5
KONFLIK & REKONSILIASI KERANGKA KERJA MEMBANGUN PERDAMAIAN DAN KESELARASAN KONFLIK adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki tujuan atau kepentingan yang berbeda. Konflik atau perbedan merupakan kenyataan hidup yang tidak dapat dihindari yang terjadi dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat, berkeluarga bahkan dalam lingkungan kerja. Berdasarkan hal ini, konflik memiliki dua sisi mata uang, di satu sisi bernilai negatif dan di sisi lain bernilai positif. Suatu konflik dapat bernilai positif dan kreatif, jika dikelola dengan baik dan diarahkan secara produktif untuk membangun situasi yang lebih baik. Konflik perlu direspon melalui mekanisme transformasi— pembelajaran untuk menentukan strategi penyelesaian masalah atau dikenal dengan istilah resolusi konflik. Dalam sosiologi; konsep-konsep Konflik dijabarkan: - KONFLIK : Hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atauoun kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki tujuan yang berbeda. - KEKERASA : Tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial ataupun lingkungan, dan atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. - MENGINTENSIFKAN KONFLIK : Mengungkapkan konflik laten ke permukaan dan menjadikannya terbuka untuk mencapai suatu tujuan. - MENINGKATKAN KONFLIK : Merujuk pada situasi yang menunjukkan adanya peningkatan tingkat ketegangan dan kekerasan. Konflik sendiri dibedakan diantara 2 sumbu; SASARAN dan PERILAKU Penjelasan TANPA KONFLIK: dalam kesan umum adalah lebih baik, namun setiap masyarakat atau kelompok yang hidup damai, jika ingin keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis. Memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif.

Artikel Konflik Dan Rekonsiliasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Konflik Resolusi

Citation preview

Page 1: Artikel Konflik Dan Rekonsiliasi

KONFLIK & REKONSILIASIKERANGKA KERJA MEMBANGUN PERDAMAIAN DAN KESELARASAN

KONFLIK adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki tujuan atau kepentingan yang berbeda. Konflik atau perbedan merupakan kenyataan hidup yang tidak dapat dihindari yang terjadi dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat, berkeluarga bahkan dalam lingkungan kerja. Berdasarkan hal ini, konflik memiliki dua sisi mata uang, di satu sisi bernilai negatif dan di sisi lain bernilai positif. Suatu konflik dapat bernilai positif dan kreatif, jika dikelola dengan baik dan diarahkan secara produktif untuk membangun situasi yang lebih baik. Konflik perlu direspon melalui mekanisme transformasi—pembelajaran untuk menentukan strategi penyelesaian masalah atau dikenal dengan istilah resolusi konflik.Dalam sosiologi; konsep-konsep Konflik dijabarkan:

- KONFLIK : Hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atauoun kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki tujuan yang berbeda.

- KEKERASA : Tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial ataupun lingkungan, dan atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh.

- MENGINTENSIFKAN KONFLIK : Mengungkapkan konflik laten ke permukaan dan menjadikannya terbuka untuk mencapai suatu tujuan.

- MENINGKATKAN KONFLIK : Merujuk pada situasi yang menunjukkan adanya peningkatan tingkat ketegangan dan kekerasan.

Konflik sendiri dibedakan diantara 2 sumbu; SASARAN dan PERILAKU

Penjelasan TANPA KONFLIK: dalam kesan umum adalah lebih baik, namun setiap masyarakat atau

kelompok yang hidup damai, jika ingin keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis. Memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif.

KONFLIK LATEN: sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan agar dapat ditangani secara effektif

KONFLIK TERBUKA: berakar dalam, dan sangat nyata memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya.

KONFLIK DI PERMUKAAN: memiliki akar yang dangkal/tidak memiliki akar, muncul hanya karena kesalah fahaman mengenai sasaran yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi

Page 2: Artikel Konflik Dan Rekonsiliasi

SKEMA TAHAP KONFLIK

RESOLUSI KONFLIKSecara empirik, resolusi konflik dilakukan dalam empat tahap. Tahap pertama masih didominasi oleh strategi militer yang berupaya untuk mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi. Tahap kedua memiliki orientasi politik yang bertujuan untuk memulai proses re-integrasi elit politik dari kelompok-kelompok yang bertikai. Tahap ketiga lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan problem-solving approach. Tahap terakhir memiliki nuansa kultural yang kental karena tahap ini bertujuan untuk melakukan perombakan struktur sosial-budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian yang berkelanjutan. Keempat tahapan ini secara definisi adalah:

Tahap Pertama: Mencari De-eskalasi KonflikPada tahap pertama, konflik yang terjadi masih diwarnai oleh pertikaian bersenjata yang memakan korban jiwa, sehingga resolusi konflik difokuskan pada upaya untuk menemukan waktu yang tepat untuk memulai (entry point) proses penyelesaian konflik. Tahap ini masih berkaitan dengan kondisi konflik bersenjata sehingga proses resolusi konflik terpaksa harus beriringan dengan proses orientasi militer. Proses resolusi konflik dapat dimulai, jika terindikasi pihak-pihak yang berselisih akan menurunkan tingkat eskalasi konfliknya.Kajian tentang ‘entry point’ ini didominasi oleh pendapat Zartman (1985) tentang kondisi “hurting stalemate”. Saat kondisi ini muncul, para pihak yang bertikai lebih terbuka untuk menerima opsi perundingan untuk mengurangi beban biaya kekerasan yang meningkat. Pendapat ini didukung oleh Bloomfied, Nupen dan Haris (2000). Bebeda dengan Burton (1990, 88-90) bahwa pemecahan masalah (resolusi konflik) justru diupayakan sedapat mungkin dapat diprediksi termasuk biaya yang dibutuhkan. Dengan demikian, entry point juga dapat dilakukan apabilai tersedia pihak ketiga yang mampu menurunkan eskalasi konflik. De-eskalasi ini dapat dilakukan dengan melalui intervensi militer yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga internasional berdasarkan mandat BAB VI dan VII Piagam PBB. Operasi militer untuk perdamaian dalam rangka menurunkan eskalasi konflik menjadi tugas berat dari beberapa lembaga internasional. UNHCR, misalnya, telah menerbitkan suatu panduan operasi militer pada tahun 1995 yang berjudul “A UNHCR Handbook For The Military On Humanitarian Operations”. Panduan yang sama juga telah dipublikasikan oleh Institute for International Studies, Brown University pada tahun 1997 dengan judul “A Guide to Peace Support Operations”.

Tahap Kedua: Intervensi Kemanusiaan dan Negosiasi PolitikPada saat de-eskalasi konflik sudah terjadi, maka tahap kedua proses resolusi konflik dapat dimulai bersamaan dengan penerapan bantuan kemanusiaan (humanitarian intervention) untuk meringankan beban penderitaan korban konflik. Intervensi kemanusiaan ini dilakukan dengan menerapkan prinsip

Page 3: Artikel Konflik Dan Rekonsiliasi

mid-war operations. Prinsip ini yang menjadi dasar dari sebuah perubahan besar model intervensi kemanusiaan yang mengharuskan tidak lagi bergerak di lingkungan pinggiran konflik bersenjata tetapi harus berupaya mendekati titik sentral peperangan. Pertimbangan ini didasarkan bahwa korban dari pihak sipil dan potensi pelanggaran HAM terbesar ada di pusat peperangan dan di lokasi tersebut. Tidak ada yang harus diupayakan untuk melindungi tempat penting bagi dengan intervensi pihak ketiga. Dengan demikian, bentuk minimal dari aksi kemanusian dengan memberikan layanan dan manajemen bantuan terkait masalah kekurangan komoditas kebutuhan pokok (commodity-based humanitarianism) yang dianggap tidak memadai lagi. Intervensi kemanusiaan dapat dilakukan bersamaan dengan usaha untuk membuka peluang dilakukannya negosiasi antarelit atau pemangku kepentingan yang terlibat langsung dalam upaya penyelesaian konflik. Pada tahap ini akan lebih banyak nuansa politik dengan maksud agar terjadi proses negosiasi dan memperoleh kesepakatan politik (political settlement) antara pemangku kepentingan yang terlibat konflik.

Tahap Ketiga: Problem-solving ApproachTahap ketiga dari proses resolusi konflik adalah pemecahan masalah (problem-solving) yang berorientasi sosial. Tahap ini diarahkan untuk membangun suatu kondisi yang kondusif bagi kelompok atau individu yang bertentangan untuk melakukan transformasi konflik yang spesifik ke arah penyelesaian. Transformasi konflik dikatakan berhasil apabila kedua kelompok yang terlibat konflik dapat mencapai pemahaman bersama (mutual understanding) tentang cara mengeskplorasi alternatif penyelesaian konflik yang langsung dan dapat dikerjakan oleh masing-masing. Alternatif solusi konflik tersebut dapat digali jika ada suatu institusi resolusi konflik yang berupaya untuk menemukan sebab-sebab fundamental dari suatu konflik. Penerapan problem-solving approach dikembangkan Rothman (1992:30) yang menawarkan empat komponen utama proses problem-solving, yaitu; (1) Masing-masing pihak mengakui legitimasi pihak lain untuk melakukan inisiatif komunikasi tingkat awal. (2) Masing-masing pihak memberikan informasi yang benar kepada pihak lain tentang kompleksitas konflik mencakup penyebab konflik, trauma yang timbul selama konflik, dan kendala struktural yang akan menghambat fleksibilitas mereka dalam melakukan proses resolusi konflik. (3) kedua belah pihak secara bertahap menemukan pola interaksi yang diinginkan untuk mengkomunikasikan indikasi perdamaian. (4) problem-solving workshop yang berupaya menyediakan suasana pembelajaran yang kondusif bagi pihak- pihak yang bertikai untuk melakukan proses (tidak langsung mencari outcome) resolusi konflik.

Tahap Keempat: Peace-BuildingTahap peace-building meliputi transisi, rekonsiliasi dan konsolidasi yang menjadi tahapan terberat dan membutuhkan waktu lama untuk memperbaiki kondisi masyarakat secara berkelanjutan. Tahap ini memiliki pola penyelesaian yang bersifat struktural dan kultural.Mekanisme rekonsiliasi dilakukan untuk mengurangi potensi konflik lebih dalam dan berkepanjangan yang akan dialami oleh suatu komunitas atau individu akibat rapuhnya kohesi sosial masyarakat karena kekerasan struktural yang terjadi. Atau peristiwa dan kejadian (dinamika sejarah) yang dialami komunitas tersebut.Mekanisme konsolidasi dalam upaya membangun perdamaian yang berupaya mendorong pemangku kepentingan yang terlibat konflik untuk terus melakukan intervensi perdamaian terhadap struktur sosial yang ada. Tujuan utamanya untuk mencegah terulangnya lagi konflik yang melibatkan kekerasan bersenjata serta mengkonstruksikan proses perdamaian secara berkelanjutan yang dapat dijalankan secara mandiri oleh pihak-pihak yang bertikai. Secara umum kedua tujuan itu dapat dicapai dengan merancang dua kegiatan yaitu; Pertama, membangun early warning sytem. Kegiatan pertama adalah mengoperasionalkan indikator sistem peringatan dini (Widjajanto, 2001). Sistem peringatan dini diharapkan mampu menyediakan informasi dan ruang bagi pemangku kepentingan dalam resolusi konflik untuk memperkecil kemungkinan penggunaan kekerasan bersenjata dalam mengelola konflik. Sistem peringatan dini ini juga dapat dijadikan tonggak untuk melakukan preventive diplomacy yang melibatkan pemerintah, lembaga non pemerintah, kebijakan dan lembaga yang dapat mengurangi pertikaian antarkelompok yang dimanfaatkan untuk mengurangi penggunaan kekerasan dan bentuk represi lain dalam penyelesaian konflik.

Page 4: Artikel Konflik Dan Rekonsiliasi

Kedua, Mengembangkan mekanisme resolusi konflik lokal yang melibatkan sebanyak mungkin pemangku kepentingan non militer di berbagai tingkat eskalasi konflik. Resolusi konflik dapat melibatkan pihak-pihak dari Non-Governmental Organisations (NGOs), mediator internasional, dan institusi keagamaan.

Keempat tahap resolusi konflik yang telah diuraikan harus di lihat secara komprehensif dan satu kesatuan yang utuh—tidak dapat dijalankan secara terpisah. Kegagalan yang terjadi dalam proses penyelesaian konflik atau untuk mencapai tujuan di satu tahap akan berakibat pola pengelolaan konflik di tahap berikutnya. Tahapan tersebut mengilustrasikan bahwa resolusi konflik menempatkan perdamaian sebagai suatu proses terbuka yang tidak pernah berakhir. Perdamaian memerlukan upaya terus menerus untuk melakukan identifikasi dan eliminasi terhadap potensi kemunculan kekerasan struktural di suatu komunitas

REKONSILIASIYaitu resolusi konflik yang dicapai tidak sepenuhnya menyelesaikan konflik dan mengembalikan situasi sepenuhnya seperti sebelum konflik terjadi.Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Rekonsiliasi sendiri mempunyai arti:Rekonsiliasi : perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pd keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan;Konsiliasi : Mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan tersebut.