Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Aspek Hukum Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik dan Pertanggung Jawabannya
Dinda Chantya Safira, Suharnoko, Desrezka Gunti Larasati
Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
Kampus Baru UI Depok 16424
E-mail: [email protected]
Abstrak Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik, merupakan perjanjian antara pengirim barang dengan pengangkut udara dalam melaksanakan kegiatan pengangkutan udara domestik di Indonesia. Agar perjanjian ini terlaksana dengan baik, maka dibutuhkan pertanggung jawaban para pihak secara jelas dan bentuk penggantian kerugian apabila timbul suatu permasalahan. Peraturan perundang-undangan yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pengangkutan kargo udara ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, KUHPerdata, KUHD, dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011. Berdasarkan hal-hal tersebut maka persamalahan yang akan diteliti dalam skripsi ini adalah Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik, pertanggung jawaban para pihak serta ganti rugi yang diberikan apabila barang kargo musnah, hilang, atau rusak. Kata kunci: Perjanjian Angkutan Kargo Udara, Domestik, Pertanggung jawaban
LEGAL ASPECT OFDOMESTIC AIR FREIGHT CONTRACT AND THE LIABILITY
Abstract Domestic Air Freight Contract is the contract between sender and air carrier to conduct all air transportation activities in Indonesia. In order to achieve this aim properly, then it takes liability of the parties cleary and form of indemnity if promblem arises. Legislation guidance for domestic air freight are Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, KUHPerdata, KUHD, and Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011. Based on those matters, the problems that will be observed in this thesis are Domestic Air Freight Contract, the liability of the parties, and compensation provided if cargo disappeared, lost, or damaged. Keywords: Air Freight Contract, Domestic, Liability
Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016
Pendahuluan Salah satu bagian dari kegiatan usaha penunjang yang terkait dengan angkutan udara seperti
misalnya jasa pengangkutan barang atau disebut juga kargo. Perkembangan jasa
pengangkutan udara mengalami peningkatan setiap tahunnya hal ini sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi di dalam suatu masyarakat. Perkembangan ini misalnya pada
pengembangan pesawat angkutanya dalam bentuk kombi, dimana sebagian badan pesawat
untuk angkutan penumpang dan sebagian lainnya untuk kargo. Namun, pengaturan mengenai
kargo udara domestik kurang mendapatkan perhatian. Oleh karena itu, perlu dibentuk suatu
perjanjian agar para pihak mengetahui tanggung jawab yang diembannya. Jika terjadi
kelalaian dalam pengangkutan barang yang dititipkan oleh konsumen, maka konsumen dapat
meminta pertanggung jawaban dan penggantian atas kelalaian yang dilakukan oleh pihak
pengangkutan udara.
Berdasarkan latar belakang diatas, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui dan
memahami pelaksanaan lebih lanjut mengenai perjanjian angkutan kargo udara baik secara
umum antara perusahaan penerbangan dengan perusahaan ekspedisi muatan pesawat udara
serta pengirim barang, serta bentuk pertanggung jawaban dari pihak perusahaan penerbangan
jika terjadi keterlambatan dan kelalaian dalam pengangkutan barang serta akibat hukumnya
dan kerugian apa saja yang dapat dimintai ganti rugi serta dalam hal apa permintaan
penggantian tersebut tidak berlaku. Penelitian dilakukan dengan metode analisa data secara
kualitatif dan dalam bentuk penelitian hukum yuridis normatif.
Tinjauan Teoritis
Pengangkutan Udara dan Kargo Pada Umumnya
Perjanjian pengangkutan merupakan campuran dari 3 (tiga) jenis perjanjian, yaitu pemberian
kuasa dari pengirim kepada pengangkut, penyimpan barang dari pengirim kepada pengangkut,
dan melakukan pekerjaan pengangkutan yang diberikan oleh pengirim kepada pengangkut.
Dengan demikian, ketentuan – ketentuan dari tiga jenis perjanjian itu berlaku juga dalam
perjanjian pengangkutan, kecuali jika perjanjian pengangkutan mengatur lain. Berdasarkan
hasil penelitian ternyata ketentuan dalam pengangkutan itulah yang berlaku. Jika dalam
Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016
perjanjian pengangkutan tidak diatur lain, maka diantara ketentuan ketiga jenis perjanjian itu
dapat diberlakukan. Hal ini ada hubungannya dengan asas konsensual.
Sedangkan, menurut Mr. Kist perjanjian pengangkutan udara merupakan perjanjian campuran
yaitu perjanjian pertimpangan. Mr. Kist mengemukakan pendapat yang disetujui oleh Prof.
Soekardono dan H.M Purwosutjipto. Dengan alasan bahwa dalam perjanjian pengangkutan
mengandung unsur yaitu:
1. Unsur penyimpanan, yang diatur dalam Pasal 468 ayat (1) KUHD yang berbunyi
“perjanjian pengangkutan mewajibkan pengangkutan untuk menjaga dengan baik
keselamatan barang yang diangkutnya, mulai saat diterimanya dan hingga
diserahkannya barang tersebut;
2. Unsur pemberian kuasa, hal ini diatur dalam beberapa Pasal di KUHD diantaranya
adalah Pasal 371 ayat (1) KUHD yang berbunyi “Nahkoda diwajibkan selama
perjalanan menjaga kepentingan – kepentingan para pemilik muatan, mengambil
tindakan – tindakan tertentu yang diperlukan, untuk itu jika perlu menghadap di muka
Hakim.
3. Pelayanan berkala, sebagaimana diatur dalam Pasal 1601 KUHPerdata.
Tanggung Jawab dalam Kegiatan Pengangkutan
Menurut konsep tanggung jawab hukum (legal liability concept) praduga bersalah
(presumption of liability concept), perusahaan penerbangan dianggap (presumed) bersalah,
sehingga perusahaan penerbangan demi hukum harus membayar ganti rugi yang diderita oleh
penumpang dan/atau pengirim barang tanpa dibuktikan kesalahan lebih dahulu, kecuali
perusahaan penerbangan membuktikan tidak bersalah. Penumpang dan/atau pengirim barang
tidak perlu membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan, cukup memberi tahu adanya
kerugian yang terjadi pada saaat kecelakaan, sehingga penumpang dan/atau pengirim barang
tidak harus membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan.
Konsep tanggung jawab hukum yang digunakan dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun
2009 adalah tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liability), karena itu
pengangkut otomotis bertanggung jawab, kecuali pengangkut dapat membuktikan bahwa
pengangkut tidak bersalah atau beban pembuktian terbalik atau pembuktian negatif
Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada
angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan
bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak
pandang di bawah standar minimal atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal
yang mengganggu keselamatan penerbangan dan teknis operasional antara lain:
(a) Bandara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional pesawat
udara;
(b) Lingkungan menuju bandara atau landasan pacu terganggu fungsinya misalnya retak,
banjir, atau kebakaran;
(c) Terjadinya antrean pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau
lokasi waktu keberangkatan (depature slot time) di bandara; atau
(d) Keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling).
Sedangkan yang tidak termasuk teknis operasional antara lain:
(a) Keterlambatan pilot, co-pilot, dan awak kabin;
(b) Keterlambatan jasa boga (catering);
(c) Keterlambatan penanganan di darat;
(d) Menunggu penumpang, baik yang yang baru melapor (check in), pindah pesawat
(transfer) atau penerbangan lanjutan (connecting flight);
(e) Ketidaksiapan pesawat udara.
Ganti rugi kargo yang hilang, musnah atau rusak sebesar Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah)
per kg dan kargo yang sebagian rusak sebesar Rp 50.000 (lima puluh ribu rupiah) per kg.
Apabila pada saat menyerahkan kargo kepada perusahaan penerbangan, pengirim menyatakan
nilai kargo dalam surat muatan udara, ganti rugi wajib dibayarkan oleh perusahan
penerbangan kepada pengirim sebesar nilai kargo yang dinyatakan dalam surat muatan.
Ketentuan ini menjadi bias, apakah tidak menjadi beban berat buat perusahaan penerbangan
yang harus membayar kepada pengirim sebesar yang dinyatakan dalam surat muatan udara,
sementara tidak menyebutkan bahwa pengirim harus membayar biaya tambahan seharga
barang yang dinyatakan dalam surat muatan udara. Kargo dianggap hilang setelah 14 (empat
belas) hari kalender terhitung sejak seharusnya tiba di tempat tujuan. Apabila kargo diangkut
melalui lebih dari 1 moda pengangkutan perusahan penerbangan hanya bertanggung jawab
atas kerusakan sebagian atau keseluruhan atas kehilangan kargo selama dalam perusahaan
penerbangan udara yang menjadi tanggung jawabnya.
Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016
Metode Penelitian
Dilihat dari bentuknya, penelitian yang dilakukan oleh penulis termasuk ke dalam bentuk
penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang mengacu kepada kaidah –
kaidah atau norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang – undangan.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis memiliki sifat sebagai penelitian deskriptif. Penelitian
deskriptif adalah penelitian yang memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia,
keadaan, atau gejala – gejala lainnya dengan maksud untuk mempertegas hipotesa – hipotesa,
memperkuat teori – teori lama, atau menyusun teori – teori baru.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data
yang diperoleh dari berbagai bahan – bahan kepustakaan dan dokumentasi. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dimana data yang digunakan penulis
berasal dari bahan kepustakaan. Sedangkan, bahan hukum yang digunakan dalam penilitian
ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan terrsier. Bahan hukum primer adalah bahan
yang berasal dari perundang – undangan. Bahan hukum primer yang digunakan oleh penulis
diatarannya adalah Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Undang – Undang RI No. 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan dan peraturan perundang – undangan lainnya yang terkait.
Untuk menjelaskan hukum primer digunakan bahan hukum sekunder berupa buku – buku,
skripsi, tesis, dan artikel – artikel dari surat kabar dan internet. Sedangkan penunjang dari
bahan hukum yang telah disebutkan diatas digunakan bahan hukum tersier berupa Kamus
dan Ensiklopedia.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan alat pengumpulan data berupa studi dokumen dan
wawancara. Studi dokumen atau bahan pustaka, merupakan suatu alat pengumpulan data yang
dilalukan melalui data yang tertulis. Studi dokumen menggunakan penelitian kepustakaan
yang berkaitan dengan tema dan judul skripsi ini yaitu Aspek Hukum Perjanjian Angkutan
Udara Domestik dan Pertanggung Jawabannya.
Terdapat dua metode analisa data yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Penulis menggunakan
metode analisa data secara kualitatif yakni usaha – usaha untuk memahami makna di balik
tindakan atau kenyataan atau temuan – temuan yang ada di masyarakat secara nyata. Dalam
Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016
hal ini di balik tindakan atau kenyataan atau temuan – temuan mengenai perjanjian angkutan
kargo udara domestik dan pertanggung jawabannya.
Hasil dan Pembahasan
Pelaksanaan Perjanjian Pengangkutan Kargo Udara dan Bentuk Pertanggung Jawaban Secara
Umum Dalam pelaksanaan pengangkutan udara, terdapat 2 (dua) bentuk perjanjian yang lahir dari
suatu hubungan hukum yaitu perjanjian pengiriman barang dan perjanjian pengangkutan
barang. Pola perjanjian pengangkutan udara sebagai berikut:
Perjanjian pengiriman barang adalah perjanjian timbal balik antara ekspeditur dengan
pengirim, dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut yang baik bagi
si pengirim, sedangkan si pengirim mengikatkan diri untuk membayar provisi kepada
ekspeditur. Dalam perjanjian pengiriman barang terdapat 3 (tiga) sifat hukum yang
terkandung yaitu pelayanan berkala, pemberian kuasa, dan penitipan.
Sifat pelayanan berkala adalah dimana hubungan hukum ekspeditur dan pengirim terjadi
dalam waktu dan perbuatan tertentu saja, yakni hubungan hukum tersebut muncul ketika si
pengirim membutuhkan seorang pengangkut untuk mengirimkan barangnya. Sifat pelayanan
berkala ini seperti yang termuat di dalam Pasal 1601 KUHPerdata. Dalam hal ini, memiliki
keterkaitan dengan perjanjian untuk melakukan pekerjaan, dengan bentuk perjanjian untuk
melakukan jasa – jasa tertentu. Perjanjian untuk melakukan jasa – jasa tertentu adalah suatu
Pemilik Barang
Ekspeditur
Pengangkut
Perjanjian Pengiriman Barang
Perjanjian Pengangkutan Barang
Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016
perjanjian dimana suatu pihak menghendaki dari pihak lawannya untuk dilakukannya suatu
pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan, dimana ia bersedia membayar upah sedangkan apa
yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, sama sekali terserah kepada pihak
lawan itu. Biasannya pihak lawan ini adalah seorang ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut
dan biasanya ia juga sudah memasang tarif untuk jasanya itu.
Sedangkan, sifat pemberian kuasa ada karena pengirim memberikan kuasa kepada ekspeditur
untuk mencarikan seorang pengangkut yang baik baginya terhadap barang yang telah
dititipkannya. Sifat pemberian kuasa ini diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata.
Pasal 1797 memberikan batasan bahwa penerima kuasa tidak diperbolehkan melakukan
tindakan melampaui kuasa yang diberikan kepadanya. Namun, sifat hukum perjanjian
ekspedisi “pemberi kuasa” ini jelas ada, bila si ekspeditur mengadakan perjanjian
pengangkutan dengan pengangkut atas nama pengirim, tetapi kalau ekspeditur menutup
perjanjian pengangkutan itu atas nama sendiri untuk tanggugan pengirim, maka perjanjian
ekspedisi itu mempunyai sifat “hubungan komisi” (pasal 76 KUHD).
Menurut pasal 77 KUHD, seorang komisioner tidak berkewajiban untuk memberitahukan
kepada orang dengan siapa ia bertindak tentang yang menanggung beban tindakannya itu.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang Komisioner berhak untuk
menyelenggarakan suatu perjanjian atas namanya sendiri, dimana ia tidak berkewajiban untuk
memberitahukan kepada pihak lain dengan siapa ia bertindak.
Komisioner ini merupakan suatu bentuk perwakilan atau agency, dimana dalam KUHD
diadakan perbedaan antara “perwakilan langsung” dan “perwakilan tidak langsung” yang
berkorespondensi dengan “bertindak atas nama orang lain” dan “bertindak atas nama diri
sendiri”.
Di dalam pelaksanaan perjanjian pengiriman barang, terdapat unsur penitipan (bewaargeving)
terhadap barang yang telah diamanatkan kepada ekspeditur untuk dikirim. Unsur penitipan ini
muncul sebelum ekspeditur menyerahkan barang tersebut kepada pengangkut untuk diangkat,
melainkan unsur penitipan ini berlangsung ketika ekspeditur menyimpan barang – barang
yang diserahkan oleh pengirim untuk disimpan dalam gudang ekspeditur. Mengenai penitipan
diatur dalam Pasal 1694 KUHPerdata.
Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016
Dapat dikatakan, unsur penting suatu penitipan adalah adanya penyerahan barang titipan
(kargo) tanpa perpindahan hak milik atas barang (kargo) yang dititipkan. Dengan kata lain,
penyerahan tidak mengakibat hak milik atas barang tersebut ikut berpindah kepada pihak
yang dititipkan, melainkan hak milik tetap berada di tangan pihak yang menyerahkan
(pengirim).
Sedangkan, dalam perjanjian pengangkutan udara menurut sistem hukum di Indonesia tidak
mesyarakatkan dalam bentuk tertulis, kata sepakat secara lisan antara para pihak yang
berkehendak sudah cukup membuktikan bahwa telah lahirnya suatu perjanjian pengangkutan
udara, sebagaimana yang termuat di dalam Pasal 1313 dan Pasal 1314 KUHPerdata.
Perjanjian pengangkutan tidak dibuat secara tertulis karena hak dan kewajiban antar para
pihak telah ditentukan di dalam undang – undang yang berlaku. Dengan kata lain, perjanjian
dalam bentuk tidak tertulis tersebut tetap mengikat terhadap pihak yang bersepakat. Pasal
1338 dan 1339 mengatakan bahwa kesepakatan harus didasarkan dengan itikad baik.
Apabila terjadi suatu perselisihan perjanjian dalam bentuk tidak tertulis, sulit untuk
dibuktikan karena tidak ada bukti sebagai acuan secara nyata yang membuktikan bahwa salah
satu pihak dalam perjanjian tersebut telah melanggar ketentuan – ketentuan yang telah
disepakatinya. Oleh karena itu, sangatlah riskan dan berpotensi merugikan salah satu pihak
apabila terjadi suatu hal – hal yang tidak diinginkan. Walaupun perjanjian pengangkutan
dalam bentuk tidak tertulis bukanlah suatu kewajiban, namun dirasakan cukup penting apabila
pembuatan perjanjian pengakutan dibuat secara tertulis. Hal ini bertujuan agar, suatu
perikatan mempunyai kekuatan yang mengikat dan bukti yang kuat apabila terjadi suatu hal
yang merugikan salah satu pihak.
Perjanjian pengangkutan merupakan suatu perjanjian timbal balik antara pengangkut dan
pengirim kargo, dimana terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi antar para pihak
akibat suatu perbuatan hukum yang timbul dari suatu perjanjian. Pengangkut berkewajiban
untuk menyelenggarakan pengangkutan barang yang telah dititipkan oleh pengirim ke tempat
tujuan tertentu dengan selamat. Menurut Pasal 468 ayat (1) KUH Dagang keselamatan barang
tersebut menjadi tanggung jawab pengangkut sejak penerimaan hingga diserahkannya barang
tersebut kepada pihak yang telah ditentukan. Sedangkan, kewajiban pemilik barang yaitu
memberikan pembayaran biaya atas pengangkutan yang telah dilakukan oleh pengangkut.
Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016
Apabila penerima kargo berdasarkan jangka waktu yang telah ditentukan dalam suatu
perjanjian tidak mengambil kargo maka atas semua biaya yang timbul menjadi tanggung
jawab penerima kargo , ketentuan tersebut seperti yang termuat di dalam Pasal 164 Undang –
Undang Nomor 1 Tahun 2009. Dalam hal ini, pengangkut berhak melakukan penjualan jika
kargo tidak diambil oleh penerima setelah melewati jangka waktu yang telah ditetapkan
dikarenakan biaya pembayaran yang timbul terhadap barang kargo tersebut. Atas kerugian
yang timbul akibat penjualan kargo yang tidak diambil dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan dalam suatu perjanjanjian, maka dalam hal ini pengangkut tidak dapat dituntut oleh
penerima kargo.
Pertanggung Jawaban Terhadap Perjanjian Antara PT. Pos Indonesia dengan PT. Garuda
Indonesia Apabila Pihak Angkutan Kargo Udara Terlambat atau Melakukan Kelalaian dalam
Pengaagkutan Serta Bentuk Penggantian yang Dapat dan Tidak Dapat Dimintai Ganti Rugi
Berdasarkan Pasal 145 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 menyatakan bahwa:
“Pengangkutan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena
kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara
selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut.”
Sedangkan, dalam perjanjian pengangkutan kiriman pos udara antara PT. Pos Indonesia dan
PT. Garuda Indonesia Tbk pertanggung jawaban terhadap kerusakan, kehilangan barang
kargo diatur didalam Pasal 12 ayat (1) yang berbunyi:
“Garuda bertanggung jawab membayar ganti rugi kepada POS atas kekurangan, kerusakan
atau kehilangan sebagian atau seluruhnya Kirimanpos Udara, apabila kekurangan, kerusakan
atau kehilangan Kirimanpos Udara tersebut disebabkan oleh kesalahan GARUDA yang
disebutkan dalam Cargo Service Form yang ditandatangani Para Pihak di gudang serah
terima.”
Jika terjadi dan terbukti kesalahan atau kelalaian diakibatkan oleh PT Pos Indonesia, maka
yang bertanggung jawab untuk memberikan penggantian kerugian kepada pengirim adalah PT
Pos Indonesia. Sedangkan, jika kesalahan atau kelalaian diakibatkan oleh pengangkut (PT
Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016
Garuda Indonesia), maka dalam hal ini PT Pos tetap memberikan penggantian kerugian
kepada pengirim yang selanjutnya akan dikoordinasikan dengan pihak pengangkut (PT
Garuda Indonesia). Hal ini dikarenakan, pengirim tidak memiliki hubungan langsung dengan
pihak pengangkut (PT Garuda Indonesia) melainkan memiliki hubungan hukum dengan
ekspeditur (PT Pos Indonesia). Oleh karena itu, mekanisme penggantian kerugian dilakukan
melalui PT Pos Indonesia yang sebelumnya dikoordinaikan terlebih dahulu dengan PT
Garuda Indonesia.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 dan
Perjanjian PT Garuda dengan PT Pos Indonesia menganut konsep tanggung jawab praduga
bersalah (presumption of liability), dimana apabila terjadi kerusakan, kehancuran dan
kehilangan terhadap barang kargo maka pihak yang harus bertanggung jawab secara otomatis
adalah pengangkut, sepanjang kejadian yang menyebabkan kerugian tersebut berlangsung
selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut. Namun dalam hal ini, dimungkinkan
bagi pengangkut untuk membaskan diri dari tanggung jawabnya jika pengangkut dapat
membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah (beban pembuktian terbalik atau pembuktian
negatif).
Penganturan mengenai pertanggung jawaban atas keterlambatan pengangkutan udara diatur
dalam Pasal 146 Undang – undang Nomor 1 Tahun 2009, mengatakan bahwa:
“ Pengangkutan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada
angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkutan dapat membuktikan
bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.”
Dalam Penjelasan Pasal 146 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009, mengatakan bahwa:
“ Yang dimaksud dengan faktor cuaca” adalah hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak
pandang di bawah standar minimal, atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal
yang mengganggu keselamatan penerbangan. Yang dimaksud dengan “teknis operasional”
antara lain:
a. Bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional
pesawat udara;
Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016
b. Lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya misalnya retak,
banjir, atau kebakaran;
c. Terjadi antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau alokasi
waktu keberangkatan (depature slot time) di bandar udara; atau
d. Keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling)
Sedangkan yang tidak termasuk dengan “teknis operasional” antara lain:
a. Keterlambatan pilot, co pilot, dan awak kabin;
b. Keterlambatan jasa boga (catering);
c. Keterlambatan penanganan di darat;
d. Menunggu penumpang, baik yang baru melapor (check in), pindah pesawat (transfer)
atau penerbangan lanjutan (conneting flight); dan
e. Ketidakpastian pesawat udara.
Penganturan atas pertanggung jawaban keterlambatan pengakutan udara juga diatur di dalam
Pasal 12 ayat (2) Perjanjian PT. Garuda Indonesia dengan PT. Pos Indonesia dikemukakan
bahwa :
“ Garuda bertanggung jawab membayar ganti rugi kepada POS atas keterlambatan yang
disebabkan oleh Offload dan/atau salah salur kirimanpos Udara yang disebabkan oleh
kesalahan Garuda yang disebutkan dalam Cargo Service Form yang ditandatangani Para
Pihak.”
Kemudian, dalam Pasal 12 ayat (3) Perjanjian PT. Garuda Indonesia dengan PT. Pos
Indonesia terdapat pengucalian penggantian kerugian tidak berlaku apabila disebabkan oleh :
a. Kirimanpos Udara diterima di gudang GARUDA kurang dari 3 (tiga) jam
sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (2) point c pada Perjanjian ini.
b. Keadaan cuaca buruk yang menyebabkan tidak dimungkinkan untuk dilakukan lepas
landas (take off), atau mendarat (landing) sesuai jadwal penerbangan seperti hujan,
lebat, petir, badai, kabut asap, jarak pandang dibawah standar minimal atau kecepatan
angin yang melampaui standar maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan.
c. Bandar Udara keberangkatan dan atau tujuan tidak dapat digunakan operasional
pesawat udara.
d. Lingkungan menuju Bandara Udara atau landasan terganggu fungsinya
Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016
e. Terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau
alokasi keberangkatan (depature slot time) di Bandara Udara.
f. Keterlambatan pengisian bahan bakar.
g. Pesawat dalam kondisi full passenger dan atau double fuel yang menyebabkan
pesawat udara tidak dapat mengangkut Kirimanpos Udara
h. Technical Status
i. Operasional Status.
Dengan demikian, dapat dikatakan pertanggung jawaban atas keterlambatan dalam perjanjian
pengangkutan udara berpedoman pada Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009. Dimana,
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 menganut konsep praduga bersalah yang berarti
setiap kerugian yang timbul akibat keterlambatan otomatis menjadi tanggung jawab
pengangkut. Namun dalam hal ini, terdapat pembebasan dari pertanggung jawaban
penggantian kerugian terhadap keterlambatan apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa
keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.
Jumlah penggantian kerugian atas keterlambatan dan hilang, musnah, atau rusak telah diatur
dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011, dimana dalam Pasal 7 ayat (1)
menyebutkan bahwa :
“ Jumlah ganti kerugian terhadap kargo yang dikirim hilang, musnah atau rusak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf d ditetapkan sebagai berikut:
a. Terhadap hilang atau musnah, pengangkutan wajib memberikan ganti kerugian kepada
pengirim sebesar Rp 100.000, 00 (seratus ribu rupiah) per kg.
b. Terhadap rusak sebagian atau seluruh isi kargo atau kargo, pengangkut wajib
memberikan ganti kerugian kepada pengirim sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu
rupiah) per kg.
c. Apabila pada saat menyerahkan kepada pengangkut, pengirim menyatakan nilai kargo
dalam surat muatan udara (airway bill), ganti kerugian yang wajib dibayarkan oleh
pengangkut kepada pengirim sebesar nilai kargo yang dinyatakan dalam surat muatan
udara.”
Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016
Sedangkan, dalam perjanjian PT Pos Indonesia dengan PT Garuda Indonesia, besaran atas
penggantian kerugian dimuat dalam Pasal 12 ayat (4a) dan (4b) yaitu:
a. Ganti rugi Kirimanpos Udara domestik untuk kehilangan atau musnah sebesar Rp
100.000,- (seratus ribu rupiah) per kg
b. Ganti rugi Kirimanpos Udara domestik untuk rusak sebagian atau seluruhnya sebesar
Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah).1
Klausul dalam perjanjian pengangkutan udara antara PT Pos Indonesia dengan PT Garuda
Indonesia berpedoman pada ketentuan dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2011. Dalam
pelaksanaannya, penggantian kerugian atas kerusakan, kehilangan, atau musnah apabila
kelalaian tersebut dari Pihak PT Garuda Indonesia maka PT Garuda Indonesia akan
memberikan penggantian kerugian dengan jumlah per kg barang tersebut. Namun, dalam hal
ini PT Pos Indonesia menggantikan kerugian sebesar harga barang tersebut dikarenakan
pengirim menyatakan nilai kargo dalam surat muatan udara (airway bill) tersebut.
Kesimpulan
Dalam pelaksanaan pengangkutan udara terdapat 2 (dua) bentuk perjanjian yang lahir dari
suatu hubungan hukum yaitu perjanjian pengiriman barang dan perjanjian pengangkutan
barang. Sistem hukum di Indonesia tidak mensyaratkan perjanjian pengangkutan udara dalam
bentuk tertulis, kata sepakat sudah cukup membuktikan bahwa telah lahirnya suatu perjanjian
di antara para pihak yang bersepakat. Sehingga apabila terjadi perselisihan di antara para
pihak yang bersengketa hal tersebut sulit untuk dibuktikan, dikarenakan tidak ada bukti
tertulis. Terdapat 3 unsur dalam perjanjian pengirim barang antara ekspeditur dengan
pengirim yaitu unsur pelayanan berkala yang memiliki keterkaitan dengan perjanjian
melakukan pekerjaan dalam bentuk melakukan jasa – jasa tertentu, unsur penitipan, dan unsur
pemberian kuasa jika ekspeditur menggunakan nama pengirim dalam perjanjian. Namun
apabila ekspeditur menggunakan nama dirinya sendiri maka perjanjian tersebut terdapat unsur
hubungan komisi dalam bentuk perwakilan.
1 Berdasarkan Pasal 12 ayat (4a) dan (4b) Perjanjian Pengangkutan Udara antara PT Pos Indonesia
dengan PT Garuda Indonesia Nomor Pos: 209/DIRUT/1113, Nomor Garuda: DS/PERJ/GF-3833/2013.
Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016
Undang - Undang Nomor 1 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77
Tahun 2011 mengatur mengenai mekanisme pertanggung jawaban pengangkutan udara serta
jumlah ganti rugi yang harus dibayar, yang timbul karena keterlambatan ataupun hilang,
rusak, atau musnah suatu barang kargo milik pengirim barang. Undang – Undang Nomor 1
Tahun 2008 menganut konsep tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liability),
dimana pengangkut secara otomatis bertanggung jawab terhadap hilang, musnah, atau
rusaknya kargo selama berlangsungnya pengangkutan udara dan dalam pengawasannya.
Namun, pengangkut dapat dibebaskan dari pertanggung jawabnnya apabila ia dapat
membuktikan bahwa pengangkut tidak bersalah atau beban pembuktian terbalik atau
pembuktian negatif. Begitu pula bentuk pertanggung jawaban terhadap keterlambatan
pengangkutan udara.
Saran
Dengan adanya Undang – Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan dan Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara,
diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan menjadi pedoman serta acuan dalam
pelaksanaan pengangkutan udara domestik di Indonesia. Selain itu, peneliti menyarankan agar
terdapat penyediaan alat angkut yang cukup memadai dalam pelaksanaan pengangkutan kargo
udara, sehingga dapat meningkatkan produktivitas dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat
untuk pengiriman kargo udara domestik.
Daftar Referensi
Martono, H.K dan Agus Pramono. Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional.
Jakarta: Rajawali Pers, 2013
Martono, H.K dan Ahmad Sudirno. Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No. 1
Tahun 2009. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum Suatu Pengantar. Cet. 2. Yogyakarta: Liberty,
2001.
Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016
Muhammad, Abdulkadir. Arti Penting dan Strategis Multimoda Pengangkutan Niaga di
Indonesia, dalam Prsespektif Hukum Bisnis di Era Globalisasi Ekonomi. Yogyakarta:
Genta Press, 2007.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara. Bandung:P.T Citra
Aditya Bakti, 1991.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung: P.T Citra Aditya Bakti,
1998.
Purwositijpto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3. Jakarta: Djambatan, 1991.
Saefullah, E. Tanggungjawab Pengangkutan dalam Hukum Pengangkutan Udara
Internasional dan Nasional. Yogyakarta: Liberty, 1989.
Sardjono, Agus. Et al. Pengantar Hukum Dagang. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI-PRES), 1968.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Depok: Penerbit Universitas Indonesia,
2007.
Soekardono. Hukum Dagang Indonesia II dalam bagian I. 1980.
Subekti. Aneka Perjanjian. Bandung: P.T Citra Aditya Bakti, 1995.
Subekti, R. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita, 1974.
Indonesia. Undang – Undang tentang Penerbangan. UU No.1 Tahun 2009. LN No. 1 Tahun
2009, TLN No. 4956.
Perjanjian Pengangkutan Udara antara PT Pos Indonesia dengan PT Garuda Indonesia Nomor
Pos: 209/DIRUT/1113, Nomor Garuda: DS/PERJ/GF-3833/2013.
Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016