51
BAB I PENDAHULUAN Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Diperkirakan lebih dari 30% jumlah penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia. Kelainan ini mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi serta kesehatan fisik. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala dari berbagai macam penyakit dasar. Oleh karena itu penentuan penyakit dasar juga penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari, anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas. Berdasarkan standar kompetensi dokter Indonesia yang dibuat oleh Divisi Standar Pendidikan Kolegium Dokter Indonesia, dokter umum diharapkan dapat menegakkan diagnosis anemia (defisiensi besi, megaloblastik, aplastik, hemolitik) berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium. Untuk anemia defisiensi besi, dokter umum harus mampu melakukan penanganan. Untuk 1

Anemia

  • Upload
    syahid

  • View
    21

  • Download
    3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

anemia

Citation preview

ANEMIA

BAB IPENDAHULUAN

Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik di seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Diperkirakan lebih dari 30% jumlah penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia. Kelainan ini mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi serta kesehatan fisik.

Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala dari berbagai macam penyakit dasar. Oleh karena itu penentuan penyakit dasar juga penting dalam pengelolaan kasus anemia, karena tanpa mengetahui penyebab yang mendasari, anemia tidak dapat diberikan terapi yang tuntas.

Berdasarkan standar kompetensi dokter Indonesia yang dibuat oleh Divisi Standar Pendidikan Kolegium Dokter Indonesia, dokter umum diharapkan dapat menegakkan diagnosis anemia (defisiensi besi, megaloblastik, aplastik, hemolitik) berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium. Untuk anemia defisiensi besi, dokter umum harus mampu melakukan penanganan. Untuk anemia megaloblastik, aplastik, hemolitik, dokter umum hanya sampai tahap merujuk serta mengetahui komplikasi penyakit tersebut. Oleh karena itu, dalam referat ini akan dibahas mengenai keempat jenis anemia tersebut.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1 Definisi

Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.2.2 Kriteria

Parameter yang paling umum untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologis tergantung jenis kelamin, usia, kehamilan dan ketinggian tempat tinggal (Adamson WJ et al, 2005). Kriteria anemia menurut WHO adalah: NOKELOMPOKKRITERIA ANEMIA

1.Laki-laki dewasa< 13 g/dl

2.Wanita dewasa tidak hamil< 12 g/dl

3.Wanita hamil< 11 g/dl

2.3 Klasifikasi

Anemia dapat diklasifikasikan berdasarkan morfologi dan etiologi. Klasifikasi morfologi didasarkan pada ukuran dan kandungan hemoglobin (Adamson WJ et al, 2005).

NoMorfologi SelKeteranganJenis Anemia

1.Anemia makrositik normokromikBentuk eritrosit yang besar dengan konsentrasi hemoglobin yang normal Anemia Pernisiosa

Anemia defisiensi folat

2.Anemia mikrositik - hipokromikBentuk eritrosit yang kecil dengan konsentrasi hemoglobin yang menurun Anemia defisiensi besi

Anemia sideroblastik

Thalasemia

3.Anemia normositik normokromikPenghancuran atau penurunan jumlah eritrosit tanpa disertai kelainan bentuk dan konsentrasi hemoglobin Anemia aplastik

Anemia posthemoragik

Anemia hemolitik

Anemia Sickle Cell

Anemia pada penyakit kronis

Menurut etiologinya, anemia dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu gangguan produksi sel darah merah pada sumsum tulang (hipoproliferasi), gangguan pematangan sel darah merah (eritropoiesis yang tidak efektif), dan penurunan waktu hidup sel darah merah (kehilangan darah atau hemolisis).

1. HipoproliferatifHipoproliferatif merupakan penyebab anemia yang terbanyak. Anemia hipoproliferatif ini dapat disebabkan karena:a. Kerusakan sumsum tulang

Keadaan ini dapat disebabkan oleh obat-obatan, penyakit infiltratif (contohnya: leukemia, limfoma), dan aplasia sumsum tulang.

b. Defisiensi besi

c. Stimulasi eritropoietin (EPO) yang inadekuat

Keadaan ini terjadi pada gangguan fungsi ginjal

d. Supresi produksi EPO yang disebabkan oleh sitokin inflamasi (misalnya: interleukin 1)

e. Penurunan kebutuhan jaringan terhadap oksigen (misalnya pada keadaan hipotiroid)

Pada jenis ini biasanya ditemukan eritrosit yang normokrom normositer, namun dapat pula ditemukan gambaran eritrosit yang hipokrom mikrositer, yaitu pada defisiensi besi ringan hingga sedang dan penyakit inflamasi. Kedua keadaan tersebut dapat dibedakan melalui pemeriksaan persediaan dan penyimpanan zat besi.

Defisiensi besiInflamasi

Fe serumRendahRendah

TIBCTinggiNormal atau rendah

Saturasi transferinRendahRendah

Feritin serumRendahNormal atau tinggi

2. Gangguan pematangan

Pada keadaan anemia jenis ini biasanya ditemukan kadar retikulosit yang rendah, gangguan morfologi sel (makrositik atau mikrositik), dan indeks eritrosit yang abnormal. Gangguan pematangan dapat dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu (Guyton and Hall, 1997):

a. Gangguan pematangan inti

Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa makrositik. Penyebab dari gangguan pematangan inti adalah defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme DNA (seperti metotreksat, alkylating agent), dan myelodisplasia. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan pematangan inti, namun keadaan ini lebih disebabkan oleh defisiensi asam folat.

b. Gangguan pematangan sitoplasma

Pada keadaan ini biasanya ditmukan kelainan morfologi berupa mikrositik dan hipokromik. Penyebab dari gangguan pematangan sitoplasma adalah defisiensi besi yang berat, gangguan sintesa globin (misalnya pada thalasemia), dan gangguan sintesa heme (misalnya pada anemia sideroblastik)3. Penurunan waktu hidup sel darah merah

Anemia jenis ini dapat disebabkan oleh kehilangan darah atau hemolisis. Pada kedua keadan ini akan didapatkan peningkatan jumlah retikulosit. Kehilangan darah dapat terjadi secara akut maupun kronis. Pada fase akut, belum ditemukan peningkatan retikulosit yang bermakna karena diperlukan waktu untuk terjadinya peningkatan eritropoietin dan proliferasi sel dari sumsum tulang. Sedangkan pada fase kronis gambarannya akan menyerupai anemia defisiensi besi (Guyton and Hall, 1997).

Gambaran dari anemia hemolitik dapat bermacam-macam, dapat akut maupun kronis. Pada anemia hemolisis kronis, seperti pada sferositosis herediter, pasien datang bukan karena keadaan anemia itu sendiri, melainkan karena komplikasi yang ditimbulkan oleh pemecahan sel darah merah dalam jangka waktu lama, seperti splenomegali, krisis aplastik, dan batu empedu. Pada keadaan yang disebabkan karena autoimun, hemolisis dapat terjadi secara episodik (self limiting) (Guyton and Hall, 1997).

Gambar 1: klasifikasi anemia berdasarkan indeks eritrosit2.4 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium yang digunakan untuk menegakkan diagnosis anemia adalah:1. Complete Blood Count (CBC)A. Eritrosit

a. Hemoglobin (N : 12-16 gr/dl ; : 14-18 gr/dl)b. Hematokrit (N : 37-47% ; : 42-52%)B. Indeks eritrosit

a. Mean Cell Volume (MCV) = hematokrit x 10

Jumlah eritrosit x 10 6

(N: 90 + 8 fl)

b. Mean Cell Hemoglobin (MCH) = hemoglobin x 10

Jumlah eritrosit x 10 6

(N: 30 + 3 pg)

c. Mean Cell Hemoglobin Concentration (MCHC) = hemoglobin x 10

Hematokrit

(N: 33 + 2%)C. Leukosit (N : 4500 11.000/mm3)D. Trombosit (N : 150.000 450.000/mm3)2. Sediaan Apus Darah Tepia. Ukuran sel

b. Anisositosis

c. Poikolisitosis

d. Polikromasia

3. Hitung Retikulosit ( N: 1-2%)4. Persediaan Zat Besi

a. Kadar Fe serum ( N: 9-27mol/liter )b. Total Iron Binding Capacity ( N: 54-64 mol/liter)c. Feritin Serum ( N : 30 mol/liter ; : 100 mol/liter)5. Pemeriksaan Sumsum Tulang

a. Aspirasi

E/G ratio

Morfologi sel

Pewarnaan Fe

b. Biopsi

Selularitas

Morfologi

I. Pemeriksaan Complete Blood Count (CBC)

Kriteria apakah seseorang menderita anemia dapat dilihat dari kadar hemoglobin dan hematokritnya. Selain itu, indeks eritrosit dapat digunakan untuk menilai abnormalitas ukuran eritrosit dan defek sintesa hemoglobin.Bila MCV < 80, maka disebut mikrositosis dan bila > 100 dapat disebut sebagai makrositosis. Sedangkan MCH dan MCHC dapat menilai adanya defek dalam sintesa hemoglobin (hipokromia)

II. Sediaan Apus Darah Tepi (SADT)SADT akan memberikan informasi yang penting apakah ada gangguan atau defek pada produksi sel darah merah. Istilah anisositosis menunjukkan ukuran eritrosit yang bervariasi, sedangkan poikilositosis menunjukkan adanya bentuk dari eritrosit yang beraneka ragam. III. Hitung Retikulosit

Pemeriksaan ini merupakan skrining awal untuk membedakan etiologi anemia. Normalnya, retikulosit adalah sel darah merah yang baru dilepas dari sumsum tulang. Retikulosit mengandung residual RNA yang akan dimetabolisme dalam waktu 24-36 jam (waktu hidup retikulosit dalam sirkulasi). Kadar normal retikulosit 1-2% yang menunjukkan penggantian harian sekitar 0,8-1% dari jumlah sel darah merah di sirkulasi.

Indeks retikulosit merupakan perhitungan dari produksi sel darah merah. Nilai retikulosit akan disesuaikan dengan kadar hemoglobin dan hematokrit pasien berdasarkan usia, gender, sarta koreksi lain bila ditemukan pelepasan retikulosit prematur (polikromasia). Hal ini disebabkan karena waktu hidup dari retikulosit prematur lebih panjang sehingga dapat menghasilkan nilai retikulosit yang seolah-olah tinggi.

RI = (% retikulosit x kadar hematokrit/45%) x (1/ faktor koreksi)

Faktor koreksi untuk:

Ht 35% : 1,5Ht 25% : 2,0

Ht 15% : 2,5

Keterangan: RI < 2-2,5% : produksi atau pematangan eritrosit yang tidak adekuat

RI > 2,5% : penghancuran eritrosit yang berlebihan

IV. Persediaan dan Penyimpanan Zat Besi

Saturasi transferin didapatkan dari pembagian kadar Fe serum dengan TIBC dikali 100 (N: 25-50%). Pada pengukuran kadar Fe plasma dan persen saturasi transferin, terdapat suatu variasi diurnal dengan puncaknya pada pk 09.00 dan pk. 10.00 (Guyton and Hall, 1997).

Serum feritin digunakan untuk menilai cadangan total besi tubuh. Namun, feritin juga merupakan suatu reaktan fase akut, dan pada keadaan inflamasi baik akut maupun kronis, kadarnya dapat meningkat (Guyton and Hall, 1997).V. Pemeriksaan Sumsum Tulang

Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai apakah ada gangguan pada sumsum tulang misalnya myelofibrosis, gangguan pematangan, atau penyakit infiltratif. Peningkatan atau penurunan perbandingan dari suatu kelompok sel (myeloid atau eritroid) dapat ditemukan dari hitung jenis sel-sel berinti pada suumsum tulang (ratio eritroid dan granuloid).1. Anemia Defisiensi BesiAnemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling sering ditemukan terutama di negara berkembang. Penyebabnya antara lain (Adamson WJ et al, 2005):

Faktor nutrisi: rendahnya asupan besi total dalam makanan atau bioavailabilitas besi yang dikonsumsi kurang baik (makanan banyak serat, rendah daging, dan rendah vitamin C).

Kebutuhan yang meningkat, seperti pada bayi prematur, anak dalam pertumbuhan, ibu hamil dan menyusui.

Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, colitis kronik, atau achlorhydria.

Kehilangan besi akibat perdarahan kronis, misalnya: perdarahan tukak peptik, keganasan lambung/kolon, hemoroid, infeksi cacing tambang, menometrorraghia, hematuria, atau hemaptoe. A. Metabolisme Besi

Total besi dalam tubuh manusia dewasa sehat berkisar antara 2 gram (pada wanita) hingga 6 gram (pada pria) yang tersebar pada 3 kompartemen, yakni 1). Besi fungsional, seperti hemoglobin, mioglobin, enzim sitokrom, dan katalase, merupakan 80 % dari total besi yang terkandung jaringan tubuh. 2). Besi cadangan, merupakan 15-20% dari total besi dalam tubuh, seperti feritin dan hemosiderin. 3). Besi transport, yakni besi yang berikatan pada transferin (Guyton and Hall, 1997).

Sumber besi dalam makanan terbagi ke dalam 2 bentuk:

1. Besi heme, terdapat dalam daging dan ikan. Tingkat absorpsinya tinggi (25% dari kandungan besinya dapat diserap) karena tidak terpengaruh oleh faktor penghambat.

2. Besi non-heme, berasal dari tumbuh-tumbuhan. Tingkat absorpsi rendah (hanya 1-2% dari kandungan besinya yang dapat diserap). Mekanisme absorpsinya sangat rumit dan belum sepenuhnya dimengerti. Absorpsi sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pemacu absorpsi (meat factors, vitamin C) dan faktor penghambat (serat, phytat, tanat). Proses absorpsi besi dibagi menjadi 3 fase (Guyton and Hall, 1997):

Fase Luminal: besi dalam makanan diolah oleh lambung (asam lambung menyebabkan heme terlepas dari apoproteinnya) hingga siap untuk diserap.

Fase Mukosal: proses penyerapan besi di mukosa usus. Bagian usus yang berperan penting pada absorpsi besi ialah duodenum dan jejunum proksimal. Namun sebagian kecil juga terjadi di gaster, ileum dan kolon. Penyerapan besi dilakukan oleh sel absorptive yang terdapat pada puncak vili usus. Besi heme yang telah dicerna oleh asam lambung langsung diserap oleh sel absorptive, sedangkan untuk besi nonheme mekanisme yang terjadi sangat kompleks. Setidaknya terdapat 3 protein yang terlibat dalam transport besi non heme dari lumen usus ke sitoplasma sel absorptif. Luminal mucin berperan untuk mengikat besi nonheme agar tetap larut dan dapat diserap meskipun dalam suasana alkalis duodenum. Agar dapat memasuki sel, pada brush border sel terjadi perubahan besi feri menjadi fero oleh enzim feri reduktase yang diperantarai oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membrane difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT-1 atau Nramp-2). Sesampainya di sitoplasma sel usus, protein sitosol (mobilferrin) menangkap besi feri. Sebagian besar besi akan disimpan dalam bentuk feritin dalam mukosa sel usus, sebagian kecil diloloskan ke dalam kapiler usus melalui basolateral transporter (ferroportin atau IREG 1). Besi yang diloloskan akan mengalami reduksi dari molekul fero menjadi feri oleh enzim ferooksidase, kemudian berikatan dengan apotransferin dalam kapiler usus.

Gambar 4: proses absorbsi besi

Fase corporeal: meliputi proses transportasi besi dalam sirkulasi, utilisasi besi oleh sel yang membutuhkan, dan penyimpanan besi di dalam tubuh. Dalam sirkulasi, besi tidak pernah berada dalam bentuk logam bebas, melainkan berikatan dengan suatu glikoprotein (-globulin) pengikat besi yang diproduksi oleh hepar (transferin). Besi bebas memiliki sifat seperti radikal bebas dan dapat merusak jaringan. Transferin berperan mengangkut besi kepada sel yang membutuhkan terutama sel progenitor eritrosit (normoblas) pada sumsum tulang. Permukaan normoblas memiliki reseptor transferin yang afinitasnya sangat tinggi terhadap besi pada transferin. Kemudian besi akan masuk ke dalam sel melalui proses endositosis menuju mitokondria. Disini besi digunakan sebagai bahan baku pembentukan hemoglobin (Guyton and Hall, 1997).

Kelebihan besi di dalam darah disimpan dalam bentuk feritin (kompleks besi-apoferitin) dan hemosiderin pada semua sel tubuh terutama hepar, lien, sumsum tulang, dan otot skelet. Pada hepar feritin terutama berasal dari transferin dan tersimpan pada sel parenkimnya, sedangkan pada organ yang lain, feritin terutama terdapat pada sel fagosit mononuklear (makrofag monosit) dan berasal dari pembongkaran eritrosit. Bila jumlah total besi melebihi kemampuan apoferitin untuk menampungnya maka besi disimpan dalam bentuk yang tidak larut (hemosiderin). Bila jumlah besi plasma sangat rendah, besi sangat mudah dilepaskan dari feritin, tidak demikian pada hemosiderin. Feritin dalam jumlah yang sangat kecil terdapat dalam plasma, bila kadar ini dapat terdeteksi menunjukkan cukupnya cadangan besi dalam tubuh (Guyton and Hall, 1997).

Gambar 5: distribusi besi dalam tubuhB. Sintesis Hemoglobin

Sintesis hemoglobin dimulai sejak stadium pronormoblas, namun hanya sedikit sekali rantai hemoglobin yang terbentuk. Begitu pula pada stadium normoblas basofil. Baru pada stadium normoblas polikromatofil sitoplasma sel mulai dipenuhi dengan hemoglobin ( 34%). Sintesa ini terus berlangsung hingga retikulosit dilepaskan ke peredaran darah (Bakta I Made, dkk, 2006).

Pada tahap pertama pembentukan hemoglobin, 2 suksinil Ko-A yang berasal dari siklus krebs berikatan dengan 2 molekul glisin membentuk molekul pirol. Empat pirol bergabung membentuk protoporfin IX, yang selanjutnya akan bergabung dengan besi membentuk senyawa heme. Akhirnya setiap senyawa heme akan bergabung dengan rantai polipeptida panjang (globin) sehingga terbentuk rantai hemoglobin. Rantai hemoglobin memiliki beberapa sub unit tergantung susunan asam amino pada polipeptidanya. Bentuk hemoglobin yang paling banyak terdapat pada orang dewasa adalah hemoglobin A (kombinasi 2 rantai dan 2 rantai ). Tiap sub unit mempunyai molekul heme, oleh karena itu dalam 1 rantai hemoglobin memerlukan 4 atom besi. Setiap atom besi akan berikatan dengan 1 molekul oksigen (2 atom O2) (Bakta I Made, dkk, 2006).

Gambar 6: pembentukan hemoglobinC. Klasifikasi Derajat Defisiensi Besi dan Patogenesis

Berdasarkan beratnya kekurangan besi dalam tubuh, defisiensi besi dapat dibagi menjadi 3 tingkatan:

1. Deplesi besi (iron depleted state)

Terjadi penurunan cadangan besi tubuh, tetapi penyediaan untuk eritropoiesis belum terganggu. Pada fase ini terjadi penurunan serum feritin, peningkatan absorpsi besi dari usus, dan pengecatan besi pada apus sumsum tulang berkurang (Bakta I Made, dkk, 2006).2. Iron deficient Erythropoiesis

Cadangan besi dalam tubuh kosong, tetapi belum menyebabkan anemia secara laboratorik karena untuk mencukupi kebutuhan terhadap besi, sumsum tulang melakukan mekanisme mengurangi sitoplasmanya sehingga normoblas yang terbentuk menjadi tercabik-cabik, bahkan ditemukan normoblas yang tidak memiliki sitoplasma (naked nuclei). Selain itu kelainan pertama yang dapat dijumpai adalah penigkatan kadar free protoporfirin dalam eritrosit, saturasi transferin menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat. Parameter lain yang sangat spesifik adalah peningkatan reseptor transferin dalam serum.

Gambar 7: Gambaran apus sumsum tulang penderita anemia defisiensi besi

3. Anemia defisiensi besi

Bila besi terus berkurang eritropoiesis akan semakin terganggu, sehingga kadar hemoglobin menurun diikuti penurunan jumlah eritrosit. Akibatnya terjadi anemia hipokrom mikrositer. Pada saat ini terjadi pula kekurangan besi di epitel, kuku, dan beberapa enzim sehingga menimbulkan berbagai gejala (Adamson WJ et al, 2005).

Beberapa dampak negatif defisiensi besi, disamping terjadi anemia, antara lain:

1. Sistem neuromuskuler

Terjadi penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom, dan gliserofosfat oksidase yang menyebabkan gangguan glikolisis sehingga terjadi penumpukan asam laktat yang mempercepat kelelahan otot.

2. Gangguan perkembangan kognitif dan non kognitif pada anak

Terjadi karena gangguan enzim aldehid oksidase dan monoamin oksidase, sehingga mengakibatkan penumpukan serotonin dan katekolamin dalam otak.

3. Defisiensi besi menyebabkan aktivitas enzim mieloperoksidase netrofil berkurang sehingga menurunkan imunitas seluler. Terutama bila mengenai ibu hamil, akan meningkatkan risiko prematuritas dan gangguan partus.

D. Gejala Anemia defisiensi besi

Digolongkan menjadi 3 golongan besar:

1. Gejala Umum anemia (anemic syndrome)

Dijumpai bila kadar hemoglobin turun dibawah 7 gr/dl. Berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, dan mata berkunang-berkunang. Pada anemia defisiensi besi penurunan Hb terjadi secara bertahap sehingga sindrom ini tidak terlalu mencolok.

2. Gejala khas defisiensi besi, antaralain:

Koilonychia (kuku seperti sendok, rapuh, bergaris-garis vertikal)

Atrofi papil lidah

Cheilosis (stomatitis angularis)

Disfagia, terjadi akibat kerusakan epitel hipofaring sehingga terjadi pembentukan web

Atrofi mukosa gaster, sehingga menyebabkan aklorhidria

Kumpulan gejala anemia hipokrom-mikrositer, disfagia, dan atrofi papil lidah, disebut Sindroma Plummer Vinson atau Paterson Kelly.

3. Gejala akibat penyakit dasar

Misalnya gangguan BAB pada anemia karena Ca-colonE. Pemeriksaan Laboratorium

Kelainan laboratorium yang dapat dijumpai adalah:

1. Kadar hemoglobin dan indek eritrosit:

Anemia hipokrom mikrositer (penurunan MCV dan MCH)

MCHC menurun pada anemia defisiensi besi yang lebih berat dan berlangsung lama

Bila pada SADT terdapat anisositosis, merupakan tanda awal terjadinya defisiensi besi

Pada anemia hipokrom mikrositer yang ekstrim terdapat poikilositosis (sel cincin, sel pensil, sel target)

2. Konsentrasi besi serum menurun dan TIBC meningkat

TIBC menunjukkan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi transferin dihitung dari: Konsentrasi besi serum memiliki siklus diurnal, yakni mencapai kadar puncak pada pukul 8-10 pagi.

3. Penurunan kadar feritin serum

Feritin serum merupakan pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis anemia defisiensi besi yang paling kuat, cukup reliabel dan praktis. Angka serum feritin yang normal belum dapat menyingkirkan diagnosa defisiensi besi, namun feritin serum >100 mg/dl sudah dapat memastikan tidak ada defisiensi.

4. Peningkatan protoporfirin eritrosit

Angka normalnya 100 mg/dl menunjukkan adanya defisiensi besi.

5. Peningkatan reseptor transferin dalam serum (normal 4-9 g/dl), dipakai untuk membedakan anemia defisiensi besi dengan anemia pada penyakit kronis.

6. Gambaran apus sumsum tulang menunjukkan jumlah normoblas basofil yang meningkat, disertai penurunan stadium berikutnya. Terdapat pula mikronormoblas (sitoplasma sedikit dan bentuk tidak teratur. Pengecatan sumsum tulang dengan Prussian blue merupakan gold standar diagnosis defisiensi besi yang akan memberikan hasil sideroblas negatif (normoblas yang mengandung granula feritin pada sitoplasmanya, normal 40-60%).

7. Pemeriksaan mencari penyebab defisiensi, misalnya pemeriksaan feses, barium enema, colon in loop, dll.

F. DiagnosisTiga tahap mendiagnosa suatu anemia defisiensi besi: 1). Menentukan adanya anemia 2). Memastikan adanya defisiensi besi 3). Menentukan penyebab defisiensi. Secara laboratoris dipakai kriteria modifikasi Kerlin untuk menegakkan diagnosa:

anemia hipokrom mikrositer pada SADT ATAU MCV