7
Pertanyaan Kami mengambil beberapa pertanyaan penting yang muncul dalam penelitian yang dibukukan ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah: 1. Bagaimanakah perkembangan berbagai kelompok masyarakat pedesaan khususnya pedesaan nelayan dalam menghadapi implikasi kebijaksaan atau program-program pemerintah yang diterapkan? 2. Berkaitan dengan pertanyaan pertama, penelitian ini melakukan analisa komparatif mengenai: Bagaiamanakah keterkaitan antara tujuan dan kebijaksanaan pembangunan pedesaan pada tingkat nasional dengan sasaran pedesaan? Apakah kebijaksanaan dan program-program pembangunan pedesaan terkait dengan sejumlah skenario pembangunan? Sejauh mana kebijaksanaan dan program-program pembangunan pedesaan di derah (lokalita) tertentu didasarkan pada ekologi setempat serta kebudayaan dan keterampilan yang sudah dikuasai oleh masyarakat yang bersangkutan? Penelitian ini memfokuskan diri pada pengaruh-pengaruh program pembangunan pedesaan, struktur sosio-ekonomi dan fenomena politik pada perkembangan masyarakat pedesaan khususnya nelayan. Asumsi Masyarakat nelayan pada umumnya menganggap ada stratifikasi implisit dalam lingkungan sosial mereka. Mereka membagi membagi strata sosial menjadi dua group besar. Group pertama terdiri dari kelompok nelayan kaya dan kelompok nelayan kaya sekali. Group kedua terdiri dari kelompok ekonomi sedang, miskin dan miskin sekali. Penelitian ini menemukan fakta bahwa pada umumnya kelompok nelayan miskin telah berusia diatas 40 tahun. Eksistensi strata sosial ini sudah begitu mengakar kuar dalam sistem kognisi mereka, By: Darundiyo Pandupitoyo, S. Sos. and Friends Antropologi Maritim: Masyarakat Nelayan Indonesia

Antropologi Maritim: Masyarakat Nelayan Indonesia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Antropologi Maritim: Masyarakat Nelayan Indonesia

Pertanyaan

Kami mengambil beberapa pertanyaan penting yang muncul dalam

penelitian yang dibukukan ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah:

1. Bagaimanakah perkembangan berbagai kelompok masyarakat pedesaan

khususnya pedesaan nelayan dalam menghadapi implikasi kebijaksaan

atau program-program pemerintah yang diterapkan?

2. Berkaitan dengan pertanyaan pertama, penelitian ini melakukan analisa

komparatif mengenai:

Bagaiamanakah keterkaitan antara tujuan dan kebijaksanaan

pembangunan pedesaan pada tingkat nasional dengan sasaran

pedesaan?

Apakah kebijaksanaan dan program-program pembangunan

pedesaan terkait dengan sejumlah skenario pembangunan?

Sejauh mana kebijaksanaan dan program-program pembangunan

pedesaan di derah (lokalita) tertentu didasarkan pada ekologi

setempat serta kebudayaan dan keterampilan yang sudah dikuasai

oleh masyarakat yang bersangkutan?

Penelitian ini memfokuskan diri pada pengaruh-pengaruh program

pembangunan pedesaan, struktur sosio-ekonomi dan fenomena politik pada

perkembangan masyarakat pedesaan khususnya nelayan.

Asumsi

Masyarakat nelayan pada umumnya menganggap ada stratifikasi implisit

dalam lingkungan sosial mereka. Mereka membagi membagi strata sosial menjadi

dua group besar. Group pertama terdiri dari kelompok nelayan kaya dan

kelompok nelayan kaya sekali. Group kedua terdiri dari kelompok ekonomi

sedang, miskin dan miskin sekali. Penelitian ini menemukan fakta bahwa pada

umumnya kelompok nelayan miskin telah berusia diatas 40 tahun. Eksistensi

strata sosial ini sudah begitu mengakar kuar dalam sistem kognisi mereka,

By: Darundiyo Pandupitoyo, S. Sos. and Friends

Antropologi Maritim: Masyarakat Nelayan Indonesia

Page 2: Antropologi Maritim: Masyarakat Nelayan Indonesia

walaupun strata itu sendiri tidak pernah muncul dalam peraturan tertulis adat

istiadat mereka.

Kelompok nelayan miskin yang sebagian telah melewati usia emas dalam

hal produktifitas ini merasa seakan telah kehilangan kesempatan untuk

memperbaiki tingkat sosio-ekonomi keluarga mereka. Nelayan-nelayan miskin

tersebut sekarang mulai melakukakn ekstensifikasi lahan pekerjaan baru dengan

menceburkan diri dalam usaha pertukangan, namun pekerjaan baru tersebut

terpaksa mereka lakukan karena harus mempertahankan kelangsungan hidup

keluarganya. Pada saat berada pada usia emas, para nelayan miskin tersebut hanya

menggantungkan hidup mereka pada melaut tanpa memikirkan ekstensifikasi

lahan pekerjaan lain.

Hasilnya bisa ditebak, pekerjaan melaut mereka yang selalu menghadapi

fenomena alam yang tidak menentu tidak bisa memberikan penghasilan yang

maksimal pada saat mereka muda dan pada saat mereka beranjak tua tenaga

mereka sudah tidak optimal untuk melaut, mereka baru berpikir untuk menambah

pekerjaan demi menunjang hidup. Sehingga skill melaut mereka hanya digunakan

setengah dan mereka bekerja sebagai tukang dengan skill yang cukup asing bagi

mereka.

Masalah yang paling penting dalam kelompok ini dalam usaha

pembangunan sumber daya manusia pedesaan adalah dalam sistem kognisi

mereka telah tertanam beberapa anggapan-anggapan dan beberapa pemikiran yang

menghambat proses pemajuan mereka sendiri. Mereka selalu membawa atribut

“kemiskinan” itu kemana saja mereka pergi, seolah sudah tidak ada lagi harapan

untuk hidup lebih maju. Mereka selalu mendramatisir keadaan kemiskinan mereka

dan dalam kecilnya pendapatan mereka, mereka selalu mengeluh mengenai

pendapatan mereka sehari-hari yang hanya cukup atau mungkin malah kurang

untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sekeluarga.

Keluhan-keluhan semacam itu memberikan dasar pemikiran tentang konsep-

konsep kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan. Mereka menganggap bahwa

pekerjaan yang tetap sepanjang waktu dan kesehatan yang mantap adalah syarat

yang paling penting untuk mencapai kemakmuran itu sendiri.

Page 3: Antropologi Maritim: Masyarakat Nelayan Indonesia

Program-program kebijakan pemerintah bukannya tidak melihat target-

terget ini, melainkan beberapa kebijakan seakan “kelupaan” akan kepentingan

nelayan-nelayan kecil. Klaim keberhasilan pembangunan sumber daya manusia

terkadang juga mempunyai dampak negatif bagi golongan masyarakat lainnya.

Keberhasilan ini seolah-olah hanya milik beberapa golongan saja. Di buku ini

penulis mengkritik penerapan kebijakan pemerintah yang hanya berdasar pada

perhitungan statistika saja, namun melupakan realitas dalam masyarakat yang

harus diterpretasi lebih dalam agar kebijakan tersebut mampu menjadi solusi

terbaik bagi permasalahan yang dialami oleh masyarakat.

Metode

Studi dalam penelitian ini merupakan studi transdisplin yang mencakup

ilmu-ilmu ekonomi, sosiologi maupun antropologi. Penelitian dalam buku ini

dilakukan di berbagai macam kampung nelayan seperti misal di Kabupaten Jepara

sebagai salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki banyak desa-desa

pantai. Kriteria pemilihan desa obyek penelitian adalah desa nelayan yang

tergolong tertinggal dalam masalah pembangunan pedesaan, akhirnya terpilih dua

desa bernama Bulu dan Ujungbatu, kecamatan kota Jepara. Pada setiap desa

diambil sampel sebanyak 30 keluarga yang dianggap mewakili seluruh strata

sosial yang ada disana dan dari 30 keluarga ini, dipilih 5 keluarga masing-masing

1 keluarga dari strata sosial yan mencakup:

1. Nelayan kaya A yang mempunyai kapal (juragan) sehingga

mempekerjakan nelayan lain sebagai pendega (jurag) tanpa ia sendiri

harus ikut melaut

2. Nelayan kaya B yang memiliki kapal tetapi ia sendiri masih ikut

melaut

3. Nelayan sedang yang kebutuhan hidupnya dapat ditutup dengan

pendapatan pokoknya dari bekerja sebagai nelayan dan memilki

perahu tanpa mempekerjakan tenaga dari luar keluarga.

Page 4: Antropologi Maritim: Masyarakat Nelayan Indonesia

4. Nelayan miskin yang pendapatannya dari hasil melautnya tidak

cukup untuk kebutuhan sehari-hari, sehingga harus ditambah dengan

melakukan pekerjaan lain, baik dia sendiri atau istri dan anak-

anaknya yang melakukan pekerjaan tersebut.

5. Nelayan Pendega atau tukang kiteng.

Semua responden tersebut langsung diwawancarai dan ditanya mengenai

genealogis atau profil keluarga sampai 2-3 generasi diatasnya untuk mengetahui

pengaruh program-program kebijaksanaan pada masyarakat nelayan secara

keseluruhan. Pengaruh-pengaruh yang dimaksudkan adalah perubahan-perubahan

sosio-ekonomi yang terjadi pada keluarga tersebut yang dapat dilihat dati data

historis genealogis. Perubahan-perubahan tersebut mencakup:

Pendapatan

Mutu kehidupan

Akses pada kekuasaan publik

Partisipasi dalam pengambilan keputusan

Penguasaan keterampilan

Perubahan jenis pekerjaan

Status sosial

Perubahan dalam hubungna kelompok masyarakat lain dan

perbaikan dalam kesadaran sosial dan hak-hak sosial.

Penelitian ini tidak terlalu menekankan pda analisa statistik, melainkan pada

analisa statistik saja, namun lebih banyak menggunakan metode deduktif.

Beberapa indikator pembangunan manusia pada tingkat lokal adalah:

1. mutu pangan

2. perumahan dan pakaian

3. kesehatan

4. mutu air minum

5. mutu lingkungan (banjir dan kekeringan)

6. keamanan dan kejahatan

7. lapangan kerja dan pendapatan

8. kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih tinggi

Page 5: Antropologi Maritim: Masyarakat Nelayan Indonesia

9. kegiatan politik

10. kesadaran sosial dan nasional

11. peranan wanita dan anak

Bukti

Pada halaman 17 bagian modernisasi perikanan, penulis membeberkan fakta yang

menyebutkan bahwa motorisasi perahu tidak selalu menguntungkan, lebih-lebih

bagi para pandega, terlihat dari tabel di bawah ini:

Tabel 2.

Produktivitas Nelayan di Kabupaten Jepara

1969-1977

1969 1973 1977

Jumlah Nelayan (Orang) 3.344 8.522 10.616

Jumlah Ikan (Ton) 2.241 3.136 1.632

Rata-rata per nelayan (Ton) 671 368 154

Sumber : Don K. Emerson, op. cit. hlm. 31

Dari tabel diatas terlihat bahwa produktivitas nelayan turun sangat cepat

selama 1969 – 1977 bersamaan dengan kebijakan motorisasi kapal-kapal nelayan.

Motorisasi menambah lebar jurang pemisah antara nelayan yang mampu dan

nelayan yang kurang mampu.

Contoh lain adalah kebijakan mengijinkan kapal dengan jaring bermata

kecil atau biasa dikenal dengan istilah pukat harimau pada periode sekitar tahun

1975 dan 1976. Pengembangan kapal-kapal dengan jaring pukat harimau ini

sedikit banyak mengakibatkan pengurangan sumber perikanan jangka panjang,

karena ikan-ikan yang masih relatif kecil ikut terjaring, jelas merusak rantai

ekosistem dan mengurangi pendapatan nelayan-nelayan tradisional yang hanya

hanya memakai perahu dengan jaring biasa.

Page 6: Antropologi Maritim: Masyarakat Nelayan Indonesia

Namun untuk kasus ini, pemerintah cukup layak untuk diacungi jempol

karena dinilai peka dengan mengeluarkan peraturan yang melarang penggunaan

pukat harimau pada tahun 1981.

Page 7: Antropologi Maritim: Masyarakat Nelayan Indonesia

Tugas Antropologi Maritim

Oleh:Darundiyo Pandupitoyo 070417391Mohammad Helmi 070317094

Hadi

Jurusan Antropologi SosialFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Airlangga2007