45
 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit tuberkulosis (TB) Paru merupakan penyakit menular yang masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas ) tahun 2010 menunjukkan bahwa prevalensi TB  berdasarkan pengakuan responden yang diagnosis tenaga kesehatan secara nasional sebesar 0.7%, dan dalam hal ini terjadi peningkatan Angka Prevalensi dibandingkan dengan Riskesdas 2007 (0,4%) 1  Sejak t ahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. Walaupun str ategi DOTS telah t erbukti sangat efektif untuk pengendalian TB, tetapi beban penyakit TB di masyarakat masih sangat tinggi. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai se jak t ahun 2003, diperkirakan masih terdapat seki tar 9,5 j uta kasus baru TB , dan p ada tahun 2009 sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TB di seluruh dunia. Berdasarkan data WHO tahun 2010, Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 dan estimasi insidensi b erjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per t ahunny a. 2  Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. 3,4  Berdasarkan kebijakan pembangunan nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pemerintah memiliki misi

Apa-apaan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

begitulah

Citation preview

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Penyakit tuberkulosis (TB) Paru merupakan penyakit menular yang masih

    merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia. Hasil Riset

    Kesehatan Dasar (Riskesdas ) tahun 2010 menunjukkan bahwa prevalensi TB

    berdasarkan pengakuan responden yang diagnosis tenaga kesehatan secara

    nasional sebesar 0.7%, dan dalam hal ini terjadi peningkatan Angka Prevalensi

    dibandingkan dengan Riskesdas 2007 (0,4%) 1

    Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan kedaruratan

    global bagi kemanusiaan. Walaupun strategi DOTS telah terbukti sangat

    efektif untuk pengendalian TB, tetapi beban penyakit TB di masyarakat

    masih sangat tinggi. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun

    2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB, dan pada tahun

    2009 sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TB di seluruh dunia. Berdasarkan

    data WHO tahun 2010, Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara

    dengan beban TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah

    sebesar 660,000 dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun.

    Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya.2

    Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara

    ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan

    kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada

    kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia

    meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun.

    Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya

    secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat. 3,4

    Berdasarkan kebijakan pembangunan nasional dalam Rencana Pembangunan

    Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pemerintah memiliki misi

  • 2

    mencapai pembangunan kesehatan yang berkeadilan yang dicantumkan dalam

    beberapa sasaran pembangunan kesehatan, salah satunya angka kesakitan penyakit

    menular. Sasaran penyakit TB dalam RPJMN 2010-2014 diharapkan pada tahun

    2014 jumlah kasus TB per 100.000 penduduk menjadi 224 dari 235, persentase

    kasus TB paru (BTA positif) yang ditemukan 90% dari keadaan saat ini 73%,

    serta persentase kasus baru TB paru (BTA positif) yang disembuhkan menjadi

    88% dari saat ini 85%. 2

    Sebanyak 28 provinsi dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia belum dapat

    mencapai angka penemuan kasus (CDR) 70% dan hanya 5 provinsi menunjukkan

    pencapaian 70% CDR dan 85% kesembuhan, dan Aceh berada pada CDR < 70%

    (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, prevalensi penduduk

    Indonesia yang didiagnosis TB Paru oleh tenaga kesehatan sebesar 0,4%,

    prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi Jawa Barat (0,7%), dan Provinsi Aceh

    sebesar 0,3% (Riskesdas, 2013). Berdasarkan data Kemenkes RI (2012), target

    rencana strategis untuk Case Detection Rate (CDR) TB Paru tahun 2011 sebesar

    75%, Provinsi Aceh berada pada urutaan 21 (50,14%). Prevalensi TB per 100.000

    penduduk di Provinsi Aceh tahun 2011 dengan target < 231. Kasus paling tinggi

    terdapat di kabupaten Pidie Jaya sebesar 350,74.2

    Pengetahuan kesehatan akan berpengaruh kepada perilaku, sebagai hasil jangka

    menegah (intermediate impact) dari pendidikan kesehatan. Selanjutnya perilaku

    kesehatan akan berpengaruh kepada meningkatnya indikator kesehatan

    masyarakat sebagai keluaran (outcome) pendidikan kesehatan (Tobing TL, 2009).

    Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik mengadakan penelitian untuk

    mengetahui bagaimana tingkat pengetahuan dan perilaku pencegahan TB Paru

    pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Meureubo Aceh Barat. Disamping

    itu melalui kegiatan ini peneliti juga mencoba mencari terobosan yang di pandang

    efektif berupa penyuluhan ataupun edukasi langsung yang dapat meningkatkan

    pemahaman dan pengetahuan masyarakat terhadap TB paru, sehingga pada

    akhirnya diharapkan akan menurunkan insiden TB Paru di masyarakat sesuai

    dengan strategi nasional pengendalian TB di Indonesia 2010-2014.

  • 3

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka yang menjadi

    permasalahannya adalah bagaimana gambaran pengetahuan dan perilaku

    pencegahan TB Paru pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Meureubo

    Kabupaten Aceh Barat bulan November 2014-Januari 2015

    1.3 Tujuan Penelitian

    1.3.1 Tujuan Umum

    Untuk mengetahui bagaimana gambaran pengetahuan dan perilaku pencegahan

    TB Paru pada masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Meureubo Kabupaten Aceh

    Barat bulan November 2014-Januari 2015

    1.3.2 Tujuan Khusus

    1. Untuk mengetahui gambaran karakterikstik responden berdasarkan jenis

    kelamin

    2. Untuk mengetahui gambaran karakterikstik responden berdasarkan umur

    3. Untuk mengetahui gambaran karakterikstik responden berdasarkan tingkat

    pendidikan

    4. Untuk mengetahui gambaran karakterikstik responden berdasarkan

    pekerjaan

    5. Untuk mengetahui gambaran karakterikstik responden berdasarkan tingkat

    penghasilan

    6. Untuk mengetahui gambaran karakterikstik responden berdasarkan jumlah

    anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah

    7. Untuk mengetahui gambaran pengetahuan masyarakat di wilayah kerja

    Puskesmas Meureubo mengenai TB paru

    8. Untuk mengetahui gambaran perilaku pencegahan TB Paru pada

    masyarakat di wilayah Kerja Puskesmas Meureubo

  • 4

    1.4 Manfaat Penelitian

    1. Bagi dunia medis dan Dinas Kesehatan terkait: diharapkan dapat diangkat

    sebagai bahan dalam penyuluhan dalam meningkatkan pengetahuan

    masyarakat tentang TB Paru dalam program eliminasi TB Paru.

    2. Bagi Masyarakat : menambah wawasan masyarakat tentang TB Paru serta

    dapat mempengaruhi perilaku masyarakat dalam upaya pencegahan

    penularan TB Paru serta kepatuhan dalam berobat secara tuntas.

    3. Bagi Peneliti : menambah pengalaman dalam melakukan penelitian serta

    menambah ilmu dan wawasan mengenai TB Paru.

  • 5

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Tuberkulosis

    2.1.1 Pengertian Tuberkulosis

    Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh basil

    mikobakterium tuberkulosis Tipe Humanus (jarang oleh Tipe M. Bovinus).

    Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ

    tubuh lainnya. 3,5

    Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan

    hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh,

    kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun. 3

    2.1.2 Etiologi Tuberkulosis

    Penyebab TB adalah Mycobakterium tuberculosis. Kuman ini tumbuh optimal

    pada suhu sekitar 37C dengan pH optimal 6,4-7. Sifat dinding sel yang sangat

    tebal yang terdiri dari lapisan lilin dan lemak yang menyebabkan kuman memiliki

    sifat tahan asam pada saat pewarnaan (Syahrurachman et al., 1994). Di dalam

    jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu dalam sitoplasma

    makrofag. Makrofag yang tadinya memfagositosis menjadi disenangi karena lebih

    banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini

    menunjukkan bahwa kuman lebih menyukai jaringan yang tinggi kadar oksigen.

    Dalam hal ini tekanan oksigen pada paru bagian apikal lebih tinggi dari pada

    bagian lain di paru sehingga bagian apikal ini menjadi tempat predileksi

    tuberculosis. 6

  • 6

    2.1.3 Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis

    Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung

    droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk

    berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA). 6

    Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin,

    pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet

    nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya

    penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak terjadi dalam waktu yang

    lama. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap

    dan lembab. Daya penularan seseorang ditentukan oleh banyaknya kuman yang

    dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan

    dahak, makin menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang

    terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan

    lamanya menghirup udara tersebut. 3

    Gambar 2.1 Faktor Resiko Kejadian TB. 3

  • 7

    Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB

    paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar

    dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko penularan setiap tahunnya di

    tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi

    penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%,

    berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI

    di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan

    reaksi tuberkulin negatif menjadi positif. Faktor yang mempengaruhi

    kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah,

    diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). 3

    Keterpaparan penyakit TB pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor

    seperti: status sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin dan faktor sosial

    lainnya, untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut: 7

    1. Faktor sosial ekonomi: disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan

    hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat kerja yang

    buruk dapat memudahkan penularan TB. Pendapatan keluarga sangat erat

    juga penularan TB, karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat

    layak dengan memenuhi syarat-syarat kesehatan.

    2. Status gizi: keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat

    besi dan lain-lan, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga

    rentan terhadap penyakit termasuk TB paru.

    3. Umur : penyakit TB paru palig sering ditemukan pada usia muda atau usia

    produktif 15-50 tahun. Dengan terjadinya transisi demografi saat ini

    menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut

    lebih dari 55 tahun system imunitas seseorang menurun, sehingga sangat

    rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk TB paru.

    4. Jenis kelamin: penderita TB paru cenderung lebih tinggi pada laki-laki

    dibandingkan pada perempuan. Pada laki-laki penyakit ini lebih tinggi karena

    merokok, minum alkohol sehingga dapat menurunkan system pertahanan

    tubuh, sehingga lebih mudah terpapar dengan agen penyebab TB paru.

  • 8

    2.1.4 Patogenesis Tuberkulosis

    Penjelasan mengenai patogenesis penyakit dibagi dua, yaitu tuberkulosis primer

    dan tuberkulosis post primer.

    1. Tuberkulosis Primer

    Penularan tuberkulosis paru terjadi karena basil mikobakterium tuberkulosa

    masuk ke dalam jaringan paru melalui saluran pernapasan (droplet infection)

    sampai alveoli, terjadilah infeksi primer (Ghon). Selanjutnya menyebar ke

    kelenjar getah bening setempat dan terbentuklah Primer Kompleks (Ranke).

    Infeksi primer Ghon dan Primer Kompleks (Ranke) dinamakan TB Primer, yang

    dalam perjalanan lebih lanjut sebagian besar akan mengalami penyembuhan. TB

    Paru Primer, keradangan terjadi sebelum tubuh mempunyai kekebalan spesifik

    terhadap basil mikobakterium tuberkulosa, yang kebanyakan didapat pada usia

    anak 1-3 tahun. 5

    Mikobakterium dalam droplet berdiameter 1-5 m terhirup dan mencapai alveoli.8

    Gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang

    besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruangan

    alveolus, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit

    polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun

    tidak membunuh organisme tesebut. 9 Bila kuman menetap di jaringan paru,

    berkembang biak dalam sitoplasma makrofag. Kuman akan bersarang di jaringan

    paru akan berbentuk sarang tuberkulosis pneumonia kecil dan disebut sarang

    primer atau efek primer atau sarang fokus (Ghon). Sarang primer ini dapat terjadi

    disetiap jaringan paru. Bila masuk ke arteri pulmonalis akan terjadi penjalaran ke

    seluruh bagian paru menjadi TB milier. 6

    Peristiwa ini dapat menimbulkan proses peradangan pada saluran getah bening

    menuju hilus (limfangitis lokal) dan juga diikuti oleh pembesaran kelenjar getah

    bening hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan

    limfangitis regional dikenal sebagai komplek primer. Komplek primer ini akan

    mengalami: 10

  • 9

    1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat.

    2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas, antara lain sarang Ghon, garis

    fibrotik, sarang perkapuran di hilus.

    3. Menyebar dengan cara perkontinuitatum, limfogen, bronkogen (pada proses ini

    bisa saja kuman tertelan dan menyebar ke usus), maupun hematogen.

    2. Tuberkulosis Post Primer

    Tuberkulosa Post Primer (reinfection) adalah keradangan jaringan paru oleh

    karena terjadi penularan ulang yang mana di dalam tubuh terbentuk kekebalan

    spesifik terhadap basil TB tersebut.

    Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun-tahun kemudian

    muncul infeksi endogen menjadi TB post primer. Dimulai dengan serangan dini

    yang berlokasi di regio atas paru, mengadakan invasi ke parenkim dan tidak ke

    hilus paru. Tergantung dari jumlah dan virulensi kuman serta imuniti penderita,

    sarang dini dapat menjadi:6

    1. Tereasorbsi dan sembuh tanpa cacat.

    2. Mula-mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan

    fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi lebih keras dan menimbulkan

    pengkapuran.

    3. Meluas, dimana granuloma berkembang dan menghancurkan jaringan sekitar

    membentuk pengkejuan. Bila dibatukkan keluar, akan terjadi kaviti yang

    semula berdinding tipis lalu mengeras menjadi kaviti sklerotik. Kaviti dapat

    meluas dan menimbulkan sarang baru, atau dapat menjadi padat dan

    menembus diri menjadi tuberkuloma, atau bersih atau menyembuh (open heald

    cavity).

    2.1.5 Klasifikasi Tuberkulosis

    Klasifikasi tuberkulosis paru dalam PDPI 2006 adalah sebagai berikut:

    A. Tuberkulosis Paru:

    1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA):

    a. Tuberkulosis Paru BTA (+) adalah:

  • 10

    1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS menunjukkan hasil

    BTA positif.

    2. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan

    kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

    3. Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan

    biakan positif.

    b. Tuberkulosis Paru BTA (-):

    1. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran

    klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif.

    2. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan

    M. tuberkulosis.

    2. Berdasarkan tipe pasien, tipe pasien ditentukan berdasarkan pengobatan

    sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:

    1. Kasus baru adalah pasien yang belum pernah dapat pengobatan dengan

    OAT atau pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

    2. Kasus kambuh (relaps) adalah pasien TB yang sebelumnya pernah

    mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan

    lengkap. Kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak

    BTA positif.

    3. Kasus defauited atau drop out adalah pasien yang telah menjalani

    pengobatan >1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau

    lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

    4. Kasus gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif pada akhir

    bulan ke-5 atau akhir pengobatan.

    5. Kasus kronik adalah pasien yang hasil pemeriksaan BTA masih positif

    setelah selesai pengobatan ulang dengan pengawasan yang baik.

    6. Kasus bekas TB

    a. Hasil pemeriksaan BTA negatif dan gambaran radiologi paru

    menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukan

    gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat dan lebih

    mendukung.

  • 11

    b. Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat

    pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada

    perubahan gambaran radiologi.

    B. Tuberkulosis Ekstra Paru

    Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain

    selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran

    kencing, dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan pada kultur positif atau

    patologi anatomi dari tempat lesi. 10

    2.1.6 Diagnosis dan Manifestasi Klinis

    Diagnosis TB Paru ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik,

    pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala

    klinis tuberkulosis dibagi menjadi dua golongan, yaitu gejala sistemik dan gejala

    lokal. Gejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan

    berat badan menurun. Pada paru akan timbul gejala lokal berupa gejala respiratori.

    Norman Horne membuat daftar gejala dan tanda respiratori TB seperti, batuk,

    sputum purulen, batuk darah, nyeri dada, sesak nafas, mengi yang terlokalisir.

    Tetapi tanda dan gejala respiratori ini tergantung pada luas lesi. Pada pemeriksaan

    fisik, kelainan jasmani tergantung dari organ yang terlibat dan luas kelainan

    struktur paru. 11

    Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang

    terlibat. Pada TB paru kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur

    paru. Hasil pemeriksaan yang ditemukan antar lain suara napas bronkial, amforik,

    suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan diafragma dan

    mediastinum.10

    Diagnosis TB Paru: 3,5

    1. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu

    sewaktu pagi sewaktu (SPS).

    2. Diagnosa TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya

    kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui

  • 12

    pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan

    lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai

    penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

    3. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto

    toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada

    TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

    4. Gambaran kelainan radiologik paru tidak selalu menunjukkan aktifitas

    penyakit.

    5. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar 2.2, berikut:

  • 13

    Gambar 2.2 Alur Diagnostik TB Paru.3

    2.1.7 Pemeriksaan Penunjang

    1. Pemeriksaan Bakteriologi

    Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti

    yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan

    bakteriologi ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal,

    Suspek TB Paru

    Pemeriksaan dahak mikroskopis Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)

    Hasil BTA

    - - -

    Hasil BTA + - -

    Hasil BTA

    + + +

    Antibiotik Non-OAT

    Ada

    perbaikan

    Tidak ada

    perbaikan

    Foto toraks dan pertimbangan

    dokter

    Pemeriksaan dahak

    mikroskopis

    Hasil BTA

    - - -

    Hasil BTA

    + + +

    + + +

    - - -

    TB Foto toraks dan pertimbangan

    dokter

    BUKAN TB

  • 14

    bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveoralar (bronchoaveolar

    lavage/BAL), urin, feses dan jaringan biopsy (termasuk biopsi jarum halus/BJH).

    2. Pemeriksaan Radiologi

    Pemeriksaan standar adalah foto toraks posteroanterior (PA). Pemeriksaan lain

    atas indikasi: foto lateral, top lordotik, oblik, CT Scan. Pada foto toraks,

    tuberkulosis dapat memberikan bermacam-macam bentuk (multiform)

    3. Pemeriksaan BACTEC

    Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode

    radiometric. M. tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian

    menghasilkan CO2 yang akan dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem

    ini dapat menjadi salah satu alternatif pemeriksaan biakan secara cepat untuk

    membantu menegakkan diagnosis dan melakukan uji kepekaan.10

    4. Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR)

    Pemeriksaan ini menggunakan pendekatan biologi molekuler untuk mendeteksi

    DNA terhadap basil tuberculosis dengan sensitiviti dan spesivisiti tinggi dalam

    waktu singkat. Prinsip dasar teknik ini mirip dengan peristiwa replikasi alamiah

    yang terjadi dalam pembelahan sel yang bertujuan melipat gandakan gen.11

    5. Pemeriksaan Serologi

    Salah satunya digunakan metode Enzym Linked Immunsorbent Assay (ELISA).

    Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang mendeteksi respons humoral

    berupa proses antigen antibodi yang terjadi.10

    6. Pemeriksaan Histopatologi Jaringan

    Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.

    Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi. Pada pemeriksaan

    biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan dimasukkan ke dalam larutan

    salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur serta sediaan yang

    kedua difiksasi untuk pemeriksaan histology.10

    7. Pemeriksaan Darah

    Hasil pemeriksaan darah rutin kurang spesifik untuk tuberkulosis paru. Laju

    endap darah sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang

    normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositosis juga kurang spesifik.6

  • 15

    8. Tes Kulit Tuberkulin

    Tes kulit tuberkulin adalah tes kulit yang digunakan untuk menentukan apakah

    individu telah terinfeksi basil TB. Hasil pemeriksaan akan terlihat 48 sampai 72

    jam setelah suntikan. Tes kulit tuberkulin memberikan reaksi setempat lambat,

    yang menandakan bahwa individu tersebut sensitif tehadap tuberculin.6

    2.1.8 Pengobatan Tuberkulosis Paru

    1. Tujuan Pengobatan

    Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,

    mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya

    resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis. 3

    2. Jenis, sifat dan dosis Obat Anti Tuberkulosis

    Tabel 2.1 Jenis, Sifat dan Dosis Obat Anti Tuberkulosis.3

    Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan

    (mg/kg)

    Harian 3x seminggu

    Isoniazid (H) Bakterisid 5

    (4-6)

    10

    (8-12)

    Rifampicin Bakterisid 10

    (8-12)

    10

    (8-12)

    Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25

    (20-30)

    35

    (30-40)

    Streptomycin (S) Bakterisid 15

    (12-18)

    15

    (12-18)

    Ethambutol (E) Bakteriostatik 15

    (15-20)

    30

    (20-35)

    3. Prinsip Pengobatan

    Prinsip pengobatan menurut Buku Pedoman Nasional Penanggulangan TB

    Depkes RI 2007 adalah sebagai berikut:

    1. Obat Anti Tuberkulosis harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa

    jenis obat dalam jumlah yang cukup dan dosis tepat sesuai dengan katagori

    pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-

    Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat

    dianjurkan.

  • 16

    2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan

    langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas

    Menelan Obat (PMO).

    3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

    4. Panduan Obat Anti Tuberkulosis yang digunakan di Indonesia

    1. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.

    2. Kategori 2 : 2 (HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.

    3. Disamping kedua kategori ini disediakan panduan obat sisipan(HRZE).

    4. Kategori Anak : 2HRZ/4HR.3

    Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa

    obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini

    disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari

    kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan

    berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paket

    Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,

    Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini

    disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami

    efek samping OAT KDT.3,4

    Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan

    tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan

    (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien

    dalam satu (1) masa pengobatan. KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam

    pengobatan TB: 3

    1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin

    efektifitas obat dan mengurangi efek samping.

    2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko

    terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan

    resep.

    3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat

    menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.

  • 17

    Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan

    pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara

    mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam

    memantau kemajuan pengobatan. Untuk memantau kemajuan pengobatan

    dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil

    pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah

    satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak

    tersebut dinyatakan positif. Tindak lanjut hasil pemriksaan ulang dahak

    mikroskopis dapat dilihat pada tabel di bawah ini.3,4

    Tabel 2.2 Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Ulang Dahak.3

    Tipe Pasien TB Uraian Hasil BTA Tindak Lanjut

    Pasien baru

    BTA positif dengan

    pengobatan

    kategori 1

    Akhir tahap

    intensif

    Negatif Tahap lanjutan dimulai

    Positif

    Dilanjutkan dengan OAT sisipan

    selama 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, tahap lanjutan

    tetap diberikan.

    Sebulan

    sebelum Akhir

    Pengobatan

    atau Akhir Pengobatan

    (AP)

    Negatif

    Keduanya Sembuh.

    Positif Gagal, ganti dengan OAT Kategori

    2 mulai dari awal.

    Pasien baru

    BTA (-) & R (+) dengan

    pengobatan

    kategori 1

    Akhir intensif

    Negatif

    Berikan pengobatan tahap anjutan

    sampai selesai, kemudian pasien dinyatakan Pengobatan Lengkap

    Positif

    Ganti dengan Kategori 2 mulai dari

    awal.

    Penderita

    baru BTA

    positif dengan

    pengobatan

    ulang kategori 2

    Akhir

    Intensif

    Negatif Teruskan pengobatan dengan tahap

    lanjutan.

    Positif

    Beri Sisipan 1 bulan. Jika setelah sisipan masih tetap positif, teruskan

    pengobatan tahap lanjutan. Jika ada

    fasilitas, rujuk untuk uji kepekaan obat.

    Sebulan

    sebelum

    Akhir

    Negatif

    Keduanya Sembuh.

    Positif Belum ada pengobatan, disebut

  • 18

    Pengobatan atau

    Akhir

    Pengobatan (AP)

    kasus kronik, jika mungkin, rujuk kepada unit pelayanan pesialistik.

    2.2 Konsep Dasar Pengetahuan

    2.2.1 Pengertian Pengetahuan

    Pengetahuan adalah informasi yang telah dikombinasikan dengan pemahaman dan

    potensi untuk menindaki yang diketahui atau disadari; yang kemudian melekat di

    benak seseorang. Pengetahuan tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep,

    teori, prinsip dan prosedur yang benar atau berguna.

    Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan

    diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika

    seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian

    tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Pada umumnya,

    pengetahuan memiliki kemampuan prediktif terhadap sesuatu sebagai hasil

    pengenalan atas suatu pola. 12

    2.2.2 Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Pengetahuan

    Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah sebagai

    berikut:13

    1. Umur

    Semakin cukup umur, tingkat kematangan seseorang akan lebih tinggi pada saat

    berfikir dan bekerja. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman dan kematangan jiwa.

    2. Pendidikan

    Pendidikan adalah sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau

    kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan

    pelatihan, maka jelas dapat kita kerucutkan sebuah visi pendidikan yaitu

    mencerdaskan manusia. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka mudah

    menemukan informasi, makin banyak pengetahuan sehingga makin banyak pula

    pengetahuan yang dimiliki oleh orang tersebut.

  • 19

    3. Pekerjaan

    Seseorang yang bekerja di faktor formal memiliki akses yang lebih baik terhadap

    informasi, termasuk informasi kesehatan.

    4. Paparan informasi

    Paparan informasi mempengaruhi tingkat pengetahuan. Paparan informasi yang

    diperoleh dari berbagai sumber, antara lain buku kesehatan, media massa seperti

    televise ataupun koran, serta saling bertukar informasi.

    Pengetahuan seseorang dapat didapat dari pendidikan atau pengalaman yang

    berasal dari berbagai macam sumber. Pengetahuan juga merupakan hasil

    penginderaan manusia terhadap objek melalui indra yang dimilikinya. Secara

    garis besar ,pengetahuan dibagi menjadi 6 tingkat:12

    1. Tahu (Know)

    Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dapat dipelajari

    sebelumnya.

    2. Memahami (Comprehension)

    Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar

    tentang objek yang diketahui dan dapat meninterprestasikan materi

    tersebut dengan benar.

    3. Aplikasi (Application)

    Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

    dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).

    4. Analisis (Analysis)

    Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabrakan materi atau suatu

    objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam satu struktur

    organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

    5. Sintesis (Synthesis)

    Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

    menghubungkan bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

    Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formula

    yang ada.

  • 20

    6. Evaluasi

    Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justufikasi

    atau penilaian terhadap suatu materi atau objek penilaian-penilaian itu

    berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan

    kriteria-kriteria yang ada.

    2.3 Konsep Dasar Perilaku

    2.3.1 Perilaku Kesehatan

    Perilaku kesehatan adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap

    stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, system

    pelayanan kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan. Dari batasan

    ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok: 13

    a. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (Health maintance)

    Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga

    kesahatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit.

    Oleh sebab itu, perilaku pemelihara kesehatan ini terdiri dari tiga aspek:

    1. Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit,

    serta pemulihan kesehatan bila mana telah sembuh dari sakit.

    2. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan

    sehat.

    3. Perilaku gizi (makanan dan minuman). Makanan dan minuman dapat

    memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya

    makan dan minuman dapat menjadi sebab menurunnya kesehatan

    seseorang, bahkan dapat mendatangkan penyakit.

    b. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan

    kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking

    behavior).

    Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat

    menderita penyakit dan atau kecelakaan. Tindakan atau perilaku ini dimulai

    dari mengobati sendiri (self treatment) atau mencari pengobatan ke luar negri.

  • 21

    c. Perilaku kesehatan lingkungan

    Bagaimana seseorang merespon lingkungan, baik lingkungan fisik maupun

    lingkungan sosial budaya dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak

    mempengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain,bagaimana seseorang

    mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri,

    keluarga atau masyarakatnya.

    2.3.2 Perilaku Pencegahan Penularan TB

    Faktor pengetahuan, sikap dan perilaku mempunyai pengaruh besar terhadap

    status kesehatan individu maupun masyarakat dan berperan penting dalam

    menetukan keberhasilan suatu program penanggulangan penyakit dan

    pencegahan penularannya termasuk penyakit TB. Perilaku itu sendiri yang

    dalam hal ini perilaku pencegahan penularan penyakit Tuberculosis dapat

    dipengaruhi oleh 3 faktor yakni :14,15

    1. Faktor-faktor dasar (predisporcing factors) meliputi pengetahuan,

    sikap, kebiaasaan, kepercayaan, norma-norma sosial dan unsur lain.

    2. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) meliputi: sikap dan

    perilaku dari orang lain misalnya tenaga kesehatan atau petugas lain

    dari masyarakat.

    3. Faktor-faktor pendukung (enabling factors) meliputi: lingkungan fisik,

    tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana

    kesehatan.

    Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber

    penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah

    orang dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut.

    Pelacakan sumber infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA

    sputum (pelacakan sentripetal).3,4

    Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal, yaitu

    mencari anak lain di sekitarnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji

    tuberkulin. Sebaliknya, jika ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak di

    sekitarnya atau yang kontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi TB

  • 22

    (pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakukan dengan cara anamnesis,

    pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin.3,4

    Cara pencegahan penuluran penyakit TB:16

    a. Penemuan dan pengobatan pasien merupakan salah satu cara

    pencegahan dengan menghilangkan sumber penularan.

    b. Imunisasi BCG sedini mungkin terhadap mereka yang belum

    terinfeksi memberikan daya perlindungan yang bervariasi tergantung

    karakteristik penduduk, kualitas vaksin dan strain yang dipakai.

    Penelitian menunjukkan imunisasi BCG ini secara konsisten

    memberikan perlindungan terhadap terjadinya meningitis TB dan TB

    milier pada anak balita.

    c. Perbaikan lingkungan, status gizi dan kondisi sosial ekonomi juga

    merupakan bagian dari usaha pencegahan.

    d. Di negara maju dengan prevalensi TB rendah, setiap pasien TB

    paru BTA positif ditempatkan dalam ruang khusus bertekanan negatif.

    Setiap orang yang kontak diharuskan memakai pelindung pernapasan

    yang dapat menyaring partikel yang berukuran submikron.

    Pada prinsipnya upaya-upaya pencegahan dilakukan dan pemberantasan

    tuberculosis dijalankan dengan usaha-usaha diantaranya: pendidikan kesehatan

    kepada masyarakat tentang penyakit TBC, bahaya-bahanya, cara penularannya.

    Pencegahan dengan vaksinasi BCG pada anak-anak umur 0 14 tahun,

    chemoprophylactic dengan I.N.H pada keluarga, penderita atau orang-orang yang

    pernah kontak dengan penderita. Dan menghilangkan sumber penularan dengan

    mencari dan mengobati semua penderita dalam masyarakat. Adapun juga upaya

    pencegahan menurut WHO yaitu pencahayaan rumah yang baik, menutup mulut

    saat batuk, tidak meludah di sembarang tempat, menjaga kebersihan lingkungan

    dan alat makan.17

  • 23

    BAB III

    METODOLOGI PENELITIAN

    3.1 Jenis dan Rancangan Mini Project

    Jenis mini project yang dilakukan adalah dalam bentuk penelitian. Adapun

    penelitian ini bersifat deskriptif dengan metode cross sectional yaitu untuk

    memperlihatkan gambaran tingkat pengetahuan dan perilaku masyarakat tentang

    TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Meureubo.

    3.2 Definisi Operasional

    Tabel 3.1 Definisi Operasional Pelaksanaan Mini Project

    Variabel

    Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur

    Skala

    Ukur

    Jenis Kelamin Karakteristik seksual

    yang dimiliki

    responden

    Kuesioner - Laki-laki

    - Perempuan

    Nominal

    Umur Usia responden yang

    dihitung sejak lahir

    hingga saat ini (waktu

    penelitian berlangsung)

    yang diukur dalam

    tahun

    Kuesioner - 17 23

    - 24 30

    - 31 37

    - 38 44

    - 45 51

    - 52 58

    Ordinal

    Tingkat

    Pendidikan

    Jenjang sekolah formal

    tertinggi yang telah

    dilalui oleh responden

    dan mendapatkan

    ijazah

    Kuesioner - Tidak Sekolah

    - SD

    - SMP

    - SMA

    - Perguruan Tinggi

    Ordinal

    Pekerjaan Aktivitas/ kegiatan

    yang dilakukuan

    responden untuk

    mendapatkan

    penghasilan

    Kuesioner - IRT

    - Wiraswasta

    - PNS/ Pensiunan

    - POLRI/TNI

    - Petani

    Nominal

  • 24

    - Lain-lain

    Tingkat

    Penghasilan

    Jumlah nominal uang

    (pendapatan) yang

    didapatkan oleh

    responden dalam kurun

    waktu 1 bulan

    Kuesioner - < Rp. 500.000,-

    - Rp. 500.000 s/d

    Rp. 1.000.000,-

    - > Rp. 1.000.000,-

    Ordinal

    Jumlah

    anggota

    keluarga

    Jumlah anggota

    keluarga yang tinggal

    dalam 1 rumah

    Kuesioner

    - < 4 orang

    - > 4 orang

    (Tobing TL,

    2009)

    Ordinal

    Pengetahuan Segala sesuatu yang

    diketahui dan dijawab

    oleh responden, dalam

    penelitian ini tentang

    TB paru

    Kuesioner - Baik, jika skor

    jawaban 76-100%

    - Cukup, jika skor

    jawaban 56-75%

    - Rendah, jika skor

    jawaban 55%

    Ordinal

    Perilaku Kebiasaan atau

    tindakan yang

    dilakukan oleh

    responden dalam

    pencegahan penularan

    TB paru

    Kuesioner - Baik, jika skor

    jawaban >76%

    - Cukup, jika skor

    jawaban 56-76%

    - Tidak Baik, jika

    skor jawaban

  • 25

    3.4 Subyek Mini Project

    3.4.1 Populasi Penelitian

    Populasi dalam Mini Project ini adalah seluruh masyarakat yang tinggal di

    wilayah kerja Puskesmas Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

    3.4.2 Sampel Penelitian

    Sampel dalam Mini Project ini adalah masyarakat Kecamatan Meureubo yang

    datang berkunjung ke Puskesmas Meureubo mulai tanggal 20 November 2014 -

    20 Januari 2015 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah

    ditetapkan.

    a. Kriteria inklusi

    1. Responden berusia 15 tahun dan 60 tahun

    2. Dapat membaca dan menulis dengan baik

    3. Bersedia mengisi kuesioner yang di ajukan

    4. Bersedia mengikuti kegiatan Mini Project sampai dengan selesai

    b. Kriteria ekslusi

    1. Tidak bersedia menjadi responden penelitian

    Pada Mini Project ini menggunakan teknik sampel Non Probably Sampling

    dengan metode Accidental Sampling, yaitu suatu metode pengambilan sampel

    yang dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang ada/tersedia pada

    saat penelitian.18

    Pada penelitian ini didapatkan 15 sampel yang memenuhi

    kriteria inklusi dan eksklusi.

    3.5 Metode Pengumpulan Data

    3.5.1 Prosedur Pengumpulan Data

    Pengumpulan data pada mini project ini menggunakan data primer sebagai

    informasi, yaitu melalui kuesioner terstruktur yang berisi data identitas responden

    dan 10 pertanyaan yang mewakili pengetahuan tentang TB paru.

  • 26

    3.5.2 Instrumen Penelitian

    Pada penelitian ini instrumen yang digunakan adalah kuesioner.

    3.6 Metode Pengolahan Data

    3.6.1 Pengolahan Data

    Pengolahan data pada penelitian ini didasarkan pada teori menurut Arikunto

    (2010), pengolahan data pada penelitian ini dilaksanakan dengan tahap-tahap

    sebagai berikut:

    a. Editing

    Editing data dilakukan untuk meneliti setiap daftar pertanyaan yang sudah

    diisi. Editing meliputi kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian dan

    konsistensi dari setiap jawaban. Editing dilakukan segera setelah peneliti

    menerima kuesioner yang telah diisi oleh responden sehingga apabila terjadi

    kesalahan data dapat segera diperbaiki.

    b. Coding

    Coding adalah sebuah dari jawaban responden akan diberi kode sebelum data

    dimasukkan ke software komputer untuk dilakukan pengolahan data lebih

    lanjut.

    c. Scoring (Penilaian)

    Pada tahap ini peneliti memberi nilai pada data sesuai dengan skor yang

    telah ditentukan berdasarkan hasil lembar kuesioner dari responden.

    d. Entry data (memasukkan data)

    Entry data merupakan suatu proses memasukkan data kedalam perangkat

    computer, yaitu dengan memasukkan variable-variabel yang ada dalam

    penelitian ini yaitu pengetahuan dan perilaku pencegahan masyarakat tentang

    TB paru kedalam perangkat komputer dengan cara dikategorikan

    e. Processing

    Setelah diedit dan diberi kode, data diproses melalui program Microsoft

    Excel.

  • 27

    f. Tabulating

    Kegiatan atau langkah memasukkan data-data hasil penelitian kedalam table

    sesuai dengan kriteria.

    g. Clearing

    Membuang data atau membersihkan data yang sudah tidak dipakai.

    3.7 Alur Mini Project

    Alur kerja dari project ini digambarkan seperti Gambar di bawah ini:

    Gambar 3.1 Alur Kerja Mini Project

    3.8 Analisis Hasil

    Analisa data yang digunakan adalah analisis univariat dengan bantuan Microsoft

    Excel, yaitu untuk melihat distribusi frekuensi variabel yang diteliti. Data

    disajikan dalam bentuk tabel dan ditentukan presentase perolehan untuk tiap-tiap

    kategori dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

    Populasi Project

    Sampel Project

    Pengukuran dengan Kuesioner tentang Gambaran

    Pengetahuan dan Perilaku Pencegahan Masyarakat

    tentang TB Paru

    Pelaporan Hasil

    Pengumpulan Data

    Pengolahan data dengan langkah coding, scoring

    dan tabulating

  • 28

    P =

    100%

    Keterangan:

    P = Persentase

    fi = Frekuensi teramati

    n = Jumlah responden yang menjadi sampel penelitian

    Berdasarkan Arikunto 2003, maka hasil pengukuran tersebut dibagi menjadi 3

    kategori, yaitu:

    Baik = Jika jawaban benar 76-100 %

    Cukup = Jika jawaban benar 56-76 %

    Rendah = Jika jawaban benar 55 %

    3.9 Etika Penelitian

    Sebelum melakukan penelitian ini, peneliti meminta izin kepada kepala

    Puskesmas Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

  • 29

    BAB IV

    HASIL PENELITIAN

    4.1 Data Umum

    4.1.1 Profil Umum Puskesmas Meureubo

    Puskesmas Meureubo merupakan puskesmas yang berada di kecamatan Meureubo

    didirikan pada tahun 1992 dan terletak di sebelah barat kota Kabupaten Meulaboh.

    Luas wilayah 112,87 km2 dengan presentase luas kecamatan terhadap kabupaaten

    adalah 3,85%. Jumlah penduduk Laki-laki 113.919 jiwa dan perempuan 13.197

    jiwa dengan kepadatan penduduk 240 jiwa/km2. Penduduk di Puskesmas

    Meureubo berada di tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah dengan mata

    pencaharian sebagian besar adalah petani dan nelayan.

    Berikut adalah karakteristik kunjungan pasien berdasarkan jenis kelamin dan

    kelompok umur pada tahun 2014 dan karakteristik kunjungan pasien menurut 10

    penyakit terbanyak dari bulan November 2014-Januari 2015.

    4.1.2 Data Geografis dan Demografis

    Puskesmas Meureubo terletak di Kecamatan Meureubo Kabupaten Aceh Barat.

    Wilayah kerja meliputi 27 desa yang tersebar dalam kecamatan Meureubo.

    Adapun batas batas wilayahnya adalah :

    1. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Johan Pahlawan.

    2. Sebelah timur berbatasan dengan Kabuoaten Nagan Raya

    3. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Pante Ceureumen

    4. Sebelah selatan berbatasan dengan Samudra Hindia.

    Beberapa sarana yang dimiliki oleh puskesmas berupa :

    1. Bangunan Puskesmas 1 (satu) unit, meliputi ruang kepala puskesmas,

    ruang administrasi, ruang program, ruang perawatan dan ruang penunjang.

    2. Puskesmas pembantu (pustu) 6 unit

    3. Posyandu 34 unit

    4. Rumah dinas paramedis 4 unit

    5. Kendaraan : 3 Unit ambulan

  • 30

    Jumlah penduduk Meureubo adalah 27. 116 jiwa, dengan jumlah

    penduduk laki-laki 13.919 jiwa dan perempuan 13.197 jiwa dengan

    kepadatan penduduk 240 jiwa/km2.

    4.1.3 Sumber Daya Kesehatan Yang Ada

    4.1.3.1 Tenaga Kesehatan

    Puskesmas Meureubo memiliki tenaga kesehatan sebnyak 117 orang, yang terdiri

    dari dokter, perawat, bidan, farmasi, kesehatan masyarakat. Jumlah dokter umum

    sebanyak dua orang dengan rasio 7,4. Rasio perawat per 100.000 penduduk

    sebesar 11,5 dan rasio bidan per 100.000 penduduk adalah 19,2.

    4.1.3.2 Fasilitas Penunjang

    Puskesmas Meureubo memiliki fasilitas penunjang dalam mendukung tugas-tugas

    operasional dan agar jangkauan pelayanan puskesmas lebih luas dan merata

    hingga dapat mencakup ke seluruh wilayah kerjanya. Ada pun fasilitas penunjang

    tersebut adalah sebgaia berikut :

    1. Lima unit pustu (puskesmas pembantu), yaitu

    a. Pustu Paya Peunaga

    b. Pustu Alue Peunyareung

    c. Pustu Rantau Panjang

    d. Pustu Bale

    e. Pustu SP VI

    f. Pustu SP I

    2. Tujuh unit Poskesdes, yaitu :

    a. Poskesdes Peunaga Cut Ujong

    b. Poskesdes Gunong Kleng

    c. Poskesdes Peunaga Rayeuk

    d. Poskesdes Pasi Pinang

    e. Poskesdes Ranub Dong

    f. Poskesdes Paya Peunaga

    g. Poskesdes Reudep

  • 31

    4.1.4 Sarana Pelayanan Kesehatan Yang Ada

    Adapun 18 kegiatan pokok yang di jalankan oleh puskesmas Meureubo adalah :

    1. Upaya kesehatan wajib puskesmas, meliputi

    a. Promosi kesehatan masyarakat

    b. Kesehatan lingkungan

    c. KIA dan KB

    d. Kesehatan gizi masyarakat

    e. Pemberantasan penyakit menular

    f. Upaya pengobatan dasar

    2. Upaya kesehatan pengembangan puskesmas

    a. Upaya kesehatan sekolah

    b. Upaya kesehatan gigi dan mulut

    c. Kesehatan jiwa

    d. Kesehatan reproduksi dan PKPR

    e. Kesehatan usia lanjut

    f. Upaya perawatan kesehatan masyarakat

    3. Upaya pelayanan penunjang

    a. Laboratorium sederhana

    b. Pencegahan infeksi

    c. SP2TP

    4.2 Hasil Penelitian

    Penelitian ini dimulai tanggal 20 November 2014 sampai dengan tanggal 20

    Januari 2015 yang dilaksanakan dengan menyebarkan kuisioner kepada

    masyarakat yang datang berobat ke Puskesmas Meureubo, dan selama waktu

    penelitian telah terkumpul 20 subyek (responden) yang telah memenuhi kriteria

    inklusi dan eksklusi. Dari responden terdapat 5 orang diantaranya adalah

    penderita TB paru (25%).

    4.2.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur

    Karakteristik responden dalam penelitian ini berdasarkan jenis kelamin dan

    kelompok umur dapat dilihat selengkapnya pada tabel 4.7 dan 4.8 berikut ini:

  • 32

    Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

    No Jenis Kelamin Frekuensi %

    1. Laki-laki 8 40%

    2. Perempuan 12 60%

    Jumlah 20 100,00%

    Dari table 4.7 di atas terlihat bahwa yang menjadi responden lebih banyak

    perempuan, yaitu 36 orang (55,38%) dan laki-laki 29 orang (44,62%).

    Tabel 4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan kelompok Umur

    No Kelompok Umur Frekuensi %

    1. 17 23 5 25%

    2. 24 30 4 20%

    3. 31 37 3 15%

    4. 38 44 3 15%

    5. 45 51 2 10%

    6. 52 58 3 15%

    Jumlah 20 100,00%

    Berdasarkan table 4.8 diatas terlihat bahwa yang menjadi responden penelitian

    terbanyak pada kelompok usia 17-23 tahun sebanyak 5 orang (25%), diikuti oleh

    kelompok umur 24-30 tahun sebanyak 4 orang (20%). Serta, paling sedikit

    terletak pada kelompok umur 45-51 tahun (10%).

    4.2.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

    Dilihat dari karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan, terlihat

    bahwa sebagian besar responden memiliki ijazah SMA sebanyak 11 orang (55%),

    diikuti dengan Perguruan Tinggi sebanyak 5 orang (25%), SD sebanyak 3 orang

    (15%), tidak bersekolah 1 orang (5%). Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel

    berikut ini:

  • 33

    Tabel 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

    No Tingkat Pendidikan Frekuensi %

    1. Tidak Sekolah 1 5%

    2. SD 3 15%

    3. SMP - -

    4. SMA 11 55%

    5. Perguruan Tinggi 5 25%

    Jumlah 20 100,00

    4.2.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan

    Dilihat dari karakteristik responden berdasarkan pekerjaan, terlihat bahwa

    sebagian besar mata pencaharian responden bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga

    yaitu sebanyak 6 orang (30%), dan setelah itu banyak yang bekerja sebagai

    PNS/Pensiunan sebanyak 5 orang (25%), kemudian di susul dengan lain-lain

    sebanyak 4 orang (20%), 3 orang bekerja sebagai wiraswasta (15%) dan petani

    sebanyak 2 orang (10%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah

    ini:

    Tabel 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan

    No Tingkat Pendidikan Frekuensi %

    1. IRT 6 30%

    2. Wiraswasta 3 15%

    3. PNS/ Pensiunan 5 25%

    4. POLRI/ TNI - -

    5. Petani 2 10%

    6. Lain lain 4 20%

    Jumlah 20 100,00

    4.2.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Penghasilan

    Karakteristik responden dalam penelitian ini bila dilihat berdasarkan tingkat

    penghasilan dapat dlihat dengan jelas pada tabel 4.11 di bawah ini:

    Tabel 4.11 Karakteristik Responden Berdasarkan Penghasilan

  • 34

    No Penghasilan Frekuensi %

    1. < Rp. 500.000,- 11 55%

    2. Rp. 500.000 Rp. 1.000.000,- 3 15%

    3. > Rp. 1.000.000,- 6 30%

    Jumlah 20 100,00

    Dari Tabel 4.5 di atas dapat terlihat bahwa sebagian besar responden masih berada

    dalam kategori ekonomi rendah dengan penghasilan < Rp. 500.000,- sebanyak 11

    orang (55%).

    4.2.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga

    Dilihat dari karakteristik responden berdasarkan jumlah anggota keluarga,

    sebagian besar responden dalam 1 rumah berjumlah 4 anggota keluarga, yaitu

    sebanyak 11 orang (55%), dan sebanyak 9 orang (45 %) yang beranggotakan > 4

    orang dalam 1 rumah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 4.12 berikut

    ini:

    Tabel 4.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga

    No Jenis Anggota Keluarga Frekuensi %

    1. 4 Orang 11 55%

    2. > 4 Orang 9 45%

    Jumlah 20 100,00

    4.2.6 Gambaran Pengetahuan dan Perilaku Pencegahan Responden

    Mengenai TB Paru

    Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan melalui kuesioner, maka

    didapatkan total skor bagi masing-masing responden untuk variabel pengetahuan

    dan perilaku. Pengkategorian didasarkan pada persentase skor/perolehan dari

    jawaban setiap responden yang diperoleh dengan rumus:

    Jumlah nilai yang diperoleh

    Jumlah nilai maksimal x 100%

  • 35

    A. Gambaran Pengetahuan Responden Mengenai TB Paru

    Berdasarkan rincian dan scoring yang dilakukan terhadap pengetahuan, maka

    dilakukan pengkategorian pengetahuan sebagai berikut:

    - Baik, jika skor jawaban 76-100%

    - Cukup, jika skor jawaban 56-75%

    - Rendah, jika skor jawaban 55%

    Tabel 4.7 Gambaran Pengetahuan Responden Mengenai TB Paru

    No Kategori Pengetahuan Frekuensi %

    1. Baik 15 75%

    2. Cukup 5 25%

    3. Rendah - -

    Jumlah 20 100,00

    Bersdasarkan tabel 4.13 diatas, dapat dilihat bahwa 15 orang (75%) responden

    memiliki pengetahuan yang sudah baik tentang TB paru, walaupun demikian yang

    memiiki pengetahuan yag cukup tentang TB paru juga masih tinggi, yaitu

    sebanyak 5 orang (25%), dan tidak ada responden yang memiliki pengetahuan

    yang kurang.

    B. Gambaran Perilaku Pencegahan Responden Menganai TB Paru

    Berdasarkan rincian dan scoring yang dilakukan terhadap perilaku, maka

    dilakukan pengkategorian perilaku sebagai berikut:

    1. Baik, bila skor jawaban responden >76%

    2. Cukup baik, bila skor jawaban 56-76%

    3. Tidak baik, bila skor jawaban

  • 36

    Tabel 4.8 Gambaran Perilaku Pencegahan Responden Mengenai TB Paru

    No Kategori Perilaku Frekuensi %

    1. Baik 6 30%

    2. Cukup 9 45%

    3. Tidak Baik 5 25%

    Jumlah 20 100,00

    Berdasarkan tabel 4.14 diatas dapat dilihat bahwa hampir setengah dari responden

    telah memiliki perilaku yang cukup tentang perilaku pencegahan TB Paru yaitu

    sebanyak 9 orang (45%), tetapi masih ada responden yang memiliki perilaku yang

    tidak baik, yaitu sebanyak 5 orang (25%), dan hanya 6 orang yang memiliki

    perilaku yang baik yaitu (30%).

  • 37

    BAB V

    DISKUSI

    5.1 Gambaran Karakteristik Responden

    Berdasarkan data yang diperoleh dari karakteristik subyek penelitian, pada tabel

    4.1 dilihat dari segi jenis kelamin, terlihat bahwa yang menjadi subyek penelitian

    lebih banyak perempuan yaitu sebanyak 12 orang (60%) dari pada laki-laki 8

    orang (40%). Hal ini serupa dengan yang dilakukan oleh Sasilia (2103), yang

    melakukan penelitian mengenai faktor risiko penularan TB paru pada keluarga

    yang tinggal serumah di kabupaten Aceh Timur didapatkan proporsi jenis kelamin

    perempuan lebih besar yaitu sebanyak 57% dan laki-laki 43%.

    Pada penelitian ini, berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa sebagian besar

    subyek penelitian berada pada kelompok umur 17-23 tahun sebesar 25%. Hal ini

    berbeda dengan yang diungkapkan oleh Imbalo dalam Simanullang (2012), umur

    adalah variabel yang diperhatikan dalam penyelidikan Epidemiologi yang dicapai

    seseorang dalam kehidupannya, maka bila ditinjau dan faktor umur maka semakin

    tinggi umur seseorang maka akan semakin baik pula pengetahuan yang diperoleh

    dan pengalaman kehidupan sehari-hari.19

    Berdasarkan tabel 4.3 dapat dilihat bahwa sebagian besar subyek penelitian

    memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah yaitu 55% tamat SMA dan 25%

    yang hanya melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Menurut Imbalo

    dalam Simanullang (2012), pendidikan secara umum adalah segala upaya

    individu, kelompok ataupun masyarakat sehingga dapat melakukan apa yang

    diharapkan oleh pelaku pendidikan. Maka semakin tinggi pendidikan yang

    diperoleh seseorang maka akan semakin tinggi pula pengetahuan yang

    dimilikinya.19

    Berdasarkan tingkat pekerjaan yang dapat dilihat pada tabel 4.4, subyek penelitian

    bekerja sebagai petani, wiraswasta, dan lain-lain yaitu 10%, 15% , dan 20%. Dan

    sebagian besar ibu-ibu banyak yang tidak bekerja diluar rumah (hanya Ibu rumah

    tangga) dan PNS/Pensiunan yaitu 30% dan 25%. Menurut Imbalo dalam

  • 38

    Simanullang (2012) pekerjaan adalah kegiatan formal yang dilakukan oleh

    seseorang dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, sesuai dengan teori ini bahwa

    apabila seseorang berinteraksi dengan orang lain, maka pengetahuan yang

    dimiliki akan bertambah.19

    Berdasarkan Sasilia (2013) dalam penelitiannya di kabupaten Aceh Timur,

    menujukkan hasil uji Chi square menunjukkan nilai p= 0,533 (p> 0,05), artinya

    tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis pekerjaan dengan penularan TB.20

    Berdasarkan tingkat penghasilan, yang dapat dilihat pada tabel 4.5, sebagian besar

    subyek penelitian masih memiliki ekonomi yang rendah, yaitu 55%

    berpenghasilan < Rp. 500.000,- perbulan, 15% berpenghasilan Rp. 500.000,- s/d

    Rp, 1.000.000,- per bulan, dan 30% berpenghasilan > Rp. 1.000.000,- per bulan.

    Berdasarkan tabel 4.6, mengenai jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam 1

    rumah,dapat dilihat bahwa lebih dari setengah subyek penelitian memiliki jumlah

    anggota keluarga 4 orang dalam 1 rumah yaitu 60%. Studi terhadap kondisi

    rumah menunjukkan hubungan yang tinggi antara koloni bakteri dan kepadatan

    hunian per meter persegi, sehingga efek sinergis yang diciptakan sumber

    pencemar mempunyai potensi menekan reaksi kekebalan bersama dengan

    terjadinya peningkatan bakteri pathogen dengan kepadatan hunian pada setiap

    keluarga. Dengan demikian bakteri TBC di rumah penderita TB paru semakin

    banyak,bila jumlah penghuni semakin banyak jumlahnya. Jadi ukuran rumah yang

    kecil dengan jumlah penghuni yang padat serta jumlah kamar yang sikit akan

    memperbesar kemungkinan penularan TB paru melalui droplet dan kontak

    langsung.15

    Untuk menilai kepadatan penghuni dalam rumah, konsep dari Fakultas Teknik

    Universitas Indonesia (FT. UI 1998) menggunakan luas rumah per penghuni yang

    dibedakan dalam 5 kategori yaitu 3,9 m2/orang, 4-5 m2/orang, 5-6,9 m2/orang,

    7-8 m2/orang, dan 9 m2/orang. Depkes RI tahun 1999 menetapkan bahwa luas

    ruang tidur minimal 8 meter dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang.15

    Hal ini sesuia dengan teori yang menyatakan bahwa TB juga mudah menular

    melalui mereka yang tinggal di perumahan padat, kurang sinar matahari dan

  • 39

    sirkulasi udaranya buruk/ pengap, namun jika ada cukup cahaya dan sirkulasi,

    maka kuman TB hanya bisa bertahan selama 1-2 jam.3

    5.2 Gambaran Pengetahuan dan Perilaku Pencegahan TB Paru Masyarakat

    di Wilayah Kerja Puskesmas Meureubo

    Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui

    pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal

    budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat

    atau dirasakan sebelumnya. Pada umumnya, pengetahuan memiliki kemampuan

    prediktif terhadap sesuatu sebagai hasil pengenalan atas suatu pola.12

    Dalam

    penelitian ini, yang dapat dilihat pada tabel 4.7 bahwa sekitar 75% masyarakat

    Meureubo memiliki pengetahuan yang cukup tentang TB paru dan angka ini tidak

    terlalu sangat berbeda dengan jumlah masyarakat yang masih memiliki

    pengetahuan yang cukup yaitu 25% dan tidak ada responden yang memiliki

    pengetahuan yang rendah tentang TB paru. Berdasarkan penelitian yang telah

    dilakukan oleh Sasilia (2013) di Kabupaten Aceh Timur mengenai faktor faktor

    risiko penularan TB paru pada keluarga yang tinggal serumah di Kabupaten Aceh

    Timur menunjukkan 64,3% memilki pengetahuan yang kurang tentang TB paru

    (skor penilaian 50%), 26,4% memiliki pengetahuan baik tentang TB paru (skor

    penilaian > 50%) dan 9,3% tidak bisa dinilai pengetahuannya. Hasil uji Chi

    square menunjukkan niali p= 0,0001 (p< 0,05) artinya ada hubungan yang

    signifikan antara pengetahuan dengan penularan TB paru. Penelitian yang hampir

    serupa juga pernah dilakukan oleh Riswan (2008) mengenai hubungan

    pengetahuan dan perilaku keluarga penderita TB paru di kabupaten Malang, dan

    didapatkan 77,9% responden memiliki pengetahuan yang cukup tentang penyakit

    TB paru. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nur Djannah, et al., (2009)

    mengenai hubungan tingkat pengetahuan dan sikap dengan perilaku pencegahan

    penularan TB paru pada mahasiswa di Asrama Manokwari Sleman, Yogyakarta,

    didapatkan hasil sebanyak 20 orang (54,1%) berpengetahuan baik, dan 17 orang

    (49,9%) berpengetahuan sedang dan tidak ditemukan responden yang

    berpengetahuan buruk. Dan, berdasarkan Ghea R (2011), lebih dari separuh

  • 40

    responden di wilayah kerja puskemas Lubuk Buaya Padang memiliki tingkat

    pengetahuan rendah 14 orang (51,9%).

    Tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor internal

    yang meliputi umur, intelegensi, kepribadian dan motivasi sedangkan faktor

    eksternal antara lain pendidikan, lingkungan, sosial budaya, informasi dan

    pengalaman. Berdasarkan hasil penelitian, dari faktor - faktor diatas yang

    paling berpengaruh adalah tingkat pendidikan. Dengan pendidikan, seseorang

    akan cenderung untuk mendapatkan informasi, baik dari orang lain maupun dari

    media massa, semakin banyak informasi semakin banyak pula pengetahuan yang

    di dapat tentang kesehatan. 21

    Responden dengan tingkat pendidikan menengah

    keatas tingkat pengetahuannya tentang tuberculosis lebih baik dibandingkan

    dengan responden yang tingkat pendidikannya rendah. Hal ini didukung

    dengan teori bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin

    mudah menerima informasi sehingga semakin banyak pula menerima

    pengetahuan yang dimilikinya.22

    Pada karakteristik responden dapat dilihat bahwa

    55% responden memiliki tingkat pendidikan SMA dan 25% Perguruan Tinggi,

    yang menandakan setidaknya mereka memiliki pengetahuan yang lebih dari

    responden yang memiliki tingkat pendidikian SD atau tidak sekolah.

    Penelitian Rajagukguk (2008) dalam Simanullang (2012) di Kecamatan

    Simanindo Kabupaten Samosir menjelaskan bahwa semakin rendah pengetahuan

    penderita tentang bahaya penyakit TB Paru untuk dirinya, keluarga dan

    masyarakat di sekitarnya, maka semakin besar bahaya sipenderita sebagai

    sumber penularan penyakit, baik di rumah maupun di tempat pekerjaannya, untuk

    keluarga dan orang-orang sekitarnya. Demikian juga dengan penelitian Tobing TL

    (2009) di Kabupaten Tapanuli Utara yang menyatakan bahwa potensi

    penularan TB Paru 2,5 kali lebih besar pada yang berpengetahuan rendah.

    Dalam penelitian ini, dapat dilihat pada tabel 4.8 yaitu gambaran perilaku

    pencegahan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Meureubo mengenai TB paru

    sebanyak 9 responden (45%) memiliki perilaku yang cukup dan yang berperilaku

    tidak baik tidak terlalu tinggi, yaitu sebanyak 5 responden (25%) dan yang

    berperilaku baik hanya 8 orang (30%). Berdasarkan Wihastuti et al., (2011) dalam

  • 41

    penelitiannya yang dilakukan di Puskesmas Ketapang Kota Probolinggo

    didapatkan bahwa sebagian besar responden dalam katagori perilaku kurang

    dalam mencegah penularan tuberculosis yaitu sebanyak 19 orang (59%),

    responden yang termasuk dalam katagori perilaku cukup sebanyak 12 orang

    (38%) dan responden dengan perilaku baik hanya 1 orang (3%). Berdasarkan

    Ghea R (2011), diwilayah kerja Puskesmas Lubuk Buaya Padang masih banyak

    yang memiliki sikap negatif dalam pencegahan penularan TB paru, yaitu 14 orang

    (63,0%).

    Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fibriana LS (2011) di

    Puskesmas Wringinanom Gresik, dan didapatkan sebagian besar responden

    (40,9%) memiliki perilaku yang cukup tentang pencegahan penyakit menular TB,

    dan sebanyak 31,8% memiliki perilaku kurang dan hanya sekitar 27,3% memiliki

    perilaku pencegahan penaykit menular TB yang baik.

    Hal yang mempengaruhi perilaku seseorang sebagian terletak dalam diri

    individu yang disebut sebagai faktor internal atau faktor individu itu sendiri.

    Dan sebagian terletak di luar dirinya yang disebut faktor eksternal atau

    faktor lingkungan. Faktor internal diantaranya tingkat pengetahuan dan

    keturunan sedang faktor eksternal diantaranya fasilitas kesehatan, sosial

    ekonomi, kebudayaan dan dukungan keluarga. Dari pengalaman dan

    penelitian ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih

    langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.22

    Penelitian

    Rogers (1974) dikutip dari (Notoatmodjo 2003) mengungkapkan sebelum orang

    mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam seseorang tersebut

    terjadi proses yang berurutan yaitu: awarenes (kesadaran), interest (merasa

    tertarik), evaluation (menimbang-nimbang), trial (mencoba), adoption

    (adopsi). Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku baru melalui

    proses seperti ini dan didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang

    posistif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting),

    Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran

    maka tidak akan berlangsung lama.

  • 42

    Dari beberapa faktor di atas, faktor tingkat pengetahuan khususnya pengetahuan

    penderita tentang pencegahan penularan tuberculosis memegang peranan

    penting dalam peningkatan atau penurunan insiden dan prevalensi

    Tuberculosis, karena penderita merupakan sumber utama penularan TB paru.12,22

    Berdasarkan Kemenkes RI 2011, hasil survei prevalensi TB (2004) mengenai

    pengetahuan, sikap dan perilaku menunjukkan bahwa 96% keluarga merawat

    anggota keluarga yang menderita TB dan hanya 13% yang menyembunyikan

    keberadaan mereka. Meskipun 76% keluarga pernah mendengar tentang TB dan

    85% mengetahui bahwa TB dapat disembuhkan, akan tetapi hanya 26% yang

    dapat menyebutkan dua tanda dan gejala utama TB. Cara penularan TB dipahami

    oleh 51% keluarga dan hanya 19% yang mengetahui bahwa tersedia obat TB

    gratis.2

    Penyakit Tuberkulosis dapat terjadi karena adanya perilaku dan sikap keluarga

    yang kurang baik. Kurangnya perilaku keluarga tersebut ditunjukkan dengan tidak

    menggunakan masker debu (jika kontak dengan pasien), keterlambatan dalam

    pemberian vaksin BCG ( pada orang yang tidak terinfeksi ), dan terapi

    pencegahan 6-9 bulan. Terjadinya perilaku yang kurang baik dari keluarga karena

    kurangnya pengetahuan dan sikap keluarga (Fibriana LS, 2011). Dalam hal ini

    bagaimana seharusnya keluarga klien yang terdiagnosa TB paru mengetahui

    secara jelas dan benar apa sebenarnya penyakit Tuberkulosis ini, dan bagaimana

    cara penularan dan pencegahannya. Sikap keluarga sangat menentukan

    keberhasilan pengobatan. Amat terlebih dalam mencegah penularannya, karena

    jika sikap keluarga klien yang terdiagnosa TB paru mengerti apa yang sebenarnya

    dia lakukan maka secara otomatis dia juga bisa dan mampu melindungi dirinya

    dan anggota keluarga lainnya. Jika prilakunya baik maka akan membawa

    dampak positif bagi pencegahan penularan Tuberkulosis.12

    Mitos yang terkait dengan penularan TB masih dijumpai di masyarakat. Sebagai

    contoh, studi mengenai perjalanan pasien TB dalam mencari pelayanan di

    Yogyakarta telah mengidentifikasi berbagai penyebab TB yang tidak infeksius,

    misalnya merokok, alkohol, stres, kelelahan, makanan gorengan, tidur di lantai,

    dan tidur larut malam. Stigma TB di masyarakat terutama dapat dikurangi dengan

  • 43

    meningkatkan pengetahuan dan persepsi masyarakat mengenai TB, mengurangi

    mitos-mitos TB melalui kampanye pada kelompok tertentu dan membuat materi

    penyuluhan yang sesuai dengan budaya setempat.2

    5.3 Keterbatasan Penelitian

    Pada penelitian ini masih memiliki beberapa keterbatasan, yaitu:

    1. Waktu pelaksanaan penelitian dirasakan masih kurang sehingga tidak

    dapat menambah jumah sampel untuk lebih bisa mewakili populasi.

    2. Keterbatasan biaya dan dana yang peneliti miliki untuk proses pelaksanaan

    mini projek ini.

    3. Penelitian ini menggunakan analisa univariat, sehingga hanya menilai

    masing-masing variable dengan hanya melihat gambaran masing masing

    variable penelitian, tanpa melihat lebih lanjut hubungan dan penyebab hal

    tersebut terjadi.

    4. Penilitian ini hanya menilai dari satu kali penelitian tanpa melakukan pre

    test dan post test, sehingga tidak dapat diketahui hasil setelah dilakukan

    edukasi mengenai TB Paru dan pencegahannya.

  • 44

    BAB VI

    KESIMPULAN DAN SARAN

    6.1 Kesimpulan

    Berdasarkan hasil pengamatan dan analisa data dari penelitian mini proyek ini dapat

    disimpulkan bahwa:

    1. Gambaran karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin sebagian besar

    adalah perempuan sebanyak 60%

    2. Gambaran karakteristik responden berdasarkan kelompok umur paling banyak

    terdapat pada umur 17-23 tahun sebanyak 25%

    3. Gambaran karakteristik responden berdasarkan pendidikan paling banyak

    pada tingkat SMA sebanyak 55%

    4. Gambaran karakteristik responden berdasarkan pekerjaan sebagian besar

    adalah IRT sebanyak 30%

    5. Gambaran karakteristik responden berdasarkan tingkat penghasilan sebagian

    besar berpenghasilan < Rp. 500.000,- sebanyak 55%.

    6. Gambaran karakteristik responden berdasarkan jumlah anggota keluarga

    paling banyak memiliki anggota keluarga berjumlah < 4 orang per rumah

    sebanyak 55%.

    7. Gambaran pengetahuan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Meureubo

    mengenai TB paru paling banyak memiliki pengetahuan baik sebanyak 75 %

    8. Gambaran perilaku pencegahan penularan TB paru pada masyarakat di

    wilayah kerja Puskesmas Meureubo memiliki perilaku yang cukup sebanyak

    45%.

  • 45

    6.2 Saran

    Setelah melakukan mini projek ini, peneliti memiliki beberapa saran yang di

    harapkan dapat berguna sebagai bahan masukan untuk ke depannya, yaitu:

    1. Disarankan kepada Puskesmas Meureubo dan Dinas Kesehatan Aceh Barat

    untuk meningkatkan program pencegahan melalui berbagai macam cara

    promosi kesehatan, advokasi ke stake holder, peningkatan kerja sama lintas

    sektoral yang lebih komperhensif dan adekuat, meningkatkan peran petugas

    dalam melaksanakan strategi DOTS, memberdayakan masyarakat,

    meningkatkan kemitraan, dan kepada pemerintah daerah diharapkan lebih

    memperhatikan sumber daya manusia, penyediaan peralatan dan perbekalan

    dalam pencegahan penularan TB paru.