70

Asia Forest Network (AFN) - arupa.or.idarupa.or.id/download/afn.pdf · pemeliharaan (stewardship) sumber daya tradisional ke dalam struktur pemerintahan modern. Proses pengalihan

  • Upload
    tranque

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

i

Kata Sambutan

Dalam menghadapi cepatnya perusakan hutan, dan dampaknya berupa hilangnyakeragaman hayati di dataran tinggi, banjir bandang di hilir sungai, serta gangguan pasokenergi di perkotaan, pemerintah di Asia Tenggara, warga kota, dan masyarakat pedesaankini semakin memprihatinkan keadaan hutan dan daerah aliran sungai yang semakinmemburuk. Media nasional, melalui TV, surat kabar, dan radio, secara luasmendokumentasikan dan menyebarluaskan informasi mengenai perusakan hutan yangterus-menerus terjadi. Masyarakat perkotaan dan pedesaan di berbagai wilayah semakinsadar akan pentingnya konservasi hutan dan pemanfaatan hutan secara lestari. Kesadaranini tercermin dalam peraturan dan kebijakan baru untuk melindungi dan melibatkanmasyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Sepanjang tahun 1990-an, banyak bangsadi Asia Tenggara secara aktif terlibat dalam upaya menelusuri berbagai pendekatan inovatifpengelolaan sumber daya berbasis masyarakat, serta berusaha memadukan praktik-praktikpemeliharaan (stewardship) sumber daya tradisional ke dalam struktur pemerintahanmodern. Proses pengalihan devolutif hak kelola lahan hutan publik kepada penduduksetempat kini didukung melalui berbagai prakarsa kebijakan dan instrumen hukumtermasuk undang-undang desentralisasi dan peraturan daerah, serta melalui undang-undang baru mengenai perhutanan dan lingkungan. Lebih lanjut, pemerintah di berbagainegara telah merumuskan peraturan pemerintah, keputusan, atau pedoman khususmengenai perhutanan masyarakat untuk memfasilitasi pengalihan otoritas pemeliharaankepada kelompok masyarakat di sekitar hutan. Berbagai badan pembangunan internasionalmeletakkan pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat sebagai unsur prioritasdalam strategi bantuan mereka.

Pada tahun 2001, dengan dukungan Tropical Forest Budget Line (Dana Bantuan bagiHutan Tropis) dari Komisi Eropa dan East Asia and the Pacific Environmental Initiative(Prakarsa Lingkungan Asia Timur dan Pasifik) dari United States Agency for InternationalDevelopment (Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika Serikat), Asia ForestNetwork (Jaringan Hutan Asia) bersama Community Forestry International (PerhutananMasyarakat Internasional) memprakarsai terbentuknya Community Forest ManagementSupport Project (CFMSP—Proyek Dukungan Pengelolaan Hutan Masyarakat) di AsiaTenggara untuk memfasilitasi transisi sektor perhutanan yang sedang berjalan di wilayahtersebut. Program ini dirancang untuk menanggapi berbagai kebutuhan di tingkatmasyarakat, nasional, dan regional melalui bermacam intervensi. Pada tingkat regional,CFMSP mengorganisasi sebuah lokakarya serial dan studi banding untuk mendorongpertukaran informasi antarnegara yang terlibat dalam pengembangan program dankebijakan pengelolaan hutan masyarakat. Di tingkat nasional, CFMSP menyediakanbantuan teknis dan keuangan di masing-masing negara bagi kelompok kerja, jaringanlembaga swadaya masyarakat (LSM), serta bagi dialog donor yang sedang mengembangkankerangka kerja kebijakan dan strategi nasional untuk mendorong transisi sektor perhutananyang melibatkan masyarakat sebagai mitra utama. Di tingkat lapangan, CFMSP bekerjadengan organisasi mitra untuk menerapkan prakarsa perhutanan masyarakat melaluipenyediaan pendanaan kecil (small grant), bantuan teknis, dan dukungan dokumentasi.

ii

Salah satu kegiatan CFSMP adalah bekerjasama dengan mitra proyek lapangan untukmenghasilkan studi kasus dari masing-masing negara Asia Tenggara yang berpartisipasi,yaitu Kamboja, Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Studi kasus ini dirancanguntuk menangkap pengalaman masyarakat dan anggota tim proyek sepanjang pergerakanmereka dalam siklus dialog, penilaian diagnostik, pengembangan organisasi, negosiasidengan pemerintah nasional, pemetaan sumber daya dan perencanaan pengelolaandesentralisasi, serta formalisasi kesepakatan pengelolaan. Sekalipun strategi yang tercermindalam tiap-tiap studi kasus sangat unik, mencerminkan konteks sosio-kultural, lingkunganpolitik dan kebijakan, sejarah masyarakat, dan ekologi manusia di masing-masing tempat,pada saat yang sama berbagai strategi tersebut juga melibatkan sebuah rangkaian kegiatanyang sama, yaitu kegiatan yang berorientasi pada peningkatan kemampuan masyarakatpedesaan untuk mengambil tanggung jawab baru dalam pengelolaan dan mendorongpemerintah daerah untuk mendukung upaya-upaya ini.

Pembentukan kemitraan pengelolaan sumber daya yang menghubungkan masyarakatdengan pemerintah daerah adalah sebuah tema utama dalam semua studi kasus ini.Begitu pula dengan proses membangun kemampuan dan rasa percaya diri masyarakatuntuk mempertahankan dan mengatur akses mereka pada sumber daya alam. Studi kasusini terutama menelaah perubahan yang terjadi pada lima tahun terakhir. Di banyaktempat, kemajuan yang dramatis terjadi dalam memantapkan sumber daya lokal,membangun lembaga masyarakat, menyelesaikan sengketa dengan pemerintah daerahdan desa tetangga, serta menciptakan sistem pengelolaan yang lestari. Beberapa pengalamandari lima tempat di Asia menunjukkan bahwa para perencana, LSM, badan pembangunan,dan masyarakat sipil pada umumnya tidak salah menempatkan kepercayaan mereka yangsecara bertahap dilimpahkan pada masyarakat desa. Pada saat yang sama, sebagaimanajelas terlihat dalam setiap studi kasus, dibutuhkan bantuan teknis, keuangan, dandukungan politis yang besar. Kerusakan hutan yang parah telah terjadi di kawasan AsiaTenggara selama beberapa dekade terakhir akibat kebijakan nasional yang salah dankegagalan pengelolaan di tingkat lapangan. Untuk mengimbangi kerusakan ini, sebuahupaya yang sama besarnya dibutuhkan untuk mengembalikan ekosistem kritis ke asalnyasekaligus beserta hubungan masyarakat di dalamnya. Studi kasus ini juga menunjukkanbahwa investasi jangka panjang dalam membangun kecakapan masyarakat dan pemerintahdaerah agar mereka dapat melakukan pengelolaan lestari adalah sebuah investasi yangstrategis.

Asia Forest Network dan Community Forestry International mengucapkan terima kasihkepada Komisi Eropa dan United States Agency for International Development atasdukungannya. Kami juga menyampaikan penghargaan kepada semua organisasi mitrayang terlibat dalam penerapan program, kebijakan, dan undang-undang perhutanangenerasi baru. Akhirnya, ingin kami tegaskan bahwa upaya-upaya yang luar biasa telahdilakukan oleh ribuan masyarakat pedesaan di seluruh Asia Tenggara, dan upaya inimemberikan sumbangsih besar bagi perlindungan, konservasi, dan pengelolaan hutanlestari yang menjadi bagian dari ekosistem alamiah planet bumi. Mereka membutuhkandukungan pemerintah nasional dan masyarakat internasional.

Dr. Mark Poffenberger

Direktur Regional CFMSP

iii

Kata Sambutan dari ARuPA

Duka nestapa seakan terus melekat dalam sejarah pengelolaan hutan di Indonesia ketikadalam setiap episode peralihan pemerintahan selalu terjadi kerusakan yang luar biasa.Ada berbagai persoalan menghinggapi dunia perhutanan, mulai dari persoalan teknis,konsep pengelolaan, tata pemerintahan, korupsi, penebangan liar, persoalan sosial,persoalan lingkungan, dan berbagai persoalan rumit lainnya. Adalah Wonosobo, sebuahlaboratorium yang bisa jadi memiliki banyak kemiripan dengan muramnya pengelolaanhutan di Indonesia. Letak geografis Wonosobo—yang berada di tengah Pulau Jawa denganketinggian antara 270—2250 meter dari permukaan laut, dengan curah hujan 2.000—3.000 mm/tahun, dan dengan luas 98.500 hektar—menunjukkan bahwa kabupaten iniberada di dataran tinggi dan pegunungan yang menjadi daerah tangkapan air serta hulubagi daerah aliran sungai yang penting. Hutan Wonosobo sungguh penting bagikelangsungan kehidupan ekosistem di Jawa. Dengan beban sebagai KabupatenKonservasi, sungguh ironis ketika di lapangan, hutan negara telah menjadi tanah kosong,dan pada saat yang sama, lebih dari 150 desa hutan berpenduduk miskin. Barangkali,ironi ini masih bisa diselamatkan ketika kita melihat fakta lain bahwa terdapat lebih dari20.000 hektare tanah milik pribadi yang tumbuh dan dirawat sebagai hutan rakyat.Hutan di tanah pribadi ini mampu memberi nilai ekonomis, ekologis, dan sosial bagiwarga desanya.

Ada beberapa sari pati yang dapat menjadi bahan renungan bagi kita bersama, antaralain bahwa, pertama, landasan pengelolaan hutan yang konvesional atau “perhutananakademis” ternyata menjadi konsep usang yang harus segera dikoreksi ketika fakta dilapangan menunjukkan perbenturan berbagai kepentingan sekaligus menjadi tempatpengejawatahan kebutuhan berbagai pihak. Kalau saja semua pihak mau menerima konseppengelolaan hutan oleh petani yang secara empiris terbukti lestari dan dalam prosesnyadituangkan dalam perencanaan masyarakat (community planning), hutan yang diidamkanpasti menjadi keniscayaan. Kedua, diperlukan konsep hubungan yang berlandaskankeadilan dan pikiran yang jernih sehingga perhutanan masyarakat bisa dibangun dengankeperpihakan pada masyarakat; dan, ketiga, dukungan dari berbagai pihak atas niat baikmasyarakat Wonosobo untuk membangun hutan bisa menjadi referensi bagi perbaikanpengelolaan hutan dan penyusunan kebijakan perhutanan nasional.

Pada tahun 1998 di Indonesia terjadi proses perubahan politik yang menyeluruh disemua lapisan dan periode ini dikenal sebagai era reformasi. Pada saat itu, keprihatinanakan bobroknya dunia perhutanan menjadi diskusi beberapa pegiat mahasiswa yangkemudian melembaga menjadi Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam. ARuPA berdiridengan semangat untuk melakukan koreksi kritis atas problematika pengelolaan sumberdaya alam pada umumnya dan sumber daya hutan secara khusus, terutama untukmengoreksi kesalahan dalam paradigma, kebijakan, kelembagaan, dan sistem pengelolaanhutan. ARuPA bercita-cita mewujudkan masyarakat sipil yang berdaya secara ekonomi,sosial, politik untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidupyang adil, lestari, demokratis, dan berkelanjutan menuju tercapainya kesejahteraanmasyarakat.

iv

ARuPA telah, sedang, dan akan terus terlibat secara aktif dalam berbagai kegiatan studi,pendampingan, dan advokasi, dengan beberapa program kerja guna mendorongtransformasi pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat melalui aktivitasekonomi kerakyatan, jejaring antar petani, dan juga mendorong dibukanya aksesmasyarakat pada sumber daya hutan. Selain kerja-kerja tersebut ARuPA juga menyiapkanpetani melalui belajar antar petani serta peningkatan kapasitas (capacity building)pemerintahan daerah.

Proses penulisan buku ini cukup lama dan melelahkan karena Tim Penulis harusberkomunikasi dan berkoordinasi dalam ruang yang cukup jauh antara Indonesia—Filipina. Selain itu, kondisi Wonosobo juga sangat dinamis dan cukup berisiko, antaralain, karena munculnya represi dan juga aksi kekerasan lain yang banyak menimpamasyarakat dan aktivis lingkungan di Wonosobo. Semua dinamika dan peristiwa baru iniselalu menarik untuk diikuti, ditelusuri, dan dijadikan bahan analisis buku ini.Harapannya, pembaruan teks tersebut dapat melengkapi buku Hutan Wonosobo:Keberpihakan yang Tersendat yang merupakan salah satu bentuk sumbangan pikiran ARuPAbagi para pegiat perhutanan masyarakat dengan berbagai variannya.

ARuPA mengucapkan terima kasih kepada masyarakat petani hutan di Wonosobo yangselalu terbuka dan menjadi teman belajar sekaligus memberikan dukungan moral danmaterial. Kami juga berterimakasih pada kawan-kawan Jaringan Kerja PendampingMasyarakat, Yayasan Koling, Serikat Petani Kedu—Banyumas, Persatuan Petani Mandiri,dan DPRD Wonosobo khususnya teman-teman di Komisi B, serta Pemerintah DaerahKabupaten Wonosobo atas kerjasama dan dukungannya selama ini. Selain itu kami jugamenyampaikan penghargaan kepada semua kawan baik di tingkat lokal, regional, maupunnasional yang banyak terlibat dan mendukung proses-proses negoisasi, kajian kebijakan,dan advokasi di berbagai level demi pengelolaan sumber daya alam yang adil, demokratis,dan lestari.

Suryanto Sadiyo

Direktur Eksekutif ARuPA

v

Ringkasan

Dunia kini memperhatikan upaya Indonesia yang sedang mencari jalan untukmenghentikan kerusakan yang cepat di hutan-hutan tropis di wilayah negeri tersebut.Seperti di negara lainnya, sebagian besar hutan Indonesia dikuasai oleh negara selamalebih dari 50 tahun. Pada 1999, setelah melalui masa-masa penjarahan hutan yangparah, reformasi kebijakan menghantarkan desentralisasi beberapa fungsi administratifkepada pemerintah daerah, termasuk aspek-aspek pengelolaan sumber daya alam.Sejumlah pemerintah daerah mengambil kesempatan ini dan memberlakukan kebijakanyang mencerminkan perhatian utama mereka dalam pengelolaan hutan. Berbagai tindakandi beberapa kabupaten, yang justru menimbulkan kerusakan lebih parah, mempengaruhiproses-proses di kabupaten lain yang sungguh-sungguh berupaya menyelamatkanlingkungan.

Di Jawa, pulau yang paling lama menjadi ajang pengelolaan perkebunan berbasis sainsdan pulau berpenduduk paling padat, masyarakat melihat reformasi ini sebagai pertandahadirnya sebuah sistem pengelolaan hutan yang memberi kesempatan lebih luas bagimasyarakat. Mereka beramai-ramai membangun wanatani di atas lahan tandus ataugundul di kawasan perusahaan perhutanan negara dengan harapan, suatu saat nanti,mereka akan mendapatkan keuntungan dari panen kayu.

Reformasi membuka jalan bagi bermacam pendekatan multipihak yang marak menanggapipengalihan kendali pemerintah pusat dan kebutuhan untuk mengelola berbagaikepentingan atas lahan hutan. Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM)memegang peranan penting dalam membawa para penopang (stakeholder) untuk dudukbersama dan menegaskan pentingnya melibatkan petani hutan dalam merumuskankebijakan serta melaksanakan program perhutanan di Jawa.

Studi kasus ini menggambarkan tantangan yang dihadapi dalam upaya mengarahkandesentralisasi agar bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungan hidup setempat. Laporanini mengisahkan transformasi yang diterapkan oleh masyarakat di lahan, potensi munculnyamekanisme sosial, dan tantangan yang dihadapi dalam merundingkan kesepakatan untuksebuah pengelolaan hutan yang lebih adil dan berwawasan ekologis. Laporan ini jugamenceritakan pencarian terus-menerus yang dilakukan segenap penopang hutan diKabupaten Wonosobo, sekalipun dipenuhi dengan perbedaan pandangan danpemahaman, untuk terus melanjutkan pembicaraan mengenai pengelolaan lahan hutandan menapak maju.

vi

Ucapan Terima Kasih

Laporan ini adalah hasil kerjasama yang erat dan penuh semangat antara pegiat-pegiatARuPA, Koling, dan AFN. Para pegiat ini terus berkomunikasi dan bergulat bersamauntuk mendokumentasi peristiwa-peristiwa peralihan di lahan hutan Jawa. Laporan inidimulai dengan sebuah loka tulis selama empat hari yang diselenggarakan pada bulanNovember 2002. Pada saat itu sekretariat AFN membantu para pegiat ARuPA dan Kolingmerekam pengalaman mereka sejak 1999 pada saat pembicaraan mengenai pengelolaanhutan dimulai di Wonosobo. Pendokumentasian ini dilakukan dalam bahasa Indonesiadan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Kemudian, setelah loka tulistersebut, naskah laporan ini diperbaiki berulang kali oleh para penulisnya.

Dalam perjalanannya, banyak pihak lain yang memberikan sumbangsihnya dalammembaharui, melakukan validasi, dan meningkatkan kualitas informasi dan analisislaporan ini, khususnya Sukoco, Nugroho Basuki, Totok Dwi Diantoro, C. Krustanto,dan Muqorrobin. Proses penerjemahan kembali ke bahasa Indonesia juga banyak dibantuoleh Maria Adriana Sri Adhiati, dan Era Rahman, sementara itu penyuntingan edisibahasa Indonesia ini dibantu oleh Atmakusumah dan Rama Astraatmaja.

Para penulis mengucapkan banyak terima kasih pada masyarakat Desa Bogoran, GunungTugel, Selomanik, dan sembilan belas desa lainnya atas waktu yang diluangkan untukberbagi cerita dan aspirasi disela-sela kesibukan mereka bekerja keras memanfaatkanlahan sebaik-baiknya sambil memelihara jasa lingkungan pada saat yang sama.

vii

Daftar IsiKata Sambutan iKata Sambutan dari ARuPA iiiRingkasan vUcapan Terima Kasih viDaftar Isi viiDaftar Tabel, Peta, Gambar, Kotak, dan Lampiran viiiDaftar Singkatan ixDaftar Istilah xDaftar Nama Tanaman xii

I. Pengantar 1Reformasi dan Desentralisasi Pengelolaan Hutan di Indonesia 1Strategi Tim Multipihak untuk Mendukung Perhutanan Masyarakat 2Langkah-Langkah Para Pengguna Hutan 3

II. Sistem Pengelolaan pada Lahan Hutan Negara di Jawa 5Sejarah Pengelolaan Hutan Negara, Penguasaan Tenaga Kerja,

dan Kerusakan Lahan di Jawa 5Pertumbuhan Penduduk, Kelangkaan Lahan, dan Penggunaan Lahan Intensif 12Peran Kebudayaan Daerah dan Birokrasi di Jawa 14

III. Peralihan Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Kabupaten Wonosobo 17Hutan dan Masyarakat di Wonosobo 18

Pengelolaan Hutan di Lahan Negara 22Pengelolaan Sumber Daya di Desa-Desa di Dataran Tinggi 23Peluang dan Perhatian Pemerintah Daerah 27Berkembangnya Kelompok-Kelompok Pendukung Masyarakat 27

Pergulatan Dialog Multipihak 28Forum Multipihak Wonosobo dan

Perda Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM) 28Upaya Lanjutan Perum Perhutani dan Pengelolaan Hutan

Bersama Masyarakat (PHBM) 31Percontohan Perencanaan Masyarakat dalam Kerangka PSDHBM 31

Memberikan Kejelasan dan Membangun Tekad 35Pendokumentasian Sistem Pengelolaan 37Menegosiasikan Hak dan Kewajiban 38Pertimbangan dan Pilihan Masyarakat: PSDHBM atau PHBM? 42

Dukungan terhadap Pengelolaan Masyarakat 42Rancangan Sistem Pendukung Pemerintahan Kabupaten

dalam Proses Perizinan PSDHBM 43Merancang Mekanisme Pengkajian dan Pemantauan di Kabupaten 45Usaha Mendapatkan Pengakuan Pemerintah Pusat 46Berbagai Inisiatif Desentralisasi di Indonesia 50

IV. Sebuah Refleksi 53Hambatan dan Pilihan 53Sikap dan Kewenangan 54Implikasi pada Kebijakan dan Program Nasional 54

Catatan Akhir dan Acuan 55

viii

Daftar TabelTabel 1 Sejarah Pengelolaan Hutan di Jawa 6Tabel 2 Pembagian Hutan di Jawa dan Luas Kawasan yang Dikelola Perhutani, 2001 10Tabel 3 Analisis Potensi Tegakan dan Panen Perhutani, 1998-1999 11Tabel 4 Sumber Pasok Industri Perkayuan dan Produktivitas Hutan di Jawa, 1999 13Tabel 5 Persepsi Mengenai Hutan dan Lingkungan 15Tabel 6 Tanah Kosong pada Lahan Hutan Negara di Wonosobo sampai 2000 17Tabel 7 Penggunaan Lahan Kabupaten Wonosobo 19Tabel 8 Kronologi Dialog Sepanjang 2002 32Tabel 9 Perbandingan antara Kebijakan PHBM Perhutani

dengan PSDHBM Pemda Wonosobo 33Tabel 10 Kronologi Dialog Sepanjang 2003 48

Daftar PetaPeta 1 Lahan Hutan Negara di Kabupaten Wonosobo 19Peta 2 Daerah Aliran Sungai yang Berhulu di Wonosobo 20Peta 3 Lahan Hutan Negara yang Dikelola Masyarakat di Desa Bogoran 39Peta 4 Lahan Hutan Negara yang Dikelola Masyarakat di Desa Gunung Tugel 40

Daftar GambarGambar 1 Kronologi dan Proses Dialog

mengenai Pengelolaan Hutan Wonosobo, 2001-2003 29Gambar 2 Proses Multipihak di Desa 35Gambar 3 Proses Pemberian dan Pemantauan Izin PSDHBM 44Gambar 4 Hubungan Antarpihak dengan Forum Hutan Wonosobo 46Gambar 5 Hambatan dan Alternatif Solusi Masalah Prosedural dan Hukum 49

Daftar KotakKotak 1 Kerja Perhutani di Lapangan (Catatan dari Desa Bogoran) 24Kotak 2 Kisah Pak Sukoco dari Desa Bogoran tentang Pengelolaan Hutan Negara 25Kotak 3 Cerita Zudi tentang Pengelolaan Lahan Hutan Negara di Selomanik 26Kotak 4 Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo

tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat(Perda Kabupaten Wonosobo nomor 22 tahun 2001) 34

Kotak 5 Aturan Internal dan Peraturan Setempat mengenai Pengelolaan Hutan, 2002 41Kotak 6 Diancam Massa, Petani Babati Albasia di Lahan Perhutani

(Kompas, 27/10/2004) 51

Daftar lampiranLampiran 1 Struktur Pemerintahan di Indonesia

ix

Daftar Singkatan

ARuPA Aliansi Relawan untuk Penyelamatan AlamBaPPeda Badan Perencanaan Pembangunan DesaBKPH Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (Perum Perhutani),

unit pengelolaan hutan setingkat kecamatan.CBFM Community-Based Forest Management (Pengelolaan Hutan

Berbasis Masyarakat)DfID-MFP Department for International Development–Multistakeholder Forest

Programme (Departemen Pembangunan Internasional Kerajaan Inggris—Program Perhutanan Multipihak)

DPR Dewan Perwakilan RakyatDPRD Dewan Perwakilan Rakyat DaerahFHW Forum Hutan WonosoboFKKM Forum Komunikasi Kehutanan MasyarakatFKPPPH Forum Koordinasi Penanganan Penjarahan dan Penataan HutanGNRLH Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan dan HutanHKm Hutan KemasyarakatanHTI Hutan Tanaman IndustriICRAF International Center for Research in Agroforestry (Pusat Penelitian Wanatani

Internasional)Koling Yayasan Konservasi LingkunganKPH Kesatuan Pemangkuan Hutan (Perum Perhutani), unit pengelolaan hutan

setingkat kabupatenLATIN Lembaga Alam Tropika IndonesiaLKMD Lembaga Ketahanan Masyarakat DesaLP3ES Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan SosialMPR Majelis Permusyawaratan RakyatNRMP–EPIQ Natural Resource Management Program–Environmental Policy and

Institutional Strengthening Indefinite Quantity Contract (ProgramPengelolaan Sumber Daya Alam—Kontrak Kuantitas Tak Terbatas untukPenguatan Kelembagaan dan Kebijakan Lingkungan)

PEMDA Pemerintah DaerahPERDA Peraturan DaerahPHBM - Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (Program Perhutani

diluncurkan pada 2000)- Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat (Program

Perhutani diluncurkan pada 2001)PKK Peningkatan Kesejahteraan KeluargaPP Peraturan PemerintahPSDHBM Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis MasyarakatSEPKUBA Serikat Petani Kedu—BanyumasUU Undang–UndangVOC Verenigde Oost Indische Compagnie (Kongsi Dagang Hindia Timur)WATALA Keluarga Pencinta Alam dan Lingkungan HidupWWF World Wide Fund for Nature (Dana Dunia untuk Alam)

x

Daftar Istilah

ADM disebut juga sebagai KKPH (Kepala Kesatuan Pemangkuan Hutan) atau Administratur,membawahi distrik hutan atau Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH).

Asper pelaksana pengelolaan hutan di tingkat subdistrik. Saat ini ini, seorang asper(Asisten Perhutani) membawahi suatu wilayah yang disebut Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH),

dan berada di bawah koordinasi ADM. Dalam bahasa Jawa disebut sinder dari bahasaBelanda opziener.

blandong pada umumnya adalah pekerja di bidang eksploitasi hutan, seperti penebang kayu dan buruhangkut kayu. Pada zaman penjajahan Belanda blandong adalah pekerja yang tidak dibayartetapi mendapatkan pembebasan pajak.

blandongdiensten kantor dinas yang mengurusi para blandong kiriman penguasa Jawa kepada VOC. Selainmenyerahkan tenaga kerja, penguasa Jawa juga menyerahkan hak kuasa atas sumber dayahutan dan pohon.

Dienst van het Dinas Perhutanan, sebuah dinas perhutanan semi-modern yang didirikan oleh pemerintahanBoshwezen kolonial Belanda. Dienst van het Boshwezen, dengan tujuannya menciptakan sistem

ekploitasi hutan jati yang terorganisasi serta dengan didukung oleh perangkat peraturan danpengawasan polisi atas lahan, pohon, dan tenaga kerja, memiliki struktur yang hierarkis,semiotonom, lengkap dengan birokrasinya yang berorientasi lapangan.

domeinverklaring hukum agraria yang menyatakan bahwa seluruh lahan yang tak dapat dibuktikankepemilikannya atau tidak dibebani hak milik adalah milik negara.

Hutan sebuah program pemerintah yang secara formal memberikan kesempatan bagi masyarakatKemasyarakatan untuk melakukan pengelolaan hutan di kawasan hutan negara. Program ini dimulai padatahun (HKm) 1990-an.

hutan rakyat hutan yang tumbuh di atas tanah milik pribadi atau tanah komunal serta dikelola secaraperorangan atau oleh keluarga. Sistem pengelolaan hutan rakyat adalah salah satu tipeperhutanan masyarakat (lihat lema perhutanan masyarakat dan perhutanan rakyat).

maro budaya bagi hasil antara pemilik lahan dengan penggarapnya yang didasarkan pada masukandari masing-masing pihak.

Padu Serasi dasar bagi perencanaan tata guna lahan kabupaten yang memadukan berbagai programnasional atau inisiatif daerah, baik berupa proyek kewilayahan maupun proyek teknis.

Panitia sebuah komite yang dibentuk pada 1951 untuk menangani masalah penyerobotan lahan.Pembangunan Komite ini dibentuk pada saat pemerintah kehilangan kontrol atas hutan dan lahan hutan.Wilayah Hutan Panitia Pembangunan Wilayah Hutan dan Pertanian bertugas menyuluhkan “arti dan gunadan Pertanian hutan” sesuai dengan ketentuan pemerintah kepada masyarakat luas.

pembibrikan istilah yang digunakan untuk menggambarkan bentuk-bentuk pengolahan lahan di hutannegara yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pembibrikan biasanyadilakukan pesanggem dengan mengubah/menghilangkan tanaman pokok dan menggantinyadengan tanaman pertanian atau tanaman yang lebih menguntungkan pesanggem.

perhutanan merupakan strategi atau prinsip pengelolaan hutan yang melibatkan peran berbagai unsurkemasyarakatan sosial. Istilah ini merupakan padanan kata “social forestry” dan dipakai untuk

membedakannya dengan “perhutanan sosial” yang menjadi nama program DepartemenKehutanan dan Perhutani (lihat lema Program Perhutanan Sosial).

xi

perhutanan nama kolektif bagi sistem pengelolaan hutan oleh masyarakat di luar sistem pengelolaanmasyarakat hutan skala industri/HPH/BUMN. Ada banyak istilah atau nama lain bagi pengelolaan jenis

ini; misalnya saja kehutanan masyarakat, hutan kerakyatan, perhutanan sosial, pengelolaanhutan berbasis masyarakat, atau komuniti forestri. Berbagai istilah ini sering dipakai salingmemadankan beragam istilah dalam bahasa Inggris seperti community-based forestmanagement (CBFM) atau community forestry yang masing-masing memiliki perbedaan dandefinisinya sendiri-sendiri.

perhutanan rakyat sistem pengelolaan hutan rakyat (lihat lema hutan rakyat).

pesanggem buruh tani—biasanya tak memiliki lahan atau berlahan sempit—yang dipekerjakan untukmenanam dan memelihara tanaman pokok perhutanan.

Program program Perhutani yang menerapkan teknik silvikultur dengan jarak tanam tertentu yangPerhutanan Sosial memungkinkan pesanggem bercocok tanam lebih lama di sela-sela tanaman pokok. Menurut(PS) Departemen Kehutanan, perhutanan sosial adalah semua bentuk pengelolaan hutan yang

melibatkan peran serta masyarakat baik di kawasan hutan milik negara maupun milikpribadi atau kelompok. Di kawasan hutan milik negara disebut Hutan Kemasyarakatan(HKm) sedangkan di lahan milik disebut Hutan Rakyat (HR).

rencek ranting dan cabang yang telah rontok atau kayu yang berasal dari pohon mati. Rencekbiasanya digunakan untuk kayu bakar. Dalam ketentuan resmi dinyatakan bahwa rencekadalah cabang atau ranting berdiameter kurang dari 7 centimeter.

tanaman musiman tanaman berusia pendek yang hanya memberikan satu kali panen sepanjang daur hidupnya(annual crops) serta ditanam dan dipanen dalam satu musim. Contohnya, singkong, vanili, jagung, dan

kapulaga.

tanaman tahunan tanaman yang dapat dipanen berkali-kali sepanjang daur hidupnya. Contohnya, cengkih,(perennial crops) cabai, kemukus, sirih, salak, dan jenu.

talun hutan (bahasa Sunda).

taung ya teknik wanatani yang memungkinkan petani menanam padi, jagung, tembakau, dantanaman lahan kering lainnya selama satu atau dua tahun di antara larik bibit jati di lahannegara.

tegakan hutan yang memiliki kenampakan, baik dari segi ukuran, jenis, maupun usia, secara umumsama atau seragam. Dalam bahasa Inggris disebut sebagai stand.

tumpang sari teknik penanaman taung ya di Indonesia.

wono hutan (bahasa Jawa).

wono dusun hutan dusun, istilah bagi sistem pengelolaan hutan masyarakat di tingkat dusun(bahasa Jawa).

Daftar Nama Tanaman

Nama Lokal Nama Ilmiah Nama dalam Bahasa Inggris

Aren Arenga pinata Arenga palm, sugar palm

Cengkeh/cengkih Eugenia caryophyllus Clove

Damar Agathis dammara Dammar, Kauri pine

Duren/durian Durio zibethinus Durian

Jati Tectona grandis Teak

Jengkol Pithecellobium jiringa Apesearring

Jenu Derris caudatilimba Jenu-woody vine

Kaliandra Calliandra calothyrsus Calliandra

Kapulogo/kapulaga Amomum compactum Cardamom

Kelapa Cocus nucifera Coconut palm

Kemiri Aleurites moluccana Kennel nut, candlenut

Kemukus Piper cubeba Java pepper, Javanese peppercorn,

West African black pepper

Lamtoro Leucaena glauca Leucaena

Mahoni Swietenia macrophylla Mahogany

Nangka Arthocarpus indica Jackfruit

Panili/vanili Vanilla planifolia Vanilla

Petai Parkia speciosa Petai, nitta tree

Pinus Pinus merkusii Merkus pine

Rambutan Nephelium lappaceum Rambutan

Salak Salacca edulis Salak palm

Sengon/besiah/kulbi Paraserianthes falcataria Albizia tree

Suren Toona sureni Suren-toon tree

Suruh/sirih Piper betle Betel pepper, betelvine

xii

xiii

Hutan Wonosobo:Keberpihakan yang Tersendat

Jawa Tengah, Indonesia

B A G I A N I

Pengantar

Reformasi dan DesentralisasiPengelolaan Hutan di Indonesia

Pembaruan mendasar sangat dibutuhkan sektorperhutanan di Indonesia. Banyak pecinta lingkungandan rimbawan profesional, dari dalam dan luarIndonesia, prihatin dengan laju kehilangan tutupanhutan. Indonesia memiliki hutan terluas ke lima didunia dan mewakili seperlima tutupan hutan Asia,walaupun demikian, negeri ini juga memiliki angkakehilangan tutupan hutan tertinggi (0,96%) di antaralima negara dengan hutan terluas di dunia.1 Indonesiadiperkirakan kehilangan kurang lebih 2 juta hektarehutan setiap tahun,2 atau 5.400 hektare setiap hari.Hutan seluas enam lapangan sepakbola hilang setiapmenitnya. Persatuan Negara-Negara Asia Tenggara(Association of South East Asian Nations—ASEAN)mengangkat masalah kabut asap sebagai isu utamadalam diskusi lingkungan, segera setelah kebakaranhutan besar di Indonesia pada 1998 menyebarkankabut asap tebal ke negara-negara yang bertetanggadengan Kalimantan.

Reformasi menghantarkan harapan baru bagiperhutanan Indonesia pada 1998. Sebagai sebuahlandasan politik semenjak kejatuhan Soeharto yangtelah berkuasa selama 32 tahun, reformasi ditafsirkansebagai sebuah tekad membangkitkan ekonomiberbasis masyarakat. Banyak yang menganggap bahwareformasi adalah sebuah kesempatan untuk melakukanperubahan mendasar mengenai tata kelola hutanIndonesia. Perubahan ini, pada akhirnya, diharapkandapat memperlambat laju kerusakan hutan danmengawali pengakuan atas kepentingan dan hakmasyarakat yang kehidupannya bergantung padakeberadaan hutan di sekitarnya. Sebuah pengakuanatas hak-hak rakyat yang terlalu lama diabaikan.3

Berbagai komite pemerintah, lembaga swadayamasyarakat, lembaga pendanaan, dan akademisimengajukan agenda pembaruan untuk menyambutpeluang yang sudah lama ditunggu ini.

Beberapa undang-undang dan peraturanpemerintah baru diberlakukan segera setelahpemerintahan yang baru berjanji kepada rakyat untukmelaksanakan reformasi. Dua undang-undang barusecara langsung mempengaruhi pengelolaan kawasanhutan Indonesia. Undang-Undang PemerintahanDaerah (UU 22/1999) yang diberlakukan pada Mei1999 mendesentralisasi sejumlah fungsi pemerintahpusat—termasuk aspek pengaturan dan pengelolaanhutan—kepada pemerintah propinsi dan kabupaten.Undang-Undang Kehutanan (UU 41/1999), yangmenggantikan Undang-Undang Pokok Kehutanantahun 1967, disahkan hanya empat bulan sesudahpengesahan UU 22/1999. Di dalam undang-undangini termaktub ketentuan mengenai keterlibatanmasyarakat.4 Undang-Undang Kehutanan jugakembali menegaskan kewenangan pemerintah pusatuntuk “menetapkan status kawasan hutan,” dan“melakukan perencanaan tata guna hutan” cukupdengan “memperhatikan” rencana tata ruang wilayah.5

Kebijakan desentralisasi diharapkan membukapeluang eksplorasi berbagai cara yang dapatmenangani masalah-masalah di hutan. Harapan ini,sayangnya, tak terpenuhi. Pada saat beberapapemerintah kabupaten berusaha mencari sistem yangdapat melembagakan tanggung jawab pengelolaanhutan lestari, pemerintah kabupaten yang lain justrumemanfaatkan kewenangan barunya itu untukmenciptakan perusahaan perhutanan daerahnyasendiri dan menerbitkan izin penebangan padaperseorangan atau kelompok tanpa pengawasan yangmemadai. Beberapa kabupaten ini tidak memandangpengelolaan hutan sebagai salah satu tanggung jawabutama mereka, dan sebagai akibatnya, banyak kawasanhutan berubah menjadi daerah berakses terbuka.Sekilas terlihat bahwa kebijakan desentralisasimempercepat pembukaan hutan yang tersisa, denganatau tanpa rongrongan jaringan penebangan liar.

Di Jawa, meningkatnya aktivitas pembukaan lahanhutan negara selama periode berkecamuknya transisi

1

2 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

politik sangat meluas dan terdokumentasi denganbaik.6 Reformasi memberikan keberanian bagimasyarakat untuk mengambil alih lahan kosong danhutan rusak yang dahulu dijaga ketat oleh perusahaanperhutanan negara (Perhutani). Jika tindakanmasyarakat setempat ini dilihat lebih dekat, tampakbahwa penebangan tanaman pokok hutan seringkalisegera diikuti dengan pembuatan teras lahan,penanaman tanaman tahunan dan bibit tanaman yangdisuburkan dengan pupuk kandang. Strategipemanenan memberikan kesempatan bagi petaniuntuk mulai mendapatkan penghasilan dari singkongdan cabai pada tahun pertama, pada saat tajukpepohonan mulai tumbuh. Pada saat tajuk tersebutmulai merapat dan menaungi tanaman tahunan, untukmengisi lahan di bawah tajuk, para petani beralih padatanaman kopi dan bumbu dapur. Peralihan ini sangatsignifikan, karena ini bisa menjadi awal peralihanjangka panjang menuju sistem wanatani (agroforestry)berbasis masyarakat.

Hal penting untuk diingat adalah bahwa sistempengelolaan hutan yang dikembangkan di luar PulauJawa berbeda dengan sistem di Jawa karena perbedaanpengalaman sejarah selama masa penjajahan.Pengelolaan hutan berbasis sains telah diterapkan dihutan Jawa sejak masa penjajahan. Tata kelola inimemaksa sistem penguasaan dan penggunaan sumberdaya yang telah lama diterapkan masyarakat aslimenyesuaikan diri dengan tatanan baru. Proses inibaru diterapkan secara meluas di luar Jawa pada masapemerintahan Orde Baru. Perbedaan lain, pulau-pulaudi luar Jawa memiliki pengolahan lahan yang takseberapa intensif, kepadatan populasi rendah, dankesuburan tanah yang lebih rendah dibandingkandengan Jawa.7

Strategi Tim Multipihak untuk

Mendukung Perhutanan MasyarakatDi Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah,

pengesahan undang-undang baru mengenaidesentralisasi dan pengelolaan hutan ditafsirkan sebagaitanda keseriusan pemerintah pusat untuk menerapkanotonomi daerah. Penuh semangat menyambut peluangpembaruan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah(DPRD) Kabupaten Wonoboso mengadakan sejumlahpertemuan untuk membicarakan persoalan sengketa

tata guna lahan dan penjarahan hutan. Masalah yanglebih luas bermunculan sepanjang dialog intensifmultipihak ini, misalnya, penebangan ilegal, sengketatata batas, ketidakadilan bagi hasil, dan korupsi.Dukungan kebijakan pada pengelolaan hutan berbasismasyarakat mengemuka sebagai sebuah strategi untukmenjawab persoalan-persoalan tersebut.

Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat(FKKM)-Jawa Tengah berperan penting dalammerancang mekanisme sosial. Unsur-unsur kunci yangmencirikan keseluruhan proses adalah:

• diskusi-diskusi yang melibatkan banyak pihak,• dorongan untuk melibatkan petani hutan atau

pesanggem,8

• pertemuan rutin yang mensyaratkandiadakannya pertemuan khusus lanjutan,

• partisipasi luas dalam penyusunan kebijakandaerah,

• konsultasi terus-menerus selama penulisannaskah kebijakan,

• perbaikan strategi dalam menyikapimunculnya berbagai kebutuhan danperubahan situasi.

Dua anggota FKKM-Jawa Tengah, LembagaARuPA dan Yayasan Koling, menjadi pemain utamayang secara konsisten membantu DPRD Wonosobodalam menerapkan mekanisme dialog. Pada saat yangsama, sebagai sebuah jaringan nasional, FKKM jugaterlibat dalam advokasi pembaruan kebijakan mengenaipenerapan pedoman pengelolaan hutan.

Setelah 19 bulan melakukan dialog intensif danmenghasilkan delapan rancangan naskah, PemerintahDaerah (Pemda) Kabupaten Wonosobo mengesahkanPeraturan Daerah tentang Pengelolaan Sumber DayaHutan Berbasis Masyarakat (Perda 22/2001) padaOktober 2001. Sebuah komite dibentuk untukmerancang naskah pedoman pelaksanaan Perda 22/2001. Untuk membantu penulisan naskah pedomanpelaksanaan ini, komite tersebut memutuskan untukmembuat kegiatan-kegiatan perencanaan percontohandi desa-desa terpilih yang dianggap strategis. Desa-desa ini bersedia melaksanakan pelatihan perencanaandan pemetaan. Pelajaran yang didapat dari kegiatanpercontohan ini akan digunakan untukmengembangkan suatu program pelatihanperencanaan masyarakat di desa-desa lainnya.

3

Langkah-LangkahPara Pengguna Hutan

Jauh sebelum diskusi mengenai kebijakan daerahdimulai, banyak warga desa di Wonosobo, sebagaimanawarga kabupaten lain di seluruh Jawa, sudahmenggerogoti dan membuka lahan hutan negara yangberdekatan dengan desa atau lahan mereka. Pada masapemerintahan Soeharto, perbuatan seperti itu biasanyasegera berhadapan dengan tindakan keras aparatkepolisian atau militer yang ‘disewa’ oleh perusahaanpembalak hutan. Dengan merebaknya sengketa dankekerasan di berbagai daerah di Indonesia, tentara danpolisi yang terbatas jumlah personilnya itu kewalahanmenghadapi banyaknya sengketa pertanahantersebut.9 Pada saat itu Perhutani juga sedangmenghadapi kesulitan organisasional akibat desakanberbagai kelompok pembaharu dari dalam dan luarpemerintahan.

Pengesahan Peraturan Daerah tentang PengelolaanSumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat disambutbaik oleh warga desa yang telah menerapkan teknik-teknik wanatani tradisional di lahan hutan rakyat.Akhirnya, lahir juga sebuah proses yang melibatkanmereka dalam perencanaan dan pengembangan hakserta tanggung jawab dalam pengelolaan hutan dilahan negara.

Laporan ini adalah kisah dua desa di KabupatenWonosobo, Jawa Tengah. Dua desa yang terlibat dalamsebuah peralihan serta menciptakan peran dantanggung jawab baru bagi masyarakat, pemerintahdaerah, dan pemerintah pusat.

Sekalipun tidak ada pola desentralisasi yang selalumanjur bagi semua kawasan hutan di Indonesia,sebuah pemahaman yang lebih baik mengenaiperistiwa-peristiwa yang telah terjadi bisa membantuberbagai pihak untuk menemukan cara-cara baruuntuk saling bekerja sama.

BAGIAN I : P E N G A N T A R

5

B A G I A N II

Sistem Pengelolaanpada Lahan Hutan Negara

di Jawa

Sejarah Pengelolaan Hutan Negara,Penguasaan Tenaga Kerja,dan Kerusakan Lahan di Jawa

Lebih dari 400 tahun yang lalu, ketika VOC(Verenigde Oost Indische Compagnie—Kongsi DagangHindia Timur) berlabuh di Indonesia, hutan di Jawamulai dimanfaatkan besar-besaran untuk tujuanperdagangan. (Tabel 1: Sejarah Pengelolaan Hutan diJawa). Pohon jati (Tectona grandis) pada abad ke 15sangat melimpah dan, di beberapa tempat di Jawa,jumlahnya melebihi banyaknya penduduk. Kayu jatiyang terkenal kuat dan awet adalah salah satu bahanbaku kapal terbaik di dunia. Pohonnya yang tinggiserta lurus adalah bahan baku mewah bagi tiang-tiangkapal perang yang perkasa. Dengan bujukan gelimanghadiah, VOC membujuk penguasa Jawa dan parapangreh agar dibolehkan untuk mendirikan kantor,merekrut tenaga kerja, mendapatkan hak atas hutanjati, dan mendirikan pusat galangan kapal. Kawasanyang pertama kali diperoleh adalah hutan jati di sekitarJepara, Rembang, Pekalongan, Weleri, dan Brebes.Tenaga kerja di tempat-tempat tersebut berada dibawah pengawasan langsung VOC. Pesanggemdiwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaanperhutanan dan sebagai ‘upah’nya mereka dibebaskandari keharusan membayar pajak kepala, sementarakebutuhan buruh lainnya dipenuhi oleh penguasasetempat dan sultan. Pengangkutan balok-balok jatike pelabuhan memerlukan waktu 3—5 hari dari hutanterdekat. Ketika petak tebangan semakin masuk kepedalaman, pengangkutan kayu jati makan waktu 12—15 hari pergi dan 5 hari pulang.10 Ketika VOCmencium keuntungan dari pengusahaan kopi padatahun 1700-an, VOC memerintahkan petani didataran tinggi untuk menanami lahan bekas tebangandengan kopi dan pada saat yang sama membuka hutan

di tempat lain untuk pengusahaan sawah tadah hujan.Kekuasaan VOC yang feodal dan represif menyebabkanpara petani meninggalkan lahan pertaniannya untukmembuka hutan di dataran tinggi, menjauh daripengawasan VOC.11

Pada saat pemerintah kolonial Belanda mengambilalih Indonesia pada akhir abad ke 18, Dienst van hetBoschwezen (Dinas Perhutanan Hindia-Belanda) yangdidirikan pada 1808 mengambil alih kekuasaan ataslahan, pepohonan di atasnya, dan buruh di daerahyang kaya akan jati. Di bawah kekuasaan Boschwezen,warga desa tidak lagi leluasa memanen kayu jati untukpertukangan serta hanya diizinkan memungut rencek12

dan hasil hutan nonkayu. Peraturan yang kemudiandiberlakukan penuh dengan ancaman hukuman bagisegala jenis pemanfaatan hutan tanpa izin negara, dansebagai akibatnya, banyak pemanfaatan olehmasyarakat sehari-hari yang dicap sebagai perbuatankriminal. Hukuman maksimal untuk para ‘penjahat’hutan adalah 10 tahun penjara atau denda 200 rijks-daalder.13 Duapertiga denda tersebut masuk kas negaradan sepertiganya dihadiahkan pada orang yangmelaporkan kejahatan tersebut. Untungnya, peraturanyang kejam ini tidak dapat ditegakkan karena satuanpolisi hutan belum dibentuk.

Di lain pihak, Boschwezen memiliki sejumlahopziener14 yang mengawasi 100.000 orang buruhdengan sistem blandongdiensten (dinas blandong).Setiap blandong (pekerja eskploitasi hutan) menerimaupah tahunan sangat sedikit berupa besi, garam, danbubuk mesiu, serta jatah 1,5 kilogram beras sosohsetiap hari. Sebagai insentif, para blandongmendapatkan uang muka upah ketika ketika balok-balok dibuat, dan sisa pembayaran upah dilunasi padasaat balok tersebut tiba di tempat penimbunan kayudi pelabuhan. Pembayaran diatur melalui mandor dansering upah tersebut tidak sampai ke tangan parablandong.15

6 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

TABEL 1. Sejarah Pengelolaan Hutan di JawaTahun Peristiwa Nasional

MASA PENJAJAHAN

1596 Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) memulai pembalakan jati.

1799 Pemerintah kolonial Belanda menggantikan VOC sebagai pemilik dan administratur pengusahaan pembalakan jati.

1808 Dienst van het Boschwezen, dinas perhutanan kolonial, dibentuk dan diberi hak menguasai tanah, pohon, dan tenaga kerja.

1935 Belanda memakai sistem tumpang sari sebagai bentuk pengelolaan hutan tanaman jati.

1942 Ringyoo Tyuoo Zimusyoo (jawatan perhutanan masa penjajahan Jepang) mengambil alih penguasaan hutan di Jawa.

SEKITAR KEMERDEKAAN

1950-an Perubahan bentuk pengelolaan diupayakan, tetapi kewenangan pengelolaan tetap berada di tangan Jawatan Kehutanan. Badan

Planologi Kehutanan Indonesia memperkirakan tutupan hutan di Jawa seluas 5,07 juta hektare.

1961 Perusahaan Negara Perhutani (PN Perhutani) didirikan untuk mengelola hutan di Kalimantan Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

1962 PN Perhutani meluncurkan program hutan serba guna.

ERA PEMERINTAHAN ORDE BARU1967 · Undang-Undang Pokok Kehutanan nomor 5 diberlakukan, menegaskan kembali dua tipe tenurial hutan: hutan negara dan hutan milik.

Semua hutan yang tidak dapat dibuktikan sebagai milik pribadi secara otomatis akan dinyatakan sebagai hutan negara. Negara

memiliki kewenangan untuk memberikan hak pengusahaan hutan di atas lahan hutan negara.

· Penjarahan dan sengketa antara perusahaan hutan negara dengan masyarakat meningkat.

1972 PN Perhutani di Jawa Tengah dan Jawa Timur dilebur menjadi satu perusahaan, Perum Perhutani, melalui Peraturan Pemerintah (PP)

Nomor 15 Tahun 1972 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara Perhutani

1978 Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1978, konsesi Perhutani mencakup kawasan hutan Jawa Barat.

1970-an Program hutan serba guna Perhutani diubah menjadi program Prosperity Approach (pendekatan kesejahteraan).

1982 Program Prosperity Approach diubah lagi menjadi Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH).

PMDH diganti dengan Program Perhutanan Sosial (PS).

1985 World Conservation Monitoring Centre memperkirakan tutupan hutan di Jawa seluas 1,3 juta hektare.

1986 Peraturan pemerintah yang baru mengenai perusahaan milik negara mengharuskan Perhutani menyesuaikan diri, PP no. 15/1972 dan

PP no. 2/1978 diperbarui dengan PP no. 36/1986 tentang Perhutani.

ERA REFORMASI

1999 · Penjarahan hutan dan konflik tata guna lahan meningkat.

· Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU 22/1999) mendesentralisasi beberapa fungsi pemerintah pusat, termasuk fungsi

pengelolaan sumber daya alam, kepada pemerintah kabupaten/kotamadya.

· Undang-Undang Kehutanan (UU 41/1999) menggantikan UU Pokok Kehutanan (UU 5/1967). UU 41/1999 memberikan ruang terbatas

bagi keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan.

· Peraturan Pemerintah nomor 53 (PP 53/1999) menegaskan peran Perum Perhutani sebagai pengelola hutan di Jawa. Pendekatan

keamanan bekerjasama dengan aparat militer/polisi digunakan untuk menghadapi penjarahan hutan.

2000 Surat Keputusan Direksi Perhutani nomor 1061/Kpts/Dir/2000 mengubah Program Perhutanan Sosial menjadi PHBM (Pengelolaan

Hutan Bersama Masyarakat) menggunakan pendekatan joint forest management dengan tetap menggunakan teknik silvikultur

Perhutanan Sosial.

2001 · Tap MPR no. IX/2001 mengenai Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam meletakkan dasar-dasar inisiatif untuk

menyelaraskan kebijakan antar-sektor yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Ketetapan ini menyatakan bahwa arah

kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah melakukan pengkajian ulang berbagai peraturan perundang-undangan… dalam

rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor.

7BAGIAN I I : SISTEM PENGELOLAAN PADA LAHAN HUTAN NEGARA DI JAWA

· Keputusan Menteri Kehutanan no. 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan menyatakan bahwa hutan

kemasyarakatan hanya diselenggarakan di kawasan yang tidak dibebani izin. Dengan kata lain, kawasan hutan yang dikelola oleh

Perhutani, 85% lahan hutan di Jawa, tidak dapat dijadikan lokasi hutan kemasyarakatan.

· Dewan Pengawas Perhutani mengganti PHBM versi Surat Keputusan Direksi Nomor 1061/Kpts/Dir/2000 dengan Pengelolaan Sumberdaya

Hutan Bersama Masyarakat—masih disingkat PHBM melalui surat keputusan nomor 136/Kpts/Dir/2001 tanggal 29 Maret 2001.

· PP 14/2001 mengubah bentuk perusahaan Perhutani dari Perum menjadi PT Persero.

2002 · PP No. 34/2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan

diberlakukan sebagai turunan UU 41/1999. Peraturan ini dianggap menyimpang dari Tap MPR no. IX/2001 dan semangat Undang-Undang

Pemerintahan Daerah (UU 22/1999). Secara tidak langsung, PP ini memperkokoh kedudukan otonom Perhutani.

· MA mengabulkan permohonan uji material (judicial review) yang diajukan beberapa LSM mengenai pencabutan PP No. 14/2001 tentang

PT (Persero) Perhutani.

2003 PP 30/2003 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) diberlakukan, mengembalikan Perhutani ke bentuk perum,

serta sekaligus mencabut berlakunya PP No. 14/2002.

Sistem blandongdiensten diperbaiki oleh Inggrisyang sempat menguasai Jawa. Pada masa pendudukanInggris yang singkat itu, para blandong sebetulnyadiwajibkan membayar pajak tanah seperti pesanggematau petani lainnya, tetapi para blandong dibebaskandari kewajiban membayar pajak. Pembebasan pajakini dihitung sebagai ganti upah kerja di hutan. Separolaki-laki usia kerja dari suatu desa diwajibkan bekerjasebagai buruh tebangan; dan separonya lagidibebaskan untuk bekerja di sawah. Para penebangdan buruh angkut kayu bekerja delapan bulan setahun,dan selama empat bulan sisanya, mereka bekerjamenjaga hutan. Dengan mengirimkan separowarganya bekerja di hutan tanpa bayaran ini, sebuahdesa dibebaskan dari kewajiban membayar pajaktanah. Desa-desa blandong ini mendapatkan uang jasamelalui kepala desa atau bupati yang ditunjuk.

Belanda kembali menguasai Jawa pada 1816,tetapi sistem blandongdiensten yang diterapkan Inggristetap dipakai dan desa-desa sekitar hutan tetap wajibmembayar pajak tanah dan harus terus membayarpajak itu dengan bekerja di hutan, membantumembangun jalan sarad, dan menyediakan sapi ataukerbau untuk menghela kayu. Agar dapat melunasipajak tanahnya, seorang pemilik kerbau harusmengangkut 15 pohon jati ukuran besar atau 35pohon jati ukuran sedang dari hutan ke tempatpenimbunan kayu. Selama bekerja di hutan yang jauhdari desa, mereka hanya diberi jatah beras harian.16

Pada tahun 1865, sistem blandongdienstendihapuskan dan diganti dengan apa yang disebutsebagai sistem buruh bebas (yang bekerja untukmendapatkan upah dalam bentuk uang tunai, bukan

untuk mendapatkan pembebasan pajak). Walaupundemikian, karena para buruh tetap membutuhkanuang tunai untuk membayar pajak tanah, pajak ternak,pajak pernikahan atau perceraian, serta membayarpajak irigasi, sistem yang baru ini tetap mengontrolburuh secara tak langsung.17 Pada periode ini pula,Belanda memberlakukan hukum-hukum yangmemperkuat kekuasaan negara atas kawasan hutan.Pemerintah kolonial Belanda menyatakan bahwa hutandi negeri ini sebagai “milik negara” melalui Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1870 yang dikenalsebagai aturan domeinverklaaring. Aturan inimenyatakan bahwa pemerintah Belanda menguasaiseluruh lahan yang secara hukum tidak dapatdibuktikan telah dimiliki oleh seseorang. Negaramembuat klasifikasi, memetakan, dan melakukanpenataan batas hutan berdasarkan ilmu perhutananJerman. Penarikan garis batas antara hutan dan desapraktis mengusir masyarakat dari sumber pemenuhankebutuhannya sehari-hari. Batas ini juga menjadi dasarhukum yang melarang masyarakat membuka hutanmenjadi lahan pertanian dan mencegah masyarakatmelakukan pemungutan hasil hutan. Polisi hutandibentuk pada 1880 bernaung di bawah dinaskepolisian Departemen Dalam Negeri.

Sementara itu, pertambahan penduduk danmaraknya pembukaan lahan untuk perkebunan teh,karet, dan coklat menyebabkan hutan dataran tinggidi Jawa Barat dibuka secara besar-besaran. Pada saatyang sama, hutan lembah dan dataran rendahditebang habis untuk pengusahaan sawah irigasi yangteknologinya dibawa dari Jawa Tengah dan JawaTimur.18

8 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

Mengelola Hutan Negara. Salah satu ciri program Perhutani adalah keterlibatan masyarakatdalam penanaman benih pohon dan sebagai gantinya mereka diizinkan menanami sela-sela tanamanpokok dengan tanaman pertanian selama 2—3 tahun sampai ternaungi oleh tajuk tanaman pokok. Papanpengumuman menjelaskan spesifikasi teknis yang harus dipatuhi oleh pesanggem.

Ketika jati mulai langka, rimbawan Belanda yangdididik di Jerman kemudian menetapkan sistem dauruntuk pemanenan jati dalam petak-petak dan memulaiupaya-upaya reboisasi. Persoalannya, mengontroltenaga kerja penanaman lebih sulit daripadamengontrol buruh tebang. Keuntungan, gaji, uangkomisi, dan sogokan selama ini diambil dari hasiltebangan pohon-pohon besar yang tidak diikutidengan penanaman kembali. Pada 1873, sistemreboisasi taung ya diujicobakan di distrik hutan Tegal-Pekalongan untuk menarik minat tenaga kerjapenanaman jati. Taung ya, yang kemudian dikenalsebagai tumpang sari, adalah sistem yangmembolehkan pesanggem menanam padi, jagung,tembakau, dan tanaman lahan kering lain selama satusampai dua tahun di antara lajur-lajur bibit jati.Tanaman pokok jati menjadi milik negara dan tanamanpertanian dimiliki oleh pesanggem. Sebagai tambahan,pesanggem juga mendapatkan upah uang tunai.Sepuluh tahun kemudian, penjelasan mengenaimetode dan laporan hasil kegiatan percontohan taungya ditulis dalam sebuah selebaran. Peredaran selebaranini di antara para rimbawan memungkinkan persebarantumpang sari ke seluruh penjuru Jawa. Para rimbawansaat itu menyanjung tumpang sari sebagai sebuahmetode reboisasi yang ekonomis dan efisien. Sekalipundemikian, ketersediaan lahan pertanian yang sangatsementara itu menimbulkan sebuah ketergantunganbaru pada hutan. Keluarga petani tanpa lahan yang

miskin dan mencukupi kebutuhan sehari-harinya daripertanian terpaksa ikut berpindah ke petak tebanganhutan untuk mendapatkan lahan tumpang sari baru.Mereka kemudian membangun rumah tak jauh darisana dengan memanfaatkan kayu sisa tebangan dankulit kayu. Sistem penanaman ini tidak berhasilditerapkan di kawasan hutan yang tanahnya tidaksubur sekalipun para pesanggem diiming-imingi upahyang lebih tinggi.19 Sejak 1930-an sampai berakhirnyamasa kekuasaannya, Belanda melaksanakan programterasering dan redistribusi lahan dengan sasaran petaniberlahan sempit sebagai bagian pembaruan tanggungjawab pada masyarakat.20

Para rimbawan Belanda menghancurkan seluruhpeta hutan, kilang-kilang penggergajian, dan prasaranalain yang dibangun Belanda pada saat Jepang masukke Indonesia ketika Perang Dunia II berkecamuk.Penghancuran ini dimaksudkan untuk mencegahJepang menggunakan fasilitas tersebut. Denganterusirnya Belanda dari Jawa, masyarakat sekitar hutanmerasakan kebebasan untuk pertama kalinya. Bebasdari kekuasaan yang mengawasi kehidupan merekadengan ketat. Mereka melihat kesempatan untukkembali ke sistem lama yang berlaku ratusan tahunsebelumnya. Masyarakat juga merampok balok-balokyang tersisa di tempat penimbunan kayu, perumahanadministratur hutan, dan menjarah hutan. Hal sepertiini berlangsung terus sampai didirikannya RingyooTyuoo Zimusyoo (RTZ), Dinas Perhutanan Jepang di

Jawa. RTZ mengambil alih buruh-buruh perhutanan dan mewajibkanmereka menebang dan mengangkutkayu untuk memasok kayu bulat,kayu bakar, dan arang untuk keretaapi, pabrik-pabrik, dan industri alatperang. Ransum yang diberikanuntuk para pekerja sangat kurang,tetapi mereka tidak berani melarikandiri karena takut akan hukumanberat yang bisa menyebabkankematian, tak pelak, banyak di antaramereka yang akhirnya matikelaparan. Jepang membuat desa-desa baru di sekitar hutan denganmemukimkan sekelompok penebanguntuk mengubah hutan menjadilahan pertanian. Warga desa baru inijuga dipaksa menyerahkan beras yangdiperlukan balatentara Jepang danbirokrat sipil. Produksi kayu

9BAGIAN I I : SISTEM PENGELOLAAN PADA LAHAN HUTAN NEGARA DI JAWA

pertukangan dan kayu bakar pada 1943 dan 1944diperkirakan hampir dua kali lipat produksi di zamanBelanda sebelum kedatangan Jepang. Kerusakan hutandi Indonesia sangat parah karena selama masapendudukan Jepang praktis tidak ada reboisasi.21

Perkebunan tanaman ekspor diganti dengan jarak dankapas, tapi kebanyakan gagal panen. Kerusakan tanahsangat parah selama masa pendudukan Jepang.22

Indonesia memproklamasikan kemerdekaannyapada 1945 di tengah revolusi yang berakhir padatahun 1949, tetapi pemerintah pada masa-masarevolusi ini masih mempertahankan sistem pengelolaanhutan yang sentralistik seperti negara kolonial. Kesanumum masyarakat tentang perhutanan dan rimbawanmasih buruk karena ide-ide baru yang lebihmembebaskan tidak tercermin dalam perbaikan aksesmasyarakat atas lahan hutan dan sumber daya disekitarnya.

Sekalipun salah satu slogan revolusi adalahkemerdekaan dan keadilan untuk rakyat, banyakrimbawan didorong untuk kembali menggunakanprinsip tertutup seperti di zaman Belanda yangmemperlakukan masyarakat desa sebagai penyerobotlahan dan maling kayu. Hutan terus mengalamikerusakan secara luas dan pemerintah Indonesia jugamembutuhkan kayu untuk bahan bakar kereta api danmenebang habis hutan untuk menyediakan lahanpertanian. Rasa permusuhan kepada JawatanKehutanan yang terpendam dan pembatasan akses kehutan yang tak berkesudahan semenjak era penjajahanmemperbanyak peristiwa kekerasan politik di lahanhutan.23

Meningkatnya kekerasan dan menurunnyakemampuan Jawatan Kehutanan dalam menanganimasalah-masalah di hutan menciptakan suatuperubahan. Pada 1951, Panitia Pembangunan WilayahHutan dan Pertanian dibentuk untuk menanganimasalah penyerobotan lahan. Panitia yang terdiri atasbanyak unsur ini menyediakan ruang bagipengambilan keputusan yang berimbang mengingatanggotanya yang berasal dari berbagai dinaspemerintahan, tentara, dan dinas pertanian. Sebagiandari dinas-dinas tersebut kemudian mendapat peranlebih banyak dalam ikut mengatasi masalah runtuhnyakekuasaan dan berkurangnya lahan JawatanKehutanan. Para rimbawan kemudian bekerja samadengan Departemen Penerangan untuk menyuluhkan“arti dan guna hutan” sesuai dengan ketentuanpemerintah kepada masyarakat luas. DirektoratKehutanan didirikan dan pengelola tingkat propinsi

mengambil alih sebagian tanggung jawab denganadanya pengambilan keputusan yang bersifat otonom,misalnya, dalam hal yang berkaitan dengan pemasaranhasil hutan, pengelolaan, perlindungan, daneksploitasi hutan, serta untuk urusan yangmenyangkut tenaga kerja. Kebijakan masihdirumuskan di pusat dan seluruh keputusan di daerahharus sejalan dengan kebijakan nasional.24 Pergeserankekuasaan tidak berjalan lama dan kewenangan unitpengelola hutan di tingkat propinsi berkurang ketikaPerusahaan Negara Perhutani (PN Perhutani), sebuahbadan usaha milik negara, didirikan pada 1961 untukmengelola hutan di Kalimantan Barat, Jawa Tengah,dan Jawa Timur. Kekisruhan politik seputar 1965,kemudian, menghasilkan sebuah negara yangmemerintah dengan tangan besi.

Orang-orang yang bermasalah dengan JawatanKehutanan—penyerobot lahan, pekerja perhutanandalam organisasi yang berafiliasi dengan PartaiKomunis Indonesia, dan pedagang gelap jati—dibunuh atau dipenjarakan sebagai tahanan politik.Perpindahan penduduk sangat tinggi karena petanidi dataran tinggi meninggalkan kampung halamannyalalu mengungsi ke desa atau kota yang lebih aman.Banyak yang kemudian kembali ke kampungnya danmenemukan saluran irigasi di sana sudah rusak dantanah yang ditinggalkannya sudah digarap petani lain,atau dibagi-bagi di antara aparat militer yang telahmengusir orang-orang yang dituduh terlibat G-30S/PKI. Pengalaman mencekam ini menyebabkan wargadesa di sekitar hutan takut pada negara dan engganmenuntut hak atas sumber daya hutan.25

PN Perhutani didirikan untuk menghasilkandevisa dari ekspor kayu pertukangan dan membiayaireboisasi, memasok kebutuhan industri perhutanan,dan menangani masalah tekanan penduduk padahutan. Pada 1972 PN Perhutani di Jawa Timur danJawa Tengah digabungkan menjadi Perum Perhutanidan kemudian pada 1978 mengelola hutan negara diJawa Barat. Perhutani mewarisi wilayah hutan yangdulu dikelola Dinas Kehutanan Hindia-Belanda diJawa dan mengelola seluruh hutan produksi dansebagian besar hutan lindung. Sebuah wilayah kelolaseluas 2,5 juta hektare, atau 20% luas Pulau Jawa.26

Undang-Undang Pokok Kehutanan (UU 5/1967)yang disahkan pada 1967 menegaskan peran Perhutanisebagai pengelola hutan negara di Jawa. Perhutanisecara rutin melaporkan kondisi kawasan yangdikelolanya dan laporan berupa data statistik terbaruditerbitkan pada tahun 2002.

10 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

Pembagian Hutan Dikelola Dikelola Ditjen PHPA Luas Total (Ha) Berdasarkan Fungsi Perhutani Dephutbun *)

Hutan Produksi 1.916.964 0 1.916.964Hutan Produksi terbatas 650.619 0 650.619Hutan Konservasi (taman nasional, cagar alam, dll) 2.850 439.339 442.188Luas Total Kawasan Hutan di Jawa **) 2.570.432 439.339 3.009.771

TABEL 2. Pembagian Hutan di Jawa dan Luas Kawasan yang Dikelola Perhutani, 200127

* Ditjen PHPA adalah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan pelestarian Alam di bawah Departemen Kehutanan dan Perkebunan.** Tidak termasuk hutan di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta seluas 18.000 hektare.

Tidak seperti badan pengelola hutan sebelumnya,Perum Perhutani adalah sebuah perusahaan otonom.Pendapatan yang dihasilkannya digunakan untukkeberlangsungan perusahaan sendiri dan menyerahkan55% dari keuntungan perusahaan untuk anggaranpembangunan nasional. Organisasi perusahaan, yangterdiri atas ahli-ahli teknis perhutanan, polisi hutan,dan administratur ini, bertujuan mengoptimasiproduksi jati dan hasil hutan lainnya. Selain bertujuanmenghasilkan keuntungan, Perhutani jugadimandatkan untuk melindungi tutupan hutan dandaerah aliran sungai, serta merangsang perbaikankesejahteraan di pedesaan melalui usaha-usahaekonomi yang berkaitan dengan hutan.

Pada tahun kedua beroperasi, Perhutanimeluncurkan program hutan serba guna danmenghidupkan kembali sistem tumpang sari darizaman Belanda. Perusahaan ini lalu mempekerjakanmasyarakat sekitar untuk menanam lahan nonjatidengan satu jenis tanaman pokok (monokultur),biasanya pinus (Pinus merkusii) dan damar (Agathisalba). Sebagai ‘upah’nya, masyarakat diperbolehkanmenanami jalur-jalur antara tanaman pokok tersebutdengan tanaman pangan, seperti, jagung dansingkong. Masyarakat diperbolehkan melakukan haltersebut selama 2 sampai 3 tahun, dan sesudahnyamereka terpaksa pindah ke lokasi penanaman lainkarena tajuk tanaman pokok sudah mulai rapatmenaungi. Teknik tumpang sari ini dirumuskan secararesmi sebagai pendekatan pengelolaan hutan dalamUndang-Undang Pokok Kehutanan tahun 1967.

Sejak pendiriannya, Perhutani telah menjalankanbeberapa program yang mengikutsertakan masyarakatdalam pengelolaan hutan negara. Ciri semua programtersebut adalah keterlibatan masyarakat sebagai buruhpenanaman bibit yang mendapatkan izin mengolahlahan dan bertani di antara tanaman pokokperhutanan. Tetapi, bagaimanapun juga, banyakpesanggem yang tidak puas dengan tumpang sarikonvensional yang hanya membolehkan mereka

mengolah lahan hutan negara selama dua tahun.Penduduk Jawa semakin padat dan kepemilikan lahanmilik semakin sempit sehingga tidak lagi dapatmemenuhi kebutuhan pangan, pakan ternak, dan kayubakar sehari-hari. Reboisasi seringkali gagal, terutamadi daerah yang berdekatan dengan pemukiman didesa-desa, akibat penggembalaan ternak, kebakaranhutan, pengambilan rencek, dan berbagai bentukpembibrikan28 lainnya. Gangguan seperti ini biasanyaterjadi sesudah tanaman pokok perhutanan berumurdua tahun, ketika izin pengolahan lahan yang dimilikipesanggem telah berakhir.

Ketidakpastian status tenurial berdampak, tidakhanya pada tingkat keberhasilan reboisasi dengantumpang sari, tetapi juga berdampak pada tingkatkeberhasilan program-program di dataran tinggi yangberkaitan dengan konservasi tanah dan perbaikanteknik pertanian.29 Pesanggem enggan mencurahkanwaktu, tenaga, dan sumber daya lainnya jika merekatidak mendapatkan kepastian akan keuntungan yangseimbang dengan tenaga yang dikeluarkannya.

Berpegang pada tekad ideologis dan finansial,pemerintahan Soeharto berkonsentrasi padapembangunan ekonomi. Pemerintahan Soehartomengganti kebijakan redistribusi lahan—yang dimulaisejak berakhirnya penjajahan Belanda—dengankebijakan yang lebih berpihak pada perusahaan besarswasta.

Program pemerintah lebih disesuaikan untukintensifikasi sawah di dataran rendah danpembangunan industri daripada untuk pemilik lahansempit atau petani tanpa lahan di dataran tinggi.Dorongan pemerintah untuk meningkatkanproduktivitas pertanian dan pembangunan industribegitu hebatnya sehingga, kemudian, erosi menjadisuatu masalah besar. Tingkat pengendapan lumpurdi sungai-sungai di Jawa termasuk yang tertinggi didunia, diperkirakan sebesar 10—60 ton/hektare/tahundan sekira 15% daerah aliran sungai di Jawa dinyatakandalam keadaan kritis.30

11BAGIAN I I : SISTEM PENGELOLAAN PADA LAHAN HUTAN NEGARA DI JAWA

Penggunaan Lahan Intensif. Wono dusun adalah sumber daya yang umum di Jawa dan memiliki banyak manfaat—pertanian, perhutanan,dan peternakan. Sistem wanatani intensif ini menyediakan stabilitas ekonomi yang lebih baik bagi masyarakat serta memeliharakelestarian ekologis.

Setelah kekuasaan Soeharto runtuh pada1998, banyak bermunculan operasiterorganisasi yang merebut sumber daya hutandengan kekerasan. Pencurian besar-besaran dankerusakan tegakan31 terjadi. Maraknyapencurian menyebabkan hilangnya kayusebanyak tiga kali lipat jumlah yang dipanenoleh Perhutani dan potensi tegakan berkurang4% dalam rentang waktu satu tahun (Tabel 3:Analisis Potensi Tegakan dan Panen Perhutani).Jika kecenderungan ini terus terjadi, Pulau Jawaakan kehilangan hutannya dalam sepuluhtahun. Untung saja beberapa kelompokmasyarakat telah merintis upaya-upayaperbaikan tutupan hutan yang hilang.

Dalam masa-masa penjarahan hutan,peralihan politik, dan maraknya janji reformasi,warga desa seolah menemukan keberanian baruuntuk menduduki tanah-tanah kosong dihutan negara dan mengelolanya sesuai dengansistem wanatani yang mereka praktikkan dilahan miliknya.

TABEL 3. Analisis Potensi Tegakandan Panen Perhutani, 1998-199932

No. Rincian

Kuantitas Kayu (dalam ribuan m3 ) 1998 1999

1 Potensi tegakan awal tahun 37.261 35.468

2 Riap*

Riap tanaman baru 36 45

Riap tegakan 1.019 1.003

Penambahan volume hutan (total riap) 1.055 1.0483 Tebangan dan kerusakan

Tebangan 403 406

Pencurian 1.119 1.173

Kerusakan 17 39

Pengurangan volume hutan 1.539 1.6184 Kelebihan tebangan (overcutting)** 484 5705 Potensi tegakan akhir tahun 35.468 34.264

* Riap adalah tambahan volume kayu dalam tegakan yang disebabkanadanya tanaman baru atau pertumbuhan pohon.

** Angka kelebihan tebangan didapatkan dari total riap dikurangi tebangandan kerusakan.

12 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

Pertumbuhan Penduduk,Kelangkaan Lahan,dan Penggunaan Lahan Intensif

Geologi Pulau Jawa sangat khas karena memiliki17 gunung berapi aktif. Dengan tanah yangtersuburkan oleh debu vulkanik tersebut, Jawa menjadipulau dengan pertanian paling intensif. Pulau Jawajuga menjadi pusat industri dan politik Indonesia.Dengan penduduk sebanyak 120 juta jiwa, Jawa adalahpulau terpadat di antara 17.000 pulau di Indonesia.Lebih dari separo penduduk Indonesia tinggal di Jawa.Rata-rata kepemilikan lahan sepertiga sampai setengahhektare per keluarga, dan jumlah petani tanpa lahanterus meningkat. Sekira 20 juta orang, seperenampenduduk Jawa, tinggal di kawasan yang dikelolaPerhutani, dan mereka—sebagian atau sepenuhnya—bergantung pada lahan hutan.33

Dahulu, masyarakat dari berbagai kelompok etnisdi Jawa sangat leluasa mengolah lahan dan memunguthasil hutan untuk berbagai kebutuhan sehari-harisampai masuknya kepentingan kolonial Belanda diakhir abad ke-16.34 Orang-orang Sunda yang tinggaldi dataran berbukit di sebelah barat pulau, karenajumlah penduduknya yang tidak terlalu banyak, dapatmenghasilkan kebutuhan sehari-harinya denganperladangan berpindah. Sementara orang Jawa, yangtinggal di dataran rendah bagian tengah dan timurJawa, mempraktikkan budi daya sawah dengan irigasi.Saat Belanda semakin memperketat kontrol atas lahandi dataran rendah, warga desa terpaksa mencari lahan-lahan yang belum banyak diatur sekalipun itu lebihsulit dijangkau yaitu lahan di dataran tinggi.

Hutan, dalam bahasa Jawa, dikenal dengan namawono atau alas, atau talun dalam bahasa Sunda. Unitpengelolaan lahan di Jawa berada di tingkat dusun,dan disebut wono dusun. Dalam sebuah unit wonodusun terdapat paduan berbagai fungsi dalam tapaklahan yang sama, seperti, pertanian, peternakan, danperhutanan. Usaha awal mengembangkan sistempengelolaan budi daya kaya ragam (poly-culture) dilahan hutan negara banyak meniru sistem wanataniasli Asia Tenggara ini.35 Wono dusun memilikibeberapa sifat yang mencirikan sistem wanataniintensif, beberapa diantaranya adalah keragamanekologis, stratifikasi, beragam kegunaan, kelestarianekologis, serta stabilitas ekonomi yang lebih tinggi.

Wanatani asli di Jawa meniru komposisi keragamantumbuhan dalam ekosistem hutan alam, walaupun

tidak persis sama karena komposisi jenispenyusunannya bisa berbeda. Petani Jawa telah lamamengembangkan pekarangan yang memiliki kerumitantinggi. Tanaman produktif yang menyusunpekarangan di sebuah desa bisa mencapai ratusan jenis.Areal wono dusun berisi pohon-pohon kayu, buah-buahan, tanaman musiman, pakan ternak, danberbagai jenis tumbuhan lainnya. Hutan yang dikelolamasyarakat sebagian besarnya ditanami dengan sengon(Paraserianthes falcataria)36 dan mahoni (Swieteniamacrophylla). Jenis lain yang dikembangkan antara lainsuren (Toona sureni), kopi, dan berbagai tanamantahunan. Pada lahan ini juga terdapat singkong,cengkeh (Eugenia caryophyllus), kemukus (Piper cubeba),sirih (Piper betle), salak (Salacca edulis), kapulaga(Amomum compactum), dan vanili (Vanilla planifolia).Masyarakat juga menyelingi pekarangan dengantanaman cepat tumbuh seperti jagung (varietas lokal),cabai, jenu (Derris caudatilimba) dan berbagai jenistanaman untuk keperluan dapur.

Dengan stratifikasi ruang dan waktu, wono dusundapat memaksimalkan penggunaan sumber daya lahanyang terbatas. Stratifikasi ruang adalah pengaturantempat berbagai jenis tanaman dalam satu unit lahan,sementara stratifikasi waktu adalah perubahankomposisi jenis tanaman penyusun dari waktu kewaktu.37 Blok wono dusun biasanya tersusun atasbanyak lapisan dan penyusunannya sesuai dengankebutuhan tanaman akan cahaya, nutrisi, sertakelembaban. Stratifikasi ini menyerupai berbagai aspekkeseimbangan ekologis seperti yang terdapat padahutan alam.

Penggunaan lahan yang berurut-urutan sertaproduksi tanaman semusim yang kontinyu jugamenjadi bagian sistem wanatani ini. Sebagai contoh,dalam pemanenan sengon, para petani tidakmenebangnya pada waktu yang sama sehingga lahanwono dusun hanya sedikit mengalami gangguan dan,pada saat yang sama, tanaman lain masih terusberproduksi.

Praktik seperti ini bertujuan untuk memberikesempatan pada pohon-pohon yang usianya tidakseragam agar terlebih dahulu masak tebang sebelumakhirnya dipanen. Alasan lainnya, para petani melihatbahwa tebang habis di hutan negara telahmenyebabkan menurunnya kesuburan tanah.

Masyarakat melihat keunggulan praktiktradisional ini dari beberapa segi. Penanaman denganbanyak jenis, selain melindungi tanaman darimewabahnya penyakit, juga merupakan cara untuk

13BAGIAN I I : SISTEM PENGELOLAAN PADA LAHAN HUTAN NEGARA DI JAWA

TABEL 4. Sumber Pasok Industri Perkayuan dan Produktivitas Hutan di Jawa, 199940

menjaga stabilitas penghasilan ketika harga-hargaproduk pertanian anjlok di pasaran. Jika salah satuharga produk anjlok, para petani masih memilikiproduk lain yang baik harganya. Berbagai jenistanaman dalam satu lahan juga menyediakan berbagaikebutuhan sehari-hari yang dengan cepat dapatdipanen. Cabai dapat dipanen setiap 15 hari, kapulogodipanen sebulan sekali. Rumput, tanaman polong-polongan (legum), dan rambahan jagungmenyediakan pakan sapi dan kambing. Kebutuhanjangka menengah petani didapatkan dari penjualankopi, cengkeh, kelapa, singkong, dan salak. Para petanijuga memandang pemeliharaan tanaman kayu sebagaicara untuk menabung; suatu antisipasi untukkebutuhan jangka panjang seperti pernikahan,pendidikan, pembangunan rumah, atau ongkos naikhaji. Pada akhirnya, penghasilan tunai yang didapatkandari lahan lebih stabil dan nilainya bagi masyarakatlebih tinggi dibandingkan dengan lahan yangditanami sedikit jenis. Dibandingkan dengan sistembudi daya seragam (monokultur), blok wono dusunlebih tahan terhadap tekanan sosial dan lebih liatterhadap kerusakan lingkungan.

Warga desa biasanya menerapkan teknik wonodusun di lahan hutan rakyat—yang oleh pemerintahdidefinisikan sebagai hutan di lahan milik. Lahanhutan rakyat biasanya dimiliki atas nama kepalakeluarga. Hak milik atas lahan ini bisa diwariskan,bisa dijual kepada orang lain, dan bisa diagunkankepada bank. Sumber daya lahan hutan rakyat, dalamstatistik, dimasukkan ke dalam sektor pertanian.

Walaupun demikian, dalam statistik tutupanlahan, terdapat indikasi bahwa lahan hutan rakyatdigolongkan sebagai tutupan hutan. Dalam sebuah

analisis data Departemen Kehutanan tahun 2002,tutupan hutan secara umum dinyatakan sebagai hutanalam yang dapat dikenali melalui citra satelit. Tidakada upaya untuk membedakan antara wanatani—pepohonan yang ditanam masyarakat setempat dilahan milik—dengan tutupan hutan di kawasan hutannegara. Ada kemungkinan bahwa areal luas yangdianggap “berhutan” itu sebetulnya adalah hutanwanatani di lahan milik.38 Forest Watch Indonesia (FWI)memperkirakan bahwa tutupan hutan di Jawabertambah hampir 600.000 hektare, dari 1,27 jutahektare pada 1985 menjadi 1,87 hektare pada 1997.Walaupun secara teoritis kenampakan pertambahanluas tersebut bisa disebabkan oleh keberhasilanpenanaman di hutan negara, FWI juga menyebutkanbahwa buruknya kualitas data keruangan tentanghutan tanaman di Jawa menyebabkan asumsi tersebuttidak dapat diverifikasi.39 Tanpa validasi ini,pertambahan luas tutupan hutan di Jawa mungkinsekali disebabkan oleh meluasnya hutan rakyat.

Hutan rakyat, dengan produktivitas per hektarenyayang tinggi, memasok kayu bagi industri dalamjumlah yang signifikan. Pada 1999, produktivitashutan rakyat mencapai 2,29 m3/hektare/tahun, angkaini lebih dari tiga kali lipat produktivitas per hektarehutan negara yang dikelola oleh Perhutani. Hutanrakyat di Jawa mengisi 11% kebutuhan kayu bagiindustri di Jawa, sekira 895.000 m3/tahun.

Pasokan ini lebih besar daripada pasok kayu dariPerhutani Unit II Jawa Timur, unit Perhutani yangpaling produktif dan memiliki petak hutan masaktebang paling luas dibandingkan dua unit Perhutanilainnya (Tabel 4: Sumber Pasok Industri Perkayuandan Produktivitas Hutan di Jawa, 1999).

Sumber Pasok Kayu Pertukangan Produksi Luas Kawasan Produktivitas tahunan per hektare m3/tahun hektare m3/ha/tahun

Perum Perhutani Unit I (Jawa Tengah) 601.912 648.062 0,93

Perum Perhutani Unit II (Jawa Timur) 766.890 1.128.401 0,68

Perum Perhutani Unit III (Jawa Barat dan Banten) 392.815 793.970 0,49

1. Total produksi Perhutani se-Jawa 1.761.617 2.570.432 0,69

2. Hutan rakyat 895.371 391.317 2,29

3. Pasok kayu dari luar Jawa 4.349.837 td td

4. Pencurian kayu dari hutan Perhutani 1.119.318 td td

Pasok kayu total 8.226.329

Td = tak ada data.Catatan: Pasok kayu dari luar Jawa, sekalipun sebagian besarnya berasal dari tebangan resmi (HPH) dan hasil tebangan ilegal di luar Jawa,

juga mencakup kayu gelap dari kawasan konservasi di Jawa.

14 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

Di Wonosobo, enam puluh persen pajak daerahdan 40—50% ekspor non-migas berasal dari hasilhutan. Sementara hasil hutan rakyat, melalui retribusiekspor kayu olahan, ikut menyumbang padapendapatan daerah Wonosobo sebesar Rp12,1 milyarpada tahun 1999, jauh lebih banyak dari yangdiperkirakan dalam anggaran, yaitu sebesar Rp4,56milyar.41

Peran Kebudayaan Daerahdan Birokrasi di Jawa

Sebelum kedatangan bangsa Belanda, Indonesiadiperintah dengan sistem kesultanan. Sekalipun lahandianggap milik sultan yang berkuasa di Jawa, tetapimasyarakat masih lebih leluasa memiliki ataumemungut hasil dari lahan tersebut dibandingkandengan sistem yang dipaksakan Belanda. Bagi sultan,lahan hanya dianggap penting jika memberikankeuntungan ekonomis, atau menghasilkan buah dankayu yang berguna, serta digarap oleh warganya. Padaawalnya, sultan memberikan hak bagi VOC hanyauntuk memanen jati, dan tidak memberikan hak milikatas lahan.42 Tapi kemudian, VOC praktis merebutkekuasaan bukan hanya atas pohon-pohon, tetapi jugaatas lahan dan penduduk setempat sebagai akibatluasnya kegiatan dan keterlibatan VOC denganberbagai pihak.

Pada pemerintahan Indonesia merdeka, tingkatterendah pemerintahan adalah desa, dipimpin olehseorang kepala desa yang dipilih setiap lima tahunsekali. Kepala desa, sebagai pemimpin resmi,mengurus pelaksanaan proyek-proyek pemerintah dimasing-masing dusun di desanya. Pemimpin informaldi Jawa biasanya berasal dari golongan kyai, pemimpinagama yang bertanggung jawab atas pemeliharaanmasjid dan memimpin peribadahan di desa. Dalamstruktur desa terdapat beberapa organisasikemasyarakatan dan organisasi perempuan, sebuahmekanisme bagi warga desa untuk mendapatkanmanfaat dari proyek-proyek peternakan, keluargaberencana, perayaan hari besar, olahraga, dan kerjabakti membangun sekolah atau jalan desa.

Beberapa desa kemudian membentuk sebuahkecamatan dan beberapa kecamatan menjadi sebuahkabupaten atau kotamadya. Pemerintahan daerahkabupaten terdiri atas bupati, sebagai kepala eksekutif,dan DPRD, yang bertugas mengembangkan tataaturan di daerah. Anggota DPRD yang dicalonkanoleh partai dipilih melalui sebuah pemilihan langsung

oleh warga. Anggota DPRD ini kemudian memilihbupati. Mulai tahun 2004, anggota DPRD dan bupatidipilih secara langsung oleh rakyat.

Kabupaten-kabupaten ini kemudian tergabungdalam satu propinsi, di Jawa terdapat lima propinsi,yaitu Banten, Jawa Barat, Daerah Khusus IbukotaJakarta, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta,dan Jawa Timur.

Berdasar perkembangan terbaru kebijakanotonomi daerah, banyak fungsi pemerintah pusat,termasuk beberapa aspek penyusunan peraturanmengenai hutan dan pengelolaan hutan,didesentralisasi kepada pemerintah propinsi dankabupaten. Sebagai contoh, Undang-UndangPemerintahan Daerah dan Undang-UndangPerimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat danDaerah menyatakan bahwa 80% pendapatan negarayang berasal dari sumber daya daerah (termasukhutan) masuk ke kas daerah. Undang-UndangKehutanan yang diberlakukan tahun 1999memberikan hak kepada bupati untuk memberikanizin pembalakan seluas 100 hektare di wilayahpemerintahannya.

Walaupun demikian, banyak masalah dalampelaksanaan berbagai undang-undang tersebut.Pembagian kewenangan dan tanggung jawab atashutan antara pemerintah pusat, propinsi, dankabupaten tidak jelas dan banyak digugat. Kebijakanotonomi daerah telah memperbesar perselisihanmengenai tingkat pemerintahan yang mana yang bolehmengubah status kawasan hutan. Pemerintah pusatcemas melihat beberapa kabupaten yang seolahmelegalisasi penebangan liar dengan memberikan izinhak pengusahaan hutan (HPH) skala kecil kepadapengusaha hutan yang tidak mendapatkanperpanjangan izin dari pemerintah pusat ataupropinsi.43

Tabel 5 tentang persepsi mengenai hutan danlingkungan berusaha menggambarkan persepsiberbagai pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutannegara. Masyarakat punya keterkaitan langsungdengan sumber daya tetapi tidak selalu keterkaitanitu berdasarkan dorongan ekonomis. Masyarakatjugalah yang langsung merasakan berkurang atauhilangnya jasa lingkungan, sehingga mereka sangatmenghargai jasa lingkungan yang bisa disediakan olehhutan di kabupatennya. Perum Perhutani,Departemen Kehutanan dan Perkebunan, danpemerintah pusat bertanggung jawab atas wilayahhukum yang lebih luas sehingga harus memikirkan

15

cara agar hutan dapat memberi manfaat bagi khalayakyang lebih luas dan seluruh rakyat Indonesia.Perbedaan pandangan yang tak kunjung menemukantitik temunya mengenai penyebab dan solusi

kerusakan hutan, berpengaruh pada lingkungan yanglebih luas dan struktur pemerintahan secarakeseluruhan. Persoalan ini memerlukan perhatianyang lebih besar.

Persepsi Masyarakat Perum Pemerintah Pemerintah Perhutani Kabupaten Pusat

TABEL 5. Persepsi Mengenai Hutan dan Lingkungan

Nilai PentingHutan

Hutan itu penting dan perlu

dilestarikan karena

melindungi pemukiman dari

angin ribut, kekeringan,

dan erosi.

Hasil hutan (kayu dan

bukan kayu) memberikan

penghasilan. Keberadaan

hutan dapat meningkatkan

kesejahteraan.

Hutan memiliki

fungsi ekologis dan

ekonomis.

Hutan adalah

sumber

pendapatan penting

bagi pemerintah

pusat.

Hutan di Wonosobo memainkan

peran penting dalam menjaga

kelestarian 3 daerah aliran sungai

di kabupaten ini.

Hutan adalah sumber daya alam

terbesar yang dapat meningkatkan

pendapatan daerah.

Hutan dapat meningkatkan

kesejahteraan rakyat, terutama

yang tinggal di desa sekitar hutan.

Hutan adalah sumber

daya untuk

menghasilkan

pendapatan nasional.

Hutan memiliki fungsi

ekologis.

* Masyarakat mengetahui hal ini karena melihat pedagang kayu selalu memberikan uang lebih kepada aparat Perhutani.

PenyebabKerusakanHutan

Penjarahan hutan yang

dilakukan anggota

masyarakat yang tak

bertanggung jawab dan

terlibat dalam operasi

terorganisasi.

Perhutani melakukan

penebangan berlebih

(overcutting).*

Penjarahan

oleh

masyarakat.

Penjarahan hutan yang melibatkan

pihak-pihak yang tak bertanggung

jawab dan oknum Perhutani.

Salah urus pengelolaan oleh

Perhutani.

Masyarakat tidak dilibatkan secara

aktif dalam pengelolaan hutan

sehingga masyarakat tidak merasa

memiliki hutan negara.

Penjarahan hutan

dan bencara alam.

SolusiKerusakanHutan

Libatkan masyarakat dalam

pengelolaan hutan. Jika

masyarakat ikut memiliki

hutan, maka mereka akan

melindungi hutan.

Pembangunan

hutan sesuai

rencana teknis

Perhutani.

Pengelolaan hutan berbasis

masyarakat dengan melibatkan

masyarakat secara aktif dalam

pengelolaan hutan untuk

memelihara dan mendapatkan

hasil hutan.

Pengelolaan hutan

dengan teknik budi

daya hutan (silvikultur)

yang telah terbukti

secara ilmiah.

Cara MengelolaHutan Tanamanyang Lestari

- Tanaman pokok sengon

- Jenis beragam

- Sistem tanam campuran

untuk mencegah wabah

penyakit

- Daur tebang yang tidak

merusak

- Segera menanami lahan

kosong akibat penebangan

- Tanaman pokok

pinus dan mahoni

- Jarak tanam 3 x 6 m

- Tanaman pagar

kaliandra

- Menerapkan sistem

tumpang sari

- Tebang habis

- Pengelolaan hutan berbasis

masyarakat

- Pohon berkayu sebagai

tanaman pokok

- Menyesuaikan pengelolaan

hutan negara dengan

mekanisme desentralisasi

Hutan dikelola

dengan teknik

silvikultur yang telah

terbukti secara

ilmiah

BAGIAN I I : SISTEM PENGELOLAAN PADA LAHAN HUTAN NEGARA DI JAWA

17

B A G I A N I I I

Peralihan PengelolaanSumber Daya

Di Kabupaten Wonosobo

Penyebab Kerusakan Hutan KPH* KPH TOTALdi Lahan Hutan Negara Kedu Utara (ha) Kedu Selatan (ha) (ha)

TABEL 6. Tanah Kosong pada Lahan Hutan Negara di Wonosobo sampai 200044

Lahan hutan di Kabupaten Wonosobo, sepertihalnya kawasan hutan lain di Jawa, telah berada dibawah pengelolaan negara sejak ratusan tahun yanglalu. Kehadiran Undang-Undang PemerintahanDaerah (UU 22/1999) memberikan ruang bagipemerintah daerah untuk bertanggung jawab ataspengelolaan lahan hutan yang saat ini sedangmenghadapi berbagai masalah (Tabel 6. Tanah Kosongpada Lahan Hutan Negara di Wonosobo sampai2000). Selain berbagai artikel surat kabar yangsepanjang 1999 memberitakan peristiwa penjarahanhutan besar-besaran, Perhutani juga melaporkanbahwa 10% hutan negara di Wonosobo telah dirusakdan menjadi lahan kosong. Laporan tersebutmenyebutkan bahwa 72% kerusakan disebabkan

gangguan keamanan yang berkaitan dengan masalahsosial, terutama penjarahan hutan. Penyebabterjadinya tanah kosong lainnya adalah konversi hutanmenjadi hutan lindung. Menarik mencermati “lain-lain” sebagai bagian dari penyebab timbulnya tanahkosong yang berkaitan dengan “gangguan keamanan.”Tidak ada keterangan untuk menjelaskan “lain-lain”yang menyebabkan terjadinya 33% tanah kosong.Walaupun demikian, beberapa pakar masalaheksploitasi hutan menjelaskan bahwa kemungkinanbesar apa yang disebut sebagai “lain-lain”sesungguhnya adalah areal yang menjadi tanah kosongakibat adanya tebangan penyelamatan (tebang habis)untuk menghindari penjarahan hutan lebih lanjut dipetak-petak yang sudah dicuri sebagian pohonnya.

* KPH adalah singkatan Kesatuan Pemangkuan Hutan, unit pengelolaan hutan kurang lebih setingkat kabupaten.

** Perhutani menggolongkan penyebab tanah kosong yang dianggap ditimbulkan oleh kegiatan masyarakat sebagai “gangguan kemanan” tetapi

tidak memberikan nama pada dua penggolongan lainnya.

Luas Hutan Negara yang Dikelola Perhutani 9.967 9.728 19.695Akibat Gangguan Keamanan**

Pencurian Pohon 37 165 202Penjarahan Hutan 327 246 573Pembibrikan 0 0 0Sengketa Lahan 0 0 0Penggembalaan 0 0 0Kebakaran 0 0 0Perencekan 4 0 4Lain-Lain 11 657 668Sub-total 379 1.068 1.447

Kegagalan Reboisasi 0 0 0Konversi Menjadi Hutan Lindung 547 0 547Bencana Alam 0 0 0Hama/Penyakit 0 0 0Tanah Kosong dalam Pengelolaan Perhutani 926 1.068 1.994% Tanah Kosong 9% 11% 10%

18 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

TABEL 7. Penggunaan Lahan Kabupaten Wonosobo45

Bagi Perhutani, desentralisasi kepada pemerintahkabupaten berarti menyerahterimakan pengelolaanlahan hutan seluas 19.000 hektare di Wonosobo (Peta1. Lahan Hutan Negara di Kabupaten Wonosobo).Sekalipun kurang dari 1% luas seluruh lahan hutandi Jawa yang dikuasainya, Perhutani melihatpengalihan kekuasaan di Kabupaten Wonosobo sebagaisebuah pemicu yang akan menyebabkan tuntutan dikabupaten-kabupaten lain dan lebih lanjut akanmenyebabkan kemerosotan kekuasaan Perhutani ataswilayah kelolanya. Berdasarkan peraturan yang masihberlaku, semua lahan hutan negara dalam sebuahkabupaten, baik hutan produksi, produksi terbatas,maupun lindung, berada di bawah pengelolaanPerhutani.

Dampak kerusakan hutan pada lingkungan danterpinggirkannya masyarakat setempat dari lahanhutan adalah biaya yang harus dibayar akibatpenerapan sistem berumur ratusan tahun. Tekananlingkungan dan sosial, bersama perubahan politik danekonomi membuka jalan bagi perubahan berbagaikebijakan pengelolaan hutan. Berbagai sektor dankabupaten, seperti Wonosobo, mulai mencari berbagaibentuk baru pengelolaan sumber daya. Demokratisasimembuka jalan untuk meningkatkan peran dankesadaran kelompok-kelompok masyarakat akarrumput dan membentuk gerakan ke arahdesentralisasi.

Masa-masa peralihan di Wonosobo terjadi melaluinegosiasi dua aras (level). Aras pertama melibatkanpemerintah daerah dan pemerintah pusat. Pemerintahdaerah terus berproses dalam upaya mendapatkanpengakuan pemerintah pusat atas kebijakandaerahnya. Aras kedua adalah antara masyarakat

dengan pemerintah daerah. Masyarakat berusaha agarpemerintah daerah segera menandatanganikesepakatan kerjasama pengelolaan hutan, sebuahbentuk izin bagi masyarakat untuk mengolah danmendapatkan manfaat dari sumber daya di lahanhutan negara yang kini telah mereka tanami. Bab inimenjelaskan pelaku dan posisi mereka masing-masingdalam masa-masa peralihan dan bagaimana prosesperalihan telah berjalan sejauh ini.

Tipe Penggunaan Lahan Luas (hektare) %1. Tegalan/kebun 46.508 47,22. Hutan negara 18.896 19,23. Sawah pengairan sederhana 10.984 11,24. Sawah tadah hujan 4.535 4,65. Sawah pengairan setengah teknis 1.657 1,76. Sawah pengairan teknis 1.373 1,47. Kolam 204 0,28. Padang rumput 11 0,09. Perkebunan 2.659 2,710. Waduk/rawa 1.484 1,511. Bangunan/pekarangan 7.261 7,412. Lain-Lain 2.896 2,9Total 98.468 100

Hutan dan Masyarakat di WonosoboWonosobo adalah salah satu dari 38 kabupaten

yang ada di Propinsi Jawa Tengah dengan luas lahan98.500 hektare (3% luas Jawa Tengah). Wonosobo,yang terletak di kaki Gunung Sindoro dan Sumbingdi tengah pulau Jawa, dikenal sebagai gerbang wisatake Dataran Tinggi Dieng. Daerah pariwisata inimemiliki candi Hindu tertua dan iklim yang sejuk.

Dengan letaknya antara 270—2250 meter daripermukaan laut dan dengan curah hujan antara2.000—3.000 mm/tahun, Kabupaten Wonosobomemberikan jasa lingkungan penting bagi dataranrendah yang terbentang di selatan kabupaten ini.Wonosobo juga menjadi hulu bagi 5 daerah aliransungai dan sumber air bagi waduk Wadaslintang (Peta2. Daerah Aliran Sungai yang Berhulu di Wonosobo).Lebih dari 30% lahan di kabupaten ini memilikikelerengan 40 derajat atau lebih. Karena kecuramanlahan dan tingginya curah hujan, Wonosobo termasukdaerah yang penting bagi penyediaan air dan sangatrentan terhadap erosi dan tanah longsor. Lahan diWonosobo sebagian besarnya diolah sebagai unitproduksi pertanian dan hampir separonya ditanami

dengan padi, sayur-sayuran,pohon buah-buahan,kelapa, kopi, cengkeh, danberbagai jenis pohon yangdipanen kayunya. Lahanhutan negara adalahpenggunaan lahan keduaterbesar, dengan luas sekira18.900 hektare46 atau 20%luas seluruh kabupaten.Hutan negara ini ditanamiterutama dengan pinus dandamar untuk tujuanproduksi (Tabel 7.Penggunaan LahanKabupaten Wonosobo).

19B A G I A N I I I : P E R A L I H A N P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A D I K A B U P A T E N W O N O S O B O

PETA 1. Lahan Hutan Negara di Kabupaten Wonosobo

20 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

PETA 2.

Daera

h Ali

ran Sun

gai y

ang

Berhu

lu di

Wono

sobo

21B A G I A N I I I : P E R A L I H A N P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A D I K A B U P A T E N W O N O S O B O

Hutan Tanaman Pinus Perhutani. Pengelolaan hutan Perhutani didasarkan pada ketentuan yang ketat mengenai bagaimanaseharusnya “hutan tanaman” itu dan siapa yang diuntungkan dari hasilnya. Hutan tanaman Perhutani umumnya berada di hulu sungai.

Terdapat 37% lahan di Wonosobo yang masihberhutan,47 tetapi tidak semua hutan tersebutberada di daerah yang berperan penting menjagakelangsungan jasa lingkungan. Undang-UndangKehutanan (UU 41/1999) mempersyaratkan setiapkabupaten untuk mempertahankan 30% hutan dimasing-masing daerah aliran sungai (pasal 18), danuntuk itu Kabupaten Wonosobo perlu memperbaikitingkat penutupan hutannya saat ini, terutama didaerah-daerah yang penting secara hidrologis.

Penduduk Wonosobo telah bertambah dengancepat, pada 2001 jumlahnya mencapai 733.000jiwa. Jumlah tersebut adalah 3% penduduk PropinsiJawa Tengah. Sebagian besar penduduk Wonosoboberasal dari etnis Jawa dan beragama Islam. Lebihdari 70% penduduk di 192 desa tinggal di datarantinggi dan menjadikan pertanian dan perhutanan

sebagai sumber penghasi lannya. Sumberpenghasilan lain berasal dari anggota keluarga yangmeninggalkan kampungnya.

Mereka pergi ke kota-kota, Singapura,Malaysia, atau bahkan lebih jauh lagi untuk bekerjasebagai pembantu rumah tangga dan mengirimkanuang untuk keluarga di kampung. Karena sukarnyamenjangkau sekolah menengah pertama atausekolah menengah atas, kesempatan yang terbukabagi para pekerja migran, yang kebanyakanperempuan dan hanya berbekal ijazah sekolah dasaritu, adalah bekerja sebagai pembantu rumah tanggadi kota-kota. Orang-orang yang pendapatnyadiperhitungkan dan tokoh masyarakat, biasanya,adalah para pria yang menyelesaikan sekolahmenengah atas atau yang pernah mengecappendidikan satu-dua tahun di bangku kuliah.

22 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

Perempuan dan Sumber Daya Lahan Pegunungan. Para perempuan membentuk kelompok untuk mendapatkan uang tunaidengan membantu mengolah lahan milik warga desa.

Pengelolaan Hutan di Lahan Negara

Menurut angka yang dikeluarkan Perhutani UnitI Jawa Tengah, Perhutani mengelola 19.695 hektarelahan hutan negara di Wonosobo48 yang terbagi dalamdua kesatuan pemangkuan hutan (KPH), yaitu KPHKedu Selatan dan Kedu Utara. Lahan hutan negara dikedua KPH ini terletak di hulu daerah aliran sungai.KPH Kedu Utara, seluas 9.967 hektare, ditanamidengan pinus (Pinus merkusii) dan mahoni (Swieteniamacrophylla). KPH Kedu Selatan yang meliputi arealseluas 9.728 hektare ditanami dengan pinus, damar(Agathis alba), dan sedikit jati. Saat ini hasil hutannon-jati lebih besar dibandingkan dengan tahun-tahunawal pengelolaan hutan negara. Hal ini sebagiannyadisebabkan oleh kerusakan hutan jati yang diwarisiPerhutani akibat sengketa dan kekacauan politikselama tahun-tahun awal kemerdekaan. Strategiperbaikan yang dilakukan adalah membagi kawasanmenjadi dua KPH untuk meningkatkan intensitaspengelolaan hutan nonjati dan memproduksi resinserta kayu bahan baku pulp. Dengan demikian, pinusdan damar menjadi jenis terpilih untuk lahan hutannonjati seperti yang terdapat di Wonosobo.

Pengelolaan hutan Perhutani melibatkan teknikkhusus dan aturan organisasional berdasarkan padaketentuan ketat mengenai jenis tanaman dan pihakyang akan diuntungkan dari hasil hutannya. Aturan-aturan ini menentukan jenis tanaman pokok, polatanam, dan teknik budi daya serta daur tebang. Wargadesa diizinkan masuk ke kawasan hutan negara hanyapada saat ‘bukaan’ tumpang sari. Jika tidak adatumpang sari maka warga desa tidak diizinkan masukke kawasan hutan negara. Petugas Perhutani bisamenahan warga desa yang masuk ke dalam hutan.

Petugas lapangan Perhutani berusahamempertahankan hubungan baik dengan pemukamasyarakat di desa, baik kepada pemimpin formalmaupun pemimpin informal. Kepala desamendapatkan pemberitahuan mengenai pekerjaan-pekerjaan yang sedang berlangsung di lahan hutan.Bantuan pendanaan melalui proyek-proyek untukmenambah penghasilan masyarakat juga ditawarkan.Perhutani juga membantu pembangunan masjid desadan menyumbang pada kyai atau pemuka agama didesa.

Pada 1999, sebuah surat resmi dari DireksiPerhutani disebarkan ke masing-masing KPH. Surat

23B A G I A N I I I : P E R A L I H A N P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A D I K A B U P A T E N W O N O S O B O

tersebut memerintahkan setiap KPH untukmenerapkan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat(PHBM) sebagai pendekatan pengelolaan hutan yangbaru. Walaupun demikian, surat tersebut tidakmenjelaskan apa dan bagaimana PHBM itu.49

Beberapa manajer menengah Perhutani yang progresifbekerja sama dengan beberapa lembaga swadayamasyarakat (LSM) termasuk ARuPA melalui ForumHutan Jawa (FHJ), serta mengambil kesempatan iniuntuk mengajukan pendekatan pengelolaankolaboratif yang menekankan pentingnya kemitraanantara masyarakat setempat dengan Perhutani.

Berbeda dengan skema Perhutani sebelumnya—misalnya, sekadar mempekerjakan warga desa sebagaiburuh tanam—kerangka kerja pengelolaan PHBMyang baru diusulkan ini memberi ruang lebih besarbagi masyarakat setempat untuk ikut mengambilkeputusan. Usulan ini juga memasukkan sistem bagihasil yang lebih baik dengan memberikan hak bagimasyarakat untuk memanen dan menjual kayu.

Usulan ini kemudian mendapatkan tentangandari sebagian besar manajer Perhutani karenadianggap terlalu radikal. Bagi kebanyakan pucukpimpinan Perhutani, Program Perhutanan Sosialdapat diperbaiki dengan menaikkan upahpesanggem dan memperluas wilayah penerapanPerhutanan Sosial, tetapi bagi hasil kayu adalahsuatu hal yang tak bisa diterima.50

Pengelolaan Sumber Dayadi Desa-Desa di Dataran Tinggi

Desa-desa di dataran tinggi mengelola 20.000hektare51 hutan rakyat, luas tersebut adalah 20% luasKabupaten Wonosobo. Di lahan ini merekamenerapkan teknik wono dusun.

Ketika hutan-hutan negara menjadi sangat takterjaga, masyarakat mengambil kesempatan ini untukmenanami lahan hutan negara yang gundul tersebutdengan cara yang mereka terapkan di tanah milikmereka. Sebagian besar dari 154 desa di Wonosobosudah mengambil inisiatif menanami hutan negarayang gundul tak jauh dari lahan hutan merekasekalipun pengelolaan masyarakat di lahan hutannegara belum didukung peraturan apapun. Hal inimemperluas lahan hutan yang dikelola masyarakat dikabupaten Wonosobo.

Bogoran, Gunung Tugel, dan Selomanik, tiga desadi Wonosobo, menceritakan bagaimana merekamengelola hutan rakyat, keterlibatan mereka dengan

Perhutani dalam pengelolaan hutan negara,keprihatinan mereka, dan upaya terbaru mereka dalampengelolaan hutan di lahan Perhutani.

Desa Bogoran yang luasnya 664 hektare terbagimenjadi 3 dusun, yaitu Bogoran, Wadas, dan Kyuni.Bogoran didirikan pada awal abad ke 13 dan kinidihuni oleh 1.810 jiwa. Di desa ini terdapat lahanhutan negara seluas 226 hektare (34% luas desa) danluas lahan pertanian termasuk hutan rakyat seluas 332hektare, separo luas desa.52 Pada lahan hutan negara,yang mereka perlakukan sebagai lahan milik ini,masyarakat menerapkan sistem wono dusun. Jenis-jenis yang menjadi lapisan tajuk atas adalah jenis cepattumbuh atau pohon buah-buahan, terutama sengon,suren, mahoni, nangka (Arthocarpus indica), jengkol(Pithecellobium jiringa atau Archidendron pauciflorum),kelapa (Cocos nucifera), petai (Parkia speciosa), aren(Arenga pinata), dan rambutan (Nepheliumlappaceum). Tanaman yang membentuk lapisan tajuktengah adalah kopi, salak, kaliandra (Calliandracalothyrsus), coklat, lada, pisang, cengkeh, dan pepaya.Lapisan paling bawah terdiri atas jahe, kunir, dantanaman tahan naungan lainnya. Selama cahaya

Pak Krustanto, Anggota DPRD Kabupaten Wonosobo,berpendapat bahwa sistem pengelolaan hutan negara gaya lamaperlu diperbaharui karena di Jawa lahan semakin langka danpenduduk semakin padat. Sistem wanatani yang dikerjakan olehmasyarakat di atas lahannya memberikan sebuah harapan.

24 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

matahari masih mencukupi dan naungan belum terlalurapat, para petani juga menanami lahannya dengantanaman pangan tahunan seperti jagung, singkong,dan lada.

Perempuan memainkan peran penting dalammengelola rumah tangga dan mencukupi penghasilankeluarga. Perempuan biasanya bangun dini hari lalumengerjakan pekerjaan rumah tangga sehari-hari,dengan demikian, pada pagi hari mereka bisa pergiberladang. Pada siang harinya, mereka bekerja di lahanyang perlu dibersihkan untuk kemudian diolahtanahnya oleh para suami. Para perempuan di Bogoranmembentuk kelompok jika ada orang yang inginmenyewa mereka untuk membersihkan atau menguruslahannya. Mereka mendapatkan Rp9.000 per orangper hari sebagai upah, tetapi upah tersebut tidakdibayarkan langsung. Upah harian itu ditabung danpemilik lahan memberikannya dalam bentuk lumpsum. Para perempuan menganggap cara pembayaranini sebagai suatu bentuk tabungan yang bisa digunakanuntuk hari raya, misalnya lebaran. Sebulan sekali,mereka pergi ke pasar untuk menjual panenannya danmembeli kebutuhan rumah tangga serta peralatanpertanian untuk pembersihan lahan. Mereka membelipakaian hanya setahun sekali, biasanya menjelanglebaran.

Sesudah reformasi, beberapa warga desa Bogoranmulai menanami lahan hutan negara, yang saat itusudah gundul, di dalam dan di sekitar wilayah desa.Sampai tahun 2002, sudah 90 hektare lahan hutannegara yang mereka tanami. Para warga desa ini telahmengembangkan rencana pengelolaan dan sudahdipresentasikan di hadapan pemerintah daerah.

Desa Gunung Tugel luasnya 429 hektare danberpenduduk 1.585 jiwa yang tersebar di enamdusun: Gunung Tugel, Tanggul Angin, Selomoyo,Jaksan, Gerdiyah, dan Menganti. Sistem wono dusunyang diterapkan di 215 hektare lahan hutan rakyat diDesa Gunung Tugel ini sama dengan sistem wonodusun Bogoran.

Permintaan pasar mempengaruhi jenis-jenistanaman yang diusahakan para petani. Padapertengahan 1990-an, ketika kopi harganya sangattinggi hingga mencapai Rp15.000/kilogram, banyakkeluarga yang menanam kopi di lahan hutan rakyat.Ketika harganya turun drastis hingga Rp3.000/kilogram, masyarakat Gunung Tugel membabattanaman kopi mereka dan menggantinya dengan salakyang harganya lebih stabil.

KOTAK 1. Kerja Perhutani di Lapangan(Catatan dari Desa Bogoran)

Perhutani menebang hutan belukar di Bogoran pada1965. Segera setelah melakukan tebang habis, Perhutanimempekerjakan warga desa dan menyediakan bibit damaruntuk ditanam. Tegakan damar ini ditebang 30 tahunkemudian. Daur penanaman dimulai segera pada 1995, padasaat itu masyarakat diminta untuk menanam bibit pinusdan lamtoro (Leucaena glauca). Lamtoro ditanam untukmenandai batas hutan. Pada daur penanaman ini masyarakatdiberi tanggung jawab memelihara bibit tanaman tersebutselama dua tahun dan sebagai ‘upah’nya masyarakatdiizinkan menanam tanaman pangan di sela-sela lajurtanaman pokok masa pemeliharaan.

Pada beberapa tempat, penanaman pinus mengalamikegagalan, dan sebagian pesanggem mulai menanami lahantersebut dengan sengon, kopi, dan singkong. Kopi dansengon tumbuh dengan cepat, tetapi pada 1998 Perhutanimembabat semua tanaman itu, sesaat sebelum panenpertama kopi.

Pada tahun yang sama, pada saat pemerintahan Soehartotumbang, Perhutani kehilangan pengaruh di Bogoran.Perhutani mengumpulkan masyarakat dan mengajak merekauntuk menanami lahan yang sudah gundul akibatpenjarahan. Dalam pertemuan tersebut masyarakat memintaagar diperbolehkan memanfaatkan tegakan pinus yangtersisa guna keperluan desa. Perhutani, yang diwakili olehmantri, tidak memberikan keputusan, akan tetapi selamamasyarakat mau diajak menanam, Perhutani akan berpura-pura tidak tahu. Selanjutnya masyarakat mendatangi Asperserta ADM Kedu Selatan. Permintaan masyarakat dikabulkankarena hanya meminta 100 pohon. Petani yang ikutmenebang mendapatkan Rp20.000 sampai Rp30.000 untuksetiap pohon yang mereka tebang dan mereka antar kepengepul kayu yang sudah menyuap petugas Perhutani dankepolisian yang korup. Antara 1998 sampai 2000, penduduksetempat melaporkan bahwa lebih dari 300 hektare hutanpinus di sekitar Bogoran digunduli dengan cara seperti ini.

Petak hutan negara seluas 192 hektare berada didalam wilayah desa Gunung Tugel. Masyarakatmelaporkan bahwa hutan negara ini dijarah pada1999. Setelah penjarahan itu, Perhutani memintamasyarakat agar menanami lahan tersebut denganmahoni. Pada 2001, sebuah papan tanda dipasang dilahan. Papan itu berisi keterangan mengenai jaraktanam, jenis tanaman, dan pengaturan penanamandengan masyarakat desa. Dalam sebuah pertemuandesa di bulan April 2002, masyarakat menceritakan:

25B A G I A N I I I : P E R A L I H A N P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A D I K A B U P A T E N W O N O S O B O

KOTAK 2. Kisah Pak Sukoco dari Desa Bogoran tentang Pengelolaan Hutan NegaraSaya lulus sekolah menengah atas tahun 1990 dan sejak itu sering ikut pertemuan-pertemuan desa. Tahun 1993, saya

ikut kelompok tani hutan yang disponsori dinas kehutanan kabupaten dan propinsi. Tahun 1997, kelompok kami menanglomba penghijauan tingkat nasional dan pada saat itu kegiatan kami memang terpusat pada perbaikan pengelolaan hutandi lahan milik.

Ketika kami masih berkutat dengan hutan rakyat di lahan milik, satu kelompok tani di Blok Sikemplong di desa kamimulai menanam lahan perbukitan yang gundul atas perintah Perhutani, itu pertengahan tahun 1990-an. Perhutani berusahamembangun hutan pinus, tapi sebagian besar tanamannya mati. Kemudian petani di sana mulai menanam tanamannaungan, dan di bawahnya ditanami kopi dan singkong. Kopi dan tanaman naungannya tumbuh cepat sekali, tapi Perhutanimembabat semua tanaman petani itu pada tahun 1998. Waktu itu, sebentar lagi kopinya panen. Saya ikut sedih melihatnasib teman-teman petani Sikemplong, dan saya merasa harus berbuat sesuatu untuk membantu mereka.

Waktu Perhutani di sekitar sini sedang kacau, juga banyak hutan yang digunduli, kelompok tani di desa mulai berembugmembahas masalah bukit-bukit yang gundul. Saya bertemu dengan beberapa anggota ARuPA, LSM dari Jogja, kemudiankami membicarakan berbagai kemungkinan untuk menghutankan kembali lereng-lereng gundul yang sewaktu musimhujan tererosi dan pecah-pecah tanahnya di waktu kemarau. Fasilitator ARuPA bersama ketua-ketua kelompok tani mulaimemfasilitasi kelompok supaya terorganisasi dan bisa menghutankan kembali bukit-bukit itu.

Pada tahun-tahun berikutnya telah terbentuk delapan kelompok tani di wilayah administratif Desa Bogoran dan Wadas.Setiap kelompok beranggota 20 sampai 40 keluarga. Masing-masing keluarga menggarap rata-rata seperempat hektarelahan. Prioritas diberikan pada petani yang tidak punya lahan atau yang tanahnya sempit, tapi setiap keluarga di dusunpasti kebagian. Kelompok saya, Ngudi Rahayu, dibentuk bulan Maret 2000, melakukan pertemuan rutin setiap selapanan(35 hari sekali, mengikuti pasaran kalender Jawa). Setiap bulan, masing-masing anggota kelompok menyumbang iuranRp500. Sampai hari ini tabungan kelompok sudah mencapai Rp800.000. Rencananya akan jadikan modal membangunpersemaian dan pembibitan untuk hutan.

Hampir semua petani di delapan kelompok tani sudah membuat teras bangku di lahannya, itu semua tanpa bantuan dariluar. Guna teras ini untuk menahan erosi dan meningkatkan hasil panen. Tahun pertama, lahan itu kami tanami dengantanaman tahunan, misalnya, jagung, singkong, ubi, dan hijauan makanan ternak, juga pohon-pohon seperti sengon,suren, nangka, dan mahoni. Ketika naungannya sudah mulai rapat, tanaman di bawahnya kami ganti dengan kopi,tanaman obat seperti kapulaga dan kemukus, juga merica. Merica menambah penghasilan, padahal tanamannya tidakmakan tempat, sebab merica merambat di pohon nangka. Di sepanjang tepi kebun, kelompok tani juga menanam kelapa.Satu tahun kemudian, diameter batang sengon sudah tumbuh 5 sampai 10 centimenter. Kalaupertumbuhannya secepat ini, sengon bisa dipanen umur 6 sampai 10 tahun. Sekarang ini hargasengon sekitar Rp60 ribu sampai 100 ribu per pohon. Pohon sengon kami tebang kalausudah cukup besar, biasanya, pada saat keluarga sedang membutuhkan uang tunai yanglumayan banyak.

Anggota kelompok tani hutan di sini rata-rata termasuk miskin dan mereka menggaraplahan hutan untuk menambah penghasilan keluarga, tetapi mereka juga makin sadarakan pentingnya lingkungan. Kami juga mengadakan pertemuan untuk membicarakanpelestarian dan pengelolaan sumber air di lahan Perhutani yang sekarang sudahgundul. Di lahan kami seluas 300 hektare, ada 5 mata air di Bogoran, dan 8 mata airdi Wadas. Mata air ini mengairi sawah di lembah-lembah. Kami sudah sepakatbahwa kebun atau hutan 500 meter di sekeliling setiap mata air harus dijaga. Begitujuga 100 meter hutan di kiri-kanan kali yang mengalir dari mata air. Di dekat mataair tidak boleh ditanami tanaman tahunan dan tidak boleh ada tebangan, olehkarena itu daerah seperti itu ditanami dengan pohon buah-buahan, seperti nangka,alpukat, durian, kelapa, dan petai.

—Wawancara Mark Poffenberger dengan Sukoco, September 2003

Sukoco dan Budi, warga Desa Bogoran

26 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

“Kami tidak diberi bibit, sehingga kamimengumpulkan bibit sendiri. Sebagai gantinya, Perhutanimengizinkan kami bertani di antara bibit tanamanpohon selama tiga tahun. Kami tidak punya kontrakyang jelas dengan KPH. Sekarang kami tidak lagimenuruti ketentuan yang ada di papan tanda Perhutani.Kami menanami apa saja dan jarak tanamnya sesukakami. Kami pelihara pohon-pohon yang kami tanamsendiri, kami mau tahu kesepakatan apa yang bisa dicapaiuntuk lahan yang baru ditanami ini.”

Sampai tahun 2002, Gunung Tugel telahmenghijaukan 138 hektare lahan hutan negara dengansengon dan tanaman lainnya.

Desa Selomanik seluas 577 hektare dihuni oleh1.832 jiwa yang tersebar di tujuh dusun: Kumiwang,Kratenan, Selomanik, Sijambu, Tuwang, Durensawit,dan Karangmangu. Perhutani mulai beroperasi di DesaSelomanik sekitar tahun 1980-an dengan penebanganhutan alam dan penanaman pinus menggantikanhutan alam.

Para pesanggem biasanya dikontrak oleh Perhutanidan hubungan antara masyarakat dengan aparatPerhutani berjalan lancar sampai 1998 ketikamasyarakat di desa mulai merasakan dampak krisisekonomi. Beberapa warga desa berpendapat bahwaupah yang diterima terlalu rendah dan mereka takpunya peluang untuk melakukan tawar-menawarupah. Pengalaman buruk dengan lahan hutan negaratelah membuat mereka berpikir kritis terhadap gayapengelolaan perusahaan hutan negara.

KOTAK 3. Cerita Zudi tentang Pengelolaan Lahan Hutan Negara di SelomanikZudi, adalah seorang pemuda asal Desa Selomanik yang sempat berkuliah dan kembali ke kampung untuk membantu keluarganya

mengelola lahan wana tani. Ia berbagi pengalamannya:

“Kami biasanya dikontrak Perhutani untuk mengelola lahan hutan. Upahnya rendah dan tidak bisa ditawar-tawar. Perhutanimeraup semua keuntungan dari lahan yang kami garap. Sulit bertani di sana, mau apa-apa harus minta izin. Harus minta izin untukganti jenis tanaman, padahal cuma mau tanam pisang. Kami tahu siapa di kampung ini yang akrab dengan Perhutani, karena kamitahu siapa yang diuntungkan dari penebangan liar. Perhutani selalu pura-pura tidak tahu soal suap-menyuap ini.

“Kami ini ‘orang sini’, tinggal di sini, yang mengerjakan semuanya. Hutan menyokong hidup kami, menopang cara hidup dancara kerja kami. Kami tidak bisa hidup tanpa hutan, tapi justru Perhutanilah yang mengambil semua keuntungan. Menurut kami, tatacara penggunaan lahan dapat diperbaiki, tapi kami belum tahu persis bagaimana cara memulai dan agar bisa mengelola hutan yangmengutamakan masyarakat.

“Kalau kerja sama dengan Perhutani tetap diteruskan, ya, tetap tidak akan untung. Bagi hasil 25% untuk petani itu terlalu rendahdan kami yakin tidak akan beres nantinya. Yang pantas, paling tidak 60-40%, yang 60% untuk petani, dan 40% untuk Perhutani.

—Pertemuan AFN-ARuPA di Selomanik, April 2003

Masyarakat semakin jengkel ketika truk-trukpengangkut kayu melintasi jalan desa mereka, satu-satunya jalan menuju hutan negara. Merasa bahwawarga desalah yang membangun dan merawat jalansecara swadaya, mereka kemudian memasang papantanda di jembatan meminta agar truk-truk Perhutanimemberi sebagian keuntungan dan jika tidak merekaakan menutup jalan.

Ketersediaan air adalah masalah sehari-hari. Airdisalurkan ke rumah-rumah melalui pipa dari sumberair yang dibangun oleh pemerintah. Sebuah kelompokpengguna air membentuk organisasi informal di desauntuk mengelola penyaluran air serta merawat pipa.Di tahun 2000, dampak susulan krisis ekonomiterlipatgandakan dengan kekeringan yang melandapersawahan. Masyarakat menduga bahwa peristiwakekeringan ini ada kaitannya dengan pohon-pohonpinus yang ditanam di perbukitan di atas sawahmereka. Seorang warga desa mengatakan bahwamasalah utamanya adalah air dan masalah keduaadalah ketidaknyamanan pesanggem bekerja di lahanyang dikuasai Perhutani. Mereka tidak ingin menanampinus, mereka ingin menanam pohon lain, misalnya,sengon, pohon yang mereka tanam di tanah milik.

Masyarakat memperkirakan bahwa saat ini sekira250 hektare dari lahan di desa ditumbuhi hutan,tetapi tiga dusun (Kumiwang, Selomanik, danTuwang) tidak lagi memiliki hutan. Banyak pemudadesa yang aktif mengelola sumber daya di desanya.Mereka merasa lahan hutan yang luas tidakdimanfaatkan dengan baik.

27B A G I A N I I I : P E R A L I H A N P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A D I K A B U P A T E N W O N O S O B O

Tim Multipihak. Proses perubahan sistem lama pengelolaan hutan berevolusi dengan lambatmenuju pembaruan. Perubahan bermula pada masyarakat sebelum akhirnya berdampak padabentang alam. Nilai utama sebuah pertemuan adalah pencapaian pemahaman bersama, sekalipunjika kesepakatan muncul dengan lambat.

Peluang dan PerhatianPemerintah Daerah

Sebagian hutan negara di Wonosobo kini menjadilahan kosong karena sejauh ini tidak ada reboisasi.Sesudah reformasi, penjarahan hutan, danmelemahnya wibawa Perhutani atas lahan hutannegara, banyak lahan yang kini berakses terbuka. Dilain pihak, hutan rakyat—di sekitar hutan negara yanggundul itu—tetap terjaga kelestariannya dan menjadi‘benteng terakhir’ pencegah erosi dan tanah longsorbagi pemukiman.

Bupati dan DPRD Wonosobo membawahi 16kecamatan yang mencakup 263 desa.53 Mengingat70% penduduk menggantungkan kehidupannya padalahan hutan, penjarahan dan sengketa tata guna lahanmenjadi masalah yang sangat diperhatikan olehpemerintah daerah. Hutan yang dijarah sejak 1998sampai 2000 diperkirakan antara 2.30054 sampai5.00055 hektare.

Undang-Undang Pemerintahan Daerah yangdiberlakukan tahun 1999 memberikan semangatpolitis baru bagi Pemerintah Daerah (Pemda)Kabupaten Wonosobo untuk mengambil langkahproaktif dalam menyelesaikan masalah pengelolaansumber daya. Peluang ini, ditambah dengan besarnyapendapatan dari industri kayu hutan rakyat yangmasuk ke kas daerah, mendorong DPRD Wonosobountuk mencari jalan agar dapat membantu masyarakatdalam pengelolaan hutan.

DPRD Wonosobo terdiriatas 5 komisi, dan salah satudi antaranya, komisi B,mengurusi bidang ekonomidan kesejahteraan, termasukdi dalamnya mengenailingkungan dan sumber dayahutan. Komisi tersebutdipimpin oleh Krustantoketika masalah desentralisasipengelolaan hutan mulaidibicarakan. Ia merasa bahwadengan tingkat kerusakanlingkungan saat ini,Wonosobo memerlukan carabaru untuk mengelola hutan,dan ia melihat bahwa harapanperbaikan terletak padapengelolaan hutan berbasismasyarakat.

Bupati mengepalai badan eksekutif pemerintahandaerah dan berwenang mengesahkah kebijakan yangdiusulkan oleh DPRD. Bupati menyadari bahwapemecahan masalah penjarahan hutan dan sengketatata guna lahan perlu melibatkan berbagai pihak. Iatertarik pada skema pengelolaan alternatif yang dapatmelestarikan hutan sekaligus meningkatkankesejahteraan masyarakat.

Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun)Kabupaten Wonosobo berada di bawah badan eksekutifpemerintah daerah kabupaten dan berinteraksi denganpejabat Perhutani di tingkat KPH. Dishutbunkabupaten juga berkoordinasi dengan dinas kehutananpropinsi yang betanggung jawab pada gubernur.Kepala Dishutbun Kabupaten Wonosobo berpendapatbahwa keterlibatan masyarakat dalam pengelolaanhutan tak terhindarkan karena kuatnya ikatanmasyarakat dengan lahan di sekitarnya.

Berkembangnya Kelompok-KelompokPendukung Masyarakat

Banyak kelompok pendukung masyarakat mulaibergerak sesudah jatuhnya pemerintahan Orde Barupada 1998. Di Wonosobo, banyak pihak membantuKabupaten Wonosobo dalam berurusan denganmasalah lingkungannya.

Dari dunia akademis, Universitas Gadjah Madadi Yogyakarta memberi masukan penting dalam dialog

28 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

mengenai penjarahan hutan, sengketa, danpengembangan kebijakan perhutanan. Melalui ForumKomunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), banyakakademisi dari Yogyakarta memberikan masukantentang penerapan otonomi daerah di berbagai sektor,dasar hukum pengelolaan hutan, serta berbagai contohkeberhasilan pengelolaan hutan berbasis masyarakatdi berbagai negara.

FKKM-Jawa Tengah melihat Wonosobo sebagaikabupaten yang strategis untuk, bersama masyarakatdan pemerintah daerah, mengeksplorasi peluangimplementasi pengelolaan hutan berbasismasyarakat. Pemda berpotensi untuk tertarik padapengelolaan hutan berbasis masyarakat karenakontribusi sektor perhutanan pada pendapatandaerah sebagian besar berasal dari industripemrosesan kayu yang menggunakan bahan bakukayu dari hutan rakyat. Sementara teknik pengelolaanlahan yang dipraktikkan berbagai kelompokmasyarakat di Wonosobo dapat menjadi contohpengelolaan hutan berbasis masyarakat.

Lembaga swadaya masyarakat lingkungan yangmembantu proses di Wonosobo sebagian besarberiorientasi pada pengelolaan sumber daya alamberbasis masyarakat dan kebanyakan di antara merekapunya jaringan kerja dengan banyak LSM diIndonesia dan di luar negeri. Lembaga ARuPA(Aliansi Relawan untuk Penyelamatan Alam) adalahsebuah kelompok yang beranggotakan sekitar 20orang, sebagian besarnya adalah lulusan FakultasKehutanan dan fakultas lain di Universitas GadjahMada.

ARuPA terlibat dalam penelitian sosial dan teknisperhutanan sebagai bagian dari usaha advokasipembaruan sektor perhutanan di Jawa. Koling adalahLSM berbasis di Wonosobo yang membantumasyarakat pedesaan dalam mengembangkanteknologi alternatif untuk peningkatan kesejahteraan.LSM lain yang ikut mendukung advokasi kebijakandi Wonosobo adalah HuMA, Jaringan KerjaPendamping Masyarakat ( JKPM), WahanaLingkungan Hidup (WALHI), Pusat Kajian HutanRakyat (PKHR), dan Forest Watch Indonesia (FWI).

Media memainkan peran penting dalammenumbuhkan diskusi mengenai pengelolaan hutanberbasis masyarakat. Sebuah acara dialog interaktifyang dipancarkan dari radio lokal di Wonosobo diisidengan perbincangan bertopik perhutanan. Siaranini membantu proses dengar pendapat mengenaimasalah penjarahan hutan dan sengketa tata guna

Pergulatan Dialog Multi Pihak

Banyak pihak yang ikut merasa prihatin denganmasalah penjarahan hutan dan sengketa tata gunalahan di Kabupaten Wonosobo. Masyarakat prihatinkarena hal tersebut berdampak pada kehidupanmereka sehari-hari. Perhutani juga prihatin karenapenjarahan serta sengketa menurunkan produksi danpendapatannya. Organisasi pendukung masyarakatdan LSM lingkungan juga merasa prihatin denganparahnya kerusakan yang ditimbulkan oleh penjarahandan kemiskinan yang terjadi di sekitar hutan. Untukmengakomodasi berbagai kelompok yang memilikikesamaan kepentingan dalam penghentian penjarahanhutan dan sengketa tata guna lahan, Pemda Wonosobomenyediakan wadah untuk memulai dialog.

Proses dialog bukanlah suatu perjalanan mulusdan mudah. Walaupun kepentingan bersama berhasildirumuskan, berbagai pihak punya strateginya sendiri-sendiri yang dianggap lebih baik untuk menyelesaikanmasalah. Bagian tulisan ini menggambarkanpergulatan berbagai pihak dalam menghadapi masalahpengelolaan hutan di Wonosobo.

Forum Multipihak Wonosobo danPerda Pengelolaan Sumber Daya HutanBerbasis Masyarakat (Perda PSDHBM)

Proses multipihak di Wonosobo membukabeberapa wacana mengenai pengelolaan hutan dandesentralisasi. Proses ini dimulai awal 2000, beberapabulan setelah diberlakukannya Undang-UndangKehutanan dan Undang-Undang PemerintahanDaerah. Kegiatan dalam proses ini difasilitasi olehFKKM-Jawa Tengah melalui ARuPA dan Kolingbersama DPRD (Lihat Gambar 1. Kronologi danProses Dialog mengenai Pengelolaan HutanWonosobo, 2001-2003).

Sebuah pertemuan multipihak untuk lebih lanjutmembicarakan desentralisasi dan pengelolaan hutandiadakan pada Agustus 2000. Peserta pertemuan

lahan.56 ARuPA, bekerja sama dengan DfID,memproduksi dua film, masing-masing dalam bahasaIndonesia dan Inggris, mengenai pengelolaan hutanberbasis masyarakat. Berita terbaru disebarluaskanke desa-desa melalui pertukaran informasi denganSerikat Petani Kedu—Banyumas (SEPKUBA),sebuah jaringan kerja petani yang aktif di Wonosobo.

29B A G I A N I I I : P E R A L I H A N P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A D I K A B U P A T E N W O N O S O B O

GAMB

AR 1

. Kron

ologi

dan

Prose

s Dialog m

engena

i Pengelolaan

Hutan

Won

osobo

, 200

1-20

03

30 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

sebanyak 250 orang berasal dari kalanganpemerintahan daerah, Perum Perhutani, akademisi,wartawan, LSM, tokoh masyarakat, dan organisasipetani. Selama pertemuan itu dicapai kesepakatanbahwa diperlukan sebuah forum untuk membicarakanpengelolaan hutan kabupaten dan caramengakomodasi berbagai kepentingan masing-masingpengguna hutan. Sebuah kelompok kerja yang terdiriatas anggota DPRD dan LSM dibentuk untukmengawali penulisan naskah awal kebijakan daerah.Untuk memfasilitasi proses penulisan naskah awal ini,kelompok kerja tersebut mengadakan serangkaiankonsultasi dengan berbagai pihak pada beberapabulan selanjutnya. Rangkaian konsultasi ini berpuncakpada konsultasi publik di bulan Januari 2001 yangdihadiri oleh petani hutan, pemerintah daerah, stafdinas kehutanan, wartawan, LSM, dan akademisiperhutanan. Selama pertemuan ini, kebijakan-kebijakan nasional dan daerah dibicarakan danberbagai pandangan disampaikan untuk merumuskandasar hukum bagi pengelolaan hutan daerah. Pada saatyang sama disampaikan pula bagaimana prosedur dansistematika otonomi daerah di berbagai bidang sertadipresentasikan pula bukti-bukti keberhasilanpengelolaan hutan berbasis masyarakat dari berbagainegara lain. Sebagai hasil pertemuan ini, sebuahkesepakatan dicapai untuk membentuk tim ad hocuntuk mendokumentasikan keluasan penjarahan hutandan pendudukan lahan di kabupaten Wonosobo sertamenyempurnakan naskah rancangan kebijakan.

Di bulan Februari 2001, DPRDmenyelenggarakan dengar pendapat terbuka (publichearing) untuk melanjutkan pembicaraan mengenaipengelolaan hutan dan pemecahan masalahnya. Bupatimeresmikan proses multipihak ini denganmengeluarkan surat keputusan mengenaipembentukan sebuah forum untuk menanganimasalah penjarahan hutan dan konflik tata guna lahan(Surat Keputusan Bupati nomor 522/200/2001).Wadah bernama Forum Koordinasi PenangananPenjarahan dan Penataan Hutan (FKPPPH) ini berisiperwakilan dari pemerintah daerah, DPRD, PerumPerhutani, Dishutbun Wonosobo, kejaksaan,kepolisian, kelompok pengguna hutan, tokohmasyarakat, LSM, dan media.

Selama pertemuan-pertemuan multipihak ini,para fasilitator selalu menekankan bahwa masing-masing pihak memiliki kesetaraan dalammenyampaikan pemikirannya. Pada awalnya amatsukar untuk menanggalkan kebiasaan pertemuan yang

diselenggarakan oleh pemerintah. Pertemuan sepertiini, biasanya, dipimpin seorang pejabat tinggi danstaf muda hanya diam saja atau bersetuju denganpendapat atasannya. Melewati berbagai pertemuanselanjutnya, dinamika pertemuan kemudian berubah.Fasilitator pertemuan kadang dipegang oleh WakilBupati, Kepala Dishutbun, atau bahkan perwakilandari LSM. Pertemuan mulai dihadiri lebih banyakpeserta dari luar FKPPPH. Dengan semakingencarnya pertukaran pandangan, semakin baik pulapemahaman di antara para pihak. Hal inimenghasilkan pengembangan strategi yang lebihkreatif dalam menghadapi berbagai keprihatinan danmasalah.

Setelah tujuh bulan berdiskusi dengan intensif,salah satu rekomendasi FKPPPH adalah pemberlakuanjeda lingkungan (penghentian semua kegiataneksploitasi hutan) di 40 desa dalam 6 kecamatan diWonosobo selama enam bulan, mulai Maret sampaiSeptember 2001. Rekomendasi lain dari pertemuanFKPPPH adalah pengembangan program resolusisengketa. Perwakilan dari Perum Perhutani sangatberkeberatan dengan keputusan ini dan kemudiankeluar dari FKPPPH pada awal 2001. Karena haltersebut, FKPPPH mengganti namanya menjadi TimMultipihak Wonosobo dengan anggota yang masihsama, kecuali Perhutani.

Selama masa jeda lingkungan dilakukan perbaikanterhadap naskah kebijakan sehingga isinya semakinmendekati bentuk rancangan peraturan daerahkabupaten yang mendukung masyarakat dalampengelolaan hutan. Sebuah kelompok kerja yangbertanggung jawab atas proses penulisan rancangannaskah hukum (legal drafting) mengunjungi lebih dari30 desa untuk mendapatkan komentar dan ide segardari lapangan. Setelah membahas delapan naskahrancangan peraturan daerah dalam konsultasi publik,Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo tentangPengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat(Perda PSDHBM) disahkan oleh DPRD padaSeptember 2001, dan ditandatangani oleh Bupatipada bulan berikutnya.

Pedoman pelaksanaan Perda PSDHBM kemudiandirancang pada tiga bulan pertama 2002. Dalamproses penulisan rancangan pedoman pelaksanaan ini,Tim Multipihak Wonosobo berkunjung ke Jakartauntuk bertemu dengan Departemen Dalam Negeridan Komisi III DPRD untuk mendapatkan umpanbalik (feed back) mengenai perda baru ini. Kedua pihakyang ditemui tidak berkeberatan dan memberikan

31B A G I A N I I I : P E R A L I H A N P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A D I K A B U P A T E N W O N O S O B O

tanggapan positif atas tujuan yang hendak dicapaimelalui kebijakan baru tersebut. Penegasan yang samadidapatkan dalam dialog kebijakan di Wisma PKBI,Jakarta, bulan Maret 2002. Pertemuan ini mendorongpemerintah daerah agar segera memulai penerapanPerda PSDHBM. Untuk menguji proses yang telahdirinci dalam pedoman pelaksanaan, Tim MultipihakWonosobo memutuskan untuk menyelenggarakanprogram percontohan perencanaan masyarakat(community planning) di beberapa desa terpilih.

Tim Multipihak Wonosobo beranggapan bahwapada saat itu Perda PSDHBM sedang dalam prosesmendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat. Taklama kemudian, di tengah pelaksanaan kegiatanperencanaan masyarakat, Perhutani dan DepartemenKehutanan dan Perkebunan mulai menyampaikankekhawatiran dan keberatannya terhadap PerdaPSDHBM.

Upaya Lanjutan Perum Perhutanidan Pengelolaan Hutan BersamaMasyarakat (PHBM)

Forum multipihak yang menghasilkan PerdaPSDHBM ini telah ditinggalkan Perhutani sejak awal2001. Merasa berada di luar, Perhutani mencari caralain untuk mempengaruhi proses ini denganmengajukan pembatalan Perda PSDHBM kepadapemerintah pusat.

Pada Juli 2002, Menteri Kehutanan danPerkebunan Muhammad Prakosa mengundang TimMultipihak Wonosobo untuk bertemu di Jakarta.Dalam pertemuan tersebut, ia menyatakan bahwaPerda PSDHBM belum dipelajari oleh DepartemenKehutanan dan Perkebunan. Ia juga menyadari adanyaperselisihan pendapat antara Tim MultipihakWonosobo dengan Perhutani, untuk itu ia menunjukIr. Triyono, Direktur Bina Usaha Perhutanan Rakyatdari Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan danPerhutanan Sosial (Ditjen RLPS), sebagai penengah(mediator) kedua belah pihak. Selama dua bulanberikutnya, Ir. Triyono beberapa kali memfasilitasipenyusunan rencana jalan tengah yang dapatdisepakati Pemda Wonosobo dan Perhutani.

Usaha ini gagal karena dianggap mementahkankembali kesepakatan yang pernah dicapai sebelumnya.Kesepakatan yang dimentahkan itu, misalnya, pada21 Agustus 2002, para pihak telah bertemu untukmenyusun naskah nota kesepakatan tentangberjalannya kedua program sebagai uji coba,

PSDHBM berdasarkan Perda 22/2001 dan PHBMPerhutani, masing-masing di 30 desa. Seminggusesudah pertemuan ini, Perhutani mengirimkansebuah naskah yang berbeda dengan apa yang telahdisepakati. Pada awal Oktober, Pemerintah PropinsiJawa Tengah ditunjuk untuk menengahi upaya-upayapencapaian kesepakatan. Mediasi yang dilakukanPemerintah Propinsi Jawa Tengah ini berhenti padasaat Bupati Wonosobo menerima surat dari SekretarisJenderal Departemen Dalam Negeri S. Nurbaya yangmeminta agar Bupati Wonosobo menghentikanpelaksanaan Perda PSDHBM dan mengusulkan prosespencabutan kepada DPRD (Tabel 8. DialogSepanjang 2002).

Sementara itu, Perhutani mulai memantapkankerangka kerja pengelolaan PHBMnya. Tawaran utamadalam PHBM ialah pengenalan bagi hasil produksikayu antara masyarakat dengan perhutani. Dalamsistem PHBM, masyarakat mendapat 25% harga dasarpenjualan kayu sebagai upah mereka menjaga hutanselama daur. Sistem ini juga menegaskan peranPerhutani sebagai pemegang kewenangan yangmenentukan jenis tanaman yang boleh ditanammasyarakat di lahan hutan negara (Tabel 9.Perbandingan antara PHBM Perhutani dan PerdaPSDHBM Wonosobo). Skema PHBM ditawarkansebagai pengganti skema Perda PSDHBM diWonosobo. Langkah Perhutani ini berbarengandengan prakarsa Departemen Kehutanan danPerkebunan untuk menciptakan program nasionalhutan kemasyarakatan yang mirip dengan PHBM.

Percontohan Perencanaan Masyarakatdalam Kerangka PSDHBM

Sebelum terjadinya ketidakpastian status PerdaPSDHBM yang mengemuka pada 2002, TimMultipihak Wonosobo berkunjung ke Desa GunungTugel dan Bogoran untuk meninjau hutan rakyat danlahan hutan negara yang mengalami kerusakan.Masyarakat juga menyampaikan bahwa merekamengetahui adanya penebangan liar di kawasan hutannegara, tetapi mereka tidak berbuat apa-apa untukmenghentikannya karena mereka merasa tidakmemiliki kekuatan untuk itu.

Selama kunjungan ini, Bogoran dan Gunung Tugelmenjadi desa yang strategis untuk mengawali uji cobadan mengembangkan penerapan pengelolaan hutanberbasis masyarakat. Dalam pandangan Pemda, desa-desa tersebut dapat menjadi jendela untuk melihat

32 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

TABEL 8. Kronologi Dialog Sepanjang 2002HasilTanggal

26 Februari200226 Februari2002

5 Maret20023 Juli2002

6 Juli2002

Agenda TempatTim Multipihak Wonosobo berkonsultasi denganDewan Perwakilan Rakyat (DPR).Tim Multipihak Wonosbo berkonsultasi denganDepartemen Dalam Negeri.

Dialog Kebijakan tentang Pengelolaan HutanBerbasis Masyarakat.Tim Multipihak Wonosobo beraudiensi denganMenteri Kehutanan dan Perkebunan.

Ir. Triyono bertemu dengan Pemda Wonosobo,DPRD, perwakilan petani, dan beberapa LSM.

Gedung DPR, Jakarta.

Departemen DalamNegeri, Jakarta.

Wisma PKBI, Jakarta.

Departemen Kehutanandan Perkebunan, Jakarta.

Aula Kantor Bupati.

DPR tidak punya keberatan apapun terhadap PerdaPSDHBM.Departemen Dalam Negeri menyatakan bahwaPSDHBM Wonosobo adalah langkah positif menujuotonomi daerah.Dukungan penuh terhadap PSDHBM dan harapanagar segera diterapkan.Menteri akan mempelajari Perda PSDHBM danmenunjuk Ir. Triyono sebagai mediator antaraPerhutani dan Pemda Wonosobo.Ir. Triyono memahami PSDHBM.

Juli– Agustus2002

10 Agustus200221 Agustus2002

27 Agustus2002

2 September2002

14 September2002

3 Oktober2002

17 Oktober2002

24 Oktober2002

30 Oktober2002November200225 November200226 November2002

Tim Multipihak Wonosobo.

Ir. Triyono memfasilitasi pertemuan antara TimMultipihak Wonosobo dengan Perhutani.Ir. Triyono memfasilitasi pertemuan antara TimMultipihak Wonosobo dengan Perhutani.

Tim Multipihak Wonosobo dan Perhutanibertemu untuk menandatangani NotaKesepakatan.

Waktu penandatanganan Nota Kesepakatan olehTim Multipihak Wonosobo dan Perhutani yangdiputuskan dalam pertemuan sebelumnya.Menteri Kehutanan dan Perkebunanmengirimkan surat rekomendasi pembatalanPerda No. 22/2001 kepada Departemen DalamNegeri (Surat No: 1665/Menhut-II/2003).Tim Multipihak Wonosobo bertemu Perhutani.

Pemda Propinsi Jawa Tengah memfasilitasipertemuan antara Tim Multipihak Wonosobodengan Perhutani.Departemen Dalam Negeri mengirimkan suratkepada Bupati Wonosobo untuk menghentikanpelaksanaan Perda dan selanjutnyamengusulkan proses pencabutan kepada DPRD(Surat Nomor: 188.342/2434/SJ).Perhutani menemui Tim Multipihak Wonosobo.

Bupati Wonosobo menerima surat dariDepartemen Dalam Negeri.Tim Multipihak Wonosobo.

Tim Multipihak Wonosobo bertemu Perhutaniuntuk menandatangani Nota Kesepakatan.

Pendopo KabupatenWonosobo.

Pendopo KabupatenWonosobo.Hotel Radisson,Yogyakarta.

Departemen Kehutanandan Perkebunan, Jakarta.

Pendopo KabupatenWonosobo.

Hotel Indonesia (HI),Jakarta.

Hotel Rawa PeningBandungan,Semarang,Jawa Tengah.

Pendopo KabupatenWonosobo.

Kantor Wakil BupatiWonosobo.Baturraden,Banyumas,Jawa Tengah.

Naskah Pedoman Pelaksanaan PSDHBM selesaidikerjakan sebagai petunjuk pelaksanaan danpetunjuk teknis perda.Ir. Triyono menyampaikan rencana pengelolaan ‘jalantengah’.Pemerintah Daerah Wonosobo dan Perhutanibersepakat untuk melaksanakan uji coba PSDHBMdan PHBM masing-masing di 30 desa, sebagaimanatertuang dalam naskah Nota Kesepakatan.- Perhutani membawa naskah Nota Kesepakatan yang berbeda dengan naskah yang telah disepakati dalam pertemuan sebelumnya.- Penandatanganan ditunda.- Perhutani membatalkan kehadirannya.- Penandatanganan Nota Kesepakatan batal.

Merevisi kesepakatan Hotel Radisson:- Tidak menyebutkan istilah PSDHBM.- Sepakat menggunakan istilah Pengelolaan Sumber Daya Hutan (PSDH).- Tim Multipihak Wonosobo mengusulkan agar Pemda Wonosobo mengembangkan konsep naskah PSDH.Rancangan naskah Kesepakatan PSDH Wonosobo.

Pemda Wonosobo dan Perhutani bersepakat tentangkonsep baru PSDH di Wonosobo.Tim Multipihak Wonosobo memutuskan untukmembaca ulang situasi terkini.Tim bersepakat untuk mempertahankan kesepakatanRadisson (uji coba PSDHBM di 30 desa).Tidak tercapai kesepakatan karena adanyaperbedaan pandangan mengenai kewenangan danaspek teknis reboisasi.

33B A G I A N I I I : P E R A L I H A N P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A D I K A B U P A T E N W O N O S O B O

Unsur Kebijakan

TABEL 9. Perbandingan antara Kebijakan PHBM Perhutani dengan PSDHBM Pemda WonosoboPHBM Perhutani PSDHBM Pemda Wonosobo

gerakan yang terjadi di wilayah lain. Kedua desa initerletak di kecamatan yang berbeda dan punya potensiuntuk menjadi tempat belajar bagi desa-desa disekitarnya pada saat masyarakat mulai memilikipemahaman mendalam mengenai Perda PSDHBMdan persoalan-pesoalan yang berkaitan dengan perdatersebut.

Perda PSDHBM menyatakan bahwa kelompokmasyarakat dapat mengajukan izin PSDHBM untukmenggarap lahan hutan negara dengan menyertakanpeta lokasi, luas blok hutan negara yang akan dikelola,data anggota kelompok penggarap, rencana umumpengelolaan, dan aturan internal kelompok (Kotak 4.Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo tentangPengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat[Perda 22/2001]). Naskah awal pedoman pelaksanaanPSDHBM lebih lanjut menyebutkan bahwakelompok yang terdiri atas sekurang-kurangnya 20anggota dapat diberikan izin pengelolaan di lahanseluas 10—15 hektare. Anggota kelompok haruslahpetani yang tinggal di dalam atau di sekitar hutan.Prioritas diberikan kepada petani yang kepemilikanlahannya di bawah 0,3 hektare.

Sebagai uji coba pelaksanaan proses sesuai denganpedoman pelaksanaan PSDHBM itu, pada bulan April2002, Tim Multipihak Wonosobo memutuskan untukmelaksanakan perencanaan masyarakat (communityplanning) di dua desa percontohan—Bogoran danGunung Tugel. Kegiatan ini bertujuan untuk:1. meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai

Perda 22/2001 tentang PSDHBM,2. membantu pemda mengenali persoalan-persoalan

di lapangan,3. meningkatkan kapasitas masyarakat dalam

mengelola permasalahan yang dihadapi dalampengelolaan sumber daya di lahan negara.

Perlu diingat bahwa selama masa uji coba tersebut,Perhutani telah keluar dari Tim Multipihak Wonosobodan mulai melobi pemerintah pusat untuk mencabutPerda PSDHBM. Pada masa ini, Perhutani juga seringmelakukan penyuluhan ke desa-desa. Ketika prosesperencanaan PSDHBM sedang dilatihkan bersamamasyarakat, Perhutani setempat juga melakukanpenyuluhan pada masyarakat di desa yang sama.Penyuluhan Perhutani berisi pengenalan program baru

Lokasi prioritas

Pengakuan terhadapOrganisasi Masyarakat

Peran Masyarakat

Sistem Pendukung

Proses Perencanaan

PenandatangananPerjanjianMasa Pengelolaan

Bagi Hasil

Lahan kosong di kawasan hutan negara.

Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang sudahdisahkan oleh notaris.

Masyarakat adalah salah satu pihak dalam kerjasamapengelolaan hutan.Perhutani menyediakan bibit, alat-alat, dan pupuk.

· Direksi Perhutani (di Jakarta) menetapkan rencana pengusahaan jangka menengah (5-8 tahun) yang berlaku bagi seluruh wilayah kelola Perhutani di Jawa.· KPH membuat rencana pengelolaan tahunan berdasarkan rencana pengusahaan jangka menengah.· KPH menetapkan rencana teknis dan menyampaikannya pada masyarakat hal-hal yang berkaitan dengan jenis tanaman pokok, jarak tanam, dan lain-lain.Masyarakat (diwakili oleh LMDH) dengan Perhutani (diwakilioleh Administratur KPH).2 tahun berdasarkan kesepakatan resmi dan dapatdiperpanjang setiap tahun sampai 10 tahun denganpernjanjian tak resmi.25% masyarakat 75% Perhutani

Lahan kosong di kawasan hutan negara yang sudah digarapoleh masyarakat.· Kelompok pengguna hutan yang telah memiliki rencana pengelolaan.· Kelompok masyarakat yang diorganisasi di berbagai lingkup, misalnya dalam blok, dusun atau desa.Masyarakat adalah pelaku utama pengelolaan hutan.

Dishutbun kabupaten menyediakan pendampingan danbantuan anggaran selama proses perencanaan.· Masyarakat menyusun rencana pengelolaan.· Forum Hutan Wonosobo mengkaji rencana pengelolaan dan mengusulkan perbaikan melalui diskusi dengan masyarakat di lapangan.· Bupati menyetujui rencana pengelolaan berdasarkan rekomendasi dari Forum Hutan Wonosobo dan Dishutbun Kabupaten.

Masyarakat (diwakili oleh kelompok pengguna hutan)dengan pemerintah kabupaten (diwakili oleh bupati).30 tahun dengan masa percobaan 6 tahun (diatur denganperjanjian resmi).

Berdasarkan hasil perhitungan kontribusi masing-masingpihak dalam proses produksi.

34 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

KOTAK 4. Peraturan Daerah Kabupaten Wonosobo tentang Pengelolaan Sumber daya HutanBerbasis Masyarakat (Perda Kabupaten Wonosobo nomor 22 Tahun 2001)

Penyelenggaraan pengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat (PSDHBM) didasarkan pada asas-asas sebagai berikut(pasal 2):

1. Kelestarian fungsi hutan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan,2. Kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan,3. Pengelolaan sumber daya alam yang demokratis yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama,4. Keadilan sosial dengan mengutamakan masyarakat setempat, kesamaan peluang mendapatkan manfaat,5. Akuntabilitas publik dan kompensasi atas jasa-jasa lingkungan,6. Kepastian hukum dengan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat setempat.

Perda 22/2001 dapat diterapkan di seluruh kawasan hutan negara dalam wilayah administratif Kabupaten Wonosobo. Tata carapengelolaan sumber daya hutan berbasis masyarakat adalah sebagai berikut:1. Penetapan lokasi (Pasal 5—8): Daerah yang potensial untuk PSDHBM ditentukan melalui kegiatan inventarisasi dan identifikasi

kawasan hutan negara yang dilakukan oleh pemerintah daerah, Forum Hutan Wonosobo, bersama masyarakat desa. Kegiataninventarisasi termasuk menentukan status kawasan hutan berdasarkan fungsi hutan yang disesuaikan dengan kondisi fisiklahan. Masyarakat desa dapat mengajukan permohonan izin PSDHBM di lahan yang telah dinyatakan sesuai kepada Bupatimelalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun).

2. Penyiapan dan Perencanaan Masyarakat (Pasal 9—13): Pemerintah Daerah merumuskan kriteria dan standar kemampuanmasyarakat setempat dengan memperhatikan masukan dari masyarakat dan pihak-pihak terkait lainnya melalui “Forum HutanWonosobo”. Kelompok masyarakat yang dianggap berpotensi mendapatkan izin PSDHBM melaksanakan penyiapan masyarakatdengan bantuan Dishutbun atau LSM. Kegiatan penyiapan masyarakat yang meliputi tahap pemetaan partisipatif dengantujuan untuk:a. menyusun profil masyarakat dan mengembangkan kemampuan kelompok dalam bekerjasama,b. menentukan potensi sumber daya di lokasi tersebut,c. mendokumentasikan kesepakatan aturan internal dan peraturan mengenai pengelolaan hutan yang berkembang di masyarakat,d. menyusun rencana pengelolaan.

3. Proses Perizinan (Pasal 14—16): Permohonan izin PSDHBM diajukan dengan sepengetahuan Kepala Desa dan BadanPerwakilan Desa. Permohonan izin diajukan kepada Bupati melalui Dishutbun. Permohonan izin dilengkapi dengan petalokasi, luas areal pengelolaan, data anggota kelompok masyarakat, aturan internal kelompok yang telah disepakati, danrencana umum pengelolaan. Izin PSDHBM diterbitkan setelah dibuat kesepakatan tertulis antara Pemerintah Daerah, yangdiwakili Kepala Dishutbun, dengan kelompok masyarakat. Kesepakatan tersebut berisi hak dan kewajiban kedua belah pihak.

4. Proses Validasi dan Pengajuan Keberatan (Pasal 17): Rincian izin PSDHBM (peta lokasi, luas areal pengelolaan, serta dataanggota kelompok) diumumkan melalui media massa untuk menampung berbagai keberatan dari kelompok masyarakat lain.Pengajuan keberatan diajukan melalui Kepala Dishutbun. Jika dalam jangka waktu tiga bulan tidak ada pengajuan keberatan,maka selanjutnya izin PSDHBM mempunyai kekuatan hukum untuk berlaku.

5. Ketentuan mengenai Izin PSDHBM (Pasal 17—18, 21): Izin PSDHBM diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 tahundengan masa percobaan 6 tahun. Izin PSDHBM tidak dapat diagunkan atau dipindahtangankan. Jika anggota kelompokpemegang izin PSDHBM meninggal dunia, maka keanggotaannya beralih kepada ahli waris anggota kelompok tersebutsampai izin PSDHBM tersebut habis masa berlakunya. Izin PSDHBM bukan merupakan pemilikan atas tanah dan kawasanhutan. Pemegang izin dapat memperoleh bantuan dana yang tidak mengikat dari pihak lain.

6. Tanggung Jawab dalam Pengelolaan (Pasal 19—39): Pemegang izin menyelenggarakan kegiatan pengelolaan sebagai berikut:a. Penataan areal kerja—membagi lahan secara partisipatif ke dalam zona perlindungan dan pemanfaatan,b. Penyusunan rencana pengelolaan—terdiri atas rencana umum dan rencana operasional (tahunan),c. Pemanfaatan—kegiatan pemanfaatan sesuai dengan fungsi hutan dan zona pengelolaan,d. Rehabilitasi—penanaman, pengayaan tanaman, pemeliharaan, dan penerapan teknik konservasi tanah,e. Perlindungan—perlindungan hutan dari kebakaran, hama dan penyakit, bencana alam, dan kegiatan manusia yang

merusak.7. Mekanisme Monitoring dan Evaluasi (Pasal 40-45):

a. Pemegang izin PSDHBM melaporkan pengelolaannya kepada Dishutbun,b. Evaluasi partisipatif (tiga kali setahun) difasilitasi pemerintah daerah atau LSM pendamping,c. Evaluasi dari Forum Hutan Wonosobo atau pihak-pihak lain.

8. Ketentuan dan Prosedur Pencabutan Izin (Pasal 46).

35B A G I A N I I I : P E R A L I H A N P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A D I K A B U P A T E N W O N O S O B O

bernama PHBM serta kelemahan-kelemahanPSDHBM. Staf lapangan Perhutani berusahameyakinkan masyarakat bahwa proses perencanaanmasyarakat berikut Perda PSDHBM tidakmendapatkan dukungan pemerintah pusat. Selain itu,disampaikan pula bahwa Program PHBM Perhutaniadalah pilihan yang lebih ‘aman’ dibandingkan skemaPSDHBM. Masyarakat setempat kebingungan dengankehadiran dua program tersebut. Keabsahan PerdaPSDHBM memang masih dalam perdebatan tetapisemua kelompok merasa perdebatan telah usai dantidak ada pembatasan pilihan PHBM atau PSDHBM.

Memberikan Kejelasan danMembangun Tekad

Akibat adanya ketidakpastian status kebijakan,membangun kejelasan dan tekad bersama menjadiprioritas utama ARuPA dan Koling. Tahap pertamaproses perencanaan masyarakat dilaksanakan diBogoran dan Gunung Tugel. Selama lebih dari tujuhbulan (Mei—Desember 2002), ARuPA dan Koling

tinggal di desa-desa tersebut untuk memfasilitasimasyarakat agar mendapatkan kejelasan tentangkonteks dan tujuan PSDHBM. Selain itu, programini juga diharapkan dapat mengenali dan memeliharakesungguhan masyarakat dalam menjalani prosesperencanaan PSDHBM ini. Fasilitasi dilaksanakanmelalui tiga lingkup untuk mendapatkan pemahamanmendalam mengenai berbagai cara pandang yang adadi masyarakat (Lihat Gambar 2. Proses Multipihak diDesa).

• Lingkup blok: Diskusi diselenggarakan di antarapara petani yang menggarap lahan hutan negaradi dalam desa, juga bersama para petani yang tidakmenggarap hutan negara tetapi memanfaatkansumber daya dari sana. Diskusi diselenggarakandalam lingkup blok. Sebuah blok merujuk padapetak hutan dalam sistem pengelolaan Perhutani.Pengalaman bertahun-tahun bekerja di hutannegara membuat masyarakat terbiasa mengenaliwilayah hutan dengan batas-batas petak yangditentukan oleh Perhutani.

GAMBAR 2. Proses Multipihak di Desa

36 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

Membangun Kejelasan. Warga Desa Bogoran mengadakan pertemuan pada suatumalam di tahun 2002 untuk memetakan kawasan hutan negara yang telah merekatanami. Dari pertemuan ini, mereka mengetahui bahwa seluruh lahan hutan negara didesa yang gundul telah mereka tanami. Mereka tahu bahwa hal tersebut tidakdibenarkan oleh hukum yang berlaku, oleh karena itu mereka mencari cara agarmereka mendapatkan bagi hasil yang adil.

• Lingkup dusun: Diskusi melibatkan petani dalamsatu dusun yang menggarap lahan negara, petaniyang tidak menggarap lahan negara, beserta paraperangkat dusun tersebut.

• Lingkup desa: diskusi melibatkan para petaniseluruh desa yang menggarap lahan negara, petaniyang tidak menggarap lahan negara, serta tokohmasyarakat. Kepala desa tidak dilibatkan karenadianggap mewakili birokrasi yang harusmenunggu izin resmi Perda PSDHBM daripemerintah pusat. Walaupun demikian, parakepala desa tersebut menyatakan dukungannyaterhadap kegiatan yang berkaitan denganPSDHBM, sekalipun itu hanyalah dukungan takresmi.

Perwakilan masyarakat yang ikut dalam diskusidi Bogoran dan Gunung Tugel mencakup, baikpemimpin formal (perangkat desa) maupun pemimpininformal (pemimpin agama, pemuda, atauperempuan). Para tokoh kunci inidipilih karena, setelah diamati dalampertemuan-pertemuan di desa ataudusun, pendapat mereka dihargaioleh masyarakat. Beberapapemimpin masyarakat ini memilikipengaruh di lingkup desa, danbeberapa di antaranya punyapengaruh di lingkup dusun.

Ibu-ibu yang aktif dalamprogram Peningkatan KesejahteraanKeluarga (PKK) juga terlibat dalampertemuan-pertemuan ini. Lebihdari mengurusi proyek-proyekpembinaan seperti bimbingan teknismemasak dan perawatan anak,pertemuan PKK juga juga menjadiajang perbincangan lanjutanmengenai peran perempuan dalampengelolaan hutan masyarakatkarena hal tersebut berkaitan dengantanggung jawab di rumah tangga.

Membangun kejelasan dan tekad bersama antarberbagai pihak memerlukan waktu yang cukuppanjang. Masyarakat tidak terbiasa dengan prosesdiskusi partisipatif. Untuk itu, fasilitator (ARuPA danKoling) harus membangun kepercayaan masyarakatterlebih dahulu. Untuk mendapatkan kepercayaan danmenjamin partisipasi maksimal dari anggota

masyarakat, berbagai strategi dikembangkan, sejalandengan semakin akrabnya para fasilitator ini denganpola kehidupan di desa.• Wawancara awal: Sebelum diadakannya pertemuan

kelompok, fasilitator melakukan wawancara informaldengan beberapa orang di desa untuk merabapandangan yang berkembang di masyarakat. Halini membantu fasilitator memahami kondisi umumkehidupan masyarakat setempat dan informasi yangdidapatkan menjadi masukan dalam merancangpertemuan kelompok yang produktif.

• Membangun kepercayaan masyarakat denganfasilitator: Para fasilitator memperkenalkan diri disetiap awal pertemuan. Untuk ‘memantik’kepercayaan dari peserta, perkenalan dilakukandengan terinci dan dilanjutkan dengan tanya jawab.

• Penggunaan bahasa daerah: Bahasa Jawa dipakaiselama diskusi berlangsung. Bahasa Indonesia dapatdipahami, tetapi masyarakat jarangmenggunakannya dalam percakapan sehari-hari.

• Pertemuan dilakukan malam hari: Pertemuan yangdiadakan siang hari terbukti kurang produktifdibandingkan pertemuan malam. Pada pertemuansiang hari, beberapa peserta tidak bisa mengikutisampai selesai karena banyak pekerjaan yang harusdilakukan. Warga desa punya waktu luang lebihbanyak di malam hari.

37B A G I A N I I I : P E R A L I H A N P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A D I K A B U P A T E N W O N O S O B O

• Memilih bentuk pertemuan yang kondusif: Fasilitatormemilih bentuk pertemuan yang membuatmasyarakat dapat menyampaikan pendapatnyadengan lugas. Pertemuan biasanya diselenggarakandi rumah salah satu warga desa. Kadang-kadangfasilitator mengubah tata cara pertemuan untukmenghasilkan pertemuan yang lebih produktif.

• Merangkum topik yang relevan: Fasilitator selaluberusaha mengarahkan pembicaraan sedemikianrupa sehingga kebutuhan dan uneg-uneg masyarakatdiangkat dan dibahas dalam kelompok.

Perencanaan masyarakat menjadi ajang yang efektifuntuk membangun kepercayaan dan keberanianmasyarakat untuk lebih jauh terlibat, selain itu, jugamenjadi ajang untuk mengangkat berbagai masalahpengelolaan, kebutuhan, dan peluang. Pada awalnya,warga desa tidak sepenuhnya mempercayaikesungguhan DPRD untuk menerapkan PSDHBM.Melalui beberapa kali diskusi multipihak di ruangrapat DPRD, akhirnya masyarakat dapat diyakinkanbahwa pemerintah daerah bertekad menerapkan PerdaPSDHBM di lapangan. Pertemuan ini juga membuatmasyarakat tidak ragu mendatangi para wakil rakyatuntuk mendapatkan kejelasan mengenai sesuatumasalah.

Kunjungan anggota DPRD ke desa-desamembantu melancarkan komunikasi antarapemerintah daerah dengan masyarakat. Masyarakatmerasa semakin berani menanyakan hal-hal rincitentang kebijakan pengelolaan hutan. Beberapamasalah berikut mengemuka selama dilakukannyakunjungan tersebut:• Di Desa Bogoran, masyarakat menyampaikan

bahwa mereka telah menanami seluruh lahan hutannegara yang masuk dalam wilayah desa. Merekasadar bahwa hal tersebut melanggar aturan. Keadaaninilah yang membuat mereka tertarik mencari jalanuntuk mendapatkan pengaturan bagi hasil yang adildan hak kelola dari pemerintah melalui pemerintahdaerah.

• Di Desa Gunung Tugel, masyarakat jugamenyampaikan keadaan tanaman masyarakat dilahan hutan negara. Seorang warga desa melaporkan,“Beberapa orang telah menanami lahan, sebagiannyatidak mau menanam di lahan hutan negara.Sebagiannya lagi menunggu ditandatanganinyakesepakatan sebelum mulai menggarap lahan.”Mereka juga menanyakan apakah peraturan daerahmenyebutkan pedoman bagi hasil.

Pendokumentasian Sistem Pengelolaan

Pendokumentasian sistem pengelolaan adalahtahap selanjutnya dalam proses perencanaanmasyarakat. Setelah tercapainya kejelasan dan tekadbersama sudah terbangun, warga desa Bogoran danGunung Tugel mengatur diri dalam kelompokpengelolaan pada pertengahan 2002. Dalam kelompokini, petani menggambar sketsa areal blok lahan hutannegara yang sedang mereka garap di atas selembarkertas berukuran besar. Karena mereka telah seringbekerja dalam petak-petak yang batasnya ditetapkanoleh Perhutani, batas blok yang mereka buat kuranglebih mengikuti batas petak Perhutani seperti yangtertera dalam peta teknis. Untuk menambah informasipada sketsa peta, para petani itu juga diminta untukmenggambarkan siklus penanaman selama setahunsesuai pranoto mongso (kalender pertanian).

Kesepakatan mengenai rencana pengelolaan hutandikembangkan melalui pertemuan kelompok.Pertemuan awal menetapkan lokasi lahan garapandengan menggambar pada peta yang sudah dibuat.Peta tersebut kini berisi batas lahan garapan masing-masing anggota, kelompok, dan digambari denganjenis-jenis pohon serta kerapatannya. Prosesmenggambar ini dilakukan oleh sebuah tim dandiperiksa oleh anggota kelompok lainnya. Melaluiproses ini tercipta sebuah kesadaran dan kejelasan yanglebih baik.

Di Desa Bogoran, Dusun Bogoran dan Wadasbergabung dalam kegiatan perencanaan. Dusun Kyuni

Sebagian besar waktu digunakan untukmemberikan kejelasan dan memelihara tekad yangtumbuh di antara warga desa. ARuPA dan Koling harusterus-menerus meluruskan meluruskan berbagaiberita-berita dan pandangan yang berbeda mengenaiperaturan daerah dengan informasi terbaru. “LSMceritanya begini, Perhutani lain lagi,” begitulahpendapat masyarakat dalam kebingungannya. Petugaslapangan Perhutani menunjukkan surat dariDepartemen Dalam Negeri kepada masyarakat sambilmengatakan bahwa pemerintah pusat sudahmembatalkan Perda PSDHBM. Pada saat yang samaanggota DPRD dan aktivis LSM mengatakan bahwapenerapan Perda PSDHBM masih menunggupenyempurnaan pedoman pelaksanaan. Klarifikasilebih lanjut atas perbedaan informasi ini masih perlumenuggu beberapa bulan.

38 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

mundur dari proses ini. Pada awalnya, warga Kyunicukup bersemangat mengikuti proses ini. Salahseorang warga Kyuni, berkaitan dengan pengelolaanhutan oleh masyarakat, menyatakan:

“Melakukan perencanaan dalam kelompok danmengikuti aturan kelompok itu mudah selama kitamembentuk sebuah kelompok. Yang sulit adalahmelakukan pengelolaan dalam kelompok, karena selaluada perbedaan antara satu orang dengan yang lainnya.”

Tetapi kemudian, dengan merebaknya kabarmengenai ketidakjelasan status Perda PSDHBM, wargaKyuni memutuskan untuk tidak terlibat proses inisampai perda tersebut diterapkan secara resmi.Kerumitan lain yang dihadapi Kyuni disebabkan olehsebagian warganya yang telah terikat perjanjian denganPerhutani. Baru-baru ini, sebagian warga desa itumendapatkan izin untuk memanfaatkan sebagianlahan hutan negara sebagai lapangan sepak bola.

Dua dusun yang bergabung di Bogoranmembentuk empat kelompok perencanaan. Merekamembagi kelompok tersebut berdasarkan pembagianpetak-petak hutan negara yang letaknya salingberjauhan satu sama lain. Kepala Desa Bogoranmenyatakan dukungannya bagi proses perencanaanini dalam kapasitas pribadinya, tetapi ia engganmemberikan dukungan resmi, menunggu sampaiPerda PSDHBM diakui oleh pemerintah pusat (Peta3. Lahan Hutan Negara yang Dikelola Masyarakat diDesa Bogoran).

Di Gunung Tugel, para petani membentuk limakelompok. Masing-masing dusun menggarap satublok. Salah satu masalah yang mencuat adalahdistribusi lahan. Beberapa petani menguasai petakgarapan yang sangat luas, sementara sebagiannya lagitidak memiliki lahan garapan. Kemudian diketahuibahwa petani yang tidak memiliki lahan garapan dihutan negara seringkali sudah memiliki hutan rakyatdi lahan milik. Melalui proses perencanaan masyarakat,akhirnya anggota kelompok bersepakat untukmemberikan kesempatan kepada warga desa yangbelum memiliki lahan agar bisa mengelola lahan hutannegara dengan memberikan uang kompensasipengganti biaya pengolahan lahan (Peta 4. LahanHutan Negara yang Dikelola Masyarakat di DesaGunung Tugel).

Dua puluh dua desa lainnya menyatakan minatnyauntuk menjalani proses perencanaan masyarakat didesanya masing-masing. Dengan terbatasnya jumlah

fasilitator, sebuah program pelatihan dirancang untukmenyebarluaskan pelajaran yang didapat dari dua desapercontohan. Anggota masyarakat yang terlibat dalamproses perencanaan di Bogoran dan Gunung Tugelbertindak sebagai fasilitator untuk desa-desa lain yangingin menyusun rencana kelola di desanya masing-masing.

Proses menggambar sketsa peta bersama-sama danmelihat hasil gambar wilayah kerja sebuah kelompokmemunculkan beberapa persoalan pengelolaan. Semuamasalah yang memerlukan penyelesaian dalam waktulama dicatat dan ditabulasi untuk pertemuanberikutnya. ARuPA dan Koling menekankan bahwatidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan sekalipertemuan. Ditekankan pula pentingnya menjalanisebuah proses dengan diskusi yang berlanjut terussehingga persoalan-persoalan berat dapat ditanganisecara bertahap. Dalam pertemuan selanjutnya,mereka bersepakat untuk menuntaskan persoalanpengelolaan di wilayah yang mereka garap. Anggotakelompok kemudian bersepakat mengenai jenistanaman dan pola tanam di lahan tersebut. Menjelangakhir pertemuan, sebuah analisis keuangan dibahasuntuk melengkapi rencana pengelolaan.

Menegosiasikan Hak dan Kewajiban

Pedoman pelaksanaan Perda PSDHBMmenyebutkan bahwa hak dan kewajiban setiapanggota kelompok harus dijelaskan dalam sebuahstatuta—berisi ketentuan dan aturan internal—yangdisepakati oleh anggota kelompok yang mengajukanizin PSDHBM. Proses perencanaan masyarakatmembantu masyarakat mendokumentasikan statutamereka. Pada umumnya, statuta berisi tujuankelompok, ketentuan keanggotaan, struktur organisasi,dan kegiatannya. Anggota memiliki hak suara dalammemutuskan aturan dan ketentuan serta dalammenentukan perwakilan mereka. Anggota wajibmematuhi aturan yang telah disepakati, mengikutipertemuan, dan mengelola blok hutan sesuai denganrencana kelola masyarakat. Sanksi bagi mereka yangmelanggar ketentuan disepakati dalam prosesperencanaan masyarakat ini dan dicantumkan dalamaturan internal.

Pada tahap inilah warga desa mulai membicarakanpersoalan bagi hasil antara pemerintah daerahkabupaten dengan desa. Diskusi ini dibantupemahaman masyarakat mengenai maro, sebuah

39B A G I A N I I I : P E R A L I H A N P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A D I K A B U P A T E N W O N O S O B O

PETA 3. Lahan Hutan Negara yang Dikelola Masyarakat di Desa Bogoran

40 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

PETA 4. Lahan Hutan Negara yang Dikelola Masyarakat di Desa Gunung Tugel

41B A G I A N I I I : P E R A L I H A N P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A D I K A B U P A T E N W O N O S O B O

Blok Selomoyo, Desa Gunung TugelBlok Sikemplong, Desa Bogoran

KOTAK 5. Aturan Internal dan Peraturan Setempat mengenai Pengelolaan Hutan, 2002

1. Ketentuan Keanggotaan Anggota adalah petani yang menggarap lahan di kawasan hutan

negara. Anggota bertanggungjawab atas lahan garapannya. Anggota harus mematuhi aturan internal dalam kelompok ini. Anggota membayar iuran sebesar Rp1.000 per tahun.

2. Pengurus Pengurus terdiri atas Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris I, Sekretaris

II, dan Bendahara. Masa kepengurusan selama 1 tahun. Pertemuan pengurus diadakan setiap 3 bulan.

3. Pertemuan Anggota Pertemuan anggota diselenggarakan 6 bulan sekali. Jika diperlukan, dapat diadakan pertemuan istimewa anggota. Pertemuan anggota adalah forum pengambilan keputusan

tertinggi.

4. SanksiAnggota yang tidak hadir dalam pertemuan akan dikenai dendaRp5.000. Bila ketidakhadiran tersebut disebabkan karena sakit,maka ia harus memberitahukan ketua kelompok perihalketidakhadirannya ini. Salah satu anggota keluarga dapat mewakilianggota kelompok yang berhalangan hadir.Jika tanah garapan kosong atau tak terurus, ketua kelompok,dengan sepengetahuan pengurus lainnya, akan memberikanperingatan sebanyak 3 kali. Jika tidak ada perbaikan sesudahperingatan ketiga, tanah garapan akan dipindahtangankan kepadaanggota yang lain.Pola tanam yang baku akan dikeluarkan oleh ketua kelompokdengan sepengetahuan pengurus lainnya. Anggota yang tidakmengikuti aturan pola tanam akan diberi peringatan sebanyak 3kali. Jika tidak ada perubahan sesudah peringatan ketiga,kelompok akan mengubah pola tanam di lahan garapan tersebut.

5. Penyelesaian SengketaSengketa yang tidak dapat diselesaikan antaranggota harusdilaporkan kepada salah satu pengurus. Pengurus akanmemfasilitasi penyelesaian sengketa dan masalah antaranggota.Jika pengurus tidak dapat memfasilitasi penyelesaian sengketa,kasus ini akan dibicarakan dalam pertemuan anggota untukmendapatkan penyelesaiannya.

1. Syarat AnggotaAnggota adalah petani penggarap lahan yangtelah ditentukan di blok hutan negara diDusun Selomoyo.Anggota bisa berasal dari desa lain selamamemiliki kesanggupan mematuhi peraturanyang telah disepakati oleh KelompokSelomoyo.Jika terdapat pengalihan penggarap lahan,kelompok harus diminta persetujuannyamengenai pengalihan ini.

2. Kewajiban Anggota KelompokMematuhi aturan yang telah disepakati.Mengikuti pertemuan kelompok.Mengelola hutan berdasarkan rencanapengelolaan masyarakat.

3. Hak Anggota KelompokBerhak memberikan suara dalam penyusunanaturan kelompok.Berhak memilih pengurus.Berhak mengajukan pertemuan istimewa.

4. SanksiSanksi diterapkan pada anggota yangmelanggar aturan yang telah disepakati.Sanksi diberikan setelah anggota tersebutmendapatkan peringatan sebanyak 3 kali.Kelompok memutuskan bentuk sanksi untukpelanggaran tersebut.

praktik bagi hasil tradisional antara pemilik lahandengan petani penggarap yang menentukan bagi hasilberdasarkan sumbangsih masing-masing pihak dalamproses produksi hasil pertanian atau hasil hutan.Berdasarkan konsep maro inilah, kelompok kemudianmengusulkan bagi hasil antara masyarakat denganpemerintah daerah berdasarkan perhitungankontribusi masing-masing pihak dalam pengelolaan.Rentang proporsi bagi hasil kayu yang kemudiandiajukan oleh masyarakat berkisar antara 50-50 sampaidengan 80 untuk masyarakat dan 20 untukpemerintah daerah. Semua hasil tanaman kas57 menjadi

milik masyarakat. Pembicaraan ini menolongpengembangan penerapan pedoman pelaksanaan yangpada awalnya tidak menjelaskan persentasi bagi hasil.

Sementara itu, petugas lapangan Perhutani jugaberkeliling dari desa ke desa membicarakan sebuahpengaturan baru mengenai bagi hasil antaramasyarakat dengan Perhutani yang ditawarkan dalamskema PHBM. Kini, Perhutani menawarkan bagian25% dari harga-jual dasar58 kayu untuk masyarakat,dan 75% untuk Perhutani.

Masyarakat terbelah pendapatnya mengenaiskema-skema baru ini. Karena khawatir akan terjadinya

42 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

pembatalan Perda PSDHBM, sebagian tertarik denganpeluang yang ditawarkan skema Perhutani, sekalipunitu berarti mendapatkan porsi bagi hasil kayu lebihsedikit. Sementara mereka yang yakin bahwa PerdaPSDHBM pada akhirnya akan diterapkan menolaktawaran skema baru Perhutani ini.

Sebuah aras negosiasi mengenai hak dan kewajibanterjadi antara pemerintah kabupaten denganPerhutani. Negosiasi ini dimulai awal Juli 2002 ketikaDepartemen Kehutanan dan Perkebunan menunjukIr. Triyono untuk melakukan mediasi bagi keduapihak. Setelah menghadiri sebuah pertemuanmultipihak di Wonosobo, dengan maksud agar iamemahami keadaan di Wonosobo, Ir. Triyonomenyampaikan rekomendasinya pada Agustus 2002dalam sebuah pertemuan yang dihadiri oleh Perhutanidan Tim Multipihak Wonosobo. Ir. Triyono kemudianmemfasilitasi proses penyusunan nota kesepakatanantara kedua pihak dalam sebuah pertemuan diYogyakarta. Upaya penandatanganan nota kesepakatanpada bulan Agustus dan September gagal diwujudkankarena adanya perubahan rancangan naskah yang tidakberhasil disepakati. Pada Oktober 2002, kedua pihakbertemu lagi untuk memperbaiki naskah notakesepakatan sebelumnya. Kali ini, dengan tidakmenyebutkan istilah PSDHBM atau PHBM. Keduapihak bersepakat untuk melaksanakan skemanyamasing-masing di 30 desa yang mereka tentukan.

Pertimbangan dan Pilihan Masyarakat:PSDHBM atau PHBM?

Masyarakat Wonosobo kini berada diberi duapilihan skema, yang satu ditawarkan oleh pemerintahkabupaten (PSDHBM) dan yang lainnya olehPerhutani (PHBM).

PSDHBM membuka sebuah proses dialog denganbanyak pihak, dan proses ini memberikan kesempatanbagi masyarakat untuk ikut serta dalam prosespenyusunan peraturan daerah. Masyarakatmendapatkan informasi dan memberikan masukanmelalui program siaran radio mingguan, konsultasipublik, dan kunjungan Tim Multipihak ke desa.Masyarakat menjadi sadar akan kesempatan-kesempatan baru yang dapat menjawab persoalanpenguasaan dan sumber daya yang mereka hadapi.Lebih jauh, jika diterapkan, Perda PSDHBMmemberikan peluang yang lebih besar bagi masyarakatuntuk menyuarakan rencana mereka atas kawasanhutan serta mendapatkan porsi yang lebih besar dalam

bagi hasil hutan kayu. Semua hal tersebut memberimereka harapan akan terpenuhinya akses pada lahandan sumber daya yang lebih berarti. Namun demikian,karena pengakuan pemerintah pusat atas peraturandaerah ini tak kunjung tiba, masyarakat masihbimbang mengenai penerapan dan kesahihannya.

Di pihak lain, PHBM adalah program yang inginsegera diterapkan oleh Perhutani. Dibandingkandengan program-program Perhutani sebelumnya—tanpa pembagian keuntungan apapun dari tanamanpokok bagi masyarakat—PHBM kini menawarkanbagi hasil hutan. Sekalipun porsi bagi hasil hutandalam PHBM lebih kecil dibandingkan PSDHBM,kepastian akan dilaksanakannya program PHBMPerhutani membuat sebagian masyarakat menganggapPSDHBM masih di awang-awang.

Dengan adanya dua pilihan ini masyarakatterbelah antara pilihan yang memberikan keuntunganlebih berarti dalam PSDHBM atau keuntungan yangpasti dalam PHBM. Masyarakat yang tetap berharappada penerapan PSDHBM terus melaksanakanperencanaan pengelolaan sumber daya. Babselanjutnya akan memberikan gambaran mengenaitantangan mendampingi perencanaan pengelolaansumber daya oleh masyarakat di tengah ketidakpastiankebijakan.

Dukungan terhadapPengelolaan Masyarakat

Strategi yang dipakai oleh Perhutani dan TimMultipihak Wonosobo diterapkan secara bersamaan.Masyarakat terperangkap di tengah-tengah.

Menanggapi keadaan ini, Tim MultipihakWonosobo berupaya mendapatkan kesepakatan di duaaras. Aras pertama adalah antara kelompok masyarakatdi desa dengan pemerintah kabupaten. Proses ini telahdituangkan dalam pedoman pelaksanaan PSDHBMdan pada saat ini sedang dalam pengkajian. Arasberikutnya adalah antara pemerintah kabupatendengan pemerintah pusat. Di aras ini, tantanganterutama berkaitan dengan sikap pemerintah pusat.Bagaimanapun sulitnya, upaya keras ini terusdisampaikan melalui negosiasi, karena, apapun hasilperundingan itu, akan sangat menentukan nasibkeabsahan kesepakatan antara kabupaten denganmasyarakat desa (Gambar 1. Kronologi dan ProsesDialog mengenai Pengelolaan Hutan Wonosobo,2001-2003).

43B A G I A N I I I : P E R A L I H A N P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A D I K A B U P A T E N W O N O S O B O

Pemerintah Daerah Wonosobo sedang membahas masalah dikawasan pegunungan yang menginginkan izin PSDHBM tetapimelakukan pertanian komersial intensif pada lereng kritis.

Sebelum menerima surat dari Departemen DalamNegeri, Tim Multipihak Wonosobo berharap bahwapenandatanganan nota kesepakatan dengan Perhutaniakan melancarkan kelanjutan implementasi PSDHBMdi 30 desa yang siap bertanggung jawab mengelolahutan negara di sekitarnya. Tim Multipihakmengukur kesiapan masyarakat dengan melihatseberapa jauh kelompok telah terorganisasi danmampu menyusun perencanaan masyarakat, aturaninternal kelompok, serta rencana pengelolaan.Sementara itu, skema PHBM Perhutani juga berlanjutdi desa-desa yang menerima program ini.

Rancangan Sistem PendukungKebijakan Kabupatendalam Proses Perizinan PSDHBM

Berlandaskan Perda PSDHBM, Bupati berwenangmengeluarkan izin PSDHBM yang diajukankelompok petani. Kelompok petani dapat disamakandengan unit pengelolaan hutan di kawasan tersebutdan akan menjadi pemegang izin PSDHBM. Izin iniadalah sebuah kesepakatan yang saling mengikat antaramasyarakat dan pemerintah daerah dalam pengelolaanlahan hutan negara. Izin ini berlaku selama 30 tahun,dengan enam tahun pertama sebagai masa percobaan.Untuk mengajukan izin, kelompok masyarakat harusmenyampaikan surat permohonan, dilampiri dengansebuah peta lokasi, informasi mengenai kelompok dananggota, aturan internal, dan rencana pengelolaan 30tahun. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Wonosobo(Dishutbun) akan mengurus proses perizinan ini.

Proses perizinan PSDHBM memiliki lima tahap.Dalam setiap tahap terdapat evaluasi, dan jikapermohonan izin gagal menembus salah satu tahap,maka proses perizinan diulang dari tahap pertama(Gambar 3. Proses Pemberian dan Pemantauan IzinPSDHBM).• Tahap pertama adalah pembentukan kelompok

pengguna hutan, jika kelompok penggarap hutanbelum ada. Sebuah kelompok pengguna hutandianggap sudah terbentuk jika memiliki aturaninternal yang disetujui oleh kepala desa.Dishutbun, dengan bantuan LSM, dapatmembantu pembentukan kelompok masyarakatyang berminat dalam menyusun sejumlahdokumen yang diperlukan, seperti, data anggotakelompok, aturan internal, dan peta lokasi. Jikakelompok tersebut sudah ada dan dokumen sudahsiap, kelompok tersebut dapat langsungmelanjutkan ke tahap ke dua.

• Tahap kedua adalah proses inventarisasi hutan danpengecekan lahan hutan negara yang diajukanuntuk dikelola oleh masyarakat. Dishutbunmembuat peta dasar, melaksanakan inventarisasiperhutanan, melakukan pengecekan terhadaphasil pemetaan masyarakat, dan berkonsultasidengan Forum Hutan Wonosobo (FHW)mengenai temuan-temuan dari lapangan. Jikahasil pengkajian bersama FHW memuaskan,Dishutbun kemudian menyiapkan izin PSDHBMdan meneruskan formulir permohonan izin inikepada Bupati untuk mendapatkan persetujuan.Jika permohonan ini tidak memenuhi persyaratantertentu, Dishutbun memberi saran-saranperbaikan dan penyesuaian rencana pengelolaankepada pemohon.

• Tahap ketiga adalah ketika Bupati telahmemberikan izin operasi pengelolaan hutan dilokasi yang telah ditentukan. Bupatimemperbaharui izin operasi setiap tahun. Jika adapersyaratan yang belum dipenuhi, Bupati akanmemberikan masukan kepada pemohon izinmelalui Dishutbun sehingga pemohon dapatmemperbaiki rencana pengelolaannya.

44 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

GAMB

AR 3

. Pros

es Pemb

erian

dan

Pem

antau

an Iz

in PSDH

BM

45B A G I A N I I I : P E R A L I H A N P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A D I K A B U P A T E N W O N O S O B O

• Tahap keempat adalah ketika izin operasi sudahdikeluarkan oleh Bupati. Pada saat ini kelompokpenggarap mulai menyusun detil rencanapengusahaan tahunan dan rencana enam tahun.LSM dapat mendampingi proses perencanaanmasyarakat ini.

• Tahap kelima adalah kelanjutan pemantauan danevaluasi Dishutbun bersama FHW untukmengkaji pelaksanaan PSDHBM di lokasitersebut, serta memberikan masukan kepadaBupati untuk membantu proses pengambilankeputusan di masa depan yang berkaitan dengankeberlanjutan kegiatan PSDHBM ini.

Prosedur ini belum dilaksanakan karena masihmenunggu pengesahan Perda PSDHBM daripemerintah pusat. Sebagai langkah sementara untukmenanggapi masyarakat yang telah menjalani prosesperencanaan masyarakat, sebuah pertemuandiselenggarakan pada Januari 2003. Pada pertemuanini warga Bogoran dan Gunung Tugel menyampaikanrencana pengelolaan mereka kepada PemdaKabupaten, DPRD, LSM, dan perwakilan SEPKUBA,serikat petani yang memiliki anggota dari 20 desa diWonosobo.

Presentasi yang disampaikan membuatpemerintah kabupaten semakin yakin akankemampuan masyarakat desa mengelola lahan hutannegara dengan efektif. Proses perencanaan masyarakatkini dipandang sebagai cara untuk menunjukkanbukti-bukti dari lapangan untuk menyakinkanpemerintah pusat bahwa masyarakat sanggupmengelola hutan jika tersedia dukungan yangmemadai. Sebagai pelaku utama PSDHBM, warga desasekitar hutan harus menunjukkan kecakapan merekauntuk menghapus keraguan Departemen Kehutanandan Perkebunan.

Beberapa desa di Kabupaten Wonosobo jugamenyampaikan dukungannya pada skema PSDHBM.Pada September 2002, ketika berbagai upayamendapatkan kesepakatan dengan Perhutani gagal,ribuan warga desa berkumpul di depan PendopoKabupaten Wonosobo untuk menunjukkankekecewaannya pada situasi saat ini. Peristiwa inimendorong Bupati Wonosobo untuk mengeluarkansurat yang menyatakan dukungan pemerintahkabupaten terhadap pelaksanaan Perda PSDHBM.Pada Januari 2003, dalam acara presentasi rencana

masyarakat Bogoran dan Gunung Tugel, dua puluhdesa lain menyatakan keinginannya untukmelaksanakan proses perencanaan masyarakat,sekalipun nasib peraturan daerah yang melandasinyabelum jelas.

Merancang Mekanisme Pengkajiandan Pemantauan di Kabupaten

Menurut Perda PSDHBM, Forum HutanWonosobo (FHW) adalah sebuah badan independenyang berfungsi sebagai forum koordinasi dankomunikasi berbagai pihak yang berurusan denganmasalah perhutanan di Wonosobo (Gambar 4.Hubungan Antarpihak dengan Forum HutanWonosobo). Di masa depan, salah satu tugas FHWadalah memantau pelaksanaan izin-izin PSDHBMyang telah dikeluarkan.

Jika Perda PSDHBM telah mendapatkanpengesahan dari pemerintah pusat, FHW akandibentuk di tiga tingkat, desa, kecamatan, dankabupaten, dengan keanggotan campuran terdiri ataspemerintah, masyarakat setempat, akademisi, danLSM. Pada saat ini, mereka yang duduk di dalamFHW tingkat kabupaten sebagian besarnya berasal dariTim Multipihak Wonosobo, lembaga yang dulumenyusun dan menyempurnakan pedomanpelaksanaan. Tim Multipihak Wonosobo terdiri atasperwakilan dari Dishutbun, DPRD, dan perwakilanLSM, kelompok pengguna hutan, camat, dan kepaladesa.

Namun demikian, penundaan pelaksanaan PerdaPSDHBM mendorong FHW untuk jugamengantisipasi segala hal yang mungkin menghambatpelaksanaan perda ini. DPRD, yang memiliki tugasuntuk menyusun pedoman pelaksanaan PerdaPSDHBM, memainkan peran penting dalammemotivasi anggota FHW lainnya untuk terusberdiskusi sekalipun pengakuan dari pemerintah pusattak kunjung tiba. Untuk menemukan cara-cara barumenghadapi masalah yang terus bermunculan, FHWmenyelenggarakan pertemuannya bergilir di antaraanggota-anggotanya. Pegawai pemerintah yang masihmuda didorong untuk menyuarakan pendapatnya.

Sementara pemerintah pusat masih menundapersetujuannya, FHW terus melanjutkanpenyempurnaan aspek kelestarian ekologis dalam PerdaPSDHBM dan pedoman pelaksanaannya. Beberapa

46 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

aspek yang dibicarakan dalam kaitannya denganmekanisme pengkajian dan pemantauan adalah:• Bagaimana menyikapi permohonan izin PSDHBM

yang membahayakan lingkungan.• Model pengelolaan seperti apa yang cocok

diterapkan di hutan lindung.• Bagaimana mengukur kelestarian lingkungan dalam

kawasan hutan produksi PSDHBM.• Bagaimana mengelola kawasan yang jauh dari

pemukiman masyarakat.• Bagaimana cara memberi umpan balik

perkembangan penerapan PSDHBM kepadapemerintah pusat untuk membuktikan kecakapanpengelolaan masyarakat.

• Bagaimana memantau kontribusi ekonomispenerapan pengelolaan sumber daya di blok hutanpada masyarakat di sekitarnya.

Berdasarkan proses pengesahan izin PSDHBM dilahan hutan negara yang tercantum dalam Perda 22/2001, permohonan izin yang membahayakankelestarian lingkungan tidak akan disetujui. Rencanapengelolaan akan disesuaikan bersama masyarakatdengan didampingi oleh Dishutbun dan LSM. FHWjuga menemukan beberapa kawasan hutan lindungyang berada dalam kondisi kritis dan kerusakannya

berpotensi menjadi lebih parah jika masyarakat tidaksegera diberi tanggung jawab beserta hakpengelolaannya.

GAMBAR 4. Hubungan Antarpihak dengan Forum Hutan Wonosobo

Usaha MendapatkanPengakuan Pemerintah Pusat

Tantangan terbesar bagi Tim MultipihakWonosobo di tengah peralihan pengelolaan sumberdaya adalah upaya mendapatkan pengakuan bagi PerdaPSDHBM dari pemerintah pusat.

Pasal 113 Undang-Undang Pemerintahan Daerah(UU 22/1999) menyatakan bahwa dalam rangkapengawasan, peraturan daerah—seperti PerdaPSDHBM—harus disampaikan kepada Pemerintahselambat-lambatnya lima belas hari setelah ditetapkan.Pasal 114 menyatakan bahwa pemerintah pusat dapatmembatalkan peraturan daerah yang bertentangandengan kepentingan umum, bertentangan denganperaturan perundang-undangan yang lebih tinggi,atau peraturan lainnya yang masih berlaku. Lebih jauhdisebutkan dalam pasal yang sama, “Daerah yang tidakdapat menerima keputusan pembatalan peraturandaerah… dapat mengajukan keberatan kepadaMahkamah Agung setelah mengajukannya kepadapemerintah (pusat).”

47B A G I A N I I I : P E R A L I H A N P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A D I K A B U P A T E N W O N O S O B O

Setelah disahkan, Perda PSDHBM segeradisampaikan kepada Departemen Kehutanan danPerkebunan untuk dikaji, tetapi baru satu tahunkemudian pemerintah pusat memberikantanggapannya. Baik Departemen Kehutanan danPerkebunan, maupun Departemen Dalam Negerimencoba membatalkan Perda PSDHBM melaluiprosedur di luar hukum (ekstra-judisial). MenteriKehutanan dan Perkebunan mengirimkan surat kepadaMenteri Dalam Negeri yang isinya memintapembatalan Perda PSDHBM dengan alasan bahwaPerhutani telah diberi hak pengelolaan di lahan hutannegara, dengan demikian Perda PSDHBM dianggapbertentangan dengan Undang Undang Kehutanan(UU 41/1999). Sebulan kemudian, sepucuk surat dariDepartemen Dalam Negeri dikirimkan kepada BupatiWonosobo berisi permintaan pembatalan PerdaPSDHBM. Ketidaksetujuan Departemen DalamNegeri, sebagaimana dicantumkan dalam surat,berasal dari penafsiran bahwa Perda PSDHBMmemberikan kewenangan kepada KabupatenWonosobo untuk mengubah status lahan hutan.Menambah daftar ketidaksetujuan terhadap PerdaPSDHBM, Perhutani sudah mengajukankeberatannya melalui proses uji material (judicialreview) ke Mahkamah Agung.

Tanggapan negatif pemerintah pusat sangatmempengaruhi proses dialog kebijakan yang sedangberjalan dan berpengaruh juga pada upaya-upayamemperlancar penerapan Perda PSDHBM. Tanggapanini juga mematahkan semangat kebersamaan yangdibangun melalui proses multipihak. Tekanan dariDepartemen Kehutanan dan Perkebunan, PerumPerhutani, Departemen Dalam Negeri, serta anggotapartai politik memaksa anggota Tim MultipihakWonosobo untuk terus menerus saling bertukarpandangan mengenai isu-isu terbaru yang muncul.

Peristiwa ini juga membuat kasus Wonosobomenjadi perhatian internasional, sekaligusmendapatkan dukungan dari berbagai LSM danakademisi, baik di Asia maupun dalam kancah diskusiglobal. Sebuah artikel yang ditulis Down to Earthmelaporkan bahwa lebih dari 70 LSM nasional daninternasional menyatakan keprihatinannya terhadapsurat Menteri Kehutanan dan Perkebunan.59 Berbagaiartikel mengenai situasi Wonosobo beredar luas diinternet dalam Bahasa Indonesia dan Inggris.60

Sekalipun harus menghadapi berbagai kesulitan,upaya untuk mempengaruhi pemerintah pusat terusdijalankan (Tabel 10. Kronologi Dialog Sepanjang

2003). Anggota Tim Multipihak Wonosobo yangberasal dari berbagai kalangan terus mendukungproses-proses PSDHBM yang sedang dijalani olehmasyarakat. Sesuai dengan kemampuan masing-masing, setiap anggota Tim Multipihak Wonosoboberusaha menggalang dukungan pihak lain dilingkungan kerjanya.

Pemerintah Kabupaten Wonosobo terusmengupayakan berjalannya proses dialog denganPerhutani dan pemerintah pusat, terutama denganpertimbangan bahwa, di lapangan, masyarakat telahmenduduki lahan hutan negara. Dalam sebuahpertemuan dengan Perhutani, Agustus 2003, PemdaWonosobo setuju untuk duduk dalam tim kecil yangakan melanjutkan pengembangan sebuah modelPengelolaan Sumber Daya Hutan (PSDH) dan ForumHutan Wonosobo (FHW).

Pemda Kabupaten juga aktif dalam diskusikebijakan nasional yang meyangkut pengelolaansumber daya alam. Sampai tulisan ini dibuat,harapan terletak pada dua kebijakan yang baru-baruini hangat dibicarakan. Kebijakan pertama adalahKetetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)nomor IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agrariadan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan inimemberikan dasar hukum yang kuat bagipemerintah daerah untuk melanjutkan dukungannyaterhadap pelaksanaan PSDHBM. Sebuah rancanganperaturan pemerintah yang disponsori DepartemenDalam Negeri akan menjadi pedoman bagipeningkatan peran kabupaten dalam pengelolaansumber daya alam (hutan, mineral, perkebunan, danlain-lain). Harapan pada kedua kebijakan ini bersemisetelah melihat proses konsultasi yang baik dalamproses penyusunan rancangan naskah peraturan danketetapan tersebut. Pemerintah kabupaten bisaberpartisipasi dalam proses penyusunan naskahrancangan peraturan ini, sehingga dengan demikiansegala realitas, cara pandang, dan pertimbangan ditingkat kabupaten dapat didengar dan diramu kedalam peraturan tersebut. Ketetapan MPR danperaturan pemerintah ini, nantinya, dapat menjadidasar keabsahan Perda PSDHBM, dan keduaperaturan tersebut menjadi penting mengingatselama ini ‘dasar hukum’ menjadi hal yang selaludipersoalkan pemerintah pusat. Pemda Wonosobojuga melakukan pendekatan pada Regu Kerja ForestLand Tenure, sebuah forum multipihak yangmembahas masalah tata kuasa lahan hutan, untukmembantu kelancaran dialog di tingkat nasional.

48 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

TABEL 10. Kronologi Dialog Sepanjang 2003Tanggal TempatAgenda Hasil

Rencana mengadakan pertemuan dengan Departemen DalamNegeri untuk menjelaskan PSDHBM secara terinci.Departemen Dalam Negeri sepakat memfasilitasi dialogmultipihak untuk mengkaji ketidakselarasan pasal-pasal dalamPerda PSDHBM.Sepakat untuk merevisi Perda PSDHBM agar pasal-pasal didalamnya konsisten.Bersepakat bahwa beberapa pasal dalam Perda PSDHBMdapat menimbulkan konflik kewenangan di antara para pihak.Petani hutan bersama LSM menyatakan dukungannya terhadappelaksanaan PSDHBM.Memutuskan untuk mempertahankan Perda PSDHBM apaadanya dan menambah penjelasan lebih rinci dalam pedomanpelaksanaan sebagai penyelaras pasal-pasal yang masihdianggap bertentangan.Para petani bersepakat bahwa pelaksanaan PSDHBM harusdisegerakan dan disebarluaskan ke lebih banyak desa.

Upaya mendapatkan kejelasan mengenai keberatanDepartemen Dalam Negeri terhadap Perda PSDHBM tidakberhasil.Tim Multipihak Wonosobo menegaskan keputusannya untukmempertahankan Perda tanpa perubahan.

Sepakat untuk membentuk ‘rumah pengaduan’ untukmenanggapi pertanyaan, keluhan, dan laporan dari masyarakatmengenai pelaksanaan PSDHBM.

Membentuk tim inti untuk memfasilitasi pengembangankonsep PSDH Wonosobo.Bersepakat membentuk Forum Hutan Wonosobo.

Tim ini menyusun tata waktu penyusunan konsep PSDHWonosobo.

Tim Multipihak Wonosobo.

Tim Multipihak Wonosoboberkunjung ke DepartemenDalam Negeri.Tim Multipihak Wonosobo

Tim Multipihak Wonosobobertemu Perhutani.Pertemuan petaniantardesa.Tim Multipihak Wonosobo.

Pertemuan petaniantardesa.Tim Multipihak Wonosobomengunjungi DepartemenDalam Negeri.

Tim Multipihak Wonosobo.

Perhutani mengunjungi TimMultipihak Wonosobo.

Perhutani mengunjungi TimMultipihak Wonosobo.

Kantor Wakil Bupati Wonosobo.

Departemen Dalam Negeri,Jakarta.

Kantor Wakil Bupati Wonosobo.

Hotel Ambarukmo, Yogyakarta

Desa Ngadisono, KecamatanKaliwiro, Wonosobo.Kantor Wakil Bupati Wonosobo.

Gedung SKB Wonosobo.

Departemen Dalam Negeri,Jakarta.

Kantor DPRD Wonosobo.

Kantor DPRD Wonosobo.

Kantor Dinas KehutananWonosobo.

3 Jan 2003

7 Jan 2003

16 Jan 2003

17 Jan 2003

18–19 Jan200310 Februari2003

7–8 Mei 2003

9 Mei 2003

25 Juni 2003

23 Agustus2003

6 Sep 2003

Dengan cara pandang yang objektif, masalah PerdaPSDHBM yang mengemuka akhir-akhir ini dapatdilihat, secara umum, sebagai persoalan hukum atauprosedur administrasi dengan beberapa alternatif solusi(Gambar 5. Hambatan dan Alternatif Solusi MasalahProsedural dan Hukum). Menyangkut hak hukumPerhutani, salah satu alternatif solusinya adalahmengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung agarmemutuskan uji material dan memberikan keputusanakhir mengenai nasib Perda PSDHBM. Cara lainadalah melanjutkan kerja tim kecil yang telahdisepakati untuk merancang model pengelolaansumber daya hutan Wonosobo dan Forum HutanWonosobo. Kegalauan Departemen Kehutanan danPerkebunan yang mengklaim desentralisasi sebagaipenyebab kerusakan hutan sebetulnya lebih tepatmenggambarkan keadaan di Kalimantan pada akhirtahun 1990-an yang bukan gambaran tepat untukWonosobo. Pada tingkat nasional, ada upaya-upaya

untuk mengurai tumpang-tindih berbagai kebijakandengan menyepakati undang-undang acuan yangmengatur seluruh kebijakan yang berkaitan denganpengelolaan sumber daya alam dan diturunkan dalamaturan operasional melalui surat keputusan menteri.Pada tingkat kabupaten, sebuah forum penyelesaiansengketa untuk persoalan dari lapangan perlu dibentuksebagai sarana klarifikasi bagi masyarakat yangmempunyai masalah dengan PSDHBM danpelaksanaannya. Kantor Badan Perencanaan Daerah(Bapeda) perlu meningkatkan kemampuannya agardapat secara lebih efektif menyelaraskan semua rencanadan program—baik yang diprakarsai pemerintah pusatatau daerah maupun proyek-proyek teknis ataukewilayahan—serta terus memantau lahan-lahan kritisdi kabupaten. Sementara itu, di tingkat masyarakat,keterampilan rakyat dalam melakukan pendekatanpartisipatif, perencanaan sumber daya, pengelolaankonflik, dan bernegosiasi perlu terus ditingkatkan.

49B A G I A N I I I : P E R A L I H A N P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A D I K A B U P A T E N W O N O S O B O

GAMBAR 5. Hambatan dan Alternatif Solusi Masalah Prosedural dan Hukum

50 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

Berbagai Inisiatif Desentralisasidi Indonesia

Wonosobo bukanlah satu-satunya kabupatenyang memajukan desentralisasi tanggung jawabdalam pengelolaan sumber daya alam. Beberapapemerintah kabupaten di bagian lain Indonesiajuga memprakarsai upaya penyusunan peraturandaerah yang dapat menjamin tanggung jawab danhak pengelolaan bagi masyarakat pengguna hutan.

Kabupaten Lampung Barat yang berpusat diLiwa memiliki 71% lahan berupa hutan lindungdan kawasan konservasi. Lahan hutan di Liwatermasuk daerah Krui, salah satu lahan dengantujuan istimewa yang ditetapkan dengan SuratKeputusan Menteri pada tahun 1998. Keputusan ini,secara hukum, mengakui sistem pengelolaan hutanadat. Di Lampung Barat juga terdapat sebagian darikawasan Taman Nasional Bukit Barisan. Sebuahperaturan daerah tentang pengelolaan sumber dayaalam dan lingkungan berbasis masyarakat yangmencakup pengelolaan sumber daya lahan, air, danpantai telah mulai disusun. DPRD Lampung Barat,bekerja sama dengan Dinas Kehutanan dan kelompokpendukung lainnya seperti ICRAF, LATIN, WWF,WATALA dan LSM setempat, mulai mengembangkanrancangan peraturan daerah sejak 2002. Peraturandaerah ini diprakarsai dengan tujuan meredakankebingungan yang muncul akibat seringnya terjadiperubahan kebijakan nasional. Peraturan daerah iniberupaya melembagakan mekanisme transparan agarmasyarakat luas mudah mendapatkan segala informasiyang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alamsehingga dengan demikian menciptakan pemerintahanyang bertanggung gugat serta membuka peluang

Di antara berbagai pihak, mulai tumbuhsebuah kesepakatan bahwa untuk bisa bergerakmaju, mereka harus terus bertukar pikiran dalampertemuan-pertemuan. Tiga tahun terakhiradalah masa-masa yang paling dinamis, sekalipunmasih ada kesalahpahaman dan perbedaanpendapat, masalah-masalah yang muncul tetapdiselesaikan. Hal ini terjadi karena, pada saat yangsama, masing-masing pihak mempelajari berbagaiketerampilan baru dan menemukan jalan untukterus berkomunikasi dengan pihak-pihak lain.Keuletan ini adalah langkah awal untukmenjadikan aspek ekologis dan sosial sebagaibagian tak terpisahkan dalam berbagai rejimpengelolaan hutan.

Penyebarluasan Prakarsa. Pak Julmansyah dari Dinas Kehutanan danPerkebunan mendengarkan seorang warga desa di lahan jati bekastebangan. Pada awalnya para warga desa tersebut enggan berbicarakarena mengira petugas perhutanan datang untuk menangkap mereka.Ketika mereka mengetahui bahwa Sumbawa memiliki Perda PSDHBM,para warga tersebut menjadi lebih terbuka.

partisipasi masyarakat setempat. Hasil penelitian dasaryang baru saja dirampungkan banyak membantu parapihak dalam pembicaraan mengenai isi naskahperaturan daerah. Karena Lampung Barat memilikibanyak areal hutan lindung, pelibatan masyarakatdalam pengelolaan dan rehabilitasi daerah aliransungai, tanpa melupakan penyediaan daerahpenyangga bagi taman nasional, dianggap pentingoleh semua pihak. Untuk menghindari kesulitan dalamproses pengkajian di tingkat nasional seperti yangdialami pemerintah daerah Wonosobo, naskahrancangan peraturan daerah terlebih dahuludipresentasikan pada Departemen Kehutanan danPerkebunan serta Kelompok Kerja Perhutanan Sosialpada 2003. Kedua lembaga ini dapat memberikanpendapat sebelum naskah tersebut disahkan olehDPRD. Rancangan peraturan daerah ini direncanakanselesai pada 2004. Pada saat yang sama, GerakanNasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL)menjadikan bekas lokasi Hutan Kemasyarakatan(HKm) sebagai salah satu lokasi proyeknya.

51B A G I A N I I I : P E R A L I H A N P E N G E L O L A A N S U M B E R D A Y A D I K A B U P A T E N W O N O S O B O

KOTAK 6. Diancam Massa, Petani Babati Albasia di Lahan Perhutani (Kompas, 27/10/2004)Wonosobo, Kompas,

Petani desa Bogoran Kecamatan Sapuran, Kabupaten Wonosobo terpaksa membabati tanaman Albasia yang mereka

tanam di lahan milik Perhutani Kedu Selatan. Mereka terpaksa membabati tanaman yang ditanam tahun 1999 karena

diancam sekelompok massa yang mengaku suruhan Perhutani Kedu Selatan.

Menurut sejumlah warga Sapuran, selasa (26/10), pekan lalu dengan menggunakan truk dan beberapa kendaraan,

serta mengaku suruhan Perhutani Kedu Selatan, sejumlah orang meminta penduduk membabat tanaman albasia yang

ditanam di lahan milik Perhutani Kedu Selatan di Wilayah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Ngadisono.

Kalau tak mau “mengosongkan” hutan milik Perhutani itu, mereka mengancam akan membabati tanaman itu. Ancaman

tersebut bukan main-main karena massa itu juga membawa senjata tajam.

Kepala BKPH Ngadisono Khaerudin membantah sekelompok orang yang mengintimidasi penduduk Bogoran itu

merupakan suruhan Perhutani Kedu Selatan. “Itu fitnah untuk mendeskreditkan Perhutani” ungkapnya.

Mengenai ancaman kelompok massa tidak dikenal, yang meminta warga Bogoran mengosongkan lahan Perhutani,

menurut sejumlah penduduk sudah dapat diselesaikan. Ini setelah penduduk dengan perhutani, Komisi B DPRD

Wonosobo, serta sejumlah pejabat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Wonosobo bermusyawarah. Tetapi, kelompok

massa tidak dikenal itu tetap mengancam dan meminta warga segera mengosongkan lahan perhutani yang ditanami

albasia.

Dari catatan Kompas, warga desa Bogoran dan ribuan warga lain di berbagai desa, termasuk di Dataran Tinggi

Dieng mulai menanami lahan di wilayah BPKH Ngadisono dengan albasia. Mereka merujuk peraturan daerah (Perda)

Nomor 22 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat. Dengan penghutanan kembali

oleh masyarakat hutan Perhutani yang gundul akibat penjarahan kini sudah hijau kembali.

Abdul Arif, anggota Komisi B DPRD Wonosobo dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) mengatakan, setelah dilakukan

perundingan Sabtu lalu sebenarnya warga Bogoran bersedia membabat sendiri ribuan pohon albasia yang ditanam

petak 31 seluas sekitar tujuh hektar. Tetapi, penduduk merasa trauma dan takut dengan ancaman kelompok massa

tidak dikenal itu.

Dengan persoalan ini, Abdul Arif berharap agar setiap permasalahan yang melibatkan banyak orang dapat

diselesaikan dengan dialog, bukan dengan kekerasan. Ia mengajak petani di daerahnya untuk menahan diri dan tidak

melakukan kekerasan. (NTS).

Sumber : Kompas 27 Oktober 2004

Kabupaten Sumbawa di Nusa Tenggara Baratmengesahkan peraturan daerah tentang pengelolaanhutan berbasis masyarakat pada 2002 untukmenyediakan kerangka kerja yang akan mengurusprakarsa pengelolaan masyarakat dan masalah tanahkosong. Kehadiran peraturan daerah ini diharapkandapat meningkatkan produktivitas lahan dan padaakhirnya meningkatkan kesejahteraan masyarakatsetempat. Dengan bantuan DfID-MFP dan LP3ES(Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan PeneranganEkonomi dan Sosial), DPRD Kabupaten Sumbawamenyampaikan peraturan daerah tersebut kepadapemerintah pusat, dan pada tahun 2004 masih sedang

dalam pengkajian. Sumbawa memiliki 1.199 hektarekebun kemiri (Aleurites moluccana) yang ditanam dandipelihara oleh masyarakat.61 Dari kebun kemiri ini,masyarakat yang memanen, mengeringkan, danmengemas biji kemiri kupasan atau kemiri bulatmendapatkan penghasilan sekurang-kurangnya 22,5juta rupiah. Selain kegiatan memanen kemiri,masyarakat Sumbawa juga berternak. Kedua sumberpenghasilan ini memberikan penghasilan yangmencukupi sehingga mengurangi kebutuhan akanbudi daya jagung dan padi, seperti yang banyakdijumpai di dataran rendah tanpa lereng curam.Sebuah koperasi berdiri dan menjadi pusat pertukaran

52 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

berbagai keterampilan dan kebutuhan masyarakatsebagai upaya untuk menjamin kelangsunganpendapatan keluarga sekaligus menjaga kelestarianlingkungan, karena daerah sekitar hutan kemirimemerlukan tutupan pepohonan permanen untukmemperbaiki keadaan muka air tanah dan jasalingkungan di daerah hilir sungai.

Sumbawa juga memiliki sekira 18.000 hektarehutan tanaman jat i yang dulu ditanam olehPerhutani dalam rangka program Hutan TanamanIndustri. Beberapa bagian dari hutan tanaman inirusak berat akibat perusakan tanaman muda danpembakaran lahan. Permudaan tunas yangkemudian tumbuh tidak lagi punya nilai ekonomi,dan Pehutani tidak pernah kembali ke kawasantersebut untuk mengawasi hutan tanaman itu.Masyarakat dar i beberapa desa kemudianberdiskusi dengan pejabat pemerintah kabupatendan berusaha mencari cara yang sah agar merekadapat menanami kawasan itu dengan pepohonandan tanaman pangan. Beberapa pihak kemudianmengadakan pertemuan resmi dan tak resmi,sementara beberapa kelompok masyarakat lainlangsung menanami daerah tersebut dengan pohonbuah-buahan dan baru belakangan mengurusikesepakatan bagi hasil . Pada saat yang sama,Departemen Kehutanan dan Perkebunanmenetapkan sebagian lahan, seluas 1.300 hektare,di hutan tanaman tersebut sebagai lokasi belajarProgram Perhutanan Sosial.

Kabupaten Kutai Barat di Kalimantan Timur,sebuah kabupaten yang dibentuk tahun 1999,diberkahi sumber daya alam yang kaya. Dalamupayanya untuk memberi contoh pengelolaan hutandengan perencanaan yang baik dan partisipatif,kabupaten ini, dengan bantuan Program NRMP/EPIQ, melaksanakan serangkaian proses pendataankegiatan perhutanan, penyusunan skenario (scenariobuilding), perencanaan strategis, serta seleksi danperencanaan program. Hasil kegiatan ini adalah sebuahrancangan peraturan daerah tentang kehutanandaerah. Pada tahun 2002, pemerintah kabupatenKutai Barat mempresentasikan naskah rancangan inikepada Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan danPerhutanan Sosial di Departemen Kehutanan danPerkebunan. Pada November 2002 Perda KabupatenKutai Barat tentang Kehutanan Daerah disahkan, danpada 2003 Departemen Kehutanan dan Perkebunanmeminta pemerintah Kabupaten Kutai Barat untukmenghentikan implementasi dan mencabut peraturandaerah tersebut karena dianggap bertentangan denganperaturan perundang-undangan di atasnya.62

Seperti halnya Kabupaten Wonosobo,kabupaten lain berjuang di tengah bermunculannyaberbagai kebijakan baru dan berbagai pembatasandemi menyempurnakan sebuah kerangka kerjakebijakan daerah yang lebih baik. Sebuah kebijakandaerah yang menyesuaikan diri dengan praktikpengelolaan kawasan dan sanggup melestarikan alamdan lingkungan.

53

B A G I A N IV

Sebuah Refleksi

Hambatan dan PilihanPara praktisi perhutanan di Indonesia telah

menyaksikan bagaimana proses terjadinya kerusakanlahan dan mulai mengenali karya masyarakat dalammemperbaiki lahan hutan yang gundul. Kini, kota-kota di Indonesia, besar dan kecil, juga ikut merasakandampak kerusakan hutan. Sistem yang kini berjalanbelum memiliki mekanisme, baik untuk menggugatmereka yang bertanggung jawab atas kerusakan hutan,maupun untuk menjamin pemulihan kelestarianekologis serta keseimbangan pemanfaatannya.

Sistem yang penuh korupsi menjangkiti banyaknegara di Asia Tenggara. Penjarahan sumber dayahutan dengan melibatkan perusahaan negara sertaaparat militer, sebagai pertanda ketidakseimbangandan ketidakmampuan mengelola sumber daya hutan,bukanlah hal yang baru di banyak negara. Biasanya,mereka yang lapar dan terdesak tidak punya kekuatan

yang memadai untuk menjarah hutan sendirian.Penjarahan hanya bisa mereka lakukan denganberkolusi.

Di pihak lain, ada kelompok masyarakat, sepertimasyarakat Wonosobo, yang berwawasan melampaibatasan “hak turun-temurun” Perhutani. Merekamengikuti akal sehatnya untuk melakukan perebutanhak kelola dengan segala cara yang terjangkau tanpamelanggar hukum. Sampai saat ini, ketika pemerintahkabupaten dan pemerintah pusat sedang mencari jalankeluar bagi penyelesaian masalah status kebijakanPSDHBM, masyarakat masih menunggu hasilakhirnya sambil terus membangun hutan di atas lahannegara yang gundul. Bahkan dalam masa penuhketidakpastian ini, makin ramai saja kelompokmasyarakat dari hampir semua desa di Wonosobo yangterjun menggarap lahan hutan negara.

Di kaki gunung berapi aktif yang menjulang, mozaik hutan dankebun pekarangan yang rumit dikelola dengan seksama oleh masyarakat Wonosobo.

54 H U T A N W O N O S O B O : K E B E R P I H A K A N Y A N G T E R S E N D A T J a w a T e n g a h , I n d o n e s i a

Sikap dan Kewenangan

Penyerahan tanggung jawab atas lahan hutanselama ini dibebankan untuk daerah yang sangat luasdan secara umum tidak disesuaikan dengan kekhasanbentang alam dan kebutuhan masyarakat setempat.Lebih jauh, terdapat sebuah keyakinan kuat, sekalipunkeliru, bahwa hutan yang ada sanggup mencukupisegala kebutuhan sebuah perusahaan konvensionaluntuk menghasilkan keuntungan ekonomis,mengakomodasi tingginya tekanan penduduk,sekaligus menyediakan jasa lingkungan.

Sekalipun ide awal desentralisasi pengelolaan hutanyang dibicarakan dalam berbagai forum multipihakadalah untuk mengelola konflik, harus diingat bahwaperebutan hak kelola di lahan hutan negara pertamakali terjadi di lapangan. Berawal dari harapan yangdijanjikan reformasi, masyarakat desa memberanikandiri memasuki lahan-lahan kosong di hutan negaratanpa izin Perhutani. Mereka memperluas praktikwono dusun dari hutan rakyat ke lahan hutan yangtelah gundul, menanam jenis-jenis pohon dan tanamanyang mereka sukai, dan memelihara tanamannyadengan keikutsertaan penuh masyarakat; laki-laki danperempuan, tua dan muda.

Ada nilai-nilai kelestarian lingkungan dalam kerja-kerja masyarakat di bentang alam tersebut. UpayaPemerintah Kabupaten Wonosobo mengembangkansistem yang mengakui keunggulan kerja masyarakatini kemudian menciptakan sebuah kecanggunganpolitik akibat ketiadaan pedoman kebijakan nasionalyang menjembatani ketentuan desentralisasi denganperhutanan. Tanpa pengakuan resmi dari pemerintahpusat, kepala desa, misalnya, tak bisa sepenuhnyaterlibat dalam proses PSDHBM, terutama karenakepala desa juga adalah pejabat pemerintah yangmenjadi bagian dari birokrasi. Sebuah kompromiharus dicapai demi menyelamatkan lingkungan danrakyat, sekalipun hal tersebut akan membawaimplikasi politis yang lebih luas di seluruh Jawa.Implikasi politis yang berkenaan dengan perlunyamengalihkan hak pemanfaatan, kepemilikan, danpenerimaan bagi hasil.

Terobosan-terobosan kebijakan yang tanggapterhadap kondisi kerusakan hutan masih terkatung-katung nasibnya sampai saat ini, karena pengambilkeputusan di tingkat nasional terikat pada ‘pakem’kebijakan yang ada. Jika ‘pakem kebijakan’ ini terusmenghambat rakyat untuk menemukan cara mengurussumber dayanya, maka kemerosotan kualitaskehidupan masyarakat dan lingkungan akan terusterjadi. Suatu penilaian ulang yang transparan danpartisipatif terhadap sistem status quo sangatdiperlukan untuk menata hak dan tanggung jawabpara pihak sedemikian rupa sehingga jelas mekanismepertanggunggugatannya (pertanggungjawaban dandapat digugat), serta mempersempit jurang pemisahantara prinsip kelestarian dengan praktikpengelolannya di lapangan.

Pada akhirnya, setiap keputusan harus tanggapterhadap persoalan jasa lingkungan, karena hal inilahyang menjadi modal terbesar bagi kesejahteraanmasyarakat. Jika kesepakatan umum menginginkanadanya jaminan jasa lingkungan yang lebih baik, makausaha terbesar haruslah membangun sebuah sistempengelolaan yang lebih baik pula. Pemerintah pusattelah melakukan pendekatan ini dengan mengkajiulang pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan.Pemerintah kabupaten dan masyarakat menjalankanagenda ini dengan cara yang lain. Situasi inimencerminkan sebuah kecenderungan, suatu arahperjalanan di Asia Tenggara yang banyak membericontoh bagaimana negara dan perusahaan negara, didaerah padat penduduk, menghadapi tuntutan untukmelimpahkan hak kelola (bukan kepemilikan) demimencapai tujuan utama, yaitu pemerataanpendapatan, perbaikan stabilitas ekonomi dan sosial,serta kelestarian lingkungan. Indonesia memiliki satudari sedikit kesempatan untuk menempuh arah inikarena, sekalipun berpenduduk padat, kehadiranpraktik-praktik pemanfaatan hutan yang intensif tetapilestari terbukti sanggup menghadapi tekanan sosialdan tuntutan pasar.

Implikasi pada Kebijakandan Program Nasional