91
AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR KARYA IMAM ASY-SYAUKANI Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir (S. Ag) Disusun oleh: Nuraini Syarifuddin Disusun Oleh : Rosa Lestari NIM.13210543 Dosen Pembimbing: Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, Lc, MA PRODI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN INSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ) JAKARTA 2017 M / 1438 H

AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

  • Upload
    others

  • View
    20

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

KARYA IMAM ASY-SYAUKANI

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Al-Qur`an dan

Tafsir (S. Ag)

Disusun oleh:

Nuraini Syarifuddin

Disusun Oleh :

Rosa Lestari

NIM.13210543

Dosen Pembimbing:

Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, Lc, MA

PRODI ILMU AL-QUR`AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

INSTITUT ILMU AL-QUR`AN (IIQ) JAKARTA

2017 M / 1438 H

Page 2: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

i

PERNYATAAN PENULIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rosa Lestari

NIM : 13210543

Tempat/Tggl Lahir : Mataram, 30 Mei 1995

Menyatakan bahwa skripsi dengan judul Ayat-ayat Mutasyabihat dalam

Tafsir Fathul Qadir Karya Imam asy-Syaukani adalah benar-benar asli karya

saya kecuali kutipan-kutipan yang sudah disebutkan. Kesalahan dan

kekurangan di dalam karya ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab saya.

Jakarta, 10 Agustus 2017

Rosa Lestari

Page 3: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

ii

PERSEMBAHAN

Page 4: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

iii

MOTTO

“SESUNGGUHNYA ALLAH BERSAMA ORANG-ORANG YANG

SABAR”

POSITIVE THINK, POSITIVE FEEL, POSITIVE LIFE

Page 5: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

iv

KATA PENGANTAR

Bismillâhirahmânirrahîm…

Segala puji hanya untuk Allah SWT. Dia-lah yang telah

menganugerahkan Al-Qur`an sebagai penunjuk bagi seluruh manusia dan

rahmat bagi segala alam. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada

Nabi Muhammad Saw, utusan dan manusia pilihan-Nya. Dialah sebagai

penyampai, pengamal, dan penafsir pertama Al-Qur`an.

Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul

“Ayat-ayat Mutasyabihat dalam Tafsir Fathul Qadir Karya Imam asy-

Syaukani”. Hal ini tidak akan terwujud tanpa adanya dukungan dari pihak

yang telah memberi dukungan dan bimbingan secara maksimal. Dengan ini,

saya ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada pihak-pihak yang telah

berperan dalam menyusun skripsi, diantaranya:

1. Kepada kedua orang tua saya. Beliau menjadi penyemangat dalam hidup

saya selama ini serta menjadi panutan dalam setiap langkahnya. Beliau

yang senantiasa memberikan dukungan dan motivasi, berkatnya saya

mampu menyelesaikan tugas ini tepat waktu.

2. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA, Rektor Institut Ilmu

Al-Qur`an (IIQ) Jakarta.

3. Ibu Dr. Hj. Maria Ulfah, M.Ag., Dekan Fakultas Ushuluddin Institut

Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta, yang telah memberikan dukungan kepada

saya agar dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

4. Ibu Dr. Hj. Faizah Ali Syibromalisi, Lc, Ma pembimbing yang selalu

memberikan perhatian & arahan dengan penuh sabar dan ikhlas,

sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Muhammad Ulinnuha, Lc, MA, Ketua Program Studi Ilmu Al-

Qur`an dan Tafsir Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta.

6. Seluruh Staf Fakultas yang telah membantu setiap tangga proses yang

penulis lalui.

7. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir Institut

Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta yang telah memberikan berbagai ilmu

kepada penulis ketika kuliah di Fakultas Ushuluddin.

8. Kepada para Ulama, pakar, Cendikiawan Muslim yang pendapat ataupun

karyanya penulis jadikan sebagai referensi, bahan perbandingan dan

sebagainya dalam penulisan skiripsi ini.

1. Siti Khodijah, Tri Apriani yang telah membantu penulis dalam

melengkapi penulisan skripsi ini.

Page 6: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

v

2. Staff Perpustakaan Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta, Iman Jama`

Lebak Bulus, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta, dan Pusat Studi Al-Qur`an (PSQ) Jakarta yang telah

memberikan sarana dan prasarana dalam penulisan skripsi ini.

3. Seluruh instruktur tahfidz Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta yang

selalu sabar dalam membimbing dan memberikan arahan.

4. Teman terdekat dan seperjuangan, mba Kho, Ani, Zahida, Ntu, Oyan,

El, Wardiah, Ririn, yang selalu memberi dukungan dan semangat dalam

menyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh teman-teman Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta, TK Mawar

Rumak, SDN 1 Rumak, SMP 4 Gerung , SMA Negeri 1 Kediri, PPLP

Lombok Barat, yang senantiaanya menjadi motivasi saya untuk

menyelesaikan S1 di IIQ Jakarta

6. Untuk RF yang karenanya saya sampai melangkah sejauh ini di IIQ.

Terimakasih selalu ada hikmah di balik semua perjalanan hidup ini.

7. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, telah

membantu dalam melancarkan proses penulisan skripsi ini.

Atas bimbingan, arahan, dan dorongan yang diberikan, semoga Allah

SWT. membalas kebaikan dan menjadikan catatan amal sholeh.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari kata

sempurna. Oleh sebab itu, penulis menginginkan kritik dan saran dari

pembaca agar penelitian yang selanjutnya lebih bermakna dan berbeda dari

penulis. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan

umumnya bagi pembaca.

Jakarta, 10 Agustus, 2017

Rosa Lestari

Page 7: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

vi

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................ii

PERNYATAAN PENULIS ..........................................................................iii

PERSEMBAHAN .........................................................................................iv

MOTTO ..........................................................................................................v

KATA PENGANTAR ..................................................................................vi

DAFTAR ISI ................................................................................................vii

ABSTRAKSI .............................................................................................. viii

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................1

B. Identifikasi Masalah ..........................................................................5

C. Pembatasan Masalah dan Perumusan Maslah ...................................5

D. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ........................................7

E. Tinjauan Pustaka ...............................................................................8

F. Metodologi Penelitian .....................................................................12

G. Tekhnik dan Sistematika Penulisan .................................................13

BAB II: PENGERTIAN TAFSIR, TA’WIL DAN MUTASYÂBIH

A. Penegrtian Tafsir .............................................................................17

B. Metode Tafsir ..................................................................................19

C. Pengertian Ta‟wil ............................................................................23

D. Pembagian Ta‟wil ...........................................................................29

E. Pengertian Mutasyabihat .................................................................31

F. Jenis-jenis Mutasyabihat dalam Ayat ..............................................33

G. Pandangan Ulama terhadap Ayat-ayat Mutasyabihat ......................34

BAB III: BIOGRAFI IMAM ASY-SYAUKANI

A. Riwayat Hidup Imam asy-Syaukani ................................................37

B. Gelar yang disandangnya ................................................................39

C. Guru dan Muridnya .........................................................................40

D. Karya-karyanya ...............................................................................42

Page 8: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

vii

E. Pengenalan terhadap tafsir Fathul Qadir ........................................44

F. Metode dan Sistematika penulisan tafsir Fathul Qadir ..................46

G. Pendapat Ulama terhadap Imam Asy-Syaukani ..............................48

BAB IV: PENAFSIRAN AYAT MUTASYABIHAT DALAM TAFSIR

FATHUL QADIR

A. Metodologi Penafsiran Ayat-ayat Mutasyabihat oleh Imam asy-

Syaukani dalam tafsir Fathul Qadir ..................................................49

B. Penafsiran Ayat-ayat Mutasyabihat dalam Al-Qur`an menurut Imam

asy-Syaukani

............................................................................................................50

C. Penafsiran Terkait dengan Sifat Allah ...............................................51

D. Ayat yang berkaitan dengan Wajah: QS. Al-Baqarah:

[2]:115................................................................................................51

E. Ayat yang berkaitan dengan Mata: QS. Huud [11]:37

...........................................................................................................53

F. Ayat yang berkaitan dengan Tangan: QS. Shaad [38]:

75........................................................................................................54

G. Ayat yang berkaitan dengan Datang QS. Al-Fajr [89]: 22

.............................................................................................................57

H. Ayat yang berkaitan dengan (رمى) Melempar QS. Al-Anfal [8]:17

.............................................................................................................58

I. Ayat yang berkaitan dengan Lambung QS. Az-Zumar

[39]:56.................................................................................................61

J. Ayat yang berkaitan dengan Allah mengikuti makhluk-Nya

QS. Al-Hadid [57]: 4

.......................................................................................................................63

K. Ayat yang berkaitan dengan Allah sebagai cahaya (Nur): QS.

An-Nur [24]:35

......................................................................................................................65

L. Penafsiran Terkait dengan Sesuatu yang Ghaib ..........................................67

M. Ayat yang berkaitan dengan Ru‟yah (Melihat Allah) QS. Al-Qiyamah

[75]:22

....................................................................................................................68

Page 9: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

viii

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................................73

B. Saran ................................................................................................74

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................75

Page 10: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

ix

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Konsonan

Huruf

Arab Nama

Huruf

Latin Keterangan

Alif - Tidak dilambangkan أ

”bā` b Huruf “be ة

”tā` t Huruf “te ث

”tsā` ts Huruf “te” dan “es ث

Jim j Huruf je ج

hā` h Huruf “ha” dengan garis bawah ح

”khā` kh Huruf “ka” dan “ha خ

”Dal d Huruf “de د

”dzal dz Huruf “de” dan “zet ذ

”rā` r Huruf “er ز

”Zai z Huruf “zet ش

”Sin s Huruf “es س

”syin sy Huruf “es” dan “ye ش

”shād sh Huruf “es” dan “ha ص

”dhād dh Huruf “de” dan “ha ض

”thā` th Huruf “te” dan “ha ط

”zhā` zh Huruf “zet” dan “ha ظ

„ ain„ عKoma terbalik di atas hadap

kanan

”ghain gh Huruf “ge” dan “ha غ

”fā` f Huruf “ef ف

”Qāf q Huruf “qi ق

”Kāf k Huruf “ka ك

”Lām l Huruf “el ل

”Mim m Huruf “em و

”Nun n Huruf “en ن

”wāwu w Huruf “we و

”hā` h Huruf “ha ھ

hamzah ` Apostrof ء

”yā` y Huruf “ye ي

B. Vokal

Vokal Tunggal

Tanda Vocal

Arab

Tanda Vokal

Latin Keterangan

Page 11: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

x

A Harakat Fathah

I Harakat Kasrah

U Harakat Dhammah

Vokal Panjang

Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin Keterangan

ȃ Huruf “a” dengan topi di

atas

Î Huruf “i” dengan topi di

atas

Û Huruf “u” dengan topi di

atas

Vokal Rangkap

Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin Keterangan

Ai Huruf “a” dan “i”

Au Huruf “a” dan “u”

C. Kata Sandang

1) Kata sandang yang diikuti oleh alif lam (ال) qamariyyah

ditransliterasi sesuai dengan bunyinya. Contohnya:

al-Madînah :انمديىت al-Baqarah :انبقسة

2) Kata sandang yang diikuti oleh alif lam (ال) syamsiyyah

ditransliterasi sesuai dengan aturan yang digariskan di depan dan

sesuai bunyinya. Contoh:

as-Sayyidah : انسيّدة ar-rajul : انسجم

ad-Dȃ : اندازمى asy-syams : انشمس rimî

3) Syaddah (Tasydîd) dalam sistem aksara Arab digunakan dengan

lambang (__ّ), sedangkan untuk alih aksara dilambangkan dengan

huruf, yaitu dengan cara menggandakan huruf yang bertanda tasydîd.

Aturan ini berlaku umum, baik tasydîd yang berada di tengah kata, di

akhir kata ataupun yang terletak setelah kata sandang yang diikuti

oleh huruf-huruf syamsiyyah. Contoh:

Âmannȃ : أمَىَب بِبلِله billȃ hi ُأمَهَ انسُفَهَبء : Âmana as-Sufahȃ ‟u

wa ar-rukka‟i : وَانسُكَعِ Inna al-ladzîna : إِنَ انَرِيْهَ

Page 12: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

xi

4) Ta Marbuthah (ة) apabila berdiri sendiri, waqaf atau diikuti oleh kata

sifat (na‟at), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf “h”.

Contoh:

al-Af`idah : الَأفْئِدَةِ

al-Jȃ : انجَبمِعَتُ الِإسْهَبمِيَتُ mi‟ah al-Islȃ miyyah

Sedangkan ta marbuthah yang diikuti atau disambungkan (di-

washal) dengan kata benda (isim), maka dialih aksarakan menjadi

huruf “t”. Contoh:

Âmilatun Nashibah‟: عَبمِهتٌ وَبصِبَتٌal-Âyat al-Kubrȃ : الٱيَتُ انكُبْسٰى

\

Page 13: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

xii

ABSTRAKSI

Rosa Lestari (13210543)

Ayat-ayat Mutasyabihat dalam Tafsir Fathul Qadir Karya Imam Asy-

Syaukani

Skripsi ini berjudul : “Ayat-ayat Mutasyabihat dalam Tafsir Fathul

Qadir Karya Imam asy-Syaukani”. Penulis sengaja memilih tema ini karena

penulis merasa tertarik dan penting untuk dikaji karena berhubungan dengan

akidah kepada Allah Swt dengan tokoh mufassirnya imam asy-Syaukani

yang dikenal sebagai seorang Qadhi pada masanya.

Sebagai umat manusia yang beriman kepada Allah, agar keimanan

yang kita pegangi tidak tergelincir dari keimanan yang sebenarnya tentu

diperlukan aturan atau batasan-batasan tertentu yang harus diketahui. Seperti

mengenali sifat Allah yang telah tertulis dalam Al-Qur`an. Terkadang ayat

Al-Qur`an bila menyebutkan sifat Allah, diungkapkan dengan bahasa yang

tidak jelas sehingga membuat pemahaman yang berbeda-beda di kalangan

ulama tafsir. Untuk menyelesaikan masalah ini maka dibutuhkan penafsiran

ayat yang lebih dalam agar tidak salah dalam memahaminya. Oleh karena itu

penulis memilih penafsiran Imam asy-Syaukani terhadap ayat yang kurang

jelas maknanya atau yang lebih dikenal dengan ayat mutsyabihat.

Adapun metode yang penulis gunakan dalam mengungkapkan makna

ayat mutasyâbih yang terdapat dalam Al-Qur`an adalah dengan metode

tematik, penulis berusaha menghimpun ayat-ayat mutasyâbih dalam Al-

Qur`an yang berhubungan dengan sifat Tuhan, kemudian diklasifikasi, dan

memilih ayat yang menurut penulis perlu untuk dijelaskan dalam tulisan ini.

Dan penulis memilih 9 ayat mutasyâbihât dalam Al-Qur`an untuk penulis

uraikan dalam skripsi ini. Untuk lebih menambah wawasan terhadap

pengertian makna ayat yang diteliti, penulis memuat penafsiran dari ulama

lain yang menurut penulis perlu untuk dimuat. Selanjutnya dibagian akhir

tulisan ini penulis membuat kesimpulan dari hasil penelitian yang telah

dilakukan. Adapun kesimpulan yang penulis dapatkan adalah, bahwa ayat-

ayat mutasyâbihât yang terdapat dalam Al-Qur`an seolah-olah

menggambarkan bahwa Allah sama dengan makhluknya. Untuk menghindari

adanya kesamaan Allah dengan makhluk-Nya, Imam asy-Syaukani muncul

dengan penafsirannya yang benar-benar menghindarkan Allah dari segala

keserupaan-Nya dengan makhluk-Nya. Dalam menafsirkan ayat-ayat

mutasyâbihât imam asy-Syaukani terlebih dahulu mengemukakan

pendapatnya sendiri, baru kemudian menafsirkan menurut pendapat-pendapat

ulama. Akan tetapi ada sebagian ayat-ayat mutasyâbih yang tidak ditafsirkan

imam as-Syaukani.

Page 14: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

xiii

Imam asy-Syaukani dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât

dengan dita‟wil-kan, baik dengan metode ta‟wil ijmali maupun ta‟wil tafshili.

Hal ini dapat diketahui pada al-ahruf al-muqtha‟ah, lafaz istiwa‟, lafaz saaq,

lafaz dabbatul-ard dita‟wilkan dengan menyerahkan artinya kepada Allah

Swt (ta‟wil ijmali), penafsiran kata wajhu dengan makna ridho Allah atau

dzat Allah, lafaz „ain diartikan dengan pengawasan yang meliputi

pemeliharaan dan penjagaan, lafaz yad diartikan dengan “tanpa ada

perantara”, lafaz Jaa‟a diartikan dengan telah datang perintah dan ketetapan

Allah swt, lafaz Ramaa ditafsirkan dengan pertolongan dan kemenangan dari

Allah, lafaz al-Janb diartikan dengan ketaatan kepada Allah, lafaz “wahuwa

ma‟akum” ditafsirkan dengan kekuasaan, kekuatan dan pengetahuan-Nya

yang meliputi makhluk-Nya. Lafaz Allahu nur assamawatiwal-ard diartikan

dengan pujian terhadap Allah swt, lafaz nazirah diartikan dengan melihat

Allah secara langsung seperti melihat bulan di malam Badar.

Page 15: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur`an bagi kaum muslimin adalah firman Allah (kalamu Allah)

yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan Jibril

selama kurang lebih dua puluh tiga tahun.1 Al-Qur`an adalah firman atau

kalam Allah yang menjadi petunjuk bagi umat Islam, selain menjadi

tanda kerasulan Nabi Muhammad Saw. Al-Qur`an juga hujjah yang akan

tetap tegak sampai hari kiamat.2

Penamaan kitab ini dengan Al-Qur`an menurut sebagian ulama

karena kitab ini mencakup dari semua kitab-kitab-Nya bahkan mencakup

inti dari semua ilmu. Hal ini dtegaskan dengan firman-Nya:

“... Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (Al-Qur`an) sebagai

penjelasan bagi segala sesuatu.” (QS. an-Nahl [16]: 89)3

Prof. Dr. Mahmud Syaltout (w. 1963 M)4 menerangkan bahwa tujuan

Al-Qur`an diturunkan itu untuk dua urusan penting, yaitu sebagi mukjizat

atas kerasulannya Nabi Muhammad Saw dan supaya menjadi pedoman

hidup umat Islam.5 Bukan hanya itu, gaya bahasa Al-Qur`an yang

mengagumkan dan berbeda dengan gaya bahasa sya‟ir-sya‟ir Arab pada

saat itu, bahkan tidak akan ada yang dapat menyerupainya. Hal itu

menjadi salah satu dari keistimewaan yang dimiliki Al-Qur`an.

Syeikh az-Zarqani (w. 1122 H) mengatakan tentang keistimewaanya:

pertama, kelembutan Al-Quran secara lafziyyah. Kedua, keselarasan Al-

Qur`an bagi kaum yang umum dan khusus. Ketiga, kesesuaian Al-Qur`an

dengan akal dan perasaan. Keempat, keindahan sajian Al-Qur`an dan

kerapian jalinan antara bagian-bagiannya. Kelima, keindahan Al-Qur`an

1 Taufik‟ Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur`an,(Ciputat: Pustaka Alfabet,

2013) cet. I, h. 12 2 Syekh Muhammad Ali ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur‟an Praktis terj. at-

Tibyan fi Ulumil Qur‟an, terj. Muh. Qadirun Nur, (Jakarta: Pustaka Amani, 2001), h. 4 3 Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, terj. Mabahits fi Ulumil

Qur‟an terj. Mudzakir AS., (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009), cet. 12, h. 16-17 4 Mahmud Syaltut adalah ulama dan pemikir Islam yang memiliki reputasi

intdernasional. (Maniyah, Bani Mansur, Distrik Itai al-Beirut, Karesidenan Bukhairah,

Mesir, 23 April 1983 – Mesir, 19 Desember 1963). Selengkapnya lihat Dewan Redaksi

Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993),

cet. 1, h. 341 5 Miftah Faridlk dan Agus Syihabuddin, Al-Qur`an dan Sumber Hukum Islam yang

Pertama, (Bandung: Pusaka, 1989), h. 19-21

Page 16: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

2

dalam pengubahan kata dan keanekaragamannya dalam susunan, bentuk

dan jalan-jalannya. Keenam, Al-Qur`an mencakup bentuk-bentuk global

dan jelas. Dan ketujuh, maksud dari Al-Qur`an dan kesempurnaan

maknanya, dapat dimengerti dengan melihat yang tersurat.6

Al-Qur`an adalah kitab petunjuk yang datang untuk menyeru semua

umat manusia tepat pada akal dan hatinya, perasaan dan sanubarinya

dengan susunan yang berbobot, makan yang mendalam, dan keterangan

yang mengagumkan. Ia juga seperti fajar yang menyingsing, bening

seperti air tenang, mudah untuk dipahami dan diambil pelajarannya.

Firman Allah SWT:

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur`an untuk pelajaran,

maka adakah orang yang mengambil pelajaran? (QS. Al-Qamar [54]:

17)7

Setiap redaksi ayat Al-Qur`an yang diucapkan atau ditulis, tidak

dapat menjangkau makna yang sebenarnya, kecuali oleh pemiliknya

sendiri. Maka dari masalah ini timbullah penafsiran yang berbeda-beda.

Kemampuan manusia pun berbeda-beda dalam menafsirkan apa yang

mereka baca, terutama Al-Qur`an. Terkadang manusia memaknai atau

menafsirkan jauh dari makna yang sebenarnya. Kemudian sebab turunnya

Al-Qur`an itu dapat membantu memahami makna dengan benar.8

Penafsiran Al-Qur`an tidak dapat dipisahkan dengan upaya

memahami isi kandungan Al-Qur`an. Karena tafsir adalah kunci gudang

penyimpanan yang terkandung dalam Al-Qur`an. Tanpa tafsir kita tidak

mungkin sampai kepada gudang penyimpanan yang penuh dengan

permata mutiara itu. Terlebih Allah menyuruh umat Islam untuk

memahami isi kandungan dari Al-Qur`an bukan hanya melafalkannya.9

Seluruh ayat Al-Qur`an itu mempunyai sifat yang berbeda, ada yang

bersifat muhkam (jelas, tegas, mudah dipahami) dan ada juga yang

bersifat mutasyâbih (serupa, samar, perlu penjelasan).10

Jadi, penafsiran

6 Drs. Miftah Faridlk dan Drs. Agus Syihabuddin, Al-Qur`an dan Sumber Hukum

Islam yang Pertama, h. 33-43

7 Yusuf al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur`an , terj. Kaifa

Nata „Alamu Ma„a Al-Qur`an al-„azhim terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka Kautsar,

2000), h. 31-32 8 Yusuf al-Qaradhawi, Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur`an , h. 286

9 Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ikhtisar Ulumul Qur‟an Praktis, h. 93-94

10 Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur`an, (Bandung: Mizan,

1997), h. 49

Page 17: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

3

terhadap ayat-ayat Al-Quran itu penting. Karena hal itu bertujuan untuk

menghindari kesalahpahaman atau salahnya penafsiran terhadap ayat Al-

Qur`an, karena tidak semua ayat Al-Qur`an itu bersifat muhkam atau jelas

dan mudah dipahami. Sebagaimana firman Allah SWT:

“Dialah yang menurunkan Al-Qur`an kepada kamu. Di antara isinya ada

ayat-ayat yang muhkamat. Itulah pokok-pokok isi Al-Qur`an dan yang

lain adalah ayat-ayat mutasyâbihât. (QS. Ali Imran [3]: 7)

Ibnu Habib an-Naisaburi (w. 1014 M) menceritakan bahwa dalam

permasalahan ini ada tiga pendapat, yaitu:

Pertama: Bahwa semua ayat Al-Qur`an adalah Muhkam, dalilnya

adalah firman Allah SWT:

“…Kitab yang dimuhkamkan ayat-ayatnya” (QS.Hud [11]:1)

Kedua: Bahwa semua ayat Al-Qur`an itu adalah mutasyabih (serupa).

Dalilnya adalah firman Allah SWT

“... Al-Qur`an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang”

(QS. Az-Zumar [39]: 23)

Jawaban dari kedua ayat itu adalah bahwa yang dimaksud dengan ke-

muhkam-an ayat-ayat Al-Qur`an adalah ketelitiannya dan tidak adanya

kekurangan dan perselisihan terhadapnya, dan yang dimaksud dengan ke-

mutasyâbih-annya adalah bahwa keadaannya yang saling menyerupai satu

dengan yang lain dalam hal kebenaran, kejujuran dan kemukjizatan. 11

Ibnu Abi Hatim (w. 938 M) meriwayatkan dari jalur Ali bin Abi

Thalhah dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata: “Ayat-ayat yang muhkam

adalah me-naskh, yang menjelaskan yang halal, yang haram, hukum-

hukum had, hukum-hukum warisan, apa yang harus diimani dan apa yang

11

Jalaluddin as-Suyuthi, Samudera Ulumul Qur‟an Jilid 4 ,terj. Al-Itqon Fi

Ulumul Qur‟an, terj. Farikh Marzuki Ammar, dan Imam Fauzi Jaiz, (Surabaya: Bina Ilmu,

t.t) h. 1

Page 18: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

4

harus diamalkan. Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah yang mansukh,

yang didahulukan, yang diakhirkan, perumpamaan-perumpamannya,

sumpah-sumpahnya dan apa yang harus diimani, tetapi tidak harus

diamalkan.12

Ayat ini juga menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama

tentang menafsirkan ayat mutasyâbihât. Ada dua pendapat tentang

permasalahan ini. Sebab perbedaaan kedua pendapat ini adalah perbedaan

tentang firman Allah:

“... tidak ada yang mengetahui ta‟wilnya kecuali Allah. Dan orang-

orang yang mendalam ilmunya berkata, „kami beriman kepada ayat-

ayat mutasyabih”. (QS. Ali Imran [3]: 7)

Apakah ungkapan wa-rasakhina fil „ilm di-athaf-kan pada lafaz

Allah, sementara lafaz yaquuluna sebagai hal. Ini artinya bahwa ayat-

ayat mutasyabih pun diketahui oleh orang-orang yang mendalam

ilmunya. Atau apakah ungkapan wa-rasakhina fil „ilm sebagai mubtada‟,

sedangkan lafaz yaquluuna sebagai khabar. Ini artinya ayat-ayat

mutasyâbih hanya diketahui oleh Allah saja, sedangkan orang-orang

yang mendalam ilmunya hanya mengimaninya.13

Pendapat pertama diikuti oleh sebagian kecil ulama. Diantaranya

adalah Mujahid. Dan itu adalah riwayat dari Ibnu Abbas. Ibnul Mundzir

meriwayatkan dari jalur Mujahid dari Ibnu Abbas, bahwa dia berkata

tentang firman Allah:

“... Dan tidak mengetahui takwilnya kecuali hanya Allah dan orang-

orang yang mendalam ilmunya”

“Aku termasuk di antara orang-orang yang mengetahui takwilnya”.

Ibnu Abi Hatim (w. 938 M) meriwayatkan dari adh-Dhahhak bahwa

dia berkata: Orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui

takwilnya. Pendapat ini dipilih oleh an-Nawawi (w. 1277 M). Dia

berkata di dalam kittab Syarah Muslim: “Inilah pendapat yang paling

benar. Karena tidak mungkin Allah berbicara kepada para makhluknya

dengan sesuatu yang tidak mungkin untuk diketahui maknanya”.

12

Jalaluddin as-Suyuthi, Samudera Ulumul Qur‟an Jilid 4, h. 2-3 13

Rosihon Anwar, „Ulumul Qur‟an, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), cet. Ke-2 h.

123

Page 19: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

5

Imam as-Suyuthi (w. 911 H) lebih memuji kepada orang-orang yang

sepenuhnya menyerahkan ilmu tentang ayat mutasyâbihâââââât kepada

Allah semata, sebagaimana Allah memuji kepada orang mukmin yang

percaya kepada sesuatu yang ghaib.

Ath-Thabrani (w. 918 M) meriwayatkan dalam al-Kabir dari Malik

al-Asy‟ari bahwa dia mendengar Rasulullah Saw bersabda: “Aku tidak

takut apa pun dari umatku kecuali tiga hal, yaitu: jika harta itu telah

banyak pada mereka, sehingga mereka saling dengki dan berbunuh-

bunuhan, Al-Qur`an itu dibuka kepada mereka, sehingga seorang

mukmin mencari-cari takwilnya, padahal yang mengetahui ta‟wilnya

hanya Allah”. 14

Jadi pada intinya masih ada perdebatan di kalangan para ulama

mengenai penafsiran ayat mutasyâbihât. Terlepas dari perdebatan itu

semua penulis ingin menghadirkan sebuah tafsir terkenal yaitu tafsir

Fathul Qadir karya Imam asy-Syaukani terhadap penafsirannya tentang

ayat-ayat mutasyâbihât.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis terdorong untuk melakukan

penelitian dengan judul “Ayat-ayat Mutasyâbihât dalam Tafsir Fathul

Qadir Karya Imam asy-Syaukani ”.

B. Identifikasi Masalah

Permasalahan pada penelitian ini dapat diidentifikasikan sebagai

berikut:

1. Manusia memiliki Al-Qur`an sebagai petunjuk dalam segala lini

kehidupannya sehingga manusia perlu untuk memahami Al-

Qur`an termasuk memahami ayat-ayat mutasyâbihât.

2. Ayat-ayat mutasyâbihât di dalam Al-Qur`an memiliki penjelasan

yang luas, dimana pengertiannya belum banyak dipahami secara

mendalam oleh banyak orang.

3. Ayat-ayat mutasyâbihât di dalam Al-Qur`an memiliki beberapa

term, yakni, sifat-sifat Allah, hal-hal ghaib. Hal ini menarik untuk

dibahas.

4. Imam asy-Syaukani memiliki pandangan khusus terkait dengan

ayat-ayat mutasyâbihât dalam Al-Qur`an sehingga perlu untuk

mengetahui pandangan Imam asy-Syaukani tersebut.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

14

Jalaluddin as-Suyuthi, Samudera Ulumul Qur‟an Jilid 4 ,h. 5

Page 20: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

6

Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas penulis terdorong

mengangkat permasalahan ini sebagai obyek kajian, dan agar

permasalahan tidak melebar dalam pembahasannya, maka penulis

akan membatasi ruang lingkup masalah ini hanya pada: penafsiran

Imam asy-Syaukani dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât dan

penafsirannya yang berkaitan dengan sifat Allah dan yang berkaitan

dengan sesuatu yang ghaib.

2. Perumusan Masalah

a. Bagaimana penafsiran imam asy-Syaukani terhadap ayat

mutasyâbihât sifat Allah ayat yang berkaitan dengan ( )

Wajah: (QS. Al-Baqarah: [2]:115)?

b. Bagaimana penafsiran imam asy-Syaukani terhadap ayat

mutasyâbihât sifat Allah ayat yang berkaitan dengan ( )

Mata: (QS. Hud [11]:37)?

c. Bagaimana penafsiran imam asy-Syaukani terhadap ayat

mutasyâbihât sifat Allah ayat yang berkaitan dengan

Tangan: (QS. Shaad [38]:75)?

d. Bagaimana penafsiran imam asy-Syaukani terhadap ayat

mutasyâbihât sifat Allah ayat yang berkaitan dengan

Datang: (QS. Al-Fajr [89]:22)?

e. Bagaimana penafsiran imam asy-Syaukani terhadap ayat

mutasyâbihât sifat Allah ayat yang berkaitan dengan

Melempar: (QS. Al-Anfal [8]: 17?

f. Bagaimana penafsiran imam asy-Syaukani terhadap ayat

mutasyâbihât sifat Allah ayat yang berkaitan dengan

Lambung: (QS. Az-Zumar [39]: 56?

g. Bagaimana penafsiran imam asy-Syaukani terhadap ayat

mutasyâbihât sifat Allah ayat yang berkaitan

dengan Allah mengikuti makhluk-Nya: (QS. Al-Hadid [57]:4?

h. Bagaimana penafsiran imam asy-Syaukani terhadap ayat

mutasyâbihât sifat Allah sifat ( ) ayat yang berkaitan

dengan Allah adalah cahaya (QS. An-Nur [24]: 35)?

i. Bagaimana penafsiran imam asy-Syaukani terhadap ayat

mutasyâbihât yang berkaitan dengan sesuatu yang ghaib, ayat

Page 21: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

7

yang berkaitan dengan (Ru‟yah) Melihat Allah: (QS. Al-

Qiyamah [75]: 22?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sejalan dengan perumusan masalah di atas, berikut merupakan tujuan

penelitian ini:

a. Untuk mengetahui penafsiran imam asy-Syaukani terhadap

ayat-ayat mutasyâbihât sifat Allah ayat yang berkaitan

dengan ( ) Wajah: (QS. Al-Baqarah: [2]:115)

b. Untuk mengetahui penafsiran imam asy-Syaukani terhadap

ayat mutasyâbihât sifat Allah ayat yang berkaitan dengan

( ) Mata: (QS. Hud [11]:37)

c. Untuk mengetahui penafsiran imam asy-Syaukani terhadap

ayat mutasyâbihât sifat Allah ayat yang berkaitan dengan

Tangan: (QS. Shaad [38]:75)

d. Untuk mengetahui penafsiran imam asy-Syaukani terhadap

ayat mutasyâbihât sifat Allah ayat yang berkaitan dengan

Datang: (QS. Al-Fajr [89]:22)

e. Untuk mengetahui penafsiran imam asy-Syaukani terhadap

ayat mutasyâbihât sifat Allah ayat yang berkaitan dengan

Melempar: (QS. Al-Anfal [8]: 17

f. Untuk mengetahui penafsiran imam asy-Syaukani terhadap

ayat mutasyâbihât sifat Allah ayat yang berkaitan dengan

Lambung: (QS. Az-Zumar [39]: 56

g. Untuk mengetahui penafsiran imam asy-Syaukani terhadap

ayat mutasyâbihât sifat Allah ayat yang

berkaitan dengan Allah mengikuti makhluk-Nya: (QS. Al-

Hadid [57]:4

h. Untuk mengetahui penafsiran imam asy-Syaukani terhadap

ayat mutasyâbihât sifat Allah sifat ( ) ayat yang

berkaitan dengan Allah adalah cahaya (QS. An-Nur [24]: 35)

i. Untuk penafsiran imam asy-Syaukani terhadap ayat

mutasyâbihât yang berkaitan dengan sesuatu yang ghaib, ayat

Page 22: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

8

yang berkaitan dengan (Ru‟yah) Melihat Allah: (QS. Al-

Qiyamah [75]: 22

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penulisan ini, dilihat dari

segi teoritis yaitu:

1. Untuk mengetahui penafsiran Imam asy-Syaukani terhadap ayat-

ayat mutasyâbihât yang berkaitan dengan sifat Allah dan sesuatu

yang ghaib

2. Menambah wawasan serta memperkaya khazanah intelektual

Islam, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya.

Sedangkan dari segi praktis, yaitu:

1. Hasil penelitian ini secara teori diharapkan dapat memberikan

pemahaman mengenai penafsiran tentang sifat-sifat Allah dan

penafsiran tentang sesuatu yang ghaib kepada masyarakat awam

dari timbulnya penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya.

2. Untuk menyelesaikan program sarjana di Institut Ilmu Al-Qur`an

Jakarta pada fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Ilmu Al-

Qur`an Jakarta

E. Tinjauan Pustaka

Pada bagian ini, penulis menghadirkan kajian-kajian atau penelitian-

penelitian sebelumnya yang bersinggungan dengan tema yang penulis

angkat dan untuk menghindari kesamaan dengan penelitian-penelitian

lain. Di antaranya sebagai berikut:

1. Skripsi Dede Mariah Ulfah yang berjudul “Metode ulama Salaf

dan Khalaf Dalam Memahami Ayat-Ayat Mutasyâbihât (Studi

terhadap Metode Tafwidh dan Ta‟‟wil Ayat-Ayat Tentang Sifat

Allah) jurusan Tafsir Hadis Uhuluddin Intitut Ilmu Al-Qur`an

Jakarta tahun 2011 yang berkesimpulan:

a. Bahwa metode ulama salaf dalam memahami ayat-ayat

mutasyâbihât mengenai sifat Allah dengan menggunakan

metode tafwidh. Biasanya mereka memberi statemen dengan

ungkapan-ungkapan tafwidh-nya seperti

Namun ulama salaf juga menerapkan metode ta‟wil

tafshili (ta‟wil dengan menentukan maknanya) yaitu dengan

mengalihkan makna zhahir lafazh kepada makna majazi

(metaforis). Menggunakan metode ta‟wil tafshili dengan

mempertimbangkan konteks ayat dengan melihat setting

historis dan juga menggunakan metode munasabah (relasi)

Page 23: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

9

dengan ayat-ayat yang lain. Dalam ta‟wil golongan ulama

salaf melepaskan diri dari pemaknaan dan menyerahkan

makna pada Allah semata-mata dengan keyakinan bahwa

tiada suatu dzat pun yang menyerupai-Nya. Metode ulama

salaf lebih “selamat” dari kesalahan karena mereka tidak

menentukan/menggeser makna hakiki dari ayat melainkan

menyerahkan sepenuhnya pada Allah swt.

b. Metode ta‟wil tafshili lebih dominan diterapkan ulama khalaf.

Tetapi, genealogi pemakainnya sudah diterapkan di era salaf.

Keyakinan golongan Khalaf bahwa Tuhan tidak menyerupai

dan diserupai oleh seluruh makhluk. Namun demikian

golongan khalaf menberikan makna pada ayat mutasyâbihât

dengan makna yang sesuai dan dapat dipahami akal pikiran.

Metode khalaf lebih kuat jika dikaitkan dengan kekuatan

pengambilan suatu hukum berdasarkan ayat Al-Qur`an.

2. Selanjutnya skripsi Rifa‟i Zarkasyi yang berjudul “Pemaknaan

Ayat-Ayat Mutasyâbihât (Analisis Terhadap Terjemahan Al-

Qur`an DEPAG RI) mahasiswa jurusan Tafsir Hadis fakultas

Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun

2010 yang mengkhususkan penelitiannya pada 3 ayat: a). Q.S

Thaha [20]: 5 dan Q.S. Al-A‟raf [7]: 54. b). Q.S Al-Hadid [57]: 4

dan Q.S. An-Nahl [16]: 128. c). Q.S Al-Baqarah [2]: 115 dan Al-

Qashas [28]: 88. Yang berksimpulan bahwa antara terjemah dan

tafsir, keduanya tidak dapat dipisahkan secara fungsi yaitu

menjelaskan makna (konsep) yang terkandung dalam deretan

kata. Hanya saja , tafsir memiliki pengertian yang lebih luas dari

terjemah karena tidak hanya berupa pemindahan bahasa. Kedua

paham musyabbih lahir dari problematika pemaknaan ayat

mutasyâbihât yang terkait dengan sifat-sifat Allah. Dan yang

terakhir menurut skripsi Rifa‟i Zarkasyi terjemahan DEPAG RI

terhadap ayat-ayat mutasyâbihât kalau ditelusuri mengikuti

pendapat Ibnu Taimiyah dan jika ditimbang dengan pendapat para

ulama dan pendekatan bahasa dapat mengarah pada paham

tasybih.

3. Skripsi Moh. Hidayat yang berjudul “Penafsiran Ayat-Ayat

Mutasyâbihât dalam Tafsir al-Jilani Karya Shaykh „Abd Al-Qadir

Al-Jilani” mahasiswa jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin

dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012 yang

mempunyai kesimpulan bahwa konsep mutasyâbihât menurut

Syaikh ‟Abd al-Qadir al-Jilani adalah setiap ayat yang berbicara

mengenai ma‟rifat dan hakikat yang dapat mengantarkan seorang

hamba memiliki keyakinan yang kuat tentang Tuhan. Dalam

Page 24: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

10

menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât pendekatan yang digunakan

oleh beliau adalah: a. Bahasa; b. Sastra; c. Intuisi; d. Menafsirkan

ayat dengan ayat; e. Kontekstualisasi ayat.

4. Skripsi Asep Fathurrahman yang berjudul “ Penafsiran Ayat-Ayat

Mutasyâbihât (Studi Komparatif Tafsir Marah Labid dan Tafsir

al-Kasysyâf) mahasiswa jurusan Tafsir hadis Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2016 yang berkesimpulan

bahwa ada persamaan penafsiran Nawawi al-Bantani dan al-

Zamakhsyari terhadap ayat-ayat mutasyâbihât. Keduanya sama-

sama mensucikan Allah dari sifat-sifat keserupaan dengan

makhluk sehingga ayat-ayat mutasyâbihât mereka anggap sebagai

bagian dari ayat-ayat yang harus ditakwilkan kepada makna yang

layak bagi kesucian Allah. Ada perbedaan antar penafsiran

Nawawi al-Bantani dan al-Zamakhsyari terhadap ayat-ayat

mutasyâbihât. Perbedaan tersebut hanya dalam bentuk redaksi

makna penakwilan saja. Ada yang sama juga banyak yang

berbeda redaksi makna pentakwilannya. Dan juga terkadang

Nawawi al-Bantani lebih rinci dalam men-takwil, terkadang juga

al-zamakhsyari yang lebih rinci bahakan banyak juga beberapa

ayat yang tidak ditakwil-kan oleh al-Zamakhsyari.

5. Skripsi Zainal Mu‟it yang berjudul “ Pemaknaan Ayat Istawa:

Studi Komparatif Penafsiran Syaikh Ibn Taimiyah dan „Abdullah

al-Harari. Mahasiswa jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2014 Yang berkesimpulan

bahwa Ibnu Taimiyyah dan „Abd Allah al-Harari sama-sama

menafsirkan ayat istawa tetapi ternyata pendapat mereka sangat

berbeda dalam menafsirkan ayat tersebut. Ibnu Taimiyyah dalam

menafsirkan ayat istawa berpendapat boleh ditafsirkan secara

dhohir dengan makna “duduk di atas”. Tetapi, hal itu ditentang

oleh Abd Allah al-Harari yang mengatakan dalam menafsirkan

ayat mutasyâbihât seperti ayat istawa, tidak boleh hanya dengan

makna dzahir-nya saja, melainkan harus dengan adanya ta‟wil,

agar maknanya tidak bertolak belakang dengan ayat muhkamat.

Dan „Abdullah al-Harari mengatakan makna yang sesuai untuk

ayat istawa tersebut ialah menguasai, sehingga pemaknaan ayat

tersebut tidak bertentangan dengan ayat mutasyâbihât yang lain

dan jauh dari kata tasybih antara Allah SWT dengan makhluknya.

6. Skripsi Saleh yang berjudul “Analisis Ayat-ayat Mutasyabih

Menurut Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasysyâf” mahasiswa

jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Kasim Riau

Pekanbaru tahun 2011 yang berkesimpulan bahwa Menurut

Zamakhsyari bila ada ayat yang menggambarkan bahwa Allah

Page 25: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

11

punya sifat sama sifat makhluk, seperti punya anggota badan,

atau sifat duduk, melihat dan sebagainya maka langkah yang

lebih utama adalah men-takwi-lkan ayat tersebut kepada yang

sesuai dengan keadaan dan keagungan Allah SWT. Zamakhsyari

men-takwil-kan ayat mutasyabih seperti kalimat istawa „ala al-

„Arsy dengan kerajaan, wajah diartikan dengan dzat atau ihklas

atau tha‟at, a‟yun diartikan dengan pengawasan, yad bentuk

mufrad diartikan dengan “milik” bentuk mutsanna diartikan

dengan “tanpa ada perantara” dan bentuk jamak diartikan

dengan “kekuasaan”, „ain diartikan dengan “pengawasan”, Allah

fi al-samawati wa al-ard diartikan “Allah mengetahui apa yang

ada di langit dan di bumi”, janbillah diartikan dengan tha‟atillah

(tha‟at kepada Allah).

7. 7. Skripsi A. Faroqi yang berjudul “Analisis Ayat-ayat

Mutasyâbihât Tafsir al-Munir Karya Wahbah az-Zuhaili”

mahasiswa jurusan Tafsir Hadis fakultas Ilmu Ushuluddin dan

Humaniora UIN Walisongo Semarang tahun 2016 yang

berkesimpulan bahwa Wahbah az-Zuhaili dalam menafsirkan

ayat-ayat mutasyâbihât adalah dengan di-ta‟wil-kan, hal ini dapat

diketahui pada huruf al-Muqatha‟ah di-ta‟wilk-an sebagai

tantangan Allah dalam membuat ayat-ayat yang pendek,

penafsiran kata wajhu dengan makna Dzat, yad dengan makna

kekuasaan Allah, „ain dengan makna pengawasan atau

pertolongan Allah, saaq dengan makna kegentingan atau

kepayahan yang besar seperti kiyamat, fi janbi merupakan

kinayah hak Allah dan ketaatan, maksudnya yaitu ketaatan,

ibadah dan mencari ridho Allah, kata-kata istiwaa‟ di atas “Arsy”,

dengan makna bersemayam, tetapi cara bersemayam-Nya, itu

tidak dapat dipahami oleh akal kita, namun kita wajib

mengimaninya, kata-kata jaa‟a dengan makna Allah SWT datang

untuk memutuskan peradilan di antara hamba-hamba-Nya, semua

perintah dan hukum-Nya akan dikeluarkan untuk pembalasan dan

penghitungan amal dan kata-kata ru‟yah (melihat Allah)

ditafsirkan dengan naadhiroh dengan arti melihat Tuhannya

dengan nyata, ayat yang berkenaan dengan ghaib seperti neraka

merupakan perumpamaan yang tidak ada di bumi ini. Relevansi

penafsiran ayat-ayat mutasyâbihât dengan menggunakan ta‟wil

yakni mengalihkan pengertian teks-teks yang mutasyâbihât

tersebut dari makna-makna literalnya dan meletakkan maksud-

maksudnya dalam satu bingkai pengertian yang sejalan dan

seiring dengan teks-teks lain yang muhkamat, sebagaimana yang

dilakukan oleh Wahbah az-Zuhaili dalam menfasirkan ayat-ayat

Page 26: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

12

mutasyâbihât di dalam karyanya Tafsir al-Munir, masih relevan,

karena ia dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât tersebut

selalu mensucikan Allah dari sifat-sifat yang menjadi ciri khas

makhluk-Nya. Karena Allah tidak mungkin mempunyai sifat

seperti makhluk-Nya.

Dari beberapa penelitian tentang ayat-ayat mutasyâbihât di

atas dapat diketahui bahwa sudah banyak diadakan penelitian

tentang ayat-ayat mutasyâbihât namun yang membedakan

penelitian ini dengan penelitian di atas adalah tokoh serta kitab

yang diteliti. Penelitian ini akan membahas secara khusus ayat-

ayat mutasyâbihât dalam tafsir Fathul Qadir Karya Imam asy-

Syaukani.

G. Metodologi Penelitian

1. Jenis dan pendekatan Penelitian

Jenis penilitian ini adalah penelitian kualitatif, yaitu suatu analisis

berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan menjadi

hipotesis. Sehingga apabila hipotesis diterima, maka hipotesis

tersebut berkembang menjadi teori.15

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode

dokumentatif, yaitu dengan mengumpulkan, memeriksa dan mencatat

data-data yang relevan dengan tema yang dibahas dan bersumber dari

kitab-kitab, buku-buku, kamus, jurnal, artikel-artikel dan majalah-

majalah.16

Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (library

research) yaitu menelaah dan mengkaji sumber kepustakaan berupa

kitab-kitab tafsir dan buku-buku yang relevan. Kemudian

mengevaluasi data yang telah penulis peroleh dari sumber penelitian,

yaitu ayat-ayat Al-Qur`an yang berkaitan dengan pembahasan.

Adapun teknik operasionalnya adalah penulis mengumpulkan

data-data terkait kemudian mengidentifikasi data tersebut dengan

cara membaca, selanjutnya penulis memilih data yang akan penulis

15

Huzaemah T. Yanggo, dkk, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Disertasi Institut

Ilmu Al-Qur`an (IIQ), (Jakarta: IIQ Press, 2011), cet. II,h. 22

16 Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009),

Cet I, h. 72

Page 27: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

13

tulis dalam penelitian ini dan tahap terakhir adalah menuliskannya di

laptop dalam bentuk file.

3. Sumber Data

Sesuai dengan keperluan studi ini, pengumpulan data dilakukan

dengan cara studi literer yaiu dengan membaca dan meneliti sumber

data yang memuat uraian tentang ayay-ayat mutasyâbihât.

Adapun sumber primer adalah referensi pokok yang menjadi

sumber utama dalam penulisan skripsi ini adalah kitab tafsir Fathul

Qadir17

Karya Imam asy-Syaukani.

Sedangkan sumber sekunder adalah sumber referensi tambahan,

sebagai penopang dan pendukung dari sumber primer adalah:

a. Kitab-kitab tafsir yang berkaitan dengan penelitian

b. Kitab-kitab hadis yang berkaitan dengan penelitian

c. Kamus-kamus bahasa

d. Ensiklopedi-ensiklopedi Agama

e. Buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan skripsi ini.

4. Metode Analisis Data

Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah di

awali dengan metode tematik, yaitu mengumpulkan ayat-ayat

mutasyâbihât dalam tafsir Fathul Qadir.

Selanjutnya penulis menggunakan metode deskriptif analitis

karena penelitian ini tidak hanya terbatas pada pengumpulan dan

penyusunan data namun juga meliputi usaha klasifikasi data, analisa

data dan interpretasi tentang arti data yang diperoleh.

Kemudian penulis juga menggunakan metode muqaran

(perbandingan), yaitu membandingkan penafsiran imam asy-

Syaukani dengan penafsiran lain.

H. Teknik dan Sistematika Penulisan

1. Teknik Penulisan

Pada skripsi ini penulis mengacu pada buku “Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) Institut Ilmu Al-

Qur`an Jakarta Tahun 2011”18

17

Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Fathul Qadir Juz 27 (Al Jami‟ baina Ar

Riwayah wa Ad-Dirayah min ilm Al-Tafsir), (Beirut: Dar al-Marefah, 2007) dan Imam asy-

Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, terj. Fathul Qadir (Al Jami‟ baina Ar Riwayah wa Ad-

Dirayah min ilm Al-Tafsir ), terj. Amir Hamzah Fachruddin dan Asep Saifullah (Jakarta:

Pustaka Azzam, 2008), cet. Ke-1 18

Tim penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi IIQ Jakarta,

(Jakarta: IIQ Press, 2011), h. 26

Page 28: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

14

2. Untuk memudahkan pembahasan dalam skripsi ini, penulis

membagi pembahasan menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika

sebagai berikut:

Bab pertama, pendahuluan dalam penulisan ini menjelaskan

tentang latar belakang penulisan dan metodologi yang digunakan

guna memudahkan penulis dalam menganalisa tema yang telah

ditetapkan. Penulis mencari dan mengumpulkan ayat yang menurut

penulis ayat-ayat tersebut merupakan ayat-ayat mutasyâbihât.

Kemudian dilanjutkan dengan pembatasan dan perumusan masalah

agar pembahasan dalam penelitian ini lebih terfokus dan memiliki

batasan yang jelas. Yaitu hanya membatasi permasalahan ayat-ayat

mutasyâbihât yang terkait dengan sifat Allah dan ayat-ayat

mutsyabihat yang terkait dengan sesuatu yang ghaib saja. Poin

selanjutnya adalah tujuan penelitian yang merupakan tujuan yang

ingin dicapai penulis berdasarkan rumusan masalah. Manfaat

penelitian menerangkan kegunaan apa saja yang diharapkan setelah

penelitian ini selesai. Adapun tinjauan pustaka dimaksudkan untuk

menjelaskan di mana posisi topik ini dalam khazanah keilmuan Islam

dan untuk menghindari kesamaan judul atau topik pada penelitian

terdahulu.

Bab kedua, sebelum menjelaskan penafsiran imam asy-Syaukani

terhadap ayat-ayat mutasyâbihât dalam tafsir Fathul Qadir pada bab

ini penulis menjelaskan terlebih tentang pengertian tafsir, metode-

metode tafsir, pengertian ta‟wil, pembagian ta‟wil, pengertian

mutasyabih, pandangan ulama terhadap ayat-ayat mutasyâbihât, dan

jenis-jenis jenis-jenis mutasyabih dalam ayat, hal ini penulis lakukan

untuk mengetahui landasan teori yang menjadi patokan penulis dalam

mengidentifikasi ayat-ayat mutasyâbihât dalam tafsir Fathul Qadir.

Bab ketiga, merupakan biografi singkat tentang Imam asy-

Syaukani yang terdiri dari: riwayat hidup Imam asy-Syaukani, gelar

yang disandangnya, guru dan muridnya, karya-karyanya, pengenalan

terhadap kitab tafsir Fathul Qadir, metode dan sistematika tafsir

Fathul Qadir, pendapat ulama terhadap imam asy-Syaukani.

Bab keempat, penulis akan menyajikan pembahasan tentang

penafsiran ayat-ayat mutasyâbihât dalam tafsir Fathul Qadir beserta

dengan perbandingannya dengan penafsiran lain. Penafsirannya

meliputi ayat-ayat tentang sifat Allah, ayat yang berkaitan dengan

( ) Wajah : (QS. Al-Baqarah [2]:115), ayat berkaitan dengan ( )

Mata: (QS. Huud [11]:37), ayat yang berkaitan dengan Tangan:

Page 29: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

15

(QS. Shaad [38]: 75), ayat yang berkaitan dengan datang: (QS.

Al-Fajr [89]: 22), ayat yang berkaitan dengan Melempar: (QS.

Al-Anfal [8]: 17, ayat yang berkaitan dengan Lambung: (QS.

Az-Zumar [39]: 56, ayat yang berkaitan dengan Allah

mengikuti makhluk-Nya: (QS. Al-Hadid [57]:4, ayat yang berkaitan

dengan ( ) Allah adalah cahaya (QS. An-Nur [24]: 35), ayat

yang berkaitan dengan sesuatu yang ghaib berkaitan dengan Ru‟yah

(Melihat Allah): (QS. Al-Qiyamah [75]: 22,

Bab kelima, setelah pembahasan utama penulis akan

mengemukakan beberapa kesimpulan sebagai penutup, yang diambil

dari pembahasan yang telah dilakukan serta beberapa saran guna

melengkapi pembahasan di atas yang sangat terbatas.

Page 30: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

17

BAB II

PENGERTIAN TAFSIR, TA’WIL DAN MUTASYÂBIH

A. Pengertian Tafsir

Tafsir menurut bahasa berasal dari akar kata fassara, yang berarti

jelas dan terbuka. Kata kerjanya fassara, yufassiru, tafsiraan yang

bermakna menjelaskan, mengungkap, menampakkan, dan menerangkan

makna yang abstrak. Dalam kitab Lisan al-„Arab dikatakan bahwa al-fasr

mengungkap sesuatu yang tertutup. Sedang kata at-tafsir berarti

mengungkapkan maksud suatu lafaz yang musykil dan pelik1.

Adapun kata tafsir dengan makna keterangan dan penjelasan terdapat

dalam ayat Al-Qur`an yang berbunyi:

“Dan mereka (orang-orang kafir itu) tidak datang kepadamu (membawa)

sesuatu yang aneh, melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar

dan penjelasan yang paling baik.” (QS. Al-Furqan [25]: 33)

Ibnu Abbas seperti dikutip oleh al-Fairuz Abadi (w. 1414 M) dalam

Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibnu Abbas menafsirkan kata “tafsir” pada

ayat tersebut dengan tibyanan.2 Berdasarkan penafsiran ini para pakar

Ulum Al-Qur`an merumuskan pengertian tafsir menurut bahasa adalah

“penjelasan, keterangan dan penyingkapan”3

Dengan demikian tafsir menurut bahasa adalah mengungkap makna

yang tertutup, baik makna yang nyata maupun makna yang abstrak.4

Adapun tafsir menurut istilah para ulama banyak memberikan

komentar antara lain sebagai berikut:

1. Abu Hayyan (w. 1344 M) mendefinisikan tafsir dengan “Ilmu

yang membahas tentang tata cara mengucapkan (membunyikan)

lafaz-lafaz Al-Qur`an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya

baik mengenai kata tunggal maupun tarkib, makna-makna yang

dimungkinkan baginya ketika tersusun dan segala sesuatu yang

dapat menyempurnakannya yang termasuk dalam hal ini adalah

mengetahui nasakh, sebab-sebab turunnya ayat, kisah-kisah yang

1 Faizah Ali Syibromalisi, Tafsir bii al-Ma‟tsur, (Jakarta: IIQ Jakarta: 2010), cet.

Ke-1, h. 4 2 Fairuz Abadi, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn „Abbas, (Beirut: Dar al-

Fikr, 1995), h. 263 3 Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, terj. Mabahits fi Ulumil

Qur‟an terj. Mudzakir AS., (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009), cet. 12, h. 455 4 Faizah Ali Syibromalisi, Tafsir bii al-Ma‟tsur, h. 4

Page 31: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

18

dapat menjelaskan sesuatu yang masih samar dan segala sesuatu

yang berkaitan dengannya.5

2. Menurut al-Kilabi (w. 733 H) dalam at-Tashil ia mengatakan

bahwa “Tafsir adalah menjelaskan Al-Qur`an, menerangkan

maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki dengan

nashnya atau dengan isyaratnya atau tujuannya.

3. Menurut syeikh al-Jazairi (w. 1921 M) dalam Shahib at-Taujih

“tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafazh yang sukar

dipahami oleh pendengar dengan mengungkapkan lafaz

sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan

mengemukakan salah satu dilalah lafaz tersebut.6

4. Menurut az-Zarkasyi (w. 794 H) di dalam Manna‟ al-Qattan tafsir

adalah ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada

Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan

hukum dan hikmahnya.7

5. Sementara itu Mustafa Muslim memberikan definisi tafsir dengan

ilmu yang mengungkap makna ayat-ayat Al-Qur`an dan

menjelaskan maksud firman Allah dengan kemampuan manusia.8

6. Menurut Muhammad Abduh (w. 1905 M) sebagaimana dikutip

Nawawi dalam Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian

Akidah dan Ibadah, tafsir adalah penjelasan terhadap firman Allah

untuk menangkap petunjuk-petunjuk-Nya.9

Secara umum tafsir sering didefinisikan sebagai suatu hasil

pemahaman manusia terhadap Al-Qur`an yang dilakukan dengan

menggunakan metode atau pendekatan tertentu yang dipilih oleh seorang

mufassir, dengan tujuan untuk memperjelas makna teks Al-Qur`an.10

Dari beberapa definisi di atas perlu ditegaskan bahwa tafsir adalah

upaya untuk menjelaskan tentang arti atau maksud dari firman-firman

Allah Swt sesuai dengan kemampuan yang terdapat pada masing masing

mufassir, maka keanekaragaman penafsiran pun tidak dapat dihindari.

Dalam hal ini para sahabat Nabi Saw sekalipun yang secara umum

5 Abu Hayyan al-Andalusiy, Tafsir al-Bahr al-Muhit, Vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub

al-„Ilmiyah, 1993), h, 13. 6 Abd Rozak dan Aminuddin, Studi Ilmu Al-Qur`an, (Jakarta: Mitra Wacana Media,

2010), cet. Ke-1, h. 209-210 7 Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, h. 457

8 Mustafa Muslim, Mabahith fi Tafsir al-Maudhu‟i, (Damaskus: Dar al-Qalam,

1989), h,15. 9 Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Insan

Madani, 2008), h. 7 10

Abdul Mustaqim, Mazahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur`an

Periode Klasik hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka Yogyakarta, 2003), h. 2

Page 32: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

19

menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami

secara alamiah struktur bahasa dan arti kosa katanya, tidak jarang berbeda

pendapat dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah

Swt yang mereka dengar atau yang mereka baca itu.11

B. Metode Tafsir

Tafsir sangat diperlukan, karena setiap orang mengemukakan pikiran

dengan cara menyampaikan serangkaian kalimat yang kadang-kadang

tidak dapat dimengerti maksud dan tujuannya dengan jelas tanpa disusul

dengan kalimat-kalimat yang bersifat menjelaskan.12

Penafsiran Al-

Qur`an berperan untuk membantu manusia menangkap rahasia-rahasia

Allah Swt dan alam semesta, baik yang tampak maupun yang

tersembunyi. Selanjutnya penafsiran Al-Qur`an dapat membebaskan

manusia dari belenggu perbudakan, baik oleh manusia maupun harta serta

membimbingnya untuk menyembah Allah yang Maha Kuasa. Dengan

penafsiran ini, seseorang dapat berhubungan dengan sesamanya sekaligus

dengan penciptanya.13

Dilihat dari metode yang digunakan olen para mufasir, tampaknya

metode penafsiran itu secara garis besar bermuara pada empat metode,

yaitu tafsir Tahlili, tafsir Ijmali, tafsir Muqarin dan tafsir Mawdhu‟i.14

Penjelasan masing-masing metode adalah sebagai berikut:

1. Tafsir Tahlili

Tahlili berasal dari bahasa Arab, hallala-yuhallilu-tahlil yang berarti

mengurai, menganalisis.15

Menurut al-Farmawi metode tahlili (analitis)

adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-

ayat Al-Qur`an dari seluruh aspeknya,16

dan sesuai urutan bacaan yang

ada di dalam Al-Qur`an mushaf Usmani. Keberadaan metode tahlili

(analitis) dapat dipandang unik, karena dalam praktiknya ia dibedakan

11

Muhammad Husain az-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid 1(Kairo:

Maktabah Wahbah,

2000), h. 14 12

Ahmad asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir Al-Qur`an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,

1995), h. 5 13

Malik Ibrahim, “Corak dan pendekatan tafsir Al-Qur`an”, dalam Sosio-Religia

Journal, vol. 9, no. 3, 2010, h. 642 14

Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur`an, (Bandung: CV

Pustaka Setia, 2004), h. 94. 15

Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur`an, h. 94 16

Ahmad Syukri Shaleh, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer (Dalam

Pandangan Fazlur Rahman), (Ciputat: Gaung Persda Press, 2007), cet. 2, h. 47

Page 33: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

20

menjadi 2 bentuk, yaitu bil ma‟tsur17

dan bil ra‟yi18

. Sedangkan penyajian

karya tafsirnya meliputi berbagai corak disiplin, seperti bahasa, hukum,

ilmu pengetahuan, filsafat, dan sosial kemasyarakatan. Keberagaman

corak penafsiran ini sangat bermanfaat dalam memberikan informasi

detail pada pembaca berkaitan dengan situasi yang dialami,

kecenderungan dan keahlian masing-masing pakar tafsir.19

Dalam menafsirkan Al-Qur`an, mufasir biasanya melakukan hal-hal

sebagai berikut:

a. Menerangkan hubungan munasabah baik antara satu ayat dengan

ayat yang lain maupun antara satu surah dengan surah lainnya

b. Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat (asbabun nuzul)

c. Menganalisis mufrodat (kosa kata) dan lafaz dari sudut pandang

bahasa Arab

d. Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya

e. Menerangkan unsur-unsur fashahah, bayan, dan i‟jaz bila

dianggap perlu

f. Menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas,

khususnya bila ayat-ayat yang ditafsirkan adalah ayat-ayat ahkam.

g. Menerangkan makna dan maksud syara‟ yang terkandung dalam

ayat yang bersangkutan

Melihat aspek-aspek yang dibahas dalam tafsir tahlili, dapat

dipahami bahwa penafsiran dengan metode ini sangat luas dan

menyeluruh. Metode tafsir tahlili digunakan oleh sebagian besar

mufasir pada masa lalu dan masih terus berkembang pada masa

sekarang.20

2. Tafsir Ijmali

Tafsir metode ini adalah berusaha menafsirkan Al-Qur`an secara

singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud tiap

kalimat dengan bahasa yang ringkas dan populer serta bebas dari

israilliyat sehingga mudah dipahami. Urutan penafsiran sama dengan

metode tahlili namun memiliki perbedaan dalam hal penjelasan yang

singkat dan tidak panjang lebar. Keistimewaan tafsir ini ada pada

kemudahannya sehingga dapat dikonsumsi oleh lapisan kaum muslimin

secara merata. Sedangkan kelemahannya ada pada penjelasannya yang

17

Penafsiran Al-Qur`an dengan berdasarkan penjelasan yang diriwayatkan yaitu

berupa ayat Al-Qur`an sendiri, dengan hadis, dengan pendapat sahabat atau ulama. 18

Penafsiran dengan berdasarkan ijtihad dan akal, berpegang pada kaidah-kaidah

bahasa dan adat istiadat orang Arab dalam mempergunakan bahasanya 19

Syukri Shaleh, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer, h. 47 20

Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur`an, h. 95

Page 34: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

21

terlalu ringkas sehingga tidak dapat menguak makna ayat yang luas dan

tidak menyelesaikan masalah secara tuntas.21

3. Tafsir Muqarin

Metode Muqarin (komparatif) merupakan metode penafsiran yang

dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

a. Membandingkan teks (nash) ayat Al-Qur`an yang memiliki

persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih dan

atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama

b. Membandingkan ayat Al-Qur`an dengan hadis yang pada lahirnya

terlihat bertentangan

c. Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam

menafsirkan Al-Qur`an22

Tafsir dengan metode ini memiliki cakupan yang teramat luas.

Perbandingan adalah ciri utama bagi metode komparatif. Di sinilah

letak perbedaan prinsipal antara metode ini dengan metode-metode

yang lain.

Hal itu disebabkan yang dijadikan bahan dalam

memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadis adalah

pendapat para ulama, bahkan pada aspek yang ketiga, pendapat para

ulama itulah yang dijadikan sasaran perbandingan. Oleh karena itu,

jika suatu penafsiran dilakukan tanpa memperbandingkan berbagai

pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam

itu tidak dapat disebut metode komparatif. Dalam konteks ini, al-

Farmawi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan metode

komparatif adalah menjelaskan ayat-ayat al-Quran yang berdasarkan

pada apa yang telah ditulis oleh sejumlah mufasir.23

4. Tafsir Maudhu’i

Tafsir metode maudhu‟i adalah tafsir berdasarkan tema atau biasa

yang disebut dengan tematis. Secara umum metode tematis memiliki

dua bentuk kajian, yaitu:

a. Tafsir yang membahas satu surah Al-Qur`an secara menyeluruh,

memperkenalkan dan menjelaskan maksud-maksud umum dan

khususnya secara garis besar, dengan cara menghubungkan ayat

yang satu dengan ayat lain, dan atau antara satu pokok masalah

21

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur`an (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar Offset, 1998), h. 21-24 22

Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur`an, h. 65 23

Malik Ibrahim, “Corak dan pendekatan tafsir Al-Qur`an”, h. 647

Page 35: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

22

dengan pokok masalah lain. Dengan metode ini, surah tersebut

tampak dalam bentuknya yang utuh, teratur, betul-betul cermat,

teliti dan sempurna. Berkaitan dengan tafsir tematis bentuk ini, al-

Syathibi sebagaimana dikutip al-Farmawi menyatakan bahwa satu

surah Al-Qur`an meskipun mengandung banyak masalah, masalah

itu sebenarnya adalah satu, karena pada hakekatnya menunjuk

pada satu maksud.24

b. Kedua tafsir dengan cara mengoleksi sejumlah ayat dari berbagai

surat yang membahas suatu persoalan tertentu yang sama, lalu

ayat-ayat itu ditata sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu

topik bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara tematik.25

Langkah-Iangkah yang harus ditempuh dalam menyusun suatu

karya tafsir berdasarkan metode ini adalah sebagai berikut:

1. Menemukan topik bahasan setelah menentukan batas-batasnya,

dan mengetahui jangkauannya di dalam ayat-ayat Al-Qur`an.

2. Menghimpun dan menetapkan ayat-ayat yang menyangkut

masalah tersebut.

3. Merangkai urutan–urutan sesuai dengan masa turunnya, misalnya

dengan mendahulukan ayat-ayat Makkiyah dari pada ayat-ayat

Madaniyah, karena ayat-ayat yang diturunkan di Mekkah biasanya

bersifat umum.

4. Kajian tafsir model ini memerlukan bantuan kitab-kitab tafsir

tahlili, pengetahuan tentang sebab-sebab turunnya ayat sepanjang

yang dapat dijumpai, munasabah dan pengetahuan tentang dilalah

suatu lafal dan penggunaannya. Mufasir perlu mengetahui itu

semua, meskipun tidak harus dituangkan dalam pembahasan.

5. Menyusun pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna.

6. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang menyangkut

masalah yang dibahas.

7. Mempelajari semua ayat-ayat yang terpilih dengan jalan

menghimpun ayat-ayat yang sama pengertiannya. Atau

mengkompromikan antara am (umum) dan khas (khusus), yang

mutlak dengan muqayyad atau yang kelihatannya kontradiktif,

sehingga semuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan

atau pemaksaan dalam penafsiran.

8. Pembahasan dibagi dalam beberapa bab yang meliputi beberapa

pasal, dan setiap pasal itu dibahas, kemudian ditetapkan untuk

pokok yang meliputi macam-macam pembahasan yang terdapat

24

Malik Ibrahim, “Corak dan pendekatan tafsir Al-Qur`an”, h. 650 25

Syukri Shaleh, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer, h. 52

Page 36: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

23

pada bab, kemudian menjadikan unsur yang bersifat cabang (far‟i)

sebagai satu macam pasal.26

C. Pengertian Ta’wil

Kata ta'wil secara etimologis merupakan masdar dari awwala

yu'awwilu ta'wilan, yaitu fi'il madi yang muta‟addi. Sedangkan bentuk

lazim-nya adalah „ala yau„lu awlan yang berarti raja'a (kembali atau

mengatur), seperti awwala ilahi alsya i' berarti mengembalikan

kepadanya. Ketika fi'il tersebut menjadi muta'addi, maka mengalami

pergeseran makna sesuai dengan konteksnya. Seperti ketika dikatakan

awwala al-kalam, ta'wilan, wa ta'awwalah berarti merenungkan,

memastikan. Sedangkan dalam kondisi lazim yaitu berupa „ala, ya„ulu,

aulan yang berarti kembali.27

Dalam kamus al-Munawwir juga disebutkan bahwa awwalahu „alaih

artinya mengembalikan, tetapi jika dikatakan awwala al-kalam berarti

menafsirkan dan menjelaskan dan jika dikatakan awwala ar-ru‟ya berarti

menjelaskan arti mimpi. Dalam konteks ini makna ta‟wil sama dengan

makna tafsir yang fi‟il madinya berupa fassara yaitu penjelasan,

komentar atau keterangan.28

Sedangkan al-Suyuthi (w. 911 H) ketika menjelaskan makna ta‟wil, ia

mengatakan bahwa ta‟wil berasal dari al-aul yang artinya kembali, maka

seakan-akan seseorang memalingkan ayat kepada beberapa makna yang

memungkinkan. Dikatakan juga dari al-iyalah yang berarti sama dengan

al-siyasah (aturan), maka kalimat kana al-mu‟awwil al-kalam sama

dengan sasa kalam (mengatur pembicaraan dan meletakkan arti pada

tempatnya).29

Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Kaidah Tafsir

mengemukakan pengertian ta‟wil terambil dari kata aul/kembali dan

ma‟al, yakni kesudahan. Menta‟wilkan sesuatu berarti menjadikannya

berbeda dari semula.30

Dari beberapa pendapat yang dijelaskan di atas, maka pengertian

ta‟wil secara bahasa mempunyai makna penjelasan atau keterangan.

26

M Quraish Shihab dkk, Sejarah & 'Ulumul Al-Qur`an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,

2000), h. 21 27 Al-Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhit, jilid 3 (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), h. 331 28

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002),

h. 48 29

Jalaluddin as-Suyuthi, Samudera Ulumul Qur‟an Jilid 4 ,terj. Al-Itqon fi Ulumul

Qur‟an, terj. Farikh Marzuki Ammar, dan Imam Fauzi Jaiz, (Surabaya: Bina Ilmu, t.t) h. 240 30

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut

Anda Ketahui dalam Memahami Al-Qur`an, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), h. 219

Page 37: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

24

Adapun secara terminologi ada bermacam-macam pengertian ta‟wil.

Menurut ulama salaf ta‟wil berarti tafsir. Maka ta‟wil Al-Qur`an kadang

diucapkan tafsir Al-Qur`an dengan makna yang sama. Pengertian inilah

yang dimaksudkan ibnu Jarir at-Thabari (w. 923 M) dalam tafsirnya

dengan kata-kata: (para ahli ta‟wil

berbeda pendapat tentang makna ayat itu) dan

(pendapat ta‟wil tentang firman Allah ini). Yang dimaksud dengan kata

ta‟wil di sini adalah tafsir.31

Al-Zarqani (w. 1122 H) menyatakan bahwa sebagian ulama

memahami makna ta‟wil sama dengan tafsir, yaitu mengungkapkan

makna Al-Qur`an dari segi dalalah yang dikehendaki Allah sesuai

dengan kemampuan manusia. Kemudian mereka menunjukkan kesamaan

antara makna ta‟wil dan makna tafsir, hal ini mereka merujuk ucapan

Mujahid “Inna al-Ulama ya‟lamu ta‟wilah”, (sesungguhnya para ulama

mengetahui ta‟wil Al-Qur`an, maksudnya adalah tafsirnya).32

Ulama mutakhirin mendefinisikan ta‟wil dengan:

“Memalingkan makna lafaz yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah

(marjuh) karena ada dalil yang menyertainya”.33

Senada dengan definisi di atas, az-Zarkashi mengungkapkan

pengertian ta‟wil sebagai berikut:

“Memalingkan ayat kepada makna-makna lain yang dimilikinya”.34

Quraish Shihab mengemukakan pengertian ta‟wil adalah

mengembalikan makna kata/kalimat ke arah yang bukan arah makna

harfiahnya yang dikenal secara umum. Dalam hal ini Quraish Shihab

mencotohkan dengan sebuah kalimat “Dia duduk di kursi yang basah”.

Dari kalimat ini yang tergambar dalam benak pembaca adalah seseorang

yang duduk di atas kursi yang terkena air. Atau jika pembaca tersebut

mengungkapkan makna yang lebih jauh lagi seperti seseorang yang

31

Az-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, vol. 1, h. 15 32

Abd al-„Azim al-Zarqani, Manahil al-Irfan fi „Ulum Al-Qur`an jilid 2, (Beirut:

Darul Kitab al-„Arabi, 1995), h. 7 33

Az-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, vol. 1, h. 15 34

Badruddin Muhummad bin Abdullah az-Zarkashi, al-Burhan fi „Ulum Al-Qur`an

jilid 1, (Kairo: Maktabah Dar al-Turath, t.t), h. 13

Page 38: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

25

berada dalam satu jabatan yang menyenangkan. Dari sini ta‟wil dapat

dipahami mengungkap makna yang tersembunyi.35

Menurut Amin Abdullah mengutip dari Nashr Hamid Abu Zaid dalam

pengantar Arah Baru Metode Penelitian tafsir Indonesia, ta‟wil dalam

pengertiannya yang baru menggunakan perangkat keilmuan lain dalam

ilmu-ilmu kemanusiaan dan sosial untuk menguak makna teks yang lebih

dalam. Singkatnya, ta‟wil lebih mendalam dalam penguakan makna yang

tidak dapat dilakukan oleh tafsir, serta dalam ta‟wil peran subjek

(pembaca) dalam penguakan makna teks lebih signifikan daripada

tafsir.36

Sedangkan menurut Komarudin Hidayat, kata ta‟wil mengalami

perkembangan makna lebih tepat disejajarkan dengan hermeneutika

karena mempunyai arti mengembalikan makna teks pada bentuk awal

yang hidup dan dinamis, namun makna itu sekarang lebih terwadahi atau

bisa terkurung dalam teks. Dalam memahaminya memerlukan data dan

imajinasi konteks sosial serta psikologis baik dari sisi pembicara maupun

pendengar.37

Dengan demikian dalam pandangan ulama mutakhirin , ta‟wil pada

dasarnya merupakan suatu bentuk pengalihan makna suatu ayat kepada

makna lain yang dimilikinya, dimana makna tersebut tidak bertentangan

dengan kandungan Al-Qur`an dan hadis serta dikenal dalam istilah Arab.

Di dalam Al-Qur`an pengertian ta‟wil dapat dibagi menjadi enam.

Jika dianalisis kata ta‟wil muncul dalam Al-Qur‟an sebanyak 17 kali,

yang berarti menerangkan, mengibaratkan (QS. Yusuf [12]:6), (QS.

Yusuf [12]:21), (QS. Yusuf [12]:36), (QS.Yusuf [12]: 37), (QS. Yusuf

[12]:44), (QS. Yusuf [12]: 45), (QS. Yusuf [12]:100), (QS. Yusuf

[12]:101)38

sementara kata tafsir muncul hanya sekali. Barangkali

rahasia dibalik ini adalah bahwa kata ta‟wil merupakan konsep yang

dikenal dalam peradaban sebelum Islam yang berkaitan dengan tafsir

terhadap mimpi atau ta‟wil al-ahadîts. Dalam surat Yusuf kita dapatkan

bahwa sruktur surat didasarkan pada “mimpi Nabi Yusuf” pada awal

surat, yaitu mimpi yang “ta‟wil”-nya terealisasi pada akhir kisah. Seperti

yang terdapat dalam QS. Yusuf [12]: 6 bahwa Allah mengajari Nabi

Yusuf ta‟wil mimpi:

35

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 219 36

Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi,

(Yogyakarta: Lkis, 2013), h. 9 37

Komarudin hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutika

(Jakarta: Paramadina, 1996), h. 215 38

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van

Hoeve, 1993), cet. 1, h. 50

Page 39: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

26

“Dan demikianlah, Tuhan memilih engkau (untuk menjadi Nabi) dan

mengajarkan kepadamu sebagian dari ta‟wil mimpi dan

menyempurnakan (nikmat-nya) kepadamu dan kepada keluarga Yakub,

sebagaimana dia telah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kedua

orang kakekmu sebelum itu, (yaitu) Ibrahim dan Ishak. Sungguh

Tuhanmu maha mengetahui maha bijaksana.

Dan dalam QS. Yusuf [12]: 36 yang menceritakan dua orang pemuda

yang meminta ta‟wil mimpi kepada Nabi Yusuf39

:

“Dan bersama dengan Dia masuk pula ke dalam penjara dua orang

pemuda berkatalah salah seorang diantara keduanya: "Sesungguhnya

aku bermimpi, bahwa aku memeras anggur." dan yang lainnya berkata:

"Sesungguhnya aku bermimpi, bahwa aku membawa roti di atas

kepalaku, sebahagiannya dimakan burung." berikanlah kepada Kami

ta'birnya; Sesungguhnya Kami memandang kamu Termasuk orang-orang

yang pandai (mena'birkan mimpi)”

Selanjutnya ta‟wil dalam Al-Qur`an dapat berarti tujuan dan makna

perbuatan yang ditunjukkan oleh firmannya dalam QS. Al-Kahfi [18]: 78

dan QS. Al-Kahfi [18]: 82

39

Nashr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur‟an: Kritik terhadap Ulumul Qur‟an, terj.

Mafhûm an-Nash Dirâsah fi „Ulûm Al-Qur‟an, terj. Khoirun Nahdliyyin, (Yogyakarta: Lkis

Yogyakarta, 2001), cet. 1, h.312

Page 40: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

27

“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota

itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua,

sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu

menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan

mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan

bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu

adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar

terhadapnya". (QS. Al-Kahfi [18]: 78)

Pengertian ta‟wil yang ketiga juga dapat berarti akibat, hal ini

ditunjukkan oleh firmannya dalam QS. An-Nisa [4]: 59 dan QS. Al-Isrā

[17]: 35.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),

dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat

tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan

Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan

hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik

akibatnya”.(QS. An-Nisa [4]: 59)

Pengertian ta‟wil yang keempat adalah dapat berarti penjelasan hal ini

ditunjukkan oleh firmannya dalam QS. Ali Imran [3]: 7 diulang sebanyak

dua kali dan dalam QS. Yunus [10]: 39

Page 41: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

28

“Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum

mengetahuinya dengan sempurna Padahal belum datang kepada mereka

penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah

mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang

yang zalim itu”. (QS. Yunus [10]: 39)

Kemudian pengertian ta‟wil dalam Al-Qur`an yang kelima adalah

dapat berarti kebenaran yang ditunjukkan oleh firmannya pada QS. Al-

A„raf [7]: 53 diulang sebanyak dua kali.40

“Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran)

Al Quran itu. pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Quran itu,

berkatalah orang-orang yang melupakannya[547] sebelum itu:

"Sesungguhnya telah datang Rasul-rasul Tuhan Kami membawa yang

hak, Maka Adakah bagi Kami pemberi syafa'at yang akan memberi

syafa'at bagi Kami, atau dapatkah Kami dikembalikan (ke dunia)

sehingga Kami dapat beramal yang lain dari yang pernah Kami

amalkan?". sungguh mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan

telah lenyaplah dari mereka tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan.” (QS.

Al-A„raf [7]: 53)

40

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 50

Page 42: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

29

D. Pembagian Ta’wil

Ta‟wil terbagi kepada dua bagian yaitu ta‟wil ijmali dan ta‟wil

tafshili.

1. Ta‟wil Ijmali

Ta‟wil Ijmali adalah metode yang diterapkan dalam memahami

ayat-ayat mutasyâbihât tentang sifat Allah yaitu dengan mengalihkan

makna ayat dari apa yang tercipta dalam benak pikiran dari

gambaran-gambaran (tashawwur) dan khayalan-khayalan mengenai

eksisnya Allah dengan tanpa menentukan makna, karena kemampuan

manusia tidak bisa menggambarkan dan memberikan pengertian akan

pencipta-Nya. Metode ini banyak diterapkan kalangan sahabat, tabi‟in

dan tabi‟ at-tabi‟in.41

Ta‟wil ijmali ini juga biasa disebut bersamaan

dengan tafwidh. Implisitnya adalah tafwidh dilakukan setelah ta‟wil

ijmali. Karena tafwidh adalah menyerahkan makna yang dimaksudkan

kepada Allah Ta‟ala.42

Sebagaimana ulama salaf dalam menyikapi ayat-ayat

mutasyâbihât Ahmad bin Hanbal (w. 855 M)43

juga memberi

komentar jika dihadapkan kepada ayat-ayat tersebut, seperti ketika

ditanya tentang makna “yanzilu” dalam suatu hadis.44

41 Dede Maria Ulfah, “Metode Ulama Salaf dan Khalaf dalam Memahami Ayat-ayat

Mutasyâbihât (Studi terhadap Metode Tafwidh dan Ta‟wil Ayat-ayat tentang Sifat Allah)”,

Skripsi, (Jakarta: IIQ Jakarta, 2011), (t.d.), h. 80 42

http://lbm .mudimesra.com/2014/04/takwil-dan-tafwidh-menurut-ulama-

salaf.html?m=1 (diakses pada tanggal 15 September 2017). 43

Ahman bin Hanbal adalah seoarng ulama, mujtahid di bidang fikih dan salah

seoarng di antara empat imam mazhab yang terkenal di dunia Islam. Nama lengkapnya

Ahman bin Muhammad bin Hanbal. (Baghdad, Rabiulakhir 164/780 M – Rabiulawal

241/855 M). Selengkapnya lihat erpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT),

Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), cet. 5, h. 82 44

Dede Maria Ulfah, “Metode Ulama Salaf dan Khalaf dalam Memahami Ayat-ayat

Mutasyâbihât, h.57

Page 43: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

30

“Abdullan bin Maslamah menyampaikan kepada kami dari Malik

dari Ibnu Syihab, dari Abu Salamah, dari Abu Abdullah al-Aghar,

dari Abu Hurairah bahwa Raulullah Saw bersabda, “Rabb yang

Mahasuci akan turun ke langit dunia setiap sepertiga terakhir malam

seraya berfirman, „Siapa saja yang berdoa kepada-Ku, pasti Aku

kabulkan. Siapa saja yang meminta kepada-Ku, pasti Aku beri. Siapa

saja yang memohon ampun kepada-Ku, pasti Aku ampuni‟‟.45

Beliau mengatakan: “Kita mengimaninya tanpa bagaimana Ia

(Allah) dan tanpa memberikan makna”.46

Metode ini merupakan sebuah sikap pensucian Allah secara

mutlak dari sifat yang dimiliki makhluknya.

2. Ta‟wil tafshili

Ta‟wil tafshili adalah metode yang diterapkan dalam memahami

ayat-ayat mutasyâbihât dengan tidak mengambil makna literalnya,

tetapi dengan menentukan makna yang esensinya tidak keluar dari

ayat yang dikehendaki. Seperti ayat ini

mengandung arti terhadap sifat Allah, maka makna yang terletak pada

lafaz istawa harus dita‟wil dengan makna sifat yang dimiliki Allah

seperti menguasai dan menundukkan.

Atau bisa juga dikatakan mengalihkan makna tekstual kepada

makna metaforis yang tidak menyerupakan Allah dengan

makhluknya. Ayat-ayat sifat Allah tidak diinterpretasikan dalam

konteks anggota badan (al-jawarih) dan perbuatan (al-infi„alat).47

Metode ta‟wil tafshili ini lebih dominan diterapkan oleh ulama

mutaakhirin. Tetapi di beberapa ayat ta‟wil tafshili ini juga pernah

diterapkan ulama salaf.

Adanya metode ta‟wil bukan berarti peniadaan (ta‟til48

) terhadap

sifat-sifat Allah. Pemikiran ta‟til yang menolak ayat-ayat sifat

45

Abu Abdullah Muhammad bin Isma‟il al-Bukhari, Ensiklopedia Hadis Shahih

Bukhari jilid 1, (Jakarta: Almahira, 2012), cet. 1, h. 252 46

Dede Maria Ulfah, “Metode Ulama Salaf dan Khalaf dalam Memahami Ayat-ayat

Mutasyâbihât, h.57 47

Dede Maria Ulfah, “Metode Ulama Salaf dan Khalaf dalam Memahami Ayat-ayat

Mutasyâbihât, h. 58-83 48

Al-ta‟til secara istilah diartikan sebagai metode yang tidak meyakini sifat-sifat

yang Allah sifatkan terhjadap diri-Nya sendiri di dalam Al-Qur`an atau yang disifatkan

Rasulullah Saw dalam hadis-hadis shahih-nya . adapun orang yang memiliki paham seperti

Page 44: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

31

tersebut dalam Islam tergolong kepada ghuluw (melampaui batas), hal

ini disebabkan karena pemikiran tersebut terkesan mengabaikan dan

tidak mempercayai sebagian dari wahyu Tuhan, dan hal ini terang-

terangan bertentangan dengan salah satu prinsip dasar agama Islam,

yaitu meyakini firman Allah Swt secara utuh. Dengan mengabaikan

sebagian firman Allah Swt akan terjadi disfungsi terhadap firman-

firman tersebut. Firman yang yang sebelumnya berfungsi untuk

memberikan kejelasan dan berinteraksi terhadap manusia akan

kehilangan fungsinya. Firman tersebut pada akhirnya akan sia-sia dan

tidak bisa diambil lagi manfaatnya oleh manusia.

Adanya metode ta‟wil menurut penulis adalah jalan tengah

(tawassut) dari sikap tanzih49

(menyucikan) kepada Allah dan

tasybih50

(menyerupakan) terhadap Allah. Ta‟wil berarti

menggantikan makna hakiki dengan makna majazi.

E. Pengertian Mutasyâbihât

Sebelum membahas bagaimana pandangan Imam asy-Syaukani

terhadap ayat mutasyâbih, penulis merasa perlu untuk menjelaskan

terlebih dahulu pengertian mutasyâbih dan hal-hal yang berkaitan

dengannya.

Pembahasan masalah ayat mutasyâbih sudah menjadi bahan

pembicaraan dikalangan mufassirin dari zaman dahulu hingga saat ini,

baik dari segi makna mutasyâbih itu sendiri maupun makna dari ayat

ini disebut dengan al-Mu‟attilah. Lihat Ibnu Jama‟ah, Idah al-Dalil fi Qat‟i Hujaj Ahl-al-

Ta‟til, (Damaskus: Dar Iqra‟: 2005), cet. 1, h. 55 49

Tanzih adalah prinsip penyucian Allah dari serupa dengan makhluk berdasarkan

dalil “Laisa Kamitslihi Syai‟un” (QS. Al-Syura [26]:11).

Tanzih berasal dari kata nazzaha, yang secar harfiah berarti “menjauhkan atau

membersihkan sesuatu dari yang mengotori, sesuatu yang tidak murni” yang dipergunakan

para mutakallimin (teolog-teolog Islam) untuk “menyatakan atau menganggap bahwa Tuhan

secar mutlak bebas dari semua ketidaksempurnaan,” yaitu semua sifat yang serupa dengan

sifat-sifat makhluk meskipun dalam kadar yang paling kecil. Dengan kata lain, tanzih

menyatakan bahwa Tuhan melebihi sifat atau kualitas apapun yang dimiliki oleh makhluk-

makhluk-Nya. Lihat W.C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-„Arobi‟s

Methaphysics of Imagination, (Albany: State University of Ney York Press, 1989), h. 69 50

Tasybih adalah paham yang menyerupakan Allah dengan makhluknya, baik

menyerupakan dzat-Nya ataupun sifat-Nya. Paham ini lahir sebagai konsekuensi

pengambilan arti zahir dari ayat-ayat sifat. Al-Baghdadi dalam “al-Farqu baina al-Firaq”

menjelaskan sebagai berikut: “ ketahuilah oleh kalian, semoga Allah menjadikan kalian

bahagia, kelompok musyabbih ada dua kelompok. Kelompok pertama adalah orang-orang

yang menyerupakan dzat Allah denagn makhluk-Nya. Dan kelompok kedua adalah orang-

orang yang menyerupakan sifat-sifat-Nya dengan sifat makhluk. Lihat Abdul Qadir ibnu

Tahir al-Baghdadi Abu Mansur, al-Farqu baina al-Firaq wa Bayanu al-Firqah an-Najiyah,

(Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1977), h. 214

Page 45: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

32

yang digolongkan kepada ayat mutasyâbih. Setiap generasi melakukan

penelitian yang mengakibatkan munculnya ilmu-ilmu baru yang belum

tergali pada masa sebelumnya. Ketika ingin menjelaskan pengertian

mutasyâbih, pembahasannya tidak sempurna sebelum menjelaskan hal

yang bersangkutan dengannya yaitu muhkam. Muhkam dan mutasyâbih

adalah dua istilah yang saling bergandengan dan tidak bisa dipisahkan

antara keduanya.

Muhkam berasal dari kata hakama dan ahkama bisa berarti “kokoh”

dan “mengokohkan”, juga bisa berati “mencegah dari pengaruh

kerusakan”. Muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih, dan

membedakan antara yang hak dan batil.51

Sedangkan menurut istilah

(terminologi) muhkam adalah ayat yang jelas maksud dan maknanya,

rasional, mandiri, menerangkan masalah kewajiban, janji dan ancaman.52

Secara bahasa (etimologi) kata mutasyâbihât adalah bentuk plural

(jama‟ muaanas salim) dari mufrad mutasyâbih, yang terambil dari akar

kata shabah yang berarti serupa atau sama antara dua perkara atau lebih.

Biasanya keserupaan itu menimbulkan kesamaran atau ketidakjelasan

bahkan kebingungan menentukan antara yang satu dengan yang lainnya.

Seperti dalam Al-Qur`an (QS. Al-Baqarah [2]: 25)

dan (QS. Al-Baqarah [2]: 70).

Dalam pengucapannya ada yang mengistilahkan mutasyâbih ada juga

yang mengatakan mushtabih.53

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan

bahwa mutasyâbih terkadang bermakna mirip, sama, serupa dan samar.

Dari arti bahasa inilah term mutasyâbih digunakan untuk sesuatu yang

serupa yang masih samar dan belum jelas pada sebagian ayat-ayat Al-

Qur`an.

Adapun mutasyâbih menurut istilah (terminologi), para ulama dalam

menyikapi ayat mutasyâbihât sangat beragam di antaranya:

1. Az-Zarqani (w. 1122 H) dalam kitabnya Manahil al-Irfan

mengemukakan bahwa ayat mutasyâbihât adalah ayat yang

memiliki beberapa penakwilan. Pendapat ini dinisbatkan kepada

Ibnu „Abbas dan dipakai oleh mayoritas ulama usul. 54

51

Muhammad Chirzhin, Al-Qur`an dan Ulum Al-Qur`an, (Bandung: Pustaka 2004),

h. 71 52

Tarmana Abdul Qasim, Samudera Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, (Bandung: Mizan

Pustaka, 2003), h. 140-141 53

Muhammad Abd al-„Azim az-Zarqani, Manahil al-Irfan fi „Ulum Al-Qur`an Jilid

2, (Kairo: Dar al-Hadis, 2001), h, 225 54

Az-Zarqani, Manahil al-Irfan fi „Ulum Al-Qur`an jilid 2, h. 230-231

Page 46: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

33

2. Ayat mutasyâbih artinya yang samar yang tidak ditemukan

maknanya secara aqli maupun naqli. Ia hanya diketahui oleh Allah

Swt seperti hari kiamat dan al-huruf al-muqatha‟ah. Pendapat ini

dinisbatkan oleh al-Alusi (w. 1854 M) kepada para pemimpin

mazhab Hanafi.55

3. Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 1209 M) berpendapat lafaz

mutasyâbihât ialah lafaz yang petunjuknya tidak kuat, seperti

lafaz yang global, yang musykil, yang dita‟wili dan sebagainya.56

4. Sementara Al-Ghazali (w. 1111 M) melihat bahwa ayat-ayat

mutasyâbihât adalah ayat-ayat yang secara literalistik

menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmaniyah

(antropomorfisme). Ayat-ayat tersebut meliputi, a. Sifat-sifat dzat

seperti bertangan, berwajah, bermata dan mengambil tempat

seperti di atas di sebelah dan lain sebagainya. b. Sifat perbuatan

sperti turun, datang, ketawa, duduk dan bersemayam. c. Emosi

seperti bosan, marah, rela, cinta, dan lain sebagainya.57

Dari beberapa defenisi di atas nampak jelas perbedaan antara muhkam

dan mutasyâbih. Secara garis besarnya perbedaan di antara muhkam dan

mutasyâbih adalah bahwa muhkam jelas maknanya dan mutasyâbih samar

atau kurang jelas sehingga masih membutuhkan penafsiran untuk

mendapatkan pengertian yang lebih jelas.

F. Jenis-jenis Mutasyâbihât dalam Ayat

Letak ayat mutasyâbih dalam Al-Qur`an terdapat dalam beberapa

tempat yaitu, terkadang dari segi lafaz, terkadang dari segi makna dan

terkadang dari segi lafaz dan makna. Untuk lebih jelasnya bisa

diperhatikan contoh di bawah ini:

1. Kesamaran pada lafaz/kata yang digunakan ayat, seperti misalnya

firman Allah yang menginformasikan sikap Nabi Ibrahim as.

terhadap patung-patung sembahan kaumnya. Allah antara lain,

berfirman pada QS. Ash-Shaffat [37]: 93.

55

As-Suyuthi, Samudera Ulumul Qur‟an Jilid 3, h. 6 56

Rosihon Anwar, „Ulumul Qur‟an, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), h. 128 57

Husein Aziz, jurnal “Pemahaman ayat-ayat Mutasyabbihah Perspektif Bahasa”,

dalam e-journal Madaniya, vol. 11, no 1, 2012 h. 31-32

Page 47: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

34

Kata yamin ( ) tidak jelas maksudnya, apakah dalam arti

tangan kanan atau kuat atau sumpah sehingga ayat tersebut dapat

dipahami dalam arti Nabi Ibrahim as.: Pergi dengan cepat dan

sembunyi-sembunyi menuju patung-patung itu, lalu memukulnya

dengan tangan kanannya, atau memukulnya dengan keras, atau

memukulnya disebabkan oleh sumpah yang pernah diucapkannya

bahwa dia akan merusak berhala-berhala itu.

2. Kesamaran pada maknanya, seperti uraian Al-Qur`an tentang

sifat-sifat Allah, misalnya:

“... tangan Tuhan di atas tangan mereka” (QS. Al-Fath [48]:

10).58

Dari segi lafaz dapat dipahami dengan jelas akan tetapi

tidak dapat dirincikan bagaimana keadaan yang sesungguhnya.

3. Kesamaran pada lafaz dan maknanya, seperti firman Allah:

“... bukannya kebajikan memasuki rumah dari belakangnya...”

(QS. Al-Baqarah [2]: 189).

Penggalan ayat ini dapat dinilai mutasyâbih, karena redaksinya

yang sangat singkat. Di samping itu maknanya tidak jelas sehingga

diperlukan pengetahuan menyangkut adat istiadat masyarakat Arab

Jahiliyah/awal masa Islam, menyangkut cara mereka masuk rumah.59

G. Pandangan ulama terhadap ayat-ayat Mutasyâbihât

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat

mutasyâbih dapat diketahui pula oleh manusia, atau hanya Allah saja

yang mengetahuinya. Pangkal perbedaan pendapat itu bermuara pada cara

menjelaskan struktur kalimat ayat berikut:

“... tidak ada yang mengetahui ta‟wilnya kecuali Allah. Dan orang-orang

yang mendalam ilmunya berkata, „kami beriman kepada ayat-ayat

mutasyâbih”. (QS. Ali Imran [3]: 7)

58

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 212 59

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, h. 213

Page 48: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

35

Apakah ungkapan wa-rasakhina fil „ilm di-athaf-kan pada lafaz

Allah, sementara lafaz yaquuluna sebagai hal. Ini artinya bahwa ayat-ayat

mutasyâbih pun diketahui oleh orang-orang yang mendalam ilmunya.

Atau apakah ungkapan wa-rasakhina fil „ilm sebagai mubtada‟,

sedangkan lafaz yaquluuna sebagai khabar. Ini artinya ayat-ayat

mutasyâbih hanya diketahui oleh Allah saja, sedangkan orang-orang yang

mendalam ilmunya hanya mengimaninya.60

Sebagian besar ulama berpendapat ayat mutasyâbih tidak diketahui

ta‟wilnya oleh siapapun kecuali Allah. Mereka mewajibkan supaya orang

tidak mencari-cari ta‟wilnya dan menyerahkan persoalan itu kepada

Allah. Adapun orang yang mendalam ilmunya ketika berhadapan dengan

ta‟wil Al-Qur`an berakhir pada ucapan: “kami mengimaninya, semuanya

datang dari Allah Tuhan kami.

Abul Hasan al-Asy‟ari (w. 935 M) berpendapat ayat tersebut berhenti

atau berakhir pada kalimat “dan orang-orang yang mendalam ilmunya”.

Dengan demikian para ulama mengetahui ta‟wilnya. Pendapat tersebut

diperjelas oleh Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476 H) yang mendukungnya dan

mengatakan: “Pengetahuan Allah mengenai ta‟wil ayat-ayat mutasyâbihât

itu dilimpahkan juga kepada para ulama yang ilmunya dalam, sebab

firman tersebut diturunkan adalah pujian bagi ulama yang ilmunya

mendalam. Kalau mereka tidak mengetahui maknanya, berarti mereka

sama dengan kaum awam.61

Sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyâbih terbagi dalam dua

kelompok, yaitu:

1. Mazhab salaf, yaitu para ulama yang mempercayai dan

mengimani ayat-ayat mutasyâbih dan menyerahkan sepenuhnya

kepada Allah. Mereka menyucikan Allah dari pengertian-

pengertian lahir yang mustahil bagi Allah dan mengimaninya

sebagaimana yang diterangkan Al-Qur`an. Di antara ulama yang

masuk ke dalam kelompok ini adalah Imam Malik, ketika ditanya

tentang istiwa‟ ia menjawab:

60

Rosihon Anwar, „Ulumul Qur‟an, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), cet. Ke-2 h.

123 61

Didin Saefudin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur`an, (Bogor:

Granada Sarana Pustaka, 2005), cet. Ke-1, h. 76

Page 49: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

36

“Istiwa itu maklum, sedangkan caranya tidak diketahui dan

mempelajarinya bid‟ah. Aku mengira bahwa kau adalah orang

yang tidak baik, keluarkan dia dari tempatku”.

Ibnu ash-Shalah (w. 643 H) menjelaskan bahwa mazhab salaf

ini dianut oleh generasi dari para pemuka umat Islam pertama.

Mazhab ini pulalah yang dipilih imam-imam dan para pemuka

fiqih.

2. Mazhab khalaf, yaitu para ulama yang berpendapat perlunya men-

takwil-kan ayat-ayat mutasyâbih yang menyangkut sifat Allah

sehingga melahirkan arti yang sesuai dengan keluhuran Allah.

Mereka umumnya berasal dari kalangan ulama mutaakhirin.

Berbeda dengan ulama salaf yang menyucikan Allah dari

pengertian lahir ayat-ayat mutasyâbih itu, mengimani hal-hal ghaib

sebagaimana dituturkan Al-Qur`an, dan menyerahkan bulat-bulat

pengertian ayat itu kepada Allah, ulama khalaf memberikan

penakwilan terhadap ayat-ayat mutasyâbih.

Untuk menengahi kedua mazhab yang kontradiktif itu, Ibnu ad-

Daqiq al-„Id (w. 702 M)62

mengatakan bahwa apabila penakwilan

yang dilakukan terhadap ayat-ayat mutasyâbih dikenal oleh lisan

Arab, penakwilan itu tidak perlu diingkari. Jika tidak dikenal oleh

lisan Arab, kita harus mengambil sikap tawaqquf 63

dan mengimani

maknanya sesuai apa yang dimaksud ayat-ayat itu dalam rangka

menyucikan Allah.64

62

Ibnu Daqiq al-Id adalah pakar dalam fikih Mazhab Syafi‟i, ushul fikih, hadis dan

bahasa Arab. Nama lengkapnya Taqiuddin Abu al-Fath Muhammad bin Ali bin Wahhab bin

Muti Daqiq al-Id al-Qusyairi. (Qus, Mesir 25 Syakban 625 – Cairo, 15 Safar 702).

Selengkapnya lihat erpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedi

Hukum Islam, h. 604 63

Tidak membenarkan dan tidak pula menyalahkannya 64

Rosihon Anwar, „Ulumul Qur‟an, h. 123-128

Page 50: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

37

BAB III

BIOGRAFI IMAM ASY-SYAUKANI

A. Riwayat Hidup Imam asy-Syaukani

Imam asy-Syaukani bernama lengkap Muhammad bin Ali bin

Abdullah bin al-Hasan al-Khaisyinah Ibnu Zabbad. Ia dilahirkan pada

hari senin tanggal 28 Dzulqa‟dah bertepatan dengan tahun 1173 H di

daerah sekitar Syaukan pegunungan berjajar yang dikenal dengan nama

Hajiratusy Syaukan.1 Ia tumbuh di bawah asuhan ayahandanya yang

menjadi hakim selama 40 tahun dalam lingkungan yang penuh keluhuran

budi dan kesucian jiwa.2

Orang tuanya adalah orang yang sangat alim, wara‟ dan bertakwa,

sangat perhatian kepada anaknya dan dididik dengan budaya Islam seperti

kedalaman seorang cendekiawan.3 Ayahnya merupakan seorang ulama

besar di Shan‟a. Ia banyak mengajarkan ilmu kepada anaknya dan banyak

mengeluarkan harta demi kepentingan pendidikan anaknya.4

Tidaklah heran jika melihat latar belakang keluarga Imam asy-

Syaukani adalah keluarga yang menjunjung tinggi ilmu dan pendidikan,

hal inilah yang mendorong Imam asy-Syaukani bersemangat dalam

menuntut ilmu-ilmu agama dan menjadikannya sebagai ulama besar dan

seorang mujtahid di masanya.

Imam asy-Syaukani telah hafal Al-Qur`an. Hal ini adalah perkara

terpenting bagi orang yang akan menggeluti ilmu agama dan bahasa

Arab. Al-Qur`an merupakan pondasi awal bagi orang yang akan studi Al-

Qur`an dan mendalami bahasa Arab.5

Imam asy-Syaukani sangat kuat ingatannya, dari kecil ia banyak

menghafal bagian matan6. Di usia mudanya dia telah menggeluti kitab

sejarah dan kumpulan satra-sastra. Kelebihan ini sampai pada puncaknya

ketika semangatnya semakin menyala dalam mencari ilmu. Ia

mengeluarkan fatwa saat ia berusia 20 tahun. Perumpaan Imam asy-

1 Syaukan, adalah nama wilayah yang terletak di Yaman utara. Imam asy-Syaukani,

Tafsir Fathul Qadir Jilid I, terj. Fathul Qadir (Al Jami‟ baina Ar Riwayah wa Ad-Dirayah

min ilm Al-Tafsir ), terj. Amir Hamzah Fachruddin dan Asep Saifullah (Jakarta: Pustaka

Azzam, 2008), cet. Ke-1, h. 31 2 Faizah Ali Syibromalisi, Tafsir bii al-Ma‟tsur, (Jakarta: IIQ Jakarta: 2010), cet.

Ke-1, h. 174 3 Mani‟ „Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode

Para Ahli Tafsir, terj. Manhaj al-Mufassirin Faisal Saleh dan Syahdianor, (Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2006), h. 187 4 Imam asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, h. 32

5 Mahmud, Metodologi tafsir: kajian komprehensif metode para ahli tafsir, h.188.

6 Matan adalah bentuk ringkas dari satu bidang ilmu

Page 51: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

38

Syaukani saat itu sama dengan posisi ulama besar Amirul Mukminin

dalam hadis, Sufyan ats-Tsauri yang alim dan terkemuka yang

mengeluarkan fatwa di usia 20 tahun.7

Pada masa Imam asy-Syaukani muncul juga nama-nama pembaharu

seperti M. Isma‟il al-Amir, Shaleh al-Mahdi al-Maqili, al-Husain bin

Ahmad al-Jallal dan Ibrahim bin Muhammad al-Wazir. Ini semua

menunjukkan bahwa Imam asy-Syaukani tidak hanya mengambil

pengetahuannya dari para ulama terkenal sebelumnya, tapi ia juga

mengambil pengetahuan dari seluruh pakar di bidangnya walaupun

mereka hidup semasa. Imam asy-Syaukani telah merampungkan kegiatan

belajarnya dengan para ulama-ulama di Shan‟a juga telah banyak

menghafalkan kitab-kitab. Setelah itu Imam asy-Syaukani menfokuskan

dirinya untuk pengajaran.

Dalam sehari semalam pelajaran yang ia pelajari mencapai 13 materi,

sebagian beliau belajar dari gurunya dan sebagian ia ajarkan kepada

teman-temannya.8

Imam asy-Syaukani dikatakan bersentuhan dengan mazhab Zaidi.

Mazhab Zaidi merupakan salah satu cabang dari paham Syi‟ah dan biasa

disebut dengan aliran Syi‟ah Zaidiyah. Kelompok ini memandang bahwa

sebenarnya imam Ali yang lebih berhak mengganti khalifah setelah

Rasulullah Saw wafat. Salah satu hal yang menarik dalam pandangan

mazhab Zaidi adalah bahwa mazhab ini tidak pernah menutup pintu

ijtihad selamanya meskipun ijtihad yang mereka maksudkan tidak

merupakan ijtihad mutlak menurut pendapat jumhur. Karena mereka

beranggapan bahwa pintu ijtihad selamanya terbuka, akibatnya dalam

mazhab Zaidi banyak terdapat imam yang menelorkan hukum-hukum

fiqh seperti mazhab Qasimiyah, mazhab Hadawiyah, mazhab Nasiriyah

dan lain sebagainya yang kesemuanya merupakan cabang mazhab

Zaidiyah dalam bidang fiqh.

Imam asy-Syaukani dikatakan bersentuhan dengan mazhab Zaidi

karena kehidupan keluarganya bermazhab Zaidiyah. Dan ini membawa

pengaruh yang sangat signifikan dalam pemikirannya. Asy-syaukani

muda telah mengusai fiqh-fiqh mazhab Zaidiyah, seperti kitab Azhar.

Kecintaannya terhadap ilmu tidak menutup kesempatan untuk hanya

membatasi diri dengan kajain-kajian mazhab Zaidiyah9

Di samping itu Imam asy-Syaukani didukung oleh lingkungan di

negeri Yaman yang baik pada zamannya, sehingga ia bisa mempelajari

7 Mahmud, Metodologi tafsir: kajian komprehensif metode para ahli tafsir, h. 188

8 Syaikh M. Hasan al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, terj. Hayatul Aimmah, terj.

M. Khaled Muslih, Imam Awaluddin, (Jakarta: Puataka Al Kautsar, 2005), cet. I, h 258 9 Achmad Tubagus Surur, “Dimensi Liberal dalam pemikiran hukum imam asy-

Syaukani”, dalam e-journal stain pekalongan.ac.id , vol. 8, no 1, 2010 h. 3

Page 52: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

39

karangan-karangan imam-imam besar seperti Imam asy-Syafi‟i dan Ibnu

Taimiyah.10

Sikap terbuka inilah yang menjadikan imam asy-Syaukani sangat

menentukan langkah-langkah mana yang tepat untuk dijadikan panutan,

maka bukan hal yang eneh jika sejak kecil hingga menginjak dewasa

mengikuti mazhab Zaidiyah, tetapi untuk bidang teologinya walaupun

kebanyakan pengikut mazhab Zaidiyah mengikuti paham Mu‟tazilah,

imam asy-Syaukani tidak mengikitinya. Justru ia cenderung mengikuti

aliran mazhab salaf. Hal ini dibuktikan dengan pemahaman mengenai

ayat mutasyâbihat yang menafsirkannya seperti ulama salaf. Untuk

masalah kemakhlukan Al-Qur`an, imam asy-Syaukani juga tidak

sependapat.11

Di samping itu Imam asy-Syaukani didukung oleh lingkungan di

negeri Yaman yang baik pada zamannya, sehingga ia bisa mempelajari

karangan-karangan imam-imam besar seperti Imam asy-Syafi‟i dan Ibnu

Taimiyah. Walaupum Imam asy-Syaukani pada saat itu hidup di

lingkungan Zaidiyah tapi ia tidak terpengaruh oleh pemikiran tersebut.

Posisi Imam asy-Syaukani terhadap taqlid jelas ia mengingkari secara

keseluruhan bahkan ia mengarang suatu kitab al-Qaul al-Mufid untuk

melawan mereka yang berpegang dan menyebarkan ajam taqlid.

Imam asy-Syaukani dikenal sebagai ulama yang menekuni,

mengembangkan, dan menjadi sumber fatwa mazhab Zaidiyah. Tetapi

kemudian, setelah mandiri dalam memahami hadis Rasulullah Saw secara

baik, ia berusaha memberantas taqlid yang merajalela di zamannya, dan

mengumandangkan perlunya sikap ijtihad. Ia mendapat tantangan keras

dari ulama yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup.12

Beliau meninggal dunia saat menjadi hakim di Shan‟a pada bulan

Jumadil Akhir tahun 1250 H, dan saat itu beliau berumur 77 tahun. Beliau

di makamkan di Shan‟a.13

B. Gelar yang disandangnya

Seperti yang dikatakan di atas bahwa Imam asy-Syaukani seoarng

ulama yang sudah mencapai puncak kelimuannya. Melihat kondisi ini

banyak gelar yang disandangkan kepada Imam asy-Syaukani sebagai

10

Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, h. 34 11

Achmad Tubagus Surur, “Dimensi Liberal dalam pemikiran hukum imam asy-

Syaukani”, h. 4

12

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5, (Jakarta: Ichtiar

Baru van Hoeve, 1993), cet. 1, h. 1701 13

Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, h. 34

Page 53: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

40

panggilan penghargaan karena kedalaman ilmu dan jasanya terhadap

dunia Islam.

Gelar yang ditujukan kepadanya adalah:

1. Qadhi (hakim dan pemberi fatwa). Gelar ini ditujukan kepada

Imam asy-Syaukani karena memang beliau menjabat sebagai

qadhi Yaman seumur hidup.14

Menjadi qadhi saat usianya

mencapai 36 tahun pada masa pemerintahan Imam al-Mansur Ali

bin al-Mahdi Abbas, dan al-Imam al-Mutawakkil „Alallah

Ahmad.15

2. Mujaddid (pembaharu/reformis). Imam asy-Syaukani dicatat oleh

Muhammad Sidiq Khan dalam bukunya, Dhalîl ath-Thalib ilâ

Arjah al-Mathâlib, sebagai seorang mujaddid ke 113 sebagaiman

disebutkan juga dalam al-Laknawi dalam Tidkarah Ar-Rasyid.16

3. Imamah (Imam) dalam ilmu hadis pada tahun 1209 H. Gelar ini

disandangkan kepada Imam asy-Syaukani karena beliau

menempuh perjalanan mencari riwayat hadis dengan cara sama‟17

dan talaqqi 18

kepada para masyaikh hadis pada tahun 1209 H.19

4. Syaikhul Islam, yaitu gelar kehormatan bagi tokoh ilmuwan

Islam.20

Dilihat dari berbagai karya-karyanya Imam asy-Syaukani dijuluki

dengan ensiklopedia ilmu pengetahuan, karena ia mempunyai berbagai

macam spesialisasi keilmuan dan seni.

C. Guru dan Muridnya

Di antara keberuntungan Imam asy-Syaukani adalah bahwa pada

masa kecilnya ia mendapatkan seorang ayah yang alim. Maka ia mulai

belajar pertama kali dari tangan ayahnya, hal ini kemudian yang

mendorongnya untuk melanjutkan studinya kepada para ulama besar di

zamannya.21

Di antara guru-gurunya adalah:

1. Al-alim Ahmad bin Amir al-Hadatsi: ia belajar kepadanya kitab

al-Azhar dan syarahnya sebanyak dua kali, juga al-Faraidh

sebanyak dua kali.

14

Faizah Ali Syibromalisi, Tafsir Bi Al Ma‟tsur, h. 175 15

Hasan al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h. 264 16

Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, h. 33 17

Sama‟ dengan cara mendengar atu menjadi pendengar (peserta pasif suatu

pengajian) 18

Talaqqi, bertemu muka atau bertatapan langsung (face to face) 19

Faizah Ali Syibromalisi, Tafsir Bi Al Ma‟tsur, h. 175 20

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5, cet. 1, h. 1701 21

Hasan al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h. 269

Page 54: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

41

2. Al-allamah Ali bin Ibrahim bin Ahmad bin Amir (1143-1207 H):

ia belajar kepadanya Shahih al-Bukhari dari awal hingga akhir.

3. Al-Sayyid al-„Allâmah Abdurrahmân ibn Qâsim al-Madani

(1121-1211 H.) yang membimbing mempelajari fiqih;22

4. Al-„allamah Isma‟il bin Hasan bin Ahmad bin al-imam al-Qasim

bin Muhammad. Ia belajar kepada-Nya Mulhaqu al-I‟rab karya

al-Hariri, serta syarahnya yang terkenal yaitu Bisyarhi Bahraq,

juga dalam ilmu sharaf, al-Ma‟ani serta al-Bayan.

5. Hakim Abdurrahman bin Hasa al-Akwa‟, ia belajar kepada beliau

bab-bab pertama buku Syifa‟ al-„Amir al-Husain dalam bidang

Hadis.

6. Abdullah bin Isma‟il an-Nahmi‟, imam asy-Syaukani belajar

kepada beliau Qa‟idah I‟rab dan syarahnya karya al-Azhari, serta

Syarh as-Sayyid al-Mufti „ala Kafiah bin al-Hajib, dan buku-

buku lainnya.

7. Al-alim Ibnu Muhammad al-Hausyi, imam asy-Syaukani belajar

kepada beliau buku al-Khalid fi al-Faraidh wa al-Wasaya wa al-

Misahah, wa Thariqah ibnu al-Hayim fi al-Munasakhah

8. Al-allamh Ali bin Hadi, imam asy-Syaukani belajar kepadanya

Syarh al-Takhis karya at-Taftazani, serta buku-buku lain.

9. Al-„allamah al-Qasim bin Yahya al-Khaulani (1162-1209 H): ia

belajar kepadanya al-Kafiyyah serta syarahnya karya Sayyid al-

Mutfi dalam bidang Nahwu, demikian juga as-Sa‟d beserta

syarahnya dalam bidang mantiq dan beberapa buku lain.23

10. Al-„allamah al-Husain bin Ismail al-Maghribi: 1140-1207 H) ia

belajar kepadanya sebagian Risalah Syamsiyah karya Qutb.

11. Abdul Qadir bin Ahmad: ia belajar kepadanya al-Muntaqa

Majdi bin Taimiyah.24

12. Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Harazi: ia belajar

kepadanya selam 13 tahun guna mendalami ilmu-limu

agama.25

13. Al-alim Abdul Qadir bin Ahmad al-Kaukabani: ia belajar

kepadanya ushul fikih dan hasyiyah karya Ibnu Syarif, serta

syarh al-Qalaid karya an-Najri, sebagian buku al-Mawaqif al-

„Adhudhiyah dan lain-lain.26

22

Faizah Ali Syibromalisi, Tafsir Bi Al Ma‟tsur, h. 176 23

Hasan al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h. 271 24

Imam asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, h. 34 25

Faizah Ali Syibromalisi, Tafsir Bi Al Ma‟tsur, h. 176 26

Hasan al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h. 269

Page 55: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

42

Sebagai seorang mujaddid pada masanya, seorang yang memiliki

ilmu yang mendalam, aneh rasanya jika beliau tidak memiliki murid.

Murid-murid Imam asy-Syaukani bisa terbilang ratusan, semuanya

menduduki jabatan yang penting dalam bidang hukum, pengajaran, fatwa

serta bidang lainnya. Di antaranya:

1. Muhammad bin al-Hasan asy-Syajni adz-Dzimar Al-Qadi (1200 –

1286 H.), yang mendapat ijazah dari asy-Syaukani pada tahun

1239 H.) dialah orang yang pertama menulis biografi gurunya,

yang berjudul at-Tiqsar fî Jayyid Zaman Alamah al-Aqalim wa al-

Amsar.

2. Muhammad bin Hasan asy-Syajni adz-Dzimar

3. Hasan bin Ahmad Akisy Adh-Dhamadi

4. Lutfullah bin Ahmad Hajaf ash-Shan‟ani

5. Muhammad bin Ahmad Musyahham

6. Abdurrahman bin Ahmad Musyahham

7. Abdurrahman bin Ahmad al-Haikali27

8. Al-qadhi al-„allamah al-Husain bin Muhmmad bin Abdullah al-

Ansi ash-Shan‟ani al-Kaukabani: menjadi gubernur kota Zabid

pada tahun 1235 H.

9. Ahmad bin Zaid al-Kabsi ash-Shan‟ani: ia belajar kepada imam

asy-Syaukani di masjid agung Shan‟a sangat menguasai ilmu

penghantar memahami tafsir, hadis, fikih.

10. Ahman bin Hussein Al Wazzanu Ash-Shan‟ani: ia belajar pada

kajian Imam asy-Syaukani di Masjid agung Shan‟a. Ia sangat

menguasai ilmu hadis dan sangat bagus dalam menulis sastra dan

syair.28

Dan masih banyak lagi murid-muridnya yang lain.

D. Karya-karyanya

Sebagai seorang ulama yang menjadi panduan umat di masanya tentu

banyak jasa yang ia tinggalkan. Karena itu, ia pun dikenang banyak

manusia sampai beberapa abad setelah ia dipanggil oleh yang maha

kuasa.

1. Karya dalam bidang tafsir

a. Isykal as-Sail ila Tafsir “Wal Qamara Qaddarnaahu

Manaazila”

b. Fath al-Qadir al-Jami‟ baina Fanni ar-Riwayah wa ad-

Dirayah min at-Tafsir.

c. Karya dalam bidang hadis

27

Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, h. 34 28

Hasan al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h. 273

Page 56: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

43

a. Ittihaf al-Mahrah „ala Hadits: Laa „Adwa wala Thiyarah

b. Al-Qaul al-Maqbul fi Radd Khabar al-Majhul min Ghairi

Shahabat ar-Rasul.

c. Al-Abhats al-Wad‟iyyah fi al-Kalam „ala Hadits: ad-

Dunya Ra‟su Kulli Khati‟ah

d. Nail al-Authar,

e. Bulugh as-Sa‟il Amaniyahu bi at-Takallum „ala „Athraf

ath-Thamaniyah dalam satu kumpulan pembahasan (59)

(mim, ha dan kaf) (mim dan syin)

f. Bahts fi Hadis: Fadinullahi Ahaqqu an Yuqdha, dan lain-

lain.29

2. Karya dalam bidang akidah

a. Irsyad al-Ghabi ila Mahdzhab ahl al-Bait fi Shuhb an-

Nabi30

b. At-Thaudhih fi Tawatur ma Ja‟a fi al-Muntazhar al-Masih

c. Al-Mukhtashar al-Badi‟ fi al-Khalq al-Wasi‟31

3. Karya dalam bidang fikih

a. Ad-Durr an-Nadhid fi Ikhlash Kalimat at-Tauhid

b. Ad-Durar al-Bahiyyah fi al-Masa‟il al-Fikhiyah

c. Ad-Dawa‟ al-Ajil fi Daf‟i al „Aduww ash-Shail

d. As-Sail al-Jarrar al-Mutadaffiq „ala Hadaiq al-Azhar32

4. Karya dalam bidang ushul fikih

a. Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al-Haq min „Ilm al-Ushul33

b. Tanbih al-A‟lam „ala Tafsir Musytabihat baina al-Halal

wa al- Haram

c. Al-Qaul al-Mufid fi Adillat al- Ijtihad wa at-Taqlid

d. Adab ath-Thalab wa Muntaha al-Arab34

5. Karya dalam bidang Raqaq

a. Jawab Sual „an ash-Shabr wa al-Hilm35

b. Tuhfat adz-Dzakirin bi „Iddat al-Hishn al-Hashin min

Kalam Sayyid al-Mursalin

c. Al-Idhah li Ma‟na at-Taubah wa al-Ishlah

6. Karya dalam bidang sastra

a. Bahts fi an-Nahyi „an Mawaddat Ihwan as-Su‟

29

Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, h. 34-36 30

Mahmud, Metodologi tafsir: kajian komprehensif metode para ahli tafsir, h. 192 31

Imam asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, h. 35 32

Hasan al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h. 267 33

Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, terj. Mabahits fi Ulumil

Qur‟an terj. Mudzakir AS., (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2009), cet. 12, h. 532 34

Imam asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, h. 36 35

Hasan al-Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h. 268

Page 57: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

44

b. Bahts fi ma Isytahara „ala Alsin an-Nas: “Annahu Laa

„Ahda lizhaalim”

c. Bahts fi ash-Shalah „ala an-Nabiyy Shallallahu Aalaihi wa

Sallam36

7. Karya dalam bidang ilmu bahasa dan balaghah

a. Ar-raudh al-Wasi‟ fi ad-Dalil al-Mani‟ „ala „Adam

Inhishar „Ilm al-Badi‟

b. Bahts fi ar-Radd „ala az-Zamakhsyari fi Istihsan Bait ar-

Rabbah

c. Nuzhah al-Ihdaq fi „Ilm al-Isyqaq37

8. Karya dalam bidang Tarajum

a. Al-Badr ath-Thali‟ bi Mahasin min Ba‟di al-Qarn as-

Sabi‟38

b. Bahts fi Syarh Qaulihi SAW: “ad-Dun-yaa Mal‟uunatun,

Mal‟uunun maa fihaa”39

9. Karya dalam bidang manthiq

a. Bahs fi al-Hadd wa at-Tam wa al-Hadd an-Naqish

b. Fath al-Khilaf fi Jawab Masail Abdirrazzaq al-Hindi fi

„ilm al-Manthiq

10. Karya dalam bidang Sejarah

a. Al-Qaul al-Hasan fi fadhail ahl al-Yaman

b. Al-Qaul al-Maqbul fi Faidhan al-Ghuyul wa as-Suyul40

11. Karya dalam bidang Ilmu Pengetahuan

a. Bahs fi al-„Amal bi al-Khath bi Majmu‟

b. Bahs fi Wujud al-Jinn

c. Risalah fi Al Kusuf, Hal Yakun fi Waqt Mu‟ayyan „ala Al

Qath‟ am Dzalika Yakhtalif?41

E. Pengenalan terhadap Tafsir Fathul Qadir

Tafsir Fathul Qadir adalah tafsir yang disusun oleh Imam

Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al-Hasan al-khaisyinah Ibnu

Zabbad asy-Syaukani yang berjudul Fath al-Qadir al-Jami‟ Baina Fanni

ar-Riwayah wa ad-Dirayah fi at-Tafsir.

Adapun latar belakang penulisan kitab tafsir Fathul Qadir ini adalah

sebagaimana dijelaskan sendiri oleh Imam asy-Syaukani dalam

36

Imam asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, h. 37 37

Imam asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, h. 37 38

Mahmud, Metodologi tafsir: kajian komprehensif metode para ahli tafsir, h. 192 39

Imam asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, h. 37 40

Imam asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, h. 38 41

Imam asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, h. 37

Page 58: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

45

muqaddimah-nya: “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang

menjadikan Al-Qur`an kitab yang terang sebagai jaminan yang

menjelaskan berbagai hukum, mencakup semua kehalalan dan keharaman

yang disyariatkan-Nya untuk para hamba-hamba-Nya, rujukan bagi

semua manusia saat terjadinya perbedaan faham, pemikiran dan

wawasan, penentu perselisihan, penyembuh penyakit dan pemantap

keraguan. Yaitu kitab yang berperan sebagai tali yang sangat kokoh,

siapapun berpegang teguh kepadanya, maka ia akan meraih kebenaran

yang hakiki, dan juga berfungsi sebagi jalan yang terang, siapapun yang

menempuhnya maka ia telah mendapat petunjuk kepada jalan yang

lurus”.42

Berdasarkan muqaddimah di atas Imam asy-Syaukani ingin

menuangkan pemikirannya melalui tafsirnya.

Dalam muqaddimah kitab, Imam asy-Syaukani mencantumkan

beberapa pembahasan mengenai Fashl Al-Qur`an, Fashl Tafsir, Thabaqat

at-tafsir, Aqsam at-Tafsir wa al-Mufassirun Minhum. Tafsir ini

menghimpun dua karakteristik yaitu tafsir bil ra‟yi dan bil ma‟tsur.

Namun tafsir ini lebih dominan tafsir bil ma‟tsur.43

Beliau menyusun kitab tafsir ini selama enam tahun, mulai tahun

1223 sampai 1229 H. Penulisan kitab ini menggunakan metode tahlili44

.

Tafsir metode tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur`an

dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di

dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam Al-Qur`an Mushaf

Usmani.45

Beliau mengatakan dalam tafsirnya bahwa “sebagian besar

para mufasir terbagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama hanya

mematok penafsirannya dari sisi riwayat saja dan hanya puas dengan

penafsiran yang model seperti ini. Kelompok lainnya hanya

mengkonsentrasikan penafsirannya pada sisi bahasa arab dan hal yang

berkaitan dengannya tidak menggaungkan sisi riwayah.46

Dari pernyataan Imam asy-Syaukani ini dapat dilihat bahwa beliau

ingin menafsirkan Qur‟an dengan menggabungkan anatara riwayah dan

dirayah.

Kitab tafsir ini banyak beredar di dunia Islam. Di antara keistimewaan

kitab tafsir ini adalah bila ditinjau dari segi isinya imam asy-Syaukani

menggunakan bahasa yang tidak berbelit-belit. Sekalipun Imam asy-

Syaukani sudah mencapai pada puncak keilmuan, namun ketika

42

Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, h. 43-44 43

Faizah Ali Syibromalisi, Tafsir Bi Al Ma‟tsur, h. 177 44

Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, h. 12 45

Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur`an, (Bandung: CV

Pustaka Setia, 2004), h. 94. 46

Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, h. 12-13

Page 59: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

46

menyusun kitab tafsirnya ia banyak mengambil rujukan kepada kitab-

kitab lain yang sudah lebih dulu disusun, di antara yang menjadi

rujukannya bidang tafsir seperti tafsir Al-Qur`an al-„Azhim karya Ibnu

Katsir (w. 774 H), tafsir al-Kasysyaf karya Zamakhsyari (w. 538 H.),

tafsir al-Muharrar al wajiz karya Ibnu „Athiyah (w. 546 H) dan hadis

seperti Shahih Bukhari karya Imam Isma‟il bin Ibrahim al-Ju‟fi (w. 261

H) dan Shahih Muslim karya Imam Abu Husain Muslim bin al Hajjaj (w.

261 H).

Imam asy-Syaukani sangat memperhatikan hal-hal yang berkaitan

dengan tafsirnya seperti bahasa, qiraat dan ilmu hadis. Dalam segi

bahasa, ia mulai menafsirkan ayat setelah menguraikan asbabun nuzul

jika ada, dengan memperhitungkan hal-hal yang berkaitan dengan bahasa

sekata demi kata. Ia mengumpulkan pendapat-pendapat seperti al-Wahidi,

Dhani‟i bin Harits al-Barjami, Ikrimah, Qatadah, Dahhahk, Maqatil bin

Sulaiman, al-Qusyairi, Sa‟id bin Jubair dan masih banyak yang lain.47

Hal

ini hanya untuk menganalisis sisi kebahasaannya saja.

Adapun dalam masalah qiraat sebagai salah satu unsur paling penting

dalam penafsiran bil ma‟tsur, dalam hal ini sangat diperhatikan oleh

Imam asy-Syaukani. Ia menyebutkan perbedaan-perbedaan dengan

mengedepankan para qari‟nya, dan mengambil yang rajih di antara

pandangan yang ada.48

Dalam masalah hadis Imam asy-Syaukani

menerangkan status dari hadis-hadis tersebut beserta tingkat ke-dlabitan

perawinya.

Imam asy-Syaukani dalam tafsirnya mengingatkan akan bid‟ah-bid‟ah

sesat, akidah menyimpang dan taqlid buta.

F. Metode dan Sistematika Penulisan Tafsir Fathul Qadir

Dilihat dari metode yang digunakan olen para mufasir, tampaknya

metode penafsiran itu secara garis besar bermuara pada empat metode,

yaitu tafsir tahlili, tafsir ijmali, tafsir muqaran dan tafsir mawdhu‟i.49

kemudian dari metode tahlili itu diuraikan lagi menjadi 7 corak, antara

lain: 1) bil ma‟tsur, 2) bil ra‟yi, 3) fiqh 4) shufi 5) falsafi 6) dan ‟ilmi 7)

adabi ijtima‟i.50

Dalam tafsir Fathul Qadir bila ditinjau dari segi susunan tafsirnya

maka dapat disimpulkan bahwa Imam asy-Syaukani menempuh jalan

47

Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, h. 22 48

Imam Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, h. 24 49

Badri Khaeruman, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur`an, h. 94 50

M. Quraish Shihab, Sejarah dan „Ulum Al-Qur`an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,

2000), h.

172-194.

Page 60: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

47

dengan metode tahlili, yaitu yaitu menafsirkan ayat berdasarkan susunan

Mushaf Usmani. Sedangkan corak tafsir Fathul Qadir menurut penulis

adalah bercorak fiqh. Karena jika penulis perhatikan dalam tafsir Fathul

Qadir selalu menyampaikan tentang perbedaan pendapat di kalangan

ulama tentang hukum-hukum ayat. Contohnya seperti tafsiran mengenai

ayat basmallah, apakah ayat tersebut termasuk bagian dari surat al-fatihah

atau tidak.

Adapun jalan yang ditempuh Imam asy-Syaukani ketika menafsirkan

ayat dalam tafsirnya adalah pada pendahuluan tafsir Fathul Qadir Imam

asy-Syaukani terlebih dahulu menuliskan muqaddimah yang berisi

beberapa penjelasan penting tentang penyusunan kitab tafsir ini, ia

menyebutkan pentingnya ilmu tafsir dan kebutuhan manusia kepadanya.

Untuk lebih rinci, adapun langkah-langkah yang dijalani ketika

menafsirkan ayat adalah:

1. Mengintegrasikan antara riwayah51

dengan dirayah52

2. Menghindari kisah-kisah israilliyat

3. Menyebutkan ayat. Terkadang Imam asy-Syaukani

menggandengkan penafsiran ayat 11 dengan ayat 12 dan 13,

artinya menurut logika imam asy-Syaukani tiga ayat ini bisa

dikumpulkan menjadi satu topik penafsiran.53

4. Menjelaskan Makiyah dan Madaniyah

5. Menjelaskan huruf muqatha‟ah

6. Menyebutkan poin-poin masalah ayat yang dibahas ke dalam

beberapa bagian

7. Menganalisis mufrodat (kosa kata) dan lafaz dari sudut pandang

bahasa Arab

8. Menyebutkan ayat-ayat lain yang berkaitan

9. Menyebutkan hadis-hadis yang berkaitan

10. Menyebutkan sya‟ir-sya‟ir

11. Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai

alat untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan

pokok bahasan.

12. Mendiskusikan pendapat ulama dengan argumentasi masing-

masing dan mengambil pendapat yang paling benar.

13. Menutup tafsir suatu ayat dengan riwayat dan atsar

51

Tafsiran yang bersumber dari riwayat-riwayat seperti Al-Qur`an, hadis, perkataan

sahabat, perkataan tabi‟in dan ulama-ulama 52

Tafsiran yang bersandar pada penalaran atas sebuah ayat 53

Faizah Ali Syibromalisi, Tafsir Bi Al Ma‟tsur, h. 177

Page 61: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

48

G. Pendapat Ulama terhadap Imam Asy-Syaukani

Kahhalah dalam Mu‟jam al-Muallifin-nya berkata: “Ia Imam asy-

Syaukani termasuk seorang ahli tafsir sekaligus ahli hadis, seorang fakih,

ahli usul fikih, sejarawan, sastrawan, ahli nahwu, ahli logika, dan orang

bijak, karya-karyanya tersebar ke seluruh negeri pada masa hidupnya,

bisa dimanfaatkan oleh umat setelah wafatnya, sedangkan tafsirnya

Fathul Qadir serta Nailul Authar dalam bidang fikih merupakan karya

terbaik yang bisa diketengahkan kepada manusia.

Sementara Luthifu bin Ahmad Jihaf berkata: “Imam asy-Syaukani

merupakan orang yang paling hafal matan hadis, paling mengetahui sisi

cacat sebuah hadis, kualitas perawinya, keshahihan dan kelemahannya.

Guru dan teman-temannya pun mengakui kredibilitasnya”. Ibrahim Al

Hartsi juga berkata: “Imam Asy-Syaukani layak disebut sebagai tokoh

takwil, ia banyak mendengar, mengumpulkan serta mengarang. Di

samping itu ia banyak mengeluarkan fatwa, meriwayatkan hadis serta

memberikan pengajaran”.

Dr. Muhammad Hasan al-Ghimari penulis buku al-Imam asy-

Syaukani;Sosok Ahli Tafsir, berkata: “asy-Syaukani merupakan salah satu

tokoh pemikir Islam yang memberikan kontribusi dalam mengabdi

kepada pemikiran Islam, mengarahkan Islam kepada jalan yang tepat, di

samping itu termasuk orang-orang yang memberikan kontribusi di

kebanyakan bidang ilmu, penelitian dan pelajaran, penulisan booklet dan

buku. Imam asy-Syaukani telah mencapai posisi di mana kredibilitasnya

diakuin oleh ulama-ulam besar di Yaman, sehingga beberapa ulama tua

yang sekaligus gurunya terkadang bertanya kepadanya beberapa

permasalahan, maka ia menjawab melalui booklet yang cukup lengkap.54

54

Hasan Al Jamal, Biografi 10 Imam Besar, h. 274-276

Page 62: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

49

BAB IV

PENAFSIRAN AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL

QADIR

A. Metodologi Penafsiran Ayat-ayat Mutasyâbihât oleh Imam asy-

Syaukani dalam tafsir Fathul Qadir

Berkaitan dengan metodologi penafsiran ayat-ayat mutasyâbihât,

Imam asy-Syaukani dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât di dalam

tafsir Fathul Qadir dengan metode ta‟wil yaitu dengan memahami ayat

mutasyâbihât atau mengalihkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain

yang lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal. Hal ini

tampak pada penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dzat-dzat Allah

yaitu kata “Wajhullah” ditafsirkan ridha Allah dan dzat Allah.

Metode ta‟wil sendiri terbagi menjadi 2 macam yaitu metode ta‟wil

ijmali dan ta‟wil tafshili seperti yang telah di jelaskan pada bab II. Imam

asy-Syaukani menurut penelitian penulis dalam tafsirnya menggunakan

kedua metode tersebut. Terkadang imam asy-Syaukani dalam

menafsirkan ayat mutasyâbihât mengalihkan makna ayat dari apa yang

tercipta dalam benak pikiran dari gambaran-gambaran tentang eksisnya

Allah Swt dengan tanpa menentukan makna (ta‟wil ijmali1) dan

menyerahkan maksud makna ayat kepada Allah (tafwidh).

1 Adapun ayat-ayat mutasyâbihât yang dita‟wil-kan dengan metode ta‟wil ijmali

oleh imam asy-Syaukani adalah ayat-ayat huruf fawatih as suwar (al-ahruf al-muqatha‟ah),

Imam asy-Syaukani sendiri mengatakan di dalam tafsirnya untuk tidak membicarakan dan

menafsirkan tentang huruf-huruf di permulaan surat (al-ahruf al-muqatha‟ah). Hal ini

merupakan jalan yang lebih selamat dan mengikuti ulama salaf. Namun dengan tetap

mengakui bahwa diturunkannya al-ahruf al-muqath‟ah mengandung hikmah dari Allah Swt

yang tidak dapat dijangkau oleh akal kita dan tidak dapat disentuh oleh nalar kita.1 Dalam hal

ini imam asy-Syaukani men-ta‟wil-kan al-ahruf al-muqath‟ah, namun hanya Allah saja yang

mengetahui ta‟wil-nya. Lihat Imam asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, terj. Fathul

Qadir (Al Jami‟ baina Ar Riwayah wa Ad-Dirayah min ilm Al-Tafsir ), terj. Amir Hamzah

Fachruddin dan Asep Saifullah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), cet. Ke-1, h. 125

Selanjutnya ayat yang dita‟wil menggunakan metode ta‟wil ijmali adalah ayat

tentang dabbah yang berbicara QS. An-Naml [27]:82. Imam asy-Syaukani tidak memberi

komentar apapun tentang lafaz “dabbah yang berbicara” pada hari kiamat kelak hanya saja

menjelaskan qiroat-qiroat terkait lafaz “ yang dinisbahkan pada dabbah” dan

mengemukakan pendapat-pendapat ulama terkait permasalahan tersebut. Lihat Muhammad

bin Ali asy-Syaukani, Fathul Qadir Juz 27 (Al Jami‟ baina Ar Riwayah wa Ad-Dirayah min

ilm Al-Tafsir), (Beirut: Dar al-Marefah, 2007), h. 1088

Kenudian ayat lain yang di-ta‟wil menggunakan metode ta‟wil ijmali adalah ayat

tentang “istiwâ” di manapun berada dalam Al-Qur`an kecuali QS. Al-Baqarah [2]:29.

Mengenai Allah “istiwâ” seperti yang terdapat dalam QS. Al-A‟raf [7]:54 imam asy-

Syaukani menjelaskan dalam tafsirnya bahwa ulama berbeda pendapat tentang ayat istiwâ

Page 63: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

50

Namun pada sebagian ayat mutasyâbihât lainnya imam asy-Syaukani

dalam memahaminya tidak mengambil makna literalnya, tetapi dengan

menentukan makna yang esensinya tidak keluar dari ayat yang

dikehendaki (ta‟wil tafshili).

Dari metode-metode yang digunakan imam asy-Syaukani di atas

adalah upaya imam asy-Syaukani dalam menafsirkan ayat mutasyâbihât

yang menghindarkan keserupaan Allah Swt dengan makhluknya.

B. Penafsiran Ayat-ayat Mutasyâbihât dalam Al-Qur`an menurut

Imam asy-Syaukani

Berdasarkan pada landasan teori bab II di atas, bahwa ayat-ayat

mutasyâbihât merupakan ayat-ayat yang sulit untuk ditafsirkan dan para

ulama berbeda pendapat dalam menafsirkannya. Sebagaimana yang telah

dipaparkan di atas, imam asy-Syaukani menta‟wil-kan ayat-ayat

mutasyâbihât. Tindakan yang dilakukan imam asy-Syaukani dalam hal

menta‟wil menurut penulis lebih diutamakan dari pada tidak sama sekali,

seperti sikap dari sebagian kalangan ulama salaf.

Kalangan ulama salaf berpendapat bahwa lebih baik berdiam diri

ketika berhadapan dengan ayat-ayat mutasyabih, tidak perlu dita‟wil-kan

karena Allah lebih tau maksudnya. Lain halnya dengan ulama khalaf

yang datang sesudah ulama salaf. Mereka lebih memilih menta‟wil

daripada tidak. Tindakan ulama khalaf ini lebih terjaga dari timbul

interpretasi yang salah dalam hati orang awam yang kurang paham

dengan bahasa Arab ketika berhadapan dengan ayat-ayat mutasyâbihât.

Untuk mencegah terjadinya interpretasi yang tidak sesuai dengan

keadaan Allah, maka imam asy-Syaukani berusaha mengalihkan makna

ayat mutasyâbihât kepada makna lain yang menurutnya tidak

bertentangan dengan nash lain. Pada sub bab ini, penulis akan

sampai empat belas pendapat. Imam asy-Syaukani sendiri berpendapat tentang ayat ini

mengikuti pendapat mazhab salaf sebagai pendapat yang paling benar dan utama. Yaitu

Allah Swt ber-istiwâ‟ tanpa “bagaimana”, akan tetapi dengan cara yang sesuai dengan-Nya

disertai dengan mensucikan-Nya dari apa-apa yang tidak boleh disandangkan kepada-Nya.

Begitu juga penafsiran imam asy-Syaukani pada ayat istiwâ‟ yang terdapat dalam QS. Thaha

[20]: 5. Lihat Imam asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir Jilid 4, h. 100

Kemudian ayat lainnya seperti dalam QS. Al-Qalam [68]: 42 dalam hal ini imam

asy-Syaukani hanya menjelaskan lafaz Yaum artinya zorof terhadap firman Allah falya‟tu.

Maknanya hendaklah mereka mendatangkannya di hari disingkapkannya “betis”. Bisa juga

lafaz yaum itu jadi zorof terhadap fi‟il yang disembunyikan (fi‟il muqaddar), atau maknanya

adalah mengingkari hari disingkapkan. Jadi imam asy-Syaukani tidak menafsirkan secara

khusus lafaz “saaq”.Lihat Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Fathul Qadir Juz 29, h. 1520

Page 64: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

51

memaparkan penafsiran Imam asy-Syaukani terhadap ayat-ayat

mutasyâbihât di dalam karyanya yaitu tafsir Fathul Qadir.

1. Penafsiran Terkait dengan Sifat Allah

Istilah ayat sifat adalah merujuk kepada ayat-ayat Al-Qur`an yang

ada kaitannya dengan sifat-sifat Allah Swt. Ayat sifat diklasifikasikan

sebagai ayat mutasyâbihât atau yang kabur maknanya. Ayat-ayat sifat

juga disebut sebagai sifat al-Khabariyyah yang Allah sebutkan di dalam

Al-Qur`an dan apa yang disampaikan Rasulullah Saw yang terkandung

dalam sifat al-Dzatiyyah dan al-fi‟liyyah. Antara lafaz yang

diklasifikasikan sebagai sifat al-Dhatiyyah adalah seperti sifat, al-

Qudrah, al-Yad, al-Wajh, al-Sama‟, al-Basar, al-Mulk, al-Ghani, al-

Rahmah. Manakala sifat yang diklasifikasikan sebagai sifat al-Fi‟liyyah

pula adalah seperti al-Istiwâ‟, al-Nuzul, al-Ghadâb dan lain sebagainya.2

berikut adalah penafisran imam asy-Syaukani terkait ayat-ayat sifat yang

disandangkan kepada Allah Swt.

a. Ayat yang berkaitan dengan ( ) Wajah: QS. Al-Baqarah:

[2]:115

Kata Wajh yang dinisbahkan kepada Allah Swt dalam Al-Qur`an

ternyata sangat banyak. Namun tidak satu ayat pun yang ditafsirkan imam

asy-Syaukani dengan muka, sebagaimana makna literalnya tetapi di

takwil-kan kepada makna lain yang sesuai dengan keagungan dan

kebesaran Allah Swt.

Di dalam Al-Qur‟an lebih dari empat puluh lafaz al-wajh yang

disandangkan kepada Allah dan manusia, di antara ayat yang mengandung

sifat Allah adalah: QS. Al-Baqarah [2]: 115, QS. Al- Baqarah [2]: 272,

QS. Al-An‟am [6]: 52, QS. Al-Ra‟d [13]: 22, QS. Al-Rum [30]: 37, QS.

Al-Rum [30]: 39, QS. Ar-Rahman [55]: 27, QS. Al-Insan [76]: 9, QS. Al-

Baqarah [2]: 112, QS. An-Nisa [4]: 124, QS. Al-Qashas [28]: 88, QS. Ali-

Imran [3]: 20, QS. Al-Qiyamah [75]: 22, QS. Al-Ahzab [33]: 69 dan lain-

lain.3

Disebutkan dalam “al-Mu‟jam al-Wasîth” bahwa makna wajh adalah

sayyid dan sharif (yang mulia). Di samping itu juga ia bermakna bagian

dari kepala yang terdapat dua mata, mulut, dan hidung. Bisa juga

bermakna setiap yang menghadap dari segala sesuatu, zat, permulaan

2 Mustaffa bin Abdullah dan Ahmad Nazri, jurnal “Ayat Sifat Menurut Tafsiran

Fakhr- al-Din al-Razi dalam Karyanya Tafsir Al-Kabir” dalam e-journal Centre of Quranic

Research International Journal, pp 89-106, h. 93 3 Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras Li Alfazh Al-Qur‟an al-

Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), h. 912-913

Page 65: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

52

waktu, yang tampak, arah yang ada pintunya, arah dan sisi.4 Berikut

penafsiran imam asy-Syaukani tentang lafaz Wajh. Seperti dalam QS. Al-

Baqarah [2]: 115

“Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap di

sanalah wajah Allah”

Wajh Allah disini oleh imam asy-Syaukani diartikan sebagai tempat

yang diridhai Allah Swt bagi hambanya. Hal ini terkait permasalahan

samarnya arah kiblat.5 Karena banyaknya kata wajh dalam Al-Qur`an

lantas tidak semuanya diartikan sebagai tempat yang diridhai Allah.

Seperti kata wajh dalam QS. Ar-Rahman [55]: 27

“tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan

tetap kekal”

Oleh imam asy-Syaukani ditafsirkan sebagai dzat Allah. Penafsiran

imam asy-Syaukani sama seperti yang dilakukan mufasssir lain seperti

Wahbah az-Zuhaili dalam menafsirkan kata wajh pada surat ar-Rahman

ayat 27 secara mufrodad ditafsiri dengan dzat Allah. Sebagaimana yang ia

kutip dari penjelasan Ibnu katsir (w.774H/1373M)6 yang menyatakan

bahwa dalam ayat tersebut Allah Swt menyifati dzatnya dengan sifat

“Dzul Jalaali wal Ikram”.7 Dari penulusuran penulis di berbagai kitab

tafsir, lafaz wajh pada QS. Ar-Rahman [55]: 27 kebanyakan ulama

menafsirkannya dengan dzat Allah yang sesungguhnya.

4 Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyyah, al-Mu‟jam al-Wasith, (Mesir: Maktabah al-

Shuruq al-Dawayyah, 2008), cet. 4, h. 1057 5 Imam asy-Syaukani , Tafsir Fathul Qadir Jilid 1, h. 515

6 Seorang ulama yang terkenal dalam ilmu tafsir, hadis, sejarah, dan juga fikih.

Nama lengkapnya adalah Imaduddin Isma‟il bin Umar bin Kasir. (Bosyra: 700H/1300 M-

Damaskus, Syakban 774H/Februari 1373M). Selengkapnya lihat Dewan Redaksi

Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993), cet. 1, h.

156 7Wahbah Az-Zuhaili Tafsir al-Munir Jilid 4, terj. Al-Tafsir (al-Munir fi al-Aqidat

wa al-Syariat wa al-Manhaj), terj. Abdul Hayyie al-Katani, dkk, (Jakarta: Gema Insani,

2013), cet. 1, h. 466

Page 66: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

53

b. Ayat yang berkaitan dengan ( ) Mata: QS. Huud [11]: 37

“Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu

kami, dan janganlah engkau bicarakan dengan Aku tentang orang-

orang yang zalim. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan”

Lafaz „ain yang mengandung sifat Allah terdapat dalam QS. Thaha

[20]: 39, QS. Huud [11]: 37, QS. Al-Qamar [54]: 14, QS. Ath-Thuur [52]:

48. Dalam Mu‟jam al-Wasit kata „ain memiliki banyak makna, di

antaranya mata, bagian anggota tubuh yang memiliki fungsi melihat baik

untuk manusia atau selainnya, sumberan, al-jasus (mata-mata), pemimpin

tentara, dan zat sesuatu/esensi.8

Imam asy-Syaukani menjelaskan pada kajian balagah dan arti

mufradad bahwa lafaz bi a‟yunina pada ayat di atas maksudnya adalah

buatlah perahu dengan pengawasan Kami yakni dengan pemeliharaan dan

penjagaan kami terhadapmu”.9

Dita‟wilkan lafaz “bi a‟yunina” oleh imam asy-Syaukani dari makna

zahirnya menjadi “pemeliharaan dari Allah” menurut penulis sangat

pantas karena proses pemeliharaan merupakan proses yang dilakukan

dengan penuh tanggung jawab serta difasilitasi. Hal ini juga sesuai dengan

konteks ayat yang menceritakan pembuatan kapal Nabi Nuh as yang

penuh bimbingan dari Allah swt.

Kemudian imam asy-Syaukani menjelaskan, diungkapkan dengan

lafaz al-a‟yun (yang secara harfiyah berarti mata) karena memang mata

merupakan alat untuk melihat, dan dengan melihat itu dapat melakukan

pengawasan dan penjagaan. Penggunaan bentuk jamak yakni al-a‟yun

sebagai bentuk jamak dari „ainun adalah sebagai pengagungan terhadap

Allah dan bukannya untuk menunjukkan arti banyak.10

Begitu pula pada

QS. At-Thuur [52]: 48

“Dan bersabarlah (Muhammad) menunggu ketetapan Tuhanmu,

karena sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami...”

8 Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyyah, al-Mu‟jam al-Wasith, h. 663

9 Imam asy-Syaukani , Tafsir Fathul Qadir Jilid 1, h. 331

10 Imam asy-Syaukani , Tafsir Fathul Qadir Jilid 1, h. 331

Page 67: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

54

Ayat di atas juga ditafsiri imam asy-Syaukani sebagai majaz11

yaitu

bentuk pengawasan dan penjagaan12

bukan makna hakiki13

mata sebagai

alat indera karena segala puji bagi Allah Swt dari keserupaannya dengan

makhluknya.

Senada dengan penafsiran imam asy-Syaukani di atas, Al-Razi (w.

1606 H/1209 M)14

juga berkata, dalam memaknai kata a‟yun dalam surat

Huud ayat 37, tidak bisa jika hanya berdasarkan makna ẓahir-nya kata

tersebut, karena salah satu dalil yang sudah jelas bahwa Allah disucikan

dari mempunyai anggota badan seperti makhluk-Nya. Maka menurutnya

kata a‟yun harus dita‟wilkan. Adapun bentuk ta‟wilnya adalah kata

tersebut merupakan kinayah untuk menunjukkan kehati-hatian dan

perlindungan yang serius. Karena sebagaimana diketahui dalam proses

pekerjaan, perlindungan yang serius dan kehati-hatian diperlihatkan

dengan memperhatikan dengan mata.15

c. Ayat yang berkaitan dengan ( ) (Tangan): QS. Shaad

[38]: 75

Lafaz al yad yang mengandung sifat Allah terdapat dalam QS.

Ali Imran [3]: 73, QS. Al-Maidah [5]: 64, QS. Al-Fath [48]:10, QS. Al-

Hadid [57]: 29, QS. Yasin [36]: 83, QS. Al-Hujurat [49]: 1, QS. Shad

38]: 37, dan lain-lain.16

11

Majaz berasal dari kata al-jawaz yang artinya beralioh dari suatu keadaan ke

keadaan yang lain, dari satu makna kepada makna lain dan disebut juga makna kiasan. Majas

adalah suatu lafaz yang digunakan tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya.

Selengkapnya Lihat Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedi

Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), cet. 5, h. 500-501 12

Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Fathul Qadir Juz 27 (Al Jami‟ baina Ar

Riwayah wa Ad-Dirayah min ilm Al-Tafsir), (Beirut: Dar al-Marefah, 2007), h. 1416 13

Hakiki atau hakikat adalah yang artinya tetap, yang nyata, atau yang sebenarnya.

Hakikat adalah lafaz yang digunakan untuk mengungkapkan makna yang ditentukan

untuknya, baik dalam penggunaan kebahasaan, penggunaan syarak, maupun dalam

penggunaan adat kebiasaan. Selengkapnya Lihat Perpustakaan Nasional: Katalog dalam

Terbitan (KDT), Ensiklopedi Hukum Islam, h. 500-501 14

Seorang mufasir, mutakallim, ahli ushul fikih dan fakih Mazhan Syafi‟i. para

sejarawan mencatat bahwa ia memiliki garis keturunan sampai kepada Abu Bakar as-Siddiq.

Nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Husain bin Ali ar-Razi at-Taimi.

(Rayy, Iran, 543 H/1149M – Herat, Afghanistan, 606 H/1209 M). Selengkapnya lihat Dewan

Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 299 15

Muhammad Fakhruddin al-Razi, Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib juz 30,

(Beirut: Dar al Fikr, 2005) , Cet. I, h. 94 16

Muhammad Fu‟ad Abdul Baqi, al-Mu‟jam al-Mufahras Li Alfazh Al-Qur‟an al-

Karim, , h. 473

Page 68: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

55

Dalam kamus al-Mu‟jam al-Wasit dituturkan, al-yad artinya salah satu

bagian anggota tubuh yaitu dari mulai bahu sampai ujung jari jemari.

Apabila digunakan untuk baju dan semisalnya maka kata yad artinya

lengan baju. Disamping itu, ia juga bisa bermakna al-ni‟mah

(kenikmatan), al-ihsan (kebaikan), al-sultan (kekuasaan), al-qudrah

(kemampuan), al-quwwah (kekuatan), al-milk (kepemilikan), al-kafalah

(tanggungan), al-taah (ketaatan), al-inqiyad (ketundukan), dan al-istilam

(kepasrahan).17

Dalam penggunaan sehari-hari kata yad tidak saja

dimaksudkan untuk makna haqiqi tetapi juga dipergunakan untuk makna

majazi atau kiasan. Dalam bahasa Arab dikenal seperti yad baidha‟ (

) secara harfiah berarti tangan putih maksudnya „pintar‟ atau „jasa‟.18

Dalam Al-Qur`an banyak ayat-ayat yang menyebutkan kata yad

(tangan) yang disandangkan kepada Allah. Seperti yang terdapat pada QS.

Shaad [38]: 75.

“(Allah) berfirman, „Wahai Iblis, apakah yang menghalangi kamu

sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan tangan-Ku‟...”

Ayat di atas sepintas menjelaskan bahwa Allah punya tangan yang

dipergunakan untuk menjadikan sesuatu. Keyakinan seperti inilah yang

dianut oleh aliran Musyabbihah.19

Oleh karena Allaa mempunyai tangan,

tentu hal ini akan menjadikan-Nya sama dengan makhluk-Nya.

Dalam tafsir Fathul Qadir karya Imam asy-Syaukani, ayat di atas

diartikan sebagai berikut “Apakah yang menghalangimu (Iblis) untuk

bersujud dari apa yang telah aku ciptakan dengan tanpa perantara

(langsung). Dan Dia menciptakan sendiri untuk menghormati-Nya,

memuliakan-Nya dengan itu Dia mensucikan diri-Nya yang menciptakan

segala sesuatu”.20

Kata “ ” dalam ayat ini ditafsirkan dengan “tanpa perantara

(langsung)”. Maksudnya adalah tidaklah perlu bagi Allah unsur bantuan

lain untuk menjadikan atau menciptakannya. Karena Allah dengan kuasa-

Nya dapat dengan mudah menjadikan segala sesuatu. Bisa dikatakan imam

17

Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyyah, al-Mu‟jam al-Wasith, h. 1107 18

Lihat Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedia Al-

Qur`an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), cet. 1, h. 1085 19

Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2006), cet. 27,

h.173 20

Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Fathul Qadir Juz 23, h. 1272

Page 69: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

56

asy-Syaukani mengartikan lafaz “ ” dengan makna majazi, bukan

makna hakikinya yang berarti tangan (anggota tubuh).

Berbeda dengan penafsiran yang dilakukan oleh Quraish Shihab

dalam tafsir al-Mishbah kalimat “ ” ditafsiri sebagai isyarat

tentang betapa manusia memperoleh penanganan khusus dan

penghormatan dari sisi Allah Swt. Dari sini pula sehingga ayat ini tidak

menggunakan bentuk tunggal untuk kata tangan tetpai bentuk dual/jamak

yakni “ /kedua tanganku”.21

Dari penjelasan tersebut menurut penulis

Quraish Shihab tidak menerangkan secara terperinci bagaimana

penakwilan terhadap lafaz , apakah dengan makan hakiki atau dengan

makna majazi seperti kekuasan dan lainnya.

Sebagaimana telah disinggung di atas kata “yad” banyak terdapat

dalam Al-Qur`an, imam asy-Syaukani pun beragam dalam menafsirkan

kaya “Yad” yang disandangkan kepada Allah. Seperti pada QS. Al-Maidah

[5]: 64:

“Dan orang-orang Yahudi berkata, „Tangan Allah terbelenggu‟...”

Imam asy-Syaukani dalam menafsirkan ayat ini melihat konteks

pembicaraan yaitu orang-orang Yahudi yang mengatakan tangan Allah

terbelenggu artinya bahwa menurut pandangan kaum Yahudi Allah itu

“pelit”. Karena orang Arab biasa mengucapkan “terbelenggunya tangan”

sebagai ungkapan kikir (bakhil). Maka Allah menyanggah perkataan

mereka dengan ayat sesudahnya yaitu (sebenarnya tangan

merekalah yang terbelenggu).22

Seperti halnya juga penafsiran imam asy-Syaukani terhadap kata

“yad” dalam QS. Al-Fath [48]: 10.

“Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad),

sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan

Allah di atas tangan-tangan mereka...”

21

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur`an)

Vol. 12, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 170 22

Imam asy-Syaukani , Tafsir Fathul Qadir Jilid 3, h. 446

Page 70: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

57

Imam asy-Syaukani menjelaskan pada kajian balagah-nya kalimat

“ ” dalam keadaan nasab menjadi hal. Dan menafsiri ayat

ini sama dengan ayat sebelumnya yaitu “ sesungguhnya ikatan perjanjian

(baiat23

) dengan Rasulullah itu sama halnya dengan ikatan perjanjian

dengan Allah”.24

Artinya bahwa apabila sudah berjanji setia dengan

Rasulullah itu merupakan perjanjian juga dengan Allah. Karena

sebagaimana telah diketahui bahwa Nabi Muhammad Saw merupakan

utusan Allah (penyampai risalah Allah), maka setiap mukmin yang berjanji

dengan Nabi Saw berarti berjanji juga kepada Allah Swt.

d. Ayat yang berkaitan dengan ) ) Datang QS. Al-Fajr [89]: 22

Dalam kamus al-Munawwir disebutkan lafaz (جاء) berarti datang.25

Datang berarti hadirnya seseorang di tengah-tengah orang lain. Ayat-ayat

mutasyâbihât tentang perbuatan yang dinisbahkan kepada Allah Swt

sehingga mengesankan adanya keserupaan dengan makhluk-Nya adalah

bahwa Allah Swt “datang” yaitu pada QS. Al-Fajr [89]: 22:

“Dan datanglah Tuhanmu, dan malaikat berbaris-baris”

Imam asy-Syaukani menerangkan lafaz “ ” yaitu “telah

datang perintah dan ketetapan Allah Swt serta telah tampak tanda-tanda-

Nya”.26

“Datang”nya Allah pada ayat di atas konteksnya yaitu pada hari

kiamat. Jadi pada hari kiamat nanti menurut imam asy-Syaukani Tuhan

yang datang adalah perintah dan ketetapan Allah Swt serta tanda-tanda-

Nya bukan dzat Allah secara langsung. Dalam hal ini imam asy-Syaukani

jelas menta‟wilkan lafaz kepada makna majazi.

23

Seperti dijelaskan dalam ensiklopedi Islam kata-kata baiat berasal dari kata ba‟a-

yabi‟u yang berarti menjual. Dari akar kata tersebut diketahui bahwa kata baiat pada

mulanya dimaksudkan sebagai pertanda kesepakatan atas suatu transaksi jual beli antara

dua pihak. Kesepakatan itu biasanya dilakukan dengan berjabat tangan. Istilah ini

kemudian berkembang sebagai ungkapan bagi kesepakatan terhadap suatu perjanjian

antara dua pihak secara umum. Maka dari sini juga diartikan ikrar janji setia terhadap

seorang pemimpin, baik pemimpin politik maupun pemimpin agama. Lihat Dewan

Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 219 24

Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Fathul Qadir Juz 26, h. 1382 25

Achmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Indonesia-Arab, (Surabaya:

Pustaka Progressif, 2007), cet, 1, h. 217 26

Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Fathul Qadir Juz 30, h. 1621

Page 71: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

58

Sedangkan dalam tafsir al-Mishbah, Quraish Shihab menjelaskan

lafaz sebagai berikut: “Dan datanglah Tuhanmu” : Wahai

Nabi Muhammad atau wahai manusia, dalam bentuk yang sesuai dengan

keagungan dan kesucian-Nya atau hadirlah ketetapan-Nya serta

tampaklah dengan jelas kuasa dan keagungan-Nya.27

Dari penafsiran

Quraish Shihab ini agaknya penulis memahami bahwa Quraish Shihab

menafsirkan “ ” dengan datangnya Tuhan secara hakiki

disertai dengan ketetapan dan kekuasan-Nya pada hari kiamat kelak. Hal

ini dietgaskan dari kata-kata “Dan datanglah Tuhanmu dalam bentuk

yang sesuai degan keagungan dan kesucian-Nya”.

Sedangkan Ibnu Katsir ketika menafsirkan lafaz “ ”, beliau tidak

menelusurinya secara bahasa dan teologis, beliau langsung melakukan

pemaknaan sebagai berikut: menurutnya lafaz ” ” memberikan

arti bahwa Allah akan mengadili makhluk-makhluknya memberikan

keputusan di antara hamba-hambanya, hal itu terjadi setelah mereka

mengharapkan syafaat mulai dari nabi Adam sampai nabi Muhammad,

setelah sebelumnya mereka telah meminta syafaat kepada para Rasul ulul

azmi, satu persatu.28

e. Ayat yang berkaitan dengan ( ) Melempar QS. Al-Anfal

[8]: 17

Dalam kamus al-Munawwir disebutkan bahwa lafaz “ ”berarti

lempar atau melemparkan.29

Sedangkan Ramallahu lahu ( )

dalam Mu‟jam al-Wasîth berarti Dia menolongnya dan berbuat sesuatu

untuknya. Allah melempar sesuatu di tangannya dan di anggota tubuh

yang lain maknanya adalah do‟a keburukan atasnya (seseorang).

Kemudian jika dikatakan melempar si fulan berarti melempar dengan

sesuatu yang buruk alias menuduh.30

27

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 297 28

Ibnu Katsir, Shahih Ibnu Katsir terj. Al-Mishbaahul Muniir fii Tahdzibi Tafsiri ibni

Katsir jilid 9, terj. Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2016),

cet. 11, h. 587 29

Achmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Indonesia-Arab, h. 512 30

Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyyah, al-Mu‟jam al-Wasith, h. 375

Page 72: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

59

Ayat-ayat mutasyâbihât tentang perbuatan yang dinisbahkan kepada

Allah Swt sehingga mengesankan adanya keserupaan dengan makhluk-

Nya adalah bahwa Allah Swt “melempar” yaitu pada QS. Al-Anfal [8]: 17

...

“Maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan

Allah yang membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar

mereka ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar”

Imam asy-Syaukani dalam tafsirnya memaknai lafaz “

” sebagai pertolongan dan kemenangan dari Allah Swt. Imam asy-

Syaukani juga membenarkan riwayat yang ia kutip dari Ibnu Ishaq

tentang peristiwâ pelemparan ini yaitu pada saat perang Badar Nabi Saw

mengambil segenggam tanah lalu melemparkannya ke wajah orang-

orang musyrik (pasukan musuh) sehingga mengenai masing-masing

mereka dan masuk ke dalam mata, tenggorokan dan hidung mereka. 31

Berikut penelusuran penulis terkait hadis perang badar yang

diriwayatkan oleh Ibnu Mas‟ud dalam Shahih al-Bukhari pada kitab

Kisah Perang Badar:

“Abu Nu‟aim menyampaikan kepada kami dari Israil, dari

Mukhariq, dari Thariq bin Syihab yang mengatakan, aku mendengar

Ibnu Mas‟ud berkata, “Aku menyaksikan al-Miqdad bin al-Aswad

31

Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Fathul Qadir Juz 9, h. 531

Page 73: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

60

dalam suatu peristiwâ, jika aku bisa berada pada posisinya dalam

peristiwâ tersebut, maka hal itu lebih aku sukai daripada yang lainnya.

(Saat itu) al-Miqdad mendatangi Nabi Saw yang sedang berdoa

memohon kebinasaan bagi kaum musyrikin, lalu dia berkata, „Kami

tidak akan mengatakan seperti perkataan kaum Musa, „Pergilah engkau

bersama Rabbmu dan berperanglah kalian berdua...‟ (QS. Al-Maidah

[5]:24), akan tetapi kami akan berperang (bersamamu) di sebelah

kananmu, di sebelah kirimu, di depanmu, dan di belakangmu.‟ Aku pun

melihat Nabi Saw wajahnya berseri-seri dan bergembira karena ucapan

itu.32

Hadis di atas sekilas menceritakan bagaimana Nabi Saw berdoa

kepada Allah pada saat perang Badar untuk menaklukan musuh. Maka

dari itu Allah mengabulkan doa baginda Nabi Saw dan mengirimkan

bantuan yang siap membantu Nabi Saw dar segala sisi. Dan bantuan

tersebut adalah kehadiran para Malaikat seperti yang diterangkan oleh

hadis yang diriwayatkan oleh Ayah Rafi‟ az-Zuraqi dalam Shahih al-

Bukahri pada bab Kehadiran Malaikat pada Perang Badar:

“Ishaq bin Ibrahim menyampaikan kepada kami dari Jarir, dari

Yahya bin Sa‟id, dari Mu‟adz bin Rifa‟aah bin Rafi‟ az-Zuraqi, dari

Ayahnya yang termasuk salah satu pejuang Perang Badar. Dia berkata,

“Jibril datang kepada Nabi Saw lalu berkata, „Siapa di antara kalian

yang engkau persiapkan sebagai pasukan perang Badar?‟ Beliau

berkata, orang-orang yang terbaik dari kaum Muslimin.‟ Atau kalimat

yangh serupa. Jibril berkata, „Begitu juga dengan para Malaikat yang

ikut perang Badar.33

Senada dengan penafsiran di atas Quraish Shihab dalam tafsirnya

menjelaskan yang dimaksud dengan “ ” adalah Allah lah

32

Abu Abdullah Muhammad bin Isma‟il al-Bukhari, Ensiklopedia Hadis Shahih

Bukhari jilid 2, (Jakarta: Almahira, 2012), cet. 1, h. 3

33

Abu Abdullah Muhammad bin Isma‟il al-Bukhari, Ensiklopedia Hadis Shahih

Bukhari jilid 2, (Jakarta: Almahira, 2012), cet. 1, h. 11

Page 74: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

61

yang menghasilkan dampak dari lemparan Nabi Muhammad Saw ketika

Nabi melempar, karena kalau Nabi yang melakukannya (melempar)

mana mungkin segenggam batu dan pasir mengenai tepat mata musuh

yang jumlahnya seribu orang lebih.34

Jadi berkat pertolongan dan

kemenangan dari Allah lah Nabi Saw beserta kaum muslimin pada saat

perang Badar bisa menang.

f. Ayat yang berkaitan dengan Lambung QS. Az-

Zumar [39]: 56

Lafaz al-Janb yang dinisbhakan dalam Al-Qur‟an terdapat

hanya satu yaitu pada QS. Az-Zumar [39]: 56.

Al-Janb ( ) disebutkan dalam kamus al-Munawwir berarti

lambung yang menandakan anggota tubuh bagian dalam yang menempel

dengan tulang rusuk.35

Kata Janb ( ) berasal dari janiba ( )

yajnubu ( ) janban wa janabatan ) ) yang berarti „di

sisi‟, „di samping‟, dan bisa juga berarti „jauh‟ dan „menjauhkan‟.

Menurut ar-Raghib (w. 1108 H) dan Ibnu Faris (w. 1004 H), kata janb

bisa mempunyai dua arti. Pertama, berarti dekat atau di samping, di sisi

(an-nahiyyah= ). Kedua, berarti jauh dan menjauhkan (al-

bu‟du= ). Di dalam Al-Qur`an kata janb disebut tiga kali, yaitu di

dalam QS. An-Nisa‟ [4]:36, QS. Az-Zumar [39]:56, dan QS. Yunus

[10]: 12.36

Dalam Al-Qur`an penulis mendapati ayat ayat yang menyebutkan

kata “al-janb” (lambung) yang disandarkan kepada Allah, yaitu pada

QS. Az-Zumar [39]: 56:

“agar jangan ada orang yang mengatakan „alangkah besar

penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban)

terhadap Allah...”

34

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Vol. 5, h. 402 35

Achmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Indonesia-Arab, h. 491 36

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedia Al-Qur`an,

h. 384

Page 75: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

62

Imam asy-Syaukani menafsirkan kata “ ” dengan

keta‟at37

an. Jadi yang dimaksudkan ayat ini adalah “alangkah ruginya

aku telah lalai dalam ketaatanku terhadap Allah”.38

Beginilah

penafsiran imam asy-Syaukani terhadap lafaz sangat singkat

namun padat makna dan dapat dengan mudah dipahami. Adapun

penafsiran yang lebih menguraikan secara rinci tentang “ “

adalah penafsiran yang dilakukan oleh Buya Hamka dalam tafsir al-

Azhar.

Buya Hamka (w. 1981 M) 39

dalam tafsirnya menerjemahkan dan

menafsirkan ayat QS. Az-Zumar [39]:56 adalah: “Bahwa akan berkata

suatu diri: “Wahai menyesalnya aku atas kesia-siaanku di samping

Allah. Itulah keluhan dan rintihan dari penyesalan karena umur yang

telah terbuang sia-sia, waktu yang habis dalam kelenaan hidup yang

kosong tidak terisi. Tiba-tiba maut datang. Yang akan diperagakan di

hadapan Allah tidak ada. Buya Hamka lebih lanjut menjelaskan dalam

ayat tersebut “di samping Allah” karena kita manusia hidup di dunia ini

tidaklah jauh dari tilikan Allah. Allah ada di samping kita selalu

memperhatikan kita. 40

Kemudian penafsiran yang dilakukan oleh Sayyid Quthb (w. 1966

M)41

menanggapi ayat di atas sebagai berikut: “Supaya tidak ada yang

mengatakan bahwa Allah telah menetapkan kesesatanku. Seandainya

Allah menetapkan hidayahku, maka aku pasti mendapatkan hidayah dan

37

Kata ta‟at sering diatikan dengan patuh/tunduk. Secara etimologis, kata tha‟ah

berasal dari akar kata thawa‟a (طوع) yang pada mulanya berarti „menemani/mengikuti‟.

Seseorang yang mengikuti orang lain dan dengan ikhlas menuruti perintahnya dinamakan al-

muthawwi‟ah. Arti ini kemudian berkembang, sejalan dengan perekmbangan pemakainnya,

sehingga orang yang ikut berjihad disebut al-muthawwi‟ah karena dalam perang ia harus

mengikuti aba-aba dari komandannya. Istri yang setia kepada suaminya dinamakan muthi‟ah

karena selalu setia menemani dan menuruti suaminya. Agaknya dari sinilah orang yang patuh

dan tunduk melaksanakan ibadah kepada Allah disebut orang yang taat (tha‟ah). Lihat

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedia Al-Qur`an, , h. 993 38

Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Fathul Qadir Juz 24, h. 1288 39

Seorang ulama terkenal, penulis produktif, dan mubalig besar yang bderpengaruh

di Asia Tenggara, ketua Majelis Ulama Indonesia yang pertama. Nama lengkapnya

adalah Abdul Malik Karim Amrullah. (Maninjau, Sumatera Barat, 16 Februari 1908

– Jakarta, 24 Juli 1981). Selengkapnya lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,

Ensiklopedi Islam, h. 75 40

Hamka, Tafsir al-Azhar Jilid 8, h. 6308 41

Tokoh Ikhwanul Muslimin, pemikir dan ideolognya. (Asyut, Mesir, 1906 – 29

Agustus 1966 ). Selengkapnya lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h.

145

Page 76: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

63

bertakwa.42

Penulis mendapati gaya bahasa yang digunakan Sayyid

Quthb sangat puitis sampai-sampai penulis merasakan penafsirannya

sangat kontradiktif dengan penafsiran lain. Dan jauh dari makna kata

yang sewajarnya.

g. Ayat yang berkaitan dengan Allah mengikuti makhluk-Nya

QS. Al-Hadid [57]: 4

Lafaz “ ” di dalam Al-Qur‟an yang dinisbahkan

kepada Allah terdapat dalam QS. Al-Mujadalah [58]: 7 dan QS. Al-

Hadid [57]: 4.

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,

kemudian Dia bersemayam di atas „Arsy. Dia mengetahui apa yang

masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang

turun dari langit dan apa yang naik ke sana. Dan Dia bersama kamu

di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu

kerjakan.”

Lafaz “ ” seolah-olah mengindikasikan bahwa

Allah Swt selalu berkumpul bersama makhluknya sedangkan

makhluknya menempati ruang dan waktu. Pengertian seperti ini juga

dapat memberikan pengertian kalau manusia berpindah-pindah maka

Tuhan pun ikut berpindah-pindah. Pengertian ini juga akan

menggiring pada paham hulul43

. Bahwa karena Tuhan selalu

bersama dengan manusia, lalu berpandangan Tuhan lekat pada diri

manusia.

42

Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur‟an: Di Bawah Naungan Al-Qur`an Jilid 10,

terj. Fi Zhilalil Qur‟an, terj. M. Misbah dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, (Jakarta: Rabbani

Press, 2006), cet. 1, h. 320 43

Bertempat tinggal, menempati atau mengambil tempat. Lihat Dewan Redaksi

Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 133

Page 77: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

64

Dalam hal ini imam asy-Syaukani menafsirkan lafaz “

” Allah selalu bersama mereka maksudnya dengan kekuasaan-

Nya, kekuatan-Nya dan pengetahuan-Nya. Perumpamaan ini untuk

mengetahui segala sesuatu yang bersumber dari diri makhluk di

mana pun mereka berada baik di darat maupun di laut.44

Jadi menurut imam asy-Syaukani Allah bersama makhluknya

bukan dalam bentuk dzat yang sesungguhnya melainkan makna

majazi berupa kekuasaan dan pengetahuan-Nya yang luas.

Pengetahuan Allah tersebut meliputi 2 hal yaitu: 1). , yaitu

Allah bersama makhluknya dengan cara Allah memiliki

pengetahuan yang sangat luas. 2). , yaitu Allah menyertai

makhluknya dengan pertolongan-Nya. Manusia selalu bersama

dengan bantuan dan pertolongan Allah di anapun mereka berada.

Penulis juga menemukan penjelasan dari az-Zarqani bahwa

keberadaan dzat Allah bersama dengan makhluknya adalah mustahil

berdasarkan dalil qat‟i. karena itu tidak ada pengertian lain kecuali

dengan ihatah „ilman (pengetahuannya), basyran (penglihatannya),

dan sam‟an (pendengarannya).45

Sedangkan menurut Sayyid Quthb dalam tafsirnya fi zhilalil

Qur‟an menerangkan bahwa kalimat “ ” adalah kalimat

hakiki, bukan kiasan dan bukan majaz. Karena Allah yang maha suci

itu bersama setiap orang, dan bersama setiap sesuatu, di setiap ruang

dan waktu, mengamati apa ayng dikerjakannya dan maha melihat

hamba-hamba-Nya. Ini hakikat besar ketika hati membayangkannya.

Ini adalah hakikat yang mencengangkan di satu sisi, dan

menentramkan hati di sisi lain. Ia mencengangkan karena kebesaran-

Nya, dan menentramkan karena naungan kedekatan-Nya. Bila hati

manusia merasakannya dengan sebenarnya, maka hakikat ini sudah

cukup untuk meninggikan-Nya, mensucikan-Nya dan membuatnya

sibuk dengannya sehingga melalaikan semua godaan bumi,

sebagaimana hakikat ini membuatnya selalu waspada dan takut, di

samping merasa malu dan bersalah dari setiap kotoran dan hal-hal

44

Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Fathul Qadir Juz 27, h. 1454 45

Muhammad Abd al-„Azim az-Zarqani, Manahil al-Irfan fi „Ulum Al-Qur`an Jilid

2, (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), cet. 1, h. 206

Page 78: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

65

yang rendah.46

Penafsiran Sayyid Quthb ini membuat penulis

menangkap bahwa Sayyid Quthb tidak begitu ingin memaknai lafaz

apakah Allah bersama makhluknya dalam zat yang

sesungguhnya atau menta‟wilnya. Penulis menangkap bahwa

gagasan yang ingin dikemukakan oleh Sayyid Quthb adalah bahwa

manusia harus selalu sadar bahwa Allah selalu menyertai mereka,

karena dengan jalan itu manusia akan terhindar dari pikiran dan jiwa

yang kotor, sebab hati manusia selalu terpaut pada Allah.

h. Ayat yang berkaitan dengan Allah sebagai cahaya

(Nur): QS. An-Nur [24] : 35

Kata nur (نور), terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf

nun, wawu, dan ra‟. Maknanya yang populer adalah cahaya. Tetapi

di samping itu, dari huruf-huruf ini juga dibentuk kata yang

bermakna, gejolak, kurang stabil, dan tidak konsiten. Ulama-ulama

merujuk kepada firman-Nya dalam QS. An-Nur [24]: 35 untuk

menyatakan bahwa nur adalah sifat/ nama allah. Tetapi mereka

berbeda pendapat tentang maksud ayat tersebut.

Ibnu Arabi (w. 1240 H) mengemukakan enam pendapat ulama

tentang makan nur yang menjadi sifat Allah ini, yaitu: 1). Pemberi

hidayah (penghuni langit dan bumi). 2). Pemberi cahaya. 3).

Penghias. 4). Yang zahir/tampak dengan jelas. 5). Pemilik cahaya.

6). Cahaya tetapi bukan cahaya yang dikenal.47

“Allah cahaya langit dan bumi.”

Imam asy-Asyaukani menjelaskan pada kajian balagah-nya lafaz

adalah mubtada‟ , dan adalah khabar-nya

baik dengan pembuangan mudhaf, yakni

(pemilik cahaya langit dan bumi), maupun karena maksudnya adalah

mubalaghah pada penyifatan Allah Swt, bahwa Dia adalah cahaya

46

Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur‟an: Di Bawah Naungan Al-Qur`an Jilid 11, h.

663 47

Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedia Al-Qur`an,

h. 734

Page 79: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

66

untuk kesempurnaan keagungan-Nya, kemegahan keadilan-Nya, dan

keluasan hukum-hukum-Nya, sebagaiman dikatakan, “Fulan cahaya

negeri, bulannya zaman, dan mentarinya masa”.

Imam asy-Syaukani menjelaskan lebih jauh makna secara

etimologi (sinar; cahaya) adalah, yang menampakkan sesuatu

hingga dapat terlihat oleh pandangan mata sesuai keberadaannya.

Jadi, menyandangkan kata boleh dimutlakkan kepada Allah Swt

sebagai pujian, dan keberadaan-Nya yang mengadakan segala

sesuatu yang bersinar dan mengadakan sinar-sinarnya yang

menyinari. Jadi, makna adalah Allah

menjadikan langit dan bumi terang dengan stabilnya kondisi para

penghuni langit dan bumi serta sempurnaya pengaturan Allah „Azza

wa Jalla terhadap langit dan bumi.48

Jadi imam asy-Syaukani menurut penulis menafsirkan

sebagai pujian terhadap Allah yang karena-nyalah

mengadakan berbagai sumber cahaya. Kemudian cahaya tersebut

dijadikan-Nya sebagai salah satu sifat-Nya.

Kemudian penulis menelusuri penafsiran yang dilakukan

Quraish Shihab terkait ayat di atas, Quraish Shihab menjelaskan

dalam tafsirnya: kata digunakan oleh bahasa dalam arti sesuatu

yang menjelaskan/menghilangkan kegelepan sesuatu yang sifatnya

gelap atau tidak jelas. Ia digunakan dalam pengertian hakiki untuk

menunjuk sesuatu yang memungkinkan mata menangkap bayangan

benda-benda di sekitarnya. Kemudian kata tersebut digunakan juga

dalam arti majazi untuk menunjuk sesuatu yang menjelaskan hal-

hala yang bersifat abstrak. Lebih lanjut Quraish Shihab menegaskan

Tentu saja Allah Swt tidak mungkin dinamai Nur dalam pengertian

tersebut karena tidak ada yang serupa dengan serupa-Nya. Semua

yang terlintas dalam benak, kenyataan, atau imajinasi maka Allah

berbeda dengan yang terlintas itu.49

Jadi penulis menangkap gagasan

yang di kemukakan Qurais Shihab adalah Allah bukanlah cahaya

yang bersifat hakiki maupun majazi.

48

Imam asy-Syaukani , Tafsir Fathul Qadir Jilid 3, h. 875-877 49

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Vol. 8, h.549

Page 80: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

67

2. Penafsiran Terkait dengan Sesuatu yang Ghaib

Ayat-ayat mutasyâbihât juga dapat berkaitan dengan sesuatu yang

ghaib seperi surga, neraka, padang mahsyar, dabbah50

dan lain

sebagainya.

Secara bahasa, kata ghaib (غيب) berarti tertutupnya sesuatu dari

pandangan mata. Karena itu, matahari ketika terbenam atau seseorang

yang tidak berada di tempat juga disebut ghaib (غيب). Secara singkat

dapat dikatakan bahwa ghaib adalah lawan “nyata”. Ghaib (غيب) secara

terminologis berarti sesuatu yang tidak bisa dijangkau manusia kecuali

bila diinformasikan oleh Allah dan rasul atau sesuatu yang tidak

diketahui kecuali oleh Allah.51

Dalam terninologi hukum Islam, istilah ghaib diartikan sebagai

seseoarng atau sesuatu yang maujud (ada) secara fisik, tetapi tidak

berada di tempat tindak hukum dilakasanakan sehingga tidak dapat

dilihat oleh mata orang yang hadir. Pengertian ghaib dalam konteks

hukum Islam lebih bersifat fisik, sehingga penekanannya adalah

penglihatan mata kepala manusia.52

Jadi ghaib adalah sesuatu yang tidak

dapat kita lihat secara fisik namun keberedaannya nyata. Berikut adalah

penafsiran imam asy-Syaukani terhadap sesuatu yang ghaib

i. Ayat yang berkaitan dengan 53

(Melihat Allah) QS. Al-

Qiyamah [75]: 22

50

Kata dabbah ( ) berasal dari kata dabba ( ) yadabbu ( , dabban ( )

atau dabiiban ( ), kemudian dijadikam isim mufrad, dabbah (دابة), dan jamaknya dawabb

( ). Menurut Ibnu Faris, kata dabbah ( ) berakar pada huruf dal dan ba yang memiliki

satu pengertian pokok: munafis ( ), yaitu yang memiliki gerak yang lebih ringan (halus)

dari berjalan. Menurut al-Ashfahani, kata ad-dabbu ( ) dan ad-dabib ( ) adalah kata

yang umumnya digunakan pada hewan yang lambat jalannya. Lihat Perpustakaan Nasional:

Katalog dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedia Al-Qur`an, h. 153-154 51

Lihat Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedia Al-

Qur`an, h. 242-243 52

Lihat Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedi Hukum

Islam Jilid 2, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2001), cet. 5, h. 367 53

Ru‟yah adalah penglihatan atau pandangan. Kata ini sering dugunakan secara

metafisis sebagai pemahaman intelektual, atau sebagai penglihatan secara psikis atau intuisi.

Ia juga merupakan ilham yang disampaikan kepada Nabi dan orang-orang Shalih,

sebagaimana yang pernah terjadi dalam mimpi Nabi Muhammad Saw sebelum berlangsung

perjanjian Hudaybiyyah, bahwa Nabi bersama pengikutnya memasuki Masjid al-Haram di

Makkah tanpa ada halangan sedikitpun, dalam rangka menjalankan peribadatan di dalamnya:

“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kebenaran tentang mimpi Rasulnya dengan

Page 81: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

68

“Kepada Tuhannyalah mereka melihat”

Imam asy-Syaukani menafsirkan lafaz “ ” adalah dengan

melihat penciptanya, rajanya, atau melihat Allah secara langsung.

Pendapat imam asy-Syaukani ini sesuai dengan jumhur ahli ilmu

berdasarkan hadis mutawattir. Bahwasannya seorang hamba akan

melihat Tuhannya seperti melihat rembulan di malam Badar.54

Adapun hadis-hadis yang menguatkan penafsiran imam asy-

Syaukani di atas berdasarkan penelusuran penulis adalah hadis yang

diriwayatkan oleh Jarir bin Abdullah dan Abu Hurairah ra. dalam Sunan

Abu Daud (w. 275 H/88 M)55

:

[20]130

“Usman bin abi Syaibah menyampaikan kepada kami dari Jarir, Waki‟

dan Abu Usamah, dari Ismail bin abu Khalid, dari Qais bin abu Hazim

bahwa Jarir bin Abdullah berkata , “Suatu ketika kami pernah duduk

sebebnarnya, yakni bahwa kamu akan memasuki Masjid al-Haram, Insya Allah dalam

keadaan aman...” (QS.48:27). Lihat Chryl Glasse, Ensiklopedi Islam (ringkas), terj. The

Concise Encyclopaedia of Islam, terj. Ghufron A. Mas‟adi, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 1996), cet. 1, h. 343 54

Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Fathul Qadir Juz 29, h. 1559 55

Seorang ulama, hafiz (penghafal Al-Qur`an), ahli dalam berbagai bidang ilmu

pengetahuan keislaman terutama di badang hadis dan fikih. Nama lengkapnya Abu

Dawud Sulaiman bin Asy‟as bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amr bin Amran al-Azdi

as-Sijistani. (Sijistan [di perbatasan Iran dan Afghanistan] 202H/817M-Basra, 15 Syawal

275/888 M). Lihat Ensiklopedi Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi

Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1993), cet. 1, h. 10

Page 82: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

69

bersama Rasulullah Saw, lalu beliau melihat bulan purnama pada

malam keempat belas. Beliau kemudian bersabda, „Sungguh, kalian akan

melihat Rabb kalian seperti kalian melihat bulan itu. Kalian tidak

berdesak-desakan saat melihatnya. Jika kalian mampu untuk tidak luput

melaksanakan shalat sebelum matahari terbit (Subuh) dan sebelum

matahari terbenam (Asar), lakukanlah. „Beliau lalu membacakan ayat,

“Dan bertasbilah dengan memuji Rabbmu, sebelum matahari terbit, dan

sebelum terbenam, (QS. Thaha: [20]:130)”56

Selanjutnya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang

menegaskan bahwa setiap mukmin akan mampu melihat Allah Swt tanpa

penghalang.

“Musa bin Ismail menyampaikan kepada kami dari hammad, dalam

sanad lain, Ubaidullah bin Mu‟adz menyampaikan kepada kami hadis

yang semakna dari ayahnya, dari Syu‟bah, dari Ya‟la bin Atha‟, dar

Waki‟- ibnu Udus dari abu Razin- Musa al-Uqaili mengatakan bahwa

Abu Razin bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kami semua dapat

melihat Rabb kami?” Ibnu Mu‟adz dalam riwayatnya menyebutkan,

„Tanpa penghalang apa pun untuk melihat-Nya pada hari kiamat?

Apakah tandanya pada makhluk-Nya?‟ Beliau menjawab, „Wahai Abu

Razin, bukaknkah kalian semua bisa melihat bulan?‟ Dalam riwayatnya

Ibnu Mu‟adz menjawab menambahkan lafaz, „Pada malam purnama

tanpa ada penghalang apa pun‟. Selanjutnya kedua perawi (Musa dan

Ibnu Mu‟adz) meriwayatkan dengan lafaz yang sama bahwa Abu Razin

menjawab, „Tentu‟. Beliau bersabda, “Allah lebih agung dari itu”. Ibnu

Mu‟adz dalam riwayatnya menyebutkan lafaz, “Bulan adalah salah satu

56

Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi as-Sijistani, Ensiklopedia Hadis

Sunan Abu Dawud, (Jakarta: Almahira, 2012), cet. 1, h. 987

Page 83: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

70

makhluk di anatara para makhluk Allah. Allah tentu lebih agung dan

lebih mulia untuk dapat dilihat”.57

Berbeda dengan penafsiran yang diungkapkan Sayyid Quthb dalam

tafsirnya Fi-Zhilalil Qur‟an tentang ayat “ ”. Sayyid Quthb

berkata: sesungguhnya merupakan hal sulit bagi manusia untuk

mengungkapkan sekedar gambaran bagaimana pertemuan dengan Allah

Swt itu terjadi, kecuali meningkatnya eksistensi kemanusiaan dan

keterbatasannya dari ikatan eksistensi bumi yang terbatas ini. Perlu

diketahui untuk dapat memandang kepada keindahan Dzat Allah

memerlukan bantuan dari Allah Swt sendiri dan memerlukan peneguhan

dari-Nya agar manusia dapat menguasai dirinya hingga mampu bertahan

dan menikmati kebahagiaan yang tidak ada bandingannya, yang

hakikatnya tidak dapat dijangkau oleh pengetahuan. 58

Sebagian ulama, di antaranya Abu Hasan al-Asy‟ari (w. 936 M),

mengatakan bahwa Allah Swt dapat dilihat dengan kekuatan rohani atau

maknawi yang dianugerahkan Allah Swt kepada hamba-hamba yang

dikehendaki-Nya. Melihat Allah Swt semacam ini tidak mensyaratkan

objek yang dilihat selalu berada dihadapannya. Demikian pula, tidak

dipersyaratkan menentukan tempat atau arah yang memungkinkan Allah

Swt dapat dilihat, mengingat Allah Swt berada di segala tempat.

Keadaan melihat Allah ini bersifat spiritual (ruhiyah). Oleh karena itu

kedua mata (fisik) sama sekali tidak berperan. Dalam hal ini tidak ada

perbedaan antara orang buta dan orang yang dapat melihat.59

Adapun kelompok Mu‟tazilah60

, ahli bid‟ah, Khawarij61

, dan

sebagian Murji‟ah62

menyangka bahwa Allah Swt tidak dapat dilihat

57

Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi as-Sijistani, Ensiklopedia Hadis

Sunan Abu Dawud, h. 988 58

Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur‟an: Di Bawah Naungan Al-Qur`an Jilid 12,

terj. Fi Zhilalil Qur‟an, h. 561-562 59

Perpustakaan Nasiona RI, Ensiklopedi Tematis Al-Qur`an (Bersama Allah Jilid

1), (Jakarta: Kharisma Ilmu, 2005), cet. 1, h. 44-45 60

Muktazilah adalah salah satu aliran dalam teologi Islam yang dikenal bersifat

rasional dan liberal. Ciri utama yang membedakan aliran ini dari aliran teologi Islam lainnya

adalah pandangan-pandangan teologisnya lebih banyak ditunjang oleh dalil-dalil „aqliah

(akal) dan lebih bersifat filosofis, sehingga sering disebut aliran rasionalis Islam. Muktazilah

didirikan oleh Wasil bin Ata pada tahun 100 H/ 718 M. Selengkapnya Lihat Perpustakaan

Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT), Ensiklopedi Hukum Islam, h. 290 61

Khawarij adalah aliran teologi pertama yang mucul dalam dunia Islam. Aliran ini

mulai timbul pada abad ke-1 H (abad ke-8 M) pada masa pemerintahan Ali bin Abi

Thalib, kahilfah gterakhir dari khulafa‟ ar-rasyidin. Kemunculannya dilatarbelakangi oleh

adanya pertikaian politik Ali dan Mu‟awiyah. Selengkapnya, lihat Ensiklopedi Lihat

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid 2 h. 47

Page 84: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

71

siapapun. Melihatnya-Nya adalah mustahil. Dugaan itu tidak benar dan

menunjukkan ketidakmengertian mereka.63

Jadi bisa dikatakan bahwa

aliran-aliran tersebut tidak menerima atau mengkaji riwayat-riwayat

hadis yang berkaitan dengan kebisa-an seoarang mukmin melihat

Tuhannya di akhirat kelak seperti hadis yang penulis terangkan di atas.

Dari hasil data-data di atas dan memperhatikan secara teliti

ternyata penakwilan yang dilakukan imam asy-Syaukani hampir sama

dengan yang dilakukan aliran ahlus sunnah wal jama‟ah64

. Walaupun

secara mazhab fiqh imam asy-Syaukani bermazhabkan Syiah Zaidiyah,

tetapi ketika menjelaskan makna ayat mutasyâbihât imam asy-Syaukani

mengikuti metode ahlus sunnah wal jama‟ah, sama-sama

menakwilkannya kepada pemahaman yang sesuai dengan keadaan Allah

dan sama-sama menghindari akan adanya keeserupaan Allah dengan

makhluk.

Berbeda dengan golongan al-Hasywiyah dan al-Karamiyah65

mengartikan ayat-ayat Al-Qur`an sesuai dengan makna primernya

termasuk ayat-ayat mutasyâbihât, sehingga Tuhan menurut pandangan

mereka adalah berupa jasmani, daging, darah, mempunyai anggota badan

seperti tangan, kaki, kepala, lisan, dua mata dan dua telinga. Atas dasar

pandangan inilah al-Hasywiyah dan al-Karamiyah66

dinamakan sebagai

golongan Mujassimah, yaitu orang-orang yang menyamakan Tuhan

dengan jasmani manusia. Menurut penulis penafsiran yang dilakukan

62

Murjiah adalah salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama

Hijriah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi Syahristani menyebutkan dalam

bukunya al-Milal wa an-Nihal bahwa orang yang pertama membawa paham Murji‟ah

adalah Gailan ad-Dimasyqi. Kata murji‟ah berasal dari kata Arab arja‟a yang artinya

menunda. Aliran ini disebut Murjia‟ah karena dalam prinsipnya mereka menunda

penyelesaian persoalan konflik poloti anatara Ali bin Abi Thalib, Mu‟awiyah bin Abi

Sufyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti. Selengkapnya, lihat

Ensiklopedi Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid 2 h. 301 63

Perpustakaan Nasiona RI, Ensiklopedi Tematis Al-Qur`an (Bersama Allah Jilid

1), (Jakarta: Kharisma Ilmu, 2005), cet. 1, h. 44-45 64

Ahlus sunnah wal jama‟ah adalah salah satu aliran teologi dalam Islam yang

timbul karena reaksi terhadap paham golongan Muktazilah. Istilah ahlusuna wal jama‟ah

dinisbahkan pada aliran teologi Asy‟ariyah dan Maturidiyah. Ahlusuna wal jama‟ah percaya

kuat dan menerima hadis-hadis sahih tanpa memilih dan melkukan interpretasi. Selengjapnya

lihat Ensiklopedi Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, jilid 1 h. 50

66

Al Karamiah adalah sebuah golongan yang merupakan cabang/sekte dari alirann

teologi Murjiah. Pendirinya adalah Ashab bin Abdillah Muhammad bin Karam. Aliran

teologi paling penting dalam golongan Karamiah ini adalah pandangan antropomorfisme

(musyabbihâh atau mujassimah), yakni pandangan yang melihat Allah Swt mempunyai

persamaan dengan sifat makhluk. Dalam hal ini , kepada Allah Swt dikenakan ciri-ciri

manusia. Selengjapnya lihat Ensiklopedi Lihat Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam,

Ensiklopedi Islam, jilid 2 h. 12

Page 85: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

72

imam asy-Syaukani terhadap ayat-ayat mutasyâbihât di atas sudah tepat

dari penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, hal ini berdasarkan dalil

“Laisâ Kamiślihi Syai‟un” dan agar mudah dipahami orang awam karena

dapat diterima oleh akal.

Kemudian beginilah bahasa Al-Qur`an yang nota bene nya

menggunakan bahasa Arab, ia tidak hanya memperhatikan gagasan,

pemikiran dan petunjuk-petunjuk yang akan disampaikan akan tetapi juga

memperhatikan dunia kehidupan dan tradisi-tradisi masyarakat yang

diajak bicara dan manusia secara keseluruhan (Allah menrunkan bahsa

sesuai dengan yang dipahami manusia). Kemudian bahwa bahasa secara

umum dan bahasa Arab secara khusus, kosa kata dan kalimatnya baik

yang berkaitan dengan makna hakiki ataupun makna majazi tidak terlepas

dari lingkungan kehidupan dan tradisi-tradisi masyarakatnya.67

67

Husein Aziz, jurnal “Pemahaman ayat-ayat Mutasyabbihâh Perspektif Bahasa”,

dalam e-journal Madaniya, vol. 11, no 1, 2012, h. 33

Page 86: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

73

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan dari pembahasan penafsiran Imam asy-Syaukani

terhadap ayat-ayat mutasyâbihât yang tertuang di dalam karyanya yang

berjudul Tafsir Fathul Qadir, maka pada bab ini dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Dalam keseluruhan tafsir Fathul Qadir imam asy-Syaukani juga

menggunakan metode tafsir tahlili (analitik), bentuk

penafsirannya adalah gabungan dari bil riwayat dan bil-ra‟yi dan

corak penafsirannya fiqh (hukum-hukum Islam). Hal ini

disebabkan imam asy-Syaukani banyak memiliki basik keilmuan

dalam bidang fiqh (hukum-hukum Islam). Sedangkan sistematika

penafsirannya mengklasifikasikan ayat Al Qur‟an dengan urutan

mushaf yang ingin ditafsirkan, menjelaskan kandungan setiap

surat secara global atau umum, menjelaskan sisi kebahasaan ayat-

ayat yang ingin ditafsirkan, dan menganalisanya, menjelaskan

sebab turunnya ayat (asbabun nuzul) jika ada, mengeluarkan

hukum yang berkaitan denga ayat yang sudah ditafsirkan,

menjelaskan ayat-ayat yang ditafsirkan dengan rinci disertai

dengan qiraatnya, membahas kesusastraan dan i`rab ayat-ayat

yang hendak ditafsirkan dan fiqh al-hayat wa al-ahkam, yaitu

perincian tentang beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari

beberapa ayat yang berhubungan dengan realitas kehidupan

manusia.

2. Dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât imam asy-Syaukani

terlebih dahulu mengemukakan pendapatnya sendiri, baru

kemudian menafsirkan menurut pendapat-pendapat ulama. Dan

terkadang membenarkan (men-tarjih) pendapat ulama.

3. Imam asy-Syaukani dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât

dengan metode ta‟wil yaitu dengan memahami ayat mutasyâbihât

atau mengalihkan makna sebuah lafaz ayat ke makna lain yang

lebih sesuai karena alasan yang dapat diterima oleh akal. Terkait

dengan sifat-sifat Allah imam asy-Syaukani menggunakan metode

ta‟wil akan tetapi ada sebagian sifat Allah yang tidak ditakwilkan.

Sedangkan ayat terkait dengan sesuatu yang ghaib imam asy-

Syaukani tanpa ta‟wil (diteriam apa adanya).

4. Imam asy-Syaukani dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyâbihât

dengan dita‟wil-kan, hal ini dapat diketahui penafsiran kata wajhu

dengan makna ridho Allah atau dzat, lafaz a‟yun diartikan dengan

Page 87: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

74

pengawasan yang meliputi pemeliharaan dan penjagaan, yad

diartikan dengan “tanpa ada perantara”, lafaz Jaa‟a diartikan

dengan telah datang perintah dan ketetapan Allah swt, lafaz

Ramaa ditafsirkan dengan pertolongan dan kemenangan dari

Allah, lafaz al-Janb diartikan dengan ketaatan kepada Allah,

kemudian lafaz “wahuwa ma‟akum” ditafsirkan dengan

kekuasaan, kekuatan dan pengetahuan-Nya yang meliputi

makhluk-Nya, lafaz Allahu Nuur assamawati wal ardh diartikan

dengan pujian terhadap sifat Allah dan sumber dari segala cahaya,

lafaz nazirah diartikan dengan melihat Allah secara langsung

seperti melihat bulan di malam Badar.

B. Saran

Setelah menyimpulkan, penulis memiliki beberapa saran yang kiranya

dapat bermanfaat bagi kelanjutan kajian-kajian sejenis pada masa

mendatang. Terutama yang terkait dengan ayat mutasyâbihât. Adapun

saran-saran tersebut sebgai berikut:

1. Sesungguhnya kajian ini adalah kajian yang sangat sederhana,

namun kajian ini merupakan kajian yang sangat penting untuk

diketahui setiap muslim. Diharapkan dari kajian ini menjadi

sumbangsih pemikiran untuk dunia Islam dan sebagai

pembanding terhadap tulisan-tulisan yang sudah ada sebelumnya.

2. Penelitian yang penulis lakukan mengenai Ayat-ayat

Mutasyâbihât dalam Tafsir Fathul Qadir masih dalam tataran

yang sederhana yang pembahasannya terfokus pada 12 hal

sebagaimana tersebut di atas. Karena itu hendaknya ada penelitian

lanjutan menyangkut pembahasan yang belum sempat di bahas

dalam penelitian ini.

Akhirnya tidak ada manusia yang sempurna. Setiap manusi

berpotensi melakukan kesalahan, namun sebaik-baik orang yang

terjatuh dalam kesalahan adalah orang yang selalu bertaubat dan

mengakui kesalahnnya. Tiada kata terindah yang dapat penulis

uraikan kecuali do‟a kepada Allah SWT, semoga tulisan ini

bermanfa‟at bagi pribadi penulis khususnya dan kepada pembaca

pada umumnya. Dan kepada yang sudah mengetahui sebuah

masalah agar menyampaikan kepada yang lainnya dan semoga

kita tetap beriman kepada Allah dengan iman yang benar.

Page 88: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

75

DAFTAR PUSTAKA

Abadi, Fairuz, al-Qamus al-Muhit, jilid 3 Beirut: Dar al-Fikr, 1997

Abadi, Fairuz, Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn „Abbas, Beirut: Dar al-Fikr,

1995

Abbas, Sirajuddin, 40 Masalah Agama, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2006

Abd Rozak dan Aminuddin, Studi Ilmu Al-Qur`an, Jakarta: Mitra Wacana

Media, 2010

Abdul Baqi, Muhammad Fu‟ad, al-Mu‟jam al-Mufahras Li Alfazh Al-Qur‟an

al-Karim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), h. 912-913

Abdul Qasim, Tarmana, Samudera Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, Bandung: Mizan

Pustaka, 2003

Abu Mansur, Abdul Qadir ibnu Tahir al-Baghdadi, al-Farqu baina al-Firaq

wa Bayanu al-Firqah an-Najiyah, Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah,

1977

Al-„Arabiyyah, Majma‟ al-Lughah, al-Mu‟jam al-Wasith, Mesir: Maktabah

al-Shuruq al-Dawayyah, 2008

Ali ash-Shabuni, Syekh Muhammad, Ikhtisar Ulumul Qur‟an Praktis terj. at-

Tibyan fi Ulumil Qur‟an, terj. Muh. Qadirun Nur, Jakarta: Pustaka

Amani, 2001

Amal, Taufik‟ Adnan, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur`an, Ciputat: Pustaka

Alfabet, 2013

Al-Andalusiy, Abu Hayyan, Tafsir al-Bahr al-Muhit, Vol. 1 Beirut: Dar al-

Kutub al-„Ilmiyah, 1993

Anwar, Rosihon, „Ulumul Qur‟an, Bandung: Pustaka Setia, 2004

Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Isma‟il, Ensiklopedia Hadis

Shahih Bukhari, Jakarta: Almahira, 2012

Al-Jamal, Syaikh M. Hasan Biografi 10 Imam Besar, terj. Hayatul

Aimmah, terj. M. Khaled Muslih, Imam Awaluddin, Jakarta: Puataka Al

Kautsar, 2005

Al-Qaradhawi, Yusuf, Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur`an , terj.

Kaifa Nata „Alamu Ma„a Al-Qur`an al-„azhim terj. Kathur Suhardi,

Jakarta: Pustaka Kautsar, 2000

Al-Qattan, Manna‟ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur`an, terj. Mabahits fi

Ulumil Qur‟an terj. Mudzakir AS., Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,

2009

Al-Qur`an, Lajnah pentashihan Mushaf, Tafsir Al-Qur`an Tematik, Jakarta:

Kamil Pustaka, 2014

Al-Razi, Muhammad Fakhruddin, Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib juz 30,

Beirut: Dar al Fikr, 2005

Page 89: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

76

Al-Zarqani, Abd al-„Azim, Manahil al-Irfan fi „Ulum Al-Qur`an jilid 2,

Beirut: Darul Kitab al-„Arabi, 1995

As-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‟ats al-Azdi, Ensiklopedia

Hadis Sunan Abu Dawud, Jakarta: Almahira, 2012

As-Suyuthi, Jalaluddin, Samudera Ulumul Qur‟an Jilid 4 ,terj. Al-Itqon Fi

Ulumul Qur‟an, terj. Farikh Marzuki Ammar, dan Imam Fauzi Jaiz,

Surabaya: Bina Ilmu, t.t

Asy-Syaukani, Imam, Tafsir Fathul Qadir Jilid I, terj. Fathul Qadir (Al

Jami‟ baina Ar Riwayah wa Ad-Dirayah min ilm Al-Tafsir ), terj.

Amir Hamzah Fachruddin dan Asep Saifullah, Jakarta: Pustaka

Azzam, 2008

Asy-Syaukani, Muhammad bin Ali, Fathul Qadir (Al Jami‟ baina Ar

Riwayah wa Ad-Dirayah min ilm Al-Tafsir), Beirut: Dar al-Marefah,

2007

Asy-Syirbashi, Ahmad, Sejarah Tafsir Al-Qur`an, Jakarta: Pustaka Firdaus,

1995

Az-Dzahabi, Muhammad Husain, at-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid 1, Kairo:

Maktabah Wahbah, 2000

Aziz, Husein, jurnal “Pemahaman ayat-ayat Mutasyabbihah Perspektif

Bahasa”, dalam e-journal Madaniya, vol. 11, no 1, 2012

Az-Zarkashi, Badruddin Muhummad bin Abdullah, al-Burhan fi „Ulum Al-

Qur`an jilid 1, Kairo: Maktabah Dar al-Turath, t.t

Az-Zarqani, Muhammad Abd al-„Azim, Manahil al-Irfan fi „Ulum Al-Qur`an

Jilid 2, Kairo: Dar al-Hadis, 2001

Az-Zarqani, Muhammad Abd al-„Azim, Manahil al-Irfan fi „Ulum Al-

Qur`an, Beirut: Dar al-Fikr, 1996

Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir al-Munir Jilid 4, terj. Al-Tafsir (al-Munir fi al-

Aqidat wa al-Syariat wa al-Manhaj), terj. Abdul Hayyie al-Katani,

dkk, Jakarta: Gema Insani, 2013

Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran Al-Qur`an, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar Offset, 1998

Buchori, Didin Saefudin, Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur`an,

Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005

Chirzhin, Muhammad, Al-Qur`an dan Ulum Al-Qur`an, Bandung: Pustaka

2004

Chittick, W.C., The Sufi Path of Knowledge: Ibn al-„Arobi‟s Methaphysics

of Imagination, Albany: State University of Ney York Press, 1989

Dahlan, Abd. Rahman, Kaidah-kaidah Penafsiran Al-Qur`an, Bandung:

Mizan, 1997

Ghofur, Saiful Amin, Profil Para Mufassir Al-Qur`an, Yogyakarta: Pustaka

Insan Madani, 2008

Page 90: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

77

Glasse, Chryl, Ensiklopedi Islam (ringkas), terj. The Concise Encyclopaedia

of Islam, terj. Ghufron A. Mas‟adi, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 1996

Gusmian, Islah, Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga

Ideologi, Yogyakarta: Lkis, 2013

Hamka, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Anggota IKAPI, 2008

Hamka, Tafsir al-Azhar, Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2003

Hidayat, Komarudin Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian

Hermeneutika Jakarta: Paramadina, 1996

Ibnu Jama‟ah, Idah al-Dalil fi Qat‟i Hujaj Ahl-al-Ta‟til, Damaskus: Dar

Iqra‟: 2005

Ibnu Katsir, Shahih Ibnu Katsir terj. Al-Mishbaahul Muniir fii Tahdzibi

Tafsiri ibni Katsir jilid 9, terj. Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri,

Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2016

Ibrahim, Malik, “Corak dan pendekatan tafsir Al-Qur`an”, dalam Sosio-

Religia Journal, vol. 9, no. 3, 2010,

Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: Gaung Persada Press,

2009

Islam, Dewan Redaksi Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru

van Hoeve, 1993

Katalog dalam Terbitan (KDT), Perpustakaan Nasional:, Ensiklopedia

Al-Qur`an, Jakarta: Lentera Hati, 2007

Khaeruman, Badri, Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur`an, Bandung: CV

Pustaka Setia, 2004

M Quraish Shihab dkk, Sejarah & 'Ulumul Al-Qur`an, Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2000

Mahmud ibn Umar al-Zamakhsyari, Tafsir al-kasysyaf Jil III, Beirut: Daar al

Kutub al- „Ilmiyyah, 2006

Mahmud, Mani‟ „Abd Halim, Metodologi tafsir: kajian komprehensif metode

para ahli tafsir, terj. Manhaj al-Mufassirin Faisal Saleh dan

Syahdianor, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006

Miftah Faridlk dan Agus Syihabuddin, Al-Qur`an dan Sumber Hukum Islam

yang Pertama, Bandung: Pusaka, 1989

Munawwir, Ahmad Warson, al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progressif,

2002

Muslim, Mustafa, Mabahith fi Tafsir al-Maudhu‟i, Damaskus: Dar al-Qalam,

1989

Mustaqim, Abdul, Mazahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur`an

Periode Klasik hingga Kontemporer, Yogyakarta: Nun Pustaka

Yogyakarta, 2003

Perpustakaan Nasiona RI, Ensiklopedi Tematis Al-Qur`an (Bersama Allah

Jilid 1), Jakarta: Kharisma Ilmu, 2005

Page 91: AYAT-AYAT MUTASYÂBIHÂT DALAM TAFSIR FATHUL QADIR

78

Quthb, Sayyid, Tafsir fi Zhilalil Qur‟an: Di Bawah Naungan Al-Qur`an, terj.

Fi Zhilalil Qur‟an, terj. M. Misbah dan Aunur Rafiq Shaleh Tamhid,

Jakarta: Rabbani Press, 2006

Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir: Syarat, Ketentuan dan Aturan yang Patut

Anda Ketahui dalam Memahami Al-Qur`an, Tangerang: Lentera Hati,

2013

Shihab, M. Quraish, Sejarah dan „Ulum Al-Qur`an, Jakarta: Pustaka Firdaus,

2000

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-

Qur`an) Jakarta: Lentera Hati, 2002

Surakhmad, Winarno, Dasar dan Teknik Research: Pengantar Metodologi

Ilmiah, Bandung: Tarsito: 1978

Surur, Achmad Tubagus, “Dimensi Liberal dalam pemikiran hukum imam

asy-Syaukani”, dalam e-journal stain pekalongan.ac.id , vol. 8, no 1,

2010

Syibromalisi, Faizah Ali, Tafsir bii al-Ma‟tsur, Jakarta: IIQ Jakarta: 2010

Syukri Shaleh, Ahmad, Metodologi Tafsir Al-Qur`an Kontemporer (Dalam

Pandangan Fazlur Rahman), Ciputat: Gaung Persda Press, 2007

Ulfah, Dede Maria, “Metode Ulama Salaf dan Khalaf dalam Memahami

Ayat-ayat Mutasyâbihât (Studi terhadap Metode Tafwidh dan Ta‟wil

Ayat-ayat tentang Sifat Allah)”, Skripsi, Jakarta: IIQ Jakarta, 2011,

t.d.

Zed, Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta: Yayasan Obor, 2004