64
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN PERILAKU KEKERASAN PADA WANITA D I S U S U N OLEH : KELAS 2.1 KELOMPOK 7 ELI NOVA SIMARMATA FITRI MARINA JULIAMAN WIWI SANDOVA ZULKIFLI PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

askep wiwi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

MM

Citation preview

KEKERASAN PADA ISTRI DALAM RUMAH TANGGA

PAGE

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

GANGGUAN PERILAKU KEKERASAN PADA WANITAD

I

S

U

S

U

N

OLEH :

KELAS 2.1

KELOMPOK 7

ELI NOVA SIMARMATA

FITRI MARINA

JULIAMAN

WIWI SANDOVA

ZULKIFLI

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

TAHUN 2013DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan Penulisan II. PEMBAHASAN A. Kekerasan Terhadap Perempuan B. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan C. Faktor-faktor yang mendorong terjadi tindak kekerasan pada istri dalam

Rumah tangga D. Pengertian Perilaku KekerasanE.Faktor Predisposisi Perilaku kekerasan

F. Faktor PresipitasiG.Rentang perilaku kemarahanH. Tanda dan GejalaI. Proses Terjadinya MasalahJ. Dampak Kekerasan Terhadap Kesehatan Reproduksi

K. Issu tentang kekerasan dalam rumah tangga.......................................................... L. Implikasi keperawatan yang dapat diberikan untuk menolong kaum

perempuan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga III. CONTOH ASKEP

IV. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ....................................................................................................

Saran .............................................................................................................DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTARPuji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa Atas berkatNya,Sehingga makalah ASUHAN KEPERAWATAN PADA PERILAKU KEKERASAN PADA WANITA ini dapat kami selesaikan dengan baik dan tepat waktu.Banyak rintangan yang kami hadapi dalam menyelesaikan makalah ini. Kami sudah mengusahakan memberi yang terbaik. Maka, dengan adanya makalah ASUHAN KEPERAWATAN PADA PERILAKU KEKERASAN PADA WANITA inilah diharapkan dapat membantu proses pembelajaran dan dapat menambah pengetahuan para pembaca.Dalam kesempatan ini saya berterimah kasih kepada dosen pengajar dan semua pihak memberi doa dan dorongan, semoga ke depan dapat semakin lebih baik lagi.

Medan, Juli 2014Penyusun

(Kelompok 7)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.

Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena beberapa alasan, pertama: ketiadaan statistik kriminal yang akurat, kedua: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privacynya berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctitive of the home), ketiga: tindak kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga, keempat: tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan. (Hasbianto, 1996)

Perspektif gender beranggapan tindak kekerasan terhadap istri dapat dipahami melalui konteks sosial. Menurut Berger (1990), perilaku individu sesungguhnya merupakan produk sosial, dengan demikian nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat turut membentuk prilaku individu artinya apabila nilai yang dianut suatu masyarakat bersifat patriakal yang muncul adalah superioritas laki-laki dihadapan perempuan, manifestasi nilai tersebut dalam kehidupan keluarga adalah dominasi suami atas istri.

Mave Cormack dan Stathern (1990) menjelaskan terbentuknya dominasi laki-laki atas perempuan ditinjau dari teori nature and culture. Dalam proses transformasi dari nature ke culture sering terjadi penaklukan. Laki-laki sebagai culture mempunyai wewenang menaklukan dan memaksakan kehendak kepada perempuan (nature). Secara kultural laki-laki ditempatkan pada posisi lebih tinggi dari perempuan, karena itu memiliki legitimasi untuk menaklukan dan memaksa perempuan. Dari dua teori ini menunjukkan gambaran aspek sosiokultural telah membentuk social structure yang kondusif bagi dominasi laki-laki atas perempuan, sehingga mempengaruhi prilaku individu dalam kehidupan berkeluarga.

Sebagian besar perempuan sering bereaksi pasif dan apatis terhadap tindak kekerasan yang dihadapi. Ini memantapkan kondisi tersembunyi terjadinya tindak kekerasan pada istri yang diperbuat oleh suami. Kenyataan ini menyebabkan minimnya respon masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan suami dalam ikatan pernikahan. Istri memendam sendiri persoalan tersebut, tidak tahu bagaimana menyelesaikan dan semakin yakin pada anggapan yang keliru, suami dominan terhadap istri. Rumah tangga, keluarga merupakan suatu institusi sosial paling kecil dan bersifat otonom, sehingga menjadi wilayah domestik yang tertutup dari jangkauan kekuasaan publik.

Campur tangan terhadap kepentingan masing-masing rumah tangga merupakan perbuatan yang tidak pantas, sehingga timbul sikap pembiaran (permissiveness) berlangsungnya kekerasan di dalam rumah tangga. Menurut Murray A. Strause (1996), bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan moralitas pribadi dalam rangka mengatur dan menegakkan rumah tangga sehingga terbebas dari jangkauan kekuasaan publik.

Di Indonesia data tentang kekerasan terhadap perempuan tidak dikumpulkan secara sistematis pada tingkat nasional. Laporan dari institusi pusat krisis perempuan, menunjukkan adanya peningkatan tindak kekerasan terhadap perempuan,. Menurut Komisi Perempuan (2005) mengindikasikan 72% dari perempuan melaporkan tindak kekerasan sudah menikah dan pelakunya selalu suami mereka. Mitra Perempuan (2005) 80% dari perempuan yang melapor pelakunya adalah para suami, mantan suami, pacar laki-laki, kerabat atau orang tua, 4,5% dari perempuan yang melapor berusia dibawah 18 tahun. Pusat Krisis Perempuan di Jakarta (2005); 9 dari 10 perempuan yang memanfaatkan pelayanan mengalami lebih dari satu jenis kekerasan (fisik, fisiologi, seksual, kekerasan ekonomi, dan pengabaian), hampir 17% kasus tersebut berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi perempuan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rifka Annisa Womsis Crisis Centre (RAWCC, 1995) tentang kekerasan dalam rumah tangga terhadap 262 responden (istri) menunjukan 48% perempuan (istri) mengalami kekerasan verbal, dan 2% mengalami kekerasan fisik. Tingkat pendidikan dan pekerjaan suami (pelaku) menyebar dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi (S2); pekerjaan dari wiraswasta, PNS, BUMN, ABRI. Korban (istri) yang bekerja dan tidak bekerja mengalami kekerasan termasuk penghasilan istri yang lebih besar dari suami (RAWCC, 1995).

Hasil penelitian kekerasan pada istri di Aceh yang dilakukan oleh Flower (1998) mengidentifikasi dari 100 responden tersebut ada 76 orang merespon dan hasilnya 37 orang mengatakan pernah mengalami tindak kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berupa psikologis (32 orang), kekerasan seksual (11 orang), kekerasan ekonomi (19 orang), kekerasan fisik (11 orang). Temuan lain sebagian responden tidak hanya mengalami satu kekerasan saja. Dari 37 responden, 20 responden mengalami labih dari satu kekerasan, biasanya dimulai dengan perbedaan pendapat antara istri (korban) dengan suami lalu muncul pernyataan-pernyataan yang menyakitkan korban, bila situasi semakin panas maka suami melakukan kekerasan fisik.

Dari penelitian ini terungkap bahwa sebagai suami yang melakukan tindak kekerasan kepada istri meyakini kebenaran tindakannya itu, karena prilaku istri dianggap tidak menurut kepada suami, melalaikan pekerjaan rumah tangga, cemburu, pergi tanpa pamit. Hal ini diyakini oleh pihak istri, sehingga mereka mengalami kekerasan dari suaminya dan cenderung diam tidak membantah.

Penelitian yang mengkaitkan tindak kekerasan pada istri yang berdampak pada kesehatan reproduksi masih sedikit. Menurut Hasbianto (1996), dikatakan secara psikologi tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga menyebabkan gangguan emosi, kecemasan, depresi yang secara konsekuensi logis dapat mempengaruhi kesehatan reproduksinya. Menurut model Dixon-Mudler (1993) tentang kaitan antara kerangka seksualitas atau gender dengan kesehatan reproduksi; pemaksaan hubungan seksual atau tindak kekerasan terhadap istri mempengaruhi kesehatan seksual istri. Jadi tindak kekerasan dalam konteks kesehatan reproduksi dapat dianggap tindakan yang mengancam kesehatan seksual istri, karena hal tersebut menganggu psikologi istri baik pada saat melakukan hubungan seksual maupun tidak.

Dari latar belakang ini, penulis tertarik untuk membahas lebih jauh mengenai tindakan kekerasan pada istri dalam rumah tangga berdampak terhadap kesehatan reproduksi.B. Tujuan Penulisan1. Tujuan Umum: mampu memahami secara menyeluruh tentang tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga dan dampaknya terhadap kesehatan reproduksi perempuan serta implikasi keperawatan yang dapat diberikan.

2. Tujuan Khusus:

a) Dapat mengidentifikasi bentuk tindakan kekerasan dan kategori pada istri dalam rumah tangga.

b) Dapat menjelaskan faktor-faktor yang mendorong terjadi tindak kekerasan dalam rumah tangga.

c) Memperoleh persepsi istri terhadap tindakan kekerasan yang dialaminya.

d) Dapat menjelaskan dampak tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan repro-duksinya.

e) Dapat mengetahui adanya issu tentang kekerasan dalam rumah tangga

f) Dapat mengimplikasikan peran perawat dalam melakukan pendampingan korban tindak kekerasan dalam rumah tangga

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kekerasan Terhadap Perempuan

Komnas Perempuan (2001) menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah segala tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan yang berakibat atau kecenderungan untuk mengakibatkan kerugian dan penderitaan fisik, seksual, maupun psikologis terhadap perempuan, baik perempuan dewasa atau anak perempuan dan remaja. Termasuk didalamnya ancaman, pemaksaan maupun secara sengaja meng-kungkung kebebasan perempuan. Tindakan kekerasan fisik, seksual, dan psikologis dapat terjadi dalam lingkungan keluarga atau masyarakat.

Kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-undang RI no. 23 tahun 2004 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau pe-rampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Tindakan kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga merupakan salah satu bentuk kekerasan yang seringkali terjadi pada perempuan dan terjadi di balik pintu tertutup. Tindakan ini seringkali dikaitkan dengan penyiksaan baik fisik maupun psikis yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan yang dekat.

Tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga terjadi dikarenakan telah diyakini bahwa masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi, dimana laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk menguasai dan mengontrol perempuan. Hal ini menjadikan perempuan tersubordinasi. Di samping itu, terdapat interpretasi yang keliru terhadap stereotipi jender yang tersosialisasi amat lama dimana perempuan dianggap lemah, sedangkan laki-laki, umumnya lebih kuat. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Sciortino dan Smyth, 1997; Suara APIK,1997, bahwa menguasai atau memukul istri sebenarnya merupakan manifestasi dari sifat superior laki-laki terhadap perempuan.

Kecenderungan tindak kekerasan dalam rumah tangga terjadinya karena faktor dukungan sosial dan kultur (budaya) dimana istri di persepsikan orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Hal ini muncul karena transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu, istri harus nurut kata suami, bila istri mendebat suami, dipukul. Kultur di masyarakat suami lebih dominan pada istri, ada tindak kekerasan dalam rumah tangga dianggap masalah privasi, masyarakat tidak boleh ikut campur (http://kompas.com).

Saat ini dengan berlakunya undang-undang anti kekerasan dalam rumah tangga disetujui tahun 2004, maka tindak kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya urusan suami istri tetapi sudah menjadi urusan publik. Keluarga dan masyarakat dapat ikut mencegah dan mengawasi bila terjadi kekerasan dalam rumah tangga (http://kompas.com).

B. Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :

1. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.

2. Kekerasan psikologis / emosional

ologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana memaksakan kehendak.

3. Kekerasan seksual

Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.

4. Kekerasan ekonomi

Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri (http://kompas.com., 2006).C. Faktor-faktor yang mendorong terjadi tindak kekerasan dalam

Rumah tangga

Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks struktur masya-rakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:

1. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki

Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.

2. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi

Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.

3. Beban pengasuhan anak

Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.

4. Wanita sebagai anak-anak

konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.

5. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki

Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.D. Pengertian Perilaku Kekerasan Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah yang tidak konstruktif (Stuart dan Sundeen, 1995).Perilaku kekerasan merupakan respons terhadap stressor yang dihadapi oleh seseorang, yang ditunjukkan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan, baik pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, secara verbal maupun nonverbal, bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Berkowitz, 2000). Suatu keadaan di mana seorang individu mengalami perilaku yang dapat melukai secara fisik baik terhadap diri sendiri atau orang lain (Towsend, 1998). Sedangkan menurut Maramis (2004), perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang-barang.E.Faktor Predisposisi Perilaku kekerasana. Teori Biologik1. Faktor neurologis, beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinaps, neurotransmitter, dendrit, axon terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang akan memengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif. 2. Faktor genetik, adanya faktor gen yang diturunkan melalu orang tua, menjadi potensi perilaku agresif. Menurut riset Kazuo Murakami (2007) dalam gen manusia terdapat potensi agresif yang sedang tidur dan akan bangun jika terstimulasi oleh faktor eksternal. Menurut penilitian genetik tipe karyo-type XYY, pada umumnya dimiliki oleh penghuni pelaku tindak kriminal serta orang-orang yang tersangkut hukum akibat perilaku agresif. 3. Irama sirkadian tubuh, memegang peranan pada individu. Menurut penelitian pada jam-jam tertentu manusia mengalami peningkatan cortisol terutama pada jam-jam sibuk seperti menjelang masuk kerja dan menjelang berakhirnya pekerjaan sekitar jam 9 dan jam 13. Pada jam tertentu orang lebih mudah terstimulasi untuk bersikap agresif. 4. Faktor biokimia tubuh, seperti neurotransmitter di otak (epinephrin, norepinephrin, dopamin, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam penyampaian informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh, adanya stimulasi dari luar tubuh yang dianggap mengancam atau membahayakan akan dihantar melalui impuls neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabut efferent. Peningkatan hormon androgen dan norepinephrin serta penurunan serotonin dan GABA pada cairan serebrospinal vertebra dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif.5. Brain Area disorder, gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, sindrom otak organik, tumor otak, trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi ditemukan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.b. Teori Psikologik1. Teori Psikoanalisa Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh kembang seseorang (life span hystori). Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan air susu yang cukup cenderung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai kompensasi adanya ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat konsep diri yang rendah. Perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa ketidakbedayaannya dan rendahnya harga diri pelaku tindak kekerasan.2. Imitation, modeling, and information processing theory Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang menolelir kekerasan. Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru dari media atau lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku tersebut. Dalam suatu penelitian beberapa anak dikumpulkan untuk menonton tayangan pemukulan pada boneka dengan reward positif (makin keras pukulannya akan diberi coklat). Setelah anak-anak keluar dan diberi boneka ternyata masing-masing anak berperilaku sesuai dengan tontonan yang pernah dialaminya.3. Learning theory Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadaop lingkungan terdekatnya. Ia mengamati bagaimana respons ayah saat menerima kekecewaan dan mengamati bagaimana respons ibu saat marah. Ia juga belajar bahwa dengan agresivitas lingkungan sekitar menjadi peduli, bertanya, menanggapi, dan menganggap bahwa dirinya eksis dan patut untuk diperhitungkan.c. Teori Sosiokultural Dalan budaya tertentu seperti rebutan berkah, rebutan uang receh, sesaji atau kotoran kerbau di keraton, serta ritual-ritual yang cenderung mengarah pada kemusyrikan secara tidak langsung turut memupuk sikap agresif dan ingin menang sendiri. Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah dalam masyarakat merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan. Hal ini dipicu juga dengan maraknya demonstrasi, film-film kekerasan, mistik, tahayul dan perdukunan (santet, teluh) dalam tayangan televisi. d. Aspek Religiusitas Dalam tinjauan religiusitas, kemarahan dan agresivitas merupakan dorongan dan bisikan syetan yang sangat menyukai kerusakan agar manusia menyesal (devil support). Semua bentuk kekerasan adalah bisikan syetan melalui pembuluh darah ke jantung, otak dan organ vital manusia lain yang dituruti manusia sebagai bentuk kompensasi bahwa kebutuhan dirinya terancam dan harus segera dipenuhi tetapi tanpa melibatkan akal (ego) dan norma agama (super ego).F. Faktor Presipitasi Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan seringkali berkaitan dengan :1. Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian massal dan sebagainya.2. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.3. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik. 4. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan menempatkan dirinya sebagai seorang yang dewasa.5. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.6. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.G.Rentang perilaku kemarahanPerilaku atau respon kemarahan dapat berflutuatif dalam rentang adaptif sampai maladaptif. Rentang respon marah menurut Stuart dan Sundeen (dalam Sulistyowati, 2009), dimana amuk (perilaku kekerasan) dan agresif berada pada rentang maladaptif, seperti pada gambar berikut:

Keterangan:a. Asertif, merupakan ungkapan rasa tidak setuju atau kemarahan yang dinyatakan atau diungkapkan tanpa menyakiti orang lain sehingga akan memberikan kelegaan dan tidak menimbulkan masalah. Asertif merupakan bentuk perilaku untuk menyampaikan perasaan diri dengan kepastian dan memperhatikan komunikasi yang menunjukkan respek pada orang lain (Stuart dan Laraia, 2005).b. Frustasi, adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan yang tidak realistis atau hambatan dalam pencapaian tujuan.c. Pasif, merupakan kelanjutan dari frustasi, dalam keadaan ini individu tidak menemukan alternatif lain penyelesaian masalah, sehingga terlihat pasif dan tidak mampu mengungkapkan perasaannya.d. Agresif, adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak destruktif tapi masih terkontrol. Perilaku yang tampak berupa muka masam, bicara kasar, menuntut, dan kasar.e. Amuk (perilaku kekerasan), yaitu perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri, sehingga individu dapat merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan.H. Tanda dan Gejala Perawat dapat mengidentifikasi dan mengobservasi tanda dan gejala perilaku kekerasan :1. Fisika) Muka merah dan tegangb) Mata melotot atau pandangan tajamc) Tangan mengepald) Rahang mengatupe) Wajah memerah dan tegangf) Postur tubuh kakug) Pandangan tajamh) Mengatupkan rahang dengan kuati) Mengepalkan tanganj) Jalan mondar-mandir2. Verbal a) Bicara kasarb) Suara tinggi, membentak atau berteriakc) Mengancam secara verbal atau fisikd) Mengumpat dengan kata-kata kotore) Suara kerasf) Ketus3. Perilaku a) Melempar atau memukul benda/orang lainb) Menyerang orang lainc) Melukai diri sendiri/orang laind) Merusak lingkungan e) Amuk/agresif4. EmosiTidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam dan jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut.5. IntelektualMendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, sarkasme.6. SpiritualMerasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat orang lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak peduli dan kasar.7. SosialMenarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.8. Perhatian Bolos, mencuri, melarikan diri, penyimpangan seksual.I. Proses Terjadinya MasalahDepkes (2000) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah merupakan bagian kehidupan sehari -hari yang harus dihadapi oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan yang mengarah pada perilaku kekerasan. Respon terhadap marah dapat diekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal dapat berupa perilaku kekerasan sedangkan secara internal dapat berupa perilaku depresi dan penyakit fisik.Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain, akan memberikan perasaan lega, menu runkan ketegangan, sehingga perasaan marah dapat diatasi (Depkes, 2000).Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan, biasanya dilakukan individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tentunya tidak akan menyelesaikan masalah bahkan dapat menimbulkan kemarahan yang berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku destruktif, sepertitindakan kekerasan yang ditujukan kepada orang lain maupun lingkungan.Perilaku yang tidak asertif seperti perasaan marah dilakukan individu karena merasa tidak kuat. Individu akan pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa marahnya sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikianakan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu saat dapat menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri (Depkes, 2000).J. Dampak kekerasan terhadap kesehatan reproduksi.

Kesehatan reproduksi menurut ICPD (1994) adalah suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya.

Masalah kesehatan perempuan merupakan masalah penting dan serius karena sejak dua dekade terakhir Angka Kematian Ibu (AKI) tidak pernah turun. Berdasarkan hasil penelitian SKRT (2000) AKI sebesar 396 / 100000, Aborsi tidak aman berkontribusi terhadap AKI : 11-17 % (Herdayati, 2002), bisa mencapai 50 % (Azrul Azwar, 2003). Angka aborsi 2-2,3 juta/tahun (Utomo, 2001), pelaku Aborsi 87 % wanita kawin, penyebab : 57,5 % Psikososial dan 36 % gagal KB (YKP, 2002).

Menurut Suryakusuma (1995) efek psikologis penganiayaan bagi banyak perempuan lebih parah dibanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan. Namun, tidak jarang akibat tindak kekerasan terhadap istri juga meng-akibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara biologis yang pada akhirnya meng-akibatkan terganggunya secara sosiologis. Istri yang teraniaya sering mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha menyembunyikan bukti penganiayaan mereka.

Sehubungan dengan dampak tindak kekerasan terhadap kehidupan seksual dan repro-duksi perempuan, penelitian yang dilakukan oleh Rance (1994) yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia (1995) kekerasan dan dominasi laki-laki dapat membatasi dan membentuk kehidupan seksual dan reproduksi perempuan. Selain itu, laki-laki juga sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan tentang alat kontrasepsi yang dipakai oleh pasangannya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan di Norwegia oleh Schei dan Bakketeig (1989) yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia (1995) juga menyatakan bahwa perempuan yang tinggal dengan pasangan yang suka melakukan tindak kekerasan menunjukkan masalah-masalah ginekologis yang lebih berat ketim-bang dengan yang tinggal dengan pasangan/suami normal ; bahkan problem gineko-logis ini bisa berlanjut dalam rasa sakit terus menerus.

Tindak kekerasan terhadap istri perlu diungkap untuk mencari alternatif pemberdayaan bagi istri agar terhindar dari tindak kekerasan yang tidak semestinya terjadi demi terwujudnya hak perempuan untuk memperoleh kesehatan reproduksi yang sehat.

Perempuan terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat tidak hamil mengalami gangguan menstruasi seperti menorrhagia, hipomenorrhagia atau metrorhagia bahkan wanita dapat mengalami menopause lebih awal, dapat mengalami penurunan libido, ketidakmampuan mendapatkan orgasme, akibat tindak kekerasan yang dialaminya.

Di seluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran / abortus, persalinan imatur dan bayi meninggal dalam rahim.Pada saat bersalin, perempuan akan mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus, persalinan lama, persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari kehamilan dapat melahirkan bayi dengan BBLR, terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik atau bayi lahir mati.Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah tangga diantaranya adalah perubahan pola fikir, emosi dan ekonomi keluarga. Dampak terhadap pola fikir istri. Tindak kekerasan juga berakibat mempengaruhi cara berfikir korban, misalnya tidak mampu berfikir secara jernih karena selalu merasa takut, cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bisa percaya kepada apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi korban termasuk tekanan mental, gangguan fisik, pusing, nyeri haid, terinfeksi penyakit menular (www.depkes.go.id).

Dampak terhadap ekonomi keluarga. Dampak lain dari tindakan kekerasan meskipun tidak selalu adalah persoalan ekonomi, menimpa tidak saja perempuan yang tidak bekerja tetapi juga perempuan yang mencari nafkah. Seperti terputusnya akses ekono-mi secara mendadak, kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga untuk hunian, kepindahan, pengobatan dan terapi serta ongkos perkara. Dampak terhadap status emosi istri. Istri dapat mengalami depresi, penyalahgunaan / pemakaian zat-zat tertentu (obat-obatan dan alkohol), kecemasan, percobaan bunuh diri, keadaan pasca trauma dan rendahnya kepercayaan diri.

K. Issu tentang kekerasan dalam rumah tangga.

Isu penindasan terhadap wanita terus menerus menjadi perbincangan hangat. Salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Perjuangan penghapusan KDRT nyaring disuarakan organisasi, kelompok atau bahkan negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. Juga berdasar Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah di artifikasi oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.Perjuangan penghapusan KDRT berangkat dari fakta banyaknya kasus KDRT yang terjadi dengan korban mayoritas perempuan dan anak-anak. Hal ini berdasarkan sejumlah temuan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dari berbagai organisasi penyedia layanan korban kekerasan.Tanggal 22 September 2004 merupakan tanggal bersejarah bagi bangsa Indonesia. Pada tanggal tersebut, perjuangan perempuan Indonesia, terutama yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Kebijakan Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jangka-PKTP), yang merupakan gabungan LSM perempuan se-Indonesia, membuahkan hasil disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi UU. Kelompok mencoba mengidentifikasikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yaitu pertama faktor pembelaan atas kekuasaan laki-laki dimana laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita. Kedua, faktor Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi, dimana diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi perempuan untuk bekerja mengakibatkan perempuan (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan. Ketiga, faktor beban pengasuhan anak dimana istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga. Keempat yaitu faktor wanita sebagai anak-anak, dimana konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan keleluasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib, Kelima faktor orientasi peradilan pidana pada laki-laki, dimana posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga

Penerapan sistem itu telah meluluh-lantakkan sendi-sendi kehidupan asasi manusia. Dari sisi ekonomi misalnya, sistem kapitalisme mengabaikan kesejahteraan seluruh umat manusia. Sistem ekonomi kapitalistik menitikberatkan pertumbuhan dan bukan pemerataan. Pembangunan negara yang diongkosi utang luar negeri, dan merajalelanya perilaku kolusi dan korupsi pada semua lini pemerintahan, telah meremukkan sendi-sendi perekonomian bangsa. Tak kurang 70% penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan. Mereka tidak mampu menghidupi diri secara layak karena negara mengabaikan pemenuhan kebutuhan pokok mereka. Himpitan ekonomi inilah yang menjadi salah satu pemicu orang berbuat nekat melakukan kejahatan, termasuk munculnya KDRT. Banyak kasus KDRT menimpa keluarga miskin, dipicu ketidakpuasan dalam hal ekonomi

Dari sisi hukum, ketiadaan sanksi yang tegas dan membuat jera pelaku telah melanggengkan kekerasan atau kejahatan di masyarakat. Seperti pelaku pemerkosaan yang dihukum ringan, pelaku perzinaan yang malah dibiarkan, dan lain lain. Dari sisi sosial-budaya, gaya hidup hedonistik yang melahirkan perilaku permisif, kebebasan berperilaku dan seks bebas, telah menumbuh-suburkan perilaku penyimpangan seksual seperti homoseksual, lesbianisme dan hubungan seks disertai kekerasan.Dari sisi pendidikan, menggejalanya kebodohan telah memicu ketidak-pahaman sebagian masyarakat mengenai dampak-dampak kekerasan dan bagaimana seharusnya mereka berperilaku santun. Ini akibat rendahnya kesadaran pemerintah dalam penanganan pendidikan, sehingga kapitalisasi pendidikan hanya berpihak pada orang-orang berduit saja. Lahirlah kebodohan secara sistematis pada masyarakat. dan kemerosotan pemikiran masyarakat, sehingga perilakupun berada pada derajat sangat rendah.Untuk persoalan ini, dibutuhkan penerapan hukum yang menyeluruh oleh negara. Kalau tidak akan terjadi ketimpangan. Sebagai contoh sulit untuk menghilangkan pelacuran, kalau faktor ekonomi tidak diperbaiki. Sebab, tidak sedikit orang melacur karena persoalan ekonomi. Kekerasaan dalam rumah tangga, kalau hanya dilihat dari istri harus mengabdi kepada suami, pastilah timpang. Padahal dalam Islam, suami diwajibkan berbuat baik kepada istri. Kekerasaan yang dilakukan oleh suami seperti menyakiti fisiknya bisa diberikan sanksi diyat. Disinilah letak penting tegaknya hukum yang tegas dan menyeluruh

Menurut pasal 11 UU PKDRT, pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga dan menurut pasal 12 ayat (1) menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah tangga juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun, nyatanya, sosialisasi dan advokasi kekerasan dalam rumah tangga masih minim. Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui apalagi memahami UU PKDRT, bahkan di kalangan aparat penegak hukum masih timbul berbagai persepsi. Sehubungan dengan banyaknya hal baru dalam UU PKDRT yang tidak ditemukan dalam UU lain, seperti perlindungan sementara dan perintah perlindungan, juga adanya tindak pidana berupa jenis kekerasan lain di luar kekerasan fisik, diperlukan pendidikan dan pelatihan yang memadai bagi aparat penegak hukum dan pekerja sosial untuk menyamakan persepsi. Di samping itu, diperlukan sosialisasi yang memadai bagi masyarakat luas, terutama bagi para pihak yang berpotensi melakukan KDRT, sebagai upaya pencegahan. Bagi pihak yang mungkin menjadi korban KDRT, sosialisasi perlu, agar bila terjadi KDRT, ia dapat memperbaiki nasibnya karena telah mengetahui hak-haknya.

UU PKDRT perlu direvisi pada bagian-bagian yang rancu dan perlu penambahan jenis kekerasan, seperti kekerasan ekonomi dan kekerasan sosial. Selain itu, diperlukan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang tidak sejalan dengan napas kesetaraan gender, antara lain dengan merevisi UU Perkawinan, agar peraturan perundang-undangan bisa saling mendukung dan tidak saling bertentangan, supaya UU PKDRT dapat dirasakan efektivitasnya. Penegakan hukum UU PKDRT tidak akan terlepas dari penegakan hukum pada umumnya. Apabila negara tidak dapat menciptakan supremasi hukum, perlindungan yang diatur dalam UU PKDRT hanya akan berupa law in book (teori) belaka, sedangkan dalam law in action (praktik) akan sulit terwujud. Oleh karena itu, supremasi hukum harus ditegakkan.L. Implikasi keperawatan yang dapat diberikan untuk menolong kaum perempuan dari tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah :1. Merekomendasikan tempat perlindungan seperti crisis center, shelter dan one stop crisis center.

2. Memberikan pendampingan psikologis dan pelayanan pengobatan fisik korban. Disini perawat dapat berperan dengan fokus meningkatkan harga diri korban, memfasilitasi ekspresi perasaan korban, dan meningkatkan lingkungan sosial yang memungkinkan. Perawat berperan penting dalam upaya membantu korban kekerasan diantaranya melalui upaya pencegahan primer terdiri dari konseling keluarga, modifikasi lingkungan sosial budaya dan pembinaan spiritual, upaya pencegahan sekunder dengan penerapan asuhan keperawatan sesuai permasalah-an yang dihadapi klien, dan pencegaha tertier melalui pelatihan/pendidikan, pem-bentukan dan proses kelompok serta pelayanan rehabilitasi.

3. Memberikan pendampingan hukum dalam acara peradilan.

4. Melatih kader-kader (LSM) untuk mampu menjadi pendampingan korban kekerasan.

5. Mengadakan pelatihan mengenai perlindungan pada korban tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai bekal perawat untuk mendampingi korban.

BAB IIICONTOH KASUS DAN ASUHAN KEPERAWATANA.Contoh kasusKASUSNy T (45 tahun) masuk RS 2 hari yang lalu. Diantar keluarga karena mengamuk dan memukul. Saat dikaji tentang perilaku amuk, klien menolak dengan mengatakan bahwa dia tidak mengamuk dan memukul. Pandangan mata klien tampak tajam dan wajah tampak tegang. Klien tampak gelisah dan selalu mondar mandir diruang rawat.Klien mengatakan kesal karena sering dibentak-bentak dan sering kesal jika mengingat peristiwa perceraian dengan Suaminya Tn B 1 tahun lalu. Klien mengatakan malu karena suaminya selingkuh dan tak tahu harus bagaimana lagi membimbing suaminya hingga akhirnya kami bercerai. Klien mengatakan saya melempar barang-barang rumah dan menyobek-nyobek semua kenangan yang ada tentang suami saya.Rekam medis : klien dirawat karena marah-marah sejak 1,5 tahun yang lalu. Klien sering membanting alat-alat keperluan rumah tangga yang ada dirumah.Tanggal Pengkajian :10 juli 2014

PENGKAJIAN

1. Identitas Klien

Nama :Sdr TAniaAlamat:Helvetia medan gg keluarga

Umur:35 Tahun

Jenis Kelamin:perempuan

Status:sudah Menikah

Agama :Islam

Pendidikan :SMA

Suku/Bangsa:Jawa/Indonesia

2. Identitas Penanggung Jawab

Nama :NY. W

Umur :37 Tahun

Agama :Islam

Pekerjaan :Wiraswasta

Alamat:Helvetia medan gg keluarga

Hubungan dengan Klien: ibu kandungNo.NamaL/PHub.KelUmurPend.Pekerjaan Status Kesehatan

1.Tn. ALKK(cerai)37 ThnSLTPKaryawan PabrikSehat

2.Ny. WPIstri (cerai)35 ThnSDIbu Rumah TanggaSakit

3.An. PLAnak19 Thn--Sehat

4An. APanak7 ThnSehat

Komposisi keluarga2. Riwayat keperawatana. Alasan masuk

Menurut keterangan keluarga klien marah-marah sejak 1,5 tahun yang lalu. Klien sering membanting alat-alat keperluan rumah tangga yang ada dirumahb. Faktor predisposisi

Riwayat sakit jiwa

Klien tidak punya riwayat sakit jiwa dan dalam keluarga sebelumnya tidak ada yang mengalami gangguan jiwa, sehingga klien belum pernah masuk RS.

Riwayat pengobatan

Klien belum pernah mendapatkan pengobatan yang berhubungan dengan kejiwaan hanya saja sering mengkonsumsi obat tidur dengan aturannya sendiri.

Riwayat perilaku kekerasan

Klien suka dibentak-bentak sehingga membuatnya kesal ditambah dengan Suaminya selingkuh dan tak tahu harus bagaimana membimbing istrinya klien merasa malu.c. Faktor prespitasi

Kurang lebih satu tahun yang lalu pasien bercerai dengan suaminya dan merasa kesal jika mengingat peristiwa itu.

d. Riwayat penyakit sekarang Pasien mengatakan kesal dan marah-marah jika ingat masa lalunya yang bercerai dengan suaminya dan ingin membuang semua dan barang-barang dirumah.3.Pemeriksaan Fisik

1. Tanda tanda Vital :

Tekanan darah : 130/80 mmHgNadi

: 88 x/menit

Suhu badan

: 36.4 0C

Respirasi

: 23 x/menit

2.Ukuran

Tinggi Badan

: 172 cm

Berat badan

: 70 Kg

Kondisi Fisik

Klien mengatakan kondisi tubuhnya saat ini baik baik saja dan tidak ada keluhan fisik.3. Psikososial

Keterangan :

Laki laki

Satu Rumah

PerempuanGaris Perkawinan

MeninggalGaris Keturunan

KlienPasien merupakan anak pertama dari 5 bersaudara, pasien mempunyai 4 adik, 2 sudah bekerja dan yang 2 lagi perempuan, keduanya SMA. Kliendan anak anaknya ,satu laki laki berusia 19 tahun dan perempuan berusia 7 tahun. tinggal bersama keluarganya karena sudah bercerai dengan istrinya sekitar 1 tahun lalu.b. Konsep Diri

Gambaran Diri

Pasien mengatakan dari semua anggota badannya disenangi matanya, ia mengatakan sangat bangga dengan keadaan klien saat ini. Identitas Diri

Pasien mengatakan tahu bahwa dirinya perempuan berumur 35 tahun dan pasien adalah anak pertama dari 5 bersaudara.

Peran Diri

Pasien sebelum gangguan jiwa mempunyai keluarga yang kurang harmonis dan bercerai dengan istrinya 1 tahun yang lalu.

Ideal Diri

Pasien mengatakan ingin memiliki keluarga yang bahagia lagi seperti dulu dan melupakan masa lalunya.

Harga Diri

Pasien mengatakan malu karena suaminya selingkuh dan tidak tahu harus bagaimana sehingga merasa gagal menjadi seorang istri Masalah Keperawatan: gangguan konsep diri : HDR

c. Hubungan Sosial

Pasien jika ada masalah lebih memilih diam dan tiba tiba bisa mengamuk dan memukul pada orang orang yang ada disekitarnya. Dalam berhubungan dengan oranglain sebelum mengalami peristiwa perceraian dengan suamiya klien tampak bersahabat dan mudah bergaul, namun setelah peristiwa perceraian terjadi klien mengamuk.

d.Spiritual

Dulu pasien selalu taat beribadah namun, sekarang tidak.

4. Status Mentala. Penampilan

Penampilan pasien rapi.b. Pembicaraan

Saat menyinggung masalah pasien, pasien nada suara meninggi , terlihat tegang dan gelisah.

c. Aktivitas Motorik

Kontak mata tajam, gelisah dan mondar-mandir di ruangan.

d. Afek

Afek pasien sesaat stimulus yang diberikan, ekspresi wajah tegang saat ditanya dan menolak jika dia mengamuk dan memukul.

e. Alam Perasaan

Pasien mengatakan malu karena suaminya selingkuh dan tidak tahu harus bagaimana.f. Interaksi Selama Wawancara

Kontak mata ada, wajah tegang, pasien kooperatif menjawab pertanyaan.

g. Persepsi

Klien tidak berpersepsi negatif, hanya dia merasa dirinya gagal sebagai istri.h. Proses FikirKlien mengalami pengulangan pembicaraan walaupun pembicaraan klien bisa dimengerti, klien mampu serius dan mampu berkonsentrasi. i. Isi Fikir

Pasien ada gangguan isi fikir yaitu obsesi, pasien mengatakan ingin sekali mengamuk, menyobek-nyobek barang-barang mantan suaminya.j. Tingkat Kesadaran

Pembicaraan pasien teratur, namun intonasinya keras.

k. Memori

Pasien dapat mengingat kejadian jangka panjang.l. Tingkat konsentrasi berhitung

Pasien dapat berkonsentrasi terhadap pertanyaan yang diajukan pasien mampu berhitung 1,2,3,4,5,6,7,8,9,10. pasien mengatakan umurnya 35 tahun.5. Kebutuhan persiapan pulanga. Makan

Dirumah pasien mau makan tanpa disuruh, di RS pasien makan teratur.

b. BAK / BAB

Dirumah pasien BAK/BAB pada tempatnya, di RSMM pasien juga selalu BAK/ BAB di tempatnya.

c. Mandi

Pasien mengatakan dirumah mandi 2x sehari, dirumah sakit mandi tanpa disuruh.

d. Berpakaian

Selama dirumah peduli cara berpakaian/ penampilan, cara berpakaian rapi, namun di RS pakaiannya juga rapi. e. Kebersihan Diri

Pasien mandi rutin tapi Kalau tidak diingatkan gosok gigi pasien tidak mau gosok gigi di Rumah Sakit juga.f. Istirahat dan Tidur

Dirumah pasien jarang bisa tidur lebih suka melamun, dirumah sakit pasien gelisah dan selalu mondar mandir di dalam ruang rawat.

g. Penggunaan Obat

Dirumah klien tidak mengkonsumsi obat, di RS di beri obat penenang.

6. Mekanisme KopingKlien cara mengatasinya dengan displacement atau tidak tau tempatnya ketika ingin marah mengamuk begitu saja namun klien mengatakan ingin melupakan masa lalu nya, pasien mengatakan saat di rumah karena ditinggal suaminya, pasien kesal dan marah-marah.

7. Masalah Psikososial dan LingkunganPasien mengatakan setiap ada masalah tidak pernah bercerita dengan orang lain . Data FokusDSDO

Klien mengatakan kesal, karena sering dibentak-bentak Klien sering kesal, jika ingat peristiwa perceraian dengan suami nya Klien mengatakan bahwa saya melempar barang-barang milik mantan istri saya keluar dan menyobek-nyobek kenangan yang ada tentang istri saya Klien menolak dengan mengatakan bahwa dia tidak mengamuk dan memukul Klien malu karena suaminya selingkuh dan tak tahu harus bagaimana lagi membimbing suaminya Klien mengamuk dan memukul Pandangan klien tampak tajam dan wajah tampak tegang Klien tampak gelisah dan selalu mondar-mandir diruang rawat Klien marah-marah sejak 1,5 tahun lalu Klien sudah bercerai 1 tahun lalu Klien mengamuk, merusak dan membanting alat keperluan rumah tangga

Klien gelisah dan terlihat bingung sudah tidak berharga lagi setelah kejadian suaminya selingkuh

Analisa DataNoSymptomProblem

1Ds :

Klien mengatakan kesal, karena sering dibentak-bentak Klien sering kesal, jika ingat peristiwa perceraian dengan nya Klien mengatakan bahwa klien melempar barang-barang milik mantan istri saya keluar dan menyobek-nyobek kenangan yang ada tentang suami sayaDo :

Pandangan klien tampak tajam dan wajah tampak tegang Klien tampak gelisah dan selalu mondar-mandir diruang rawat Klien marah-marah sejak 1,5 tahun laluPerilaku kekerasan

2Ds :

Klien menolak dengan mengatakan bahwa dia tidak mengamuk dan memukul Klien malu karena suaminya selingkuh dan tak tahu harus bagaimana lagi membimbing suaminyaDo :

Klien sudah bercerai 1 tahun lalu Klien gelisah dan terlihat bingung sudah tidak berharga lagi setelah kejadian suaminya selingkuhHarga Diri Rendah (HDR)

3Ds :

Klien mengamuk dan memukul

Klien sering kesal, jika ingat peristiwa perceraian dengan suaminya dan melempar barang-barang ke luar

Do :

Pandangan klien tampak tajam dan wajah tampak tegang Klien tampak gelisah dan selalu mondar-mandir diruang rawat Rekam medis : klien dirawat karena marah-marah sejak 1,5 tahun yang lalu. Klien sering membanting alat-alat keperluan rumah tangga yang ada dirumah.

RPK

B. POHON MASALAHC. DIAGNOSA KEPERAWATAN Perilaku kekerasan Gangguan konsep diri: HDR

RPK terhadap diri dan orang lain dan lingkungan

D. PERENCANAAN0NO.DX KEP.NICNOC

(INTERVENSI)

TUJUANKRITERIA EVALUASI

1.

RPK (Resiko Perilaku Kekerasan)TUM:- Pasien dapatmelanjutkanhubungan peransesuai tanggung

jawab.

TUK:

1.Pasien dapat Membina Hubungan saling percayaSetelah dilakukan 3x20 menit interaksi diharapkan klien menunjukkan tanda-tandaa. Pasien mau membalas salam.

b. Pasien mau jabatan

c. Pasien menyebutkan Nama

d. Pasien tersenyum

e. Pasien ada kontak Mata

f. Pasien tahu nama PerawatPasien menyediakan waktu untuk kontrak Beri salam / panggil nama pasien.

Sebut nama perawat sambil Salaman

Jelaskan maksud hubungan Interaksi

Beri rasa nyaman dan sikap EmpatisLakukan kontrak singkat tapi sering

TUK:

2. Pasien dapat mengidentifikasi penyebab marah / amuk

Pasien dapat Mengungkapkan perasaannya.

Pasien dapat menyebutkan perasaan marah / jengkelBeri kesempatan untuk Mengungkapkan perasaannya. Bantu pasien untuk mengungkapkan marah atau jengkel.

TUK:

3. PPasien dapat mengidentifikasi tanda marah

Pasien dapat mengungkapkan perasaan saat marah /jengkel. Pasien dapat menyimpulkan tanda-tanda jengkel / kesal Anjurkan pasien

mengungkapkan perasaan

saat marah /jengkel.

Observasi tanda perilaku

kekerasan pada pasien

TUK:

4. PPasien dapat mengungkapkan perilaku marah yang sering dilakukan d. Pasien mengungkapkan marah yang biasa dilakukan e. Pasien dapat bermain peran dengan perilaku marah yang dilakukan f. Pasien dapat mengetahui cara marah yang dilakukan menyelesaikan masalah atau tidak Anjurkan pasien mengungkapkan marah yang biasa dilakukan Bantu pasien bermain peran sesuai perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.Bicarakan dengan pasien apa dengan cara itu bisa menyelesaikan masalah

TUK:

5. PPasien dapat mengidentifikasi akibat perilaku Kekerasana. Pasien dapat menjelaskan akibat dari cara yang digunakan

Bicarakan akibat / kerugian cara yang dilakukan

Bersama pasien menyimpulkan cara yang digunkana pasien.Tanyakan pasien apakah mau tahu cara marah yang sehat

TUK:

6. PPasien mengidentifikasi cara construksi dalam berespon terhadap perilaku kekerasana. Pasien dapat

melakukan berespon terhadap kemarahan secara konstruktif.

Tanyakan pada pasien apakah pasien mau tahu cara baru yang sehat

Beri pujian jika pasien mengetahui cara lain yang sehat Diskusikan cara marah yang sehat dengan pasien.

d) Pukul bantal untuk melampiaskan marah

TUK:

7. PPasien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol marah

a. Pasien dapat

mendemonstrasikan

cara mengontrol

perilaku kekerasan

Pasien dapat memilih cara yang paling tepat. Pasien dapat mengidentifikasi manfaat yang terpilih Bantu pasien menstimulasi cara tersebut. Beri reinforcement positif atas keberhasilan.

Anjurkan pasien menggunakan cara yang telah dipelajari.

TUK:

8. PPasien dapat dukungan keluarga mengontrol marah

a. Keluarga pasien dapat :

Menyebutkan cara merawat pasien dengan perilaku kekerasan. Mengungkapkan rasa puas dalam merawat pasien Identifikasi kemampuan keluarga merawat pasien dari sikap apa yang telah dilakukan Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat pasien.

Jelaskan cara-cara merawat pasien. Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat pasien. Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan demonstrasi.

TUK:

9. PPasien dapat menggunakan obat dengan benar

a. Pasien dapat menggunakan obat-obat yang diminum dengan kegunaannya.b. Pasien dapat minum obat sesuai program pengobatan Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum pasien dan oeluarga.

.1 Diskusikan manfaat minum obat.

.2 Jelaskan prinsip 5 benar minum obat

.3 Anjurkan pasien minum obat tepat waktu

TUK:

10. PPasien dapat dukungan dari lingkungan untuk mengontrol marah

a. Lingkunganmengetahuibagaimana caramenyikapi pasiendengan perilaku

kekerasan.

Jelaskan peran serta lingkungan terhadap kondisi pasien

Beri penjelasan bagaimana cara menyikapi pasien dengan perilaku kekerasan

Diskusikan cara -cara yang dilakukan untuk menyikapi pasien dengan perilaku kekerasan

2.Harga Diri Rendah (HDR)TUK :2. PPasien dapat membina hubungan saling percayae. Ekspresi Wajah bersahabat , menunjukkan rasa scaang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, klien mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan masalah yang dihadapi Bina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip komunikasi tcrapeutik Sapa pasien dengan ramah laik verbal maupun non verbal

g.Perkenalkan diri dengan sopan

h.Tanyakan nama iengkap pasien dan nama panggilan disukai pasien

i. Jelaskan tujuan pertemuan

j. Jujur dan menepati janji

k.Tunjukkan siknp empati dan menerima pasien apa adanya

l. Beri perhatian kepada pasien dan perhatikan kebutuhan dasar pasien

TUK :7.

Pasien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimilika. Daftar kemampuan yang dimiliki pasien di rumah sakit, rumah, sekolah dan tempat kerjab. Daftar positif keluarga pasien

c. Daftar positif lingkungan pasien Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki buat daftarnya

Setiap bertemu pasien dihindarkan dari member penilaian; negatif

Utamakan memberi pujian yang realistic pada kemampuan dan aspek positif pasien

TUK8. Pasien dapat menilai kemampuan yang digunakanc. Pasien menilai kemampuan yang digunakan

d. Pasien memiliki kemampuan yang dapat digunakan di rumah Diskusikan dengan pasien kemampuan yang masih dapat digunakan selama sakit

Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan pengguna di rumah sakit

Berikan pujian

TUK :

9.

Pasien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimilikic. Pasien menilai kemampuan yang akan . dilatihd. Pasien mencoba Susunan jadwal harian Meminta pasien untuk:memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah sakit

Bantu pasien melakukannya jika perlu beri contoh Beri pujian atas keberhasilan pasien. Diskusi kaji jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang telah dilatih

Catatan : Ulangi untuk kemampuan lain sampai semua selesai

TUK:

Pasien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dari kemampuannyac. Pasien melakukan kegiatan yang telah di latih (mandiri, dengan bantuan atau tergantung)d. Pasien mampu melakukan beberapa kegiatan secara mandiri Beri kesempatan pada pasien untuk mencoba kcgiatan yang telah direncanakan

Beri pujian atas keberhasian pasien

Diskusikan kemungkinan penaksiiran di rumah

TUK :11.

Pasien dapat memanfatkan system pendukung yang adac. Keluarga memberi dakungan dan pujian

d. Keluarga memahami jadwal kegiatan harian pasien Beri pendidikan kcschatan pada keluarga tentang cara merawat pasien dengan harga diri rendah

Bantu keluarga memberikan dukungnn selama pasien dirawat.

Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah

Jelaskan cara pelaksanan jadwal kegiatan pasien di rumahAnjurkan memberi pujian pada pasien setiap berhasil

E. IMPLEMENTASIDiagnosaImplementasiEvaluasi

Resiko Perilaku Kekerasan (RPKTUK : 1.2.3

- mengucap salam

- memperkenalkan diri

- menanyakan nama dan panggilan yang disukai- menjelaskan tujuan

- memberi kesempatan pasien bicara

- menanyakan penyebab jengkel/marah pasien.

- Menanyakan perasaan yang dialami pasien saat jengkel.marahS: pasien menjawab : nama saya B , mau kita ngomong soal apa?- Pasien mengatakan : saya marah karena kesal dengan istrinya yang selingkuh dan tidak tau caranya bagaimana mendidiknya.- Pasien mengatakan saat marah saya kesal ingin marah-marah dan meluapkan dengan membanting dll jadi lega.O: wajah pasien tegang, pandangan mata tajam, nada suara tinggi.

pasien kooperatif menjawab pertanyaan.

A: TUK 1,2,3 tercapai

- pasien mau menyebutkan nama

- pasien mau diajak berinteraksi/bertukar pikiran.

P: - lanjut ke TUK 4,5,6

Perilaku KekerasanTUK : 4,5,6

- Menanyakan pasien cara marah yang biasa dilakukan.

- Menanyakan pasien apa dengan marah yang dilakukan dapat menyelesaiakan masalah.

- Menanyakan apa akibat dari kemarahannya.- Menanyakan pasien apakah mau cara yang sehat untuk mengatasi marah.- Mengajarkan pasien cara sehat mengontrol marah :1. saat ingin marah / ingin mukul pasien bisa memukul bantal.

S :- Pasien mengatakan Kalau saya marah, ingin membanting, menyobek-nyobek kenangan bersama istrinya dan alat-alat rumah tangga- Pasien mengatakan dengan marah yang saya lakukan saya hanya merasa puas tapi tidak menyelesaikan masalah- pasien mengatakan kalau saya habis marah (banting dll), saya capek, barang-barang rusak dan mengganggu orang lain.- Pasien mengatakan ingin tahu cara marah sehat seperti apa.- Pasien mengatakan jadi saya harus belajar cara marah yang seperti yang ajarkan.O: tidak ada gerakan motorik dari wajah, kaki/ tangan pasien. pasien kooperatif menjawab pertanyaan

A: TUK 4,5,6 tercapai

- pasien mau mengutarakan marah yang biasa dilakukan - pasien mengatakan akibat dari marahnya.

- Pasien mengerti dan mau belajar cara marah yang sehat.

P: Lanjut ke TUK 7-9

- Pasien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol marah.

- Pasien dapat menggunakan obat dengan benar.

Perilaku KekerasanTUK 7-9- Menyuruh pasien memilih cara yang sehat yang diajarkan untuk mengontrol marah.

S: pasien mengatakan saya akan memilih cara marah yang sehat dengan memukul bantal.

O: pasien mendemonstrasikan cara marah dengan memukul bantal.

A: TUK 7-9 tercapai

- Pasien mau mendemonstrasikan salah satu marah yang sehat yang telah diajarkan

- Pasien mengerti manfaat , jenis dan waktu kapan pasien harus minum obat.P: - Lanjut ke TUK 8

- Pasien dapat dukungan keluarga untuk mengontrol marah.

Harga Diri Rendah (HDR)TUK 1,2,3

- membina hubungan saling percaya

- menanyakan kemampuan positif yang dimiliki di rumah

- menanyakan kemampuan dan mendiskusikan kemampuan positif yang dapat digunakan di Rumah Sakit.S: pasien mengatakan dirumah suka nyapu halaman kadang saya suka adzan di masjid.- pasien mengatakan dirumah sakit kadang saya nyapu, Bantu mbak perawat nyapu dan merapikan tempat tidur.O: pasien pagi-pagi membantu perawat merapikan tempat tidur.

- pasien mencatat kegiatan yang dilakukan di rumah

A: TUK 1,2,3 tercapai

- pasien mau mengungkapkan kemampuan yang dapat digunakan dirumah dan di Rumah Sakit.

P: - lanjut TUK 4, 5, 6

- pasien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai jadwal.

- Pasien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit.- Pasien dapat dukungan dari keluarga

- Mendelegasikan TUK 4,5,6 pada perawat jaga

Perilaku KekerasanTUK 8

- menanyakan keluarga bagaimana kemampuan keluarga dari sikap yang telah dilakukan dirumah Menjelaskan tanda pasien marah :

1. mata melotot

2. muka merah

3. tangan mengepal/ ada gerakan pad muka yang menunjukkan permusuhan.

4. nada suara tinggi

- melatih keluarga cara mengajari pasien marah yang sehat dengan :

1. memberikan kegiatan

2. latih untuk ambil nafas dalam

3. menyuruh pasien mengutarakan marah dan apa penyebabnya.

4. menyuruh pasien berdoa dengan membaca istighfar5. menyuruh melampiaskan marah dengan memukul bantal.- Menganjurkan pada keluarga memilih cara melatih anak marah dan membantu keluarga mendemonstrasikan.

- Mengajurkan pada keluarga untuk mengawasi pasien rutin minum obat.

S: keluarga mengatakan saat pasien marah sikap keluarga hanya mendiamkan, kadang ikut memarahi pasien.- keluarga mengatakan tanda marah yang mbak jelaskan tadi persis dengan tanda saat anak saya mau marah, muka merah, mata melotot, suara kasar, kadang sampai memukul.- Keluarga mengatakan jadi mbak, kalo nanti anak saya marah, saya tidak boleh mendiamkan / marah, tapi harus mengajari anak saya marah yang sehat seperti yang mbak ajarkan.- Keluarga mengatakan saya ingin mencoba bagaimana cara menanyakan sebab anak marah.- Keluarga mengatakan saya akan selalu mengawasi anak saya rutin minum obat.O: keluarga kooperatif

- keluarga mendemonstrasikan cara menanyakan penyebab anak marah.

A: TUK 8 tercapai

- keluarga

P: lanjut ke-TUK 10

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapat perhatian dan jangkauan hukum pidana. Bentuk kekerasannya dapat berupa kekerasan fisik, psikis, seksual, dan verbal serta penelantaran rumah tangga.

2. Faktor yang mendorong terjadinya tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga yaitu pembelaan atas kekuasaan laki-laki, diskriminasi dan pembatasan bidang ekonomi, beban pengasuhan anak, wanita sebagai anak-anak, dan orientasi peradilan pidana pada laki-laki.

3. Dampak tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan reproduksi dapat mempengaruhi psikologis ibu sehingga terjadi gangguan pada saat kehamilan dan bersalin, serta setelah melahirkan dan bayi yang dilahirkan.

4. Implikasi keperawatan yang harus dilakukan adalah sesuai dengan peran perawat antara lain mesupport secara psikologis korban, melakukan pendamping-an, melakukan perawatan fisik korban dan merekomendasikan crisis women centre.5. Fenomena gunung es KDRT mulai terungkap setelah undang-undang KDRT tahun 2004 diberlakukan, dimana KDRT yang sebelumnya masalah privacy manjadi masalah publik ditandai laporan kasus KDRT semakin meningkat setiap tahunnya dan pelaku mendapat hukuman pidana walaupun saat ini kultur Indonesia masih dominasi laki-laki.

B. SARAN

Dengan disahkan undang-undang KDRT, pemerintah dan masyarakat lebih berupaya menyadarkan dan membuka mata serta hati untuk tidak berdiam diri bila ada kasus KDRT lebih ditingkatkan pengawasannya.

Meningkatkan peran perawat untuk ikut serta menangani kasus KDRT dan menekan dampak yang terjadi pada kesehatan repsoduksinya dengan memfasilitasi setiap Rumah Sakit memiliki ruang perlindungan korban KDRT, mendampingi dan memulihkan kondisi psikisnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abrar Ana Nadhya, Tamtari Wini (Ed) (2001). Konstruksi Seksualitas Antara Hak

dan Kekuasaan. Yogyakarta: UGM.Dep. Kes. RI. (2003). Profil Kesehatan Reproduksi Indonesia 2003. Jakarta: Dep.

Kes. RI

__________. (2006). Sekilas Tentang Undang-undang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga. Diambil pada tanggal 26 Oktober 2006 dari http://www.depkes.co.id.

Hasbianto, Elli N. (1996). Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Potret Muram Kehidupan

Perempuan Dalam Perkawinan, Makalah Disajikan pada Seminar Nasional

Perlindungan Perempuan dari pelecehan dan Kekerasan seksual. UGM

Yogyakarta, 6 November.

Komnas Perempuan (2002). Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan Indonesia.

Jakarta: Ameepro.

Kompas. (2006). Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dipengaruhi Faktor Idiologi.

Diambil pada tanggal 26 oktober 2006 dari http://kompas.com.

Kompas. (2007). Kekerasan Rumah Tangga Bukan Lagi Urusan Suami Istri. Diambil

pada tanggal 25 Maret 2007 dari http://kompas.com.

Monemi Kajsa Asling et.al. (2003). Violence Againts Women Increases The Risk Of

Infant and Child Mortality: a case-referent Study in Niceragua. The

International Journal of Public Health, 81, (1), 10-18.

Rahman, Anita. (2006). Pemberdayaan PerempuanDikaitkan Dengan 12 Area of

Concerns (Issue Beijing, 1995). Tidak diterbitkan, Universitas Indonesia,

Jakarta, Indonesia.

Sciortino, Rosalia dan Ine Smyth. (1997). Harmoni: Pengingkaran Kekerasan

Domestik di Jawa. Jurnal Perempuan, Edisi: 3, Mei-Juni.WHO. (2006). Menggunakan Hak Asasi Manusia Untuk Kesehatan Maternal dan

Neunatal: Alat untuk Memantapkan Hukum, Kebijakan, dan Standar

Pelayanan. Jakarta: Dep. Kes. RI.

____ . (2007). Dampak Kekerasan dalam Rumah Tangga Bagi Wanita. Diambil pada

tanggal 25 Maret 2007 dari www.depkes.go.id.

PAGE