62
20 BAB 2 MASALAH ORBIT DUA BENDA 2.1. Integral-integral Masalah Dua Benda Dari Bab 1 diketahui bahwa bila hanya ada dua benda bermassa di jagad raya, maka persamaan keseimbangan antara gaya inersial dan gaya gravitasi yang dialami oleh benda yang kurang dominan adalah r r dt V d 3 µ = (2.1.1) dalam hal ini: V = vektor kecepatan orbit yang selalu menyinggung lintasan orbit, r = vektor radius, dan µ = konstanta gravitasi. V m dV/dt r - µ r r 3 M lintas orbit Gambar 2.1.1. Keseimbangan inersial dan gravitasi. Persamaan vektor keseimbangan di atas dapat diintegralkan untuk memperoleh parameter-parameter orbit sebagai berikut.

Astro1-2

Embed Size (px)

Citation preview

20

BAB 2

MASALAH ORBIT DUA BENDA 2.1. Integral-integral Masalah Dua Benda Dari Bab 1 diketahui bahwa bila hanya ada dua benda bermassa di jagad raya, maka persamaan keseimbangan antara gaya inersial dan gaya gravitasi yang dialami oleh benda yang kurang dominan adalah

rrdt

Vd3µ

−=

(2.1.1) dalam hal ini: V = vektor kecepatan orbit yang selalu menyinggung lintasan orbit, r = vektor radius, dan µ = konstanta gravitasi. V m dV/dt r - µ r r3

M

lintas orbit

Gambar 2.1.1. Keseimbangan inersial dan gravitasi. Persamaan vektor keseimbangan di atas dapat diintegralkan untuk memperoleh parameter-parameter orbit sebagai berikut.

21

2.1.1. Vektor momentum sudut h Vektor momentum sudut adalah perkalian momentum mV dengan radius vektor r. Untuk tiap satuan massa m (benda pengorbit benda utama M), momentum sudut jenis (specific angular momentum) dapat didefinisikan sebagai berikut:

Vrh ×=(2.1.2)

Jika persamaan tersebut didiferensialkan terhadap waktu:

( )

0

0 3

3

=

×−=

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛−×+×=

×+×=

×=

rrr

rr

rVV

dtVdrV

dtrd

Vrdtd

dthd

µ

µ

Dengan demikian, integrasi dari dh/dt = 0 menghasilkan

konstanvektor0 =→= hdthd

(2.1.3) Vektor momentum sudut h merupakan vektor konstan, artinya besar dan arahnya di ruang inersial adalah konstan. Karena vektor h tegak lurus bidang yang dibentuk oleh vektor r dan V dan karena arah h selalu konstan, akibatnya bidang yang dibentuk oleh vektor r dan V selalu mempunyai orientasi konstan di ruang inersial. Dengan kata lain, bidang yang dibentuk oleh vektor r dan V merupakan bidang datar dengan arah normal konstan sesuai arah vektor momentum jenis h. Kesimpulan : lintas orbit dua benda terletak pada bidang datar yang tegak lurus vektor h.

22

ZI h = r x V m V r M lintas orbit bidang datar ⊥ h 0 YI XI

Gambar 2.1.2. Bidang lintas orbit ≡ bidang datar tegak lurus vektor momentum sudut h.

Perhatikan bahwa semua lintas orbit dua benda bermassa di jagad raya ini, baik alami maupun buatan, selalu terletak pada bidang datar yang tegak lurus vektor h-nya. Vektor momentum sudut jenis h ini dapat dinyatakan dalam bentuk lain sebagai berikut. Vektor kecepatan orbit V dan posisi r adalah

r

rrirr

iViVV=

+= θθ

(2.1.4) di mana : ir = vektor arah sepanjang radius r, dan iθ = vektor arah normal terhadap r.

23

iθ V Vθ ir Vr r θ lintas orbit dθ/dt

Gambar 2.1.3. Uraian vektor r dan V pada arah radius dan normal. Jelas terlihat bahwa

dtdrV

dtdrVr

θθ == dan

(2.1.5) Substitusi (2.1.4) dan (2.1.5) ke (2.1.2) menghasilkan

h

hr

idtdr

dtdr

dtdr

r

iii

Vrh θ

θ

θ

2

0

00det =

⎟⎟⎟⎟⎟⎟⎟

⎜⎜⎜⎜⎜⎜⎜

=×=

Dengan demikian,

dtdrh

ihh h

θ2=

=

(2.1.6) Bila h = 0 artinya vektor r dan V akan berimpit dan lintas orbit berupa garis lurus.

24

2.1.2. Vektor Eksentrisitas Jika persamaan orbit dua benda (2.1.1) dikalikan secara paska-kali dengan vektor momentum h diperoleh

(2.1.7)

( ) ( ) ( )[ ]rVrVrr

Vrrr

hVdtd

hrr

hdtVd

•−−=××−=×⇔

×−=×

233

3

µµ

µ

Perhatikan bahwa

( )dtdrrrri

dtdririrVr rr ==⎟

⎠⎞

⎜⎝⎛ +•=• && θ

θ

(2.1.8) Substitusi (2.1.8) ke (2.1.7) menghasilkan

( ) ⎟⎠⎞

⎜⎝⎛=⎥⎦

⎤⎢⎣⎡ −=×

rr

dtdr

dtdrVr

rhV

dtd µµ

2

atau

0=⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ −×

rrhV

dtd µ

(2.1.9) Jika kuantitas vektor ini diintegralkan akan diperoleh

konstan==−× err

hV µµ

(2.1.10) Vektor e merupakan vektor konstanta. Jadi, besar dan arahnya di ruang inersial adalah konstan. Vektor µe disebut vektor Laplace yang merupakan µ kali suatu besaran yang disebut eksentrisitas lintas orbit e. Oleh sebab itu, e disebut pula vektor eksentrisitas.

25

Yo V V x h µ e -µ r/r V θ -µ r/r µ e V x h Xo lintas orbit -µ r/r V µ e V x h

Gambar 2.1.4. Vektor eksentrisitas µ e. Gambar di atas memperlihatkan bahwa arah dan besar vektor eksentrisitas selalu konstan. Arah e selalu sejajar dengan arah saat V dan r tegak lurus dengan sudut lintas θ = 0 deg. 2.1.3. Parameter Orbit p dan Integral Energi Integral orbit lain yang penting adalah integral energi. Jika vektor eksentrisitas e dikalikan skalar dengan dirinya sendiri, diperoleh

( ) ( ) ( ) 1212 +ו−ו×=•= hVrr

hVhVeeeµµ

(2.1.11)

26

Perhatikan bahwa mengingat vektor V tegak lurus vektor h, maka

( ) ( ) ( ) 22VhhVhVhVhV =×ו=×•× Selanjutnya

2hhVrhVr =•×=ו(2.1.12)

Substitusi (2.1.12) ke (2.1.11) memberikan

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−=−

µµ

222 21 V

rhe

(2.1.13) Dalam astrodinamika didefinisikan parameter orbit p berikut:

µ

2hp ≡

(2.1.14) Parameter orbit ini mempunyai satuan panjang dan disebut semilatus rectum. Karena ruas kiri (2.1.13) tidak mempunyai satuan, maka suku dalam tanda kurung ruas kanan (2.1.13) harus mempunyai satuan satu per panjang. Selanjutnya, karena e dan h keduanya konstan maka suku dalam tanda kurung tersebut besarnya juga konstan. Dengan demikian dapat didefinisikan kuantitas a dengan dimensi panjang berikut:

122−

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−≡

µV

ra

(2.1.15)

27

Hubungan di atas dapat ditulis sebagai berikut:

konstan22

1 2 =−=−ar

V µµ

(2.1.16) Persamaan tersebut disebut persamaan kekekalan energi jenis (energi untuk tiap satuan massa m). Dalam hal ini: ½ V2 = energi kinetik untuk tiap satuan massa m -µ/r = energi potensial gravitasi untuk tiap massa m akibat tarikan benda bergravitasi µ. Dengan demikian, dapat didefinisikan besarnya energi jenis total ε :

a2µε −=

(2.1.17) Persamaan di atas dapat dijelaskan secara fisik sebagai berikut:

Jika ε < 0, energi jenis negatif. Ini berarti energi kinetik lebih kecil daripada energi potensial gravitasi. Dengan demikian, berapa pun kecepatan V , satelit tetap akan tertarik kembali oleh medan gravitasi planet penarik. Jadi, lintasan orbit dengan kasus ε < 0 akan membentuk lintas tertutup. Harga panjang konstanta a positif dan merupakan setengah sumbu panjang lintasan orbit tertutup tersebut.

Jika ε = 0, energi jenis nol. Ini berarti energi kinetik sama besar dengan energi potensial gravitasi. Dengan demikian, berapa pun besar medan gravitasi planet penarik, kecepatan satelit dapat mengimbanginya dengan energi kinetiknya sehingga satelit tidak pernah akan kembali tertarik oleh planet tersebut. Perimbangan energi ini menyebabkan pada tempat yang amat jauh dari medan gravitasi, kecepatan satelit mendekati nol. Jadi, lintas orbit

28

dengan ε = 0 akan membentuk lintas terbuka. harga panjang konstanta a menuju tak hingga.

Jika ε > 0, energi jenis positif. Ini berarti energi kinetik lebih besar daripada energi potensial gravitasi. Dengan demikian, kecepatan satelit selalu dapat mengatasi besarnya medan gravitasi planet penarik. Jadi, lintas orbit dengan ε > 0 akan membentuk lintas terbuka dimana satelit akan terus menjauh keluar dari medan gravitasi planet penarik dengan energi konstan. Dalam hal ini harga a negatif dan pada jarak yang amat jauh dari planet penarik kecepatan satelit konstan.

Persamaan (2.1.16) dapat ditulis dalam bentuk yang disebut integral energi atau integral vis-viva berikut:

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ −=

arV 122 µ

(2.1.18) Kata vis-viva berasal dari bahasa Latin : vis mortha = gaya statik (gaya mati) dan viva = gaya dinamik (gaya hidup). Dari (2.1.14) , (2.1.15) dan (2.1.13) dapat diperoleh hubungan antara konstanta e, p dan a berikut:

( )21 eap −=

(2.1.19) Karena p selalu positif, maka e pada persamaan di atas harus selalu lebih kecil dari satu. Khusus untuk e = 1 maka p = 0 (lintas orbit parabolik). Dengan demikian, parameter p selalu positif

bila ε < 0 maka a > 0 dan e < 1 bila ε = 0 maka a → tak hingga dan e ≈1 bila ε > 0 maka a < 0 dan e > 1 (2.1.20)

Akan ditunjukkan bahwa konstanta a merupakan salah satu ukuran geometri lintas orbit pada pasal berikut.

29

2.2. Persamaan Umum Lintas Orbit Jika (2.1.10) dikalikan secara skalar dengan vektor radius r diperoleh:

rh

rhVr

rr

hVr

rrr

rhVre

µ

µ

µ

µµ

−=

−•×=

−ו=

•−•×=•

2

2

atau

rerph•+==

µ

2

(2.2.1) Karena vektor e mempunyai arah yang tetap di ruang inersial, maka arah e ini dapat dijadikan acuan sudut nol antara vektor radius r dan e. Dengan demikian, dapat didefinisikan sudut θ yang merupakan sudut antara vektor r dan e. Jadi,

θcosrere =•

(2.2.2) Substitusi (2.2.2) ke (2.2.1) merupakan pemecahan umum persamaan lintas orbit

θcos1 epr

+=

(2.2.3) Selanjutnya θ disebut anomali benar (true anomaly).

30

r θ e

Gambar 2.2.1. Anomali benar θ Persamaan (2.2.3) melukiskan bentuk irisan kerucut terhadap bidang datar. Irisan kerucut bisa berupa lingkaran, elips, parabola atau hiperbola bergantung kepada sudut kemiringan bidang datar yang mengirisnya, atau dengan kata lain bergantung kepada eksentrisitas e persamaan di atas. Gambar 2.2.2. menunjukkan suatu kerucut dengan penampang lingkaran dengan sudut puncak 2α. Bidang datar A memotong kerucut dengan sudut kemiringan potong δ. Arah kemiringan kerucut dinyatakan sebagai tan α sedangkan arah kemiringan sudut potong bidang datar dengan kerucut dinyatakan sebagai tan δ. α bidang datar A δ kerucut

Gambar 2.2.2. Irisan bidang datar pada kerucut.

31

Dengan demikian, terdapat beberapa kemungkinan: (i) jika (tan α/tan δ) = 0 ; maka δ = 0 deg ; maka bidang A sejajar

bidang dasar kerucut. Irisan berupa lingkaran. Harga e = 0. Pusat : titik potong bidang A dengan sumbu kerucut.

Gambar 2.2.3a. Irisan lingkaran (ii) jika (tan α/ tan δ) < 1 ; maka bidang A mengiris kerucut dengan

sudut δ > α. Irisan berupa elips. Harga e antara 0 dan 1 . Fokus : titik potong bidang A dengan sumbu kerucut merupakan salah satu fokus

α δ F

Gambar 2.2.3b. Irisan elips.

32

(iii) jika (tan α/ tan δ) = 1 ; maka bidang A mengiris kerucut dengan

sudut δ = α. Irisan berupa parabola. Harga e = 1 . Fokus : titik potong bidang A dengan sumbu kerucut.

α δ = α

Gambar 2.2.3c. Irisan parabola (iv) jika (tan α/ tan δ) > 1 maka bidang A mengiris kerucut dengan sudut

δ < α. Irisan berupa hiperbola. Harga e > 1 . Fokus : kedua titik potong sumbu kerucut dengan bidang A.

δ

Gambar 2.2.3d. Irisan hiperbola

33

Dengan demikian, lintas orbit dua benda akan: • selalu terletak pada bidang datar dengan • bentuk lintasan: lingkaran, eliptik, parabolik atau hiperbolik. 2.3. Geometri Lintas Orbit Dua Benda Berikut diberikan parameter geometri lintas orbit dua benda: lingkaran, eliptik, parabolik atau hiperbolik. 2.3.1. Orbit Lingkaran Untuk orbit lingkaran: Jari-jari (radius vektor) akan konstan sebesar r Anomali benar : sudut antara r dan xo adalah θ Persamaan orbit : r = konstan

222 ryx oo =+ e = 0.0

(2.3.1) yo r θ xo

Gambar 2.3.1a. Orbit lingkaran.

34

2.3.2. Orbit Eliptik Untuk orbit eliptik beberapa titik penting antara lain: F - fokus utama, letak planet penarik F* - fokus kosong P - titik paling dekat dengan F = pericenter A - titik paling jauh dari F = apocenter B, C - titik semi latus rectum r - radius vektor θ - anomali benar Sumbu xo searah dengan vektor eksentrisitas e. Yo D B r b θ A O P e Xo F* F ra rp a a e C E

Gambar 2.3.1b. Orbit eliptik. Dari (2.2.3) jarak terdekat dengan F yaitu rp adalah

( ) ( ) ( )eareaeea

epr pp

o−=→−=

+−

=+

==

1111

cos1

2

0θθ

(2.3.2)

35

Jarak terjauh dari F yaitu ra adalah

( ) ( ) ( )eareaeea

epr aa

o+=→+=

−−

=+

==

1111

cos1

2

180θθ

(2.3.3) Jarak semi latus rectum

( ) ( )2,

2

27090

, 11cos1

eareape

pr CB

atau

CBo

o−=→−==

+=

=θθ

(2.3.4) Jarak OF

( ) eaOFeaaOF =→−−= 1(2.3.5)

Setengah sumbu pendek

21 eab −=

(2.3.6) Pada tata acuan orbit (xo, yo) persamaan orbit eliptik dinyatakan oleh

( )θθ cos1

1cos1

2

eea

epr

+−

=+

=

(2.3.7) Dari gambar 2.3.1b diperoleh

22

22

cosoo

o

oo

yx

xyxr

+=

+=

θ

(2.3.8)

36

Substitusi (2.3.8) ke (2.3.7) memberikan persamaan orbit eliptik di koordinat kartesian:

( )( ) 11 22

2

2

2=

−+

+

eay

a

eax oo

(2.3.9) 2.3.3.Orbit Parabolik Untuk orbit parabolik : F - fokus, letak planet penarik P - titik pericenter B, C - titik semi latus rectum r - radius vektor θ - anomali benar Yo B r θ e F P Xo C rp

Gambar 2.3.1c. Orbit parabolik.

37

Jarak terdekat dengan F yaitu rp adalah

2cos1 0

prpr ppo

=→+

==θθ

(2.3.10) Jarak terjauh dari F yaitu ra adalah

∞→−

=+

==

aaa rppro 11cos1 180θθ

(2.3.11) Jarak semi latus rectum

prppr CB

atau

CBo

o =→=+

== ,

27090, cos1 θθ

(2.3.12) Pada tata acuan orbit (xo, yo) persamaan parabola dinyatakan oleh

θcos1+=

pr

Substitusi

22

22

cosyx

xyxr

+=

+=

θ

pada persamaan di atas memberikan

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ −= xppy

222

(2.3.13)

38

2.3.4. Orbit hiperbolik Untuk orbit hiperbolik : F - fokus, letak planet penarik F* - fokus kosong P - titik pericenter B, C - titik semi latus rectum r - radius vektor θ - anomali benar b/a - slope dari asimtot Yo B b D a r θ∞ -b θ P e O Xo F F* -a C -ae

Gambar 2.3.1d. Orbit hiperbolik Jarak terdekat dari planet rp:

( ) ( ) ( )11cos1

1

0

2−−=→−=

+−

==

eareae

ear ppoθ

θ

(2.3.15)

39

Jarak terjauh dari planet ra: karena orbit hiperbolik adalah orbit terbuka, maka jarak terjauh ra dicapai pada titik tak hingga sepanjang asimtot hiperbola tersebut. Jadi, dalam arah θ:. Dalam hal ini, sudut asimtot θ: dicari sebagai berikut: Jadi,

∞∞ θθ aa untukar(2.3.16)

Sudut asimtot θ∞ dicari melalui limit berikut. Dari (2.2.3)

( )⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡−

−= 111cos

2

rea

Dengan demikian,

( )er

eaer

1111limcos

2−=

⎥⎥⎦

⎢⎢⎣

⎡−

−∞

=∞a

θ

maka

⎥⎦⎤

⎢⎣⎡−= −

∞ e1cos 1θ

(2.3.17) Sumbu pendek hiperbola b : untuk ∆OPD berlaku:

aOP

eae

aaODODa

−=

−=−

==→=∞

∞ 1coscos

θθ

Jadi,

( ) 1222222 −=→−−=−= eabaeaOPODb(2.3.18)

40

Persamaan orbit dalam koordinat (xo, yo) adalah (dengan cara sama seperti sebelumnya):

( )( ) 1

122

2

2

2=

−−

+

eay

a

eax o

(2.3.19) 2.4. Kecepatan-kecepatan pada Lintas Orbit Kecepatan V pada lintas orbit dapat dicari melalui integral vis-viva (2.1.18) :

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ −=

arV 12µ

(2.4.1) Di sini yang diketahui hanya besar kecepatan V. Arah vektor V selalu menyinggung lintasan orbit. Yo Vθ

V Vr r θ Xo

Gambar 2.4.1. Komponen kecepatan orbit radial dan normal.

41

Jika vektor kecepatan orbit V diuraikan dalam komponen arah vektor radius ir dan arah vektor tegak lurus vektor radius iθ maka

θθ iViVV rr +=(2.4.2)

Dalam hal ini jelas bahwa

dtdrV

trVr

θθ ≡

∂∂

(2.4.3) Kedua komponen kecepatan di atas dapat dinyatakan dalam parameter bentuk orbit e dan a (atau p) sebagai berikut. Dari (2.1.6b) momentum sudut h adalah:

rh

dtdr

dtdrh =→=

θθ2

Dari (1.1.7b) diperoleh

( )θµµθθ cos1 e

pr

p

dtdrV +===

atau

( )( )θµθ cos1

1 2 eea

V +−

=

(2.4.4) Selanjutnya, dari (2.2.3) dan (2.4.3a) diperoleh

42

( )( )

( )( )θµθ

θ

θθ

θ

θθθ

θ

cos11cos1

sin

cos1sin

sincos1

cos1

2

2

eeae

e

dtdr

ee

dtde

ep

ep

dtdVr

+−+

=

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

+=

−+

−=

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛+

=

Dengan demikian,

( ) θµ sin1 2 e

eaVr

−=

(2.4.5) 2.4.1. Orbit Lingkaran Yo r θ Xo

Gambar 2.4.1. Orbit lingkaran. Di sini e = 0 dan dari (2.4.4) dan (2.4.5) didapat

43

0

konstan

=

==

rVa

V µθ

(2.4.6) Jadi:

aVVVV r

µθθ ==+= 22

atau dari integral vis-viva

aaaV µµ =⎟

⎠⎞

⎜⎝⎛ −=

12

(2.4.7) Secara umum, untuk orbit lingkaran dengan jari-jari r maka kecepatan V disebut kecepatan sirkuler Vc di mana

rVc

µ≡

(2.4.8) 2.4.2. Orbit Eliptik Yo VB B r Vp θ A O P Xo ra rp Va VC C

Gambar 2.4.2. Orbit eliptik.

44

Dalam hal ini, 0 < e < 1. Kecepatan di pericenter disebut Vp dan kecepatan di apocenter disebut Va. Vp dan Va dapat dicari melalui integral vis-viva (2.4.1) atau (2.4.4). (i) Kecepatan di pericenter Vp

( ) ( ) ⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛−+−

=⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛ −−

=⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−=

eae

aeaarV

pp 1

1211212 µµµ

Jadi

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

−+

=ee

aVp 1

(2.4.9) Hal yang sama diperoleh melalui (2.4.4) dengan θ = 0o. Dengan mendefinisikan Vcp sebagai berikut:

( )earV

pcp −

=≡1µµ

(2.4.10) maka kecepatan orbit di pericenter dapat ditulis

eVV cpp += 1(2.4.11)

Di sini Vcp disebut kecepatan orbit di titik P bila orbit berbentuk lingkaran dengan jari-jari rp. (ii) Kecepatan di apocenter Va

( ) ( ) ⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛+−−

=⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛ −+

=⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−=

eae

aeaarV

aa 1

1211212 µµµ

45

Jadi

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

+−

=ee

aVa 1

(2.4.12) Hal yang sama diperoleh dengan (2.4.4) bila θ = 180o. Dengan mendefinisikan Vca berikut:

( )earV

aca +

=≡1µµ

(2.4.13) maka kecepatan orbit di apocenter dapat ditulis

eVV caa −= 1(2.4.14)

Di sini Vca disebut kecepatan orbit di titik P bila orbit berbentuk lingkaran dengan jari-jari ra. (iii) Kecepatan di semi latus rectum B Dari integral vis-viva

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−=

arV

BB

12µ

(2.4.15) di sini

( ) ( )2

90

21

cos11 eare

ear BBo

−=→+−

==θ

θ

(2.4.16) Substitusi (2.4.16) ke (2.4.15) memberikan :

46

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

+= 2

2

11

ee

aVB

µ

(2.4.19) Dengan definisi

( )21 earV

BcB

−=≡

µµ

(2.4.20) maka

21 eVV cBB +=(2.4.21)

Vcb adalah kecepatan orbit di B bila orbit berbentuk lingkaran dengan jari-jari rB. (iv) Kecepatan di semi latus rectum C Dari integral vis-viva

⎟⎟⎠

⎞⎜⎜⎝

⎛−=

arV

CC

12µ

(2.4.22) di sini

( ) ( )2

270

21

cos11 eare

ear CCo

−=→+−

==θ

θ

(2.4.23) Dengan demikian,

21 eVVV cBBC +==(2.4.24)

47

Dari kecepatan-kecepatan Vp, Va, dan Vb = Vc terlihat bahwa karena e < 1 maka

Vp > Vb = Vc > Va(2.4.25)

Dengan kata lain, pada lintas orbit eliptik • kecepatan tertinggi terjadi di pericenter sebesar Vp • kecepatan terendah terjadi di apocenter sebesar Va • lintas orbit dari P ke A adalah lintas perlambatan, dan dari A ke P

adalah lintas percepatan Perhatikan (2.4.11) dan (2.4.14). Di sini

caaca

a

cppcp

p

VVeVV

VVeVV

<→<−=

>→>+=

11

11

(2.4.26) Ketidaksamaan di atas memiliki arti bahwa : Vp > Vcp : kecepatan orbit eliptik di pericenter lebih besar daripada

kecepatan orbit bila orbit berbentuk lingkaran di pericenter tersebut. Artinya jika kecepatan Vp dikurangi sebesar ∆Vp sehingga menjadi Vcp di pericenter maka satelit di titik pericenter tersebut akan berganti dari lintas eliptik menjadi lintas lingkaran dengan jari-jari rp. Demikian pula sebaliknya.

Va < Vca : kecepatan orbit eliptik di apocenter lebih kecil daripada

kecepatan orbit bila orbit berbentuk lingkaran di apocenter tersebut. Artinya jika kecepatan Va ditambah sebesar ∆Va sehingga menjadi Vca di apocenter maka satelit di titik apocenter tersebut akan berganti dari lintas eliptik menjadi lintas lingkaran dengan jari-jari ra. Demikian pula sebaliknya.

Gambar berikut melukiskan penjelasan di atas.

48

∆Vp Vp rp Vcp A P Va

Vca ∆Va ra

Gambar 2.4.3. Kecepatan sirkuler dan eliptik di peri/apo-center. Gambar di atas menunjukkan tiga buah lintas orbit: dua lintas lingkaran dengan jari-jari ra dan rp, dan satu lintas eliptik yang menyinggung kedua orbit lingkaran di P dan A. Gambar tersebut mempunyai arti : (i) Misal mula-mula suatu satelit bergerak menurut orbit lingkaran

dengan jari-jari ra dan kecepatan Vca. Jika di titik A kecepatan satelit dikurangi dengan ∆Vca sehingga menjadi Va, maka satelit akan masuk ke orbit eliptik dengan apocenter ra dan eksentrisitas e. Jika selanjutnya pada titik P kecepatan dikurangi lagi dari Vp menjadi Vcp, maka satelit akan masuk ke orbit lingkaran dengan jari-jari rp dan kecepatan Vcp.

(ii) Misal sekarang satelit berada di orbit lingkaran dengan jari-jari rp dan

kecepatan Vcp. Jika di titik P kecepatan satelit ditambah dengan ∆V sehingga menjadi Vp, maka satelit akan masuk ke orbit eliptik dengan pericenter rp dan eksentrisitas e. Bila selanjutnya pada titik A kecepatan satelit ditambah dari Va menjadi Vca, maka satelit akan pindah dari orbit eliptik ke orbit lingkaran dengan jari-jari ra dan kecepatan Vcp.

49

Dengan demikian dapat disimpulkan di sini bahwa: Orbit eliptik yang menyinggung dua orbit lingkaran di titik pericenter dan apocenter merupakan lintas alih orbit (transfer orbit path) dari kedua orbit lingkaran tersebut. Kedua orbit lingkaran itu disebut sebagai orbit awal dan orbit akhir (orbit tujuan). Lintas alih orbit eliptik di mana peralihan terjadi di titik-titik pericenter dan apocenter disebut lintas alih orbit Hohmann. Lintas ini pertama kali diperkenalkan oleh astrodinamis dari Jerman Walter Hohmann pada tahun 1925. Dapat dibuktikan bahwa energi yang dibutuhkan dalam pindah orbit ini minimal dibandingkan dengan lintas pindah orbit dari titik-titik lain pada lintas eliptik. Pada program-program antariksa operasional lintas alih orbit Hohmann sering dipakai, antara lain: (i) penempatan satelit SKSD Palapa dari lintas parkir awal lingkaran ke

lintas geostasioner lingkaran. (ii) penjelajahan Bumi-Mars dari satelit Path-Finder dari lintas orbit awal

(lintas orbit Bumi terhadap matahari) ke lintas orbit tujuan (lintas orbit Mars terhadap matahari).

(iii) penerbangan dari Bumi ke stasiun antariksa Mir dengan orbit awal/orbit parkir dari Soyuz dan orbit tujuan orbit stasiun Mir.

(iv) dsb. 2.4.3. Orbit Parabolik Yo B r Vp

θ p P Xo rp = p/2

Gambar 2.4.4. Orbit parabolik.

50

Untuk orbit parabolik e = 1. Kecepatan orbit pada lintas ini dapat diperoleh dari integral vis-viva (2.1.18)

∞⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ −=

aaarV 122 µ

atau

rV µ2=

(2.4.27) Dengan melihat bahwa kecepatan orbit sirkuler di tiap titik adalah Vc dimana

rVc

µ=

(2.4.28) maka kecepatan orbit di tiap titik pada lintas parabolik adalah

2cVV =(2.4.29)

Karena kecepatan V untuk tiap titik di lintas parabolik adalah kecepatan yang membuat satelit tersebut tidak pernah kembali lagi, maka kecepatan parabolik ini disebut sebagai kecepatan lepas (escape velocity) Vesc. Dengan demikian, untuk orbit parabolik kecepatan orbitnya selalu Vesc :

2cesc VV =(2.4.30)

Jadi, secara fisik ini berarti kecepatan lepas lintas parabolik besarnya adalah √2 kali besarnya kecepatan sirkuler di titik tersebut. Dengan kata lain, suatu satelit yang mengorbit sebuah planet dengan orbit eliptik, maka jika pada suatu titik di orbit diinginkan satelit tersebut lepas dari pengaruh gravitasi planet, maka kecepatan lepas Vesc yang dibutuhkan di titik itu adalah √2 kali kecepatan sirkulernya di titik tersebut Vc.

51

Vesc Vesc V Vc Vc r r lingkaran eliptik parabolik

a) Definisi kecepatan lepas b) Kecepatan lepas Vesc dari orbit Vesc p = √2 Vc awal eliptik

Gambar 2.4.5. Kecepatan parabolik ≡ kecepatan lepas

Gambar tersebut melukiskan definisi-definisi di atas. (i) Kecepatan lepas pericenter parabolik Untuk orbit parabolik, pericenter rp diberikan oleh (2.3.10), sehingga

pVp

µ2=

(2.4.30) (ii) Kecepatan lepas apocenter parabolik Karena ra → : maka

Va → 0 (2.4.31)

Jadi, bila satelit mempunyai orbit parabolik, maka pada titik yang terletak sangat jauh dari planet kecepatan satelit akan terus mendekati nol dan akhirnya sama dengan nol. Bila di titik tersebut tidak ada benda langit lain,

52

satelit akan lambat laun tertarik kembali ke planet semula dengan lintas parabolik yang sama. Alih orbit dari eliptik ke parabolik paling baik dilakukan di pericenter atau apocenter karena energi di sini minimal. Catatan: Lepas melalui lintas parabolik tidak mempunyai arti rekayasa yang bermanfaat karena kecepatan satelit setelah lepas lambat laun menjadi nol. Jadi, tidak praktis untuk penerbangan antar planet. parabolik-1 Yo Vesc p Vp 2 rp Vcp Xo ra rp Va Vca Vesc a parabolik-2

Gambar 2.4.6. Lepas dari orbit eliptik dengan orbit parabolik. 2.4.4.Orbit Hiperbolik Untuk orbit hiperbolik e > 1.

53

Yo Vp θ∞ = cos-1(-1/e) P O Xo -a rp

Gambar 2.4.7. Orbit hiperbolik Orbit ini sangat praktis untuk dipakai sebagai orbit lepas bagi penerbangan antar planet karena dua hal: (i) besar kecepatan untuk r → ∞ tidak nol. (ii) arah kecepatan pada r → ∞: menuruti arah asimtot yang orientasinya

dapat dipilih sesuai arah tujuan. Kedua hal di atas akan diperlihatkan berikut ini: (i) Kecepatan di jarak tak hingga Dari integral vis-viva (2.1.18) dan dengan r →: diperoleh

( )aV

−=∞

µ

(2.4.32)

54

Perhatikan bahwa untuk orbit hiperbolik a < 0. Kecepatan V: ini mempunyai nama khusus yaitu kecepatan lebih hiperbolik (hyperbolic excess velocity), arahnya mendekati asimtot hiperbola tersebut. Dengan demikian, kecepatan lebih hiperbolik adalah

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛−

=

−=

∠=

−∞

∞∞∞

e

aV

VV

1cos 1θ

µ

θ

(2.4.33) Yo

V∞

Vp θ∞ P O Xo |a|

Gambar 2.4.8. Kecepatan lebih hiperbolik (ii) Kecepatan di pericenter Substitusi (2.3.15) untuk rp ke integral vis-viva dengan menggunakan (2.4.32) diperoleh:

55

11

−+

= ∞ eeVVp

(2.4.34) Perhatikan suatu satelit yang akan pindah orbit dari orbit lingkaran ke orbit hiperbolik berikut. Yo Vp hip Vp

θ∞ F rp Xo

Gambar 2.4.9. Alih orbit dari pericenter lingkaran ke hiperbolik Misal satelit pindah orbit pada θ = 0 deg. Dalam hal ini kecepatan awal satelit

pc r

V µ=

Jika rp dijadikan pericenter orbit hiperbolik dimana satelit pindah orbit, maka

( ) ( ) 11

11

−−=

−−=→−−=

eaeaVear cp

µµ

atau

11−

= ∞ eVVc

(2.4.35) atau

1−=∞ eVV c(2.4.36)

56

Persamaan di atas dapat diinterpretasikan sebagai berikut: Jika suatu satelit mempunyai kecepatan orbit sirkuler Vc dipindah ke orbit hiperbolik dengan eksentrisitas e, maka kecepatan lebih hiperbolik V: yang dicapai adalah sebesar Vc √(e-1). Dengan demikian, • Bila diinginkan V: besarnya V: = n Vc maka dari (2.4.35) eksentrisitas

orbit hiperbolik yang dicapai adalah

e = n2 + 1 (2.4.37)

• Selanjutnya penambahan kecepatan yang diperlukan ∆V diperoleh

dengan mengurangkan Vp dari (2.4.34) ke Vc dari (2.4.35):

( )111

−+−

=∆ ∞ eeVV

(2.4.38) 2.5. Periode Orbit dan Waktu Saat Lewat Pericenter Definisi: Perioda orbit adalah waktu yang diperlukan untuk menjalani satu lintas

tertutup penuh dari anomali 0 deg sampai dengan anomali 360 deg.

Waktu saat lewat pericenter adalah saat satelit lewat pericenter (yang terakhir).

57

saat t θ P, θ=0o, 360o, saat τ

Gambar 2.5.1. Periode dan waktu saat lewat pericenter 2.5.1. Periode Orbit P Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan Hukum Kepler II, yang berbunyi “untuk kurun waktu yang sama suatu satelit di lintas orbitnya menyibak daerah dengan luas yang sama”. Konsekuensinya adalah bahwa

orbitperiodeelipsluas

dtdA

=

(2.5.1) r dθ dA θ 2 b r 2 a luas elips = π a b

Gambar 2.22. Laju perubahan luas.

58

Untuk segmen terarsir

θθ drdArdrdA 221atau

21

=×=

(2.5.2) Dengan demikian

dtdr

dtdA θ2

21

=

(2.5.3) Jadi, Hukum Kepler II dapat ditulis sebagai berikut:

dtdr

Pba θπ 2

21

=

(2.5.4) Dari (2.1.6b), (2.1.14) dan (2.3.18), diperoleh

( )22

121

21

2112

eaphP

ea−===

−µµ

π

sehingga periode orbit dapat dinyatakan sebagai

µπ

32 aP =

(2.5.5) Di sini terbukti Hukum Kepler III yang menyatakan bahwa periode suatu orbit tertutup berbanding langsung dengan akar setengah sumbu panjang pangkat tiga dan berbanding terbalik dengan akar konstanta gravitasi.

59

Dalam hal ini dapat pula didefinisikan gerak rata-rata (mean motion) orbit satelit :

32

aPn µπ

=≡

(2.5.6) sehingga

32an=µ(2.5.7)

Dari (2.5.5) jika jarak rata-rata Bumi ke matahari a diambil sebagai satuan panjang dan periode Bumi mengorbit matahari P diambil sebagai satuan waktu, maka konstanta gravitasi matahari menjadi µ = 4π2. 2.5.2. Waktu saat lewat pericenter Dari hubungan momentum sudut h dan parameter orbit P

( )dtp

edph

dtdr µ

θθθ

=+

→= 2

22

cos1 Dengan demikian diperoleh

( )23

cos1 θθ

µ edpdt

+=

(2.5.8) Persamaan di atas memberikan hubungan fungsional antara anomali benar θ dengan waktu t. Persamaan tersebut dapat diintegralkan

( )∫∫+

=−=θ

τ θθ

µτ

02

3

cos1 edptdt

t

(2.5.9) dengan τ = konstanta integrasi yang memberikan saat satelit lewat pericenter orbitnya.

60

Konstanta τ merupakan suatu parameter orbit yang penting di samping dua parameter geometri orbit e dan a. Pemecahan (2.5.9) akan memberikan hubungan θ dan t. Namun untuk menyederhanakan proses penyelesaian analitis (2.5.9) akan ditransformasikan dalam bentukyang lebih sederhana melalui persamaan Kepler dalam pasal berikut. 2.6. Hubungan Kedudukan dan Waktu Suatu Satelit pada Lintas Orbitnya Persamaan (2.5.8) adalah persamaan orbit yang menghubungkan kedudukan θ dan t. Namun pemecahan langsung (2.5.8) cukup rumit. Suatu cara dengan menggunakan transformasi geometri persamaan orbit untuk tiap jenis lintas orbit dapat disajikan dalam bentuk persamaan yang lebih sederhana berikut ini. 2.6.1. Orbit lingkaran Dalam hal ini karena e = 0 maka (2.5.8) dipecahkan langsung. Vc a θ

Gambar 2.6.1. Orbit lingkaran Substitusi e = 0 ke (2.5.8) memberikan

61

θµ

dadt3

=

(2.6.1) atau

aadtd µθ 1

=

atau

cVdtda =θ

(2.6.2) Jadi, integral dari (2.5.8) menghasilkan solusi

( ) ( )τθ −= ta

Vt c

(2.6.3) 2.6.2. Orbit Eliptik : Persamaan Kepler A Yo B C r E θ O D F Xo b a a e

Gambar 2.6.2. Definisi anomali eksentrik E.

62

Elips dapat dibentuk dari dua lingkaran singgungnya. Satu lingkaran luar dengan jari-jari a dan satu lingkaran dalam dengan jari-jari b. Jika untuk suatu radius a sembarang memotong lingkaran luar di A dan lingkaran dalam B, maka titik potong garis sejajar sumbu y dari A dengan garis sejajar sumbu x dari B adalah titik C akan terletak pada elips. Untuk kebutuhan transformasi, didefinisikan sudut AOD yang disebut E: anomali eksentrik (eccentric anomaly). Anomali eksentrik E : sudut yang dibentuk oleh radius lingkaran luar elips

terhadap garis dasar sumbu panjang elips, dimana perpotongan radius lingkaran luar tersebut dengan lingkaran luar mempunyai proyeksi pada sumbu x yang memotong elips di r(θ).

Gambar di atas menunjukkan hubungan geometrik antara anomali benar θ dan anomali eksentrik E. Dari gambar 2.24 dapat diperoleh transformasi berikut:

222dari DFDCrDCF +=→∆

(2.6.4) di mana

( )EeaEaaeDFEeaEbDC

coscossin1sin 2

−=−=−==

(2.6.5) Dengan demikian

( ) ( )[ ]( )22

22222

cos1

cossin1

Eea

EeEear

−=

−+−=

Jadi

( )Eear cos1−=(2.6.6)

63

Persamaan di atas adalah persamaan orbit dinyatakan dalam variabel baru yaitu anomali eksentrik. Jika persamaan di atas disamakan dengan persamaan orbit untuk anomali benar (2.2.3) maka diperoleh identitas berikut:

θθθ

cos1coscos

cos1coscos

eeE

EeeE

++

=−

−=

(2.6.7) Kemudian karena

EeaEbrCD sin1sinsin 2−=== θ dapat diperoleh

θθθ

cos1sin1sin

cos1sin1sin

22

eeE

EeEe

+−

=−−

=

(2.6.8) Dari (2.6.7) dan (2.6.8) dapat dibuktikan bahwa

( ) ( )2

cos12

cos2

sin12

sin 2222 Er

eaEr

ea −=

+=

θθ

(2.6.9) Dengan membagi kedua persamaan di atas diperoleh

2tan

11

2tan E

ee

−+

(2.6.10) Identitas di atas menghubungkan θ dan E, merupakan identitas yang bermanfaat karena di sini terlihat bahwa θ/2 dan E/2 selalu terletak pada kuadran yang sama. Dari identitas-identitas di atas dapat diturunkan hubungan kedudukan dan waktu untuk orbit eliptik berikut:

64

Dari (2.6.10) dapat diturunkan

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

−+

=⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

2tan

11

2tan Ed

eed θ

atau

dEr

ead21−

(2.6.11) Substitusi (2.6.11) ke (2.5.8) menghasilkan

( )dEea

pr

edE

reapdt 2

2

231

cos11

−=+

−=

µθµ

(2.6.12) atau

( )dEEedta

cos13 −=µ

(2.6.13) Integralkan persamaan di atas dengan melihat (2.5.6) maka didapat

( )∫∫ −=Et

dEEedtn0

cos1τ

atau

( ) EeEtn sin−=−τ(2.6.14)

Persamaan di atas disebut persamaan Kepler. Dengan mendefinisikan anomali rata-rata (mean anomaly) M:

M ≡ n ( t – τ ) (2.6.15)

persamaan Kepler dapat ditulis dalam bentuk lebih kompak :

65

M = E – e sin E (2.6.16)

Melalui persamaan di atas kedudukan satelit dihitung sejak lewat pericenter dapat diketahui. Di samping itu, bentuk persamaan Kepler di atas jauh lebih sederhana daripada bentuknya dalam variabel anomali benar, (2.5.8). Pemecahan persamaan Kepler dibahas secara rinci dalam Bab 4. 2.6.3. Orbit Parabolik : Persamaan Barker Untuk orbit parabolik e = 1 sehingga (2.5.9) menjadi

( )∫+

=−θ

θθ

µτ

02

3

cos1dpt

(2.6.17) Integral ruas kanan mempunyai solusi eksak :

( ) 2tan

61

2tan

21

cos13

02

θθθ

θθ+=

+∫

d

(2.6.18) Substitusi (2.6.18) ke (2.6.17) menghasilkan persamaan yang merelasikan kedudukan dan waktu untuk orbit parabolik

( )2

tan2

tan36 33

θθτµ+=−t

p(2.6.19)

Persamaan di atas disebut persamaan Barker. Dalam Bab 4 akan dibahas metode untuk memecahkan persamaan Barker.

66

2.6.4. Orbit Hiperbolik : Persamaan Kepler Hiperbolik Kurva hiperbola dapat dilukis melalui dua lingkaran besar dan kecilnya. hiperbola B P’ P ζ θ C Q’ F Q b a

Gambar 2.6.3. Definisi Gudermanian ζ. Titik P yang terletak pada kurva hiperbola dapat dicari sebagai berikut: Untuk suatu garis sinar dengan sudut ζ terhadap sumbu x yang memotong lingkaran besar berjari-jari a di titik B. Dari titik B ditarik garis singgung yang memotong sumbu x di Q. Dari titik potong lingkaran kecil berjari-jari b dengan sumbu x di Q’ ditarik garis singgung tegak lurus sumbu x dan memotong garis sinar di P’. Tarik garis sejajar sumbu x dari P’ dan garis sejajar sumbu y dari Q’ hingga berpotongan di P. Titik P adalah titik yang terletak pada hiperbola. Sudut ζ disebut Gudermanian, diambil dari nama matematisi hiperbola Jerman Christof Gudermann (1798-1852).

67

Dari Gambar 2.25 dapat diketahui transformasi dengan sudut Guderma-nian sebagai berikut:

222dari FQPQrFQP +=→∆

(2.6.20) di mana

( )eaaeaCFCQFQeabQPPQ

−=−=−=−===

ςςςςsecsec

tan1tan'' 2

(2.6.21) Substitusi (2.6.21) ke (2.6.20) diperoleh:

( )ςςςς 2222222 tantansec2sec −++−= eeearatau

( )ς2sec1 ear −=(2.6.22)

Dapat dilihat bahwa sudut ζ ini analogi dengan sudut anomali eksentrik pada orbit eliptik. Perhatikan bahwa karena identitas berikut

1tansec 22 =− ςς maka dapat didefinisikan sudut hiperbolik H sebagai berikut:

HH

coshsecsinhtan

==

ςς

(2.6.23) Dengan demikian maka

( )Hear cosh1−=(2.6.24)

Di sini H disebut anomali eksentrik hiperbolik (hyperbolic eccentric anomaly). Perhatikan analogi antara (2.6.24) dengan (2.6.6).

68

Dengan mempersamakan (2.6.24) dengan r = a(1-e2)/(1+e cosθ), maka dengan mudah diperoleh identitas berikut

θθθ

θθθ

cos1sin1sinh

1coshsinh1sin

cos1coscosh

1coshcoshcos

22

eeH

HeHe

eeH

HeHe

+−

=−

−=

++

=−

−=

(2.6.25) Dari identitas di atas diperoleh

2tanh

11

2tan H

ee−+

(2.6.26) Dari persamaan di atas dapat diambil turunan berikut:

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

−+

=⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

2tanh

11

2tan Hd

eed θ

atau

dHee

H

dHHeed

dHHeed

11

cosh12

2cos1

2sech

11

2cos

2sech

11

2sec

22

22

−+

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

+⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ +

=

−+

=⇔

−+

=

θ

θθ

θθ

Dari identitas (2.6.26) diperoleh

dHee

HHeHed

11

cosh111

1coshcosh

−+

⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

+⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ +

−−

Dari (2.6.24) diperoleh

dHread 12 −−

(2.6.27)

69

Substitusi persamaan di atas ke (2.5.8) diperoleh

( )223

cos11

θµ edH

reapdt

+

−−=

(2.6.28) atau

( ) ( ) dHHeadt 1cosh3

−−

Dengan demikian

( )( )∫∫ −=

ttdHHedt

a ττ

µ 1cosh3

(2.6.29) Diperoleh persamaan Kepler hiperbolik berikut:

N = e sinh H - H (2.6.30)

di mana

( )( )τµ−

−≡ t

aN 3

(2.6.31) Perhatikan analogi persamaan di atas dengan persamaan Kepler untuk orbit eliptik. Hubungan antara Gudermanian ζ dengan anomali eksentrik hiperbolik H diperoleh dari (2.6.23) dengan menyatakan hubungan secara eksponensial. Dengan demikian, dapat dibuktikan bahwa

( ) ⎟⎠⎞

⎜⎝⎛ +=+=

42tanlnsectanln πςςςH

(2.6.32)

70

atau

( ) ( )HH gd2

exptan2 1 ≡−= − πς

(2.6.33) Di sini gd(.) adalah fungsi Gudermanian. Sementara N disebut anomali rata-rata hiperbolik (hyperbolic mean anomaly). 2.6.5. Ringkasan Hubungan Kedudukan dan Waktu Orbit Dari pasal 2.6.1 sampai dengan 2.6.4 persamaan orbit dalam fungsi waktu dapat diringkas: (i) orbit lingkaran:

( ) ( )τµθ −= ta

t 3

(2.6.34) (ii) orbit eliptik : persamaan Kepler

M = E – e sin E di mana

( )τµ−≡ t

aM 3

(2.6.35) (iii) orbit parabolik : persamaan Barker

( )2

tan2

tan36 33

θθτµ+=−t

p(2.6.36)

(iv) orbit hiperbolik : persamaan Kepler hiperbolik

N = e sinh H - H

71

di mana

( )( )τµ−

−≡ t

aN 3

(2.6.37) Persamaan (2.6.34) s/d (2.6.37) memberikan hubungan antara kedudukan dalam orbit sebagai fungsi waktu : θ(t), E(t) dan H(t). Bab 3 akan membahas metode pemecahan persamaan Kepler, Barker dan Kepler hiperbolik. 2.7. Orientasi Bidang Orbit di Ruang Inersial Sejauh ini telah dibicarakan 3 parameter orbit: 2 parameter menentukan bentuk dan ukuran orbit dan 1 parameter menentukan kedudukan satelit saat lewat pericenter dimana perhitungan waktu diacukan. Dua parameter yang menentukan bentuk dan ukuran orbit adalah h dan e, p dan e, atau a dan e. Sedangkan parameter yang menentukan kedudukan satelit adalah τ saat satelit lewat pericenter. Dalam pasal ini dibahas 3 parameter orbit lain yang mementukan orientasi bidang orbit di ruang inersial. 2.7.1. Sudut Orientasi Ω, i dan ω ZI (kutub utara langit) Yo satelit Zo r Xo θ bidang ekuator inersial ω YI

Ω i N in XI bidang orbit

Gambar 2.7.1. Orientasi bidang orbit di ruang inersial.

72

Tata acuan koordinat inersial langit 1I = iI, jI, kI T dengan sumbu-sumbu xI, yI, zI

Tata acuan koordinat orbit

1o = io, jo, ko T dengan sumbu-sumbu xo (sepanjang vektor e), yo, dan zo (sepanjang vektor h).

Bidang orbit (bidang datar yang memuat lintas orbit) memotong bidang ekuator inersial, bidang xIyI , menurut garis potong dengan arah in. Lintas orbit memotong bidang ekuator inersial dari arah bawah ke atas bidang tersebut di titik N. Titik N ini disebut titik nodal naik (ascending node). Adapun orientasi bidang orbit di rung inersial diberikan oleh tiga sudut berikut: (i) Sudut Ω = longituda nodal naik (longitude of ascending node).

Jika yang dipakai tata acuan inersial Bumi, maka sudut ini mempunyai sebutan khusus yaitu asensio rekta nodal naik (RAAN = right ascension of the ascending node). Dari Gambar 2.7.1 dapat dilihat bahwa :

nI ii •=Ωcos(2.7.1)

Sudut Ω positif berlawanan jarum jam dilihat dari kutub utara langit.

(ii) Sudut i = inklinasi orbit (inclination) adalah sudut antara bidang orbit

dengan bidang ekuator inersial. Karena ko tegak lurus dengan bidang orbit dan kI tegak lurus bidang ekuator inersial, maka inklinasi i adalah sudut antara vektor satuan kI dan ko:

oI kki •=cos(2.7.2)

Sudut i positif berlawanan arah gerak jarum jam dilihat dari nodal naik N.

(iii) Sudut ω = argumen pericenter P (argument of pericenter), adalah

sudut pada bidang orbit dari garis potong bidang orbit terhadap bidang ekuatorial inersial pada sisi naik dengan vektor satuan io (atau e). Dengan demikian

73

ein •=ωcos

(2.7.3) Sudut ω positif berlawanan arah gerak jarum jam dilihat dari titik yang terletak di sumbu zo.

Jadi, jelas bahwa 3 parameter orbit yang melukiskan orientasi bidang orbit di ruang inersial adalah longituda nodal naik Ω, inklinasi orbit i dan argumen pericenter ω. Dengan demikian, lengkaplah keenam parameter orbit yang merupakan konstanta-konstanta integrasi (2.1.1) yaitu : e, a, τ, Ω, i dan ω. 2.7.2. Matriks Rotasi Tata Acuan Inersial ke Tata Acuan Bidang Orbit Matriks rotasi antara tata acuan inersial 1I dan tata acuan bidang orbit 1o dapat dilaksanakan dengan putaran Euler: kI kI

Ω

ko ko jn jo jI jI io

Ω

in iI iI

a) kondisi awal b) putaran Ω

74

kI kI ko ko i jm jo jm orbit jn pericenter jI jI

ω io in in iI iI

c) putaran i d) putaran ω

Gambar 2.7.2. Rotasi tata acuan inersial dengan bidang orbit a) pada kondisi awal 1I berimpit dengan 1o. Dengan demikian bidang orbit

berimpit dengan bidang ekuatorial inersial. b) Putar bidang orbit dengan sumbu putar kI dengan sudut putar Ω dan

kecepatan sudut Ω. Sudut dan kecepatan sudut putar keduanya positif.

Dengan putaran Ω ini tata acuan bidang orbit menjadi 1n = in, jn, knT

Dalam hal ini terjadi rotasi

(2.7.4) ⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

⎡ΩΩ−ΩΩ

=

=

1000cossin0sincos

manadi

11

In

IInn

R

R

jn . jI

Ω Ω iI in

Gambar 2.7.3a. Putaran Ω

75

c) Putar bidang orbit baru 1n dengan sumbu putar in dengan sudut putar i

positif dan kecepatan sudut i.

Dengan putaran i ini tata acuan bidang orbit menjadi 1m = im, jm, koT

Dalam hal ini terjadi rotasi

(2.7.5) ⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

−=

=

iiiiR

R

nm

nnmm

cossin0sincos0

001manadi

11

kI ko . i jm i jn

Gambar 2.7.3b. Putaran i d) Putar bidang orbit baru 1m dengan sumbu putar ko dengan sudut putar ω

positif dan kecepatan sudut ω.

Dengan putaran ω ini tata acuan bidang orbit menjadi 1o = io, jo, koT

Dalam hal ini terjadi rotasi

(2.7.6) ⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

⎡−=

=

1000cossin0sincos

manadi

11

ωωωω

mo

mmoo

R

R

76

jo . jm

ω ω in io

Gambar 2.7.3c. Putaran ω Dari ketiga rotasi Euler 3-1-3 ini maka transformasi rotasi antara tata acuan inersial 1I dengan tata acuan bidang orbit dapat diperoleh sebagai berikut:

In

nm

mo

Io

II

oo

RRRR

R

=

manadi

11

(2.7.7) Dari (2.7.4b), (2.7.5b) dan (2.7.6b) diperoleh

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

Ω−ΩΩ+Ω−Ω−Ω−Ω+ΩΩ−Ω

≡iii

iiiiii

R Io

cossincossinsincossincoscoscossinsincoscossinsincossinsincossincoscossincossinsincoscos

ωωωωωωωωωω

(2.7.8) Melalui transformasi ini seluruh variabel gerak r dan V lintas orbit dapat dinyatakan dalam tata acuan inersial. 2.7.3. Vektor Radius r dan Vektor Kecepatan V dalam Tata Acuan Inersial Vektor radius r dan kecepatan V dinyatakan dalam tata acuan bidang orbit telah diberikan. Dengan diketahuinya orientasi bidang orbit di ruang inersial, maka r dan V dapat dinyatakan pada tata acuan inersial.

77

a) Vektor Radius r Vektor r dinyatakan dalam tata acuan bidang orbit 1o adalah

o

ooo

rr

kjrirr

10sincosatau

0sincos

θθ

θθ

=

++=

(2.7.9) Dari (2.7.7)

II

oRrr 10sincos θθ=

(2.7.10) Dengan mengalikan ruas kanan diperoleh radius vektor r dalam tata acuan koordinat inersial:

⎪⎭

⎪⎬

⎪⎩

⎪⎨

⎧Ω+ΩΩ−Ω

ψψψψ

sinsinsincoscoscossinsinsincoscoscos

iii

rr

(2.7.11) di mana

ψ ≡ θ + ω (2.7.12)

Komponen r di atas adalah pada sumbu-sumbu xI, yI, dan zI. b) Vektor Kecepatan Orbit V Dari (2.4.2) vektor kecepatan V dapat ditulis :

orr kiViVV 0++= θθ

(2.7.13)

78

atau

TorV

Vr

kii

VVV

θ

θ

=

=

1

manadi

10

(2.7.14) Tata acuan 1v dapat dihubungkan dengan tata acuan 1o menurut putaran θ sebagai berikut

⎥⎥⎥

⎢⎢⎢

⎡−=

=

1000cossin0sincos

manadi

11

θθθθ

oV

oo

VV

R

R

(2.7.15) Yo iθ V ir r θ Xo

Gambar 2.7.4. Transformasi 1v ke 1o. Dengan demikian, vektor V dalam tata acuan inersial dapat ditulis sebagai

II

oo

Vr RRVVV 10θ=

(2.7.16)

79

Substitusi (2.4.4), (2.4.5) untuk Vr dan Vθ serta (2.7.15) untuk Rvo dan

(2.7.8) untuk RoI ke persamaan di atas memberikan

( )( ) ( )( ) ( )

( ) ⎪⎭

⎪⎬

⎪⎩

⎪⎨

+Ω++Ω+−Ω+−Ω+−

−=

ieieeiee

eaV

sincoscoscoscoscoscossinsinsincossincoscoscossinsin

1 2ωψ

ωψωψωψωψ

µ

(2.7.17) Ruas kanan adalah komponen V pada sumbu xI, yI, dan zI. 2.7.4. Vektor Radius r Dinyatakan dalam Tata Acuan Inersial Bola Dalam paragraf sebelumnya vektor r diberikan dalam tata acuan inersial rektangular. Pada penerapan astrodinamika praktis lazim dipakai koordinat bola dimana koordinat suatu titik dinyatakan dalam sudut-sudut bola dan radius vektor. a. Koordinat Bola Perhatikan gambar berikut. Untuk suatu koordinat inersial 1I dengan pusat planet penarik, koordinat bola dinyatakan oleh

δ

αδ

αδ

sin

sincos

coscos

rr

rr

rr

I

I

I

z

y

x

=

=

=

(2.7.18) di mana rxi, ryi, dan rzi adalah komponen r dalam tata acuan 1I rektangular.

80

ZI lintas orbit r δ α YI XI

Gambar 2.7.5. Kedudukan inersial satelit pada koordinat bola. Untuk koordinat bola secara umum

α disebut longituda (longitude) δ disebut latituda (latitude)

Khusus bila planet penariknya Bumi

α disebut asensio rekta (ascencio recta) δ disebut deklinasi (declination).

b. Vektor Radius r dalam Koordinat Bola Dari (2.7.18) diperoleh

Irr 1sinsincoscoscos δαδαδ=

(2.7.19) Dengan menyamakan persamaan di atas dengan (2.7.11) diperoleh hubungan sudut koordinat bola satelit dengan sudut-sudut parameter orbit berikut:

81

ψδψψαδψψαδ

sinsinsinsincoscoscossinsincossinsincoscoscoscoscos

iii

=Ω+Ω=Ω−Ω=

(2.7.20) Selanjutnya dalam Bab 3 akan dibahas pemakaian persamaan-persamaan di atas dalam manuver-manuver orbit operasional.