25

Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Lokakarya Kajian Kebijakan Pengelolaan Tanah Adat di IndonesiaOleh : DR. H. Abdurrahman, SH, MH.KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONALDIREKTORAT PERKOTAAN TATA RUANG DAN PERTANAHAN JAKARTA 28 DESEMBER 2005

Citation preview

Page 1: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

LOKAKARYA

KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TANAH

ADAT DI INDONESIA

ASPEK PERUNDANG-UNDANGAN

DALAM PENGELOLAAN & PENYELESAIAN SENGKETA

TANAH ADAT

Oleh:

DR. H. ABDURRAHMAN, SH, MH.

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

DIREKTORAT PERKOTAAN, TATA RUANG, DAN PERTANAHAN

JAKARTA, 28 DESEMBER 2005

Page 2: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

LOKAKARYA

KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN TANAH

ADAT DI INDONESIA

ASPEK PERUNDANG-UNDANGAN

DALAM PENGELOLAAN & PENYELESAIAN SENGKETA

TANAH ADAT

Oleh:

DR. H. ABDURRAHMAN, SH, MH.

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

DIREKTORAT PERKOTAAN, TATA RUANG, DAN PERTANAHAN

JAKARTA, 28 DESEMBER 2005

Page 3: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

DAFTAR ISI

1. Pendahuluan 1

2. Tanah Adat 1

3. Ketentuan Konstitusional tentang Tanah Adat 3

4. Peraturan Perundang-undangan tentang Tanah Adat 5

4.1 UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA 5

4.2 UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan dan

UUNo. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 6

4.3 UUNo. 18 Tahun2004 tentangPerkebunan 8

4.4 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi

Papua 9

4.5 Permenneg Agraria No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman

Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat 10

4.6 Pengaturan Tanah Adat dalam Perda 13

a. Perda Provinsi Sumatera Barat No. 9 Tahun 2000 tentang

Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari 13

b. Perda Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001 tentang

Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy 14

c. Perda Kabupaten Nunukan No. 3 Tahun 2004 tentang Hak

Ulayat Masyarakat Hukum Adat 15

d. Perda Kabupaten Nunukan No. 4 Tahun 2004 tentang Hak

Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh Kab. Nunukan 17

5. Penyelesaian Sengketa Tanah Adat 19

6. Penutup 20

Daftar Kepustakaan 21

Page 4: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

ASPEK PERUNDANG-UNDANGAN DALAM

PENGELOLAAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ADAT1

Oleh

2DR. H. ABDURRAHMAN, SH., MH."

1. PENDAHULUAN

Pembincangan tentang tanah adat sudah berlangsung cukup lama dan kelihatannya masih

akan berlangsung terns pada masa mendatang karena kita masih belum dapat menerapkan

suatu kebijakan tentang tanah adat yang dapat diterima oleh semua pihak. Selain itu

peraturan perundang-undangan yang ada masih bersifat umum dan belum operasional

karena pengaturan yang bersifat tehnis operasional hanya muncul dalam janji-janji dan

masing-masing daerah masih berbeda-beda dalam memberikan peraturan. begitu pula

instansi yang diserahi tugas untuk menangani persoalan ini masih cukup beragam paling

tidak masih dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), Departeman Kehutanan

dan Pemerintah Daerah.

Permasalahan tentang tanah adat mempunyai implikasi yang cukup luas karena

menyangkut eksistensi dari sekelompok masyarakat yang menamakan dirinya masyarakat

adat yang merasa paling berhak atas tanah dimaksud. Penanganan terhadap keberadaan hak

dimaksud sering kali menimbulkan masalah yang dapat mengganggu stabilitas masyarakat

bilamana tidak ditangani dengan sebaik-baiknya.

Hal ini bukanlah hal yang baru dalam masyarakat Indonesia, persoalannya sudah muncul

ketika Belanda mulai menerapkan Agrarisch wet (Stb 1870 No. 55) dan Agrarisch Besluit

(Stb 1870 No. 118) dengan memperkenalkan "Domein Verklaring Beginsel" yang

menentukan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan haknya (berdasarkan hukum

Belanda) dianggap sebagai tanah Negara. Pada saat itu tanah-tanah orang Indonesia yang

tidak dapat dibuktikan kepemilikannya berdasarkan hukum Belanda, oleh pemerintah

Belanda dianggap sebagai tanah Negara sedangkan bagi masyarakat tanah dimaksud

dianggap sebagai tanah Indonesia atau tanah adat, termasuk tanah ulayat yang oleh Van

Vollenhaven disebut dengan "beschikkingsrecht".

2. TANAH ADAT

Istilah "Tanah Adat" telah dipergunakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

(Bapenas) dalam "Kajian Kebijakan Pengelolaan Tanah Adat di Indonesia" (2005). Istilah

ini telah dipergunakan juga oleh beberapa pakar hukum antara lain Y.C. Thambun Anyang

dalam pidato pengukuhannya" Kedudukan dan Penggunaan Tanah Adat di Kalimantan

Barat" (9 Maret 2002). dan I Ketut Oka Setiawan dalam pidato pengukuhannya "Peranan

Hakim Desa Dalam Penyelesaian Sengketa Hukum Tanah Adat di era Otonomi daerah "

1 Makalah disampaikan pada Lokakarya Kajian Kebijakann Pengelolaan Tanah Adat Di Indonesia, Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional ( Bappenas), Jakarta, 28 Desember 2005.

2 Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI, dosen Pascaserjana Magister Ilmu Hukum Universitas Lambung

Mangkurat Banjarmasin dan Magister Filsafat Hukum Islam IAIN Antasari Banjarmasin.

Page 5: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

(27 Mei 2004), sedangkan sebelumnya istilah Tanah Adat digunakan sebagai istilah

populer dalam masyarakat.

Sebelumnya, Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Universitas Atmajaya bekerjasama

dengan Badan Pertanahan Nasional melaksanakan Indonesia Land Administration Project

dengan tema " Pola Penguasaan Tanah Masyarakat Tradisional dan Problema Pendaftaran

Tanah" (1996/1998). Dalam kajian itu tidak secara khusus digunakan istilah "Tanah Adat"

walaupun project ini di dahului dengan suatu " Semiloka Tanah Adat" (3-5 September

1996). Kesepakatan yang diambil dalam semiloka juga bukan menggunakan istilah "

Tanah Adat" tetapi " hak ulayat dan hak-hak yang sejenis " yang mengacu pada unsur-

unsur

(a) harus ada masyarakat hukum adatnya sebagai pemegang hak ulayat;

(b) masih ada penguasa adat yang melaksanakan ketentuan-ketentuan hak ulayat; dan

(c) apa yang dilakukan kepala adat masih ditaati oleh para warga yang bersangkutan

(Pusat Kajian Atmajaya & BPN, 1998 : 5), dan dalam temuan lapangan

ditambahkan pula :

(d) masih ada kesadaran bahwa tanah komunal tradisional adalah tanah bersama, bukan

tanah perorangan (Pusat Kajian Atmajaya & BPN, 1998 : 10).

Dalam "Kajian Kebijakan Pengelolaan Tanah Adat di Indonesia" (Bappenas, 2005 :3)

disebutkan bahwa tanah adat yang dimaksud dalam kajian ini menunjuk pada tanah yang

berada dibawah pengaturan hukum yang berlaku dalam suatu kelompok masyarakat hukum

adat tertentu, yang secara umum dapat dikatagorikan menjadi tanah adat yang bersifat

komunalistik dan feodal. Perumusan tentang tanah adat ini perlu untuk dikaji ulang dan

untuk kepentingan pengaturan pada masa mendatang perlu untuk dirumuskan secara lebih

konkrit.

Secara formal sejak tahun 1960 istilah yang digunakan dalam dalam perundang-undangan

adalah " hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat

"seperti yang disebutkan dalam Pasal 3 UUPA. Sedangkan Undang-Undang No. 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan menggunakan istilah "Hutan Adat" yang dirumuskan sebagai

hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat (Pasal 1 butir 6).

Disamping itu juga disebutkan dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) (TLN No. 3888) yang

menyatakan bahwa hutan Negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan Negara yang

diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap). Hutan

adat tersebut sebelumnya disebut hutan ulayat, hutan warga, hutan pertuanan atau sebutan

lainnya.

UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air memperguanakan istilah "hak ulayat

masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu "Pasal 6 ayat 2)

penjelasan Pasal yang bersangkutan (TLN 4377) menyebutkan bahwa yang dimaksud

dengan hak yang serupa dengan hak ulayat adalah hak yang sebelumnya diakui dengan

berbagai sebutan dari masing-masing daerah yang pengertiannya sama dengan hak ulayat,

misalnya tanah wilayah Pertuanan di Ambon ; panyampeto atau pewatasan di Kalimantan ;

wewekon di Jawa, Prabumian dan Payar di Bali, Totabuan di Bolaang Mongoudouw ;

Torluk di Angkola, Limpo di Sulawesi Selatan, Moru di Pulau Bum, Paer di Lombok dan

Panjaean di Tanah Batak

Rumusan formal tentang Hak Ulayat ditemukan dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2001

tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Pasal 1 huruf s menyebutkan hak ulayat

adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah

Page 6: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk

memfaat kan tanah, hutan dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-

undangan kemudian dalam penjelasan pasal 43 ayat 3 ditentukan penegasan sebagai

berikut:

" Hak ulayat adalah hak bersama para warga masyarakat hukum adat

yang bersangkutan. subyek hukum ulayat adalah masyarakat hukum adat

tertentu, bukan perorangan dan juga bukan penguasa adat, mekipun

banyak diantara mereka yang menjabat secara turun-temurun. Penguasa

adat adalah pelaksanaan hak ulayat yang bertindak sebagai petugas

masyarakat hukum adatnya dalam mengelola hak ulayat di wilayahnya,

hak ulayat diatur oleh hukum adat tertentu dalam masyarakat hukum adat

yang bersangkutan. kenyataannya dewasa ini keberadaan hak ulayat

berbagai masyarakat hukum adat tersebut beragam, sehubungan dengan

perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat hukum adatnya sendiri

baik karena pengaruh intern maupun lingkungannya "

Kemudian secara konsititusional pengaturan tentang hal ini telah dimasukkan dalam

Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen tahun 2000 sebagaimana dapat dilihat dalam

Pasal 18 B ayat (2) yang menyatakan Negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionelnya sepanjang masih hidup

dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang diatur dalam Undang-undang. Dengan mengacu pada ketentuan ini maka

hak atas tanah adat yang kita bicarakan sekarang menurut konstitusi adalah termasuk

dalam lingkup hak tradisional satuan masyarakat hukum adat.

Adanya berbagai ketentuan sebagaimana diungkapkan di atas mengkehendaki adanya

suatu kaji ulang baik mengenai termonologi maupun konsepsi tentang hak adat atas tanah

yang sesuai dengan perkembangan masa kini.

3. KETENTUAN KONSTITUSIONAL TENTANG TANAH ADAT

Perbincangan tetang tanah adat di Negara kita pertama-tama harus mengacu pada

konstitusi sebagai hukum dasar yang tertinggi di Negara kita. Namun sebelum tahun 2000

kita tidak menemukan satu pasal pun ketentuan tentang hal ini dalam UUD 1945, Baru

setelah tahun 2000 ketika Undang-undang Dasar 1945 di amandemen ditambahkan dua

pasal baru yang berhungan dengan topik yang kita bicarakan yaitu :

1. Pasal 18 B ayat (2):

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta

hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-

undang .

2. Pada Pasal 28 1 ayat (3) :

Indentitas budaya dan hak masyarakat tradisional di hormati selaras dengan

perkembangan zaman dan peradapan.

Mengenai ketentuan yang pertama menarik untuk diperhatikan komentar yang diberikan

oleh Jimly Ashiddiegy. Menurut pendapatnya perlu di perhatikan bahwa pengakuan ini

diberikan oleh Negara (i) kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak

Page 7: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

tradisional yang dimilikinya (ii) Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuabn-

kesatuan masyarakat hukum adat. Artinya, pengakuan diberikan kepada satu persatu dan

kesatuan-kesatuan tersebut, dan karenanya masyarakat hukum adat itu haruslah bersifat

tertentu (iii) masyarakat hukum adat itu memang hidup (masih hidup) ; (iv) dalam

lingkungannya (lebensraum) yang tertentu pula (v) pengakuan dan penghormatan itu

diberikan tanpa mengabaikan ukuran kelayakan bagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat

perkembangan peradaban bangsa. Misalnya, tradisi-tradisi tertentu yang tidak layak lagi

dipertahankan seperti "koteka" tidak boleh dibiarkan tidak mengikuti arus kemajuan

peradapan hanya karena alasan sentimentil untuk menghormati tradisi kebudayaan

masyarakat hukum adat yang bersangkutan (vi) pengakuan dan penghormatan itu tidak

boleh mengurang makna Indonesia sebagai satu negara yang berbentuk Negara Kesatuan

Republik Indonesia (Asshiddiqie, 2003 : 32-33). Sedangkan mengenai ketentuan yang

kedua ia hanya menyebutkan lihat Pasal 6 ayat (2) UU No. 39/1999 dan Pasal 41 Tap MPR

tentang Ham No. XVII/MPR/1998 (Asshidiqie, 2003 : 70). Pandangan ini perlu untuk

dikaji iebih lanjut secara mendasar.

Berdasarkan ketentuan ini maka keberadaan dari masyarakat hukum adat dan hak-hak

tradisionalnya telah diakui secara konstitusional. Namun pengakuan dan penghormatan ini

tidak bersifat umum, karena yang diakui adalah masyarakat hukum adat "sepanjang masih

hidup" yang mengandung makna secara faktual masyarakat hukum adat yang bersangkutan

masih dapat ditemukan dalam kenyataan. Dan hal ini dapat dilihat pada saat terjadinya

kasus nyata ketika persoalan keberadaan hukum adat itu sedang dipersoalkan.

Namun persyaratan "sepanjang masih hidup" saja ternyata tidak cukup karena masih ada

dua persyaratan lain yang harus dipenuhi lain yaitu :

1. Keberadaannya sesuai dengan perkembangan masyarakat, yang harus ditafsirkan sesuai

dengan perkembangan zaman atau seperti yang disebutkan dalam pasal 281 ayat (3)

Undang-Undang dasar 1945 "selaras dengan perkembangan zaman dan peradapan".

2. Keberadaannya sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, artinya

memberikan pengakuan terhadap satuan masyarakat yang bersangkutan tidak akan

menjadikan masyarakat yang bersangkutan berkembang menjadi kekuatan yang

mengganggu integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dan hal lain yang perlu diperhatikan dari Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang dasar 1945

tersebut, bahwa pengakuan dan penghormatan terhadap satuan masyarakat hukum adat dan

hak tradisionalnya tersebut akan diatur secara khusus dalam undang-undang. Penegasan

terakhir dapat mengundang dua tafsiran bahwa kita perlu satu undang-undang tentang

masyarakat hukum adat tetapi juga dapat berarti pengaturannya dapat diselipkan dalam

satu undang-undang tertentu. Dilihat dari tempat pengaturan pasal yang bersangkutan yaitu

dalam Bab VI tentang Pemerintah Daerah. Jadi harus dimasukkan dalam udang-undang

tentang Pemerintah daerah. Namun ketentuan yang serupa tidak kita temukan dalam

undang-undang Pemerintah Daerah yang berlaku sekarang yaitu Undang-Undang No. 32

Tahun 2004.

Sedangkan mengenai ketentuan Pasal 281 ayat (3) yang berbunyi identitas budaya dan hak

masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman termasuk dalam

Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan ini mempunyai banyak persamaan dengan

Pasal 41 Piagam Hak Asasi Manusia. Ketentuan ini mempunyai banyak persamaan dengan

pasal 41 Piagam Hak Asasi Manusia sebagaimana termuat dalam Ketetapan MPR No.

XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa

identitas budaya masyarakat tradisonal termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi selaras

Page 8: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

dengan perkembangan zaman. rumusan yang sama dicantumkan pula dalam Pasal 6 ayat

(20) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Penegasan yang sama kita temukan dalam Pasal 4 huruf J ketetapan MPR No.

IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan sumber Daya Alam yang

menyatakan mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum Adat dan keragaman

budaya bangsa atas sumber daya agraria dan sumber daya alam.

4. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG TANAH ADAT.

Untuk selanjutnya akan dikemukakan beberapa peraturan perundang-undangan berkenaan

dengan tanah adat.

4.1 UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA

Ketentuan pertama yang perlu disebut adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang

ketentuan-ketentuan Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan sebutan UUPA. Pasal 2 ayat

(4) dari undang-undang ini menyatakan Hak Menguasai Negara tersebut diatas

pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada Daerah-Daerah Swatantra dan Masyarakat-

Masyarakat Hukum Adat, sekedar di perlukan dan tidak bertentangan dengan

kepentingan nasioanal menurut Ketentuan Peratuaran Pemerintah.

Ketentuan yang paling tegas tentang kedudukan hak ulayat dalam UUPA ditetnukan dalam

Pasal 3 yang menyatakan :

"Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan

hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat

Hukum Adat sepanjang menurut kenayataannya masih ada, harus

sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara,

yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan

dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi"

Ketentuan ini bukan mengatur tentang hak ulayat, akan tetapi bagaimana disebutkan dalam

penjelasan UUPA adalah dimaksudkan untuk mendudukkan hak ulayat pada tempat yang

sewajaraya dalam kehidupan bernegara dewasa ini.

Dalam ketentuan ini tersesirat adanya semacam "pengakuan" tentang keberadaan hak

ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat. sayangnya undang-undang

ini tidak menegaskan apa yang dimaksud dengan hak-hak yang serupa dari masyarakat

hukum adat. Pada sisi yang lain undang-undang ini memberi beberapa pembatasan tentang

keberadaan hak ulayat tersebut bahwa hak ulayat itu harus sesuai dengan kepentingan

Nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, yang menurut hemat kami

seperti yang tersebut dalam konstitusi harus sesuai dengan Negara kesatuan Republik

Indonesia dan tidak boleh pula bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-

peraturan yang lebih tinggi.

Kemudian keberadaan hak ulayat dan hak yang serupa dari masyarakat hukum adat secara

formal mendapat tempat yang kuat dalam status hukum Agraria Nasional, karena sesuai

dengan ketentuan Pasal 5 UUPA, hukum agraria yang berlaku adalah berdasarkan pada

hukum adat. Menurut Pasal tersebut:

"Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa oleh

Hukum Adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional

dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme

Indonesia serta dengan peraturan-peraturanyang tercantum dalam undang-

Page 9: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

undang ini dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, segalasesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada HukumAgaria "

walaupun dalam prakteknya ternyata tidak selamanya sesuai dengan apa yang disebutkandalam bunyi Pasal.

4.2 UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan dan UU No. 41Tahun 1999 tentang Kehutanan

Pada tahun 1967 ditetapkan Undang-undang No. 5 Tahun 1967 tentang ketentuan Pokokkehutanan pasal 7 Undang-undang tersebut menyatakan :

" Pelaksanaan hak-hak masyarakat Adat, Hukum Adat dan anggota-anggota serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari

hukum adat baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atassuatu peraturan sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak boleh

mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam Undang-undang ini "

Keberadaan ketentuan ini dirasakan cukup mempersempit ruang gerak masyarakat HukumAdat untuk mengelola dan mempertahankan hak -hak tradisionel mereka, lebih-lebihdengan beroperasinya Perusahan-Perusahan Pengusaha Hutan yang melaksanakan HPHkelihatannya cenderung membatasi kegiatan masyarakat hukum adat.

Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH)menyatakan :

(1) Hak masyarakat Hukum Adat dan anggota-anggotanya untuk memungut hasilhutan yang didasarkan atas sesuatu peraturan Hukum Adat sepanjang menururt

kenyataannya masih ada, pelaksanaannya perlu untuk ditertibkan sehingga tidakmenggangu pelaksnaan pengusahaan hutan.

(2) Pelakanaan hak tersebut dalam ayat (1) pasal ini harus seizin pemegang Hak

Pengusahaan Hutan yang wajib meluruskan pelaksanaan hak tersebut pada ayat (1)

pasal ini yang di atur dengan suatu tata tertib sebagai hasil meusyawarah antara

pemegang hak dan masyarakat hukum adat dengan bimbingan dan PengawasanDinas Kehutanan.

(3) Demi keselamatan umum dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangkapengusahaan hutan, pelaksanaan haka-hak rakyat untuk memungut hasil hutandibekukan"

Dalam praktek penerapan pasal ini banyak konflik antara rakyat setempat denganperusahaan HPH.

Dalam era reformasi Undang-undang No. 5 Tahun 1967 dicabut dan digantikan oleh

Undang-undng No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang lebih memberikan tempat

yang lebih luas kepada hukum adat walaupun oleh sebagian fihak masih dianggap kurang

memuaskan. namun masih seperti ketentuan sebelumnya menurut Undang-undang ini

semua hutan dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung

didalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 4 ayat 1).

Ditegaskan pula bahwa penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hakmasyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya,serta tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional (Pasal 4 ayat 3).

Page 10: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

Kemudian menurut Undang-undang ini Hutan berdasarkan statusnya dibedakan antarahutan Negara dan hutan hak (Pasal 5 ayat 1) Hutan Negara dapat berupa Hutan Adat(Pasal 5 ayat 2) karena hutan adat menurut pengertian Undang-undang ini adalah hutannegara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat (Pasal 1 butir 6) . Penetapan

status hutan dilakukan oleh Pemerintah dengan ketentuan hutan adat ditetapkan sepanjangmenurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan di akuikeberadaannya (Pasal 5 ayat 3). Apabila dalam perkembangan masyarakat hukum adatyang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan Hutan Adat kembah kepada

Pemerintah (Pasal 5 ayat 4).

Penjelasan Undang-undang (TLN 3888) berkenaan dengan Pasal 5 ayat (1) menyatakanbahwa hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkanpengelolaannya kepada masyarakat hutan adat (rechtgemeenschap). hutan adat tersebutsebelumnya disebut hutan ulayat, hutan warga, hutan pertuanan atau sebutan lainnya. hutanyang dikelola masyarakat hukum adat dimasukkan di dalam pengertian hutan negara

sebagai konsekwensi adanya hak menguasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan

seluruh rakyat pada tingkatan yang tertinggi dan prinsip negara Kesatuan RepubhkIndonesia. Dengan dimasukkannya hutan adat dalam pengertian hutan negara, tidakmeniadakan hak-hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dandiakui keberadaannya untuk melakukan kegiatan pengelolaan hutan. Hutan negara yang

dikelola oleh Desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan Desa disebut Hutan Desa. Hutan

negara untuk memberdayakan masyarakat disebut hutan kemasyarakatan, sedangkan hutan

hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat.

Dalam kaitan dengan pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, Pasal 37

Undang-undang ini menyatakan:

(1) Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang

bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.

(2) Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dilakukan

sepanjang tidak mengganggu fungsinya.

Sedangkan penjelasan Pasal ini menyatakan bahwa terhadap hutan adat diperlakukan

kewajiban-kewajiban sebagaimana dikenakan terhadap hutan negara, sepanjang hasil hutan

tersebut diperdagangkan.

Ketentuan khusus tetang masyarakat Hukum Adat termuat dalam Bab IX pasal 67 yang

menyatakan:

(1) Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui

keberadaanya berhak :

a. Melakukan Pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup

sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan

b. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang

berlaku dan tidak bertentangan dengan Undang-undang.

c. Mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

(2) Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana di maksud pada ayat (1) dan ayat (2) di atur

dengan Peraturan Pemerintah.

Page 11: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

Mengenai apa yang dimaksud dengan Masyarakat Hukum Adat, Penjelasan Pasal 6 ayat

(1) menyatakan bahawa masyarakat hukum adat di akui keberadaannya, jika menurut

kenyataannya memenuhi unsur-unsur:

a. Masyarakatnya masih dalam bentuk penguyuban

b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya

c. Ada wilayah hukum adat yang jelas

d. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan

e. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk

pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Penjelasan Pasal 67 ayat (2) menyatakan Peraturan Daerah (Perda) disusun dengan

mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat,

dan tokoh masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan serta instansi atau pihak

lain yang terkait. Sedangkan penjelasan Pasal 67 ayat (3) menyebutkan bahwa Peraturan

Pemerintah memuat antara lain :

a. tata cara penelitian

b. pihak-pihak yang disertakan

c. materi penilaian keberadaan

d. kreteria penilaian keberadaan masyarakat hukum adat

4.3 UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan

Ketentuan lain yang erat hubungannya dengan apa yang dikemukakan dalam Pasal 9 ayat

(2) Undang-undang No. 18 tahun 2004 tentang perkebunan yang menyatakan sebagai

berikut:

" Dalam hal tanah yang bdiperlukan merupakan tanah hak ulayat

masyarakat hukum aadat yang menurut kenyataannya masih ada,

mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksudpada ayat (I) perwalian

hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat

pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang

bersangkutan untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah

dan imbalannya "

Sedangkan dalam Penjelasan (TLN No. 4411) disebutkan bahwa masyarakat hukum adat

yang menurut kenyataannya masih ada, jika memenuhi unsur :

a. Masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschaf)

b. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat

c. Ada wilayah hukum adat yang jelas

d. Ada peranata dan penrangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati

e. Ada pengukuhan dengan peraturan daerah

Disebutkan pula dalam Penjelasan bahwa musyawarah dengan masyarakat hukum adat

pemegang hak ulayat dan para warga pemegang hak atas tanah tidak selamanya diikuti

dengan pemberian hak atas tanah.

Dalam hubungan dengan ini kiranya dapat disebut apa yang digariskan dalam Pasal 14

Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan untuk kepentingan umum (yang sebelumnya juga sudah diatur dalam Pasal

14 Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 tentang hal yang sama) yang menentukan bahwa

penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat di berikan dalam

Page 12: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

bentuk Pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bennanfaat bagi masyarakat

setempat. omu

Ketentuan lain yang perlu disebutkan disini adalah Undang-unadang No. 7 Tahun_2004fen^r^erTaya Air. Sekalipun Undang-undang ini tidak mengatur tentang TanahAdau'et^^ dangan pengakuan hak ulayat atas sumberdava alrDikatakan bahwa penguasaan sumber daya air sebagai mana dimaksud pada ayatoTdise^nggfian oleh Pemerfntah daan atau Pemerintah Daerah dengan tetap mengakuxhak ulayat masyarakat huku adat setempat dan hak yang serupa dengan ita, sepanjan.tidakbertentangan dengan kepentingan Nasional dan Peraturan Perundang-undang (Pasal 6 ayat2 SeSutnya dikatakan pula bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber dayaair sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap diakui sepanjang kenyataannya mas* adadan telah dikukuhkan dengan Peraturan Daerah setempat (Pasal 6 ayat 3)

Selanjutnya dalam Penjelasan (TLN No. 4377) disebutkan bahwa pengakuan adanya hakulayat masyarakat hukum adat termasuk hak yang serupa dengan itu hendaknya dipahamibahwa yang dimaksud dengan masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang

terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum adatyang didasarkan atas kesamaan tempat tinggal dengan atau atas dasar keturunan HakUlayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila memenuhi tiga unsur, yaitu :

a. Unsur masyarakat adat, yaitu terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikatoleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu,

yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam

kehidupannya sehari-hari;

b. Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup

para warga persekutuan hukum tersebut dan sempatnya mengambil keperluan hidupnya

sehari-hari, dan

c. Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengn wilayahnya, yaitu terdapatnya

tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah

ulayatnya yang masih berlaku dab ditaati oleh para warga persekutuan hukum adat

tersebut.

Kriteria yang disebutkan dalam dalam penjelasan tersebut diatas lebih praktis dan singkat

bilamana dibandingkan dengan keteria tentangmasyarakat hukum adat atau hak ulayat

yang telah dikemukakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang

dikemukanakan terdahulu.

4.4 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua

Keberadaan hak ulayat juga mendapat tempat dalam sistem otonomi khusus yang

dilaksnakan di negara kita. salah satu contoh diantaranya adalah seperti yang diatur dalam

undang-undang No. 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi propinsi Papua. Dalam

Undang-undang ini ditemukan beberapa rumusan yang menarik antara lain :

a. Masyarakat adat adalah warga masyarakat Papua yang hidup dalam wilayah serta

tunduk kepada adat tertentu dengan rasa solideritas yang tinggi diantara para

anggotanya(Pasal 1 hurufp)

b. Hukum Adat, adalah antara atau norma tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat

hukum adat, mengatur, mengikat dan dipertahankan serta mempunyai sanksi (Pasal 1

huruf q)

Page 13: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

c. Masyarakat Hukum Adat, adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak

kelahirannya hidup dalam ulayat tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat

tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya (Pasal 1 huruf r)

d. Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat

tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya

yang meliputi hak untuk manfaatkan tanah, hutan dan air serta isinya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan (Pasal 1 huruf s)

Masalah "Perlindungan hak-hak masyarakat adat" mendapat pengaturan khusus dalam

undang-undang ini (Bab XI, Pasal 43 -44) Dalam Pasal 43 disebutkan :

(1) Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi hak-hak

masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan hukum yang berlaku.

(2) Hak-hak masyarakat adat tersebut pada ayat (1) meliputi hak ulayat masyarakat

hukum adat dan haka perorangan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan

(3) Pelaksabnaan hak ulayat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dilakukan

oleh penguasa adat masyarakat hukum adat setempat, dengan menghormati

penguasa tanah bekas hak ulayat yang diperoleh pihak lain secara sah menurut tata

cara dan berdasarkan peraturan perundang-undangan

(4) Penyediaan tanah ulayat dan tanah peroranganwarga masyarakat hukum adat untuk

keperluan apapun, dilakukan melaluimusyawarah dengan masyarakat hukum adat

dan warga yang bersangkutan untuk memproleh kesepakatan menganai

penyerahantanah yang diperlukan maupun mengenai imbalannya.

(5) Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota memberikan mediasi aktif dalam

penyelesaian sengketa tanah ulayat dan bekas hak perorangan secara adil dan

bijaksna, sehingga dapat dicapai kesepakatan yang memuaskan para pihak yang

bersangkutan.

Pengaturan tentang tanah adat di Provinsi Papua sebagaimana disebutkan di atas

meresfleksikan suasana khusus yang ada di Provinsi Popua yang berbeda dengan kondisi

yang ada di daerah lain. Pembahasan tentang ini akan dikemukakan pula sebagai contoh

konkrit penyelesaian sengketa tanah adat.

4.5 Peraturan Menteri Negara Agraria No. 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman

Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Perbincangan tentang Tanah Adat atau hak ulayat dewasa ini tidaka bisa lepas dari

Peraturan Menteri Negara Agraria / kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999

tentang Pedaoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan

yang dibuat pada awal era reformasi ini adalah untuk menjawab berbagai masalah

mengenai hak ulayat masyarakat hukum adat yang memerlukan penyelesaian walaupun

hanya sekedar sebagai pedoman

Mengenai arti pentingnya peraturan ini dapat dibaca dalam konsideran yang melatar

belakangi ditetapkannya peraturan ini, yaitu :

a. bahwa hukum tanah nasional indonesia mengakui adanya hak ulayat dan yang serupa

itu masyarakat huku adat, sepanjang pada kenyataannya masih ada, sebagaimana

dikamsud dalam ketentuan Pasl 3 undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut Undang-undang Agraria)

10

Page 14: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

b. bahwa dalam kenyataannya pada waktu ini di banyak daerah masih terdapat tanah-

tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaannya dan

penggunaaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para

warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai tanahnya

c. bahwa pada akhir-akhir ini di berbagai daerah timbul berbagai masalah mengenai hak

ulayat tersebut baik mengenai eksistensinya maupun penguasaan tanahnya.

d. bahwa sehubungan dengan itu perlu diberikan pedoman yang dapat digunakan sebagai

pegangan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah yang ada dan

melaksanakan urusan pertanahan pada umumnya dalam hubungannya dengan hak

ulayat masyarakat hukum adat tersebut dikemudian hari.

e. bahwa pedoman tersebut perlu diberikan dalam bentuk Peraturan Menteri NegaraAgraria/kepala Badan Pertanahan Nasional.

Peraturan Menteri Negara Agraria /kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999

disebar luaskan melalui surat edaran Menteri Negara Agraria/kepala Badan Pertanahan

Nasional tanggal 24 Juni 1999 No. 400 - 2626 yang juga sekaligus merupakan penjelasanterhadap peraturan dimaksud. Penjelasan dimaksud meliputi empat hal :

a. Mengenai muatan pokok dan maksud dikeluarkannya peraturan.

b. Mengenai pengertian hak ulayat

c. Mengenai kretaria penentuan masih adanya hak ulayat

d. Mengenai pelaksanaan hak ulayat oleh masyarakat hukum adat

Dikatakan dalam Surat Edaran tersebut bahwa Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang

memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat

hukum adat", sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-undang No. 5 Tahun 1960

teetang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Undang-undang Pokok Agraria).

Kebijaksnaan tersebut meliputi :

a. Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat"

b. Kreteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa darimasyarakat hukum adat (Pasal 2 dan Pasal 4)

c. Kewenangan masyaakat hukum adat yang terdapat tanah ulayatnya (Pasal 3 dan Pasal

4)

Maksud dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk menyediakan pedoman dalam

pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-

langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat, dalam rangka pelaksnaan

hukum tanah Nasional. Pengaturan lebih lanjut mengenai hal-hal diatas diwenagkan

kepada daerah menurut peraturan perundang-undangn yang berlaku (Pasl 6) sesuai dengan

maksud undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan dengan

demikian akan lebih maupun menyerap aspirasi masyarakat setempat.

Ada beberapa pengertian yang ditegaskan dalam Peraturan ini:

a. Hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (selajutnya disebut hak

ulayat) adalah kewenangan yang menurut hukum adat di punyai oleh masyarakat

hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya

untuk mengambil manfaat sumber daya alam termasuk tanah, dalam wilayah tersebut

bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara

lahiriyah putusan antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang

bersangkutan (Pasal 1 angka 1)

11

Page 15: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

b. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu

masyarakat hukum adat tertentu (Pasal 1 angka 2)

c. Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terkait oleh tatanan hukum

adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karenakesamaan tempat

tinggal ataupun atas dasar keturunan (Pasal 1 angka 3)

Bagaimana pelaksanaan penguasaan tanah ulayat Pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa

pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh

masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat. Hal

ini menyangkut kreteria dari keberadaan hak ulayat.

Menurut Pasal 2 ayat (2) Hak Ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :

a. terdapat sekelompok orang yang masa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai

warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan

ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.

b. terdapat tanah ulayat yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum

tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.

c. terdapat tatanan hukum adat pengurus an, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat

yang berklaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Pengaturan mengenai hak ulayat dalam Peraturan Menteri / kepala Badan adalah sangat

terbatas sekali. namun dalam Pasal 6 Perturan ini menyatakan ketentuan lebih lanjut

mengenai pelaksanaan Pasal 5 diatur dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan.

Beberapa Pasal dari Peraturan ini mengatur tentang kemungkinan penguasan tanah ulayat

oleh perorangan atau negara. Pasal 3 misalnya menyatakan pelaksnaan hak ulayat

masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 tidak lagi dilakukan terhadap

bidang tanah yang pada saat ditetapkannya Perda sebagaimana dimaksud Pasal 6 :

a. sudah dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah

menurut undang-undang Pokok agraria.

b. merupakan bidang-bidang tanah yang diperoleh atau dibebaskan oleh instansi

Pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai ketentuan dan tatanan yang

berlaku.

Selanjutnya dalam Pasal 4 ditentukan lebih lanjut:

(1) Penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanah ulayat sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 2 oleh perorangan dan badan hukum dapat dilakukan :

a. oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak

penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila

dikehendaki oleh pemegang haknya dapatr didaftar sebagai hak atas tanah

yang sesuai menurut ketentuan undang-undang Pkoko agraria.

b. oleh instansi Pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga

masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut

undang-undang Pokok Agraria berdasarkan pemberian hak dan Negara

setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat itu oleh

warganya sesuai dengan ketentuan dan tatacara hukum adat yang berlaku.

(2) Pelepasan tanah ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk keperluan

lain yang memerlukan Hak guna usaha atau Hak Pakai, dapat dilakukan oleh

masayarajkat Hukum Adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu

habis , atau sesudah tanah tersebut tiddak digunankan lagi atau di terlantarkan sehingga

12

Page 16: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

Hak Guna Usaha atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan

selanjutnya dilakukan berdasarkan perstujuan baru dari masyarakat hukum adat yang

bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai

ketentuan Pasal 2

(3) dalam hal sebagaimana dimasksud pad ayat (2) Hak Ganua Usah a atau Hak Pakai

yang diberikan oleh Negara dan perpanjangan serta pembeharuannya tidak boleh

melebihi jangka waktu penggunaan tanah yang diperoleh dari masyarakat hukum adat

yang bersangkutan.

Bagaimana penentuan masih adanaya hak ulayat dan pengaturan lebih lanjut mengenai

tanah ulayat yang bersangkutan diatur dalamPasal 5 dan 6. Pasal 5 menentukan :

(1) Penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagimana dimaksud dalam pasal

2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikut sertakan para pakar hukum adat,

masyrakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan dan instansi yang

mengelola sumber daya alam.

(2) Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada sebagaimana

dimaksud pada ayat (10 dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan

membubuhkan suatu tanda kartografi dan apabila memungkinkan menggambarkan

batas-batas nya serta mencatat dalam daftar tanah.

Sedangkan Pasal 6 menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal 5 diatur

dengan Peraturan Daerah yang bersangkutan.

4.6 Pengaturan Tanah Adat Dalam Perda

Salah satu bentuk dalam peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan berlaku

secara lokal adalah Peraturan Daerah (Perda). Keberadaan Perda telah diakui oleh berbagai

undang-undang yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah, termasuk undang-undang

No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku sekarang. Disamping itu

juga diakui keberadaannya dalam undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kemudian oleh berbagai undang-undang,

antara lain undang-undang Kehutanan dan Perkebunan telah ditetapkan bahwa pengaturan

tentang hak-hak masyarakat Hukum Adat ditetapkan dengan Perda berikut ini akan

disarati beberapa peraturan daerah berkenaan dengan hak ulayat atau hak masyarakat

Hukum Adat.

a. Perda Provinsi Sumatra Barat No. 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok

Pemerintahan Nagari

Dalam Peraturan Daerah ini ditentukan Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum

adat dlam Daerah Provinsi Sumatra Barat yang tediri himpunan beberapa suku yang

mempunyai ulayat yang tertentu batas-batasnya, mempunyai harta kekayaan sendiri,

berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya dan memilih pemerintahannya

(Pasal 1 angka 8). Setiap nagari mempunyai ulayat -ulayat adalah harta benda dan

kekayaan nagari diluar ulayat kaum dan suku yang dimanfaatkan untuk kepentingsan

anak nagari (Pasal 1 angka 15)

Ada beberapa prinsip umum tentang nagari yang perlu disebut dalam Perda ini:

1. Setiap nagari mempunyai bebrapa suku dan dengan batas-batas wilayah yang jelas

(Pasal 2).

13

Page 17: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

2. Wilayah nagari meliputi kesatuan wilayah Hukum Adat dengan batas tertentu yang

sudah berlaku secara turun temurun (Pasal 3)

3. Untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Nagari, Badan Perwkilan

Anak Nagari dan Badan Musyawarah Adat dan syarah Nagari (Pasal 4)

Kemudian dalam Pasal 7 huruf d disebutkan sebagai salah satu harta kekayaan Nagari

adalah tanah, hutan, batang air, dan lain yang menjadi ulayat Nagari. Selanjtnya Pasal

10 menyebutkan pedoman Pengelolaan dan pemanfaatan ulayat Nagari sebagaimana

tercantum dalam Pasal 7 huruf d diatur tersendiri dengan Peraturan daerah Provinsi.

Jadi menurut Perda Nagari, hams ada pula Perda Hak ulayat sebagai salah satu

pelaksanaannya.

Dalam Perda ini juga diatur tentang penyelesaian sengketa. Pasal 18 ayat (3)

menyatakan bila terjadi perselisihan antar Nagari dalam dua Kabupaten /Kota atau

lebih, Nagari dan Kelurahan, diselesaikan secara bersama sesuai pedoman yang

ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi. Sedangkan dalam Pasal 19 diatur tentang

Penyelesaian sengketa sako dan pusako yang isinya :

(1) Lembaga adat Nagari berfungsi menyelesaikan sengketa Sako dan Pusako menurut

ketentuan sepanjang adat yang berlaku di Nagari, dalam bentuk keputusan

perdamaian.

(2) Biiamana sudah tercapai penyelesaian sebagaimana tersebut pada ayat (1) Pasal ini

maka pihak-pihak yang bersangkutan dapat meneruskan perkaranya ke Pengadilan.

Sayang Peraturan Daerah ini terlalu umum sifatnya dalam memberikan pengaturan

tentang Hak ulayat yang ada di Sumatra Barat dan adalah wajar biiamana di atur lebih

lanjut dengan Peraturan daerah tersendiri.

b. Perda Kabupaten Lebak No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak

Ulayat Masyarakat Baduy.

Dalam Peraturan daerah ini telah dirumuskan Hak Ulayat adalah kewenangan yang

menurut hukum dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu

yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari

sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup

dan kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun

temurun dan tidak terputus antara masyarkat hukum adat tersebut dengan wilayah

yang bersangkutan (Pasal 1 butir 4). Sedangkan Tanah Ulayat dirumuskan sebagai

bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat

tertentu (Pasal 1 ayat 5).

Selanjutnya dapat dikemukakan bebrapa prinsip penting tentang hak ulayat yang

terdapat dalam Perda ini yaitu :

1. Hak Ulayat Mamasyarakat Baduy dibatasi terhadap tanahOtanah diwilayah Desa

Kanekes Kecamatan Leuwidamar kabupaten Lebak yang diukur sesuai dengan peta

rekonstruksi dan dituangkan dalam Berita Acara sebagai landasan penetapan

keputusan Bupati (Pasal 2).

3. Wilayah hak Ulayat Masyarakat Baduy dituangkan dalam peta dasar pendaftaran

tanah dengan mencantumkan suatu tanda kartograf yang disesuaikan (Pasal 3)

4. Segala peruntukan lahan terhadap hak ulayat Masyarakat Baduy diserahkan

sepenuhnya kepada masayarakat Baduy (Pasal 4)

14

Page 18: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

4. Hak Ulayat Masyarakat Baduy tidak meliputi bidang-bidang tanah yang :

a. Sudan dipunyai oleh perseorangan atau badan hukum dengan suatu hak atas

tanah menurut Undang-undang Pokok Agraria.

b. Merupakan bidang-bidang tanah yang sudah diperoleh atau dibebaskan oleh

instansi Pemerintah, badan hukum atau perseorangan sesuai dengan ketentuan

dan tatacara yang berlaku (Pasal 5)

5. Batas-batas yang lebih detail tentang keberadaan Hak Ulayat masyarakat Baduy

yang di ukur berdasarkan hasil pengukuran dan pematokan oleh dinas / Instansi

terkait ditetapkan dengan keputusan Bupati (Pasal 8).

6. Setiap Masyarakat diluar Baduy yang melakukan kegiatan mengganggu, merusak

dan menggunakan lahan hak ulayat masyarakat Baduy diancam spidana

kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,-

(lima juta rupiah) tindak pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) adalah

pelanggaran (Pasal 9)

7. dalam rangka menghindari pelaksanaan dan kesimpang siuran hak ulayat

Masyarakat Baduy dari kepentingan peorangan serta sebagai ujud pengakuan hak

masyarakat hukum adat, maka upaya pensertifikatan wilayah Baduy tidak

diperkenankan (Pasal 11)

8. Keputusan Bupati tentang batas-batas detail wilayah hak ul;ayat Masyarakat

Baduy harus sudah ditetapkan selambat-lambatnya satu tahun sejak

diundangkannya Peaturan Daerah ini (Pasal 12)

Prinsip-prinsip pengaturan mengenai perlindungan atas hak ulayat Masayarakat Baduy

seperti dikemukakan diatas masih bersifat umum dan perlu dijabarkan lebih lanjut

dalam keputusan Bupati sebagai penjabaran lebih lanjut dan ketentuan tersebut diatas.

c. Peraturan Daerah kabupaten Nunukan No. 03 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat

masyarakat Hukum Adat.

Ada beberapa pengertian khusus yang adikemukakan dalam Perda ini sehubungan

dengan hak ulayat:

1. Masyarakat hukum adat (rechtsgemeenschap) adalah kesatuan-kesatuan

masyarakat yang bersifat tetap, mempunyai kelengkapan untuk sanggup berdiri

sendiri, mempunyai kesatuan linkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah

dan air bagi semua anggotanya (Pasal 1 angka 8)

2. Hak atas tanah menurut Hukum Adat terdiri atas hak ulayat ( hak kolektit) dan hak

perseorangan (Pasal 1 angka 9)

3. hak ulayat (hak kolektif) ialah hak atas tanah, hutan dan perairan yang meliputi

kesatuan lingkungan hidup, yang dikelola oleh kesatuan penguasa menurut huku

adatnya berdasarkan hak bersama bagi semua anggota masyarakat hukum adat

(Pasal 1 angka 10)

4. Hak perseorangan adalah hak yang di miliki oleh seseorang untuk menguasai dan

mengambil manfaat yang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain (Pasal 1

angka 11)

5. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang berada dalam lingkup hak ulayat suatu

masyarakat hukum adat tertentu (Pasal 1 ayat 12)

15

Page 19: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

6. Hutan ulayat adalah kawasan hutan yang berada dalam lingkup hak ulayat suatu

masyarakat hukum adat tertentu (Pasal 1 ayat 13)

7. tanah adat adalah tanah yang dikuasi secara perorangan yang penguasaannya di

atur dan ditetapkan berdasarkan hukum adat (Pasal 1 ayat 14)

Ada beberapa prinsip pokok yang digariskan dalam Perda ini antara lain :

1. Kriteria Masyarakat hukum adat adalah :

a. adanya kelompok masyarakat yang memiliki integritas, teratur dan bertindak

sebagai satu kesatuan yang terikat dan tunduk pada tatanan hukum adatnya;

b. adanya struktur lembaga sendiri yang memiliki kewenangan untuk

mengadakan aturan-aturan yang diakui dan ditaati oleh warganya

c. adanya kekayaan masyarakat hukum adat tersendiri yang terpisah dari

kekayaan masing-masing warganya ; dan

d. adanya ulayat kekuasaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan (Pasal 3

ayat 1)

2. Pemenuhan seluruh kreteria masyarakat hukum adat sebagaimana tersebut diatas

merupakan syarat keberadaan suatu masyarakat hukum adat (Pasal 3 ayat 2).

3. Masyarakat hukum adat yang memenuhi semua kreteria sebagaimana dimaksud

pada angka 1 harus diakui keberadaannya (Pasal 4)

4. Pengakuan sebagaimana dimaksud pada angka 3 meliputi pengakuan atas

pengaturan, penguasaan dan penggunaanhak ulayat atas (tanah, hutan dan

perairan, dalam wilayah masyarakat hukum adat yang bersangkutan (Pasal 5)

5. Subyek hukum hak ulayat adalah masyarakat Hukum Adat (Pasal 6)

6. Kriteria keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat:

a. Terdapat sekelompok orang masih terikat oleh tatanan hukum adatnya

sebagai warga bersama suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang

mengakui dan menerapkan ketentuan persekutuan tersebut dalam

kehidupannya sehari-hari;

b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkunagan hidup para waga

masyarakat huku adat tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya

sehari-hari; dan

c. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan

penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga masyarakat

hukum adat tersebut (Pasal 7 ayat 1)

7. Pemenuhan seluruh keteria hak ulayat sebagaimana dimaksud pada angka 6

merupakan syarat keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat (Pasal 7 ayat 2)

8. Obyek hak ulayat meliputi tanah, hutan dan perairan yang dikuasai oleh

masyarakat hukum adat, tidak termasuk kandungan bahan tambang yang ada

didalamnya (Pasal 8 ayat 1)

9. Bahan tambang yang termasuk di dalam wilayah hak ulayat Masyarakat Hukum

Adat terhadap penguasaan dan pengurusannya dilakukan berdasarkan pada

ketentuan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 8 ayat 2)

16

Page 20: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

10. Penentuan keberadaan masyarakat Hukum Adat dan ulayat masyarakat Hukum

Adat di Kabupaten Nunukan didasarkan atas kreteria sebagaimana dimaksud

angka 1 dan 6 (Pasal 9 ayat 1)

11. Penentuan dan penetapan keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat akan

diatur dengan Peraturan Daerah tersendiri (Pasal 9 ayat 2)

12. Hak ulayat yang dinyatkan yang masih ada sebagaimana dimaksud angka 10 dan

11 akan dipetakan dalam peta dasar pendaftaran tanah (Pasal 10 ayat 1)

13. Pelaksanaan pemetaan sebagaimana dimaksud angka 12 dilakukan oleh Dewan

Pertanahan (Pasal 10 ayat 2)

14. Hak perorangan dan badan hukum atas tanah yang diperoleh berdasarkan

ketentuan perundang-undangan yang terdapat dalam wilayah masyarakat hukum

adat tetap diakui keberadaannya (Pasal 11 ayat 1)

15. Pengakuan atas hak perorangan dan badan hukum sebagaimana dimaksud dalam

angka 14 dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah (Pasal 11 ayat 2)

16. Bidang-bidang tanah, kawasan hutan dan perairan yang dikuasai oleh sekelompok

masyarakat yang tidak memenuhi kreteria sebagai masyarakat hukum adat

sebagaimana dimaksud angka 1 penguasaannya dapat berupa tanah hak adat,

hutan adat, hutan negara atau tanah negara (Pasal 12 ayt 1)

17. Bidang-bidang tanah dan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada butir 16

dapat merupakan hak-hak adat yang bersifat perseorangan atau hak perseorangan

yang diwariskan kepada sekelompok ahli waris secara tidak terbagi -bagi (Pasal

12ayat2)

18. Penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, hutan dan perairan sebagaimana

dimaksud angka 16 dan 17 diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku (Pasal 12 ayat 3)

19. Hak ulayat masyarakat hukum adat yang dinyaakan masih ada berdasarkan

Peraturan Daerah ini, diakui sepanjang memenuhi kreteria sebagaimana dimaksud

angka 1 dan 6 (Pasal 13)

20. Hak ulayat masyarakat hukum adat yang dinyatkan sudah tidak memenuhi syarat

berdasarkan Peraturan Daerah ini, tidak menghapus hak-hak yang ada pada

masyarakat Hukum Adat (Pasal 14 ayat 1)

21. Hak-hak masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada angka 20 terhadap

penguasaan, penggunaan dan pemanfaatannya dapat dilakukan berdasarkan

ketentuan sebagaimana dimaksud angka 17).

22. Hal yang belum diatur dalam peraturan daerah ini sepanjang mengenai tehnis

pelaksnaannya akan diatur lebih lanjut dengan keputusan Bupati.

Pengaturan tentang Hak Ulayat dalam Peraturan Daerah ini jauh lebih lengkap dan

jelas bilamana dibandingkan dengan dua Perda yang kemukakan.

d. Perda No. 4 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Lundayeh Kabupaten Nunukan

Selain Perda No. 03 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

sebagaimana dikemukakan diatas, Pemerintah Kabupaten Nunukannya menetapkan

17

Page 21: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

pula Peraturan Daerah No. 04 Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum

Adat Lundayeh Kabupaten Nunukan. Secara konsepsional berkenaan dengan

masyarakat Hukum Adat dan Hak Ulayat tidak ada perbedaa dengan apa yang diatur

dalam Perda No. 03 Tahun 2004 tetapi ada penegasan berkenaan hal yang spesifik

tentang Masyarakat Hukum Adat Lundayeh.

Masyarakat Hukum Adat Lundayeh, menurut Perda ini adalah kesatuan masyarakat

yang bersifat genealogis teritorial yang mendiami wilayah Kecamatan Krayan (Pasal 1

angka 9). Masyarakat Hukum Adat Lundayeh di Kecamatan Krayan di bagi atas :

a. Masyarakat Hukum Adat Krayan Hulu

b. Masyarakat Hukum Adat Krayan Tengah

c. Masyarakat Hukum Adat Krayan Darat

d. Masyarakat Hukum Adat Krayan Hilir

Masyarakat Hukum Adat tersebut masing-masing dipimpin oleh kepala adat Besar

(Pasal 3). Pasal 4 menentukan penegasan batas wilayah masing-masing masyarakat

Hukum Adat dilakukan oleh Dinas terkait dengan persetujuan masing-masing

masyarakat Hukum Adat dan fihak-fihak terkait lainnya.

Selanjutnya Pasal 7 dari Perda ini menegaskan :

(1) Hak ulayat bukan sebagai obyek pendaftaran tanah

(2) Untuk menjamin terujudnya kepastian hukum mengenai Hak Ulayat Masyarakat

Hukum Adat Lundyeh dan kepentingan perseorangan dan pengakuan atas hak

ulkayat masyarakat hukum adat, maka hak ulayat dipetakan dalam bentuk Peta

Dasar Pendaftaran Tanah.

Kemudian dalam Pasal 8 diatur tentang Pengurusan, penguasaan dan penggunaan hak

ulayat dengan ketentuan sebagai berikut:

(1) Segala pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat Masyarakat

Hukum Adat Lundayeh diserahkan sepenuhnya kepada Masyarakat Hukum Adat

Lundayeh

(2) Kewenangan pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat dilakukan

oleh kepala Adat Besar dan atau Ketua adat Desa berdasarkan hukum adatnya

sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Dalam Pasal 9 diatur tentang Hak dan kewajiban Masyarakat Hukum Adat Lundayeh

terhadap tanah ulayat. Pasal tersebut berbunyi:

(1) Masyarkat Hukum Adat Lundayeh berhak melakukan pengelolaan hutan,

pemungutan hasil hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta

mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan sekejahteraannya.

(2) Selain hak sebagaaimana pada ayat (1) Masyarakat Hukum Adat Lundayeh

berkewajiban menjaga dan memelihara keberlanjutan kelestarian hutan sesuai

dengan fungsi hutan sebagaimana di tetapkan dalam peraturan perundang-

undangan.

18

Page 22: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

Dan terkhir dalam Pasal 12 ditentukan bahwa Hak ulayat masyarakat hukum adat

Lundayeh tetap ada sepanjang masih memenuhi kreteria sebagaimana diatur dalam

Pasal 3 dan 7 Peraturan Daerah Kabupaten Nunukan No. 03 Tahun 2004 tentang Hak

Ulayat Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Nunukan.

5. PENYELESAIAN SENGKETA TANAH ADAT

Penyelesaian sengketa tanah Ulayat dan juga Tanah Adat umumnya pada dasarnya tidak

berbeda dengan sengketa-sengketa lain yang terjadi dalam masyarakat, tergantung dari

karakteristik sengketa yang bersangkutan. Ada yang bisa diselesaikan sendiri oleh para

pihak dengan perdamaian , ada yang melibatkan pihak ketiga, ada melalui lembaga-

lembaga yang ada dalam masyarakat atau lembaga-lembaga peradilan khusus dan ada pulayang diselesaikan melalui peradilan umum.

Berbagai peraturan yang ada juga menunjukkan kecenderungan yang berbeda-beda pula.

Peraturan daerah Propinsi Sumatra Barat No. 9 Tahun 2000 memberikan pengaturan

tentang Penyelesaian Sengketa Sako dan Pusako seperti yang tertuang dalam Pasal 19.

Penjelasan Pasal 19 mengatakan Penyelesaian sengketa menyangkut Sako dan Pusako

diupayakan secara musyawarah dan mufakat menurut ketentuan yang berlaku sepanjang

adat. Upaya penyelesaian sengketa dilaksanakan secara berjenjang naik ke tangga turun di

mulai dari tingkat kaum, suku dan terakhir pada tingkat Lembaga Adat Negari.

Pasal 19 sendiri menyatakan :

(1) Lembaga adat Negari berfungsi menyelesaikan sengketa Sako dan Pusako menurut

ketentuan sepanjang adat yang berlaku di Nagari dalam bentuk putusan Perdamaian.

(2) Bilamana tidak tercapai penyelesaian sebagaimana tersebut pada ayat (1) Pasal ini,

maka pihak-pihak yang bersangkutan dapat meneruskan perkaranya ke Pengadilan

Negeri.

Ketentuan ini walaupun tidak secara khusus menyangkut penyelesaian sengketa hak ulayat

tetapi dapat dijadikan patokan bilamana kita bicara tentang penyelesaian sengketa hak

ulayat di Sumatra Barat.

Berbeda dengan apa yang disebutkan di atas, dalam Perda Kabupaten Nunukan No. 04

Tahun 2004 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Lundayeh Kabupaten Nunukan

ditemukan pengaturan khusus mengenai Penyelesaian Sengketa sebagaiman disebutkan

dalam pasal 11 yang menyatakan :

(1) Penyelesaian sengketa adat dilakukan di luar Pengadilan.

(2) Lembaga penyelesaian sengketa di luar Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) adalah Lembaga Adat dari Masyarakat Hukum Adat Lundayeh.

(3) Penyelesaian sengketa adat dilakukan berdasarkan hukum adat yang berlaku dalam

Masyarakat Hukum Adat Lundayeh sepanjang tidak bertentangan dengan undang-

undang.

Ketentuan ini hanya mengatur penyelesaian "Sengketa adat" yang tentunya berkenaan

dengan Hak ulayat masyarakat hukum adat, yang harus diselesaikan melalui lembaga adat

di luar Pengadilan, namun untuk sengketa yang lebih luas mungkin saja terjadi

penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Negeri.

Persoalan lain yang manarik perhatian adalah dikaitkannya keberadaan Masyarakat Hukum

Adat dengan Peradilan Adat. Penjelasan Paal 67 ayat (1) Undang-Undang No. 41 Tahun

19

Page 23: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

1999 tentang Kehutanan dan Penjelasan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No. 18 Tahun

2004 tentang perkebunan menyebutkan salah satu unsur yang hams ada bagi sebuah

Masyarakat Hukum Adat ialah ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan

adat yang masih ditaati. Ketentuan ini seakan-akan mengisyaratkan bahwa ada pranata

khusus yang akan diperankan oleh suatu peradilan adat bilamana terjadi sengketa tentang

hak ulayat dalam masyarakat yag bersangkutan.

Namun bilamana ditinjau dari kebijakan peradilan di negara kita keberadaan peradilan adat

terlihat ada yang kurang sinkron sekalipun wacana yang berkembang dari sebagaian

masyarakat adat dan pakar hukum adat untuk memfungsikan kembali peradilan adat,

secara formal berdasarkan Undang-Undang Darurat No.l Tahun 1951 kedudukan

Pengadilan Adat sudah dihapuskan. Kemudian dalam undang-undang Kekuasaan

Kehakiman seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang

kemudian digantikan oleh Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 telah ditegaskan bahwa

semua peradilan dalam wilayah Republik Indonesia adalah peradilan Negara. Dengan

demikian keberadaan peradilan adat secara formal tidak dapat diadakan lagi.

Peradilan adat di Provinsi Papua diadakan dalam kaitan dengan pemberian otonomi khusus

Pasal 50 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001 menyebutkan disamping kekuasaan kehakiman

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui adanya Peradilan Adat di dalam masyarakat

hukum adat tertentu. Tentang Peradilan adat ini diatur secara khusus dalam Pasal 51. Pasal

51 ayat (10 menyebutkan bahwa peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan

masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan menyidik sengketa

perdata adat dan perkara pidana diantara para warga masyarakat hukum adat yang

bersangkutan. Penjelasan ketentuan ini menyatakan bahwa dalam ayat ini secara tegas

diakui keberadaan dalam hukum nasional, Lembaga Peradilan dan Pengadilan Adat yang

sudah ada di Provinsi Papua sebagai Lembaga Peradilan Perdamaian antar para warga

masyarakat hukum adat di lingkungan masyarakat hukum adat.

Hal ini dipertegas dalam pasal 51 ayat (2) yang menyatakan bahwa Pengadilan Adat

disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Penjelasannya menyatakan bahwa Pengadilan Adat bukan badan Peradilan negara

melainkan Lembaga Peradilan masyarakat hukum adat. Peradilan semacam ini mempunyai

peranan dalam rangka menyelesaikan beberapa sengketa menyangkut hak ulayat diantara

para warganya.

Bilamana tidak dapat diselesaikan oleh Lembaga peradilan adat atau sengketa itu terjadi

dengan orang yang bukan berasal dari masyarakat hukum adat yang sama maka tentu saja

penyelesaian dilakukan melalui Pengadilan Negeri setempat sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.

6. PENUTUP.

Demikianlah beberapa hal yang dapat diungkapkan berkenaan dengan beberapa aspek

perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan dan penyelesaian sengketa tanah

adat di Indonesia. Pendekatan ini lebih banyak bersifat normatif dan umum. Ungkapan

yang berkenaan dengan kondisi lokal dapat dilihat dari berbagai penelitian yang telah

dilakukan oleh banyak Perguruan Tinggi dan Instansi terkait, yang masih harus dikaji

secara lebih mendalam.

Jakarta, 23 Desember 2005

20

Page 24: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

DAFTAR KEPUSTAKAAN

ABDURRAHMAN, Kedudukan Hukum Adat dalam Rangka Pembangunan Nasional,

Penerbit Alumni Bandung, 1978.

ABDURRAHMAN, Hukum Adat Menurut Peraturan Perundang-undangan Republik

Indonesia, Penerbit Cendana Press, Jakarta 1084.

ABDURRAHMAN, Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-undangan Agraria

Indonesia, Penerbit Akademika Pressindo Jakarta 1984.

ABDURRAHMAN, Traditional Rights Versus Fromal Rights to Land in South and

Central Kalimantan, Paper on Policy workshop on Agrarian Reform

in Comparative Perspective, Institute of Social Sciense Netherland,

1981.

ABDURRAHMAN, Konsepsi Hak Ulayat Menurut Undang-Undang Pokok Agraria,

Majalah Orientasi Fakultas Hukum Unlam No. 4 Th XV Juli 1990 &

No. ITh XVI Oktober 1990.

ABDURRAHMAN, Ketentuan-ketentuan Pokok tentang Masalah Agraria, Kehutanan,

Pertambangan, Transmigrasi, Pengairan dan Lingkungan Hidup,

Penerbit Alumni Bandung 1992.

ABDURRAHMAN, Kedudukan Hak Ulayat Dalam Pembangunan Nasional, Kuliah

Urnum Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta, 20 April

1996.

ABDURRAHMAN. Kajian Awal tentang Hak-Hak Adat Atas tanah di Kalimantan

Tengah, Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Lembaga Penelitian

Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta 1997.

ABDURRAHMAN, Hak Masyarakat Adat di bidang kehutanan, Makalah Pada Kongres

Kehutanan Indonesia III, Jakarta 25-28 Oktober 2001.

ABDURRAHMAN, Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Interaksi Budaya yang

makin terbuka, makalah pada Lokakarya kesepahaman Hak-Hak

Masyarakat Hukum Adat Terhadap Kawasan Hutan, Badan

Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan, Jakarta 5-6 Desember

2001.

ABDURRAHMAN, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Menurut Hukum Adat

Dayak, Disertasi Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Indonesia Jakarta 2002.

ABDURRAHMAN, Hukum Adat Indonesia Dalam Lingkungan Lokal, Nasional dan

Global, Makalah pada seminar Pendidikan Multikultural dan

Revitalisasi Hukum Adat, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,

Bogor 18-20 Desember 2003.

21

Page 25: Aspek Perundang-undangan dalam Pengelolaan dan Penyelesaian Sengketa Tanah Adat

ABDURRAHMAN, Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Fakultas

Hukum Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, 2002.

ABDURRAHMAN, Peradilan Adat dan Lembaga Adat dalam Sistem Peradilan

Indonesia, Makalah pada Sarasehan Peradilan Adat Kongres

Masyarakat Adat Nusantara II Mataram, 20 September 2003.

ABDURRAHMAN, Beberapa Catatan Tentang Rancangan Undang-Undang Tentang

Sumber daya Agraria, Makalah untuk Kelompok Kerja Sumber Daya

Alam, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan

HAM, Jakarta, 2005.

ABDURRAHMAN, Hukum Adat dalam Perundang-undangan, Makalah Seminar tentang

Revitalisasi dan Reinterpretasi Nilai-Nilai Hukum Tidak Tertulis

Dalam Pembentukan dan Penemuan Hukum, Badam Pembinaan

Hukum Nasional (BPHN) Departemen Hukum dan HAM, Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin Makasar 28-29 September 2005.

ANYANG, YC. THAMBUN, kedudukan dan Penggunaan Tanah Adat di Kalimantan

Barat, Pidato Pengukuhan Guru Besar fakultas Hukum Universitas

Tanjung Pura Pontianak, 9 Maret 2002.

ASSHIDDIQIE, JIMLY, Konsolidasi Naslah UUD 1945 setelah Perubahan keempat,

Penerbit Yarsif Watampone, Jakarta, 2003.

BPHN, Simpasium Undang-Undang Pokok Agraria dan Kedudukan tanah

Adat Dewasa ini, Binacipta, Bandung 1978.

INDONESIA LAND ADMINISTRATION PROJECT, Pola Penguasaan Tanah

Masyarakat Tardisional dan Problema Pendaftaran Tanah, studi

kasus di Sumatra Barat, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara

Barat, Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Atmajaya & Badan

Pertanahan Nasional, Jakarta, 1998.

KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BADAN

PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL, Kajian kebijakan Pengelolaan

tanah Adat di Indonesia, Direktorat Perkotaan, tata Ruang dan

Pertanahan, 2005.

PUSLITBANG BPN, Studi Tanah Adat dalam Rangka Proyek Administrasi Pertanahan,

Bulletin Pap, No. 10 Th III Januari 1997.

SETIAWAN, I KETUT OKA, Peranan Hukum Desa dalam Penyelesian Sengketa Hukum

Tanah Adat di Era Otonomi daerah, Pidato Pengukuhan Guru Besar,

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jagakarsa, Jakarta 27 Mei 2004.

22