12
1 Etika |September 2012 Foto dok. Dewan Pers 12 12 12 12 12 HAL Angel Lelga Angel Lelga Angel Lelga Angel Lelga Angel Lelga Adukan dukan dukan dukan dukan 2 T 2 T 2 T 2 T 2 Tabloid abloid abloid abloid abloid Edisi September 2012 UU Pers Lindungi Pers dan Publik 10 10 10 10 10 HAL Jurnalis Perempuan Indonesia: Bek Bek Bek Bek Bekerja Dua Kali Lebih K erja Dua Kali Lebih K erja Dua Kali Lebih K erja Dua Kali Lebih K erja Dua Kali Lebih Keras eras eras eras eras Foto dok. Dewan Pers Pers dan Kaum Perempuan di Indonesia Bagian 1 dari 2 tulisan Jurnalis Jurnalis Jurnalis Jurnalis Jurnalis Perempuan Indonesia: erempuan Indonesia: erempuan Indonesia: erempuan Indonesia: erempuan Indonesia: Pilar Demokrasi yang T Pilar Demokrasi yang T Pilar Demokrasi yang T Pilar Demokrasi yang T Pilar Demokrasi yang Terabaikan erabaikan erabaikan erabaikan erabaikan Oleh: Juni Soehardjo S arasehan Forum Jurnalis Perempuan diadakan oleh Dewan Pers pada Senin, 17 September 2012 membuka mata pesertanya terhadap kenyataan kehidupan profesional para jurnalis perempuan di Indonesia. 2 HAL 9 HAL Sikap Dewan Pers atas Tayangan Metro TV “Awas, Ancaman Teroris Muda” 6 HAL 11 11 11 11 11 HAL

Angel Lelga Adukan 2 Tabloid - dewanpers.or.id Etika... · Sementara Insyani Sabarwati (Ambon), Sania ... ia tidak bisa menjadi karyawan tetap ... penugasan jurnalis perempuan

  • Upload
    dodang

  • View
    229

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1Etika|September 2012

Foto dok. Dewan Pers

1212121212HAL

Angel LelgaAngel LelgaAngel LelgaAngel LelgaAngel LelgaAAAAAdukan dukan dukan dukan dukan 2 T2 T2 T2 T2 Tabloidabloidabloidabloidabloid

Edisi September 2012

UU Pers Lindungi Pers dan Publik1010101010HAL

Jurnalis Perempuan Indonesia:BekBekBekBekBekerja Dua Kali Lebih Kerja Dua Kali Lebih Kerja Dua Kali Lebih Kerja Dua Kali Lebih Kerja Dua Kali Lebih Keraseraseraseraseras

Foto dok. Dewan Pers

Pers dan Kaum Perempuandi Indonesia

Bagian 1 dari 2 tulisan

Jurnalis Jurnalis Jurnalis Jurnalis Jurnalis PPPPPerempuan Indonesia:erempuan Indonesia:erempuan Indonesia:erempuan Indonesia:erempuan Indonesia:Pilar Demokrasi yang TPilar Demokrasi yang TPilar Demokrasi yang TPilar Demokrasi yang TPilar Demokrasi yang Terabaikanerabaikanerabaikanerabaikanerabaikan

Oleh: Juni Soehardjo

Sarasehan Forum Jurnalis Perempuan diadakanoleh Dewan Pers pada Senin, 17 September 2012membuka mata pesertanya terhadap kenyataan

kehidupan profesional para jurnalis perempuan di Indonesia.

22222HAL

99999HAL

Sikap Dewan Pers atasTayangan Metro TV“Awas, AncamanTeroris Muda”

66666HAL

1111111111HAL

2Etika|September 2012

Berita Utama

Sarasehan Forum JurnalisPerempuan diadakan olehDewan Pers untuk

memberikan forum bagi para jurnalisperempuan yang selama ini sudahdiakui keberadaannya, tetapi masihtetap perlu diperhatikankesejahteraannya. Dalam berbagaikunjungannya ke daerah, para anggotaDewan Pers menemukan banyakpermintaan agar jurnalis perempuandapat difasilitasikan karena masihbanyak permasalahan yang dihadapioleh mereka. Menanggapi permintaantersebut maka Dewan Pers membuatsarasehan yang berjudul SarasehanForum Jurnalis Perempuan denganmengundang jurnalis perempuan yangdianggap bisa mewakili kaum wanitadi bidang profesi ini. Para narasumberyang diundang tersebut mewakiliperusahaan pers yang sudah mapanseperti Yuli Ismartono, NinukMardiana Pambudi masing-masing

Jurnalis Perempuan Indonesia:

BekBekBekBekBekerja Dua Kali Lebih Kerja Dua Kali Lebih Kerja Dua Kali Lebih Kerja Dua Kali Lebih Kerja Dua Kali Lebih Keraseraseraseraseras

dari Majalah Tempo dan HarianKompas. Sementara InsyaniSabarwati (Ambon), Sania (Aceh),Khairiah Lubis (Medan), dan AngelaFlasy (Papua) berasal dari daerah-daerah yang merupakan “hot-spot” didalam percaturan pemberitaan di In-donesia. Khairiah kini ketua ForumJurnalis Perempuan Indonesia yangdidirikan sejumlah jurnalis perempuandi Medan.

Uni Lubis selaku satu-satunyaanggota perempuan di Dewan Pers

periode 2010-2013 membuka sarase-han yang dihadiri oleh para pekerjapers dari berbagai media pada hariSenin, 17 September 2012. Di dalampembukaannya Uni Lubis menyatakanbahwa penyelenggaraan forum sepertiini berawal dari ide Ketua DewanPers, Bagir Manan. Selama 2 tahunterakhir, banyak sekali permintaan daripara jurnalis perempuan untuk men-dapatkan pelatihan khusus. Masalahyang dihadapi oleh kaum perempuanyang berprofesi sebagai jurnalisbiasanya berkaitan dengan masalahyang bersifat susila yang disebabkanoleh ketidak-sensitifan gender danberikutnya adalah terjadinyapelanggaraan kode etik jurnalistik.Kedua masalah tersebut dipraktekkanoleh perusahaan pers ataupun kolega-nya oleh karena berbagai alasan.

Saat ini ada kurang lebih 30,000wartawan di Indonesia. Sementarapelatihan peliputan sesuai Kode Etikbelum mampu menjangkau keseluru-han wartawan di Indonesia. Setidak-nya jumlah jurnalis perempuan hampirmencapai setengahnya. Pada perjala-nan karier mereka, banyak jurnalis pe-rempuan yang berhenti di tengah jalan

PENGURUS DEWAN PERS PERIODE 2010-2013: Ketua: Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L Wakil Ketua: Ir. Bambang Harymurti, M.P.A Anggota: Agus Sudibyo, S.I.P., Drs. Anak Bagus Gde Satria Naradha,

Drs. Bekti Nugroho, Drs. Margiono, Ir. H. Muhammad Ridlo ‘Eisy, M.B.A., Wina Armada Sukardi, S.H., M.B.A., M.M., Ir. Zulfiani Lubis

Sekretaris (Kepala Sekretariat): Lumongga Sihombing

REDAKSI ETIKA: Penanggung Jawab: Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L. Redaksi: Herutjahjo, Winahyo, Chelsia, Samsuri (Etika online), Lumongga

Sihombing, Ismanto, Wawan Agus Prasetyo, Reza Andreas (foto), Agape Siregar.

Surat dan Tanggapan Dikirim ke Alamat Redaksi: Gedung Dewan Pers, Lantai 7-8, Jl. Kebon Sirih 34, Jakarta 10110. Tel. (021) 3521488, 3504877, 3504874 - 75, Fax. (021) 3452030 E-mail: [email protected] Website: www.dewanpers.or.id / www.presscouncil.or.id

(ETIKA dalam format pdf dapat diunduh dari website Dewan Pers: www.dewanpers.org)

Laporan dari SarasehanLaporan dari SarasehanLaporan dari SarasehanLaporan dari SarasehanLaporan dari SarasehanFFFFForum Jurnalis Porum Jurnalis Porum Jurnalis Porum Jurnalis Porum Jurnalis Perempuanerempuanerempuanerempuanerempuan

3Etika|September 2012

Berita Utama

karena berbagai alasan. Akan tetapifaktanya adalah kaum perempuanmampu menembus berbagai teskemampuan dan tes masuk sebagaiwartawan yang berarti mereka memi-liki kapasitas dan kemampuan yangsama dengan rekan-rekan prianya.

Salah satu yang perlu diperhati-kan saat membahas kaum perempuansebagai jurnalis adalah tingkat danstandar kesejahteraan mereka sebagaikaryawan. Pada APEC CEO Summit2013 di Vladivostok, Rusia, yangdiselenggarakan pada awal Septem-ber lalu, sudah disusun bahan rekomen-dasi standar kerja untuk perempuanyang berkaitan dengan fleksibilitastugas-tugas, fasilitas untuk anak danlain-lain. Rekomendasi tersebutmenunjukkan perubahan paradigmalama yang merujuk kepada kewajibanbekerja di kantor. Dengan posisiperempuan yang merupakan tiangkeluarga serta profesi jurnalis yangtidak kenal waktu, maka fleksibilitaswaktu di tempat kerja merupakansuatu terobosan besar.

Yuli Ismartono menyatakanbahwa status perempuan di perusaha-annya mencerminkan kesetaraan. Iamengakui memang banyak fasilitasyang harus diperjuangkan tetapi sejakawal perusahaannya memang mem-perlakukan karyawannya dengancukup adil. Namun demikian, ia tidakmenutup mata terhadap apa yangterjadi pada jurnalis perempuan diperusahaan lain yang biasanya di-nomor-duakan dan tidak mendapatkanfasilitas pendukung pekerjaan. Yulimenyatakan bahwa dengan kemajuanteknologi, maka jurnalis perempuandapat menggunakan teknologi sebagaidukungan dalam bekerja. Jurnalisdapat bekerja secara remote. Yulimenceritakan bahwa penugasannyake daerah-daerah konflik seperti Irak,Lebanon, Vietnam, dan Sri Lanka lebihkepada alasan praktis karena saat itu

ia sedang berada di luar negeri danmudah mencapai tempat-tempattersebut. Ia mengakui bahwa sebagaiperempuan, ia baru dapat bekerjadengan cukup leluasa setelah anak-anaknya sudah besar, dan dapatditingggalkan kepada suaminya ataukeluarganya.

Dukungan keluarga, yakni darisuami maupun orang tua, juga diakuioleh Ninuk Mardiana Pambudi dariKelompok Kompas. Ia menyatakaninstitusi tempatnya bekerja tidakmembedakan laki-laki ataupun perem-puan dalam memberlakukan penuga-san maupun promosi. Ia menam-bahkan bahwa ia membuat beberapakesalahan dalam menanggapi responnegatif dari rekan-rekan sekerjanya,akan tetapi dengan seiring berjalannyawaktu, kedua belah pihak mengambilhikmahnya dan belajar menyesuaikandiri dengan perbedaan yang ada diantara kaum perempuan dan pria.Ninuk menyatakan bahwa ia dalammempelajari kesalahannya lantasmemfokuskan diri pada kemampuan-nya, sehingga berprestasi di bidang ter-sebut. Pesannya kepada para jurnalisperempuan adalah wartawan bekerjatidak mengenal waktu, oleh sebab ituwanita harus bekerja dua kali lebihkeras untuk dapat membuktikandirinya sendiri.

Insyani Sabarwati sudah terdidikdalam meliput berita konflik di daerahseperti Ambon tempatnya berkarya. Ia

menyebutkan kemampuan fisik mau-pun intelektual merupakan persyaratanutama dalam bekerja di bidang jurna-listik. Saat ini hanya terdapat lima or-ang perempuan yang berprofesisebagai jurnalis. Di wilayah Ambon,konflik yang terjadi sudah merambahke ranah agama, sosial dan politikselama 13 tahun terakhir ini. Di dalampenugasannya sebagai jurnalis lemba-ga penyiaran, Insani selalu memper-hitungkan keamanan (safety) sertakemampuan (ability) saat sedangberada di daerah konflik. Namun iamenemukan bahwa jurnalis perempu-an mengalami kesulitan dalam pelak-sanaan tugas sehingga banyak yangmengundurkan diri. Stigma yang me-lekat kepada jurnalis perempuan didaerah – khususnya daerah Ambon –adalah bahwa mereka tidak terpantaudengan baik.

Saat ini kurang lebih terdapat1000 orang jurnalis di Ambon, akantetapi tidak ada metoda untuk meman-tau jurnalis, khususnya jurnalis perem-puan, di dalam pelaksanaan tugassehari-hari. Saat ini marak berkem-bang isu jurnalis perempuan yangdiperlakukan sebagai komoditi kepadapejabat setempat saat mereka bertu-gas ke daerah di Ambon. Ia menemu-kan bahwa jurnalis perempuan perlumendapatkan perhatian yang lebih daripara pengambil keputusan di perusa-haan pers, mereka juga perlumendapatkan training atau pelatihan

The Jakarta Post

“Menutupi perbedaanitu dengan kelebihanjurnalis perempuan,

misalnya soal ketelitian,ketekunan, kemampuanriset dan mendapatkan

sudut pandangpemberitaan yang lebih

berpihak pada isukemanusiaan

dan sosialkemasyarakatan”

4Etika|September 2012

Berita Utama

jurnalistik selain itu perlu mendapatkanpengetahuan tentang pengamanansecara fisik. Poin berikutnya adalahagar jurnalis perempuan bersediamenjadi saksi saat terjadi pelecehanfisik pada waktu melakukan tugasnya.

Di perusahaan pers sendiri,susunan pelatihan bagi jurnalis perem-puan sudah masuk ke dalam budgettahun sebelumnya. Insyani menyebut-kan bahwa pelatihan jurnalis seharus-nya memperhatikan komposisi genderdan ia sudah memohon kepada peru-sahaan untuk memperhatikan masalahini. Pada kenyataannya, perusahaantetap mengirim jurnalis pria dalamjumlah yang lebih besar daripadajurnalis perempuan.

Pengalaman Sania ketua FJPAceh dimulai dari saat ia berhentimenjadi TKW di Malaysia. Sesudahbekerja beberapa lama di Negeri Jirantersebut, ia memutuskan untuk mene-ruskan pendidikannya di STIKMMedan untuk mencapai cita-citanyabekerja sebagai seorang jurnalis.Untuk membiayai kuliahnya, ia men-jual koran lokal yang mempersya-ratkan agar calon jurnalis menjualkoran dalam kuota tertentu. Saat iasudah berhasil memenuhi syarat, Saniatetap menemukan beberapa kesulitandalam pelaksanaan tugasnya.Kesulitan tersebut antara lain adalahia tidak bisa menjadi karyawan tetapperusahaan karena usianya sudahmelebihi usia maksimal pengangkatankaryawan tetap. Kesulitan lainnyaadalah ia hanya mendapatkan tugasmeliput berita seremonial pada awalkarirnya. Jurnalis perempuan di Acehhanya bertugas menjadi pembacaberita dan tugas ringan lainnya.Menulis berita bukanlah bagian daripenugasan jurnalis perempuan. Selainitu ia mendapatkan ancaman verbaldari pimpinan perusahaan saat ia ber-

sikeras untuk menulis artikel. Ia tidakdibenarkan untuk menulis lagi karenapolitik internal perusahaan.

Sania meminta Dewan Persuntuk memantau praktek-praktekseperti itu di perusahaan media danmemberikan dorongan kuat jurnalisperempuan untuk melaksanakantugasnya. Pada akhirnya Saniamembentuk Forum Jurnalis Perempu-an dan mulai menyusun program pem-berdayaan perempuan melalui forumtersebut. Program FJP Aceh antaralain mengadakan workshop PeranJurnalis Perempuan, diskusi untukmembahas yayasan dan problematika.Selain itu mereka berperan aktif dalamkomunitas dengan mengadakan ber-bagai kegiatan sosial seperti pemberianpaket lebaran, pemberian bantuansosial kepada penyandang cacat sertasosialisasi toilet bersih.

Pengalaman dari Khairiah Lubisyang merupakan Ketua FJP Medanlain lagi. FPJ Medan menekankan hu-man interest di dalam program ker-janya. Ia juga menekankan kepadapentingnya pendidikan bagi jurnalisperempuan. Di Medan ada sekitar 100orang jurnalis perempuan yang saat iniaktif dan 61 orang di antaranya adalahanggota FPJ. Menurut catatan, sekitar100 tahun yang lalu Medan sudah

memiliki harian “Perempuan Berge-rak” sehingga hal ini membuat Medanmemiliki peran besar dalam sejarahjurnalistik perempuan di Indonesia.Namun demikian, saat ini di Medan,jurnalis perempuan tetap mengalamikesulitan yang sama dengan jurnalisperempuan di daerah lain. Merekajuga mengalami diskriminasi dalam halpenugasan serta dalam hal pengem-bangan dan promosi karier. Rata-ratajurnalis perempuan hanya ditugaskanuntuk meliput masalah domestik. Adacatatan penting tentang diskriminasiterhadap jurnalis perempuan di Medanyakni pelaku pelecehan kepadamereka rata-rata adalah aparatpemerintah. Secara tegas KhairiahLubis meminta agar jurnalis perem-puan mendapatkan pelatihan jurnalistikdan pemenuhan hak-hak merekasebagai pekerja dengan pemberianfasilitas biaya melahirkan dan biayakesehatan. Saat ini jurnalis perempuandiperhitungkan sebagai wanita lajangsehingga tidak mendapatkan fasilitaskesehatan, asuransi dan lain-lain.

Pembicara dari daerah yangterkenal akan konflik lainnya, Papuaadalah Angela Flashy, PemimpinRedaksi Suara Papua, sebuah tab-loid perempuan. Ia menyebutkanminimnya fasilitas dalam bekerja dan

Workshop JurnalisPerempuan yangdigelar AJI di Solo

5Etika|September 2012

Berita Utama

dalam dukungan kerja bagi para jurnalisperempuan di Papua. Apalagi dalamhal pendidikan dan pelatihan bagi parajurnalis perempuan yang ternyatasangat minim diberikan kepadamereka oleh para pimpinan perusahaanmedia tempat mereka bekerja. Yangmenonjol dari kegiatan peliputan diPapua adalah stigma keamanan yangditempelkan kepada provinsi tersebut.Pemberitaan media setempat maupunnasional selalu memberikan pandanganatau sudut dari aparat pemerintah, danjarang sekali mengambil versi saksimata. Semua versi pemberitaan selaludikeluarkan oleh pejabat pemerintahseperti Kapolda. Jurnalis perempuanPapua, seperti juga jurnalis prianyapada umumnya, selalu rentanmendapatkan stigma separatis olehaparat Pemerintah apabila merekamenuliskan masalah kemanusiaan dankepentingan publik. Di luar itu semua,secara fisik para jurnalis perempuanjuga mengalami kesulitan karenakerasnya medan penugasan di Papuayang masih kekurangan infrastrukturtransportasi. Angela mengaku karenakerasnya medan penugasan ini makaia mampu mengemudikan berbagaisistem transportasi dari sepeda motorhingga traktor besar. Penugasan tidak

pernah mempertimbangkan masalahgender karena para pimpinan mediabersedia mengirimkan perempuan ketempat yang jauh dan sulit dicapai.Seperti pembicara lainnya, Angelajuga menekankan pentingnyadukungan keluarga terhadap dirinya.

Layak KerjaSarasehan ini juga mendapatkan

masukan dari draft standar layakkerja jurnalis perempuan yang diaju-kan oleh Aliansi Jurnalis IndependenIndonesia. Draft standar layak kerjajurnalis perempuan tersebut termasukdalam hal perlindungan bagi jurnalisperempuan, yang mencakup per-lindungan dari perlakuan diskriminatif,serta kekerasan seksual. Standarlayak kerja lainnya adalah untukpemenuhan hak atas reproduksiwanita yang memberikan cuti haidserta cuti melahirkan sesuai peraturanperundangan. Standar layak ini jugamenekankan pada pentingnya fasilitasbagi jurnalis perempuan denganpemberian makanan dan minumanbergizi, keamanan dan perlindungan,transportasi, ruang menyusui serta ja-minan kesehatan dan kesejahteraan.

Sarasehan ini diramaikan dengantanya jawab yang berkisar di seputa-

ran pengalaman para senior danjurnalis perempuan di daerah rentankonflik. Para peserta juga mengutara-kan harapan agar Dewan Pers dapatmenyelenggarakan forum sejenis padamasa mendatang. Uni Lubis menyam-paikan bahwa masukan dari sarasehanjurnalis perempuan yang baru pertamakali diselenggarakan oleh Dewan Persakan menjadi rujukan kegiatan berikut-nya, terutama meminta perusahaanmedia memberikan peluang lebih besarbagi jurnalis perempuan mengikutipendidikan dan pelatihan jurnalistik,maupun mendapatkan kelonggarandalam melakukan tugasnya padakondisi tertentu, misalnya saat ke-hamilan yang bermasalah, atau penu-gasan di daerah berbahaya. “Sarase-han ini tidak dimaksudkan untukmeminta fasilitas berlebih, apalagimemanjakan jurnalis perempuan.Jurnalis perempuan memang memilikiperbedaan secara fisik dan kodratdibanding jurnalis pria. Tantangannyaadalah menutupi perbedaan itu dengankelebihan jurnalis perempuan, misalnyasoal ketelitian, ketekunan, kemampuanriset dan mendapatkan sudut pandangpemberitaan yang lebih berpihak padaisu kemanusiaan dan sosial kemas-yarakatan,” tutur Uni Lubis.

Sekilas Foto

Pontianak (ANTARA Kalbar) - Aliansi JurnalisIndependen Indonesia mengadakan sosialisasistandar layak kerja bagi jurnalis perempuan di KotaPontianak. Divisi Perempuan AJI Indonesia, RatnaCatur Wulandari, saat memberikan sosialisasi didepan 30 jurnalis di Pontianak

Gerakan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) memperingati hari Pers Internasional di bundaranMedan, Indonesia. Foto oleh FJPI

6Etika|September 2012

Opini

1. PendahuluanSaya sengaja menggunakan

sebutan “kaum perempuan”, bukan“gender”. Pertama; supaya lebihmudah dimengerti oleh setiap yangmembaca atau mendengarkan.Kedua; untuk menarik perhatianbahwa yang akan dicatat bukansekedar kedudukan perempuan dihadapan kaum pria. Persoalan kaumperempuan semestinya sebagai sebuahpergerakan. Hubungan kaum perem-puan dengan pers tidak sekedarperempuan sebagai pekerja pers.Tidak pula sekedar sebagai sumberatau obyek berita pers. Persoalankaum perempuan hendaknya dikaitkandengan pergerakan untuk secara terusmenerus memperjuangkan martabat,kehormatan di segala bidangkehidupan (politik, sosial, ekonomi,budaya, termasuk pers).

2. Kedudukan perempuan dalamsusunan masyarakat asli Indo-nesia

Sengaja pula saya menggunakansebutan “masyarakat asli.” Sebenar-nya dapat juga dipergunakan sebutan“masyarakat tradisional.” Sebutanterakhir ini sengaja saya hindari.Pertama; untuk menghindari“konfrontasi” antara tradisional danmodern. Bagi orang-orang tertentu,sebutan “tradisional” serupa denganketerbelakangan. Modern samadengan serba maju (ilmiah, rasionaldan lain-lain ciri modern). Masyarakatasli tidak selalu gambaranketerbelakangan, tetapi dapat jugasangat modern. Sejumlah pranata asliIndonesia memuat prinsip-prinsip mod-ern dan dijadikan pranata pergaulanbaru sesuai tuntutan zaman. Banyak

yang tidak tahu, pranata productionsharing yang populer dalampenanaman modal diangkat dari ataupaling tidak, serupa dengan pranatabagi hasil dalam hukum adat Indone-sia. Ketika kaum perempuan di Baratmati-matian memperjuangkan hak pilihdan baru diperoleh abad ke-20, kaumperempuan Indonesia sudah sangatlama mempunyai hak memilih parakepada desa. Di Amerika Serikat, hakpilih kaum perempuan baru diakuitahun 1920 setelah Amandemen Ke-XIX UUD “The right of citizens ofthe United States to vote shall notbe denied or abridged by the UnitedStates or by any State on accountof sex.” Di Inggris hak pilihperempuan baru diakui 1918(Peoples’s Act, 1918).

Kaum perempuan dalam masya-rakat asli Indonesia mempunyai kedu-dukan yang sama dengan kaum pria.Pengertian “kuat gawe” sebagai cirikedewasaan untuk melakukan per-buatan hukum, berlaku baik pada pe-rempuan maupun laki-laki. Perempuandalam perkawinan sama kedudukan-nya dengan suami. Perempuan asliIndonesia berhak memiliki harta bendayang terpisah dari harta benda suami.

Perempuan asli Indonesia tidak perlumemperoleh pendampingan bijstanddari suami ketika melakukan perbuat-an hukum (misalnya, membuat per-janjian). Memang ada masyarakatadat tertentu yang sekilas membeda-kan kedudukan perempuan denganlaki-laki. Misalnya dalam hukum adatBatak, isteri bukan ahli waris suami.Anak perempuan bukan ahli warisayah atau ibunya. Tetapi aturansemacam itu, baik secara sosialmaupun hukum telah lama berubah.Pada saat ini, isteri dapat mewarisiharta suami. Anak perempuan adalahahli waris ayahnya. Bahkan sebelumitu, mengalihkan sebagian harta suamikepada isteri, atau memisahkan se-bagian harta ayah untuk anak perem-puan dilakukan dengan menggunakanpranata pemberian, hibah, atau hadiah.Anak perempuan ketika memasukiperkawinan mendapat pemberianperkawinan dari bapak dan ibunya.

Dengan demikian, sejak kapankaum perempuan Indonesia ber-kedudukan “inferior” terhadap laki-laki.

Pertama; sejak berkembangfeodalisme yang menghapus sistemadat istiadat yang egaliter. Kaum feodal

Pers dan Kaum Perempuan di IndonesiaBagian 1 dari 2 tulisan

Bagir MananKetua Dewan Pers

7Etika|September 2012

Opini

membagi-bagi susunan masyarakatdalam klas-klas atas dasar kepemilikanatas tanah.

Kedua; sejak berkembangstelsel hukum kebapakan (patriarchalsystem). Kitab Undang-UndangHukum Perdata (KUHPerdata) yangmasih berlaku di Indonesia, adalahtiruan dari KUHPerdata Belanda yangjuga meniru KUHPerdata Perancis(Code Civil) yang berdiri di atas tigatiang utama yaitu: “sistem kepemili-kan pribadi (private property),kebebasan berkontrak (freedom ofcontract), dan sistem sosial ke-bapakan (patriarchal system).”Sejak itu kaum perempuan dalamperkawinan dinyatakan tidak cakapmelakukan perbuatan hukum tertentu(ambekwaanheid). Kalau akan mela-kukan perbuatan hukum harus didam-pingi secara hukum (bijstand) olehsuami. Sampai-sampai, seorang anakyang lahir di luar perkawinan yang sahmenurut hukum yang berlaku tidakmemiliki hubungan hukum denganbapaknya dan tidak boleh mengguna-kan nama bapak atau keluarga bapak-nya. Kalaupun mau harus melaluiprosedur pengakuan (erkening). Baikdi Belanda maupun Perancis stelselsemacam itu tidak berlaku lagi. DiBelanda telah ada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Baru (NieweBW). Perubahan ini—antara lain—sebagai realisasi dari Protokol Ketujuh(1984) dari European Convention ofHuman Rights (1950). Pasal 5Protokol Ketujuh berbunyi:

“Spouses shall enjoy equality ofrights and responsibilities of a privatelaw character between them, and intheir relations with their children, asto marriage, during marriage and in theevent of its dissolution. This Articleshall not prevent States from takingsuch measures as are necessary in theinterests of the children.”

(Di lapangan hukum keperdata-

an, suami istri akan menikmati hak-hakdan tanggung jawab yang sama dalamhubungan antara mereka satu samalain. Begitu pula hubungan merekadengan anak-anak baik ketika akankawin, selama perkawinan atausetelah putusnya perkawinan.Ketentuan ini tidak melarang negaramengambil tindakan yang perlu demikepentingan anak-anak.)

Ketentuan Protokol Ketujuh diatas berkaitan dengan Pasal 16 Uni-versal Declaration of Human Rights.Pasal 16 angka 1: “Men and womenof full age, without any limitationdue to race, nationality or religion,have the right to marry and to founda family. They are entitled to equalrights as to marriage, during mar-riage and at its dissolution.” (Laki-laki dan perempuan dewasa (cukupumur), mempunyai hak untuk kawindan membentuk keluarga, tanpahalangan (hambatan), atas dasar ras,kebangsaan, atau agama). Di Indone-sia, ketentuan BW tentang kedudukanperempuan dalam perkawinan tidakberlaku lagi setelah ada Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1Tahun 1974). Begitu pula hak-hakpolitik dan sosial kaum perempuandibatasi seperti tidak mempunyai hakpilih, menduduki jabatan publik dan lainsebagainya.

Ketiga; salah menafsirkanajaran agama. Dalam agama—demikehormatan, menjaga kesucian danlain-lain kemulyaan—perempuandibebani dengan kewajiban-kewajibankhusus. Untuk memudahkan pelaksa-naannya, berkembanglah praktekperempuan harus dipingit, perempuantidak boleh sekolah di luar rumah, danlain-lain yang mengakibatkan kaumperempuan terbelakang.

Dengan demikian, sangat keliruanggapan seolah-olah ketiadaanpersamaan antara perempuan danlaki-laki di Indonesia akibat sistem

adat istiadat Indonesia. Memudarnyaprinsip egaliter antara perempuan danlaki-laki di Indonesia adalah suatuyang datang dari luar (impor).

Pada saat ini, faktor-faktorpenghambat di atas sudah tiada, atausekurang-kurangnya sudah sangatsurut. Tetapi ada faktor dominan baruyaitu kemiskinan sebagai penghambatmobilitas horizontal apalagi vertikal.Kaum perempuan biasanya yang haruslebih banyak memikul akibatkemiskinan daripada laki-laki, sepertikesempatan memperoleh pendidikan.Kalaupun ada kesempatan pendidikanbiasanya lebih terbatas daripada laki-laki dengan segala akibatkelanjutannya. TKW identik dengantenaga pendidikan rendah. Dengandemikian persoalan keterbelakangankaum perempuan tetap merupakansuatu kenyataan yang tidak terelakkanakibat kemiskinan yang masih menjadifenomena umum di negara kita.

3. Persamaan kedudukan, per-samaan kesempatan dan per-lindungan yang sama untukkaum perempuan di Indonesia

Kita harus membedakan antarapersamaan kedudukan (equal status)dengan persamaan kesempatan(equal opportunity) dan perlindunganyang sama (equal protection).Berdasarkan asas persamaan dihadapan hukum (equality before thelaw), tidak ada perbedaan antarakaum perempuan dengan laki-laki.Tetapi persamaan kedudukan tidakserta merta menghadirkan persamaankesempatan dan perlindungan yangsama. Persamaan kesempatan danperlindungan yang sama bukansemata-mata persamaan hukum, tetapidapat berkaitan dengan persoalanpolitik, ekonomi, sosial, dan budaya.Karena itu untuk menjamin kehadiranpersamaan kesempatan danperlindungan yang sama, tidaklah

8Etika|September 2012

Opini

cukup ada jaminan persamaan didepan hukum. Tidak kalah pentingadalah jaminan persamaan politik,ekonomi, sosial, dan budaya. Bahkandalam kenyataan (realitas) berbagaitatanan di luar hukumlah yang lebihmenentukan ada atau tidak adapersamaan kesempatan dan persama-an perlindungan kaum perempuanuntuk mewujudkan secara nyata

persamaan di bidang hukum, politik,ekonomi, sosial, budaya, dan berbagaiaspek kehidupan lainnya. Perlu puladiperhatikan makna equal protectionbefore the law. Secara filosofis tidakada perbedaan antara equality beforethe law dengan equal protection be-fore the law. Dalam realitas dapatberbeda. Hanya menekankan padapersamaan tanpa unsur proteksi

(perlindungan) dapat menimbulkanketidakadilan. Di kalangan hukum adaungkapan menyamakan sesuatu yangtidak sama, sama tidak adilnya denganmembedakan yang sama. Inilah makna“perbedaan dalam persamaan, danpersamaan dalam perbedaan”(ungkapan alm. Prof. SudimanKartohadiprodjo).

Sejumlah tokoh bertemu denganKetua Dewan Pers, BagirManan, di Gedung Dewan

Pers, Jakarta, Selasa (11/9/2012).Tokoh tersebut Kwik Kian Gie, Sri-Edi Swasono, Kurtubi, Edy Mulyadi,Rizal Ramli, dan Marwan Batubara.

Mereka mempersoalkan pe-muatan dan isi iklan berjudul “Ramai-Ramai Menggugat UU Migas” diharian Kompas, 9 Agustus 2012. Iklanini memuat dukungan terhadapUndang-Undang Nomor 22 Tahun2001 tentang Minyak dan Gas Bumi(UU Migas). Tidak tercantum siapapemasang iklan. Yang jelas, di bagianatas tertera kata “Iklan” yangmenegaskan bahwa tulisan itu iklan,bukan berita.

Usai mendengarkan penjelasanpara tokoh tersebut, Bagir Manan me-nyatakan, ada dua hal yang dibicara-kan dalam pertemuan. Pertama, terkaitaturan tentang pemuatan iklan. Kedua,persoalan isi iklan.

Menurutnya, para tokoh hadir diDewan Pers tidak dalam posisimengadukan pers. Mereka inginberdiskusi tentang iklan dukunganterhadap UU Migas ini, karenadianggap sebagai gejala baru yangharus segera disikapi.

Ia menambahkan, Dewan Persakan lebih lanjut membahas persoalanini. Pihak lain juga dapat diajakberdiskusi seperti Serikat PerusahaanPers (SPS) dan Persatuan PerusahaanPeriklanan Indonesia (P3I).

Anda dirugikan olehpemberitaan pers?

Gunakan Hak Jawab Anda.Bila pemuatan Hak Jawab

kurang memuaskan, adukan keDewan Pers.

Permintaan Data dan Pengir imanPermintaan Data dan Pengir imanPermintaan Data dan Pengir imanPermintaan Data dan Pengir imanPermintaan Data dan Pengir imanPPPPPengaduan Melalui PUSAengaduan Melalui PUSAengaduan Melalui PUSAengaduan Melalui PUSAengaduan Melalui PUSAT SMST SMST SMST SMST SMSDEWDEWDEWDEWDEWAN PERS 3030AN PERS 3030AN PERS 3030AN PERS 3030AN PERS 3030Biaya Rp1.000/SMSBiaya Rp1.000/SMSBiaya Rp1.000/SMSBiaya Rp1.000/SMSBiaya Rp1.000/SMSatau Konten (bukan dalam bentukatau Konten (bukan dalam bentukatau Konten (bukan dalam bentukatau Konten (bukan dalam bentukatau Konten (bukan dalam bentukBERLANGGANAN)BERLANGGANAN)BERLANGGANAN)BERLANGGANAN)BERLANGGANAN)

3030*

PPPPPetunjuk Caraetunjuk Caraetunjuk Caraetunjuk Caraetunjuk CaraMengirimMengirimMengirimMengirimMengirim SMS DataSMS DataSMS DataSMS DataSMS Datadan Pdan Pdan Pdan Pdan Pengaduanengaduanengaduanengaduanengaduan

=> Ketik “DEWANPERS” kirim ke

*: Hingga 4 September 2012, baru bisa

menggunakan nomor Telkomsel, Indosat, 3, XL,

Fren, dan Esia. Yang lain masih dalam proses.

“Hukumlah yang lebihmenentukan ada atau tidak ada

persamaan kesempatan danpersamaan perlindungan kaumperempuan untuk mewujudkan

secara nyata persamaan di bidanghukum, politik, ekonomi, sosial,

budaya, dan berbagai aspekkehidupan lainnya”

bersambung di edisi Etika mendatang

Sejumlah Tokoh BertemuKetua Dewan Pers

9Etika|September 2012

Sikap

Dewan Pers menerima pengaduan Metro TV, tanggal 17 September 2012, sehubungan maraknya protes melalui mediasosial twitter yang menyebut Metro TV telah memberitakan kegiatan Kerohanian Islam sebagai sarang teroris terkait tayanganprogram Headline News, pukul 18.00 WIB, Rabu, 5 September 2012. Metro TV mengangkat tema: “Awas, Ancaman TerorisMuda”.Tayangan yang menghadirkan narasumber Prof Dr Bambang Pranowo (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,Ketua Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian), Taufik Andri (Aktivis Deradikalisasi Terorisme) dan Letjen Purn AMHendropriyono (mantan KA BIN).

Dalam wawancara itu, khususnya ketika Bambang Pranowo berbicara, ditampilkan “infografis” yang belakanganmemunculkan berbagai protes di media sosial tersebut.

Atas dasar pengaduan tersebut, Dewan Pers berpendapat:1. Dalam tayangan tersebut di atas Metro TV menayangkan infografis tanpa menyebut sumber, sehingga infografis

tersebut secara jurnalistik adalah kesimpulan atau pendapat Metro TV sendiri. Padahal, Metro TV mengakui bahwainfografis tersebut merupakan kutipan atau kesimpulan dari hasil penelitian Bambang Pranowo.

2. Hasil penelitian Bambang Pranowo sebagaimana disebut di atas adalah satu sumber yang dapat dirujuk untukmembahas perkara radikalisme atau terorisme. Namun hasil penelitian ini jelas bukan satu-satunya sumber dan MetroTV tetap harus bersikap kritis terhadap penelitian tersebut. Namun dalam liputan di atas, Metro TV melakukangeneralisasi seakan-akan dengan hanya mengandalkan satu penelitian Bambang Pranowo di atas, Metro TV dapatlangsung mengambil beberapa kesimpulan tentang pola rekrutmen teroris muda.

3. Penelitian Bambang Pranowo merupakan penelitian yang berfokus pada radikalisasi. Namun infografis yang dimuatMetro TV yang merujuk kepada penelitian tersebut, secara langsung menggunakan judul “Pola Rekrutmen TerorisMuda”. Dalam talkshow yang berlangsung, Bambang Pranowo menegaskan bahwa fokus penelitiannya adalahtentang radikalisasi, bukan terorisme secara langsung, meskipun ia juga mengakui radikalisme terkait erat denganterorisme. Di sini muncul problem akurasi, karena Metro TV tidak secara correct menggunakan konteks radikalisasisebagaimana konteks penelitian yang dirujuk.

4. Dalam talkshow, Bambang Pranowo tidak menyebut secara spesifik kegiatan ekstrakurikuler di masjid-masjid sekolahadalah tempat untuk rekrutmen teroris muda. Namun di dalam infografis yang ditayangkan, Metro TV secara tegasmenyebutkan hal tersebut. Di sini muncul problem akurasi dalam mengutip sumber tulisan.

5. Metro TV tidak berimbang. Talkshow Metro TV jelas berpotensi menyudutkan pihak sekolah di Jabodebatek, wilayahdi mana penelitian yang dirujuk Metro TV dilakukan. Oleh karena itu, Metro TV seyogyanya menghadirkan narasumberdari pihak sekolah untuk memenuhi prinsip keberimbangan sebagaimana diatur di dalam Kode Etik Jurnalistik. DewanPers meyakini Metro TV mengetahui konteks dan hasil penelitian Bambang Pranowo sebelum talkshow dilaksanakan.

Rekomendasi: Dewan Pers menilai, kasus penayangan berita tentang terorisme oleh Metro TV tersebut merupakan masalah jurnalistik,

yang seharusnya diselesaikan secara jurnalistik pula. Dalam konteks penyelesaian secara jurnalistik inilah, Dewan Persmerekomendasikan kepada Metro TV untuk menyampaikan koreksi berita kepada publik sesegera mungkin dan meminta maafkepada publik sesegera mungkin. Sejauh ini, Dewan Pers tidak menemukan itikad buruk dari Metro TV terhadap pihak-pihaktertentu di dalam berita tersebut. Dewan Pers menghimbau kepada Metro TV dan segenap unsur pers untuk menaati Kode EtikJurnalistik dan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan publik di dalam pemberitaan, khususnya pada isu-isu yangterkait dengan persoalan SARA.

Dalam pertemuan antara Dewan Pers dan Metro TV tanggal 19 September 2012, Metro TV menyadari adanya kekurangan-kekurangan di dalam tayangan tersebut di atas. Metro TV menerima penilaian Dewan Pers dan bahkan telah melaksanakanrekomendasi Dewan Pers sebagaimana disebutkan di atas. Dengan demikian, Dewan Pers menilai kasus ini secara jurnalistiktelah selesai.

Demikian Sikap Dewan Pers. Jakarta, 19 September 2012

Dewan Pers Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.LKetua

Sikap Dewan Pers atas Tayangan Metro TV“Awas, Ancaman Teroris Muda”

10Etika|September 2012

Kegiatan

Undang-Undang No.40/1999tentang Pers (UU Pers)melindungi wartawan

profesional dan bentuk pengakuanterhadap hak asasi warga negara In-donesia. Di sisi lain, UU Pers jugadijadikan tempat berlindung wartawantidak profesional.

UU Pers memilik kekurangandan kelebihan. Kelebihannya, antaralain, memberi peluang kalangan persmembuat sendiri regulasi di bidangpers. Sedangkan orang yang mengha-langi kebebasan pers diancam pidanapenjara.

Kalangan pers yang menentukanapakah perlu dilakukan revisi atautidak terhadap UU Pers.

Demikian antara lain pemikiranyang muncul dalam diskusi “13 TahunPelaksanaan UU Pers” yang digelarDewan Pers di Gedung Dewan PersJakarta, Senin (24/9/2012). Diskusi inimenghadirkan pembicara, MenteriHukum dan Hak Asasi Manusia AmirSyamsuddin, Hakim Agung AndiSamsan Nganro, dan Anggota DewanPers Wina Armada Sukardi. Diskusidibuka oleh Wakil Ketua Dewan Pers,Bambang Harymurti, dipandu olehAnggota Dewan Pers, Uni Lubis, dandihadiri sekira 50 peserta dari berbagai

lembaga serta media.Diskusi ini digelar untuk

memperingati lahirnya UU Pers. Pada23 September 13 tahun lalu, UU Persresmi diundangkan dengan ditanda-tangani oleh Presiden BacharuddinJusuf Habibie.

PerlindunganMenteri Amir Syamsuddin

menyatakan, banyak perbedaanpendapat menyikapi UU Pers. Adayang menilai UU Pers ‘lex spesialis’.“Sulit mempertanggungjawabkankalau UU Pers itu dianggap lexspesialis,” katanya.

UU Pers, ia menambahkan,dibuat tidak semata untuk melindungipers, namun juga masyarakat.Dilakukan revisi atau tidak terhadapUU Pers berpulang kepada kalanganpers sendiri.

Menurutnya, keengganan atauketakutan masyarakat serta pejabatuntuk mempersoalkan berita pers yangsalah, dapat menciptakan suasanatidak sehat. Pers juga perlu dikontroldan dikritik.

Hakim Agung Andi SamsanNganro berpendapat, UU Pers terma-suk hukum publik, karena bagian daripelaksanaan Pasal 28 UUD 1945 yang

menjamin kebebasan berpendapat danberserikat. Sebagai hukum publik, UUPers bersifat memaksa dan adacampur tangan negara.

“UU Pers mencerminkan kemer-dekaan pers sebagai hak asasi warganegara,” ungkapnya.

Anggota Dewan Pers Wina Ar-mada menegaskan, keberadaan Pasal8 UU Pers yang memberi perlindu-ngan hukum terhadap wartawan dapatbermakna menghilangkan tuntutanperbuatan melawan hukum. Artinya,wartawan yang menjalankan profesi-nya secara profesional dan karenauntuk kepentingan publik, dapat dibe-baskan dari tuntutan melawan hukum.

Wakil Ketua Dewan PersBambang Harymurti sependapat UUPers memiliki kekurangan dan kelebi-han. Salah satu kelebihannya, Pasal 18yang memuat ancaman pidana penjarabagi orang yang menghalangi kebeba-san pers. Pasal yang melindungi ke-bebasan pers ini, menurutnya, menjadipembicaraan dalam pertemuan-pertemuan internasional tentang pers.

Menanggapi kemungkinan revisiUU Pers, Bambang Harymurtimenyatakan, hal itu terkantung kondisipolitik di DPR. “Dilihat suasanakondusif di DPR,” katanya.

UU Pers Lindungi Pers dan Publik

11Etika|September 2012

Sarasehan Forum JurnalisPerempuan diadakan olehDewan Pers pada Senin, 17

September 2012 membuka matapesertanya terhadap kenyataankehidupan profesional para jurnalisperempuan di Indonesia. Secarakolektif jurnalis perempuan ini menya-dari bahwa perbedaan bisik dan kodrattidak membuat mereka kalah darisejawatnya laki-laki, tetapi meng-kompensasikan kelemahan merekadengan kelebihan mereka dalambidang lain seperti ketelitian, keteku-nan, kemampuan riset serta sudutpandang pemberitaan yang lebihberpihak kepada isu kemanusiaan dansosial kemasyarakatan.

Dari data dan kisah yang di-ungkap oleh para narasumber yang di-pilih oleh Dewan Pers pada pertemu-an hari itu jelas pada kenyataannyajurnalis perempuan masih harusbekerja dua kali lebih keras agardipandang sederajat dengan rekan-rekannya jurnalis pria di hadapan parapimpinan perusahaan media tempatmereka bekerja. Beberapa di antaramereka bersedia untuk mengambilkerja shift malam yang beresiko tinggiagar mereka tidak dicap sebagai pihakyang ingin diuntungkan denganperaturan atau mendapat perlakuanprefensial dari pihak manajemenkarena jenis kelaminnya.

Jurnalis perempuan di Indonesiamasih mengalami perlakuandiskriminatif dan intimidatif, baik darirekan sekerjanya atau pimpinanmedianya maupun dari aparatpemerintah. Mereka juga harusmenghadapi kondisi medan peliputan

yang keras, utamanya bagi jurnalisperempuan yang tinggal di daerahyang rentan konflik dan infrastukturnyamasih kurang memadai seperti Aceh,Ambon dan Papua sehingga dalammenjalankan tugasnya mereka harusmemiliki kesiapan fisik dan mentalyang lebih dari mencukupi.

Beberapa jurnalis perempuanyang bekerja di kelompok media besarmemang beruntung mendapatkanperlakuan egaliter dan berbagaitunjangan yang mendukung merekadalam bekerja seperti fasilitas kese-hatan, asuransi serta fasilitas lainnyasebagai seorang perempuan. Merekajuga mendapatkan kesempatan untukmeliput berbagai peristiwa besar, baikitu bersifat konflik seperti perangmaupun pertemuan puncak dari parakepala negara di tingkat internasional.Di pihak lain, jurnalis perempuan yangbekerja di perusahaan media daerah,harus menghadapi berbagai permasa-lahan sehingga dibutuhkan kemam-puan multi-tasking dalam menjalan-kan tugas mereka sebagai tenaga kerjaprofesional. Mereka harus mampumenghadapi intrik kantor sepertiperlakuan diskriminatif, penugasanseremonial yang tidak dapat dianggapsebagai pekerjaan serius, namunmereka juga harus menghadapi realitalapangan yang keras dan berat saatmendapatkan penugasan.

Di tengah kesulitan kondisi kerjamereka, jurnalis perempuan yangmampu bertahan di bidang profesi inihingga sekarang mengakui bahwakinerja mereka tidak bisa dilepaskandari dukungan keluarga mereka. Baikorang tua, suami maupun anak adalah

pihak keluarga yang disebut olehjurnalis perempuan sebagai support-system (sistem pendukung kinerja)yang memahami akan tantanganpekerjaan serta mau mendukung karirjurnalis tersebut. Pada saat yang ber-samaan, kehadiran support-systemtidak selalu menyelesaikan permasa-lahan jurnalistik karena yang dihadapijurnalis perempuan juga mencakupperkara yang berkaitan denganperilaku sejawat yang tidak sesuaidengan kode etik jurnalistik sehinggakeluarga tidak bisa turut campur dalampenyelesaian masalah. Kaumperempuan ini lalu menyadari bahwauntuk menghadapi permasalahan yangberkaitan dengan profesionalismemaka mereka harus mendapatkanpemberdayaan dan dukungan darirekan sejawat mereka, sesama jurnalisperempuan.

Permasalahan kode etis yangdihadapi oleh mereka ini kira-kiramenjadi alasan akan terbentuknyaorganisasi perhimpunan jurnalisperempuan, seperti Forum JurnalisPerempuan, yang mendapatkansambutan luar biasa dan karenanyamemiliki cabang di berbagai daerah diIndonesia. Forum seperti FJP inidigunakan mereka untuk saling tukarmenukar informasi dan melakukankegiatan sosial yang sesungguhnyalangkah awal dari pemberdayaanjurnalis perempuan. Berbagi informasiserta menyediakan sumber dayaadvokasi serta melaksanakan kegiatansosial bersama membuat anggota FJPmendapatkan keuntungan besarkarena memiliki network atau jejaringkerja profesional yang pada akhirnya

Jurnalis Jurnalis Jurnalis Jurnalis Jurnalis PPPPPerempuan Indonesia:erempuan Indonesia:erempuan Indonesia:erempuan Indonesia:erempuan Indonesia:Pilar Demokrasi yang TPilar Demokrasi yang TPilar Demokrasi yang TPilar Demokrasi yang TPilar Demokrasi yang Terabaikanerabaikanerabaikanerabaikanerabaikan

Oleh: Juni SoeharOleh: Juni SoeharOleh: Juni SoeharOleh: Juni SoeharOleh: Juni Soehardjodjodjodjodjo

Sorotan

12Etika|September 2012

memberdayakan mereka.Berdasarkan penelitian Divisi

Perempuan AJI Indonesia yangdilakukan di Jakarta, Yogyakarta,Surabaya, Medan, dan kota lainnya,pada tahun 2011, terungkap bahwadari 135 responden perempuan hanya56,61% adalah karyawan tetap. 2%dari responden adalah wartawanfreelance, dan sisanya sekitar 41,39%hanya berstatus kontrak padaperusahaan tersebut. Angka tersebutmeskipun kecil tetapi secara mikro-kosmik menunjukkan bahwa yangbertahan menjadi jurnalis perempuanadalah perempuan yang belummenduduki posisi sebagai pengambilkeputusan di bidang redaksi. Yangmengemuka di dalam penelitian

tersebut adalah karena statusnya yangkontrak itu, maka perusahaan tempatmereka bekerja tidak memberikan hakkaryawan tetap seperti cuti ketikahaid, hak menyusui anak, hakpengobatan, dan lain-lain kepada parapekerjanya.

Hasil sensus penduduk Indone-sia yang diadakan pada 2010menunjukkan bahwa terdapat jumlahimbang antara 119.630.913 orangpenduduk laki-laki dan 118.010.413orang penduduk perempuan diRepublik ini. Jurnalis memiliki tugassebagai pilar demokrasi yangmenjunjung tinggi transparansi danketersediaan informasi bagibangsanya. Jurnalis perempuan Indo-nesia jelas memiliki hak dan kewajiban

Sorotan

yang sama untuk membuat bangsaIndonesia mendapatkan informasi danpencerahan. Untuk mencapai tingkatdimana jurnalis perempuan memilikikemampuan dan kesempatan untukmengembangkan keahliannya hinggamenjabat jabatan senior dan memilikiotoritas dalam perusahaannya,kebutuhan dasar mereka untukmendapatkan hak dan kewajibanmereka adalah syarat yang harusdipenuhi sesuai dengan standarkelayakan bekerja sebagai tenagaprofesional. Dengan mengabaikankeberadaan dan kesejahteraan jurnalisperempuan secara berlarut-larutseperti ini, maka Indonesia sesung-guhnya sedang mengabaikan pilardemokrasinya sendiri.

Angel Lelga, aktris/penyanyi,mengadukan dua tabloidhiburan ke Dewan Pers,

Senin (24|9). Didampingi kuasahukumnya, Hotman Paris Hutapea,Angel membantah berita yang diang-gap mencemarkan nama baik dirinyaseperti dilansir dua tabloid hiburan,yakni Tabloid Bintang Indonesia,edisi I.109, Minggu Pertama, Septem-ber 2012 dan Tabloid Femme, edisi 26,Tahun III 29 Juni-12 Juli 2012.

Hotman Paris di depan parawartawan seusai pengaduan menga-

Angel Lelga Adukan 2 Tabloidtakan bahwa kliennya tidak dalamkondisi hamil sebagaimana diberitakantabloid tersebut. Ia mempersilakanpara wartawan melihat sendiri kondisikliennya. Sementara itu, Angelmenyatakan, pihaknya mengadu keDewan Pers untuk pembelajaranbersama baik media maupun aktris.

Ketua Komisi Pengaduan Ma-syarakat dan Penegakan Etika PersDewan Pers, Agus Sudibyo menyata-kan pihaknya akan segera mengklari-fikasi pengaduan tersebut ke mediabersangkutan sebagaimana biasanya.

Pertemuan Dewan Pers Indonesia dengan Dewan PersAfrika Selatan di JohanesburgTgl. 7 September 2012. Dari kiri ke kanan: AgusSudibyo, M. Ridlo Eisy, Johan Retief (Deputy PressOmbudsman-Afsel), Joe Thloloe (Press Ombudsman-Afsel), Margiono, Bekti Nugroho, Wina Armada Sukardi.Delegasi Dewan Pers Indonesia bertukar cindera matadengan rekannya dari Press Ombudsman Afsel.