39
ANEMIA DI DAERAH ENDEMIK MALARIA OLEH : Dr. Dra. Nurhaedar Jafar, Apt,M.Kes

Anemia Di Daerah Endemik Malaria

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

ANEMIA DI DAERAH ENDEMIK MALARIA

OLEH :

Dr. Dra. Nurhaedar Jafar, Apt,M.Kes

PROGRAM STUDI ILMU GIZIFAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN 2011

Page 2: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL...................................................................................................... i

SURAT KETERANGAN................................................................................................. ii

DAFTAR ISI................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………………………………………………………………………….. 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Dasar Patogenesis Penyakit Malaria.................................................... 4

B. Patofisiologi Anemia pada Penyakit Malaria ..................................... 7

B1. Hilangnya Sel Darah Merah yang Terinfeksi................................. 7

B2. Kehilangan Sel darah Merah yang Tidak Terinfeksi...................... 9

B.3 Penekanan Erythropoietic dan Dyserythropoiesis....................... 11

C. Epidemiologi dan Bukti Intervensi Mengenai Zat Besi dan Anemia.. . 19

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 24

DAFTAR PUSTAKA

Page 3: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

BAB I

PENDAHULUAN

Morbiditas dan mortalitas penyakit malaria utamanya

disebabkan oleh infeksi plasmodium falciparum, walaupun p. vivax, p.

ovale, and p. malariae juga berkontribusi terhadap infeksi pada manusia.

Total beban dari penyakit ini diperkirakan hingga 515 juta episode setiap

tahun dan malaria berkontribusi 18% dari semua kematian anak di sub-

Saharan Afrika, yang sebanding dengan 800.000 kematian setiap

tahunnya (Rowe, 2000; Snow, 2005).

Studi mengenai anemia malaria sedikit terlambat menarik

perhatian para akademisi dan professional. Anemia malaria berat sangat

pantas dijadikan sebagai masalah kesehatan masyarakat utama karena

banyaknya jumlah orang yang mengalaminya, dan nampaknya jumlah ini

menjadi semakin meningkat seiring terjadinya resistensi obat antimalaria.

Perhatian terhadap hal ini juga telah didukung oleh data dari penelitian

terbaru mengenai vaksin, yang menyatakan bahwa kera yang diimunisasi

dengan antigen tahap eritrosit, dan yang telah mendapatkan perlindungan

dari infeksi akut, dapat menderita anemia berat selama fase infeksi sub-

akut atau kronis (Egan, 2002; Jones, 2002). Lagipula, terjadi peningkatan

kesadaran mengenai sulitnya pengobatan yang memuaskan melalui

transfuse darah di luar pusat-pusat ahli pada kebanyakan daerah endemic

Page 4: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

sebagai akibat dari terbatasnya suplai darah yang cepat dan aman

(Rowe, 2000; Fleming, 1997).

Anemia malaria berat lebih sering ditemukan pada daerah

dengan penyebaran malaria yang tinggi dan sebagian besar ditemukan

pada anak-anak dan wanita hamil (Greenwood, 1997). Prevalensi anemia

yang didefinisikan sebagai kadar hematokrit (Hct) lebih tinggi dari 0,33,

pada daerah endemic malaria di Afrika, bervariasi antara 31% dan 91%

pada anak-anak dan antara 60% dan 80% pada wanita hamil (Menendez,

2000; Schellenberg, 2003).

Cukup sulit untuk menentukan jumlah kasus anemia berat yang

disebabkan oleh malaria sebagaimana defenisi WHO mengenai anemia

malaria berat (kadar haemoglobin [Hb] < 50 g/L [5 g/dL] atau Hematokrit

[Hct] < 0,15, dalam keadaan adanya parasitemia > 10.000 per mikroliter

[µL), dan sebuah lapisan darah yang normocytic) dapat mengeluarkan

proporsi pertimbangan dari anak anemia berat yang memiliki apusan

darah negative untuk parasit malaria tetapi merespon terhadap

pengobatan antimalaria (Menendez, 1997; Warrel, 1990). Kemungkinan

akan sulit untuk menghubungkan anemia dengan sebuah penyebab

tunggal karena penyebab anemia malaria di daerah endemic biasanya

kompleks dan defisiensi hematinin, sifat genetic, dan infeksi berulang

kesemuanya itu berkontribusi terhadap anemia (Roberts et.al, 2005).

Namun demikian, sebuah randomized placebo-controlled trial profilaksis

Page 5: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

malaria dan suplementasi besi pada bayi, pada sebuah daerah endemic,

telah memperihatkan bahwa infeksi malaria merupakan faktor etiologi

utama yang mendasari terjadinya anemia (Schellenberg et.al, 2001).

Page 6: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

BAB II

PEMBAHASAN

A. Dasar patogenesis penyakit malaria

Patologi malaria terkait dengan fase infeksi darah (Gambar 1)

(Ocana-Morgner et.al, 2003). Infeksi plasmodium Falciparum memiliki laju

multiplikasi yang lebih tinggi yang juga secara konal mengekspresikan

varian antigen pada permukaan eritrosit yang terinfeksi (pf-EMP-1). Pf-

EMP-1 berikatan dengan ligan pada permukaan sel-sel endotel dan

memediasi keberadaan eritrosit yang terinfeksi dalam vena postcapillary.

Kedua karakteristik ini memungkinkan parasit P. falciparum untuk

menghindar dari sistem imun host, yang menyebabkan terjadinya

parasitemia yang tinggi dengan infeksi berulang yang berkontribusi

terhadap keadaaan kronis dari penyakit ini (Hvild, 2005). Pada malaria P.

vivax dan P. ovale, parasitemia yang tinggi jarang terjadi karena invasi

terhadap eritrosit terbatas pada retikulosit. Akan tetapi, P. vivax kadang-

kadang dapat menyebabkan penyakit yang berat termasuk anemia

melalui hemolisis berat (Tjitra, 2005; Rodriquez-Morales, 2006; Nosten,

1999).

Page 7: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

Gambar 1. Siklus hidup parasit malaria (Lamikanra, 2007)

Spektrum gejala klinis dan tingkat keparahan P. falciparum

cukup luas. Pada daerah endemic, banyak infeksi pada anak-anak dan

orang dewasa yang semi-imun dan imun muncul karena penyakit febrile

yang tidak sempurna. Pada sebagian besar penyakit berat, individu non-

imun dapat memiliki sejumlah sindrom termasuk anemia, koma, distress

pernapasan, dan hipoglikemia, serta memiliki frekuensi bakterimia yang

tinggi (Marah, 1995; Berkley, 2005). Banyak anak yang menderita anemia

Page 8: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

ringan, sedang, dan bahkan berat tanpa sindrom penyakit berat yang lain.

Akan tetapi, anemia berat dapat diikuti oleh sindrom penyakit berat yang

lain (Marah, 1999). Sebagai contoh, anak yang menderita anemia dapat

juga memunculkan gejala malaise, kelelahan, dyspnoea, atau distress

pernapasan karena metabolic acidosis supervenes (Krishna, 1994;

English,1997). Distribusi umur pada sindrom penyakit berat ini cukup

menarik, tapi sangat sedikit dipahami. Anak yang lahir di daerah endemic

malaria cukup besar terlindungi dari malaria berat pada 6 bulan pertama

kehidupan melalui transfer pasif immunoglobulin ibu dan haemoglobin

semasa janin. Penampakan penyakit berubah dari anemia berat pada

anak usia 1 sampai 3 tahun di daerah transmisi tinggi menjadi malaria

cerebral pada orang yang lebih tua di daerah transmisi rendah (Snow,

1997). Seiring penurunan intensitas transmisi, malaria berat lebih sering

ditemukan pada kelompok usia yang lebih tua.

Anemia pada malaria P. falciparum memiliki ciri normocytic dan

normochromic, dengan secara khusus tidak adanya retikulosit, walaupun

microcytosis dan hypocromia dapat muncul disebabkan karena sifat

talasemia alpha dan beta dengan frekuensi sangat tinggi dan/atau

defisiensi besi pada daerah endemic malaria (Newton, 1997; Yeats, 1999;

Abdalla, 2004; Roberts, 2005) perbedaan yang jelas pada patofisiologi

anemia dalam berbagai kondisi klinis, usia dan area geografis hanya

sedikit dipahami dan tentunya memerlukan lebih banyak penelitian lagi.

Page 9: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

Bentuk anemia yang kurang umum pada malaria aalah “blackwater fever”

yang ditandai dengan secara tibab-tiba munculnya kemoglobin pada urin

yang terkait dengan penggunaan kina yang tidak beraturan (Stephens,

1937).

Oleh karena itu, keadaan klinis anemia berat cukup bervariasi

dan komplks: infeksi akut kemungkinan menyebabkan anemia dan/atau

malaria cerebral, distress pernapasan, dan hipoglikemia; dan infeksi

kronis, infeksi berulang dapat menyebabkan anemia berat. Di samping itu,

kemungkinan ada pula background Hb normal atau rendah. Dengan

demikian, pemahaman mengenai proses patofisiologi utamanya telah

dikaitkan dengan konteks klinis yang berbeda-beda (Lamikanra, 2007).

B. Patofisiologi Anemia pada Penyakit Malaria

Penyebab yang mendasari anemia malaria berat pada manusia

dapat mencakup satu atau lebih dari beberapa mekanisme berikut: (1)

penghilangan dan / atau penghancuran sel darah merah yang terinfeksi,

(2) penghilangan Sel darah merah yang tidak terinfeksi, (3) penekanan

erythropoietic dan dyserythropoiesis. Setiap dari mekanisme ini telah

terlibat dalam anemia malaria pada manusia.

B.1. Hilangnya sel darah merah yang terinfeksi

Selama infeksi terjadi, ada kehilangan yang jelas dari eritrosit

yang terinfeksi untuk pematangan parasit serta pada saat pengenalan

Page 10: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

makrofag. Jalur fagositik untuk manusia dan tikus dapat dilihat pada

tabel 1 (Casals-Pascual et.al 2006).

Tabel 1. Kenampakan patologis P. Falciparum dan anemia malaria pada manusia dan tikus (Lamikanra, 2007)

Cukup jelas bahwa mekanisme yang sama juga ada untuk

hilangnya eritrosit yang terinfeksi pada manusia dan tikus. Akan

tetapi, hilangnya eritrosit terinfeksi pada manusia dengan parasitemia

kurang dari 1% nampaknya tidak memberikan dampak yang signifikan

pada derajat anemia. Oleh karena itu, penghilangan ini, dapat

membuktikan lebih terkaitnya untuk onset anemia pada individu yang

Page 11: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

menderita infeski akut, khususnya anak-anak dimana parasitemia

biasanya lebih besar dari 10% (Lamikanra, 2007).

B.2. Kehilangan sel darah merah yang tidak terinfeksi

Selama infeksi malaria pada manusia, banyak sel darah

merah yang tidak terinfeksi hancur di limpa dan sangat mungkin di

hati, dan kerusakan sel-sel darah merah ini telah diidentifikasi sebagai

penyumbang utama anemia pada malaria (Price RN, et.al; 2001).

Model matematika dan observasi klinis menunjukkan bahwa sel darah

merah yang tidak terinfeksi 10 kali lebih banyak akan dihapus dari

sirkulasi untuk setiap eritrosit yang terinfeksi (Jakeman, 1999).

Walaupun hanya sedikit pengukuran langsung sel darah merah yang

bertahan yang telah dilakukan untuk infeksi pada manusia,

pengurangan sebagian usia eritrosit normal dan meningkatkanya

penghilangan eritrosit karena panas telah dilakukan pada pasien

malaria, dan konsisten dengan observasi ini (Looareesuwan, 1987).

Kegiatan dan jumlah makrofag juga meningkat selama infeksi

malaria pada manusia, dan karena itu dapat menyebabkan

peningkatan penghilangan sel yang tidak terinfeksi (Jenkins, et.al;

2006). Peningkatan penghlangan eritrosit yang tidak terinfeksi ini tidak

hanya disebabkan aktivasi makrofag limpa tetapi juga untuk

perubahan ekstrinsik dan intrinsik pada sel darah merah yang

meningkatkan keberadaannya dan fagositosis. Pertama, sel darah

Page 12: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

merah yang tidak terinfeksi mengalami penurunan deformabilitas yang

menyebabkan peningkatan penghilangan sel darah merah dalam

limpa. Mekanisme yang bertanggung jawab atas hilangnya

deformabilitas ini belum sepenuhnya dipahami. Peningkatan oksidasi

dalam membrane eritrosit terinfeksi telah terbukti pada anak-anak

dengan malaria falciparum P berat, dan inflamasi yang sedang

berlangsung yang terkait dengan malaria akut (proinflamasi cytokines),

atau efek langsung produk parasit telah terbukti menyebabkan

hilangnya pembentukan sel darah merah (Mohan, 1995; Dondorp,

2003; Omodeo,2005). Menariknya, penurunan deformabilitas sel darah

merah yang parah juga merupakan prediktor yang kuat untuk kematian

diukur pada awal masuk rumah sakit, baik pada orang dewasa

maupun anak-anak dengan malaria berat (Dondorp, et.al; 2002).

Kedua, pengendapan immunoglobulin dan komplemen pada sel darah

merah yang tidak terinfeksi dapat meningkatkan serapan dengan

mediasi reseptor oleh makrofag (Tabel 1) (Lamikanra, 2007).

Produk parasit yang mungkin menjadi bagian dari

imunoglobulin-antigen kompleks diendapkan pada sel darah merah

yang tidak terinfeksi termasuk protein permukaan cincin P falciparum

2 (RSP-2). Protein ini, yang dieksprsesikan secara singkat setelah

invasi merozoit sel darah merah, memediasi adhesi iRBCs ke sel

endotel (Douki JB, et.al; 2003). RSP-2 juga disimpan pada sel darah

Page 13: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

merah yang tidak terinfeksi dan opsonisasi dari bantalan RSP- 2- sel

darah merah yang tidak terinfeksi ini menyediakan mekanisme untuk

menghilangkan sel darah merah yang tidak terinfeksi. Memang

tingginya tingkat antibodi yang memfasilitasi fagositosis yang

dimediasi pelengkap dari sel yang mengekspresikan RSP-2

ditemukan dalam serum kekebalan tubuh dari orang dewasa dan

anak-anak dengan anemia berat (Layez, et.al; 2005). Antigen ini juga

ada pada permukaan erythroblasts dalam sumsum tulang dari pasien

yang terinfeksi P falciparum, menunjukkan bahwa penghilangan atau

kerusakan beredar atau mengembangkan sel erythroid melalui RSP-

2 dan anti-RSP-2 dapat memberikan kontribusi untuk perkembangan

anemia malaria berat.

B.3. Penekanan erythropoietic dan dyserythropoiesis

Eritropoiesis normal terganggu selama infeksi malaria.

Pengamatan yang paling awal mengenai eritropoiesis yang berkurang

pada manusia yang menderita malaria akut dibuat lebih dari 60 tahun

yang lalu di mana reticulocytopenia diamati dalam infeksi malaria P

vivax dan P falciparum yang diikuti oleh retikulositosis setelah

penghilangan parasit (Vryonis, 1939). Kemudian, ditunjukkan bahwa

jumlah reticulocyte yang rendah pada pasien dengan malaria di

Thailand diikuti dengan penekanan eritropoiesis (Casals-Pascual &

Roberts, 2006).

Page 14: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

Bagian sumsum tulang yang diambil dari anak-anak Gambia

dengan anemia akut mengungkapkan bahwa meskipun peningkatan

cellularity tidak berbeda secara signifikan untuk jumlah total

erythroblasts yang diamati ketika dibandingkan dengan pasien yang

tidak terinfeksi, hal ini memberikan bukti untuk respon erythroid yang

ditekan. Anak-anak yang mengalami anemia kronis (parasitemia <

1%) memiliki kadar erythroid hyperplasia dan dyserythropoiesis yang

lebih tinggi (Abdalla SH, 1990). Dyserythropoiesis atau secara

morfologi dan / atau secara fungsional produksi sel darah merah

abnormal ditunjukkan oleh vacuolasi sitoplasma, stippling,

fragmentasi, jembatan intercytoplasmic, fragmentasi inti, dan

multinuclearitas. Hal ini bertepatan dengan berkurangnya

retikulositosis yang mengindikasikan gangguan fungsional produksi

sel darah merah dari sumsum tulang (Abdalla SH, 1990) (Gambar 2).

Dalam penelitian yang lebih kecil dari 6 anak dengan penyakit kronis,

sebuah peningkatan proporsi erythroblasts polikromatik diamati di

fase G2 pembelahan (Wickramasinghe, 1982). Pengobatan pasien

dengan obat antimalaria meningkatkan jumlah retikulosit, yang

menunjukkan bahwa P. falciparum sebagai penyebab

dyserythropoiesis dan eritropoiesis tidak efektif.

Page 15: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

Gambar 2. Pengaruh langsung dan tidak langsung parasit pada perkembangan anemia malaria

Sebuah produk sampingan parasit dari pencernaan

hemoglobin, hemozoin, mungkin memiliki peran dalam terjadinya

gangguan erythroid melalui pengaruh pada fungsi monosit manusia.

Hemozoin mengurangi aktivitas oksidatif yang berlebihan pada

manusia, mencegah up-regulasi penanda aktivasi, (Schwarzer, 1998)

dan juga merangsang sekresi endoperoxides yang aktif secara

biologis dari monosit, seperti 15 (S)-hydroxyeicosatetraenoic (HETE)

dan 4-hidroksi-nonenal (4-HNE) melalui oksidasi lipid membran,

(Schwarzer, 2003) yang dapat mempengaruhi pertumbuhan erythroid.

Page 16: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

(Giribaldi, 2004) Disfungsi Makrofag juga bisa mengganggu fungsi

pulau erythroblastic dimana makrofag mendukung diferensiasi

terminal erythroblasts di sumsum tulang. Hemozoin dan TNFα-juga

memiliki efek aditif pada eritropoiesis in vitro, dan dalam studi klinis

makrofag yang mengandung hemozoin dan hemozoin plasma

dikaitkan dengan anemia dan penekanan retikulosit. (Casals-Pascual,

2006) Selain itu, bagian sumsum tulang dari anak-anak yang

meninggal karena malaria berat menunjukkan hubungan yang

signifikan antara jumlah hemozoin (terletak di prekursor erythroid dan

makrofag) dan proporsi sel erythroid yang abnormal. Temuan ini

konsisten dengan efek penghambatan langsung hemozoin pada

eritropoiesis dan karena itu memerlukan penyelidikan lebih lanjut

(Lamikanra, 2007)

Penekanan cytokine dalam erythropoiesis

Selama fase akut infeksi ada respon inflamasi yang kuat, yang

menghasilkan peningkatan TNFα dan IFNγ (Yap, 1994). TNFα

menghambat semua tahapan eritropoiesis (Dufour, 2003), dan IFNγ

bekerja dengan TNFα untuk menghambat pertumbuhan dan

diferensiasi erythroid dengan up-regulasi ekspresi TRAIL, TWEAK,

dan CD95L dalam perkembangan erythroblasts (Felli, 2005).

Sedangkan penyakit berat pada anak dikaitkan dengan peningkatan

kadar sitokin pro inflamasi dan anti-inflamasi, tingkat keparahan

Page 17: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

anemia nampaknya tergantung pada tingkat TNFα yang relatif

terhadap regulatornya, anti-inflamasi sitokin IL-10 yang potensial.

Beberapa studi klinis telah menunjukkan bahwa rasio yang rendah

dari plasma IL-10/ TNFα terkait dengan anemia malaria berat pada

anak-anak (Othoro, 1999). Selanjutnya, sejumlah polimorfisme dalam

TNFα-promotor manusia menunjukkan hubungan yang lebih besar

dengan anemia dibandingkan dengan malaria serebral (McGuire,

1999). Oleh karena itu dikemukakan bahwa pada manusia IL-10

dapat melindungi terhadap penekanan sumsum tulang dan aktivitas

erythrophagocytic yang diinduksi oleh TNFα dan/atau mengurangi

rangsangan proinflamasi lainnya.

Banyak sitokin pro inflamasi lain seperti, IL-12 IL-18, dan

migrasi faktor penghambat (MIF) juga telah terlibat dalam patogenesis

anemia pada malaria. Pada manusia, sekresi IL-12 dan IL-18 dari

makrofag menginduksi produksi IFN dari pembunuh alami (NK), sel B,

dan sel T (Malaguamera, 2002), sementara MIF diproduksi melalui sel

T dan makrofag yang diaktifkan dan menghambat aktivitas anti-

inflamasi glukokortikoid (Clark & Cowden, 2003).

IL-12 berada dalam tingkat yang lebih tinggi pada keadaan

non-lethal, dibandingkan dengan keadaan lethal, sitokin ini dapat

menjadi stimulator eritropoiesis (Mohan, 1998). Sebaliknya, dengan

Page 18: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

peningkatan kadar yang ditemukan selama infeksi, MIF telah terlihat

menekan hematopoiesis (Martiney, 2000).

The Hubungan IL-12 dengan malaria falciparum berat masih

kurang jelas. Beberapa studi mengamati kenaikan moderat IL-12 dan

IL-18 pada pasien dengan anemia berat (Awandare, 2006), yang lain

melaporkan penurunan IL-12 pada pasien dengan malaria berat (Hb

<75 g / L [7,5 g / dL]) dibandingkan dengan kontrol tidak sempurna

(Hb> 100 g / L [10 g / dL]), atau tidak ada peningkatan yang signifikan

pada pasien dengan penyakit berat dibandingkan dengan malaria

tanpa komplikasi (Lyke, 2004). Dalam 2 contoh terakhir di atas, anti-

inflamasi sitokin seperti TGF atau IL-10 juga berkurang pada pasien

dengan penyakit parah. Sebaliknya, pasien dengan penyakit akut dan

peningkatan kadar IL-12 telah menandai peningkatan IL-10

(Malaguamera, 2002). Karena sebagian besar pasien dengan anemia

dalam studi terakhir memiliki rata-rata kadar Hb 90 g / L (9 g / dL)

adalah mungkin bahwa, peningkatan IL-12 berhubungan dengan

penurunan tingkat keparahan anemia malaria berat.

Pengamatan ini menunjukkan kompleksitas respon sitokin, dan

juga menyoroti pentingnya keseimbangan antara sitokin proinflamasi

dan antiinflamasi, yang dapat menjadi pelindung atau merugikan host.

Memahami peran sitokin akan membutuhkan lebih banyak data dari

studi yang kuat untuk memungkinkan penggunaan analisis multivariat

Page 19: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

yang lebih canggih yang memungkinkan untuk interaksi yang rumit

antara masing-masing faktor.

Sebuah produk parasit yang ditemukan dalam plasma selama

terjadi infeksi yang mungkin terlibat dalam efek sitokin proinflamasi

pada anemia malaria berat adalah jangkar glycophosphatidylinositol

(GPI) dari protein merozoit, MSP-1, MSP-2, dan MSP-4 (Miller, 1993).

GPIs cenderung untuk memberikan kontribusi untuk anemia malaria

karena dapat menginduksi pelepasan TNFα-dari makrofag manusia

(Schofield, 1993), yang dapat berkontribusi terhadap patologi dari

anemia malaria berat. Lebih khusus, baru-baru ini telah diperlihatkan

bahwa respon proinflamasi dari monosit manusia adalah melalui

interaksi dengan GPIs TLR2, dan untuk TLR4 yang lebih rendah

(Krishnegowda, 2005).

Sebuah produk yang telah dibahas sebelumnya, hemozoin,

juga dapat lebih erat terkait dengan respon imun bawaan, dan dengan

demikian terkait pula dengan pelepasan proinflamasi sitokin. Pada

manusia, pigmen sintetik menginduksi ekspresi TNFα, yang telah

dikaitkan dengan kemampuan hemozoin untuk menginduksi

metaloproteinase MMP-9 (Prato, 2005).

Erythropoietin.

Penurunan Hb dan penurunan berikutnya dalam tekanan

oksigen harus merangsang peningkatan kadar eritropoietin (Epo)

Page 20: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

pada pasien dengan anemia malaria yang berat. Bukti klinis untuk

peningkatan kadar Epo yang tepat pada malaria agak kontradiktif.

Studi pada orang dewasa dari Thailand dan Sudan telah

menunjukkan bahwa konsentrasi Epo, meskipun dinaikkan, kurang

tepat untuk derajat anemia (el Hassan, 1997). Namun, beberapa

penelitian malaria pada anak-anak Afrika yang menderita anemia

malaria telah menunjukkan peningkatan konsentrasi Epo dengan

tepat (Verhoef, 2002). Bahkan, tingkat Epo pada anemia malaria lebih

dari 3 kali lipat lebih tinggi bila dibandingkan dengan anak anemia

tanpa malaria. (72) Ada kemungkinan bahwa sintesis Epo yang tidak

efektif atau tidak memadai berkontribusi terhadap anemia malaria di

beberapa tempat, kemungkinan berhubungan dengan usia, asal etnis,

atau presentasi pasien. Akan tetapi, pada anak-anak Afrika dengan

malaria, sintesis Epo memang meningkat lebih dari yang diharapkan

dan itu lebih mungkin bahwa berkurangnya respon terhadap Epo,

bukan tingkat Epo rendah yang tidak tepat, merupakan kontribusi

yang lebih signifikan untuk patologi.

Defisiensi Hematinin.

Meskipun kekurangan makanan tersebar luas di daerah

endemik malaria, pengaruh kadar folat dan zat besi yang kurang tidak

dianggap sebagai kontributor utama dyserythropoiesis selama

terjadinya anemia berat pada malaria (Abdalla, 1990). Namun

Page 21: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

disregulasi metabolisme besi dapat berkontribusi pada keparahan

penyakit pada anak-anak yang mengalami anemia malaria berat.

Hepcidin hormon peptida telah terlibat dalam mediasi anemia penyakit

kronis atau inflamasi dengan mengurangi cadangan besi untuk

eritropoiesis (Nemeth, 2003).

C. Epidemiologi dan bukti intervensi mengenai zat besi dan malaria

Setelah percobaan Pemba, pertanyaan utama yang dihadapi

peneliti adalah: ''Apa mekanisme potensial dimana status besi dapat

mempengaruhi invasi atau pertumbuhan parasit dan tentu saja gejala

klinis infeksi''? Sebagian besar diskusi pertanyaan ini berkisar pada tahap

darah parasit dengan hampir tidak ada yang diketahui tentang faktor yang

mungkin berdampak pada tahapan hati, dan ini akan menjadi target

penting untuk penelitian masa depan. Saat ini ada 4 saran yang dikutip

sebagai sarana dimana status besi dapat mempengaruhi kerentanan

terhadap malaria (Andrew, 2008).

Yang pertama adalah hanya melalui perubahan dalam

ketersediaan besi untuk pertumbuhan parasit dan replikasi. Pada tahap

erythrocyticnya, parasit malaria menyajikan beberapa paradoks

sehubungan dengan akuisisi besi. Heme besi, meskipun tersedia dalam

jumlah yang banyak, tampaknya tidak dimanfaatkan oleh plasmodium dan

harus didetoksifikasi melalui pembentukan kompleks hemozoin, yang

berisi 2,2 mol/L besi. Tampaknya parasit tergantung pada tempat yang

Page 22: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

sangat kecil dari besi labil dalam sitoplasma dan karenanya mungkin

sensitif terhadap pengaruh eksternal (nutrisi) pada konsentrasi besi dalam

kompartemen ini (Scholl, 2005).

Kemungkinan kedua adalah bahwa suplementasi besi dapat

meningkatkan kerentanan dengan menstimulasi eritropoiesis karena ada

bukti bahwa parasit memiliki preferensi untuk retikulosit. Namun, ini hanya

berlaku pada P. vivax dan tidak akan menjelaskan efek pada P.

falciparum yang kadang-kadang keliru.

Kemungkinan ketiga adalah bahwa seng protoporfirin (sebuah

produk dari kekurangan zat besi eritropoiesis) dapat menghambat

pembentukan hemozoin dan karenanya menghasilkan lingkungan

beracun dengan cara yang analog dengan tindakan obat antimalaria (Iyer,

2003). Kemungkinan terakhir akan melalui pengaruh besi terhadap

imunitas host.

Anehnya, ada beberapa studi yang memeriksa apakah individu

iron-deficient/anemia lebih rentan terhadap malaria (Gambar. 3). Dua

penelitian menunjukkan peningkatan kerentanan terhadap malaria pada

individu dengan feritin serum yang tinggi (Snow, 1991; Nyakeriga, 2004).

Penelitian lain menunjukkan peningkatan (Oppenheimer, 1986) dan

penurunan (Shipton, 2004) kerentanan terkait dengan tingkat hemoglobin

yang lebih tinggi. Perancu dalam studi tersebut dengan mudah dapat

Page 23: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

muncul dari proporsi yang berbeda dari hemaglobinopathies, yang

mungkin berhubungan dengan hemoglobin dan perlindungan dari malaria.

Gambar 3. Beberapa penelitian mengenai status besi dan kerentanan terhadap malaria

Bukti dari percobaan suplementasi besi lebih kuat (Gambar 4)

dan telah ditinjau secara rinci di tempat lain (Shankar, 2000;

Oppenheimer, 2001; Prentice, 2007). Dari 15 studi terakhir yang ditinjau

(Prentice, 2007), 6 tidak menunjukkan efek dari suplemen zat besi pada

risiko malaria; dari 6 hasil ini, 3 termasuk proporsi besar subyek anemia

(74-94%), dan hanya 1 anak disertakan dengan Hb 50 g/L . Penelitian lain

yang dikelompokkan berdasarkan tingkat dasar hemoglobin menemukan

bahwa manfaat terbesar terjadi pada sub kelompok yang paling anemia,

Page 24: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

sebuah temuan yang sejalan dengan interpretasi Stoltzfus dari data

Pemba (Stoltzfus, 2008). Tiga penelitian menunjukkan peningkatan

serangan malaria klinis pada kelompok suplementasi besi, dan 6 studi

lebih lanjut menemukan peningkatan tidak signifikan dalam hasil malaria.

Gambar 4. Beberapa penelitian mengenai suplementasi besi dan infeksi malaria

Salah satu perbedaan mencolok antara populasi penelitian dengan

peningkatan yang signifikan dalam hasil malaria dan yang dengan efek

tidak bermakna adalah akses ke perawatan kesehatan dan pengobatan

aktif kasus insiden malaria. Bahkan, semua kecuali 1 dari percobaan yang

ditemukan tidak berpengaruh pada hasil malaria disediakan

Page 25: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

akses ke fasilitas perawatan kesehatan atau aktif tindak lanjut dan

pengobatan kasus kejadian malaria. Hal ini menunjukkan bahwa efek

merugikan potensi suplementasi besi dapat dibatasi oleh pengobatan

yang efektif bersamaan dari infeksi malaria. Namun, Verhoef dkk. (2002)

dan Nwanyanwu dkk. (1996) telah menunjukkan efek kegagalan

pengobatan potensi menggabungkan sulfadoksin/pirimetamin (SP)

dengan zat besi dalam pengobatan malaria, menunjukkan bahwa terapi

antimalaria harus mendahului suplemen.

Page 26: Anemia Di Daerah Endemik Malaria

BAB III

PENUTUP

Pada penyakit akut, ketidakseimbangan antara mediator proinflamatori dan

anti-inflamatori kemungkinan menjadi penyebab utama dyseritropoiesis.

Selama terjadi infeksi kronis, akan terjadi gangguan penghilangan produk-

produk parasit (mis: RSP2, Hz, dan GPI), dan akumulasinya secara bersama-

sama atau sendiri berkontribusi terhadap terjadinya anemia malaria berat

yang kronis. Penelitian selanjutnya mengenai pengaruh jangka panjang

produk parasit pada pengaturan cytokine dan hematopoiesis dapat

berkontribusi dalam mekanisme yang terlibat dalam suppresi produksi sel

darah merah. Penelitian seperti ini jika disandingkan dengan investigasi in

vitro mengenai pengaruh produk parasit pada sel-sel hematopoietic akan

memungkinkan untuk menentukan tahap eritropoiesis yang terlibat dan akan

meningkatkan pemahaman kita mengenai etiologi anemia malaria berat.