Asal Mula Legong Peliatan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Bahasa

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangBali adalah sebuah pulau di Indonesia yang terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok dengan Ibukota provinsinya ialah Denpasar. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budaya, berupa tarian. Seni tari Bali pada umumnya dapat dikatagorikan menjadi tiga kelompok: yaitu wali atau seni tari pertunjukan sakral, bebali atau seni tari pertunjukan untuk upacara dan juga untuk pengunjung, dan balih-balihan atau seni tari untuk hiburan pengunjung. Pakar seni tari Bali I Made Bandem pada awal tahun 1980-an pernah menggolongkan tari-tarian Bali tersebut antara lain yang tergolong ke dalam wali misalnya Berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris Gede, bebali antara lain ialah Gambuh, Topeng Pajegan, dan Wayang Wong, sedangkan balih-balihan antara lain ialah Legong, Parwa, Arja, Prembon dan Joged, serta berbagai koreografi tari modern lainnya.Kesenian tari bagi masyarakat Bali memang tak bisa dipisahkan. Tarian Bali, seperti Legong, Janger, Baris, Kecak, adalah tarian yang disakralkan dan mengalami masa jaya pada tahun 1930. Adapun pertunjukan Tari Tradisional Bali terutama di daerah Ubud diadakan berbagai macam tarian Bali dari berbagai sanggar tari, biasanya tarian yang populer dikalangan para wisatawan antara lain yaitu tari Legong, tari Kecak, tari Barong dan lain-lain. Tari Legong yang menjadi salah satu tarian favorit yang ditonton oleh para wisatawan baik wisatawan Nusantara maupun wisatawan Mancanegara merupakan tarian yang dikembangkan di keraton atau istana-istana di Bali. Tari Legong biasanya ditarikan oleh dua orang gadis dan tari Legong sendiri mempunyai banyak ragam atau macamnya. Semuanya akan dibahas pada bagian pembahasan Makalah ini.

B. Pembatasan Makalah Bali menghasilkan banyak kebudayaan khususnya tarian, untuk lebih memfokuskan pembahasan dalam Makalah ini saya mengambil bahasan mengenai Keberadaan tari Legong dimulai dari asal-usul sampai perubahan makna tari Legong. Tidak terlewatkan juga ragam atau macam tari Legong, motif gerak dan gamelan serta jenis musik yang dipakai. C. Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Estetika Tari2. Mengkaji mengenai tari Legong dari Bali dengan lebih mendalam3. Menambah wawasan dan pengetahuan4. Mampu mempelajari tentang kepenarian tari Legong secara umum Selain tujuan di atas, tujuan lain disusun makalah ini adalah untuk menarik para pembaca umumnya dan para seniman khususnya agar lebih mengenal tari Legong. Karena banyaknya ragam tari Legong dan mereka mampu mengembangkannya secara luas yang kemudian menjadi lebih sadar akan potensi yang dimilikinya dalam menyongsong era industrialisasi dewasa ini.

D. ManfaatMenambah wawasan dan pengetahuan mengenai pertumbuhan tari Legong. Selain itu, mampu mendapatkan penjelasan mengenai tari Legong, baik maknanya dan macamnya.

BAB IIPEMBAHASAN

A. Asal Mula Tari LegongTidak pernah ada yang menjumpai kata legong dalam catatan-catatan kuno. Diduga kata legong berasal dari kata leg yang artinya gerak tari yang luwes atau lentur yang merupakan ciri pokok tari Legong. Adapun gong yang berarti instrument pengiringnya artinya gamelan. Legong dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan.Salah satu bentuk tarian asli yang sangat tua umurnya adalah tari Sang Hyang yang merupakan media keagamaan yang sangat penting dan dipertunjukan dalam upacara keagamaan. Perbendaharaan geraknya berupa gerak-gerak peniruan alam yang dibuat amat abstrak dan distilisasikan, yang kemudian dipakai dalam tari Legong. Dalam perkembangannya gerak-gerak tersebut diperindah dan disempurnakan wujudnya.Legong yang kita ketahui sekarang merupakan percampuran dari elemen-elemen tari yang berbeda sekali jenisnya. Elemen tersebut berasal dari kebudayaan Hindu Jawa yang dituangkan dalam bentuk tari klasik yang disebut Gambuh. Gambuh merupakan tipe drama tari yang berasal dari pra-Islam Jawa dan mungkin sudah dikenal di Bali sejak permulaan abad ke-15.Untuk Legong, cerita yang paling umum dipakai sebagai lakon ialah cerita Lasem yang bersumber dari cerita Panji. Elemen cerita bukan suatu hal yang paling menarik dalam tari Legong karena cara pendramaannya sangat sederhana dan abstrak. Kenyataannya orang tidak dapat mengerti tari Legong tanpa mendengarkan dialog dari juru tandak, penyanyi pria yang duduk di tengah-tengah gamelan. Menurut Babad Dalem Sukawati, sebuah riwayat tua desa Sukawati, Gianyar, tari Legong diciptakan berdasarkan mimpi I Dewa Agung Made Karna, raja Sukawati yang bertakhta pada 1775-1825 M. I Dewa Agung Made Karna sedang melakukan tapa di pura Jogan Agung Ketewel dekat desa Sukawati. Dalam semadinya beliau bermimpi melihat bidadari sedang menari di Surga. Mereka menari dengan busana indah dan memakai hiasan kepala dari emas.Ketika sadar dari mimpinya, I Dewa Agung Made Karna memerintahkan kepeda Bendesa Ketewel (kepala desa) untuk membuat beberapa topeng dan menciptakan suatu tarian yang mirip dengan impiannya. Tidak lama setelah itu, Bendesa Ketewel berhasil membuat sembilan buah topengnya diragakan oleh dua orang penari Sang Hyang dan yang kini sudah memakai koreografi yang pasti diduga telah diciptakan waktu itu.Beberapa lama setelah terciptanya Sang Hyang Legong, sebuah kelompok kesenian yang dipimpin I Gusti Jelantik dan Blahbatuh mempertunjukan tari Nandir yang gayanya hampir sama dengan tari Sang Hyang Legong, kecuali penari dua anak laki-laki yang tidak memakai topeng. I Dewa Agung Manggis segera memerintahkan dua orang seniman dari Sukawati untuk menata tari Nadir agar dapat diperagakan oleh anak-anak perempuan. Sejaka saat itulah tari Legong Klasik diciptakan sampai sekarang.Pada mulanya tari Legong merupakan kesenian feudal dari kaum triwangsa di Bali. Legong dalam inspirasi dan kreasinya sama dengan Gmabuh, yaitu suatu kesenian dari istana. Kesenian ini berkembang sesuai dengan pola kebangsawanan dan mendapat dorongan dari para raja zaman dahulu. Para petugas kerajaan memeriksa ke desa-desa untuk mendapatkan anak-anak perempuan yang berbakat untuk dilatih dan dijadikan penari Legong. Proses terjadinya tari Legong sudah merupakan konsep dalam seni pertunjukan yang mampu berkreasi terutama seniman-seniman, mengambil elemen dari kerakyatan yang dikembangkannya menjadi kesenian yang tinggi mutunya.Sampai sejauh ini, belum dapat dipastikan kapan sesungguhnya tari Legong diciptakan. I Gusti Gede Raka, seorang guru Legong dari desa Saba, mengatakan bahwa Legong telah dikenal di desanya sejak 1811 M. Ungkapan ini sesuai dengan Babad Dalem Sukawati.Lakon yang biasa dipakai dalam Legong kebayakan bersumber pada:1. cerita Malat khususnya kisah Prabu Lasem,2. cerita Kuntir dan Jobog (kisah Subali Sugriwa),3. Legod Bawa (kisah Brahma Wisnu tatkala mencari ujung dan pangkal Lingganya Siwa),4. Kuntul (kisah burung),5. Sudarsana (semacam Calonarang),6. Palayon,7. Chandrakanta dan lain sebagainya.

B. Tujuan Pertunjukan Tari Legong Di samping itu, nilai sakral pertunjukan Legong tersimpan di dalam gerak tarinya sendiri. Sebelum tarian dimulai, kedua penariLegong duduk pada kursi di muka gamelan, berayun ke kiri dan ke kanan, sebagai peniruan tari kerawuhan. TariLegong masih erat hubungannya dengan agama, baik dari segi sejarah maupun pertunjukannya. Dalam hal ini, sama dengan tari Sang Hyang. Nilai keagamaan dan kepercayaan yang diasosiasikan dengan tari Legong ialah kebudayaan keraton Hindu Jawa. Kebudayaan tersebut amat berbeda sifatnya kalau dibandingkan dengan kebudayaan pra-Hindu di Bali yang ekspresinya terungkap dalam tari Sang Hyang. Pada saat ini hubungan tari Legong dengan agama Hindu sangat beda sifatnya. TariLegong tidak lagi merupakan manifestasi dari leluhur, seperti halnyaSang Hyang, namun dipertunjukan untuk hiburan para leluhur. Dengan kata lain, tari Legong dipentaskan untuk menghibur para leluhuryang turun dari kahyangan, termasuk para raja yang hadir pada upacara odalan yang datangnya setiap 210 hari. Seperti kesenian istana lainnya, tari Legong dijadikansuatu tradisi sebagai pameran yang mencerminkan kekayaan dan kemampuan para raja pada zaman lampau. Para petugas istana berusaha memperoleh wanita-wanita yang paling cantik dan berbakat kemudian dilatih untuk dijadikan penari Legong, dan banyak di antaranya menjadi abdi keraton.C. Tempat Pertunjukan Di dalam proses perubahan Sang Hyang menjadi Legong melalui Gambuh, terjadilah satu proses sekularisasi walaupun Legong masih bersifat ritual. Legong tidak lagi dipentaskan di jeroan pura, tetapi pada sebuah kalangan, baik di dalam maupun di luar halaman pura. Kalangan berbentuk segi empat panjang di atas tanah, dengan ukuran panjang delapan meter dan lebar enam meter. Kalangan dikelilingi oleh bambu yang dihiasi dengan janur. Dindingnya dibuat rendah sehingga penonton dapat melihat sambil duduk di atas tanah. Penonton dapat melihat dari tiga jurusan. Adapun gamelan diletakkan pada satu sisi yang berlawanan dengan tampilnya Legong itu. Meskipun kalangan tidak lagi dibuat di jeroan pura, tempat pertunjukannya perlu dibersihkan dengan suatu upacara oleh seorang pemangku (penghulu agama) yang menghaturkan sesajen dan doa-doa untuk keselamatan pementasan tari Legong. Kalangan diatur sesuai dengan arah spiritual dalam agama Hindu, yaitu Legong tampil dari arah utara yang menggambarkan lini sakral dari Gunung Agung. Gamelan pengiringnya yang terletak di belakang penari-penari Legong berfungsi sebagai latar belakang pertunjukan tersebut.

D. Motif Gerak Pada Tari LegongPada motif gerak tari (karana) Legong memang bermuara kepada dasar gerak tari Gambuh, yang memang telah memiliki tata krama menari yang ketat, termuat dalam lontar Panititaling Pagambuhan, yakni mengenai dasar-dasar tari yakni agem, posisi gerak dasar yang tergantung dari perannya, ada banyak jenis agem. Kemudian Abah Tangkis, gerakan peralihan dari agem satu ke agem yang lainnya, ada tiga jenis Abah tangkis. Dasar selanjutnya adalah Tandang, yakni cara berjalan dan bergeraknya si penari, dari sini akan dikenal motif gerak seperti ngelikas, nyeleog, nyelendo, nyeregseg, kemudian tandang nayog, tandang niltil, nayung dan agem nyamir. Untuk melengkapi dikenal pula dasar tari yakni Tangkep, yang memuat seluruh dasar-dasar ekspresi, mulai dari gerakan mata, ada yang namanya dedeling, manis carengu, kemudian gerakan leher ada yang disebut Gulu Wangsul, Ngilen, Ngurat daun, ngeliyet, ngotak bahu bahkan termasuk gerakan jemari, yaitu nyelering, girah, nredeh dan termasuk pula aturan menggunakan kipas; nyekel, nyingkel dan ngaliput. Ciri yang sangat kuat dalam tari Legong adalah gerakan mata penarinya yang membuat tarian tersebut menjadi hidup dengan ekspresi yang sangat memukau oleh penarinya.Struktur tari Legong secara khusus adalah pepeson, bapang, ngengkog, ngaras, pepeson muanin oleg, dan ngipuk. Sedangkan secara umumnya terdiri dari papeson, pangawak, pengecet, dan pakaad. Keterampilan dalam membawakan tariLegong, kesesuaiannya dengan penguasaan jalinan wiraga, wirama dan wirasa yang baik, sesuai dengan patokan agem, tandang, dan tangkep.

E. Busana Tari Legong Busana khas legong yang berwarna cerah (merah, hijau, ungu) dengan lukisan daun-daun dan hiasan bunga-bunga emas di kepala yang bergoyang mengikuti setiap gerakan dan getaran bahu penari disederhanakan dengan dominasi warna hitam-putih.

F. Perkembangan Tari Legong Sejak abad ke-19 tampak ada pergeseran: Legong berpindah dari istana ke desa. Wanita-wanita yang pernah mengalami latihan di istana kembali ke desa dan mengajarkan tari Legong kepada generasi berikutnya. Banyak sakeha (kelompok) Legong terbentuk, khususnya di daerah Gianyar dang Badung. Guru-guru tari Legong juga banyak bermunculan, khususnya dari desa Saba, Bedulu, Peliatan, Klandis, dan Sukawati. Murid-murid didatangkan dari seluruh Bali untuk mempelajari tari Legong, kemudian mengembangkannya kembali ke desa-desa. Legong menjadi bagian utama setiap upacara odalan di desa-desa.Dalam perkembangan selanjutnya, tari Legong bukan lagi merupakan kesenian istana, melainkan menjadi milik masyarakat umum. Pengaruh istana makin lama makin melemah sejak jatuhnya Bali ke tangan Belanda pada 1906-1908 M. Di desa, kini Legong dipergelarkan jika diperlukan untuk kepentingan upacara keagamaan. Leluhurnya, Sang Hyang, dipentaskan berhubungan dengan kepercayaan animisme. Adapun nenek moyangnya yang lain, yaitu Gambuh mengungkapkan artikulasi idea dari Majapahit. Pada mulanya Legong juga berhubungan dengan agama Hindu istana yang tinggi nilainya, namun kini berhubungan dengan agama Hindu Dharma yang lebih bersifat sekuler. Tari Legong masih ditarikan oleh anak gadis dari desa tertentu pada sebuah kalangan yang sudah diupacarai sehubungan dengan upacara keagamaan. Kalangan sering-sering dibuat di luar halaman tempat persembahyangan walaupun masih diorientasikan dengan dua arah kaja dan kelod sebagai arah yang angker dalam kepercayaan orang-orang Bali. Yang paling pokok adalah Legong dipersembahkan sebagai hiburan bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam upacara keagamaan.

G. Macam-Macam Tari Legong1. Legong Lasem (Kraton)Tarian yang baku ditarikan oleh dua orang Legong dan seorang condong. Condong tampil pertama kali, lalu menyusul dua Legong yang menarikan Legong lasem. Repertoar dengan tiga penari dikenal sebagai Legong Kraton. Tari ini mengambil dasar dari cabang cerita Panji (abad ke-12 dan ke-13, masa Kerajaan Kadiri), yaitu tentang keinginan raja (adipati) Lasem (sekarang masuk Kabupaten Rembang) untuk meminang Rangkesari, putri Kerajaan Daha (Kadiri), namun ia berbuat tidak terpuji dengan menculiknya. Sang putri menolak pinangan sang adipati karena ia telah terikat oleh Raden Panji dari Kahuripan. Mengetahui adiknya diculik, raja Kadiri, yang merupakan abang dari sang putri Rangkesari, menyatakan perang dan berangkat ke Lasem. Sebelum berperang, adipati Lasem harus menghadapi serangan burung garuda pembawa maut. Ia berhasil melarikan diri tetapi kemudian tewas dalam pertempuran melawan raja Daha.Awal tari Legong mulai muncul pada pertengahan abad ke-17. Pada waktu itu Bali dipelintah oleh beberapa Raja. Puri adalah salah satu tempat untuk menciptakan tabuh dan tari baru dan mementaskannya pada Zaman itu. Menurut lontar Dewa Agung Karna, putra raja pertama kerajaan Sukawati pada pertengahan abad ke-17, ia melihata bayangan bidadari menari. Dari sinilah diciptakan tari Legong. Gaya tari Legong sekarang yang seperti ditarikan oleh 2 atau 3 penari prempuan di pertunjukan dimana-mana setelah abad ke-20. Cerita tari Legong diambil dari gambuh (drama tari yang mengambil tema dari Malat, sastra klasik yang menceritakan tentang perjanjian Panji, pahlawan Jawa).2. Legong Jobog Tarian ini, seperti biasa, dimainkan sepasang legong. Kisah yang diambil adalah dari cuplikan Ramayana, tentang persaingan dua bersaudara Sugriwa dan Subali (Kuntir dan Jobog) yang memperebutkan ajimat dari ayahnya. Karena ajimat itu dibuang ke danau ajaib, keduanya bertarung hingga masuk ke dalam danau. Tanpa disadari, keduanya beralih menjadi kera dan pertempuran tidak ada hasilnya.3. Legong Legod BawaTari ini mengambil kisah persaingan Dewa Brahma dan Dewa Wisnu tatkala mencari rahasia lingga Dewa Syiwa.4. Legong Kuntul Legong ini menceritakan sepasang kuntul yang asyik bercengkerama.5. Legong Smaradahana6. Legong Sudarsana7. Legong Playon8. Legong Untung Surapati9. Legong Andir (Nadir) Mengambil cerita semacam Calonarang yang merupakan ciri khas tari Legong di desa Tista (Tabanan).10. Sang Hyang Legong atau Topeng Legong Mengambil cerita semacam Calonarang yang merupakan ciri khas di pura Pajegan Agung (Ketewel). Tari Legong asal Ketewel itu biasa disebut tari Legong topeng, karena penarinya wajib menggunakan topeng yang disangga dengan gigi. Berbeda dengan tari Legong keraton yang kini dikenal gemulai, energik, tapi mengentak, gerakan tari legong topeng jauh dari kesan mengentak. Gerakan para penari Legong topeng terkesan sangat gemulai, kalem, tanpa satupun gerakan cepat. Semua berirama teratur. Karena lakonnya bidadari, yang menggambarkan gerakan bidadari di kahyangan, terang Mangku Widia. Mangku Widia menambahkan, kemunculan Legong topeng bermula dari seorang Ksatria di Puri Sukawati bernama I Dewa Agung Anom Karna. Ia mendapat wangsit ketika bersemadi di Pura Payogan Agung Ketewel. Sang ksatria kabarnya mendapat perintah dari Hyang Pasupati, untuk menciptakan sebuah tarian dengan karakter topeng yang telah ada.

H. Gamelan Pada Tari Legong Gamelan yang dalam lontar Catur Muni-muni disebut dengan gamelan semara aturu ini adalah barungan madya, yang bersuara merdu sehingga banyak dipakai untuk menghibur raja-raja pada zaman dahulu. Karena kemerduan suaranya, gamelan Semar Pagulingan (semar=semara, pagulingan=peraduan) konon biasa dimainkan pada malam hari ketika raja-raja akan ke peraduan (tidur). Kini gamelan ini bisa dimainkan sebagai sajian tabuh instrumental maupun mengiringi tari-tarian/teater. Masyarakat Bali mengenal dua macam Semar Pagulingan:1. Semar Pagulingan yang berlaras pelog 7 nada2. Semar Pagulingan yang berlaras pelog 5 nadaKedua jenis Semar Pagulingan secara fisik lebih kecil dari barungan Gong Kebyar terlihat dari ukuran instrumennya. Gangsa dan trompongnya yang lebih kecil dari pada yang ada dalam Gong Kebyar. Instrumentasi gamelan Semar Pagulingan (milik STSI Denpasar) meliputi:JumlahSatuanInstrumen

1BuahTrompong dengan 12 pencon

2BuahGender rambat berbilah 14

2BuahGangsa barungan berbilah 14

2TungguhGangsa gantungan pemande

2TungguhGangsa gantungan kantil

2TungguhJegogan

2TungguhJublag, masing-masing berbilah 7

2BuahKendang kecil

2BuahKajar

2BuahKleneng

1BuahKempur (gong kecil)

1PangkonRicik

1BuahGentorag

1BuahRebab

1-2BuahSuling

Instrumen yang memegang peranan penting dalam barungan ini adalah trompong yang merupakan pemangku melodi. trompong mengganti peran suling dalam Panggambuhan, dalam hal memainkan melodi dengan dibantu oleh rebab, suling, gender rambat dan gangsa barangan. Sebagai pengisi irama adalah Jublag dan jegogan masing-masing sebagai pemangku lagu, sementara kendang merupakan instrumen yang memimpin perubahan dinamika tabuh. Gending-gending Semar Pagulingan banyak mengambil gending-gending Panggambuhan.Beberapa desa yang hingga masih aktif memainkan gamelan Semar Pagulingan adalah:1. Sumerta (Denpasar) 2. Kamasan (Klungkung) 3. Teges, Peliatan (Gianyar)

I. Daerah Keberadaan Tari Legong Beberapa daerah mempunyai Legong yang khas, misalnya:1. Di desa Tista (Tabanan) terdapat jenis Legong yang lain, dinamakan Andir (Nandir). 2. Di pura Pajegan Agung (Ketewel) terdapat juga tari Legong yang memakai topeng dinamakan Sanghyang Legong atau Topeng Legong.Daerah yang dianggap sebagai daerah sumber Legong di Bali adalah:1. Saba, Pejeng, Peliatan (Gianyar), 2. Binoh dan Kuta (Badung), 3. Kelandis (Denpasar), dan 4. Tista (Tabanan).

J. Pergeseran Makna Tari LegongTak banyak daerah yang mampu mempertahankan kekhasan tari legongnya. Selain Legong Peliatan yang tengah diperkenalkan kembali Legongnya, legong Saba kini juga kembali berusaha menunjukkan eksistensinya. Adalah I Gusti Ngurah Agung Serama Semadi, putra Anak Agung Raka Saba, yang berusaha memperkenalkan kembali Legong gaya Saba. Setiap Sabtu dan Minggu sore, Agung Aji Rai, begitu Semadi kerap disapa, selalu mengajari puluhan anak-anak Desa Saba tarian khasnya itu. Hal yang sama coba dilakukan I Wayan Kelo, cucu I Wayan Lotring yang kini berupaya memperkenalkan kembali Legong gaya Kuta.Namun, bagi Agung Aji Rai maupun Wayan Kelo, tak mudah mempertahankan Legong gaya daerah yang diwariskan. Pasalnya, ruang yang ada untuk mereka berekspresi tak cukup banyak. Sebaliknya, permintaan pasar dan keterbatasan budget anggaran menjadi kendala. Contoh sederhananya, kini banyak penyelenggara pertunjukkan seperti hotel dan kafe mengajukan permintaan tari Legong berdasarkan pasar dan anggaran tadi. Tak mengherankan bila kini banyak tari Legong yang tampil hanya 10 menit, dari yang seharusnya sekitar 20 sampai 30 menit. Ironisnya, menjamurnya sanggar-sanggar tari di Bali membuat perlakuan tidak layak terhadap kesenian Bali itu tak lagi dihiraukan. Banyak tari Bali kreasi baru yang muncul menggunakan konsep pelegongan. Banyak pula upaya mencipta Legong kreasi, yang terbukti tak mengusik kekuatan tari Legong asli. Legong kreasi tidak pula mengurangi kecintaan masyarakat pada tari Legong asli.BAB IIIPENUTUP

A. Kesimpulan Legong merupakan sekelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari gambuh. Legong dikembangkan di keraton-keraton Bali pada abad ke-19 paruh kedua. TariLegong masih erat hubungannya dengan agama, baik dari segi sejarah maupun pertunjukannya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan. Penari Legong yang baku adalah dua orang gadis yang belum mendapat menstruasi, ditarikan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton. Kedua penari ini, disebut legong, selalu dilengkapi dengan kipas sebagai alat bantu. Pada beberapa tari legong terdapat seorang penari tambahan, disebut condong, yang tidak dilengkapi dengan kipas. Terdapat sekitar 18 tari legong yang dikembangkan di selatan Bali, seperti Gianyar (Saba, Bedulu, Pejeng, Peliatan), Badung (Binoh dan Kuta), Denpasar (Kelandis), dan Tabanan (Tista). Dalam perkembangan zaman, Legong sempat kehilangan popularitas di awal abad ke-20 oleh maraknya bentuk tari kebyar dari bagian utara Bali. Usaha-usaha revitalisasi baru dimulai sejak akhir tahun 1960-an, dengan menggali kembali dokumen lama untuk rekonstruksi.

B. SaranSetelah kita mengetahui mengenai Keberadaan Tari Legong, ada beberapa hal yang harus kita lakukan, diantaranya:1. Melestarikan dan menjaga kesenian daerah yaitu tariannya terutama dari Bali.2. Mensosialisasikan/memperkenalkan kepada masyarakat yang lebih luas.3. Mempelajari tari yang berasal dari Bali khususnya dan menurunkannya kegenerasi penerus.4. Dapat lebih menyatukan para seniman tari tradisi agar tidak mengalami perbedaan pendapat.5. Bagi para pencipta tari (koreografer) untuk tidak menghilangkan hal-hal yang tidak boleh dihilangkan, hanya sebatas mengembangkannya saja.

DAFTAR PUSTAKA

I Made Bandem, (1996), Evolusi Tari Bali, Kanisius, Yogyakarta.

SUMBER LAIN

http://www.bali-dance.com/indonesia.html

http://www.surgabali.biz/tari_legong.php

http://id.wikipedia.org/wiki/Legong

http://www.babadbali.com/seni/drama/dt-legong.htm

http://www.peliatan.com/balerung/id/tari_legong.phphttp://tuanlilush.multiply.com/reviews/item/7

MUSTIKA Selasa, 17 Agustus 2010TARI LEGONG BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangBali adalah sebuah pulau di Indonesia yang terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok dengan Ibukota provinsinya ialah Denpasar. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budaya, berupa tarian. Seni tari Bali pada umumnya dapat dikatagorikan menjadi tiga kelompok: yaitu wali atau seni tari pertunjukan sakral, bebali atau seni tari pertunjukan untuk upacara dan juga untuk pengunjung, dan balih-balihan atau seni tari untuk hiburan pengunjung. Pakar seni tari Bali I Made Bandem pada awal tahun 1980-an pernah menggolongkan tari-tarian Bali tersebut antara lain yang tergolong ke dalam wali misalnya Berutuk, Sang Hyang Dedari, Rejang dan Baris Gede, bebali antara lain ialah Gambuh, Topeng Pajegan, dan Wayang Wong, sedangkan balih-balihan antara lain ialah Legong, Parwa, Arja, Prembon dan Joged, serta berbagai koreografi tari modern lainnya.Kesenian tari bagi masyarakat Bali memang tak bisa dipisahkan. Tarian Bali, seperti Legong, Janger, Baris, Kecak, adalah tarian yang disakralkan dan mengalami masa jaya pada tahun 1930. Adapun pertunjukan Tari Tradisional Bali terutama di daerah Ubud diadakan berbagai macam tarian Bali dari berbagai sanggar tari, biasanya tarian yang populer dikalangan para wisatawan antara lain yaitu tari Legong, tari Kecak, tari Barong dan lain-lain. Tari Legong yang menjadi salah satu tarian favorit yang ditonton oleh para wisatawan baik wisatawan Nusantara maupun wisatawan Mancanegara merupakan tarian yang dikembangkan di keraton atau istana-istana di Bali. Tari Legong biasanya ditarikan oleh dua orang gadis dan tari Legong sendiri mempunyai banyak ragam atau macamnya. Semuanya akan dibahas pada bagian pembahasan Makalah ini.

B. Pembatasan Makalah Bali menghasilkan banyak kebudayaan khususnya tarian, untuk lebih memfokuskan pembahasan dalam Makalah ini saya mengambil bahasan mengenai Keberadaan tari Legong dimulai dari asal-usul sampai perubahan makna tari Legong. Tidak terlewatkan juga ragam atau macam tari Legong, motif gerak dan gamelan serta jenis musik yang dipakai. C. Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Estetika Tari2. Mengkaji mengenai tari Legong dari Bali dengan lebih mendalam3. Menambah wawasan dan pengetahuan4. Mampu mempelajari tentang kepenarian tari Legong secara umum Selain tujuan di atas, tujuan lain disusun makalah ini adalah untuk menarik para pembaca umumnya dan para seniman khususnya agar lebih mengenal tari Legong. Karena banyaknya ragam tari Legong dan mereka mampu mengembangkannya secara luas yang kemudian menjadi lebih sadar akan potensi yang dimilikinya dalam menyongsong era industrialisasi dewasa ini.

D. ManfaatMenambah wawasan dan pengetahuan mengenai pertumbuhan tari Legong. Selain itu, mampu mendapatkan penjelasan mengenai tari Legong, baik maknanya dan macamnya.

BAB IIPEMBAHASAN

A. Asal Mula Tari LegongTidak pernah ada yang menjumpai kata legong dalam catatan-catatan kuno. Diduga kata legong berasal dari kata leg yang artinya gerak tari yang luwes atau lentur yang merupakan ciri pokok tari Legong. Adapun gong yang berarti instrument pengiringnya artinya gamelan. Legong dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan.Salah satu bentuk tarian asli yang sangat tua umurnya adalah tari Sang Hyang yang merupakan media keagamaan yang sangat penting dan dipertunjukan dalam upacara keagamaan. Perbendaharaan geraknya berupa gerak-gerak peniruan alam yang dibuat amat abstrak dan distilisasikan, yang kemudian dipakai dalam tari Legong. Dalam perkembangannya gerak-gerak tersebut diperindah dan disempurnakan wujudnya.Legong yang kita ketahui sekarang merupakan percampuran dari elemen-elemen tari yang berbeda sekali jenisnya. Elemen tersebut berasal dari kebudayaan Hindu Jawa yang dituangkan dalam bentuk tari klasik yang disebut Gambuh. Gambuh merupakan tipe drama tari yang berasal dari pra-Islam Jawa dan mungkin sudah dikenal di Bali sejak permulaan abad ke-15.Untuk Legong, cerita yang paling umum dipakai sebagai lakon ialah cerita Lasem yang bersumber dari cerita Panji. Elemen cerita bukan suatu hal yang paling menarik dalam tari Legong karena cara pendramaannya sangat sederhana dan abstrak. Kenyataannya orang tidak dapat mengerti tari Legong tanpa mendengarkan dialog dari juru tandak, penyanyi pria yang duduk di tengah-tengah gamelan. Menurut Babad Dalem Sukawati, sebuah riwayat tua desa Sukawati, Gianyar, tari Legong diciptakan berdasarkan mimpi I Dewa Agung Made Karna, raja Sukawati yang bertakhta pada 1775-1825 M. I Dewa Agung Made Karna sedang melakukan tapa di pura Jogan Agung Ketewel dekat desa Sukawati. Dalam semadinya beliau bermimpi melihat bidadari sedang menari di Surga. Mereka menari dengan busana indah dan memakai hiasan kepala dari emas.Ketika sadar dari mimpinya, I Dewa Agung Made Karna memerintahkan kepeda Bendesa Ketewel (kepala desa) untuk membuat beberapa topeng dan menciptakan suatu tarian yang mirip dengan impiannya. Tidak lama setelah itu, Bendesa Ketewel berhasil membuat sembilan buah topengnya diragakan oleh dua orang penari Sang Hyang dan yang kini sudah memakai koreografi yang pasti diduga telah diciptakan waktu itu.Beberapa lama setelah terciptanya Sang Hyang Legong, sebuah kelompok kesenian yang dipimpin I Gusti Jelantik dan Blahbatuh mempertunjukan tari Nandir yang gayanya hampir sama dengan tari Sang Hyang Legong, kecuali penari dua anak laki-laki yang tidak memakai topeng. I Dewa Agung Manggis segera memerintahkan dua orang seniman dari Sukawati untuk menata tari Nadir agar dapat diperagakan oleh anak-anak perempuan. Sejaka saat itulah tari Legong Klasik diciptakan sampai sekarang.Pada mulanya tari Legong merupakan kesenian feudal dari kaum triwangsa di Bali. Legong dalam inspirasi dan kreasinya sama dengan Gmabuh, yaitu suatu kesenian dari istana. Kesenian ini berkembang sesuai dengan pola kebangsawanan dan mendapat dorongan dari para raja zaman dahulu. Para petugas kerajaan memeriksa ke desa-desa untuk mendapatkan anak-anak perempuan yang berbakat untuk dilatih dan dijadikan penari Legong. Proses terjadinya tari Legong sudah merupakan konsep dalam seni pertunjukan yang mampu berkreasi terutama seniman-seniman, mengambil elemen dari kerakyatan yang dikembangkannya menjadi kesenian yang tinggi mutunya.Sampai sejauh ini, belum dapat dipastikan kapan sesungguhnya tari Legong diciptakan. I Gusti Gede Raka, seorang guru Legong dari desa Saba, mengatakan bahwa Legong telah dikenal di desanya sejak 1811 M. Ungkapan ini sesuai dengan Babad Dalem Sukawati.Lakon yang biasa dipakai dalam Legong kebayakan bersumber pada:1. cerita Malat khususnya kisah Prabu Lasem,2. cerita Kuntir dan Jobog (kisah Subali Sugriwa),3. Legod Bawa (kisah Brahma Wisnu tatkala mencari ujung dan pangkal Lingganya Siwa),4. Kuntul (kisah burung),5. Sudarsana (semacam Calonarang),6. Palayon,7. Chandrakanta dan lain sebagainya.

B. Tujuan Pertunjukan Tari Legong Di samping itu, nilai sakral pertunjukan Legong tersimpan di dalam gerak tarinya sendiri. Sebelum tarian dimulai, kedua penariLegong duduk pada kursi di muka gamelan, berayun ke kiri dan ke kanan, sebagai peniruan tari kerawuhan. TariLegong masih erat hubungannya dengan agama, baik dari segi sejarah maupun pertunjukannya. Dalam hal ini, sama dengan tari Sang Hyang. Nilai keagamaan dan kepercayaan yang diasosiasikan dengan tari Legong ialah kebudayaan keraton Hindu Jawa. Kebudayaan tersebut amat berbeda sifatnya kalau dibandingkan dengan kebudayaan pra-Hindu di Bali yang ekspresinya terungkap dalam tari Sang Hyang. Pada saat ini hubungan tari Legong dengan agama Hindu sangat beda sifatnya. TariLegong tidak lagi merupakan manifestasi dari leluhur, seperti halnyaSang Hyang, namun dipertunjukan untuk hiburan para leluhur. Dengan kata lain, tari Legong dipentaskan untuk menghibur para leluhuryang turun dari kahyangan, termasuk para raja yang hadir pada upacara odalan yang datangnya setiap 210 hari. Seperti kesenian istana lainnya, tari Legong dijadikansuatu tradisi sebagai pameran yang mencerminkan kekayaan dan kemampuan para raja pada zaman lampau. Para petugas istana berusaha memperoleh wanita-wanita yang paling cantik dan berbakat kemudian dilatih untuk dijadikan penari Legong, dan banyak di antaranya menjadi abdi keraton.C. Tempat Pertunjukan Di dalam proses perubahan Sang Hyang menjadi Legong melalui Gambuh, terjadilah satu proses sekularisasi walaupun Legong masih bersifat ritual. Legong tidak lagi dipentaskan di jeroan pura, tetapi pada sebuah kalangan, baik di dalam maupun di luar halaman pura. Kalangan berbentuk segi empat panjang di atas tanah, dengan ukuran panjang delapan meter dan lebar enam meter. Kalangan dikelilingi oleh bambu yang dihiasi dengan janur. Dindingnya dibuat rendah sehingga penonton dapat melihat sambil duduk di atas tanah. Penonton dapat melihat dari tiga jurusan. Adapun gamelan diletakkan pada satu sisi yang berlawanan dengan tampilnya Legong itu. Meskipun kalangan tidak lagi dibuat di jeroan pura, tempat pertunjukannya perlu dibersihkan dengan suatu upacara oleh seorang pemangku (penghulu agama) yang menghaturkan sesajen dan doa-doa untuk keselamatan pementasan tari Legong. Kalangan diatur sesuai dengan arah spiritual dalam agama Hindu, yaitu Legong tampil dari arah utara yang menggambarkan lini sakral dari Gunung Agung. Gamelan pengiringnya yang terletak di belakang penari-penari Legong berfungsi sebagai latar belakang pertunjukan tersebut.

D. Motif Gerak Pada Tari LegongPada motif gerak tari (karana) Legong memang bermuara kepada dasar gerak tari Gambuh, yang memang telah memiliki tata krama menari yang ketat, termuat dalam lontar Panititaling Pagambuhan, yakni mengenai dasar-dasar tari yakni agem, posisi gerak dasar yang tergantung dari perannya, ada banyak jenis agem. Kemudian Abah Tangkis, gerakan peralihan dari agem satu ke agem yang lainnya, ada tiga jenis Abah tangkis. Dasar selanjutnya adalah Tandang, yakni cara berjalan dan bergeraknya si penari, dari sini akan dikenal motif gerak seperti ngelikas, nyeleog, nyelendo, nyeregseg, kemudian tandang nayog, tandang niltil, nayung dan agem nyamir. Untuk melengkapi dikenal pula dasar tari yakni Tangkep, yang memuat seluruh dasar-dasar ekspresi, mulai dari gerakan mata, ada yang namanya dedeling, manis carengu, kemudian gerakan leher ada yang disebut Gulu Wangsul, Ngilen, Ngurat daun, ngeliyet, ngotak bahu bahkan termasuk gerakan jemari, yaitu nyelering, girah, nredeh dan termasuk pula aturan menggunakan kipas; nyekel, nyingkel dan ngaliput. Ciri yang sangat kuat dalam tari Legong adalah gerakan mata penarinya yang membuat tarian tersebut menjadi hidup dengan ekspresi yang sangat memukau oleh penarinya.Struktur tari Legong secara khusus adalah pepeson, bapang, ngengkog, ngaras, pepeson muanin oleg, dan ngipuk. Sedangkan secara umumnya terdiri dari papeson, pangawak, pengecet, dan pakaad. Keterampilan dalam membawakan tariLegong, kesesuaiannya dengan penguasaan jalinan wiraga, wirama dan wirasa yang baik, sesuai dengan patokan agem, tandang, dan tangkep.

E. Busana Tari Legong Busana khas legong yang berwarna cerah (merah, hijau, ungu) dengan lukisan daun-daun dan hiasan bunga-bunga emas di kepala yang bergoyang mengikuti setiap gerakan dan getaran bahu penari disederhanakan dengan dominasi warna hitam-putih.

F. Perkembangan Tari Legong Sejak abad ke-19 tampak ada pergeseran: Legong berpindah dari istana ke desa. Wanita-wanita yang pernah mengalami latihan di istana kembali ke desa dan mengajarkan tari Legong kepada generasi berikutnya. Banyak sakeha (kelompok) Legong terbentuk, khususnya di daerah Gianyar dang Badung. Guru-guru tari Legong juga banyak bermunculan, khususnya dari desa Saba, Bedulu, Peliatan, Klandis, dan Sukawati. Murid-murid didatangkan dari seluruh Bali untuk mempelajari tari Legong, kemudian mengembangkannya kembali ke desa-desa. Legong menjadi bagian utama setiap upacara odalan di desa-desa.Dalam perkembangan selanjutnya, tari Legong bukan lagi merupakan kesenian istana, melainkan menjadi milik masyarakat umum. Pengaruh istana makin lama makin melemah sejak jatuhnya Bali ke tangan Belanda pada 1906-1908 M. Di desa, kini Legong dipergelarkan jika diperlukan untuk kepentingan upacara keagamaan. Leluhurnya, Sang Hyang, dipentaskan berhubungan dengan kepercayaan animisme. Adapun nenek moyangnya yang lain, yaitu Gambuh mengungkapkan artikulasi idea dari Majapahit. Pada mulanya Legong juga berhubungan dengan agama Hindu istana yang tinggi nilainya, namun kini berhubungan dengan agama Hindu Dharma yang lebih bersifat sekuler. Tari Legong masih ditarikan oleh anak gadis dari desa tertentu pada sebuah kalangan yang sudah diupacarai sehubungan dengan upacara keagamaan. Kalangan sering-sering dibuat di luar halaman tempat persembahyangan walaupun masih diorientasikan dengan dua arah kaja dan kelod sebagai arah yang angker dalam kepercayaan orang-orang Bali. Yang paling pokok adalah Legong dipersembahkan sebagai hiburan bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam upacara keagamaan.

G. Macam-Macam Tari Legong1. Legong Lasem (Kraton)Tarian yang baku ditarikan oleh dua orang Legong dan seorang condong. Condong tampil pertama kali, lalu menyusul dua Legong yang menarikan Legong lasem. Repertoar dengan tiga penari dikenal sebagai Legong Kraton. Tari ini mengambil dasar dari cabang cerita Panji (abad ke-12 dan ke-13, masa Kerajaan Kadiri), yaitu tentang keinginan raja (adipati) Lasem (sekarang masuk Kabupaten Rembang) untuk meminang Rangkesari, putri Kerajaan Daha (Kadiri), namun ia berbuat tidak terpuji dengan menculiknya. Sang putri menolak pinangan sang adipati karena ia telah terikat oleh Raden Panji dari Kahuripan. Mengetahui adiknya diculik, raja Kadiri, yang merupakan abang dari sang putri Rangkesari, menyatakan perang dan berangkat ke Lasem. Sebelum berperang, adipati Lasem harus menghadapi serangan burung garuda pembawa maut. Ia berhasil melarikan diri tetapi kemudian tewas dalam pertempuran melawan raja Daha.Awal tari Legong mulai muncul pada pertengahan abad ke-17. Pada waktu itu Bali dipelintah oleh beberapa Raja. Puri adalah salah satu tempat untuk menciptakan tabuh dan tari baru dan mementaskannya pada Zaman itu. Menurut lontar Dewa Agung Karna, putra raja pertama kerajaan Sukawati pada pertengahan abad ke-17, ia melihata bayangan bidadari menari. Dari sinilah diciptakan tari Legong. Gaya tari Legong sekarang yang seperti ditarikan oleh 2 atau 3 penari prempuan di pertunjukan dimana-mana setelah abad ke-20. Cerita tari Legong diambil dari gambuh (drama tari yang mengambil tema dari Malat, sastra klasik yang menceritakan tentang perjanjian Panji, pahlawan Jawa).2. Legong Jobog Tarian ini, seperti biasa, dimainkan sepasang legong. Kisah yang diambil adalah dari cuplikan Ramayana, tentang persaingan dua bersaudara Sugriwa dan Subali (Kuntir dan Jobog) yang memperebutkan ajimat dari ayahnya. Karena ajimat itu dibuang ke danau ajaib, keduanya bertarung hingga masuk ke dalam danau. Tanpa disadari, keduanya beralih menjadi kera dan pertempuran tidak ada hasilnya.3. Legong Legod BawaTari ini mengambil kisah persaingan Dewa Brahma dan Dewa Wisnu tatkala mencari rahasia lingga Dewa Syiwa.4. Legong Kuntul Legong ini menceritakan sepasang kuntul yang asyik bercengkerama.5. Legong Smaradahana6. Legong Sudarsana7. Legong Playon8. Legong Untung Surapati9. Legong Andir (Nadir) Mengambil cerita semacam Calonarang yang merupakan ciri khas tari Legong di desa Tista (Tabanan).10. Sang Hyang Legong atau Topeng Legong Mengambil cerita semacam Calonarang yang merupakan ciri khas di pura Pajegan Agung (Ketewel). Tari Legong asal Ketewel itu biasa disebut tari Legong topeng, karena penarinya wajib menggunakan topeng yang disangga dengan gigi. Berbeda dengan tari Legong keraton yang kini dikenal gemulai, energik, tapi mengentak, gerakan tari legong topeng jauh dari kesan mengentak. Gerakan para penari Legong topeng terkesan sangat gemulai, kalem, tanpa satupun gerakan cepat. Semua berirama teratur. Karena lakonnya bidadari, yang menggambarkan gerakan bidadari di kahyangan, terang Mangku Widia. Mangku Widia menambahkan, kemunculan Legong topeng bermula dari seorang Ksatria di Puri Sukawati bernama I Dewa Agung Anom Karna. Ia mendapat wangsit ketika bersemadi di Pura Payogan Agung Ketewel. Sang ksatria kabarnya mendapat perintah dari Hyang Pasupati, untuk menciptakan sebuah tarian dengan karakter topeng yang telah ada.

H. Gamelan Pada Tari Legong Gamelan yang dalam lontar Catur Muni-muni disebut dengan gamelan semara aturu ini adalah barungan madya, yang bersuara merdu sehingga banyak dipakai untuk menghibur raja-raja pada zaman dahulu. Karena kemerduan suaranya, gamelan Semar Pagulingan (semar=semara, pagulingan=peraduan) konon biasa dimainkan pada malam hari ketika raja-raja akan ke peraduan (tidur). Kini gamelan ini bisa dimainkan sebagai sajian tabuh instrumental maupun mengiringi tari-tarian/teater. Masyarakat Bali mengenal dua macam Semar Pagulingan:1. Semar Pagulingan yang berlaras pelog 7 nada2. Semar Pagulingan yang berlaras pelog 5 nadaKedua jenis Semar Pagulingan secara fisik lebih kecil dari barungan Gong Kebyar terlihat dari ukuran instrumennya. Gangsa dan trompongnya yang lebih kecil dari pada yang ada dalam Gong Kebyar. Instrumentasi gamelan Semar Pagulingan (milik STSI Denpasar) meliputi:JumlahSatuanInstrumen

1BuahTrompong dengan 12 pencon

2BuahGender rambat berbilah 14

2BuahGangsa barungan berbilah 14

2TungguhGangsa gantungan pemande

2TungguhGangsa gantungan kantil

2TungguhJegogan

2TungguhJublag, masing-masing berbilah 7

2BuahKendang kecil

2BuahKajar

2BuahKleneng

1BuahKempur (gong kecil)

1PangkonRicik

1BuahGentorag

1BuahRebab

1-2BuahSuling

Instrumen yang memegang peranan penting dalam barungan ini adalah trompong yang merupakan pemangku melodi. trompong mengganti peran suling dalam Panggambuhan, dalam hal memainkan melodi dengan dibantu oleh rebab, suling, gender rambat dan gangsa barangan. Sebagai pengisi irama adalah Jublag dan jegogan masing-masing sebagai pemangku lagu, sementara kendang merupakan instrumen yang memimpin perubahan dinamika tabuh. Gending-gending Semar Pagulingan banyak mengambil gending-gending Panggambuhan.Beberapa desa yang hingga masih aktif memainkan gamelan Semar Pagulingan adalah:1. Sumerta (Denpasar) 2. Kamasan (Klungkung) 3. Teges, Peliatan (Gianyar)

I. Daerah Keberadaan Tari Legong Beberapa daerah mempunyai Legong yang khas, misalnya:1. Di desa Tista (Tabanan) terdapat jenis Legong yang lain, dinamakan Andir (Nandir). 2. Di pura Pajegan Agung (Ketewel) terdapat juga tari Legong yang memakai topeng dinamakan Sanghyang Legong atau Topeng Legong.Daerah yang dianggap sebagai daerah sumber Legong di Bali adalah:1. Saba, Pejeng, Peliatan (Gianyar), 2. Binoh dan Kuta (Badung), 3. Kelandis (Denpasar), dan 4. Tista (Tabanan).

J. Pergeseran Makna Tari LegongTak banyak daerah yang mampu mempertahankan kekhasan tari legongnya. Selain Legong Peliatan yang tengah diperkenalkan kembali Legongnya, legong Saba kini juga kembali berusaha menunjukkan eksistensinya. Adalah I Gusti Ngurah Agung Serama Semadi, putra Anak Agung Raka Saba, yang berusaha memperkenalkan kembali Legong gaya Saba. Setiap Sabtu dan Minggu sore, Agung Aji Rai, begitu Semadi kerap disapa, selalu mengajari puluhan anak-anak Desa Saba tarian khasnya itu. Hal yang sama coba dilakukan I Wayan Kelo, cucu I Wayan Lotring yang kini berupaya memperkenalkan kembali Legong gaya Kuta.Namun, bagi Agung Aji Rai maupun Wayan Kelo, tak mudah mempertahankan Legong gaya daerah yang diwariskan. Pasalnya, ruang yang ada untuk mereka berekspresi tak cukup banyak. Sebaliknya, permintaan pasar dan keterbatasan budget anggaran menjadi kendala. Contoh sederhananya, kini banyak penyelenggara pertunjukkan seperti hotel dan kafe mengajukan permintaan tari Legong berdasarkan pasar dan anggaran tadi. Tak mengherankan bila kini banyak tari Legong yang tampil hanya 10 menit, dari yang seharusnya sekitar 20 sampai 30 menit. Ironisnya, menjamurnya sanggar-sanggar tari di Bali membuat perlakuan tidak layak terhadap kesenian Bali itu tak lagi dihiraukan. Banyak tari Bali kreasi baru yang muncul menggunakan konsep pelegongan. Banyak pula upaya mencipta Legong kreasi, yang terbukti tak mengusik kekuatan tari Legong asli. Legong kreasi tidak pula mengurangi kecintaan masyarakat pada tari Legong asli.BAB IIIPENUTUP

A. Kesimpulan Legong merupakan sekelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari gambuh. Legong dikembangkan di keraton-keraton Bali pada abad ke-19 paruh kedua. TariLegong masih erat hubungannya dengan agama, baik dari segi sejarah maupun pertunjukannya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan. Penari Legong yang baku adalah dua orang gadis yang belum mendapat menstruasi, ditarikan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton. Kedua penari ini, disebut legong, selalu dilengkapi dengan kipas sebagai alat bantu. Pada beberapa tari legong terdapat seorang penari tambahan, disebut condong, yang tidak dilengkapi dengan kipas. Terdapat sekitar 18 tari legong yang dikembangkan di selatan Bali, seperti Gianyar (Saba, Bedulu, Pejeng, Peliatan), Badung (Binoh dan Kuta), Denpasar (Kelandis), dan Tabanan (Tista). Dalam perkembangan zaman, Legong sempat kehilangan popularitas di awal abad ke-20 oleh maraknya bentuk tari kebyar dari bagian utara Bali. Usaha-usaha revitalisasi baru dimulai sejak akhir tahun 1960-an, dengan menggali kembali dokumen lama untuk rekonstruksi.

B. SaranSetelah kita mengetahui mengenai Keberadaan Tari Legong, ada beberapa hal yang harus kita lakukan, diantaranya:1. Melestarikan dan menjaga kesenian daerah yaitu tariannya terutama dari Bali.2. Mensosialisasikan/memperkenalkan kepada masyarakat yang lebih luas.3. Mempelajari tari yang berasal dari Bali khususnya dan menurunkannya kegenerasi penerus.4. Dapat lebih menyatukan para seniman tari tradisi agar tidak mengalami perbedaan pendapat.5. Bagi para pencipta tari (koreografer) untuk tidak menghilangkan hal-hal yang tidak boleh dihilangkan, hanya sebatas mengembangkannya saja.

DAFTAR PUSTAKA

I Made Bandem, (1996), Evolusi Tari Bali, Kanisius, Yogyakarta.

SUMBER LAIN

http://www.bali-dance.com/indonesia.html

http://www.surgabali.biz/tari_legong.php

http://id.wikipedia.org/wiki/Legong

Tari Legong Keraton BaliLegong Keraton adalah sebuah tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat komplek dan diikat oleh strktur tabuh pengiring yang konon mendapat pengaruh dari Tari Gambuh. Kata Legong Keraton terdiri dari dua kata yaitu legong dan kraton. Kata legong diduga berasal dari kata leg yang berarti gerak tari yang luwes. Lemah gemulai. Sementara gong berarti gambelan. leg dan gong digabung menjadi legong yang mengandung arti gerakan yang diikat, terutama aksentuasinya oleh gamelan yang mengiringinya. Jadi Legong Keraton berarti sebuah tarian istana yang diiringi oleh gamelan. Sebutan legong kraton merupakan perkembangan berikutnya. Ada praduga bahwa Legong Kraton berasal dari pengembangan Tari Sang Hyang. Pada mulanya legong berasal dari Tari Sang Hyang yang merupakan tari improvisasi dan kemudian gerak-gerak improvisasi itu ditata, dikomposisikan menurut pola atau struktur dari pegambuhan (gamelan). Gerakan-gerakan tari yang membangun Tari Kraton ini disesuaikan dengan gamelan sehingga tari ini menjadi tarian yang indah, dinamis dan abstrak. Gamelan yang dipakai mengiringi tari ini dalam seni pertunjukan kemasan baru adalah gamelan gong kebyar.http://www.wahana-budaya-indonesia.com/index.php?option=com_content&view=article&id=439%3Atari-legong-keraton-bali&catid=36%3Abali&Itemid=54&lang=idTARI LEGONG KERATON

Tanggal : 28-12-2007

Tari Legong Keraton adalah suatu tarian putri yang ditarikan oleh 2 ( dua ) atau 3 ( tiga ) gadis dimana salah satu diantaranya ada yang berperan sebagai condong yaitu peran yang pertama kali tampil dipentas guna memulai tari legong ini. Kata Legong diduga berasal dari akar kata Leg yang kemudian dikombinasikan dengan kata Gong. Leg mengandung arti luwes atau elastis yang kemudian dapat diartikan gerakan yang lemah gemulai ( Tari ), Selanjutnya Gong berarti gambelan. Leg dan Gong digabungkan sehingga menjadi legong yang mengandung arti gerakan yang sangat diikat terutama aksentuasinya oleh gambelan yang mengiringinya. Sebutan Legong Keraton adalah merupakan perkembangan kemudian, Gambelan yang mengiringinya tari legong yaitu gambelan pelegongan dan ada juga yang diiringi dengan gambelan Semar pegulingan.. dan Lakon yang biasanya dipakai dalam Legong ini kebanyakan bersumber pada ceritra Malat khususnya kisah Prabu Lasem, ceritra kuntir dan Jobog ( kisah Bali Sugriwa ), Legod Bawa ( kisah Brahma Wisnu tatkala mencari ujung dan pangkal Lingganya Siwa ), Kuntul ( Kisah Burung ) Sudarsana ( Semacam Calonarang ), Palayon, Candra Kanta dan lain sebagainya.

Struktur tarinya pada umumnya terdiri dari Papeseon, Pangawak, Pangecet dan Pakaad. Sebagaimana biasanya penari Legong ini selalu membawa kipas. Di Desa Tista ( Tabanan ) terdapat jenis Legong yang lain yang dinamakan Andir ( Nandir ) di Pura Pajogan Agung ( Ketewel ) terdapat juga tari Legong yang memakai topeng yang dinamakan Sangyang Legong atau LegongTopeng. Adapun daerah-daerah yang diangap sebagai daerah sumber Legong di Bali yaitu : Saba, Pejeng, Peliatan ( Gianyar ), Binoh, Kuta ( Badung ) dan Tista ( Tabanan ).

http://www.denpasarkota.go.id/main.php?act=seni&xid=9

http://www.babadbali.com/seni/drama/dt-legong.htm

http://www.peliatan.com/balerung/id/tari_legong.phphttp://tuanlilush.multiply.com/reviews/item/7

Legong di Tengah PergeseranOleh Ni Komang Erviani

Tari legong punya riwayat nan panjang. Bermula dari Desa Ketewel, legong kemudian berkembang menurut gaya-gaya yang diolah para empu tari di pelbagai desa kawasan Pulau Dewata. Legong topeng diperkirakan menjadi cikal bakal tarian ini. Meski ada pergeseran, tari legong diyakini akan tetap lestari.Alunan nada bersemangat seperangkat gamelan yang dimainkan Sekaa Semara Pegulingan Gunung Jati menyapa para tamu di Balerung Stage. Di panggung pertunjukkan sempit di Desa Peliatan, Ubud, Bali, itu sesosok penari tiba-tiba muncul dari balik tirai yang membalut sepasang candi bentar.Gerakannya lincah, tegas, tapi tetap gemulai. Khas gerakan penari legong keraton. Tak lama kemudian, dua penari lainnya muncul dari balik tirai, menggantikan penari pertama di atas panggung. Kostumnya sama. Aksesorisnya pun tak jauh beda.Keduanya bergerak kompak, bak sesosok penari dengan bayangannya. Tangan-tangan lentik para penari membawa mata penonton untuk terus mengikuti gerakannya. Lirik matanya lincah, membuat penonton enggan berkedip.Entakan tegas kaki para penari bagai angin puting beliung, membius penonton di ruang pertunjukkan. Konon, gemulai gerakan kedua penari menggambarkan sosok bidadari dari kahyangan. Di tengah tarian, keduanya tiba-tiba berganti peran.Dua tokoh bidadari kini berganti peran menjadi dua sosok ksatria kera: Subali dan Sugriwa. Dua ksatria kera gagah perkasa ini adalah kakak beradik yang berasa; dari Kerajaan Kiskenda. Mereka berseteru lantaran berebut tugas dari Dewa Indra untuk membunuh raksasa Mahesora.Alunan gamelan pengiring tiba-tiba mengentak. Gerak gemulai penari, berubah menjadi jauh lebih tegas. Kipas yang ada di tangan keduanya, juga ikut berubah peran menjadi senjata.Pertempuran Subali dan Sugriwa itu bukanlah ending pertunjukkan ini. Cerita kembali ke plot awal. Para penari kembali memerankan dua sosok bidadari dari khayangan. Beberapa gerak gemulai kembali diperlihatkan, sebelum penari pertama yang digambarkan sebagai sosok pembantu bidadari, menggantikan peran mereka di atas panggung.Rupanya dalam tari legong, penari pertama yang disebut penari Condong, hanya sebagai pembuka dan penutup tari. Kehadiran tokoh Condong yang menggambarkan sosok pembantu atau abdi dari dua bidadari (tokoh utama), menjadi ciri yang tak dimiliki tari bali lainnya.Pertunjukkan ditutup kembali dengan gerak lincah, tegas, dan gemulai si tokoh Condong. Penampilan Tari Legong Kuntir malam itu, benar-benar membius para tamu. Its wonderful, seorang tamu asing di kursi tengah nyeletuk.Versi Asli Gaya PeliatanLegong memang tak sekadar tarian asal Bali. Tarian ini memberi satu warna tersendiri bagi penikmatnya. Tak mengherankan, banyak sekali paket pertunjukkan tari legong yang ditawarkan dalam industri pariwisata Bali.Legong tak hanya dipentaskan sanggar pertunjukkan tradisional, melainkan juga igelar oleh kafe hingga hotel berbintang. Tarian ini kerap menjadi pertunjukkan rutin di akhir pekan. Namun pertunjukkan legong di Peliatan Ubud malam itu berbeda dari biasa.Ada sejumlah cerita legong dalam versi asli gaya Peliatan, yang bisa disaksikan langsung oleh para tamu. Disebut versi asli, karena selama ini banyak pertunjukkan tari legong tak lagi memperhatikan orisinalitasnya. Banyak sekali pengaruh modernisasi, termasuk karena permintaan pasar pariwisata, yang menggeser orisinalitas pertunjukkan legong.Mulai dari gerakan-gerakan yang nyaris distandardisasi oleh sejumlah sanggar tari yang terus menjamur di Bali, hingga lama waktu pertunjukkan yang bisa ditawar untuk menyesuaikan bujet si penyelenggara acara. Toh, para turis asing tak tahu kalau legong yang ditontonnya bukan versi asli.Begitulah umumnya prinsip banyak pemilik hotel atau kafe yang menyediakan paket tari legong di tempatnya. Maka, tak mudah mendapatkan tari legong yang benar-benar asli.Pertunjukkan legong di Peliatan malam itu disesaki pengunjung. Pertunjukkan yang digelar selama empat hari berturut-turut itu, benar-benar memanjakan penikmat seni pertunjukkan bali. Apalagi, penari yang tampil merupakan penari tua yang menyerap ilmu tari dari maestro legong, mendiang Anak Agung Gde Mandera dan Gusti Made Sengogjuga sudah meninggal.Dua tokoh itu adalah mahaguru tari Bali yang mengembangkan tari legong gaya Peliatan. Pertunjukan ini kami gelar untuk mengembalikan kenangan kepada masyarakat, disertai harapan agar legong gaya Peliatan tetap dicintai dan dipelihara sebagai salah satu bentuk dalam khasanah seni pertunjukan Bali, ujar Anak Agung Gde Oka Dalem, penyelenggara acara.Legong gaya peliatan merupakan istilah yang digunakan untuk membedakanya dari legong dengan gaya khas daerah lain. Pasalnya, banyak daerah di Bali yang memiliki legong dengan ciri khas masing-masing.Riwayat Tari Legong TopengPerjalanan legong sebagai seni pertunjukkan, ternyata cukup panjang hingga membentuk gaya-gaya daerah seperti sekarang ini. Meski tak ada sumber pasti, sejumlah pengamat tari meyakini bahwa tari legong berasal dari Desa Ketewel, sebuah desa kecil di Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali.Menurut I Wayan Dibia, pengamat seni tari dari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, tari legong yang kini berkembang menjadi legong keraton, bermula dari sebuah tari ritual sakral di Pura Payogan Agung, sebuah pura di Desa Ketewel. Bentuk tari legong asal Desa Ketewel pun jauh berbeda dengan legong yang ada sekarang.Tari legong asal Ketewel itu biasa disebut tari legong topeng, karena penarinya wajib menggunakan topeng yang disangga dengan gigi. Berbeda dengan tari legong keraton yang kini dikenal gemulai, energik, tapi mengentak, gerakan tari legong topeng jauh dari kesan mengentak.Gerakan para penari legong topeng terkesan sangat gemulai, kalem, tanpa satupun gerakan cepat. Semua berirama teratur. Karena lakonnya bidadari, ya menggambarkan gerakan bidadari di kahyangan, terang Mangku Widia.Mangku Widia menambahkan, kemunculan legong topeng bermula dari seorang Ksatria di Puri Sukawati bernama I Dewa Agung Anom Karna. Ia mendapat wangsit ketika bersemadi di Pura Payogan Agung Ketewel. Sang ksatria kabarnya mendapat perintah dari Hyang Pasupati, untuk menciptakan sebuah tarian dengan karakter topeng yang telah ada.Memang, jauh sebelum Dewa Agung Anom Karna bersemadi, sejumlah topeng bidadari telah tersimpan di Pura Payogan Agung. Topeng yang berusia ratusan tahun itu diduga buatan Ki Lampor dari Kerajaan Daha, Kediri, Jawa Timur. Lontar Raja Purana yang ditemukan di Pura Payogan Agung mengungkapkan, topeng-topeng itu dipersembahkan oleh Raja Kediri dalam tari wali di Gunung Semeru. Paska persembahan, barulah topeng-topeng itu dibawa ke Bali dan diletakkan di Pura Payogan Agung. Tak jelas, kapan topeng-topeng itu sampai di Bali. Namun diperkirakan sejak ratusan tahun lalu. Atas wangsit itu, dengan bantuan masyarakatnya, Dewa Agung Anom Karna pun mencipatakan Tari Ratu Dari.Tari yang digubah lengkap dengan tabuh semara pegulingan sebagai pengiringnya ini, diperkirakan sudah ada pada tahun 1811. Tari inilah yang dalam perjalanannya disebut sebagai legong topeng. Nama legong diduga berasal dari akar kata bahasa Bali leg yang berarti gerak yang luwes dan elastis serta gong yang berarti gamelan.Maka, legong disimpulkan sebagai tarian yang luwes dan diiringi dengan seperangkat gamelan.Berkembang di Seantero BaliBermula dari legong topeng yang dikembangkan Anak Agung Rai Perit di Puri Paang, Sukawati, Gianyar, sejumlah pakar tari seantero Bali mulai belajar tentang seluk beluk Legong. Selanjutnya, para murid Anak Agung Rai Perit itu mengembangkan legong di daerahnya masing-masing.Tak ada satu pun sumber yang bisa memberi kepastian, kapan legong berkembang di setiap daerah. Hal ini terkait minimnya dokumentasi yang ada tentang seni pertunjukan Bali. Menurut Wayan Dibia, seni pertunjukkan di Bali adalah bagian dari tradisi lisan yang tidak didokumentasikan secara permanen.Selama ini, tidak ada cukup bukti yang menunjukkan dari mana dan ke mana bergeraknya Legong. Tapi yang sudah kita kumpulkan selama ini, yakni penyebarannya dari Sukawati, lalu ke tempat lain di Gianyar. Belakangan, baru berkembang di Badung dan Denpasar, Wayan Dibia menerangkan.Yang pasti, legong telah berkembang ke sejumlah daerah di Bali, disesuaikan dengan gaya khas masing-masing daerah. Berdasarkan catatan yang dibuat Proyek Pengembangan Sarana Wisata Budaya Bali pada tahun 1974, Legong berkembang di enam kabupaten di Bali. Masing-masing 20 daerah di Kabupaten Badung termasuk Denpasar, 13 daerah di Kabupaten Gianyar, tiga daerah di Kabupaten Tabanan, dua daerah di Kabupaten Buleleng, dua daerah di Kabupaten Negara, dan dua daerah di Kabupaten Karangasem.Pengembangan Legong dengan kekhasan gaya daerah masing-masing, sangat dipengaruhi tokoh yang membawanya. Seperti yang dilakukan I Gusti Lanang Gde Sudana Jelantik dan Anak Agung Raka Saba yang membangun legong gaya Desa Saba Blahbatuh Gianyar. Wayan Lotring membangun legong gaya Kuta. Selain itu, Anak Agung Gde Mandera (1905 1986) dan Gusti Made Sengog (1890-1972) membangun Legong gaya Peliatan, Ubud.Wayan Dibia menuturkan, peran tokoh-tokohnya itu karena mereka ingin memasukkan rasanya sendiri, mempengaruhi gaya masing-masing daerah. Walaupun dari sumber yang sama, setelah di bawa ke daerah, legong menjadi tontonan yang berbeda. Legong yang sumbernya sukawati, jadi berbeda-beda karena tokoh Saba ingin membuat yang lain. Jadi itu seolah sudah terbawa oleh ekspresi artistik ketika itu tentu ingin mengarah pada keberagaman, katanya lagi.Ragam Cerita dan Legong KeratonDalam perkembangannya itu pula, legong mulai bercerita. Tak sekadar liak liuk bidadari seperti tari asalnya. Cerita pertama yang dikembangkan adalah tentang kisah hidup Prabu Lasem dan Putri Rangkesari dari Kerajaan Daha sekitar abad ke-12. Lalu, cerita legong berkembang hingga beragam cerita.Beberapa cerita yang ada, antara lain Legong Kuntir. Di sini diungkap pertarungan antara dua kera bersaudara Subali dan Sugriwa memperebutkan Dewi Tara dalam kisah Ramayana. Ada juga Legong Jobog yang bertutur tentang perjalanan putra Rsi Gautama, yang awalnya manusia lalu menjadi kera.Banyak lagi cerita lain, seperti Legong Legod Bawa (kisah Lingga Manik), Legong Kuntul (kisah dua ekor burung bangau), Legong Pelayon, Legong Bapang, Legong Smarandana,Legong Sudarsana, dan Legong Prabangsa. Tari legong kemudian disebut legong keraton, karena banyak dipertunjukkan di istana. Tidak terkecuali di Istana Kepresidenan Tampak Siring, Bali.Karena pengaruh ini pula, legong kemudian tak hanya bercerita, melainkan juga menambah satu tokoh di luar penari utama. Tokoh baru itu diberi nama Condong.Tokoh berjuluk Condong ini tampil sebagai pembuka dan penutup tarian yang menggambarkan seorang abdi yang berwatak lembut, serius, dan formal. Belakangan, dengan terciptanya tabuh Gong Kebyar di Wilayah Buleleng, legong pun tak lagi hanya setia pada tabuh Semara Pegulingan. Beberapa legong juga kerap diiringi tabuh Gong Kebyar.Tari legong mulai diperkenalkan kepada turis pada sekitar tahun 1927. Bali Hotel, hotel tertua di Bali, diperkirakan menjadi tempat pentas pertama tari legong di hadapan turis. Meski, di luar itu, sudah banyak turis yang datang secara sendiri-sendiri ke tempat pertunjukkan legong.Legong makin dikenal pada tahun 1931, sejak tarian ini diperkenalkan ke dunia internasional. Ketika itu, legong Peliatan tampil dalam misi kesenian ke Paris, Perancis. Misi yang sama juga membawa legong ke Amerika Serikat pada tahun 1952.Maknanya Makin BergeserSayangnya, tak banyak daerah yang mampu mempertahankan kekhasan tari legongnya. Selain legong Peliatan yang tengah diperkenalkan kembali Legongnya, legong Saba kini juga kembali berusaha menunjukkan eksistensinya. Adalah I Gusti Ngurah Agung Serama Semadi, putra Anak Agung Raka Saba, yang berusaha memperkenalkan kembali legong gaya Saba.Setiap Sabtu dan Minggu sore, Agung Aji Rai, begitu Semadi kerap disapa, selalu mengajari puluhan anak-anak Desa Saba tarian khasnya itu. Hal yang sama coba dilakukan I Wayan Kelo, cucu I Wayan Lotring yang kini berupaya memperkenalkan kembali legong gaya Kuta.Namun, bagi Agung Aji Rai maupun Wayan Kelo, tak mudah mempertahankan legong gaya daerah yang diwariskan. Pasalnya, ruang yang ada untuk mereka berekspresi tak cukup banyak. Sebaliknya, permintaan pasar dan keterbatasan budget anggaran menjadi kendala. Contoh sederhananya, kini banyak penyelenggara pertunjukkan seperti hotel dan kafe mengajukan permintaan tari legong berdasarkan pasar dan anggaran tadi.Tak mengherankan bila kini banyak tari legong yang tampil hanya 10 menit, dari yang seharusnya sekitar 20 sampai 30 menit. Ironisnya, menjamurnya sanggar-sanggar tari di Bali membuat perlakuan tidak layak terhadap kesenian Bali itu tak lagi dihiraukan. Daripada enggak pentas. Ya, terpaksa kami terima, aku Agung Rai Aji. Meski demikian, Agung Rai Aji tetap optimis legong Saba tidak akan pernah punah selama ia intens mewariskannya kepada anak-anak di Saba.Beda Agung Rai Aji, beda pula yang dilakukan Wayan Kelo. Wayan Kelo justru tegas menolak permintaan pentas tari legong di luar pakem legong gaya Kuta. Saya lihat, ini merupakan bentuk penghargaan yang rendah terhadap seniman Bali. Kalau kami terima, nanti legong kami yang asli bisa punah, katanya.Debat Ihwal Legong TurisPergeseran makna tari legong juga mendapat perhatian Guruh Soekarnoputra, putra proklamator Soekarno, yang juga seniman tari. Guruh yang banyak belajar tari legong di Peliatan Ubud, mengaku kecewa melihat banyaknya tari legong yang seolah sudah distandardisasi melalui lembaga pendidikan, seperti ISI Denpasar.Sekarang terkesan lebih banyak legong turis, kata Guruh, yang sempat menjadi murid Anak Agung Gde Mandera, tokoh legong Peliatan. Tudingan Guruh rupanya balik mengundang komentar Dekan Seni Pertunjukan, ISI Denpasar, Ketut Sariada. Ia membantah tegas adanya standardisasi tari legong di dalam isntitusinya yang menyebabkan orisinalitas legong mulai bergeser. Kami jelas memiliki program pelestarian. Mahasiswa bahkan kami minta terjun langsung ke daerah-daerah lumbung seni Legong, terang Sariada.Wayan Dibia menegaskan, tak ada seorang pun yang bisa disalahkan atas pergeseran yang ada. Menurut dia, kita tidak bisa melihat tari Bali sebagai suatu yang standar. Setiap generasi mempunyai kontribusi untuk memperbarui kesenian tersebut.Itu konsekuensi tradisi seni pertunjukan yang berkembang dalam sebuah tradisi lisan. Proses pewarisannya itu secara turun temurun. Dan dalam proses itu, selalu terjadi adjustment, perubahan-perubahan. Tapi, secara umum, secara visual, ada bentuk yang dipertahankan, tegas Dibia.Dibia menambahkan, ekspresi seni tari Bali sangat erat kaitannya dengan konsep continue and changing. Ada hal-hal yang dipertahankan, yang jadi prioritas. Selain itu, ada hal-hal yang selalu diubah. Itu sudah biasa, tegasnya.Hal itu jelas terlihat dari banyaknya kreasi tari legong yang belakangan berkembang. Tapi Dibia membantah kondisi itu dapat menyebabkan seni legong yang benar-benar asli, punah. Saya yakin, itu tidak akan terjadi, tutur Dibia optimistis.Apalagi, tari legong memiliki kekhasan tersendiri yang membuatnya kuat. Legong menggunakan perbendaharaan tari yang agak klasik. Kekhasan lain, perwatakan suatu karakter dalam legong tidak ditentukan oleh perubahan kostum. Hanya perubahan gerak yang menunjukkan perubahan karakter.Contohnya tokoh Condong, yang mulanya abdi, kemudian berubah menjadi musuh. Kalau orang hanya melihat begitu saja, bingung. Lho, tadi dia jadi begini, sekarang kok beda. Legong itu tidak membedakan karakter dan watak suatu tokoh dengan perbedaan kostum, Dibia menegaskan.Bahkan belakangan ini, menurut Dibia, banyak tari Bali kreasi baru yang muncul menggunakan konsep pelegongan. Banyak pula upaya mencipta legong kreasi, yang terbukti tak mengusik kekuatan tari legong asli. Legong kreasi tidak pula mengurangi kecintaan masyarakat pada tari legong asli. [b]http://www.balebengong.net/topik/budaya/2007/10/30/legong-di-tengah-pergeseran.htmlGamelan yang dipakai mengiringi tari Legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan. Lakon yang biasa dipakai dalam Legong ini kebayakan bersumber pada: cerita Malat khususnya kisah Prabu Lasem, cerita Kuntir dan Jobog (kisah Subali Sugriwa), Legod Bawa (kisah Brahma Wisnu tatkala mencari ujung dan pangkal Lingganya Siwa), Kuntul (kisah burung), Sudarsana (semacam Calonarang), Palayon, Chandrakanta dan lain sebagainya.Struktur tarinya pada umumnya terdiri dari: Papeson Pangawak Pengecet, dan PakaadBeberapa daerah mempunyai Legong yang khas, misalnya: Didesa Tista (Tabanan) terdapat jenis Legong yang lain, dinamakan Andir (Nandir). Di pura Pajegan Agung (Ketewel) terdapat juga tari Legong yang memakai topeng dinamakan Sanghyang Legong atau Topeng Legong. Daerah - daerah yang dianggap sebagai daerah sumber Legong di Bali adalah: Saba, Pejeng, Peliatan (Gianyar), Binoh dan Kuta (Badung), Kelandis (Denpasar), dan Tista (Tabanan). Besar Kecil Normal Bagikan10 0 Sejarah TariRabu, 16 April 2008 | 13:13 WIBTEMPO Interaktif, Jakarta: Menonton pertunjukan Dominique Boivin serasa mengikuti kuliah sejarah tari. Dengan caranya, ia mengajak penonton loncat ke abad pertengahan. Perjalanan sejarah panjang tersebut terasa segar karena disajikan dalam kemasan tarian yang kocak.

Itulah cara Boivin, penari asal Prancis, membawakan karyanya yang berjudul La Danse, Une Histoire a Ma Facon (Tari, Sebuah Sejarah Menurut Caraku Sendiri) di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat malam lalu.

Panggung yang tak seberapa luas dikotakkannya kembali menjadi lebih kecil dengan potongan kayu panjang. Jadilah panggung buatannya sendiri lengkap dengan dua lampu sorot bertangkai, layar putih kecil, dua meja panjang berisi peralatan, dan deretan lampu kuning 5 watt yang dipasang di muka panggung.

Selagi menari, Boivin mulai bercerita. Ia memulai pada abad pertengahan dengan penggambaran sebuah karnaval, lalu berdansa dengan topi hijau mancung. Ia menari loncat ke sana-sini dengan tangan terentang.

Kemudian beralih ke abad ke-16, ketika seni tari bergaya geometris sedang tenar. Alat unik dikeluarkannya lagi. Kini yang muncul adalah dua buah ujung lampu taman yang runcing. Tap, tap, ujung lampu bergerak dengan gaya kaku.

Tiba-tiba ia menjadi raja dan membedaki mukanya lalu mengambil gelang kertas di kedua pergelangan tangan. Dalam perjalanan sang raja, ia menari lebih lembut dan anggun, mewakili sosok bangsawan yang dipuja rakyat.

Boivin, yang mulai menari pada umur 6 tahun, juga membawakan pantomim. Di abad ke-18, tarian mulai menunjukkan bentuk berbeda. Boivin, yang mengenakan kaus buntung, kini telanjang dada. Kakinyaberjinjit lalu berjalan mundur.

Kisah kemudian beralih ke 1892 di Jerman. "Di sebuah pesta, tanpa sengaja gaunku di atas panggung terlalu panjang. Kemudian aku menarik dua ujung gaun. Lalu seseorang berteriak," katanya bercerita. Layar putih di belakang Bovin seketika menyala menyuguhkan gambar dua sayap kupu-kupu dan ia berdiri di tengahnya.

Boivin juga menari dengan bantuan beberapa medium, seperti olahop dan tayangan video anak perempuan kecil yang menari di atas rumput. Masih menggunakan proyektor, ia pun menari di tengah layar yang masih memutar gambar pita film. Kadang ia membuat bayangan dari belakang layar.

Setiap mata berkedip, berpindahlah zaman. Ia juga menceritakan tarian Amerika. Kata dia, Negeri Abang Sam itu senang dengan gaya oriental. Lalu ia membawa kipas Cina dan mengenakan sepatu runcing merah. Ia pun menari dengan lentur dan berkilauan karena lampu sorot. Asap mengepul dari dua sudut panggung.

Yang lebih memukau, Boivin mengenakan jubah hitam panjang berbahan lemas. "Ini perwakilan tari untuk Martha Graham," katanya. Ia naik ke kursi dan membelakangi penonton. Lalu jubah yang terentang dililit ke tubuhnya hingga membentuk tubuh tinggi sekali. Kursi itu pun tak kelihatan karena tertutup jubah.

Tak lupa, ia juga menyajikan kisah Prancis pada 1968. "Di Prancis, tarian mulai membuka diri pada publik," ujarnya di atas panggung. Ditandai dengan sepatu kets dan jins, ia menari lebih modern dengan iringan lagu rap ala Prancis.

Di akhir gerakannya, Bovin mengungkapkan jati diri. "Namaku Dominique Boivin, bintangku sagitarius," katanya. Kemudian ia memakai sepatu hitam dengan hak tinggi, gaun putih selutut, plus torehan lipstik. Ia kemudian membuka baju dan mencoreti tubuhnya dengan lipstik.

Sudah dua kali Boivin datang ke Indonesia. "Tapi pertunjukan ini baru pertama kali," ujarnya setelah manggung. Sejak kecil, ia lengket dengan tari. Gaya pertamanya adalah akrobat. Pada usia 10 tahun, ia belajar tari klasik.

Kemudian ia beralih ke kontemporer lewat arahan Carolyn Carlson dan Alwin Nikolais, lalu mendirikan kelompok tari Cie Beau Geste. Pada 1978, karya solo pertamanya, Vol d'Oiseau, memenangi penghargaan Prix de l'Humour di Kota Bagnolet.

La Danse mulai dibuatnya pada 1994 dan baru rampung pada 1999. "Memang perlu penyempurnaan dalam waktu yang lumayan lama," ujarnya. Tarian ini telah ditampilkan di beberapa negara, sepertiTaiwan dan Vietnam.

Boivin mengakui pertunjukannya lebih banyak mengupas Jerman dan Amerika. "Ya, penggambaran Prancis sedikit karena kondisi tari di sana cenderung stabil," ujarnya. Selama tampil, alat-alat yang digunakan sederhana, tapi mengena pada tema. l AGUSLIA HIDAYAHhttp://www.tempointeraktif.com/hg/budaya/2008/04/16/brk,20080416-121377,id.htmlSEJARAH SENI TARI INDONESIA

Perjalanan dan bentuk seni tari di Indonesia sangat terkait dengan perkembangan kehidupan masyarakatnya, baik ditinjau dari struktur etnik maupun dalam lingkup negara kesatuan. Jika ditinjau sekilas perkembangan Indonesia sebagai negara kesatuan, maka perkembangan tersebut tidak terlepas dari latar belakang keadaan masyarakat Indonesia pada masa lalu.James R. Brandon (1967), salah seorang peneliti seni pertunjukan Asia Tenggara asal Eropa, membagi empat periode budaya di Asia Tenggara termasuk Indonesia yaitu:1) periode pra-sejarah sekitar 2500 tahun sebelum Masehi sampai 100 Masehi (M)2) periode sekitar 100 M sampai 1000 M masuknya kebudayaan India,3) periode sekitar 1300 M sampai 1750 pengaruh Islam masuk, dan4) periode sekitar 1750M sampai akhir Perang Dunia II.Pada saat itu, Amerika Serikat dan Eropa secara politis dan ekonomis menguasai seluruh Asia Tenggara, kecuali Thailand.Menurut Soedarsono (1977), salah seorang budayawan dan peneliti seni pertunjukan Indonesia, menjelaskan bahwa, secara garis besar perkembangan seni pertunjukan Indonesia tradisional sangat dipengaruhi oleh adanya kontak dengan budaya besar dari luar [asing]. Berdasarkan pendapat Soedarsono tersebut, maka perkembangan seni pertunjukan tradisional Indonesia secara garis besar terbagi atas periode masa pra pengaruh asing dan masa pengaruh asing. Namun apabila ditinjau dari perkembangan masyarakat Indonesia hingga saat ini, maka masyarakat sekarang merupakan masyarakat Indonesia dalam lingkup negara kesatuan. Tentu saja masing-masing periode telah menampilkan budaya yang berbeda bagi seni pertunjukan, karena kehidupan kesenian sangat tergantung pada masyarakat pendukungnya.http://indonesia-life.com/kolom/wforum.cgi?no=4107&reno=no&oya=4107&mode=msgview&page=0Legong merupakan sekelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari gambuh. Kata Legong berasal dari kata "leg" yang artinya gerak tari yang luwes atau lentur dan "gong" yang artinya gamelan. "Legong" dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan.Legong dikembangkan di keraton-keraton Bali pada abad ke-19 paruh kedua.[1] Konon idenya diawali dari seorang pangeran dari Sukawati yang dalam keadaan sakit keras bermimpi melihat dua gadis menari dengan lemah gemulai diiringi oleh gamelan yang indah. Ketika sang pangeran pulih dari sakitnya, mimpinya itu dituangkan dalam repertoar tarian dengan gamelan lengkap.[2]Sesuai dengan awal mulanya, penari legong yang baku adalah dua orang gadis yang belum mendapat menstruasi, ditarikan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton. Kedua penari ini, disebut legong, selalu dilengkapi dengan kipas sebagai alat bantu. Pada beberapa tari legong terdapat seorang penari tambahan, disebut condong, yang tidak dilengkapi dengan kipas.Struktur tarinya pada umumnya terdiri dari papeson, pangawak, pengecet, dan pakaad.Dalam perkembangan zaman, legong sempat kehilangan popularitas di awal abad ke-20 oleh maraknya bentuk tari kebyar dari bagian utara Bali. Usaha-usaha revitalisasi baru dimulai sejak akhir tahun 1960-an, dengan menggali kembali dokumen lama untuk rekonstruksi.[sunting] Beberapa tari legongTerdapat sekitar 18 tari legong yang dikembangkan di selatan Bali, seperti Gianyar (Saba, Bedulu, Pejeng, Peliatan), Badung (Binoh dan Kuta), Denpasar (Kelandis), dan Tabanan (Tista).Legong Lasem (Kraton)Legong ini yang paling populer dan kerap ditampilkan dalam pertunjukan wisata. Tari ini dikembangkan di Peliatan. Tarian yang baku ditarikan oleh dua orang legong dan seorang condong. Condong tampil pertama kali, lalu menyusul dua legong yang menarikan legong lasem. Repertoar dengan tiga penari dikenal sebagai Legong Kraton. Tari ini mengambil dasar dari cabang cerita Panji (abad ke-12 dan ke-13, masa Kerajaan Kadiri), yaitu tentang keinginan raja (adipati) Lasem (sekarang masuk Kabupaten Rembang) untuk meminang Rangkesari, putri Kerajaan Daha (Kadiri), namun ia berbuat tidak terpuji dengan menculiknya. Sang putri menolak pinangan sang adipati karena ia telah terikat oleh Raden Panji dari Kahuripan. Mengetahui adiknya diculik, raja Kadiri, yang merupakan abang dari sang putri Rangkesari, menyatakan perang dan berangkat ke Lasem. Sebelum berperang, adipati Lasem harus menghadapi serangan burung garuda pembawa maut. Ia berhasil melarikan diri tetapi kemudian tewas dalam pertempuran melawan raja Daha.Legong JobogTarian ini, seperti biasa, dimainkan sepasang legong. Kisah yang diambil adalah dari cuplikan Ramayana, tentang persaingan dua bersaudara Sugriwa dan Subali (Kuntir dan Jobog) yang memperebutkan ajimat dari ayahnya. Karena ajimat itu dibuang ke danau ajaib, keduanya bertarung hingga masuk ke dalam danau. Tanpa disadari, keduanya beralih menjadi kera., dan pertempuran tidak ada hasilnya.Legong Legod BawaTari ini mengambil kisah persaingan Dewa Brahma dan Dewa Wisnu tatkala mencari rahasia lingga Dewa Syiwa.Legong KuntulLegong ini menceritakan beberapa ekor burung kuntul yang asyik bercengkerama.Legong SmaradahanaLegong SudarsanaMengambil cerita semacam Calonarang.Beberapa daerah mempunyai legong yang khas. Di Desa Tista (Tabanan) terdapat jenis Legong yang dinamakan Andir (Nandir). Di pura Pajegan Agung (Ketewel) terdapat juga tari legong yang memakai topeng dinamakan Sanghyang Legong atau Topeng Legong. Legong merupakan sekelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari gambuh. Kata Legong berasal dari kata "leg" yang artinya gerak tari yang luwes atau lentur dan "gong" yang artinya gamelan. "Legong" dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan.Legong dikembangkan di keraton-keraton Bali pada abad ke-19 paruh kedua.[1] Konon idenya diawali dari seorang pangeran dari Sukawati yang dalam keadaan sakit keras bermimpi melihat dua gadis menari dengan lemah gemulai diiringi oleh gamelan yang indah. Ketika sang pangeran pulih dari sakitnya, mimpinya itu dituangkan dalam repertoar tarian dengan gamelan lengkap.[2]Sesuai dengan awal mulanya, penari legong yang baku adalah dua orang gadis yang belum mendapat menstruasi, ditarikan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton. Kedua penari ini, disebut legong, selalu dilengkapi dengan kipas sebagai alat bantu. Pada beberapa tari legong terdapat seorang penari tambahan, disebut condong, yang tidak dilengkapi dengan kipas.Struktur tarinya pada umumnya terdiri dari papeson, pangawak, pengecet, dan pakaad.Dalam perkembangan zaman, legong sempat kehilangan popularitas di awal abad ke-20 oleh maraknya bentuk tari kebyar dari bagian utara Bali. Usaha-usaha revitalisasi baru dimulai sejak akhir tahun 1960-an, dengan menggali kembali dokumen lama untuk rekonstruksi.[sunting] Beberapa tari legongTerdapat sekitar 18 tari legong yang dikembangkan di selatan Bali, seperti Gianyar (Saba, Bedulu, Pejeng, Peliatan), Badung (Binoh dan Kuta), Denpasar (Kelandis), dan Tabanan (Tista).Legong Lasem (Kraton)Legong ini yang paling populer dan kerap ditampilkan dalam pertunjukan wisata. Tari ini dikembangkan di Peliatan. Tarian yang baku ditarikan oleh dua orang legong dan seorang condong. Condong tampil pertama kali, lalu menyusul dua legong yang menarikan legong lasem. Repertoar dengan tiga penari dikenal sebagai Legong Kraton. Tari ini mengambil dasar dari cabang cerita Panji (abad ke-12 dan ke-13, masa Kerajaan Kadiri), yaitu tentang keinginan raja (adipati) Lasem (sekarang masuk Kabupaten Rembang) untuk meminang Rangkesari, putri Kerajaan Daha (Kadiri), namun ia berbuat tidak terpuji dengan menculiknya. Sang putri menolak pinangan sang adipati karena ia telah terikat oleh Raden Panji dari Kahuripan. Mengetahui adiknya diculik, raja Kadiri, yang merupakan abang dari sang putri Rangkesari, menyatakan perang dan berangkat ke Lasem. Sebelum berperang, adipati Lasem harus menghadapi serangan burung garuda pembawa maut. Ia berhasil melarikan diri tetapi kemudian tewas dalam pertempuran melawan raja Daha.Legong JobogTarian ini, seperti biasa, dimainkan sepasang legong. Kisah yang diambil adalah dari cuplikan Ramayana, tentang persaingan dua bersaudara Sugriwa dan Subali (Kuntir dan Jobog) yang memperebutkan ajimat dari ayahnya. Karena ajimat itu dibuang ke danau ajaib, keduanya bertarung hingga masuk ke dalam danau. Tanpa disadari, keduanya beralih menjadi kera., dan pertempuran tidak ada hasilnya.Legong Legod BawaTari ini mengambil kisah persaingan Dewa Brahma dan Dewa Wisnu tatkala mencari rahasia lingga Dewa Syiwa.Legong KuntulLegong ini menceritakan beberapa ekor burung kuntul yang asyik bercengkerama.Legong SmaradahanaLegong SudarsanaMengambil cerita semacam Calonarang.Beberapa daerah mempunyai legong yang khas. Di Desa Tista (Tabanan) terdapat jenis Legong yang dinamakan Andir (Nandir). Di pura Pajegan Agung (Ketewel) terdapat juga tari legong yang memakai topeng dinamakan Sanghyang Legong atau Topeng Legong. Tarian Tradisional Legong Keraton (Tari Legong Bali) Legong Keraton adalah sebuah tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat komplek dan diikat oleh struktur tabuh pengiring yang konon mendapat pengaruh dari Tari Gambuh. Kata Legong Keraton terdiri dari dua kata yaitu legong dan kraton. Kata legong diduga berasal dari kata leg yang berarti gerak tari yang luwes. Lemah gemulai. Sementara gong berarti gambelan. leg dan gong digabung menjadi legong yang mengandung arti gerakan yang diikat, terutamaaksentuasinya oleh gambelan yang mengiringinya.Jadi Legong Keraton berarti sebuah tarian istana yang diiiringi oleh gambelan. Sebutan legong kraton merupakan perkembangan berikutnya. Ada praduga bahwa Legong Kraton berasal dari pengembangan Tari Sang Hyang.Pada mulanya legong berasal dari Tari Sang Hyang yang merupakan tari improvisasi dan kemudian gerak-gerak improvisasi itu ditata, dikomposisikan menurut pola atau struktur dari pegambuhan (gambelan). Gerakaan-gerakan tari yang membangun Tari Kraton ini disesuaikan dengan gambelan sehingga tari ini menjadi tarian yang indah, dinamis dan abstrak. Gambelan yang dipakai mengiringi tari ini dalam seni pertunjukan kemasan baru adalah gambelan gong kebyar.Tari Legong atau lebih sering disebut juga dengan Legong Keraton adalah salah satu tarian Bali yang sangat indah,mulai dari costume dan gerakannya yang sangat dinamis,saya sangat suka tarian ini,mata tak akan pernah berkedip untuk bisa menikmati setiap indah gerakannya.Asal mula Legong PeliatanOleh: A.A.Ayu Kusuma Arini, SST.,MSiAsal usul tari legong peliatan. Sebelum tahun 1928, kesenian Legong dibina dan diayomi oleh Puri Agung Peliatan. Menurut Babad Dalem Sukawati, kehidupan berkesenian di Puri Peliatan dan Puri Tegalalang dipengaruhi oleh Puri Sukawati karena masih ada hubungan keluarga. Demikian halnya dengan tarian Legong yang muncul di Sukawati pada awal abad XIX, di Puri Agung Peliatan juga terdapat tarian Legong namun lebih dahulu hidup di Puri Tegalalang. Fungsi tari Legong pada zaman itu sebagai hiburan Raja-Raja. Di samping itu menurut pengakuan A.A.Gde Mandera (alm), tari Legong terus menerus diajarkan karena merupakan dasar tari Bali untuk karakter perempuan. Setelah misi kesenian Bali yang diwakili oleh gong Peliatan kembali dari Paris tahun 1931 dalam Colonial Exhibition dibawah pimpinan Cokorda Gede Sukawati dan A.A.Gde Mandera, maka kehidupan kesenian Peliatan berkedudukan di Puri Kaleran di rumah A.A.Gde Mandera. Semenjak itu kemasyuran tari Legong merebak ke mancanegara menjadi salah satu jenis tari Bali yang paling elok, seiring dimulainya pelayaran kapal-kapal pesiar Belanda yang menandai awal bisnis pariwisata di Bali.Beberapa tahun berselang para peneliti dan budayawan Eropa berdatangan ke Bali untuk mendokumentasikan kebudayaan Bali. Usaha mereka membuahkan berbagai buku dan film tentang kebudayaan Bali terutama seni pertunjukannya. Satu diantaranya yakni Covarrubias sangat tertarik dengan kelincahan gerakan tari Legong sehingga dibuat sketsa secara lengkap dalam buku Island of Bali.

http://www.isi-dps.ac.id/berita/asal-mula-legong-peliatanLegong adalah salah satu tari Bali yang terkenal di dunia pariwisata Bali. Bahkan tarian ini sudah banyak dimainkan di negara negara lain. Dari semua tarian klasik Bali, Legong tetap menjadi intisari feminitas dan keanggunan. Kata Legong berasal dari kata leg yang berarti gerak tari yang luwes atau lentur, gong berarti gamelan; Legong dapat diartikan sebagai gerak tari yang terikat oleh gamelan yang mengiringinya.Konon ide awal dari Tari Legong berasal dari seorang pangeran dari Sukawati yang dalam keadaan sakit keras bermimpi melihat dua gadis menari dengan lemah gemulai diiringi oleh gamelan yang indah. Ketika sang pangeran sembuh dari sakitnya mimpi tersebut dituangkan kedalam tarian dengan gamelan lengkap. Tari Legong ditarikan oleh 2 orang penari anak anak yang belum puber (14 tahun-an), namun pada beberapa Tari Legong terdapat seorang penari tambahan yang disebut dengan condong yang tidak dilengkapi dengan kipas; selain itu juga pada beberapa tempat Tari Legong ini ditarikan oleh wanita dewasa.Terdapat sekitar 18 tari Legong yang dikembangkan di selatan Bali, seperti Gianyar, Badung, Denpasar dan Tabanan; misalnya Tari Legong Kraton (Lasem), Tari Legong Jobog, Tari Legong Legod Bawa, Tari Legong Kuntul, beberapa daerah mempunyai legong yang khas. Di Desa Tista (Tabanan) terdapat jenis Legong yang dinamakan Andir (Nandir). Di pura Pajegan Agung (Ketewel) terdapat juga tari legong yang memakai topeng dinamakan Sanghyang Legong atau Topeng Legong.Salah satu Tari Legong yang paling terkenal adalah Legong Kraton (Lasem), pada Tari Legong ini seorang penari (condong) akan muncul pertama kali, kemudian menyusul 2 orang penari (legong). Tari ini mengambil dasar dari cabang cerita Panji(abad ke-12 dan ke-13, masa kerajaan yaitu tentang keinginan raja (adipati) Lasem (sekarang termasuk kabupaten Rembang) untuk meminang Rangkesari, putri kerajaan Daha (Kadiri), namun ia berbuat tidak terpuji dengan menculik putri tersebut. Sang putri menolak pinangan sang Adipati karena ia telah terikat oleh Raden Panji dari Kahuripan. Mengetahui adiknya diculik, raja Kadiri yang merupakan kakak dari putri Rangkesari menyatakan perang dan berangkat ke Lasem. Sebelum berperang, sang Adipati Lasem harus berperang menghadapi serangan burung garuda, dan ia berhasil lolos. Namun akhirnya ia meninggal dalam perang melawan raja Daha.2. Tarian Legong jobog kadiri adalah yang ditarikan oleh sepasang legong (hanya 2 penari). Tari Legong Jobog ini mengisahkan mengenai cuplikan cerita Ramayana, yaitu persaingan Sugriwa dan Subali (Kuntir & Jobog) yang memperebutkan jimat dari ayahnya. Karena jimat tersebut dibuang ke danau ajaib, keduanya kemudian bertarung hingga masuk ke dalam danau; tanpa disadari keduanya akhirnya berubah menjadi kera dan pertarungan tersebut sia-sia dan tidak memberikan hasil.Busana tari legongUntuk mengenali Tari Legong cukup mudah, dapat dilihat dari hiasan kepala yang berbentuk seperti tanduk bunga dan kipas (walaupun ada tari Legong yang tidak menggunakan kipas) kemudian bentuk pakaian penarinya yang berlengan panjang dan terdapat hiasan kain emas dari dada hingga ke paha. Pertunjukan Tari Legong ini banyak di daerah Ubud, jadi kalau jalan jalan ke Ubud, menonton Tari Legong bisa menjadi pilihan.http://www.letsgotobali.net/2010/09/feminitas-dan-keanggunan/http://www.youtube.com/watch?v=c11F8O6E93E&feature=player_embedded

Berawal dari Istana, Akhirnya Jadi ''Konsumsi'' TurisAda perhelatan akbar yang digelar Pemkab Gianyar di Yayasan Dharma Bakti Astra (YDBA) Galeri, Jakarta. Lewat kegiatan bertajuk ''Gianyar Festival'' yang dirangkaikan dengan pameran produk-produk kerajinan para perajin Gianyar. Selain itu, jika dipentaskan tarian klasik Legong yang reputasinya sudah mendunia. ============================================================Dari sekian jenis tari Legong yang dikenal di Bali, satu di antaranya ''Legong Semarandana'' rencananya dipentaskan di Jakarta untuk menghibur para duta besar/konsul negara sahabat dan pejabat pusat maupun pengunjung pameran secara umum. Dalam perkembangannya, Legong lantas sangat lekat dengan ''embel-embel'' keraton sehingga masyarakat Bali saat ini lebih mengenal seni balih-balihan (seni pertunjukkan-red) ini sebagai Legong Keraton. Ada dugaan, penambahan atribut keraton itu merupakan bentuk penghormatan lantaran seni tari ini diyakini awal mulanya tumbuh dan berkembang di lingkungan di istana (puri). Baru kemudian berkembang menjadi seni komunal yang sah-sah saja dinikmati oleh masyarakat kebanyakan. Belakangan ini, tari Legong dengan berbagai versinya bahkan sudah jadi semacam ''konsumsi'' wajib bagi para wisatawan yang berkunjung ke Bali.Di kawasan pariwisata Ubud, Gianyar, misalnya, tari Legong sudah masuk kalender tetap atraksi kepariwisataan dan dipentaskan secara rutin. Realitanya, terlalu mudah bagi kita untuk menemukan jargon ''Legong Dance'' dalam brosur, pamflet, leaflet dan rupa-rupa ''barang'' promosi pariwisata Bali lainnya.Ketua Sanggar Tari dan Tabuh Semara Ratih Ubud A.A. Anom Putra tidak menampik bahwa tari Legong sudah begitu menyatu dengan pariwisata Bali. Ibarat sebuah senyawa, antara Legong dan pariwisata Bali seolah tidak terpisahkan satu sama lain. Setiap kali insan pariwisata Bali ''menjajakan'' dagangannya ke mancanegara, jenis kesenian satu ini acap kali disertakan dan dipentaskan sebagai magnet penarik kaum pelancong berkunjung ke Bali. ''Tidak banyak literatur yang mengulas asal mula kelahiran maupun perkembangan tari Legong secara mendetail. Namun, ada kemungkinan tarian ini merupakan hasil kesenian istana (puri-red),'' katanya.Ditegaskan, tari-tarian ini secara rutin masih "mewarnai" pentas-pentas hiburan di Bali. Dengan kata lain, nasibnya jauh lebih beruntung dibandingkan tari gambuh, wayang wong hingga drama gong yang kini sangat jarang dipentaskan. ''Kalau boleh dianalogikan, Legong itu merupakan tari Bali klasik evergreen. Dia tetap punya daya pukau, baik di kalangan wisatawan maupun masyarakat lokal Bali.Tari BerceritaAnom Putra menambahkan, tari Legong merupakan jenis tari Bali yang mempunyai struktur cerita atau lebih dikenal sebagai fragmentari. Sedikitnya, ada lima belas tema cerita yang biasa diangkat ke dalam tari Legong. Di antaranya, Malat yang mengisahkan kehidupan Prabu Lasem, Jobog yang mengisahkan Subali dan Sugriwa berubah jadi kera setelah menyelam di telaga Nirmala lantaran memperebutkan cupu manik Astigina, Candrakanta yakni kisah mengenai bulan dan matahari, Sudarsana yang merupakan petikan dari cerita Calonarang, dan Kuntir yang memotret kisah Subali dan Sugriwa sewaktu kecil.Namun, dari lima belas lakon yang diangkat dalam tari Legong itu hanya lima di antaranya Lasem, Kuntir, Legod Bawa, Sudarsana dan Semarandana -- merupakan fragmentari utuh atau dimainkan secara lengkap. Sementara yang lainnya hanya merupakan kiasan atau peniruan dari keindahan gerak binatang, bunga dan