Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Modul ke:
Fakultas
Program Studi
11Ekonomi &
Bisnis
Manajemen
Poernomo A. Soelistyo, SH., MBA.
ASPEK HUKUM DALAM PERBANKAN
Hukum tentang Money Laundring
UNSUSR-UNSUR AGAMA
Agama terdiri dari beberapa unsur pokok sebagai berikut :
a. Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benartanpa keraguan lagi.
b. Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya
c. Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia danTuhannya, dan hubungan horizontal atau hubungan antar umatberagama sesuai dengan ajaran agama.
d. Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalamankeagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
e. Umat beragama, yakni pengannut masing-masing agama.
Kejahatan pencucian uang (money laundering) belakangan ini semakin
mendapat perhatian khusus dari berbagai kalangan. Upaya penanganannya
dilakukan secara nasional, regional dan global melalui kerjasama antar-negara.
Gerakan ini disebabkan maraknya pencucian uang, padahal belum banyak
negara yang menyusun sistem hukum untuk memerangi atau menetapkannya
sebagai kejahatan.
Pencucian uang pada dasarnya merupakan upaya memproses uang hasil
kejahatan dengan bisnis yang sah sehingga uang tersebut bersih atau tampak
sebagai uang halal. Dengan demikian asal usul uang itupun tertutupi.
Pencucian uang secara umum dapat diartikan sebagai suatu tindakan atau
perbuatan memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya
atas hasil dari satu tindak pidana yang kerap dilakukan oleh organisasi
kejahatan (crime organization) maupun individu yang melakukan tindakan
korupsi, perdagangan narkotika, dan tindak pidana lainnya. Tujuannya adalah
menyembunyikan atau mengaburkan asal usul uang haram tersebut sehingga
dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah.
Pencucian uang juga dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan
untuk mengubah hasil korupsi, kejahatan narkotika, perjudian, penyelundupan,
dan kejahatan lainnya sehingga tampak seperti hasil dari kegiatan yang sah
karena asal usulnya sudah disamarkan atau disembunyikan. Sedangkan
definisi lainnya menyebutkan bahwa pencucian uang adalah proses untuk
menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh dari hasil
kejahatan untuk menghindari penuntutan dan penyitaan.
Salah satu definisi yang menjadi acuan di seluruh dunia termuat dalam The
United Nations Convention Against Illicit Traffic ini Narcoticas, Drugs, and
Psycotropic Substance of 1988 yang kemudian diratifikasi di Indonesia dengan
Undang-Undang No. 7 tahun 1997.
Undang-undang tentang pencucian uang di berbagai negara sekarang
menyebutkan bahwa uang yang digunakan dalam kejahatan ini tidak hanya
uang yang berasal dari perdagangan narkotika. Hal ini sesuai dengan anjuran
Financial Action Task Force (FATF), badan internasional yang didirikan oleh
negara-negara G-7 untuk memerangi kejahatan pencucian uang.
Kejahatan pencucian uang sangat merugikan masyarakat dan negara karena
dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional serta
keuangan negara.
Dalalm konteks Indonesia, tindak pidana ini tidak hanya mengancam stabilitas
dan integritas sistem perekonomian dan sistem keuangan, tetapi juga
membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
Tahun 1980-an adalah masa perkembangan bisnis haram di berbagai negara.
Perdagangan narkotika dan obat bius, misalnya, mampu menghasilkan omset
yang sangat besar. Dari sinilah muncul istilah narco dollar untuk menyebut
uang haram yang dihasilkan dari perdagangan narkotika.
Fenomena tersebut merupakan pemantik lahirnya istilah “pencucian uang”.
Istilah ini mulai digunakan di Amerika Serikat pada 1986, kemudian dipakai
secara Internasional serta konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada
1988.
Berdasarkan prosesnya, pencucian uang dalam sejarahnya dibedakan menjadi:
- Cara Modern. Umumnya dilakukan melalui tahap-tahap placement, layering,
dan integration.
- Cara Tradisional. Dilakukan melalui suatu jaringan atau sindikat etnik yang
sangat tertutup, misalnya bank rahasia hui (hoi) atau The Chinese Chip
(Chop) di Cina, sistem pengiriman uang tradisional yang disebut hawala di
India, dan hundi di Pakistan
Tindakan pencucian uang sangat berdampak negatif secara langsung maupun
tidak langsung terhadap perekonomian suatu negara. Itulah sebabnya negara-
negara di dunia dan organisasi internasional sangat memperhatikan upaya
pencegahan dan pemberantasan kejahatan ini.
Semua yurisdiksi yang memiliki hubungan dengan sistem keuangan
internasional (international financial system) berpotensi terinfiltrasi oleh dana-
dana yang berasal dari kejahatan. Banyak laporan mengenai tersangkutnya
negara-negara bekas Uni Soviet dan Blok Timur dengan dana-dana haram
tersebut. Namun sedikit sekali diperoleh laporan mengenai dana-dana haram
yang beredar di negara-negara non anggota FATF.
Karakteristik pencucian uang di Asia (di luar bekas Uni Soviet) dipengaruhi oleh
beberapa faktor, walaupun tidak semua faktor tersebut secara khusus
menyangkut wilayah Asia.
Pertama, ekonomi Asia sangat cash intensive dan pada umumnya tidak
memiliki mekanisme untuk melacak transaksi-transaksi tunai yang besar.
Kedua, “perbankan bawah tanah” (underground banking) seperti hundi,
hawala, chit atau fei-chien merupakan tradisi yang mempunyai sejarah panjang
sebagai mekanisme pelayanan anonim yang cepat, murah dan efisien untuk
memindahkan uang.
Ketiga, beberapa negara non-anggota FATF di Asia memiliki undang-undang
pencucian uang tetapi tidak menerapkannya secara serius.
Perdagangan narkotika (drug trafficking) telah diidentifikasi sebagai salah satu
sumber utama hasil kejahatan di wilayah Asia.
Kawasan Bulan Sabit Emas (Golden Crescent) yaitu Afghanistan dan Pakistan,
serta Segi Tiga Emas (Golden Triangle) yaitu Myanmar, Laos, dan Thailand
adalah pusat-pusat produksi narkotika Asia yang penting di dunia.
Sedangkan sumber utama lainnya dari dana haram hasil pencucian uang
adalah kejahatan keuangan (financial crime), penyelundupan, perdagangan
senjata ilegal, dan korupsi. Tak heran apabila di kawasan ini terdapat banyak
tokoh utama kejahatan terorganisasi.
Yakuza di Jepang adalah salah satu organisasi kejahatan yang terkemuka di
dunia dan banyak menghasilkan uang haram. Bukti-bukti menunjukkan bahwa
mereka menginvestasikan uang tersebut ke dalam aset di berbagai negara Asia
dan Pasifik. Selain itu kelompok kejahatan terorganisasi China Perantauan juga
terkait dengan perusahaan-perusahaan kriminal di Asia dan tempat-tempat lain
di dunia. Hal yang sama dilakukan oleh kelompok-kelompok teroris di India
yang menggunakan kejahatan untuk membiayai kegiatannya. Bahkan terdapat
indikasi bahwa perusahaan-perusahaan illegal Rusia masuk ke Asia Timur dan
Asia Tenggara kemudian terlibat dalam bisnis prostitusi, properti, dan perjudian.
Uang Kotor
Walaupun tidak dapat diketahui secara pasti nilai uang yang dicuci setiap tahun
melalui kejahatan pencucian uang, tetapi jumlahnya diperkirakan sangat besar.
Itulah sebabnya pencucian uang menjadi industri terbesar ketiga di dunia.
Perkiraan paling mutakhir menunjukkan bahwa nilai dari aktivitas ini di seluruh
dunia adalah sekitar satu trilliun dollar per tahun. Sedangkan pencucian yang
berasal dari perdagangan narkotika (illicit drug trade) sendiri bernilai 300 – 500
milliar dollar.
Jumlah yang sangat besar itu menunjukkan bahwa pencucian uang merupakan
kejahatan yang dilakukan secara sistematis dan rapi.
Menurut Sarah N. Welling, para pelaku memulainya dari uang kotor (dirty
money) yang didapatkan melalui dua cara, yaitu :
1. Pengelakan Pajak
Dalam kejahatan ini seseorang atau perusahaan memberikan laporan
pembayaran pajak yang lebih sedikit dari jumlah uang sebenarnya yang mereka
peroleh dari bisnis yang legal. Adapun status uang dalam perbuatan ini
dibedakan menjadi :
a. Asal usul uang itu adalah halal tetapi kemudian menjadi haram karena tidak
dilaporkan kepada otoritas pajak.
b. Uang itu sejak semula merupakan uang haram karena diperoleh melalui
cara-cara yang ilegal.
2. Pelanggaran Hukum
Uang kotor dapat diperoleh melalui cara-cara yang melanggar hukum, seperti
korupsi, perdagangan narkotika, perjudian gelap (illegal gambling), penyuapan
(bribery), terorisme, prostitusi, perdagangan senjata ilegal, penyelundupan
minuman keras, bisnis pornografi, dankejahatan kerah putih (white collar crime),
termasuk korupsi. Uang haram inilah yang diproses sedemikian rupa melalui
pencucian uang sehingga menjadi tampak sebagai uang halal.
Padahal, dampak negatif tindak pidana pencucian uang lebih ringan dari tindak
pidana korupsi, penyelundupan barang, kejahatan perbankan dan bursa saham,
serta pengelakan pajak. Bahkan dalam beberapa kasus, dampaknya lebih
berat dan lebih luas karena kejahatan asal yang memicu pencucian uang
adalah tindak pidana berat yang jumlahnya sangat banyak dan bervariasi.
Secara langsung pencucian uang tidak merugikan orang tertentu atau
perusahaan tertentu. Artinya, sepintas lalu kejahatan ini tidak menimbulkan
korban sehingga berbeda dari kejahatan perampokan, pencurian, atau
pembunuhan yang menimbulkan kerugian bagi korbannya. Namun, benarkah
tidak ada pihak yang menjadi korban dan dirugikan dalam pencucian uang?
Apakah penyebab dan dampak dari kejahatan ini?
Faktor-faktor Penyebab
Kejahatan pencucian uang terjadi karena faktor-faktor berikut ini :
1. Globalisasi Sistem Keuangan
Pada 2000, Executive Director UN Offices for Drug Control and Crime
Prevention Pino Arlacchi menyatakan bahwa globalisasi telah mengubah sistem
keuangan internasional menjadi impian seorang pencuci uang, dan proses
kriminal ini mencuri milliaran dolar per tahun dari pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian kesehatan finansial di setiap negara berdampak pada
stabilitas pasar global.
2. Kemajuan Teknologi
Maraknya pencucian uang sangat dipengaruhi perkembangan teknologi
informasi, terutama kemunculan internet yang menghilangkan batas-batas
negara. Dengan internet, dunia menjadi kesatuan tanpa batas. Akibatnya,
kejahatan-kejahatan terorganisasi (organized crime) oleh organisasi-organisasi
kejahatan (criminal organizations) menjadi sudah dilakukan dan bersifat
transnasional.
3. Peraturan Kerahasiaan Bank
Berkaitan dengan reformasi di bidang perpajakan (tax reforms), Uni Eropa
menghimbau negara-negara anggotanya untuk meniadakan ketentuan-
ketentuan yang menyangkut kerahasiaan bank. Padahal menurut pemerintah
Inggris, Uni Eropa hanya dapat secara serius memerangi kejahatan asal
pencucian uang (tax evasion) apabila Uni Eropa mempertimbangkan
penghapusan aturan kerahasiaan bank.
4. Aturan mengenai Nama Samaran atau Anonim
Ketentuan perbankan di suatu negara yang memperbolehkan penggunaan
nama samaran atau anonim bagi nasabah (individu dan korporasi) yang
menyimpan dana di suatu bank adalah salah satu penyebab terjadinya
kejahatan pencucian uang.
5. E-Money
Jenis uang baru yang disebut electronic money (e-money) tidak terlepas dari
maraknya electronic commerce (e-commerce) melalui internet. Praktik
pencucian uang yang dilakukan dengan menggunakan jaringan internet ini
disebut cyber laundering. Produk-produk e-money telah dikembangkan,
terutama melalui jaringankomputer terbuka (pen computer networks), tanpa
melakukan pembelian secara langsung dengan hadirnya penjual dan pembeli di
tempat kegiatan jual-beli (face to face purchases).
6. Layering
Dengan teknik layering, nasabah atau deposan bank bukanlah pemilik yang
sesungguhnya dari dana tersebut.
Ia hanya bertindak sebagai kuasa atau pelaksana amanat dari pihak lain yang
menugasinya untuk mendepositokan uang di sebuah bank.
Masalahnya, pihak lain itu juga bukan pemilik dana yang sesungguhnya, tetapi
hanya menerima amanat atau kuasa dari seseorang atau pihak lain berikutnya
yang menerima kuasa dari pemilik yang sesungguhnya.
7. Aturan Hukum tentang Kerahasiaan Hubungan
Ini adalah aturan hukum mengenai kerahasiaan hubungan pengacara dan
kliennya, juga akuntan dan kliennya. Dana simpanan di bank-bank sering
diatasnamakan suatu kantor pengacara. Padahal, undang-undang di negara
maju melindungi kerahasiaan hubungan klien dan pengacara. Para pengacara
yang menyimpan dana simpanan di bank atas nama kliennya tidak dapat
dipaksa oleh otoritas yang berwenang untuk mengungkapkan identitas kliennya.
8. Pemerintah yang Tidak Serius
Pencucian uang terjadi karena pemerintah dari suatu negara kurang serius
dalam membenahi sistem perbankan yang sering digunakan dalam tindak
pidana ini. Pemerintah secara sengaja membiarkan praktik pencucian uang
berlangsung di dalam sistem perbankan di negaranya.
Uang haram kemudian digunakan oleh pemerintah untuk membiayai
pembangunan dan memperoleh keuntungan.
9. Tidak Ada Tindakan
Pemerintah di suatu negara sangat mungkin tidak mengkriminalisasikan
perbuatan pencucian uang. Apalagi jika negara tersebut tidak memiliki undang-
undang tentang menyatakan bahwa pencucian uang adalah kejahatan yang
harus diatasi.
Pemerintah Orde Baru tidak pernah membuat undang-undang tentang tindak
pidana pencucian uang. Alasannya, pelarangan atas perbuatan pencucian
uang hanya akan menghambat penanaman modal asing yang sangat
diperlukan bagi pembangunan di Indonesia. Padahal, masyarakat dunia
umumnya justru menilai bahwa pencucian uang yang dilakukan oleh organisasi-
organisasi kejahatan adalah tindakan yang sangat merugikan masyarakat.
Sekarang aturan hukum tersebut memang sudah ada di Indonesia, tetapi
terdapat faktor-faktor lainnya yang menyuburkan kejahatan pencucian di
Indonesia, yaitu :
1. Sistem Devisa Bebas
Dalam hal ini setiap orang bebas memasukkan atau membawa valuta asing
keluar dari wilayah yurisdiksi Indonesia. Ketentuan mengenai sistem devisa
bebas ini termuat dalam Peraturan Pemerintah No. 1/1982 tentang
Pelaksanaan Ekspor, Impor, dan Lalu Lintas Devisa.
Secara konseptual peraturan tersebut dimaksudkan untuk mengatasi
keterbatasan dana bagi pembangunan nasional.
Tujuannya adalah menarik para investor asing supaya menanamkan modalnya
di Indonesia. Namun konstelasi ini menimbulkan ekses negatif, yaitu
tumbuhnya kejahatan pencucian uang.
2. Sistem Kerahasiaan Bank
Ketentuan yang melindungi kerahasiaan nasabah bank (pasal 41 UU No.
10/1998 tentang Perbankan), misalnya, dijadikan alat perlindungan oleh para
pelaku pencucian uang. Peraturan itu juga menyebutkan bahwa untuk
pengusutan kasus perbankan, kerahasiaan bank baru bisa dibuka jika ada surat
permohonan resmi dari Menteri Keuangan kepada Gubernur BI.
Setelah disetujui, barulah pimpinan BI sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 mengeluarkan perintah tertulis kepada bank
agar memberikan keterangan serta memperlihatkan bukti-bukti tertulis dan
surat-surat mengenai kondisi keuangan nasabah.
Kendati peraturan itu mampu mendeteksi adanya praktik pencucian uang,
namun pembuktiannya sebagai tindak pidana tidaklah mudah dilakukan.
3. Kesiapan Perangkat Hukum
Faktor lain yang turut mempengaruhi maraknya praktik pencucian uang di
Indonesia ialah kurang efektifnya perangkat hukum. UU No. 25 tahun 2003
yang mengubah UU No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
belum mampu menanggulangi atau mereduksi perkembangan kasus-kasus
tindak pidana pencucian uang. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) yang dibentuk sebagai badan khusus guna mendukung
upaya menanganinya pun belum mampu bekerja efektif. PPATK semakin sulit
mendeteksi serta menanganinya karena rumitnya mekanisme proses pencucian
uang yang bersifat trans-institusional.
4. Aspek Likuiditas
Besarnya tingkat kebutuhan likuiditas di Indonesia mendorong kalangan
perbankan domestik untuk menarik dana-dana asing ke dalam negeri.
Masalahnya pihak asing hanya setuju memasukkan dananya jika Pemerintah
Indonesia tidak mengusut asal usul dana tersebut.
5. Transaksi Keuangan yang Mencurigakan
Di Indonesia transaksi keuangan yang mencurigakan banyak terjadi melalui
sistem perbankan. Adapun jenis-jenisnya menurut UU No. 25 tahun 2003
adalah :
a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profit, karakteristik, atau
kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan.
b. Transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan
tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib
dilakukan oleh penyedia jasa keuangan sesuai dengan ketentuan UU.
c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana.
6. Koordinasi yang Lemah
Sekarang para pelaku kejahatan pencucian uang menggunakan cara-cara yang
semakin rumit dan canggih berkat kemajuan cyber currency dan cyber systems.
Dengan kreatifitas yang tidak terbatas, mereka selalu mengubah cara dan
kebiasaan dalam melakukan perbuatan tersebut. Salah satu caranya adalah
menyembunyikan uang haram di dalam kegiatan keuangan global sehingga
tampak sebagai kegiatan sah dan legal. Cara ini mendapat dukungan dari
berbagai pihak yang tersebar secara global dan sulit dideteksi keterkaitannya.
Melalui sistem perbankan seperti sekarang, pelaku pencucian uang dalam
waktu yang sangat cepat dan dengan cara yang mudah dapat memindahkan
dana hasil kejahatan melampaui batas-batas yurisdiksi negara.
Artinya, pelacakannya menjadi bertambah sulit, terlebih apabila dana hasil
kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem perbankan yang negaranya masih
menerapkan ketentuan rahasia bank yang sangat ketat.
Kejahatan pencucian uang juga menimbulkan dampak yang kompleks, yaitu :
1. Merongrong Sektor Swasta yang Sah
2. Merongrong Integritas Pasar Keuangan
3. Menghilangkan Kendali Pemerintah terhadap Kebijakan Ekonominya
4. Menimbulkan Distorsi dan Ketidakstabilan Ekonomi
5. Meningkatkan Ancaman terhadap Ketidakstabilan Moneter
6. Menghilangkan Pendapatan Negara dari Sumber Pembayaran Pajak
7. Membahayakan Privatisasi Perusahaan Negara oleh Pemerintah
8. Merusak Reputasi Negara
9. Menimbulkan Biaya Sosial yang Tinggi
10.Merongrong Perbankan
Dampak terhadap Ekonomi Makro
Karena pencucian uang berdampak pada ekonomi makro, maka kebijakan-
kebijakan makro harus berperan menghentikan kejahatan tersebut.
Di sinilah pentingnya, kebijakan-kebijakan dalam bidang pengawasan lalu lintas
devisa (exchange controls), pengawasan bank terhadap pelaksanaan rambu-
rambu kesehatan bank (prudential supervision), penagihan pajak (tax
collection), pelaporan statistik (statistical reporting), dan perundang-undangan
(legislation).
Tindak pidana pencucian uang adalah kejahatan yang bersifat ganda dan
lanjutan (follow up crime). Sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan
asalnya disebut sebagai predicate offense, core crime, atau unlawful activity,
yaitu : “kejahatan asal yang menghasilkan uang untuk kemudian diproses
melalui pencucian”.
Tahap-tahap atau prosesnya diterangkan berikut ini :
Penempatan (Placement)
Tahap pertama dari pencucian uang adalah menempatkan atau
mendepositokan uang haram ke dalam sistem keuangan (financial system) di
suatu negara.
Penempatan diartikan sebagai upaya untuk menempatkan dana yang dihasilkan
dari suatu aktivitas kejahatan. Dalam hal ini uang tunai bergerak secara fisik
melalui penyelundupan dari suatu negara ke negara lain, penggabungan
dengan uang tunai yang berasal dari hasil kegiatan yang sah, ataupun …………
Penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan (deposito bank, cek, via
real estate, saham-saham, konversi ke mata uang lainnya, atau transfer uang
ke dalam valuta asing).
Pelapisan (Layering)
Dalam proses pelapisan, pelaku pencucian uang berusaha memutus hubungan
uang hasil kejahatan itu dari sumbernya.
Caranya, uang dipecah-pecah jumlahnya, kemudian dipindahkan dari satu bank
atau negara ke bank atau negara yang lain hingga beberapa kali. Dengan
pemecahan dan pemindahan beberapa kali, maka asal usul uang tersebut tidak
mungkin lagi dapat diacak-acak oleh otoritas moneter atau penegak hukum.
Pelaku pencucian uang melakukannya dengan mengupayakan konversi atau
memindahkan dana tersebut menjauh dari sumbernya melalui pembelian dan
penjualan instrumen-instrumen investasi. Mereka juga memindahkannya
dengan cara funds wire melalui sejumlah rekening di berbagai bank di seluruh
dunia. Caranya uang dikirimkan dari satu perusahaan gadungan (dummy
copany) ke perusahaan gadungan yang lain dengan mengandalkan ketentuan
rahasia bank (bank secrecy) dan aturan mengenai kerahasiaan hubungan
pengacara dan kliennya (attorney client privilege). Tujuannya untuk
menyembunyikan identitas pribadinya dengan sengaja menciptakan jaringan
Transaksi keuangan yang kompleks. Penggunaan rekening-rekening yang
tersebar luas itu dimaksudkan untnuk melakukan pencucian, terutama di
negara-negara yang tidak bekerja sama dalam investasi pencucian uang.
Dalam beberapa hal pelaku pencucian uang juga menyamarkan pemindahan
dana tersebut (transfer) seakan-akan sebagai pembayaran untuk barang-
barang dan jasa-jasa sehingga terlihat sebagai transaksi yang sah.
Singkatnya, pelapisan adalah proses memisahkan hasil kejahatan dari
sumbernya melalui beberapa tahapan transaksi keuangan yang kompleks untuk
menyamarkan atau mengelabui sumber dana ilegal tersebut. Pelapisan dapat
pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin rekening perusahaan-
perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.
Penyatuan atau Integrasi (Integration)
Istilah lainnya adalah repatriatipn and integration, atau spin dry. Pada tahap ini
uang yang telah dicuci dibawa kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk
pendapatan yang bersih, bahkan merupakan objek pajak (taxable).
Begitu uang tersebut berhasil diupayakan sebagai uang halal melalui cara
layering, maka tahap selanjutnya adalah menggunakan uang yang telah
menjadi uang halal (clean money) untuk kegiatan bisnis atau kegiatan operasi
kejahatan yang dilakukan penjahat atau organisasi kejahatan yang
Mengendalikannya. Para pencuci uang dapat memilih penggunaannya dengan
menginvestasikan dana tersebut ke dalam bisnis real estate, barang-barang
mewah (luxury assets), atau perusahaan-perusahaan (business ventures).
Kegiatan pencucian uang dapat pula terkonsentrasi secara geografis sesuai
dengan tahap pencucian uang sebagaimana dikemukakan di atas.
Singkatnya, tahap integrasi adalah upaya untuk menetapkan suatu landasan
sebagai penjelasan absah (legitimate explanation) bagi hasil kejahatan. Di sini
uang yang diputihkan melalui penempatan maupun pelapisan dialihkan ke
dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama
sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya. Uang yang telah diputihkan
lantas dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk yang sesuai
aturan hukum.
1. Loan Back
2. C-Chase
3. Transaksi Dagang Internasional
4. Penyelundupan Uang Tunai atau Sistem Bank Paralel ke Negara Lain
5. Akuisisi
6. Real Estate Corousel
7. Investasi Tertentu
8. Over Invoices atau Double Invoices
9. Perdagangan Saham
10.Pizza Connection
11.La Mina
12.Deposit Taking
13. Identitas Palsu
Secara garis besar unsur pencucian uang terdiri dari :
1. Unsur Objektif (actus reus) yang dapat dilihat dengan adanya kegiatan
menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan,
menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri,
menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan (yang diketahui atau
patut diduga berasal dari kejahatan)
2. Unsur Subjektif (mens rea) dilihat dari perbuatan seseorang yang dengan
sengaja mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari
hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan
harta tersebut.
Di Indonesia, kegiatan ini dimasukkan ke dalam kategori tindak pidana
independen. Maksudnya, tindak pidana ini terpisah dari tindak pidana
asalnya karena tindak pidana asal bisa terjadi dimana-mana, yang dikenal
dengan predicate crime.
Predicate crime merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk ke tindak
pidana asal, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung.
Tindak pidana asal ini digunakan untuk memperoleh hasil tindak pidana berupa
harta kekayaan yang berjumlah Rp. 500 juta atau lebih atau nilai yang setara
yang akan dilakukan pencucian.
UU No. 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Secara umum pencucian uang merupakan cara untuk menyembunyikan,
memindahkan, dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan
organisasi kejahatan, kejahatan ekonomi, korupsi, perdagangan narkotika dan
kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktivitas kejahatan.
Sedangkan menurut UU No. 15/2002, tindak pidana pencucian mencakup 15
macam tindak pidana yang dinamakan predicate crime, yang terdiri atas
korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja,
penyelundupan imigran, perbankan, narkotika, psikotropika, perdagangan
budak, wanita dan anak, perdagangan senjata gelap, penculikan, terorisme,
pencurian, penggelapan dan penipuan.
Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat.
Sanksinya dimulai dari hukuman penjara maksimum 20 thn. Dengan denda
paling banyak Rp. 10 milyar.
Menurut aturan perundangan ini, macam-macam tindak pidana pencucian uang
juga terdiri dari :
1. Kekayaan seseorang yang dimiliki secara pribadi maupun berupa
perusahaan atau yayasan, yang didapat dari hasil perjudian.
2. Kekayaan seseorang yang dimiliki secara pribadi maupun berupa
perusahaan atau yayasan, yang dapat dari hasil penjualan barang ilegal
seperti penjualan narkoba atau alat-alat kedokteran atau alat-alat perang
yang penjualannya melalui pasar gelap (black market).
3. Kekayaan seseorang yang dimiliki secara pribadi maupun berupa
perusahaan atau yayasan, yang didapat dari hasil penipuan melalui
perdagangan yang melalui media internet (tindak pidana penipuan) yang
didapat dari pembelian suatu produk tetapi pembayarannya dibebankan
kepada kartu kredit milik orang lain, dan barang tersebut kemudian dijual
melalui pasar gelap untuk diuangkan.
4. Kekayaan seseorang yang dimiliki secara pribadi maupun berupa
perusahaan atau yayasan, yang didapat dari hasil pengumpulan dana dari
masyarakat, yang tabungan dengan daya tarik bunga yang tinggi, yang
didapatnya setiap bulan.
Dalam UU No. 15/2002, pencucian uang dibedakan dalam dua tindak pidana,
yaitu :
1. Tindak pidana yang aktif, dimana seseorang dengan sengaja menempatkan,
mentransfer, menghibahkan, membayar, menitipkan, membawa ke luar
negeri, menukarkan uang-uang hasil tindakan pidana dengan tujuan
mengaburkan atau menyembunyikan asal-usul uang itu, sehingga muncul
seolah-olah menjadi uang yang sah.
2. Pencucian uang yang Pasif, yang dikenakan kepada setiap orang yang
menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran,
penerimaan hibah, sumbangan, penitipan, penukaran uang yang berasal
dari tindak pidana tersebut dengan tujuan yang sama yaitu
menyembunyikan asal-usulnya. Hal ini dianggap sama dengan pencucian
uang.
UU ini juga menyebutkan tentang transaksi mencurigakan sebagai salah satu
hal berhubungan dengan pencucian uang. Menurut pasal 1 ayat 6 dan pasal 3
ayat 1a : “Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang
menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari
nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang
patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi
yang bersangkutan, yang wajib dilakuka oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai
Dengan ketentuan undang-undang ini”, dan “Setiap orang yang dengan
sengaja menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindakan pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas
nama sendiri atau atas nama pihak lain”.
UU No. 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang
UU No. 25/2003 tentang Perubahan atas UU No. 15/2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang, namun UU ini dicabut dan diganti UU No. 8/2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dalam UU ini disebutkan bahwa pencucian uang dibedakan ke dalam tiga
tindak pidana, yaitu :
1. Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu setiap orang yang menempatkan,
mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan,
menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan
uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 dengan tujuan menyembunyikan atau
menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan. (pasal 3 UU RI No. 8 tahun 2010).
1. …
2. Tiindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap orang
yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran,
hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1. Hal tersebut dianggap
juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun dikecualikan bagi
para pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur
dalam UU ini. (pasal 5 UU RI No. 8 tahun 2010).
3. Dalam pasal 4 UU No. 8/2010, dikenakan pula bagi mereka yang menikmati
hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap orang
yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber lokasi,
peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas
harta kekayaaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1. Hal ini pun
dianggap sama dengan melakukan pencucian uang.
Adapun hasil tindak pidananya adalah :
1. Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yand diperoleh dari tindak
pidana :
a. Korupsi
b. Penyuapan
c. Narkotika
d. Psikotropika
e. Penyelundupan tenaga kerja
f. Penyelundupan imigran
g. Di bidang perbankan
h. Di bidang pasar modal
i. Di bidang perasuransian
j. Kepabeanan
k. Cukai
l. Perdagangan orang
m. Perdagangan senjata gelap
n. Terorisme
o. Penculikan
p. Pencurian
q. Penggelapan
r. Penipuan
s. Pemalsuan uang
s. ..
t. Perjudian
u. Prostitusi
v. Di bidang perpajakan
w. Di bidang kehutanan
x. Di bidang lingkungan hidup
y. Di bidang kelautan dan perikanan
z. Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4
(empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah NKRI dan tindak
pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum
Indonesia.
2. Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau
digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme,
organisasi terorisme atau terorisme perseorangan disamakan sebagai hasil
tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf n.
Sanksi bagi pelaku tindak pidana pencucian uang adalah cukup berat, yakni
dimulai dari hukuman penjara paling lama maksimum 20 tahun, dengan
denda paling banyak Rp. 10 milyar.
Pasal 35 UU No. 15/2002 menegaskan bahwa disidang pengadilan terdakwa
“wajib” membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak
pidana. Perkataan “wajib” mengandung pengertian bahwa dalam undang-
undang ini dianut sistem pembuktian terbalik. Namun, dalam penjelasan
pasal tersebut dinyatakan bahwa terdakwa “diberi kesempatan” untuk
membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindakan pidana. Bunyi
kata “wajib” dengan bunyi kata “diberi kesempatan” mempunyai pengertian
yang berbeda.
Dengan demikian sistem pembuktian terbalik dalam undang-undang ini masih
mejadi perdebatan, bahkan sebenarnya membuat hal yang jelas menjadi tidak
jelas.
Pasal 77 UU No. 8/2003 menyebutkan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan
di sidang pengadilan, maka terdakwa wajib membuktikan bahwa harta
kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Pada penjelasan pasal ini,
tertera cukup jelas, sehingga konstruksi hukum pada undang-undang ini
mengamanatkan bahwa terdakwa tidak lagi “diberi kesempatan” dalam
pembuktian terbalik, namun “wajib” untuk melakukannya. Inilah kelebihan
yang dimiliki undang-undang pencucian uang yang baru dan sekarang berlaku
tersebut.
UU No 15/2002 Indonesia menyebutkan bahwa Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) adalah unit intelijen financial (financial intelligent
unit) yang bertugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian
uang. Sedangkan menurut pasal 1 ayat 1 UU No. 25/2003, PPATK dibentuk
demi efektivitas undang-undang ini. PPATK juga diharapkan dapat
mengeluarkan Indonesia dari daftar NCTTs (Non Cooperative Countries and
Territories)
Fungsi
PPATK adalah lembaga independen di bawah Presiden RI yang disahkan dalam
UU No. 8/2010. Lembaga ini memiliki fungsi :
a. Mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang
b. Mengelola data dan informasi yang diperoleh PPATK
c. Mengawasi kepatuhan pihak pelapor
d. Menganalisis atau memeriksa laporan dan informasi transaksi keuangan
yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 1
Tugas dan Wewenang
Pada dasarnya tugas PPATK sebagai financial intelligence unit tidak
memandang pelaku itu sebagai birokrat, teknokrat, legislatif, eksekutif, maupun
yudikatif, apalagi sampai menilai moral atau mental pihak yang dilaporkan.
Adapun wewenang PPATK adalah :
a. Mengumpulkan, menyimpan, menghimpun, menganalisis, mengevaluasi
informasi yang diperoleh dari penyedia jasa keuangan
b. Membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan transaksi keuangan yang
mencurigakan
c. Memberikan nasihat danbantuan kepada instansi lain yang berwenang
mengenai informasi yang diperoleh sesuai ketentuan UU Tindak Pidana
Pencucian Uang
d. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah sehubungan dengan
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
e. Melaporkan hasil analisis terhadap transaksi keuangan yang berindikasi
tindak pidana pencucian uang kepada kepolisian untnuk kepentingan
penyidikan dan kejaksaan untuk kepentingan penuntutan dan pengawasan
f. Membuat dan menyampaikan laporan mengenai analisis transaksi keuangan
dan kegiatan lainnya secara berkala kepada Presiden, DPR dan lembaga
yang berwenang melakukan pengawasan bagi Penyedia Jasa Keuangan
(PJK)
Pihak yang Terlibat menurut PPATK
Salah satu pihak yang terlibat dengan kejahatan pencucian uang adalah
Penyedia Jasa Keuangan (PJK). Lembaga ini dianggap terlibat jika dengan
sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK tentang :
a. Transaksi keuangan yang mencurigakan
b. Transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif
sebesar Rp. 500 juta atau lebih atau yang nilainya setara yang dilakukan
dalam satu kali transaksi atau beberapa kali transaksi dalam satu hari kerja.
Syarat agar PJK dapat dikenakan hukuman adalah harus ada unsur “dengan
sengaja” tidak melapor, kalau tidak laporan karena lalai maka PJK tersebut
tidak dapat dikenai sanksi (hukuman). Oleh karena itu PPATK, Penyidik,
dan Penuntut Umum harus cermat membuktikan ada atau tidak adanya
unsur kesengajaan tersebut.
Perbuatan yang dikategorikan sebagai transaksi keuangan yang mencurigakan
adalah :
a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik atau
kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan
a. ..
b. Transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan
tujuan menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib
dilakukan oleh PJK sesuai dengan ketentuan undang-undang.
c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Cara Kerja
Dalam rangka mendeteksi tindak pidana pencucian uang, PPATK menerima
laporan, yaitu :
a. Laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan oleh
Penyedia Jasa Keuangan (PJK) (pasal 1 angka 6 dan 7 ; pasal 13 UU
TPPU)
b. Laporan yang disampaikan oleh PJK tentang transaksi keuangan yang
dilakukan secara tunai dalam jumlah kumulatif Rp. 500 juta atau lebih (pasal
1 angka 8 dan pasal 13 UU TPPU)
c. Laporan yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai mengenai
pembawaan uang tunai rupiah ke dalam atau ke luar wilayah NKRI sejumlah
Rp. 100 juta atau lebih (pasal 16)
Hambatan di Indonesia
Indonesia masih tidak mampu sepenuhnya mencegah dan mengatasi kejahatan
pencucian uang karena berbagai aspek, yaitu :
1. Lemahnya Penegakan Hukum
2. Kurangnya kesadaran masyarakat
3. Lambatnya Hukum Badan Legislatif
Kendala Penanggulangan
Kendala terbesar dalam penegakan hukum atas kejahatan pencucian uang
adalah persoalan pembuktian yang harus dilakukan jaksa.
Menurut Raj Bhala, terdapat dua hal mendasar dalam setiap penuntutan
pencucian uang yang merupakan tugas jaksa.
Pertama, pemahaman unsur-unsur tindak pidana pencucian uang yang sangat
rumit. Permasalahan akan semakin meningkat manakala kejahatan itu
melibatkan penggunaan jasa wire system akibat tuntutan efisiensi,
kecenderungan ekonomi, teknologi dan tuntutan kebutuhan pasar terbuka.
Kedua, saat ini hampir semua negara telah menerapkan wire transfersystem
secara internal anta-bank dan lembaga keuangan. Ini merupakan cara untuk
memindahkan dana ilegal dengan cepat dan tidak mudah dilacak oleh
jangkauan hukum, sekaligus pada saat yang sama terjadilah pencucian uang
dengan cara mengacaukan audit trail. Cara ini disebut pula sebagai Electronic
Fund Transfer (EFT) atau Cyber Payment.
Pada umumnya unsur yang harus dibuktikan dalam ketentuan anti pencucian
uang adalah unsur subyektif (mens rea) dan unsur obyektifnya (actus reus).
Dalam mens rea, yang harus dibuktikan adalah knowledge (mengetahui atau
patut menduga) dan intended (bermaksud).
Pembuktian ini sulit karena apabila terdakwa sangat mungkin dapat
menyembunyikan hasil kejahatannya secara baik. Oleh karena itulah
penegakan hukum progresif menjadi faktor yang sangat penting.
Peranan Perbankan
Beberapa bank di Indonesia telah menerapkan sistem Anti Money Laundering
(AML).
Sistem ini memiliki dua komponen utama, yaitu sistem database sebagai tempat
penyimpan dan pengolahan data, dan analitikal sebagai penganalisis data yang
masuk kemudian diolah dan hasilnya dikirim kembali berupa informasi. Setiap
transaksi yang masuk diproses dan disamakan dulu dengan database nasabah
dan daftar nama yang masuk dalam Daftar Hitam Bank Indonesia (DHBI).
Kalau ditemukan ketidakwajaran baik dilihat dari pola transaksi maupun profesi
nasabahnya, maka secara otomatis sistem AML memberikan peringatan,
termasuk memblokirnya.
Apabila tidak ditemukan ketidakwajaran serta mendapatkan validasi dan
jaminan dari pejabat yang berwenang bahwa transaksi tersebut wajar, maka
proses selanjutnya dapat diteruskan.
Terima KasihPoernomo A. Soelistyo, SH., MBA