15
Aspek Hukum Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik dan Pertanggung Jawabannya Dinda Chantya Safira, Suharnoko, Desrezka Gunti Larasati Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia Kampus Baru UI Depok 16424 E-mail: [email protected] Abstrak Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik, merupakan perjanjian antara pengirim barang dengan pengangkut udara dalam melaksanakan kegiatan pengangkutan udara domestik di Indonesia. Agar perjanjian ini terlaksana dengan baik, maka dibutuhkan pertanggung jawaban para pihak secara jelas dan bentuk penggantian kerugian apabila timbul suatu permasalahan. Peraturan perundang-undangan yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pengangkutan kargo udara ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, KUHPerdata, KUHD, dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011. Berdasarkan hal-hal tersebut maka persamalahan yang akan diteliti dalam skripsi ini adalah Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik, pertanggung jawaban para pihak serta ganti rugi yang diberikan apabila barang kargo musnah, hilang, atau rusak. Kata kunci: Perjanjian Angkutan Kargo Udara, Domestik, Pertanggung jawaban LEGAL ASPECT OFDOMESTIC AIR FREIGHT CONTRACT AND THE LIABILITY Abstract Domestic Air Freight Contract is the contract between sender and air carrier to conduct all air transportation activities in Indonesia. In order to achieve this aim properly, then it takes liability of the parties cleary and form of indemnity if promblem arises. Legislation guidance for domestic air freight are Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, KUHPerdata, KUHD, and Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011. Based on those matters, the problems that will be observed in this thesis are Domestic Air Freight Contract, the liability of the parties, and compensation provided if cargo disappeared, lost, or damaged. Keywords: Air Freight Contract, Domestic, Liability Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016

Aspek Hukum Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik dan

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Aspek Hukum Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik dan

Aspek Hukum Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik dan Pertanggung Jawabannya

Dinda Chantya Safira, Suharnoko, Desrezka Gunti Larasati

Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia

Kampus Baru UI Depok 16424

E-mail: [email protected]

Abstrak Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik, merupakan perjanjian antara pengirim barang dengan pengangkut udara dalam melaksanakan kegiatan pengangkutan udara domestik di Indonesia. Agar perjanjian ini terlaksana dengan baik, maka dibutuhkan pertanggung jawaban para pihak secara jelas dan bentuk penggantian kerugian apabila timbul suatu permasalahan. Peraturan perundang-undangan yang dijadikan pedoman dalam pelaksanaan pengangkutan kargo udara ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, KUHPerdata, KUHD, dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011. Berdasarkan hal-hal tersebut maka persamalahan yang akan diteliti dalam skripsi ini adalah Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik, pertanggung jawaban para pihak serta ganti rugi yang diberikan apabila barang kargo musnah, hilang, atau rusak. Kata kunci: Perjanjian Angkutan Kargo Udara, Domestik, Pertanggung jawaban

LEGAL ASPECT OFDOMESTIC AIR FREIGHT CONTRACT AND THE LIABILITY

Abstract Domestic Air Freight Contract is the contract between sender and air carrier to conduct all air transportation activities in Indonesia. In order to achieve this aim properly, then it takes liability of the parties cleary and form of indemnity if promblem arises. Legislation guidance for domestic air freight are Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, KUHPerdata, KUHD, and Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011. Based on those matters, the problems that will be observed in this thesis are Domestic Air Freight Contract, the liability of the parties, and compensation provided if cargo disappeared, lost, or damaged. Keywords: Air Freight Contract, Domestic, Liability

Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016

Page 2: Aspek Hukum Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik dan

Pendahuluan Salah satu bagian dari kegiatan usaha penunjang yang terkait dengan angkutan udara seperti

misalnya jasa pengangkutan barang atau disebut juga kargo. Perkembangan jasa

pengangkutan udara mengalami peningkatan setiap tahunnya hal ini sejalan dengan

pertumbuhan ekonomi di dalam suatu masyarakat. Perkembangan ini misalnya pada

pengembangan pesawat angkutanya dalam bentuk kombi, dimana sebagian badan pesawat

untuk angkutan penumpang dan sebagian lainnya untuk kargo. Namun, pengaturan mengenai

kargo udara domestik kurang mendapatkan perhatian. Oleh karena itu, perlu dibentuk suatu

perjanjian agar para pihak mengetahui tanggung jawab yang diembannya. Jika terjadi

kelalaian dalam pengangkutan barang yang dititipkan oleh konsumen, maka konsumen dapat

meminta pertanggung jawaban dan penggantian atas kelalaian yang dilakukan oleh pihak

pengangkutan udara.

Berdasarkan latar belakang diatas, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui dan

memahami pelaksanaan lebih lanjut mengenai perjanjian angkutan kargo udara baik secara

umum antara perusahaan penerbangan dengan perusahaan ekspedisi muatan pesawat udara

serta pengirim barang, serta bentuk pertanggung jawaban dari pihak perusahaan penerbangan

jika terjadi keterlambatan dan kelalaian dalam pengangkutan barang serta akibat hukumnya

dan kerugian apa saja yang dapat dimintai ganti rugi serta dalam hal apa permintaan

penggantian tersebut tidak berlaku. Penelitian dilakukan dengan metode analisa data secara

kualitatif dan dalam bentuk penelitian hukum yuridis normatif.

Tinjauan Teoritis

Pengangkutan Udara dan Kargo Pada Umumnya

Perjanjian pengangkutan merupakan campuran dari 3 (tiga) jenis perjanjian, yaitu pemberian

kuasa dari pengirim kepada pengangkut, penyimpan barang dari pengirim kepada pengangkut,

dan melakukan pekerjaan pengangkutan yang diberikan oleh pengirim kepada pengangkut.

Dengan demikian, ketentuan – ketentuan dari tiga jenis perjanjian itu berlaku juga dalam

perjanjian pengangkutan, kecuali jika perjanjian pengangkutan mengatur lain. Berdasarkan

hasil penelitian ternyata ketentuan dalam pengangkutan itulah yang berlaku. Jika dalam

Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016

Page 3: Aspek Hukum Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik dan

perjanjian pengangkutan tidak diatur lain, maka diantara ketentuan ketiga jenis perjanjian itu

dapat diberlakukan. Hal ini ada hubungannya dengan asas konsensual.

Sedangkan, menurut Mr. Kist perjanjian pengangkutan udara merupakan perjanjian campuran

yaitu perjanjian pertimpangan. Mr. Kist mengemukakan pendapat yang disetujui oleh Prof.

Soekardono dan H.M Purwosutjipto. Dengan alasan bahwa dalam perjanjian pengangkutan

mengandung unsur yaitu:

1. Unsur penyimpanan, yang diatur dalam Pasal 468 ayat (1) KUHD yang berbunyi

“perjanjian pengangkutan mewajibkan pengangkutan untuk menjaga dengan baik

keselamatan barang yang diangkutnya, mulai saat diterimanya dan hingga

diserahkannya barang tersebut;

2. Unsur pemberian kuasa, hal ini diatur dalam beberapa Pasal di KUHD diantaranya

adalah Pasal 371 ayat (1) KUHD yang berbunyi “Nahkoda diwajibkan selama

perjalanan menjaga kepentingan – kepentingan para pemilik muatan, mengambil

tindakan – tindakan tertentu yang diperlukan, untuk itu jika perlu menghadap di muka

Hakim.

3. Pelayanan berkala, sebagaimana diatur dalam Pasal 1601 KUHPerdata.

Tanggung Jawab dalam Kegiatan Pengangkutan

Menurut konsep tanggung jawab hukum (legal liability concept) praduga bersalah

(presumption of liability concept), perusahaan penerbangan dianggap (presumed) bersalah,

sehingga perusahaan penerbangan demi hukum harus membayar ganti rugi yang diderita oleh

penumpang dan/atau pengirim barang tanpa dibuktikan kesalahan lebih dahulu, kecuali

perusahaan penerbangan membuktikan tidak bersalah. Penumpang dan/atau pengirim barang

tidak perlu membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan, cukup memberi tahu adanya

kerugian yang terjadi pada saaat kecelakaan, sehingga penumpang dan/atau pengirim barang

tidak harus membuktikan kesalahan perusahaan penerbangan.

Konsep tanggung jawab hukum yang digunakan dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun

2009 adalah tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liability), karena itu

pengangkut otomotis bertanggung jawab, kecuali pengangkut dapat membuktikan bahwa

pengangkut tidak bersalah atau beban pembuktian terbalik atau pembuktian negatif

Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016

Page 4: Aspek Hukum Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik dan

Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada

angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan

bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak

pandang di bawah standar minimal atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal

yang mengganggu keselamatan penerbangan dan teknis operasional antara lain:

(a) Bandara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional pesawat

udara;

(b) Lingkungan menuju bandara atau landasan pacu terganggu fungsinya misalnya retak,

banjir, atau kebakaran;

(c) Terjadinya antrean pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau

lokasi waktu keberangkatan (depature slot time) di bandara; atau

(d) Keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling).

Sedangkan yang tidak termasuk teknis operasional antara lain:

(a) Keterlambatan pilot, co-pilot, dan awak kabin;

(b) Keterlambatan jasa boga (catering);

(c) Keterlambatan penanganan di darat;

(d) Menunggu penumpang, baik yang yang baru melapor (check in), pindah pesawat

(transfer) atau penerbangan lanjutan (connecting flight);

(e) Ketidaksiapan pesawat udara.

Ganti rugi kargo yang hilang, musnah atau rusak sebesar Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah)

per kg dan kargo yang sebagian rusak sebesar Rp 50.000 (lima puluh ribu rupiah) per kg.

Apabila pada saat menyerahkan kargo kepada perusahaan penerbangan, pengirim menyatakan

nilai kargo dalam surat muatan udara, ganti rugi wajib dibayarkan oleh perusahan

penerbangan kepada pengirim sebesar nilai kargo yang dinyatakan dalam surat muatan.

Ketentuan ini menjadi bias, apakah tidak menjadi beban berat buat perusahaan penerbangan

yang harus membayar kepada pengirim sebesar yang dinyatakan dalam surat muatan udara,

sementara tidak menyebutkan bahwa pengirim harus membayar biaya tambahan seharga

barang yang dinyatakan dalam surat muatan udara. Kargo dianggap hilang setelah 14 (empat

belas) hari kalender terhitung sejak seharusnya tiba di tempat tujuan. Apabila kargo diangkut

melalui lebih dari 1 moda pengangkutan perusahan penerbangan hanya bertanggung jawab

atas kerusakan sebagian atau keseluruhan atas kehilangan kargo selama dalam perusahaan

penerbangan udara yang menjadi tanggung jawabnya.

Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016

Page 5: Aspek Hukum Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik dan

Metode Penelitian

Dilihat dari bentuknya, penelitian yang dilakukan oleh penulis termasuk ke dalam bentuk

penelitian hukum yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang mengacu kepada kaidah –

kaidah atau norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang – undangan.

Penelitian yang dilakukan oleh penulis memiliki sifat sebagai penelitian deskriptif. Penelitian

deskriptif adalah penelitian yang memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia,

keadaan, atau gejala – gejala lainnya dengan maksud untuk mempertegas hipotesa – hipotesa,

memperkuat teori – teori lama, atau menyusun teori – teori baru.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data

yang diperoleh dari berbagai bahan – bahan kepustakaan dan dokumentasi. Data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dimana data yang digunakan penulis

berasal dari bahan kepustakaan. Sedangkan, bahan hukum yang digunakan dalam penilitian

ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan terrsier. Bahan hukum primer adalah bahan

yang berasal dari perundang – undangan. Bahan hukum primer yang digunakan oleh penulis

diatarannya adalah Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Undang – Undang RI No. 1

Tahun 2009 tentang Penerbangan dan peraturan perundang – undangan lainnya yang terkait.

Untuk menjelaskan hukum primer digunakan bahan hukum sekunder berupa buku – buku,

skripsi, tesis, dan artikel – artikel dari surat kabar dan internet. Sedangkan penunjang dari

bahan hukum yang telah disebutkan diatas digunakan bahan hukum tersier berupa Kamus

dan Ensiklopedia.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan alat pengumpulan data berupa studi dokumen dan

wawancara. Studi dokumen atau bahan pustaka, merupakan suatu alat pengumpulan data yang

dilalukan melalui data yang tertulis. Studi dokumen menggunakan penelitian kepustakaan

yang berkaitan dengan tema dan judul skripsi ini yaitu Aspek Hukum Perjanjian Angkutan

Udara Domestik dan Pertanggung Jawabannya.

Terdapat dua metode analisa data yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Penulis menggunakan

metode analisa data secara kualitatif yakni usaha – usaha untuk memahami makna di balik

tindakan atau kenyataan atau temuan – temuan yang ada di masyarakat secara nyata. Dalam

Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016

Page 6: Aspek Hukum Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik dan

hal ini di balik tindakan atau kenyataan atau temuan – temuan mengenai perjanjian angkutan

kargo udara domestik dan pertanggung jawabannya.

Hasil dan Pembahasan

Pelaksanaan Perjanjian Pengangkutan Kargo Udara dan Bentuk Pertanggung Jawaban Secara

Umum Dalam pelaksanaan pengangkutan udara, terdapat 2 (dua) bentuk perjanjian yang lahir dari

suatu hubungan hukum yaitu perjanjian pengiriman barang dan perjanjian pengangkutan

barang. Pola perjanjian pengangkutan udara sebagai berikut:

Perjanjian pengiriman barang adalah perjanjian timbal balik antara ekspeditur dengan

pengirim, dimana ekspeditur mengikatkan diri untuk mencarikan pengangkut yang baik bagi

si pengirim, sedangkan si pengirim mengikatkan diri untuk membayar provisi kepada

ekspeditur. Dalam perjanjian pengiriman barang terdapat 3 (tiga) sifat hukum yang

terkandung yaitu pelayanan berkala, pemberian kuasa, dan penitipan.

Sifat pelayanan berkala adalah dimana hubungan hukum ekspeditur dan pengirim terjadi

dalam waktu dan perbuatan tertentu saja, yakni hubungan hukum tersebut muncul ketika si

pengirim membutuhkan seorang pengangkut untuk mengirimkan barangnya. Sifat pelayanan

berkala ini seperti yang termuat di dalam Pasal 1601 KUHPerdata. Dalam hal ini, memiliki

keterkaitan dengan perjanjian untuk melakukan pekerjaan, dengan bentuk perjanjian untuk

melakukan jasa – jasa tertentu. Perjanjian untuk melakukan jasa – jasa tertentu adalah suatu

Pemilik Barang

Ekspeditur

Pengangkut

Perjanjian  Pengiriman  Barang  

Perjanjian  Pengangkutan  Barang  

Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016

Page 7: Aspek Hukum Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik dan

perjanjian dimana suatu pihak menghendaki dari pihak lawannya untuk dilakukannya suatu

pekerjaan untuk mencapai suatu tujuan, dimana ia bersedia membayar upah sedangkan apa

yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, sama sekali terserah kepada pihak

lawan itu. Biasannya pihak lawan ini adalah seorang ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut

dan biasanya ia juga sudah memasang tarif untuk jasanya itu.

Sedangkan, sifat pemberian kuasa ada karena pengirim memberikan kuasa kepada ekspeditur

untuk mencarikan seorang pengangkut yang baik baginya terhadap barang yang telah

dititipkannya. Sifat pemberian kuasa ini diatur dalam Pasal 1792 KUHPerdata.

Pasal 1797 memberikan batasan bahwa penerima kuasa tidak diperbolehkan melakukan

tindakan melampaui kuasa yang diberikan kepadanya. Namun, sifat hukum perjanjian

ekspedisi “pemberi kuasa” ini jelas ada, bila si ekspeditur mengadakan perjanjian

pengangkutan dengan pengangkut atas nama pengirim, tetapi kalau ekspeditur menutup

perjanjian pengangkutan itu atas nama sendiri untuk tanggugan pengirim, maka perjanjian

ekspedisi itu mempunyai sifat “hubungan komisi” (pasal 76 KUHD).

Menurut pasal 77 KUHD, seorang komisioner tidak berkewajiban untuk memberitahukan

kepada orang dengan siapa ia bertindak tentang yang menanggung beban tindakannya itu.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang Komisioner berhak untuk

menyelenggarakan suatu perjanjian atas namanya sendiri, dimana ia tidak berkewajiban untuk

memberitahukan kepada pihak lain dengan siapa ia bertindak.

Komisioner ini merupakan suatu bentuk perwakilan atau agency, dimana dalam KUHD

diadakan perbedaan antara “perwakilan langsung” dan “perwakilan tidak langsung” yang

berkorespondensi dengan “bertindak atas nama orang lain” dan “bertindak atas nama diri

sendiri”.

Di dalam pelaksanaan perjanjian pengiriman barang, terdapat unsur penitipan (bewaargeving)

terhadap barang yang telah diamanatkan kepada ekspeditur untuk dikirim. Unsur penitipan ini

muncul sebelum ekspeditur menyerahkan barang tersebut kepada pengangkut untuk diangkat,

melainkan unsur penitipan ini berlangsung ketika ekspeditur menyimpan barang – barang

yang diserahkan oleh pengirim untuk disimpan dalam gudang ekspeditur. Mengenai penitipan

diatur dalam Pasal 1694 KUHPerdata.

Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016

Page 8: Aspek Hukum Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik dan

Dapat dikatakan, unsur penting suatu penitipan adalah adanya penyerahan barang titipan

(kargo) tanpa perpindahan hak milik atas barang (kargo) yang dititipkan. Dengan kata lain,

penyerahan tidak mengakibat hak milik atas barang tersebut ikut berpindah kepada pihak

yang dititipkan, melainkan hak milik tetap berada di tangan pihak yang menyerahkan

(pengirim).

Sedangkan, dalam perjanjian pengangkutan udara menurut sistem hukum di Indonesia tidak

mesyarakatkan dalam bentuk tertulis, kata sepakat secara lisan antara para pihak yang

berkehendak sudah cukup membuktikan bahwa telah lahirnya suatu perjanjian pengangkutan

udara, sebagaimana yang termuat di dalam Pasal 1313 dan Pasal 1314 KUHPerdata.

Perjanjian pengangkutan tidak dibuat secara tertulis karena hak dan kewajiban antar para

pihak telah ditentukan di dalam undang – undang yang berlaku. Dengan kata lain, perjanjian

dalam bentuk tidak tertulis tersebut tetap mengikat terhadap pihak yang bersepakat. Pasal

1338 dan 1339 mengatakan bahwa kesepakatan harus didasarkan dengan itikad baik.

Apabila terjadi suatu perselisihan perjanjian dalam bentuk tidak tertulis, sulit untuk

dibuktikan karena tidak ada bukti sebagai acuan secara nyata yang membuktikan bahwa salah

satu pihak dalam perjanjian tersebut telah melanggar ketentuan – ketentuan yang telah

disepakatinya. Oleh karena itu, sangatlah riskan dan berpotensi merugikan salah satu pihak

apabila terjadi suatu hal – hal yang tidak diinginkan. Walaupun perjanjian pengangkutan

dalam bentuk tidak tertulis bukanlah suatu kewajiban, namun dirasakan cukup penting apabila

pembuatan perjanjian pengakutan dibuat secara tertulis. Hal ini bertujuan agar, suatu

perikatan mempunyai kekuatan yang mengikat dan bukti yang kuat apabila terjadi suatu hal

yang merugikan salah satu pihak.

Perjanjian pengangkutan merupakan suatu perjanjian timbal balik antara pengangkut dan

pengirim kargo, dimana terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi antar para pihak

akibat suatu perbuatan hukum yang timbul dari suatu perjanjian. Pengangkut berkewajiban

untuk menyelenggarakan pengangkutan barang yang telah dititipkan oleh pengirim ke tempat

tujuan tertentu dengan selamat. Menurut Pasal 468 ayat (1) KUH Dagang keselamatan barang

tersebut menjadi tanggung jawab pengangkut sejak penerimaan hingga diserahkannya barang

tersebut kepada pihak yang telah ditentukan. Sedangkan, kewajiban pemilik barang yaitu

memberikan pembayaran biaya atas pengangkutan yang telah dilakukan oleh pengangkut.

Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016

Page 9: Aspek Hukum Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik dan

Apabila penerima kargo berdasarkan jangka waktu yang telah ditentukan dalam suatu

perjanjian tidak mengambil kargo maka atas semua biaya yang timbul menjadi tanggung

jawab penerima kargo , ketentuan tersebut seperti yang termuat di dalam Pasal 164 Undang –

Undang Nomor 1 Tahun 2009. Dalam hal ini, pengangkut berhak melakukan penjualan jika

kargo tidak diambil oleh penerima setelah melewati jangka waktu yang telah ditetapkan

dikarenakan biaya pembayaran yang timbul terhadap barang kargo tersebut. Atas kerugian

yang timbul akibat penjualan kargo yang tidak diambil dalam jangka waktu yang telah

ditetapkan dalam suatu perjanjanjian, maka dalam hal ini pengangkut tidak dapat dituntut oleh

penerima kargo.

Pertanggung Jawaban Terhadap Perjanjian Antara PT. Pos Indonesia dengan PT. Garuda

Indonesia Apabila Pihak Angkutan Kargo Udara Terlambat atau Melakukan Kelalaian dalam

Pengaagkutan Serta Bentuk Penggantian yang Dapat dan Tidak Dapat Dimintai Ganti Rugi

Berdasarkan Pasal 145 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 menyatakan bahwa:

“Pengangkutan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim kargo karena

kargo yang dikirim hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara

selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut.”

Sedangkan, dalam perjanjian pengangkutan kiriman pos udara antara PT. Pos Indonesia dan

PT. Garuda Indonesia Tbk pertanggung jawaban terhadap kerusakan, kehilangan barang

kargo diatur didalam Pasal 12 ayat (1) yang berbunyi:

“Garuda bertanggung jawab membayar ganti rugi kepada POS atas kekurangan, kerusakan

atau kehilangan sebagian atau seluruhnya Kirimanpos Udara, apabila kekurangan, kerusakan

atau kehilangan Kirimanpos Udara tersebut disebabkan oleh kesalahan GARUDA yang

disebutkan dalam Cargo Service Form yang ditandatangani Para Pihak di gudang serah

terima.”

Jika terjadi dan terbukti kesalahan atau kelalaian diakibatkan oleh PT Pos Indonesia, maka

yang bertanggung jawab untuk memberikan penggantian kerugian kepada pengirim adalah PT

Pos Indonesia. Sedangkan, jika kesalahan atau kelalaian diakibatkan oleh pengangkut (PT

Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016

Page 10: Aspek Hukum Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik dan

Garuda Indonesia), maka dalam hal ini PT Pos tetap memberikan penggantian kerugian

kepada pengirim yang selanjutnya akan dikoordinasikan dengan pihak pengangkut (PT

Garuda Indonesia). Hal ini dikarenakan, pengirim tidak memiliki hubungan langsung dengan

pihak pengangkut (PT Garuda Indonesia) melainkan memiliki hubungan hukum dengan

ekspeditur (PT Pos Indonesia). Oleh karena itu, mekanisme penggantian kerugian dilakukan

melalui PT Pos Indonesia yang sebelumnya dikoordinaikan terlebih dahulu dengan PT

Garuda Indonesia.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 dan

Perjanjian PT Garuda dengan PT Pos Indonesia menganut konsep tanggung jawab praduga

bersalah (presumption of liability), dimana apabila terjadi kerusakan, kehancuran dan

kehilangan terhadap barang kargo maka pihak yang harus bertanggung jawab secara otomatis

adalah pengangkut, sepanjang kejadian yang menyebabkan kerugian tersebut berlangsung

selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut. Namun dalam hal ini, dimungkinkan

bagi pengangkut untuk membaskan diri dari tanggung jawabnya jika pengangkut dapat

membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah (beban pembuktian terbalik atau pembuktian

negatif).

Penganturan mengenai pertanggung jawaban atas keterlambatan pengangkutan udara diatur

dalam Pasal 146 Undang – undang Nomor 1 Tahun 2009, mengatakan bahwa:

“ Pengangkutan bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada

angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkutan dapat membuktikan

bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.”

Dalam Penjelasan Pasal 146 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009, mengatakan bahwa:

“ Yang dimaksud dengan faktor cuaca” adalah hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak

pandang di bawah standar minimal, atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal

yang mengganggu keselamatan penerbangan. Yang dimaksud dengan “teknis operasional”

antara lain:

a. Bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional

pesawat udara;

Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016

Page 11: Aspek Hukum Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik dan

b. Lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya misalnya retak,

banjir, atau kebakaran;

c. Terjadi antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau alokasi

waktu keberangkatan (depature slot time) di bandar udara; atau

d. Keterlambatan pengisian bahan bakar (refuelling)

Sedangkan yang tidak termasuk dengan “teknis operasional” antara lain:

a. Keterlambatan pilot, co pilot, dan awak kabin;

b. Keterlambatan jasa boga (catering);

c. Keterlambatan penanganan di darat;

d. Menunggu penumpang, baik yang baru melapor (check in), pindah pesawat (transfer)

atau penerbangan lanjutan (conneting flight); dan

e. Ketidakpastian pesawat udara.

Penganturan atas pertanggung jawaban keterlambatan pengakutan udara juga diatur di dalam

Pasal 12 ayat (2) Perjanjian PT. Garuda Indonesia dengan PT. Pos Indonesia dikemukakan

bahwa :

“ Garuda bertanggung jawab membayar ganti rugi kepada POS atas keterlambatan yang

disebabkan oleh Offload dan/atau salah salur kirimanpos Udara yang disebabkan oleh

kesalahan Garuda yang disebutkan dalam Cargo Service Form yang ditandatangani Para

Pihak.”

Kemudian, dalam Pasal 12 ayat (3) Perjanjian PT. Garuda Indonesia dengan PT. Pos

Indonesia terdapat pengucalian penggantian kerugian tidak berlaku apabila disebabkan oleh :

a. Kirimanpos Udara diterima di gudang GARUDA kurang dari 3 (tiga) jam

sebagaimana diatur dalam pasal 10 ayat (2) point c pada Perjanjian ini.

b. Keadaan cuaca buruk yang menyebabkan tidak dimungkinkan untuk dilakukan lepas

landas (take off), atau mendarat (landing) sesuai jadwal penerbangan seperti hujan,

lebat, petir, badai, kabut asap, jarak pandang dibawah standar minimal atau kecepatan

angin yang melampaui standar maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan.

c. Bandar Udara keberangkatan dan atau tujuan tidak dapat digunakan operasional

pesawat udara.

d. Lingkungan menuju Bandara Udara atau landasan terganggu fungsinya

Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016

Page 12: Aspek Hukum Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik dan

e. Terjadinya antrian pesawat udara lepas landas (take off), mendarat (landing), atau

alokasi keberangkatan (depature slot time) di Bandara Udara.

f. Keterlambatan pengisian bahan bakar.

g. Pesawat dalam kondisi full passenger dan atau double fuel yang menyebabkan

pesawat udara tidak dapat mengangkut Kirimanpos Udara

h. Technical Status

i. Operasional Status.

Dengan demikian, dapat dikatakan pertanggung jawaban atas keterlambatan dalam perjanjian

pengangkutan udara berpedoman pada Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009. Dimana,

Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2009 menganut konsep praduga bersalah yang berarti

setiap kerugian yang timbul akibat keterlambatan otomatis menjadi tanggung jawab

pengangkut. Namun dalam hal ini, terdapat pembebasan dari pertanggung jawaban

penggantian kerugian terhadap keterlambatan apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa

keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.

Jumlah penggantian kerugian atas keterlambatan dan hilang, musnah, atau rusak telah diatur

dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011, dimana dalam Pasal 7 ayat (1)

menyebutkan bahwa :

“ Jumlah ganti kerugian terhadap kargo yang dikirim hilang, musnah atau rusak sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 huruf d ditetapkan sebagai berikut:

a. Terhadap hilang atau musnah, pengangkutan wajib memberikan ganti kerugian kepada

pengirim sebesar Rp 100.000, 00 (seratus ribu rupiah) per kg.

b. Terhadap rusak sebagian atau seluruh isi kargo atau kargo, pengangkut wajib

memberikan ganti kerugian kepada pengirim sebesar Rp 50.000,00 (lima puluh ribu

rupiah) per kg.

c. Apabila pada saat menyerahkan kepada pengangkut, pengirim menyatakan nilai kargo

dalam surat muatan udara (airway bill), ganti kerugian yang wajib dibayarkan oleh

pengangkut kepada pengirim sebesar nilai kargo yang dinyatakan dalam surat muatan

udara.”

Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016

Page 13: Aspek Hukum Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik dan

Sedangkan, dalam perjanjian PT Pos Indonesia dengan PT Garuda Indonesia, besaran atas

penggantian kerugian dimuat dalam Pasal 12 ayat (4a) dan (4b) yaitu:

a. Ganti rugi Kirimanpos Udara domestik untuk kehilangan atau musnah sebesar Rp

100.000,- (seratus ribu rupiah) per kg

b. Ganti rugi Kirimanpos Udara domestik untuk rusak sebagian atau seluruhnya sebesar

Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah).1

Klausul dalam perjanjian pengangkutan udara antara PT Pos Indonesia dengan PT Garuda

Indonesia berpedoman pada ketentuan dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2011. Dalam

pelaksanaannya, penggantian kerugian atas kerusakan, kehilangan, atau musnah apabila

kelalaian tersebut dari Pihak PT Garuda Indonesia maka PT Garuda Indonesia akan

memberikan penggantian kerugian dengan jumlah per kg barang tersebut. Namun, dalam hal

ini PT Pos Indonesia menggantikan kerugian sebesar harga barang tersebut dikarenakan

pengirim menyatakan nilai kargo dalam surat muatan udara (airway bill) tersebut.

Kesimpulan

Dalam pelaksanaan pengangkutan udara terdapat 2 (dua) bentuk perjanjian yang lahir dari

suatu hubungan hukum yaitu perjanjian pengiriman barang dan perjanjian pengangkutan

barang. Sistem hukum di Indonesia tidak mensyaratkan perjanjian pengangkutan udara dalam

bentuk tertulis, kata sepakat sudah cukup membuktikan bahwa telah lahirnya suatu perjanjian

di antara para pihak yang bersepakat. Sehingga apabila terjadi perselisihan di antara para

pihak yang bersengketa hal tersebut sulit untuk dibuktikan, dikarenakan tidak ada bukti

tertulis. Terdapat 3 unsur dalam perjanjian pengirim barang antara ekspeditur dengan

pengirim yaitu unsur pelayanan berkala yang memiliki keterkaitan dengan perjanjian

melakukan pekerjaan dalam bentuk melakukan jasa – jasa tertentu, unsur penitipan, dan unsur

pemberian kuasa jika ekspeditur menggunakan nama pengirim dalam perjanjian. Namun

apabila ekspeditur menggunakan nama dirinya sendiri maka perjanjian tersebut terdapat unsur

hubungan komisi dalam bentuk perwakilan.                                                                                                                          

 1  Berdasarkan Pasal 12 ayat (4a) dan (4b) Perjanjian Pengangkutan Udara antara PT Pos Indonesia

dengan PT Garuda Indonesia Nomor Pos: 209/DIRUT/1113, Nomor Garuda: DS/PERJ/GF-3833/2013.  

Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016

Page 14: Aspek Hukum Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik dan

Undang - Undang Nomor 1 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77

Tahun 2011 mengatur mengenai mekanisme pertanggung jawaban pengangkutan udara serta

jumlah ganti rugi yang harus dibayar, yang timbul karena keterlambatan ataupun hilang,

rusak, atau musnah suatu barang kargo milik pengirim barang. Undang – Undang Nomor 1

Tahun 2008 menganut konsep tanggung jawab praduga bersalah (presumption of liability),

dimana pengangkut secara otomatis bertanggung jawab terhadap hilang, musnah, atau

rusaknya kargo selama berlangsungnya pengangkutan udara dan dalam pengawasannya.

Namun, pengangkut dapat dibebaskan dari pertanggung jawabnnya apabila ia dapat

membuktikan bahwa pengangkut tidak bersalah atau beban pembuktian terbalik atau

pembuktian negatif. Begitu pula bentuk pertanggung jawaban terhadap keterlambatan

pengangkutan udara.

Saran

Dengan adanya Undang – Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan dan Peraturan

Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkutan Udara,

diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan menjadi pedoman serta acuan dalam

pelaksanaan pengangkutan udara domestik di Indonesia. Selain itu, peneliti menyarankan agar

terdapat penyediaan alat angkut yang cukup memadai dalam pelaksanaan pengangkutan kargo

udara, sehingga dapat meningkatkan produktivitas dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat

untuk pengiriman kargo udara domestik.

Daftar Referensi

Martono, H.K dan Agus Pramono. Hukum Udara Perdata Internasional dan Nasional.

Jakarta: Rajawali Pers, 2013

Martono, H.K dan Ahmad Sudirno. Hukum Angkutan Udara Berdasarkan UU RI No. 1

Tahun 2009. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum Suatu Pengantar. Cet. 2. Yogyakarta: Liberty,

2001.

Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016

Page 15: Aspek Hukum Perjanjian Angkutan Kargo Udara Domestik dan

Muhammad, Abdulkadir. Arti Penting dan Strategis Multimoda Pengangkutan Niaga di

Indonesia, dalam Prsespektif Hukum Bisnis di Era Globalisasi Ekonomi. Yogyakarta:

Genta Press, 2007.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara. Bandung:P.T Citra

Aditya Bakti, 1991.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Pengangkutan Niaga. Bandung: P.T Citra Aditya Bakti,

1998.

Purwositijpto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 3. Jakarta: Djambatan, 1991.

Saefullah, E. Tanggungjawab Pengangkutan dalam Hukum Pengangkutan Udara

Internasional dan Nasional. Yogyakarta: Liberty, 1989.

Sardjono, Agus. Et al. Pengantar Hukum Dagang. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: Penerbit Universitas

Indonesia (UI-PRES), 1968.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Depok: Penerbit Universitas Indonesia,

2007.

Soekardono. Hukum Dagang Indonesia II dalam bagian I. 1980.

Subekti. Aneka Perjanjian. Bandung: P.T Citra Aditya Bakti, 1995.

Subekti, R. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita, 1974.

Indonesia. Undang – Undang tentang Penerbangan. UU No.1 Tahun 2009. LN No. 1 Tahun

2009, TLN No. 4956.

Perjanjian Pengangkutan Udara antara PT Pos Indonesia dengan PT Garuda Indonesia Nomor

Pos: 209/DIRUT/1113, Nomor Garuda: DS/PERJ/GF-3833/2013.

 

Aspek Hukum ..., Dinda Chantya Safira, FH UI, 2016