19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Bahan 2.1.1 Asam Mefenamat a. Rumus bangun Gambar 1. Rumus bangun Asam Mefenamat b. Rumus molekul : C 15 H 15 NO 2 c. Berat molekul : 241,29 d. Sifat fisika - Pemerian : Serbuk hablur, putih atau hampir putih; melebur pada suhu lebih kurang 230 ˚ disertai peruraian. - Kelarutan : Larut dalam larutan alkali hidroksida; agak sukar larut dalam kloroform; sukar larut dalam etanol dan dalam metanol; praktis tidak larut dalam air (Ditjen POM,1995). - pKa : 4,2 (Moffat, et al, 1986). e. Farmakologi - Kegunaan :Digunakan pada sakit yang ringan dan sedang termasuk sakit kepala, sakit gigi, sakit setelah operasi dan melahirkan, dan dysmenorrhoea,

asam mefenamat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

asam mefenamat

Citation preview

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Bahan

2.1.1 Asam Mefenamat

a. Rumus bangun

Gambar 1. Rumus bangun Asam Mefenamat

b. Rumus molekul : C15H15NO2

c. Berat molekul : 241,29

d. Sifat fisika

- Pemerian : Serbuk hablur, putih atau hampir putih; melebur

pada suhu lebih kurang 230˚ disertai peruraian.

- Kelarutan : Larut dalam larutan alkali hidroksida; agak sukar

larut dalam kloroform; sukar larut dalam etanol

dan dalam metanol; praktis tidak larut dalam air

(Ditjen POM,1995).

- pKa : 4,2 (Moffat, et al, 1986).

e. Farmakologi

- Kegunaan :Digunakan pada sakit yang ringan dan sedang

termasuk sakit kepala, sakit gigi, sakit setelah

operasi dan melahirkan, dan dysmenorrhoea,

osteoarthritis, dan rheumatoid arthritis

(Sweetman, 2005).

- Efek Samping :Terjadi steatorrhoea, haemolitik anemia,

leukopenia, neutropenia, agranulositosis, gagal

ginjal non-oligurik (Sweetman, 2005), dan iritasi

lambung (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

2.1.2 Ibuprofen

a. Rumus bangun

Gambar 2. Rumus Bangun Ibuprofen

b. Rumus molekul : C13H18O2

c. Berat molekul : 206,28

d. Sifat fisika

- Pemerian : Serbuk hablur, putih hingga hampir putih; berbau

khas lemah.

- Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air; sangat mudah larut

dalam etanol, dalam metanol, dalam aseton dan

dalam kloroform; sukar larut dalam etil asetat

(Ditjen POM,1995).

- pKa : 4,4; 5,2 (Moffat, et al, 1986).

e. Farmakologi

- Kegunaan : Digunakan pada sakit yang ringan sampai sedang

dan inflamasi dalam kondisi seperti

dysmenorrhoea, sakit kepala termasuk migrain,

sakit setelah pembedahan, sakit gigi, osteoarthritis,

rheumatoid arthritis, dan mengurangi demam

(Sweetman, 2005).

- Efek Samping : Menyebabkan dispepsia, muntah, mual, perdarahan

pada pencernaan, peptic ulcers, haematuria,

hipersensitifitas, perforasi, agranulositosis, dan

trombositopenia (Sweetman, 2005).

2.1.3 Ketoprofen

a. Rumus bangun

Gambar 3. Rumus Bangun Ketoprofen

b. Rumus molekul : C16H14O3

c. Berat molekul : 254,3

d. Sifat fisika

- Pemerian : Serbuk hablur, putih atau hampir putih, tidak atau

hampir tidak berbau.

- Kelarutan : Mudah larut dalam etanol, dalam kloroform dan

dalam eter; praktis tidak larut dalam air

(Ditjen POM,1995).

- pKa : 4,5 (Kasim, et al, 2003).

e. Farmakologi

- Kegunaan : Digunakan pada osteoarthritis, rheumatoid

arthritis, dysmenorrhoea, sakit setelah

pembedahan, kondisi inflamasi seperti gout yang

akut, dan mengurangi demam (Sweetman, 2005).

- Efek Samping : Asma, urtikaria (Sweetman, 2005), dan iritasi

saluran cerna (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

2.2 Absorpsi

Absorpsi atau penyerapan zat aktif adalah masuknya molekul-molekul

obat kedalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh setelah melewati sawar

biologik (Aiache, dkk, 1993). Absorpsi obat adalah peran yang terpenting untuk

akhirnya menentukan efektivitas obat (Joenoes, 2002). Agar suatu obat dapat

mencapai tempat kerja di jaringan atau organ, obat tersebut harus melewati

berbagai membran sel. Pada umumnya, membran sel mempunyai struktur

lipoprotein yang bertindak sebagai membran lipid semipermeabel (Shargel dan

Yu, 1985). Sebelum obat diabsorpsi, terlebih dahulu obat itu larut dalam cairan

biologis. Kelarutan (serta cepat-lambatnya melarut) menentukan banyaknya obat

terabsorpsi. Dalam hal pemberian obat per oral, cairan biologis utama adalah

cairan gastrointestinal; dari sini melalui membran biologis obat masuk ke

peredaran sistemik. Disolusi obat didahului oleh pembebasan obat dari bentuk

sediaannya. Secara ringkas proses biofarmasetik digambarkan dalam gambar 4

(Joenoes, 2002).

Gambar 4. Fase Biofarmasetik Obat (Joenoes, 2002)

Obat yang terbebaskan dari bentuk sediaannya belum tentu diabsorpsi:

kalau obat tersebut terikat pada kulit atau mukosa disebut adsorpsi. Kalau obat

sampai tembus ke dalam kulit, tetapi belum masuk ke kapiler disebut penetrasi.

Hanya kalau obat meresap/menembus dinding kapiler dan masuk ke dalam

saluran darah baru itu disebut absorpsi (Joenoes, 2002).

Berarti suksesnya perpindahan obat dari suatu bentuk sediaan dosis oral

kedalam sirkulasi umum bisa dicapai dengan empat langkah proses yaitu :

1. Penghantaran obat pada tempat absorpsinya

2. Keberadaan obat dalam bentuk larutan

3. Pergerakan dari obat larut melalui membran saluran cerna

4. Pergerakan obat dari tempat absorpsi ke dalam sirkulasi umum

(Syukri, 2002).

Absorpsi obat adalah langkah utama untuk disposisi obat dalam tubuh dari

sistem LADME (Liberasi-Absorpsi-Distribusi-Metabolisme-Ekskresi). Bila

pembebasan obat dari bentuk sediaannya (liberasi) sangat lamban, maka disolusi

dan juga absorpsinya lama, sehingga dapat mempengaruhi efektivitas obat secara

keseluruhan (Joenoes, 2002).

2.2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi obat

1. Pengaruh besar-kecilnya partikel obat

Kecepatan disolusi obat berbanding langsung dengan luas permukaan yang

dalam kontak dengan cairan/pelarut; bertambah kecil partikel, bertambah luas

permukaan total, bertambah mudah larut (Joenoes, 2002).

2. Pengaruh daya larut obat

Pengaruh daya larut obat/bahan aktif tergantung pada:yang tidak.

a. Sifat kimia: modifikasi kimiawi obat

b. Sifat fisik: modifikasi fisik obat

c. Prosedur dan teknik pembuatan obat

d. Formulasi bentuk sediaan/galenik dan penambahan eksipien (Joenoes, 2002).

3. Beberapa faktor lain fisiko-kimia obat

a. pKa dan derajat ionisasi obat

Konsentrasi relatif bentuk ion/molekul bergantung pada pKa obat dan juga

pada pH lingkungannya. Kebanyakan obat berupa asam lemah atau basa lemah;

oleh karena absorpsi dengan cara difusi pasif hanya terjadi dalam bentuk tidak

terionisasi (atau molekul), maka perbandingan obat yang tidak terionisasi sangat

menentukan absorpsi. pKa obat merupakan faktor penting, apakah obat itu bila

diberikan per oral diabsorpsi lebih banyak di lambung atau lebih banyak di usus

(Joenoes, 2002).

b. Koefisien partisi lemak/air (Joenoes, 2002).

2.2.2 Mekanisme Lintas Membran

Mekanisme lintas membran berkaitan dengan peristiwa absorpsi, meliputi

mekanisme pasif dan aktif (termasuk pembentukan) bersaing dalam proses

perlintasan zat aktif melalui membran (Syukri, 2002).

Koefisien Difusi x Koefisien Partisi Ketebalan Membran

a. Filtrasi atau konvektif

Filtrasi atau yang disebut juga “difusi secara konvensi” adalah mekanisme

penembusan pasif melalui pori-pori suatu membran. Semua senyawa yang

berukuran cukup kecil dan larut dalam air dapat melewati kanal membran.

Sebagian besar membran (membran seluler epitel usus halus dan lain-lain)

berukuran kecil (4-7 Å) dan hanya dapat dilalui oleh molekul dengan bobot

molekul yang kecil yaitu lebih kecil dari 150 untuk senyawa yang bulat, atau lebih

kecil dari 400 jika molekulnya terdiri atas rantai panjang (Syukri, 2002).

Gambar 5. Transpor trans membran transpor konvektif (Joenoes, 2002)

b. Difusi pasif “pH partisi hipotesis”

Difusi pasif menyangkut senyawa yang larut dalam komponen penyusun

membran. Penembusan terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi atau

elektrokimia tanpa memerlukan energi, sehingga mencapai keseimbangan dikedua

sisi membran. Waktu yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan tersebut

mengikuti hukum difusi Fick (Syukri, 2002).

Laju penetrasi = Konstanta Permeabilitas x Luas Permukaan x Perbedaan Konsentrasi

Konstanta permeabilitas =

(Rowland and Thomas, 1980)

Jadi konsentrasi (C) senyawa di kedua sisi membran berpengaruh pada

proses penembusan, tetapi perlu ditekankan bahwa hanya fraksi bebas dari zat

aktif yang diperhitungkan dalam perbedaan konsentrasi. Kombinasi zat aktif-

protein yang terbentuk tersebut tidak dapat terdifusi karena alasan bobot

molekulnya. Dalam hal ini hanya fraksi bebas yang dapat berdifusi, rantai protein

merupakan faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi laju difusi melalui

membran (Syukri, 2002).

Kebanyakan zat aktif merupakan basa atau asam organik, maka dalam

keadaan terlarut sebagian molekul berada dalam bentuk terionkan dan sebagian

dalam bentuk tak terionkan. Jika ukuran molekul tidak dapat melalui kanal-kanal

membran, maka polaritas yang kuat dari bentuk terionkan akan menghambat

proses difusi transmembran. Hanya fraksi zat aktif yang tak terionkan dan larut

dalam lemak yang dapat melalui membran dengan cara difusi pasif. Pentingnya

faktor-faktor yang berpengaruh pada difusi transmembran dari suatu molekul

(derajat ionisasi molekul, pH kompartemen) digarisbawahi dalam “Teori Difusi

Non Ionik atau Hipotesa pH Partisi” (Syukri, 2002).

Untuk obat yang zat aktifnya merupakan garam dari suatu asam kuat atau

basa kuat, derajat ionisasi berperan pada hambatan difusi transmembran.

Sebaliknya untuk elektrolit lemah berupa garam yang berasal dari asam lemah

atau basa lemah yang sedikit terionisasi, maka difusi melalui membran tergantung

kelarutan bentuk tak terionkan (satu-satunya yang berpengaruh pada konsentrasi),

serta derajat ionisasi molekul (Syukri, 2002).

Konsentrasi bentuk terionkan Konsentrasi bentuk tak terionkan

Konsentrasi bentuk tak terionkan Konsentrasi bentuk terionkan

Derajat ionisasi tergantung pada dua faktor, (persamaan Henderson

Hasselbach) yaitu:

a. Tetapan ionisasi dari suatu senyawa atau pKa

b. pH cairan dimana terdapat molekul zat aktif

Untuk asam : pH = pKa + log

Untuk basa : pH = pKa + log

Karakteristik fisiko-kimia sebagian besar molekul (polaritas, ukuran

molekul, dan sebagainya) merupakan hambatan penembusan transmembran oleh

mekanisme pasif secara filtrasi dan difusi. Pengikutsertaan proses aktif dapat

menjelaskan perjalanan obat yang kadang-kadang melintasi membran sel dengan

sangat cepat (Syukri, 2002).

Gambar 6. Transpor trans membran difusi pasif (Joenoes, 2002)

c. Tranpor aktif

Transpor aktif suatu molekul merupakan cara pelintasan transmembran

sangat berbeda dengan difusi pasif. Pada transpor aktif diperlukan adanya

pembawa. Pembawa ini dengan molekul yang dapat membentuk kompleks pada

permukaan membran. Kompleks tersebut melintasi membran dan selanjutnya

molekul dibebaskan pada permukaan lainnya, lalu pembawa kembali menuju ke

permukaan asalnya (Syukri, 2002).

Sistem transpor aktif bersifat jenuh. Sistem ini menunjukkan adanya suatu

kekhususan untuk setiap molekul atau suatu kelompok molekul. Oleh sebab itu

dapat terjadi persaingan beberapa molekul yang berafinitas tinggi dapat

menghambat kompetisi transpor dari molekul yang berafinitas lebih rendah.

Transpor dari satu sisi membran ke sisi membran yang lain dapat terjadi dengan

mekanisme perbedaan konsentrasi. Tranpor ini memerlukan energi yang diperoleh

dari hidrolisa adenosin trifosfat (ATP) dibawah pengaruh suatu ATP-ase

(Syukri, 2002).

Gambar 7. Transpor trans membran transpor aktif (Joenoes, 2002)

d. Difusi sederhana (dipermudah = fasilitas)

Difusi sederhana merupakan cara pelintasan membran yang memerlukan

suatu pembawa dengan karakteristik tertentu (kejenuhan, spesifik dan kompetitif).

Pembawa tersebut bertanggungjawab terhadap transpor aktif, tetapi di sini

perlintasan terjadi akibat gradien konsentrasi dan tanpa pembebasan energi

(Syukri, 2002).

Gambar 8. Transpor trans membran transpor yang dipermudah (Joenoes, 2002)

e. Pinositosis

Pinositosis merupakan suatu proses perlintasan membran oleh molekul-

molekul besar dan terutama oleh molekul yang tidak larut. Perlintasan terjadi

dengan pembentukan vesikula (bintil) yang melewati membran (Syukri, 2002).

Gambar 9. Transpor trans membran pinositosis (Joenoes, 2002)

f. Transpor oleh pasangan ion

Transpor oleh pasangan ion adalah suatu cara perlintasan membran dari

suatu senyawa yang sangat mudah terionkan pada pH fisiologik. Perlintasan

terjadi dengan pembentukan kompleks yang netral (pasangan ion) dengan

senyawa endogen seperti musin, dengan demikian memungkinkan terjadinya

difusi pasif kompleks tersebut melalui membran (Syukri, 2002).

Gambar 10. Transpor trans membran transpor pasangan ion (Joenoes, 2002)

2.3 Permeabilitas

Suatu senyawa obat untuk dapat memberikan aktivitas harus mampu

menembus membran biologis dan mencapai jaringan target dalam jumlah yang

cukup untuk menimbulkan aktivitas. Parameter sifat fisika kimia yang paling

berperan dalam proses ditribusi tersebut adalah parameter lipofilik (Siswandono

dan Soekardjo, 2000).

Membran-membran biologis dengan sifat lipoid, biasanya lebih permeabel

terhadap zat-zat yang larut dalam lemak. Oleh karena itu pengangkutan melewati

membran-membran ini sebagian tergantung pada kelarutan lemak dari jenis zat

yang mendifusi. Kelarutan dalam lemak dari suatu obat ditentukan oleh adanya

gugus-gugus nonpolar dalam struktur molekul obat tersebut, sebagaimana gugus-

gugus yang dapat terion dipengaruhi oleh pH setempat (Lachman, dkk, 1989).

Sering dikatakan bahwa molekul yang terionisasi tidak menembus

membran, kecuali untuk ion dengan diameter kecil. Hal ini tidak sepenuhnya

benar, karena terdapatnya membran karier untuk beberapa ion, yang mana efektif

akan melindungi atau menetralisasi muatan (bentuk pasangan ion). Ketika obat

merupakan suatu asam atau basa lemah, dalam bentuk tak terionisasi, dengan

memiliki koefisien partisi melewati membran biologis lebih cepat daripada bentuk

terionisasi, bahwa hanya bentuk tidak terionisasi yang dikaitkan dengan

penembusan membran (Gennaro, 2001).

Koefisien partisi dari obat tergantung pada polaritas dan ukuran dari

molekul. Obat dengan momen dipol yang tinggi, walaupun tidak terionisasi,

mempunyai kelarutan dalam lemak rendah, dan oleh karena itu sedikit

terpenetrasi. Ionisasi bukan saja mengurangi kelarutan dalam lemak sangat besar

tetapi juga menghalangi perlintasan melewati membran yang bermuatan

(Gennaro, 2001). Umumnya koefisien partisi lemak/air dari suatu molekul

merupakan indeks yang berguna dalam kecenderungan untuk absorpsi oleh difusi

pasif (Lachman, dkk, 1989).

Koefisien partisi minyak/air merupakan ukuran sifat lipofilik suatu

molekul, ini merupakan rujukan untuk sifat fase hidrofilik atau lipofilik. Koefisien

partisi harus dipertimbangkan dalam pengembangan bahan obat menjadi bentuk

obat. Koefisien partisi (P) menggambarkan rasio pendistribusian obat kedalam

pelarut sistem dua fase, yaitu pelarut organik dan air (Ansel, 1989). Bila molekul

semakin larut lemak, maka koefisien partisinya semakin besar dan difusi trans

membran terjadi lebih mudah. Tidak boleh dilupakan bahwa organisme terdiri dari

fase lemak dan air, sehingga bila koefisien partisi sangat tinggi ataupun sangat

rendah maka hal tersebut merupakan hambatan pada proses difusi zat aktif

(Aiache, dkk, 1993).

Suatu senyawa yang dapat larut dalam dua pelarut yang tidak saling

campur maka senyawa akan terdistribusi ke dalam fase polar (misal: air) dan fase

non polar (misal: oktanol, kloroform, karbontetraklorida). Setelah tercapai

kesetimbangan ternyata kadar senyawa dalam kedua pelarut tersebut selalu tetap

(pada suhu yang tetap) sehingga dapat ditentukan nilai koefisien partisinya

(Siswandono dan Soekardjo, 2000). Menurut Nernst, koefisien partisi dapat

disederhanakan sesuai dengan persamaan:

P = Co/Cw atau

Log P = log Co – log Cw

Co adalah kadar molal dalam fase non-air dan Cw kadar molal dalam air, setelah

mengalami kesetimbangan partisi (Sardjoko, 1993).

Nilai P seringkali dinyatakan dengan nilai log P. Sebagai contoh nilai log

P 1 setara dengan nilai P 10. Nilai P = 10 merupakan nilai P untuk senyawa

tertentu yang mengalami partisi ke dalam pelarut organik dalam jumlah yang

sama. P = 10 berarti bahwa 10 bagian senyawa berada dalam lapisan organik dan

1 bagian berada dalam lapisan air (Rohman, 2007).

2.4 Membran Sel

Sel kehidupan dikelilingi oleh membran yang berfungsi untuk memelihara

keutuhan sel, mengatur pemindahan makanan dan produk yang terbuang,

mengatur keluar masuknya senyawa-senyawa dari dan ke sitoplasma. Membran

sel bersifat semipermeabel dan mempunyai ketebalan total ± 8 nm. Membran sel

merupakan bagian sel yang mengandung komponen-komponen terorganisasi dan

dapat berinteraksi dengan mikromolekul secara khas. Struktur membran biologis

sangat kompleks dan dapat mempengaruhi intensitas dan masa kerja obat.

Sesudah pemberian secara oral, obat harus melalui sel epitel saluran cerna,

membran sistem peredaran tertentu, melewati membran kapiler menuju sel-sel

organ atau reseptor obat (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

Membran sel terdiri komponen-komponen yang terorganisasi, yaitu :

a. Lapisan Lemak Bimolekul

Tebal lapisan lemak bimolekul ± 35 Ǻ, mengan dung kolesterol netral dan

fosfo lipid terionkan, yang terdiri dari fosfatidiletanolamin, fosfatidilkolin,

fosfatidilserin dan spingomielin. Berdasarkan sifat kepolarannya lapisan

lemak bimolekul dibagi menjadi dua bagian yaitu bagian non polar, terdiri

dari rantai hidrokarbon, dan bagian polar yang terdiri dari gugus hidroksil

kolesterol dan gugus gliserilfosfat fosfolipid (Siswandono dan Soekardjo,

2000).

b. Protein

Bentuk protein bervariasi, ada yang besar, berat molekulnya ± 300.000 dan

ada pula yang sangat kecil. Protein bersifat ampifil karena mengandung

gugus hidrofil dan hidrofob (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

c. Mukopolisakarida

Jumlah mukopolisakarida pada membran biologis kecil dan strukturnya

tidak dalam keadaan bebas tetapi dalam bentuk kombinasi dengan lemak,

seperti glikolipid, atau dengan protein, seperti glikoprotein (Siswandono

dan Soekardjo, 2000).

Membran sel mempunyai pori yang bergaris tengah antara 3,5-4,2 Ǻ,

merupakan saluran berisi air dan dikelilingi oleh rantai samping molekul protein

yang bersifat polar. Zat terlarut dapat melewati pori ini secara difusi karena

kekuatan tekanan darah (Siswandono dan Soekardjo, 2000).

Contoh membran biologis: sel epitel saluran cerna, sel epitel paru, sel

endotel buluh darah kapiler, sawar darah-otak, sawar darah-cairan serebrospinal,

plasenta, membran glomerulus, membran tubulus renalis, dan sel epidermis kulit

(Siswandono dan Soekardjo, 2000).

2.5 Usus Halus

Pencernaan makanan yang dimulai dalam lambung, dilanjutkan dalam

usus halus oleh enzim-enzim yang dihasilkan mukosanya dan dibantu agen

pengemulsi dan enzim yang disekresi ke dalam lumennya oleh hati dan pankreas

(Fawcett, 1994). Usus halus merupakan lanjutan lambung yang terdiri atas tiga

bagian yaitu duodenum yang terfiksasi, jejunum dan ileum yang bebas bergerak.

Diameter usus halus beragam tergantung pada letaknya (2-3 cm) dan panjang

keseluruhan antara 5-9 m. Panjang tersebut akan berkurang oleh gerakan regangan

otot, yang melingkari peritoneum (Aiache, dkk, 1993).

Gambar 11. Usus Halus (Deferme, et al, 2008)

Duodenum, dengan panjang sekitar 25 cm, terikat erat pada dinding dorsal

abdomen, dan sebagian besar terletak retroperitoneal. Jalannya berbentuk-C,

mengitari kepala pankreas dan ujung distalnya menyatu dengan jejunum, yang

terikat pada dinding dorsal rongga melalui mesenterium. Jejunum dapat

digerakkan bebas pada mesenteriumnya dan merupakan dua-perlima bagian

proksimal usus halus, sedangkan ileum merupakan sisa tiga-perlimanya. Kelokan-

kelokan jejunum menempati bagian pusat abdomen, sedangkan ileum menempati

bagian bawah rongga. Terdapat perbedaan kecil dalam histologi mukosa ketiga

segmen usus halus itu, namun batas di antara ketiganya tidak jelas. Dinding usus

halus terdiri atas empat lapis konsentris: mukosa, submukosa, muskularis, dan

serosa (Fawcett, 1994). Mukosa terdiri dari empat lapisan: permukaan lapisan

tunggal, membran basal, lamina propia dan lamina muskularis mukosa (Deferme,

et al, 2008). Mukosa usus halus, kecuali yang terletak pada bagian atas duodenum

berbentuk lipatan-lipatan atau disebut juga valvula conniventes. Lipatan-lipatan

inilah yang berfungsi sebagai permukaan penyerapan dan penuh dengan villi yang

tingginya 0,75-1 mm dan selalu bergerak. Adanya vili ini lebih memperluas

permukaan mukosa penyerapan hingga 40-50 m2 (Aiache,dkk,1993).

Bahan obat dari lambung masuk ke duodenum; fungsi utama duodenum

dan bagian pertama jejunum adalah untuk sekresi, sedangkan fungsi bagian kedua

dari jejunum dan ileum ialah untuk absorpsi. pH usus halus meningkat dari

duodenum 4-6, jejunum 6-7, ileum 7-8. pH dalam usus halus berperan besar

dalam hal absorpsi obat, sebagai akibat disolusi dari berbagai bentuk sediaannya.

Pada pH yang berbeda-beda absorpsi optimal suatu obat tergantung juga pada pKa

obat (Joenoes, 2002).

2.6 Spektrofotometri Ultraviolet-visibel

Spektrofotometer UV-vis adalah pengukuran panjang gelombang dan

intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorpsi oleh sampel. Sinar

ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan

elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektroskopi UV-

vis biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam

larutan. Spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif.

Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur

absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum

Lambert-Beer. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm

sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800 nm

(Dachriyanus, 2004).

Ketika suatu atom atau molekul menyerap cahaya maka energi tersebut

akan menyebabkan tereksitasinya elektron pada kulit terluar ke tingkat energi

yang lebih tinggi. Tipe eksitasi tergantung pada panjang gelombang cahaya yang

diserap. Sinar ultraviolet dan sinar tampak akan menyebabkan elektron tereksitasi

ke orbital yang lebih tingi. Sistem yang bertanggung jawab terhadap absorpsi

cahaya disebut dengan kromofor (Dachriyanus, 2004). Kromofor merupakan

semua gugus atau atom dalam senyawa organik yang mampu menyerap sinar

ultraviolet dan sinar tampak (Rohman, 2007).

Hukum Lambert-Beer (Beer’s law) adalah hubungan linieritas antara

absorban dengan konsentrasi larutan analit. Biasanya hukum Lambert-Beer ditulis

dengan:

A = ε. b. C

A = absorban (serapan)

ε = koefisien ekstingsi molar (M-1cm-1)

b = tebal kuvet (cm)

C = konsentrasi (M)

10. ε massa molar

Pada beberapa buku ditulis juga:

A = E. b. C

E = koefisien ekstingsi spesifik (ml g-1cm-1)

b = tebal kuvet (cm)

C = konsentrasi (gram/100 ml)

Hubungan antara E dan ε adalah:

E =

Pada percobaan, yang terukur adalah transmitan (T), yang didefinisikan sebagai

berikut:

T = I/Io

I = intensitas cahaya setelah melewati sampel

Io = intensitas cahaya awal

Hubungan antara A dan T adalah

A = -log T = -log (I/Io) (Dachriyanus,

2004)

Jika absorbansi suatu seri konsentrasi larutan diukur pada panjang

gelombang, suhu, kondisi pelarut yang sama; dan absorbansi masing-masing

larutan diplotkan terhadap konsentrasinya maka suatu garis lurus akan teramati

sesuai dengan persamaan A = abc. Grafik ini disebut dengan plot hukum Lambert-

Beer dan jika garis yang dihasilkan merupakan suatu garis lurus maka dapat

dikatakan bahwa hukum Lambert-Beer dipenuhi pada kisaran konsentrasi yang

diamati (Rohman, 2007).