9
Aqidah Ahlus Sunnah Tentang Sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Rabu, 9 Desember 2015 15:13:53 WIB Kategori : Al-Masaa'il „AQIDAH AHLUS SUNNAH TENTANG SAHABAT NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM Oleh Al-Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظKECINTAAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA‟AH KEPADA SELURUH SAHABAT Di antara prinsip dasar aqidah Ahlus Sunnah wal Jamâ‟ah adalah mencintai, loyal, dan memohon keridhaan dan ampunan untuk seluruh Sahabat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam . Allâh Azza wa Jalla berfirman : ِ بسَ صْ َ ْ اَ َ ِ شِ بجَ ُ ْ انَ ِ يَ ُ نّ َ ْ اَ ُ قِ ب بّ انسَ اُ ظَ سَ ْ ىُ ْ َ عُ ّ َ ِ ظَ سٍ بَ سْ حِ ئِ بْ ىُُ عَ بّ احَ ِ زّ انَ بََ خْ حَ ي حِ شْ جَ حٍ بثّ َ جْ ىُ َ نّ ذَ عَ أَ ُ ْ َ عُ بسَ ْ َ ْ اُ ى ِ ظَ عْ انُ صَْ فْ انَ كِ ن َ رۚ اً ذَ بَ ب أَ ِ فَ ِ ذِ بنَ خOrang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada mereka dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. [At- Taubah/9:100] بَ َ نْ شِ فْ ب اغَّ بَ سَ ُ ن ُ قَ ْ ىِ ِ ذْ عَ بْ ِ ا يُ بءَ جَ ِ زّ انَ ِ زّ ب انَ ِ اَ ْ خِ ِ َ ِ فْ مَ عْ جَ حَ َ ِ بَ ِ ْ بِ ببَ ُ قَ بَ سَ َ كّ ِ ب إَّ بَ ا س ُ َ آيَ ِ زّ هِ نً ّ ِ ب غَ ِ ب ُ هُ قٌ ى ِ حَ سٌ فُ ءَ سDan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo‟a, „Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." [Al-Hasyr/59:10] Sebagaimana Ahlus Sunnah juga meyakini bahwa mereka (para Sahabat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam) lebih utama dibanding orang-orang yang datang setelah mereka. Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : ، ْ ىَُْ ُ هَ َْ ِ زّ انّ ىُ ، ثْ ِ ْ شَ قِ بطّ انُ شَْ خْ ىَُ ْ ُ هَ َْ ِ زّ انّ ىُ ثSebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi‟in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi‟ut Tabi‟in).[1] Sebagai konsekuensinya, maka Ahlus Sunnah berlepas diri dari setiap orang yang menghina atau melecehkan para Sahabat, baik dari kalangan orang-orang Râfidhah (Syi‟ah) atau an-Nawâshib

Aqidah Ahlus Sunnah Tentang Sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Aqidah tentang Sahabat

Citation preview

Aqidah Ahlus Sunnah Tentang Sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam

Rabu, 9 Desember 2015 15:13:53 WIB

Kategori : Al-Masaa'il

„AQIDAH AHLUS SUNNAH TENTANG SAHABAT NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA

SALLAM

Oleh

Al-Yazid bin Abdul Qadir Jawas حفظ هللا

KECINTAAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA‟AH KEPADA SELURUH SAHABAT

Di antara prinsip dasar aqidah Ahlus Sunnah wal Jamâ‟ah adalah mencintai, loyal, dan memohon

keridhaan dan ampunan untuk seluruh Sahabat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam .

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

صبس ال بجش ان ي ن ال ببق انس سظا ى ع هللا سظ احبعى بئحسب انز أعذ نى جبث حجشي ححخب ع

بس ص انعظى ال نك انف فب أبذا ر خبنذ

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang

muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allâh ridha kepada

mereka dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di

dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. [At-

Taubah/9:100]

ب اغفش نب سب ى قن بعذ جبءا ي انز اب انز خ ل ل حجعم ف ب سبقب ببل ب إك آيا سب قهبب غل نهز

سءف سحى

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo‟a, „Wahai

Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada

kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang

yang beriman; Wahai Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha

Penyayang." [Al-Hasyr/59:10]

Sebagaimana Ahlus Sunnah juga meyakini bahwa mereka (para Sahabat Nabi Shallallahu „alaihi

wa sallam) lebih utama dibanding orang-orang yang datang setelah mereka. Rasûlullâh

Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :

ى ، ه ، ثى انز ش انبط قش ى خ ه ثى انز

Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para sahabat), kemudian yang

sesudahnya (masa Tabi‟in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi‟ut Tabi‟in).[1]

Sebagai konsekuensinya, maka Ahlus Sunnah berlepas diri dari setiap orang yang menghina atau

melecehkan para Sahabat, baik dari kalangan orang-orang Râfidhah (Syi‟ah) atau an-Nawâshib

(orang-orang yang menyakiti Ahlul Bait).

Prinsip dasar Ahlus Sunnah ini –yaitu mencintai para Sahabat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam

- berlandaskan dalil-dalil al-Qur'ân dan as-Sunnah yang menuntut cinta dan berwala‟ (loyal)

kepada mereka.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

نبء بعط ؤيبث بععى أ ان ؤي ان

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) wali (berkasih

sayang, menjadi penolong) bagi sebagian yang lain…” [At-Taubah: 71]

Imam Abu Nu‟aim rahimahullah (wafat th. 430 H) berkata, “Maka menahan lisan dari

membicarakan Sahabat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan tidak menyebutkan kesalahan

mereka, (dan berusaha) menyebarkan kebaikan dan keutamaan-keutamaan mereka, dan

membawa segala urusan mereka kepada sisi atau makna yang terbaik merupakan ciri orang-

orang yang beriman yang mengikuti jejak mereka dengan baik.[2]

MENGIKUTI TUNTUTAN NASH DALAM MENENTUKAN KEDUDUKAN SAHABAT

DAN MENETAPKAN KEUTAMAAN MEREKA

Metode Ahlus Sunnah wal Jamâ‟ah dalam menetapkan dan menjelaskan setiap permasalahan-

permasalahan pokok dalam agama ini, dengan berlandaskan kepada nash-nash al-Qur'ân dan as-

Sunnah. Serta mengamalkan tuntunan dari nash tersebut sesuai dengan pemahaman para Sahabat

Radhiyallahu anhum , dan orang-orang yang mengikuti mereka dari kalangan Ulama salafus

shâlih yang Allâh Azza wa Jalla berikan cahaya dan petunjuk kepada hati mereka untuk

mengikuti al-Qur'ân dan as-Sunnah.

Di antara prinsip pokok tersebut adalah sikap Ahlus Sunnah terhadap keutamaan dan kedudukan

para Sahabat Radhiyallahu anhum . Ahlus Sunnah senantiasa mengikuti nash-nash al-Qur'ân dan

as-Sunnah dalam hal ini. Ini berbeda dengan orang-orang yang sesat yang berani mencela,

menghina para Sahabat.

Penjelasan Tentang Tingkatan Keutamaan Para Sahabat Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama‟ah

Yang Berdasarkan Nash Al-Qur'ân Dan As-Sunnah :

Sahabat yang paling mulia secara mutlak adalah Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu anhu ,

kemudian „Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu , kemudian „Utsmân bin „Affân Radhiyallahu

anhu, kemudian Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu .

Kemudian setelah itu Ahlus Syûra[3] yang lainnya, kemudian sepuluh orang yang dijamin masuk

Surga[4] , kemudian yang ikut perang Badr dari kalangan Muhâjirîn, kemudian yang

menyaksikan perang Badr dari kalangan Anshâr, dan orang-orang yang berbai‟at kepada Nabi

Shallallahu „alaihi wa sallam di bawah pohon.

جشة ببع ححج انش ل ذخم انبس أحذ ي

Tidak akan masuk Neraka seorang pun yang berbai‟at di bawah pohon[5]

Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam juga bersabda :

ب انـحذ ذ بذسا ذخم انبس سجم ش ت ن

Tidak akan masuk Neraka seseorang yang ikut dalam Perang Badar dan Perjanjian

Hudaibiyyah.[6]

Kemudian mereka yang hijrah dan yang ikut berperang sebelum al-Fath (perdamaian

Hudaibiyyah) lebih tinggi derajatnya daripada orang yang menafkahkan hartanya dan ikut

berperang setelah itu, dan masing-masing telah Allâh janjikan kebaikan (pahala).[7]

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يشاد لل فقا ف سبم هللا يب نكى أل ح كى ي ي ي السض ل سخ اث ب انس فق ي ئك أعظى دسجت أ قبحم أن قبم انفخح

انز ي عذ هللا كل قبحها بعذ فقا ي خبش أ ه ب حع ب هللا انحسى

Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allâh, padahal Allâh-lah

yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi. Tidak sama di antara kamu orang yang

menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi

derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allâh

menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allâh mengetahui

apa yang kamu kerjakan. [Al-Hadîd/57:10]

إر ببعك ححج ؤي ان ع هللا جشة فعه نقذ سظ كت انش ضل انس ى فأ أثببى فخحب قشبب ى يب ف قهب ى عه

Sungguh, Allâh telah meridhai orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu

(Muhammad) di bawah pohon. Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia

memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat. [Al-

Fath/48:18]

Adapun pengutamaan Ahlus Sunnah terhadap Abu Bakar Radhiyallahu anhu kemudian Umar

Radhiyallahu anhu, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam :

ش ع بكش بعذي : أب ي ا ببنهز اقخذ

Ikutilah dua orang yang hidup sesudahku, (yaitu): Abu Bakar dan „Umar.[8]

Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam -dalam suatu perjalanan- beliau bersabda

tentang urusan manusia :

ا... ش ششذ ع ا أبب بكش ع ط ...فئ

“…Jika mereka mentaati Abu Bakar dan Umar niscaya mereka mendapat petunjuk...”[9]

Umat Islam juga telah sepakat dalam mendahulukan mereka (Abu Bakar dan Umar) berdua

karena memiliki banyak keutamaan, sebagaimana telah dipersaksikan Rasûlullâh Shallallahu

„alaihi wa sallam dan para Sahabat setelah Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam .

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat th. 728 H) berkata, “Ahlus Sunnah wal

Jamâ‟ah sungguh telah sepakat berdasarkan apa yang telah dinukilkan secara mutawatir dari

Amîrul Mukminin Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu , beliau berkata, “Orang yang terbaik

dari kalangan umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar kemudian „Umar Radhiyallahu

anhuma.[10]

Adapun keutamaan Abu Bakar Radhiyallahu anhu menurut Ahlus Sunnah berdasarkan

keutamaan-keutamaan khusus yang beliau miliki dan tidak dimiliki oleh selain beliau,

diantaranya adalah keutamaan yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Amru bin

al-„Ash Radhiyallahu anhu , bahwasanya Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam mengutus beliau

sebagai amir pasukan perang Dzâtus Salâsil , beliau (Amru bin al-„Ash) berkata, “Lalu saya

datang kepada Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam dan bertanya, "Siapakah orang yang paling

kamu cintai?” Beliau menjawab, „Aisyâh‟, saya bertanya lagi, “Dari laki-laki?” Beliau

menjawab, „Bapaknya (Abu Bakar)‟, Saya bertanya lagi, “Kemudian siapa ?” Beliau menjawab,

„Umar bin Khaththab‟, Kemudian beliau menyebut nama-nama yang lain.”[11]

Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :

... أب يبن صحبخ ف انبط عه أي ي لحخزث إ ش سب ل غ ج يخخزا خه ك ن بكش ، أخ نك سلو أبب بكش ، ة ال

ح ، ل د ي سجذ ببة إل سذ إل ببة أب ان ف بكش بق .

Sesungguhnya orang yang paling terpercaya bagiku dalam persahabatan dan harta adalah Abu

Bakar, seandainya aku mengambil seorang sebagai khalil (kekasih) selain Allâh tentu aku akan

mengambil Abu Bakar, akan tetapi hanya persaudaraan dan kasih sayang (dalam) Islam, jangan

dibiarkan ada di dalam masjid (masjid Nabawi) satu pintu pun kecuali ditutup kecuali pintu Abu

Bakar.[12]

Tentang keutamaan Abu Bakar Radhiyallahu anhu , kemudian Umar Radhiyallahu anhu

kemudian Utsmân Radhiyallahu anhu , Imam Ahmad rahimahullah (wafat th. 241 H) berkata,

“Yang terbaik dari kalangan umat ini sesudah Nabi-Nya adalah Abu Bakar ash-Shiddiq,

kemudian „Umar bin Khaththab, kemudian „Utsmân bin „Affân. Kita mendahulukan mereka

bertiga sebagaimana yang dilakukan oleh para Sahabat. Mereka tidak berselisih pendapat dalam

hal itu, dan kita berpendapat sesuai dengan hadits Ibnu „Umar Radhiyallahu anhuma , yaitu,

“Kami mengatakan –sedang Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam masih hidup dan para

Sahabatnya masih banyak-, “Abu Bakar, kemudian „Umar, kemudian „Utsman, kemudian kami

diam.”

Hal senada dikatakan oleh Ali al-Madîni rahimahullah (wafat th. 234 H)[14]

WAJIBNYA MENAHAN LISAN (TIDAK IKUT CAMPUR) DALAM PERSELISIHAN

YANG TERJADI DI ANTARA SAHABAT ع ى أج هللا ع سظ

Di antara prinsip dasar yang dijelaskan oleh Ulama salaf dan yang diikuti oleh para imam yang

datang sesudah mereka serta yang dipegang oleh seluruh Ahlus Sunnah adalah kewajiban

menahan lisan (tidak ikut campur) tentang perselisihan yang terjadi antara Sahabat –semoga

Allâh meridhai mereka semua-, mendoakan mereka kerahmatan bagi mereka, mencintai dan

tidak menyebut mereka kecuali dengan pujian yang baik lagi indah, sebagaimana yang terdapat

dalam al-Qur'ân, as-Sunnah, dan perkataan salaf dan para Ulama yang datang sesudah mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Ahlus Sunnah bersikap menahan diri dari

perselisihan yang terjadi di antara para Sahabat Radhiyallahu anhum . Mereka mengatakan

bahwa riwayat-riwayat tentang hal kejelekan yang terjadi di antara mereka ada yang dusta

(bohong), ada yang ditambah, ada yang dikurangi, serta ada juga yang diselewengkan dari yang

sebenarnya. Sedangkan dalam riwayat yang shahih, mereka dimaafkan karena mereka adalah

orang-orang yang berijtihad yang bisa benar dan bisa pula salah. Meskipun demikian, Ahlus

Sunnah tidak mempunyai keyakinan bahwa setiap individu para Sahabat itu ma‟shûm

(terpelihara) dari dosa besar atau dosa kecil, bahkan bisa saja mereka itu mempunyai dosa-dosa,

tetapi mereka itu memiliki kelebihan (keutamaan), yaitu lebih dulu beriman dan memiliki

keutamaan yang banyak yang dapat menghapuskan dosa-dosa mereka -kalau pun hal itu ada-

sehingga mereka diberikan ampunan atas kesalahan-kesalahan mereka, yang tidak diberikan

kepada orang-orang sesudahnya.

Dalam hadits shahih, Rasûlullâh bersabda :

أ ن بذ انزي فسـ ف ا أصحببـ ى أحذك ل حسب فق يثم أحذ ربب يب بهغ يذ أحذ ف ى أ ل ص .

Janganlah kamu mencaci-maki Sahabatku, demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya, jika

seandainya salah seorang dari kalian infaq sebesar gunung Uhud berupa emas, maka belum

mencapai nilai infaq mereka meskipun (mereka infaq hanya) satu mud (yaitu sepenuh dua

telapak tangan) dan tidak juga separuhnya.”[15]

„Abdullah bin „Umar Radhiyallahu anhuma mengatakan :

سه ذ صهى هللا عه ا أصحبة يـح م أحذكى ى ل حسب ع ش ي ى سبعت خ قبو أحذ ست فه أسبع

Janganlah kalian mencaci-maki para Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam.

Sungguh, berdirinya mereka sesaat bersama Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam lebih baik

daripada ibadah salah seorang kalian selama empat puluh tahun.[16]

Dalam riwayat lain disebutkan, “...lebih baik daripada ibadah seorang dari kalian sepanjang

hidupnya.[17]

Perkara-perkara ini, apabila dibandingkan dengan kesalahan mereka, maka kesalahan-kesalahan

itu akan hapus dengan kebaikan yang sekian banyak, dan tidak ada seorang pun yang menyamai

mereka Radhiyallahu anhum.

Sesungguhnya kadar yang diingkari dari perbuatan mereka (yang tidak menyenangkan) sangat

sedikit sekali, lagi pula dapat terampuni jika dibandingkan dengan keutamaan dan kebaikan-

kebaikan mereka.

Siapa pun yang memperhatikan dengan ilmu dan benar akan sirah (perjalanan hidup) para

Sahabat serta keistimewaan-keistimewaan yang dikaruniakan Allâh kepada mereka, maka ia

akan tahu bahwa para Sahabat adalah sebaik-baik manusia sesudah para Nabi, yang tidak pernah

ada sebelumnya dan tidak akan ada lagi yang seperti mereka. Mereka adalah orang-orang pilihan

dari generasi umat ini. Mereka adalah sebaik-baik umat yang dimuliakan oleh Allâh Azza wa

Jalla .[18] Mudah-mudahan Allâh meridhai mereka semuanya.

Dari „Umar bin Abdul Aziz rahimahullah tatkala beliau ditanya tentang perang (Shiffin) dan

perang Jamal, beliau rahimahullah menjawab, “Itu adalah pertumpahan darah yang Allâh Azza

wa Jalla selamatkan tanganku dari keterlibatan, maka aku tidak suka melibatkan lisanku dalam

kejadian tersebut.”[19]

Imam Ahmad rahimahullah ketika ditanya tentang (perang Shiffin) yang terjadi antara Ali

Radhiyallahu anhu dan Mu‟âwiyah Radhiyallahu anhu , beliau t menjawab, “Aku tidak berkata

tentang mereka kecuali kebaikan.”[20]

Ada seorang laki-laki bertanya kepada Imam Ahmad rahimahullah tentang apa yang terjadi

antara Ali Radhiyallahu anhu dan Mu‟âwiyah Radhiyallahu anhu, lalu Imam Ahmad

membacakan ayat :

ه ب كبا ع ع ل حسأن نكى يب كسبخى ت قذ خهج نب يب كسبج حهك أي

Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu

usahakan; dan kamu tidak akan diminta pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka

kerjakan. [Al-Baqarah/2:141] [21]

Imam Abul Hasan al-Asy‟ari rahimahullah (wafat th. 324 H) berkata, “Adapun yang terjadi

antara Ali dan Az-Zubair bersama Aisyah g hanya berdasarkan takwil dan ijtihad. Ali

Radhiyallahu anhu adalah seorang imam dan semua mereka adalah ahlul ijtihâd (orang yang

berhak berijtihad) dan semuanya telah dipersaksikan oleh Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa

sallam akan masuk Surga. Ini menunjukkan bahwa mereka semuanya benar dalam ijtihad

tersebut.

Begitu juga yang terjadi antara Ali Radhiyallahu anhu dan Mu‟âwiyah Radhiyallahu anhu

berdasarkan takwil dan ijtihad, dan seluruh Sahabat adalah para imam yang terpercaya (jujur)

tidak diragukan agama mereka. Allâh dan Rasul-Nya telah memuji mereka secara keseluruhan,

dan memerintahkan kita untuk menghormati, memuliakan, dan mencintai mereka dan berlepas

diri dari setiap orang yang mencela salah seorang dari mereka Radhiyallahu anhum.[22]

Dan Imam al-Muzani rahimahullah (wafat th. 264 H) -tatkala menjelaskan aqidah Ahlus Sunnah

tentang sahabat- beliau berkata, “Disampaikan keutamaan mereka serta disebutkan dengan

amalan-amalan mereka yang baik, dan kita menahan (lisan) dari ikut campur dalam perselisihan

yang terjadi antara mereka. Karena mereka adalah manusia terbaik sesudah Nabi mereka. Allâh

Azza wa Jalla telah meridhai mereka sebagai sahabat Nabi-Nya, serta menciptakan mereka

sebagai penolong atau pejuang agama-Nya. Mereka adalah para imam dalam agama ini dan para

Ulama kaum Muslimin –semoga Allâh meridhai mereka seluruhnya-.”[23]

Imam al-Barbahari rahimahullah (wafat th. 329 H) berkata, “Apabila kamu melihat seseorang

mencela salah seorang Sahabat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa ia

adalah orang yang memiliki perkataan jelek dan (pengikut) hawa nafsu, berdasarkan sabda

Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam :

ا فأيسك إرا ركش أصحبب

Apabila disebut para sahabatku maka tahanlah (lisan) kalian.[24]

Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam telah mengetahui kesalahan yang akan muncul dari

mereka sesudah beliau wafat[25] , akan tetapi Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam tidak

mengatakan tentang mereka kecuali kebaikan.[26]

Imam Ibnu Baththah rahimahullah (wafat th. 387 H) dalam menjelaskan aqidah Ahlus Sunnah

berkata, “Dan sesudah itu kita menahan lisan tentang perselisihan yang terjadi antara Sahabat

Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam , (karena) mereka telah ikut dalam peperangan bersama

beliau, dan lebih awal meraih kemuliaan. Sungguh Allâh telah mengampunkan (dosa) mereka

dan memerintahkan kamu untuk istighfâr (memohon ampunan kepada Allâh) bagi mereka serta

mendekatkan diri kepada Allâh dengan mencintai mereka. Hal itu telah diwajibkan oleh Allâh

lewat lisan Nabi-Nya sedang ia mengetahui apa (kesalahan) yang akan muncul dari mereka dan

akan terjadi peperangan di antara mereka.”[27]

Imam Abu Utsmân ash-Shabûni rahimahullah (wafat th. 449 H) berkata, “Mereka meyakini

(wajibnya) menahan lisan tentang perselisihan yang terjadi antara Sahabat Rasûlullâh Shallallahu

„alaihi wa sallam , dan membersihkan lisan dari membicarakan sesuatu yang mengandung

tudingan dan celaan terhadap mereka. Mereka (salaf) meyakini (wajibnya) memohon rahmat

buat seluruh para Sahabat dan mencintai mereka.”[28]

Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah (wafat th. 620 H) berkata, “Di antara sunnah adalah berwala‟

(setia) kepada Sahabat Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam dan mencintai mereka,

menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, meminta rahmat dan ampunan untuk mereka, menahan

lisan dari menyebut kesalahan dan perselisihan yang terjadi antara mereka dan meyakini

keutamaan mereka serta mengetahui bahwa mereka orang yang lebih dahulu (dalam meraih

keutamaan dan memperjuangkan agama).”[29]

Orang-orang Syi‟ah dan lainnya yang mencela dan mencaci-maki para Sahabat, pada hakikatnya,

mereka adalah orang-orang yang sesat dan menyesatkan. Mereka telah menyimpang sangat jauh

dari agama Islam yang lurus. Mereka adalah orang-orang zindiq (munafik) seperti perkataan

Imam Abu Zur‟ah ar-Râzi rahimahullah. Keyakinan mereka (Syi‟ah) yang sesat yang mencela

bahkan mengkafirkan para Sahabat Radhiyallahu anhum , berarti mereka:

1. Telah mendustakan al-Qur'ân yang telah memuji para Sahabat Radhiyallahu anhum dalam

puluhan ayat al-Qur'ân.

2. Telah menuduh Allâh Azza wa Jalla tidak memilih untuk Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi

wa sallam orang-orang yang dapat menjaga agama Islam.

3. Telah menuduh Nabi Muhammad Shallallahu „alaihi wa sallam gagal dalam mendidik dan

membina para Sahabatnya.

4. Membatalkan semua riwayat yang disampaikan oleh para sahabat.

5. Membatalkan al-Qur'ân dan as-Sunnah, karena yang menyampaikan al-Qur'ân dan as-Sunnah

adalah para Sahabat Radhiyallahu anhum , dan lainnya.[30]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVI/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah

Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-

761016]

_______

Footnote

[1]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 2652) dan Muslim (no. 2533 (212)), dari Abdullah bin Mas‟ûd

Radhiyallahu anhu

[2]. Al-Imâmah war Raddu „ala ar-Râfidhah (hlm. 373).

[3]. Yaitu mereka yang diwasiatkan oleh „Umar z untuk memilih khalifah sepeninggal beliau.

Mereka adalah: 1. „Utsmân bin „Affân, 2. Ali bin Abi Thâlib, 3. Zubair bin Awwam, 4.

„Abdurrahman bin „Auf, 5. Sa‟ad bin Abi Waqqâsh, 6. Thalhah bin „Ubaidillâh Radhiyallahu

anhum

[4]. Mereka adalah khalifah yang empat dan Ahlus Syûra. Sepuluh orang sahabat yang dijamin

masuk Surga oleh Rasûlullâh Shallallahu „alaihi wa sallam :

• Abu Bakar ash-Shiddiq, • Az-Zubair bin „Awwâm,

• „Umar bin al-Khaththab, • Sa‟ad bin Abi Waqqâsh,

• „Utsmân bin „Affân, • Sa‟id bin Zaid,

• „Ali bin Abi Thâlib, • Abu „Ubaidah bin al-Jarrah, dan

• „Abdurrahman bin „Auf, • Thalhah bin „Ubaidillah, Radhiyallahu anhum

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dâwud (no. 4649-4650), at-Tirmidzi (no. 3748,

3757), Ibnu Mâjah (no. 133, 134), Ahmad 9I/187, 188, 189), Ibnu Abi „Ashim (no. 1428, 1431,

1433, dan 1436), dan al-Hakim (IV/440). Lihat juga Taisîr al-Karîmir Rahmân Fii Tafsîri

Kalâmil Mannân (hlm. 909), cet. Maktabah Ma‟arif, 1420 H.

[5]. Shahih: HR. Ahmad (III/350), Abu Dâwud (no. 4653), at-Tirmidzi (no. 3860), dari shahabat

Jâbir bin „Abdillah Radhiyallahu anhu . At-Tirmidzi berkata: Hadits ini hasan shahih.

Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi‟is Shaghîr (no. 7680).

[6]. Shahih: HR. Ahmad (III/396), dari Shahabat Jâbir bin „Abdillâh Radhiyallahu anhuma.

Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 2160).

[7]. Lihat: Syarh Ushûl I‟tiqâd Ahlus Sunnah wal Jamâ‟ah (I/179), Syarhus Sunnah karya Imam

al-Barbahari (hlm. 53-55, no. 25) tahqiq Ahmad Abdurrahman al-Jumaiji, Syarh an-Nawawi

terhadap Shahîh Muslim (XV/148), dan al-Ba‟its al-Hatsîts Ibnu Katsir (II/501-505) ta‟liq

Syaikh al-Albani.

[8]. Shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 3662), Ibnu Mâjah (no. 97), Ahmad (V/382) atau (no. 23245)

dan Al-Hâkim (III/75), dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu anhu. Hadits ini shahih karena

ada beberapa penguatnya. Lihat Hidâyatur Ruwâh (no. 6006).

[9]. Shahih: HR. Muslim (no. 681), dari Abu Qatâdah Radhiyallahu anhu

[10]. Majmû‟ Fatâwâ (III/153).

[11]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 3662) dan Muslim (no. 2384).

[12]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 466 dan 3654) dan Muslim (no. 2382) dari Abu Sa‟id al-

Khudri Radhiyallahu anhu

[13]. Syarh Ushûl I‟tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ‟ah (I/179), dan atsar Ibnu „Umar dikeluarkan

Imam Ahmad dalam al-Musnad (II/14) atau (no. 4626).

[14]. Syarh Ushûl I‟tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ‟ah (I/187).

[15]. Shahih: HR. Al-Bukhâri (no. 3673), Muslim (no. 2541), Abu Dawud (no. 4658), at-

Tirmidzi (no. 3861), Ahmad (III/11), al-Baghawy dalam Syarhus Sunnah (XIV/69 no. 3859) dan

Ibnu Abi „Ashim dalam As-Sunnah (no. 988), dari Shahabat Abu Sa‟id al-Khudri z .. Lihat Fat-

hul Bâri (VII/34-36).

[16]. Shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadhâ-ilush Shahâbah (no. 20) dan Ibnu Abi

„Âshim (no. 1006). Lihat Syarah „Aqîdah Thahâwiyah (hal. 469) takhrij Syaikh al-Albani.

[17]. Fadhâ-ilush Shahâbah (no. 15) karya Imam Ahmad bin Hanbal, tahqiq dan takhrij

Washiyyullah bin Muhammad „Abbas.

[18]. Lihat at-Tanbîhât al-Lathîfah „ala Mahtawat „alaihi al-„Aqîdah al-Wâsîthiyyah minal

Mabâhitsil Munîfah (hlm. 96-97) dengan sedikit tambahan dalil, karya Syaikh „Abdurrahman bin

Nashir as-Sa‟di, ta‟liq Syaikh Abdul „Aziz bin Baz, dan takhrij Syaikh „Ali Hasan.

[19]. Lihat as-Sunnah karya al-Khallaal (II/461-462, no. 717). Maksudnya, kita wajib diam,

jangan membicarakan tentang kesalahan dalam peperangan tersebut, tidak ada manfaatnya

bahkan berdosa.

[20]. Manâqibul Imam Ahmad bin Hanbal (hlm. 221), karya Imam Ibnul Jauzi tahqiq DR.

Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turkiy.

[21]. Ibid

[22]. Al-Ibânah „an Ushûl ad-Diyânah (no. 271) tahqiq Basyir Muhammad „Uyun.

[23]. Syarhus Sunnah karya Imam al-Muzani (hlm. 88, no. 17) ta‟liq DR. Jamal „Azun.

[24]. HR. At-Thabarani dalam al-Mu‟jamul Kabîr (II/96, no. 1427) dan Abu Nu‟aim dalam

Hilyatul Auliyaa‟ (IV/114, no. 4953). Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-

Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 34).

[25]. Maksudnya: Berdasarkan wahyu yang Allâh sampaikan kepada beliau, karena Nabi

Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang peperangan yang terjadi antara sahabat,

seperti pengabaran beliau tentang Hasan bin Ali c bahwa Allâh akan mendamaikan antara dua

golongan dari kaum Muslimin. [HR. Al-Bukhâri, no. 3746].

[26]. Syarhus Sunnah karya Imam al-Barbahari (no. 124) tahqiq dan ta‟liq Abdurrahman bin

Ahmad al-Jumaizi.

[27]. Asy-Syarhu wal Ibânah „alaa Ushûlis Sunnah wad Diyânah (hlm. 294) tahqiq DR. Ridha

Na‟san Mu‟thi.

[28]. „Aqîdah Salaf wa Ash-hâbil Hadîts (hlm. 294) tahqiq DR. Nashir bin „Abdurrahman bin

Muhammad al-Judai‟.

[29]. Lum‟atul I‟tiqâd Syarh Syaikh „Utsaimin (hlm. 150).

[30]. Disadur dari catatan kaki Syarh Ushûl I‟tiqâd Ahlis Sunnah wal Jamâ‟ah karya al-Lalikaa-i

(VII/1311) tahqiq DR. Ahmad Sa‟ad Hamdani.