Upload
ufuk-fiction
View
227
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Assasin Creed Revelation
Citation preview
ASSASSIN’S CREEDREVELATION
Diterjemahkan dariAssassin’s Creed
Revelationkarya Oliver Bowden
Copyright © 2011, Oliver Bowden
Hak cipta dilindungi undang-undangAll rights reserved
Hak terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia ada pada PT. Ufuk Publishing House
Penerjemah: Melody ViolinePenyunting: Tendy Yuliandes
Redesain Sampul: Apung Donggala—Ufukreatif DesignPewajah Isi: Husni Kamal—Ufukreatif Design
Cetakan I: Desember 2012
ISBN: 978-602-7812-03-1
UFUK FICTIONPT. Ufuk Publishing House
Anggota IKAPIJl.Kebagusan III, Komplek Nuansa Kebagusan 99, Kebagusan,
Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12520, IndonesiaPhone: 021-78847081, 021-78847012, 021-78847037
Homepage: www.ufukfiction.ufukpress.comBlog: www.ufukfantasticfiction.blogspot.com
Email: [email protected]: ufuk fantastic fiction
Twitter: @ufukfiction
3
Novel Orisinal BerdasarkanVideo Game Multiplatinum dari Ubisoft
Judul-judul lain dalam seri Assassin’s Creed:RenaissanceBrotherhood
The Secret Crusade
4
5
DAFTAR ISI
• Assassin’s Creed: Revelations
• Kesultanan Ottoman pada Abad Keenam Belas ... ... ... 6
• BAGIAN SATU ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 7
• BAGIAN DUA ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 369
• BAGIAN TIGA ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 489
• Daftar Tokoh ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 549
• Daftar Istilah ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 551
• Ucapan Terima Kasih ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 557
6
Span
yol
Alji
rPran
cis
Tuni
s
Flor
ence
Ven
esia
Rom
a Nap
oli
Sisi
lia
Bar
i
Cor
fu
Ath
ena
Tri
poli
Aus
tria
Win
a
Bud
apes
tH
unga
ria
Don
au
Rum
elia
Adr
iano
poli
Lau
t M
amar
a
Kre
taH
erak
lion
Tra
nsilv
ania
Wal
lach
ia
Dni
eper
Mol
davi
a
Kri
mea
Lau
t H
itam
Kon
stan
tino
pel
Peg.
Mel
endi
z
Ana
tolia
Der
inku
yu
Peg.
Tau
rus
Sipr
usN
ikos
ia
Lar
naca
Ale
xand
ria
Mes
ir
Kai
ro
Nil
Laut Mera
hAle
ppo
Mas
yaf
Suri
ah
Akk
oD
amas
kus
Yer
usal
em
Cir
cass
ia
Geo
rgia
Volg
a
Laut K
aspia
Arm
enia Tigr
is
Mes
opot
amia
Bag
dad
Efr
at
Tel
uk P
ersi
a
Ara
bK
esul
tana
n O
ttom
an
pada
151
2
pada
152
0
1000
mil
2000
km
Kesu
ltana
n Ot
tom
an pa
da A
bad K
eena
m B
elas
7
BAGIAN SATUKala telah menapaki separuh jalan kehidupan
Aku tiba di tengah sebuah hutan gelap:Aku hilang arah, tersesat dari jalan yang benar.
Sulit untuk menggambarkan hutan yang seram itu—Bahkan kini, ragam indraku hanyut dalam kenangannya.
—Dante, Inferno
8
99
1
Seekor elang membubung tinggi di langit yang terang dan
cerah.
Sang Pengembara, berdebu dan kumal akibat perjalanan,
mengalihkan matanya dari binatang itu. Dia pun naik ke
sebuah dinding pendek yang permukaannya kasar, lalu
berdiri bergeming selama beberapa saat, matanya yang tajam
menyisir pemandangan di sekitarnya. Pegunungan terjal yang
berselimut salju memagari kastel, melindungi dan mengurung
bangunan yang berdiri di puncak. Menaranya yang berkubah
memantulkan bayangan kubah menara penjara di dekatnya
yang lebih pendek. Batu-batuan besi bagaikan cakar yang
menahan dasar tembok kelabu yang curam. Ini bukan kali
pertama sang Pengembara melihatnya—sehari sebelumnya
dia sudah melihat kastel ini sekilas, saat petang, dari sebuah
10
tanjung yang dipanjatnya satu mil ke barat dari sini. Kastel
ini seperti dibangun secara ajaib di atas lahan yang luar biasa
ini, menyatu dengan batu-batu besar dan tebing-tebing terjal.
Dia tiba di tujuan—akhirnya. Setelah dua belas bulan
perjalanan yang melelahkan. Juga perjalanan yang amat
panjang—jalannya jauh ke pedalaman dan cuacanya buruk.
Untuk berjaga-jaga, dia merunduk sekarang, dan bergeming
saat memeriksa persenjataannya secara naluriah. Selama itu,
dia tetap mengawasi. Gerakan apa pun. Sekecil apa pun.
Tak ada seorang pun di benteng itu. Salju berputar-putar
dengan cepat dan berkelindan dengan angin yang menusuk.
Tapi tidak ada tanda keberadaan manusia. Tempat ini
tampak kosong. Seperti dugaannya. Tapi, pengalaman telah
mengajarinya bahwa lebih baik dia memastikan hal ini. Dia
tetap bergeming.
Hanya terdengar bunyi angin. Kemudian—sesuatu. Bunyi
garukan? Di sebelah kirinya beberapa butir kerikil bergulir
menuruni sebuah lereng gundul. Dia menegang, beranjak
sedikit, kepalanya diangkat. Tiba-tiba, sebatang anak panah
menghantam bahu kanannya, menembus baju pelindungnya.
Dia terdorong sedikit, meringis kesakitan ketika tangannya
memegang anak panah yang menancap di bahunya. Dia
mengangkat kepala, menatap lekat-lekat bagian batu tinggi
melingkar—sebuah tubir kecil, mungkin tingginya sekitar
enam puluh meter—yang menjulang di hadapan kastel. Pada
bubungannya kini muncul seorang pria bertunik merah gelap
dengan pakaian luar berwarna kelabu dan baju pelindung.
Kepalanya tidak bertudung, menampakkan potongan rambut
11
cepak dan sebuah luka menggurat wajahnya, melintang
diagonal dari kanan ke kiri. Dia membuka mulut dengan
raut wajah setengah menggeram, setengah tersenyum penuh
kemenangan, memperlihatkan gigi-gigi yang kerdil dan tidak
rata, cokelat seperti nisan di permakaman yang tidak terawat.
Sang pengembara menarik batang panah itu. Walaupun
mata panah yang tajam telah melubangi baju pelindung, anak
panah itu hanya menembus logam dan ujungnya hampir tidak
menusuk daging sang pengembara. Dia menarik panah itu dan
melemparnya ke samping. Lantas dia melihat lebih dari seratus
orang lain yang berpakaian serupa. Mereka menghunuskan
kapak panjang dan pedang, berbaris sepanjang puncak di
kiri kanan kapten berambut cepak tadi. Helm-helm dengan
penutup hidung menyembunyikan wajah mereka, tapi emblem
elang hitam pada tunik mereka membuat sang pengembara
tahu siapa mereka. Dia juga tahu apa yang akan mereka
lakukan padanya jika mereka berhasil menangkapnya.
Apakah dia sudah menua, sehingga jatuh ke dalam
perangkap sesederhana ini? Tapi dia sudah sangat berhati-hati.
Dan tidak berhasil.
Dia mundur, siap menghadapi mereka yang meruah turun
ke tanah terjal tempat sang pengembara berdiri. Kemudian
mereka membentuk setengah lingkaran untuk mengepungnya,
mengarahkan kapak panjang kepada mangsa mereka. Sang
pengembara bisa merasakan bahwa, walaupun menang
jumlah, mereka takut kepadanya. Mereka tahu reputasinya,
dan mereka berhak cemas.
12
Sang pengembara menaksir kepala senjata mereka. Jenis
ganda: kapak dan seligi.
Dia meregangkan kedua lengannya. Dari pergelangan
tangannya mencuatlah dua bilah kurus tersembunyi yang
mematikan. Dengan meneguhkan diri, dia menangkis
serangan pertama, merasakan serangan itu ragu-ragu—mereka
ingin membawanya hidup-hidup? Kemudian mereka mulai
mendesaknya dari segala sisi dengan senjata mereka, berusaha
membuatnya berlutut.
Sang pengembara berputar, dan dengan dua gerakan jitu
dia menebas batang kapak-kapak terdekat. Ketika salah satu
kepala kapak terbang, dia menarik satu bilah tersembunyinya
dan menangkap kepala kapak patah itu sebelum jatuh ke
tanah. Digenggamnya puntung senjata itu, lalu dia tancapkan
bilah kapak itu ke dada pemilik sebelumnya.
Kemudian mereka merapat kepadanya, dan dia tepat
waktu membungkuk ketika arus udara menjadi sinyal
ayunan kapak panjang saat disabitkan di atasnya, hanya
berjarak satu inci dari punggungnya yang membungkuk.
Dia mengayun dengan buas dan melepaskan, lalu dengan
bilah tersembunyi di tangan kirinya dia menusuk jauh ke
dalam kaki penyerang yang berdiri di hadapannya. Sambil
melolong, pria itu ambruk.
Sang pengembara meraih kapak panjang yang jatuh,
yang sesaat lalu hampir menghabisinya, lalu memutarnya
di udara, memotong kedua tangan penyerangnya yang lain.
Kedua tangan itu terbang melengkung di udara, jari-jarinya
13
melengkung seperti memohon ampun, darah membentuk
lengkung pelangi merah di belakangnya.
Kejadian ini membuat mereka terhenti sesaat, tapi
orang-orang ini telah melihat pemandangan yang lebih
mengerikan daripada itu, dan sang pengembara hanya
mendapatkan kelonggaran sedetik sebelum mereka merapat
lagi. Dia mengayunkan kapak dan meninggalkannya jauh di
dalam leher seorang pria yang, sekejap sebelumnya, mendekat
untuk menjatuhkannya. Sang pengembara melepaskan gagang
kapak dan menarik kembali bilah tersembunyinya agar kedua
tangannya bebas untuk menangkap sebuah pedang besar
yang digunakan seorang sersan. Dengan ayunan tangan,
dia melempar sersan itu ke gerombolan pasukannya, setelah
merenggut pedangnya.
Sang pengembara mengangkat berat pedang dengan dua
tangan, merasakan otot-otot bisepnya menegang saat dia
mengangkat pedang. Dia melakukannya tepat waktu untuk
membelah helm seorang lawan berkapak, kali ini datang
dari kiri belakang, berharap bisa menyerang dari tempat
yang sulit terlihat.
Pedangnya bagus. Untuk jarak dekat, pedang ini lebih
baik daripada bilah tersembunyinya atau pedang scimitar
ringan di sisi tubuhnya yang dia peroleh dalam perjalanan.
Berapa banyak orang yang diperlukan untuk mengalahkan
satu pria ini? Mereka mengerubunginya, tapi dia berputar
dan melompat untuk membuat mereka bingung. Dia berusaha
membebaskan diri dari tekanan mereka dengan melemparkan
dirinya melewati pungung salah seorang pria. Begitu menjejak
14
tanah, dia menegakkan tubuh, menangkis serangan pedang
dengan pelindung logam keras di pergelangan tangan kirinya,
dan berputar untuk menghunjamkan pedangnya ke sisi tubuh
si penyerang.
Tapi kemudian—sesaat semua serangan terhenti. Kenapa?
Sang pengembara mengambil jeda, mengatur napasnya. Ada
masa ketika dia tidak perlu menarik napas. Dia mendongak.
Masih dikepung oleh pasukan berbaju zirah kelabu.
Tapi di antara mereka, sang pengembara mendadak
melihat satu orang lain.
Pria lain. Berjalan di antara mereka. Tanpa ketahuan,
pria itu berjalan dengan tenang. Seorang pria berpakaian
putih. Selain warna putihnya, pria muda itu berpakaian
seperti sang pengembara, dan mengenakan tudung yang sama,
ujung depannya meruncing seperti paruh elang. Bibir sang
pengembara terbuka dengan heran. Semua seperti bungkam.
Semua seperti berhenti, kecuali pria muda berpakaian putih
ini, yang sedang berjalan. Dengan mantap, dengan tenang,
tak terusik.
Pria muda ini berjalan di antara pertarungan seperti
orang berjalan menembus ladang jagung—seolah tumbuhan
jagung di sekitarnya tidak menyentuh atau memengaruhinya
sama sekali. Apakah gesper yang mengencangkan bajunya
sama dengan gesper yang dipakai sang pengembara? Dengan
emblem yang sama? Emblem yang telah dicap ke dalam
kesadaran dan kehidupan sang pengembara selama lebih
dari tiga puluh tahun—dengan sama seperti dulu, saat jari
manisnya dicap dengan emblem yang sama?
15
Sang pengembara mengerjapkan mata, dan ketika matanya
dibuka lagi, penampakan tadi—kalau benar ada—telah
menghilang. Segala bising, bau dan bahaya mengepungnya,
merapat kepadanya, berlapis-lapis musuh yang dia tahu
takkan bisa dia kalahkan atau terobos.
Tapi entah bagaimana kini dia tidak merasa sendirian.
Tidak ada waktu untuk berpikir. Mereka merapat dengan
gigih sekarang, merasa ketakutan sekaligus marah. Serangan
menghujani sang pengembara, terlalu banyak untuk ditangkis.
Sang pengembara melawan dengan gigih, menjatuhkan lima
lawan, sepuluh. Tapi dia bagaikan sedang melawan seekor
hydra berkepala seribu. Seorang prajurit berpedang yang
bertubuh besar muncul dan meluncurkan bilah seberat hampir
sepuluh kilogram kepadanya. Sang pengembara mengangkat
lengan kiri untuk menangkisnya dengan pelindung tangan,
berputar sambil menjatuhkan pedang beratnya sendiri agar
kedua bilah tersembunyinya bisa beraksi.
Tapi penyerangnya beruntung. Momentum pukulannya
ditangkis oleh pelindung tangan tapi masih terlalu kuat untuk
ditangkal sepenuhnya. Senjata itu mengiris pergelangan tangan
kiri sang pengembara dan menyentuh bilah tersembunyinya,
mematahkannya. Pada saat bersamaan sang pengembara
kehilangan keseimbangan, tersandung batu longgar di kakinya
dan memutar pergelangan kakinya. Dia tidak bisa mencegah
dirinya jatuh dengan wajah menghadap tanah berbatu. Maka
di situlah dia tergeletak.
Di atasnya, lingkaran para prajurit merapat, mengacungkan
kapak panjang mereka kepada mangsa, masih tegang, masih
16
takut, belum berani merasa menang. Tapi ujung kapak-kapak
mereka menyentuh punggung sang pengembara. Satu gerakan
saja, dia akan mampus.
Dan dia belum siap untuk itu.
Derak sepatu bot di atas batu. Seorang pria mendekat.
Sang pengembara menolehkan kepalanya sedikit untuk
melihat kapten berambut cepak yang berdiri di atasnya.
Luka yang melintangi wajahnya tampak pucat kelabu. Pria
itu membungkuk cukup dekat sehingga bau napasnya tercium
oleh sang pengembara.
Sang kapten menarik tudung sang pengembara hingga
cukup untuk melihat wajahnya. Dia tersenyum ketika
dugaannya benar.
“Ah, sang Mentor telah tiba. Ezio Auditore da Firenze.
Kami sudah menunggumu—seperti yang pasti telah kau sadari.
Pasti kau terkejut melihat benteng lama Persaudaraanmu ada
di tangan kami. Tapi ini sudah takdir. Walaupun kalian
berusaha keras, kami ditakdirkan untuk berhasil.”
Dia berdiri tegak, berbalik kepada pasukan yang
mengepung Ezio, dua ratus orang, lalu meneriakkan perintah.
“Bawa dia ke sel menara. Belenggu dulu, dengan kuat.”
Mereka menarik Ezio berdiri, lalu dengan cepat, dengan
gugup, mengikatnya erat-erat.
“Cuma berjalan kaki sedikit dan mendaki tangga
banyak,” kata sang kapten. “Dan sebaiknya kau berdoa.
Kami gantung kau besok pagi.”
17
Tinggi di atas mereka, elang tadi terus mencari mangsanya.
Tidak seorang pun melihat dia. Melihat keindahannya.
Kebebasannya.
*
1818
Elang itu masih terbang berputar di langit. Langit biru
pucat, pucat akibat sinar matahari, walaupun matahari
sudah agak rendah sekarang. Burung pemangsa, berupa siluet
hitam, berbelok dan berbelok, tapi kini ia punya tujuan.
Bayangannya menimpa bebatuan gundul jatuh di bawah,
tampak tak beraturan saat melewati bebatuan itu.
Ezio menontonnya lewat jendela sempit—sekadar
lubang di batu dinding yang tebal—dan matanya segelisah
gerakan-gerakan burung itu. Pikirannya gelisah juga. Apakah
dia mengembara sejauh dan selama ini, hanya untuk bernasib
seperti ini?
Dia mengepalkan kedua tangannya. Otot-ototnya pun
merasakan ketiadaan bilah-bilah tersembunyinya, yang sudah
begitu lama bermanfaat baginya.
2