Upload
eekal-skeptis-fatturakhman
View
43
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
MAKALAH
Citation preview
ANATOMI FISIOLOGI SISTEM PERKEMIHAN
A. PENGERTIAN
Sistem perkemihan merupakan suatu sistem dimana terjdinya proses
penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang yang tidak dipergunakan
oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh. Zat-zat yang
tidak dipergunakan lagi oleh tubuh larut dalam air dan dikeluarkan berupa urin (air
kemih).
Sistem urinari terdiri dari:
1. Ginjal, yang mengeluarkan sakret urine
2. Ureter, yang mengeluarkan ginjal ke kandung kemih (bleader)
3. Kandung kemih, yang bekerja sebagai penampung
4. Uretra, yang mengeluarkan urine dari kandung kemih.
B. SUSUNAN SISTEM PERKEMIHAN
1. Ginjal
Fungsi Ginjal
1. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh
Kelebihan air dalam tubuh akan diekskresikan oleh ginjal sebagai urine yang
encer dalam jumlah besar. Kekuranngan air (kelebihan keringat)
menyebabkan urine yang diekskresi jumlahnya berkurang dan konsentrasinya
lebih pekat sehingga susunan dan volume cairan tubuh dapat dipertahankan
relatif normal.
2. Mengatur Keseimbangan osmotik dan keseimbangan ion.
Fungsi ini terjadi dalam plasma bila terdapat pemasukan dan pengeluaran yang
abnormal dari ion-ion.Akibat pemasukan garam yang berlebihan atau penyakit
pendarahan,diare,dan muntah-muntah,ginjal akan meningkatkan ekskresi ion-
ion yang penting mislnya:Na,K,Cl,Ca,dan fosfat.
3. Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh.
Tergantung apa yang dimakan,campuran makanan(mixed diet)akan
menghasilkan urine yang bersifat agak asam,Ph kurang dari 6.hal ini disebab
kan oleh hasil akhir metabolisme protein.Aspabila banyak makan sayur-
sayuran,Urine akan bersifat basa ,pH urine berfariasi antara 4,8-,8,2.Ginjal
menyekresi urine sesuai dengan perubahan Ph darah .
4. Ekskresi sisa-sisa hasil metabolisme (ureum,asam urat,dan kreatinin).
Bahan-bahan yang diekskresi okeh ginjal oleh ginjal antara lain zat
toksik,obat-obatan,hasil metabolisme hemoglobin ,dan bahan kimia
asing(pestisida).
5. Fungsi hormonal dan metabolisme
Ginjal menyekresi Hormon renin yang mempunyai penting dalam mengatur
tekanan darah (sistem renin-angiotensin-aldesteron) yaitu untuk memperoses
pembentukan sel darah merah (eritropoiesis). Disamping itu,ginjal juga
membentuk hormon dihidroksi kolekalsiferol (vitamin D aktif) yang
diperlukan untuk absorpsi ion kalsium diusus.
6. Pengaturan tekanan darah dan memproduksi enzim renin, angiotensin, dan
aldosteron yang berfungsi meningkatkan tekanan darah.
7. Pengeluaran zat beracun.
Ginjal mengeluarkan polutan, zat tambahan makanan, obat-obatan ,atau zat kimia
asing lain dari tubuh.
Peredaran Darah Ginjal
Ginjal mendapat darah dari aorta abdominalis yang mempunyai
percabangan arteria renalis, yang berpasangan kiri dan kanan dan bercabang
menjadi arteria interlobaris kemudian menjadi arteri akuata, arteria interlobularis
yang berada di tepi ginjal bercabang menjadi kapiler membentuk gumpalan yang
disebut dengan glomerolus dan dikelilingi leh alat yang disebut dengan simpai
bowman, didalamnya terjadi penyadangan pertama dan kapilerdarah yang
meninggalkan simpai bowman kemudian menjadi vena renalis masuk ke vena
kava inferior.
Persyarafan Ginjal
Ginjal mendapat persyarafan dari fleksus renalis (vasomotor) saraf ini
berfungsi untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam ginjal, saraf
inibarjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ke ginjal. Anak
ginjal (kelenjar suprarenal) terdapat di atas ginjal yang merupakan senuah
kelenjar buntu yang menghasilkan 2(dua) macam hormon yaitu hormone
adrenalin dan hormn kortison.
2. Nefron
Unit fungsional ginjal adalah nefron. Pada manusia setiap ginjal
mengandung 1-1,5 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan
fungsi yang sama.
Dapat dibedakan dua jenis nefron:
1. Nefron kortikalis yaitu nefron yang glomerulinya terletak pada bagian luar dari
korteks dengan lingkungan henle yang pendek dan tetap berada pada korteks
atau mengadakan penetrasi hanya sampai ke zona luar dari medula.
2. Nefron juxtamedullaris yaitu nefron yang glomerulinya terletak pada bagian
dalam dari korteks dekat dengan cortex-medulla dengan lengkung henle yang
panjang dan turun jauh ke dalam zona dalam dari medula, sebelum berbalik
dan kembali ke cortex.
Bagian-bagian nefron:
a. Glomerolus
Suatu jaringan kapiler berbentuk bola yang berasal dari arteriol afferent yang
kemudian bersatu menuju arteriol efferent, Berfungsi sebagai tempat filtrasi
sebagian air dan zat yang terlarut dari darah yang melewatinya.
b. Kapsula Bowman
Bagian dari tubulus yang melingkupi glomerolus untuk mengumpulkan cairan
yang difiltrasi oleh kapiler glomerolus.
c. Tubulus, terbagi menjadi 3 yaitu:
1. Tubulus proksimal
Tubulus proksimal berfungsi mengadakan reabsorbsi bahan-bahan dari cairan
tubuli dan mensekresikan bahan-bahan ke dalam cairan tubuli.
2.Lengkung Henle
Lengkung henle membentuk lengkungan tajam berbentuk U. Terdiri dari pars
descendens yaitu bagian yang menurun terbenam dari korteks ke medula, dan
pars ascendens yaitu bagian yang naik kembali ke korteks. Bagian bawah dari
lengkung henle mempunyai dinding yang sangat tipis sehingga disebut segmen
tipis, sedangkan bagian atas yang lebih tebal disebut segmen tebal.
Lengkung henle berfungsi reabsorbsi bahan-bahan dari cairan tubulus dan
sekresi bahan-bahan ke dalam cairan tubulus. Selain itu, berperan penting
dalam mekanisme konsentrasi dan dilusi urin.
3. Tubulus distal
Berfungsi dalam reabsorbsi dan sekresi zat-zat tertentu.
4. Duktus pengumpul (duktus kolektifus)
Satu duktus pengumpul mungkin menerima cairan dari delapan nefron yang
berlainan. Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medula untuk
mengosongkan cairan isinya (urin) ke dalam pelvis ginjal.
3. Tahap – Tahap Pembentukan Urine
a. Proses filtrasi
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti
kapiler tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat impermiabel
terhadap protein plasma yang besar dan cukup permeabel terhadap air dan
larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa
nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25%
dari curah jantung atau sekitar 1.200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma
atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula Bowman.
Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate).
Gerakan masuk ke kapsula Bowman disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal
dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula
Bowman, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah
filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula
Bowman serta tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya
dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas
dinding kapiler.
b. Proses reabsorpsi
Terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida,
fosfat dan beberapa ion karbonat. Prosesnya terjadi secara pasif yang dikenal
dengan obligator reabsorpsi terjadi pada tubulus atas. Sedangkan pada tubulus
ginjal bagian bawah terjadi kembali penyerapan dan sodium dan ion karbonat,
bila diperlukan akan diserap kembali kedalam tubulus bagian bawah,
penyerapannya terjadi secara aktif dikienal dengan reabsorpsi fakultatif dan
sisanya dialirkan pada pupila renalis
c. Augmentasi (Pengumpulan)
Proses ini terjadi dari sebagian tubulus kontortus distal sampai tubulus
pengumpul. Pada tubulus pengumpul masih terjadi penyerapan ion Na+, Cl-,
dan urea sehingga terbentuklah urine sesungguhnya. Dari tubulus pengumpul,
urine yang dibawa ke pelvis renalis lalu di bawa ke ureter. Dari ureter, urine
dialirkan menuju vesika urinaria (kandung kemih) yang merupakan tempat
penyimpanan urine sementara. Ketika kandung kemih sudah penuh, urine
dikeluarkan dari tubuh melalui uretra.
4. Proses Miksi (berkemih)
Miksi adalah proses pengosongan kandung kemih bila kandung kemih
terisi. Proses ini terjadi dari dua langkah utama yaitu :
Kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya
meningkat diatas nilai ambang, yang kemudian mencetuskan langkah kedua
Timbul refleks saraf yang disebut refleks miksi (refleks berkemih) yang berusaha
mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal, setidak-tidaknya menimbulkan
kesadaran akan keinginan untuk berkemih. Meskipun refleks miksi adalah refleks
autonomik medula spinalis, refleks ini bisa juga dihambat atau ditimbulkan oleh
pusat korteks serebri atau batang otak.
5. Urine (Air Kemih)
1. Sifat – sifat air kemih
Jumlah eksresi dalam 24 jam ± 1.500 cc tergantung dari masuknya (intake)
cairan serta faktor lainnya.
Warna bening muda dan bila dibiarkan akan menjadi keruh.
Warna kuning terantung dari kepekatan, diet obat – obatan dan sebagainya.
Bau khas air kemih bila dibiarkan terlalu lama maka akan berbau amoniak.
Berat jenis 1.015 – 1.020.
Reaksi asam bila terlalu lama akan menjadi alkalis, tergantung pada diet
(sayur menyebabkan reaksi alkalis dan protein memberi reaksi asam).
2. Komposisi air kemih
Air kemih terdiri dari kira – kira 95 % air.
Zat – zat sisa nitrogen dari hasil metabolisme protein asam urea, amoniak
dan kreatinin.
Elektrolit, natrium, kalsium, NH3, bikarbonat, fosfat dan sulfat.
Pigmen (bilirubin, urobilin).
Toksin
Hormon
3. Mekanisme Pembentukan Urine
Dari sekitar 1200ml darah yang melalui glomerolus setiap menit terbentuk 120
– 125ml filtrat (cairan yang telah melewati celah filtrasi). Setiap harinya dapat
terbentuk 150 – 180L filtart. Namun dari jumlah ini hanya sekitar 1% (1,5 L)
yang akhirnya keluar sebagai kemih, dan sebagian diserap kembali.
4. Mikturisi
Peristiwa penggabungan urine yang mengalir melui ureter ke dalam kandung
kemih., keinginan untuk buang air kecil disebabkan penanbahan tekanan di
dalam kandung kemih dimana saebelumnmya telah ada 170 – 23 ml urine.
Miktruisi merupakan gerak reflek yang dapat dikendalikan dan dapat ditahan
oleh pusat – pusat persyarafan yang lebih tinggi dari manusia, gerakannya oleh
kontraksi otot abdominal yang menekan kandung kemih membantu
mengosongkannya.
5. Ciri – ciri Urine Normal
Rata – rata dalam satu hari 1 – 2 liter, tapi berbeda – beda sesuai dengan
jumlah cairan yang masuk. Warnanya bening oranye pucat tanpa endapan,
baunya tajam, reaksinya sedikit asam terhadap lakmus dengan pH rata – rata 6.
6. Volume urin
Banyak sekali faktor yang mempengaruhi volume urin seperti umur, berat
badan, jenis kelamin, makanan dan minuman, suhu badan, iklim dan aktivitas
orang yang bersangkutan. Rata-rata didaerah tropik volume urin dalam 24 jam
antara 800--1300 ml untuk orang dewasa. Bila didapatkan volume urin selama
24 jam lebih dari 2000 ml maka keadaan itu disebut poliuri. Poliuri ini
mungkin terjadi pada keadaan fisiologik seperti pemasukan cairan yang
berlebihan, nervositas, minuman yang mempunyai efek diuretika. Selain itu
poliuri dapat pula disebabkan oleh perubahan patologik seperti diabetes
mellitus, diabetes insipidus, hipertensi, pengeluaran cairan dari edema. Bila
volume urin selama 24 jam 300--750 ml maka keadaan ini dikatakan oliguri.
6. Faktor yang Mempengaruhi Produksi Urin
Jumlah urin primer yang terbentuk setiap hari kurang lebih 150 – 170 liter.
Meski demikian hanya 1 – 1,5 liter urin yang dikeluarkan. Banyak sedikitnya
jumlah urin yang dikeluarkan setiap hari di pengauhi tiga faktor, yaitu:
1) Air yang Dikonsumsi
Jika seseorang banyak minum air maka kosentrasi protein darah akan turun.
Darah menjadi terlalu encer, sehingga sekresi ADH terhalang. Maka
penyerapan air oleh dinding tubulus kurang efektif, sehingga, terbentuk urin
yang banyak.
2) Hormon Anti Diuretik
Hormon ini dihasilkan kelenjar hipofisis bagian posterior.
Sekresi ADH dikendalikan oleh konsentrasi air dalam darah.Hormon
antidiuretik mempengaruhi proses penyerapan air oleh dinding tubulus. Bila
sekresi ADH banyak, penyerapan air oleh dinding tubulus akan meningkat,
sehingga urin yang terbentuk sedikit. Sebaliknya jika sekresi ADH kurang,
maka penyerapan air oleh dinding tubulus menurun, sehingga dihasilkan
banyak urin.
3) Suhu
Ketika suhu panas atau banyak mengeluarkan keringat, konsentrasi air dalam
darah turun mengakibatkan sekresi ADH meningkat sehingga urin yang di
hasilkan sedikit. Sebaliknya jika suhu udara dingin konsentrasi air dalam darah
naik sehingga menghalangi sekresi ADH maka produksi urin banyak.
7. Konsentrasi Urine dan Mekanisme Pengenceran
Volume Urine, volume urine yang dihasilkan setiap hari bervariasi dari 600 ml
sampai 2.500 ml lebih.
1. Jika volume urine tinggi, zat buangan diekskresi dalam larutan encer,
hipotonik (hipoosmotik) terhadap plasma. Berat jenis urine mendekati berat
jenis air (sekitar 1.003).
2. Jika tubuh perlu menahan air, maka urine yang dihasilkan kental sehingga
volume urin yang sedikit tetap mengandung jumlah zat buangan yang sama
yang harus dikeluarkan. Konsentrasi zat terlarut lebih besar.urine hipertonik
(hiperosmotik) terhadap plasma,dan berat jenis urine lebih tinggi (diatas
1,030).
Pengaturan volume urine. Produksi urine kental yang sedikit atau urine encer
yang lebih banyak diatur melalui mekanisme hormon dan mekanisme
pengkomsentrasian urine ginjal.
Mekanisme hormonal
a. Antidiuretik hormon (ADH) meningkatkan permebilitas tubulus kontortus
dan distal tubulus pengumpul terhadap air sehingga mengakibatkan terjadinya
reabsorpsi dan volume urine yang sedikit.
(1) Sisi sintesis dan sekresi. ADH disentesin oleh badan sel saraf dalam
nukleus supraoptik hipotalamus dan disimpan dalam serabut saraf hipositis
posterior, ADH kemudian dilepas sesuai implus yang sampai serabut saraf.
(2) Stimulus pada sekresi ADH
(a) Osmotik
(i) Neuron hipotalamus adalah osmoreseptor dan sensitif terhadap
perubahan konsentrasi ion natrium. Serta zat terlarut lain dalam
cairan intrasalular yang menyelubunginya.
(ii) peningkatan osmolaritas plasma, seperti yang terjadi saat dehidrasi,
menstimulasi osmoreseptor untuk mengirim impuls ke kelenjar
hipofisis posterior agar melepas ADH. Air diabsorbsi kembali dari
tubulus ginjal sehingga dihasilkan urine kental dengan volume
sedikit.
(iii) Penurunan osmoloritas plasma mengakibatkan berkurangnya ekskresi
ADH, berkurangnya reabsorpsi air dari ginjal, dan produksi urine
encer yang banyak.
(b) Volume dan tekanan darah. Baroseptor dalam pembuluh darah (di vena,
atrium kanan dan kiri, pembuluh pulmonar, sinus karotid dan lengkung
aorta) memantau volume darah meningkatkan sekresi ADH; peningkatan
volume dan tekanan darah menurunkan sekresi ADH.
(c) Faktor lain. Nyeri, kecemasan, olahraga, analgesik narkotik, dan barbitut
meningkatkan sekresi ADH. Alkohol menurunkan ADH.
b. Aldosteron adalah hormon steroid yang sekresi oleh sel-sel korteks kelenjar
adrenal. Hormon ini bekerja pada tubulus distal dan duktus pengumpul untuk
meningkatkan absorpsi aktif ion natrium dan sekresi aktif ion kalium.
Mekanisme renin-angiostensin-aldosteron, yang meningkatkan retensi air dan
garam.
Sistem arus bolak-balik dalam ansa Henle dan vasa rekta memungkinkan
terjadinya reabsorpsi osmotik air dari tubulus dan duktus pengumpul ke dalam
cairan interstisial medularis yang lebih kental di bawah pengaruh ADH.
Reabsorpsi air memungkinkan tubuh untuk menahan air sehingga urine yang
diekskresi lebih kental dibandingkan cairan tubuh normal.
8. Pengisian dan Pengosongan Vesika Urinaria
Dinding ureter mengandung otot polos yg tersusun dalam berkas spiral
longitudinal dan sirkuler,lapisan otot yang tidak telihat.kontraksi peristaltic teratur
dri 1-5 kali/menit dan mnggerakkan urine dari pelvis renalis ke vesika urinaria,
disemprotkan setiap gelobang peistaltik.ureter berjalan miring melalui dinding
vesika urinari untuk menjaga ureter tertutup, kecuali selama gelombang
peristalktik dan mencegah urine tidak kembali ke ureter.
Apabila vesika urinaria terisi penuh, permukaan superior membesar dan
menonjol keatas masuk ke dalam rongga abdomen . Peritoneum menutupi bagian
bawah dinding anterior kolom vesika urinaria yang terletak di bawah vesika
urinaria dan permukaan atas prostat . Serabut otot polos prostat kolum vesika
urinaria dilanjutkan sebagai serabut otot polos prostat. Kolum vesika urinaria
yang dipertahankan pada tempatnya pada pria oleh ligamentum pubovsikalis yang
merupakan penebalan fasia pelvis.
Membran mukosa vesika urinaria dalam keadaan kosong berlipat-lipat.
Lipatan ini menghilang apabila vesika urinaria terisi penuh. Daerah membran
mukosa meliputi permukaan dalam basis vesika urinaria yang dinamakan
trigonum. Vesika uriter menembus dinding vesika urinaria secara miring,
membuat seperti katup untuk mencegah aliran balik urine ke ginjal pada waktu
vesika urinaria terisi.
Kontraksi otot m. detrusor bertanggung jawab pada pengosongan vesika
urinaria selama berkemih (mikturisi), berkas otot berjalan pada sisi uretra. Serabut
ini dinamakan sfinger uretra interna. Sepanjang uretra terdapat sfinger uretra
membranosa. Epitel vesika urinaria dibentuk dari lapisan superfisialis sel kuboid.
Urin mengalir dari duktus koligentes masuk ke kalik renalis meregangkan
kaliks renalis dan meningkatkan aktivitasnya yang kemudian mencentuskan
kontraksi peristaltik yang menyebar ke pelvis renalis kemudian turun sepanjang
ureter. Dengan demikian mendorong urin dari pelvis renalis ke arah kandung
kemih.
Dinding ureter terdiri dari otot polos dan dipersarafi oleh saraf simpatis.
Kontraksi peristaltic pada ureter ditingkatkan oleh perangsangan parasimpatis dan
dihambat oleh perangsangan simpatis. Ureter memasuki kandung kemih
menembus otot detrusor di daerah trigonum kandung kemih sepanjang beberapa
senti menter menembus dinding kandung kemih. Tonus normal dari otot detrusor
pada dinding kandung kemih cenderung menekan ureter dengan demikian
mencegah aliran balik urin dari kandung kemih sewaktu terjadi kompresi kandung
kemih.
Setiap gelombang peristaltic terjadi sepanjang ureter akan meningkatkan
tekanan dalam ureter sehingga bagian yang menembus dinding kandung kemih
membuka dan memberikan kesempatan urin mengalir ke dalam kandung kemih.
9. Refleks Berkemih
Refleks berkemih adalah refleks medula spinalis yang seluruhnya bersifat
automatik, tetapi dapat dihambat atau dirangsang oleh pusat dalam otak. tetapi
dapat dihambat atau dirangsang oleh pusat dalam otak. Pusat ini antara lain:
1. Pusat perangsang dan penghambat kuat dalam batang otak terletak di pons
varoli.
2. Beberapa pusat yang terletak di korteks serebral terutama bekerja sebagai
penghambat tetapi dapat menjadi perangsang. Refleks berkemih merupakan
dasar penyebab terjadinya berkemih, tetapi pusat yang lebih tinggi normalnya
memegang peranan.
Sinyal sensorik dari reseptor kandung kemih dihantarkan ke segmen sakral
medula spinalis melalui nervus pelvikus kemudian secara refleks kembali lagi ke
kandung kemih melalui saraf simpatis. Ketika kandung kemih terisi
sebagian,kontraksi berkemih biasanya secara spontan berelaksi. Setelah beberapa
detik otot detrusor berhenti berkontraksi dan tekanan turun kembali ke garis basal.
Karena kandung kemih terus terisi,refleks berkemih menjadi bertambah seringdan
menyebabkan kontraksi otot detrusor lebih kuat.
Pada saat berkemih,menjadi cukup kuat menimbulkan refleks lain yang
berjalan melalui nervus pudendal ke sfinger eksternus untuk menghambatnya.
Jika inhibisi ini lebih kuat dalam otak daripada sinyal konstriktor volunter ke
sfinger eksterna, berkemih pun akan terjadi. Jika berkemih tidak terjadi, kandung
kemih terisi lagi dan refleks berkemih menjadi semakin kuat.
Berkemih di bawah keinginan tercetus dengan cara seseorang secara sadar
mengonsentrasikan otot-otot abdomennya yang meningkatkan tekanan dalam
kandung kemih, mengakibatkan urin ekstra memasuki kandung kemih sehingga
meregangkan dinding kandung kemih. Hal ini menstimulasi reseptor regang dan
merangsang refleks berkemih, serta menghambat sfinger eksternus uretra secara
simultan, biasanya seluruh urin akan keluar dalam keadaan normal.
Peristiwa pembuangan urin yang mengalir melalui ureter ke dalam
kandung kemih, menimbulkan keinginan untuk berkemih akibat dari penambahan
tekanan di dalam kandung kemih, yang sudah ada 170-230 ml urine.
GANGGUAN PADA SISTEM PERKEMIHANPERITONITIS
A. DEFINISI
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan pembungkus
visera dalam rongga perut.
Peritoneum adalah lapisan tunggal dari sel-sel mesoepitelial diatas dasar
fibroelastik. Terbagi menjadi bagian viseral, yang menutupi usus dan mesenterium;
dan bagian parietal yang melapisi dinding abdomen dan berhubungan dengan fasia
muskularis.
Peritoneum viserale yang menyelimuti organ perut dipersarafi oleh sistem
saraf autonom dan tidak peka terhadap rabaan atau pemotongan. Dengan demikian
sayatan atau penjahitan pada usus dapat dilakukan tanpa dirasakan oleh pasien. Akan
tetapi bila dilakukan tarikan atau regangan organ, atau terjadi kontraksi yang
berlebihan pada otot yang menyebabkan iskemia misalnya pada kolik atau radang
seperti apendisitis, maka akan timbul nyeri. Pasien yang merasaka nyeri viseral
biasanya tidak dapat menunjuk dengan tepat letak nyeri sehingga biasanya ia
menggunakan seluruh telapak tangannya untuk menujuk daerah yang nyeri.
Peritoneum parietale dipersarafi oleh saraf tepi, sehingga nyeri dapat timbul
karena adanya rangsang yang berupa rabaan, tekanan, atau proses radang. Nyeri
dirasakan seperti seperti ditusuk atau disayat, dan pasien dapat menunjukkan dengan
tepat lokasi nyeri.
Area permukaan total peritoneum sekitar 2 meter, dan aktivitasnya konsisten
dengan suatu membran semi permeabel. Cairan dan elektrolit kecil dapat bergerak
kedua arah.
Organ-organ yang terdapat di cavum peritoneum yaitu gaster, hepar, vesica
fellea, lien, ileum, jejenum, kolon transversum, kolon sigmoid, sekum, dan appendix
(intraperitoneum); pankreas, duodenum, kolon ascenden & descenden, ginjal dan
ureter (retroperitoneum).
B. KLASIFIKASI
Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Peritonitis bakterial primer.
Merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial secara hematogen pada cavum
peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam abdomen. Penyebabnya
bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Streptococus atau Pneumococus. Faktor
resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan
intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal
kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
2) Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa)
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractus gastrointestinal
atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan
peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat
terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat
memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.
Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu
peritonitis.
3) Peritonitis non bakterial akut
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya
empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.
4) Peritonitis bakterial kronik (tuberkulosa)
Secara primer dapat terjadi karena penyebaran dari fokus di paru, intestinal atau
tractus urinarius.
5) Peritonitis non bakterial kronik (granulomatosa)
Peritoneum dapat bereaksi terhadap penyebab tertentu melaluii pembentukkan
granuloma, dan sering menimbulkan adhesi padat. Peritonitis granulomatosa
kronik dapat terjadi karena talk (magnesium silicate) atau tepung yang terdapat
disarung tangan dokter. Menyeka sarung tangan sebelum insisi, akan mengurangi
masalah ini.
C. ANATOMI
Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks.
Dibagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada iga,
dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari berbagai
lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub kutis, lemak
sub kutan dan facies superfisial ( facies skarpa ), kemudian ketiga otot dinding perut
m. obliquus abdominis eksterna, m. obliquus abdominis internus dan m. transversum
abdominis, dan akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu fascia
transversalis, lemak preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri
dari sepasang otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah
dipisahkan oleh linea alba.
Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial.
Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom.
Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron
didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus
saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium.
Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis
kanan kiri saling menempel dan membentuk suatu lembar rangkap yang disebut
duplikatura. Dengan demikian baik di ventral maupun dorsal usus terdapat suatu
duplikatura. Duplikatura ini menghubungkan usus dengan dinding ventral dan
dinding dorsal perut dan dapat dipandang sebagai suatu alat penggantung usus yang
disebut mesenterium. Mesenterium dibedakan menjadi mesenterium ventrale dan
mesenterium dorsale. Mesenterium vebtrale yang terdapat pada sebelah kaudal pars
superior duodeni kemudian menghilang. Lembaran kiri dan kanan mesenterium
ventrale yang masih tetap ada, bersatu pada tepi kaudalnya. Mesenterium setinggi
ventrikulus disebut mesogastrium ventrale dan mesogastrium dorsale. Pada waktu
perkembangan dan pertumbuhan, ventriculus dan usus mengalami pemutaran. Usus
atau enteron pada suatu tempat berhubungan dengan umbilicus dan saccus vitellinus.
Hubungan ini membentuk pipa yang disebut ductus omphaloentericus.
Usus tumbuh lebih cepat dari rongga sehingga usus terpaksa berbelok-belok
dan terjadi jirat-jirat. Jirat usus akibat usus berputar ke kanan sebesar 270 ° dengan
aksis ductus omphaloentericus dan a. mesenterica superior masing-masing pada
dinding ventral dan dinding dorsal perut. Setelah ductus omphaloentericus
menghilang, jirat usus ini jatuh kebawah dan bersama mesenterium dorsale
mendekati peritonium parietale. Karena jirat usus berputar bagian usus disebelah oral
(kranial) jirat berpindah ke kanan dan bagian disebelah anal (kaudal) berpindah ke
kiri dan keduanya mendekati peritoneum parietale.
Pada tempat-tempat peritoneum viscerale dan mesenterium dorsale
mendekati peritoneum dorsale, terjadi perlekatan. Tetapi, tidak semua tempat terjadi
perlekatan. Akibat perlekatan ini, ada bagian-bagian usus yang tidak mempunyai
alat-alat penggantung lagi, dan sekarang terletak disebelah dorsal peritonium
sehingga disebut retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih mempunyai alat
penggantung terletak di dalam rongga yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum
parietale, disebut terletak intraperitoneal. Rongga tersebut disebut cavum peritonei..
dengan demikian:
Duodenum terletak retroperitoneal;
Jejenum dan ileum terletak intraperitoneal dengan alat penggantung mesenterium;
Colon ascendens dan colon descendens terletak retroperitoneal;
Colon transversum terletak intraperitoneal dan mempunyai alat penggantung
disebut mesocolon transversum;
Colon sigmoideum terletak intraperitoneal dengan alat penggatung
mesosigmoideum; cecum terletak intraperitoneal;
Processus vermiformis terletak intraperitoneal dengan alat penggantung
mesenterium.
Di berbagai tempat, perlekatan peritoneum viscerale atau mesenterium pada
peritoneum parietale tidak sempurna, sehingga terjadi cekungan-cekungan di antara
usus (yang diliputi oleh peritoneum viscerale) dan peritoneum parietale atau diantara
mesenterium dan peritoneum parietale yang dibatasi lipatan-lipatan. Lipatan-lipatan
dapat juga terjadi karena di dalamnya berjalan pembuluh darah. Dengan demikian di
flexura duodenojejenalis terdapat plica duodenalis superior yang membatasi recessus
duodenalis superior dan plica duodenalis inferior yang membatasi resesus duodenalis
inferior.
Pada colon descendens terdapat recessus paracolici. Pada colon sigmoideum
terdapat recessus intersigmoideum di antara peritoneum parietale dan
mesosigmoideum.
Stratum circulare coli melipat-lipat sehingga terjadi plica semilunaris.
Peritoneum yang menutupi colon melipat-lipat keluar diisi oleh lemak sehingga
terjadi bangunan yang disebut appendices epiploicae.
Dataran peritoneum yang dilapisis mesotelium, licin dan bertambah licin
karena peritoneum mengeluiarkan sedikit cairan. Dengan demikian peritoneum dapat
disamakan dengan stratum synoviale di persendian. Peritoneum yang licin ini
memudahkan pergerakan alat-alat intra peritoneal satu terhadap yang lain. Kadang-
kadang , pemuntaran ventriculus dan jirat usus berlangsung ke arah yang lain.
Akibatnya alat-alat yang seharusnya disebelah kanan terletak disebelah kiri atau
sebaliknya. Keadaan demikian disebut situs inversus.
D. ETIOLOGI
Peritonitis dapat disebabkan oleh kelainan di dalam abdomen berupa
inflamasi dan penyulitnya misalnya perforasi appendisitis, perforasi tukak lambung,
perforasi tifus abdominalis. Ileus obstruktif dan perdarahan oleh karena perforasi
organ berongga karena trauma abdomen.
(1) Masuknya bakteri ke dalam rongga peritonium pada saluran makanan yang
mengalami perforasi / dari luka penetrasi eksternal
(2) Keluarnya enzim pangkreas, asam lambung/ empedu sebagai akibat cedera /
perforasi usus
(3) Peritonitis steril ditemukan pada pasien dengan SLE, demam mediterian familial
selama timbulnya serangan penyakit
(4) Pemasangan benda asing ke dalam rongga peritonium
E. PATOFISOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya
eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi
dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi
usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa
ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba
untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi
ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Pathway Peritonitis
Infeksi organisme yang ada dalam colon, stafilococcus dan streptococcus¯
Invasi oleh bakteri¯
Keluarnya exudat fibrosa, kantong-kantong anatilesBentuk antara perlekatan fibrinosa
¯Infeksi tersebar luar pada permukaan peritonium
¯Peritonitis umum
¯Aktivitas peristaltik berkurang
¯Ilius paralitik
¯Usus menjadi atoni dan meregang, cairan dan elektrolit tulang dehidrasi shock, oliguria,
gangguan sirkulasi¯
Perlekatan terbentuk antara lekung usus yang meregang¯
Gangguan pergerakan usus¯
Obstruksi usus
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler
organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan
lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding
abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia
bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit
dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau
bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan
peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen
usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan
dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat
mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
F. MANIFESTASI KLINIS
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda –
tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan
defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah
diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara
usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan
terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok.
Rangsangan ini menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan
pergeseran peritonium dengan peritonium. Nyeri subjektif berupa nyeri waktu
penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif
berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes
lainnya.
G. DIAGNOSIS
Diagnosis dari peritonitis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran klinis,
pemeriksaan laboratorium dan X-Ray.
1. Gambaran klinis
Gambaran klinisnya tergantung pada luas peritonitis, berat peritonitis dan jenis
organisme yang bertanggung jawab. Peritonitis dapat lokal, menyebar, atau
umum. Gambaran klinis yang biasa terjadi pada peritonitis bakterial primer yaitu
adanya nyeri abdomen, demam, nyeri lepas tekan dan bising usus yang menurun
atau menghilang. Sedangkan gambaran klinis pada peritonitis bakterial sekunder
yaitu adanya nyeri abdominal yang akut. Nyeri ini tiba-tiba, hebat, dan pada
penderita perforasi (misal perforasi ulkus), nyerinya menjadi menyebar keseluruh
bagian abdomen. Pada keadaan lain (misal apendisitis), nyerinya mula-mula
dikarenakan penyebab utamanya, dan kemudian menyebar secara gradual dari
fokus infeksi. Selain nyeri, pasien biasanya menunjukkan gejala dan tanda lain
yaitu nausea, vomitus, syok (hipovolemik, septik, dan neurogenik), demam,
distensi abdominal, nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus atau
umum, dan secara klasik bising usus melemah atau menghilang. Gambaran klinis
untuk peritonitis non bakterial akut sama dengan peritonitis bakterial.
Peritonitis bakterial kronik (tuberculous) memberikan gambaran klinis adanya
keringat malam, kelemahan, penurunan berat badan, dan distensi abdominal;
sedang peritonitis granulomatosa menunjukkan gambaran klinis nyeri abdomen
yang hebat, demam dan adanya tanda-tanda peritonitis lain yang muncul 2
minggu pasca bedah.
2. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya lekositosis, hematokrit yang
meningkat dan asidosis metabolik.
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih
dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan
kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan
granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil
pembiakan didapat.
3. Pemeriksaan X-Ray
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan usus
besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi.
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan
dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan
foto polos abdomen 3 posisi, yaitu: (rasad)
Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior (AP ).
Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal,
proyeksi AP.
Gambaran radiologis pada peritonitis secara umum yaitu adanya kekaburan pada
cavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara
bebas subdiafragma atau intra peritoneal.
H. PENATALAKSANAAN MEDIS
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi
saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus
septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan
nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi dengan larutan saline isotonik sangat penting. Pengembalian
volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi,
dan mekanisme pertahanan. Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah
harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri
dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian diubah
jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme
mana yang dicurigai menjadi penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga
merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat
pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan
operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang
menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup. Jika
peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi. Tehnik operasi yang
digunakan untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat
patologis dari saluran gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang
terus menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus
yang perforasi.
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan
menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi
ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal
sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila
peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena
tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa
drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat
menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan
dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan
untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
(chushieri)
1. Komplikasi dini
Septikemia dan syok septic
Syok hipovolemik
Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multi system
Abses residual intraperitoneal
Portal Pyemia (misal abses hepar)
2. Komplikasi lanjut
Adhesi
Obstruksi intestinal rekuren
ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN GLOMEROLUNEFRITIS
A. PENGKAJIAN
1) Biodata
Terjadi pada pasien dengan syndrome nefrotik atau sirosis hepatis, lebih banyak
terdapat pada perempuan dari pada laki-laki
2) Keluhan Utama
Nyeri tekan pada perut
3) Riwayak Kesehatan
a) Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri tekan perut, lemas, terdapat dehidrasi dan tanda-tanda peritonitis seperti
kejang abdomen, bunyi usus menghilang / berkurang
b) Riwayat Penyakit Dahulu
Adanya riwayat appendixitis, devertikulitis, salpingitis, pangkreatitis, dan
sebagainya.
c) Riwayat Penyakit Keluarga
Adakah anggota keluarga yang pernah menderita peritonitis
4) ADL (Activity Daily Life)
a) Nutrisi : Nafsu makan menurun karena pasien mual / muntah
b) Eliminasi : Ketidakmampuan defekasi dan flatus, diare (kadang)
c) Istirahat : Terganggu karena nyeri
d) Aktivitas : Terganggu karena pasien lemas
e) Personal hygiene : Kemungkinan terjadi penurunan kebersihan diri akibat
penurunan aktivitas sebagai dampak dari kelemahan
5) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum : Lemah
b) Wajah : Pucat
c) Hidung : Nafas dangkal, takipnea
d) Mulut : Membran mukosa kering, lidah bengkak, cegukan
e) Abdomen : Terdapat nyeri tekan, kejang, bunyi usus menghilang /
berkurang
f) Ekstermitas : Akral dingin, turgor kulit menurun
6) Pemeriksaan Penunjang
a) Protein / albumin serum : menurun karena perpindahan cairan
b) Amilase : meningkat
c) Elektrolit serum : hipokalemia
d) SDL : SDP meningkat, kadang laebih dari 20.000
e) SDM : meningkat menunjukkan hemokonsentrasi
f) GDA : alkalosis
g) Kultur : Organisme penyebab mungkin terindentifikasi dari
darah, exudat darah
h) Pemeriksaan foto abdominal : dapat menyebabkan distensi usus / ileum bila
perforasi viseral sebagai etiologi, udara bebas ditemukan pada adomen
i) Foto dada : menyatakan peninggian diafragma. (Marilynnn
Doengoes,dkk, 1999: 514)
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Nyeri berhubungan dengan terputusnya incontinuitas jaringan
2) Perubahan eliminasi usus berhubungan dengan manipulasi operasi, imobilitas,
gangguan masukan nutrisi
3) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status puasa,
penghisap selang nasogastrik
4) Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan risiko peningkatan
kehilangan cairan melalui penghisap lambung
5) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang
perawatan di rumah dan perawatan tindak lanjut
C. INTERVENSI DAN RASIONALISASI
Dx. Kep. I
Tujuan: Rasa nyaman dapat dipertahankan
Kriteria hasil:
1) Melaporkan tingkat rasa nyaman yang dapat ditoleransi
2) Memperlihatkan lebih relaks
Intervensi:
Pertahankan tirah baring dalam ruangan yang tenang
Rasionalisasi:
Tirah baring mengurangi penggunaan energi dan membantu mengontrol nyeri
Pantau lokasi, karakteristik dan intensitas nyeri (skala 0-10)
Rasionalisasi:
Sediakan informasi mengenai kebutuhan / efektifitas intervensi
Kaji tanda-tanda vital, perhatikan takikardi, hipertensi dan peningkatan
pernafasan
Rasionalisasi:
Dapat mengindikasikan rasa sakit akut dan ketidaknyamanan
Dorong penggunaan teknik relaksasi misalnya latihan nafas dalam dan teknik
distraksi
Rasionalisasi:
Teknik relaksasi dan distraksi membantu melonggarkan ketegangan syaraf yang
mempengaruhi rasa nyeri dan klien merasa nyaman
Kolaborasi pemberian analgesik
Rasionalisasi:
Mengurangi rasa nyeri memblok sinyal pada tempat masuknya ke dalam medula
spinalis dan memblok sebagian reflek medula spinalis yang timbul akibat
rangsangan sakit
Dx. Kep. II
Tujuan: Eliminasi kembali normal
Kriteria hasil:
1) Pasien mengerti faktor-faktor penyebab gangguan eliminasi
2) Defekasi dengan feses lunak dan berbentuk
Intervensi:
Kaji kebiasaan usus pra operasi dan masukan nutrisi : jelaskan penyebab
gangguan
Rasionalisasi:
Klien dan keluarga kooperatif dalam tindakan
Auskultasi abdomen untuk mendengar kembalinya bising usus setiap 8 jam
Rasionalisasi:
Untuk mengetahui kemajuan fungsi normal usus
Observasi defekasi pertama pasca operasi, kaji warna, konsistensi, jumlah dan
frekuensi
Rasionalisasi:
Mengetahui kemajuan fungsi normal usus
Pertahankan agar area perianal bersih dan kering
Rasionalisasi:
Mencegah terjadinya infeksi
Peragakan dan ajarkan irigasi ostomi serta memasang aplikasinya bila ada
Rasionalisasi:
Menambah pengetahuan klien dan keluarga tentang perawatan ostomi dengan
benar
Dx. Kep. III
Tujuan: Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil:
1) Mempertahankan berat badan yang normal
2) Mentoleransi diet tanpa rasa tak nyaman
Intervensi:
Pantau masukan dan haluaran sampai adekuat sesuai umur dan berat badan
Rasionalisasi:
Membantu menciptakan rencana perawatan / pilihan intervensi
Timbang berat badan saat masuk dan secara reguler
Rasionalisasi:
Memantau status nutrisi dan efektivitas intervensi
Berikan makanan porsi sedikit tapi sering
Rasionalisasi:
Membantu untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan pemasukan
Kolaborasi dengan dokter, ahli, gizi
Rasionalisasi:
Menambahkan dalam menetapkan program nutrisi spesifik untuk memenuhi
kebutuhan individual pasien
Dx. Kep. IV
Tujuan: Kebutuhan cairan terpenuhi
Kriteria hasil:
1) Menunjukkan tanda vital stabil
2) Masukan dan haluaran seimbang
3) Hidrasi adekuat yang dibuktikan oleh turgor kulit yang normal
Intervensi:
Monitor intake dan output, membran mukosa, turgor kulit dan Bj urine serta
serum elektrolit
Rasionalisasi:
Mengidentifikasi keseimbangan cairand an elektrolit dalam tubuh dengan
mengobservasi tanda-tanda kurang cairan, sehingga gangguan kesembangan
cairan dapat dihindari
Observasi tanda-tanda vital setiap 2 – 4 jam
Rasionalisasi:
Perubahan suhu tubuh dan peningkatan nadi merupakan salah satu tanda terjadi
dehidrasi
Berikan cairan parenteral sesuai dengan petunjuk
Rasionalisasi:
Mengganti kehilangan cairan yang telah didokumentasikan
Dx. Kep. V
Tujuan: Klien dan keluarga mengerti dan dapat menjelaskan tentang perawatan
Kriteria hasil:
1) Mengungkapkan pengertian tentang aturan diet
2) Memperagakan perawatan ostoi yang adekuat
3) Mengexpresikan pengertian tentang aktivitas yang diperbolehkan
Intervensi:
Jelaskan pada klien dan keluarga tentang perawatan ostomi
Rasionalisasi:
Membantu mengidentifikasi kesalahpahaman
Demonstrasikan penggantian balutan, perawatan luka, teknik aseptik
Rasionalisasi:
Menambah pengetahuan klien dan keluarga tentang perawatan dengan benar
Diskusikan aktivitas yang diperbolehkan, pentingnya istirahat dan aktivitas
ringan
Rasionalisasi:
Dengan aktivitas yang berlebihan maka akan terjadi komplikasi yang lebih
parah
DAFTAR PUSTAKA
Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Gawat Abdomen, dalam Buku ajar Ilmu Bedah; 221-239, EGC, Jakarta.
Way. L. W., 1998, Peritoneal Cavity in Current Surgical Diagnosis & Treatment, 7th Ed., Maruzen, USA.
Wilson. L. M., Lester. L .B., 1995, Usus kecil dalam Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed.4, alih bahasa dr. Peter Anugrah, EGC, Jakarta.
Schrock. T. R., 2000, Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu Bedah, Ed.7, alih bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.
Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I, 1999, Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik, p 256-257, Gaya Baru, jakarta.
Putz.R., Pabst.R., 1997, Sobotta, Atlas Anatomi Manusia, EGC, Jakarta
Hoyt. D. B., Mackersie. R. C., 1988, Abdominal Injuries in Essential Surgical Practice, 2nd Ed, John Wright, Bristol.
Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997, Dinding Perut, dalam Buku ajar Ilmu Bedah; 696, EGC, Jakarta.
Anonim, 2002, Abdomen, Bagian Anatomi FK UGM, Yogyakarta
Darmawan. M., 1995, Peritonitis dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, FKUI, Jakarta