38
Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011 Abstrak: Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara. Kiprahnya dalam memajukan bangsa tidak bisa dipandang sebelah mata. Pendidikan di pesantren sendiri dikenal holistik dan menyeluruh, dengan menempatkan aspek moralitas, ketuhanan, dan martabat kemanusiaan secara utuh sebagai hal yang substansial, sekaligus merupakan hakikat dan inti tujuan dari pendidikan. Berdasarkan kenyataan tersebut, artikel ini mengusulkan pesantren sebagai pusat peradaban Muslim di Indonesia. Dalam rangka menjadikan pusat peradaban tersebut, artikel ini berargumen empat hal mesti dilakukan, yakni rekonstruksi pendidikan pesantren, pembenahan sistem dan manajemen pesantren, penguatan kultur pesantren, dan dukungan kebijakan pemerintah. Kata Kunci: Pesantren, peradaban Muslim, Indonesia. A. Pendahuluan Dalam perjalanan sejarah peradaban umat manusia, Islam pernah tampil sebagai pusat peradaban dunia yang berlangsung selama kurun waktu ratusan tahun. Kondisi ini berlangsung seiring dengan pesatnya proses penyebaran Islam ke berbagai belahan dunia. Di dalam periodeisasi sejarah peradaban Islam, masa kejayaan Islam ini sering dikenal dengan istilah golden age atau masa keemasan Islam. 1 Menggagas Pesantren sebagai Pusat Peradaban Muslim di Indonesia Mohamad Kholil STAI Sayid Sabiq dan STKIP NU Indramayu

Asal Mula Pesantren

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Asal Mula Pesantren

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

Abstrak:Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara.Kiprahnya dalam memajukan bangsa tidak bisa dipandang sebelahmata. Pendidikan di pesantren sendiri dikenal holistik danmenyeluruh, dengan menempatkan aspek moralitas, ketuhanan,dan martabat kemanusiaan secara utuh sebagai hal yangsubstansial, sekaligus merupakan hakikat dan inti tujuan daripendidikan. Berdasarkan kenyataan tersebut, artikel inimengusulkan pesantren sebagai pusat peradaban Muslim diIndonesia. Dalam rangka menjadikan pusat peradaban tersebut,artikel ini berargumen empat hal mesti dilakukan, yaknirekonstruksi pendidikan pesantren, pembenahan sistem danmanajemen pesantren, penguatan kultur pesantren, dandukungan kebijakan pemerintah.Kata Kunci: Pesantren, peradaban Muslim, Indonesia.

A. PendahuluanDalam perjalanan sejarah peradaban umat manusia, Islam pernahtampil sebagai pusat peradaban dunia yang berlangsung selama kurunwaktu ratusan tahun. Kondisi ini berlangsung seiring dengan pesatnyaproses penyebaran Islam ke berbagai belahan dunia. Di dalamperiodeisasi sejarah peradaban Islam, masa kejayaan Islam ini seringdikenal dengan istilah golden age atau masa keemasan Islam.1

Menggagas Pesantren sebagai PusatPeradaban Muslim di Indonesia

Mohamad KholilSTAI Sayid Sabiq dan STKIP NU Indramayu

Page 2: Asal Mula Pesantren

298

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MOHAMAD KHOLIL

Di Indonesia sendiri, menurut pendapat yang lebih kuat,pengaruh Islam telah masuk sejak abad ke-7 M atau abad pertamaHijriyah, yaitu melalui para pedagang dari semenanjung Arabia. Dimana, selain berdagang mereka juga menjadi penyebar Islam diNusantara dan melakukan perkawinan dengan wanita setempat(pribumi). Sehingga, meskipun penduduk pribumi saat itu belumbanyak yang memeluk agama Islam, tetapi komunitas muslimpertama telah berhasil dibentuk yang terdiri dari orang-orang Arabpendatang dan penduduk lokal, sebagaimana yang didapatkan parapengelana dari Cina di pesisir utara Sumatera (Aceh) dan komunitasIslam di wilayah Sriwijaya.2

Namun demikian, perkembangan Islam secara massif danintensif di Indonesia baru terlihat pada beberapa abad setelahnya,yaitu pada abad ke 12 M dan 13 M melalui para juru dakwah(muballigh) dari kalangan ulama sufi. Penyebaran Islam di Indonesiapertama kali dilakukan di pesisir utara Sumatera (Aceh), karena posisiselat Malaka sebagai jalur perdagangan penting dunia, baru kemudianmenyebar ke daerah timur dan utara, seperti Jawa (1450 M),Kalimantan (1580 M), Maluku (1490 M), Sulawesi (1600 M), Sulu(1450 M) hingga ke Filipina Selatan (1480 M). Menurut Azra, faktorutama yang menunjang keberhasilan Islamisasi di Indonesia iniadalah lantaran kemampuan para penyebar Islam yang umumnyapara sufi dalam menyajikan kemasan ajaran Islam yang atraktif, danmenekankan aspek-aspek keluwesan ajaran Islam khususnya tasawufdengan mistisisme setempat.3

Pada fase selanjutnya, penyebaran dan pendalaman ajaran Islamdi Indonesia mulai difokuskan dalam sebuah institusi pendidikantradisional yang disebut “pesantren”. Meski pesantren dalam artilembaga pendidikan tempat dilakukannya pengajaran tekstual barumuncul pada sekitar abad ke-18, namun berdasarkan catatan sejarahdisebutkan bahwa berdirinya pesantren sesungguhnya sudah adasejak masa-masa awal penyebaran Islam di Indonesia, terutama diJawa. Tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah MaulanaMalik Ibrahim (wafat 1419 M), tokoh Walisongo. Maulana Malik

Page 3: Asal Mula Pesantren

299

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM

Ibrahim menggunakan masjid dan pesantren untuk pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokohWalisongo yang juga mendirikan pesantren di wilayahnya masing-masing, seperti Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri di Gresik,Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Lamongan, dan Raden Fatahdi Demak.4

Sebagai sebuah tempat penyebaran sekaligus institusipendidikan Islam tertua di Indonesia, pesantren memiliki banyaksekali tradisi dan potensi nilai-nilai keadaban. Sejak awalkemunculannya hingga sekarang, pesantren memiliki arti dan peranyang sangat penting di tengah-tengah masyarakat. Hingga, tidaksedikit kalangan pengkaji Islam Indonesia menyebut pesantrensebagai kampung peradaban, artefak peradaban Indonesia, sub-kultur, institusi kultural, dan lain-lain.

Potensi pesantren sebagai center of civilized muslim di Indonesiaini diwujudkan dalam bentuk khazanah intelektual yang melekat didalam pesantren berupa tradisi “kitab kuning”, di samping tradisi-tradisi lainnya seperti sikap dan perilaku tasamuh, tawassuth, dantawazun.5

Dalam konteks sekarang, pembahasan seputar eksistensipesantren dalam kerangka pendidikan Islam di Indonesia merupakansesuatu yang dirasa makin penting. Dengan diterbitkannya Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 dan Peraturan PemerintahNo. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan,pesantren seperti mendapatkan “amunisi” baru yangmemposisikannya secara formal setara dengan model-modelpendidikan yang lain (pendidikan formal) di hadapan Undang-Undang dan Kebijakan Pemerintah. Kondisi ini tentunya sangatpositif sekaligus merupakan sebuah tantangan tersendiri bagieksistensi dan masa depan pesantren.

Sejauh ini, berdasarkan data dari Direktorat Pedidikan Diniyahdan Pondok Pesantren Kementerian Agama RI, dari segi kuantitasjumlah pesantren di Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari14.067 dengan jumlah santri sebanyak 3.149.374. Dari jumlah

Page 4: Asal Mula Pesantren

300

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MOHAMAD KHOLIL

tersebut, lebih dari 8.000 pesantren adalah pesantren bercoraksalafiyah. Pesantren salafiyah ini memfokuskan dirinya padapembelajaran agama melalui kajian kitab kuning. Sementaraselebihnya adalah pesantren non-salafiyah, yakni pesantren yangkegiatannya dilakukan di sekolah atau madrasah formal selain belajardi pesantren.6

Sungguhpun demikian, dengan dinamika dan perkembanganzaman serta situasi yang terjadi, tidak sedikit tantangan dan tuntutanyang mengharuskan pesantren segera melakukan upaya-upayapembenahan dan langkah pengembangan ke depan yang lebih baik.Selain terkait unsur-unsur pokok yang ada di dalam pesantren,masalah pemulihan citra pesantren yang beberapa tahun terakhir inisempat “tercoreng” akibat aksi-aksi brutal segelintir orang pelakuteror yang dikait-kaitkan dengan pesantren tertentu, merupakansesuatu yang juga harus dipikirkan dan diantisipasi secara serius. Halini sangat penting demi mewujudkan potensi pesantren sebagai pusatperadaban muslim di Indonesia, sekaligus untuk menampilkan wajahIslam Indonesia di mata dunia internasional yang santun dan toleransesuai dengan jiwa pesantren, serta dapat menjadi penebar rahmatdan kedamaian bagi umat manusia. Berdasarkan uraian di atas, didalam tulisan ini penulis merumuskan dua permasalahan: mengapainstitusi pesantren perlu digagas sebagai pusat peradaban muslim diIndonesia?; apa saja upaya-upaya yang perlu dilakukan untukmenjadikan pesantren sebagai pusat peradaban muslim di Indonesia?

B. Historisitas Pesantren

Asal Mula Kata “Pesantren”Secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islamtertua di Indonesia yang dikembangkan secara indigenous olehmasyarakat Indonesia. Karena pada dasarnya, pesantren merupakansebuah produk budaya masyarakat Indonesia yang menyadari akanarti penting pendidikan bagi warga pribumi yang tumbuh secaranatural. Terlepas dari mana tradisi dan sistem pesantren tersebut

Page 5: Asal Mula Pesantren

301

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM

diadopsi, tidak akan mempengaruhi pola pesantren yang unik (khas)dan telah sekian lama mengakar serta hidup dan berkembang ditengah-tengah masyarakat.

Amir Hamzah, sebagaimana dikutip Karel A. Steenbrinkmenyatakan, secara terminologi dapat dijelaskan bahwa budayapesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistem pendidikannya, berasaldari India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistemtersebut telah terlebih dahulu digunakan secara umum untukpendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islammasuk dan tersebar di Jawa, sistem tersebut kemudian diadopsi olehpara ulama penyebar Islam. Istilah-istilah yang ada di pesantren pun,seperti mengaji bukanlah berasal dari istilah Arab, melainkan dariIndia. Demikian juga istilah langgar di Jawa, surau di Minangkabau,dan rangkang di Aceh, bukanlah istilah Arab, tetapi dari istilah yangterdapat di India.7

Ada beberapa pendapat mengenai asal mula kata “pesantren”.Prof. John berpendapat, bahwa kata pesantren berasal dari term“santri” yang diderivasi dari bahasa Tamil yang berarti “gurumengaji”. Sementara C.C. Berg berpendapat lain, bahwa kata santrimenurutnya berasal dari bahasa India “shastri” yang berarti “orangyang memiliki pengetahuan tentang kitab suci”. Berbeda dengankeduanya, Robson berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasaTamil “sattiri” yang berarti “orang yang tinggal di sebuah rumahgubuk atau bangunan keagamaan secara umum”.8 Pendapat lainmengatakan bahwa santri berasal dari bahasa Sanskerta “cantrik”yang berarti “orang yang selalu mengikuti guru”. Ada pula pendapatyang menyatakan bahwa santri pada awalnya merupakan gabungandari kata “saint” (manusia baik) dan “tra” (suka menolong), sehinggakata pesantren diartikan sebagai tempat pendidikan manusia baik-baik.9

Dalam hubungan ini, kata Jawa “pesantren” yang diturunkandari kata “santri” dengan awalan dan akhiran “pe-an”, memberimakna sebuah pusat pendidikan Islam tradisional atau sebuahpondok untuk para siswa (santri) sebagai model pendidikan agama

Page 6: Asal Mula Pesantren

302

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MOHAMAD KHOLIL

di Jawa.Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai asal mula kata

pesantren, yang penting untuk digarisbawahi adalah bahwa pesantrenmerupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang masih tetapkonsisten sampai sekarang di dalam memelihara nilai-nilai, budayaatau tradisi, serta keyakinan agama yang kuat. Bahkan, pesantrenmerupakan lembaga pendidikan yang diakui sejak awal sangatindependen atau mandiri. Dalam hal ini, Malik Fadjar dalam AminHaedari pernah membanggakan kemandirian pesantren ini denganmengatakan:

Ditinjau dari sisi kemandirian, pesantren jelas lebih unggul dibanding-kan lembaga perguruan tinggi yang meski terkesan “wah” tetapi justerumerupakan lembaga pendidikan yang seharusnya paling bertanggung-jawab terhadap membludaknya angka pengangguran di masyarakat.10

Sejarah Berdirinya PesantrenSejak zaman pra-Islam, di Jawa sudah berkembang desa-desaperdikan dengan tokoh agama yang kharismatik dan dianggap“keramat” oleh masyarakat. Ketika para penduduk masuk Islam, desa-desa perdikan Islam juga terbentuk dengan pesantren-pesantren yangada di dalamnya, dan mereka dibebaskan dari pajak. Istilah yanghampir sama juga sudah ada di daerah lain, bahkan lebih dulu daripada istilah pesantren itu sendiri. Di Aceh misalnya, daerah pertamadi Indonesia yang menerima ajaran Islam, pesantren disebut dengan“dayah” atau “rangkang”, “meunasah”. Di Pasundan ada “pondok”,dan di Minangkabau ada “surau”. Di dalam pesantren, para santrimelakukan telaah agama, dan di sana pula mereka mendapatkanbermacam-macam pendidikan rohani, mental spiritual, dan sedikitbanyak pendidikan jasmani”.11

Secara historis, meski pesantren dalam arti lembaga pendidikantempat dilakukannya pengajaran tekstual baru muncul pada sekitarabad ke-18, namun dari catatan sejarah disebutkan bahwa berdirinyapesantren sesungguhnya sudah ada sejak masa-masa awalpenyebaran Islam di Indonesia, terutama di Jawa. Tokoh yang

Page 7: Asal Mula Pesantren

303

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM

pertama kali mendirikan pesantren adalah Maulana Malik Ibrahim(wafat 1419 M). Maulana Malik Ibrahim menggunakan masjid danpesantren untuk pengajaran ilmu-ilmu agama Islam, yang padagilirannya melahirkan tokoh-tokoh Walisongo yang juga mendirikanpesantren di wilayahnya masing-masing, seperti Sunan Ampel diSurabaya, Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajatdi Lamongan, dan Raden Fatah di Demak. Bahkan, tercatat kemudian,murid-murid pesantren Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islamdi Jawa dan Madura, termasuk pulau-pulau di Indonesia bagianTimur, seperti Lombok, Sumbawa, Bima, Makasar, Ternate, Kangeanhingga Maluku. 12

Pada periode-periode selanjutnya seperti halnya di masaWalisongo, proses berdirinya pondok pesantren tidak pernah lepasdari kehadiran seorang ulama yang bercita-cita untuk menyebarkanIslam di daerahnya. Ulama tersebut biasanya sudah pernah bermukimselama beberapa tahun untuk mengaji dan mendalami pengetahuanagama Islam, baik di pesantren-pesantren di Indonesia maupun diMekkah dan Madinah. Setelah kembali ke tempat asalnya, ia lalumendirikan sebuah “surau” untuk digunakan shalat berjama’ah danaktivitas-aktivitas lainnya.

Kebanyakan pesantren didirikan secara pribadi oleh seorangkyai. Hal ini merupakan faktor yang memperkuat eksisitensipesantren, meski faktor ini pula, yang jika tanpa diperkuat oleh faktorpendukung lain akan menjadikan pesantren tertentu menjadi lemahatau mati. Bahkan, lantaran kharisma dan pengaruh yang dimiliki,tidak sedikit kyai atau ulama yang dianggap oleh masyarakat sebagaicikal bakal berdirinya suatu daerah.

Sebagai lembaga pendidikan Islam, setiap pesantren setidak-tidaknya memiliki 5 (lima) elemen dasar, yaitu: masjid atau musholla,kyai atau pengasuh pesantren, santri, pondok atau asrama santri, danpengajaran kitab-kitab (kitab kuning).

Menurut catatan Martin Van Brunessen, belum ada lembagasemacam pesantren di Kalimantan, Sulawesi dan Lombok sebelumabad ke-20. Transmisi ilmu-ilmu keislaman di sana masih sangat

Page 8: Asal Mula Pesantren

304

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MOHAMAD KHOLIL

informal. Anak-anak dan orang-orang desa belajar membaca danmenghafal al-Qur’an hanya dari orang-orang kampungnya sendiriyang terlebih dahulu menguasai. Apabila ada seorang haji ataupedagang Arab yang kebetulan singgah di desa, orang-orang desa akanmemintanya singgah selama beberapa hari untuk mengajarkan kitabdan ajaran Islam. Ulama setempat di beberapa daerah jugamemberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid. Muridyang sangat berminat akan mendatanginya untuk belajar dan bahkantinggal di rumahnya. Murid-murid yang ingin belajar lebih lanjutbiasanya akan pergi “mondok” ke Jawa, atau bila memungkinkanpergi ke Mekkah. Itulah situasi yang ada di Jawa dan Sumatera padaabad-abad pertama penyebaran Islam.13

Irfan Hielmy, salah seorang tokoh pesantren di Ciamis JawaBarat dalam bukunya Wacana Islam menjelaskan, bahwaberdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama Islam diIndonesia telah dimulai sejak tahun 1596. Kegiatan agama inilah yangkemudain dikenal dengan nama Pesantren. Bahkan dalam catatanHoward M. Federspiel, salah seorang pengkaji ke-Islaman diIndonesia, bahwa menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi Islam diAceh dan Palembang (Sumatera), termasuk di Jawa Timur dan Gowa(Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-tulisan penting dan telahmenarik minat banyak santri untuk belajar.14

Di Sulawesi Selatan, masjid selain digunakan sebagai tempatshalat berjama’ah juga difungsikan sebagai pesantren sekaligus.Masjid yang didirikan di Kallukobodae (Goa-Tallo) juga berfungsisebagai pusat pengajian di daerah itu. Ajaran yang diberikan adalahseputar syari’at Islam, rukun Islam, hukum perkawinan, warisan, danupacara hari besar Islam. Sejak awal perkembangan Islam di SulawesiSelatan, orang-orang Melayu yang tinggal di Makassar dan sekitarnyamempunyai peranan penting dalam penulisan dan penyalinan kitab-kitab agama Islam dari bahasa Melayu ke bahasa Makassar.15

Sedangkan sejarah pesantren di Jawa bagian Barat, Serat Centinimenceritakan adanya sebuah pesantren yang bernama “Karang” diBanten, yang terletak di sekitar Gunung Karang, Pandeglang, Banten.

Page 9: Asal Mula Pesantren

305

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM

Salah satu tokohnya adalah Danadharma yang mengaku telah belajarselama 3 tahun kepada Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, tokoh sufi yangwafat di Baghdad. Tokoh utama lainnya ialah Jayengresmi aliasAmong Raga. Ia belajar di Paguron Karang di bawah bimbinganseorang Arab bernama Syekh Ibrahim bin Abu Bakar yang dikenaldengan julukan Ki Ageng Karang. Selanjutnya Jayengresmi bergurulagi kepada Ki Baja Panutra di desa Wanamarta. Di sini iamenunjukkan pengetahuannya yang sangat mendalam tentang kitab-kitab ortodoks.16

Demikian pesantren telah menjadi pusat penyebaran Islam yangsangat efektif di Indonesia sejak awal berdirinya. Kesuksesan iniditunjang oleh posisi penting para kyai, ajengan, tengku, tuan guru,atau tokoh agama lainnya di tengah-tengah masyarakat. Merekabukan hanya dipandang sebagai penasehat di bidang spiritual saja,akan tetapi dianggap sebagai tokoh kharismatik bagi murid (santri)dan masyarakatnya. Kharisma kyai ini didasarkan pada kekuatanspiritual dan kemampuan memberi berkah karena kedekatannyadengan Tuhan. Ziarah ke kuburan para kyai dan waliyullahdipandang sebagai bagian integral dari wasilah atau keperantaraanspiritual. Mata rantai yang terus tersambung melalui guru-guruterdahulu dan waliyullah hingga Nabi, dianggap sangat penting untukkeselamatan dan kedamaian hidup di dunia dan akhirat.17

Tradisi PesantrenPesantren merupakan bentuk khas model pendidikan IslamIndonesia. Meski pesantren merupakan lembaga pendidikan yangbercorak Islam tradisional, namun dalam beberapa aspek pesantrenmemiliki keunikan dibanding lembaga pendidikan Islam tradisionallain mana pun di dunia. Pada saat yang sama, pesantren jugasesungguhnya memiliki orientasi internasional, dengan Mekkahsebagai pusat orientasinya, bukan Indonesia.

Sebut saja misalnya tradisi “kitab kuning”, jelas bukan berasaldari Indonesia. Semua kitab kuning yang dipelajari di Indonesia

Page 10: Asal Mula Pesantren

306

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MOHAMAD KHOLIL

menggunakan bahasa Arab, dan sebagian besar ditulis sebelum ajaranIslam tersebar di Indonesia. Bahkan, pergeseran perhatian utamadalam tradisi kitab kuning tersebut pun sejalan dengan pergeseranserupa yang terjadi di sebagian besar dunia Islam. Sejumlah kitabkuning yang dipelajari di pesantren meski relatif baru, tetapi tidakditulis di Indonesia, melainkan di Mekkah dan Madinah.

Keberadaan pesantren yang tidak bisa dilepaskan dari tradisikajian kitab kuning sebagai literatur utamanya tersebut, menjadikaneksistensi pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisionaldi Indonesia tetap terjaga.

Di dalam pesantren dapat dikatakan tidak ada keseragamankurikulum terkait kitab yang dikaji. Bahkan, sebagian pesantrenmengkhususkan dirinya pada bidang ilmu tertentu sesuai dengandisiplin keilmuan yang digeluti oleh sang kyai (pesantren takhassus),meskipun tentu saja dengan tetap tanpa mengesampingkan bidangilmu lainnya. Hal yang sangat diperhatikan oleh lembaga pesantrenadalah selektifitas terhadap kitab-kitab yang diajarkan kepada parasantri (kitab-kitab mu’tabarah). Hampir seluruh kitab yang dikaji dipesantren adalah kitab-kitab madzhab dan sangat memperhatikanisnad kitab-kitab tersebut hingga sampai kepada pengarangnya.

Tradisi pesantren yang selalu mengkaji dan membahas segalapersoalan kehidupan kemasyarakatan berdasarkan kitab kuning telahmenjadikan pesantren mempunyai bentuknya tersendiri. Di dalammenghadapi berbagai masalah, baik menyangkut keagamaan maupunproblem-problem kemasyarakatan, pesantren selalu menggunakankitab kuning sebagai rujukannya, yang ditulis oleh ulama salafusshalih.

Selain tradisi kitab kuning, masih banyak tradisi lain dan nilai-nilai luhur yang dikembangkan di pesantren, seperti sikap danperilaku tasamuh, tawassuth, dan tawazun. Tasamuh berarti tolerandi dalam perbedaan pendapat keagamaan, dan di dalam urusankemasyarakatan dan kebudayaan. Tawassuth berarti sikap tengahyang ber-intikan keadilan di tengah kehidupan bersama, sertamenjadi panutan, bertindak lurus, bersifat membangun dan tidak

Page 11: Asal Mula Pesantren

307

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM

ekstrem. Tawazun berarti keseimbangan dalam berkhidmat kepadaAllah SWT., berkhidmat kepada sesama manusia dan kepadalingkungan, serta keselarasan antara masa lalu, masa kini, dan masadepan.18

Perkembangan dan Fungsi PesantrenSejak pertengahan abad ke-20, di Indonesia telah terdapat 2 (dua)macam kecenderungan sistem pendidikan, yaitu sistem pendidikankaum kolonial (disebut juga sistem pendidikan modern-sekuler) dansistem pendidikan pribumi yang bertumpu pada model pendidikanpesantren (tradisional).

Sistem pendidikan kaum kolonial lebih condong kepada aspekilmu pengetahuan umum dan keterampilan pragmatis yang bersifatintelektualistik, individualistik, serta cenderung kepada westerniasidan kristenisasi.19 Sistem pendidikan kaum kolonial ini belakangandikenal dengan model pendidikan sekolah. Pada masa itu, sedikitsekali warga pribumi yang memperoleh kesempatan untukmendapatkan manfaat dari lembaga pendidikan kolonial, karenalembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh kaum kolonialtersebut hanya diperuntukkan bagi kalangan tertentu saja dariketurunan warga pribumi, seperti kaum bangsawan, pejabatpemerintahan, dan sejenisnya. Tegasnya, sistem pendidikan kaumkolonial ini sangat dibatasi bagi warga pribumi Indonesia, dan justerusangat terbuka bagi warga keturunan bangsa asing seperti Cina danArab.

Selain itu, sebagian warga pribumi yang mayoritas menganutajaran Islam pada saat itu menganggap bahwa mengikuti pendidikankaum kolonial adalah sesuatu yang “diharamkan”, berdasarkan sifatsekuler dan semangat westernisasi serta misi kristenisasi yangterkandung di dalamnya.

Sebagai institusi pendidikan tertua di Indonesia, pesantrensudah ada jauh sebelum datangnya kaum kolonial ke tanah air. Padadasarnya, sistem pendidikan pesantren ini diselenggarakan dalam

Page 12: Asal Mula Pesantren

308

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MOHAMAD KHOLIL

rangka mendidik masyarakat (santri20) agar memiliki kepribadian danmoralitas yang luhur serta pemahaman dan praktek keagamaan yangmendalam.

Pesantren saat itu telah memiliki banyak tipe dan spesialisasikeilmuan yang berbeda-beda. Pesantren Termas di Pacitan JawaTimur misalnya, dikenal sebagai pesantren yang memiliki spesialisasiilmu ‘alat (struktur dan tata bahasa serta literatur Arab, dan logika).Sementara Pesantren Jampes di Kediri, dikenal luas sebagaipesantren tasawuf.21 Selain itu, popularitas pesantren pada umumnyasangat tergantung pada reputasi dan kedalaman ilmu agama yangdimiliki pengasuhnya (kyai).

Di masa kolonial, eksistensi pesantren selalu dihadapkan secaradikotomis dengan sistem pendidikan kolonial dalam 2 (dua) kutubyang saling berlawanan: pendidikan tradisional (pesantren; pribumi)di satu sisi, dan pendidikan modern-sekuler (sekolah; pemerintah)di sisi lain. Bahkan, oleh kaum kolonial pesantren sering kali dianggapsebagai sebuah ancaman dan perlawanan. Karena, pesantren selainsebagai lembaga pendidikan, juga merupakan “agen perubahansosial”. Sebut saja misalnya apa yang dilakukan oleh Hasyim Asy’aridengan pesantren yang didirikannya di Tebuireng pada tahun 1899.

Bagi Hasyim Asy’ari, pesantren tidak hanya berfungsi sebagaiinstitusi pendidikan atau lembaga moral religius, namun lebih dariitu, pesantren merupakan sarana penting untuk membuat perubahan-perubahan mendasar di dalam masyarakat secara luas. Ia juga yakinbahwa tradisi pesantren merupakan sebuah cerminan budaya Islamdengan continuity and change-nya yang berasal dari warisanintelektual dan kultural kaum Muslim Jawa masa awal, khususnyaWalisongo. Model Walisongo ini telah diyakini oleh seluruh kalangansantri Jawa, karena Walisongo adalah model yang baik bagi mereka.

Hingga memasuki awal dekade abad ke-20, di Jawa mulaiterlihat adanya gejala perkembangan dan arah baru dunia pesantrenyang dimotori oleh Pesantren Tebuireng. Ini sebagaimanadikemukakan oleh M. Yunus, ahli sejarah yang pernah mengunjungiberbagai pesantren pada tahun 1950-an, bahwa kelahiran Pesantren

Page 13: Asal Mula Pesantren

309

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM

Tebuireng menandai era baru perkembangan pesantren diIndonesia.22

Master plan Pesantren Tebuireng yang dirancang oleh HasyimAsy’ari ini tidak sia-sia. Ia menciptakan sebuah tradisi pesantren didalam dirinya sendiri sebagai seorang santri yang tekun, sekaliguskyai yang tegas namun baik hati dalam keluarga dan pesantrennya.Pernyataan terakhir ini bisa dijelaskan dengan mengamatipertumbuhan dan perkembangan terakhir dari lembaga tersebut. Dari8 hingga 28 orang santri pada awal berdirinya, pesantren ini lalutumbuh dengan ribuan santri pada dekade berikutnya. Para santri dipesantren ini pada gilirannya banyak yang menunjukkan kemajuanmereka yang pesat dan menjadi pemimpin di tengah masyarakat.

Dilaporkan bahwa ketika Hasyim Asy’ari wafat pada tahun 1947,ia telah berhasil mendidik tidak kurang dari puluhan ribu santri yangberasal dari seluruh Indonesia.23 Prestasi yang luar biasa ini tidakakan tercapai, jika Hasyim Asy’ari bukan seorang kyai yangkharismatik dengan berbagai keunggulan dan kualitas yang ada didalam dirinya, seperti ketegasan, simpati, dan kepandaian dengankepribadian yang menyenangkan.

Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuirengmenggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Bentukpengajarannya saat itu tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikankelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca(khatam). Materinya pun hanya berkisar pada Pengetahuan AgamaIslam dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawadengan huruf pegon (tulisan Arab berbahasa Jawa).

Seiring perjalanan waktu, sistem dan metode pengajaran dipesantren ditambah, di antaranya dengan menambah “kelasmusyawarah” sebagai jenjang kelas tertinggi. Santri yang masuk kedalam kelas musyawarah jumlahnya sangat kecil, karena seleksinyayang sangat ketat. Pada tahun 1916, Kyai Ma’sum Ali, menantupertama Hasyim Asy’ari dari puterinya yang bernama Khairiyah,mengenalkan sistem pengajaran klasikal (madrasah). Sistem klasikal(madrasah) ini merupakan sistem pengajaran yang diadopsi dari

Page 14: Asal Mula Pesantren

310

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MOHAMAD KHOLIL

Makkah.Pada tahun itu juga Madrasah Tebuireng membuka 7 (tujuh)

jenjang kelas yang dibagi menjadi 2 (dua) tingkatan. Tahun pertamadan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapanbagi para santri untuk dapat memasuki madrasah pada 5 (lima) tahunberikutnya. Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secarakhusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagipendidikan madrasah 5 (lima) tahun.

Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi namaMadrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah denganmateri Bahasa Indonesia (Melayu), Matematika, dan Geografi. Lalusetelah kedatangan Kyai Ilyas pada tahun 1926, pelajaran ditambahlagi dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah. Pada tahun 1928,posisi Kyai Ma’sum sebagai Kepala Madrasah digantikan oleh KyaiIlyas, sedang Kyai Ma’sum sendiri ditunjuk Hasyim Asy’ari untukmendirikan Pesantren Seblak (sekitar 200 meter arah baratTebuireng).24

Diperkenalkannya materi-materi non keagamaan di Tebuirengpada awalnya mendapat kritikan tajam dari para ulama (kyai) lain,sehingga banyak orang tua yang melarang anaknya memasuki ataumelanjutkan pendidikan di pesantren ini. Namun, pada awal tahun1940-an saat pendudukan Jepang, mereka baru menyadari manfaatilmu-ilmu tersebut, tepatnya ketika Jepang melarang masyarakatuntuk berkomunikasi kecuali hanya dengan menggunakan huruf-huruf alfabet (latin).25 Sebagai tambahan, kebanyakan alumniTebuireng dipercaya menjadi anggota Sanakai (suatu lembagaperwakilan distrik) dengan bekal penguasaan mereka terhadap ilmupengetahuan non-agama, khususnya bahasa Indonesia sebagaipengganti bahasa Arab yang telah sedemikian akrab dengan mereka.26

Demikian potret perkembangan dunia pesantren di Tanah Air.Sebagai sebuah institusi pendidikan, pesantren telah mengalamiberbagai perubahan dan modifikasi, baik dalam hal manajemenmaupun sistem pendidikan dan pengajarannya. Hal ini tak lepas dariupaya pesantren dalam merespons kemajuan dan perkembangan

Page 15: Asal Mula Pesantren

311

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM

zaman, serta tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang kiankompleks. Ini juga sekaligus membuktikan bahwa institusi pesantrensejak awal kemunculannya memang tak pernah lepas dari upayanyamerespons problem-problem yang terjadi dan dibutuhkan olehmasyarakat, tentunya dengan tetap berlandaskan pada tradisi-tradisidan nilai luhur yang ada di tengah-tengah masyarakat. Spirit inisebagaimana termaktub dalam sebuah adagium yang sangat melekatdi dunia pesantren: al-muhâfaza ‘ala al-qadîm al-sâlih wa al-akhdhubi al-jadîd al-aslah (melestarikan tradisi-tradisi masa lalu yang baik,serta mengadopsi tradisi-tradisi baru yang juga dianggap baik ataulebih baik).

Hingga pada perkembangannya sekarang, pesantren padaumumnya hampir merupakan institusi pendidikan yangmenggabungkan antara sistem pendidikan khas pesantren (pengajiansorogan dan bandongan/wetonan) dan sistem pendidikan klasikalmelalui sistem “madrasah”, termasuk dengan penambahan materi-materi pelajaran umum (non keagamaan) di dalamnya.Perkembangan semacam ini merupakan sebuah langkah atau upaya“modernisasi” yang dilakukan pesantren dalam rangkamenyelaraskan dirinya dengan kemajuan zaman dan tuntutanmasyarakat yang kian pesat. Meski demikian, tradisi khas pesantrenseperti kajian kitab kuning dan tradisi-tradisi lain yang telah melekatdi dalamnya, merupakan sesuatu yang mutlak dilestarikan olehpesantren. Bahkan, hingga saat ini masih terdapat banyak pesantrenyang melestarikan kemurnian sistem pendidikan salafiyah nya.

Dengan demikian, sebagaimana dikutip oleh A. Saerozi, sejauhini telah terdapat bermacam-macam tipologi pesantren di Indonesia,yang secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) macamtipe sebagai berikut:27

a. Pesantren Tipe A, yaitu pesantren di mana para santri belajardan bertempat tinggal bersama-sama dengan kyai dalam satukomplek, kurikulum pembelajarannya terserah sang kyai, denganmetode pembelajaran individual (sorogan) dan tidakmenyelenggarakan madrasah untuk belajar.

Page 16: Asal Mula Pesantren

312

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MOHAMAD KHOLIL

b. Pesantren Tipe B, yaitu pesantren di mana para santri bertempattinggal di pemondokan (asrama), pelajaran diberikan oleh kyaimelalui sistem studium general (bandongan) dengan materi/kitab dan waktu yang ditentukan, di samping itu santrimendapatkan pengajaran di madrasah dan sekolah umum yangada di komplek pesantren. Pada pesantren tipe ini, pengajaranpaling pokok terletak di dalam madrasah.

c. Pesantren Tipe C, yaitu pesantren di mana para santri tinggal dipemondokan (asrama), mengikuti pelajaran di madrasah dansekolah umum yang ada di komplek pesantren. Pada pesantrentipe ini, kyai hanya berperan sebagai pengawas dan pembinamental spiritual para santri.Walhasil, sejak awal kemunculannya hingga sekarang, pesantren

telah memiliki fungsi dan peran yang sangat penting dan strategis ditengah-tengah masyarakat. Hingga, tidak sedikit kalangan pengkajiIslam di Indonesia menyebut lembaga pesantren sebagai kampungperadaban, artefak peradaban Indonesia, sub-kultur, institusikultural, dan lain-lain.

C. Filosofi Pendidikan PesantrenSebagai sebuah institusi pendidikan Islam dengan beberapa ciri khasdan karakteristik yang terdapat di dalamnya, pesantren jelas memilikilandasan filosofis, pandangan, dan konsep tersendiri tentangpendidikan, seperti konsep tentang hakikat guru (kyai) dan konsepsidasar pendidikan dan pengajaran.

Hakikat Guru (Kyai)Dalam terminologi pendidikan modern, guru diartikan sebagai orangyang memberikan pelajaran kepada peserta didik dengan suatudisiplin keilmuan tertentu di sekolah (lembaga pendidikan).28 Dalamterminologi ini, peran guru terlepas dari tanggungjawab “mendidik”dalam arti yang sebenarnya, dan hanya terbatas pada tugas“mengajar” (transfer of knowledge) yang berorientasi pada

Page 17: Asal Mula Pesantren

313

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM

pengembangan aspek kognisi (intelektualitas) peserta didik.Terminologi inilah, baik diakui atau tidak, yang saat ini sesungguhnyaberlaku di lembaga-lembaga pendidikan konvensional. Dengan katalain, peran dan fungsi guru cenderung terbatas hanya pada aktivitasmemberikan pengajaran atau sebagai “fasilitator” semata.

Sedangkan dalam pendidikan pesantren, guru (kyai)ditempatkan pada peran dan fungsinya yang sangat vital. Kyaimerupakan “tokoh sentral” di dalam keseluruhan proses pendidikanyang dijalani oleh santri. Konsep ini tidak lepas dari pandanganpesantren yang mengidealkan guru (kyai) sebagai “sumberketeladanan” bagi para santrinya, baik dalam masalah keilmuanmaupun perilaku dan kepribadiannya.

Dalam sistem pendidikan pesantren, kyai dengan peranutamanya sebagai pendidik dipandang sebagai “pewaris para Nabi”.Karena para Nabi pun pada hakikatnya diutus oleh Allah adalah dalamrangka bertugas mendidik umat manusia (masyarakat).

Dengan demikian, peran kyai tidak hanya terbatas padamemberikan pengajaran yang berorientasi pada pengembanganintelektualitas (kognisi) para santri saja, tetapi juga memberikanpendidikan dalam arti yang sebenarnya. Yakni, membentuk danmengarahkan para santri agar memiliki karakter dan kepribadiankuat, berperilaku mulia sesuai dengan norma-norma ajaran agama(Islam) dan nilai-nilai etika, serta menghargai tradisi agar merekadapat menjadi manusia seutuhnya di tengah-tengah masyarakatsesuai fitrah kemanusiaannya baik sebagai hamba Allah maupunselaku khalifah-Nya di muka bumi.

Konsep Dasar Pendidikan dan PengajaranDalam dunia pesantren, aktivitas pengajaran dan pendidikanmerupakan sesuatu yang dianggap sakral dan memiliki nilai ibadah(bentuk pengabdian kepada Allah) yang sangat tinggi. Pendidikantak sekedar dimaknai sebagai aktivitas transmisi ilmu pengetahuansemata yang berorientasi pada tujuan mencerdaskan masyarakat

Page 18: Asal Mula Pesantren

314

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MOHAMAD KHOLIL

secara intelektual, namun lebih dari itu, pendidikan merupakansarana penting untuk mendekatkan diri kepada Allah (muraqabah)dan meraih ridlo-Nya. Oleh karenanya, sebagaimana ibadah-ibadahlain, di dalam aktivitas pendidikan, terlebih dahulu yang harusdilakukan oleh subjek didik adalah menata hati dengan menanamkanniat dan motivasi yang baik, serta membersihkannya dari hal-hal yangdapat menodai nilai ibadah yang terkandung di dalamnya. Hal inimerupakan sesuatu yang sangat penting dan mendasar, karenaaktivitas pendidikan sebagaimana ibadah yang lain, jika tidakdibangun di atas pondasi niat dan motivasi yang baik serta keikhlasandemi meraih ridlo-Nya, maka aktivitas tersebut akan sia-sia dan tidakmemiliki nilai ibadah sedikit pun. Selain itu, dengan penanaman niatdan motivasi yang baik tentunya akan memberikan arah yang baikpula terhadap setiap aktivitas pendidikan yang akan dilakukan,sebagaimana sabda Rasulullah SAW: innamâ al-a’mâl bi al-niyyât(sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung kepada niatnya).29

Penanaman niat dan motivasi ini menempati prioritas pertamadalam konsep pendidikan pesantren. Karena, selain merujuk kepadahadits Nabi di atas, juga karena alasan bahwa hati merupakansubstansi pokok yang mendasari dan menentukan setiap perilaku baikdan buruk (kepribadian) manusia.30 Selain itu, hati merupakan mediayang dapat menghubungkan antara manusia dengan Tuhannya. Olehkarenanya, apabila hati manusia telah bersih dari sifat-sifat tercela,maka ia akan mampu menerima pancaran petunjuk dan ilmu dariAllah, sebagaimana sebuah cermin yang bersih dari kotoran-kotoransehingga dapat memberikan pantulan cahaya yang kuat dan terang.

Dalam konteks ini, konsep pendidikan pesantren memilikipararelitas dengan konsep filsafat pendidikan “essensialisme” dan“perennialisme”, yang menyatakan bahwa pendidikan harusbertumpu di atas norma-norma yang bersifat tetap (abadi), stabil,mapan, tidak mudah goyah oleh keadaan dan telah teruji oleh waktu,sebagaimana norma agama dan tradisi-tradisi agung masa lalu.Karena, dalam pandangan kedua aliran filsafat pendidikan tersebut,salah satu tujuan penting pendidikan adalah “memperkaya dimensi

Page 19: Asal Mula Pesantren

315

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM

batin atau spiritualitas manusia sebagaimana fitrahnya, demi meraihkebahagiaan di dunia dan akhirat”. Ini berbeda dengan konsep aliran“progressivisme” atau “pragmatisme” yang memandang orientasipendidikan lebih kepada kepentingan-kepentingan yang bersifatpragmatis.

Maka, di dalam pendidikan pesantren sangat diperhatikan aspekpendidikan moral atau pembentukan kepribadian. Karenaterbentuknya watak dan kepribadian inilah yang sesungguhnyamerupakan inti tujuan dari semua proses pendidikan. Kecerdasanintelektual akan menjadi tidak ada artinya sama sekali jika tidakdidukung dengan moral, watak dan kepribadian yang luhur. Hal inisebagaimana dijelaskan Hasyim Asy’ari di dalam pengantar kitabnyaAdab al-’Alim wa al-Muta’allim yang ia kutip dari Ibnu al-Mubarak:nahnu ila qalîl min al-adab ahwaj minnâ ila kathîr min al-‘ilm (kamilebih membutuhkan adab [etika, moral, budi pekerti] meskipunsedikit dari pada [memiliki] banyak ilmu pengetahuan [tetapi tidakberadab]).31

Bahkan, secara lebih lanjut Hasyim Asy’ari di dalampenjelasannya menyatakan bahwa aspek moralitas merupakancermin kesalehan seseorang terkait keimanannya kepada Allah,sekaligus sebagai bukti konsistensinya dalam mengamalkan syariatajaran agama.

...konsekuensi dari pernyataan tauhid (meng-esakan Allah) yang telahdiikrarkan seseorang adalah mengharuskannya beriman kepada Allah(yakni dengan membenarkan dan meyakini keberadaan-Nya tanpasedikit pun keraguan). Karena, apabila ia tidak memiliki keimanan itu,tauhidnya dianggap tidak sah (rusak). Demikian pula keimanan, jikakeimanan itu tidak dibarengi dengan pengamalan syariat (hukum-hukum Islam) dengan baik, maka sesungguhnya ia belum memilikikeimanan dan tauhid yang benar. Begitu pun dengan pengamalansyariat, apabila ia mengamalkannya tanpa dilandasi adab (keluhuranbudi pekerti), maka pada hakikatnya ia belum mengamalkan syariat,belum pula dianggap beriman serta bertauhid kepada Allah.32

Dalam batas ini, konsep dasar pendidikan pesantren masihcukup pararel dengan konsep filsafat essensialisme dan

Page 20: Asal Mula Pesantren

316

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MOHAMAD KHOLIL

perennialisme. Namun demikian, pada saat yang sama pesantren jugamemiliki pandangan yang hampir mirip dengan aliran “empirisme”,yang berpandangan bahwa manusia pada awal kelahirannyadiumpamakan seperti kertas kosong atau tabula rasa, sehingga iaperlu dididik.

Tokoh penting aliran empirisme adalah John Locke (1632-1704),seorang filosof berkebangsaan Inggris. Menurut empirisme,perkembangan kepribadian manusia didasarkan atas lingkungannya.Dengan kata lain, perkembangan kejiwaan seseorang sangattergantung kepada pendidikan. Dunia luar pada umumnya jugatermasuk dalam kategori lingkungan yang dapat mewarnai watak dankepribadian seseorang. Pendidikan dengan segala aktivitasnyamerupakan salah satu lingkungan yang sangat menentukan bagiterbentuknya kepribadian seseorang. Oleh karenanya, menurut aliranini, pendidik (guru) merupakan subjek sentral pendidikan yangdiharapkan dapat berbuat banyak terhadap pemberian warna bagipembentukan kepribadian peserta didiknya. Pendidik (guru) dalamhal ini diumpamakan sebagai seorang pemahat atau pematung yangdapat melakukan kreasi terhadap objeknya. Dengan demikian, aliranini memandang optimis terhadap hasil pendidikan.33

Di samping Locke, terdapat juga ahli pendidikan lain yangmempunyai pandangan hampir sama dengan Locke, yaitu Helvatus.Ahli filsafat dari Yunani ini berpendapat bahwa manusia dilahirkandengan jiwa dan watak yang hampir sama, yaitu suci dan bersih.Pendidikan dan lingkungan-lah yang kemudian akan membuatkepribadian manusia menjadi berbeda-beda.34

Sungguhpun demikian, pandangan pesantren tentang sentralitasperan guru (kyai) dalam pendidikan, meski sepintas terdapatkemiripan atau pararelitas dengan aliran empirisme, dipastikanpesantren tidak merujuk kepada salah satu aliran filsafat tertentu.Akan tetapi lebih didasarkan pada sabda Nabi: kull mawlûd yûlad‘ala al-fitra (setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah [suci]).35

Memahami substansi hadits Nabi di atas, Nizar Ali, guru besardi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, di dalam bukunya Memahami

Page 21: Asal Mula Pesantren

317

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM

Hadits Nabi menjelaskan poin-poin penting sebagai berikut:36

Mengenai makna “fitrah”, al-Maraghi berpendapat bahwa fitrahadalah suatu keadaan atau kondisi yang diciptakan oleh Allah dalamdiri manusia yang siap menerima dan menemukan kebenaran. Jiwamanusia diibaratkan seperti kertas putih yang siap menerima tulisanapapun. Jiwa manusia dapat saja menyerap berbagai agama danpengetahuan, akan tetapi yang diserap adalah hal-hal yang baik. Jiwamanusia tidak akan mengubah atau mengganti fitrah tersebut denganhal-hal lain yang merusak, meskipun misalnya ada “guru” yangmengajarinya ke arah yang rusak. Seandainya pun seorang anakdibiarkan saja tumbuh dan berkembang tanpa pengaruh dari luar,maka anak itu akan tahu dengan sendirinya bahwa Tuhan itu Esa,akalnya akan menetapkan demikian.37 Al-Maraghi denganpendapatnya tersebut berangkat dari sudut pandang bahwa jiwa danakal manusia, sebagaimana wahyu, merupakan instrumen yang jugadapat menemukan pancaran kebenaran Tuhan.

Ahmad Tafsir mengemukakan pendapat bahwa fitrah adalahpotensi-potensi untuk menjadi baik dan sekaligus menjadi buruk,potensi untuk menjadi muslim dan untuk menjadi musyrik. Secarasederhana, fitrah diartikan dengan potensi untuk beragama, jugapotensi untuk tidak beragama.38 Dengan kata lain, fitrah adalahpotensi manusia yang berada di garis netral. Potensi tersebut bisamenjadi baik atau buruk tergantung kepada bagaimana potensi-potensi tersebut dididik dan dikembangkan.

Penafsiran fitrah dengan arti potensi akan lebih tepat jika yangdimaksudkan adalah potensi-potensi internal manusia seperti: akal,ruh, nafs, qalb, fuâd dan lain-lain. Potensi-potensi tersebut disebutdengan fithrah munazzalah, yaitu potensi-potensi atau kesiapan yangmasih bersih tanpa goresan apapun, dan perkembangannya sangatbergantung kepada faktor luar terutama pendidikan. Perkembanganfithrah khalqiyyah sangat bergantung kepada pengembangan fithrahmunazzalah.

Dalam pendapat tersebut tampak bahwa fitrah mengandungkomponen-komponen psikologis yang meliputi: bakat, insting,

Page 22: Asal Mula Pesantren

318

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MOHAMAD KHOLIL

drives, karakter, hereditas dan intuisi, yang hal tersebut harusmendapatkan suplai dan bimbingan yang benar. Selain itu, fitrah jugamengandung nilai-nilai filosofis, karena psikologi termasukpembahasan filsafat.39 Hal tersebut disebabkan karena filsafatmembicarakan tentang asal kejadian manusia, tujuan ia diciptakan,dan sifat-sifat (potensi-potensi) nya.

Al-Qur’an sendiri juga memberikan isyarat: “Aku telahmenyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnyaroh (ciptaan) Ku” [QS. al-Hijr (15) :29]. Ayat tersebut mengandungmaksud bahwa Allah memberi manusia potensi atau bakat berkenaandengan sifat-sifat Allah (baca: Asmaul husna).40

Konsekuensi logisnya, sifat-sifat Tuhan merupakan potensi padamanusia yang apabila dikembangkan maka ia akan mencapai tujuanpenciptaannya. Jika tidak, maka ia menyalahi tabiat semula. Lebihdari itu Allah menciptakan manusia dengan jiwa “imanitas” dan“humanitas” yang tumbuh sebelum manusia lahir di dunia. Pangkalhumanitas manusia terletak pada jiwa imanitasnya, sedangkan jiwahumanitasnya tumbuh sebagai pancaran dari jiwa imanitasnya, jiwainilah yang menjadikan substansi kemanusiaan manusia berbedadengan substansi makhluk lain.

Sementara itu, perkembangan diri manusia, baik aspek imanitasmaupun humanitasnya sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yangoleh M.J. Langeveld diklasifikasi ke dalam empat faktor, yaitu: faktorpengaruh bawaan, faktor pengaruh lingkungan sekitar, faktoremansipasi (kehendak untuk bebas dari orang lain), dan faktor dariusaha eksplorasi (penjelajahan terhadap keadaan dunia sekitar).41

Adapun Morris L. Bigge mengatakan bahwa sifat dasar moralmanusia dan responsnya terhadap dunia luar bermacam-macam. Sifatdasar moral tersebut adalah jelek, baik, dan netral (tidak baik dantidak jelek). Sedang responsnya terhadap dunia luar bersifat aktif,pasif dan interaktif. 42

Aliran yang berpendapat bahwa sifat dasar moral manusia danresponsnya terhadap dunia luar bad active adalah aliran TheisticMental Discipline yang mengatakan bahwa manusia itu pada

Page 23: Asal Mula Pesantren

319

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM

dasarnya mewarisi bawaan yang jelek (bad), dan tidak ada harapanbaik. Jika manusia dibiarkan tumbuh berkembang tanpa pendidikan,maka yang akan tampak adalah kejelekannya saja. Dalam hal inifungsi pendidikan adalah mengupayakan pengekangan terhadap sifatdasar ini dan melatih bagian-bagian jiwa ke arah yang baik.

Jika seseorang percaya bahwa sifat dasar moral manusia danresponsnya terhadap alam luar adalah bersifat good active, maka yangakan tampil adalah sifat-sifat baiknya. Implikasi dari konsep ini dalamproses pengembangan manusia adalah bagaimana manusiadiletakkan pada pengaturan alam lingkungan luar sedemikian rupaagar dapat mengoptimalkan perkembangan individu-individutersebut secara aktual.

Pendapat lain mengatakan bahwa sifat dasar moral manusia danrespons manusia terhadap dunia luar bersifat neutral-passive.Manusia pada dasarnya bersifat netral sehingga memiliki potensiuntuk baik dan pontensi untuk tidak baik, serta responsnya terhadapdunia luar bersifat interaktif. Artinya, bahwa alam luar termasukpendidikan lah yang akan membentuk dan mengambangkankepribadian seseorang. Karakter atau kepribadain seseorang sangatbergantung kepada pengaruh alam lingkungannya.

Terdapat pula pendapat lain yang mengatakan bahwa sifat dasarmoral manusia dan responnya terhadap alam luar bersifat neutralinteractive. Pandangan ini hampir mirip dengan neutral passive.Perbedaannya terletak pada respon manusia terhadap dunia luar. Jikaneutral passive memandang bahwa respons datang dari luar, makaneutral active ini memandang bahwa ada kerjasama atau interaksiantara sifat dasar dengan dunia luar. Dengan demikian dapatdikatakan bahwa dunia luar, termasuk pendidikan, tidak dapatmencetak manusia sesuai dengan tujuan yang diharapkan secarapenuh, karena manusia pada dasarnya dapat memberi respon atautanggapan terhadap pengaruh luar. Oleh karena itu, hasil prosesdialektis antara sifat dasar dan dunia luar itulah yang akanmembentuk format tampilan kepribadian manusia.

Berkaitan dengan teori-teori tersebut, Islam tidak berangkat dari

Page 24: Asal Mula Pesantren

320

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MOHAMAD KHOLIL

teori empirisme, nativisme atau konvergensi, dan juga bukan goodpassive, bad active, neutral interactive atau neutral passive. Akantetapi, Islam melalui hadis tentang fitrah di atas menawarkan konseptersendiri tentang perkembangan manusia, yakni manusia padaawalnya memiliki fithrah khalqiyyah atau potensi beragama (Islam),yang pada tahap perkembangan selanjutnya sangat ditentukan olehfithrah munazzalah atau potensi internal manusia (akal, rûh, nafs,qalb, fuâd, dan lain-lain) dalam merespon pengaruh luar.

Implikasi dari pemahaman hadis Nabi tentang fitrah tersebutterhadap perkembangan manusia adalah sebagai berikut:a. Manusia mempunyai berbagai potensi (memahami, melihat dan

mendengar yang tidak dimiliki oleh hewan).b. Apabila manusia tidak mendayagunakan berbagai potensi

tersebut, ia akan kehilangan sifat kemanusiaannya.c. Perubahan sifat manusia ke arah sifat hina dikarenakan

keteledoran manusia, yakni sifat lalainya.d. Pendidikan adalah media untuk mempertahankan fithrah

khalqiyyah, sekaligus sebagai sarana untuk mengasah danmenumbuhkembangkan fithrah munazzalah sehingga manusiamampu mengimplementasikan keberagaman dan moralitasnyayang baik.Maka tak diragukan lagi, bahwa masalah moralitas dalam konsep

dasar pendidikan pesantren merupakan hal yang substansial,sekaligus merupakan hakikat dan inti tujuan dari pendidikan itusendiri. Etika dan norma-norma agama serta tradisi-tradisi agungmerupakan landasan sekaligus kerangka dasar yang dibangun didalam setiap proses pendidikan, dalam rangka mengawal setiap tahapperkembangan potensi jasmani maupun rohani para santri.

D. Menjadikan Pesantren sebagaiPusat Peradaban Muslim di IndonesiaSebelumnya telah dikemukakan alasan-alasan mendasar terkaitperlunya pesantren digagas sebagai pusat peradaban muslim di

Page 25: Asal Mula Pesantren

321

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM

Indonesia, baik berdasarkan tinjauan historis maupun secarakefilsafatan, yakni pesantren pada intinya merupakan sebuah institusipendidikan Islam tertua di Indonesia dengan banyak keunikan danberagam potensi yang meniscayakan institusi tersebut dapat menjadipusat peradaban muslim di Indonesia.

Namun demikian, eksistensi dan masa depan pesantren di masamendatang bukanlah tanpa tantangan. Hal ini seiring denganderasnya dinamika dan perubahan zaman serta arus globalisasi yangkian tak terbendung. Semua itu mau tidak mau menuntut lembagapesantren untuk senantiasa melakukan upaya-upaya modifikasi danpenyesuaian, di samping tentu saja dengan tetap berikhtiarmelestarikan tradisi-tradisi khas kepesantrenannya sebagai sebuahaset penting dan budaya bangsa yang tak ternilai harganya disepanjang perjalanan sejarah peradaban Islam di Indonesia.

Oleh karenanya, gagasan menjadikan lembaga pesantren sebagaipusat peradaban muslim di Indonesia adalah sesuatu yang sangatberalasan. Dan untuk mewujudkan gagasan tersebut, setidak-tidaknya secara garis besar diperlukan upaya-upaya seperti:rekonstruksi pendidikan pesantren, pembenahan sistem danmanajemen pesantren, penguatan kultur pesantren, dan dukungankebijakan Pemerintah.

Rekonstruksi Pendidikan PesantrenDalam rangka menyiapkan institusi pesantren menghadapi dinamikadan perkembangan dunia kontemporer yang semakin kompleks,maka sistem pendidikan pesantren perlu mengalami berbagaiperubahan dan penyesuaian, dalam arti perlu adanya rekonstruksidan reorientasi agar sistem pendidikan pesantren tersebut tetap eksisdi masa mendatang.

Sebagai sebuah institusi pendidikan Islam tradisional,pendidikan pesantren di dalamnya mengandung muatan-muatanyang secara garis besar dapat dibedakan dalam 2 (dua) kategori.Kategori pertama adalah ajaran dasar yang merupakan referensi bagi

Page 26: Asal Mula Pesantren

322

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MOHAMAD KHOLIL

landasan hidup dan penyelesaiannya dalam mengatasi seluruhproblematika kehidupan di tengah dinamika sosial-budaya, yangmempunyai nilai kebenaran bersifat mutlak dan tidak runtuh dalamsegala perubahan zaman. Ajaran dasar ini mempunyai muatan-muatan nilai universal, yang mempunyai daya relevansi dalam segalatataran ruang dan waktu. Bahkan, ajaran ini memiliki legalitas sakraldan telah secara tuntas dikodifikasikan oleh para ulama salafus shalih,yakni berupa Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Kategori kedua adalah ajaran-ajaran yang merupakan hasilinterpretasi dan derivasi dari ajaran dasar di atas. Ajaran inimengelaborasi muatan ajaran dasar dengan kecenderungan padaaspek-aspek praktis-aplikatif.

Dalam pendidikan pesantren, umumnya materi yang diberikansecara intens dan simultan adalah lebih pada ajaran yang bersifatelaboratif. Bahkan secara lebih spesifik bisa dikatakan bahwadiskursus yang sangat berkembang dan dianggap penting dalam duniapesantren hanyalah bidang fiqih semata. Sementara itu, kajiantentang ajaran dasar yang dibutuhkan dalam usaha memahami ajaranIslam secara menyeluruh kurang mendapat perhatian serius. Hal inidapat dilihat dari wacana yang beredar di pesantren yang diwakilidengan tradisi Kitab Kuning. Wacana fiqih terasa sangat dominanketimbang wacana lainnya. Bila kondisi demikian dibiarkan terus danlepas dari kontrol akademis, dikhawatirkan diskursus Al-Qur’an danHadits Nabi yang notabene merupakan ajaran dasar akan kianterlupakan sama sekali dari pendidikan pesantren. Dengan kata lain,Al-Qur’an dan Hadits Nabi hanya akan menjadi “lipstik” sematakarena kandungannya tidak pernah dipahami secara langsung.Padahal, tidak semestinya wacana fiqih menggeser posisi Al-Qur’anatau Hadits Nabi. Sebab, fiqih bukanlah sumber petunjuk mutlakdalam segala praktek kehidupan.

Kekhawatiran-kekhawatiran di atas sesungguhnya dapat diatasiatau sekurang-kurangnya diminimalisasi, salah satu caranya adalahmengubah atau memodifikasi metode pendidikan yang selama inidikembangkan di dunia pesantren. Metode pendidikan yang

Page 27: Asal Mula Pesantren

323

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM

diterapkan di pesantren selama ini cenderung bersifat induktif.Pesantren umumnya mengembangkan kajian-kajian partikularterlebih dahulu seperti fiqih dan berbagai tradisi lainnya yangdianggap sebagai ilm al-hâl. Setelah penguasaan terhadap kajianpartikular tersebut dianggap memadai, baru merambah ke wilayahkajian lainnya yang menjadi alat bantu dalam memahami ajarandasar. Hasil pendidikan pesantren tentunya akan berbeda bila metodeinduktif yang selama ini berlangsung dibalik dengan menggunakanmetode deduksi, yakni mengembangkan kajian yang menjadi alatbantu dalam memahami ajaran dasar terlebih dahulu, lalu kemudianmengimplementasikannya dalam kajian partikular seperti fiqih dankajian lain seputar perkembangan dinamika modern. Metode iniagaknya lebih bisa mengembangkan proses penalaran, kreativitas,dan dinamika dalam memahami Islam secara lebih kontekstualketimbang sekedar metode pertama (induksi) yang lebih menekankanpemahaman doktrinal.

Aspek lain yang perlu dilihat dalam membangun sistempendidikan pesantren di masa depan adalah masalah kurikulum.Kurikulum pesantren yang diwakili oleh Kitab Kuning, hanya lebihmenekankan pada bidang fiqih, teologi, tasawuf, dan bahasa. Keadaankurikulum pendidikan pesantren yang demikian memberikan sebuahkonsekuensi pada eksklusivisme pesantren dari wacana danpemikiran lain, kecuali pemikiran yang dikembangkan oleh madzhabSyafi’i, Asy’ari, dan Al-Ghazali. Bahkan hampir-hampir ajaran Islamhanya dipahami sejauh ajaran yang menyangkut fiqih, teologi, dantasawuf yang dikembangkan oleh ketiga tokoh tersebut. Implikasinyaadalah hilangnya budaya kritis, analitis, dan reflektif dalam tradisipendidikan pesantren. Kebebasan akademik hampir-hampir tidakdiakui lagi dan sistem munazharah pun hilang dari tradisi pesantren.

Dalam konteks ini, maka usaha yang perlu dilakukan dalampendidikan pesantren adalah membangun “kebenaran-kebenaran”yang telah mengakar di dunia pesantren menjadi hal yang lebihterbuka untuk upaya ijtihad baru dalam menghadapi perkembangandunia kontemporer. Dengan begitu maka kurikulum pesantren harus

Page 28: Asal Mula Pesantren

324

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MOHAMAD KHOLIL

lebih terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuankontemporer yang terus berkembang.

Pembenahan Sistem dan Manajemen PesantrenUpaya berikutnya yang perlu dilakukan dalam rangka menjadikanpesantren sebagai pusat peradaban muslim di Indonesia adalahpembenahan terhadap sistem dan manajemen pesantren. Hal inipenting dilakukan mengingat keberhasilan sistem pendidikanpesantren sangat dipengaruhi oleh penataan manajerialnya.

Sejauh ini, pola manajemen pesantren umumnya cenderungdilakukan secara insidental serta kurang memperhatikan tujuan-tujuan yang disistematisasikan terlebih dahulu. Sistem pendidikanpesantren biasanya dilakukan secara alamiah dengan pola manajerialyang tetap (konstan) setiap tahunnya. Perubahan mendasar dalampengelolaan pesantren agaknya belum terlihat. Masalah penerimaansantri baru, misalnya, masih dilakukan secara terbuka untuk semuaindividu yang jelas-jelas mempunyai latar belakang dan kemampuanberagam tanpa mengadakan usaha pre-test terlebih dahulu. Dengankata lain, usaha kategorisasi dan klasifikasi santri secara kualitatiftidak pernah dilakukan.

Oleh karenanya, manajemen pesantren harus diupayakan lebihterbuka. Sebab, perkembangan yang terjadi di luar harus diketahuidan diantisipasi, terutama kemungkinan-kemungkinan akanterjadinya berbenturan. Keharusan ini meniscayakan kebutuhan polakerjasama simbiosis-mutualistis antara pesantren dengan institusi-institusi lain yang dipandang mampu memberikan kontribusi danmenciptakan nuansa transformatoris. Pola kerjasama ini dapat jugadilakukan dalam usaha pengembangan sumber daya pesantren agardapat memberdayakan dirinya dalam menghadapi tantangankontemporer yang semakin kompleks. Pola kerjasama semacam inidengan sendirinya akan minimalisir asumsi-asumsi negatif yangselama ini disematkan pada lembaga pesantren, seperti terisolasi,teralienasi, eksklusif, konservatif, dan cenderungan mempertahankan

Page 29: Asal Mula Pesantren

325

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM

status quo.Jika sudah demikian, maka arah perkembangan dunia pesantren

pada masa depan dapat diperkirakan akan menempuh bentuk yangberaneka ragam. Ada pesantren yang bentuknya tetap seperti dulu,yaitu sebagai lembaga pendidikan non formal yang khusus mendalamiilmu-ilmu agama, yang menekankan pentingnya pengamalan agamadalam kehidupan sehari-hari, dimana ajaran-ajarannya bersumberdari hasil ijtihad para ahli fiqih dan sufistik dengan kitab-kitab klasik.Ada pula pesantren yang berbentuk tetap sebagai pendidikan nonformal yang menggeluti bidang agama, akan tetapi dilengkapi denganberbagai keterampilan, dengan catatan bahwa bidang studi agamaterus dikembangkan sesuai dengan perkembangan pemikiran dalamIslam, jadi tidak hanya terbatas pada sumber-sumber ajaran lamayang bersifat fiqih-sufistik saja, tetapi juga dilengkapi denganpengajaran filsafat dan pemikiran-pemikiran baru dalam Islam sesuaidengan perkembangan zaman.

Termasuk hal yang paling penting bagi sistem pesantren di masadepan adalah adanya penyelenggaraan pendidikan formal, baikmadrasah maupun sekolah umum hingga perguruan tinggi yanghidup dalam satu lingkungan pesantren. Bentuk ini dipastikan akanmenjadikan pesantren dapat bertahan di masa-masa mendatang,karena akan saling mengisi antara pesantren sebagai pendidikan nonformal yang menggarap bidang nilai tafaqquh fiddîn dan pengamalanagama, dengan pendidikan formal yang menggarap ilmu lainnya.

Di samping itu, diperlukan juga pembaruan konsep asrama dimasa depan agar pesantren mampu menyatakan kehadirannyasebagai subsistem pendidikan nasional secara mantap di masa depan.Asrama pesantren di masa depan hendaknya bukan sekedar tempathidup bersama selama 24 jam dari tahun ke tahun seperti kondisipesantren saat ini, tetapi asrama hendaknya juga berfungsi sebagaiforum studi bersama yang secara kreatif dan inovatif mampumengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan agama, sesuaidengan tantangan zamannya dan mengembangkan potensiindividualitas atau jati diri masing-masing anggotanya yang seimbang

Page 30: Asal Mula Pesantren

326

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MOHAMAD KHOLIL

dengan perkembangan kepribadian kolektif.Melalui upaya-upaya di atas, pada gilirannya akan menampilkan

wajah pendidikan pesantren tidak lagi dianggap statis atau mandeg.Dinamika kehidupan pendidikan pesantren harus terus berlanjut,karena memang pesantren telah terbukti dengan keterlibatan danpartisipasinya secara aktif dalam memberikan pelayanan terhadapmasyarakat dalam banyak aspek kehidupan yang senantiasamenyertai. Karena pondok pesantren merupakan lembaga pendidikanyang memiliki akar budaya kuat di masyarakat.43

Penguatan Kultur PesantrenMeski di satu sisi pesantren dituntut untuk lebih terbuka dalammengadopsi dan mengadaptasikan dirinya dengan perkembangandunia kontemporer, namun pesantren juga harus tetap menjaga danmenguatkan kultur-kultur yang selama ini menjadi ciri khasnya.Prinsip kemandirian yang selama ini ada di pesantren misalnya,merupakan pola pendidikan yang perlu terus dikembangkan dalammembentuk kepribadian generasi bangsa yang mandiri. Sebab, sejakawal para santri di pesantren sudah dilatih mandiri. Ia mengatur danbertanggung jawab atas keperluannya sendiri, seperti mengatur uangbelanja, memasak, mencuci pakaian, merencanakan belajar, dansebagainya. Prinsip seperti ini tentu saja merupakan keunggulantersendiri yang dimiliki pesantren dalam membentuk kepribadiananak didik, dan tidak dimiliki oleh sekolah-sekolah formal padaumumnya. Selain itu, sikap-sikap seperti tawazun, tasamuh,tawassuth yang telah menjadi karakter pesantren merupakan kulturyang juga harus lebih dimantapkan.

Atas dasar itulah, maka termasuk pula sebagai upaya yang perludilakukan untuk menjadikan pesantren sebagai pusat peradabanmuslim di Indonesia adalah menjadikan prinsip-prinsip pendidikandan kultur yang ada di pesantren sebagai prinsip-prinsip yang jugaberlaku di lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Artinya, prinsip dankultur pendidikan pesantren perlu dijadikan sebagai alternatif yang

Page 31: Asal Mula Pesantren

327

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM

bisa diadopsi oleh sistem pendidikan sekolah atau lembagapendidikan formal lainnya.

Dukungan Kebijakan PemerintahUntuk menjadikan pesantren sebagai pusat peradaban muslim diIndonesia, keberadaan pondok pesantren dalam sistem pendidikannasional kiranya tidak cukup dipandang hanya sebagai sebuah sub-sistem, tetapi harus dipandang sebagai “mitra” di dalam upayamencerdaskan kehidupan bangsa.

Posisi pesantren yang mengintegrasi di dalam sistem pendidikannasional sejauh ini tercermin dalam berbagai aspek. Pertama,pendidikan nasional menjadikan pendidikan agama sebagai salah satumuatan wajib dalam semua jalur dan jenjang pendidikan. Kedua,dalam sistem pendidikan nasional pesantren diposisikan sejajardengan pendidikan formal, sehingga kedudukannya menjadi sama,tidak ada lagi sub-ordinasi terhadap pendidikan pesantren.44

Patokan yang harus dipegang dalam pelaksanaan danpenyelenggaraan pendidikan nasional antara lain: (a) pendidikannasional menganut prinsip pendidikan seumur hidup; (b) pendidikannasional menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga,masyarakat dan pemerintah; dan (c) pendidikan nasional diarahkanuntuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya.

Dalam kerangka itulah, maka eksistensi pesantren menjadipenting dalam skema pencapaian tujuan pendidikan nasional. Sebab,muara akhir dari tujuan pendidikan nasional adalah membentukmanusia bermartabat. Hal ini sejalan dengan fungsi pendidikannasional sebagaimana diatur dalam UUSPN Nomor 20 Tahun 2003,bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuandan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabatdalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuanmengembang-kan potensi peserta didik agar menjadi manusia yangberiman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlakmulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga

Page 32: Asal Mula Pesantren

328

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MOHAMAD KHOLIL

negara yang demokratis dan bertanggung jawab.Dari rumusan fungsi pendidikan nasional tersebut di atas, jelas

bahwa bangsa yang bermartabat adalah bangsa memiliki ciri-ciri: (1)beriman; (2) bertakwa; (3) berakhlak mulia; (4) sehat jasmani danruhani; (5) berilmu pengetahuan; (6) cakap dan kreatif; (7) mandiri;(8) demokratis; dan (9) bertanggung jawab.

Pencapaian bangsa yang bermartabat sebagai tujuan akhir daripenyelenggaraan pendidikan nasional dengan ciri-ciri sebagaimanatersebut di atas, sesungguhnya sudah dibangun oleh pendidikanpesantren sejak awal kelahirannya hingga sekarang.

Oleh karena itu, di sinilah terlihat pentingnya menempatkanpesantren bukan sebagai bagian (sub sistem) pendidikan nasional,tetapi lebih sebagai “mitra”. Sebab, pencapaian tujuan pendidikannasional sesungguhnya sudah dijalankan oleh pesantren sebagaimanadiketahui dari prinsip-prinsip dasar pendidikan pesantrensebagaimana dikatakan oleh Mastuhu45, yaitu: (1) theocentric; (2)sukarela dan mengabdi; (3) kearifan; (4) kesederhanaan; (5)kolektivitas; (6) mengatur kegiatan bersama; (7) kebebasanterpimpin; (8) mandiri; (9) tempat mencari ilmu dan mengabdi; (10)mengamalkan ajaran agama; (11) tanpa ijazah; dan (12) restu kyai.

Pendidikan pesantren jelas dapat membentuk martabat bangsayang beriman dan bertakwa, karena pendidikan pesantren menganutprinsip theocentric, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa semuakejadian berasal, berproses, dan kembali pada kebenaran Tuhan.Semua aktivitas pendidikan di pesantren dipandang sebagai ibadahkepada Tuhan.

Semua aktivitas pendidikan merupakan bagian integral daritotalitas kehidupan, sehingga belajar di pesantren tidak dipandangsebagai “alat” tetapi dipandang sebagai “tujuan”. Oleh karena itu,kegiatan proses belajar mengajar di pesantren tidakmemperhitungkan soal waktu, sehingga kehidupan dalamkesehariannya senantiasa didasarkan atas ibadah kepada Allahsemata, dan orientasi hidupnya jelas bahwa ibadahnya serta hidupdan matinya semata-mata karena Allah.

Page 33: Asal Mula Pesantren

329

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM

Prinsip pendidikan pesantren semacam ini tentu saja akan lebihmudah membentuk martabat anak didik/santri menjadi manusiayang beriman dan bertakwa, apalagi pada saat yang bersamaan jugalangsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tentusaja berbeda dengan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah-sekolah pada umumnya. Oleh karena itu, pantas jika pembentukanmanusia yang beriman dan bertakwa sebagaimana tujuan pendidikannasional tersebut, sejatinya bisa dilakukan oleh sistem pendidikanyang menganut prinsip pendidikan yang mengedepankan filsafattheocentric sebagaimana yang ada di pesantren. Prinsip seperti inipada gilirannya akan membentuk akhlak mulia atau budi pekertiluhur bangsa.

E. PenutupDari uraian-uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagaiberikut. Pertama, gagasan menjadikan lembaga pesantren sebagaipusat peradaban muslim di Indonesia adalah sesuatu yang sangatberalasan. Alasan tersebut setidaknya dapat dijelaskan melalui 2 (dua)sudut tinjauan, yaitu dari sudut tinjauan historisitas pesantren dansudut tinjauan kefilsafatan pendidikan yang berlaku di pesantren.Secara historis, pesantren merupakan sebuah institusi pendidikanIslam tertua di Indonesia dengan banyak keunikan dan beragampotensi yang meniscayakan institusi tersebut dapat menjadi pusatperadaban muslim di Indonesia. Sedangkan secara filosofis,pesantren sejak awal berdirinya dibangun di atas landasan dan konsepdasar pendidikan yang bersifat holistik dan terpadu, denganmenempatkan aspek moralitas, ketuhanan, dan martabatkemanusiaan secara utuh sebagai hal yang substansial, sekaligusmerupakan hakikat dan inti tujuan dari pendidikan. Etika dan norma-norma agama serta tradisi-tradisi agung dalam pesantren merupakanlandasan sekaligus kerangka dasar yang dibangun di dalam setiapproses pendidikan, dalam rangka mengawal setiap tahapperkembangan potensi jasmani maupun rohani para santri atau

Page 34: Asal Mula Pesantren

330

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MOHAMAD KHOLIL

peserta didik sebagai generasi bangsa.Kedua, upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam rangka

menjadikan pesantren sebagai pusat peradaban muslim di Indonesiasetidaknya harus menggarap 4 (empat) unsur pokok, yaitu:rekonstruksi pendidikan pesantren, pembenahan sistem danmanajemen pesantren, penguatan kultur pesantren, dan dukungankebijakan Pemerintah.

Catatan:1. Penggunaan istilah golden age (masa keemasan), lawan dari dark age

(masa kegelapan) ini sebagaimana digunakan oleh Marshall G.S. Hodgsondalam bukunya The Venture of Islam (Jilid 3) yang diterbitkan pada 1974oleh The University of Chicago Press, sebagaimana juga dikutip olehNurcholis Madjid dalam bukunya Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1994).

2. Penjelasan lebih lanjut seputar pendapat-pendapat para ahli terkaitsejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia dapat dibacamisalnya dalam: Zamzami M, dkk., Islam Ahlussunnah Waljama’ah diIndonesia: Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama,(Jakarta: Pustaka Ma’arif NU, 2007), hlm. 1-32.

3. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan KepulauanNusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 32-33.

4. HS. Mastuki dan M. Ishom El-Saha (eds.), Intelektualisme Pesantren:Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren,(Jakarta: Diva Pustaka, 2003), hlm. 8.

5. Ketiga sikap dan perilaku ini (tasamuh, tawassuth, dan tawazun)sebagaimana diadopsi dalam “khittoh” pemikiran dan amaliyah NahdlatulUlama (NU), sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia yang sangatidentik dengan dunia pesantren, terkait sikap kemasyarakat warga NU.Tasamuh berarti sikap toleran dalam perbedaan pendapat keagamaan,termasuk dalam urusan kemasyarakatan dan kebudayaan. Tawassuthberarti “sikap tengah” yang ber-inti-kan keadilan di tengah kehidupanbersama, serta menjadi panutan, bertindak lurus, bersifat membangundan tidak ekstrem. Tawazun berarti keseimbangan dalam berkhidmatkepada Allah SWT., berkhidmat kepada sesama manusia dan kepadalingkungan, serta keselarasan pemikiran antara masa lalu, masa kini, danmasa depan. Lihat: “Khittah NU” dalam Zamzami M, dkk., IslamAhlussunnah, hlm. 183-187.

6. Amin Haidari, “Beberapa Pemikiran Pengembangan Pondok Pesantren”,makalah disampaikan dalam Forum Kuliah Umum Program PascasarjanaUIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 3 September 2008, hlm. 2.

Page 35: Asal Mula Pesantren

331

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM

7. Lihat: Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta:LP3ES, 1974). Lihat juga Amir Hamzah Wirjosukarto, “ArtikelPembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam”, (Malang: PergerakanMuhammadiyah, 1968).

8. Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, hlm. 15.9. Rohadi Abdul Fatah, dkk., Rekonstruksi Pesantren Masa Depan, (Jakarta:

PT. Listafariska Putra, 2005), hlm. 11.10. Amin Haedari, dkk., Masa Depan Pesantren dalam Tantangan

Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD Press,2004), hlm. 53.

11. Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, (Jakarta: INIS, 1988),hlm. 6-7.

12. HS. Mastuki dan M. Ishom El-Saha (eds.), Intelektualisme Pesantren,hlm. 8.

13. Martin Van Brunessen, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat, (Bandung:Mizan, 1999), hlm. 25.

14. Irfan Hielmy, Wacana Islam, (Ciamis: Pusat Informasi Pesantren, 2000),hlm. 120.

15. Taufik Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara 5,(Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 22.

16. Abdullah, Ensiklopedi Tematis.17. Van Brunessen, Kitab Kuning, hlm. 20.18. Lihat: Zamzami M, dkk., Islam Ahlussunnah, hlm. 183-187.19. Lihat: Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, hlm. 24.20.Santri merupakan istilah yang lazim digunakan untuk menyebut murid

yang tinggal atau belajar di pesantren. Namun demikian, penggunaanistilah “santri” juga kadang ditujukan untuk makna yang lebih luas,mencakup seluruh kaum muslim yang taat baik dari kalangan muslimtradisionalis maupun muslim modernis. Makna yang kedua ini bisadikontraskan dengan istilah “abangan” yang mengacu pada orang-orangIslam yang tidak menjalankan agamanya dengan taat dan sempurna sertamasih mempercayai ajaran-ajaran dari luar Islam. Lihat: Lathiful Khuluq,Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta:LKiS, 2000), hlm. 1.

21. Nahrawi Djunaedi, “Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari”, tesis di IAINJakarta, 1983, hlm. 20.

22.Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: 1983),hlm. 228-229.

23.Sholichin Salam, K.H. Hashim Ash’ari Ulama Besar Indonesia (Jakarta:Daja Murni, 1963), hlm. 34.

24.Sumber: “Sejarah Pesantren Tebuireng”, dalam http://www.tebuireng.net/index.php.

25. Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agama danTradisi, (Yogyakarta: LkiS, 2004), hlm. 207-208.

Page 36: Asal Mula Pesantren

332

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MOHAMAD KHOLIL

26.Mas’ud, Intelektual Pesantren, hlm. 209.27. Saerozi, dkk., Pendidikan Aswaja dan Ke-NU-an 3, (Surabaya: PW LP

Ma’arif NU Jawa Timur, 2002), hlm. 33.28.Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung:

Remaja Rosda Karya, 1992), hlm. 73.29.HR. Bukhori, Muslim, At-Turmudzi, An-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah,

dan Ahmad. Lihat: Mausu’ah Al-Hadits As-Syarief, edisi ke-2, (Kairo:Syirkah Al-Baramij Al-Islamiyah Ad-Dauliyyah [Global Islamic SoftwareCompany], 1991-1997).

30.Di dalam sebuah Hadits Nabi dinyatakan: “Sesungguhnya di dalam jasadmanusia terdapat segumpal darah. Apabila ia baik maka akan baik pulaseluruh (perilaku) jasad. Sebaliknya, apabila ia buruk maka akan burukpula (perilaku) jasad tersebut. Ketahuilah, itulah hati”.

31. Hasyim Asy’ari, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, (Tebuireng Jombang:Maktabah At-Turats Al-Islamy, 1415 H), hlm. 10.

32.Asy’ari, Adab al-‘Alim, hlm. 11.33.Djumransjah M., Filsafat Pendidikan, (Malang: Banyumedia Publishing,

2008), hlm. 57.34.Djumransjah M., Filsafat Pendidikan.35. HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, dan At-Turmudzi, dalam Software

Mausu’ah Al-Hadits As-Syarief, edisi ke-2, (Kairo: Syirkah Al-BaramijAl-Islamiyah Ad-Dauliyyah [Global Islamic Software Company], 1991-1997).

36.Lihat: Nizar Ali, Memahami Hadits Nabi: Metode dan Pendekatan,(Yogyakarta: Alfath Offset, 2001), hlm. 41-46.

37. Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, t.t.), hlm. 45.

38.Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 1992), hlm. 37.

39.Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam,(Bandung: al-Ma’arif, 1979), hlm. 19.

40.Langgulung, Beberapa Pemikiran, hlm. 20.41. Lihat M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1987),

hlm. 63.42.Morris L. Bigge, Learning Theories For Teachers, (New York: Harper

and Row, 1982), hlm. 12-16.43.Sa’id Aqiel Siraj, Pesantren Masa Depan, (Bandung: Pustaka Hidayah,

1999), hal. 181.44.Mukhtar Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta:

Logos Wacana Ilmu, 1999), hal. 159.45. Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994),

hal.62-66.

Page 37: Asal Mula Pesantren

333

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM

DAFTAR PUSTAKA

“Sejarah Pesantren Tebuireng”, dalam http://www.tebuireng.net/index.php.

Abdullah, Taufik, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara5, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002).

Ali, Nizar, Memahami Hadits Nabi: Metode dan Pendekatan,(Yogyakarta: Alfath Offset, 2001).

al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsir al-Maraghi, (Mesir:Mushthafa al-Babi al-Halabi, t.t.).

Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1987).Asy’ari, Hasyim, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, (Tebuireng

Jombang: Maktabah At-Turats Al-Islamy, 1415 H).Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan

Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1998).Bigge, Morris L., Learning Theories For Teachers, (New York: Harper

and Row, 1982).Djumransjah M., Filsafat Pendidikan, (Malang: Banyumedia

Publishing, 2008).Djunaedi, Nahrawi, “Kiai Haji Muhammad Hasyim Asy’ari”, tesis di

IAIN Jakarta, 1983.Fatah, Rohadi Abdul dkk., Rekonstruksi Pesantren Masa Depan,

(Jakarta: PT. Listafariska Putra, 2005).Haedari, Amin dkk., Masa Depan Pesantren dalam Tantangan

Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta: IRDPress, 2004).

Haedari, Amin, “Beberapa Pemikiran Pengembangan PondokPesantren”, makalah disampaikan dalam Forum Kuliah UmumProgram Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 3September 2008.

Hielmy, Irfan, Wacana Islam, (Ciamis: Pusat Informasi Pesantren,2000).

Khuluq, Lathiful, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi KH. HasyimAsy’ari, (Yogyakarta: LKiS, 2000).

Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam,(Bandung: al-Ma’arif, 1979).

Madjid, Nurcholis, Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: BulanBintang, 1994).

Page 38: Asal Mula Pesantren

334

Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011

MOHAMAD KHOLIL

Maksum, Mukhtar, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999).

Mas’ud, Abdurrahman, Intelektual Pesantren: Perhelatan Agamadan Tradisi, (Yogyakarta: LkiS, 2004).

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS,1994).

Mastuki, HS. & M. Ishom El-Saha (eds.), Intelektualisme Pesantren:Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era PertumbuhanPesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2003).

Mausu’ah Al-Hadits As-Syarief, edisi ke-2, (Kairo: Syirkah Al-Baramij Al-Islamiyah Ad-Dauliyyah [Global Islamic SoftwareCompany], 1991-1997).

Muchtarom, Zaini, Santri dan Abangan di Jawa, (Jakarta: INIS,1988).

Saerozi, A. dkk., Pendidikan Aswaja dan Ke-NU-an 3, (Surabaya:PW LP Ma’arif NU Jawa Timur, 2002).

Salam, Sholichin, K.H. Hashim Ash’ari Ulama Besar Indonesia(Jakarta: Daja Murni, 1963).

Siraj, Sa’id Aqiel, Pesantren Masa Depan, (Bandung: PustakaHidayah, 1999).

Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta:LP3ES, 1974).

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung:Remaja Rosda Karya, 1992).

Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung:Remaja Rosdakarya, 1992).

Van Brunessen, Martin, Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat,(Bandung: Mizan, 1999).

Wirjosukarto, Amir Hamzah, “Artikel Pembaharuan Pendidikan danPengajaran Islam”, (Malang: Pergerakan Muhammadiyah,1968).

Yunus, Muhammad, Sejarah Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta:1983).

Zamzami M., dkk., Islam Ahlussunnah Waljama’ah di Indonesia:Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika Nahdlatul Ulama, (Jakarta:Pustaka Ma’arif NU, 2007).