Artikel SD Di Jember

Embed Size (px)

Citation preview

Mampukah Jember Meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (HDI)?Oleh: Elida Novita

Upaya Pemerintah Kabupaten Jember untuk mengejar ketertinggalan indeks pembangunan manusia (IPM) yang berada pada posisi ke-33 dari 38 kabupaten/kota di Jatim merupakan hal yang perlu dihargai (Kompas, 15/8). IPM atau HDI (Human Development Index) adalah salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengetahui apakah pembangunan yang dilakukan suatu daerah telah mengikuti konsep Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). Sehingga wajar jika muncul pertanyaan apakah Pemerintah Kabupaten Jember telah menerapkan konsep Pembangunan Berkelanjutan? Sudah sejauh mana upaya yang dilakukan pemerintah Kabupaten Jember untuk menjalankan pembangunan berdasarkan tiga pilar sosial, ekonomi dan ekologi (lingkungan) secara seimbang? Tulisan ini mencoba untuk menguraikan bagaimana konsep pembangunan yang seimbang antara ketiga pendekatan sosial, ekonomi dan lingkungan dapat diterapkan di Kabupaten Jember, sehingga secara otomatis dapat meningkatkan HDI. Pembangunan berkelanjutan adalah suatu kerangka berpikir yang telah disepakati oleh 178 negara di dunia termasuk Indonesia pada KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992. Konsep pembangunan ini lahir karena permasalahan sumber daya alam yang semakin terbatas, rusaknya lingkungan dan kemiskinan akibat tidak meratanya hasil-hasil pembangunan. Pembangunan berkelanjutan merupakan upaya pelaksanaan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di masa kini tanpa harus menghalangi pemenuhan kebutuhan generasi mendatang. Program aksi dunia hasil Konferensi Rio untuk Pembangunan Berkelanjutan ini dikenal sebagai Agenda 21. Indonesia menekankan 4 area strategi pembangunan berkelanjutan yang meliputi (1) pelayanan masyarakat; (2) pengelolaan limbah; (3) pengelolaan sumberdaya tanah, dan (4) pengelolaan sumber daya alam (Mitchell dkk, 1997). Agenda 21 Indonesia ini kemudian diterapkan di masing-masing daerah berdasarkan karakteristik daerahnya menjadi Agenda 21 Daerah. Berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pemerintah daerah mempunyai hak, kewajiban dan tanggung jawab dalam menyelenggarakan pembangunannya sendiri. Dengan demikian, pemerintah daerah memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki. Dilain pihak, pemda juga berkewajiban menjaga keberlanjutan pembangunan. Kelestarian siklus sumberdaya alam yang terbarukan harus dijaga dan dipelihara, sedangkan yang tak terbarukan harus dimanfaatkan searif mungkin. Masyarakat Kabupaten Jember sekitar 80% berada di daerah perdesaan dengan karakter penghidupan penduduk yang bersumber dari pertanian. Berdasarkan data profil Kabupaten Jember tahun 2006, sekitar 50% masyarakat Jember. Bahkan pada tahun 2004, sektor pertanian menyumbang 47,94% PDRB. Pertumbuhan real dari sektor pertanian terhadap PDRB sekitar 4.02% per tahun. Tetapi yang perlu menjadi catatan disini, bahwa PDRB hanyalah indikator yang memiliki keterbatasan. PDRB berusaha menyatakan jumlah dari semua barang dan jasa yang dihasilkan suatu daerah dalam nilai uang. Tetapi nilai PDRB ini tidak dapat menggambarkan proses ekonomi yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari yang tentunya berbeda antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Nilai ini tetap digunakan hanyalah untuk memudahkan melakukan perkiraan terhadap keadaan makmur-miskin

suatu daerah dan penduduknya. Sehingga perlu ditambah indikator lain terutama yang berkaitan dengan indikator pembangunan berkelanjutan. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana pembangunan yang dilakukan dapat meningkatkan hajat hidup masyarakat adalah indikator kualitas hidup manusia. Manusia dikatakan berkualitas apabila telah terpenuhi kebutuhan dasarnya seperti pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan. Indikator yang sering digunakan untuk menilai pengembangan kualitas hidup manusia adalah HDI (Human Development Index) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM). HDI atau IPM berusaha mengartikan definisi kesejahteraan secara lebih luas dari sekedar PDB atau PDRB. HDI memberikan suatu ukuran gabungan tiga dimensi tentang pembangunan manusia yang meliputi panjang umur dan menjalani hidup sehat (diukur dari usia harapan hidup), terdidik (diukur dari tingkat kemampuan baca tulis orang dewasa dan tingkat pendaftaran di sekolah dasar, lanjutan dan tinggi) dan memiliki standar hidup yang layak (diukur dari paritas daya beli/PPP, penghasilan). HDI memberikan sudut pandang yang lebih luas untuk menilai kemajuan manusia serta meninjau hubungan yang rumit antara penghasilan dan kesejahteraan. Pemerintah Kabupaten Jember telah menetapkan 4 sasaran RPJMD meliputi sektor pertanian, pendidikan, kesehatan dan peningkatan infrastruktur perdesaan. Empat sasaran RPJMD ini hendaknya mendukung 4 area Agenda 21. Pertama, agenda pelayanan masyarakat yang mewujudkan prinsip sosial-ekonomi pembangunan berkelanjutan hendaknya menjadi acuan sasaran di sektor pendidikan dan kesehatan karena 3 dari 6 sub agenda pertama yaitu pengentasan kemiskinan, pengolahan dan peningkatan kesehatan dan dinamika kependudukan merupakan upaya peningkatan taraf hidup masyarakat melalui pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Pendidikan merupakan bagian dari agenda pemberdayaan masyarakat secara keseluruhan, karena upaya-upaya pelibatan masyarakat dalam berbagai pilihan pengelolaan lingkungan tidak akan efektif tanpa meningkatkan pendidikan dasar masyarakat Jember. Upaya pemerintah Jember seperti program pemberantasan buta aksara perlu dipertahankan hingga masyarakat Jember benar-benar bebas dari buta aksara. Peningkatan dapat dilakukan dengan menanamkan pendidikan lingkungan untuk masyarakat. Upaya-upaya pengelolaan lingkungan juga akan kurang efektif apabila sebagian besar masyarakat masih berada di bawah garis kemiskinan. Sebagai contoh apabila kita ingin melakukan pelarangan pengambilan kayu kepada masyarakat miskin di sekitar hutan demi memenuhi kebutuhan dasar mereka, akan sulit terwujud apabila masyarakat tidak memahami bahwa hasil-hasil hutan memiliki nilai ekonomis tinggi apabila hutan tetap dijaga kelestariannya. Mereka harus diberi pemahaman dan pendidikan bagaimana memanfaatkan hasil hutan baik kayu maupun non kayu dengan tetap menjaga keberlangsungan ekosistem hutan. Dengan demikian, kebutuhan hidup mereka dapat terpenuhi dan hutan tetap terjaga. Faktor kesehatan dan pendidikan merupakan salah satu indikator dalam penilaian HDI. Kesehatan merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap kualitas setiap individu. Indikator yang sering digunakan adalah penggunaan air bersih, frekuensi dan korban penyakit menular serta rasio penduduk terhadap jumlah dokter. Berdasarkan data tahun 2005, perbandingan antara tenaga medis (dokter, bidan dan perawat) dengan jumlah penduduk di Kabupaten Jember adalah 1:2481 (Jember dalam Angka, 2005).

Jumlah tenaga medis masih jauh dibandingkan dengan jumlah penduduk yang terutama tersebar di daerah perdesaan. Selain itu masih tingginya tingkat rawat inap pasien berpenyakit diare dan pencernaan di RSU sekitar 40-70% menunjukkan masih rendahnya pemahaman masyarakat untuk menjaga kesehatan dan lingkungannya. Upaya pelayanan kesehatan gratis di Puskesmas pun perlu dievaluasi apakah telah menjangkau keseluruhan masyarakat hingga pelosok desa, mengingat masih terbatas dan tidak meratanya fasilitas kesehatan dan tenaga medis di Kabupaten Jember. Kedua, Agenda 21 berikutnya adalah pengelolaan limbah yang dirumuskan untuk memperbaiki kondisi dan kualitas lingkungan hidup manusia dengan 5 sasaran utama, yakni: (1)perlindungan atmosfir, (2) pengelolaan bahan kimia beracun, (3) pengelolaan limbah B3, (4) pengelolaan limbah radioaktif dan (5) pengelolaan limbah padat dan cair. Persoalan pengelolaan limbah di Indonesia secara umum belum sepenuhnya dapat ditangani terkait dengan masih kurangnya kapabilitas kelembagaan yang menangani, instrumen peraturan dalam mendukung pelaksanaan dan pengelolaan limbah. Permasalahan pengelolaan limbah yang utama di Kabupaten Jember adalah pengelolaan limbah padat dan cair serta perlindungan atmosfir. Masalah perlindungan atmosfir terkait dengan polusi udara terutama di daerah kota yang dihasilkan dari asap kendaraan bermotor. Apabila dikaitkan dengan isu pemanasan global saat ini, maka CO2 sebagai salah satu gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran bbm merupakan sumber pencemar dominan bagi pemanasan global. Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang tidak diiringi dengan peningkatan jumlah tumbuhan atau hutan yang mampu mengabsorpsinya menyebabkan terjadinya peningkatan suhu bumi. Oleh karena itu perlu ditingkatkan usaha-usaha penjagaan hutan di Jember (sekitar 36%) sebagai penyerap CO2. Usaha lain misalnya dengan perluasan taman kota. Pemilihan tanaman untuk taman kota hendaknya yang memiliki kemampuan tinggi untuk menyerap emisi gas buang kendaraan bermotor. Masalah penanganan sampah terutama di kota merupakan bagian dari usaha pengelolaan limbah padat. Sistem controlled landfill dan open dumping yang dijalankan saat ini di TPA Pakusari perlu dievaluasi sejauh mana kontaminasi terhadap air tanah karena proses dekomposisi sampah organik. Volume sampah yang masuk ke TPA ini perharinya mencapai 450m3-500m3 yang sebagian besar adalah sampah organik. Pertumbuhan penduduk setiap tahunnya tentu akan meningkatkan volume sampah yang masuk ke TPA, sehingga perlu dipikirkan upaya lain untuk menggantikan teknologi penanganan sampah saat ini sebelum permasalahan sampah menjadi hal yang kritis seperti yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia seperti Surabaya, Bandung dan Jakarta. Perlu diupayakan tindakan pemanfaatan kembali sampah kota secara berkelanjutan sebagai sumber energi melalui daur ulang sampah yang menghasilkan kompos dan biogas. Tetapi apabila dimanfaatkan untuk kompos, tingginya kandungan logam berat (Hg, Pb dan Cd) pada sampah yang melebihi ambang batas perlu dipertimbangkan hanyalah untuk tanaman non pangan (Pujiati dkk, 2006). Oleh karena itu perlu dilakukan pemisahan antara sampah organik dan anorganik sebelum masuk ke TPA. Perubahan pola membuang sampah dengan memilah terlebih dahulu sampah organik dan anorganik merupakan upaya pendidikan lingkungan terhadap masyarakat. Bahkan masyarakat terutama di perkotaan dapat mulai menerapkan konsep zero waste (sampah nol) di rumah

tangganya masing-masing, melalui pengkomposan sampah daun-daun di lingkungannya. Peran PKK menjadi hal yang ditunggu. Proses pendidikan masyarakat menjadi hal yang penting. Merubah kebiasaan membuang sampah di sungai perlu dimulai dari sekarang. Mengingat stigma bahwa sungai adalah tempat buangan masih terasa di dalam masyarakat kita. Sungai Bedadung yang membelah kota Jember perlu dijaga fungsinya mengingat PDAM saat ini telah memanfaatkan airnya sebagai salah satu sumber air minum yang disalurkan ke rumahrumah. Pencemaran sungai akan meningkatkan biaya pengolahan air dan selanjutnya tidak menutup kemungkinan bebannya ditanggung oleh masyarakat dengan naiknya rekening air PDAM. Apabila kita berjalan-jalan di sekitar alun-alun Jember, kita mungkin dapat menghitung berapa tempat sampah yang ada sudah berfungsi sebagaimana mestinya. Mungkin kita lebih mudah mendapatkan sampah berserakan di luar tempat sampah daripada berada di tempatnya? Ataukah masyarakat sendiri belum memahami mana sampah basah atau organic atau sampah kering seperti tulisan yang ada di tempat sampah? Pertanyaan lain adalah MAUKAH ANDA MENYIMPAN TERLEBIH DAHULU PLASTIK BUNGKUS MAKANAN ANDA DI TAS ATAU DI KANTUNG SEBELUM ANDA MENEMUKAN TEMPAT SAMPAH? Pemahaman bahwa suatu hal kecil yang kita lakukan terhadap lingkungan akan memiliki dampak global, perlu ditekankan sebagai bagian dari pendidikan lingkungan. Kesadaran bahwa apa yang kita lakukan hari ini adalah bagian dari investasi untuk generasi anak cucu kita, merupakan konsep pembangunan berkelanjutan. Ingatlah slogan yang berbunyi: Berfikir Global dan Bertindak Lokal, yang artinya upaya-upaya kecil setempat di tingkat lokal harus dilakukan dalam kerangka berfikir besar yang merujuk pada kepentingan dunia pada umumnya. Usaha pengelolaan sumberdaya tanah sebagai agenda ketiga dirumuskan dalam; (1) penatagunaan sumberdaya tanah, (2) pengelolaan hutan, (3) pengembangan pertanian dan perdesaan dan (4) pengelolaan sumber daya air. Hal ini berarti bahwa usaha pengelolaan sumberdaya tanah merupakan usaha terpadu antara keempat unsur tersebut, tidak boleh dilakukan parsial karena keterkaitan yang erat diantaranya. Keterkaitan berbagai instansi yang ada di Jember untuk menangani keempat komponen tersebut haruslah diupayakan. Sebagai contoh adalah upaya manajemen daerah aliran sungai (DAS) Bedadung yang meliputi keempat unsur tersebut mulai hulu hingga hilir. Ketidakmampuan daerah hulu menjaga daya dukung lingkungan akan mempengaruhi kondisi daerah hilir. Bencana longsor dan banjir bandang yang terjadi di Jember awal tahun 2006 adalah salah satu contoh yang menunjukkan bahwa pengelolaan hutan, penatagunaan sumberdaya tanah di hulu yang parsial (kawasan Gunung Argopuro) menimbulkan dampak terhadap daerah hilir. Sistem penanaman kopi yang monokultur di kawasan perkebunan milik PDP ternyata kurang melindungi tanah yang rentan longsor (lerengnya curam > 40 derajat) terhadap curah hujan yang tinggi intensitasnya (yaitu 178 mm/hari dari curah hujan normal 32 mm/hari). Sehingga memicu terjadinya longsor ke Sungai Dinoyo dan Kali Putih di Jember. Hal ini didasarkan pada hasil audit BPK terhadap pengelolaan dan pengendalian lingkungan di daerah aliran sungai (DAS) Bedadung, Jember, Badan Pengelola DAS Sampean, serta Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Timur II dan

sejumlah instansi terkait di Surabaya, Malang, Bondowoso dan Jember, Jawa Timur (Opini Indonesia, 2006) Permasalahan di atas terkait dengan agenda keempat yaitu pengelolaan sumberdaya alam yang meliputi (1) konservasi keanekaragaman hayati, (2) pengembangan bioteknologi, dan (3) pengelolaan terpadu pesisir dan lautan. Usaha pemerintah di sector pertanian dan peningkatan infrastruktur perdesaan hendaknya berusaha mewujudkan agenda ketiga dan keempat pembangunan berkelanjutan tersebut. Pertanian yang didukung perkebunan dan kehutanan secara berkelanjutan akan meningkatkan PAD Kabupaten Jember secara sinambung tanpa menimbulkan bencana terhadap lingkungan. Dalam konteks ini, aspek penataan ruang juga menjadi penting untuk memfasilitasi proses-proses pemanfaatan dan pelestarian fungsi-fungsi lingkungan. Pengembangan sistem pendataan dan informasi sumberdaya alam menjadi syarat mutlak berbagai upaya pengelolaan sumberdaya alam. Sebagai contoh, Pemerintah Kabupaten Jember perlu menghitung keberadaan sumberdaya alam secara ekonomis, tidak hanya nilai ekonomi langsung yang dihasilkan dari suatu obyek misal hutan, tetapi juga nilai ekonomi dari manfaat yang dihasilkan oleh hutan tersebut terhadap lingkungan sekitarnya. Sehingga apabila hutan tersebut dikonversi ke lahan pertanian ataupun ditebang, maka pengguna hendaknya membayar tidak hanya nilai ekonomi dari pohon yang ditebang tetapi juga nilai ekonomis dari manfaat yang selama ini diberikan oleh hutan untuk lingkungan. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa setiap pemerintah daerah harus secara inovatif merumuskan bentuk-bentuk pilihan pengelolaan lingkungan yang sesuai dengan kondisi dan persoalan di daerahnya. UU Pengelolaan Lingkungan Hidup No.23 Tahun 1997 memberikan kewenangan pengelolaan lingkungan kepada daerah agar mampu mengembangkan model-model pengelolaan lingkungan yang paling efektif. Upaya-upaya terpadu pengelolaan lingkungan hanya dapat dilakukan apabila difasilitasi oleh rencanarencana ruang yang jelas. Hal ini dijelaskan di dalam UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pembangunan daerah Jember yang tidak hanya berorientasi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tetapi juga melakukan perimbangan antara aspek ekonomi, sosial budaya, dan ekologis dengan memperhatikan kondisi ruang dan Sumber Daya Alam (SDA) yang tersedia akan membantu usaha peningkatan HDI secara signifikan. Pada saat yang sama, pengamanan dan penegakan hukum juga hendaknya dioptimalkan. Tentu kita tidak menginginkan bencana longsor dan banjir bandang yang pernah terjadi terulang lagi, sehingga Pemerintah bersama-sama masyarakat Jember perlu melakukan usaha perbaikan kembali, konservasi terhadap lahan-lahan kritis, mengembalikan status hutan lindung, merubah pola eksploitasi terhadap hutan secara berkelanjutan, merubah pola perkebunan yang monokultur menjadi polikultur sehingga hutan di Kabupaten Jember dapat menjamin keberlangsungan siklus hidrologi yang terkendali di saat musim hujan dan terjamin ketersediaan air di saat musim kemarau. Masyarakat Jember yang memiliki ciri khas perpaduan dari berbagai suku (mayoritas Jawa dan Madura) dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian (60%) melahirkan karakteristik masyarakat yang dinamis, kreatif, sopan dan ramah tamah. Kesuburan alam Jember yang dibentuk oleh serangkaian erupsi beberapa gunung berapi yang berada di sekitar Jember dan proses sedimentasi berbagai sungai yang mengalir mendukung keberhasilan sistem pertanian dan perkebunan masyarakat Jember sejak

dahulu. Penerapan pertanian di masa orde baru melalui Panca Usaha Tani telah terbukti memiliki sisi buruk atau eksternalitas negatif, misalnya erosi tanah, punahnya keanekaragaman hayati, pencemaran air, bahaya residu bahan kimia pada hasil-hasil pertanian dan lain-lain. Oleh karena itu merupakan suatu kelemahan apabila konsep pertanian yang digunakan saat ini masih mengacu pada pola pertanian yang tidak ramah lingkungan. Selain itu kebijakan pemberian subsidi harga pupuk dan obat-obatan pada masa orde baru ternyata membuat petani menjadi tergantung terhadap keberadaan pupuk dan obat-obatan. Padahal secara jangka panjang, akibat penggunaan pupuk dan obatobatan buatan tersebut terhadap tanah adalah kemampuan tanah menjadi jenuh dan tidak mampu lagi mendukung pertanian sehingga produktivitas menurun dan petani dirugikan. Kegagalan pertanian modern (masa orde baru) memaksa para pakar pertanian untuk menggali kembali konsep pengelolaan pertanian yang lestari, pertanian organik yang ramah lingkungan yang sebenarnya telah diterapkan oleh nenek moyang kita. Sistem pertanian ini dikenal dengan konsep pertanian berkelanjutan yang berusaha mempertimbangkan tiga aspek yaitu ; (1) kesadaran lingkungan; (2) bernilai ekonomis dan (3) berwatak sosial atau kemasyarakatan. Menurut Zamora (1995), terdapat 5 kriteria untuk mengelola suatu sistem pertanian menjadi berkelanjutan, yaitu (1) kelayakan ekonomis, pertanian harus mampu menjamin kehidupan ekonomi yang lebih baik bagi petani dan keluarganya; (2) bernuansa dan bersahabat dengan ekologi, ada integrasi antara pertanian dengan sistem ekologi secara luas dan memusatkan perhatian pada upaya perawatan dan perbaikan sumber daya pertanian; (3) diterima secara sosial, sistem pertanian yang menjunjung tinggi hak-hak individu petani, baik sebagai pelaku utama maupun sebagai bagian dari masyarakat; (4) kepantasan secara budaya, sistem pertanian mampu memberikan pertimbangan dengan nilai-nilai budaya termasuk keyakinan agama dan tradisi; dan (5) pendekatan sistem dan holistic, sistem pertanian dengan pendekatan multidisiplin memasukkan semua aspek biofisik, sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta mempertimbangkan interaksi dinamis antara kegiatan pertanian dan kegiatan di luar pertanian. Kendala pertanian berkelanjutan saat ini terutama berkaitan dengan kendala sumber daya manusia (tingkat pendidikan, kesehatan, produktivitas kerja dan kurangnya motivasi untuk maju), kendala sumber daya alam yang saat ini semakin turun kualitasnya, dan kendala aplikasi teknologi praktek usaha tani yang mengancam kelestarian lingkungan. Oleh karena itu peran pemerintah Kabupaten Jember dalam rangka menjalankan program peningkatan sektor pertanian diperlukan. Terutama untuk mengurangi kendala aktivitas pertanian berkelanjutan yang berkaitan erat dengan aspek pendidikan, kesehatan dan lingkungan. Peran penyuluhan pertanian perlu dibangkitkan kembali. Pemerintah Jember dapat memilih model sistem pertanian berkelanjutan yang akan dilaksanakan, di antaranya adalah sistem pertanian organik, sistem pertanian terpadu, sistem pertanian masukan luar rendah (LEISA) dan sistem pengendalian hama terpadu. Saat ini sebenarnya telah banyak masyarakat di Jember yang menerapkan salah satu model sistem tersebut, hanya dalam pelaksanaannya masih sendiri-sendiri sehingga hasilnya belumlah memadai. Oleh karena itu diperlukan keinginan politik dari Pemerintah Jember untuk memulai menerapkan sistem pertanian berkelanjutan sebagai bagian dari usaha peningkatan kualitas hidup masyarakat Jember secara konsisten, yang akhirnya mampu meningkatkan nilai HDI Jember. Peran masyarakat juga diharapkan terutama dalam memilih produk yang dihasilkan dari kegiatan usaha bersifat ramah lingkungan. Usaha

ini diharapkan mampu mendukung salah satu prioritas pembangunan tahun 2008 yang berorientasi pada revitalisasi pertanian, perikanan, kehutanan dan pembangunan perdesaan. ELIDA NOVITA Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB dan staf pengajar di Universitas Jember