80
BAB I PENDAHULUAN Kehilangan cairan terjadi setiap saat dan mutlak diganti agar metabolisme tubuh dapat berlangsung normal. Harus ada keseimbangan antara jumlah air yang berasal dari masukkan serta dari hasil oksidasi karbohidrat, lemak dan protein dan pada satu pihak lain dengan keluarnya air melalui ginjal, paru, kulit dan saluran cerna. Keseimbangan air ini dikelola dengan pengaturan masukkan dan pengeluaran. Air tubuh terdapat di dalam sel (intrasel) dan di luar sel (ekstrasel). Cairan extraselular meliputi cairan interstisial dan plasma yang mempunyai komposisi sama. Natrium merupakan kation terpenting sedangkan anion terpenting adalah klorida dan bikarbonant. Kation terpenting pada intrasel adalah kalium dan magnesium sedangkan anion terpenting adalah fosfat organik, protein dan sulfat. Biasanya perubahan 1

anestesi syok hipovolemik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

semoga bermanfaat

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

Kehilangan cairan terjadi setiap saat dan mutlak diganti agar metabolisme tubuh dapat berlangsung normal. Harus ada keseimbangan antara jumlah air yang berasal dari masukkan serta dari hasil oksidasi karbohidrat, lemak dan protein dan pada satu pihak lain dengan keluarnya air melalui ginjal, paru, kulit dan saluran cerna. Keseimbangan air ini dikelola dengan pengaturan masukkan dan pengeluaran. Air tubuh terdapat di dalam sel (intrasel) dan di luar sel (ekstrasel). Cairan extraselular meliputi cairan interstisial dan plasma yang mempunyai komposisi sama. Natrium merupakan kation terpenting sedangkan anion terpenting adalah klorida dan bikarbonant. Kation terpenting pada intrasel adalah kalium dan magnesium sedangkan anion terpenting adalah fosfat organik, protein dan sulfat. Biasanya perubahan komposisi plasma darah mencerminkan perubahan yang terjadi dalam semua cairan tubuh. Kehilangan cairan normal berlangsung akibat pemakaian energi yang dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu kehilangan cairan insensibel, produksi urin serta kehilangan cairan melalui tinja. Selain itu dapat terjadi kehilangan cairan abnormal yang disebabkan oleh berbagai penyakit yang berupa pengurangan masukkan cairan atau peningkatan pengeluaran cairan. Pemenuhan cairan berdasarkan kehilangan cairan akibat penyakit dan kehilangan yang tetap berlangsung secara normal. Cara pemberian cairan akibat kehilangan oleh karena penyakit bisa diberikan secara oral ataupun parenteral. Perlu diperhatikan bahwa sebaiknya pemberian cairan diusahakan secara oral tapi pada keadaan yang tidak memungkinkan, dapat pula diberikan secara intravena. Dalam pelaksanaannya pemberian cairan secara intravena pada bayi dan anak yang sakit perlu diperhatikan hal-hal seperti pemilihan jenis cairan, jumlah dan lama pemberian yang disesuaikan dengan keadaan penyakit dan gejala klinik lainnya karena terdapat perbedaan komposisi, metabolisme dan derajat kematangan sistem pengaturan air dan elektrolit.

Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Paling sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok haemoragik). Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan gastrointestinal yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok hemoragik. Syok hemoragik juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen. Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada organ padat dan rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari kehilangan cairan yang signifikan (selain darah). Dua contoh syok hipovolemik yang terjadi akibat kehilangan cairan, antara lain gastroenteritis refrakter dan luka bakar yang luas.

BAB II

PEMBAHASAN

II.1Kompartemen Cairan Tubuh

Tubuh orang dewasa terdiri dari: zat padat 40 % berat badan dan zat cair 60% berat badan; zat cair terdiri dari: cairan intraselular 40 % berat badan dan cairan ekstraselular 20 % berat badan; sedangkan cairan ekstraselular terdiri dari : cairan intravaskular 5 % berat badan dan cairan interstisial 15 % berat badan.

Gambar 1. Distribusi Cairan Tubuh

Ada pula cairan limfe dan cairan transselular yang termasuk cairan ekstraselular. Cairan transselular sekitar 1-3 % berat badan, meliputi sinovial, pleura, intraokuler dan lain-lain. Cairan intraselular dan ekstraselular dipisahkan oleh membran semipermeabel.2

Cairan intraselular

Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada orang dewasa, sekitar dua pertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya setengah dari berat badannya merupakan cairan intraselular.3

Cairan ekstraselular

Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Jumlah relatif cairan ekstraselular berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular. Setelah usia 1 tahun, jumlah cairan ekstraselular menurun sampai sekitar sepertiga dari volume total. Ini sebanding dengan sekitar 15 liter pada dewasa muda dengan berat rata-rata 70 kg.3

Gambar 2. Susunan Kimia Cairan Ekstraselular dan Intraselular4

Cairan ekstraselular dibagi menjadi:3

Cairan Interstitial

Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11- 12 liter pada orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial. Relatif terhadap ukuran tubuh, volume ISF adalah sekitar 2 kali lipat pada bayi baru lahir dibandingkan orang dewasa.3

Cairan Intravaskular

Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume plasma). Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6 liter, dimana 3 liter merupakan plasma, dan sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih, serta platelet.3

Cairan Transselular

Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti serebrospinal, perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran pencernaan. Pada keadaan sewaktu, volume cairan transelular adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam jumlah banyak dapat masuk dan keluar dari ruang transselular.3

Gambar 3. Anatomi cairan tubuh5

Volume kompartemen cairan sangat dipengaruhi oleh Natrium dan protein plasma. Natrium paling banyak terdapat di cairan ekstraselular, di cairan intravaskular (plasma) dan interstisial kadarnya sekitar 140 mEq/L.

Pergerakan cairan antar kompartemen terjadi secara osmosis melalui membran semipermeabel, yang terjadi apabila kadar total cairan di kedua sisi membran berbeda. Air akan berdifusi melalui membran untuk menyamakan osmolalitas. Pergerakan air ini dilawan oleh tekanan osmotik koloid. Tekanan osmotik koloid atau tekanan onkotik sangat dipengaruhi oleh albumin. Apabila kadar albumin rendah, maka tekanan onkotik rendah sehingga tekanan hidrostatik dominan mengakibatkan ekstravasasi dan terjadi edema.

Cairan ekstraselular adalah tempat distribusi Na+, sedangkan cairan intravaskular adalah tempat distribusi protein plasma dan koloid; juga tempat distribusi K+, PO4 . Elektrolit terpenting di dalam cairan intraselular: K+ dan PO4- dan di cairan ekstraselular: Na+ dan Cl.

Osmolaritas adalah konsentrasi osmolar suatu larutan bila dinyatakan sebagai osmol per liter larutan (osm/L). Osmolalitas adalah konsentrasi osmolar suatu larutan bila dinyatakan sebagai osmol per kilogram air (osm/kg). Tonisitas merupakan osmolalitas relatif suatu larutan. Osmolaritas total setiap kompartemen adalah 280 300 mOsm/L. Larutan dikatakan isotonik, jika tonisitasnya sama dengan tonisitas serum darah yaitu 275 295 mOsm/kg.

Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran semipermeabel dari larutan dengan kadar rendah menuju larutan dengan kadar tinggi sampai kadarnya sama. Seluruh membran sel dan kapiler permeabel terhadap air, sehingga tekanan osmotik cairan tubuh di seluruh kompartemen sama. Membran semipermeabel dapat dilalui air (pelarut), tetapi tidak dapat dilalui zat terlarut.

Difusi adalah peristiwa bergeraknya molekul melalui pori-pori. Larutan akan bergerak dari yang berkonsentrasi tinggi menuju konsentrasi rendah.Tekanan hidrostatik di dalam pembuluh darah akan mendorong air secara difusi masuk melalui pori-pori. Difusi tergantung kepada tekanan hidrostatik dan perbedaan konsentrasi.

Perpindahan air dan zat terlarut di bagian tubuh menggunakan mekanisme transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak membutuhkan energi; mekanisme transpor aktif membutuhkan energi berkaitan dengan Na-K Pump yang membutuhkan energi ATP.

Pompa Natrium-Kalium adalah pompa yang memompa ion natrium keluar melalui membran sel dan pada saat yang bersamaan memompa ion kalium ke dalam sel. Bekerja untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam sel.

Gambar 4. Pompa Natrium-Kalium

Berikut ini merupakan kebutuhan air dan elektrolit perhari:

Dewasa:

Air 30 35 ml/kg

Setiap kenaikan suhu 10 C diberi tambahan 10-15 %

K+ 1 mEq/kg ( 60 mEq/hari atau 4,5 g )

Na+ 1-2 mEq/kg ( 100 mEq/hari atau 5,9 g )

Bayi dan Anak:

Air 0-10 kg: 4 ml/kg/jam ( 100 ml/g )

10-20 kg: 40 ml + 2 ml/kg/jam setiap kg di atas 20 kg

(1000 ml + 50 ml/kg di atas 10 kg)

> 20 kg : 60 ml + 1 ml/kg/jam setiap kg di atas 20 kg

(1500 ml + 20 ml/kg di atas 20 kg)

K+ 2 mEq/kg (2-3 mEq/kg)

Na+ 2 mEq/kg (3-4 mEq/kg)2

Tabel 1. Perubahan cairan tubuh total sesuai usia3

Tabel 2. Rata-rata harian asupan dan kehilangan cairan pada orang dewasa

II.2Definisi Syok

Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan akut fungsi sirkulasi yangmenyebabkan ketidakcukupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat gangguan mekanisme homeostasis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland tentang fisiologi keadaan syok dan homeostasis, syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigen ke jaringan.

Syok hipovolemik disebut juga syok preload yang ditamdai dengan menurunnya volume intravaskuler oleh karena perdarahan. Syok hipovolemik juga bisa terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain. Menurunnya volume intravaskuler menyebabkan penurunan volume intraventrikel kiri pada akhir diastole yang akibatnya juga menyebabkan menurunnya curah jantung (cardiac output). Keadaan ini juga menyebabkan terjadinya mekanisme kompensasi dari pembuluh darah dimana terjadi vasokonstriksi oleh katekolamin sehingga perfusi makin memburuk.

II.2Fase Syok

Secara fisiologis, syok hipovolemik dibagi menjadi 4 fase :

1.Fase Inisial

Pada fase ini, gejala dan tanda yang muncul tidak terlalu signifikan karena tubuh masih mentoleransi jumlah cairan yang hilang. Namun, pasien dapat cepat berpindah ke fase berikutnya bahkan tidak melewati fase ini apabila jumlah cairan yang hilang dari tubuh cukup banyak.

Gejala dan tanda :

Tekanan darah menurun 5-10 mmHg

Denyut jantung agak meningkat

2.Fase Kompensasi

Pada fase ini tubuh berusaha lebih keras untuk mengkompensasi hilangnya volume cairan, sehingga akan terjadi perubahan besar pada tanda vital. Pemberian resusitasi cairan dan pencegahan kehilangan cairan lebih lanjut pada fase ini sangat penting.

Gejala dan tanda:

Penurunan tekanan darah 10-15 mmHg

Takikardi (untuk mencukupi jumlah cardiac output)

Takipnea (sebagai kompensasi terhadap penurunan perfusi jaringan)

Peningkatan aliran darah ke organ vital (otak, paru-paru, dan jantung)

Penurunan jumlah urin

Vasokontriksi perifer :

-Akral dingin, peningkatan capillary refill time

3.Fase Progresif

Apabila tubuh tidak dapat mengkompensasi kehilangan cairan yang terjadi, maka syok akan berlanjut pada fase ini. Pada fase ini akan terjadi hipotensi yang menyebabkan perfusi pada organ vital menurun yang kemudian dapat berujung pada kerusakan organ.

Gejala dan tanda :

Penurunan tekanan darah

Nadi meningkat dan lemah

Penurunan vaskularisasi pada kulit, abdomen, dan ginjal :

-Kulit dingin

-Penurunan bising usus akibat motilitas usus yang menurun

-Penurunan jumlah urin

4.Fase Refraktor

Pada fase ini telah terjadi kerusakan organ multipel yang bersifat irreversible.

Gejala dan tanda:

Hipoksia

Oligouria

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)1

II.3Derajat Syok Hipovolemik

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, syok hipovolemik merupakan kondisi dimana terjadinya kehilangan volume sirkulasi yang berujung pada kegagalan organ akibat perfusi yang inadekuat. Syok hipovolemik sendiri paling sering disebabkan oleh perdarahan. Selain itu dapat juga disebabkan oleh dehidrasi. Berdasarkan jumlah darah yang hilang, maka syok hipovolemik dibagi menjadi 4 kelas :2

II.4Etiologi

Syok hipovolemik disebabkan oleh penurunan volume darah efektif. Kekurangan volume darah sekitar 15 sampai 25 persen biasanya akan menyebabkan penurunan tekanan darah sistolik, sedangkan defisit volume darah lebih dari 45 persen umumnya fatal. Syok hipovolemik disebabkan oleh perdarahan (internal atau eksternal) atau karena kehilangan cairan ke dalam jaringan kontusio.

Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler, misalnya terjadi pada :

1.Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan pada organ dalam seperti hemothoraks, ruptura limpa, dan kehamilan ektopik terganggu.

2.Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah yang besar. Misalnya fraktur humerus menghasilkan 500-1000 ml perdarahan atau fraktur femur menampung 1000-1500 ml perdarahan.

3.Kehilangan cairan intravaskular lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada :

Gastrointestinal : peritonitis,pankreatitis, dan gastroenteritis.

Renal : terapi diuretik, krisis penyakit Addison.

Luka bakar ( kombusio) dan anafilaksis.

Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran darah yang mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme anaerob dan menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam piruvat, asam lemak, dan keton. Yang penting dalam klinik adalah fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan dengan penggantian cairan.2

II.5Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang muncul sebanding dengan volume darah yang berkurang. Semakin banyak volume darah yang hilang, semakin berat gejala klinis yang dapat ditemui.

1.Takikardi

Terjadi karena tubuh berusaha mencukupi cardiac output. Seperti yang diketahui, cardiac ouput merupakan hasil perkalian antara stroke volume dengan heart rate (CO = HR x SV). Pada keadaan syok hipovolemik, yang terjadi adalah penurunan stroke volume, sehingga untuk tetap mempertahankan cardiac output, maka kompensasi yang dilakukan adalah dengan meningkatkan heart rate.

2.Nadi yang cepat dan lemah

Berhubungan dengan poin sebelumnya, akibat denyut jantung yang meningkat, maka denyut nadi juga akan meningkat, namun lemah akibat volume vaskuler yang menurun pada keadaan syok serta pengalihan vaskularisasi ke organ vital yaitu otak, paru, dan jantung.

3.Hipotensi

Hipotensi terjadi akibat volume darah yang berkurang, yang kemudian menyebabkan venous return menurun dan lama-kelamaan tekanan darah juga akan menurun sebagai hasil dari volume sirkulasi yang menurun.

4.Perubahan Status Mental

Hal ini terjadi akibat penurunan perfusi oksigen ke otak. Pasien akan menunjukkan gejala seperti agitasi. Penurunan kesadaran dapat terjadi apabila terjadi kehilangan darah yang lebih dari 2 liter.

5.Penurunan Jumlah Urin

Akibat pengalihan vaskularisasi ke otak, jantung, dan hati, maka akan terjadi penurunan aliran darah ke ginjal yang bermanifestasi klinis pada penurunan jumlah urin

6.Akral Dingin

Hal ini juga disebabkan oleh hal yang sama, yaitu peningkatan aliran darah ke organ vital, dan penurunan aliran darah ke tempat lain yang berarti penurunan perfusi ke kulit sehingga kulit teraba dingin, dan lembab, terutama daerah akral.1

II.6Patofisiologi

Tubuh manusia berespon terhadap perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem fisiologi utama sebagai berikut: sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem neuroendokrin.

1.Sistem hematologi

Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan akut dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah (melalui pelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.

2.Sistem Kardiovaskuler

Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus gastrointestinal.

3.Sistem Renal

Sistem renalis berespon terhadap syok hemoragik dengan peningkatan sekresi renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi angiotensin II di paru-paru dan hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama, yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok hemoragik, yaitu vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan akhirnya akan menyebabkan retensi air.

4.Sistem Neuroendokrin

Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hemoragik dengan meningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah (dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus kolektivus, dan lengkung Henle.2,3

II.7Pemeriksaan Penunjang

Darah Lengkap

Analisa Gas Darah

Kadar Elektrolit (Na, K, Cl)

Tes faal ginjal (ureum, kreatinin, BUN)

Golongan darah (bila perlu transfusi darah)

Tes kehamilan

EKG (untuk monitoring jantung)4

II.8Penatalaksanaan

Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk memperbaiki perfusi jaringan, memperbaiki oksigenasi tubuh, dan mempertahankan suhu tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan sehingga dapat diberikan pengobatan kausal. Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan nafas (airway) harus bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (breathing) harus terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. Defisit volume peredaran darah (circulation) pada syok hipovolemik harus diatasi dengan pemberian cairan intravena. Segera menghentikan perdarahan yang terlihat dan mengatasi nyeri yang hebat, yang juga bisa merupakan penyebab syok.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai pertolongan pertama dalam menghadapi syok :

Posisi Tubuh

1. Secara umum posisi pasien dibaringkan telentang dengan tujuan meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital

2. Apabila terdapat trauma pada leher dan tulang belakang, jangan digerakkan pada bagian tersebut agar tidak memperparah kondisi pasien

3. Pada penderita-penderita syok hipovolemik, baringkan penderita telentang dengankaki ditinggikan 30 cm sehingga aliran darah balik ke jantung lebih besar dan tekanandarah menjadi meningkat. Tetapi bila penderita menjadi lebih sukar bernafas atau penderita menjadi kesakitan segera turunkan kakinya kembali.

Pertahankan Respirasi

1. Bebaskan jalan napas. Lakukan penghisapan, bila terdapat muntah.

2. Ekstensikan kepala, kalau perlu pasang alat bantu jalan nafas (Gudel/oropharingeal airway)

3. Berikan oksigen 6 liter/menit

4. Bila pernapasan / ventilasi tidak adekuat, berikan oksigen dengan pompa sungkup (Ambu bag) atau ETT

Pertahankan Sirkulasi

1. Segera pasang infus intravena. Bisa lebih dari satu infus.

2. Pantau nadi, tekanan darah, warna kulit, dan produksi urin

Cari dan atasi penyebab syok hipovolemik5

Primary survey meliputi : airway, breathing, circulation, disability, dan exposure. Secondary survey meliputi pengkajian fisik. Sedangkan tersier survey dilakukan selain pengkajian primary dan secondary survey, misalnya terapi atau resusitasi cairan.

Primary Survey

Mencatat tanda vital awal (baseline recordings) penting untuk memantau respon penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin dan tingkat kesadaran.

a) Airway & Breathing

Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya pertukaran ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih dari 95%.

Airway (Jalan Nafas) :

Ada tiga hal utama dalam tahapan airway ini yaitu look, listen, dan feel. Look atau melihat yaitu melihat ada tidaknya obstruksi jalan napas, berupa agitasi: (hipoksemia), penurunan kesadaran (hipercarbia), pergerakan dada dan perut pada saat bernapas (see saw-rocking respiration), kebiruan pada area kulit perifer pada kuku dan bibir (sianosis), adanya sumbatan di hidung, posisi leher, keadaan mulut untuk melihat ada tidaknya darah. Tahapan kedua yaitu listen atau mendengar, yang didengar yaitu bunyi napas. Ada dua jenis suara napas yaitu suara napas tambahan obstuksi parsial, antara lain: snoring, gurgling, crowing/stridor, dan suara parau (laring) dan yang kedua yaitu suara napas hilang berupa obstruksi total dan henti napas. Terakhir yaitu feel, pada tahap ini merasakan aliran udara yang keluar dari lubang hidung pasien.

b) Breathing (Pernafasan) :

Look (Melihat)

Melihat apakah pasien bernapas, pengembangan dada apakah napasnya kuat atau tidak, keteraturannya, dan frekuensinya.

Listen (Mendengar)

Suara nafas vesikuler atau tidak, terdapat suara nafas tambahan atau tidak

Feel

Merasakan pengembangan dada saat bernapas, lakukan perkusi, dan pengkajian suara paru dan jantung dengan menggunakan stetoskop.

c) Circulation

Look

Mengamati nadi saat diraba, berdenyut selama berapa kali per menitnya, ada tidaknya sianosis pada ekstremitas, ada tidaknya keringat dingin pada tubuh pasien, menghitung capillary refill time, ada tidaknya akral dingin-

Feel

Yang dirasakan yaitu gerakan nadi (nadi radialis, brakhialis, dan carotis)

Listen

Bunyi aliran darah pada saat dilakukan pengukuran tekanan darah

d) Disability Pemeriksaan Neurologi

Yang dikaji pada tahapan ini yaitu GCS (Glasgow Coma Scale), dan kedaan pupil dengan menggunakan penlight. Pupil normal yaitu isokor. Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motorik dan sensorik.

e) Exposure Pemeriksaan Lengkap

Penderita harus dibuka seluruh pakaiannya dan diperiksa dari ubun-ubun sampai jari kaki untuk mencari ada atau tidaknya bagian yang cedera.

f) Dilatasi lambung Dekompresi

Dilatasi lambung sering kali terjadi pada penderita trauma, khususnya pada anak-anak dan dapat mengakibatkan hipotensi atau disritmia jantung yang tidak dapat diterangkan, biasanya berupa bradikardi dari stimulasi nervus vagus yang berlebihan. Distensi lambung membuat terapi syok menjadi sulit. Pada penderita yang tidak sadar distensi lambung membesarkan resiko aspirasi isi lambung, ini merupakan suatu komplikasi yang bisa menjadi fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan memasukan selang atau pipa kedalam perut melalui hidung atau mulut dan memasangnya pada penyedot untuk mengeluarkan isi lambung.

g) Pemasangan kateter urin

Kateterisasi kandung kemih memudahkan penilaian urin akan adanya hematuria dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin.

Secondary Survey

Pasang satu atau lebih jalur infus intravena nomor 18/16. Infus dengan cepat larutan kristaloid atau kombinasi larutan kristaloid dan koloid sampai vena (V. Jugularis) yang kolaps terisi. Bila telah jelas ada peningkatan isi nadi dan tekanan darah, infus harus dilambatkan. Bahaya infus yang cepat adalah edema paru, terutama pada pasien tua. Perhatian harus ditujukan agar jangan sampai terjadi kelebihan cairan.

Pemantauan yang perlu dilakukan dalam menentukan kecepatan infus :

1. Nadi

Nadi yang cepat menunjukkan adanya hipovolemia.

2. Tekanan darah

Bila tekanan darah < 90 mmHg pada pasien normotensi atau tekanan darah menurun > 40 mmHg pada pasien hipertensi, menunjukkan masih perlunya transfusi cairan.

3. Produksi urin.

Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin. Produksi urin harus dipertahankan minimal 1/2 ml/kg/jam. Bila kurang, menunjukkan adanya hipovolemia.

Cairan diberikan sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba. Bila volume intravaskuler cukup, tekanan darah baik, produksi urin < 1/2 ml/kg/jam, bisadiberikan Lasix 20-40 mg untuk mempertahankan produksi urine. Dopamin 25 g/kg/menit bisa juga digunakan pengukuran tekanan vena sentral (normal 8-12 cm H2O), dan bila masih terdapat gejala umum pasien seperti gelisah, rasa haus, sesak, pucat, dan ekstremitas dingin, menunjukkan masih perlu transfusi cairan.

Tersiery Survey : Terapi cairan

II.9Resusitasi Cairan

Manajemen resusitasi cairan sangat penting. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara lain:

1. Memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah. Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan sebaiknya dihindari.

Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan berhubungan langsung dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang ideal adalah pendek dan diameternya lebar; diameter lebih penting daripada panjangnya. Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena saphena, atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur intraosseus. Faktor yang paling penting dalam melakukannya adalah skill dan pengalaman. Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah secara berkala dan juga analisa gas darah.

Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai. Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah O diberikan (darah tipe O rhesus (-) harus diberikan kepada pasien wanita usia subur untuk mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut). Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi pasien.

Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma kearah kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat mengganggu pertukaran udara.

2. Mengontrol kehilangan darah lebih lanjut

Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan intervensi bedah. Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi dengan menekan sumber perdarahan secara langsung, perdarahan dalam membutuhkan intervensi bedah. Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi untuk mengurangi kehilangan darah.

Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya, dapat diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta diindikasikan untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif dan butuh segera dibawa di ruang operasi.

Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2 bloker telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif, seperti hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena itu, harus dipertimbangkan untuk penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak terlalu menguntungkan. Infus somatostatin dan ocreotide telah menunjukkan adanya pengurangan perdarahan gastrointestinal yang bersumber dari varises dan ulkus peptikum. Obat ini membantu kerja vasopressin tanpa efek samping yang signifikan.

Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan Sengstaken-Blakemore tube dapat dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster dan balon esofagus. Balon gaster pertama dikembangkan dan dilanjutkan balon esofagus bila perdarahan berlanjut. Penggunaan selang ini dikaitkan dengan akibat yang buruk, seperti ruptur esofagus, asfiksi, aspirasi, dan ulserasi mukosa. Oleh karena alasan tersebut, penggunaan ini dipertimbangkan hanya sebagai alat sementara pada keadaan yang ekstrim.

Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista, keguguran) memerlukan intervensi bedah.Konsultasi segera dan penanganan yang tepat adalah kuncinya. Tujuan penanganan kegawatdaruratan adalah untuk menstabilkan keadaan pasien hipovolemik, menentukan penyebab perdarahan, dan menyediakan penanganan yang tepat sesegera mungkin. Jika perlu untuk membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini harus dilakukan segera.

Pada pasien trauma, jika petugas unit gawat darurat mengindikasikan telah terjadi cedera yang serius, ahli bedah (tim trauma) harus diberitahukan segera tentang kedatangan pasien. Pada pasien yang berusia 55 tahun dengan nyeri abdomen, sebagai contohnya, ultrasonografi abdomen darurat perlu utnuk mengidentifikasi adanya aneurisma aorta abdominalis sebelum ahli bedahnya diberitahu. Setiap pasien harus dievaluasi ketat karena keterlambatan penanganan yang tepat dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

Untuk mengetahui jumlah volume darah seseorang, biasanya digunakan patokan berat badan. Walau dapat bervariasi, volume darah orang dewasa adalah kira-kira 7% dari berat badan. Dengan demikian laki-laki yang berat 70 kg, mempunyai volume darah yang beredar kira-kira 5 liter. Bila penderita gemuk maka volume darahnya diperkirakan berdasarkan berdasarkan berat badan idealnya, karena bila kalkulasi didasarkan berat badan sebenarnya, hasilnya mungkin jauh di atas volume sebenarnya. Volume darah anak-anak dihitung 8% sampai 9% dari berat badan (80-90 ml/kg).8

Lebih dahulu dihitung EBV (Estimated Blood Volume) penderita, 65 70 ml/kg berat badan. Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan baik. Kehilangan 10% - 30% EBV memerlukan cairan lebih banyak dan lebih cepat. Kehilangan lebih dari 30% - 50% EBV masih dapat ditunjang untuk sementara dengan cairan saja sampai darah transfusi tersedia. Total volume cairan yang dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar antara 2 4 x volume yang hilang.7

Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan kriteria Traumatic Status dari Giesecke. Dalam waktu 30 sampai 60 menit susudah infusi, cairan Ringer Laktat akan meresap keluar vaskular menuju interstitial. Demikian sampai terjadi keseimbangan baru antara Volume Plasma/Intravascular Fluid (IVF) dan Interstitial Fluid (ISF). Ekspansi ISF ini merupakan interstitial edema yang tidak berbahaya. Bahaya edema paru dan edema otak dapat terjadi jika semula organ-organ tersebut telah terkena trauma. 24 jam kemudian akan terjadi diuresis spontan. Jika keadaan terpaksa, diuresis dapat dipercepat lebih awal dengan furosemid setelah transfusi diberikan.7

Pada bayi dan anak yang dengan kadar hemoglobin normal, kehilangan darah sebanyak 10-15% volume darah, karena tidak memberatkan kompensasi badan, maka cukup diberi cairan kristaloid atau koloid, sedangkan diatas 15% perlu transfusi darah karena ada gangguan pengangkutan oksigen. Sedangkan untuk orang dewasa dengan kadar hemoglobin normal angka patokannya ialah 20%. Kehilangan darah sampai 20% ada gangguan faktor pembekuan. Cairan kristaloid untuk mengisi ruang intravaskular diberikan sebanyak 3 kali lipat jumlah darah yang hilang, sedangkan koloid diberikan dengan jumlah sama.8,9

Transfusi darah umumnya 50% diberikan pada saat perioperatif dengan tujuan untuk menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravaskular. Kalau hanya menaikkan volume intravaskular saja cukup dengan koloid atau kristaloid. Indikasi transfusi darah antara lain:

1. Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr/dL atau Ht < 30%. Pada orang tua, kelainan paru, kelainan jantung Hb < 10 gr/dL.

2. Bedah mayor kehilangan darah > 20% volume darah.9

Tabel 5. Traumatic status dari Giesecke

Tanda

TS I

TS II

TS III

Sesak nafas

-

Ringan

++

Tekanan darah

N

Turun

Tak teratur

Nadi

Cepat

Sangat cepat

Tak teraba

Urin

N

Oliguria

Anuria

Kesadaran

N

Disorientasi

/ Koma

Gas darah

N

pO2/ pCO2

pO2/ pCO2

CVP

N

Rendah

Sangat rendah

Blood loss % EBV

Sampai 10%

Sampai 30%

Lebih 50%

Tabel 6. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah

Kelas I

Kelas II

Kelas III

Kelas IV

Kehilangan darah (ml)

Sampai 750

750 - 1500

1500 - 2000

>2000

Kehilangan darah (% volume darah)

Sampai 15%

15% - 30%

30% - 40%

>40%

Denyut nadi

100

>120

>140

Tekanan darah

Normal

Normal

Menurun

Menurun

Tekanan nadi

Normal /

Frekuensi pernapasan

14-20

20 -30

30-40

>35

Produksi urin (ml/jam)

>30

20-30

5-15

60 mmHg dan saturasi oksigen > 90%).

Resusitasi cairan dilakukan dengan perbandingan kristaloid dan koloid sebesar 3:1. Bila kehilangan darah>25% maka perlu diberikan eritrosit konsentrat, sementara kehilangan darah > 60% maka perlu juga diberikan fresh frozen plasma (setelah 1 jam pemberian konsentrasi eritrosit atau lebih cepat jika fungsi hati terganggu). Tujuan utama terapi syok hipovolemik adalah penggantian volume sirkulasi darah. Penggantian volume intravascular sangat penting untuk kebutuhan cardiac output dan suplai oksigen ke jaringan. Syok hipovolemik yang disebabkan oleh kehilangan darah dalam jumlah besar sering perlu dilakukan transfusi darah. Adapun indikasi transfusi darah atau komponen darah pada syok hipovolemik yaitu:

Tabel 2.3 Indikasi transfusi komponen darah

Indication for blood component therapy

Component

Indication

Usual strating dose

Packed RBC

Replacement of Oxygen-carrying capacity

2-4 units IV

Platelets

Thrombocytopenia with bleeding

6-10 units IV

Fresh frozen plasma

Coagulopaty

2-6 units IV

Crycoprecipitate

Coagulopaty with fibrinogen

10-20 units IV

Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit dan kelainan metabolic yang ada. Berbagai larutan parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien.

Terdapat beberapa jenis cairan resusitasi yaitu cairan koloid, kristaloid dan darah. koloid merupakan cairan dengan tekanan osmotik yang lebih tinggi dibandingkan plasma (cairan hiperonkotik). Hipertonik dan hiperonkotik adalah cairan plasma expander karena kemampuan untuk memindahkan cairan intrselular dan interstisial selama resusitasi dan dengan cepat menggantikan volume plasma (seperti albumin, dextran, dan starch). Cairan kristaloid adalah cairan yang mengandung air, elektrolit dan atau gula dengan berbagai campuran. Cairan ini bisa isotonik, hipotonik, dan hipertonikterhadap cairan plasma. Sedangkan cairan koloid yaitu cairan yang Berat Molekulnya tinggi. Cairan kristaloid terdiri dari:

1. Cairan Hipotonik

Cairan ini didistribusikan ke ekstraseluler dan intraseluluer. Oleh karena itu penggunaannya ditujukan kepada kehilangan cairan intraseluler seperti pada dehidrasi kronik dan pada kelainan keseimbangan elektrolit terutama pada keadaan hipernatremi yang disebabkan oleh kehilangan cairan pada diabetes insipidus. Cairan ini tidak dapat digunakan sebagai cairan resusitasi pada kegawatan (dextrosa 5%).

2. Cairan Isotonik

Cairan isotonik terdiri dari cairan garam faali (NaCl 0,9%), ringer laktat dan plasmalyte. Ketiga jenis cairan ini efektif untuk meningkatkan isi intravaskuler yang adekuat dan diperlukan jumlah cairan ini 4x lebih besar dari kehilangannya. Cairan ini cukup efektifsebagai cairan resusitasi dan waktu yang diperlukan relatif lebih pendek dibanding dengan cairan koloid.

3. Cairan Hipertonik

Cairan ini mengandung natrium yang merupakan ion ekstraseluler utama. Oleh karena itu pemberian natrium hipertonik akan menarik cairan intraseluler ke dalam ekstraseluler.Peristiwa ini dikenal dengan infus internal. Disamping itu cairan natrium hipertonikmempunyai efek inotropik positif antara lain memvasodilatasi pembuluh darah paru dan sistemik. Cairan ini bermanfaat untuk luka bakar karena dapat mengurangi edema pada luka bakar, edema perifer dan mengurangi jumlah cairan yang dibutuhkan, contohnya NaCl 3%. Beberapa contoh cairan kristaloid :

1) Ringer Laktat (RL)

Larutan yang mengandung konsentrasi Natrium 130 mEq/L, Kalium 4 mEq/l, Klorida 109mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Laktat 28 mEq/L. Laktat pada larutan ini dimetabolisme didalam hati dan sebagian kecil metabolisme juga terjadi dalam ginjal. Metabolisme ini akan terganggu pada penyakit yang menyebabkan gangguan fungsi hati. Laktat dimetabolisme menjadi piruvat kemudian dikonversi menjadi CO2 dan H2O (80% dikatalisis oleh enzimpiruvat dehidrogenase) atau glukosa (20% dikatalisis oleh piruvat karboksilase). Kedua proses ini akan membentuk HCO3. Sejauh ini Ringer Laktat masih merupakan terapi pilihan karena komposisi elektrolitnya lebih mendekati komposisi elektrolit plasma. Cairan ini digunakan untuk mengatasi kehilangan cairan ekstra seluler yang akut. Cairan ini diberikan pada dehidrasi berat karena diare murni dan demam berdarah dengue. Pada keadaan syok, dehidrasi atau DSS pemberiannya bisa diguyur.

2)Ringer Asetat

Cairan ini mengandung Natrium 130 mEq/l, Klorida 109 mEq/l, Kalium 4 mEq/l, Kalsium 3mEq/l dan Asetat 28 mEq/l. Cairan ini lebih cepat mengoreksi keadaan asidosis metabolikdibandingkan Ringer Laktat, karena asetat dimetabolisir di dalam otot, sedangkan laktat didalam hati. Laju metabolisme asetat 250 400 mEq/jam, sedangkan laktat 100 mEq/jam.Asetat akan dimetabolisme menjadi bikarbonat dengan cara asetat bergabung dengan ko-enzim A untuk membentuk asetil ko-A., reaksi ini dikatalisis oleh asetil ko-A sintetase danmengkonsumsi ion hidrogen dalam prosesnya. Cairan ini bisa mengganti pemakaian RingerLaktat. Glukosa 5%, 10% dan 20%Larutan yang berisi Dextrosa 50 gr/liter , 100 gr/liter , 200 gr/liter.9 Glukosa 5% digunakanpada keadaan gagal jantung sedangkan Glukosa 10% dan 20% digunakan pada keadaan hipoglikemi , gagal ginjal akut dengan anuria dan gagal ginjal akut dengan oliguria.

3) NaCl 0,9%

Cairan fisiologis ini terdiri dari 154 mEq/L Natrium dan 154 mEq/L Klorida, yang digunakan sebagai cairan pengganti dan dianjurkan sebagai awal untuk penatalaksanaan hipovolemia yang disertai dengan hiponatremia, hipokloremia atau alkalosis metabolik. Cairan ini digunakan pada demam berdarah dengue dan renjatan kardiogenik juga pada sindrom yang berkaitan dengan kehilangan natrium seperti asidosis diabetikum, insufisiensi adrenokortikaldan luka bakar. Pada anak dan bayi sakit penggunaan NaCl biasanya dikombinasikan dengancairan lain, seperti NaCl 0,9% dengan Glukosa 5%. Adapun Jenis-jenis cairan koloid adalah :

1)Albumin.Terdiri dari 2 jenis yaitu:

a)Albumin endogen. Albumin endogen merupakan protein utama yang dihasilkan dihasilkan di hati dengan BM antara 66.000 sampai dengan 69.000, terdiri dari 584 asam amino. Albumin merupakan protein serum utama dan berperan 80% terhadap tekanan onkotik plasma. Penurunan kadarAlbumin 50 % akan menurunkan tekanan onkotik plasmanya 1/3nya.

b)Albumin eksogen. Albumin eksogen ada 2 jenis yaitu human serum albumin, albumin eksogen yang diproduksiberasal dari serum manusia dan albumin eksogen yang dimurnikan (Purified protein fraction)dibuat dari plasma manusia yang dimurnikan.8Albumin ini tersedia dengan kadar 5% atau 25% dalam garam fisiologis. Albumin 25% biladiberikan intravaskuler akan meningkatkan isi intravaskuler mendekati 5x jumlah yangdiberikan.Hal ini disebabkan karena peningkatan tekanan onkotik plasma. Peningkatan inimenyebabkan translokasi cairan intersisial ke intravaskuler sepanjang jumlah cairan intersisial mencukupi. Komplikasi albumin adalah hipokalsemia yang dapat menyebabkan depresi fungsi miokardium, reaksi alegi terutama pada jenis yang dibuat dari fraksi protein yangdimurnikan. Hal ini karena factor aktivator prekalkrein yang cukup tinggi dan disamping ituharganya pun lebih mahal dibanding dengan kristaloid. Larutan ini digunakan padasindroma nefrotik dan dengue syok sindrom.

2)HES (Hidroxy Ethyl Starch). Merupaka senyawa kimia sintetis yang menyerupai glikogen. Cairan ini mengandung partikel dengan BM beragam dan merupakan campuran yang sangat heterogen. Tersedia dalam bentuk larutan 6% dalam garam fisiologis. Tekanan onkotiknya adalah 30 mmHg dan osmolaritasnya 310 mosm/l. HES dibentuk dari hidroksilasi aminopektin, salah satu cabang polimer glukosa. Pada penelitian klinis dilaporkan bahwa HES merupakan volume ekspander yang cukup efektif. Efek intarvaskulernya dapat berlangsung 3-24 jam. Pengikatan cairan intravasulermelebihi jumlah cairan yang diberikan oleh karena tekanan onkotiknya yang lebih tinggi. Komplikasi yang dijumpai adalah adanya gangguan mekanisme pembekuan darah. Hal ini terjadi bila dosisnya melebihi 20ml/ kgBB/ hari.

3)Dextran. Merupakan campuran dari polimer glukosa dengan berbagai macam ukuran dan berat molekul. Dihasilkan oleh bakteri Leucomostoc mesenteriodes yang dikembangbiakkan di mediasucrose. BM bervariasi dari beberapa ribu sampai jutaan Dalton. Ada 2 jenis dextran yaitu dextran 40 dan 70. Dextran 70 mempunyai BM 70.000 (25.000-125.000). Sediaannya terdapat dalam konsentrasi 6% dalam garam fisiologis. Dextran ini lebih lambat dieksresikan dibandingkan dextran 40. Oleh karena itu dextran 70 lebih efektif sebagai volume ekspander dan merupakan pilihan terbaikdibadingkan dengan dextran 40. Dextran 40 mempunyai BM 40.000 tersedia dalam konsentrasi 10% dalam garam fisiologis atau glukosa 5%. Molekul kecil ini difiltrasi cepat oleh ginjal dan dapat memberikan efekdiuretik ringan. Sebagian kecil dapat menembus membran kapiler dan masuk ke ruang intertisial dan sebagian lagi melalui sistim limfatik kembali ke intravaskuler. Pemberian dextran untuk resusitasi cairan pada syok dan kegawatan menghasilkan perubahan hemodinamik berupa peningkatan transpor oksigen. Cairan ini digunakan pada penyakit sindroma nefrotik dan dengue syok sindrom. Komplikasi antara lain payah ginjal akut, reaksi anafilaktik dan gangguan pembekuan darah.

4)Gelatin. Cairan ini banyak digunakan sebagai cairan resusitasi terutama pada orang dewasa. Terdapat 2 bentuk sediaan yaitu:1.Modified Fluid Gelatin (MFG) 2.Urea Bridged Gelatin (UBG). Kedua cairan ini punya BM 35.000. Kedua jenis gelatin ini punya efek volume expanderyang baik pada kegawatan. Komplikasi yang sering terjadi adalah reaksi anafilaksis. Cairan ini digunakan sebagai cairan rumatan pada penyakit bronkopneumonia, status asmatikus dan bronkiolitis.

Pemilihan cairan resusitasi pada syok hipovolemik hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Pemberian infus koloid (plasma/albumin) pada syok hipovolemik post operative dapat meningkatkan pengambilan okisgen lebih cepat dibandingkan infus kristaloid. Inisial resusitasi pada syok hipovolemik sering dimulai dengan hypertonic dan isotonic kristaloid yang kemudian dilanjutkan dengan cairan koloid dan infuse eritrosit dan plasma.

Resusitasi syok hipovolemik pada luka bakar dimana terjadi kehilangan plasma maka dilakukan resusitasi dengan kombinasi kristaloid dan koloid. Pada kasus diabetes yang tidak terkontrol, diare dan insufisiensi korteks adrenal yang menyebabkan kehilangan cairan plasma dan elektrolit maka cairan resusitasi terpilih adalah cairan kristaloid. Cairan ini dapat mempertahankan volume intravascular, interstisial, dan intraselular. Pembarian transfusi darah diindikasikan pada kasus dengan kehilangan darah >40% atau syok derajat IV. Menurut CPG 2007 resusitasi cairan optimal pada syok hipovolemik yang disebabkan oleh trauma adalah penggunaan darah. Bila transfusi darah tidak tersedia maka penggunaan kristaloid isotonic lebih dianjurkan karena kristaloid menghasilkan peningkatan cardiac output yang dapat diperkirakan dan secara umum didistribusikan ke ekstraselular. Compound Sodium Lactat adalah alternative pilihan yang dianjurkan untuk resusitasi awal pasien hipovolemik.compound sodium lactate mengandung precursor bicarbonate yang ketika dimetabolisme dapat membantu memperbaiki asidosis metabolic. Pemberian cairan ini dihentikan pada pasien dengan gangguan hati. Alternative lain yang dapat diberikan yaitu normal saline (NaCl 0.9%) meskipun pemberiannya dalam dosis besar dapat menyebabkan asidosis metabolic.

ANESTESI SYOK HIPOVOLEMIK

Tujuan utama dalam mengatasi syok hipovolemik adalah

1. Memulihkan volume intravascular untuk membalik urutan peristiwa sehingga tidak mengarah pada perfusi jaringan yang tidak adekuat.

Eredistribusi volume cairan, dan

2. Memperbaiki penyebab yang mendasari kehilangan cairan secepat mungkin.

Jika pasien sedang mengalami hemoragi, upaya dilakukan untuk menghentikan perdarahan. Mencakup pemasangan tekanan pada tempat perdarahan atau mungkin diperlukan pembedahan untuk menghentikan perdarahan internal.

Pemasangan dua jalur intra vena dengan jarum besar dipasang untuk membuat akses intra vena guna pemberian cairan. Maksudnya memungkinkan pemberian secara simultan terapi cairan dan komponen darah jika diperlukan. Contohnya : Ringer Laktat dan Natrium clorida 0,9 %, Koloid (albumin dan dekstran 6 %).

Pemberian posisi trendelenberg yang dimodifikasi dengan meninggikan tungkai pasien, sekitar 20 derajat, lutut diluruskan, trunchus horizontal dan kepala agak dinaikan. Tujuannya, untuk meningkatkan arus balik vena yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi.

Medikasi akan diresepkan untuk mengatasi dehidarasi jika penyebab yang mendasari adalah dehidrasi. Contohnya, insulin akan diberikan pada pasien dengan dehidrasi sekunder terhadap hiperglikemia, desmopresin (DDVP) untuk diabetes insipidus, preparat anti diare untuk diare dan anti emetic untuk muntahmuntah.

Military anti syoc trousersn (MAST) adalah pakain yang dirancang untuk memperbaiki perdarahan internal dan hipovolemia dengan memberikan tekanan balik disekitar tungkai dan abdomen. Alat ini menciptakan tahanan perifer artificial dan membantu menahan perfusi coroner.

Penatalaksanaan pra rumah sakit pada pasien dengan syok hipovolemik sering dimulai pada tempat kejadian atau di rumah. Tim yang menangani pasien sebelum ke rumah sakit sebaiknya bekerja mencegah cedera lebih lanjut, membawa pasien ke rumah sakit sesegera mungkin, dan memulai penanganan yang sesuai. Intervensi sebelum ke rumah sakit terdiri dari immobilisasi (pada pasien trauma), menjamin jalan napas yang adekuat, menjamin ventilasi, dan memaksimalkan sirkulasi. Dalam penanganan syok hipovolemik, ventilasi tekanan positif dapat mengurangi aliran balik vena, mengurangi cardiac output, dan memperburuk status/keadaan syok. Walaupun oksigenasi dan ventilasi penting, kelebihan ventilasi tekanan positif dapat merusak pada pasien dengan syok hipovolemik.

Penanganan yang sesuai biasanya dapat dimulai tanpa keterlambatan transportasi. Beberapa prosedur, seperti memulai pemberian infus atau fiksasi ekstremitas, dapat dilakukan ketika pasien

sudah dibebaskan. Namun, tindakan yang memperlambat pemindahan pasien sebaiknya ditunda. Keuntungan pemberian cairan intravena segera pada tempat kejadian tidak jelas. Namun, infus intravena dan resusitasi cairan harus dimulai dan dilanjutkan dalam perjalanan ke tempat pelayanan kesehatan.

Intervensi yang dapat dilakukan antara lain:

1. Kaji jumlah kehilangan volume cairan dan mulai lakukan penggantian cairan sesuai order. Pastikan golongan darah untuk pemberian terapi transfuse

2. Kaji AGD/Analisa Gas Darah, jika pasien mengalami cardiac atau respiratory arrest lakukan CPR

3. Berikan terapi oksigen sesuai order. Monitor saturasi oksigen dan hasil AGD untuk mengetahui adanya hypoxemia dan mengantisipasi diperlukannya intubasi dan penggunaan ventilasi mekanik. Atur posisi semi fowler untuk memaksimalkan ekspansi dada. Jaga pasien tetap tenang dan nyaman untuk meminimalkan kebutuhan oksigen

4. Monitor vital sign, status neurologis, dan ritme jantung secara berkesinambungan. Observasi warna kulit dan cek capillary refill

5. Monitor parameter hemodinamik, termasuk CVP, PAWP, dan cardiac output, setiap 15 menit, untuk mengevaluasi respon pasien terhadap treatmen yang sudah diberikan

6. Monitot intake dan output.pasang dower cateter dan kaji urin output setiap jam. Jika perdarahan berasal dari gastrointestinal maka cek feses, muntahan, dan gastric drainase. Jika output kuranng dari 30 ml/jam pada pasien dewasa pasang infuse, tetapi awasi adnya tanda kelebihan cairan seperti peningkatan PAWP. Lapor dokter jika urin output tidak meningkat

7. Berikan transfuse sesuai lorder, monitor Hb secara serial dan HCT

8. Berikan Dopamin atau norepineprin I.V. sesuai order untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan perfusi renal

9. Awasi tanda-tanda adanya koagulopati seperti petekie, perdarahan, catat segera

10. Berikan support emosional

11. Siapkan pasien untuk dilakukan pembedahan, jika perlu.

Pemantauan yang perlu dilakukan dalam menentukan kecepatan infus:

Nadi: nadi yang cepat menunjukkan adanya hipovolemia.

Tekanan darah: bila tekanan darah < 90 mmHg pada pasien normotensi atau tekanan darah turun > 40 mmHg pada pasien hipertensi, menunjukkan masih perlunya transfuse cairan.

Produksi urin. Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin. Produksi urin harus dipertahankan minimal ml/kg/jam. Bila kurang, menunjukkan adanya hipovolemia.

Cairan diberikan sampai vena jelas terisi dan nadi jelas teraba.

Bila volume intra vaskuler cukup, tekanan darah baik, produksi urin < 1/2 ml/kg/jam, bisa diberikan Lasix 20-40 mg untuk mempertahankan produksi urine.

Dopamin 2-5 g/kg/menit bisa juga digunakan pengukuran tekanan vena sentral (normal 8-12 cmH2O), dan

Bila masih terdapat gejala umum pasien seperti gelisah, rasa haus, sesak, pucat, dan ekstremitas dingin, menunjukkan masih perlu transfusi cairan.

4. Evaluasi Resusitasi Cairan dan Perfusi Organ

Tanda-tanda dan gejala-gejala perfusi yang tidak memadai, yang digunakan untuk diagnosis syok, dapat juga digunakan untuk menentukan respons penderita. Pulihnya tekanan darah ke normal, tekanan nadi dan denyut nadi merupakan tanda positif yang menandakan bahwa perfusi sedang kembali ke normal. Walaupun begitu, pengamatan tersebut tidak memberikan informasi tentang perfusi organ. Perbaikan pada status sistem saraf sentral dan peredaran kulit adalah bukti penting mengenai peningkatan perfusi, tetapi kualitasnya sukar ditentukan.8

Tabel 7. Jenis Respons Penderita terhadap Resusitasi Cairan Awal

RESPONS

CEPAT

RESPONS SEMENTARA

TANPA

RESPONS

Tanda vital

Kembali ke normal

Perbaikan sementara, tensi dan nadi kembali turun

Tetap abnormal

Dugaan kehilangan darah

Minimal

(10 - 20%)

Sedang, masih ada

(20 - 40%)

Berat

(> 40%)

Kebutuhan kristaloid

Sedikit

Banyak

Banyak

Kebutuhan darah

Sedikit

Sedang-banyak

Segera

Persiapan darah

Specific type dan crossmatch

Specific type

Emergensi

Operasi

Mungkin

Sangat mungkin

Hampir pasti

Kehadiran dini ahli bedah

Perlu

Perlu

Perlu

Jumlah produksi urin merupakan indikator yang cukup sensitif untuk perfusi ginjal. Produksi urin yang normal pada umumnya menandakan aliran darah ginjal yang cukup, bila tidak dimodifikasi oleh pemberian obat diuretik. Sebab itu, keluaran urin merupakan salah satu dari pemantauan utama resusitasi dan respons penderita.8

Dalam batas tertentu, produksi urin dapat digunakan sebagai pemantau aliran darah ginjal. Penggantian volume yang memadai seharusnya menghasilkan keluaran urin sekitar 0,5 ml/kgBB/jam pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anak-anak dan 2 ml/kgBB/jam untuk bayi (di bawah umur 1 tahun). Bila kurang, atau makin turunnya produksi urin dengan berat jenis yang naik, maka ini menandakan resusitasi yang tidak cukup. Keadaan ini menuntut ditambahnya penggantian volume dan usaha diagnostik.8

Respons penderita kepada resusitasi cairan awal merupakan kunci untuk menentukan terapi berikutnya. Setelah membuat diagnosis dan rencana sementara berdasarkan evaluasi awal dari penderita, dokter sekarang dapat mengubah pengelolaannya berdasarkan respons penderita pada resusitasi cairan awal. Dengan melakukan observasi terhadap respons penderita pada resusitasi awal dapat diketahui penderita yang kehilangan darahnya lebih besar dari yang diperkirakan, dan perdarahan yang berlanjut dan memerlukan pengendalian perdarahan internal melalui operasi. Dengan resusitasi di ruang operasi dapat dilakukan kontrol langsung terhadap perdarahan oleh ahli bedah dan dilakukan pemulihan volume intravaskular secara simultan. Resusitasi di ruang operasi juga membatasi kemungkinan transfusi berlebihan pada orang yang status awalnya tidak seimbang jumlah kehilangan darah. Adalah penting untuk membedakan penderita dengan hemodinamik stabil dengan hemodinamik normal. Penderita yang hemodinamik stabil mungkin tetap ada takikardi, takipneu, dan oliguri, dan jelas masih tetap kurang diresusitasi dan masih syok. Sebaliknya, penderita yang hemodinamik normal adalah yang tidak menunjukkan tanda perfusi jaringan yang kurang memadai. Pola respons yang potensial dapat dibahas dalam tiga kelompok: respons cepat, respons sementara, respons minimum atau tidak ada pada pemberian cairan.8

a. Respons cepat

Penderita kelompok ini cepat memberi respons kepada bolus cairan awal dan tetap hemodinamik normal setelah bolus cairan awal selesai dan cairan kemudian diperlambat sampai kecepatan rumatan/maintenance. Penderita seperti ini biasanya kehilangan volume darah minimum. Untuk kelompok ini tidak ada indikasi bolus cairan tambahan atau pemberian darah lebih lanjut. Jenis darahnya dan crossmatch nya tetap dikerjakan. Konsultasi dan evaluasi pembedahan diperlukan selama penilaian dan terapi awal, karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan.8

b. Respons sementara

Kelompok yang kedua adalah penderita yang berespons terhadap pemberian cairan, namun bila tetesan diperlambat hemodinamik penderita menurun kembali karena kehilangan darah yang masih berlangsung, atau resusitasi yang tidak cukup. Jumlah kehilangan darah pada kelompok ini adalah antara 20 - 40% volume darah. Pemberian cairan pada kelompok ini harus diteruskan, demikian pula pemberian darah. Respons terhadap pemberian darah menentukan penderita mana yang memerlukan operasi segera.8

c. Respons minimal atau tanpa respons

Walaupun sudah diberikan cairan dan darah cukup, kondisi hemodinamik pasien tetap buruk dengan respons minimal atau tanpa respons, ini menandakan perlunya operasi segera. Walaupun sangat jarang, namun harus tetap diwaspadai kemungkinan syok non-hemoragik seperti tamponade jantung atau kontusio miokard. Kemungkinan adanya syok non-hemoragik harus selalu diingat pada kelompok ini.8

BAB III

KESIMPULAN

Kehilangan cairan terjadi setiap saat dan mutlak diganti agar metabolisme tubuh dapat berlangsung normal. Keseimbangan air ini dikelola dengan pengaturan masukkan dan pengeluaran. Air tubuh terdapat di dalam sel (intrasel) dan di luar sel (ekstrasel). Cairan extraselular meliputi cairan interstisial dan plasma yang mempunyai komposisi sama. Kehilangan cairan normal berlangsung akibat pemakaian energi yang dapat dibagi menjadi tiga kategori Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. yaitu kehilangan cairan insensibel, produksi urin serta kehilangan cairan melalui tinja. Secara fisiologis, syok hipovolemik dibagi menjadi 4 fase, fase insial, fase kompensasi, fase progresif, dan fase refraktor. Derajat syok hipovolemik dibagi menjadi 4 kelas berdasarkan jumlah darah yang hilang. Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk memperbaiki perfusi jaringan, memperbaiki oksigenasi tubuh, dan mempertahankan suhu tubuh. Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC. Primary survey meliputi : airway, breathing, circulation, disability, dan exposure. Secondary survey meliputi pengkajian fisik. Sedangkan tersier survey dilakukan selain pengkajian primary dan secondary survey, misalnya terapi atau resusitasi cairan. Manajemen resusitasi cairan sangat penting. Untuk mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan yang hilang. Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien, konsentrasi elektrolit, dan kelainan metabolik yang ada. Tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk mengganti kehilangan cairan akut dan rumatan untuk mengganti kebutuhan harian. Komplikasi yang dapat ditimbulkan akibat syok hipovolemik adalah kegagalan multi organ, sindrom distress pernafasan, dan DIC.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Garner K. Management of Hypovolemic Shock in the Trauma Patient. 2013

2. Butler A. Shock Recognition, Pathophysiology, and Treatment. 2010. Available at : http://www.dcavm.org/10oct.html. Accessed on July 3th, 2013.

3. Kolecki P. Hypovolemic Shock. 2012. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/760145-overview#a0104. Accessed on July 3th, 2013.

4. Maier RV. Pendekatan Pada Pasien Dengan Syok. Dalam: Fauci AS, TR Harrison, eds. Harrison 's Prinsip Kedokteran Internal . 17 ed. New York, NY: McGraw Hill, 2008: chap 264.

5. Purwadianto A, Sampurna B. Kedaruratan Medik. Binarupa Aksara. Jakarta. 2011; 47-53.

6. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2009; 133-140..

7. Spaniol JR, AR Knight, Zebley JL, Anderson D, JD Pierce. Resusitasi Cairan Terapi Untuk Syok Hemoragik. J Trauma Nurs . 2007; 14:152-156.

53