kadar
yang sangat kecil yang perlu dilakukan pemisahan terlebih dahulu dengan KLT (Mulja
dan Suharman, 1995).
Prinsip kerja spektrofotodensitometri berdasarkan interaksi antara radiasi
elektromagnetik dari sinar UV-Vis dengan analit yang merupakan noda pada plat.
Radiasi elektromagnetik yang datang pada plat diabsorpsi oleh analit, ditransmisi atau
diteruskan jika plat yang digunakan transparan. Radiasi elektromagnetik yang
diabsorpsi oleh analit atau indikator plat dapat diemisikan berupa flouresensi dan
fosforesensi (Sherma and Fried 1994). Pemadaman flouresensi indikator F-254 dapat
terjadi akibat adanya noda pada plat sehingga teramati di bawah lampu UV sebagai
noda hitam (Mulja dan Suharman, 1995).
Kebanyakan densitometer mempunyai sumber cahaya monokromator (rentang
panjang gelombang 190 s/d 800 nm) untuk memilih panjang gelombang yang cocok,
sistem untuk memfokuskan sinar pada lempeng, pengganda foton, dan rekorder
(Gandjar dan Rohman, 2007). Output detektor dikonversikan menjadi signal dan
diamplifikasi. Sebagai tambahan untuk scanning instrumen densitometer dilengkapi
dengan digital konverter, dan data akan diproses secara digitalisasi oleh komputer.
Analis dapat bekerja dengan densitometri pada jangkauan panjang gelombang 190
20
s/d 800 nm. Terjadinya penyimpangan baseline yang disebabkan oleh variasi ketebalan
dan ketidakseragaman lapisan pada densitometer sangat kecil dan level signalnya relatif
tinggi.
Analisis KLT dengan menggunakan spektrofotodensitometri dapat dilakukan
dengan menggunakan mode absorbsi atau flouresensi. Pada umumnya yang paling
sering digunakan adalah mode absorbsi dengan menggunakan sinar UV pada λ 190-300
nm. Oleh karena kebanyakan plat KLT menggunakan silika gel yang bersifat opaque
(tidak tembus cahaya), maka pengukuran dengan mode transmitan tidak cocok
digunakan. Penentuan absorpsi analit pada plat KLT opaque didasarkan pada rasio
intensitas antara radiasi elektromagnetik yang datang dengan intensitas radiasi
elektromagnetik yang dipantulkan/direfleksikan. Pengukuran flouresensi merupakan
metode pengukuran langsung yang peka untuk senyawa dalam daerah ultraviolet dapat
ditentukan melalui emisi penyinaran sekunder. Intensitas cahaya flouresensi setelah
dipancarkan melalui suatu monokromator, diukur secara selektif dalam kondisi yang
sesuai, berbanding lurus dengan berat senyawa yang ada dalam noda (Sherma and Fried,
1994).
Gambar 2.6. Skema spektrofotodensitometer radiasi berkas ganda dan tunggal(Mulja dan Suharman, 1995)
Keterangan: L (light); SL (slit); MC (monokromator); PM (photomultiplier); FF (filter fluorescens); P (plat); SCS (sistem for circular scanning).
Beberapa keunggulan metode kromatografi lapis tipis atau lebih dikenal dengan
TLC (thin layer chromatography) maupun kromatografi lapis tipis kinerja tinggi yang
dikenal dengan HPTLC (high performance thin layer chromatography) dengan
kombinasi spektrofotodensitometri dibandingkan dengan metode HPLC maupun GC
(Sherma and Fried, 1996) diantaranya adalah:
1. Cepat, karena penggunaannya biasanya tidak membutuhkan preparasi khusus.
21
2. Dapat digunakan untuk analisis sampel dengan jumlah mencapai 30 sampel pada
satu pelat dan dapat memisahkan sampel-sampel tersebut secara bersamaan.
3. Adanya instrumen scanning modern yang dikontrol dengan komputer, instrumen
aplikasi sampel semi otomatis maupun otomatis, serta instrumen pengembangan
dapat membantu memberikan akurasi dan presisi yang setara dengan metode
HPLC maupun GC.
4. Terdapat berbagai pilihan pelarut pengembang (fase gerak) untuk memisahkan
sampel seperti basa, asam, aqua-organik.
5. Setiap sampel dapat dipisahkan dengan pelat baru sehingga dapat menghindari
masalah kontaminasi silang sampel dan tidak perlu melakukan regenerasi sorben.
6. Dalam hal konsumsi pelarut pengembang, metode TLC maupun HPTLC
tergolong hemat, sehingga dapat meminimalkan biaya untuk pembelian pelarut.
7. Kombinasi TLC/HPTLC dengan densitometer adalah dapat dilakukan
pengulangan pada tahap scanning tanpa mengkhawatirkan gangguan pada proses
lanjutan, ini dikarenakan semua proses berjalan secara independen.
BAB III
METODE
22
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
- Tempat toples kaca
- Kertas saring
- Kain kasa
- Batang pengaduk,
- Botol vial, ,
- Labu ukur,
- Botol semprot,
- Gelas pengembang KLT
- Spektrofotodensitometer,
- Pipet tetes,
- Pipet ukur
- Gelas ukur,
- Corong pisah
- Statif,
- Erlenmeyer,
- Baker glass,
- Rotaevaporator,
- Cawan penguap,
- Hot plate,
- Kolom kromatografi
3.1.2 Bahan
- Serbuk kering Andrographis paniculata
- etanol
- n-hexan
- Etil Asetat
- Aquadest DM
- Metanol pro analis
- Kloroform pro analis
- Plat KLT GF 250
- H2SO4
3.2 Prosedur Kerja
3.2.1 Prosedur Maserasi
Ditimbang sebanyak 100 gram serbuk simplisia sambiloto. Kemudian dimasukkan
ke dalam bejana maserasi, ditambah sebanyak 500 mL etanol 96%, kemudian diaduk
serta didiamkan selama satu malam. Selanjutnya disaring, filtrat disimpan dan ampas
diremaserasi dengan etanol 96% sebanyak 250 mL, diaduk, kemudian didiamkan
selama satu hari dengan sesekali diaduk. Selanjutnya disaring, filtrat ditampung dan
23
ampas diremaserasi kembali dengan 250 mL etanol 96%, diaduk. Didiamkan sehari dan
sesekali diaduk. Selanjutnya disaring, semua filtrat ditampung dan diuapkan
pelarutnya.
3.2.2 Prosedur Skrining Fitokimia
- Pembuatan Larutan Uji
Sebanyak 10 mg ekstrak dilarutkan dalam 25 mL metanol.
- Uji untuk Steroid dan Triterpenoid
Pemeriksaan steroid dan triterpenoid dilakukan dengan reaksi Liebermann-
Burchard. Sebanyak 2 ml larutan uji diuapkan dalam cawan penguap. Residu
dilarutkan dengan 0,5 ml kloroform, kemudian ditambahkan 0,5 ml asam asetat
anhidrat. Selanjutnya ditambahkan 2 ml asam sulfat melalui dinding tabung.
Terbentuknya cincin kecoklatan atau violet pada perbatasan larutan
menunjukkan adanya triterpenoid, sedangkan bila muncul cincin biru kehijauan
menunjukkan adanya steroid.
- Uji untuk Saponin
Sebanyak 10 ml larutan ekstrak uji dalam tabung reaksi dikocok vertikal
selama 10 detik kemudian dibiarkan selama 10 detik. Pembentukkan busa
setinggi 1-10 cm yang stabil selama tidak kurang dari 10 menit, menunjukkan
adanya saponin. Pada penambahan 1 tetes HCl 2 N, busa tidak hilang.
- Uji untuk Alkaloid
Sebanyak 18 ml larutan ekstrak uji diuapkan di atas cawan porselen hingga
didapatkan residu. Residu kemudian dilarutkan dengan 6 ml HCL 2 N. Larutan
yang didapat kemudian dibagi ke dalam 4 tabung reaksi. Tabung pertama
ditambahkan pereaksi Wagner sebanyak 3 tetes. Tabung kedua ditambahkan
pereaksi Mayer sebanyak 3 tetes. Tabung ketiga ditambahkan pereaksi Hager
sebanyak 3 tetes. Tabung keempatditambahkan pereaksi Dragendorff sebanyak 3
tetes. Pada pereaksi Wigner terbentuknya endapan putih. Pada pereaksi Mayer
terbentuknya endapan merah kecoklatan. Pada pereaksi Hager terbentuknya
endapan kuning. Pada pereaksi Dragendroff terbentuknya endapan coklat muda
sampai kuning.
24
3.2.3 Prosedur Pemisahan 1 (purifikasi)
Ekstrak kental disisihkan 10 mg. Ekstrak kental sisanya kemudian dicuci dengan
n-heksan dengan perbandingan 1:20. Ekstrak tidak larut disisihkan secukupnya. Sisanya
dicuci kembali dengan etil asetat dengan perbandingan 1:1dan diambil fase etil
asetatnya. Ekstrak larut etil asetat dan yang tidak larut etil asetat diuapkan pelarutnya
hingga terbentuk ekstrak kental.
3.2.4 KLT Hasil Pemisahan 1
Plat KLT Al Silika gel GF 254 disiapkan dan dipotong 4 cm x 10 cm, ditandai
dengan batas atas 0,5 cm, batas bawah 1 cm, dan batas kiri-kanan 1 cm serta jarak antar
totolan 0,6 cm. Plat dicuci dengan metanol kemudian diaktivasi pada suhu 110ºC
selama 15 menit. Chamber (bejana pengembang kromatografi) dijenuhkan dengan fase
gerak campuran kloroform:metanol (9:1 v/v) sebanyak 10 mL. Kemudian ekstrak kental
sambiloto hasil maserasi, ekstrak tidak larut etil asetat dan ekstrak larut etil asetat
masing-masing dilarutkan 1 mL metanol lalu ditotolkan masing-masing sebanyak 6 µL.
Standar andrografolid ditotolkan pada plat KLT sebanyak 6 µL dengan jarak antar
bercak 0,6 cm. Plat dimasukkan ke dalam chamber yang telah dijenuhkan, dan dielusi
dengan jarak pengembangan 8,5 cm. Setelah dielusi, plat KLT dikeringkan selama 10
menit dengan dryer dan diamati dibawah sinar UV 254 nm dan 366 nm.
Bila masih banyak pengotor yang terdapat pada plat setelah pemisahan, maka
dilakukan pencucian kembali dengan air panas pada ekstrak yang larut etil asetat hingga
warnanya bening. Ekstrak yang tidak larut air panas dan yang larut air panas diuapkan
pelarutnya hingga terbentuk ekstrak kental kemudian di KLT kembali untuk melihat
metode yang sama. Ukuran plat KLT 4 x 10 cm. Pada plat ditotolkan ekstrak tidak larut
air panas, ekstrak larut air panas dan standar andrografolid masing-masing sebanyak 6
µL. Dilihat hasil pemisahannya pada UV 254 nm dan 366 nm.
3.2.5 Prosedur Pemisahan Kolom
Kolom disiapkan dengan bagian bawah diisi dengan glass wool dan dimasukkan
silika gel 60 hingga 10 cm dan ditimbang bobot silika gel 60 tersebut. Kolom diisi
dengan kloroform hingga 10 cm. Silika gel 60 yang telah ditimbang dibuat bubur silika
25
dengan kloroform. Bubur silika dimasukkan ke dalam kolom dengan hati-hati secara
kontinyu bergantian dengan memasukkan kloroform dengan pipet tetes pada dinding
kolom untuk mencegah terbentuknya lapisan-lapisan. Keran pada bagian bawah kolom
dibuka. Fase gerak kloroform ditampung digunakan lagi untuk menyiapkan kolom.
Kolom diekuilibrasi dengan kloroform sebanyak 20 ml dan didiamkan semalam.
Fraksi dari pemisahan 1 (bagian tidak larut air) disisihkan 10 mg, sisanya
ditambahkan metanol hingga larut. Larutan fraksi dimasukkan ke bagian atas kolom
secara hati-hati dengan pipet tetes melalui dinding kolom (agar kolom silika tidak
rusak). Dieluasi dengan pelarut kloroform sebanyak10 ml. Fraksi ditampung dengan
vial. Kemudian dieluasi kembali dengan 10 mL metanol. Fraksi kloroform dan metanol
yang diperoleh kemudian diuapkan dan ditimbang.
3.2.6 KLT Hasil Pemisahan 2
Plat KLT Al Silika gel GF 254 disiapkan dan dipotong 4 cm x 10 cm, dengan
batas atas 0,5 cm, batas bawah 1 cm, dan batas kiri-kanan 1 cm serta jarak antar totolan
0,6 cm. Plat dicuci dengan metanol kemudian diaktivasi pada suhu 110ºC selama 15
menit. Ekstrak etil asetat terpurifikasi (bagian tidak larut air), fraksi kloroform dan
fraksi metanol yang telah diuapkan dilarutkan dengan metanol. Chamber (bejana
pengembang kromatografi) dijenuhkan dengan fase gerak campuran kloroform:metanol
(9:1 v/v) sebanyak 10 mL. Masing-masing ditotolkan pada plat sebanyak 4 µL. Standar
andrografolid ditotolkan pada plat sebanyak 4 µL. Plat dimasukkan ke dalam chamber
yang telah dijenuhkan, dan dielusi dengan jarak pengembangan 8,5 cm. Setelah dielusi,
plat KLT dikeringkan selama 10 menit dengan dryer dan diamati dibawah sinar UV 254
nm dan 366 nm.
3.2.7 KLT Hasil Pemisahan 3
Disiapkan standar andrografolid, kristal yang terbentuk dari fase kloroform dan
fraksi kloroform masing-masing sebagai sampel 1, 2 dan 3. Plat KLT GF254 dipotong
dengan panjang 5 cm dan lebar 3 cm. plat kemudian dicuci dengan methanol
selanjutnya diaktivasi pada suhu 1100C selama 30 menit. Fase gerak dibuat dengan
menggunakan campuran pelarut klorofom methanol (9:1) sebanyak 10 ml dan
selanjutnya digunakan untuk menjenuhkan chamber. Selama proses penjenuhan
26
chamber, dilakukan penotolan sampel pada plat yang telah diaktivasi dengan jarak
penotolan 0,7 cm antar sampel. Plat yang telah ditotol kemudin dieluasi dengan jarak
elusi 3,5 cm. plat dikeringkan dengan cara diangin-anginkan kemudian dideteksi pada
UV 254 nm dan 366 nm. Dihitung nilai Rf masing-masing spot yang terdeteksi pada
tiap sampel.
3.2.8 Rekristalisasi
Disipkan kristal yang diperoleh dari fase kloroform hasil kromatografi kolom
kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 5 ml metanol. Tabung
dipanaskan di atas penangas air hingga kristal larut seluruhnya dan volume pekarut
berkurang ± 1/3 nya. Larutan kemudian disaring dan didinginkan perlahan pada suhu
ruang. Larutan yang telah dingin kemudian dimasukkan ke dalam lemari pendingin
selama 24 jam hingga terbentuk kristal kembali.
3.2.7 Identifikasi Golongan Kandungan Kimia Dengan KLT Densitometer
Plat KLT Silika gel GF 254 disiapkan dan dipotong dengan ukuran 2 x 10 cm dan
diberi batas atas 0,5 cm, batas bawah 1 cm, dan batas kiri-kanan 1 cm. Chamber (bejana
pengembang kromatografi) dijenuhkan dengan fase gerak campuran kloroform:metanol
(9:1 v/v) sebanyak 10 mL. Kristal yang diperoleh dilarutkan dengan 5 mL metanol, lalu
masing-masing ditotol pada plat sebanyak 6 µL. Plat dimasukkan ke dalam chamber
yang telah dijenuhkan, dan dielusi dengan jarak pengembangan 8,5 cm. Setelah dielusi,
plat KLT dikeringkan dengan cara diangin-anginkan dan diamati dibawah sinar UV 254
nm dan 366 nm. Plat dipindai dengan densitometer pada panjang gelombang 200-400
nm. Selanjutnya dilakukan pencocokan spectrum dan nilai Rf dengan pustaka dan
reference data bank yang terdapat pada komputer untuk mengetahui golongan
kandungan kimia yang terdapat pada fraksi.
27
BAB IV
HASIL
4.1. Maserasi
Tabel 1. Hasil Pengamatan Maserasi herba sambiloto
Data Jumlah Warna
Filtrat I 270 mL Hijau tua ***
Filtrat II 225 mL Hijau tua **
28
Filtrat III 252 mL Hijau tua *
Total Filtrat 747 mL
Bobot cawan 67,4931 gram
Bobot cawan +
ekstrak
69,9883 gram
Bobot ekstrak 2,497 gram
* = Tinggat kepekatan warna.
%Rendemen =
=
= 2,497 %
4.2 Skrining Fitokimia
a. Uji Saponin
Hasil negatif (-), larutan berwarna hijau tanpa busa.
b. Uji Steroid dan Triterpenoid
- Steroid
Hasil negatif (-) tidak terbentuk cincin berwarna biru kehijauan.
- Triterpenoid
Hasil positif (+) terbentuk cincin kecoklatan pada pembatas larutan.
c. Uji Tanin
Hasil negatif (-) tidak terbentuk endapan berwarba putih.
d. Uji alkaloid
- Pereaksi Wigner
Hasil negatif (-), larutan berwarna bening tidak terdapat endapan berwarna
merah kecoklatan.
- Pereaksi Mayer
Hasil negatif (-), larutan berwarna bening tidak terdapat endapan putih.
29
- Pereaksi Hager
Hasil negatif (-), larutan berwarna kuning muda tidak terdapat endapan
berwarna kuning.
- Pereaksi Dragendroff
Hasil negatif (-), larutan berwarna kuning tidak terdapat endapat berwarna
coklat muda atau kuning.
4.3 Pemisahan 1 (purifikasi)
Pencucian:a. Jumlah volume N-Heksan yang diperlukan yaitu 1,25 Lb. Jumlah volume etil asetat yang diperlukan yaitu 400 mLc. Jumlah volume air panas yang diperlukan yaitu 100 mL
4.4 KLT Hasil Pemisahan 1Tabel 2. Harga Rf HasilKLT Pencucian N-heksan dan etil asetat
UV 254 nm UV 366 nmFraksi 1 Fraksi 1
Fraksi 2
30
Faksi 2
Fraksi 3
Fraksi 3Fraksi 4
Fraksi 4
Tabel 3. Harga Rf Hasil KLT Hasil Pencucian Air PanasUV 254 nm UV 366nm
Tidak terlihat terbentuk spot yang berfluoresensi
4.5 Pemisahan dengan Kromatografi KolomTabel 4. Fraksi hasil pemisahan dengan kromatografi kolom
No. Fraksi Warna
1 Klorofom berwarna hijau pekat kehitaman
2 Metanol I berwarna coklat kehitaman
3 Metanol II berwarna hijau kecoklatan
4.6 KLT Hasil Pemisahan 2
Tabel 5. Harga Rf Hasil KLT pemisahan 2
UV 254 nm UV 366 nm
31
Fraksi 1 (Kloroform)
Faksi 2 (Metanol I)
Fraksi 3
Fraksi 1 (Kloroform)
Fraksi 2 (Metanol I)
4.7 KLT Hasil Pemisahan 3
Tabel 6. Harga Rf Hasil KLT pemisahan 3
32
UV 254 nm UV 366 nmFraksi 1 (Standar Andrografolid)
Fraksi 2 (Kristal Fase Kloroform)
Fraksi 3 (Fraksi Kloroform)
Fraksi 1 (Standar Andrografolid)
Tidak telihat spot
Fraksi 2 (Kristal Fase Kloroform)
Fraksi 3 (Fraksi Kloroform)
4.8 Rekristalisasi
Tabel 7. Hasil rekristalisasi
Warna Putih kehijauan
Bentuk Kotak
Bobot 61,5 mg
33
4.9 KLT Densitometer
4.9.1 Hasil Scan UV 254 nm dan 366 nm
Tabel 8. Hasil Scan 254 nm dan 366 nm
Lamda Spot yang terlihat Keterangan
254 nm 1 spot Spot besar dan terjadi pemadaman fluoresensi
366 nm Tidak terlihat spot -
Perhitungan harga Rf
4.9.2 Hasil KLT Spektrodensitometer
4.9.2.1 Hasil Pengamatan KLT-Spektrofotodensitometer
Pada pengamatan meggunakan KLT-Spektrodensitometri terlihat adanya 3 spot,
kemudian masing-masing spot discan kembali pada rentang pangjang gelombang 200-
400 nm dan diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 9. Hasil Pengamatan KLT-Spektrodensitometer
Spot Rf λ maks
Spot 1 0,04 209 nm
Spot 2 0,10 204 nm
Spot 3 0,58 234 nm
4.9.3.2 Gambar Hasil Pengamatan KLT-Spektrodensitometer
34
Gambar 4.1. Spektrum isolat Kristal hasil rekristalisasi fraksi kloroform
Gambar 4.2. Spektrum Spot 1
Gambar 4.3. Spektrum spot 2
Gambar 4.4. Spektrum Spot 3
35
Gambar 4.5. Spektrum Standar Andrografolid pada Reference data bank di Komputer
BAB V
PEMBAHASAN
Herba Sambiloto (Andrographis paniculata) merupakan salah satu tanaman yang
paling sering digunakan dalam sistem pengobatan tradisional. Pada sistem pengobatan
ayurveda, sambiloto digunakan untuk mengobati penyakit disentri, diare, atau malaria.
Dalam Traditional Chinese Medicine (TCM) sambiloto sering digunakan sebagai “cold
36
Standar Andrografolid
property” untuk menurunkan panas serta sebagai “blood purifying” untuk
membersihkan racun-racun dalam tubuh. Senyawa aktif yang merupakan senyawa
mayor pada herba sambiloto adalah androgafolid. Hampir keseluruhan bagian tanaman
(akar, daun, batang, dan bunga) mengandung senyawa diterpen lakton adrografolid,
tetapi dalam persentase yang berbeda (Akbar,2011).
Pada praktikum ini dilakukan pemisahan, isolasi dan identifikasi senyawa
terpenoid dari herba sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.)). Metode yang
digunakan dalam pemisahan, isolasi dan identifikasi senyawa terpenoid dari herba
sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.)), diantaranya ekstraksi dengan metode
maserasi, ekstraksi padat-cair, kromatografi kolom lambat, rekristalisasi. Identifikasi
dilakukan dengan skrining fitokimia alkaloid dan metode KLT-Densitometer.
Tahap pertama dilakukan ekstraksi dengan metode meserasi. Prinsip maserasi
adalah penyarian zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia
dalam cairan penyari yang sesuai selama beberapa hari pada temperatur kamar yang
terlindungi dari cahaya. Cairan penyari akan masuk kedalam sel melalui dinding sel. Isi
sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan didalam sel dan diluar
sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan
penyari dengan konsentrasi rendah melalui proses difusi. Peristiwa tersebut berulang
sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan didalam sel dan diluar sel.
Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan menimbang 100 gram serbuk
herba sambiloto kemudian dimasukan ke dalam toples kaca. Ditambahkan 500 ml
etanol 96% sebagai cairan penyari. Toples kemudian ditutup rapat dan dilapisi dengan
kain hitam. Penggunan kain hitam disini bertujuan agar serbuk simplisia terlindung dari
cahaya sehingga dapat mencegah terjadinya dekomposisi dan penguraian zat aktif.
Larutan simplisia didiamkan selama 1 hari sambil dilakukan pengaduk sekali sehari.
Pendiaman selama 1 hari bertujuan agar yang senyawa yang diinginkan dapat larut
dalam cairan penyari. Pengadukan berfungsi untuk meratakan konsentrasi larutan diluar
butir simplisia sehingga perbedaan konsentrasi antara larutan didalam dan diluar sel
dapat dijaga sekecil-kecilnya. Pada saat inilah cairan penyari akan menembus dinding
sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan terdesak
keluar karena adanya perbedaan konsentrasi di dalam dan di luar sel.
37
Setelah 1 hari, dilakukan penyarian serbuk simplisia. Filtrat yang didapat
sebanyak 270 ml kemudian ditampung pada botol. Sedangkan ampasnya diperas dan
ditambahkan lagi dengan 250 ml etanol 96% kemudian didiamkan lagi selama 1 hari.
Setelah 1 hari ampas diperas, filtrate yang diperoleh sebanyak 225 ml dimasukan
kedalam botol yang sama yang berisi filtrat sebelumnya. Ampasnya diperas dan
ditambahkan lagi dengan 250 ml etanol 96% kemudian didiamkan selama 1 hari lagi
kemudian disaring. Adapun penambahan etanol 96% pada ampas maserasi bertujuan
untuk memisahkan maserat yang masih mungkin terkandung dalam ampas sehingga
dapat mengoptimalkan hasil maserasi. Total Filtrat yang didapat pada praktikum kali ini
adalah 747 mL. Filtrat yang didapat kemudian diuapkan diatas penangas dengan
menggunakan cawan porcelain hingga di dapatkan ekstrak kental. Bobot ekstrak kental
yang yang diperoleh adalah sebanyak 2,497 gram.
Pemeriksaan golongan senyawa kimia dalam simplisia herba sambiloto secara
kualitatif dilakukan dengan skrining fitokimia. Skrining fitokimia ini bertujuan untuk
mengetahui apakah didalam serbuk herba sambiloto memiliki kandungan kimia yang
akan ditentukan yaitu terpenoid. Dalam skrining fitokimia pemilihan pelarut merupakan
hal yang penting karena pelarut berperan dalam melarutkan senyawa yang diinginkan
dan apabila pemilihan pelarut sudah tepat maka skrining fitokimia akan menunjukkan
hasil yang tepat. Namun pemilihan pelarut yang spesifik sulit dilakukan pada skrining
fitokimia. Apabila pemilihan pelarut hanya didasarkan pada ketentuan derajat kelarutan
suatu senyawa yang diteliti secara umum, maka akan ada kemungkinan hasil yang
didapat tidak sesuai dengan pustaka. Hal ini disebabkan karena hadirnya senyawa-
senyawa dari golongan lain dalam tanaman tersebut akan berpengaruh terhadap proses
kelarutan senyawa yang diinginkan (Kristanti dkk., 2008).
Sebelum dilakukan skrining fitokimia, hal yang pertama dilakukan adalah
pembuatan larutan uji untuk skrining fotokimia. Sebanyak 10 mg ektrak kental herba
sambiloto dilarutkan dengan 25 ml metanol.Uji skrining fitokimia pertama yang
dilakukan adalah identifikasi saponin. Reaksi saponifikasi adalah hidrolisis basa suatu
ester dengan alkali yang bersifat irreversible. Reaksi saponifikasi adalah RCOOR +
OH- menjadi RCOOR + ROH (Sesmita, 2013). Pada uji saponin, dipipet 10 ml larutan
ekstrak herba sambiloto kedalam tabung reaksi, kemudian dikocok secara vertikal
selama 10 menit. Dibiarkan hasil kocokan tersebut selama 10 menit. Terbentuknya busa
38
setinggi 1-10 cm yang stabil dari hasil pengocokan kuat filtrat selama 10 menit dalam
tabung reaksi menunjukkan adanya senyawa golongan saponin. Dari hasil identifikasi
uji saponin pada ekstrak herba sambiloto tidak terbentuk busa, sehingga pada skrining
fitokimia ektrak herba sambiloto negatif mengandung saponin.
Uji steroid-terpenoid dilakukan dengan reaksi Lieberman Burchard. Sejumlah
Sebanyak 2 ml larutan uji diuapkan dalam cawan porselin. Residu diupkan dengan 0,5
ml klorofom pada tabung reaksi, kemudian ditambahkan 0,5 ml asam asetat anhidrat
dan 2 ml asam sulfat melalui dinding tabung reaksi (pereaksi Liebermann-Buchard).
Jika terbentuknya cincin berwarna kecoklatan atau violet pada pembatas larutan
menunjukkan adanya triterpenoid. Sedangkan terbentuknya cincin berwarna biru
kehijauan menunjukkan adanya steroid. Dari hasil uji skrining fitokimia yang
dilakukan, terbentuk cincin kecoklatan pada pembatas larutan dan larutan yang berada
dibawah cincin berwarna hijau. Dimana dari hasil skrining fitokimia tersebut, ekstrak
herba sambiloto positif mengandung triterpenoid.
Uji skring fitokimia selanjutnya adalah uji tanin. Ditimbang 2 mg ekstrak kental
herba sambiloto ditimbang. Dilarutkan dengan menggunakan 2 ml akuades, kemudian
ditambahkan 3 tetes pereaksi PB asetat. Hasil positif uji tannin, terdapat endapan
berwarna putih pada larutan. Dari hasil skrining fitokimia tersebut, tidak terbentuk
endapan putih, larutan teteap berwarna bening, sehingga dapat disimpulkan ekstrak
herba sambiloto negatif mengandung tannin.
Uji skrining fitokimia yang terakhir dilakukan adalah identifikasi alkaloid.
Sebnayak 2 ml larutan uji diuapkan diatas cawan poselin. Residu yang didapat
dilarutkan dengan 5 ml HCl 2N didalam tabung reaksi. Larutan untuk uji alkaloid
tersebut dibagi kedalam 4 tabung reaksi. Tabung pertama ditambahkan 3 tetes pereaksi
wagner. Tabung kedua ditambahkan 3 tetes pereaksi mayer. Tabung ketiga ditambahkan
3 tetes peraksi hager. Dan tabung terakhir ditambahkan 3 tetes pereaksi dragendroff.
Dari uji skrining fitokimia identifikasi alkaloid didapatkan hasil pada tabung pertama
negatif alkaloid, pada uji alkaloid dengan pereaksi wigner larutan tetap berwarna
bening. Dari hasil yang ditunjukkan pada tabung kedua pada uji alkaloid dengan
pereaksi mayer menunjukkan hasil negatif dengan larutan tetap berwarna bening. Pada
pembuatan pereaksi Mayer, larutan merkurium(II) klorida ditambah kalium iodida
akan bereaksi membentuk endapan merah merkurium(II) iodida. Jika kalium iodida
39
yang ditambahkan berlebih maka akan terbentuk kalium tetraiodomerkurat(II)
(Svehla, 1990). Alkaloid mengandung atom nitrogen yang mempunyai pasangan
elektron bebas sehingga dapat digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat
dengan ion logam (McMurry, 2004). Pada uji alkaloid dengan pereaksi Mayer,
diperkirakan nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+ dari kalium
tetraiodomerkurat(II) membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap.
Gambar 5.1. Perkiraan Reaksi Uji Mayer
Dari hasil yang ditunjukkan pada tabung ketiga pada uji alkaloid dengan pereaksi hager
menunjukkan hasil negatif dengan larutan tetap berwarna kuning muda. Dari hasil yang
ditunjukkan pada tabung keempat pada uji alkaloid dengan pereaksi dragendroff
menunjukkan hasil negatif dengan larutan tetap berwarna kuning. Hasil positif alkaloid
pada uji Dragendorff juga ditandai dengan terbentuknya endapan coklat muda sampai
kuning. Endapan tersebut adalah kalium-alkaloid. Pada pembuatan pereaksi
Dragendorff, bismut nitrat dilarutkan dalam HCl agar tidak terjadi reaksi hidrolisis
karena garam-garam bismuth mudah terhidrolisis membentuk ion bismutil (BiO+).
Berikut gambar reaksi yang terjadi:
Gambar 5.2. Reaksi Hidrolisis Bismut
Agar ion Bi3+ tetap berada dalam larutan, maka larutan itu ditambah asam sehingga
kesetimbangan akan bergeser ke arah kiri. Selanjutnya ion Bi3+ dari bismut nitrat
bereaksi dengan kalium iodida membentuk endapan hitam Bismut(III) iodida yang
40
kemudian melarut dalam kalium iodida berlebih membentuk kalium
tetraiodobismutat (Svehla, 1990). Pada uji alkaloid dengan pereaksi Dragendorff,
nitrogen digunakan untuk membentuk ikatan kovalen koordinat dengan K+ yang
merupakan ion logam (Miroslav, 1971).
Gambar 5.3. Reaksi Uji Dragendorff (Soerya,2005).
Setelah proses skrining, tahap selanjutnya dilakukan pencucian dengan n-heksan
yang bertujuan untuk purifikasi dengan menghilangkan klorofil yang terkandung dalam
ekstrak herba sambiloto. Digunakan n-heksan karena klorofil larut dalam n-heksan
sedangkan andrografolid tidak larut dalam n-heksan sehingga ketika proses purifikasi,
andrografolid tidak larut dan mengendap pada dasar cawan porselin. Selanjutnya,
purifikasi dilakukan dengan pencucian menggunakan etil asetat. Endapan yang tidak
larut n-heksan dicuci dengan etil asetat. Hasil pencucian yaitu endapan tidak larut etil
asetat dan larutan etil asetat diperiksa dengan KLT untuk melihat distribusi
andrografolid.
Keempat fraksi yang ditotolkan pada plat KLT yaitu fraksi etanol hasil maserasi,
fraksi tidak larut n-heksan, fraksi tidak larut etil asetat dan fraksi etil asetat. Berdasarkan
hasil, semua fraksi berisi spot yang diduga andrografolid namun masih banyak pengotor
yang ditunjukkan dengan adanya spot lebih dari satu. Dari keempat spot tersebut, fraksi
tidak larut etil asetat yang paling bersih, namun masih ada pengotor dibawah spot yang
diduga andrografolid. Oleh karena itu, perlu dicuci kembali dengan air panas untuk
menghilangkan pengtor dimana kelarutan andrografolid sangat rendah dalam air
sehingga diharapkan pengotor yang bersifat polar larut dalam air dan andrografolid
mengendap. Pada fraksi larut etil asetat, secara visual terlihat spot yang diduga
41
andrografolid namun dengan jumlah penotolan yang sama dengan fraksi tidak larut etil
asetat, pada fraksi larut etil asetat lebih redup. Oleh sebab itu, fraksi yang dilanjutkan ke
tahap pemisahan selanjutnya adalah fraksi tidak larut etil asetat. Pada KLT hasil
pencucian dengan air panas, tidak terlihat spot yang diduga andrografolid, hal ini
mungkin disebabkan karena jumlah penotolan yang terlalu kecil yaitu 6 µL. Hal ini
menyebabkan sangat sedikitnya andrografolid yang berfluoresensi sehingga tidak
terlihat oleh mata.
Kemudian dilakukan pemisahan dengan kromatografi kolom lambat yang dimana
dapat digunakan untuk pemisahan pada satu sampel yang berupa campuran dengan
berat beberapa gram (Kristanti dkk., 2008). Prinsip Kromatografi kolom adalah suatu
teknik pemisahan yang didasarkan pada peristiwa adsorpsi. Sampel yang biasanya
berupa larutan pekat diletakkan pada ujung atas kolom. Eluen atau pelarut dialirkan
secara kontinu ke dalam kolom. Dengan adanya gravitasi atau karena bantuan tekanan,
maka eluen atau pelarut akan melewati kolom dan proses pemisahan akan terjadi
(Kristanti dkk., 2008). Pada kromatografi kolom lambat, aliran eluen hanya disebabkan
oleh gravitasi.
Fraksi pemisahan I (bagian yang tidak larut air) yang akan digunakan untuk
pemisahan, diuapkan pelarutnya terlebih dahulu. Ekstrak kental ini kemudian
direkonstitusi dengan metanol sampai larut dan diusahakan larutan yang dibuat sepekat
mungkin. Fase diam yang digunakan dalam kromatografi kolom lambat ini adalah silika
gel. Kolom yang digunakan memiliki tinggi 10 cm. Pembuatan kolom dilakukan dengan
cara basah karena pada umumnya cara basah lebih sering digunakan untuk pembuatan
kolom silika gel, sedangkan cara kering digunakan untuk pembuatan kolom alumina
(Kusmardiyani dan Nawawi, 1992). Pembuatan dengan cara basah juga bertujuan
supaya kolom yang terbentuk lebih kompak karena adsorben telah dibuat menjadi bubur
terlebih dahulu sehingga diharapkan terjadi pemisahan yang optimal. Bagian bawah
kolom diisi dengan glass wool untuk menahan adsorben (Kusmardiyani dan Nawawi,
1992). Glass wool ini berfungsi mencegah fase diam melewati kran yang dapat
menyumbat kran saat dilakukan pengelusian.Silika gel yang digunakan sebagai
adsorben sebanyak 7,449 gram. Silika gel ini dibuat bubur dengan cara melarutkannya
dengan kloroform. Kloroform dipilih karena untuk memberikan pelarut yang cenderung
non-polar. Dengan adanya pelarut non-polar, pengotor-pengotor non-polar yang melekat
42
pada silika gel akan dialirkan bersama aliran eluen. Bubur yang telah terbentuk
dimasukkan sedikit demi sedikit secara kontinyu ke dalam kolom yang telah diisi
kloroform setinggi 10 cm melalui dinding kolom dan diusahakan tidak terbentuk
gelembung udara. Apabila terbentuk gelembung udara, kolom yang dihasilkan tidak
kompak dan proses pemisahan tidak optimum. Gelembung yang terbentuk dapat diatasi
dengan memukul-mukul dinding kolom secara perlahan. Setiap memasukan bubur silika
ke dalam kolom, dinding kolom diketuk-ketukkan agar lapisan adsorben yang terbentuk
benar-benar mampat (tidak ada gelembung udara). Selain itu, pada saat penuangan
bubur silika, bubur silika diaduk dan ditambahkan kloroform secara kontinyu untuk
menghindari keringnya silika. Silika yang menempel pada dinding kolom harus segera
dibilas dengan eluen untuk menghindari mengerasnya silika pada dinding kolom.
Kolom yang baik adalah kolom yang adsorbennya kompak dan tidak terdapat
gelembung udara didalamnya karena gelembung udara dan celah pada adsorben
mengakibatkan kolom akan pecah dan dapat mengganggu proses pemisahan. Saat
pengisian bubur silika gel ke dalam kolom, kran dibuka untuk mengalirkan eluen
dengan kecepatan tertentu dan dijaga supaya eluen tetap membasahi silika. Setelah
semua bubur dimasukkan ke dalam kolom, pada bagian atas silika diberi eluen kira-kira
setinggi 5 cm kemudian ditutup dengan plastik ikan dan aluminium foil untuk mencegah
keringnya silika selama penyimpanan. Kolom yang telah dibuat didiamkan selama satu
hari supaya kolom yang terbentuk lebih kompak dan proses pemampatan fase diam
menjadi lebih sempurna dan selama didiamkan harus terdapat sejumlah tertentu fase
gerak di bagian atas kolom untuk mencegah kering dan rusaknya kolom. Pecahnya
kolom atau fase diam yang mengering dapat mengganggu proses pemisahan, sehingga
pemisahannya tidak maksimal. Selain itu, kolom harus dalam keadaan tertutup rapat
agar tidak memungkinkan udara untuk masuk (Kristanti dkk., 2008).
Sebelum diisi cuplikan, kolom terlebih dahulu diekuilibrasi dengan 20 mL
klorofom supaya kolom tersebut lebih kompak. Pemisahan dengan kromatografi kolom
dilakukan dengan meletakkan campuran yang akan dipisahkan pada bagian atas kolom
adsorben yang berada dalam suatu tabung. Pelarut karena gaya berat dibiarkan mengalir
melalui kolom membawa serta pita linarut yang bergerak dengan kecepatan berbeda.
Linarut yang telah terpisah dikumpulkan berupa fraksi yang keluar dari bagian bawah
kolom (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992). Pengisian cuplikan dilakukan dengan
43
memasukkan cuplikan ke dalam kolom dengan bantuan pipet secara hati-hati melalui
dinding kolom supaya tidak merusak kolom yang telah dibuat. Sampel yang menempel
pada dinding kolom dibilas dengan menggunakan eluen kloroform.
Elusi pertama dilakukan dengan mengalirkan pelarut kloroform. Kecepatan
penetesan eluat keluar dari kolom diatur konstan dan eluat yang keluar ditampung setiap
5 mL dengan cara manual menggunakan botol vial yang telah ditera terlebih dahulu.
Sedangkan elusi kedua menggunakan pelarut metanol. Kecepatan elusi tidak boleh
terlalu cepat sehingga senyawa berada dalam keseimbangan antara fase diam dan fase
gerak, sebaliknya jika kecepatan elusi ini terlalu kecil, maka senyawa-senyawa akan
terdifusi ke dalam eluen dan akan menyebabkan pita makin lama makin lebar yang
akibatnya pemisahan tidak dapat berlangsung dengan baik kecepatan elusi yang besar
dapat dilakukan jika yang akan dipisahkan adalah campuran senyawa yang memiliki
kepolaran yang sangat berbeda (Kristanti dkk., 2008).
Pemisahan dengan kolom kromatografi ini menghasilkan 3 fraksi, yaitu fraksi
klorofom dan metano I dan metanol II. Elusi dengan klorofom untuk bertujuan untuk
menghilangkan pengotor yang bersifat nonpolar dari ekstrak, sedangkan andrografolid
akan tertahan pada fase diam. Andrografolid bersifat mudah larut dalam methanol,
sehingga andrografolid akan terelusi dengan metanol (Kumoro, 2007). Fraksi klorofom
berwarna hijau pekat kehitaman, sedangkan fraksi metanol I dan metanol II berwarna
hijau kecoklatan.Masing – masing fraksi kemudian dianalisis dengan kromatografi lapis
tipis untuk melihat kemurniannya.
Hasil pemisahan kromatografi kolom lambat didapatkan 3 fraksi, yaitu fraksi
kloroform, fraksi metanol I, dan fraksi metanol II. Dari ketiga fraksi tersebut
selanjutnya diuji menggunakan metode kromatografi lapis tipis (KLT) untuk
mengetahui pada fraksi mana yang mengandung senyawa aktif andrografolid.
Pertama –tama disiapkan fase diam yaitu plat KLT silika gel GF254 yang dipotong
dengan ukuran 3,2 x 10 cm. Plat kemudian diberi batas atas dan bawah 0,5cm, batas
kanan dan kiri plat sebesar 1 cm, dan jarak antara penotolan fraksi sebesar 0,6 cm.
Setelah dipotong, plat dicuci dengan metanol dan diaktivasi pada suhu 110oC selama 15
menit. Tujuannya adalah untuk menghilangkan pengotor pada plat selama masa
penyimpanan dan mengaktifkan sisi aktif dari plat silika. Ketiga fraksi kemudian
diuapkan pelarutnya dan dilarutkan kembali dengan metanol lalu ditotolkan pada plat
44
sebanyak 4 µL. Plat kemudian dielusi menggunakan fase gerak kloroform : metanol (9:1 v/v) sebanyak 10 mL dengan jarak pengembangan sebesar 8,5cm. Setelah dielusi, plat
diangin –anginkan dan diamati di bawah lampu UV 254 dan 366 nm.
Pada pengamatan dibawah UV 254 nm dapat diamati semua spot mengalami
pemadaman fluoresensi. Pada fraksi kloroform yang ditotolkan terlihat 3 spot yang
memiliki nilai Rf berturut –turut dari atas ke bawah 0,42 ; 0,73; dan 0,95. Pada fraksi
metanol I yang ditotolkan juga ditemui 3 spot dengan nilai Rf berturut –turut 0,42; 0,72;
dan 0,95. Sedangkan pada fraksi metanol II hanya ditemukan satu spot saja dengan nilai
Rf 0,44.
Pada pengamatan di bawah UV 366 nm, dapat diamati pada fraksi kloroform
terdapat dua spot yang masing –masing memiliki nilai Rf 0,14 dan 0,28. Sedangkan
pada fraksi metanol I ditemukan 4 spot yang memiliki nilai Rf berturut –turut sebesar
0,13; 0,19; 0,24; dan 0,29. Namun, pada fraksi metanol II tidak dijumpai adanya spot.
Berdasarkan data dari pustaka, andografolid mengalami pemadaman fluoresensi
pada UV 254 nm dan berfluoresensi biru di bawah UV 366 nm serta memiliki nilai Rf
0,36 pada sistem fase gerak kloroform : metanol (9:1 v/v). Sehingga dari hasil
pengamatan diduga, senyawa andrografolid berada pada fraksi kloroform dan metanol I.
Namun, adanya pengaruh lingkungan menyebabkan perbedaan pada nilai Rf yang
dihasilkan, yaitu berkisar antara 0,28 dan 0,29. Namun, fraksi kloroform dipilih untuk
dianalisis lebih lanjut karena dilihat dari pemisahan fraksi tersebut lebih baik dan
cenderung lebih sedikit terdapat pengotor karena spot yang dihasilkan terlihat lebih
bersih dibandingkan pada fraksi metanol I.
Berdasarkan hasil KLT terhadap standar kristal andrografolid (sampel 1), kristal
yang terbentuk dari fase kloroform (sampel 2), dan fase kloroform (sampel 3), dapat
disimpulkan bahwa sampel 2 merupakan andrografolid karena memiliki Rf yang mirip
dengan standar yaitu 0,4. Pada fase kloroform juga terdapat spot yang memiliki nilai Rf
yang sama dengan sampel 2 sehingga fase kloroform masih dapat dikristalisasi untuk
mendapatkan kristal.
Kristal yang terbentuk dari fase kloroform kemudian direkristalisasi menggunakan
metanol untuk mendapatkan kristal yang berwarna lebih bersih. Hal tersebut dilakukan
karena pembentukan kristal dari fase kloroform menghasilkan kristal yang berwarna
hijau karena masih tercampur dengan klorofil. Digunakan methanol sebagai pelarut
45
karena andrografolid mudah larut dalam methanol sehingga membutuhkan volume kecil
untuk menjenuhkan pelarut dengan Kristal andrografolid. Larutan yang telah lewat
jenuh dengan proses pendinginan perlahan akan mengendapkan kembali Kristal-kristal
yang lebih bersih. Sebelum dilakukan proses pendinginan, larutan disaring terlebih
dahulu dalam keadaan panas bertujuan untuk memisahkan pengotor-pengotor tak larut.
Proses rekristalisasi memerlukan waktu 24 jam untuk pembentukan kembali kristal
karena dengan pendinginan yang perlahan dapat menghasilkan kristal yang lebih kecil
dan lebih putih karena pengotor (klorofil) tidak ikut terperangkap di dalam kisi kristal.
Apabila pendinginan dilakukan dengan cepat maka akan terbentuk kristal yang besar
namun masih menjerat pengotor sehingga harus dilakukan rekristalisasi kembali.
Identifikasi terhadap kristal yang diperoleh dilakukan uji kualitatif dengan
teknik KLT-Spektrodensitometri. Kristal yang diperoleh dilarutkan dengan metanol
kemudian ditotolkan pada plat KLT Silika Gel GF254. sebelum ditotolkan, plat
seharusnya terlebih dahulu dicuci dengan menggunakan metanol dan diaktivasi pada
suhu 1100C selama 30 menit, namun karena keterbatasan waktu langkah tersebut tidak
dilakukan. Proses pencucian ini bertujuan untuk menghilangkan pengotor yang dapat
mengganggu proses pendeteksian analit dalam sampel, metanol dipilih karena sifatnya
yang mudah menguap serta merupakan pelarut universal dimana bisa melarutkan
senyawa baik polar maupun non polar. Sedangkan pengaktivasian bertujuan untuk
mengaktifkan sisi aktif dari plat silica GF254 yang digunakan serta menjaga kelembapan
pada plat. Penotolan diusahakan sekecil mungkin agar hasil bercak yang didapat tidak
melebar yang akan mengganggu proses scanning dan memungkinkan terjadinya
himpitan puncak (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992)
Sebelum dielusi dilakukan penjenuhan chamber yang bertujuan
menyeimbangkan tekanan uap dalam chamber sehingga proses pengelusian berjalan
dengan baik. Sebelum ditambahkan fase gerak, didalam chamber terlebih dahulu
diletakkan kertas saring sebagai penanda kejenuhan. Setelah dielusi plat dikeringkan
dengan cara diangin-anginkan. Tujuan dari pengeringan yaitu menguapkan sisa pelarut
yang masih terdapat pada plat KLT sehingga tidak menggangu proses scaning
denganspektrofotodensitometer. Selanjutnya plat dideteksi pada sinar UV 254 nm dan
366 nm untuk melihat spot yang terdapat. Dari hasil pengamatan pada UV 254 terlihat
1 spot yang sangat besar dan berwarna gelap (pemadaman fluoresensi) dengan Rf 0,62
46
dan terdapat tailing. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pemisahan yang kurang
sempurna sehingga spot tidak memisah dengan baik dan menumpuk. Pada pengamatan
UV 366 nm tidak terlihat adanya spot. Andrografolid pada UV 366 akan berpendar biru
jika konsentrasinya mencukupi. Dalam hal ini tidak adanya pendaran biru mungkin
disebabkan kurangnya konsentrasi Andrografolid pada spot.
Selanjutnya dilakukan pengamatan menggunakan KLT-Densitometer. Prinsip
dari densitometer adalah berdasarkan penyerapan radiasi elektromagnetik sinar UV-Vis
dengan analit yang berupa noda pada plat. Scanning dilakukan pada rentang panjang
gelombang 200 sampai 400 nm. Andrografolid dapat dideteksi menggunakan
spektrofotodensitometer pada panjang gelombang UV-Vis karena andrografolid
memiliki gugus kromofor. Radiasi elektromagnetik yang mengenai analit akan diserap
oleh gugus kromofor dari analit dimana besarnya serapan dapat diukur. Radiasi
elektromagnetik yang diabsorpsi oleh analit atau indikator plat dapat diemisikan berupa
flouresensi dan fosforesensi (Sherma and Fried 1994). Pemadaman flouresensi indikator
F-254 dapat terjadi akibat adanya noda pada plat sehingga teramati di bawah lampu UV
sebagai noda hitam (Mulja dan Suharman, 1995).
Hasil dari KLT-Densitometri dicocokan dengan spektrum dan nilai Rf
berdasarkan pustaka dan reference data bank yang terdapat pada komputer untuk
mengetahui golongan kandungan kimia yang terdapat pada fraksi. Dari hasil scanning
diperoleh 3 puncak yaitu pada panjang gelombang 209 nm, 204 nm dan 234 nm. Pada
panjang gelombang 200-210 semua analit baik pengotor dan pelarut dapat terdeteksi,
sehingga puncak yang diduga andrografolid adalah puncak dengan panjang gelombang
234 nm yaitu spot 3. Berdasarkan pustaka panjang gelombang maksimum andrografolid
pada larutan etanol adalah 223 nm (Kumoro, 2007) dan 230 nm (Awal, 2011). Namun
Panjang gelombang maksimum dari spot juga sama dengan panjang gelombang
maksimum andrografolid pada reference data bank yang terdapat pada komputer yaitu
234-235 nm. Pola spektrum spot 3 sampel kristal juga memiliki kemiripan dengan pola
spektrum standar androfragolid pada reference data bank yang terdapat pada computer
sehingga dapat dikatakan bahwa kristal yang diperoleh merupakan andrografolid. Nilai
Rf yang diperoleh sebesar 0,58 dimana nilai tersebut berbeda dengan pustaka yang
mengatakan nilai Rf andrografolid dengan fase gerak kloroform : methanol (9:1) adalah
sebesar 0,36 (Awal, 2011).
47
Gambar 5.4. Spektrum Spot 3 Hasil Scan
Gambar 5.5. Spektrum Standar Andrografolid pada reference data bank.
Terjadinya perbedaan panjang gelombang maksimum dan nilai Rf pada percobaan
dengan literatur mungkin dikarenakan perbedaan kondisi yang digunakan pada
praktikum dan saat penetapan panjang gelombang maksimum pada literatur seperti hal
nya suhu dapat juga mempengaruhi hasil absorbansi yang diperoleh, sehingga sebaiknya
identifikasi dilakukan dengan menggunakan standar baku andrografolid. Adanya 3
puncak pada spektrum menandakan bahwa kristal belum murni dan masih terdapat
pengotor sehingga untuk selanjutnya perlu dilakukan pemurnian terhadap kristal.
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
6.1.1 Metode yang dapat digunakan dalam isolasi senyawa andrografolid dari herba
sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.)), diantaranya ekstraksi dengan
48
Standar Andrografolid
metode maserasi, ekstraksi padat-cair, kromatografi kolom lambat dan
rekristalisasi.
6.1.2 Identifikasi senyawa andrografolid dari herba sambiloto (Andrographis
paniculata (Burm.f.)), dapat dilakukan dengan skrining fitokimia dengan
melihat hasil positif pada pengujian terpenoid dan metode KLT-Densitometer
dengan cara membandingkan pola spectrum serta nilai Rf dengan pustaka
yang tersedia.
6.2 Saran
Saran penulis untuk praktikum selanjutnya adalah bila memungkinkan
sebaiknya digunakan standar androgafolid dalam identifikasi sehingga dapat dihitung
nilai kemurian isolat androgafolid yang didapat.
49