Upload
putri-inda-fawzia
View
90
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
CASE
APENDISITIS
PEMBIMBING
Dr. Ramadhana Effendi, Sp.B
DISUSUN OLEH
OCTAFIANDRI
030.05.162
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RUMAH SAKIT UMUM PUSAT
FATMAWATI
PERIODE 11 JANUARI 2010 – 20 MARET 2010
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat dan anugrah-Nya, pembahasan kasus Apendisitis ini dapat
diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Pembahasan kasus tentang Apendisitis ini disusun sebagai salah
satu tugas dalam pelaksanaan kepaniteraan klinik bagian Ilmu Bedah
RSUP Fatmawati periode 11 Januari 2010 – 20 Maret 2010.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Dr. Ramadhana Effendi, Sp.B selaku pembimbing dalam
penyusunan tugas ini serta seluruh pihak yang telah membantu, sehingga
kasus mengenai apendisitis ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat
waktu.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini jauh dari sempurna, karena itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Jakarta,
Januari 2010
Penulis
i
BAB I KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. David
Umur : 40 thn
Alamat : Jln. Margasatwa Gg. Melati, Pondok Labu
Pekerjaan : Pegawai swasta
Status : Menikah
Pendidikan : SLTA
Agama : Kristen
No. RM : 968486
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 14 Januari
2010, pukul 01.00 WIB.
Keluhan Utama:
Nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan Tambahan:
Demam, mual, muntah, buang air besar susah.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD rumah sakit Fatmawati dengan keluhan nyeri perut
kanan bawah sejak 1 hari SMRS dan nyeri dirasakan terus-menerus.
Empat hari sebelumnya pasien merasakan nyeri pada ulu hati yang
kemudian beralih ke perut kanan bawah dan tiba-tiba menjadi sangat sakit
sekali pada 1 hari SMRS. Pasien juga mengeluh demam, mual dan
muntah. BAB susah dan BAK normal.
1
2
Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya pasien tidak pernah merasakan nyeri perut kanan bawah
seperti yang dikeluhkan sekarang. Riwayat hipertensi, penyakit kencing
manis, alergi obat dan makanan di sangkal oleh pasien. Riwayat asma
juga disangkal oleh pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam keluarga pasien tidak ada yang mengeluh sakit yang sama seperti
pasien.
Riwayat Kebiasaan
Pasien kurang mengkonsumsi makanan yang berserat. Pasien mengaku
merokok, minum minuman beralkohol disangkal.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 14 Januari 2010.
Kesadaran : Compos Mentis
Kesan sakit : Sakit sedang
Tinggi badan : 165 cm
Berat badan : 58 kg
Keadaan gizi : Baik
Sikap Pasien : Kooperatif
Mobilisasi : Aktif
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Suhu : 37 ˚C
Respiration rate : 20x/menit
Kepala : Bentuk normocephali
Rambut hitam, distribusi merata
Mata : Pupil bulat, isokor
3
Conjungtiva Anemis -/-
Sklera ikterik -/-
Telinga : Bentuk normotia
Serumen +/+ minimal
Nyeri tekan mastoid -/-
Hidung : Pernafasan cuping hidung (-)
Leher : kelenjar getah bening tidak teraba membesar
Thorax : Jantung : S1-S2 reguler, Murmur (-),Gallop (-)
Paru: Suara nafas vesikuler,Ronchi -/- Wheezing -/-
Ekstremitas : Akral hangat
Deformitas (-)
Oedem (-)
Status lokalis
Abdomen :
Inspeksi : Bentuk simetris
Palpasi : Dinding perut simetris, datar, supel , Massa (-)defans
muskular (+) di kuadran kanan bawah,Nyeri tekan
(+) di kuadran kanan bawah (Mc.Burney sign),Nyeri
lepas (+)
Perkusi : Bunyi timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Psoas sign (+). Obturator sign (+), Rovsing sign (+),
Blumberg sign (+).
Rectal toucher
Tonus sphinter ani baik, ampula tidak prolaps, mukosa licin, nyeri tekan(-),
prostat dalam batas normal, massa(-). Pada handscoon feses(+), darah(-).
Pemeriksaan laboratorium darah (14 Januari 2010)
Hematologi
4
Hemoglobin :12,0 gr/l (13,2-17,3 gr/l)
Hematokrit : 35 % (33-45)
Leukosit : 21,4ribu/ul (5-10ribu/ul)
Trombosit : 233ribu/ul (150-440ribu/ul)
Eritrosit : 4,83 juta/ul (4.40-5.90)
VER/HER/KHER/RDW
VER : 72,9 fl (80-100fl)
HER : 24,8 pg (26-34pg)
KHER : 34,1 g/dl (32-36g/dl)
RDW : 14,6 % (11,5-14,5%)
Hitung jenis
Netrofil : 91 % (50-70%)
Limfosit : 8 % (20-40%)
Monosit : 2 % (2-8%)
Fungsi hati
SGOT : 66 U/l (0-34U/l)
SGPT : 69 U/l (0-40U/l)
Fungsi ginjal
Ureum : 40 mg/dl (20-40 mg/dl)
Creatinin : 1,1 mg/dl (0,6-1,5 mg/dl)
Glukosa sewaktu
GDS : 130 mg/dl (70-140 mg/dl)
Elektrolit
Natrium : 136 mmol/l (135-147 mmol/l)
Kalium : 3,20 mmol/l (3,10-5,10 mmol/l)
5
klorida : 98 mmol/l (95-108 mmol/l)
Pemeriksaan urinalisa
Urobilinogen : 0,2 UE/dl (<1 UE/dl)
Protein urine : +3 (negatif)
Berat jenis : 1,015 (1,003-1,030)
Bilirubin : positif (negatif)
Keton : trace (negatif)
Nitrit : negatif (negatif)
pH : 6,5 (4,8-7,4)
Lekosit : - (negatif)
Darah : +1 (negatif)
Glukosa : - (negatif)
Warna : kuning tua (kuning)
Kejernihan : jernih (jernih)
Hematologi
Masa perdarahan : 2 menit (1-3menit)
Masa pembekuan : 4 menit (2-6menit)
Resume
Pasien laki-laki usia 40 tahun datang ke IGD rumah sakit Fatmawati
dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS. Empat hari
sebelumnya pasien merasakan nyeri pada epigastrium kemudian beralih
ke perut kanan bawah dan tiba-tiba menjadi sangat sakit sekali pada 1
hari SMRS. Pasien juga mengeluh demam, mual dan muntah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan abdomen dan
defans muskular di kuadran kanan bawah, Psoas, Obturator, Rovsing, dan
Blumberg sign positif. Dan pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
leukositosis.
6
Diagnosa kerja
Apendisitis akut
Diagnosa banding
Divertikulitis
Ileitis Akut
Penatalaksanaan
Apendiktomi cito.
Operasi dilakukan pada tanggal 14 Januari 2010
Laporan operasi:
1. Pasien terlentang dengan anestesi spinal.
2. A dan antisepsis pada daerah operasi dan sekitarnya.
3. Insisi melewati titik McBurney menembus kutis, subkutis, fascia, otot
dipisahkan secara tumpul.
4. Ketika peritoneum dibuka tidak keluar apa-apa.
5. Omentum dieksisi ke kanan bawah, dibebaskan keluar pus ± 100cc
dan dikultur.
6. Insisi diperlebar
7. Identifikasi caecum, appendiks letak retrocaecal, ukuran ± 6x2 cm,
gangrenous, perforasi di tengah, fekalit (+)
8. Dilakukan apendiktomi, punctum dijahit double ligasi
9. Rongga abdomen dibersihkan
10.Luka dijahit lapis demi lapis
11.Operasi selesai.
Diagnosis setelah operasi: Apendisitis perforasi
Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanasionam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 PENDAHULUAN
Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang
dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus buntu yang
sebenarnya adalah sekum. Organ yang diketahui fungsinya ini sering
menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan akut apendiks
memerlukan tindak bedah segera untuk mencegah komplikasi yang
umumnya berbahaya.
Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di
negara berkembang. Namun, dalam tiga-empat dasawarsa terakhir
kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh
meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.
Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak
kurang dari 1 tahun jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok
umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada lelaki dan
perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun,
insidens lelaki lebih tinggi.
II.2 ANATOMI
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung seperti pita cacing,
panjangnya ± 6-10 cm, dan apeksnya menempel pada sekum. Lumennya
sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal dengan diameter
lumen 0,5-1,5 mm. Letak basis apendiks merupakan pertemuan 3 taenia
koli. Variasi letak apendiks adalah retrosekal, retroperineum, dan
esktraperitoneum.
Pendarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang
merupakan arteri tanpa kolateral ( end artery). Jika arteri ini tersumbat,
misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami
gangren. Persarafan simpatis berasal dari n. Torakalis X. Oleh karena itu,
7
8
nyeri visceral apendisitis bermula di sekitar epigastrium. Sedangkan
perdarafan parasimpatis berasal dari cabang n. Vagus yang mengikuti a.
mesenterika superior dan a. apendikularis.
II.3 DEFINISI
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks yang dapat terjadi
karena beberapa alasan seperti infeksi pada apendiks tetapi alasan yang
terpenting adalah adanya obstruksi pada lumen apendiks.
II. 4 ETIOLOGI
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Hal yang berperan
sebagai faktor pencetusnya adalah adanya sumbatan pada lumen
apendiks. Sumbatan ini dapat terjadi terutama karena adanya fekalit,
selain itu disebabkan karena hyperplasia jaringan limfe, tumor apendiks,
dan cacing ascaris. Penyebab lain yang dapat diduga dapat menimbulkan
apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti
E.histolytica.
II. 5 PATOFISIOLOGI
9
Sumbatan (obstruksi) dari lumen apendiks yang dapat terjadi
karena fekolit, hipertrofi jaringan limfoid, biji-bijian, dan cacing yang
mengakibatkan pembentukan mukus yang terus-menerus, menumpuk
dalam lumen, dan menyebabkan meningkatnya tekanan dalam lumen.
Bakteri yang virulen akan menyebabkan mukus tersebut menjadi pus
(jaringan nekrotik).
Adanya sekresi mukus terus menerus dan sifat inelastisitas dari
jaringan serosa menyebabkan tekanan intralumen makin meninggi.
Tekanan yang tinggi ini menyebabkan gangguan drainase saluran limfe
sehingga menimbulkan edema pada apendiks. Adanya kuman dan edema
apendiks menyebabkan terjadinya ulserasi mukosa apendiks. Fase ini
disebut ”focal apendicitis acuta”. Keluhan yang timbul adalah rasa nyeri
viseral akibat regangan mukosa. Hal ini dirasakan sebagai rasa nyeri di
ulu hati (epigastrium), karena inervasinya terpusat di epigastrium. Fase ini
umumnya disertai dengan mual dan muntah.
Tingkat selanjutnya akibat sekresi yang terus menerus serta
meningkatnya tekanan lumen, maka selain terganggunya drainase sistem
limfe, juga terjadi sumbatan vena yang menyebabkan terjadinya trombosis
10
dan iskemi. Akibatnya seluruh apendiks akan terinvasi oleh kuman. Fase
ini disebut ”apendicitis acuta supurativa”. Setelah mukosa terkena
akhirnya serosa juga terinvasi kuman, sehingga akan merangsang
peritoneum parietal. Maka timbulah rasa nyeri somatis yang khas untuk
apendisitis yaitu rasa nyeri di perut kanan bawah (titik Mc.Burney). Titik
Mc.Burney terletak di 1/3 lateral garis yang menghubungkan antara SIAS
dan umbilikus.
Jika tidak dilakukan pengobatan maka arteri juga akan tersumbat
hingga terjadilah nekrosis (terutama di daerah mesenterial), yang
kemudian diikuti terjadinya gangren. Fase ini disebut ”apendicitis
gangrenosa”. Pada fase ini dapat timbul komplikasi. Pada akhirnya akan
terjadi perforasi (isi apendiks menyebar), terjadi fase ”apendicitis
perforata”.
Badan mempunyai mekanisme pertahanan terhadap penyakit. Bila
proses terjadi tidak terlalu cepat maka pada saat peradangan omentum
dan usus akan bergerak ke daerah tersebut sehingga melokalisasi daerah
peradangan, yaitu dengan mengelompokan dan membentuk suatu infiltrat
apendiks (apendiks diliputi omentum dan usus). Fase ini disebut dengan
”apendicitis infiltrat”. Tanpa terapi yang baik infiltrasi ini dapat menjadi
abses dan disebut ”apendicular abses”.
II. 6 GEJALA KLINIS DAN TANDA KLINIS
Gejala klinis :
a. Nyeri / Sakit perut
Gejala utama apendisitis akut adalah nyeri abdomen.
Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang
timbul seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus dengan sifat
nyeri ringan sampai berat. Hal tersebut timbul oleh karena apendiks
dan usus halus mempunyai persarafan yang sama, maka nyeri
visceral itu akan dirasakan mula-mula di daerah epigastrium dan
periumbilikal Secara klasik, nyeri di daerah epigastrium akan terjadi
11
beberapa jam (4-6 jam) seterusnya akan menetap di kuadran kanan
bawah dan pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang
berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum parietale dengan
sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta nyeri akan lebih hebat
bila batuk ataupun berjalan kaki.
b. Muntah (rangsangan viseral) , akibat aktivasi n.vagus
Hampir 75% penderita disertai dengan vomitus, namun jarang
berlanjut menjadi berat dan kebanyakan vomitus hanya sekali atau
dua kali. Gejala disuria juga timbul apabila peradangan apendiks
dekat dengan vesika urinaria
c. Obstipasi , karena penderita takut mengejan
Penderita apendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum
datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, hal
tersebut timbul biasanya pada letak apendiks pelvikal yang
merangsang daerah rektum
d. Demam (infeksi akut) , bila timbul komplikasi
Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara
37,50 – 38,50C tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi
perforasi.
Tanda klinis :
a. Inspeksi
Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang
sakit, kembung (+) bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan
bawah terlihat pada appendikuler abses.
b. Palpasi
12
Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah :
b.1 Nyeri tekan (+) Mc.Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah
atau titik Mc Burney.
b.2 Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum
Rebound tenderness (nyeri lepas tekan ) adalah rasa nyeri
yang hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen
kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah
sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam di
titik Mc Burney.
b.3 Defans musculer (+) karena rangsangan m.Rektus abdominis
Defance muscular adalah nyeri tekan kuadran kanan bawah
abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum
parietal.
b.4 Rovsing sign (+)
Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah,
apabila kita melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri
bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang
dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.
b.5 Psoas sign (+)
Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas
oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.
Ada 2 cara memeriksa :
1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan
pemeriksa, pasien memfleksikan articulatio coxae
kanan, nyeri perut kanan bawah.
2. Pasif : Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan
pemeriksa, nyeri perut kanan bawah
b.6 Obturator Sign (+)
Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan
lutut difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar
13
secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks
terletak pada daerah hipogastrium
c. Perkusi, Nyeri ketok (+)
d. Auskultasi
Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis
apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar
bunyi peristaltik usus
e. Rectal Toucher / Colok dubur , nyeri tekan pada jam 9-12
II. 7 DIAGNOSIS
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar
diagnosis apendisitis akut. Pemeriksaan tambahan hanya dikerjakan bila
ada keragu-raguan atau untuk menyingkirkan diagnosis. Diagnosis klinis
apendisitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus.
Kesalahan diagnosis lebih sering pada perempuan dibanding lelaki. Hal ini
dapat disadari mengingat pada perempuan terutama yang masih muda
sering timbul gangguan yang mirip apendisitis akut. Keluhan itu berasal
dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau
penyakit ginekologik lain.
Gejala klinis pada apendisitis akut yang dimulai dengan
ketidaknyamanan perut di bagian atas, diikuti mual dan penurunan nafsu
makan. Nyeri menetap dan terus-menerus, tapi tidak begitu berat dan
kadang diikuti pula dengan muntah, kemudian beberapa saat nyeri
berpindah ke kuadran kanan bawah. Nyeri menjadi terlokalisir dan
penderita kadang mengalami konstipasi. Penderita apendisitis biasa
ditemukan terbaring di tempat tidur serta memberikan penampilan
kesakitan. Mudah tidaknya penderita untuk menelentangkan diri
merupakan tanda ada atau tidaknya rangsang peritoneum.
14
Pemeriksaan pada abdomen kanan bawah, pada pemeriksaan
palpasi didapatkan nyeri tekan, nyeri lepas, serta defans muskular di Mc
Burney.Selain itu juga didapatkan psoas sign, rovsing sign, dan obturator
sign. Pada pemeriksaan perkusi didapatkan nyeri ketok pada kuadran
kanan bawah.Pada pemeriksaan auskultasi, peristaltik usus masih dalam
batas normal, atau kadang sedikit menurun. Untuk appendix yang terletak
retrocaecal tersebut, kadang lokasi nyeri sulit ditentukan bahkan tak ada
nyeri di abdomen kanan bawah. Dan pada pemeriksaan rectal toucher
dapat ditemukan nyeri tekan di jam 9-12 jika apendiks berada di
retrosekal.
Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan leukositosis
moderat (10.000-20.000/ µL). Jika leukosit lebih tinggi biasanya
dicurigai telah terjadi perforasi. Selain itu dapat pula ditemukan
neutrofilia. Pada pemeriksaan urinalisa dapat ditemukan hematuria
dan piuria pada 25 % pasien.
b. Ultrasonografi (USG)
Dapat digunakan untuk mendiagnosis apendisitis sekaligus
menyingkirkan penyakit lain dengan gejala yang sama, seperti
penyakit adneksa pada perempuan muda. Dengan pemeriksaan
ultrasonografi (USG), apendisitis akut akan menunjukkan
gambaran fekalit, udara intralumen, diameter apendiks lebih dari 6
mm, penebalan dinding apendiks lebih dari 2 mm dan
pengumpulan cairan perisekal. Ini memberikan gambaran yang
dinamakan “target-sign” atau “doughnut-sign”. Keadaan apendiks
supurasi atau gangrene ditandai dengan distensi lumen oleh cairan,
penebalan dinding apendiks dengan atau tanpa apendikolit.
Keadaan apendiks perforasi ditandai dengan tebal dinding
15
apendiks yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan abses
tunggal atau multipel (Gustavo GR, 1995).
c. Apendikogram, dilakukan dengan cara pemberian kontras BaSO4
serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara
peroral dan dminum sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam
untuk anak-anak dan 10-12 jam untuk dewasa. Bila ada sumbatan
maka zat kontras tidak bisa mengisi di apendiks sehingga tidak
tampak gambaran apendiks (non visual).
Gambaran apendiks pada apendikogram
16
II.8 DIAGNOSIS BANDING
a. Adneksitis
Peradangan pada tuba falopii biasanya ditandai dengan nyeri di bagian
perut bawah kanan dan kiri disertai demam tinggi, menorrhagia dan
infertilitas.Endometriosis
b. KET
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak
menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim
dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah
pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vaginal
didapatkan nyeri dan penonjolan rongga Douglas dan pada
kuldosintesis didapatkan darah.
c. Kista ovarium terganggu
Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba
massa dalam rongga pelvis dalam pemeriksaan perut, colok vaginal,
atau colok rektal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi
dapat menentukan diagnosis.
d. Salpingitis
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu
biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah
lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan
infeksi urin. Pada colok vagina akan timbul nyeri hebat di panggul jika
uterus diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu
untuk diagnosis banding.
e. Divertikulitis
Menunjukkan gejala yang hampir sama dengan apendisitis tetapi lokasi
nyeri lebih ke medial. Karena kedua kelainan ini membutuhkan tindakan
operasi, maka perbedaannya bukanlah hal penting.
f. Ileitis akut
Peradangan pada ileum. Gejala ileitis meliputi sakit di bagian kanan
bawah perut. Gejala lain termasuk pembengkakan pada perut, demam,
17
kehilangan nafsu makan, sembelit (kesulitan buang kotoran), dan / atau
diare.
g. Kolitis
Radang pada colon ditandai dengan feses bercampur darah, nyeri
tajam pada perut bagian bawah, demam dan tenesmus.
h. Adenitis mesentrika
Menunjukkan tanda dan gejala yang identik dengan apendisitis.
Penyakit ini lebih sering pada anak-anak, biasanya didahului infeksi
saluran napas. Lokasi nyeri di perut kanan bawah tidak konstan dan
menetap.
i. Obstruksi usus
Biasanya nyeri timbul perlahan-lahan di daerah epigastrium. Pada
pemeriksaan fisis akan menunjukkan distensi abdomen dan timpani,
terdengar metalic sound pada auskultasi.
j. Batu ureter
Batu ureter atau batu ginjal kanan. Adanya riwayat kolik dari pinggang
ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas.
Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos perut atau urografi intravena
dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis sering disertai
dengan demam tinggi, mengigil, nyeri kostovertebral di sebelah kanan,
dan piuria.
II.9 KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi :
a. Perforasi
Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya
perforasi. Perforasi appendix akan mengakibatkan peritonitis purulenta
yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh
perut dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans
muskuler di seluruh perut, peristaltik usus menurun sampai menghilang
karena ileus paralitik.
18
b. Peritonitis generalisata
Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat
terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi
akibat penyebaran infeksi dari apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi
tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya
peritonitis generalisata. Dengan begitu, aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan
meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus
menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan mungkin
syok. Gejala : demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, Abdomen
tegang, kaku, nyeri tekan, dan bunyi usus menghilang.
c. Massa Periapendikuler
Hal ini terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
pendindingan oleh omentum. Umumnya massa apendix terbentuk pada
hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis
generalisata. Massa apendix dengan proses radang yang masih aktif
ditandai dengan keadaan umum masih terlihat sakit, suhu masih tinggi,
terdapat tanda-tanda peritonitis, lekositosis, dan pergeseran ke kiri.
Massa apendix dengan proses meradang telah mereda ditandai
dengan keadaan umum telah membaik, suhu tidak tinggi lagi, tidak ada
tanda peritonitis, teraba massa berbatas tegas dengan nyeri tekan
ringan, lekosit dan netrofil normal.
II.10 PENATALAKSANAAN
Pada apendisitis akut, abses, dan perforasi diperlukan tindakan
operasi apendiktomi cito. Tindakan ini dapat dilakukan melalui laparotomi
atau laparoskopi. Sebelum dilakukan tindakan pembedahan, pasien
dianjurkan untuk tirah baring dan diberikan antibiotik sistemik spektrum
luas untuk mengurangi insidens infeksi pada luka post operasi.
19
II.11 PROGNOSIS
Apendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi prognosisnya baik.
Kematian dapat terjadi pada beberapa kasus. Setelah operasi masih
dapat terjadi infeksi pada 30% kasus apendisitis perforasi atau apendisitis
gangrenosa.
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien adalah seorang laki-laki
berumur 40 tahun dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari
SMRS. Empat hari sebelumnya pasien merasakan nyeri pada epigastrium
kemudian beralih ke perut kanan bawah yang hilang timbul dan tiba-tiba
menjadi sangat sakit sekali pada 1 hari SMRS. Pasien juga mengeluh
demam, mual, dan muntah. Nyeri yang berpindah dari epigastrium ke
kuadran kanan bawah sesuai dengan gambaran nyeri pada apensisitis
akut. Adanya demam, mual, dan muntah juga mendukung kea rah
apendisitis akut.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan abdomen yang
terbatas pada regio iliaka kanan dan dapat disertai nyeri lepas. Defans
muskular di kuadran kanan bawah, Psoas, Obturator, dan Rovsing sign
positif juga sesuai dengan apendisitis akut. Defans muskular lokalis
menunjukkan adanya rangsangan peritonuem parietale. Pemeriksaan
colok dubur tidak didapatkan kelainan. Nyeri pada penekanan di arah jam
9-12 dapat mendukung apendisitis akut, tetapi hal ini tidak selalu
ditemukan.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis.
Peningkatan jumlah leukosit membantu menegakkan diagnosis apendisitis
akut. Pada kebanyakan kasus apendisitis akut terdapat leukositosis
dengan nilai leukosit antara 10.000-18.000, sedangkan pada kasus
dengan komplikasi seperti perforasi jumlah leukosit bisa melebihi 18.000.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Ahmadsyah dan Kartono. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah.
Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
2. Lawrence. 2006. Appendix. Dalam: Current Surgical Diagnosis and
Treatment. Ed : 12. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc.
3. Pierce dan Neil. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Ed : 3. Jakarta :
Penerbit Erlangga.
4. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Ed: Ke-6. Jakarta: EGC.
5. Sabiston. Textbook of Surgery. Ed : 17. 2004. Philadelpia: Elsevier.
6. Schwartz. Manual of Surgery. Ed : 8. 2006. New York: McGRAW-
HILL.
7. Sjamsuhidajat, R. dan Wim de Jong. Buku-Ajar Ilmu Bedah.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005.