Upload
deby-irawan
View
515
Download
28
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ujud Gaib
Perbincangan masalah asal-usul kepercayaan kepada ujud yang gaib
termasuk masalah yang sangat penting untuk diselidiki dalam ilmu
perbandingan agama. Pengertian Ujud itu sendiri secara bahasa adalah
berasal dari bahasa arab yaitu َم�ْو�ُج�ْو�ٌد� ( maujuudun) yang memilki arti
Ada.1 Sedangkan kata Gaib berasal dari bahasa arab yaitu
�اٌب� َي yang memiliki arti tidak hadir atau tidak ada.2 Dari (Giyaabun)ِغ�
pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Ujud Gaib secara
bahasa adalah sesuatu yang ada namun tidak tampak oleh mata manusia.
B. Hubungan Ujud Gaib dengan kepercayaan
Kepercayaan keagamaan di dasarkan pada adanya kekuatan gaib
yaitu tuhan yang berada di atas alam ini (supranatural) atau yang ada di
balik alam fisik, Tuhan, roh dan semua yang berbentuk gaib adalah hal hal
yang ada di luar alam nyata, kepercayaan pada kekuatan gaib dalam ilmu
antropologi lebih dikenal dengan sebutan supranatural beings yang
merupakan inti dari kepercayaan keagamaan.
M. Amin Abdullan dalam Metodologi Studi Agama juga
menyinggung tentang supranaturan beings. Dia menyatakan bahwa langit
1 M. Kasir Ibrahim, Kamus Arab, (Surabaya: Apollo) hml. 221.2 Ibid., hlm. 168.
3
dalam keluasannya yang tanpa batas, kehadirannya yang abadi, dan
kemegahannya yang menagungkan, secara khusus memberikan sugesti
yang sangat kuat kepada jiwa manusia aka adanya keagungan, kemuliaan
yang tiada tara, serta kekuatan yang berdaulat dan misterius.3
Hendropuspito dalam Sosiologi Agama mengatakan bahwa
manusia hidup hanya untuk 2 hal, yaitu kebahagiaan “sekarang” dan
“kebahagiaan nanti”. Untuk mencapai kedua hal tersebut mereka
melakukan 2 cara, yaitu melalui usaha religius dan usana nonreligius.
Usaha nonreligius adalah usaha yang dilakukannya dengan bekerja sehari
selayaknya pekerjaan dengan menggunakan kekuatan manusiawi sendiri.
Sedangkan usaha religius di lakukan saat usaha nonreligius dipandang
tidak cukup untuk memenuhi tuntutannya.
Dengan kata lain, dimana manusia tak berdaya sama sekali untuk merebut kebahagiaan itu, di situ manusia menjalankan usaha religius. Ini berarti bahwa manusia bukan lagi menggunakan kekuatan sendiri, tetapi “tenaga lain” yang dipercayai berada di dunia lain yang tak dapat dijangkau oleh pancaindera, namun dirasa bisa membantunya.4
Kepercayaan kepada hal gaib pada Tuhan sebagai pokok
kepercayaan beragama, seperti yang telah diungkap diatas juga menuntut
kepercayaan kepada adanya kehidupan setelah mati atau kehidpan akhirat,
kehidupan akhirat juga di gambarkan manusia dan masyarakat penganut
berbagai agama dengan berbagai bentuk yang berbeda, Hindu misalnya
menggambarkannya dalam bentuk secara terus –menerus sampai roh
3 M. Amin Abdullah, Metodologi Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000) hlm. 163.
4 Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Jakarta: Kanisus, 1990) hlm. 32.
4
tersebut benar -benar suci dan kembali bersatu dengan Tuhan yang
Mahakuasa, sedangkan dalam Islam seperti yang telah kita ketahui bahwa
setelah mati maka manusia akan menjalani proses hisab yang kemudian
menentukan proses kehidupan di akhirat nanti.
Kepercayaan agama tidak hanya mengakui keberadaan benda-benda dan mahkuk-mahluk sakral tetapi seringkali memperkuat dan mengkokohkan keyakinan terhadapnya. Agama juga mencoba menjelaskan hakikat dan asal usul benda dan mahluk-mahluk sakral tersebut, dan bahkan boleh dikatakan bahwa agama menyediakan peta dan petunjuk untuk mencapai alam gaib.5
Dengan demikian kepercayaan suatu masyarakat kepada yang gaib
bervariasi dari yang tidak punya asal usul manusia sampai yang
dipercayai berasal dari manusia, yang tidak dari manusia adalah Tuhan
yang maha kuasa, mahluk ruhaniah seperti jin, malaikat, sedangkan yang
dihubungkan dengan manusia seperti ruh nenek moyang, ruh, tuhan arwah
nenek moyang mereka sendiri.
C. Teori Asal-usul Kepercayaan kepada Ujud yang Gaib
a. Teori Evolusi
Seperti yang dijelaskan dalam Jirhanuddin: 2010,
Membicarakan teori evolusi, tidak bisa lepas dari peran para
antropolog. Menurut mereka, untuk menentukan kapan agama itu
muncul memang sulit, para antropolog cenderung berpendapat
keberadaan agama itu sama tuanya dengan keberadaan manusia itu
5 Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada) hlm. 11.
5
sendiri. Menguti dari Jack Finegan dalam Jirhanuddin: 2010
mengatakan :
As we look into the remoteness of prehistoric antiquity it islam not possible to diseern any absolute beginning of religion. Rather religion may be said to be as man himself...( Sebagaimana kita melihat kembali kepada peninggalan Zaman prasejarah , maka adalah sulit untuk menemukan permulaan yang pasti dari agama. Lebih baik agama dikatakan sama tuanya dengan manusia...)6
Apabila kita cerna dari pemaparan di atas, dapat kita artikan
bahwa agama telah ada sejak manusia yang pertama di bumi ini.
Lalu kemudian hal tersebut kembali memunculkan pertanyaan,
kapankah manusia pertama ada di bumi? Dikutip dari Mahjunir
dalam Jirhanuddin; 2010, para antropolog membagi tipe kehidupan
manusia kepada tiga bentuk masing-masing berurutan zamannya:
I. Pithecantropus Erectus
II. Homo Neanderthalensis
III. Homo Sapiens7
Para antropolog kebanyakan mempercayai bahwa
Pithecantropus Erectus merupakan manusia pertama yang ada di
bumi. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa Pithecantropus
Erectus sudah memiliki agama. Namun fakta di lapangan berkata
lain.
Tidak terdapat kuburan peninggalan mereka, sebab mayat-mayat hanya dibiarkan begitu saja, tidak dikubur ,
6 Jirhanuddin, op.cit., hlm. 35.7 Jirhanuddin, op.cit., hlm. 36.
6
tulang tengkorak berserakan ( eschatology belum ada), begitu pula dengan indikasi-indikasi penyembahan lainnya seperti gambar-gambar hewan , patung, dan sebagainya tidak ditemukan, Sehingga kegiatan-kegiatan keagamaan dapat diyakini tidak ada.8
Kegiatan keagamaan dikatakan mulai ada pada masa Homo
Neanderthalensis. Manusia yang sudah memiliki bentuk yang
serupa dengan manusia pada zaman sekarang ini sudah memiliki
pola pikir yang berkembang, peradaban, serta kebudayaan.
Ada indikasi tentang keberagamaan mereka ( manusia tipe
Homo Neanderthalensis) ditemukannya kuburan. Kuburan ini
banyak ditemukan , baik di Eropa, Asia, ataupun di Afrika.9
Selanjutnya dapat kita teliti dalam kandungan al-Qur’an,
terutama pada Surat al-Maidah ayat 31:
Artinya : “ Kemudian Allah mengutus seekor burung gagak mengali tanah untuk diperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya dia menguburkan mayat saudaranya. Qabil berkata: “Oh, celaka aku! Mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, sehingga Aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini ?”Maka jadilah dia termasuk orang yang menyesal.”10
Ayat diatas menjelaskan bahwa manusia bisa mengubur jenazah
saudaranya dimulai pada masa Qabil, seorang putra nabi Adam AS,
8 Ibid, hlm. 36.9 Ibid, hlm. 37.10 Departemen Agama RI, Al-Qur’anulkarim Terjemah Perkata, (Bandung:
Syaamil Al-Qur’an, 2007) hlm. 112.
7
yakni setelah terjadi peristiwa pertumpahan darah dengan
saudaranya Habil. Selain itu, lebih dahulu lagi, manusia
mempunyai pengetahuan baru setelah nabi Adam AS diberi
pelajaran oleh Tuhan. Hal ini dapat dipahami seperti yang
dijelaskan Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 33:
Terjemahannya:
Dia (Allah) berfirman: "Wahai Adam! Beritahukanlah kepada mereka nama-nama itu!" Setelah ia menyebut nama-namanya, Dia (Allah) berfirman: "Bukankah telah Aku katakan kepadamu, bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan Aku mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?"11
Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa
pengetahuan baru ada pada zaman nabi Adam AS. Dan prosesi
penguburan jenazah baru ada pada zaman putra nabi Adam AS
tersebut. Apabila kita baca kembali temuan para antropolog di atas,
bahwa prosesi penguburan baru ada pada masa Homo
Neanderthalensis. Ini timbul dugaan yang kuat , bahwa fase Homo
Neanderthalensis itu diawali oleh Adam as.
Untuk menempatkan manusia bertipe Homo Neanderthalensis sebagai bentuk lanjutan dari evolusi tipe manusia sebelumnya (Pitecanthropus Erectus ), terdapat kesulitan yang tidak ringan. Jarak masa yang sangat jauh. Pitecanthropus Erectus menghuni planet kita ini sekitar 1.000.000 sampai 700.000 tahun yang silam. Sedangkan Homo Neanderthalensis hanya ada pada sekitar 100.000
11 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 6.
8
tahun yang lalu. Begitu jauh jarak anatara keduanya, namun tidak ditemukan suatu tipe lain yang menengahi kedua tipe di atas ( sebagai perantara). Sehingga para antropolog pendukung evolusionisme itu terpaksa memakai istilah “ The Missing Link”, maksudnya perantaranya hilang. Atas dasar analisis ini ,masih luas kesulitanm untuk mengatakan bahwa makhluk tipe Pitecanthropus Erectus itu adalah benar-benar manusia.12
Karena itu pula dapat disimpulkan, bahwa manusia yang pertama
di dunia adalah manusia tipe Neanderthal itu dan agama yang
pertama adalah agama orang-orang bertipe Neanderthalensis itu.
Sebagai versi agama yang sangat awal itu, tentulah bentuknya amat
sederhana, disamping indikasi-indikasi awal ritual dari mereka,
kendati ada namun sangat langka.
Untuk memperjelas keterangan tentang keagamaan mereka, di
bawah ini diketengahkan penjelasan antropog Adamson E. Hoebel
dan Jack Finegan dalam Jirhanuddin; 2010, antara lain:
Dalam kuburan ditemukan peralatan kehidupan seperti beberapa alat untuk bernuru, periok,dan alat-alat untuk menggali. Memperhatikan bentuk dan isis kuburan tersebut, Jack Finegan memberi komentar setelah memperhatiakn bentuk dan isi kuburan itu sebagai berikut: “ Man believed is life after death. Thought that departed would continued to lead atau least to some extent comparable to that lived here. In that life there would be need to have objects and implements like those which had been of service here.’’ ( Manusia telah percaya kepada adanya hidup sesudah mati. Dia berpikiran bahwa orang yang telah meninggal dunia akan terus hidup lagi pada alam yang agak berbeda dengan dihuni sekarang. Dalam kehidupan itu, orang memerlukan lagi objek-objek kehidupan dan peralatan-peralatan). Selain dari kuburan sebagai bukti adanya kehidupan beragama pada tipe Neanderthalensis, juga dapat diketahui adanya bukti lain
12 Jirhanuddin, op.cit., hlm. 38-39.
9
sperti adanya atau ditemuinya gambar-gambar/ lukisan binatang tertentu pada dinding dinding gua.13
Jadi disamping masyarakat ketika itu mempercayai
pengkultusan/pemujaan terhadap roh orang mati (animisme), juga
ditemui adanya penyembahan terhadap binatang tertentu
(totemisme).
Apa yang diuraikan di atas tadi merupakan gambaran singkat dari
teori evolusi. Dan kalau diamati dari sejarah kehidupan manusia
yang melalui tiga tipe seperti dikemukakan diatas maka bentuk
keberagamaan bisa diurut sebagai berikut: bermula dari Animisme,
Dinamisme, Politheisme, dan akhirnya Monotheisme. Adapun
tokoh teori evolusi adalah Edward Burnett Tylor ( E.B Tylor).
Teori lainnya yang sering dikemukakan oleh penyelidik ilmu
perbandingan agama dalam menentukan keberagamaan manusia
dipermukaan bumi ini adalah teori revelation.
b. Teori Revelasi
Kalangan agamawan berpendapat bahwa agama itu berasal
dari Pencipta yang memberikan bimbingan kepada manusia
pertama dan manusia pertama itu mewariskan kepada turunannya.
Namun seiring berjalannya waktu, ajaran tersebut terjadi beberapa
penyimpangan oleh keturunan manusia berikutnya.
13 Jirhanuddin, op.cit., hlm. 39.
10
Sebagian tetap taat kepada bimbingannya dan sebagian berangsur-angsur menyimpang, menyangkal, lalu mengemukakan ajaran-ajaran yang menyimpang dan diseesuaikan dengan selera pada tahap masa tersebut itulah kodrat Maha Pencipta itu melahirkan pembaharu agama pada suatu saat.14
Untuk keberadaan manusia pertama yang diturunkan ke
bumi ini, ada beberapa nama yang digunakan oleh beberapa
keyakinan agama yang ada. Ada beberapa yang memiliki
nama/sebutan yang sama, ada pula yang berbeda.
Agama Brahma memanggil Manu Pertama itu dengan Sharatupa. Agama Yahudi beserta Agama Kristen dan agama Islam memanggil Manu Pertama itu dengan Adam. (bisa jadi karena agama Yahudi, Kristen dengan agama Islam asalnya satu rumpun sehingga ada kesamaan dalam memandang Manu Pertama = penulis).15
Prof. Andrew Lang dalam dalam Jirhanuddin; 2010,
mengatakan bahwa agama pada stadium pertama sudah
monotheisme. Sarjana lain yang mendukung pendapat tersebut
antara lain Alfred Bertholct dan Albert C. Kemudian sarjana
muslim seperti Muhammad Abduh, Ameer Ali, dan Muhammad
Iqbal juga berpendapat bahwa monotheisme adalah agama pada
stadium awal. Muhammad Abduh menambahkan tidak ada evolusi
dalam konsep aqidah Islam. Evolusi hanya ada di bidang hukum
Islam saja.
Tokoh lainnya yang juga mendukung teori wahyu adalah
Wilhelm Schmidt, ia adalah seorang guru besar Ethnology dan
14 Jirhanuddin, op.cit., hlm. 41.15 Ibid., hlm. 42.
11
Philology, ia banyak menganalisis teori-teori asal-usul agama.
Hasilnya menunjukkan bahwa keberagamaan manusia pada
stadium awal sudah monotheisme.
Menurut Carl Jung dalam Jirhanuddin; 2010 : kehidupan
manusia primitif itu senantiasa diliputi oleh ketakutan terhadap
kodrat-kodrat alamiah yang tidak dapat dipahaminya dan
ketakutannya itu membenam di bawah sadar, lalu melahirkan
tanggapan tentang hal-hal yang gaib-gaib, kemudian ia berikhtiar
untuk membujuk kekuatan-kekuatn tersebut dengan berbagai
upacara agar kekuatan tersebut tidak mendatangkan bencana
terhadap dirinya, maupun bagi sumber kehidupannya.
Jikalau Manu Pertama itu dianggap lebih tua, maka
angkatan Crogmagnon dan angkatan Neanderthal itu adalah
kelompok yang terbuang dari lingkungannya. Kapan manusia
pertama diciptakan oleh Kodrat Maha Pencipta masih menjadi
perdebatan.
Holy Bible pada bagian Geneses (kitab kejadian), yang merupakan bagian dari kitab suci agama Yahudi dan juga dipandang suci oleh pihak Kristen, memperinci usia Adam. Literatur pihak Yahudi maupun pihak Kristen berpendirian bahwa Adam itu diciptakan lebih kurang 4.000 tahun sebelum Masehi atau 4 (empat) abad sebelum Masehi.16
Jadi antara penciptaan Adam dengan manusia primitif, (jika
melihat pendapat Jung diatas) yang tengkorak-tengkorak manusia
16 Jirhanuddin, op.cit., hlm. 44.
12
gua ditemukan menunjukkan masa lebih kurang 45.000 tahun
sebelum Masehi terdapat jarak antara masa yang cukup lebar yakni
kurang lebih 41.000 tahun sebelum Masehi (41 abad). Hal ini
tentunya menunjukan ketidak singkronan antara fakta di lapangan
dengan apa yang tertulis dalam Kitab Kejadian tersebut.
Ada lagi pendapat lain yang mengatakan bahwa berdasarkan kenyataan didalam bidang kepurbakalaan (Arkeologi), bahwa tengkorak-tengkorak yang lebih muda dari tengkorak-tengkorak angkatan Cromagnon dan angkatan Neanderthal itu yakni tengkorak-tengkorak yang berusia 30.000 ataupun 20.000 tahun ataupun 15.000 tahun sebelum Masehi. Hal yang demikian membuktikan suatu jurang menganga antara angkatan Cromagnon dan angkatan Neanderthal dengan penciptaan Adam.17
Berbeda dengan Holy Bible, Al-Qur’an tidak menyebutkan
tahun tentang penciptaan Adam. Dalam Al-Qur’an hanya ditemui
garis-garis besar (ayat-ayat) tentang hal-hal yang berkaitan dengan
kisah Adam. Kita dapat melihat dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah
ayat 30-33:
Potongan ayat 30, berbunyi :
Terjemahannya:
“Aku menjadikan khalifah (pengganti) di bumi”18
Lantas timbul reaksi para Malaikat, yang berbunyi :
17 Jirhanuddin, op.cit., hlm. 44.18 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 6
13
Terjemahannya”
“Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana? ”19
Allah kemudian berfirman :
Terjemahannya:
“Sungguh Aku lebih mengetahui apapun yang tidak kamu ketahui”20
Selanjutnya dikisahkan Allah mengajarkan nama-nama segalanya
kepada Adam. Kemudian para malaikat itu diminta untuk
menyebutkan nama-nama segalanya itu dan apa jawaban para
malaikat :
Terjemahaanya:
“Tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami”21
Adam diperintahkan menyebutkan nama-nama segalanya.
Setelah kentara kelebihan Adam itu, maka para malaikat disuruh
sujud, kecuali iblis yang enggan. Demikian dikisahkan dalam al-
Qur’an.
Tersebab dalam al-Qur’an tidak terperinci tahun kejadian
Adam, maka al-Qur’an tidak pernah dihadapkan kepada penemuan
19 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 620 Ibid.
21 Ibid.
14
ilmiah dalam bidang arkeologi. Selanjurnya dapat dilakukan
penilaian terhadap kisah dalam al-Qur’an sebagai berikut :
Berkenaan dengan bunyi reaksi para Malaikat terhadap
maksud Allah SWT untuk menciptakan manusia di bumi ini, maka
dalam hal tersebut muncul pertanyaan: bagaimana Malaikat itu
tahu bahwa manusia yang akan diciptakan itu akan membuat
kebinasaan dan pertumpahan darah di bumi? Apabila kita katakan
bahwa Malaikat sebagai mahluk Allah yang serba tahu, maka itu
bertentangan dengan pernyataan para Malaikat tersebut, “Tidak
ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan
kepada kami”.
Besar kemungkinan, para Malaikat dapat berkata demikian
diakibatkan oleh peristiwa para penghuni Bumi di masa lalu yang
telah mengalami pemusnahan yang selalu melakukan peperangan
dan pertumpahan darah. Apalagi kalau melihat firman Allah, dalam
ayat itu ada kalimat “khafilah” yang sebagian orang (musafir) ada
yang mengartikannya “pengganti”22
Jadi, apa bila kita bandingkan dengan hasil penelitian para
arkeolog yang menyatakan terdapat kebudayaan manusia tertua
yang disebut dengan tipe Pithecantropus Erectus, dikaitkan dengan
pemahaman tentang Nabi Adam AS sebelumnya, maka akan kita
temui keserasian.22 Jirhanuddin, op.cit., hlm. 48.
15