Upload
others
View
29
Download
0
Embed Size (px)
AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM
(Kajian Komparatif Kitab Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-
Qurthubî dan Kitab Tafsir al-Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa
al-Manhaj)
Skripsi ini Diajukan
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh :
Sita Sulastri
NIM. 15210696
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ)
JAKARTA
1440 H/2019 M
AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM
(Kajian Komparatif Kitab Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-
Qurthubî dan Kitab Tafsir al-Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa
al-Manhaj)
Skripsi ini Diajukan
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh :
Sita Sulastri
NIM. 15210696
Pembimbing:
Ali Mursyid M. Ag
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH
INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ)
JAKARTA
1440 H/2019 M
iv
MOTTO
Tahu banyak Tentang Sedikit,
Tahu Sedikit Tentang Banyak.
v
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini saya persembahkan kepada orang-orang yang saya
cintai:
Bapak Dadang Rukada dan Mamah Neneng, selaku orang tua yang selalu
memberikan hal terbaik kepada kepada saya.
Juga teruntuk adik-adikku, Asep Roka, Silvi Sri Habibah, dan Muhammad
Ikmalluddin.
vi
بسم الله الرهحن الرهحيم KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. yang
telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi dengan judul “Ayat-ayat Toleransi Pada Tafsir Kitab
Ahkâm (Kajian Komparatif Kitab Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-
Qurthubî dan Kitab Tafsir al-Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-
Manhaj”.
Shalawat dan salam semoga tercurah limpahkan kepada Baginda
Nabi Muhammad saw., para sahabat dan para pengikutnya. Yang telah
membawa zaman ini dari kegelapan menuju cahaya terang benderang, yang
telah membebaskan umatnya dari kebodohan.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari akan keterbatasan,
kemampuan, dan pengetahuan penulis. Skripsi ini tidak akan tersusun rapi
tanpa bantuan beberapa pihak yang senantiasa membantu penulis. Oleh
karena itu, penulis ucapkan beribu terimakasih kepada pihak yang telah
berkontribusi untuk memberikan bantuan berupa tenaga, pikiran dan
waktunya. Ucapan terimakasih tersebut penulis haturkan kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Huazemah Tahido Yanggo, Rektor Institut Ilmu Al-
Qur‟an (IIQ) Jakarta.
2. Dr. Hj. Nadjematul Faizah, Wakil Rektor 1 dan Ketua Sidang
Munaqasyah.
3. Dr. H. M. Dawud Arif Khan, Wakil Rektor II.
4. Dr. Hj. Romlah Widayati, Wakil Rektor III, beserta seluruh jajaran
yang telah berjasa dalam kemajuan perguruan tinggi ini.
vii
5. Bapak Dr. H. Muhammad Ulinnuha, Lc, MA, Dekan Fakultas
Ushuluddin dan Dakwah IIQ Jakarta
6. Bapak Ali Mursyid M. Ag, dosen pembimbing. Beliau selalu
meluangkan waktu, arahan, masukan dan tak pernah lelah
mendengarkan keluh kesah kami selama proses penyusunan skrispi
ini. Semoga senantiasa Allah SWT. membalas seluruh kebaikan
bapak dan semoga diberikan kemudahan, keberkahan dalam setiap
langkah bapak.
7. Ibu Istiqomah, S.Th.I, M.A dan Bapak Sofian Effendi, S.Th.I, M.A,
penguji siding Munaqasyah.
8. Bapak M. Haris Hakam, SH. MA dan Ka Mamlu„atun Nafisah,
S.Th.I, MA, selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Al-
Qur`an dan Tafsir (IAT) Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta yang
selalu menggiatkan semangat mahasiswa dalam menumbuhkan
kecintaan terhadap ilmu dan selalu berkenan memberikan saran demi
menjadi mahasiswa yang lebih baik.
9. Bapak Dr. K. H. Ahmad Fathoni Lc, MA yang tak lelah mengajarkan
Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an kepada penulis tanpa mengenal lelah. Semangat
yang membara slalu engkau tularkan kapada kami. Semoga semua
kebaikan dan lelah bapak dibalas oleh Allah Swt. dengan sebaik-
baiknya balasan.
10. Seluruh Dosen-Dosen Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta yang telah
memberikan ilmu-ilmunya kepada penulis baik di dalam kelas
maupun di luar kelas. Semoga ilmu-ilmu yang telah diberikan dan
disampaikan kepada penulis, menjadi ilmu yang bermanfaat serta
mudah-mudahan Allah membalasnya dengan yang lebih. Semoga
Allah memberikan berkah dan kesehatan slalu kepada Bapak dan Ibu
dosen semuanya.
viii
11. Seluruh Instruktut Tahfidz IIQ Jakarta, khususnya Ibu Hj. Mutmainah
MA, Ibu Hj. Istiqomah MA, Ibu Hj. Arbiyah, Ibu Hj. Atiqoh, Ka
Rifdah, S. Ag yang telah membimbing penulis dalam menghafal Al-
Qur‟an. Semoga pengorbanan waktu, pikiran,tenaganya dibalas oleh
Allah Swt. dengan yang lebih.
12. Seluruh staf-staf perpustakaan IIQ Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah,
Iman Jama‟, Pusat Studi Al-Qur‟an yang telah mengizinkan penulis
untuk mencari bahan-bahan atau referensi yang diperlukan dalam
penyusunan skripsi ini.
13. Direktris Pesanten Takhasus IIQ Jakarta yaitu mamah Ruwaedah MA
dan Bapak Rosyid Masykur MA yang slalu membimbing dan
memotivasi penulis selama di Pesantren IIQ Jakarta.
14. Bapak Endang dan mamah Neneng selaku orang tua penulis yang tak
lelah dalam mendidik, memberikan nasihat, menyayangi serta
memberikan yang terbaik bagi penulis. Tak terhitung dan tak
terhingga berapa banyak pengorbanan yang telah mereka lakukan
sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan studi di Institut
Ilmu Al-Qur‟an ini. Serta adik-adik penulis, Oka, Silvi, Ikmal serta
keluarga besar penulis yang telah memotivasi penulis dalam hidup
ini.
15. Para sahabat penulis yang telah banyak membantu dalam penulisan
skripsi ini, yang telah menyemangati dengan tulus serta bersedia
menampung keluh kesah penulis selama proses pengerjaan penulisan
skripsi ini serta teman-teman IIQ Jakarta angkatan 2015, teman-
teman fakultas Ushuluddin khususnya di kelas Ushuluddin B yang
telah bersama-sama berjuang dalam suka maupun duka, serta
terjalinnya pertemanan selama ini. Semoga kelak kita dikumpulkan di
Jannah-Nya Allah SWT..
ix
16. Bang Akbar dan para anggota-anggota fotocopy IIQ Jakarta yang
telah membatu penulis dalam meng print, fotocopy dari mulai
makalah, proposal hingga skripsi ini. Semoga berkah.
17. Pembaca sekalian, semoga karya sederhana ini yang kurang dari
kesempurnaan ini bermanfaat dan menginspirasi semuanya.
18. Seluruh pihak yang terlibat dalam pencapaian proses penyelesaian
skripsi ini, semoga Allah membalas jasa dan perjuangan kalian.
Jakarta, 16 Agustus 2019
Sita Sulastri
x
DAFTAR ISI
SAMPUL ....................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................... iii
MOTTO ....................................................................................................iv
PERSEMBAHAN ...................................................................................... v
KATA PENGANTAR ..............................................................................vi
DAFTAR ISI ............................................................................................. x
TRANSLITERASI ARAB LATIN........................................................ xiii
ABSTRAK ..............................................................................................xvi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Permasalahan ............................................................................... 13
C. Tujan Penelitian ........................................................................... 14
D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 15
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 16
F. Metode Penelitian ........................................................................ 19
1. Jenis Penelitian ........................................................................ 19
2. Sumber Data ............................................................................ 20
3. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 20
4. Metode Analisis Data .............................................................. 21
G. Sistematika Penulisan .................................................................. 21
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP TOLERANSI
A. Definisi Toleransi......................................................................... 23
B. Prinsip-prinsip Toleransi dalam Islam ......................................... 29
C. Ayat-ayat Toleransi dalam Al-Qur`an ......................................... 32
xi
BAB III BIOGRAFI MUFASSIR DAN PROFIL KITAB TAFSIR
AHKAM
A. Biografi Penulis dan Profil Kitab Tafsir al-Jâmi’ li Ahkâm Al-
Qur`an al-Qurthubî..................................................................... 49
1. Profil Penulis dan Karya-karyanya .......................................... 49
2. Profil Kitab Tafsir al-Jâmi‟ li Ahkâm Al-Qur`an al-Qurthubî 54
B. Biografi Penulis dan Profil Kitab Tafsir al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa
asy-Syarî’ah wa al-Manhaj ........................................................ 58
1. Profil Penulis dan Karya-karyanya .......................................... 58
2. Profil Kitab Tafsir al-Munîr fî al-„Aqîdah wa asy-Syarî‟ah wa al-
Manhaj..................................................................................... 62
BAB IV PENAFSIRAN AL-IMAM AL-QURTHUBÎ DAN WAHBAH
AZ-ZUHAILI MENGENAI AYAT-AYAT TOLERANSI
A. Larangan Memaksa Orang Yang Tidak Beriman Menjadi
Beriman (QS. Yûnus [10]: 99)
1. Penafsiran Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Anshâri
al-Qurthubî ............................................................................. 77
2. Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili .............................................. 80
3. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran ...................... 84
B. Izin dari Allah Kepada Muslim Untuk Bergaul atau
Bersilaturahmi dengan non Muslim (QS. Al-Mumtahannah [60]:
8)
1. Penafsiran Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Anshâri
al-Qurthubî ............................................................................. 85
2. Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili .............................................. 91
3. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran ...................... 93
xii
C. Larangan Muslim Bergaul dan Ber-muwâlah dengan non Muslim
yang Membahayakan Islam (QS. Al-Mumtahannah [60]: 9)
1. Penafsiran Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Anshâri
al-Qurthubî ............................................................................. 95
2. Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili .............................................. 98
3. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran ...................... 99
D. Larangan Memaki Sesembahan Kaum non Muslim (QS. Al-An’
âm [6]: 108)
1. Penafsiran Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Anshâri
al-Qurthubî ........................................................................... 101
2. Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili ............................................ 105
3. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran .................... 109
E. Bagimu Agamamu Bagiku Agamaku
1. Penafsiran Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Anshâri
al-Qurthubî ........................................................................... 110
2. Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili ............................................ 118
3. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran .................... 125
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 126
B. Saran-saran ................................................................................. 127
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Skripsi ini ditulis dengan menggunakan pedoman transliterasi sebagaimana
diuraikan di bawah ini. Transliterasi ini ditulis dengan menggunakan
pedoman trnsliterasi huruf Arab ke huruf latin yang telah disusun oleh
Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta tahun 2017.
1. Konsonan
th : ط a : أ
zh : ظ b : ب
„ : ع t : ت
gh : غ ts : ث
f : ف j : ج
q : ق h : ح
k : ك kh : خ
l : ل d : د
m : م dz : ذ
n : ن r : ر
w : و z : ز
h : ه s : س
` : ء sy : ش
xiv
y : ي sh : ص
dh : ض
2. Vocal
Vocal Tunggal Vocal Panjang Vocal Rangkap
Fathah : a أ : â ي : ai
Kasrah : i ي : î و : au
Dhammah : u و : û
3. Kata Sandang
a. Kata sandang yang diikuti oleh alif lam (ال) qamariyah
ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya. Contoh:
Al-Kahfi : ألكهف
b. Kata sandang yang diikuti oleh alif lam (ال) syamsyiah
ditranslitersikan sesuai dengan aturan yang digariskan depan dan
sesuai dengan bunyinya. Contoh:
An-Nisâ : النساء
c. Syaddah (Tasydîd) dalam sistem aksara Arab digunakan lambang
( ), sedangkan untuk alih aksara dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan cara menggandakan huruf yang bertanda tasydîd.
Aturan ini berlaku secara umum, baik tasydîd yang berada di
tengah kata, di akhir kata ataupun yang terletak setelah kata
sambung yang diikuti oleh huruf-huruf syamsyiyah.
Contoh:
xv
Innalladzîna : إن الذين
d. Ta Marbuthah (ة)
Ta Marbuthah (ة) apabila berdiri sendiri, waqaf atau diikuti oleh
kata sifat (na‟at), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi
huruf “h”. Contoh:
Syafâ‟ah : شفاعة
Sedangkan Ta Marbuthah (ة) yang diikuti atau disambungkan (di-
washol) dengan kata benda (isim), maka dialih aksarakan menjadi
huruf “t”. Contoh:
Wa mau‟idzatul lilmuttaqîn : وموعظة للمتقين
e. Huruf Kapital
Sistem penulisan huruf Arab tidak mengenal huruf kapital,
akan tetapi apabila telah dialih aksarakan maka berlaku ketentuan
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), seperti
penulisan awal kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
nama diri dan lain-lain. Ketentuan yang berlaku pada PUEBI
berlaku pula dalam alih aksara ini, seperti cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold) dan ketentuan lainnya.
xvi
ABSTRAK
Penelitian ini ditulis oleh Sita Sulastri (15210696) dengan judul: Ayat-ayat
Toleransi Pada Tafsir Kitab Ahkâm (Kajian Komparatif Kitab Tafsir al-
Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî dan Kitab Tafsir al-Munîr fi al-
`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj)
Perbedaan merupakan toleransi yang tidak dapat dielakkan dalam
roda kehidupan manusia, dan dinilai sebagai suatu hal yang negatif.
Perbedaan yang disikapi secara emsional dan memeperlihatkan kebencian
terhadap perbedaan itu maka hasilnya akan terus menjadi negative dan akan
menghasilkan sikap intoleran yang akibatnya terjadi sebuah konflik. Namun,
jika perbedaan dipandang sebagai hal yang positif dan dinilai sebagai hal
yang lumrah dan wajar-wajar saja serta menghormatinya, maka pandangan
tentang perbedaan sebagai bentuk interaksi negatif itu akan berubah menjadi
positif dan akan melahirkan sikap toleran yang dampaknya terjadi sebuah
kedamaian dan keharmonisan dalam menyikapi perbedaan.. Motivasi penulis
mengangkat tema toleransi dalam penelitian skripsi ini adalah, banyaknya
kasus-kasus intoleran yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia
mengenai perbedaan mazhab fikih maupun antar pemeluk agama lainnya.
Yang mana, seringkali menyalahkan satu sama lain jika tidak sesuai dengan
mazhab yang diyakini masing-masing masyarakat.
Peneliti dalam hal ini akan melakukan penelitian secara kualitatif,
yaitu penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung
menggunakan analisis. Selain penelitian kualitatif, perlu diampaikan pula,
bahwa penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), yaitu
metode penelitian kepustakaan yang hanya berhubungan dengan referensi
dan buku saja dengan memanfaatkan sumber perpustakaan untuk
memperoleh data penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penafsiran Imam al-Qurthubî
dan Wahbah az-Zuhaili menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan
toleransi hanya sebatas pada persoalan sosial (mu‟âmalah) semata. Sehingga
segala bentuk hubungan atau komunikasi yang melampaui permasalahan
mu‟âmalah adalah dilarang, terutama dalam persoalan teologi (akidah). Poin
utama nilai toleransi pada tafsir al-Qurthubî dan Wahbah az-Zuhaili ini
adalah umat Muslim dianjurkan untuk berhubungan baik dengan kaum non
Muslim selama tidak melanggar syari‟at Islam dan tidak ada penyerangan
dari kaum non Muslim tersebut.Persamaan dalam penafsiran Imam al-
Qurthubî dan Wahbah az-Zuhaili adalah keduanya sama-sama menilai
dengan adanya sikap toleransi antar umat beragama khususnya, dapat
menciptakan kehidupan yang damai.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perbedaan pendapat (ikhtilâf) menurut bahasa adalah perbedaan
paham (pendapat). Ikhtilâf berasal dari bahasa Arab yang asal katanya
adalah: khalafa, yakhlifu, khilâfan. Maknanya lebih umum daripada ad-
dhiddu, sebab, setiap hal yang berlawanan: ad-dhiddain, pasti akan saling
bertentangan (mukhtalifan). Manusia yang sedang berdebat (berbeda
pendapat) seringkali berkobar api amarah di dadanya. Mereka saling
berbantah dan debat kusir yang biasa disebut dengan perang mulut.1
Ikhtilâf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau
beberapa orang terhadap suatu objek tertentu, baik berlainan itu dalam
bentuk “tidak sama” atau “bertentangan secara diametral”. Jadi yang
dimaksud ikhtilaf adalah tidak samanya atau bertentangannya penilaian
(ketentuan) hukum terhadap satu objek hukum.2
Perbedaan merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia.
Hal ini karena, manusia secara alami terlahir dalam keanekaragaman
bentuk, mulai dari jenisnya ada laki-laki dan perempuan, suku, bangsa,
bahasa dan budaya yang berbeda, hingga pada perbedaan karakter,
pemikiran, pengetahuan, dan ideologi keagamaan. Perbedaan pendapat
bersifat alamiah dan ilmiah. Alamiah karena secara fitri pandangan
manusia itu tidak sama. Ilmiah, karena teks-teks syariah (Al-Qur`an dan
sunnah) memberikan ruang gerak bagi kemungkinan untuk berbeda
pendapat.
Sebagaimana firman Allah SWT:
1 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Ciputat: Gaung
Persada Press, 2011) h. 53
2 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 54
2
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujraat [49]:13)
Dalam ayat di atas disebutkan secara eksplisit, bahwa Tuhan
menciptakan manusia dalam jenis laki-laki dan dan perempuan, lalu
menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Keragaman
tersebut merupakan kehendak Tuhan yang sudah dicatat di singgasana-
Nya, bahwa setiap makhluk-Nya harus mampu membangun toleransi dan
saling pengertian diantara mereka.3
Perbedaan merupakan toleransi yang tidak dapat dielakkan dalam
roda kehidupan manusia, dan dinilai sebagai suatu hal yang negatif.
Perbedaan yang disikapi secara emsional dan memeperlihatkan kebencian
terhadap perbedaan itu maka hasilnya akan terus menjadi negative dan
akan menghasilkan sikap intoleran yang akibatnya terjadi sebuah konflik.
Namun, jika perbedaan dipandang sebagai hal yang positif dan dinilai
sebagai hal yang lumrah dan wajar-wajar saja serta menghormatinya,
maka pandangan tentang perbedaan sebagai bentuk interaksi negative itu
akan berubah menjadi positif dan akan melahirkan sikap toleran yang
dampaknya terjadi sebuah kedamaian dan keharmonisan dalam menyikapi
perbedaan. Dalam konteks inilah, upaya untuk mengembalikan fikih pada
3 Zuhairi Misrawi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi, (Jakarta: Pustaka Oasis, 2010), h.
272
3
wataknya yang inklusif, toleran, dan beragam, menjadi agenda penting
untuk terus diupayakan.4
Bagi sebagian kalangan, keragaman merupakan ancaman. Namun
bagi sebagian yang lain, keragaman meruntuhkan faham monisme yang
melekat pada baju kesukuan, kebangsaan dan keagamaan. Bila ada pihak
lain yang berbeda dengan komunitasnya, biasanya hal tersebut dianggap
sebagai musuh yang harus dihadapi dengan tindakan kursif/miring.
Karenanya pada tataran horizontal harus diakui ada semacam ketakutan
yang bersifat massal dalam hidup mereka. Kebersamaan hanya sekedar
ucapan yang mudah diucapkan, tapi dalam prakteknya sulit didapatkan.
Sedangkan keangkuhan ketamakan merupakan fenomena yang melekat
pada setiap orang, setiap kelompok, dan setiap masyarakat. Disinilah
keragaman harus dilirik kembali sebagai sebuah keniscayaan. Sebab
keragaman bukanlah semata-mata kehendak alam, tetapi juga kehendak
Tuhan. Jikalau Tuhan menghendaki, niscaya umat manusia seragam, satu,
dan monolitik. Tapi, Tuhan berkehendak sebaliknya, yakni menciptakan
makhluk dengan bentuknya yang beragam. Karenanya, keragaman
mempunyai landasan teologis dan landasan etik yang amat kuat dan
kukuh.5
Tapi sekali lagi, sebagian pihak masih belum mau dan belum siap
menerima keragaman tersebut, termasuk didalamnya keragaman ideologi
dan teori pemikiran modern-kontemporer. Disinilah diperlukan sebuah
pemikiran alternatif untuk memberikan selayang pandang tentang
pentingnya keragaman serta pentingnya membangun komunikasi dan
4 Agus Sunaryo, “Fikih Tasamuh: Membangun Kembali Wajah Islam yang
Toleran” Jurnal Akademika, vol. 18 no. 2, tahun 2013. 5 Zuhairi Misrawi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi, (Jakarta: Pustaka Oasis, 2010), h.
271
4
sinergi di antara keragaman tersebut. Sebab bila keragaman dianggap
sebagai barang haram/dilarang, maka akan melawan takdir Tuhan.6
Pada periode kemajuan ijtihad, sikap suportifitas para mujtahid
umumnya cukup tinggi. Mereka saling menghormati dan saling
menghargai ijtihad masing-masing. Para penganut mazhab yang ada ketika
itu juga relatif objektif. Tetapi sungguh disayangkan, keadaan seperti itu
hanya mampu bertahan selama pendiri mazhab masih hidup. Fase yang
sangat membanggakan tersebut lambat laun segera disusul dengan fase
kelemahan, gerak laju ijtihad sangat lambat, bahkan disebut tertutup
sehingga pada gilirannya fikih pun mengalami hal yang sama. Pada fase
ini tidak lahir lagi tokoh-tokoh mujtahid dengan orisinilitas dan ketajaman
pemikirannya. Karena itu, fase ini juga sering disebut dengan periode
jumud dan periode taklid.7
Pola keberagaman yang terbuka dan toleran pada dasarnya merupakan
salah satu karakter dari ajaran Islam yang bersifat universal. Hal ini
karena, wacana toleransi dan intoleransi telah menjadi wacana keislaman
khususnya di Indonesia sejak lama. Masyarakatnya yang heterogen
dengan banyak agama dan keyakinan mendorong perlunya kerukunan
antar agama. Begitupun dalam tubuh Islam, toleransi tidak hanya
dibutuhkan oleh antar agama, tetapi juga antar golongan keislaman yang
beragam mazhab. Istilah toleransi dalam bahasa Latin, disebut tolelare,
yang berarti menahan diri, membiarkan orang berpendapat, berhati lapang
terhadap pandangan orang lain. Sikap toleransi bukan berarti
6 Zuhairi Misrawi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi, h. 272 7Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Ciputat: Gaung
Persada Press, 2011) h. 54
5
membenarkan pandangan atau aliran yang dibiarkan tersebut, akan tetapi
mengakui kebebasan serta hak asasi penganutnya.8
Yusuf Qaradhawi menyebutkan etika pendapat dan landasan
pemikiran dalam menyikapi perbedaan fikih di antaranya: “Seseorang
tidak mengingkari secara mutlak atau final terhadap masalah-masalah
ijtihâdiyah yang masih debatable, begitu pula tidak meyakini dan
mendukung secara mutlak. Hal ini sesuai dengan kaidah yang
mengatakan: „Ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad yang lain‟.
Selain itu, hendaknya seseorang fokus pada hal-hal yang muhkamât dan
jelas penafsirannya, dan menghindari perdebatan seputar hal yang
mutasyabihat (masih samar).9
Berangkat dari pernyataan di atas, maka Malik bin Anas sebagai
pendiri mazhab Malikiyyah dan termasuk salah satu ulama era klasik yang
mengusung semangat bertoleransi mengatakan bahwa, “Kebebasan
berpendapat dan perbedaan harus dihargai dan tidak boleh diberangus
dengan upaya penyeragaman melalui kebijakan penguasa”. Ucapan Imam
Malik ini berangkat dari inisiatif khalifah Harun Al-Rasyid untuk
menggantungkan kitab al-Muwattha‟ karya Imam Malik bin Anas diatas
Ka‟bah. Dengan tujuan semua orang mengikuti atau merujuk pada kitab
tersebut. Imam Malik pun menolak dan berkata, “Wahai pemimpin kaum
Muslimin, janganlah anda menggantungkan kitab itu di atas Ka‟bah, sebab
para sahabat Rasulullah saw pun telah berbeda pendapat”. Sikap Imam
Malik tersebut jelas menghindari pembenaran mutlak dari karyanya
sehingga menghilangkan rahmat perbedaan pendapat sebagai bentuk
8 Muammar Bakry, Pengembangan Karakter Toleran Dalam Problematika Ikhtlaf
Mazhab Fikih. Al-Ulum. Vol. 14 no. 1, h. 178 9 Muammar Bakry, Pengembangan Karakter Toleran Dalam Problematika Ikhtlaf
Mazhab Fikih, h. 179
6
khazanah kekayaan umat Islam. Inilah salah satu bentuk olah pikir dalam
menerima sifat keterbukaan pemikiran terhadap ikhtilâf.10
Fikih meniscayakan keragaman dan tidak tabu terhadap perubahan
atau pembacaan ulang. Bahkan pengaruh setting sosial juga begitu kuat
mempengaruhi corak pemikiran fikih mazhab tertentu. Sebuah mazhab
bisa saja cocok dan bisa saja berkembang di daerah tertentu dan belum
tentu sesuai dan mampu bertahan di daerah lain. Sejarah menunjukan
bahwa Islam mencapai sebuah kejayaan dalam peradaban dan keilmuan.
Ini dibuktikan dengan perkembangan keilmuan yang sangat dahsyat pada
masa-masa tersebut. Salah satu keilmuan yang, mencapai puncaknya
adalah hukum Islam (fikih). Munculnya berbagai mazhab dalam bidang
fikih menjadi sebuah fenomena yang menunjukan begitu terbukanya
keilmuan Islam pada saat itu sehingga setiap pakar hokum Islam (fuqaha)
memiliki kemampuan dan hak untuk berbeda dengan pakar yang lain,
sekalipun guru mereka sendiri.11
Fikih pernah mengalami kondisi di mana sebagian ulama cenderung
mengurung (mempersempit) nya pada persoalan-persoalan ibadah vertikal
saja, tanpa menyinggung secara intensif persoalan bagaimana seharusnya
umat Islam bermuamalah di tengah-tengah pluralitas, termasuk di
dalamnya pluralitas keimanan. Jika ada ulama yang mencoba mengkaji
persoalan tersebut, maka perspektif yang diberikan lebih bersifat apriori
(belum mengetahui kedaan yang sebenarnya) dan diskriminatif.12
Ada banyak faktor yang menyebabkan fikih bercorak apriori dan
diskriminatif ketika bersinggungan dengan persoalan pluralitas
keberagamaan, antara lain: pertama, pada saat dimana fikih ditulis,
10
Muammar Bakry, Pengembangan Karakter Toleran Dalam Problematika Ikhtlaf
Mazhab Fikih, h. 179 11
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 57 12 Nur Robi Wahidah, dkk, Fiqh Toleransi Dalam Perspektif Alqur‟an Departemen
Agama RI. Maghza, Vol. 1, No. 2, h. 112
7
kondisi hubungan antara umat Islam dan non muslim kurang begitu baik
(harmonis). Kedua, kondisi internal umat Islam pada saat itu (fikih ditulis)
juga tidak terlalu solid, sehingga para penguasa sering menjadikan fikih
sebagai senjata untuk mempertahankan status quo demi memikat hati
rakyatnya. Upaya ini dilakukan tidak hanya ketika pemerintah harus
menghadapi lawan-lawan politiknya secara internal (umat lslam),
melainkan juga ketika berhadapan dengan umat non muslim. Ketiga,
dalam doktrin ajaran Islam terdapat beberapa simbol dan sikap keagamaan
yang jika dipahami secara harfiyyah akan memberikan legitimasi terhadap
perilaku “keras" kepada pemeluk agama lain. Agar fikih tidak kehilangan
perannya sebagai doktrin yang shâlih Ii kulli zamân wa al-makân, maka
upaya pembacaan ulang (rethingking) terhadap doktrin-doktrin terdahulu
menjadi hal yang niscaya dilakukan, khususnya doktrin-doktrin yang
dipandang tidak toleran terhadap agama lain dan tidak lagi relevan dengan
semangat kekinian.13
Upaya pembacaan ulang terhadap fikih sangat mungkin dilakukan
jika fikih diletakkan sebagai produk budaya yang hadir dalam masa
tertentu dan untuk komunitas tertentu pula. Dalam hal ini, penting untuk
memilah sisi mana dari ajaran agama yang bersifat universal, dan sisi
mana lagi yang bersifat temporal.
Dalam banyak hal, fikih lebih bersifat temporal dan eksistensinya
cenderung mengikuti dinamika sosial. Sebagai sebuah produk pem ikiran.
kehadiran fikih merupakan refleksi dari seorang fakih (ahli fikih) terhadap
keadaan sosial yang melingkupinya. Sedemikian besar pengaruh setting
sosial terhadap pemikiran seorang fakih, sehingga tidak jarang dikatakan
bahwa pendapatnya atau bahkan kebijakan lain yang lahir dari suatu
13 Nur Robi Wahidah, dkk, Fiqh Toleransi Dalam Perspektif Alqur‟an Departemen
Agama RI. Maghza, Vol. 1, No. 2, h. 113
8
otoritas politik adalah produk dari sebuah periode sejarah. Tidak dapat
dipungkiri bahwa fikih memiliki keistimewaan tersendiri jika
dibandingkan dengan sistem hukum lain, yaitu adanya dimensi samawi
dalam proses penetapannya.14
Namun demikian, Fikih juga mengandung unsur ardhi yang tidak bisa
begitu saja diabaikan. Pembacaan ulang terhadap fikih idealnya tidak
menomorduakan salah satu dari dua unsur ini. Membaca dan
menempatkan fikih pada dimensi samawi (sakral) saja, menurut Sahal
Mahfuz, adalah tindakan tidak bijak yang secara tidak langsung telah
mengingkari sejarah dan keluwesan fikih itu sendiri.
Motivasi penulis mengangkat tema toleransi dalam penelitian skripsi
ini adalah, banyaknya kasus-kasus intoleran yang terjadi di kalangan
masyarakat Indonesia mengenai perbedaan mazhab fikih khususnya. Yang
mana, seringkali menyalahkan satu sama lain jika tidak sesuai dengan
mazhab yang diyakini masing-masing masyarakat. Salah satu kasus
sebagai berikut :
1. Baru-baru ini netizen diramaikan dengan sebuah video yang menyoroti
cara wudhu calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Uno,
dengan cara menggunakan gayung berwarna kuning untuk mengambil
air di bak yang sepertinya di dalam kamar mandi tersebut tidak ada
keran yang bisa digunakan untuk wudhu. Kemudian mencelupkan
tangannya berulang kali ke gayung tersebut, hal inilah yang menjadi
perdebatan netizen yang mayoritas menyalahkan cara wudhu Sandiaga
Uno. Menurut netizen, sebaiknya air dalam gayung tersebut
dikucurkan layaknya keran. Sebab, air yang sudah tercampur tangan
itu sudah tidak bisa mensucikan. Namun, beberapa lainnya cara wudhu
14
Nur Robi Wahidah, dkk, Fiqh Toleransi Dalam Perspektif Alqur‟an Departemen
Agama RI. Maghza, Vol. 1, No. 2, h. 113
9
Sandiaga Uno itu tetap sah, karena dalam kondisi tertentu dibolehkan
wudhu seperti itu, apalagi tidak ada keran. Bahkan ada yang
menyamakan dengan zaman Rasulullah saw, dimana air tidak
berlimpah seperti di Indonesia saat ini. Video tersebut dikomentari
oleh Mahfud MD yang menjelaskan tatacara wudhu yang benar.
Menurutnya, secara fikih yang dianut Aswaja, pada umumnya wudhu
tidak memakai air mustakmal. Ia juga menjelaskan yang diusapi adalah
seluruh wajah. Bukan hanya pipi, hidung, mata, dagu, kemudian juga
dari telapak tangan sampai siku. Namun, ia meminta pernyataannya itu
tidak dipolitisir menjelang Pilpres 2019 ini. Setelah itu, Mahfud MD
juga menjelaskan bahwa air gayung yang dipakai oleh Sandiaga Uno
itu suci, tapi tidak bisa mensucikan karena sudah ia sentuh berulang
kali. Namun, menurutnya itu merupakan fikih yang diajarkan di
pesantren-pesantren. Ia pun meminta agar cara wudhu Sandiaga Uno
tidak perlu diributkan karena fikih merupakan hasil ijtihad jumhur
fuqaha.15
2. Peristiwa penyerangan warga Syiah di Sampang yang berujung pada
pengusiran pada 2012 lalu, masih dirasakan oleh warga Syiah
Sampang yang kini menjadi pengungsi di rumah susun, Jemundo,
Sidoarjo. Menurut pemimpin komunitas warga Syiah Sampang, Tajul
Muluk, berlarutnya konflik di Sampang sebenarnya tidak perlu terjadi
bila pemerintah daerah memiliki ketegasan dalam menyelesaikan
konflik. Pembiaran masalah intoleransi dan radikalisme, kata Tajul
Muluk, akan dapat ditiru oleh kelompok intoleran lain di berbagai
tempat.
15
http://aceh.tribunnews.com/2019/01/01/sindir-cara-wudhu-sandiaga-uno-mahfud-
md-air-di-gayung-itu-suci-tapi-tidak-mensucikan, diakses tanggal 19 Mei 2019
10
Tajul Muluk, Pemimpin Syiah Sampang, Pengungsi di Rusun
Jemundo, Sidoarjo: “Berharap pemerintah ini segera menyelesaikan
masalah ini, karena masalah (Syiah) Sampang ini kalau dibiarkan
akan merembet ke mana-mana. Kelompok intoleran ini jangan dikasih
angin istilahnya. Kelompok intoleran ini adalah penyakit yang
menular. Pemerintah juga yang memberi angin. Saya sudah ingatkan
kejadian Sampang ini jangan dianggap remeh, kalau dianggap remeh
sampeyan (kita) bisa buktikan nanti. Indonesia ini lama-lama akan
seperti Pakistan, akan semakin banyak kelompok intoleran, akan
ditiru ini cara-cara yang dilakukan di Sampang.”16
3. Ada kebiasaan buruk yang dilakukan oleh beberapa kelompok Islam
dalam menyikapi perbedaan pemahaman antar golongan Islam.
Kelompok ini oleh banyak kalangan dijuluki sebagai kelompok takfiri.
Julukan ini muncul karena dari kebiasaan mereka yang sering
mengkafir-kafirkan dan menyesat-sesatkan kelompok lain.
Mereka menuduh golongan Islam dengan pemahaman yang
berbeda dengan tuduhan sesat dan bukan bagian dari Islam.
Kelompok Islam yang sering menjadi sasaran tuduhan-tuduhan
mereka adalah kelompok muslim minoritas. Diantara mereka adalah
Syi‟ah dan Ahmadiyah. Bahkan, tak jarang tuduhan-tuduhan tersebut
berujung kepada tindak kekerasan dan bahkan pembunuhan.
Bahkan, tak tanggung-tanggung, mereka juga menuduh
ayahanda jurnalis dan host cerdas Najwa Shihab, Prof. Dr. M. Quraish
Shihab, M.A sebagai Syi‟ah. Tentunya tuduhan tersebut sangatlah
16https://www.voaindonesia.com/a/perlu-gerakan-nasional-menangani-kasus-
intoleransi-dan-radikalisme/3695507.html, diakses tanggal 17 Juli 2019
11
sembarangan dan keliru. Mereka menuduhkan bahwa kitab tafsir Al-
Misbah yang sejumlah 17 jilid itu adalah bukti bahwa Prof. Quraish
adalah Syi‟ah. Mereka menuduh bahwa kitab tersebut dipengaruhi
oleh kitab tafsir Al-Mizan (21 jilid) karya ulama Syi‟ah. Hal itu
kemudian sudah diklarifikasi sekaligus dijernihkan oleh Prof.
Nadirsyah Hosen. Prof. Nadir menjelaskan bahwa, kitab tafsir karya
Prof. Quraish dipengaruhi oleh banyak kitab tafsir lainnya. Dan justru
malah ada banyak hal dalam tafsir tersebut yang berbeda pandangan
dengan kitab tafsir Al-Mizan –kitab tafsir yang mereka tuduhkan
sebagai kitab tafsir Syi‟ah.
Perilaku tuduh-menuduh sesat maupun kafir oleh beberapa
kelompok tersebut sangatlah berbahaya. Bisa diambil contoh kasus
yang dialamatkan kepada Prof. Quraish seperti di atas. Mereka secara
sembarangan dalam menilai pihak tertentu dengan label sesat.
Padahal, seperti yang kita ketahui semua, bahwa kitab tafsir Al-
Misbah karya Prof. Quraish adalah karya akademis seseorang ulama
besar lulusan doktoral Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Artinya,
karya tersebut bukanlah karya biasa yang remeh. Tentunya, kitab
tersebut dapat lahir karena kapasitas ilmu seseorang akademisi yang
tak main-main.
Akan tetapi, sebuah karya akademis seperti kitab tafsir Al-
Misbah-nya Prof. Quraish dituduh oleh pihak tertentu yang barangkali
kapasitas akademik tidak pernah mengenyam bangku akademik
secara teratur sebagaimana Prof. Quraish tersebut. Barangkali mereka
yang menuduh Prof. Quraish secara sembarangan tersebut adalah
seorang muslim yang baru belajar tentang Islam dari media sosial
ataupun kajian keislaman yang singkat.
12
Kita semua sangat menyayangkan, kenapa beberapa kelompok
ini sangat mudah menuduh kelompok yang berbeda dengan mereka
sebagai sesat maupun kafir. Kenapa ketika mereka memiliki
pandangan keislaman yang berbeda dengan kelompok mereka tidak
memperdebatkan perbedaan pemahaman tersebut secara bermartabat
dan berwibawa. Kenapa ketika mereka menuduh karya Prof. Quraish
tidak menandinginya dengan melahirkan karya kitab tafsir baru
ataupun menuliskan kritik mereka secara akademis.
Daripada bersusah payah untuk belajar kajian Islam secara
mendalam dan melalui prosedur akademis, mereka lebih suka
melabeli secara sembarangan orang lain dengan tuduhan sesat
maupun kafir. Dan tak jarang, aktivitas mereka tersebut berujung
kepada tindakan-tindakan kekerasan kepada pihak yang mereka tuduh
sebagai kelompok Islam yang sesat. Dengan demikian, pada dasarnya
perilaku mereka tak lain adalah keangkuhan dalam beragama yang
merasa paling benar sendiri. Padahal, sebagaimana diungkapkan oleh
Prof. Quraish Shihab bahwa kita (Islam) itu semuanya bersaudara.
Dan untuk penutup, sebagaimana dikatakan Prof. Quraish di atas
bahwa “surga terlalu luas sehingga tidak perlu memonopolinya hanya
untuk diri sendiri”. Wallahu a‟lam.17
Kemudian motivasi penulis menggunakan tafsir ahkâm sebagai
penjelasan tafsir pada skripsi ini adalah, semua perbedaan yang ada
hanyalah ada pada hukum fikih. Seringkali sikap saling menyalahkan
dalam hukum fikih didasari dengan pengetahuan yang minim mengenai
mazhab fikih yang lainnya. Oleh karena itu, dengan diangkatnya tafsir
17 M. Fajhru Riza, https://islami.co/mengkritisi-tuduhan-syiah-quraish-shihab/,
diakses tanggal 17 Juli 2019.
13
ahkâm pada skripsi ini bisa bermanfaat bagi yang membacanya,
khususnya mengenai perbedaan hukum fikih mengenai toleransi.
Dari paparan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji tema toleransi
dalam kitab tafsir ahkâm. Yang mana dalam pembahasan ini akan ada
kaitannya dengan ayat-ayat toleransi pada tafsir ahkâm. Hal ini pasti akan
menimbulkan adanya perbedaan pendapat, khususnya dalam Kitab Tafsir
al-Ahkâm Al-Qurân li Asy-Syafi‟I, Kitab Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-
Qurân al-Qurthubî dan Kitab Tafsir al-Munîr fi al-`Aqîdah wa al-
Syarî`ah wa al-Manhaj yang akan menjadi proyek penelitian penulis.
B. Permasalahan
Melihat pemaparan diatas, munculah beberapa masalah yang perlu
dibahas. Di antara bahasan-bahasan yang dapat diidentifikasi oleh penulis
adalah:
1. Identifikasi Masalah
a. Faktor apa yang menyebabkan muncul dan berkembangnya sikap-
sikap yang tidak toleran dalam kehidupan masyarakat?
b. Bagaimana bentuk sikap tidak toleran yang sering terlihat pada masa
sekarang ini?
c. Bagaimana konstribusi Islam dalam menjunjung tinggi perbedaan
dan menganjurkan sikap toleransi atas perbedaan?
d. Bagaimana toleransi diartikan dan dipahami pada ayat-ayat yang
terkait dengan toleransi pada kitab tafsir ahkâm?
2. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dengan banyaknya permasalahan yang ada dan untuk menghindari
penulisan masalah yang melebar kepada materi-materi yang tidak
berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini, maka
pembatasan dan perumusan masalah perlu disampaikan. Permasalahan
dalam penelitian ini adalah masalah penafsiran ayat-ayat al-Qur`an yang
14
terkait dengan toleransi pada tafsir ahkâm, yaitu pada kitab tafsir al-Jâmi`
li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî dan kitab tafsir al-Munîr fi al-
`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj. Dalam melakukan penelitian ini,
penulis membatasi ayat-ayat toleransi sebagai berikut:
a. QS. Yûnus [10]: 99
b. Al-Mumtahanah [60]: 8
c. QS. Al-Mumtahannah [60]: 9
d. QS. Al-Kâfirûn [109]: 6
e. QS. Al-An‟am [6]: 108
Alasan memilih ayat-ayat toleransi yang penulis teliti tersebut
dikarenakan sangat menggambarkan nilai-nilai toleransi pada kehidupan
kaum muslim dan non muslim yang berdampingan.
Sebagaimana uraian diatas, penulis akan menyusun suatu rumusan
pokok masalah agar pembahasan dalam skripsi ini menjadi lebih jelas dan
terarah. Rumusan permasalahnnya dirumuskan sebagai berikut:
a. Bagaimana penafsiran ayat-ayat toleransi dalam Kitab Tafsir al-Jâmi` li
al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî dan Kitab Tafsir al-Munîr fi al-
`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj?
b. Bagaimana perbedaan dan persamaan penafsiran ayat-ayat toleransi
dalam Kitab Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî dan
Kitab Tafsir al-Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj?
C. Tujuan Penelitian
Sebelum adanya penelitian, tentu saja ada tujuan yang mendasari
penelitian tersebut. Dengan demikian, berdasarkan rumusan masalah
diatas, berikut merupakan tujuan dari ditulisnya penelitian ini:
1. Menganalisa dan membandingkan penafsiran Al-Qurthubi dan Wahbah
Az-Zuhaili mengenai ayat-ayat toleransi.
15
2. Menganalisa perbedaan dan persamaan penafsiran ayat-ayat toleransi
dalam Kitab Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî dan
Kitab Tafsir al-Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Secara akademik
a. Untuk menambah wawasan penulis dalam pengembangan keilmuan
tafsir terkait dengan perbedaan paham mazhab fikih dikalangan
umat Islam.
b. Memberikan motivasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya dalam sikap toleransi ditengah-tengah perbedaan paham
mazhab fikih.
2. Secara praktis
a. Memberikan solusi terhadap persoalan yang menjadi fenomena
sosial terkait toleransi dalam perbedaan paham mazhab fikih.
b. Memberikan informasi kepada masyarakat terkait pentingnya
toleransi dalam perbedaan paham mazhab fikih.
E. Tinjauan Pustaka
Menurut pengamatan penulis, penelitian toleransi paham mazhab fikih
maupun toleransi antar pemeluk agama dalam tafsir yang menjadi objek
kajian penelitian ini bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia akademik.
Mengingat bermunculannya masalah-masalah baru di penjuru dunia yang
berkaitan dengan toleransi paham mazhab fikih sangatlah beragam yang
mana selalu berkaitan dengan fanatisme mazhab, sehingga acapkali
ditemukan sikap saling menyalahkan antar pengikut paham mazhab. Hal
ini akan tentu saja akan memecah belah persatuan kaum Muslim. Masalah
dalam toleransi paham mazhab fikih pun seringkali disandarkam pada
16
masalah politik baik pada era klasik hingga pada masa modern ini. Juga
banyaknya pendapat-pendapat pengemuka yang berijtihad, tentunya
penyelesaian masalah tidak akan diambil dari satu pendapat saja. Namun,
karya yang memfokuskan tema toleransi mazhab fikih dalam tafsir belum
banyak dilahirkan, apalagi mengenai toleransi mazhab dalam Kitab Tafsir
al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî dan Kitab Tafsir al-Munîr fi
al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj, seperti penelitian penulis.
Di antara karya-karya tulis terkait dengan penelitian penulis adalah:
1. Skripsi karya Nur Lu‟lu‟il Makmunah mahasiwi Fakultas Ushuluddin
dan Pemikiran Islam, prodi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2016, yang berjudul
“Konsep Toleransi Beragama Dalam Al-Qu‟an (Studi Komparatif atas
Tafsir Al-Azhar dan Tafsir An-Nur)”. Dalam skripsi tersebut, penulis
skripsi ini menganalisa ayat-ayat toleransi menurut tafsir Al-Azhar dan
tafsir An-Nur.18
2. Skripsi karya Asbandi mahasiwa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran
Islam, prodi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2017, yang berjudul “Konsep
Toleransi Menurut Buya Hamka dalam Kitab Tafsir Al-Azhar”.19
3. Skripsi yang berjudul “Toleransi Antar Umat Beragama (Studi Tematik
Ayat-Ayat Toleransi dalam Al-Qur`an)” karya Muh. Yasir Shidiq,
mahsiswa IAIN Ponorogo tahun 2017.20
18
Nur Lu‟lu‟il Makmunah, “Konsep Toleransi Beragama Dalam Al-Qu‟an (Studi
Komparatif atas Tafsir Al-Azhar dan Tafsir An-Nur),” Skripsi (Yogyakarta: Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016), Tidak diterbitkan (t.d) 19 Asbandi, “Konsep Toleransi Menurut Buya Hamka dalam Kitab Tafsir Al-Azhar,”
Skripsi (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017), Tidak
diterbitkan (t.d) 20
Muh. Yasir Shidiq, “Toleransi Antar Umat Beragama (Studi Tematik Ayat-Ayat
Toleransi dalam Al-Qur`an),” Skripsi (Ponorogo: IAIN Ponorogo, 2017 ), Tidak diterbitkan
(t.d)
17
4. Skripsi karya Alifah Ritajuddiroyah, mahasiswi pascasarja UIN Sunan
Kalijaga yang berjudul “Menemukan Toleransi Dalam Tafsir Fi Zilal
al-Qur`an; Sayyid Qutub”.21
5. Skripsi karya Ade Jamarudin, mahasiswa UIN Sultan Syarif Kasim
Riau, yang berjudul “Membangun Tasamuh Keberagamaan Dalam
Perspektif Al-Qur`an”. Penjelasan dalam skripsi ini banyak
menggunakan riwayat hadis.22
6. Skripsi karya Moh. Muhtador yang berjudul “Teologi Persuasif:
Sebuah Tafsir Relasi Umat Beragama”, mahasiswa UIN Sunan
Kalijaga. Penafsiran dalam skripsi ini focus pada ayat-ayat Makiyyah
saja.23
7. Skripsi yang berjudul “Pemahaman Intelektual Muslim Indonesia atas
Ayat-ayat Hubungan antar Umat Beragama”, karya Abdul Basri
Nasrudin, mahasiswa UIN syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.24
8. Skripsi karya Rahmalia yang berjudul “Toleransi Beragama Dalam
Perspektif Tafsir Fi Dzilalil Qur`an”, mahasiswi UIN Lampung tahun
2017.25
9. Penulis juga meninjau dari majalah Al-Ulum karya Muammar Bakry
yang berjudul, “Pengembangan Karakter Toleran Dalam Problematika
Ikhtilaf Mazhab Fikih”. Beliau memaparkan problematika Ikhtilaf
21
Alifah Ritajuddiroyah, “Menemukan Toleransi Dalam Tafsir Fi Zilal al-Qur`an;
Sayyid Qutub,” Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga), Tidak diterbitkan (t.d) 22
Ade Jamarudin, “Membangun Tasamuh Keberagamaan Dalam Perspektif Al-
Qur`an,” Skripsi (Riau: UIN Sultan Syarif Kasim Riau), Tidak diterbitkan (t.d) 23 Moh. Muhtador , “Teologi Persuasif: Sebuah Tafsir Relasi Umat Beragama,”
Skripsi (Yogyakarta: UIN sunan Kalijaga), Tidak diterbitkan (t.d) 24
Abdul Basri Nasrudin, “Pemahaman Intelektual Muslim Indonesia atas Ayat-ayat
Hubungan antar Umat Beragama,” Skripsi (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017),
Tidak diterbitkan (t.d) 25 Rahmalia, “Toleransi BEragama Dalam Perspektif Tafsir Fi Dzilalil Qur`an,”
Skripsi (Lampung: UIN Lampung, 2017), Tidak diterbitkan (t.d)
18
dalam bermazhab dan pengembangan karakter toleran dalam menjawab
problematika ikhtilaf.26
10. Dalam jurnal yang berjudul “Fiqh Toleransi Dalam Perspektif Al-
Qur‟an Departemen Agama RI” karya Nur Robi Wahidah, Nasoikhatul
Mufida, Anita Roja dan M. Khairul Hadi al-Asy‟ari, menafsirkan ayat-
ayat toleransi secara tematik berdasarkan penafsiran Depag, dengan
harapan mampu membangun fiqh yang lebih toleran serta memiliki
kekuatan hokum karena diambil dari penafsiran ayat-ayat toleransi
yang dibuat oleh Depag.27
11. Kemudian meninjau dari artikel karya Agus Sunaryo yang berjudul,
“Fikih Tasamuh: Membangun Kembali Wajah Islam yang Toleran”.28
12. Zuhairi Misrawi dalam buk unya “Al-Qur‟an Kitab Toleransi” sangat
mengedepankan sikap toleransi yang sangat berperan penting dalam
kehidupan umat Muslim. Dalam bukunya dipaparkan ayat-ayat
toleransi yang secara eksplisit mengisahkan pentingnya toleransi,
kerukunan, dan perdamaian. Ayat-ayat yang bernuansa intoleran
sejatinya merujuk pada ayat-ayat toleransi, bukan sebaliknya. Buku ini
memperkuat pandangan Muslim moderat, bahwa Islam adalah agama
rahmatan lil „alamin. Dilengkapi dengan metodologi tafsir, paradigma
toleransi, ayat-ayat toleransi, dan tafsir ayat-ayat intoleransi.29
13. Huzaemah Tahido Yanggo dalam bukunya “Pengantar Perbandingan
Mazhab” memaparkan tentang berbagai macam mazhab yang ada serta
26 Muammar Bakry, Pengembangan Karakter Toleran Dalam Problematika Ikhtlaf
Mazhab Fikih. Al-Ulum. Vol. 14 no. 1 27 Nur Robi Wahidah, dkk, Fiqh Toleransi Dalam Perspektif Alqur‟an Departemen
Agama RI. Maghza, Vol. 1, No. 2 28
Agus sunaryo, “Fikih Tasamuh: Membangun Kembali Wajah Islam yang
Toleran” Jurnal Akademika, vol. 18 no. 2 29
Zuhairi Misrawi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi, (Jakarta: Pustaka Oasis, 2010)
19
perbedaan-perbedaan yang mendasari adanya perselisihan antar sesama
umat Muslim.30
Sejauh ini, penulis baru menemukan beberapa karya skripsi yang
berkaitan dengan judul toleransi berdasarkan penfsiran mufassir tertentu.
Berdasarkan penelitia-penelitian terdahulu tersebut, penulis tertarik untuk
meneliti skripsi dengan tema: Ayat-Ayat Toleransi pada Tafsir Ahkam
(Kajian Komparatif Kitab Tafsir al-Ahkâm Al-Qurân li Asy-Syafi‟I, Kitab
Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî dan Kitab Tafsir al-
Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj).
F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Untuk membahas masalah yang dirumuskan dalam rumusan
masalah penelitian ini, peneliti dalam hal ini akan melakukan penelitian
secara kualitatif, yaitu penelitian tentang riset yang
bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis.31
Selain penelitian kualitatif, perlu diampaikan pula, bahwa penelitian
ini adalah penelitian pustaka (library research), yaitu metode penelitian
kepustakaan yang hanya berhubungan dengan referensi dan buku saja
dengan memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data
penelitian. Riset pustaka membatasi kegiatannya hanya pada bahan-
bahan koleksi perpustakaan saja tanpa memerlukan riset lapangan.32
30 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Ciputat: Gaung
Persada Press, 2011) 31 “Wikipedia” https://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian_kualitatif, diakses tanggal
15 Agustus 2019 32 “Blogspot” http://ryan-febrianti.blogspot.com/2015/03/memahami-metode-
penelitian-kepustakaan.html, diakses tanggal 15 Agustus 2019
20
2. Sumber data
Tehnik penulisan yang digunakan adalah library research, maka
dibutuhkan pengumpulan data secara literatur, yaitu penggalian bahan
pustaka yang sesuai dan berhubungan dengan objek pembahasan. Oleh
karena itu sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian:
a. Data Primer, bersumber dari kitab pokok kajian penelitian ini, yakni
Kitab Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî karya Imam
al-Quurthubî dan Kitab Tafsir al-Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah
wa al-Manhaj karya Wahbah Az-Zuhaili.
b. Data Sekunder, bersumber dari kitab-kitab lainnya yang mendukung
seperti tafsir Al-Qur‟an, artikel, jurnal, tulisan ilmiah, dan lain
sebagainya yang dapat melengkapi data-data primer di atas.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan metode yang digunakan yaitu Library
Research, maka teknik pengumpulan data yang dipakai adalah teknik
dokumentatif yakni dengan mengumpulkan data dari hasil membaca,
menelaah buku dan literature yang berhubungan dengan judul skripsi
4. Metode Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode
deskriptif analisis dan komparatif yaitu pertama, dilakukan proses
pengumpulan data mengenai topik pembahasan yaitu berkenaan
dengan ayat-ayat yang menyinggung toleransi paham mazhab dalam
tafsir Al-Qur‟an. Kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut.
Setelah penulis mengetahui data yang tersedia dari berbagai sumber
yaitu primer dan sekunder, maka langkah berikutnya adalah
melakukan reduksi data dan selanjutnya dilakukan penyajian, penulis
menelaah ayat-ayat yang menyinggung toleransi paham mazhab
21
dalam tafsir Al-Qur‟an dengan melakukan penelusuran melalui
hadits-hadits jika ada, serta pendapat-pendapat para mufassir sebagai
sumber pendukung.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini akan tersusun dari beberapa bab. Sistematika penulisan
antar bab dalam penelitian ini sebagai berikut:
Bab pertama, berisi pendahuluan yang menguraikan tentang
problematika dan signifikasi penelitian. Pendahuluan meliputi latar
belakang masalah diangkatnya tema penelitian ini, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat yang akan diperoleh dalam
penelitian ini. Metode penelitian yang meliputi metode pengumpulan data,
metode pembahasan dan teknis penulisan. Serta memaparkan sistematika
dalam penulisan ini.
Bab Kedua, selain membahas tentang devenisi toleransi, dalam bab
ini juga membahas tentang prinsip-prinsip toleransi dalam Islam,
pandangan ulama mengenai toleransi serta memaparkan ayat-ayat yang
yang berkaitan dengan toleransi.
Bab ketiga, berisi tentang biografi mufassir dan profil kitab tafsir al-
Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî karya imam al-Qurthubî dan
kitab tafsir al-Munîr fî al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj karya
Wahbah az-Zuhaili.
Bab keempat, berisi penafsiran ayat-ayat toleransi dalam kitab tafsir
al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî karya imam al-Qurthubî dan
kitab tafsir al-Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj karya
Wahbah az-Zuhaili. Kemudian memaparkan persamaan dan perbedaan
pendapat dan analisa tafsir dari kedua kitab tafsir tersebut.
Bab Kelima, merupakan bab penutup, yang berisi kesimpulan dan
saran-saran. Ini adalah langkah akhir penulis dalam melakukan penelitian,
22
dimana dalam bab ini penulis berharap mampu memberikan kontribusi
yang berarti berupa kesimpulan terhadap penelitian serta saran-saran yang
memberikan dorongan dan inspirasi bagi peneliti berikutnya.
23
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP TOLERANSI
A. Definisi Toleransi
Dalam KBBI toleransi merupakan kelapangan dada dalam arti suka
rurun dan damai kepada siapa pun, membiarkan orang berpendapat atau
berpendirian lain tak mengganggu kebebasan berpikir dan berkeyakinan
lain; saling menghormati.1 Makna leksikal kata toleransi adalah “bersabar,
menahan diri, membiarkan. Dalam Encyclopedia Americana disebutkan:
Namun toleransi memiliki makna yang sangat terbatas. Ia berkonotasi
menahan diri dari pelarangan dan penganiayaan. Meskipun demikian,
ia memperlihatkan sikap tidak setuju yang bersembunyi dan biasanya
merujuk kepada sebuah kondisi dimana kebebasan yang
diperbolehkannya bersifat terbatas dan bersyarat. Toleransi tidaklah
sama dengan kebebasan agama, dan bahkan terlampau jauh dari
persamaan hak beragama. Ia mengansumsikan adanya otoritas yang
tentunya bersifat memaksa, namun, karena beberapa alasan tertentu
tidak dipsaksakan secara ekstrim, tetapi fakta yang patut disesali
adalah bahwa, mudah-mudahan kita tidak terkejut, sikap tidak toleran
paling besar justru dijumpai di kalangan bangsa-bangsa Keristen
daripada bangsa-bangsa lainnya.2
Toleransi kini merujuk kepada sikap toleran terhadap pandangan,
kepercayaan dan praktik-praktik kelompok lain yang berbeda dengan
pandangan kita sendiri. Ini semakin diperkuat oleh tuntunan spirit baru
globalisasi, pluralisme, demokrasi, kampanye hak-hak asasi manusia,
hukum-hukum non-diskriminasi, kebebasan menyatakan pendapat,
sekularisasi, dan merosotnya pengaruh agama dalam kehidupan Barat.
Berdasarkan hal ini, terbukalah lebih banyak ruang bagi emansipasi kaum
1Team Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka
Phoenix, 2007) h. 2 Muhammad Abdul Halim, Memahami Al-Qur`an: Pendekatan Gaya dan Tema,
(Bandung: Penerbit Marja`, 2002) h. 104
24
wanita, kampanye menentang diskriminasi atas dasar etnis dan orientasi
seks serta perlindungan bagi kaum minoritas. Makna baru toleransi ini
merambah begitu cepat sehingga banyak orang, bahkan di Barat sendiri,
yang mulai merasa cemas terhadap semakin meluasnya spirit baru
toleransi ini:
Redefinisi paham toleransi ini, di sisi lain, tidak hanya menuntut
penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan, melainkan juga
penerimaan atas kepercayaan dan praktik-praktik pihak lain.3
Berbeda dengan latar belakang ini, kebangkitan Islam yang
menegaskan kembali peran agama di dalam negeri-negeri Muslim, bagi
kebanyakan orang di barat tampak bersifat tidak toleran.4 Toleransi dapat
diartikan sebagai sikap membiarkan, menenggangkan, dan menghormati
pendapat/sikap pihak lain walau yang membiarkannya tidak sependapat
dengannya. Toleransi sangat dibutuhkan dalam kehidupan karena
keragaman dan perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Tanpa toleransi
hidup akan terganggu. Manusia dianugerahi Allah pikiran,
kecenderungan, bahkan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan aneka
perbedaan dan pertentangan yang jika tidak dikelola dengan baik, akan
mengakibatkan bencana.5
Salah satu fenomena penciptaan yang mudah dikenali oleh setiap
anak manusia adalah fenomena keberagaman, perbedaan, dan
kemajemukan, baik itu penciptaan alam maupun penciptaan tatanan
(tasyri’). Pada alam, bumi yang kita diami misalnya adalah salah satu saja
diantara jutaan planet di alam raya, yang masing-amsing berbeda antara
3 Muhammad Abdul Halim, Memahami Al-Qur`an: Pendekatan Gaya dan Tema, h.
133 4 Muhammad Abdul Halim, Memahami Al-Qur`an: Pendekatan Gaya dan Tema, h.
133 5 M. Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, (Ciputat: Penerbit Lentera
Hati, 2016 ) h. 181
25
satu dengan lainnya. Dalam bumi sendiri kita jumpai aneka macam
tumbuhan, satwa, sungai, laut dan lain sebagainya. Dan pada tatanan, kita
jumpai berbagai jalan ta’abbud untuk bisa ber-taqarrub kepada Allah
SWT. Keragaman demikian sengaja ditampilkan oleh Allah Swt. untuk
memenuhi keragaman kecenderungan manusia, yang diantara mereka
terdapat kelompok yang hanyut dalam keajaiban-keajaiban penciptaan
bumi, dan kelompok lain yang terbuai dengan keindahan-keindahan luar
angkasa, dan demikian seterysnya. Dengan demikian Allah SWT bisa
dikenali melalui ayat-ayat-Nya yang tersebar dalam keragaman ciptaan-
nya. Karena dengan adanya penciptaan alam merupakan tanda-tanda
kebesaran dan keesaan Allah SWT.6
Keragaman adalah sunnatullah dalam peradaban umat manusia. Baik
Al-Qur`an maupun as-Sunnah menyebutkan manusia diciptakan secara
kelompok, bersuku, dan bergolongan, dan masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan. Ayat Al-Qur`an yang paling sering dikutip
mengenai penciptaan manusia manusia yang berbagai macam adalah ayat
ke-13 surah al-Hujurat/49 ayat 13;
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang
paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal.”
6Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kebinekaan (Tafsir Al-Qur`an Tematik), (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2011) h. 67
26
Kalimat “kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku agar kamu saling mengenal” dipahami tidak jauh berbeda
oleh par amufasir yang berbeda model pendekatan. Dengan kata lain,
umumnya mereka sepakat bahwa ada keragaman di dalam penciptaan,
dan hikmah dari keragaman tersebut adalah agar bisa saling mengenal
satu sama lain.7
Keragaman atau pluralitas etnik, bahasa, serta budaya merupakan
kenyataan yang tidak terbentahkan. Dalam peradaban modern bahkan
bisa dikatakan tidak ada lagi wilayah di globus ini yang hanya dihuni oleh
satu etnik tertentu atau budaya tertentu. Hampir seluruh wilayah
merupakan pencampuran dari pelbagai etnik dan budaya. Eropa yang
semenjak abad pertengahan menjadi salah satu wilayah tempat terjadinya
revolusi industry dan kemudian menjadi “pioner” dalam eksport alat-alat
industri meniscayakan wilayah lain sebagai pasar, yang kemudian
berakibat pada keberagaman etnik dan budaya di wilayah Eropa sendiri.
Hal yang sama dan kentara di wilayah benua Amerika, di mana di bagian
Amerika Latin banyak pendatang dari Eropa terutama Spanyol dan
Portugal kemudian wilayah tengah menjelma menjadi Amerika Serikat,
sementara Amerika Utara menjadi Kanada.8
Dalam konteks Indonesia sendiri yang menurut statistic
kependudukan, tidak kurang dari 300 etnik berada di Nusantara, dengan
pelbagai budaya serta ragam bahasa yang dimiliki, ilustrasi ayat diatas
sangat jelas. Para pendiri Negara ini semenjak awal telah menyepakati
Pancasila sebagai pilar dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang
7 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kenegaraan (Tafsir Al-Qur`an Tematik), (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2011) h. 305-306 8 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kenegaraan (Tafsir Al-Qur`an Tematik) h. 306
27
meniscayakan perlakuan yang adil bagi semua elemen bangsa, meski
secara budaya maupun agama memiliki perbedaan satu sama lainnya.9
Sebagai kitab suci yang mengandung hidayah, Al-Qur‟an telah
menggambarkan keniscayaan sebuah keberagaman atau pluralitas.
Keberagaman ini pula yang menjadi ajang bagi “perlombaan” makhluk
yang paling mulia di sisi Allah, yakni yang paling bertakwa. Dengan
demikian, melalui ayat dari surah Al-Hujurat ayat 13 di atas, al-Qur`an
hendak menyatakan bahwa manusia di atas bumi tidak ada yang lebih
baik dan utama dari manusia yang lainnya. Secara fisik mereka berbeda,
demikian watak, tabiat serta karakter yang dimiliki. Pengakuan
keragaman Al-Qur`an dengan demikian hedak menegaskan bahwa
manusia satu dengan lainnya sama, yang membedakan mereka di sisi
Allah adalah kualitas ketakwaannya.10
Pengakuan keragaman dalam Surah al-Hujurat ayat 13 ini juga senada
dengan surah al-Maidah ayat 48 sebagai berikut:
9 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kenegaraan (Tafsir Al-Qur`an Tematik) h. 306 10 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kenegaraan (Tafsir Al-Qur`an Tematik) h. 307
28
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa
kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab
(yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang
lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah
turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap
umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu
apa yang telah kamu perselisihkan itu”.
Uraian dari tafsir-tafsir klasik menyatakan pendefinisian kata syir’a
dan minhaaj. Syir’a jika dilihat dari asal katanya memeiliki arti leksikal
“menjalankan (syara’a), menjelaskan, bayyana dan awdaha” yang
kemudian dipakai dalam pengertian syari’ah yang berart pranata. Dua
kosa kata ini mengundang pendapat beberapa ahli seperti yang ditulis
dalam beberapa literature tafsir. Diantaranya adalah pendapat yang
diberikan oleh Sa‟id bin Abi „Arubah. Menurutnya, dengan merujuk
pendapat Qatadah bin Muzahim seorang tabi’in, syir’ah dan minhaj
adalah jalan dan pranata. Dan pranata itu sendiri sangat beragam sesuai
dengan tkitab induk sebagai sumbernya, seperti pranata dalam Taurat,
dalam Inji, Al-Qur‟an, yang masing-masing berlaku dan menjadi panutan
bagi yang mengimaninya.11
Frasa atau kalimat “untuk setiap umat diantara kamu, kami berikan
aturan dan jalan yang terang” penting di sini untuk di garisbawahi.
Apalagi jika duhubungkan dengan kalimat selanjutnya: “Kalau Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja”. Beberapa
literature tafsir memang memiliki perbedaan ketika menjelaskan. Namun
11 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kenegaraan (Tafsir Al-Qur`an Tematik) h. 308
29
demikian, jika dilihat dalam konteks pembicaraan ayat, mafhuum
muwaafaqah yang bisa dipetik adalah masing-masing kelompok atau
umat di beri cara dan jalan untuk mengatur diri mereka. Plus
dimungkinkan juga pemahaman akan beragamnya cara serta jalan dalam
memegangi ajaran serta pranata keagamaan. Ketika dinyatakan dalam
ayat bahwa Allah tidak menghendaki umat hanya satu saja, itu artinya
keragaman diakui keberadaannya oleh Al-Qur‟an. Masing-masing
kelompok, komunitas memiliki pranata, baik yang berdasarkan ajaran-
ajaran keagamaan yang bersumber dari sebelum datangnya Islam,
maupun hasil kreativitas akal budi. Studi budaya dan antropologi lazim
menyebut dengan local wisdom atau kearifan local, yakni pranata, nilai
dan tatanan yang hidup deitengah masyarakat.12
B. Prinsip-prinsip Toleransi dalam Islam
Yang sangat penting dalam pembahasan mengenai toleransi adalah,
tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip agama, sebagaimana keyakinan
agama tidak boleh dikorbankan demi toleransi. Pada awal masa Islam,
tokoh-tokoh kaum musyrik Mekkah menawarkan kompromi menyangkut
pelaksanaan tuntunan agama/kepercayaan. Usul mereka adalah agar Nabi
saw bersama umatnya mengikuti kepercayaan mereka dan mereka pun
akan mengikuti ajaran Islam. Kami menyembah Tuhanmu, hai
Muhammad, setahun dan kamu juga menyembah tuhan kami setahun.
Kalau agamamu benar, kami mendapatkan keuntungan karena kami juga
menyembah Tuhanmu dan jika agama kami benar, kamu juga tentu
memperoleh keuntungan. Demikian lah kurang lebih usul mereka kepada
Nabi Muhammad saw.13
12 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kenegaraan (Tafsir Al-Qur`an Tematik) h. 308 13 M. Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, h. 183
30
Usul kaum musyrik itu ditolak oleh Rasulullah saw karena tidak
mungkin dan tidak logis pula terjadi penyatuan agama-agama. Setiap
agama berbeda dengan agama lain, baik dalam ajaran pokok, demikian
sekian banyak perinciannya. Kerena itu, tidak mungkin perbedaan-
perbedaan itu digabungkan dalam jiwa seorang yang tulus terhadap
agama/keyekinannya. Masing-masing penganut agama harus yakin
sepenuhnya dengan ajaran agama/kepercayaannya. Selama mereka telah
yakin, mustahil mereka akan membenarkan ajaran yang tidak sejalan
dengan ajaran agama/kepercayaannya.14
Usul kaum musyrik diataslah yang menjadi sebab turunnya QS. Al-
Kafirun [109], yang antara lain menegaskan lakum dinukum wa liya din-
Bagi kamu agama kamu dan bagiku agama ku. Ini merupakan pengakuan
eksistensi timbal balik secara de facto sehingga dengan demikian, masing-
masing pihak dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik,
tanpa memutlakan pendapat kepada pihak lain, tetapi sekaligus tanpa
mengabaikan keyakinan masing-masing. Memang, kemutlakan ajaran
agama adalah siakp jiwa ke dalam, tidak menuntut pernyataan atau
kenyataan di luar bagi yang tidak meyakininya.15
Kalau toleransi yang demikian tinggi telah ditetapkan dan diterapkan
oleh rasuk saw terhadap umat yang tidak seiman, maka tentu lebih-lebih
lagi kepada sesama kaum beriman, bahkan sesame kaum Muslim. Dalam
konteks ini, sungguh menarik semboyan yang dikumandanglkan oleh
ulama dan pemikir Muslim yang moderat dan berwawasan luas, yakni
semboyan yang menyatakan: “Kita bersatu dalam akidah dan bertoleransi
dalam khilafiyah/furu’iyah.” Ajaran Islam ada yan gharus dipercayai da
nada juga yangharus diamalkan. Akidah adalah ajaran yang harus
14 M. Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, h. 183-184 15 M. Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, h. 184
31
dipercayai. Akidah adalah jaran Islam yang berkaitan dengan kepercayaan
yang sedemikian mantap sehingga kalau ia dipaksa mengubahnya, maka
kendati lidahnya berucap yang bertentangan denga akidahnya, hatinya
tidak ikut bergerak dan menyimpang. Memang, seringkali ditemukan
dalam buku-buka mengenai uraian-uraian yang dinamai akidah, sering
kali terdapat uraian yang berbeda-beda dan sangat rinci sehingga lahirlah
aneka kelompok dalam bidang akidah. Akidah Ahlu as-Sunnah wa al-
Jama’ah, ini pun bermacam-macam. Ada Salafiyah, ada Asy‟Ariyah, ada
Maturidiyah. Ada lagi Mu‟tazilah. Syi‟ah dan sebagainya. Argumentasi
masing-masing kelompok pun tidak meyakinkan kelompok yang lain,
apalagi ada yang memperluas sumber pemahamannya sehingga mencakup
semua hadis dan pendapat ulama-ulama masa lalu. Ada yang
mengandalkan akal, da nada juga yang mengabaikannya, ada lagi yang
mendahulukan akal atas teks atau sebaliknya, dan lain-lain.16
Dari sini, akidah yang dimaksud dalam semboyan tersebut adalah
yang argumentasinya bersifat qath’iy, yakni pasti tidak dapat diragukan.
Argumentasi yang demikian itu bagi umat Islam hanyalah yang bersumber
dari Al-Qur`an dan hadis yang mutawatir, yakni yang diriwayatkan oleh
banyak orang dan yang mustahil menurut adat kebiasaan, mereka itu
sepakat berbohong, lalu makna yang ditarik dari kedua sumber ajaran itu
harus pula bersifat pasti, tidak ada celah baginya untuk menerima makna
lain. Itu demikian karena terhimpun padanya banyak indikator yang
mendukung makna tersebut. Lidi jika berdiri sendiri maka rapuh, tetapi
jika telah terhimpun sehingga menjadi sapu lidi, maka ia menjadi sangat
kuat.17
16 M. Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, h. 185 17 M. Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, h. 185
32
Umat Muslim bersatu dalam akidah, antara lain yang tercermin dalam
rukun Iman yang enam; percaya kepada Allah SWT, Malaikat, Kitab-
kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Kemudian, dan takdir-Nya yang baik
dan buruk. Rincian dari masing-masing hal diatas dapat berbeda-beda
karena argumentasi masing-masing menyangkut rincian itu mengandung
kemungkinan makna lain. Disinilah umat Islam dituntut bertoleransi
antara sesame Muslim, yakni membiarkan masing-masing menganut ap a
yang ia perceya dan pahami walau berbeda dengan paham dan
kepercayaan yang bertoleransi itu. Jika ini dapat dilaksanakan, tidak aka
nada tuduhan kafir-mengkafirkan karena akidah bersemai di hati dan tidak
seorangpun yang mampu menyelaminya dank arena itu pula, para ulama
menekankan bahwa jika anda telah menemukan 99% dalil yang
menunjukan kekufuran seseorang, jangan tetapkan kekufurannya sampai
bulat 100%.18
C. Ayat-ayat Toleransi dalam Al-Qur`an
Ayat-ayat mengenai toleransi seringkali di temukan di beberapa buku.
Berikut uraian ayat-ayat toleransi yang penulis rangkum dari beberapa
buku:
1. Ayat-ayat Toleransi dalam “Tafsir Al-Qur`an Tematik (Al-Qur`an
dan Kebhinekaan)” oleh DEPAG
a. Tidak ada Paksaan dalam Beragama (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
Salah satu ajaran Islam yang sangat mulia adalah penerimaan
terhadap kebinekaan dalam agama. Islam dating dengan membawa
pengakuan terhadap realitas kehidupan manusia dengan berbagai
agama yang mereka peluk. Islam sama sekali tidak datang untuk
memaksa mereka berpindah agama dari non Islam ke Islam. Dalam
18 M. Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, h. 186
33
surah al-Baqarah ayat 256 ini dengan tegas menyatakan bahwa tidak
ada paksaan dalam beragama.19
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu
Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat
kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)
Kata ( )“Tidak ada paksaan” merupakan bentuk
toleransi.
b. Iman adalah Pilihan (QS. Al-Kahfi [18]: 29)
Keyakinan bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang
benar dan tidak lantas menafikan eksistensi agama yang lain.
Keimanan dan kekufuran adalah sebuah pilihan.
19 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kebimekaan (Tafsir Al-Qur`an Tematik), (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2011), h. 71-72
34
“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka
Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami
telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka
akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat
istirahat yang paling jelek”. (QS. Al-Kahfi [18]: 29)
Kata ( ) merupakan
bentuk toleransi dalam ayat ini.
Keimanan yang lahir dari sebuah paksaan hanya akan
mengantarkan pada kemunafikan.20
Nilai toleransi pada ayat ini
sangat terlihat jelas.
c. Tugas dari Seorang Nabi dan Ulama-ulama adalah Berdakwah (QS.
Al-Ghâsyiah [88]: 21-22)
Tugas dari seorang nabi dan ulama-ulama pewaris kenabian
adalah berdakwah, bukan memaksa non muslim berkonversi menjadi
muslim. Sejak Nabi Muhammad saw. berada di Mekkah, Allah Swt.
telah menugaskan tugas ini dalam firman-Nya:
20 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kebimekaan (Tafsir Al-Qur`an Tematik), (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2011), h. 72
35
“Maka berilah peringatan, karena Sesungguhnya kamu
hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang
yang berkuasa atas mereka”. (QS. Al-Ghâsyiah [88]: 21-22)
Bagaimanapun keyakinan seseorang akan suatu hal tidak bisa
dijadikan alas an untuk memaksakannya kepada orang lain.21
d. Agama di sisi Allah adalah Islam (QS. Ali-„Imrân [3]: 19)
Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah
Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali
sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian
(yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-
ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (QS.
Ali-„Imrân [3]: 19)
Sebagai seorang muslim, sudah sepatutnya kita mengakui
bahwa Islam adalah agama yang hanya di ridhai Allah Swt.
Dalam menerima kebinekaan ada sejumlah ketentuan yang
patut diajukan di sini. Pertama, mengakui adanya keragaman afiliasi
keagamaan dalam satu masyarakat atau Negara. Kedua, menghargai
keragaman serta menerima konsekuensinya, yakni perbedaan akidah
dan ibadah. Ketiga, merumuskan formulasi yang tepat untuk
mengungkapkan keberagaman tersebut dalam satu kerangka kerja
21 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kebimekaan (Tafsir Al-Qur`an Tematik), (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2011), h. 73
36
yang baik dan dalam bentuk yang mampu mencegah pecahnya
konflik keagamaan yang berpotensi mengancam keselamatan
masyarakat. Keempat, mengakui dan menerima hadirnya kepercayaan
lain tidak berarti melebur satu kepercayaan dengan lainnya. Yang
terakhir ini bukan lagi kebinekaan, tapi telah mengarah kepada
pemaksaan penyatuan yang cenderung menghilangkan identitas
masing-masing kepercayaan.22
e. Menyelenggarakan Kehidupan Bermasyarakat yang Toleran (QS. Hûd
[11]: 118)
Mengakui eksistensi agama-agama di luar Islam bukan berarti
mengakui kebenarannnya. Ini merupakan dua hal yan berbeda yang
tak boleh di campur-adukkan. Yang pertama dalam rangka
menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat yang majemuk secara
damai da penuh toleransi sebegaimana di perintahkan oleh Islam serta
membumikan titah cipta Tuhan sebagaimana secara eksplisit
difirmankan dalam surah Hûd :
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat
yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat”. (QS. Hûd
[11]: 118)
Manusia memiliki pilihan-pilihan dan bertindak secara
beragam sesuai pilihan masing-masing. Diantara mereka ada
golongan yang beriman dan berjalan di jalan yang lurus, dan banyak
22 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kebimekaan (Tafsir Al-Qur`an Tematik), (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2011), h. 74-75
37
pula yan berada di jalan yang ssesat. Selalu begitu hingga akhir hari
kelak.23
Sementara hal yang kedua, yakni pengakuan terhadap
kebenaran agama lain di luar Islam, menyangkut masalah akidahIslam
yang bersifat eksklusif dalam arti kebenarannya tak mungkin di gugat
lagi oleh para pemeluknya. Bagi umat Islam, agama Islam
sebagaimana diajarkan oleh nabi Muhammad adalah sebuah
kebenaran mutlak.24
2. Ayat-ayat Toleransi dalam Buku “Yang Hilang dari Kita: Akhlak”
Karya M.Quraish Shihab
a. Manusia akan terus berbeda dan berselisih, kecuali yang rahmati Allah
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat
yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat”. (Hûd [11]:
117-118)
b. Supaya Manusia Saling Mengenal
23 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kebimekaan (Tafsir Al-Qur`an Tematik), (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2011), h. 75 24 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kebimekaan (Tafsir Al-Qur`an Tematik), (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2011), h. 75
38
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”. (QS. Al-Hujurât [49]: 13)
c. Menghindari Konflik Melalui Toleransi
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845]
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk”. (An-Nahl [16]: 125)
Tidak jarang melalui dialog ditemukan apa yang diduga
berbeda, pada hakikatnya hanya dalam permukaan atau rumusan
redaksi, bahkan kalaupun berbeda sunstansinya, maka dengan dialog
dapat ditemukan jalan untuk menghindari konflik melalui toleransi
itu. Ini tentu saja bila dialog itu berdasar sikap saling menghargai dan
dilakukan sebagaimana tuntunan Al-Qur`an, yakni dengan cara
terbaik. 25
25 Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, (Ciputat: Lentera Hati, 2019), h.
182
39
d. Menyerahkan Keputusan Kepada Allah Swt. Siapa yang Benar
Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang
dosa yang Kami perbuat dan Kami tidak akan ditanya (pula) tentang
apa yang kamu perbuat". Katakanlah: "Tuhan kita akan
mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara
kita dengan benar. dan Dia-lah Maha pemberi keputusan lagi Maha
Mengetahui". (QS. Saba‟ [34]: 25-26)
e. Izin Allah Bagi yang Teraniaya Untuk Melakukan Pembelaan Diri
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi,
karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan Sesungguhnya
Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,(yaitu) orang-
orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan
yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan Kami hanyalah
Allah". dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian
manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-
biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan
masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-
Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha
perkasa”. (QS. Al-Hâjj [22]: 39-40 )
40
f. Bagimu Agamamu dan Bagiku Agamaku
Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku
sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu
sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan
yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.
(Al-Kâfirun [109]: 1-6)
3. Ayat-ayat Toleransi dalam Buku “Ayat-ayat Toleransi” Karya Zuhairi
Misrawi
a. Tuhan Sebagai Sumber Kasih Sayang
“Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan Sesungguhnya (isi)nya:
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang”. (QS. An-Naml [27]: 30)
b. Nabi Muhammad Teladan Praktis Kasih Sayang
“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam”. (Al-Anbiya` [21]: 107)
c. Tidak Ada Paksaan dalam Agama
41
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu
Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat
kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui”. (Al-Baqarah [2]/256)
d. Prinsip Toleransi dalam Dakwah
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. An-Nahl [16]: 125)
e. Iman dan amal Shaleh Sebagai Basis Toleransi
42
“Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan saleh, kelak
akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di
dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah
membuat suatu janji yang benar. dan siapakah yang lebih benar
perkataannya dari pada Allah ? (Pahala dari Allah) itu bukanlah
menurut angan-anganmu yang kosong[353] dan tidak (pula) menurut
angan-angan ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan,
niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak
mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari
Allah”. (QS. An-Nisa`[3]: 122-123)
f. Satu Umat, Beragam Nabi
“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan),
Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan
Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi
keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang
yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang
kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki
antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang
yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka
perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi
43
petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”. (QS.
Al-Baqarah[2]: 213)
g. Kitab Taurat Sebagai Petunjuk dab Cahaya
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya
(ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu
diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang
menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan
pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan
memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi
terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia,
(tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-
Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan
menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-
orang yang kafir”. (QS. Al-Mâidah [5]: 44)
h. Kitab Injil Sebagai Petunjuk dan Cahaya
“Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi Nabi Bani Israil) dengan Isa
putera Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, Yaitu: Taurat.
dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil sedang didalamnya
(ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan
kitab yang sebelumnya, Yaitu kitab Taurat. dan menjadi petunjuk
44
serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-
Mâidah [5]: 46)
i. Ahli Kitab Sebagai Orang-orang Shaleh
“Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang
Berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa
waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).
Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang Munkar dan
bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu
Termasuk orang-orang yang saleh”.(QS. Ali-„Imrân [3]: 113-114)
j. Toleransi di Tengah Keragaman Makhluk Tuhan
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurât[49]: 13 )
45
k. Kesetaraan Umat Agama
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-
orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka
yang benar-benar beriman kepada Allah[57], hari kemudian dan
beramal saleh[58], mereka akan menerima pahala dari Tuhan
mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula)
mereka bersedih hati”.( (QS. Al-Baqarah[2]: 62)
l. Kebebasan Beragama
“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka
Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan
Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami
telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya
mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka
akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang
menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat
istirahat yang paling jelek”. (QS. Al-Kahfi [18]: 29)
m. Larangan Menebar Kebencian
46
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-
laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan
itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu
lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1409] dan
jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.
seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah
iman[1410] dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka
Itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Hujurât [49]: 11)
n. Larangan Menebarkan Kekerasan
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS.
Al-Qashas [28]: 77 )
47
o. Penghargaan Islam atas Pemuka Agama Keristen
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras
permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-
orang Yahudi dan orang-orang musyrik. dan Sesungguhnya kamu
dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang
beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Kami ini
orang Nasrani". yang demikian itu disebabkan karena di antara
mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan
rahib-rahib, (juga) karena Sesungguhnya mereka tidak
menymbongkan diri. Dan apabila mereka mendengarkan apa yang
diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu Lihat mata mereka
mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah
mereka ketahui (dari Kitab-Kitab mereka sendiri); seraya berkata:
"Ya Tuhan Kami, Kami telah beriman, Maka catatlah Kami bersama
orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan
kenabian Muhammad s.a.w.). “. (QS. Al-Mâidah [5]: 82-83)
p. Tuhan Sebagai Hakim atas Perbedaan
48
“Allah akan mengadili di antara kamu pada hari kiamat tentang apa
yang kamu dahulu selalu berselisih padanya. Apakah kamu tidak
mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang
ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat
dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian
itu Amat mudah bagi Allah”. (QS Al-Hajj [22]: 69-70).
q. Mengutamakan Jalan Damai
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah
kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah
yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS. Al-Anfâl [8]:
61)
Berdasarkan uraian ayat-ayat toleransi yang disepakati oleh
Departemen Agama (Depag), M. Quraish Shihab, dan Zuhairi Misrawi
diatas, ada beberapa ayat yang sama di antara ketiganya, antara lain:
1. QS. Al-Baqarah [2]: 256
2. QS. Al-Kahfi [18]: 29
3. QS. Hûd [11]: 18
4. QS. Al-Hujurât [49]: 13
5. QS. An-Nahl [16]: 125
49
BAB III
BIOGRAFI MUFASSIR DAN PROFIL KITAB TAFSIR AHKAM
A. Biografi Penulis dan Profil Kitab Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-
Quran al-Qurthubî
1. Profil Penulis dan Karya-karyanya
a. Lahir dan Pendidikan al-Qurthubî
Nama lengkapnya adalah Imam abu Abdillah bin Ahmad bin Abî
Bakar bin Farh al-Anshâri al-Khazrâji al-Andalûsi al-Qurthubî. Beliau
merupakan seorang mufassir, dilahirkan di Cordova, Andalusia (sekarang
Spanyol). Disanalah beliau memepelajari bahasa Arab dan syair, di
samping itu juga mempelajari Al-Qur`an. Di sana pula ia memperoleh
pengetahuan yang luas dalam bidang fikih, nahwu, dan qira`at.
Sebagaimana beliau juga mempelajari ilmu balaghah, `ulum Al-Qur`an,
dan juga ilmu-ilmu lainnya. Setelah itu ia datang ke Mesir dan menetap
di sana. Beliau meninggal di Mesir pada malam Senin, tepatnya pada
tanggal 9 Syawal tahun 671 H. makamnya berada di Elmeniya, di timur
sungai Nil, dan sering di ziarahi banyak orang.1
Imam al-Qurthubî merupakan seorang fakih besar dan mufasir (ahli
tafsir Al-Qur‟an) dari abad ke-7 H. Informasi tentang kehidupannya
sedikit sekali diketahui. Tentang kelahirannya, hanya diketahui bahwa ia
terlahir di Spanyol. Al-Qurthubî adalah seorang ulama besar yang
terkenal sebagai hamba Allah SWT. yang saleh dan wara‟. Ia termasuk
1 Muhammad Ibrahim Al-Hinafwi, Tafsîr al-Qurthubiî, (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007), h. xv
50
ulama fikih besar yang memiliki kearifan dan wawasan luas. Ia berprilaku
zahid (tidak menjadikan kesenangan dan kemewahan dalam kehidupan
keduniaan sebagai cita-cita, harapan, dan dambaan). Untuk
menggambarkan kezuhudannya, para penulis biografinya menuliskan
bahwa imam al-Qurthubî senantiasa meninggalkan atau menghindari
kesenangan duniawi. Ketika berjalan ia merasa cukup dengan hanya
menggunakan sehelai kain dan memakai kopiah.2
Dia merupakan salah seorang hamba Allah yang shalih dan ulama
yang sudah mencapai tingkatan ma‟rifatullah. Dia sangat zuhud terhadap
kehidupan dunia (tidak menyenanginya), bahkan dirinya selalu di sibukan
oleh urusan-urusan akhirat. Usianya dihabiskan dengan beribadah kepada
Allah dan menyusun kitab. Mengenai sosok Imam al-Qurthubi ini, syaikh
adz-Dzahabi menjelaskan:
“Dia adalah seorang Imam ynag memiliki ilmu yang luas dan
mendalam. Dia memiliki sejumlah karya yang sangat bermanfaat dan
menunjukan betapa luas pengetahuannya dan sempurna
kepadaiannya,”3
Selain sebagai fakih, Imam al-Qurthubî juga di kenal sebagai mufasir
yang andal. Bahkan tafsir merupakan karyanya yang terbesar. Dari buku
tafsirnya banyak diketahui pemikirannya tentang hukum. Sebagai seorang
ulama, al-Qurthubi termasuk fakih dari kalangan mazhab Maliki. Ia
meninggalkan sikap fanatisme jauh-jauh serta menghargai setinggi-
tingginya perbedaan pendapat. Imam al-Qurthubî tidak senantiasa
sependapat dengan imam mazhabnya dengan ulama lain, baik di dalam
maupun di luar mazhabnya.4
2 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve,
1997 ) h. 1462 3 Muhammad Ibrahim Al-Hinafwi, Tafsîr al-Qurthubî, h. xvi 4 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopi Hukum Islam, h. 1462
51
b. Karir Intelektual al-Qurthubî
Kehidupan ilmiah di Maghrib (Maroko) dan Andalusia (Spanyol) pada
masa al-Muwahhidin (514-668 H) berkembang sangat cepat. Masa
tersebut merupakan masa yang di dalamnya al-Qurhubî menjalani
beberapa fase dari kehidupannya, tepatnya ketika ia masih tinggal di
Andalusia dan sebelum pindah ke Mesir. Di antara fakstor yang
menambah cepat laju gerakan ilmiah pada masa ini adalah:
1) Muhammad bin Tumar, pendiri daulah al-Muwahhidin (United
State), merupakan salah seorang ulama terkemuka pada masanya. Dia
telah menyebarluaskan seruan untuk mencari ilmu pengetahuan dan
telah memberikan dorongan kepada rakyatnya untuk memperoleh
ilmu pengetahuan.
2) Banyaknya buku-buku dan karya tulis yang ada di Andalusia.
Cordova merupakan sebuah negeri di Andalusia yang memiliki buku
paling banyak serta memiliki penduduk yang paling
besarperhatiannya terhadap perbendaharaan buku. Suasana ilmiah
yang telah menjadi ciri khas pemerintahan khalifah-khalifah dari
dinasti al-Muwahhidin ini, serta banyaknya buku-buku dan karya-
karya yang telah memenuhi negeri Andalusia pada saat itu, telah
memberikan dorongan kepada para ulama untuk terus berkarya dan
telah meramaikan bursa ilmu pengetahuan.5
Dari sini, maka jumlah lembaga-lembaga keilmuan yang muncul di
Andalusia, baik di pusat kota maupun di daerah-daerah sekitarnya pun
semakin banyak. Sementara ilmu-ilmu agama seperti fikih, hadits, tafsir,
dan ilmu qira‟at pun berkembang pesat, sebagaimana ilmu bahasa Arab,
nahwu, sejarah, sastra dan syair juga berkembang pesat. Sungguh semua
5 Muhammad Ibrahim Al-Hinafwi, Tafsîr al-Qurthubiî, h. xvi
52
itu memiliki pengaruh yang besar terhadap proses pembentukan jiwa
keilmuan dalam diri Imam al-Qurthubî.6
Kehidupan ilmiah di Mesir pada saat itu, tepatnya setelah Imam al-
Qurthubî berpindah ke sana pada masa pemerintahan dinasti al-
Ayyubiyyin, juga tidak kalah majunya dengan kehiduan ilmiah di
Andalusia pada masa pemerintahan al-Muwahhidin. Barangkali faktor-
faktor yang menyebabkan semakin majunya gerakan ilmiah di Mesir
hampir sama, atau bahkan sama, dengan faktor-faktor yang menyebabkan
semakin majunya gerakan ilmiah di Andalusia.7
c. Karya-Karya al-Qurthubî
Para ahli sejarah menyebutkan sejumlah hasil karya al-Qurthubi selain
kitabnya yang berjudulr al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî,
diantarany adalah:
1) At-Tadzkirah fî Ahwâl al-Mautâ wa Umûr al-Âkhirah, merupakan
sebuah kitab yang masih di cetak hingga sekarang.
2) At-Tidzkâr fî Afdhal Al-Adzkâr, merupakan sebuah kitab yang masih
terus di cetak hingga sekarang.
3) Al-Asna fî Syarh Asmâ‟illâh Al-Husnâ.
4) Syarh At-Taqashshî.
5) Al-I‟lâm bi Mâ fî ad-Dîn an-Nashârâ min al-Mafashid wa al-Auhâm
wa Idzhâr Mahâsin ad-Din al-Islâm.
6) Qam‟u Al-Harsh bi Az-Zuhd wa Al-Qanâ‟ah.
7) Risâlah fî Al-Qam Al-Hadîts.
8) Kitab Al-Aqdhiyyah.
6 Muhammad Ibrahim Al-Hinafwi, Tafsîr al-Qurthubiî, h. xvii 7 Muhammad Ibrahim Al-Hinafwi, Tafsîr al-Qurthubiî, h. xvii
53
9) Al-Misbâh fî Al-Jam‟I baina Al-Af‟âl wa Ash-Shahhah. Sebuah kitab
tentang bahasa Arab yang merupakan hasil ringkasan al-Qurthubi
terhadap kitab Al-Af‟âl karya Abu al-Qasim Ali bin Ja‟far al-Qaththa‟
dan kitab Ash-Shahhah karya al-Jauhari. Dalam kitab tafsirnya, al-
Qurthubi juga telah menyebutkan beberapa hasil karyanya,
diantranya:
10) Al-Muqtasab fî Syarh Muwaththa‟ Malik bin Anas.
11) Al-Lumâ‟ fî Syarh al-„Isyrinat an-Nabawiyyah.8
d. Guru-Guru al-Qurthubî
Di antara guru-guru al-qurthubi adalah:
1) Ibnu Rawwaj, yaitu al-Imam al-Muhaddits (ahli hadits) Abu
Muhammad Abdul Wahhab bin Rawwaj. Nama asliny adalah Zhafir
bin ali bin Futuh al-Azdi al-Iskandarani al-Maliki. Dia wafat pada
tahun 648 H.
2) Ibnu Al-Jumaizi, yaitu al-Allamah Baha`uddin Abu al-Hasan Ali bin
Hibatullah bin Salamah al-Mashri asy-Syafi‟i. dia wafat pada tahun
649 H. dia merupakan salah seorang ahli dalam bidang hadits, fikih
dan ilmu qira‟at.
3) Abu Al-Abbas Ahmad bin Umar bin Ibrahim al-Maliki al-Qurthubi,
wafat pada tahun 656 H. dia adalah penulis kitab Al-Mufhim fî Syarh
Shahîh Muslim.
4) Al-Hasan Al-Bakari, yaitu al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad
bin Amaruk at-Taimi an-naisaburi ad-Dimasyqi, atau biasa di panggil
dengan Abu Ali Shadruddin al-Bakari. Dia wafat pada tahun 656 H.9
8 Muhammad Ibrahim Al-Hinafwi, Tafsîr al-Qurthubiî, h. xviii 9 Muhammad Ibrahim Al-Hinafwi, Tafsîr al-Qurthubiî, h. xvii-xviii
54
2. Profil Kitab Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî
a. Aliran Pemikiran dan Mazhab Fiqh al-Qurthubî dalam Tafsir al-
Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân
Al-Qurthubî dalam perjalanan intelektualnya tentunya di barengi
dengan pemahaman teologi dan madzhab sebagai bagian cara berpikirnya
dalam menuangkan kitab tafsirnya. Dalam beberapa literature disebutkan
bahwa al-Qurthubî merupakan seorang penganut sunni asy‟ari dan beliau
membela dan mempertahankan ahlu sunnah. Dan beliau tidak
membiarkan terhadap serangan-serangan mu‟tazilah terhadap pemikiran
sunni apakah dalam persoalan hokum maupun akidah.10
Dalam persoalan madzhab beliau adalah seorang Malikiyyah. Dan
hal ini dapat di lihat dalam penafsirannya mengenai persoalan
hukum/fikih, sebagaimana yang terlihat dalam surat al-Mâidah ayat 6:
“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”
Imam al-Qurthubî dalam memahami kata (maka
basuhlah mukamu) Allah menyebutkan empat anggota tubuh:
1) Wajah; yang di wajibkan untuknya membasuh (nya)
10 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah) h. 20
55
2) Kedua tangan, yang diwajibkan untuk keduanya adalah membasuh
keduanya.
3) Kepala; yang di wajibkan untuknya adalah menyapu (nya). Hal ini
sesuai dengan kesepakantan (ijtima‟)
4) Kedua kaki; terjadi silang pendapat tentang apa yang di wajibkan
untuk keduanya. Lebih lanjut beliau memaparkan bahwa saat
membasuh wajah, air harus di pindahkan ke wajah, dan tangan pun
harus diusapkan kepadanya. Inilah hakikat membasuh menurut
mazhab kami (Maliki).11
b. Sumber (mashdir) Tafsir al-Qurthubî
Kitab tafsir al-Qurthubî yang di kenal sebagai kitab tafsir yang
banyak mengurai isi ayat-ayat kandungan Al-Qur`an yang objek
kajiannya lebih prioritas terhadap persoalan hukum, sehingga dengan
objek kajiannya ini beliau menamai tafsirnya dengan “al-Jâmi‟ li Ahkâm
al-Qur`an wa al-Mubayyin lima Tadhammanah min al-Sunnah wa Ayi al-
Furqân” yang berarti (Penghimpunan hukum-hukum Al-Qur`an dan
penjelas bagi sunnah dan ayat-ayat pembeda antara yang haq dan yang
bathil). Dalam buku “Membahas Kitab Tafsir-tafsir Klasik-Modern”
karya Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, disebutkan bahwa
bebrapa literature dan penjelasan beberapa kitab, maka Imam al-Qurthubî
dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an yaitu dengan bil ma‟tsur
(periwayatan). Dan ini dapat di buktikan bahwa al-Qurthubî setiap
11 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 21
56
menafsirkan Al-Qur`an beliau lebih banyak memunculkan hadis-hadis
Nabi maupun pendapat para sahabat.12
c. Metode (manhaj) Penulisan Tafsir al-Qurthubî
Metode tafsir adalah cara-cara yang di tempuh oleh seorang mufassir
untuk sampai kepada makna-makna Al-Qur`an. Nasrudi Baidan
mendefinisikan metode sebagai seperangkat pedoman dan aturan yang di
pilih oleh seorang mufassir untuk melakukan pendekatan terhadap ayat-
ayat Al-Qur`an demi tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapainya.13
Sebagaiman ayang telah di singgung oleh al-Farmawi, metode yang
di gunakan dalam penafsiran Al-Qur`an, dapat di kategorikan menjadi
empat. Pertama, tafsir tahlili yaitu dengan upaya seorang mufassir untuk
menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur`an dari berbagai seginya
dengan memperhatikan runtututan ayat-ayat Al-Qur`an sebagaimna yang
telah tercantum dalam mushaf. Kedua, tafsir ijmali, yaitu menafsirkan
ayat-ayat Al-Qur`an secara global. Dalam metode ini mufassir hanya
berupaya menjelaskan makna-makna Al-Qur`an dengan uraian singkat,
menggunakan bahasa yang komukatif sehingga mudah dicerna oleh
pembaca maupun pendengar. Ketiga, tafsir muqarran, yaitu menassirkan
Al-Qur`an dengan cara melakukan perbandingan. Perbandingan itu dapat
berbentuk 1). Menafsirkann ayat-ayat yang memiliki persamaan atau
kemiripan redaksi dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang
berbeda dalam kasus yang sama; 2). Membandingkan ayat-ayat Al-Qur`an
dengan hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan; 3).
Membandingkan dengan berbagai pendapat ulama tafsir dalam
12
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 22 13 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 25
57
menafsirkan ayat Al-Qur`an dengan cara menghimpun seluruh ayat Al-
Qur`an yang memiliki tema dan subtansial yang sama. Setelah itu jika
mungkin di susun berdasarkan kronologi turunnya dengan memperhatikan
sebab nuzulnya.14
d. Corak (Laun) Tafsir al-Qurthubî
Dalam kajian kitab-kitab tafsir klasik atau modern itu semuanya
mempunyai karakter atau corak tertentu yang menjadi khas sebagai kajian
yang mendominasi dalam kitab tafsir tersebut. Salah satunya daalah kitab
tafsir karya monumental imam al-Qurthubî. Sebagaimana yang dibahas
oleh Husain al-Dzahabi dalam kitabnya yang sangat terkenal dikalangan
pengkaji tafsir “al-Tafsîr wa al-Mufassirûn” beliau menjelaskan bahwa
tafsir al-Qurthubi yang judul aslinya “al-Jâmi‟ li Ahk âm al-Qur`an”
adalah kitab tafsir yang di golongkan tafsir yang bercorak fiqih.15
Al-Qashâbi Mahmud Zalath juga menyimpulkan bahwa tafsir al-
Qurthubî memiliki kecenderungan fikih yang sangat kental. Hal ini dapat
di buktikan dengan uraian-uraian al-Qurthubî yang secara panjang dan
detail tentang hukum ketika memahami sebuah yata-ayat yang
menyangkut tentang hokum. Oleh karena dominasi kajian tafsir al-
Qurthubî adalah tentang hokum-hukum, maka beliau menamai kitab
tafsirnya al-Jâmi‟ li Ahk âm al-Qur`an yang berarti penghimpun hukum-
hukum Al-Qur`an.16
14
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 26 15
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 28 16 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 28
58
e. Sistematika Penulisan Tafsir al-Qurthubî
Sistematika penulisan kitab tafsir al-Jâmi‟ li Ahk âm al-Qur`an karya
al-Qurthubî termasuk dalam kategori sistematika mushafi. Beliau
memulai tafsirnya dari QS. Al-Fâtihah sampai dengan QS. Al-Nâs sesuai
dengan urutan surat dan ayat yang ada dalam mushaf Al-Qur`an. Dalam
kitab tafsirnya, mula-mula menyebutkan nama surat disertai dengan
argument tentang makiyyah dan madaniyyah nya. Jika terdapat perbedaan
pendapat tentang makiyyah dan madaniyyah –nya ia menegaskan ba hwa
hal itu sebagai ijma‟ karena dalam Al-Qur`an banyak surat yang termasuk
dalam kelompok madaniyyah justru dalam beberapa isi ayatnya termasuk
dalam kelompok makiyyah dan justru sebaliknya.17
Sebelum melangkah pada penafsiran ayat, al-Qurthubî juga terkadang
menguraikan riwayat tentang keutamaan dan faedah membaca surat
tertentu.18
B. Biografi Penulis dan Profil Kitab Tafsir Al-Munîr fi Al-`Aqidah wa
Al-Syari`ah wa Al-Manhaj
1. Profil Penulis dan Karya-karyanya
a. Lahir dan Pendidikan Wahbah az-Zuhaili
Wahbah az-Zuhaili dilahirkan di Dir Athiyah, tepatnya didaerah
Qalmun, Damascus, Syiria pada tanggal 6 Maret 1932 M/ 1351 H.
Berasal dari kalangan keluarga yang religius. Ayahnya bernama Musthafa
az-Zuhaili terkenal dengan keshalihan dan ketakwaannya selain hafal Al-
Qur'an, beliau juga bekerja sebagai petani dan senantiasa mendorong
putra-putranya untuk menuntut ilmu.
17 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 34 18 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 34
59
Wahbah az-Zuhaili mendapat pendidikan dasar di desanya. Pada
tahun 1946, beliau melanjutkan pendidikannya ke tingkat menengah di
Damascus. Setamatnya dari sekolah menengah ini, beliau melanjutkan
pendidikannya di Universitas al-Azhar Kairo, pada jurusan Syariah
hingga mendapat ijazah strata satu (LC). Disaat yang bersamaan Wahbah
juga mengikuti kuliah di Universitas Ain Syams Kairo, jurusan bahasa
Arab, ilmu yang kelak sangat membantunya sebagai pakar tafsir dan
fikih.19
Tidak berhenti di jenjang ini, Wahbah kemudian melanjutkan
pendidikannya ketingkat pascasarjana di Universitas Kairo yang ditempuh
selama dua tahun dan memperoleh gelar MA dengan tesis berjudul ”al-
Zira‟i as-Syasiyasah asy-Syar‟iyyah wa al-Fiqh al-Islami. Merasa belum
puas dengan pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral yang
diselesaikannya pada tahun 1963 M dengan judul disertasi “Atsar al-Harb
fî al-Fiqh al-Islami” di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.
b. Karir Intelektual Wahbah az-Zuhaili
Karir akademisnya dimulai ketika ia diangkat sebagai tenaga
pengajar pada tahun 1963 M, di Fakultas Syari'ah Universitas Damaskus
dan secara berturut-turut ia menjabat sebagai ketua Jurusan Fiqh al-Islami
wa Madzhabihi, wakil Dekan, kemudian Dekan di Fakultas yang sama.
Setelah mengabdi selama lebih dari dua belas tahun dan dikenal sebagai
pakar dalam bidang Fikih, Tafsir dan Dirâsah Islamiyyah, Wahbah
memperoleh gelar Profesornya pada tahun 1975.
19 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah) h. 163
60
Aktivitas ilmiahnya tidak hanya di isi dengan kegiatan mengajar, tapi
juga dengan menulis puluhan karya ilmiah, menghadiri berbagai
pertemuan ilmiah di dalam dan diluar negri, disamping mengajar di
beberapa Negara, seperti di fakultas Hukum Universitas Ben Ghazi Libia
(1972-1974), di Fakultas Syari'ah wa al-Qonun Universitas Uni Emirat
Arab (1974-1979) dan Universitas Khurtum di sudan.20
c. Karya-Karya Wahbah az-Zuhaili
Wahbah az-Zuhaili menulis buku, kertas kerja dan artikel dalam
berbagai ilmu Islam. Buku-bukunya melebihi 133 buah buku dan jika
dicampur dengan risalah-risalah kecil melebihi lebih 500 makalah. Satu
usaha yang jarang dapat dilakukan oleh ulama pada zaman ini. Diantara
buku-buku hasil karyanya diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Atsâr al-Harb fî al-Fiqh al-Islami - Dirasat Muqaranah, Dâr al-Fikr,
Damsyiq, 1963.
2) Al-Wasîth fî Ushûl al-Fiqh, Universiti Damsyiq, 1966.
3) Al-Fiqh al-Islami fî Ushûl al-Jadîd, Maktabah al-Hadithah, Damsyiq,
1967.
4) Al-Ushûl al-Ammah li Wahdah al-Dîn al-Haq, Maktabah al-Abassiyah,
Damsyiq, 1972.
5) Al-Alaqât al-Dawliah fî al-Islam, Muassasah al-Riisalah, Beirut, 1981.
6) Al-Fiqh al-Islami wa „Adilatuh, (8 jilid), Dâr al Fikr, Damsyiq, 1984.
7) Ushûl al-Fiqh al-Islami (dua jilid), Dâr al-Fikr, Damsyiq, I986.
8) Fiqh al-Mawaris fî al-Syari‟at al-Islamiyah, Dâr al-Fikr, Damsyiq,
1987.
20 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 165
61
9) Al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (16
jilid), Dâr al-Fikr, Damsyiq, 1991.
10) Al-Qur'an al-Karim al-Bunyatuh al-Tasyri‟iyyah wa Khasâ‟isuh al-
Hadariah, Dâr al-Fikr, Damsyiq, 1993.
11) Al-Rukhsah al-Syarî‟at – Ahkamuha wa Dawabituha, Dâr al-Khair,
Damsyiq, 1994.
12) Khasâ‟is al-Kubrâ li Huqûq al-Insân fî al-Islam, Dâr al-Maktabi,
Damsyiq, 1995.
13) Al-„Ulûm al-Syarî‟at Bayn al-Wahdah wa al-Istiqlâl, Dâr al-Maktab,
Damsyiq, 1996.
14) Al-Asâs wa al-Masâdir al-Ijtihâd al-Musytarikat bayn al-Sunnah wa
al-Syiah, Dâr al-Maktabi, Damsyiq, 1996.21
d. Guru-Guru Wahbah Az-Zuhaili
Adapun guru-gurunya adalah;
1) Muhammad Hashim al-Khâtib al-Syafie, (w. 1958M) seorang khatib
di Masjid Umawi.
2) Mempelajari ilmu fiqh dari Abdul Razak al-Hamasi (w. 1969 M)
3) Ilmu Hadis dari Mahmud Yasin (w. 1948 M)
4) Ilmu Faraidl dan wakaf dari Judat al-Mardini (w. 1957 M), Hassan
al-Shati) w. 1962 M)
5) Ilmu Tafsir dari Hassab Habnakah al-Midani (w. 1978 M)
6) Ilmu Bahasa Arab dari Muhammad Shaleh Farfur (w. 1986 M)
7) Ilmu Ushul Fiqh dan Musthalah Hadis dari Muhammad Lutfi al-
Fayumi (w. 1990 M)
8) Ilmu Akidah dan Kalam dari Mahmud al-Rankusi.22
21 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 165-166
62
Sementara selama di Mesir, beliau berguru pada;
1) Muhammad Abu Zuhrah (w. 1395 H)
2) Mahmud Shaltut (w. 1963 M)
3) Abdul Rahman Taj
4) Isa Manun (1376 H)
5) Ali Muhammad Khafîf (w. 1978 M)
6) Jad al-Rabb Ramadhan (w. 1994 M)
7) Abdul Ghâni Abdul Khâliq (W. 1983 M)
8) Muhammad Hafiz Ghanim.
Di samping itu beliau amat terkesan dengan buku-buku tulisan Abdul
Rahman Azam seperti al-Risâlah al-Khalîdah dan buku karangan Abu
Hassan al-Nadwi berjudul Ma dza Khasira al„alam bi inkhitât al-
Muslimin.
2. Profil Kitab Tafsir Al-Munîr fî Al-`Aqîdah wa Al-Syarî`ah wa Al-
Manhaj
a. Motivasi dam Tujuan Menafsirkan Tafsir Al-Munîr
Dalam kata pengantar karya tafsirnya Wahbah az-Zuhaili
mengatakan bahwa tujuan dari penulisan tafsirnya adalah
menghubungkan umat Islam dengan kitab sucinya Al-Qur'an dengan
ikatan yang bersifat ilmiah, karena Al-Qur'an adalah petunjuk kehidupan
(dustûr a1-hayat) bagi seluruh manusia dan bagi kaum Muslimin
khususnya. Oleh sebab itu dalam membahas hukum-hukumnya ia tidak
terpaku hanya pada masalah-masalah hukum yang biasa dibahas para
pakar Fikih saja, tetapi ia membahasnya secara umum dan mengupasnya
22 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 163
63
secara meluas, sehingga pembacanya betul-betul memahami
kandungannya seperti “Aqidah, akhlak, metode dan cara bertingkah laku
dan faedah yang bisa dipetik dari ayat-ayat Al-Qur'an, baik dalam bentuk
indikasi atau isyarat, baik itu menyangkut bangunan sosial setiap
masyarakat yang maju atau menyangkut kehidupan pribadi setiap muslim.
Yang penting tafsir ini bisa membantu setiap muslim yang ingin menelaah
Al-Qur'an dan mentadabburinya.23
Sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur'an Surah Shâd
38/29:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh
dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan
supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.”
Dalam hal ini, Ali Ayazi berdasarkan penelitiannya menambahkan
bahwa tujuan penulisan tafsir al-Munîr ini adalah memadukan
keorisinilan tafsir klasik dan keindahan tafsir kontemporer, karena
menurut Wahbah az-Zuhaili banyak orang yang menyudutkan tafsir
klasik yang dianggap tidak mampu memberikan solusi terhadap
problematika masyarakat di era kontemporer, sedangkan para mufassir
kontemporer banyak melakukan penyimpangan interpretasi terhadap ayat
Al-Qur‟an dengan dalih pembaharuan. Seperti penafsiran Al-Qur‟an
yang dilakukan oleh beberapa mufassir yang basic keilmuannya sains,
oleh karena itu, menurutnya tafsir klasik harus dikemas dengan gaya
23Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 166
64
bahasa kontemporer dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu
pengetahuan modern tanpa ada penyimpangan interpretasi.24
b. Aliran Pemikiran dan Madzhab Fiqh Wahbah az-Zuhaili dalam
Tafsir Al-Munîr
Dalam masalah teologis, Wahbah cenderung mengikuti faham ahlu
al-sunnah dan mazhab Salafi, tetapi tidak terjebak dalam fanatisme
mazhab yang menuntunnya untuk menghujat mazhab lain. Ini terlihat
dalam pembahasannya tentang masalah yang diperdebatkan seputar
kemungkinan “Melihat Tuhan” di dunia dan di akhirat yang terdapat pada
QS al-An'âm 6/103:
“Dia tidak bisa dijangkau dengan penglihatan mata, sedang Dia
dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah yang Maha halus
dan Maha teliti.”
Ketika menafsirkan ayat ini Wahbah menukil hadist yang
diriwayatkan oleh Ibn Abbas bahwa Allah memang tidak bisa dilihat di
dunia tapi bisa dilihat di akhirat. Hal ini dilandasi oleh QS Al-Qiyamah
75/22-23:
“Wajah-wajah (orang-orang yang beriman) pada hari itu berseri-seri
memandang Tuhannya.”
Wahbah juga menukil hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan
Muslim bahwa Rasulullah telah bersabda:
24 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 166
65
“Kelak kamu akan melihat Tuhan mu seperti kamu melihat bulan
pada malam purnama, sebagaimana engkau melihat matahari ketika
(langit) tidak berawan.”
Berdasarkan hadits-hadits ini Wahbah meyakini bahwa orang
mukmin akan melihat Allah SWT. di surga dengan matanya.
Mengenai mazhab fiqhnya, Wahbah menganut mazhab fiqh Imam
Hanafi, karena ia dibesarkan di kalangan ulama-ulama mazhab Hanafi,
yang membentuk pemikirannya dalam madzhab fiqh. Walaupun
bermadzhab Hanafi, ia tidak fanatik dan dapat menghargai pendapat-
pendapat mazhab lain, hal ini dapat dilihat pada bentuk penafsirannya
ketika mengupas ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum fikih. Dalam
membangun argumennya selain menggunakan analisis yang lazim dipakai
dalam fikih ia juga juga memberikan informasi yang seimbang dari
masing-masing mazhab, kenetralannya juga terihat dalam penggunaan
beragam referensi, tidak terfokus pada buku-buku fikih ulama Hanafi saja.
Misalnya ia mengutip dari Ahkâm al-Qur'an karya al-Jashash untuk
pendapat madzhab Hanafi, dan Ahkâm al-Qur'an karya al-Qurthubî untuk
pendapat Mazhab Maliki.25
c. Sumber (mashdir) Tafsir Al-Munîr
Muhammad Ali Iyazi dalam bukunya, Al-Mufassirun hayatuhum wa
Manahijuhum, mengatakan bahwa sumber pembahasan kitab tafsir ini
menggunakan gabungan antara tafsir bi al-Ma‟tsûr dengan tafsir bi ar-
ra‟yi. Hal ini juga diakui oleh Wahbah sendiri, bahwa dalam menafsirkan
al-Qur'an ia tidak hanya berpegang pada tafsir bi al-ma‟tsûr saja, akan
tetapi juga tetap berpegang pada tafsir bi al-ra‟yi atau pada riwayat.
25 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 168
66
Landasan menggabungkan dua sumber penafsiran ini adalah QS an-Nahl
16/44:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka [829]
dan supaya mereka memikirkan.”
Berdasarkan ayat ini Wahbah menilai bahwa lafazh ayat “li tubayyina
linnas” (untuk kamu jelaskan kepada manusia), adalah tentang kedudukan
Nabi yang mempunyai otoritas penuh untuk memberikan penjelaan dan
penafsiran makna ayat-ayat Al-Qur'an maupun aplikasinya dalam
kehidupan manusia dan demi kemaslahatan mereka. Sedangkan lafal ayat
“la'allahum yatafakkarun” (agar mereka memikirkannya), adalah perintah
Allah kepada manusia untuk berusaha memahami ayat-ayat Al-Qur'an
dengan pemikiran yang bersumberkan akal yang jernih, melalui tadabbur
dan tela‟ah yang mendalam, dengan segenap kemampuan akal, untuk
menemukan pesan-pesan Al-Qur'an sebagaimana yang dikehendaki
Allah.26
d. Referensi Tafsir Al-Munîr
Sedangkan referensi-referensi yang digunakan Wahbah az-Zuhaili
dalam tafsir al-Munîr diantaranya adalah sebagai berikut27
:
1) Bidang Tafsir
26 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 169-170 27 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 170-172
67
a) Ahkâm al-Qur‟an karya al-Jashshas
b) Al-Kasyâf karya Imam Zamakhsyari
c) Al-Manâr karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho
d) Al-jami' fi Ahkam al-Qur'an karya Al-Qurtubî
e) TafsirAth-Thabary karya Muhammad bin Jarir Abu Ja far ath-
Thabari
f) At-Tafsir al-Kabîr karya Imam Fakhruddin ar-Razi
g) Ta'wil Musykîl al-Qur'an karya Ibn Qutaibah
h) Tafsir al-Alûsi karya Syihab ad-Din Mahmud bin Abdillah
i) Tafsir Al-Bahr al-Muhîth karya Imam Abu Hayyan Muhammad
bin Yusuf
j) Tafsir Ibn Kastîr Ismail bin Umar bin Katsir
2) Bidang Ulum al-Qur'an
a) Al-Itqân karya Imam suyuti
b) Mabâhits fî 'Ulûm Al-Qur'an karya Shubhi Shalih
c) Lubab an-Nuqul fî Asbâb an-Nuzûl karya Imam Suyuthi
d) Asbâb an-Nuzûl karya al-Wahidi
e) I‟jaz Al-Qur'an karya Imam al-Baqilani
f) Al-Burhân fî 'Ulûm Al-Qur‟an karya Imam Zarkasyi
3) Bidang Hadist
a) Shahih al-Bukhari karya Muahammad bin Isma'il bin Ibrahim al-
Bukhari
b) Shahih Muslim karya Muslim bin Hajjaj Abu al-Husain
c) Al-Mustadrâk karya Imam Hakim
d) Ad-dalâil an-Nubuwwah karya Imam Baihaqi
e) Sunan Tirmidzi karya Muhammad bin „Isa Abu „Isa at-Tirmidzi
68
f) Musnad Ahmad bin Hanbal
g) Sunan Ibn Majah karya Abu Abdillah bin Muhammad bin Yazid
al-Qazwaini
h) Sunan Abi Dawud karya Sulaiman bin Asy‟ast bin Syadad
i) Sunan an-Nasai karya Ahmad bin Syu'aib Abu Abd arRahman
an-Nasai
4) Bidang Ushul Fiqh dan Fiqh
a) Bidâyat al-Mujtahid karya Ibn Rusyd al-Hâfidz
b) Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh karya Wahbah az-Zuhaili
c) Ushûl al-Fiqh al-Islami karya Wahbah az-Zuhaili
d) Ar-Risâlah karya Imam Syafi'i
e) Al-Mushtafa karya Imam al-Ghazali
5) Bidang Teologi
a) Al-Kafi karya Muhammad bin Ya‟qub
b) Asy-Syafi Syarh Ushûl al-Kafi karya „Abdullah Mudhhaffar
c) Ihya 'Ulûm ad-Dîn karya Imam al-Ghazali
6) Bidang Luhgat
a) Mufradât al-Gharîb karya al-Ashfahani
b) Al-Furûq karya al-Qirafi
c) Lisân al-„Arab karya Ibn al-Mandhur
e. Metode (Manhaj) Penulisan Tafsir Munir
Salah satu ciri dari ciri-ciri metode penulisan tahlili atau analisis
adalah penafsiran yang di mulai dari surah al-Fâtihah dan diakhiri pada
surah an-Nâs. Atau dengan kata lain dengan metode penulisan tahlil
69
adalah penulisan materi tafsir yang mengikuti susunan surah-surah dan
ayat-ayat sebagaimana yang termaktub dalam Mushhaf al-Qur‟an.
Mengamati metode penulisan tafsir al-munir dari sisi runtun
penafsiran, yang dimulai dari surah al-Fâtihah dan diberakhir pada surah
an-Nas, bisa kita katakan metode penulisannya adalah tahlili. Berdasarkan
metode ini Wahbah menuliskan tafsirnya dari berbagai sisi secara rinci,
dimulai dari mebahas keutamaan surah, membahas makna kosa kata,
mengulas kandungan sastranya, menafsirkan kandungan ayatnya
kemudian menyimpulkan kandungan ayat tersebut di bawah tema fiqh al-
hayah, tanpa mengabaikan sisi munasabah antara ayat dan sebab
nuzulnya.
Di sisi lain kita juga melihat pengelompokan ayat, berdasarkan
keterkaitan isi yang dikandung ayat-ayat tersebut, dan pembarian tema
sesuai dengan kandungannya. Dalam penafsiran ayat-ayat dari surah-
surah lain, yang terkait dengan ayat yang sedang di tafsirkannya,
menjelaskan tujuan utama surah dan ayat dan petunjuk-petunjuk yang
dapat dipetik darinya, untuk lebih memperjelas ulsannya, sehingga
penafsiarannya menjadi lebih utuh dan meyeluruh. Metode penulisan
dengan langkah- langkah seperti yang disebutkan diatas menurut para
pakar tafsir bisa di golongkan dalam metode tafsir semi tematik
(maudhu‟i). Yaitu metode yang ditetrapkan pertama kali oleh Syaikh Al-
Azhar Mahmud Syaltut dalam karya tafsirnya “Tafsir Al-Quran Al-
karim”.
Dengan langkah-langkah tersebut diatas, maka bisa disimpulkan
bahwa metode penafsiran yang dipakai Wahbah dalam tafsir Al-Munîr
adalah kolaborasi antar metode tahlili dan semi tematik, karena disamping
beliau menafsirkan Al-Quran susuai dengan urutan surah-surah
sebagaimana termaktub dalam mushaf, ia juga memmberi tema pada
70
setiap kajian ayat yang seusai dengan kandungannya dan mengaitkannya
dengan surah secra keseluruhan. Contoh jelasnya seperti dalam
menafsirkan surah al-Baqaroh ayat 1-5, beliau memberi tema “sifat-sifat
orang mu‟min dan balasan bagi orang-orang yang bertakwa”.28
f. Corak (Laun) Tafsir Al-Munîr
Corak tafsir yang sudah dideteksi oleh pakar-pakar tafsir dari buku-
buku tafsir yang sudah terbit sampai saat ini memang banyak dan
beragam, diantaranya corak tafsir lughawi, corak tafsir as-Sufi, corak
tafsir al-Fiqh, corak tafsir al-Falsafi, corak tafsir al-„Ilmi dan tafsir adabi
ijtima‟i. Namun kalau kita cermati definisi corak atau tafsir, yaitu
kecenderungan mufassir yang dilatar belakangi oleh pendidikannya,
lingkungan hidupnya, baik itu situasi soscial kemasyarakatan, ekonomi
maupun politik, buku-buku yang di bacanya, maka corak tafsir al-Munîr
bisa kita kelompokkan dalam corak tafsir al-Fiqh atau mungkin corak
itulah yang paling dominan dalam tafsirnya.
Kesimpulan ini dilandasi tidak hanya oleh latar belakang pendidikan
Wahbah yang memang seorang pakar dalam disiplin ilmu syariah dan al-
Qonun. Tetapi tafsir al-Munîr ini juga di pengaruhi oleh karya
monumentalnya yang lain, yang ditulis sebelumnya, yaitu kitab “Al-Fiqh
Al-Islami wa Adilatuh”. Karena sebuah kitab bisa saja berafilisasi kepada
corak tafsir, tergantung keilmuan dan kecenderungan mufasirnya. Maka
corak lain yang bisa dideteksi dari tafsir al-Munir selain corak fiqh adalah
corak tafsir adabi ijtima‟i, yaitu disamping mengutamakan fokus
pembahsannya pada persoalan sosial kemasyarakatan, atau dengan kata
lain mengungkap hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan situasi
28 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 172
71
social dan budaya yang berkembang di masyarakat. Hal ini dimungkinkan
karena Wahbah selain memiliki kepakaran dalam bidang ilmu syari‟ah
dan al-Qonun, ia juga memiliki basic kebahasaan yang memadai,
mengingat ia juga lulusan fakultas bahasa dan sastra Arab. Dengan
keilmuan sepeti ini Wahbah mampu mengulas dan menyajikan tafsirnya
dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat lugas, teliti dan mudah di
mengerti.29
g. Karakteristik Tafsir Al-Munîr
Karakteristik tafsir al-Munîr ada beberapa bagian, diantaranya yaitu:
1) Mengikuti pendapat salafi dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyâ
bihât.
Hal ini bisa dilihat dari penafirannya terhadap firman Allah “Ar-
Rahman „ala „arsyistawâ”. Wahbah menjelaskan dalam tafsirnya
bahwa Allah maha tinggi, dan agung, bersemayam di atas „Arsy.
Tidak seorang pun manusia yang mengetahui bagaimana Allah
bersemayam. Oleh sebab itu, Wahbah menyarankan agar umat Islam
beriman sebagaimana yang dipahami oleh ulama salaf yang sholeh,
yang mengimani sifat-sifat Allah dengan ketetapan yang telah
ditetapkan dalam kitab suci dan sunnah rasulnya, tanpa mengubah
atau menyelewengkan maknanya, tanpa memaksakan diri untuk
menakwilkannya. Kita harus mengimani “istiwa‟nya” Allah tanpa
mempertanyakan bagaimana atau seperti apa.
Meskipun Wahbah menunjukkan sikap condong berpihak kepada
pendapat ulama salaf dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat,
29 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 173-174
72
namun beliau terkadang menafsirkan ayat yang menyebutkan „ain´
atau wajah Allah dengan makna metaforis. Misalnya ketika
menafsirkan QS Thâha 20 /39
“dan aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang
dari-Ku dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku,”
Wahbah menafsirkan kata „aini bukan dengan makna mata seperti
yang dimiliki manusia, tapi beliau mengalihkan maknanya secara
metaforis dengan perawatan, pengawasan dan perlindungan Allah
SWT. Begitu juga ketika menafsirkan lafal “bi yaminih” pada QS.
Az-Zumar surat ke 39, Wahbah menafsirkannya dengan makna
metaforis yaitu al-Qudrah dan al-quwwah (kemampuan dan
kekuatan-Nya). begitu juga ketika menafsirkan ayat amru robbika
(perintah tuhanmu) dalam QS. Al-Fajr surat ke 89, Wahbah
menafsirkannya dengan “Allah datang untuk memberikan hukuman
yang adil kepada hambanya.30
2) Mengaitkan hukum fikih ketika menafsirkan ayat-ayat ahkâm tanpa
fanatisme.
Dalam pembahasannya dibawah sub judul “Fiqh al-hayah” dan
setelah menjelaskan kandungan ayat secara umum, Wahbah
menjelaskan kandungan hukum dari ayat yang bernuansa hukum
yang sedang ditafsirkannya secara rinci dan panjang lebar, baik
dengan pendapat sendiri dalam ijtihadnya maupun dengan
mengemukakan opini para pakar fiqh dari berbagai mazhab, selain
30 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 175-176
73
mazhabnya sendiri, terhadap permasalahan yang dibahas. Pemaparan
pendapat para ulama fiqh dari berbagai mazhab selain mazhabnya ini,
jelas menunjukkan sikapnya yang tidak fanatik mazhab.
3) Pengaruh Qira`at terhadap Tafsir al-Mun r sikap Wahbah terhadap
Qira`at
Wahbah az-Zuhaili dalam menafsirkan ayat-ayat hukum tidak
terlepas dari pembahasan qira`ah. Sebab adanya perbedaan istinbath
hukum dipicu oleh perbedaan qira`at al-Qur`an. Dalam muqaddimah
tafsirnya Wahbah menyebutkan bahwa referensi terpenting dari
pembahasan qira`ah dalam tafsirnya bersumber dari buku tafsir
Haqaiq at-Tanzil tafsir karya an-Nasafi, tafsir al-Bahr al-Muhîth
karya Abu Hayyan, dan buku qira`ah an-Nasyr fî al-Qira`ah al-
Asyarah karya Ibn al-Jazariy.31
4) Berusaha menghindari riwayat-riwayat israiliat
Dalam pandangan Wahbah, Fiqh Islam harus bersumber dari dalil-
dalil yang shahih yaitu Al-Qur`an dan hadis-hadis shahih selain
ijtihad penafsirnya. Hal ini dimungkinkan karena fokus penafsirannya
adalah ayat-ayat ahkam, bukan kisah-kisah yang ada dalam Al-
Qur`an, sedangkan israiliat erat kaitannya dengan kisah-kisah
tersebut, bukan dengan ayat-ayat hukum.32
Diantara keunggulan tafsir ini adalah bahwa penulisannya
berpedoman pada kaidah tafsir Al-Qur`an bi Al-Qur`an, hadis shahih,
asbab al-nuzûl, juga melakukan takhrij dan kritik atas beberapa hadis
yang ada. Tafsir ini juga menghindari riwayat yang syadz (jarang),
perbedaan beberapa teori ilmiah, meski tetap berusaha konsisten
31 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 178 32 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 179
74
dalam keilmiahan. az-Zuhaili juga berbiacara masalah ilmu kalam,
namun yang sesuai dengan akidahnya, Ahl as-Sunnah, tanpa
ta‟ashshub yang berlebihan.33
h. Sistematika Penulisan Tafsir Al-Munîr
Berikut beberapa poin dari sistematika penulisan tafsir dalam kitab
tafsir al-Munîr:
1) Di setiap awal surat Wahbah selalu mendahulukan pembahasan
tentang keutamaan dan kandungan surat tersebut secara global.
2) Pengelompokkan ayat-ayat yang memiliki keterkaitan isi dan
kandungannya dibawah tema yang sesuai dengan kandungan ayat-
ayat tersebut.
3) Menyajikan ulasan kebahasaan dan sastra yang terkandung dalam
ayat, seperti pemaknaan kosa kata, menjelaskan posisi kata dalam
kalimat (i‟rab) dan menjelaskan aspek-aspek sastra (balaghah) yang
dikandung ayat.
4) Menjelaskan munasabah dan sebab nuzul.
5) Menjelaskan kandungan ayat secara rinci di bawah tema “tafsir wal
bayân”.
6) Membuat kesimpulan dengan menyebutkan poin-poin penting yang
terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan di bawah tema “fiqh al-
hayât wa al-ahkâm”.
7) Mencantumkan catatan kaki (foot note) dalam pengutipan karya
orang lain.34
Az-Zuhaili memulai tulisannya dengan menyebutkan latar belakang
penulisan dan manhaj yang dipedomaninya. Kemudian menjelaskan ilmu-
33A. Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 231 34 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 179
75
ilmu pendukung yang terkait erat dengan masalah kealqur`anan.
Diantaranya adalah definisi Al-Qur`an, nama-nama lain Al-Qur`an, cara
penurunan Al-Qur`an, makiyyah-madaniyyah, awal dan akhir ayat yang
turun, siapa yang melakukan pengumpulan Al-Qur`an serta kronologisnya
sampai masa kodifikasi , teknik penulisan Al-Qur`an, rasm „utsm n ,
ilmu qira`at, pembuktian kembali tentang Al-Qur`an sebagai kalam Allah
disertai penjelasan kemukjizatannya, alasan penggunaan bahasa Arab
sebagai bahasa Al-Qur`an, hukum menerjkemahkan Al-Qur`an ke dalam
bahasa lain, faw ti al-suwar, dan diakhir dengan penjelasan tentang
ilmu balaghah, seperti tasyb h, isti` rah, maj z, kin yah dan
sebagainya.35
i. Penulisan dan Penerbitan Tafsir al-Munîr
Tafsir ini ditulis selama rentang waktu 16 tahun setelah selesai
menulis dua buku lainnya, yaitu Ushul al-Fiqh al-Islamiy (2 jilid) dan al-
Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu (8 jilid)
Tafsir al-Munir diterbitkan pertama kali oleh Dar al-Fikr, Beirut,
Lebanon, dan Dar al-Fikr Damsyiq, Suria dalam 16 pada tahun 1991
Dengan melihat fakta dan data di atas, maka Wahbah az-Zuhaili
memenuhi sebagian besar kriteria yang diajukan Khalid Abd Rahman
bagi seorang mufassir, diantara kriterianya sebagai berikut36
:
1) Muthâbaqat tafsir dan mufassir; dengan tidak mengurangi penjelasan
makna yang diperlukan, tidak ada tambahan yang tidak sesuai dengan
tujuan dan makna serta menjaga penyimpangan makna yang
dikehendaki oleh Al-Qur`an.
35 A. Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 230 36 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 180
76
2) Menjaga makna hakiki dan makna majazi, yang dimaksud makna
haqiqi tapi dibawa dalam keadaan makna majazi atau sebaliknya.
3) Muraat‟ ta‟lif antara makna dan tujuan yang sesuai deengan
pembicaraan dan kedekatan antar kata.
4) Menjaga tabasubil ayat.
5) Memperhatikan asbabun nuzûl.
6) Memulai dengan bahasa, sharf dan isytiqaq yang berhubungan
dengan lafadz disertai dengan pembahasan dengan tarakib.
7) Menghindari idd‟a pengulangan al-Qur`an.
77
BAB IV
PENAFSIRAN AL-IMAM AL-QURTHUBÎ DAN WAHBAH AZ-
ZUHAILÎ MENGENAI AYAT-AYAT TOLERANSI
Ayat-ayat yang dianalisa tafsirnya terkait toleransi pada bab ini
mengacu pada ayat-ayat toleransi yang merupakan kombinasi menurut
tafsir Kemenang (Kementerian Agama), menurut M. Quraish Shihab dan
menurut Zuhairi Misrawi.
Hubungan antar agama dapat diilakukan hanya sebatas pada persoalan
sosial (mu‟âmalah) semata. Sehingga segala bentuk hubungan atau
komunikasi yang melampaui permasalahan mu‟âmalah adalah dilarang,
terutama dalam persoalan teologi (akidah).1
A. Larangan Memaksa Orang Yang Tidak Beriman Menjadi
Beriman (QS. Yûnus [10]: 99)
1. Penafsiran Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Ansh
âri al-Qurthubî
“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang
yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya ?” (QS. Yûnus [10]: 99)
1 Muhammad Sabir, Wawasan Hadis Tentang Tasamuh (Toleransi), h. 8
78
Imam al-Qurthubî dalam menafsirkan ayat ini tidak dikelompokan
dengan ayat yang lain, tidak menyebutkan munasabah dan juga tidak
menyebutkan asbâb nuzûl, tetapi langsung pada makna ayat.
a. Makna ayat
Dalam penjelasannya Imam al-Qurthubî membagi ayat ini menjadi
dua penggalan ayat. Yakni penggalan ayat yang pertama,
( )
“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua
orang yang di muka bumi seluruhnya.” Maksudnya adalah,
seandainya Allah Swt. berkehendak niscaya semua umat di muka
bumi ini akan dipaksa untuk beriman.
Adapun pembahasan nahwu dalam penggalan ayat ini adalah:
1) Lafazh
Imam al-Qurthubi memaparkan lafadz yang berarti
“Seluruhnya,” dalam penggalan ayat ini adalah penguat untuk
lafadz yang berarti “manusia”.
2) Lafazh
79
Pada lafazh ini Imam al-Qurthubî mengutip pendapat
Imam Sibawaih dan Imam Al-Akhfasy. Menurut Imam Sibawaih
lafazh dibaca nashab karena berfungsi sebagai hâl.2
Adapun menurut Imam Al-Akhfasy lafazh di sebutkan
setelah lafadz karena berfungsi sebagai penguat atau
penegas (ta‟kid atau taukîd)3, seperti firman Allah SWT:
“Allah berfirman: Janganlah kamu menyembah dua Tuhan;
Sesungguhnya Dialah Tuhan yang Maha Esa, Maka hendaklah
kepada-Ku saja kamu takut.” (QS. An-Nahl [16]: 51)
Dengan kata lain, lafazh menurut Imam Sibawaih
mempunyai kedudukan sebagai hâl, sedangkan menurut Imam Al-
Akhfasy lafazh mempunyai kedudukan sebagai ta`kid atau
penguat.
2 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, ter. Tafsir al-Jâmi li al-Ahkâmi Al-Qurân
al-Qurthubî oleh Dudi Rosyadi, Faturrahman, Fachrurazi, jilid 8, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009), cet. Pertama, h. 925
3 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 8, h. 925
80
Penggalan ayat keedua,
( ) “Maka Apakah kamu
(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semuanya ?”
Dalam menafsirkan ayat ini, beliau tidak banyak memberikan
penjelasan tetapi langsung mengutip riwayat Imam Ibnu Abbas yang
mengatakan bahwa Nabi saw. sangat menjaga dan ingin agar semua
manusia beriman, maka Allah memberitahu beliau bahwa sebagian
manusia tidak beriman kecuali yang telah ditentukan, dan tidak juga
disesatkan kecuali yang sudah ditetapkan.4
Kemudian al-Qurthubî menjelaskan penafsiran dari lafazh
yang di kutip dari pendapat Ibnu Abbas, bahwa yang di maksud
dengan lafazh tersebut adalah adalah Abu Thalib.5 Sehingga
ayat tersebut dapat di artikan “Apakah Engkau (Muhammad) Abu
Thalib untuk menjadi orang yang beriman?”
2. Penafsiran Wahabah Az-Zuhaili
4 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 8, h. 926
5 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 8, h. 926
81
“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang
yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya ?” (QS. Yûnus [10]: 99)
Wahbah az-Zuhaili dalam menafsirkan ayat ini menjelaskan
tentang i‟râb, munâsabah, tafsir dan penjelasan. Pada ayat ini Wahbah
az-Zuhaili tidak menjelaskan asbâb nuzûl. Berikut pemaparan dari
poin-poin di atas:
a. i‟râb
1) lafazh . Menurut wahbah az-Zuhaili lafzh pada ayat
ini berfungsi sebagai penguat dara lafazh
2) Lafazh . Wahbah az-Zuhaili mengutip pendapat Imam
Sibawaih dan Imam Al-Akhfasy. Menurut Imam Sibawaih lafazh
dibaca nashab karena berfungsi sebagai hâl.6 Adapun
menurut Imam Al-Akhfasy lafazh terletak setelah lafazh
ل karena berfungsi sebagai penguat seperti firman Allah SWT:
6 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 8, h. 925
82
Janganlah kamu menyembah dua Tuhan; Sesungguhnya Dialah
Dengan kata lain, lafazh menurut Imam Sibawaih
mempunyai kedudukan sebagai hâl, sedangkan menurut Imam Al-
Akhfasy lafazh mempunyai kedudukan sebagai ta`kid atau
penguat.
b. Munâsabah
Ayat ini berhubungan dengan ayat sebelumnya yaitu QS.
Yûnus ayat 97 yang menjelaskan bahwa orang-orang yang telah di
pastikan mendapat ketetapan Tuhannya, tidak akan beriman
meskipun mereka mendaptanda-tanda (kebesan Allah Swt.),
hingga mereka mendapatkan azab yang sangat pedih.
c. Tafsir dan penjelasan
Dalam memjelaskan makna dari ayat ini Wahbah az-
Zuhaili membaginya menjadi dua penggalan ayat. Pertama,
“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua
orang yang di muka bumi seluruhnya”.
Beliau menjelaskan bahwa jika Tuhanmu menghendaki wahai
Muhammad bahwa memberikan izin kepada penghuni bumi
semuanya untuk beriman dengan apa yang kamu bawa kepada
83
mereka, dan menciptakan keimanan dalam diri setiap mereka,
niscaya Dia akan melakukannya dan akan beriman kepada mereka
semuanya. Akan tetapi Allah mempunyai hikmah terhadap apa
yang dilakukan-Nya, sebagaimana firman-Nya,
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia
umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat),
kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah
Allah menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah
tetap, “Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin
dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (QS. Hûd: 118-119)
Maksud dari penjelasan beliau diatas yaitu, tidak ada yang
mustahil bagi Allah Swt. untuk membuat seluruh umat di muka
bumi ini beriman kepada-Nya. Akan tetapi, Allah Swt.
mempunyai hikmah bagi umat manusia terhadap apa yang
dilakukan-Nya, termasuk tidak menyamaratakan seluruh umat
manusia untuk beriman kepada-Nya.
Kata ( ) dalam ayat ini maksudnya adalah meliputi
dan mencakup. Adapun kata () maksudnya adalah semuanya
84
beriman, melaksanakan aturan dan tidak berselisih.7 Yang berarti,
semua umat manusia di muka bumi ini beriman kepada Allah
Swt., melaksanakan aturan-Nya dan tidak berselisih satu sama
lain.
Kedua,
( ) Apakah kamu wahai Muhammad hendak
mengharuskan manusia dan memaksa mereka untuk beriman.
Tidaklah sepatutnya kamu berbuat seperti itu dan tidak pula kamu
dipaksa, tetapi hanya di tangan Allah-lah paksaan itu dan atas
kehendak-Nya, karena iman tidak akan sempurna dengan paksaan
dan tekanan juga kekerasan, tetapi iman akan sempurna dengan
kelembutan dan kebebasan.8
3. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran
Dalam tafsir al-Qurthubî dan tasir al-Munîr sama-sama
menjelaskan bahwa keimanan seseorang tidak bisa dipaksakan hanyak
Allah yang menentukan beriman dan kafirnya seeorang.
Tindakan memaksakan orang agar beriman merupakan tindakan
yang justru bertentangan dengan Al-Qur`an itu sendiri. Karena dala
ayat ini berdasarkan kedua tafsir diatas, berpesan bahwa untuk urusan
keimanan seseorang tidak boleh di paksakan. Jadi memaksakan orang
lain yang belum beriman agar beriman dengan cara paksaan, itu tindak
7 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, terj. Tafsir al-
Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj oleh Abdul Hayyie al-Kattani dkk,
jilid 6, (Jakarta: Gema Insani, 2013), cet. Pertama, h. 260
8 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 6, h. 260
85
intoleran yang justru tidak sejalan dengan Al-Qur`an. Bahwa
berdakwah itu wajib, mengajak orang untuk beriman itu wajib, tetapi
tidak dengan cara paksaan. Ini juga berkorelasi atau bermuansabah
dengann ayat al-Qur‟an yang berbunyi,
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu
Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada
Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang
Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi
Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256
B. Izin dari Allah Kepada Muslim Untuk Bergaul atau
Bersilaturahmi dengan non Muslim (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8)
1. Penafsiran Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Ansh
âri al-Qurthubî
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60]:
8)
86
Imam al-Qurthubî dalam menafsirkan ayat ini tidak
dikelompokan dengan ayat yang lain, tidak menyebutkan munasabah,
tetapi langsung pada makna ayat dan menjelaskan adanya asbâb nuzûl.
a. Penjelasan makna ayat
Imam al-Qurthubî membagi ayat ini menjadi dua
penggalan ayat. Yakni penggalan ayat yang pertama,
( )
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama”
mengenai penggalan ayat ini dibahas tiga masalah:
Dalam penggalan ayat ini Imam al-Qurthubî membahas tiga
masalah, yaitu:
1) ayat ini merupakan bentuk keringanan dari Allah swt. untuk
membina hubungan silaturahim dengan kaum non Muslim selama
mereka tidak memusuhi kaum Muslim. al-Qurthubî mengutip
pendapat Imam Ibnu Zaid bahwa hal ini berlaku pada masa awal-
awal Islam ketika kewajiban perintah perang belum ada.9
Beliau juga mengutip pendapat Qatadah yang meyatakan
bahwa ayat ini telah di nasakh dengan QS. At-Taubah ayat 5,
9 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, ter. Tafsir al-Jâmi li al-Ahkâmi Al-Qurân
al-Qurthubî oleh Dudi Rosyadi, Faturrahman, Fachrurazi, jilid 18, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009), cet. Pertama, h. 360
87
“Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu
jumpai mereka, dan tangkaplah mereka.” (QS. At-Taubah [9]: 5)
Berikut pendapat-pendapat ulama lainnya yang di kutip
oleh Imam al-Qurthubî mengenai ayat di bolehkannya membina
hubungan silaturahim dengan kaum non Muslim yang tidak
memusuhi dan memerangi kaum Muslim:
a) Menurut satu pendapat, adanya hukum ini (boleh membina
hubungan silaturahim dengan orang-orang yang tidak
memusuhi dan mengusir kaum mukminin) merupakan sebuah
alasan supaya terciptanya perdamaian.10
b) Menurut Al-Hasan, ayat ini di khususkan untuk sekutu-sekutu
Nabi dan orang-orang yang terikat perjanjian dengan Nabi
Muhammad saw. serta tidak melanggarnya.
c) Menurut Al-Kalbi dan Abu Shalih, yang di maksud dengan
orang-orang yang tidak memusuhi dan memerangi kaum
Muslim adalah kabilah Khuza‟ah dan Bani Al-Harits bin Abdi
Manaf.11
d) Mujahid berpendapat bahwa ayat ini dikhususkan untuk orang-
orang yang beriman namun tidak melakukan hijrah.
e) Sebagian mufassir berpendapat, yang di maksud dalam ayat ini
adalah kaum perempuan dan anak-anak, yang mana mereka
termasuk kaum yang lemah dan tidak memungkin kan bisa
memerangi kaum Muslim. Dalam hal ini, Allah memberikan
izin untuk berbuat baik kepada mereka.12
10 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 360
11 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 360
12
Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 361
88
f) Mayoritas ahli takwil (ulama yang selalu melakukan
interpetasi atas teks ayat) berpendapat bahwa ayat ini
merupakan ayat muhkamah. Mereka berargumentasi dengan
menyatakan bahwa Asma binti Abi Bakr pernah bertanya
kepada Nabi saw. apakah ia boleh membina hubungan
silaturahim dengan ibunya yang datang kepadanya dalam
keadaan musyrik? Beliau kemudain menjawab, “Ya, (Boleh).
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.13
2) lafazh ( ) “untuk berbuat baik” lafadz . berada pada
posisi jar karena menjadi badal dari lafadz . Maksudnya
Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik kepada orang-
orang yang yang tidak memerangi kalian, yaitu kabilah Khuza‟ah,
dimana mereka telah berdamai dengan Nabi dan tidak akan
memerangi beliau dan tidak pula akan membantu seseorang
menentang beliau. Allah memerintahkan untuk berbuat baik dan
memenuhi janji terhadap merekka sampai batas waktunya.
Demikianlah yang diriwayatkan Al-Farra‟.14
Firman Allah ( ) “Dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu.” Maksudnya dalah memberikan kepada
13 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 361
14
Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 362
89
sebagian dari harta kalian sebagai upaya membina hubungan
silaturahim. Yang dimaksud oleh firman Allah itu bukanlah bersikap
adil. Sebab bersikap adil adalah sebuah keharusan, baik terhadap orang
yang memerangi maupun terhadap orang yang tidak memerangi.
Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu „Arabi.15
3) Al-Qadhi Abu Bakar bin Al-Arabi berkata dalam kitab Ahkâm-nya,
“Ayat itu dijadikan argumentasi oleh sebagian orang yang terlipat
jari kelingkingnya tentang kewajiban seorang anak yang muslim
untuk memberikan nafkah kepada ayahnya yang kafir. Ini
merupakan senuah kekeliruan yang besar. Sebab ada atau tidak
adanya izin terhadap sesuatu tidaklah menunjukan bahwa sesuatu
itu wajib. Akan tetapi, izin itu hanya memberikan hukum boleh
padamu. Kami telah menjelaskan bahwa Isma‟il bin Ishak Al-
Qadhi ditemui oleh seorang kafir dzimmi dan dia memuliakannya.
Orang-orang yang hadir (pada saat itu) kemudian menyampaikan
keberatan kepadanya dalam hal itu. Lalu dia pun membacakan ayat
ini kepada mereka.” 16
b. Asbâb nuzûl
Menurut satu pendapat, sebab di turunkannya ayat yang
berkaitan dengan “membina hubungan silaturahim dengan orang-
orang yang tidak memerangi dan mengusir kaum mukminin” ini
adalah Abu Bakar Ash-Shidiq yang menceraikan istrinya,
Qutailah, pada masa jahiliyah.
Sebagaimana riwayat dari Amir bin Abdullah bin Az-
Zubair, bahwa Abu Bakar Ash-Shidiq menceraikan istrinya,
15 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 362
16 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 363
90
Qutailah, pada masa jahiliyah. Qutailah adalah ibu dari Asma‟
binti Abu Bakar. Pada saat itu Qutailah datang menemui mereka
yang mana sedang berlangsung terjadinya gencatan senjata antara
Rasulullah saw. dan orang-orang yang musyrik. Beliau kemudian
memberikan hadiah berupa anting-anting dan beberapa benda
(lainnya) kepada Asma‟ binti Abu Bakar ash-Shiddiq, namun
Asma‟ tidak mau menerimanya, sebelum beliau menanyakan
perihal tersebut kepada Rasulullah saw. Kemudian dia mendatangi
Rasulullah saw. dan menuturkan hal itu kepada beliau. Allah swt
kemudian menurunkan:
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.”
Dalam riwayat ini diceritakan bahwa Asma‟ binti Abu
Bakar ash-Shiddiq menerima hadiah dari ibunya, Qutailah
meskipun ibunya tersebut bukan orang Muslim. Hadis ini juga di
riwayatkan oleh Al-Mawardi dan Abu Daud Ath-Thayalisi dalam
musnadnya.17
17 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 362
91
2. Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60]:
8)
Wahbah az-Zuhaili dalam menafsirkan ayat ini menjelaskan
tentang i‟râb, asbâb nuzûl, tafsir dan penjelasan. Pada ayat ini Wahbah
az-Zuhaili tidak menjelaskan munâsabah. Berikut pemaparan dari
poin-poin di atas:
a. i‟râb
1) lafazh . Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa lafazh
tersebut berkedudukan sebagai jar yang merupakan badal isytimâl
dari kalimat . Menurut beliau ada juga yang
berpendapat bahwa kalimat ini berkedudukan nashab sebagai maf‟
ûl li ajlih.
2) Lafazh . Merupakan fi‟il muta‟addî dengan huruf jar ilâ
karena dilihat dan dipahami dalam konteks makna fi‟il tuhsinû.
Seakan-akan dikatakan disini tuhsinû ilaihim.
92
b. Asbâb nuzûl
Imam Ahmad, al-Bazzar, Hakim, dan yang lainnya meriwayatkan
dari Abdullah bin zubair r.a., ia berkata,
“Qutailah binti Abdul uzza datang mengunjungi putrinya Asma`
binti Abu Bakar r.a sambil membawa beberapa buah tangan
(hadiah) – yaitu shinaan (makanan yang terbuat dari biji sawi dan
zabib), aqith (keju) dan samn (mentega) – sedang waktu itu ia
adalah perempuan musyrik. Lalu Asma` pun menolak untuk
menerima hadiah itu dan menolak untuk mempersilahkannya
masuk, sehingga ia megutus seseorang untuk menemui aisyah r.a
untuk meminta tolong kepadanya agar menayakannya hal tersebut
kepada rasulullah saw. Lalu Aisyah punmenyampaikan hal itu
kepada beliau, lalu beliau pun menyuruh asma` agar menerima
hadiah dari ibunya itu dan mempersilhakannya masuk. Kemudian
Allah Swt pun menurunkan QS. Al-Mumtahanah ayat 8.”
Dalam riwayat ini diceritakan bahwa Asma‟ binti Abu
Bakar ash-Shiddiq menerima hadiah dan mempersilahkan ibunya,
Qutailah untuk masuk ke dalam rumahnya, meskipun ibunya
tersebut bukan orang Muslim.
c. Tafsir dan penjelasan
Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwasannya Allah Swt.
tidak melarang kaum Muslim untuk bersikap baik kepada orang-
orang kafir yang bersikap damai, tidak memerangi karena agama
dan tidak mengusir kaum Muslim dari kampung halaman dan
rumah-rumah nya. Allah Swt. tidak melarang untuk berbuat baik
kepada orang-orang kafir yang seperti itu, seperti halnya menjalin
93
silaturahim, berbuat baik kepada tetangga, menjamu dan
menyambut kunjungan mereka dengan baik. Allah Swt. juga tidak
melarang untuk berbuat adil satu sama lain dengan mereka, seperti
memenuhi janji kepada mereka, menunaikan amanah, dan
membayar harga barang yang dibeli secara utuh tanpa dikurang-
kurangi. Sesungguhnya Allah swt mencintai orang-orang yang
senantiasa berbuat adil dan meridhai mereka, serta membenci
orang-orang yang berlaku dzalim dan menghukum mereka.18
Yang dimaksud ayat ini adalah bahwasannya Allah Swt.
tidak melarang untuk berbuat baik kepada kaum kafir yang
menjalin perjanjian damai dengan kaum Muslim untuk tidak
memerangi dan mencelakai kaum Muslim. Allah Swt. juga sama
sekali tida melarang untuk memperlakukan mereka dengan adil,
seperti bani Khuza‟ah dan yang lainnya yang membuat perjanjian
dengan Rasulullah saw. bahwa mereka tidak memerangi beliau
dan kaum Muslim.19
3. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran
Pada kedua tafsir di atas sama-sama menjelaskan bahwa kaum
muslimin boleh bersikap baik kepada kaum kafir selama mereka
tidak memerangi kaum muslim dan tidak membantu yang lainnya
untuk menghancurkan kaum muslim.
Imam al-Qurthubî memiliki tiga pendapat dalam menafsirkan
ayat ini yaitu:
18 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, terj. Tafsir al-
Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj oleh Abdul Hayyie al-Kattani dkk,
jilid 14, (Jakarta: Gema Insani, 2013), cet. Pertama, h. 510
19
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 14, h. 510
94
Pertama, ayat ini merupakan keringanan dari Allah swt. untuk
membina hubungan silaturahim dengan orang-orang yang tidak
memusuhi kaum mukminin dan tidak pula memerangi mereka.
Menurut Imam al-Qurthubî hukum boleh membina hubungan
silaturahim ini ada karena adanya sebuah alasan, yakni perdamaian.
Kedua, orang-orang yang disebut sebagai yang tidak memerangi
adalah kaum perempuan dan anak-anak, maka allah menganjurkan
berbuat baik kepada mereka.
Menurut Wahbah Zuhaili dalam tafsir al-Munîr, Allah swt tidak
melarang untuk berbuat baik kepada kaum kafir yang menjalin
perjanjian damai dengan kaum Mukminin untuk tidak memerangi
dan mencelakai kaum Mukminin. Allah swt juga sama sekali tida
melarang untuk memperlakukan mereka dengan adil, seperti
Khuza‟ah dan yang lainnya yang membuat perjanjian dengan
Rasulullah saw bahwa mereka tidak memerangi beliau dan kaum
Mukminin.
Nilai toleransi pada ayat ini terlihat jelas dimana kaum muslim
dianjurkan untuk berbuat baik kepada non muslim, dengan catatan
selama hubungan yang terjalin dikedua pihak berjalan dengan baik
serta saling menjaga kepercayaan masing-masing dan juga jika
umat non muslim tidak menyerang, dan tidak memerangi umat
Islam.
95
C. Larangan Muslim Bergaul dan Ber-muwâlah dengan non Muslim
yang Membahayakan Islam (QS. Al-Mumtahannah [60]: 9)
1. Penafsiran Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Ansh
âri al-Qurthubî
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan,
Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah
[60]: 9)
Imam al-Qurthubî dalam menafsirkan ayat ini tidak
dikelompokan dengan ayat yang lain, tidak menyebutkan munasabah
dan juga tidak menyebutkan asbâb nuzûl, tetapi langsung pada makna
ayat. Disini beliau membagi beberapa penggalan ayat dalam
penafsirannya, penggalan ayat yang pertama yaitu,
( )
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama.”
Maksudnya adalah Allah Swt. melarang kaum Muslim untuk
bergaul dengan orang-orang non Muslim yang memerangi dan
96
menyusahkan kaum Muslim karena agama.20
Ayat ini
berkesinambungan dengan ayat yang sebelumnya yakni QS. Al-
Mumtahanah ayat 8, dimana dijelaskan bahwa allah Swt tidak
melarang kaum Muslim untuk bergaul dengan non Muslim selama
mereka tidak memerangi kaum Muslim.
Penggalan ayat kedua, ( ) yang
bermakna “Dan mengusir kamu dari negerimu.” Menurut imam al-
Qurthubî mereka adalah penduduk Mekkah yang membangkang, yang
mengusir kaum Muslim dari Mekkah.
Penggalan ayat ketiga, ( ) yang bermakna “Dan
membantu.” Maksudnya adalah kaum musyrikin Mekkah yang
membantu sesamanya untuk mengusir kaum Muslim dari negerinya.21
Penggalan ayat keempat, ( ) yang bermakna
“Menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu
karena agama dan mengusir kamu dari negeri mu dan membantu
(orang lain) untuk mengusirmu.” Lafazh berada pada posisi jarr
20 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 364
21 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 364
97
karena menjadi badal dari kata sebelumnya yang terdapat pada
kalimat yang bermakna “ Untuk berbuat baik. ”22
Penggalan ayat kelima, ( ) yang bermakna “Dan
barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan” maksudnya adalah
menjadikan kaum non Muslim yang selalu memerangi umat muslim
tersebut sebagai kawan, penolong, dan kekasih.
Penggalan ayat keenam, ( ) yang
bermakna “Maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.”23
Maksudnya adalah, jika kaum Muslim masih memaksakan
berteman atau bergaul dengankaum non muslim yang mempunyai
kriteria diatas, yaitu, memerangi kaum muslim, mengusir kaum
muslim dari negerinya maka termasuk pada golongan orang-orang
yang dzalim, baik itu bagi dirinya sendiri ataupun dzalim terhadap
yang Maha Kuasa.
22 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 364
23 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 365
98
2. Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai
kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan,
Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah
[60]: 9)
Wahbah az-Zuhaili dalam ayat ini tidak mengelompokan ayat,
tidak menjelaskan i‟râb, munâsabah, dan asbâb nuzûl. Akan tetapi,
beliau langsung menjelaskan makna ayat.
Wahbah az-Zuhaili memaparkan bahwasannya Allah Swt. dalam
ayat ini menjelaskan siapa saja kah orang-orang kafir yang kaum
Muslim dilarang menjalin hubungan baik dengan mereka.
Allah Swt. hanya melarang kaum Muslim menjalin muwâlâh
dengan orang-orang kafir yang memusuhi Islam, yaitu para tokoh
kaum kafir Quraisy dan orang-orang yang seperti mereka yang selalu
memusuhi kaum Muslimin, serta yang membantu, menyokong, dan
mendukung pihak-pihak yang memerangi dan mengusir kaum Muslim.
Mereka adalah segenap kaum kafir Mekah yang memusuhi kaum
Muslimin dan orang-orang yang memihak mereka dalam memerangi
dan mengusir kaum muslimin. Allah Swt. melarang untuk menjadikan
99
mereka sebagai wali (teladan, penolong, teman setia), bahkan Allah
Swt. memerintahkan kaum Muslim untuk memusuhi mereka.24
Kemudian Allah Swt. mempertegas ancaman terhadap orang yang
menjalin muwâlâh dengan orang-orang kafir yang seperti itu dan
menjadikan mereka sebagai wali, membantu mereka dan bersikap pro
kepada mereka, orang-orang yang berbuat hal seperti itu merupakan
orang-orang yang telah mendzalimi dirinya sendiri. Mereka menjalin
muwâlâh dengan orang yang seharusnya dimusuhi. Sebab orang-orang
non Muslim yang seperti itu merupakan musuh Allah SWT., Rasul-
Nya dan kitab-Nya.25
Dengan kata lain, pernyataan seperti bukan hanya ditujukan pada
kaum kafir Quraisy ketika itu, tapi juga berlaku untuk kaum non
Muslim saat ini.
3. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran
Penjelasan tafsir pada surat Al-Mumtahanah ayat 9 ini
berkaitan dengan ayat sebelumnya pada ayat 8. Dalam kedua tafsir
ini dijelaskan bahwa Allah swt melarang kaum muslim untuk
menjalin hubungan dengan orang-orang kafir yang memusuhi kaum
muslim, serta yang membantu, menyokong, dan mendukung pihak-
pihak yang memerangi dan mengusir kaumm muslim.
Wahbah Zuhaili dalam tafsir al-Munîr mempertegas tentang
ancama Allah swt. terhadap orang yang menjalin muwâlâh dengan
24 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, terj. Tafsir al-
Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj oleh Abdul Hayyie al-Kattani dkk,
jilid 14cet. Pertama, h. 510
25 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, terj. Tafsir al-
Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj oleh Abdul Hayyie al-Kattani dkk,
jilid 14, cet. Pertama, h. 510
100
orang-orang kafir. dan menjadikan mereka sebagai wali , dengan
menyatakan bahwa barang siapa yang menjadikan orang-orang kafir
seperti itu dan menjadikan mereka sebagai wali, dengan
menyatakan bahwa barangsiapa yang menjadikan orang-orang kafir
seperti itu sebagai wali, membantu mereka dan bersikap pro kepada
mereka, orang-orang yang berbuat seperti itu adalah orang-orang
yang telah mendzalimi dirinya sendiri. Mereka menjalin muwâlâh
dengan orang yang seharusnya dimusuhi disebabkan ia adalah
musuh Allah swt, Rasul-Nya dan kitab-Nya.
Wahbah az-Zuhaili dalam tafsir al-Munîr juga menjelaskan
bahwa kaum kafir yang dimaksud dalam ayat ini adalah kaum kafir
Quraisy. Namun, menurut hemat penulis, hukum ini berkaitan
dengan orang-orang kafir mana saja, bukan hanya kaum kafir
Quraisy. Dengan catatan, bahwa larangan bergaul dengan non
muslim atau ber-muwâlâh dengan non muslim ini, adalah jika non
muslimnya membahayakan, memerangi atau ikut membantu
mendukung upaya-upaya yang memerangi umat Islam. Jadi dalam
memahami ayat ini perlu dilihat kaitannya (munasabahnya) dengan
ayat Al-Quran lainnya yang mengatakan bahwa Allah
membolehkan umat Islam bergaul dengan umat non muslim selagi
mereka tidak menyerang umat Islam.
101
D. Larangan Memaki Sesembahan Kaum non Muslim (QS. Al-
An’âm [6]: 108)
1. Penafsiran Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Ansh
âri al-Qurthubî
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami
jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan
kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al-An`âm
[6]: 108)
Imam al-Qurthubî dalam menjelaskan ayat ini tidak
mengelompokan ayat, tidak membahas i‟râb, munâsabah dan
asbâb nuzûl. Akan tetapi beliau langsung menjelaskan makna ayat.
Imam al-Qurthubî menjelaskan makna ayat ini dengan cara dengan
beberapa penggalan.
Penggalan ayat pertama,
) (
Yang bermakna “Dan janganlah kamu memaki sembahan-
sembahan yang mereka sembah selain Allah,” Yang mana ayat di
atas menurut Wahbah az-Zuhaili merupakan larangan yang mutlak,
102
bahwasannya kaum Muslim di larang untuk memaki sesembahan
kaum kafir Quraisy.
Penggalan ayat kedua, ( ) yang bermakna“Karena
mereka nanti akan memaki Allah,” menurut Wahbah az-Zuhaili
adalah akibat dari larangan tersebut. Dalam ayat ini Allah Swt.
melarang orang-orang yang beriman memaki berhala-berhala orang
kafir, Karena Dia mengetahui bahwa apabila orang-orang yang
beriman memaki berhala-berhala tersebut, maka orang-orang kafir
akan semakin menjauh dan bertambah kufur.26
Wahbah az-Zuhaili mengutip pendapat Ibnu Abbas ra yang
mengatakan, “Orang-orang kafir Quraisy pernah berkata kepada
Abu Thalib, „Kamu melarang Muhammad dan para sahabatnya
memaki tuhan-tuhan kami dan menghinanya atau kami akan balik
memaki tuhannya dan menghinanya.‟ Maka turunlah ayat ini.27
Wahbah az-Zuhaili mengutip pendapat para ulama yaitu,
“Hukum ayat ini tetap ada pada umat ini dalam keadaan apapun.
Selama kaum Muslim tidak mengolok-olok sesembahan kaum
musyrik, maka mereka tidak akan menghina Allah Swt, Islam, dan
juga Nabi Muhammad saw. Sudah di tegaskan bahwasannya kaum
Muslim tidak boleh memaki, menghina, atau mengusik salib, agama
dan gereja mereka, serta tidak boleh melakukan hal-hal yang
26 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, ter. Tafsir al-Jâmi li al-Ahkâmi Al-Qurân
al-Qurthubî oleh Dudi Rosyadi, Faturrahman, Fachrurazi, jilid 7, cet. Pertama, h. 153 27 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, ter. Tafsir al-Jâmi li al-Ahkâmi Al-Qurân
al-Qurthubî oleh Dudi Rosyadi, Faturrahman, Fachrurazi, jilid 7, cet. Pertama, h. 153
103
membawa pada hal tersebut. Sebab perbuatan itu sama dengan
mendorong untuk melakukan kemaksiatan.”28
Tujuan penggunaan kata الذي untuk berhala, padahal ia tidak
termasuk yang berakal, menunjukan bahwa yang dimaksud adalah
orang-orang yang berkeyakinan kufur.29
Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwasannya ayat ini
menunjukan salah satu bentuk gencatan senjata atau perdamaian
dan merupakan dalil wajib yang mencegah terjadinya kerusakan.
Dalam ayat ini juga terdapat dalil bahwa orang yang benar
terkadang harus menahan diri untuk tidak mengambil haknya
apabila akan menimbulkan dampak negatif yang mungkin terjadi
pada agama.
Semakna dengan ini, Wahbah az-Zuhaili mengutip apa yang
diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab ra, dia berkata, “Jangan
terlalu keras memutuskan hukum antara orang-orang yang yang
memiliki hubungan kerabat, karena khawatir hubungan kekerabatan
akan terputus.”
Wahbah az-Zuhaili juga mengutip pendapat Ibnu al-„Arabi
yang berkata, “Jika hak itu adalah hak wajib, maka dia boleh
mengambilnya dalam keadaan apapun. Jika hak itu adalah hak tidak
wajib, maka inilah yang dimaksud oleh perkataan tersebut.” 30
28 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 7, h. 153
29 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 7, h. 154
30 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 7, h. 154
104
Penggalan ayat ketiga, () yang memiliki arti “karena
kejahilan dan kedzaliman”.31
Penggalan ayat keempat,
) (
Yang memiliki arti “Demikianlah Kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka,” menurut wahbah az-Zuhaili
maksudnya adalah sebagaimana Kami jadikan mereka menganggap
baik perbuatan mereka.
Wahbah az-Zuhaili mengutip pendapat Ibnu Abbas r.a
yaitu, “Dijadikan ahli ketaatan memganggap baik ketaatan dan
dijadikan ahli kekufuran menganggap baik kekufuran. Ini sama
seperti firman Allah swt,
„Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki
siapa yang dikehendaki-Nya.‟ (QS. Fâthir [35]: 8)
Dalam ayat ini terdapat bantahan terhadap kelompok Qadariyah.”32
31 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 7, h. 155
32 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 7, h. 155
105
1. Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan
Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada
Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada
mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al-An”âm [6]: 108)
Wahbah az-Zuhaili dalam ayat ini tidak mengelompokan ayat,
tidak menjelaskan munâsabah dan i‟râb. Beliau menjelaskan mufradât
lughawiyyah, asbâb nuzûl dan makna tafsir. Berikut poin-poin yang di
bahas pada penjelasan tafsir ini:
a. Mufradât lughawiyyah
1) Lafazh , yang berarti “berdoa pada
berhala-berhala”. Menurut Wahbah az-Zuhaili penggunaan
redaksi berhala dengan ( ) [kata sambung untuk yang
berakal], padahal mereka (berhala-berhala) itu tidak berakal untuk
menyesuaikannya dengan keyakinan orang-orang kafir dengan
berhala-berhala itu.
106
2) Lafazh , yang mempunyai makna “melampui batas dan dzalim”.
3) Lafazh , yang mempunyai makna “tanpa ilmu dan di
dasari dengan kebodohan mereka”.
4) Lafazh , yang mempunyai makna “sebagaimana Kami
jadikan mereka menganggap baik perbuatan mereka”.
5) Lafazh , yang bermakna “Kami juga
menjadikan setiap umat menganggap baik perbuatan mereka, baik
yang terpuji maupun yang tercela”.
6) Lafazh , yang bermakna “tempat kembali ke akhirat”.
7) Lafazh , yang mempunyai makna
“lalu Allah membalsa mereka karena perbuatan mereka”.
b. Asbâb nuzûl
Wahbah az-Zuhaili mengutip pendapat Abdurrazaq yang
mengatakan, kaum Muslim pada saat itu pernah mencaci berhala-
berhala orang-orang kafir, lalu mereka pun balik mencaci Allah
Swt. Kemudian turunlah ayat ini. Kemudian beliau juga mengutip
pendapat Ibnu Abbas dalam riwayat al-Walibi yang mengatakan
107
bahwa mereka (orang-orang kafir) berkata, “Wahai Muhammad,
berhentilah mencaci tuhan-tuhan kami atau kami akan mencela
tuhan kamu”. Lalu Allah Swt melarang kaum Muslim untuk
mencela sesembahan mereka yang dapat menyebabkan mereka
berbalik mencela Allah Swt. karena kebencian dan kebodohan
mereka.33
c. Makna penafsiran
Wahbah az-Zuhaili mengutip pendapat Ibnu Abbas
bahwasannya Allah Swt. melarang rasul-Nya dan orang-orang
Muslim agar tidak mencaci sesembahan orang-orang musyrik
meskipun di dalamnya ada manfaat. Pasalnya, hal itu akan
berakibat kerugian yang lebih besar, yaitu balasan mereka untuk
mencaci Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia.34
Beliau juga memaparkan bahwasannya kaum Muslim
jangan menghina tuhan orang-orang musyrik yang telah mereka
sembah selain Allah. Boleh jadi, dari situ lah mereka akan
menghina Allah Swt. dengan dasar permusuhan. Mereka
melakukannya dengan melampui batas untuk membuat marah
orang-orang Muslim sebab mereka tidak mengetahui kebesaran
dan keagungan Allah Swt. Hal ini menunjukan bahwa sebuah
ketaatan atau kemaslahatan jika menyebabkan kemaksiatan atau
kerugian, harus ditinggalkan. Allah swt juga memerintahkan Nabi
33 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, terj.
Tafsir al-Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj oleh Abdul Hayyie al-
Kattani dkk, jilid 4, cet. Pertama, h. 290
34 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 4, h. 291
108
Musa dan Nabi Harun untuk bersikap lemput dalam berbicara
dengan Fir‟aun.35
“Maka berbicarah kamu berdua kepadanya (Fir‟aun) dengan
kata-kata ya ng lemah lembut, mudah-mudahan ia sadar atau
takut.” (QS. Thâha: 44)
Dari penjelasan beliau di atas, dapat disimpulkan bahwa
mengolok-olok sesembahan kaum musyrik meskipun itu ada
manfaatnya, sangatlah di larang keras. Sebab akan berdampak
sangat buruk jika mereka berbalik membalasnya dengan mengina
Allah Swt serta Rasul-Nya.
Sebagaimana Allah menjadikan sebuah kaum menyukai
berhala-berhala dan membelanya, demikian halnya dengan setiap
umat, Allah Swt jadikan perbuatan buruk yang mereka lakukan
yang berupa kekufuran dan kesesatan, disukai pula oleh mereka.
Ini adalah sunnatullah bagi makhluk-Nya. Mereka menganggap
baik adat kebiasaan mereka yang telah mereka lakukan, baik
karena ikut-ikutan maupun karena ketidaktahuan mereka atau
mereka tahu, namun membangkang. Allah swt. membiarkan
mereka dengan urusan mereka itu. Perbuatan buruk yang dianggap
baik ini adalah bagian dari ikhtiar (pilihan) mereka tanpa ada
paksaan atau desakan. Bukan Allah swt yang menanamkan dalam
hati mereka rasa cinta pada kekufuran dan kejahatan, sebagaimana
35
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 4, h. 291
109
rasa cinta kepada keimanan dan kebaikan yang Allah berikan
kepada yang lainnya. Jika tidak demikian, berarti keimanan,
kekufuran, kebaikan dan keburukan adalah naluri sehingga dkwah
menuju perbaikan di anggap hal yang sia-sia. Sungguh Allah swt
jauh dari hal itu. Selain itu juga, pahala dan siksa, pengutusan
rasul, dan penurunan kitab-kitab menjadi tidak bermakna dan tidak
ada keadilan di dalamnya.36
2. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran
Dalam kedua tafsir ini sama-sama menegaskan dan melarang
kaum muslim untuk memaki, menghina dan merendahkan sesembahan
agama-agama lainnya. Karena hal ini akan sangat memicu pembalasan
dendam mereka terhadap apa yang kita yakini, dan parahnya lagi
mereka akan mencaci maki Nabi Muhammad saw. dan juga Allah swt.
Jika ada sesuatu yang membuat kita marah atas sikap mereka, kita
harus menahan diri untuk tidak menyinggung sesembahan mereka,
karena dampak nya akan lebih besar.
Dewasa ini sangat mudah sekali melihat tindakan intoleran
semacam ini di kehidupan sehari-hari terutama di social media, untuk
mengatasinya kita dianjurkan untuk tidak membalas ucapan mereka
yang menyinggung keyakinan kita, adapun jika kita membalasnya
harus dengan kata-kata yang lebih bijak.
110
E. Ajakan Toleransi Beragama
1. Penafsiran Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-
Anshâri al-Qurthubî
Imam al-Qurthubî dalam menjelaskan ayat ini tidak
mengelompokan ayat, tidak membahas i‟râb, munâsabah. Akan
tetapi beliau menjelaskan asbâb nuzûl dan makna ayat. Imam al-
Qurthubî menjelaskan makna ayat ini dengan cara dengan beberapa
penggalan.
Penggalan ayat pertama,
Yang memiliki arti “Katakanlah: "Hai orang-orang kafir”, Imam
al-Qurthubî mengutip pendapat Ibnu Ishak dan ulama lainnya
yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas: Sebab turunnya ayat ini
adalah, ketika beberapa pemuka Quraisy di antaranya Al-Walid
bin Al-Mughirah, Al-Ash bin Wail, Al-Aswad bin Abdil
Muthallib,dan Umayah bin Khalaf, bertemu dengan Nabi saw.
mereka berkata, “Wahai Muhammad, kami akan menyetujui
ajakanmu untuk menyembah Tuhan yang engkau sembah, namun
dengan syarat kamu juga harus menyembah Tuhan yang kami
sembah. Dengan begitu kami dan kamu dapat berbagi dalam
segala hal, maksudnya apabila ajaran yang kamu bawa lebih baik
dari pada yang kami percayai maka kami sudah berusaha untuk
mengikutimu dan kami pasti akan mendapatkan apa yang kami
usahakan, dan apabila yang kami percayai ini lebih baik daripada
ajaran yang kamu bawa, maka kamu sudah berusaha untuk ikut
111
bersama kami, dan kamu pasti akan menerima hasil dari usahamu
itu”. Lalu diturunkan firman Allah SWT.
“Katakanlah: "Hai orang-orang kafir”.37
Imam al-Qurthubî mengutip pendapat Abu Shalih yang
meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia berkata: mereka (para pemuka
kaum Quraisy) berkata kepada Nabi saw., “Apabila kamu bersedia
untuk mencium sebagian dari Tuhan yang kami sembah ini (atau
mengusapnya, sebagai tanda penghormatan atau meminta
keberkahannya) maka kami akan mempercayai ajaran yang kamu
bawa.” Lalu malaikat Jibril pun turun dari langit untuk
memberikan surah ini kepada Nabi saw. Maka setelah itu mereka
pun menyerah untuk menyeret Nabi saw. dalam kemusyrikan
mereka, lalu mereka menggantinya dengan menyakiti hati dan
raga Nabi saw., dan tidak sampai di situ saja, mereka juga
menyakiti dan menyiksa para sahabat beliau.
Imam al-Qurthubî mengutip pendapat beberapa ulama
mengenai surah ini yang diserasikan dengan perkataan kaum
Quraisy, yaitu: “Kamu menyembah Tuhan-Tuhan kami dan kami
akan menyembah Tuhan kamu, kemudian kamu menyembah
Tuhan-Tuhan kami dan kami akan menyembah Tuhan kamu,
kemusiaan kamu menyembah Tuhan-Tuhan kami dan kami akan
menyembah Tuhan kamu”. Dan begitu seterusnya. Lalu
dijawablah setiap perkataan mereka itu dengan kabalikannya,
37
Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, ter. Tafsir al-Jâmi li al-Ahkâmi Al-
Qurân al-Qurthubî oleh Dudi Rosyadi, Faturrahman, Fachrurazi, jilid 20, cet. Pertama,
h. 831
112
yakni: sesungguhnya itu tidak akan terjadi, walaupun kalian
mengatakannya dari tahun ke tahun, dari masa ke masa, dan
hingga selama-lamanya.38
Imam al-Qurthubî mengutip pendapat Ibnu Abbas yang
meriwayatkan, pada saat itu kaum Quraisy berkata kepada Nabi
saw., “Kami akan memberikan harta apa saja yang kamu minta,
hingga kamu menjadi orang yang paling kaya di kota Makkah, dan
kami juga akan memberikan wanita mana saja yang kamu ingin
nikahi, dan kami juga akan berjalan di belakang kamu (kiasan
untuk merendahkan diri). Asalkan, kamu mau berhenti mencibir
Tuhan-Tuhan kami. Apabila kamu tidak juga mau melakukannya,
maka kami akan menawarkan satu hal yang dapat mendatangkan
perdamaian di antara kita semua, yaitu kamu menyembah Tuhan-
Tuhan kami, Latta dan Uzza selama satu tahun, dan sebagai
gantinya kami akan menyembah Tuhan kamu selama satu tahun.”
Kemudian diturunkan surah ini.
Penggalan ayat kedua,
Yang memiliki makna “Aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah.”. Menurut Imam al-Qurthubî adanya pengulangan
pada ayat tersebut dikarenakan kaum Quraisy mengulang-ulang
perkataan mereka terus menerus, yaitu untuk saling menyembah
tuhan mereka selama waktu yang di tentukan.39
38 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 20, h. 834 39
Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 20, h. 835
113
Lalu Imam al-Qurthubî mengutip beberapa pendapat
bahwa pengulangan ini memiliki makna ancaman. Menurut Al-
Akhfasy dan Al-Mubarrad yang dikutip oleh Wahbah az-Zuhaili
ini bahwa makna dari surah ini adalah: aku tidak akan menyembah
apa yang kamu sembah walaupun dalam satu jam, hingga kamu
tidak perlu menyembah Tuhan yang aku sembah selama satu jam.
Dan aku juga tidak akan pernah menyembah apa yang kamu
sembah di masa yang akan datang, dan kamu juga tidak perlu
menyembah Tuhan yang aku sembah pada masa yang akan
datang.40
Imam al-Qurthubî juga mengutip pendapat beberapa ulama
lainnya yang menyebutkan, bahwa ketika itu mereka menyembah
beberapa berhala, dan apabila mereka merasa bosan terhadap satu
berhala dan jenuh menyembahnya, maka mereka akan membuang
berhala tersebut lalu mengambil berhala lainnya sesuka hati
mereka, begitu pula jika mereka menemukan batu yang mereka
sukai maka mereka akan membentuknya dan menyembahnya,
sedangkan berhala mereka yang lama akan mereka buang agung-
agungkan dan sejajarkan dengan Tuhan-Tuhan lain yang mereka
masih sukai. Oleh karena itulah Nabi saw. diperintahkan untuk
berkata kepada mereka: Aku tidak menyembah Tuhan-Tuhan yang
ada dihadapan kalian saat ini yang kalian sembah-sembah, dan
kalian jika tidak akan menyembah apa yang aku sembah karena
kalian selalu menyembah berhala yang kalian buat sendiri yang
ada di hadapan kalian saat ini, dan aku juga tidak menyembah
Tuhan-Tuhan kalian yang telah kalian buang, dan kalian juga
40
Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 20, h. 835
114
tidak menyembah Tuhan yang aku sembah dari dulu hingga
sekarang.41
Kaum kafir Quraisy membuat sesembahan mereka sendiri
dan terus mengganti sesembahan mereka itu ketika mereka bosan,
kemudian membuang sesembahan mereka yang lama. Nabi
Muhammad saw. juga menegaskan tidak akan pernah menyembah
berhala-berhala mereka baik itu yang ada di hadapan mereka
ataupun yang sudah mereka buang. Nabi Muhammad saw.
melarang kaum kafir Quraisy untuk menyembah Allah Swt.,
dikarenakan beliau mengetahui tidak ada sedikitpun keimanan
kaum kafir Quraisy terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya, yang ada
pada diri mereka hanyalah kemusyrikan.
Penggalan ayat ketiga
Yang mempunyai makna “Aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku
sembah”. Menurut Imam al-Qurthubî bahwa kedua ayat ini
menerangkan tentang masa yang akan datang. Dalam artian, Nabi
Muhammad saw tidak akan menyembah tuhan mereka pada masa
yang akan datang.
Penggalan ayat keempat,
41
Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 20, h. 836
115
Yang bermakna “Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa
yang kamu sembah”. Imam al-Qurthubî menjelaskan bahwa ayat
ini menerangkan bahwa Nabi saw. tidak pernah menyembah
Tuhan mereka di masa-masa yang lalu.42
Pada ayat ini juga Nabi Muhammad saw. menegaskan
tidak menyembah tuhan-tuhan mereka pada masa lampau
sekalipun.
Penggalan ayat kelima,
Yang bermakna,“Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah”. Menurut Imam al-Qurthubî
ayat ini merupakan pengulangan lafadz saja, bukan pengulangan
maknanya, karena dilihat dari sisi kebalikannya yang seharusnya
dikatakan adalah wa lâ antum „âbidûna mâ „abadtum, (dengan
menggunakan fi‟il madhi seperti kata „abadtum yang disebutkan
sebelumnya). Lalu kata bentuk lampau itu dirubah menjadi fi‟il
mudhari‟ (simple present tense) sebagai pemberitahuan secara
tersirat bahwa Tuhan yang disembah oleh Nabi saw. di masa yang
lalu adalah Tuhan yang disembah oleh Nabi saw. di masa yang
akan datang, walaupun bentuk kata lampau dan masa depan
selalau dapat saling menggantikan tempat jika berkaitan dengan
ke Tuhanan, karena memang Allah Swt. telah ada sebelum yang
42
Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 20, h. 836
116
lain ada, masih ada dan akan terus ada walaupun yang lain sudah
tidak ada.43
Beliau juga mengutip pendapat yang menafsirkan, bahwa
prediksi dari ayat-ayat ini sebenarnya adalah: katakanlah wahai
Muhammad, wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah
berhala yang kalian sembah, dan kalian juga tidak menyembah
Allah yang aku sembah, karena kalian menyekutukan-Nya dan
menjadikan berhala-berhala itu sebagai sesembahan kalian,
apabila kalian mengira bahwa sebenarnya kalian menyembah
Allah maka kalian telah berdusta, karena kalian menyembah-Nya
dengan menyekutukan-Nya. Aku tidak akan menyembah seperti
yang penyembahan yang kalian lakukan, (penafsiran ini tidak lain
berdasarkan atas fakta bahwa pada awalnya kaum Quraisy
menyembah berhala hanya untuk mendapatkan visualisasi Tuhan,
dan sebenarnya yang mereka sembah tetaplah Allah, mereka juga
masih mengakui Allah sebagai Tuhan mereka, namun mereka
menyekutukan-Nya melalui sesembahan mereka terhadap
berhala).44
Dengan demikian maka kata pada kalimat ini adalah
mâ mashdariyah, begitu pula dengan kata yang terdapat pada
kalimat
43 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 20, h. 836 44
Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 20, h. 837
117
Yang maknanya adalah: “kalian tidk menyembah seperti
penyembahan yang aku lakukan (yakni mengesakan Allah), dan
aku juga tidak menyembah seperti penyembahan yang kalian
lakukan (yakni tidak mengesakan Allah)”.45
Penggalan ayat keenam,
“untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."
Untuk ayat ini Imam al-Qurthubî hanya membahass satu masalah
saja, yaitu: pada ayat ini terdapat ancaman. Yakni maknanya
adalah, kalian telah ridha dengan agama yang kalian anut, dan
kami juga telah ridha dengan agama yang kami anut.
Ayat ini diturunkan sebelum adanya perintah untuk
berjihad, dan setelah diturunkannya kewajiban untuk berjihad
maka ayat ini secara otomatis telah dinasakh. Namun, beberapa
ulama lainnya berpendapat bahwa tidak ada satu ayat pun dari
surah ini telah dinasakh oleh ayat manapun, karena surah ini
hanya berisi keterangan saja, bukan ayat perintah ataupun ayat
larangan.
Adapun makna dari kalimat ( ) adalah kamu akan
mendapat ganjaran menurut agamamu, dan aku juga akan
45
Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 20, h. 837
118
mendapat ganjaran menurut agamaku. Dan sebab penyebutan
“agama” atas ajaran yang mereka jalankan, kerena mereka
mempercayainya dan menjalannya.
Lalu ada juga yang berpendapat, bahwa makna ayat ini
adalah: kalian akan mendapatkna balasannya dan aku juga akan
mendapatkan balasanku. Karena, makna ad-Dî n adalah balasan.
46
Dengan kata lain, bagimu balasan agama mu dan bagiku
balasan agamaku.
2. Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili
“Katakanlah (Muhammad): "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah
Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah
apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah. untukmu agamamu, dan un
tukkulah, agamaku." (QS. Al-Kâfirûn[109]: 1-6)
Dalam menafsirkan surah ini, Wahbah az-zuhaili memaparkan
penamaan surah, munâsabah ayat, asbâb nuzûl dan makna tafsir.
a. Penamaan surah
Menurut Wahbah az-Zuhaili alasan penamaan surah ini
karena Allah Swt. memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk
berbicara kepada orang-orang kafir bahwa beliau tidak akan
46
Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 20, h. 838
119
pernah menyembah berhala-berhala dan patung-payung yang
mereka sembah. Selain nama Al-Kâfirûn yang telah di sematkan
pada surah ini, juga memiliki nama lain yaitu Surah Al-
Munâbadzah, Al-Ikhlâsh dan Muqasyqasyah.47
b. Munâsabah ayat
Wahbah az-Zuhaili memaparkan bahwa pada surah sebelumnya
Allah Swt memerintahkan Nabi untuk ikhlas beribadah kepada-
Nya. Sementara itu surah ini berisi tentang pengesaan dan
pembebasan dari segala macam kesyirikan. Dalam surah ini juga
terdapat pengikraran yang jelas dan tegas bahwa Nabi saw.
mempunyai ibadah tersendiri yang berbeda dengan ibadah kaum
kafir. Beliau hanya menyembah Allah Swt dan tidak menyembah
berhala-berhala dan patung-patung yang di sembah oleh kaum
kafir.48
c. Makna tafsir
Dalam menjelaskan tafsir ini, Wahbah az-Zuhaili membagi
pada beberapa penggalan ayat.
1) QS. Al-Kâfirûn[109]: 1-2
Katakanlah (Muhammad): "Hai orang-orang kafir! Aku tidak
akan menyembah apa yang kamu sembah. (QS. Al-Kâfirûn[109]:
1-2)
47 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, terj. Tafsir al-
Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj oleh Abdul Hayyie al-Kattani dkk,
jilid 15, cet. Pertama, h. 698 48
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 15, h. 698
120
Wahbah az-Zuhaili memaparkan pada ayat ini
bahwasannya Nabi Muhammad saw tidak akan menyembah
berhala dan patung yang kaum kafir Quraisy sembah secara
mutlak. Dan tidak akan menyembahnya dalam keadaan apapun.
Ayat tersebut mencakup seluruh orang kafir di muka bumi ini.
Fungsi dari kata () adalah Nabi saw. diperintahkan untuk
bersikap lemah lembut di segala hal, berbicara kepada manusia
dengan cara yang paling baik. Ketika terjadi dialog dalam
keadaan keras, Allah Swt membolehkan dan memerintahkannya
untuk berbicara keras. Bukan berarti Nabi saw. menyebutkan hal
itu dari keinginan beliau sendiri.49
Akan tetapi berdasarkan
perintah Allah Swt.
2) QS. Al-Kâfirûn[109]: 3)
“Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah.” (QS. Al-
Kâfirûn[109]: 3)
Beliau menjelaskan ayat ini, Selagi mereka (kaum kafir
Quraisy) masih berada dalam kesyirikan dan kekufuran, mereka
tidak akan menyembah Allah yang aku (Muhammaad) sembah.
Dialah Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya.
Kedua ayat ini (ayat dua dan tiga) menunjukkan perbedaan
yang disembah, Nabi saw menyembah Allah Swt. yang Maha
49
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 15, h. 701
121
Esa, sedangkan orang-orang kafir Quraisy menyembah berhala
dan patung. Wahbah az-Zuhaili mengutip pendapat Imam
Zamakhsyari bahwasannya “Di masa yang akan datang aku tidak
menyembah apa yang kalian sembah saat ini.” Bisa juga
maknanya adalah –untuk mencegah terjadinya pengulangan-.50
Ringkasan maknanya adalah di masa yang akan datang
Nabi Muhammad saw tidak akan melakukan permintaan kaum
kafir Quraisy untuk menyembah tuhan-tuhan mereka juga tidak
akan meminta mereka untuk menyembah Allah Swt.
3) QS. Al-Kâfirûn[109]: 4-5
“Dan aku tidak pernah menjadai penyembah apa yang akan
sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa
yang aku sembah.” (QS. Al-Kâfirûn[109]: 4-5)
Menurut Wahbah az-Zuhaili yang dimaksud dengan “Aku
tidak akan menyembah apa yang telah kalian sembah” adalah
hanya akan menyembah Allah Swt. dengan cara yang Dia
senangi dan hanya mengharapkan ridha dari-Nya. Kaum musyrik
jelas tidak akan mengikuti perintah-perintah Allah dan syaria‟at-
Nya dalam beribadah kepada-Nya. Bahkan mereka telah
menciptakan agama sesembahan mereka sendiri. Ibadah
Rasulullah saw. dan para pengikut beliau murni hanya kepada
Allah Swt. Tidak ada kesyirikan dan kelalaian kepada Zat yang
disembah. Mereka (kaum Muslimin) menyembah Allah dengan
50
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 15, h. 702
122
apa yang telah Dia syari`atkan. Oleh karena itu kalimat Islam
الله“ إلا Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah) ”لاإله
utusan Allah) yakni tiada zat yang patut disembah kecuali Allah
dan tiada ibadah untuk menggapai Ridha-Nya melainkan risalah
yang dibawa oleh Rasulullah saw.51
Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwasannya kaum
musyrikin menyembah selain Allah dengan sebuah ibadah yang
tidak pernah diridhai oleh Allah Swt. Semuanya adalah
kesyirikan dan tata caranya berasal dari perbuatan hawa nafsu
dan setan. Kedua ayat tersebut (ayat empat dan lima)
menunjukan perbedaan dalam ibadah itu sendiri. Wahbah az-
Zuhaili mengutip pendapat Imam zamaksyari yang mengatakan,
“Di masa sekarang dan lampau, sekali-kali aku tidak menyembah
apa yang kalian sembah, yakni aku tidak pernah menyembah
berhala di masa jahiliyyah, bagaimana kesyirikan itu diharapkan
dariku di masa Islam?! Kalian juga tidak menyembah
(beribadah) sebagaimana aku beribadah. Ada yang berpendapat
bahwa dalam ayat tersebut terdapat tikrâr (pengulangan) yang
bertujuan untuk ta`kid (penguat) untuk memutus keinginan kaum
kafir agar Rasulullah saw menerima permintaan mereka untuk
menyembah tuhan-tuhan mereka.52
Dapat disimpulkan bahwasannya ajakan kaum kafir
Quraisy untuk bertukar akidah dengan mereka selama waktu
51 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 15, h. 702 52
Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 15, h. 702
123
yang ditentukan tersebut tidak akan pernah terjadi baik itu ketika
masa jahiliyah, dan pada masa-masa selanjutnya.
4) QS. Al-Kâfirûn[109]: 6
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-
Kâfirûn[109]: 6)
Wahbah az-Zuhaili maksud dari “bagi kalian kesyirikan
dan kekufuran kalian, dan bagiku agamaku”, yaitu bagiku agama
agama tauhid dan ikhlas atau Islam. Agama kesyirikan kalian
adalah khusus bagi kalian saja dan tidak bagiku. Agama tauhidku
terbatas untukku bukan untuk kalian. Ada yang berpendapat
bahwa maksud ad-Dîn dalam ayat ini adalah al-Jazâ`
(balasan),mudhafnya dihilangkan, yakni, bagi kalian balasan
agama kalian dan bagiku balasan agamaku. Ada juga yang
berpendapat bahwa maksud ad-Dîn disini adalah ibadah.53
Surah ini tidak dimansukh dengan ayat perang. Para ulama
juga berpendapat bahwa ini tidak dinasakh, akan tetapi
maksudnya adalah tauhid (ancaman). Itu sebagaiman firman
Allah Swt,
53 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 15, h. 702
124
“Lakukanlah apa yang kamu kehendaki!” (QS. Fushshilat: 40)
Ayat ini juga sama dengan ayat,
“Dan jika mereka (tetap) mendustakanmu (Muhammad), Maka
Katakanlah: "Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu.
Kamu tidak bertanggung jawab terhadap apa yang aku kerjakan
dan akupun tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu
kerjakan”. (QS. Yûnus: 41)
Dan firman-Nya,
“Bagi Kami amal-amal Kami dan bagimu amal-amalmu”. (QS.
Al-Qashshah: 41)
Menurut Wahbah az-Zuhaili maksud dari semua ayat
tersebut adalah ancaman, bukan keridhaan dengan agama lain.
Wahbah az-Zuhaili mengutip pendapat Imam Asy-Syafî‟I
mengenai ayat ini ( ) bahwa seluruh kekufuran
merupakan satu agama. Orang-orang Yahudi mewarisi dari orang-
orang Nasrani dan sebaliknya diantara keduanya terdapat
125
hubungan atau sebab untuk saling mewarisi. Seluruh agama selain
Islam seperti satu dalam kebathilan.54
3. Analisis Persamaan dan Perbedaan
Nabi Muhammad saw. menolak dengan tegas tawaran kaum
Quraisy untuk menyembah tuhan mereka sebab tidak mungkin
Rasulullah menerima ajaran yang bertolak belakang dengan wahyu
yang sudah diterima dari Allah.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa Nabi Muhammad
diperintahkan oleh Allah Swt untuk mengatakan kepada orang-orang
yang membencinya untuk menjelaskan keyakinannya secara jelas dan
konsisten kepada orang-orang kafir Quraisy. Sampai kapan pun. Sebab
mereka menyembah berhala yang berbeda-beda tergantung tempat,
situasi dan kondisi.55
Wahbah az-Zuhaili dan al-Qurthtûbi menjelaskan Nabi
Muhammad dan pngikutnya tidak akan menyembah sesembahan kaum
kafir Quraisy hingga masa-masa yang akan datang. Kaum Muslim
hanya akan menyembah Allah Swt dengan penuh ketaatan serta meraih
ridha-Nya. Adapun sebaliknya kaum kafir Quraisy dianjurkan untuk
menyembah tuhan mereka dengan sepenuh hati.
Kata ad-Dîn pada ayat ke enam menurut al-Qurthubi merupakan
sebuah ancaman. Sedangkan menurut wahbah az-Zuhaili adalah
balasan dan ibadah.
54 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 1, h. 703 55
Quraish M Shihab. Tafsir Al-Misbah, jilid 15, (Tangerang: PT Lentera Hati, 2016)
126
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penjelasan dalam setiap bagian penelitian yang telah diuraikan diatas
merupakan merupakan jawaban dari permasalahan dalam penelitian ini.
Pandangan imam al-Qurthubi dan Wahbah Az-Zuhaili mengenai ayat-ayat
toleransi yang dibahas oleh penulis memiliki kesamaan dan perbedaan
dalam penafsirannya. Selanjutnya uraian tersebut dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Imam al-Qurthubî dan Wahbah az-Zuhaili menafsirkan ayat-ayat
yang berkenaan dengan toleransi hanya sebatas pada persoalan sosial
(mu’âmalah) semata. Sehingga segala bentuk hubungan atau
komunikasi yang melampaui permasalahan mu’âmalah adalah
dilarang, terutama dalam persoalan teologi (akidah). Poin utama nilai
toleransi pada tafsir al-Qurthubî dan Wahbah az-Zuhaili ini adalah
umat Muslim dianjurkan untuk berhubungan baik dengan kaum non
Muslim selama tidak melanggar syari’at Islam dan tidak ada
penyerangan dari kaum non Muslim tersebut.
2. Persamaan dan perbedaan penafsiran Imam al-Qurhubî dan Wahbah
az-Zuhaili mengenai ayat-ayat toleransi.
Adapun persamaan dalam penafsiran Imam al-Qurthubî dan
Wahbah az-Zuhaili adalah:
a. Keduanya sama-sama berpendapat behwasannya dengan adanya
sikap toleransi antar umat beragama khususnya, dapat
menciptakan kehidupan yang damai.
127
b. Menurut keduanya, dasar hukum mengenai iman dan kepercayaan
harus dilandasi dengan kerelaan, anjuran untuk bergaul dengan
kaum non Muslim, larangan mencela sesembahan agama lain,
ajakan toleransi untuk meyakini agama masing-masing dengan
ridha, memiliki tujuan yang sangat mulia. Selain bertujuan untuk
menciptakan kehidupan yang damai juga merupakan upaya
melindungi setiap jiwa manusia dari tindakan intoleran yang
seringkali berujung pada tindakan kekerasan.
Adapun perbedaan dari penafsiran Imam al-Qurthubî dan
Wahbah az-Zuhaili adalah:
a. Menurut Wahbah az-Zuhaili term “bagimu agamamu dan bagiku
agamaku” yang terdapat dalam Surah Al-Kâfirûn ayat 6,
mempunyai makna “bagi kalian balasan agama kalian dan
bagiku balasan agamaku”. Adapun menurut Imam al-Qurthubî,
bermakna, “kamu akan mendapat ganjaran menurut agamamu,
dan aku juga akan mendapat ganjaran menurut agamaku”.
b. Menurut Imam al-Qurthubî ajakan kaum kafir Quraisy kepada
Nabi Muhammad saw. untuk bertukar keyakinan dengan mereka
selama beberapa beberapa waktu, mencakup pada satu jam
lamanya.
c. Menurut Imam al-Qurthubî mengenai ayat larangan memaksa
orang yang tidak beriman menjadi beriman, ditujukan kepada
Abu Thalib.
B. Saran-saran
Penulis menyadari begitu banyak kekurangan dalam penelitian ini.
Masih terbuka lebar adanya penelitian-peneelitian lain yang terkait
128
dengan tema toleransi ataupun kajian atas pemikiran Imam al-Qurthubî
dan Wahbah az-Zuhaili.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abu, Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits
Shahih Al-Bukhari 1, Jakarta: Penerbit Almahira, 2013.
Abdillah, Abi, Muhammad bin Ismail bin Ibahim bin Bardizbah Al-Ju’fi
Al-Bukhari, Shohih Al-Bukhari, Dar Al-Fikr: Mesir, 1422 H.
Abdullah, Abu, Muhammad bin Yazid Al-Qazwini Ibnu Majah,
Ensiklopedia Hadits Sunan Ibnu Majah, Jakarta: Penerbit
Almahira, 2013, Cet. 1.
Al-Bukhârî, Abȗ Abdullâh Muhammad Isma’îl, Ensiklopedia Hadits,
Shahih al-Bukhârî, terj. Masyhar dan Muhammad Suhadi, Jakarta:
Almahira, 2011.
_______, Shahih al-Bukhâr, Kairo: Dâr al-Hadits, 1425 H.
Baidan, Nashrudin. Metodologo Penafsiran Al-Qur`an, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000.
Daradjat, Zakiah, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta:
Gunung Agung, 1973.
Departemen agama RI, Penafsiran Al-Qur`an Tematik: Hubungan Antar-
Umat Beragama, Jakarta: Departemen Agama RI, 2008.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Al-Qattân, Mannâ’ Khalîl, Studi Ilmu-Ilmu Qur`an, terj. Mudzakir Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa, 2010.
Al-Qur’an dan Transliterasi Per Kata dan Terjemah Per Kata, (Bekasi:
Cipta Bagus Segara, 2016.
Al-Qur’an Hafalan dan Terjemahan. Jakarta: Penerbit Almahira, 2015.
Al-Qurthubi, Imam, Tafsir Al-Qurthubi, ter. Dudi Rosyadi, Faturrahman,
Fachrurazi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Asbandi. Konsep Toleransi Menurut Buya Hamka dalam Kitab Tafsir Al-
Azhar, Skripsi Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2017.
Az-Zuhailî, Wahbah, Ulama Karismatik Kontemporer – sebuah Biografi,
terj. Ardiansyah, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010
________________, al-Tafsîr al-Munîr fî al- „Aqîdah wa al-Sharî‟ah wa
al-Manhaj, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998
________________, Tafsir al-Munir, Aqidah, Syari‟ah dan Manhaj, terj.
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk., Jakarta: Gema Insani, 2015
Bakry, Muammar, Pengembangan Karakter Toleran Dalam
Problematika Ikhtilaf Mazhab Fikih, Al-Ulum, vol. 14 no. 1,
2014.
Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 1997.
Farid, Syaikh Ahmad, 60 Biografi Ulama Salaf, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2006.
Hakim, A. Husnul, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, Depok: Lingkar Studi
al-Qur`an (eLSiQ), 2013
Halim, Muhammad Abdul, Memahami Al-Qur`an: Pendekatan Gaya dan
Tema, Bandung: Penerbit Marja`, 2002.
Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, ter. Dudi Rosyadi, Faturrahman,
Fachrurazi, jilid 4, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, ter. Dudi Rosyadi, Faturrahman,
Fachrurazi, jilid 18, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.
Jamarudin, Ade, “Membangun Tasamuh Keberagamaan Dalam
Perspektif Al-Qur`an,” Skripsi (Riau: UIN Sultan Syarif Kasim
Riau), Tidak diterbitkan (t.d)
Makmunah, Nur Lu’lu’il, “Konsep Toleransi Beragama Dalam Al-Qu‟an
(Studi Komparatif atas Tafsir Al-Azhar dan Tafsir An-Nur),”
Skripsi (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2016), Tidak diterbitkan (t.d)
Masyhuri MP. dan Zinuddin MA., Metodologi Penelitian Pendekatan
Praktis dan Aplikatif, Bandung: PT Refika Aditama, 2011.
Misrawi, Zuhairi, Al-qur‟an Kitab Toleransi, Jakarta: Pustaka Oasis,
2010.
Muhtador, Moh. , “Teologi Persuasif: Sebuah Tafsir Relasi Umat
Beragama,” Skripsi (Yogyakarta: UIN sunan Kalijaga), Tidak
diterbitkan (t.d)
Nasrudin, Abdul Basri, “Pemahaman Intelektual Muslim Indonesia atas
Ayat-ayat Hubungan antar Umat Beragama,” Skripsi (Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017), Tidak diterbitkan (t.d)
Penulis, Tim, Al-Qur`an dan Kenegaraan (Tafsir Al-Qur`an Tematik),
Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2011.
Phoenix, Team Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka
Phoenix, 2007.
Rahmalia, “Toleransi Beragama Dalam Perspektif Tafsir Fi Dzilalil
Qur`an,” Skripsi (Lampung: UIN Lampung, 2017), Tidak
diterbitkan (t.d)
Ritajuddiroyah, Alifah, “Menemukan Toleransi Dalam Tafsir Fi Zilal al-
Qur`an; Sayyid Qutub,” Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga), Tidak diterbitkan (t.d)
Sabir, Muhammad, Wawasan Hadis Tentang Tasamuh (Toleransi)
Shidiq, Muh. Yasir, “Toleransi Antar Umat Beragama (Studi Tematik
Ayat-Ayat Toleransi dalam Al-Qur`an),” Skripsi (Ponorogo: IAIN
Ponorogo, 2017 ), Tidak diterbitkan (t.d)
Quraish M. Shihab, M. Quraish, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, Ciputat:
Penerbit Lentera Hati, 2016.
Quraish, M. Sihab, Wawasan al-Qur‟an Tafsir Tematik atas Pelbagai
Persoalan Umat, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007.
Quraish M Shihab. Tafsir Al-Misbah. Tangerang: PT Lentera Hati, 2016.
Sunaryo, Agus, “Fikih Tasamuh: Membangun Kembali Wajah Islam
yang Toleran”, Jurnal Akademika, vol. 18 no. 2, 2013Syarbini,
Amirullah, Al-Qur`an dan Kerukunan Hidup Umat Beragama,
Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2011.
Syibromalisi, Faizah Ali, dan Azizy, Jauhar, Membahas Kitab Tafsir
Klasik-Modern, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah.
Tahido Yanggo, Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, Ciputat:
Gaung Persada P ress, 2011.
Wahidah, Nur Robi, dkk, Fiqh Toleransi Dalam Perspektif Alqur‟an
Departemen Agama RI. Maghza, Vol. 1, No. 2.
http://aceh.tribunnews.com/2019/01/01/sindir-cara-wudhu-sandiaga-uno-
mahfud-md-air-di-gayung-itu-suci-tapi-tidak-mensucikan, diakses
tanggal 19 Mei 2019.
https://www.voaindonesia.com/a/perlu-gerakan-nasional-menangani-
kasus-intoleransi-dan-radikalisme/3695507.html, diakses tanggal
17 Juli 2019.
Riza, M. Fajhru, https://islami.co/mengkritisi-tuduhan-syiah-quraish-
shihab/, diakses tanggal 17 Juli 2019.
“Wikipedia” https://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian_kualitatif, diakses
tanggal 15 Agustus 2019
“Blogspot” http://ryan-febrianti.blogspot.com/2015/03/memahami-
metode-penelitian-kepustakaan.html, diakses tanggal 15 Agustus
2019
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Sita Sulastri lahir di Garut, 07 Mei 1995.
Pendidikan formalnya dimulai dari Sekolah Dasar
Negeri (SDN) Padasuka I dari kelas 1-2 SD.
Kemudaian melanjutkan pendidikan SD nya di SDN
Wirautama di bawah naungan Yayasan Pondok
Pesantren Kanak-Kanak Al-Qur`an Asy-Syifa
Cijantung II, Cikoneng Ciamis. Setelah lulus ia
melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Terpadu Ar-Risalah
Cijantung IV Ciamis, dengan pendidikan formal Sekolah Menengah Pertama
Terpadu (SMPT) selama tiga tahun dan lulus pada tahun 2010. Lalu ia
melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Al-Basyariah Bandung dan
lulus pada tahun 2014 serta aktif dalam Organisasi Pelajar Al-Basyariah
(OSPA) dengan bidang perpustakaan, dan aktif dalam kepengurusan
pesantren dalam bidang ta’lim. Setelah lulus dari Al-Basyariah, ia
melanjutkan studinya di Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta dan ia
mengambil Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin
dan Dakwah. Di sana ia aktif dalam kegiatan Madin (Madrasah
Takmiliyyah) yang diadakan di Pesantren Takhassus IIQ Jakarta selama dua
tahun.