View
322
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS
PADA TETANUS
MAKALAHDisusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Critical Care semester V
Disusun Oleh:
1. Desty Faraerdita Ferinda(12.1107)
2. Misfita Faulina D.P (12.1126)3. Tri Widyaningrum (12.1147)
DIII KEPERAWATANAKPER PEMPROV JATENG UNGARAN
2014
ASUHAN KEPERAWATANTETANUS
PENGERTIANTetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang periodik dan
berat.
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang disebabkan
tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi oleh
Clostridium tetani.
Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Dan pada tahun 1890,
diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin,
yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan
mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus. ( Nicalaier
1884, Behring dan Kitasato 1890 ).
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada
kulit oleh karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat
(Tetanus Neonatorum ).
ETIOLOGI Tetanus disebabkan oleh bakteri gram positif; Cloastridium tetani Bakteri ini
berspora, dijumpai pada tinja binatang terutama kuda, juga bisa pada manusia dan
juga pada tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Spora ini bisa
tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun, jika ia menginfeksi luka seseorang
atau bersamaan dengan benda daging atau bakteri lain, ia akan memasuki tubuh
penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.
Pada negara belum berkembang, tetanus sering dijumpai pada neonatus,
bakteri masuk melalui tali pusat sewaktu persalinan yang tidak baik, tetanus ini
dikenal dengan nama tetanus neonatorum.
PATOGENESE Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada beberapa
level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
a.Tobin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat
pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b.Kharekteristik spasme dari tetanus ( seperti strichmine ) terjadi karena toksin
mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
c.Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
d.Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System
(ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti
takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine.
Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi
fungsi dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi
terhadap batang otak.
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal menyebabkan
meningkatnya aktivitas dari neuron yang mensarafi otot masetter sehingga terjadi
trismus. Oleh krena otot masetter adalah otot yang paling sensitive terhadap toksin
tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferent tidak hanya menimbulkan kontraksi yang
kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis dan antagonis sehingga timbul
kontraksi otot yang khas.
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik
dibawa ke kornu anterior susunan syaraf pusat.
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah
arteri kemudian masuk kedalam syaraf pusat.
PATHOLOGIToksin tetanospamin menyebar dari saraf perifer secara ascending bermigrasi
secara sentripetal atau secara retrogard mcncapai CNS. Penjalaran terjadi didalam
axis silinder dari sarung parineural. Teori terbaru berpendapat bahwa toksin juga
menyebar secara luas melalui darah (hematogen) dan jaringan/sistem lymphatic
PATHWAYS
GEJALA KLINIS Masa inkubasi tetanus umumnya 3-21 hari, tetapi bisa lebih pendek (1 hari
atau hingga beberapa bulan). Hal ini secara langsung berhubungan dengan jarak
dari tempat masuknya kuman C. tetani (tempat luka) ke Susunan Saraf Pusat (SSP);
secara umum semakin besar jarak antara tempat luka dengan SSP, masa inkubasi
akan semakin lama. Semakin pendek masa inkubasi, akan semakin tinggi
kemungkinan terjadinya kematian.
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :
1. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka
bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang
terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari
jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens. Tanda
pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher, kesulitan
menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus terjadi
sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut.
Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia
dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi dini ini
merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh akson
pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga beberapa
menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna
memerlukan waktu hingga beberapa bulan.
2. Localized tetanus (Tetanus lokal)
Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi serta
memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum
dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu
sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului
tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus
yang menyebabkan kematian.
3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik)
Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah
infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik (seringkali
pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk
tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya buruk.
4. Tetanus neonatorum
Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada
negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian
neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi
untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar
3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut mencucu dan
spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%. Selain berdasarkan gejala
klinis, berdasarkan derajat beratnya penyakit, tetanus dapat dibagi menjadi empat(4)
Klasifikasi Ablett untuk Derajat Manifestasi Klinis TetanusDerajat Manifestasi Klinis I : Ringan Trismus ringan sampai
sedang;spastisitas umum tanpa
spasme atau gangguan
pernapasan;tanpa disfagia atau
disfagia ringan
II : Sedang Trismus sedang; rigiditas dengan
spasme ringan sampai sedang
dalam waktu singkat; laju
napas>30x/menit; disfagia ringan
III : Berat Trismus berat; spastisitas umum;
spasmenya lama; laju
napas>40x/menit; laju nadi >
120x/menit, apneic spell, disfagia
berat
IV : Sangat berat (derajat III + gangguan sistem
otonom termasuk kardiovaskular)
Hipertensi berat dan takikardia
yang dapat diselang-seling dengan
hipotensi relatif dan bradikardia,
dan salah satu keadaan tersebut
dapat menetap
Kharekteristik dari tetanus
Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5 -7 hari.
Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang dari leher.
Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw ) karena spasme
Otot masetter.
Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )
Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis tertarik
keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir tertekan kuat .
Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus, tungkai
dengan Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya kesadaran tetap
baik. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan sianosis,
retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis ( pada anak ).
Penegakan Diagnosis Diagnosis tetanus sepenuhnya didasarkan pada temuan klinis, karena
pemeriksaan laboratorium tidak spesifik. Jadi, penegakan diagnosis sepenuhnya
didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jangan menyingkirkan diagnosis
tetanus meskipun orang tersebut telah diimunisasi secara lengkap. Diperkirakan
terdapat 4-100 juta kasus tetanus pada orang yang telah divaksinasi
(imunokompeten).
Anamnesis Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:
Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka dengan
nanah atau gigitan binatang?
Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
Apakah pernah menderita gigi berlubang?
Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi yang
terakhir?
Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme lokal)
dengan spasme yang pertama (period of onset)?
Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaaan fisik dapat ditemukan :
Trismus adalah kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar untuk
membuka mulut. Pada neonatus kekakuan mulut ini menyebabkan mulut
mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi tidak dapat menetek. Secara klinis
untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar bukaan mulut diukur setiap hari.
Risus sardonikus, terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik sehingga tampak
dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar dan kebawah.
Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti: otot punggung,
otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat berat dapat
menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
Otot dinding perut kaku sehingga dinding perut seperti papan.
Bila kekakuan makin berat, akan timbul spasme umum yang awalnya hanya
terjadi setelah dirangsang misalnya dicubit, digerakkan secara kasar, atau
terkena sinar yang kuat. Lambat laun ―masa istirahat‖ spasme makin pendek
sehingga anak jatuh dalam status konvulsivus.
Pada tetanus neonatorum awalnya bayi tampak sulit untuk menghisap dan
cenderung terus menangis. Setelah itu, rahang menjadi kaku sehingga bayi tidak
bisa menghisap dan sulit menelan. Beberapa saat sesudahnya, badan menjadi
kaku serta terdapat spasme intermiten.
Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernapasan sebagai akibat
spasme yang terus-menerus atau oleh karena kekakuan otot laring yang dapat
menimbulkan anoksia dan kematian; pengaruh toksin pada saraf otonom
menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan
pembuluh darah), dapat pula menyebabkan suhu badan yang tinggi atau
berkeringat banyak; kekakuan otot sfingter dan otot polos lain sehingga terjadi
retentio alvi atau retentio urinae atau spasme laring; patah tulang panjang dan
kompresi tulang belakang.
Uji spatula dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring dengan
menggunakan alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif, jika
terjadi kontraksi rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa
refleks muntah. Dalam laporan singkat The American Journal of Tropical
Medicine and Hygiene menyatakan bahwa pada penelitian, uji spatula memiliki
spesifitas yang tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas yang tinggi
(94% pasien yang terinfeksi menunjukkan hasil yang positif).
Pemeriksaan Penunjang Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk tetanus.
Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus.
Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak
mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus.
Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain
mahal, hasil biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya
sekitar 30% kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat diisolasi dari
pasien yang tidak mengalami tetanus.
Nilai hitung leukosit dapat tinggi.
Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.
Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai
imunisasi dan bukan tetanus.
Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.
EMG dapat menunjukkan pelepasan subunit motorik yang terus-menerus dan
pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang normal yang diamati setelah
potensial aksi.
Dapat ditemukan perubahan yang tidak spesifik pada EKG.
Komplikasi tetanusSistem tubuh Komplikasi
Jalan napas Aspirasi* Laringospasme/obstruksi*
Sedasi dihubungkan dengan
obstruksi*
Respirasi Apnea* Hipoksia Tipe I* (ateletaksis,
aspirasi, pneumonia) dan tipe II*
gagal napas (spasme laring,
pemanjangan spasme batang tubuh,
sedasi berlebihan) ARDS*
Komplikasi dari pemanjangan
bantuan ventilasi (contoh :
pneumonia) Komplikasi trakeostomi
(contoh : stenosis trakea) Emboli paru
Emfisema mediastinum
Penumotoraks Spasme diafragma
Kardiovaskular Takikardia*, hipertensi*, iskemia*
Hipotensi*, bradikardia* Takiaritmia,
bradiaritmia* Asistol* Gagal jantung*
Ginjal Gagal ginjal : fase oligouria dan
poliuria Stasis urin dan infeksi
Gastrointestinal Stasis lambung Ileus Diare
Perdarahan*
Lain-lain Status konvulsivus Dehidrasi
Penurunan berat badan*
Tromboemboli* Sepsis dan gagal
organ multipel* Fraktur vertebra
selama spasme Avulsi tendon selama
spasme
* Komplikasi jangka panjang
PenatalaksanaanTujuan penatalaksanaan pada tetanus adalah sebagai berikut :
1. Penanganan spasme.
2. Pencegahan komplikasi gangguan napas dan metabolik.
3. Netralisasi toksin yang masih terdapat di dalam darah yang belum berikatan
dengan sistem saraf. Pemberian antitoksin dilakukan secepatnya setelah diagnosis
tetanus dikonfirmasi. Namun, tidak ada bukti kuat yang menyatakan bahwa toksin
tetanus dapat diinaktifkan dengan antitoksin setelah toksin berikatan di jaringan.
Bahkan pada kenyataannya, efektivitas antitoksin dalam dosis yang sangat besar
dalam menurunkan angka kematian masih dipertanyakan.
4. Jika memungkinkan, melakukan pembersihan luka di tempat masuknya kuman,
untuk memusnahkan ―pabrik‖ penghasil tetanospasmin. Pada tetanus neonatorum
eksisi luas tunggul umbilikus tidak diindikasikan.
5. Asuhan keperawatan yang sangat ketat dan terus-menerus.
6. Lakukan pemantauan cairan, elektrolit dan keseimbangan kalori (karena biasanya
terganggu), terutama pada pasien yang mengalami demam dan spasme berulang,
juga pada pasien yang tidak mampu makan atau minum akibat trismus yang berat,
disfagia atau hidrofobia.
Penatalaksanaan pada tetanus terdiri dari tatalaksana umum yang terdiri dari
kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan napas, oksigenasi,
mengatasi spasme, perawatan luka atau port’d entree lain yang diduga seperti
karies dentis dan OMSK; sedangkan tatalaksana khusus terdiri dari pemberian
antibiotik dan serum anti tetanus.
Tatalaksana Umum 1. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi
Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian
obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya
dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah spasme mereda dapat
dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus
pada kemungkinan terjadinya aspirasi.
2. Menjaga saluran napas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu trakeostomi.
3. Memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker).
4. Mengurangi spasme dan mengatasi spasme.
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat
kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/kali
dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk
usia <2 tahun adalah 8mg/kgBB/hari diberikan oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam.
Spasme harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk
BB<10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan BB ≥10 kg, atau dosis diazepam
intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali.
Tatalaksana Khusus 1. Anti serum atau Human Tetanus Immunoglobuline (HTIG) 10,11,21 Dosis
ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU im dan 50.000 IU
iv. Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaksis. Pada tetanus
anak, pemberian anti serum dapat disertai dengan imunisasi aktif DT setelah
anak pulang dari rumah sakit. Bila fasilitas tersedia, dapat diberikan HTIG
(3.000-6.000 IU) secara intramuskular (IM) dalam dosis tunggal. Untuk bayi,
dosisnya adalah 500 IU IM dosis tunggal. Sebagian dari dosis tersebut
diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka. HTIG hanya dapat
menghilangkan toksin tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf.
Intraveneous Immunoglobuline (IVIG) mengandung antitoksin tetanus dan
dapat digunakan jika HTIG tidak tersedia. Kontraindikasi HTIG adalah riwayat
hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human
immunoglobuline sebelumnya; trombositopenia berat atau keadaan koagulasi
lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian secara IM.
2. Antibiotika 10,14 a. Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia, metronidazol
telah menjadi terapi pilihan yang digunakan di beberapa pelayanan
kesehatan. Metronidazol diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB
dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10
hari. Metronidazol efektif untuk mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk
vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000
U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin
dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8
tahun). Penisilin membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini,
pemberian penisilin G secara parenteral dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari
secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus
tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan
sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan
asam aminobutirat gama (GABA).
Pengelolaan Tetanus.
Eradikasi bakteri penyebab
Pembersihan luka
Antibiotik Metronidazol 15-30 mg/kgBB/hari dibagi tiap
8-12 jam; tidak melebihi 2 g/hari
Antitoksin netralisasi terhadap luka
Antitoksin kuda
atau manusia
Human tetanus immune globulin
(3.000-6.000 IU /kg i.m) Antitetanus
serum (ATS) 50.000 IU im dan 50.000
IU iv. (terlebih dahulu dilakukan tes
kulit) (untuk tetanus neonatorum
10.000 IU i.v.)
Terapi suportif selama fase akut
Kontrol spasme
otot
Diazepam (iv bolus) 0,1-0,3
mg/kgBB/kali i.v. tiap 2-4 jam, tetanus
neonatorum dosis awitan 0,1-0,2
mg/kgBB iv untuk menghilangkan
spasme akut, diikuti infus tetesan
tetap 15-40 mg/kgBB/hari Dalam
keadaan berat diazepam drip 20
mg/kgBB/hari dirawat di PICU/NICU.
Dosis pemeliharaan 8 mg/kgBB/hari
p.o. dibagi dalam 6-8 dosis
Midazolam (iv infus/bolus)
Vekuronium Bila spasme sangat
hebat pankuronium bromid 0,02
mg/kgBB iv diikuti 0,05
mg/kgBB/dosis diberikan setiap 2-3
jam
Sedasi Diazepam (iv bolus) Midazolam (iv infus/bolus) Morfin
(im/iv) Klorpromazin
Pemeliharaan jalan
napas/ventilasi
Trakeostomi Tekanan positif intermiten Ventilasi
Pemeliharaan
hemodinamik
Penggantian volum yang cukup
Sedasi (seperti di atas) Inotropik
Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan pada pasien tetanus dibagi dalam dua kelompok yaitu:
1. Asuhan Keperawatan Umum, antara lain dengan intervensi sebagai berikut :
Bersihkan jalan napas yang tidak efektif diantaranya dapat menyebabkan
pneumonia aspirasi yang terjadi akibat terkumpulnya air liur (lendir) didalam
mulut karena anak sukar menelan. Jika hal ini tidak sering-sering dihisap,
dapat menyebabkan aspirasi. Untuk menghindari pneumonia aspirasi, kepala
harus dimiringkan jika pasien dalam keadaan telentang (untuk drainase).
Pasien dengan kesulitan bernapas seharusnya dirawat di ruang intensif (ICU).
Status pernapasan dievaluasi dengan hati-hati terhadap adanya tanda-tanda
gawat napas dan peralatan emergensi harus selalu dalam keadaan siap sedia
dan mudah dijangkau.
Jika trismus sudah berkurang lebih lebar dari 3 cm, maka makanan dapat
diberikan per oral dalam bentuk makanan cair dan diberikan memakai
sedotan. Bila trismus makin berkurang, makanan diberikan lunak dengan lauk
cincang. Secara bertahap, bisa diberikan makanan lunak biasa. Susu
diberikan paling tidak dua kali sehari.
2. Asuhan Keperawatan Luka
Perawatan luka merupakan aspek penting dalam pencegahan tetanus selain
pemberian imunisasi. Upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya luka pada
penderita luka sangat tergantung pada penilaian terhadap luka. Apakah lukanya
bersih atau kotor, luka bernanah, luka dengan slough/slaf, luka eskar, luka nekrotik
atau luka berukuran kecil atau besar, luka permukaan atau dalam, dan sebagainya.
Perawatan luka pada tetanus yang biasanya dilakukan selama ini adalah dengan :
- Merawat dan membersihkan luka memakai teknik aseptik.
- Irigasi luka.
- Debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) di ruangan tindakan khusus/ruang
operasi. Tindakan debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) sangat dibutuhkan
untuk membuang jaringan nekrotik yang dapat menghalangi proses penyembuhan
luka dengan menyediakan tempat untuk pertumbuhan bakteri. Saat ini, selain
dengan melakukan tindakan debridement luka secara pembedahan, untuk
membuang jaringan nekrotik pada luka tetanus dapat digunakan bahan terapi topikal
modern yang lebih hemat biaya (seperti hidrogel) yang berfungsi sebagai autolisis
debridement. Autolisis debridement adalah suatu cara peluruhan jaringan nekrotik
yang dilakukan oleh tubuh sendiri dengan syarat utama: lingkungan luka harus
dalam keadaan lembab. Pada keadaan lembab, enzim proteolitik secara selektif
akan melepas jaringan nekrotik. Pada keadaan melunak, jaringan nekrosis akan
mudah lepas dengan sendirinya. Dengan metode autolisis debridement ini,
diharapkan dapat mengurangi tindakan manipulasi terhadap terjadinya
spasme/kejang pada anak. Perawatan luka pada tetanus dengan menggunakan
bahan terapi topikal adalah sebagai berikut:
Dengan teknik aseptik, bersihkan luka/cuci luka dengan menggunakan cairan
fisiologis (normal saline/NaCl 0,9%). Dengan memperhatikan sifat luka
tetanus, dimana anak mudah terangsang mengalami spasme, teknik
pencucian luka tidak boleh digosok, tetapi lakukan dengan irigasi lembut. Bila
menggunakan metode semprot, gunakan jarum no. 18 dan jangan terlalu
kencang menyemprotnya untuk mencegah spasme dan mencegah resiko
perdarahan pada jaringan yang rapuh.
Kemudian oleskan hidrogel ke dalam luka. Posisi luka pasien harus mudah
dicapai sehingga hidrogel dapat diolesi langsung kedalam luka.
Tutup dengan kasa yang sangat tipis dengan sedikit plester, tetapi tidak
terlalu rapat (karena hidrogel memerlukan balutan sekunder).
- Membuang benda asing dalam luka.
- Kompres dengan H2O2.
- Luka dibiarkan terbuka.
Pencegahan
Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal.
Untuk pencegahan, perlu dilakukan:
1. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan
yang sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Toksoid tetanus
pertama kali diproduksi pada tahun 1924. Imunisasi toksoid tetanus
digunakan secara luas pada militer selama Perang Dunia II. Terdapat dua
jenis toksoid tetanus yang tersedia –adsorbed (aluminium salt precipitated)
toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia dalam kemasan antigen
tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan
toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT. Kombinasi toksoid
difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada
anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi
tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin.
Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah satu pencegahan adalah
dengan pemberian imunisasi TT pada wanita usia subur (WUS). Oleh karena
itu, setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan harus
selalu ditanyakan status imunisasi TT mereka dan bila diketahui yang
bersangkutan belum mendapatkan imunisasi TT harus diberi imunisasi TT
minimal 2 kali dengan jadwal sebagai berikut : Dosis pertama diberikan
segera pada saat WUS kontak dengan pelayanan kesehatan atau sendini
mungkin saat yang bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4 minggu
setelah dosis pertama. Dosis ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan setelah dosis
kedua atau setiap saat pada kehamilan berikutnya. Dosis tambahan
sebanyak dua dosis dengan interval satu tahun dapat diberikan pada saat
WUS tersebut kontak dengan fasilitas
2. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka
kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka
dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan
benda asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum
sangat bergantung. Pada penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi
serta perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali
pusat, penting diperhatikan hal-hal berikut ini :27 - Jangan membungkus
punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke dalam punting tali
pusat - Mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak
dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab
3. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6
jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS
profilaksis 3000 IU. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis
untuk anak < 7 tahun : 4 U/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak
≥ 7 tahun : 250 U IM dosis tunggal.
DAFTAR PUSTAKA
Nitin M. Apte and ilip R. karnad (1995-10)”Short report: The spatula test: A simple
Bedside Test to Diagnose Tetanus
(http:www.ajtmh.org/cgi/content/abstract/53/4/386).Am J Trop.Med.Hyg.pp 386-7.
Retrieved on 2007-10-11.
Bleck TP. Clostridium tetani (tetanus). In: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, eds.
Man-dell, Douglas, and Bennett's principles and practice of infectious
diseases. Philadelphia: Churchill Livingstone, 2000: 2537-43.
Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan penyakit
Tropis : Tetanus. Edisi 2. IDAI. 2008