25
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI OBAT SISTEM SYARAF OTONOM (ANTIKOLINERGIK) Disusun oleh: Malahayati 140510060062 Erly Maryanti 140510060064 Aulia Dorojati Rukmi 140510060066 Senjani Nurul Aeni 140510060068 Dian Ekawati 140510060070

Antikolinergik Beres Lm

Embed Size (px)

DESCRIPTION

farkol

Citation preview

Page 1: Antikolinergik Beres Lm

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

OBAT SISTEM SYARAF OTONOM

(ANTIKOLINERGIK)

Disusun oleh:

Malahayati 140510060062

Erly Maryanti 140510060064

Aulia Dorojati Rukmi 140510060066

Senjani Nurul Aeni 140510060068

Dian Ekawati 140510060070

LABORATORIUM FARMAKOLOGI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2009

Page 2: Antikolinergik Beres Lm

OBAT SISTEM SYARAF OTONOM

(ANTI KOLINERGIK)

I. TUJUAN PERCOBAAN

1. Menghayati secara lebih baik pengaruh berbagai obat sistem saraf

otonom dalam pengendalian fungsi-fungsi vegetatif tubuh.

2. Mengenal suatu teknik untuk mengevaluasi aktivitas obat

antikolinergik pada neorofektor parasimpatikus.

II. PRINSIP PERCOBAAN

Pemberian zat kolinergik pada hewan percobaan menyebabkan salvasi dan

intersalivasi yang dapat diinhibisi oleh zat antikolinergik.

III. TEORI

Sistem syaraf otonom yang dikenal juga dengan nama sistem syaraf

vegetatif, sistem syaraf visceral atau sistem syaraf tidak sadar, sistem

mengendalikan dan mengatur kemauan. Sistem syaraf ini terdiri dari atas serabut

syaraf-syaraf, ganglion-ganglion dan jaringan syaraf yang mensyarafi jantung,

pembuluh darah, kelenjar-kelenjar, alat-alat dalaman dan otot-otot polos. Obat-

obat yang sanggup mempengaruhi fungsi sistem syaraf otonom, bekerja

berdasarkan kemampunannya untuk meniru atau memodifikasi aktivitas

neurohimor-transmitor tertentu yang dibebaskan oleh serabut syaraf otonom di

ganglion atau sel-sel (organ-organ) efektor.

KOLINERGIK

Kolinergik adalah sekelompok zat yang dapat menimbulkan efek yang

sama dengan stimulasi Susunan Parasimpatis (SP), karena melepaskan

neurohormon asetilkolin (Ach) diujung-ujung neuronnya.

Page 3: Antikolinergik Beres Lm

Efek kolinergik faal yag terpenting adalah sebagai berikut :

- Stumulasi pencernaan dengan jalan memperkuat peristaltic dengan

- sekresi kelenjar ludah dan getah lambung (HCl), juga sekresi air mata, dan

lain-lain.

- Memperlambat sirkulasi, antara lain dengan mengurangi kegiatan jantung,

vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah.

- Memperlambat pernapasan, antara lain dengan menciutkan bronchi,

sedangkan sekresi dahak dipebesar.

- Kontraksi otot mata dengan efek penyempitan pupil mata (miosis) dan

menurunnya tekanan intraokuler akibat lancarnya pengeluaran air mata.

- kontraksi kandung kemih dan ureter dengan efek memperlancar pengeluaran

urin.

- Dilatasi pembuluh dan kontraksi otot kerangka.

- Menekan SSP setelah pada permulaan menstimulasinya.

Efek muskarin dan efek nikotin

Berdasarkan efeknya terhadap perangsangan, reseptor ini dapat

dibagi dalam 2 jenis, yaitu reseptor muskari dan reseptor nikotin., yang masing-

masing menghasilkan efek yang berlainan.

a. Reseptor muskarin (M) berada dineuron postganglioner dan dapat

dibagi dalam minimal 3 subtipe, yakni reseptor M1, M2, dan M3 (1,2). Ketiga

jenis reseptor ini bila dirangsang memberikan efek yang berlainan.

Muskarin adalah derivat furan yang bersifat sangat beracun dan terdapat

sebagai alkaloida pada jamur merah Amanita muscaria. Reseptor muskarin

setelah diaktivasi oleh neurotransmitter ACh dapat menimbulkan semua efek

fisiologis.

b. Reseptor nikotin

Terdapat dalam pelat-pelat ujung myoneural dari otot kerangka dan di

ganglia otonom. Stimulasi reseptor ini olrk kolinergika menimbulkan efek

yang menyerupai efek adrenergika, jadi sifat berlawanan sama sekali.

Misalnya vasokontriksi dengan naiknya tensi ringan, penguatan kegiatan

jantung, menstimulasi SSP ringan. Pada dosis rendah, timbul konstriksi otot

Page 4: Antikolinergik Beres Lm

lurik, sedangkan pada dosis tinggi terjadi depolarisasi dan blokade

neurotransmitter.

Mekanisme kerjanya berdasarkan stimulasi penerusan impuls diganglia

simpatis dan stimulasi anak ginjal dengan sekresi noradrenalin. Di samping itu

terjadi stimulasi ganglia kolinergis dan pelat-pelat ujung motoris otot lurik,

dimana terdapat banyak reseptor nikotin.

Pilokarpin

Berasal dari tanaman Pilocarpus jaborandi dan Pilokarpus microphyllus.

Pilokarpin memiliki efek nikotinik. Efek nikotinik ini juga terlihat setelah

diadakan denervasi. Pilokarpin terutama menyebabkan rangsangan terhadap

kelenjar keringat, kelenjar air mata, dan kelenjar ludah. Produksi keringat dapat

mencapai tiga liter. Efek terhadap kelenjar keringat ini terjadi karena

perangsangan langsung (efek muskarinik) dan sebagian karena perangsangan

ganglion (efek nikotinik). Suatu kekhususan dari kelenjar keringat ialah bahwa,

secara anatomi kelenjar ini termasuk sistem simpatik, tetapi neurotransmiternya

asetilkolin. Ini yang menjelaskan terjadinya hiperhidrosis oleh zat kolinergik

ANTIKOLINERGIK

Obat antikolinergik disebut juga parasimpatolitik, berarti obat yang

bekerja menghambat timbulnya efek akibat aktivitas susunan saraf parasimpatis.

Antimuskarinik merupakan antikolinergik yang bekerja di alat yang dipersarafi

serabut pascaganglion kolinergik. Antimuskarinik memperlihatkan efek sentral

terhadap susunan saraf pusat, yaitu merangsang pada dosis kecil dan mendepresi

pada dosis toksik.

Atropin

Merupakan (campuran d- dan l- hiosiamin) dan skopolamin (l-hiosin)

merupakan dua alkaloid aktif. Atropin terutama ditemukan pada Atropa

belladonna dan Datura stramonium, sedangkan skopolamin terutama diperoleh

dari Hyoscyamus niger. Alkaloid-alkaloid ini merupakan ester organic dari asam

tropat dengan tropanol atau skopin (basa organik).

Page 5: Antikolinergik Beres Lm

Hambatan oleh atropin bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan

pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase.

Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen, tetapi

hambatannya jauh lebih kuat terhadap yang eksogen. Skopolamin memeilki efek

depresi sentral yang lebih besar daripada atropine, sedangkan efek perifer

terhadap jantung, usus, dan otot bronkus lebih kuat dipengaruhi oleh atropin.

Efek farmakodinamik. Atropin merangsang medulla oblongata dan pusat lain

otak; alkaloid belladonna menyebabkan midriasis dan sikloplegia; mengurangi

secret hidung, mulut, faring, dan bronkus; frekuensi jantung berkurang;

menghambat bradikardi; antispasmodic; menghambat aktivitas kelenjar eksokrin,

yaitu kelenjar liut dalam mulut serta bronkus.

Fenobarbital

Merupakan salah satu golongan barbiturat yang masih banyak digunakan

sebagai anastetikum i.v.

Monografi

Pemeriaan Hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa agak pahit.

Kelarutan Sangat sukar larut dalam air, larut dalam etanol (95%) P, dalam eter P,

dalam larutan alkali hidroksida dan dalam larutan alkali karbonat.

Penyimpanan Dalam wadah tertutup baik

Khasiat penggunaan Hipnotikum, sedativum

Dosis maksimum Sekali 300 mg, sehari 600 mg

Farmakodinamik

NH

O

C2H5

O O

H

N

Page 6: Antikolinergik Beres Lm

Efek utama adalah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai, mulai

dari sedasi, hipnosis, berbagai tingkat anestesi, koma hingga kematian.

Efek hipnotik dapat dicapai dalam waktu 20-60 menit dengan dosis hipnotik.

Fenobarbital bekerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak

sama kuatnya. Dosis nonanestesi terutama menekan respons pasca sinaps.

Penghambatan hanya terjadi pada sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek

yang terjadi mungkin tidak semuanya melalui GABA sebagai mediator.

Fenobarbital memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi dan

inhibisi tranmisi sinaptik.

Farmakokinetik

Fenobarbital secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna. Bentuk garam

natrium lebih cepat diabsorpsi dari bentuk asamnya. Mula kerja bervariasi antara

10-60 menit, bergantung kepada zat serta formula sediaan, dan dihambat oleh

adanya makanan di dalam lambung.

Fenobarbital dimetabolisme hampir sempurna dalam hati sebelum diekskresi

lewat ginjal. Oksidasi gugus pada atom C-5 merupakan metabolisme yang paling

utama dan yang menghentikan aktivitas biologisnya. Oksidasi tersebut

menyebabkan terbentuknya alkohol, keton, fenol, atau asam karboksilat yang

diekskresi dalam urin sebagai zat tersebut atau konjugatya dengan asam

glukoronat. Kira – kira 25% fenobarbital diekskresi ke dalam urin dalam bentuk

utuh. Ekskresinya dapat ditingkatkan dengan diuresis osmotik dan/atau alkalisasi

urin.

Penggunaan berulang fenobarbital mempersingkat waktu paruh akibat

induksi enzim mikrosomal. Data farmakokinetik menunjukkan bahwa fenobarbital

yang digunakan sebagai hipnotik dan sedatif tidak memilik waktu paruh yang

cukup singkat untuk dapat dieliminasi sempurna dalam 24 jam. Jadi, akan

diakumulasi selama pemberian ulang, kecuali bila dilakukan pengaturan dosis

yang cermat.

Eliminasi obat lebih cepat berlangsung pada yang berusia dewasa muda

daripada yang tua dan anak-anak. Waktu paruh meningkat selama kehamilan dan

Page 7: Antikolinergik Beres Lm

pada penyakit hati kronik, terutama sirosis. Selain itu menetapkannya obat dalam

plasma sepanjang hari mempermudah terjadinya toleransi dan penyalahgunaan.

Rute Pemberian obat

Pemberian obat secara per oral

Pemberian obat secara peroral merupakan cara pemberian yang paling

umum dilakukan karena mudah, aman dan murah. Kerugiannya ialah banyak

faktor yang dapat mempengaruhi bioavaibilitasnya, obat dapat mengiritasi saluran

cerna dan perlu kerja sama dengan penderita; tidak bisa dilakukan bila pasien

koma.

Absorpsi obat melalui saluran cerna pada umumnya terjadi secara difusi

pasif, karena itu absorpsi mudah terjadi bila obat dalam bentuk non-ion dan

mudah larut dalam lemak. Absorpsi obat di usus halus selalu jauh lebih cepat

dibandingkan di lambung karena permukaan epitel usus halus jauh lebih luas

dibandingkan epitel lambung. Selain itu, epitel lambung tertutup lapisan mukus

yang tebal dan mempunyai tahanan listrik yang tinggi. Perubahan dalam

kecepatan pengosongan lambung atau motilitas saluran cerna biasanya tidak

mempengaruhi jumlah obat yang diabsorpsi, atau yang mencapai sirkular sistemik

kecuali:

1. obat yang absorpsinya lambat karena sukar larut dalam cairan usus

memerlukan waktu transit dalam saluran cerna cukup panjang untuk

kelengkapan absorpsinya

2. sediaan salut enterik atau sediaan lepas lambat yang absopsinya biasanya

kurang baik atau inkonsisten akibat perbedaan penglepasan obat di

lingkungan berbeda, memerlukan waktu transit yang lama dalam usus untuk

meningkatkan dalam jumlah yang diserap

3. pada obat-obat yang mengalami metabolisme di saluran cerna,

pengosongan lambung dan transit gastrointestinal yang lambat akan

mengurangi jumlah obat yang diserap untuk mencapai sirkulasi sistemik

Page 8: Antikolinergik Beres Lm

Absorpsi secara transport aktif terjadi terutama diusus halus untuk zat

makanan dan obat-obat yang struktur kimianya mirip struktur zat makanan

tersebut. Absopsi dapat pula terjadi di mukosa mulut dan rektum walaupun

permukaan absorpsinya tidak terlalu luas.

Pemberian obat secara suntikan

Keuntungan pemberian obat secara suntikan (perenteral) ialah efeknya

timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan dengan pemberian per oral; dapat

diberikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar atau muntah-muntah;

dan sangat berguna dalam keadaan darurat. Kerugiannya ialah dibutuhkan cara

asepesis yang menyebabkan rasa nyeri, ada bahaya penularan hepatitis serum,

sukar dilakukan sendiri oleh penderita dan tidak ekonomis.

Pemberian subkutan (hipodermik) dari obat-obat melalui lapisan kulit ke

dalam jaringan longgar dibawah kulit. Biasanya, injeksi subkutan dibuat dalam

bentuk larutan dalam air atau sebagai suspensi dan relatif diberikan dalam volume

kecil yaitu 2 mL atau kurang. Ijeksi subkutan biasanya diberikan pada lengan

depan, pangkal lengan, atau paha. Sesudah penyuntikan obat masuk, obat masuk

ke tempat yang terdekat sekitar pembuluh darah dan memasukinya dengan cara

difusi atau fitrasi. Dinding kapiler merupakan contoh dari suatu membran yang

berfungsi sebagai suatu rintangan berpori lipid, dengan masuknya zat-zat yang

dapat larut dalam lipid melalui membran dengan kecepatan yang bermacam-

macam sesuai dengan koefisien partisi minyak/airnya. Obat-obat yang tidak dapat

larut dalam lipid (biasanya lebih mudah larut dalam air) masuk melalui membran

kapiler dengan kecepatan yang berbanding terbalik dengan ukuran molekulnya.

Suntikan subkutan hanya boleh digunakan untuk obat yang tidak

menyebabkan iritasi jaringan. Absorpsi biasanya terjadi secara lambat dan konstan

sehingga efeknya bertahan lama. Obat dalam bentuk suspensi diserap lebih almbat

daripada dalam bentuk larutan. Pencampuran obat dengan vasokonstriktor juga

akan mengurangi kecepatan absorpsi obat yang disebabkan oleh penyempitan

pembuluh darah di daerah tempat penyuntikan dan kerenanya mengurangi aliran

Page 9: Antikolinergik Beres Lm

darah dan kapasitas untuk absopsi obat. Obat yang ditanamkan di bawah kulit

dapat diabsopsi selama beberapa minggu atau beberapa bulan.

Injeksi Intraperitoneal diberikan pada abdomen bawah di sebelah garis

midsagital. Jarum disuntikkan dengan sudut 10° dari abdomen agak ke pinggir,

untuk mencegah terkenanya kandung kemih dan jika terlalu tinggi akan mengenai

hati. Setelah masuk ke kulit, jarum ditegakan sehingga menembus lapisan-lapisan

otot masuk ke dalam daerah peritonium. Volume penyuntikkan untuk mencit

umunya 1 mL/100 g berat badan. Kepekatan larutan obat yang disuntikkan

disesuaikan dengan volume yang dapat disuntikkan tersebut.

IV. ALAT DAN BAHAN

1. Hewan percobaan :

Mencit jantan

2. Bahan obat :

- Fenolbarbital

- Atropin

- Pilocarpin

3. Alat :

Papan berukuran 40 x 30 cm yang diletakan di atas papan lain dengan

ukuran yang sama. Papan pertama membuat sudut 10o dengan papan

kedua, sehingga membentuk segitiga. Papan bagian atas diberi alas 4 cm.

Setelah itu kertas saring ditaburi bubur biru metilen sebagai lapisan tipis.

V. PROSEDUR

Alat – alat untuk percobaan dipersiapkan. Kemudian, hewan percobaan

dipilih secara acak, ditimbang dan diberi tanda pengenal. Pada waktu T=0 mencit

pertama diberi atropin p.o. segera setelah pemberian fenobarbital i.p. Sedangkan

mencit kedua dan ketiga hanya diberi fenobarbital. Pada T=15 menit, mencit

kedua diberi atropin s.c. Dan pada T=45 menit, semua mencit diberi pilokarpin

s.c. Lalu, masing – masing mencit diletakkan di atas kertas saring (1 mencit 1

kotak). Penempatan mencit dilakukan sedemikian sehingga mulutnya berada tepet

Page 10: Antikolinergik Beres Lm

di atas kertas sarimg. Setiap 5 menit mencit ditarik ke kotak berikutnya dan

diulangi hal yang sama selama 25 menit. Besarnya noda yang terbentuk di kertas

saring diamati dan ditandai. Diameter noda diukur dan dihitung persentase

inhibisi yang diberikan oleh atropin. Data hasil perhitungan dimasukkan ke dalam

tabel dan dibuat grafik inhibisi per satuan waktu.

VI. HASIL PENGAMATAN

DATA PENGAMATAN

MENCIT BOBOT VOLUME PEMBERIAN

Fenobarbital ip Atropin po Atropin sc Pilokarpin sc

1 24,8 0,62 0,62 - 0,62

2 24,5 0,6125 - 0,6125 0,6125

3 26,7 0,6675 - - 0,6675

I IIIII

Page 11: Antikolinergik Beres Lm

BB (konversi) = 20 mg

Volume maks = 0,5 mL

Volume obat yang diberi :

Mencit I

Mencit II

Mencit III

PerlakuanMencit Diameter Saliva (cm)

5’ 10’ 15’ 20’ 25’ Jumlah

Atropinp.o

1 - - - - -2 - - - - -3 - - - - -4 - - - - -

Jumlah - - - - - -

Rata2 - - - - - -

Atropins.c

1 - - - - -

2 - - - - -3 - - - - -4 - - - - -

Jumlah - - - - - -

Rata2 - - - - - -

Kontrol

1 - 3,1 3,1 2,25 1,6

2 3 3,8 3,7 3 2,33 - - 1 1,3 1,84 4,5 4 4,1 4 4,2

Jumlah 7,5 10,9 11,9 10,55 9,9 50,75

Rata2 0,625 0,908 0,992 0,879 0,825 4,229

TOTAL 7,5 10,9 11,9 10,55 9,9 50,75

Analisis

Page 12: Antikolinergik Beres Lm

HipotesisHo : t1 = 0, artinya seluruh perlakuan memberikan efek yang sama terhadap mencit.H1 : tidak demikian

Tabel AnavaSumber Variasi Dk Jk KT Fhit

Rata-rata 1 42,93 42,93

188,68Waktu (blok) 4 0,9 0,225

Pemberian obat (perlakuan) 2 85,85 42,925

Kekeliruan eksperimen(E) 8 1,82 0,2275

Kekeliruan subsampling 45 39,46 0,88

TOTAL 60 170,96

Perhitungan :DkRata-rata = 1Waktu = (b-1) = 5-1 = 4Pemberian obat = (p-1) = 3-1 = 2Kekeliruan eksperimen = (b-1)(p-1) = 4.2 = 8Total = 60Kekeliruan subsampling = 60-(1+4+2+8)=45

Jk

= 88,57

Ey = Sb – (By+Py)= 88,57 - (0,90+85,85)= 1,82

Page 13: Antikolinergik Beres Lm

Sy = Sy = Σy2 – Ry – Sb = 170,89 – 42,93 – 88,5 = 39,46

Dengan α = 5% = 0.05Ftabel = F(2.8) = 4.46

Fhitung =

Karena Fhit > Ftabel, maka Ho ditolak. Artinya semua pemberian obat tidak

memberikan efek yang sama terhadap mencit.

Page 14: Antikolinergik Beres Lm

VII. PEMBAHASAN

Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui efek yang ditimbulkan oleh

obat-obat golongan sistem syaraf otonom dengan rute pemberian yang berbeda.

Pada percobaan ini digunakan tiga kelompok mencit, dimana masing-masing

kelompok terdiri dari 5 mencit yang diberikan perlakuan yang berbeda. Kelompok

uji I diberikan fenobarbital secara po, atropin secara po (t=0’) dan pilokarpin

secara sc (t=45’). Kelompok uji II diberikan fenobarbital secara po (t=0’), atropin

Page 15: Antikolinergik Beres Lm

secara sc (t=15’), dan pilokarpin secara sc (t=45’). Dan yang terakhir adalah

kelompok kontrol diberikan fenobarbital secara po dan pilokarpin secara sc

(t=45’). Selama jeda waktu tersebut obat diharapkan telah terabsorpsi secara

maksimal.

Fenobarbital diberikan sebagai sedatif sehingga mencit yang diuji dalam

keadaan tidak sadar atau tertidur dan dapat diamati dengan baik. Atropin

diharapkan dapat bekerja sebagai antikolinergik yang akan menekan efek

pengeluaran saliva dari mencit, sedangkan pemberian pilokarpin sebagai obat

kolinergik diharapkan dapat memberikan efek pengeluaran saliva yang berlebih.

Atropin diberikan untuk melawan efek yang akan timbul dari pemberian

pilokarpin. Sehingga dapat dibandingkan banyaknya sekresi saliva yang

dihasilkan bila tidak diberi atropin, diberi atropin secara po, dan diberi atropin

secara sc.

Dosis masing-masing obat yang akan diberikan harus dihitung terlebih

dahulu. Karena itu mencit ditimbang terlebih dahulu. Volume obat yang akan

diberikan dapat dihitung dengan menggunakan rumus: [berat mencit / 20] x

0,5mL. Setelah menghitung volume obat yang akan diberikan barulah pemberian

obat dilakukan pada masing-masing mencit dalam tiap kelompok uji.

Setelah semua mencit pada masing – masing kelompok uji diinjeksikan

pilokarpin secara s.c., mencit diletakkan pada papan yang membentuk sudut 10..

Papan ini terlebih dahulu ditaburi bubuk metilen blue dan kemudian ditutup

dengan kertas saring, hal ini dilakukan agar mempermudah pengukuran diameter

saliva yang dihasilkan, dimana kertas saring akan berwarna biru terkena saliva

yang dihasilkan. Papan ini dibagi menjadi tiga lajur, tiap lajur untuk 1 ekor

mencit dari suatu kelompok, dan tiap lajur telah dibagi lagi menjadi 5 kotak

berdasarkan waktu, yaitu 5’,10’, 15’, 20’, dan 25’. Tiap mencit dari tiap kelompok

diletakkan pada kotak 1 selama 5’, kemudian dipindahkan ke kotak 2 selama 5’,

dan seterusnya. Mencit yang diletakkan pada papan ini ditahan agar tidak

bergerak/berjalan ke kotak lain, sehingga saliva akan terkumpul pada satu tempat.

Pemberian pilokarpin dilakukan setelah pemberian atropin bertujuan agar

persen inhibisi dari atropin (antikolinergik) terhadap efek yang ditimbulkan oleh

Page 16: Antikolinergik Beres Lm

pilokarin (perangsangan pengeluaran air liur) dapat dihitung. Persen inhibisi

dhitung berdasarkan penurunan jumlah saliva, yakni perbedaan jumlah

pengeluaran saliva dari mencit yang diinjeksi atropin dengan mencit yang tidak

diberi atropin. Jika pemberian pilokarpin berada di awal (sebelum atropin)

dikhawatirkan atropin sebagai penginhibisi pilokarpin belum terabsorpsi secara

optimal sehingga penurunan jumlah saliva akan sukar teramati

Secara teoritis, dengan bertambahnya waktu maka diameter saliva yang

dihasilkan akan semakin besar sampai dengan jangka waktu tertentu kemudian

menurun. Namun, data yang diperoleh tidak akurat sebab data tidak monoton

naik dan kemudian menurun, melainkan terjadi naik-turun data, bahkan diameter

yang dihasilkan sangat beragam dalam satu waktu tertentu. Data yang tidak

akurat ini menyebabkan grafik yang diperoleh menjadi naik turun. Beberapa hal

yang mungkin menjadi penyebab ketidakakuratan dalam percobaan ini adalah:

1. Terjadi kesalahan dalam perhitungan dosis

2. Adanya kesalahan dalam pemberian obat, seperti obat tidak masuk

seluruhnya, dimana obat kembali dimuntahkan dalam pemberian po atau

obat kembali dikeluarkan secara tetes demi tetes dari tengkuk mencit

dalam pemberian sc. Hal ini terlihat dari basahnya tengkuk mencit setelah

diinjeksikan.

Dari percobaan diperoleh bahwa sekresi saliva (rata-rata diameter saliva)

pada kelompok kontrol lebih besar dari kelompok uji I dan II. Hal tersebut

sangatlah logis karena kelompok kontrol hanya diberikan pilokarpin dan tidak

diberikan atropin sebagai penginhibisi. Dan sekresi saliva (rata-rata diameter

saliva) pada kelompok uji II lebih besar dari kelompok uji I. Sehingga dari

percobaan ini didapat bahwa atropin yang diberikan secara po lebih cepat

memberikan efek penekanan sekresi saliva bila dibandingkan dengan atropin yang

diberikan secara sc. Hal ini juga ditunjukkan oleh % inhibisi atropin po = 30,72%,

dan % inhibisi atropin sc = 15,43%. Hasil yang didapat dari percobaan ini tidak

sesuai dengan teori, dimana pemberian po seharusnya memberikan efek yang

lebih lambat dikarenakan pada pemberian secara po obat terlebih dahulu masuk

dalam organ pencernaan yang sangat panjang dan obat mengalami kontak dengan

Page 17: Antikolinergik Beres Lm

enzim-enzim sepanjang saluran pencernaan yang dapat menimbulkan reaksi yang

tidak diinginkan, setelah melalui saluran pencernaan barulah obat berdifusi ke

pembuluh darah. Sedangkan pada pemberian secara sc obat yang diberikan

langsung memasuki pembuluh darah sehingga dapat langsung bekerja.

VIII. KESIMPULAN

1. %inhibisi untuk atropin yang diberikan secara per oral adalah

30,72 %

2. %inhibisi untuk atropin yang diberikan secara subkutan adalah

15,43%

DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H.C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press. Jakarta

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1995.

Farmakologi dan Terapi. Edisi Keempat. Bagian Farmakologi Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

Page 18: Antikolinergik Beres Lm

Panitia Farmakope Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi III. Departemen

Kesehatan Repulbik Indonesia. Jakarta.

Ganiswara 2001 Preanestesi dan Anestesi sblm operasihttp://heriblog.web.id/uncategorized/preanastesi-dan-anastesi-sebelum-operasi/

Efek Analeptik Adrenalin. Intan Suraya Ellyas, Samigun, Bambang Surono Thomas . 2009. http://www.farmako.uns.ac.id/index.php?hal=riset&no_riset=17