152
AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM (Kajian Komparatif Kitab Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al- Qurthubî dan Kitab Tafsir al-Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj) Skripsi ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag) Oleh : Sita Sulastri NIM. 15210696 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA 1440 H/2019 M

AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

  • Upload
    others

  • View
    29

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

(Kajian Komparatif Kitab Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-

Qurthubî dan Kitab Tafsir al-Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa

al-Manhaj)

Skripsi ini Diajukan

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh :

Sita Sulastri

NIM. 15210696

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ)

JAKARTA

1440 H/2019 M

Page 2: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

(Kajian Komparatif Kitab Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-

Qurthubî dan Kitab Tafsir al-Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa

al-Manhaj)

Skripsi ini Diajukan

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh :

Sita Sulastri

NIM. 15210696

Pembimbing:

Ali Mursyid M. Ag

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ)

JAKARTA

1440 H/2019 M

Page 3: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM
Page 4: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM
Page 5: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM
Page 6: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

iv

MOTTO

Tahu banyak Tentang Sedikit,

Tahu Sedikit Tentang Banyak.

Page 7: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

v

PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini saya persembahkan kepada orang-orang yang saya

cintai:

Bapak Dadang Rukada dan Mamah Neneng, selaku orang tua yang selalu

memberikan hal terbaik kepada kepada saya.

Juga teruntuk adik-adikku, Asep Roka, Silvi Sri Habibah, dan Muhammad

Ikmalluddin.

Page 8: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

vi

بسم الله الرهحن الرهحيم KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah Swt. yang

telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis mampu

menyelesaikan skripsi dengan judul “Ayat-ayat Toleransi Pada Tafsir Kitab

Ahkâm (Kajian Komparatif Kitab Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-

Qurthubî dan Kitab Tafsir al-Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-

Manhaj”.

Shalawat dan salam semoga tercurah limpahkan kepada Baginda

Nabi Muhammad saw., para sahabat dan para pengikutnya. Yang telah

membawa zaman ini dari kegelapan menuju cahaya terang benderang, yang

telah membebaskan umatnya dari kebodohan.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari akan keterbatasan,

kemampuan, dan pengetahuan penulis. Skripsi ini tidak akan tersusun rapi

tanpa bantuan beberapa pihak yang senantiasa membantu penulis. Oleh

karena itu, penulis ucapkan beribu terimakasih kepada pihak yang telah

berkontribusi untuk memberikan bantuan berupa tenaga, pikiran dan

waktunya. Ucapan terimakasih tersebut penulis haturkan kepada:

1. Prof. Dr. Hj. Huazemah Tahido Yanggo, Rektor Institut Ilmu Al-

Qur‟an (IIQ) Jakarta.

2. Dr. Hj. Nadjematul Faizah, Wakil Rektor 1 dan Ketua Sidang

Munaqasyah.

3. Dr. H. M. Dawud Arif Khan, Wakil Rektor II.

4. Dr. Hj. Romlah Widayati, Wakil Rektor III, beserta seluruh jajaran

yang telah berjasa dalam kemajuan perguruan tinggi ini.

Page 9: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

vii

5. Bapak Dr. H. Muhammad Ulinnuha, Lc, MA, Dekan Fakultas

Ushuluddin dan Dakwah IIQ Jakarta

6. Bapak Ali Mursyid M. Ag, dosen pembimbing. Beliau selalu

meluangkan waktu, arahan, masukan dan tak pernah lelah

mendengarkan keluh kesah kami selama proses penyusunan skrispi

ini. Semoga senantiasa Allah SWT. membalas seluruh kebaikan

bapak dan semoga diberikan kemudahan, keberkahan dalam setiap

langkah bapak.

7. Ibu Istiqomah, S.Th.I, M.A dan Bapak Sofian Effendi, S.Th.I, M.A,

penguji siding Munaqasyah.

8. Bapak M. Haris Hakam, SH. MA dan Ka Mamlu„atun Nafisah,

S.Th.I, MA, selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Al-

Qur`an dan Tafsir (IAT) Institut Ilmu Al-Qur`an (IIQ) Jakarta yang

selalu menggiatkan semangat mahasiswa dalam menumbuhkan

kecintaan terhadap ilmu dan selalu berkenan memberikan saran demi

menjadi mahasiswa yang lebih baik.

9. Bapak Dr. K. H. Ahmad Fathoni Lc, MA yang tak lelah mengajarkan

Ilmu-Ilmu Al-Qur‟an kepada penulis tanpa mengenal lelah. Semangat

yang membara slalu engkau tularkan kapada kami. Semoga semua

kebaikan dan lelah bapak dibalas oleh Allah Swt. dengan sebaik-

baiknya balasan.

10. Seluruh Dosen-Dosen Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta yang telah

memberikan ilmu-ilmunya kepada penulis baik di dalam kelas

maupun di luar kelas. Semoga ilmu-ilmu yang telah diberikan dan

disampaikan kepada penulis, menjadi ilmu yang bermanfaat serta

mudah-mudahan Allah membalasnya dengan yang lebih. Semoga

Allah memberikan berkah dan kesehatan slalu kepada Bapak dan Ibu

dosen semuanya.

Page 10: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

viii

11. Seluruh Instruktut Tahfidz IIQ Jakarta, khususnya Ibu Hj. Mutmainah

MA, Ibu Hj. Istiqomah MA, Ibu Hj. Arbiyah, Ibu Hj. Atiqoh, Ka

Rifdah, S. Ag yang telah membimbing penulis dalam menghafal Al-

Qur‟an. Semoga pengorbanan waktu, pikiran,tenaganya dibalas oleh

Allah Swt. dengan yang lebih.

12. Seluruh staf-staf perpustakaan IIQ Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah,

Iman Jama‟, Pusat Studi Al-Qur‟an yang telah mengizinkan penulis

untuk mencari bahan-bahan atau referensi yang diperlukan dalam

penyusunan skripsi ini.

13. Direktris Pesanten Takhasus IIQ Jakarta yaitu mamah Ruwaedah MA

dan Bapak Rosyid Masykur MA yang slalu membimbing dan

memotivasi penulis selama di Pesantren IIQ Jakarta.

14. Bapak Endang dan mamah Neneng selaku orang tua penulis yang tak

lelah dalam mendidik, memberikan nasihat, menyayangi serta

memberikan yang terbaik bagi penulis. Tak terhitung dan tak

terhingga berapa banyak pengorbanan yang telah mereka lakukan

sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan studi di Institut

Ilmu Al-Qur‟an ini. Serta adik-adik penulis, Oka, Silvi, Ikmal serta

keluarga besar penulis yang telah memotivasi penulis dalam hidup

ini.

15. Para sahabat penulis yang telah banyak membantu dalam penulisan

skripsi ini, yang telah menyemangati dengan tulus serta bersedia

menampung keluh kesah penulis selama proses pengerjaan penulisan

skripsi ini serta teman-teman IIQ Jakarta angkatan 2015, teman-

teman fakultas Ushuluddin khususnya di kelas Ushuluddin B yang

telah bersama-sama berjuang dalam suka maupun duka, serta

terjalinnya pertemanan selama ini. Semoga kelak kita dikumpulkan di

Jannah-Nya Allah SWT..

Page 11: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

ix

16. Bang Akbar dan para anggota-anggota fotocopy IIQ Jakarta yang

telah membatu penulis dalam meng print, fotocopy dari mulai

makalah, proposal hingga skripsi ini. Semoga berkah.

17. Pembaca sekalian, semoga karya sederhana ini yang kurang dari

kesempurnaan ini bermanfaat dan menginspirasi semuanya.

18. Seluruh pihak yang terlibat dalam pencapaian proses penyelesaian

skripsi ini, semoga Allah membalas jasa dan perjuangan kalian.

Jakarta, 16 Agustus 2019

Sita Sulastri

Page 12: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

x

DAFTAR ISI

SAMPUL ....................................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................... iii

MOTTO ....................................................................................................iv

PERSEMBAHAN ...................................................................................... v

KATA PENGANTAR ..............................................................................vi

DAFTAR ISI ............................................................................................. x

TRANSLITERASI ARAB LATIN........................................................ xiii

ABSTRAK ..............................................................................................xvi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1

B. Permasalahan ............................................................................... 13

C. Tujan Penelitian ........................................................................... 14

D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 15

E. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 16

F. Metode Penelitian ........................................................................ 19

1. Jenis Penelitian ........................................................................ 19

2. Sumber Data ............................................................................ 20

3. Teknik Pengumpulan Data ...................................................... 20

4. Metode Analisis Data .............................................................. 21

G. Sistematika Penulisan .................................................................. 21

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP TOLERANSI

A. Definisi Toleransi......................................................................... 23

B. Prinsip-prinsip Toleransi dalam Islam ......................................... 29

C. Ayat-ayat Toleransi dalam Al-Qur`an ......................................... 32

Page 13: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

xi

BAB III BIOGRAFI MUFASSIR DAN PROFIL KITAB TAFSIR

AHKAM

A. Biografi Penulis dan Profil Kitab Tafsir al-Jâmi’ li Ahkâm Al-

Qur`an al-Qurthubî..................................................................... 49

1. Profil Penulis dan Karya-karyanya .......................................... 49

2. Profil Kitab Tafsir al-Jâmi‟ li Ahkâm Al-Qur`an al-Qurthubî 54

B. Biografi Penulis dan Profil Kitab Tafsir al-Munîr fî al-‘Aqîdah wa

asy-Syarî’ah wa al-Manhaj ........................................................ 58

1. Profil Penulis dan Karya-karyanya .......................................... 58

2. Profil Kitab Tafsir al-Munîr fî al-„Aqîdah wa asy-Syarî‟ah wa al-

Manhaj..................................................................................... 62

BAB IV PENAFSIRAN AL-IMAM AL-QURTHUBÎ DAN WAHBAH

AZ-ZUHAILI MENGENAI AYAT-AYAT TOLERANSI

A. Larangan Memaksa Orang Yang Tidak Beriman Menjadi

Beriman (QS. Yûnus [10]: 99)

1. Penafsiran Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Anshâri

al-Qurthubî ............................................................................. 77

2. Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili .............................................. 80

3. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran ...................... 84

B. Izin dari Allah Kepada Muslim Untuk Bergaul atau

Bersilaturahmi dengan non Muslim (QS. Al-Mumtahannah [60]:

8)

1. Penafsiran Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Anshâri

al-Qurthubî ............................................................................. 85

2. Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili .............................................. 91

3. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran ...................... 93

Page 14: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

xii

C. Larangan Muslim Bergaul dan Ber-muwâlah dengan non Muslim

yang Membahayakan Islam (QS. Al-Mumtahannah [60]: 9)

1. Penafsiran Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Anshâri

al-Qurthubî ............................................................................. 95

2. Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili .............................................. 98

3. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran ...................... 99

D. Larangan Memaki Sesembahan Kaum non Muslim (QS. Al-An’

âm [6]: 108)

1. Penafsiran Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Anshâri

al-Qurthubî ........................................................................... 101

2. Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili ............................................ 105

3. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran .................... 109

E. Bagimu Agamamu Bagiku Agamaku

1. Penafsiran Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Anshâri

al-Qurthubî ........................................................................... 110

2. Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili ............................................ 118

3. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran .................... 125

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................ 126

B. Saran-saran ................................................................................. 127

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Page 15: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

xiii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Skripsi ini ditulis dengan menggunakan pedoman transliterasi sebagaimana

diuraikan di bawah ini. Transliterasi ini ditulis dengan menggunakan

pedoman trnsliterasi huruf Arab ke huruf latin yang telah disusun oleh

Institut Ilmu Al-Qur‟an (IIQ) Jakarta tahun 2017.

1. Konsonan

th : ط a : أ

zh : ظ b : ب

„ : ع t : ت

gh : غ ts : ث

f : ف j : ج

q : ق h : ح

k : ك kh : خ

l : ل d : د

m : م dz : ذ

n : ن r : ر

w : و z : ز

h : ه s : س

` : ء sy : ش

Page 16: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

xiv

y : ي sh : ص

dh : ض

2. Vocal

Vocal Tunggal Vocal Panjang Vocal Rangkap

Fathah : a أ : â ي : ai

Kasrah : i ي : î و : au

Dhammah : u و : û

3. Kata Sandang

a. Kata sandang yang diikuti oleh alif lam (ال) qamariyah

ditransliterasikan sesuai dengan bunyinya. Contoh:

Al-Kahfi : ألكهف

b. Kata sandang yang diikuti oleh alif lam (ال) syamsyiah

ditranslitersikan sesuai dengan aturan yang digariskan depan dan

sesuai dengan bunyinya. Contoh:

An-Nisâ : النساء

c. Syaddah (Tasydîd) dalam sistem aksara Arab digunakan lambang

( ), sedangkan untuk alih aksara dilambangkan dengan huruf,

yaitu dengan cara menggandakan huruf yang bertanda tasydîd.

Aturan ini berlaku secara umum, baik tasydîd yang berada di

tengah kata, di akhir kata ataupun yang terletak setelah kata

sambung yang diikuti oleh huruf-huruf syamsyiyah.

Contoh:

Page 17: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

xv

Innalladzîna : إن الذين

d. Ta Marbuthah (ة)

Ta Marbuthah (ة) apabila berdiri sendiri, waqaf atau diikuti oleh

kata sifat (na‟at), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi

huruf “h”. Contoh:

Syafâ‟ah : شفاعة

Sedangkan Ta Marbuthah (ة) yang diikuti atau disambungkan (di-

washol) dengan kata benda (isim), maka dialih aksarakan menjadi

huruf “t”. Contoh:

Wa mau‟idzatul lilmuttaqîn : وموعظة للمتقين

e. Huruf Kapital

Sistem penulisan huruf Arab tidak mengenal huruf kapital,

akan tetapi apabila telah dialih aksarakan maka berlaku ketentuan

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), seperti

penulisan awal kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,

nama diri dan lain-lain. Ketentuan yang berlaku pada PUEBI

berlaku pula dalam alih aksara ini, seperti cetak miring (italic)

atau cetak tebal (bold) dan ketentuan lainnya.

Page 18: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

xvi

ABSTRAK

Penelitian ini ditulis oleh Sita Sulastri (15210696) dengan judul: Ayat-ayat

Toleransi Pada Tafsir Kitab Ahkâm (Kajian Komparatif Kitab Tafsir al-

Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî dan Kitab Tafsir al-Munîr fi al-

`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj)

Perbedaan merupakan toleransi yang tidak dapat dielakkan dalam

roda kehidupan manusia, dan dinilai sebagai suatu hal yang negatif.

Perbedaan yang disikapi secara emsional dan memeperlihatkan kebencian

terhadap perbedaan itu maka hasilnya akan terus menjadi negative dan akan

menghasilkan sikap intoleran yang akibatnya terjadi sebuah konflik. Namun,

jika perbedaan dipandang sebagai hal yang positif dan dinilai sebagai hal

yang lumrah dan wajar-wajar saja serta menghormatinya, maka pandangan

tentang perbedaan sebagai bentuk interaksi negatif itu akan berubah menjadi

positif dan akan melahirkan sikap toleran yang dampaknya terjadi sebuah

kedamaian dan keharmonisan dalam menyikapi perbedaan.. Motivasi penulis

mengangkat tema toleransi dalam penelitian skripsi ini adalah, banyaknya

kasus-kasus intoleran yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia

mengenai perbedaan mazhab fikih maupun antar pemeluk agama lainnya.

Yang mana, seringkali menyalahkan satu sama lain jika tidak sesuai dengan

mazhab yang diyakini masing-masing masyarakat.

Peneliti dalam hal ini akan melakukan penelitian secara kualitatif,

yaitu penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung

menggunakan analisis. Selain penelitian kualitatif, perlu diampaikan pula,

bahwa penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), yaitu

metode penelitian kepustakaan yang hanya berhubungan dengan referensi

dan buku saja dengan memanfaatkan sumber perpustakaan untuk

memperoleh data penelitian.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa penafsiran Imam al-Qurthubî

dan Wahbah az-Zuhaili menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan

toleransi hanya sebatas pada persoalan sosial (mu‟âmalah) semata. Sehingga

segala bentuk hubungan atau komunikasi yang melampaui permasalahan

mu‟âmalah adalah dilarang, terutama dalam persoalan teologi (akidah). Poin

utama nilai toleransi pada tafsir al-Qurthubî dan Wahbah az-Zuhaili ini

adalah umat Muslim dianjurkan untuk berhubungan baik dengan kaum non

Muslim selama tidak melanggar syari‟at Islam dan tidak ada penyerangan

dari kaum non Muslim tersebut.Persamaan dalam penafsiran Imam al-

Qurthubî dan Wahbah az-Zuhaili adalah keduanya sama-sama menilai

dengan adanya sikap toleransi antar umat beragama khususnya, dapat

menciptakan kehidupan yang damai.

Page 19: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perbedaan pendapat (ikhtilâf) menurut bahasa adalah perbedaan

paham (pendapat). Ikhtilâf berasal dari bahasa Arab yang asal katanya

adalah: khalafa, yakhlifu, khilâfan. Maknanya lebih umum daripada ad-

dhiddu, sebab, setiap hal yang berlawanan: ad-dhiddain, pasti akan saling

bertentangan (mukhtalifan). Manusia yang sedang berdebat (berbeda

pendapat) seringkali berkobar api amarah di dadanya. Mereka saling

berbantah dan debat kusir yang biasa disebut dengan perang mulut.1

Ikhtilâf menurut istilah adalah berlainan pendapat antara dua atau

beberapa orang terhadap suatu objek tertentu, baik berlainan itu dalam

bentuk “tidak sama” atau “bertentangan secara diametral”. Jadi yang

dimaksud ikhtilaf adalah tidak samanya atau bertentangannya penilaian

(ketentuan) hukum terhadap satu objek hukum.2

Perbedaan merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia.

Hal ini karena, manusia secara alami terlahir dalam keanekaragaman

bentuk, mulai dari jenisnya ada laki-laki dan perempuan, suku, bangsa,

bahasa dan budaya yang berbeda, hingga pada perbedaan karakter,

pemikiran, pengetahuan, dan ideologi keagamaan. Perbedaan pendapat

bersifat alamiah dan ilmiah. Alamiah karena secara fitri pandangan

manusia itu tidak sama. Ilmiah, karena teks-teks syariah (Al-Qur`an dan

sunnah) memberikan ruang gerak bagi kemungkinan untuk berbeda

pendapat.

Sebagaimana firman Allah SWT:

1 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Ciputat: Gaung

Persada Press, 2011) h. 53

2 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 54

Page 20: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

2

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang

laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -

bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah

orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha

mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujraat [49]:13)

Dalam ayat di atas disebutkan secara eksplisit, bahwa Tuhan

menciptakan manusia dalam jenis laki-laki dan dan perempuan, lalu

menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Keragaman

tersebut merupakan kehendak Tuhan yang sudah dicatat di singgasana-

Nya, bahwa setiap makhluk-Nya harus mampu membangun toleransi dan

saling pengertian diantara mereka.3

Perbedaan merupakan toleransi yang tidak dapat dielakkan dalam

roda kehidupan manusia, dan dinilai sebagai suatu hal yang negatif.

Perbedaan yang disikapi secara emsional dan memeperlihatkan kebencian

terhadap perbedaan itu maka hasilnya akan terus menjadi negative dan

akan menghasilkan sikap intoleran yang akibatnya terjadi sebuah konflik.

Namun, jika perbedaan dipandang sebagai hal yang positif dan dinilai

sebagai hal yang lumrah dan wajar-wajar saja serta menghormatinya,

maka pandangan tentang perbedaan sebagai bentuk interaksi negative itu

akan berubah menjadi positif dan akan melahirkan sikap toleran yang

dampaknya terjadi sebuah kedamaian dan keharmonisan dalam menyikapi

perbedaan. Dalam konteks inilah, upaya untuk mengembalikan fikih pada

3 Zuhairi Misrawi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi, (Jakarta: Pustaka Oasis, 2010), h.

272

Page 21: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

3

wataknya yang inklusif, toleran, dan beragam, menjadi agenda penting

untuk terus diupayakan.4

Bagi sebagian kalangan, keragaman merupakan ancaman. Namun

bagi sebagian yang lain, keragaman meruntuhkan faham monisme yang

melekat pada baju kesukuan, kebangsaan dan keagamaan. Bila ada pihak

lain yang berbeda dengan komunitasnya, biasanya hal tersebut dianggap

sebagai musuh yang harus dihadapi dengan tindakan kursif/miring.

Karenanya pada tataran horizontal harus diakui ada semacam ketakutan

yang bersifat massal dalam hidup mereka. Kebersamaan hanya sekedar

ucapan yang mudah diucapkan, tapi dalam prakteknya sulit didapatkan.

Sedangkan keangkuhan ketamakan merupakan fenomena yang melekat

pada setiap orang, setiap kelompok, dan setiap masyarakat. Disinilah

keragaman harus dilirik kembali sebagai sebuah keniscayaan. Sebab

keragaman bukanlah semata-mata kehendak alam, tetapi juga kehendak

Tuhan. Jikalau Tuhan menghendaki, niscaya umat manusia seragam, satu,

dan monolitik. Tapi, Tuhan berkehendak sebaliknya, yakni menciptakan

makhluk dengan bentuknya yang beragam. Karenanya, keragaman

mempunyai landasan teologis dan landasan etik yang amat kuat dan

kukuh.5

Tapi sekali lagi, sebagian pihak masih belum mau dan belum siap

menerima keragaman tersebut, termasuk didalamnya keragaman ideologi

dan teori pemikiran modern-kontemporer. Disinilah diperlukan sebuah

pemikiran alternatif untuk memberikan selayang pandang tentang

pentingnya keragaman serta pentingnya membangun komunikasi dan

4 Agus Sunaryo, “Fikih Tasamuh: Membangun Kembali Wajah Islam yang

Toleran” Jurnal Akademika, vol. 18 no. 2, tahun 2013. 5 Zuhairi Misrawi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi, (Jakarta: Pustaka Oasis, 2010), h.

271

Page 22: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

4

sinergi di antara keragaman tersebut. Sebab bila keragaman dianggap

sebagai barang haram/dilarang, maka akan melawan takdir Tuhan.6

Pada periode kemajuan ijtihad, sikap suportifitas para mujtahid

umumnya cukup tinggi. Mereka saling menghormati dan saling

menghargai ijtihad masing-masing. Para penganut mazhab yang ada ketika

itu juga relatif objektif. Tetapi sungguh disayangkan, keadaan seperti itu

hanya mampu bertahan selama pendiri mazhab masih hidup. Fase yang

sangat membanggakan tersebut lambat laun segera disusul dengan fase

kelemahan, gerak laju ijtihad sangat lambat, bahkan disebut tertutup

sehingga pada gilirannya fikih pun mengalami hal yang sama. Pada fase

ini tidak lahir lagi tokoh-tokoh mujtahid dengan orisinilitas dan ketajaman

pemikirannya. Karena itu, fase ini juga sering disebut dengan periode

jumud dan periode taklid.7

Pola keberagaman yang terbuka dan toleran pada dasarnya merupakan

salah satu karakter dari ajaran Islam yang bersifat universal. Hal ini

karena, wacana toleransi dan intoleransi telah menjadi wacana keislaman

khususnya di Indonesia sejak lama. Masyarakatnya yang heterogen

dengan banyak agama dan keyakinan mendorong perlunya kerukunan

antar agama. Begitupun dalam tubuh Islam, toleransi tidak hanya

dibutuhkan oleh antar agama, tetapi juga antar golongan keislaman yang

beragam mazhab. Istilah toleransi dalam bahasa Latin, disebut tolelare,

yang berarti menahan diri, membiarkan orang berpendapat, berhati lapang

terhadap pandangan orang lain. Sikap toleransi bukan berarti

6 Zuhairi Misrawi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi, h. 272 7Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Ciputat: Gaung

Persada Press, 2011) h. 54

Page 23: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

5

membenarkan pandangan atau aliran yang dibiarkan tersebut, akan tetapi

mengakui kebebasan serta hak asasi penganutnya.8

Yusuf Qaradhawi menyebutkan etika pendapat dan landasan

pemikiran dalam menyikapi perbedaan fikih di antaranya: “Seseorang

tidak mengingkari secara mutlak atau final terhadap masalah-masalah

ijtihâdiyah yang masih debatable, begitu pula tidak meyakini dan

mendukung secara mutlak. Hal ini sesuai dengan kaidah yang

mengatakan: „Ijtihad tidak bisa dibatalkan dengan ijtihad yang lain‟.

Selain itu, hendaknya seseorang fokus pada hal-hal yang muhkamât dan

jelas penafsirannya, dan menghindari perdebatan seputar hal yang

mutasyabihat (masih samar).9

Berangkat dari pernyataan di atas, maka Malik bin Anas sebagai

pendiri mazhab Malikiyyah dan termasuk salah satu ulama era klasik yang

mengusung semangat bertoleransi mengatakan bahwa, “Kebebasan

berpendapat dan perbedaan harus dihargai dan tidak boleh diberangus

dengan upaya penyeragaman melalui kebijakan penguasa”. Ucapan Imam

Malik ini berangkat dari inisiatif khalifah Harun Al-Rasyid untuk

menggantungkan kitab al-Muwattha‟ karya Imam Malik bin Anas diatas

Ka‟bah. Dengan tujuan semua orang mengikuti atau merujuk pada kitab

tersebut. Imam Malik pun menolak dan berkata, “Wahai pemimpin kaum

Muslimin, janganlah anda menggantungkan kitab itu di atas Ka‟bah, sebab

para sahabat Rasulullah saw pun telah berbeda pendapat”. Sikap Imam

Malik tersebut jelas menghindari pembenaran mutlak dari karyanya

sehingga menghilangkan rahmat perbedaan pendapat sebagai bentuk

8 Muammar Bakry, Pengembangan Karakter Toleran Dalam Problematika Ikhtlaf

Mazhab Fikih. Al-Ulum. Vol. 14 no. 1, h. 178 9 Muammar Bakry, Pengembangan Karakter Toleran Dalam Problematika Ikhtlaf

Mazhab Fikih, h. 179

Page 24: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

6

khazanah kekayaan umat Islam. Inilah salah satu bentuk olah pikir dalam

menerima sifat keterbukaan pemikiran terhadap ikhtilâf.10

Fikih meniscayakan keragaman dan tidak tabu terhadap perubahan

atau pembacaan ulang. Bahkan pengaruh setting sosial juga begitu kuat

mempengaruhi corak pemikiran fikih mazhab tertentu. Sebuah mazhab

bisa saja cocok dan bisa saja berkembang di daerah tertentu dan belum

tentu sesuai dan mampu bertahan di daerah lain. Sejarah menunjukan

bahwa Islam mencapai sebuah kejayaan dalam peradaban dan keilmuan.

Ini dibuktikan dengan perkembangan keilmuan yang sangat dahsyat pada

masa-masa tersebut. Salah satu keilmuan yang, mencapai puncaknya

adalah hukum Islam (fikih). Munculnya berbagai mazhab dalam bidang

fikih menjadi sebuah fenomena yang menunjukan begitu terbukanya

keilmuan Islam pada saat itu sehingga setiap pakar hokum Islam (fuqaha)

memiliki kemampuan dan hak untuk berbeda dengan pakar yang lain,

sekalipun guru mereka sendiri.11

Fikih pernah mengalami kondisi di mana sebagian ulama cenderung

mengurung (mempersempit) nya pada persoalan-persoalan ibadah vertikal

saja, tanpa menyinggung secara intensif persoalan bagaimana seharusnya

umat Islam bermuamalah di tengah-tengah pluralitas, termasuk di

dalamnya pluralitas keimanan. Jika ada ulama yang mencoba mengkaji

persoalan tersebut, maka perspektif yang diberikan lebih bersifat apriori

(belum mengetahui kedaan yang sebenarnya) dan diskriminatif.12

Ada banyak faktor yang menyebabkan fikih bercorak apriori dan

diskriminatif ketika bersinggungan dengan persoalan pluralitas

keberagamaan, antara lain: pertama, pada saat dimana fikih ditulis,

10

Muammar Bakry, Pengembangan Karakter Toleran Dalam Problematika Ikhtlaf

Mazhab Fikih, h. 179 11

Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, h. 57 12 Nur Robi Wahidah, dkk, Fiqh Toleransi Dalam Perspektif Alqur‟an Departemen

Agama RI. Maghza, Vol. 1, No. 2, h. 112

Page 25: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

7

kondisi hubungan antara umat Islam dan non muslim kurang begitu baik

(harmonis). Kedua, kondisi internal umat Islam pada saat itu (fikih ditulis)

juga tidak terlalu solid, sehingga para penguasa sering menjadikan fikih

sebagai senjata untuk mempertahankan status quo demi memikat hati

rakyatnya. Upaya ini dilakukan tidak hanya ketika pemerintah harus

menghadapi lawan-lawan politiknya secara internal (umat lslam),

melainkan juga ketika berhadapan dengan umat non muslim. Ketiga,

dalam doktrin ajaran Islam terdapat beberapa simbol dan sikap keagamaan

yang jika dipahami secara harfiyyah akan memberikan legitimasi terhadap

perilaku “keras" kepada pemeluk agama lain. Agar fikih tidak kehilangan

perannya sebagai doktrin yang shâlih Ii kulli zamân wa al-makân, maka

upaya pembacaan ulang (rethingking) terhadap doktrin-doktrin terdahulu

menjadi hal yang niscaya dilakukan, khususnya doktrin-doktrin yang

dipandang tidak toleran terhadap agama lain dan tidak lagi relevan dengan

semangat kekinian.13

Upaya pembacaan ulang terhadap fikih sangat mungkin dilakukan

jika fikih diletakkan sebagai produk budaya yang hadir dalam masa

tertentu dan untuk komunitas tertentu pula. Dalam hal ini, penting untuk

memilah sisi mana dari ajaran agama yang bersifat universal, dan sisi

mana lagi yang bersifat temporal.

Dalam banyak hal, fikih lebih bersifat temporal dan eksistensinya

cenderung mengikuti dinamika sosial. Sebagai sebuah produk pem ikiran.

kehadiran fikih merupakan refleksi dari seorang fakih (ahli fikih) terhadap

keadaan sosial yang melingkupinya. Sedemikian besar pengaruh setting

sosial terhadap pemikiran seorang fakih, sehingga tidak jarang dikatakan

bahwa pendapatnya atau bahkan kebijakan lain yang lahir dari suatu

13 Nur Robi Wahidah, dkk, Fiqh Toleransi Dalam Perspektif Alqur‟an Departemen

Agama RI. Maghza, Vol. 1, No. 2, h. 113

Page 26: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

8

otoritas politik adalah produk dari sebuah periode sejarah. Tidak dapat

dipungkiri bahwa fikih memiliki keistimewaan tersendiri jika

dibandingkan dengan sistem hukum lain, yaitu adanya dimensi samawi

dalam proses penetapannya.14

Namun demikian, Fikih juga mengandung unsur ardhi yang tidak bisa

begitu saja diabaikan. Pembacaan ulang terhadap fikih idealnya tidak

menomorduakan salah satu dari dua unsur ini. Membaca dan

menempatkan fikih pada dimensi samawi (sakral) saja, menurut Sahal

Mahfuz, adalah tindakan tidak bijak yang secara tidak langsung telah

mengingkari sejarah dan keluwesan fikih itu sendiri.

Motivasi penulis mengangkat tema toleransi dalam penelitian skripsi

ini adalah, banyaknya kasus-kasus intoleran yang terjadi di kalangan

masyarakat Indonesia mengenai perbedaan mazhab fikih khususnya. Yang

mana, seringkali menyalahkan satu sama lain jika tidak sesuai dengan

mazhab yang diyakini masing-masing masyarakat. Salah satu kasus

sebagai berikut :

1. Baru-baru ini netizen diramaikan dengan sebuah video yang menyoroti

cara wudhu calon wakil presiden nomor urut 02, Sandiaga Uno,

dengan cara menggunakan gayung berwarna kuning untuk mengambil

air di bak yang sepertinya di dalam kamar mandi tersebut tidak ada

keran yang bisa digunakan untuk wudhu. Kemudian mencelupkan

tangannya berulang kali ke gayung tersebut, hal inilah yang menjadi

perdebatan netizen yang mayoritas menyalahkan cara wudhu Sandiaga

Uno. Menurut netizen, sebaiknya air dalam gayung tersebut

dikucurkan layaknya keran. Sebab, air yang sudah tercampur tangan

itu sudah tidak bisa mensucikan. Namun, beberapa lainnya cara wudhu

14

Nur Robi Wahidah, dkk, Fiqh Toleransi Dalam Perspektif Alqur‟an Departemen

Agama RI. Maghza, Vol. 1, No. 2, h. 113

Page 27: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

9

Sandiaga Uno itu tetap sah, karena dalam kondisi tertentu dibolehkan

wudhu seperti itu, apalagi tidak ada keran. Bahkan ada yang

menyamakan dengan zaman Rasulullah saw, dimana air tidak

berlimpah seperti di Indonesia saat ini. Video tersebut dikomentari

oleh Mahfud MD yang menjelaskan tatacara wudhu yang benar.

Menurutnya, secara fikih yang dianut Aswaja, pada umumnya wudhu

tidak memakai air mustakmal. Ia juga menjelaskan yang diusapi adalah

seluruh wajah. Bukan hanya pipi, hidung, mata, dagu, kemudian juga

dari telapak tangan sampai siku. Namun, ia meminta pernyataannya itu

tidak dipolitisir menjelang Pilpres 2019 ini. Setelah itu, Mahfud MD

juga menjelaskan bahwa air gayung yang dipakai oleh Sandiaga Uno

itu suci, tapi tidak bisa mensucikan karena sudah ia sentuh berulang

kali. Namun, menurutnya itu merupakan fikih yang diajarkan di

pesantren-pesantren. Ia pun meminta agar cara wudhu Sandiaga Uno

tidak perlu diributkan karena fikih merupakan hasil ijtihad jumhur

fuqaha.15

2. Peristiwa penyerangan warga Syiah di Sampang yang berujung pada

pengusiran pada 2012 lalu, masih dirasakan oleh warga Syiah

Sampang yang kini menjadi pengungsi di rumah susun, Jemundo,

Sidoarjo. Menurut pemimpin komunitas warga Syiah Sampang, Tajul

Muluk, berlarutnya konflik di Sampang sebenarnya tidak perlu terjadi

bila pemerintah daerah memiliki ketegasan dalam menyelesaikan

konflik. Pembiaran masalah intoleransi dan radikalisme, kata Tajul

Muluk, akan dapat ditiru oleh kelompok intoleran lain di berbagai

tempat.

15

http://aceh.tribunnews.com/2019/01/01/sindir-cara-wudhu-sandiaga-uno-mahfud-

md-air-di-gayung-itu-suci-tapi-tidak-mensucikan, diakses tanggal 19 Mei 2019

Page 28: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

10

Tajul Muluk, Pemimpin Syiah Sampang, Pengungsi di Rusun

Jemundo, Sidoarjo: “Berharap pemerintah ini segera menyelesaikan

masalah ini, karena masalah (Syiah) Sampang ini kalau dibiarkan

akan merembet ke mana-mana. Kelompok intoleran ini jangan dikasih

angin istilahnya. Kelompok intoleran ini adalah penyakit yang

menular. Pemerintah juga yang memberi angin. Saya sudah ingatkan

kejadian Sampang ini jangan dianggap remeh, kalau dianggap remeh

sampeyan (kita) bisa buktikan nanti. Indonesia ini lama-lama akan

seperti Pakistan, akan semakin banyak kelompok intoleran, akan

ditiru ini cara-cara yang dilakukan di Sampang.”16

3. Ada kebiasaan buruk yang dilakukan oleh beberapa kelompok Islam

dalam menyikapi perbedaan pemahaman antar golongan Islam.

Kelompok ini oleh banyak kalangan dijuluki sebagai kelompok takfiri.

Julukan ini muncul karena dari kebiasaan mereka yang sering

mengkafir-kafirkan dan menyesat-sesatkan kelompok lain.

Mereka menuduh golongan Islam dengan pemahaman yang

berbeda dengan tuduhan sesat dan bukan bagian dari Islam.

Kelompok Islam yang sering menjadi sasaran tuduhan-tuduhan

mereka adalah kelompok muslim minoritas. Diantara mereka adalah

Syi‟ah dan Ahmadiyah. Bahkan, tak jarang tuduhan-tuduhan tersebut

berujung kepada tindak kekerasan dan bahkan pembunuhan.

Bahkan, tak tanggung-tanggung, mereka juga menuduh

ayahanda jurnalis dan host cerdas Najwa Shihab, Prof. Dr. M. Quraish

Shihab, M.A sebagai Syi‟ah. Tentunya tuduhan tersebut sangatlah

16https://www.voaindonesia.com/a/perlu-gerakan-nasional-menangani-kasus-

intoleransi-dan-radikalisme/3695507.html, diakses tanggal 17 Juli 2019

Page 29: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

11

sembarangan dan keliru. Mereka menuduhkan bahwa kitab tafsir Al-

Misbah yang sejumlah 17 jilid itu adalah bukti bahwa Prof. Quraish

adalah Syi‟ah. Mereka menuduh bahwa kitab tersebut dipengaruhi

oleh kitab tafsir Al-Mizan (21 jilid) karya ulama Syi‟ah. Hal itu

kemudian sudah diklarifikasi sekaligus dijernihkan oleh Prof.

Nadirsyah Hosen. Prof. Nadir menjelaskan bahwa, kitab tafsir karya

Prof. Quraish dipengaruhi oleh banyak kitab tafsir lainnya. Dan justru

malah ada banyak hal dalam tafsir tersebut yang berbeda pandangan

dengan kitab tafsir Al-Mizan –kitab tafsir yang mereka tuduhkan

sebagai kitab tafsir Syi‟ah.

Perilaku tuduh-menuduh sesat maupun kafir oleh beberapa

kelompok tersebut sangatlah berbahaya. Bisa diambil contoh kasus

yang dialamatkan kepada Prof. Quraish seperti di atas. Mereka secara

sembarangan dalam menilai pihak tertentu dengan label sesat.

Padahal, seperti yang kita ketahui semua, bahwa kitab tafsir Al-

Misbah karya Prof. Quraish adalah karya akademis seseorang ulama

besar lulusan doktoral Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Artinya,

karya tersebut bukanlah karya biasa yang remeh. Tentunya, kitab

tersebut dapat lahir karena kapasitas ilmu seseorang akademisi yang

tak main-main.

Akan tetapi, sebuah karya akademis seperti kitab tafsir Al-

Misbah-nya Prof. Quraish dituduh oleh pihak tertentu yang barangkali

kapasitas akademik tidak pernah mengenyam bangku akademik

secara teratur sebagaimana Prof. Quraish tersebut. Barangkali mereka

yang menuduh Prof. Quraish secara sembarangan tersebut adalah

seorang muslim yang baru belajar tentang Islam dari media sosial

ataupun kajian keislaman yang singkat.

Page 30: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

12

Kita semua sangat menyayangkan, kenapa beberapa kelompok

ini sangat mudah menuduh kelompok yang berbeda dengan mereka

sebagai sesat maupun kafir. Kenapa ketika mereka memiliki

pandangan keislaman yang berbeda dengan kelompok mereka tidak

memperdebatkan perbedaan pemahaman tersebut secara bermartabat

dan berwibawa. Kenapa ketika mereka menuduh karya Prof. Quraish

tidak menandinginya dengan melahirkan karya kitab tafsir baru

ataupun menuliskan kritik mereka secara akademis.

Daripada bersusah payah untuk belajar kajian Islam secara

mendalam dan melalui prosedur akademis, mereka lebih suka

melabeli secara sembarangan orang lain dengan tuduhan sesat

maupun kafir. Dan tak jarang, aktivitas mereka tersebut berujung

kepada tindakan-tindakan kekerasan kepada pihak yang mereka tuduh

sebagai kelompok Islam yang sesat. Dengan demikian, pada dasarnya

perilaku mereka tak lain adalah keangkuhan dalam beragama yang

merasa paling benar sendiri. Padahal, sebagaimana diungkapkan oleh

Prof. Quraish Shihab bahwa kita (Islam) itu semuanya bersaudara.

Dan untuk penutup, sebagaimana dikatakan Prof. Quraish di atas

bahwa “surga terlalu luas sehingga tidak perlu memonopolinya hanya

untuk diri sendiri”. Wallahu a‟lam.17

Kemudian motivasi penulis menggunakan tafsir ahkâm sebagai

penjelasan tafsir pada skripsi ini adalah, semua perbedaan yang ada

hanyalah ada pada hukum fikih. Seringkali sikap saling menyalahkan

dalam hukum fikih didasari dengan pengetahuan yang minim mengenai

mazhab fikih yang lainnya. Oleh karena itu, dengan diangkatnya tafsir

17 M. Fajhru Riza, https://islami.co/mengkritisi-tuduhan-syiah-quraish-shihab/,

diakses tanggal 17 Juli 2019.

Page 31: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

13

ahkâm pada skripsi ini bisa bermanfaat bagi yang membacanya,

khususnya mengenai perbedaan hukum fikih mengenai toleransi.

Dari paparan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji tema toleransi

dalam kitab tafsir ahkâm. Yang mana dalam pembahasan ini akan ada

kaitannya dengan ayat-ayat toleransi pada tafsir ahkâm. Hal ini pasti akan

menimbulkan adanya perbedaan pendapat, khususnya dalam Kitab Tafsir

al-Ahkâm Al-Qurân li Asy-Syafi‟I, Kitab Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-

Qurân al-Qurthubî dan Kitab Tafsir al-Munîr fi al-`Aqîdah wa al-

Syarî`ah wa al-Manhaj yang akan menjadi proyek penelitian penulis.

B. Permasalahan

Melihat pemaparan diatas, munculah beberapa masalah yang perlu

dibahas. Di antara bahasan-bahasan yang dapat diidentifikasi oleh penulis

adalah:

1. Identifikasi Masalah

a. Faktor apa yang menyebabkan muncul dan berkembangnya sikap-

sikap yang tidak toleran dalam kehidupan masyarakat?

b. Bagaimana bentuk sikap tidak toleran yang sering terlihat pada masa

sekarang ini?

c. Bagaimana konstribusi Islam dalam menjunjung tinggi perbedaan

dan menganjurkan sikap toleransi atas perbedaan?

d. Bagaimana toleransi diartikan dan dipahami pada ayat-ayat yang

terkait dengan toleransi pada kitab tafsir ahkâm?

2. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dengan banyaknya permasalahan yang ada dan untuk menghindari

penulisan masalah yang melebar kepada materi-materi yang tidak

berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini, maka

pembatasan dan perumusan masalah perlu disampaikan. Permasalahan

dalam penelitian ini adalah masalah penafsiran ayat-ayat al-Qur`an yang

Page 32: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

14

terkait dengan toleransi pada tafsir ahkâm, yaitu pada kitab tafsir al-Jâmi`

li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî dan kitab tafsir al-Munîr fi al-

`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj. Dalam melakukan penelitian ini,

penulis membatasi ayat-ayat toleransi sebagai berikut:

a. QS. Yûnus [10]: 99

b. Al-Mumtahanah [60]: 8

c. QS. Al-Mumtahannah [60]: 9

d. QS. Al-Kâfirûn [109]: 6

e. QS. Al-An‟am [6]: 108

Alasan memilih ayat-ayat toleransi yang penulis teliti tersebut

dikarenakan sangat menggambarkan nilai-nilai toleransi pada kehidupan

kaum muslim dan non muslim yang berdampingan.

Sebagaimana uraian diatas, penulis akan menyusun suatu rumusan

pokok masalah agar pembahasan dalam skripsi ini menjadi lebih jelas dan

terarah. Rumusan permasalahnnya dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana penafsiran ayat-ayat toleransi dalam Kitab Tafsir al-Jâmi` li

al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî dan Kitab Tafsir al-Munîr fi al-

`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj?

b. Bagaimana perbedaan dan persamaan penafsiran ayat-ayat toleransi

dalam Kitab Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî dan

Kitab Tafsir al-Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj?

C. Tujuan Penelitian

Sebelum adanya penelitian, tentu saja ada tujuan yang mendasari

penelitian tersebut. Dengan demikian, berdasarkan rumusan masalah

diatas, berikut merupakan tujuan dari ditulisnya penelitian ini:

1. Menganalisa dan membandingkan penafsiran Al-Qurthubi dan Wahbah

Az-Zuhaili mengenai ayat-ayat toleransi.

Page 33: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

15

2. Menganalisa perbedaan dan persamaan penafsiran ayat-ayat toleransi

dalam Kitab Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî dan

Kitab Tafsir al-Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara akademik

a. Untuk menambah wawasan penulis dalam pengembangan keilmuan

tafsir terkait dengan perbedaan paham mazhab fikih dikalangan

umat Islam.

b. Memberikan motivasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan

khususnya dalam sikap toleransi ditengah-tengah perbedaan paham

mazhab fikih.

2. Secara praktis

a. Memberikan solusi terhadap persoalan yang menjadi fenomena

sosial terkait toleransi dalam perbedaan paham mazhab fikih.

b. Memberikan informasi kepada masyarakat terkait pentingnya

toleransi dalam perbedaan paham mazhab fikih.

E. Tinjauan Pustaka

Menurut pengamatan penulis, penelitian toleransi paham mazhab fikih

maupun toleransi antar pemeluk agama dalam tafsir yang menjadi objek

kajian penelitian ini bukanlah sesuatu yang baru dalam dunia akademik.

Mengingat bermunculannya masalah-masalah baru di penjuru dunia yang

berkaitan dengan toleransi paham mazhab fikih sangatlah beragam yang

mana selalu berkaitan dengan fanatisme mazhab, sehingga acapkali

ditemukan sikap saling menyalahkan antar pengikut paham mazhab. Hal

ini akan tentu saja akan memecah belah persatuan kaum Muslim. Masalah

dalam toleransi paham mazhab fikih pun seringkali disandarkam pada

Page 34: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

16

masalah politik baik pada era klasik hingga pada masa modern ini. Juga

banyaknya pendapat-pendapat pengemuka yang berijtihad, tentunya

penyelesaian masalah tidak akan diambil dari satu pendapat saja. Namun,

karya yang memfokuskan tema toleransi mazhab fikih dalam tafsir belum

banyak dilahirkan, apalagi mengenai toleransi mazhab dalam Kitab Tafsir

al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî dan Kitab Tafsir al-Munîr fi

al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj, seperti penelitian penulis.

Di antara karya-karya tulis terkait dengan penelitian penulis adalah:

1. Skripsi karya Nur Lu‟lu‟il Makmunah mahasiwi Fakultas Ushuluddin

dan Pemikiran Islam, prodi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, Universitas

Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2016, yang berjudul

“Konsep Toleransi Beragama Dalam Al-Qu‟an (Studi Komparatif atas

Tafsir Al-Azhar dan Tafsir An-Nur)”. Dalam skripsi tersebut, penulis

skripsi ini menganalisa ayat-ayat toleransi menurut tafsir Al-Azhar dan

tafsir An-Nur.18

2. Skripsi karya Asbandi mahasiwa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran

Islam, prodi Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, Universitas Islam Negeri

Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2017, yang berjudul “Konsep

Toleransi Menurut Buya Hamka dalam Kitab Tafsir Al-Azhar”.19

3. Skripsi yang berjudul “Toleransi Antar Umat Beragama (Studi Tematik

Ayat-Ayat Toleransi dalam Al-Qur`an)” karya Muh. Yasir Shidiq,

mahsiswa IAIN Ponorogo tahun 2017.20

18

Nur Lu‟lu‟il Makmunah, “Konsep Toleransi Beragama Dalam Al-Qu‟an (Studi

Komparatif atas Tafsir Al-Azhar dan Tafsir An-Nur),” Skripsi (Yogyakarta: Universitas

Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2016), Tidak diterbitkan (t.d) 19 Asbandi, “Konsep Toleransi Menurut Buya Hamka dalam Kitab Tafsir Al-Azhar,”

Skripsi (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2017), Tidak

diterbitkan (t.d) 20

Muh. Yasir Shidiq, “Toleransi Antar Umat Beragama (Studi Tematik Ayat-Ayat

Toleransi dalam Al-Qur`an),” Skripsi (Ponorogo: IAIN Ponorogo, 2017 ), Tidak diterbitkan

(t.d)

Page 35: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

17

4. Skripsi karya Alifah Ritajuddiroyah, mahasiswi pascasarja UIN Sunan

Kalijaga yang berjudul “Menemukan Toleransi Dalam Tafsir Fi Zilal

al-Qur`an; Sayyid Qutub”.21

5. Skripsi karya Ade Jamarudin, mahasiswa UIN Sultan Syarif Kasim

Riau, yang berjudul “Membangun Tasamuh Keberagamaan Dalam

Perspektif Al-Qur`an”. Penjelasan dalam skripsi ini banyak

menggunakan riwayat hadis.22

6. Skripsi karya Moh. Muhtador yang berjudul “Teologi Persuasif:

Sebuah Tafsir Relasi Umat Beragama”, mahasiswa UIN Sunan

Kalijaga. Penafsiran dalam skripsi ini focus pada ayat-ayat Makiyyah

saja.23

7. Skripsi yang berjudul “Pemahaman Intelektual Muslim Indonesia atas

Ayat-ayat Hubungan antar Umat Beragama”, karya Abdul Basri

Nasrudin, mahasiswa UIN syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017.24

8. Skripsi karya Rahmalia yang berjudul “Toleransi Beragama Dalam

Perspektif Tafsir Fi Dzilalil Qur`an”, mahasiswi UIN Lampung tahun

2017.25

9. Penulis juga meninjau dari majalah Al-Ulum karya Muammar Bakry

yang berjudul, “Pengembangan Karakter Toleran Dalam Problematika

Ikhtilaf Mazhab Fikih”. Beliau memaparkan problematika Ikhtilaf

21

Alifah Ritajuddiroyah, “Menemukan Toleransi Dalam Tafsir Fi Zilal al-Qur`an;

Sayyid Qutub,” Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga), Tidak diterbitkan (t.d) 22

Ade Jamarudin, “Membangun Tasamuh Keberagamaan Dalam Perspektif Al-

Qur`an,” Skripsi (Riau: UIN Sultan Syarif Kasim Riau), Tidak diterbitkan (t.d) 23 Moh. Muhtador , “Teologi Persuasif: Sebuah Tafsir Relasi Umat Beragama,”

Skripsi (Yogyakarta: UIN sunan Kalijaga), Tidak diterbitkan (t.d) 24

Abdul Basri Nasrudin, “Pemahaman Intelektual Muslim Indonesia atas Ayat-ayat

Hubungan antar Umat Beragama,” Skripsi (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017),

Tidak diterbitkan (t.d) 25 Rahmalia, “Toleransi BEragama Dalam Perspektif Tafsir Fi Dzilalil Qur`an,”

Skripsi (Lampung: UIN Lampung, 2017), Tidak diterbitkan (t.d)

Page 36: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

18

dalam bermazhab dan pengembangan karakter toleran dalam menjawab

problematika ikhtilaf.26

10. Dalam jurnal yang berjudul “Fiqh Toleransi Dalam Perspektif Al-

Qur‟an Departemen Agama RI” karya Nur Robi Wahidah, Nasoikhatul

Mufida, Anita Roja dan M. Khairul Hadi al-Asy‟ari, menafsirkan ayat-

ayat toleransi secara tematik berdasarkan penafsiran Depag, dengan

harapan mampu membangun fiqh yang lebih toleran serta memiliki

kekuatan hokum karena diambil dari penafsiran ayat-ayat toleransi

yang dibuat oleh Depag.27

11. Kemudian meninjau dari artikel karya Agus Sunaryo yang berjudul,

“Fikih Tasamuh: Membangun Kembali Wajah Islam yang Toleran”.28

12. Zuhairi Misrawi dalam buk unya “Al-Qur‟an Kitab Toleransi” sangat

mengedepankan sikap toleransi yang sangat berperan penting dalam

kehidupan umat Muslim. Dalam bukunya dipaparkan ayat-ayat

toleransi yang secara eksplisit mengisahkan pentingnya toleransi,

kerukunan, dan perdamaian. Ayat-ayat yang bernuansa intoleran

sejatinya merujuk pada ayat-ayat toleransi, bukan sebaliknya. Buku ini

memperkuat pandangan Muslim moderat, bahwa Islam adalah agama

rahmatan lil „alamin. Dilengkapi dengan metodologi tafsir, paradigma

toleransi, ayat-ayat toleransi, dan tafsir ayat-ayat intoleransi.29

13. Huzaemah Tahido Yanggo dalam bukunya “Pengantar Perbandingan

Mazhab” memaparkan tentang berbagai macam mazhab yang ada serta

26 Muammar Bakry, Pengembangan Karakter Toleran Dalam Problematika Ikhtlaf

Mazhab Fikih. Al-Ulum. Vol. 14 no. 1 27 Nur Robi Wahidah, dkk, Fiqh Toleransi Dalam Perspektif Alqur‟an Departemen

Agama RI. Maghza, Vol. 1, No. 2 28

Agus sunaryo, “Fikih Tasamuh: Membangun Kembali Wajah Islam yang

Toleran” Jurnal Akademika, vol. 18 no. 2 29

Zuhairi Misrawi, Al-Qur‟an Kitab Toleransi, (Jakarta: Pustaka Oasis, 2010)

Page 37: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

19

perbedaan-perbedaan yang mendasari adanya perselisihan antar sesama

umat Muslim.30

Sejauh ini, penulis baru menemukan beberapa karya skripsi yang

berkaitan dengan judul toleransi berdasarkan penfsiran mufassir tertentu.

Berdasarkan penelitia-penelitian terdahulu tersebut, penulis tertarik untuk

meneliti skripsi dengan tema: Ayat-Ayat Toleransi pada Tafsir Ahkam

(Kajian Komparatif Kitab Tafsir al-Ahkâm Al-Qurân li Asy-Syafi‟I, Kitab

Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî dan Kitab Tafsir al-

Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj).

F. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Untuk membahas masalah yang dirumuskan dalam rumusan

masalah penelitian ini, peneliti dalam hal ini akan melakukan penelitian

secara kualitatif, yaitu penelitian tentang riset yang

bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis.31

Selain penelitian kualitatif, perlu diampaikan pula, bahwa penelitian

ini adalah penelitian pustaka (library research), yaitu metode penelitian

kepustakaan yang hanya berhubungan dengan referensi dan buku saja

dengan memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data

penelitian. Riset pustaka membatasi kegiatannya hanya pada bahan-

bahan koleksi perpustakaan saja tanpa memerlukan riset lapangan.32

30 Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Ciputat: Gaung

Persada Press, 2011) 31 “Wikipedia” https://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian_kualitatif, diakses tanggal

15 Agustus 2019 32 “Blogspot” http://ryan-febrianti.blogspot.com/2015/03/memahami-metode-

penelitian-kepustakaan.html, diakses tanggal 15 Agustus 2019

Page 38: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

20

2. Sumber data

Tehnik penulisan yang digunakan adalah library research, maka

dibutuhkan pengumpulan data secara literatur, yaitu penggalian bahan

pustaka yang sesuai dan berhubungan dengan objek pembahasan. Oleh

karena itu sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian:

a. Data Primer, bersumber dari kitab pokok kajian penelitian ini, yakni

Kitab Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî karya Imam

al-Quurthubî dan Kitab Tafsir al-Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah

wa al-Manhaj karya Wahbah Az-Zuhaili.

b. Data Sekunder, bersumber dari kitab-kitab lainnya yang mendukung

seperti tafsir Al-Qur‟an, artikel, jurnal, tulisan ilmiah, dan lain

sebagainya yang dapat melengkapi data-data primer di atas.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan metode yang digunakan yaitu Library

Research, maka teknik pengumpulan data yang dipakai adalah teknik

dokumentatif yakni dengan mengumpulkan data dari hasil membaca,

menelaah buku dan literature yang berhubungan dengan judul skripsi

4. Metode Analisis Data

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode

deskriptif analisis dan komparatif yaitu pertama, dilakukan proses

pengumpulan data mengenai topik pembahasan yaitu berkenaan

dengan ayat-ayat yang menyinggung toleransi paham mazhab dalam

tafsir Al-Qur‟an. Kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut.

Setelah penulis mengetahui data yang tersedia dari berbagai sumber

yaitu primer dan sekunder, maka langkah berikutnya adalah

melakukan reduksi data dan selanjutnya dilakukan penyajian, penulis

menelaah ayat-ayat yang menyinggung toleransi paham mazhab

Page 39: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

21

dalam tafsir Al-Qur‟an dengan melakukan penelusuran melalui

hadits-hadits jika ada, serta pendapat-pendapat para mufassir sebagai

sumber pendukung.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan tersusun dari beberapa bab. Sistematika penulisan

antar bab dalam penelitian ini sebagai berikut:

Bab pertama, berisi pendahuluan yang menguraikan tentang

problematika dan signifikasi penelitian. Pendahuluan meliputi latar

belakang masalah diangkatnya tema penelitian ini, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat yang akan diperoleh dalam

penelitian ini. Metode penelitian yang meliputi metode pengumpulan data,

metode pembahasan dan teknis penulisan. Serta memaparkan sistematika

dalam penulisan ini.

Bab Kedua, selain membahas tentang devenisi toleransi, dalam bab

ini juga membahas tentang prinsip-prinsip toleransi dalam Islam,

pandangan ulama mengenai toleransi serta memaparkan ayat-ayat yang

yang berkaitan dengan toleransi.

Bab ketiga, berisi tentang biografi mufassir dan profil kitab tafsir al-

Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî karya imam al-Qurthubî dan

kitab tafsir al-Munîr fî al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj karya

Wahbah az-Zuhaili.

Bab keempat, berisi penafsiran ayat-ayat toleransi dalam kitab tafsir

al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî karya imam al-Qurthubî dan

kitab tafsir al-Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj karya

Wahbah az-Zuhaili. Kemudian memaparkan persamaan dan perbedaan

pendapat dan analisa tafsir dari kedua kitab tafsir tersebut.

Bab Kelima, merupakan bab penutup, yang berisi kesimpulan dan

saran-saran. Ini adalah langkah akhir penulis dalam melakukan penelitian,

Page 40: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

22

dimana dalam bab ini penulis berharap mampu memberikan kontribusi

yang berarti berupa kesimpulan terhadap penelitian serta saran-saran yang

memberikan dorongan dan inspirasi bagi peneliti berikutnya.

Page 41: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

23

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KONSEP TOLERANSI

A. Definisi Toleransi

Dalam KBBI toleransi merupakan kelapangan dada dalam arti suka

rurun dan damai kepada siapa pun, membiarkan orang berpendapat atau

berpendirian lain tak mengganggu kebebasan berpikir dan berkeyakinan

lain; saling menghormati.1 Makna leksikal kata toleransi adalah “bersabar,

menahan diri, membiarkan. Dalam Encyclopedia Americana disebutkan:

Namun toleransi memiliki makna yang sangat terbatas. Ia berkonotasi

menahan diri dari pelarangan dan penganiayaan. Meskipun demikian,

ia memperlihatkan sikap tidak setuju yang bersembunyi dan biasanya

merujuk kepada sebuah kondisi dimana kebebasan yang

diperbolehkannya bersifat terbatas dan bersyarat. Toleransi tidaklah

sama dengan kebebasan agama, dan bahkan terlampau jauh dari

persamaan hak beragama. Ia mengansumsikan adanya otoritas yang

tentunya bersifat memaksa, namun, karena beberapa alasan tertentu

tidak dipsaksakan secara ekstrim, tetapi fakta yang patut disesali

adalah bahwa, mudah-mudahan kita tidak terkejut, sikap tidak toleran

paling besar justru dijumpai di kalangan bangsa-bangsa Keristen

daripada bangsa-bangsa lainnya.2

Toleransi kini merujuk kepada sikap toleran terhadap pandangan,

kepercayaan dan praktik-praktik kelompok lain yang berbeda dengan

pandangan kita sendiri. Ini semakin diperkuat oleh tuntunan spirit baru

globalisasi, pluralisme, demokrasi, kampanye hak-hak asasi manusia,

hukum-hukum non-diskriminasi, kebebasan menyatakan pendapat,

sekularisasi, dan merosotnya pengaruh agama dalam kehidupan Barat.

Berdasarkan hal ini, terbukalah lebih banyak ruang bagi emansipasi kaum

1Team Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka

Phoenix, 2007) h. 2 Muhammad Abdul Halim, Memahami Al-Qur`an: Pendekatan Gaya dan Tema,

(Bandung: Penerbit Marja`, 2002) h. 104

Page 42: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

24

wanita, kampanye menentang diskriminasi atas dasar etnis dan orientasi

seks serta perlindungan bagi kaum minoritas. Makna baru toleransi ini

merambah begitu cepat sehingga banyak orang, bahkan di Barat sendiri,

yang mulai merasa cemas terhadap semakin meluasnya spirit baru

toleransi ini:

Redefinisi paham toleransi ini, di sisi lain, tidak hanya menuntut

penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan, melainkan juga

penerimaan atas kepercayaan dan praktik-praktik pihak lain.3

Berbeda dengan latar belakang ini, kebangkitan Islam yang

menegaskan kembali peran agama di dalam negeri-negeri Muslim, bagi

kebanyakan orang di barat tampak bersifat tidak toleran.4 Toleransi dapat

diartikan sebagai sikap membiarkan, menenggangkan, dan menghormati

pendapat/sikap pihak lain walau yang membiarkannya tidak sependapat

dengannya. Toleransi sangat dibutuhkan dalam kehidupan karena

keragaman dan perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Tanpa toleransi

hidup akan terganggu. Manusia dianugerahi Allah pikiran,

kecenderungan, bahkan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan aneka

perbedaan dan pertentangan yang jika tidak dikelola dengan baik, akan

mengakibatkan bencana.5

Salah satu fenomena penciptaan yang mudah dikenali oleh setiap

anak manusia adalah fenomena keberagaman, perbedaan, dan

kemajemukan, baik itu penciptaan alam maupun penciptaan tatanan

(tasyri’). Pada alam, bumi yang kita diami misalnya adalah salah satu saja

diantara jutaan planet di alam raya, yang masing-amsing berbeda antara

3 Muhammad Abdul Halim, Memahami Al-Qur`an: Pendekatan Gaya dan Tema, h.

133 4 Muhammad Abdul Halim, Memahami Al-Qur`an: Pendekatan Gaya dan Tema, h.

133 5 M. Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, (Ciputat: Penerbit Lentera

Hati, 2016 ) h. 181

Page 43: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

25

satu dengan lainnya. Dalam bumi sendiri kita jumpai aneka macam

tumbuhan, satwa, sungai, laut dan lain sebagainya. Dan pada tatanan, kita

jumpai berbagai jalan ta’abbud untuk bisa ber-taqarrub kepada Allah

SWT. Keragaman demikian sengaja ditampilkan oleh Allah Swt. untuk

memenuhi keragaman kecenderungan manusia, yang diantara mereka

terdapat kelompok yang hanyut dalam keajaiban-keajaiban penciptaan

bumi, dan kelompok lain yang terbuai dengan keindahan-keindahan luar

angkasa, dan demikian seterysnya. Dengan demikian Allah SWT bisa

dikenali melalui ayat-ayat-Nya yang tersebar dalam keragaman ciptaan-

nya. Karena dengan adanya penciptaan alam merupakan tanda-tanda

kebesaran dan keesaan Allah SWT.6

Keragaman adalah sunnatullah dalam peradaban umat manusia. Baik

Al-Qur`an maupun as-Sunnah menyebutkan manusia diciptakan secara

kelompok, bersuku, dan bergolongan, dan masing-masing memiliki

kelebihan dan kekurangan. Ayat Al-Qur`an yang paling sering dikutip

mengenai penciptaan manusia manusia yang berbagai macam adalah ayat

ke-13 surah al-Hujurat/49 ayat 13;

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-

laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa

dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya

orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang

paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi

Maha Mengenal.”

6Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kebinekaan (Tafsir Al-Qur`an Tematik), (Jakarta:

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2011) h. 67

Page 44: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

26

Kalimat “kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan

bersuku-suku agar kamu saling mengenal” dipahami tidak jauh berbeda

oleh par amufasir yang berbeda model pendekatan. Dengan kata lain,

umumnya mereka sepakat bahwa ada keragaman di dalam penciptaan,

dan hikmah dari keragaman tersebut adalah agar bisa saling mengenal

satu sama lain.7

Keragaman atau pluralitas etnik, bahasa, serta budaya merupakan

kenyataan yang tidak terbentahkan. Dalam peradaban modern bahkan

bisa dikatakan tidak ada lagi wilayah di globus ini yang hanya dihuni oleh

satu etnik tertentu atau budaya tertentu. Hampir seluruh wilayah

merupakan pencampuran dari pelbagai etnik dan budaya. Eropa yang

semenjak abad pertengahan menjadi salah satu wilayah tempat terjadinya

revolusi industry dan kemudian menjadi “pioner” dalam eksport alat-alat

industri meniscayakan wilayah lain sebagai pasar, yang kemudian

berakibat pada keberagaman etnik dan budaya di wilayah Eropa sendiri.

Hal yang sama dan kentara di wilayah benua Amerika, di mana di bagian

Amerika Latin banyak pendatang dari Eropa terutama Spanyol dan

Portugal kemudian wilayah tengah menjelma menjadi Amerika Serikat,

sementara Amerika Utara menjadi Kanada.8

Dalam konteks Indonesia sendiri yang menurut statistic

kependudukan, tidak kurang dari 300 etnik berada di Nusantara, dengan

pelbagai budaya serta ragam bahasa yang dimiliki, ilustrasi ayat diatas

sangat jelas. Para pendiri Negara ini semenjak awal telah menyepakati

Pancasila sebagai pilar dasar kehidupan berbangsa dan bernegara yang

7 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kenegaraan (Tafsir Al-Qur`an Tematik), (Jakarta:

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2011) h. 305-306 8 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kenegaraan (Tafsir Al-Qur`an Tematik) h. 306

Page 45: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

27

meniscayakan perlakuan yang adil bagi semua elemen bangsa, meski

secara budaya maupun agama memiliki perbedaan satu sama lainnya.9

Sebagai kitab suci yang mengandung hidayah, Al-Qur‟an telah

menggambarkan keniscayaan sebuah keberagaman atau pluralitas.

Keberagaman ini pula yang menjadi ajang bagi “perlombaan” makhluk

yang paling mulia di sisi Allah, yakni yang paling bertakwa. Dengan

demikian, melalui ayat dari surah Al-Hujurat ayat 13 di atas, al-Qur`an

hendak menyatakan bahwa manusia di atas bumi tidak ada yang lebih

baik dan utama dari manusia yang lainnya. Secara fisik mereka berbeda,

demikian watak, tabiat serta karakter yang dimiliki. Pengakuan

keragaman Al-Qur`an dengan demikian hedak menegaskan bahwa

manusia satu dengan lainnya sama, yang membedakan mereka di sisi

Allah adalah kualitas ketakwaannya.10

Pengakuan keragaman dalam Surah al-Hujurat ayat 13 ini juga senada

dengan surah al-Maidah ayat 48 sebagai berikut:

9 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kenegaraan (Tafsir Al-Qur`an Tematik) h. 306 10 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kenegaraan (Tafsir Al-Qur`an Tematik) h. 307

Page 46: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

28

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa

kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab

(yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang

lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah

turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan

meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap

umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.

Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat

(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya

kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada

Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu

apa yang telah kamu perselisihkan itu”.

Uraian dari tafsir-tafsir klasik menyatakan pendefinisian kata syir’a

dan minhaaj. Syir’a jika dilihat dari asal katanya memeiliki arti leksikal

“menjalankan (syara’a), menjelaskan, bayyana dan awdaha” yang

kemudian dipakai dalam pengertian syari’ah yang berart pranata. Dua

kosa kata ini mengundang pendapat beberapa ahli seperti yang ditulis

dalam beberapa literature tafsir. Diantaranya adalah pendapat yang

diberikan oleh Sa‟id bin Abi „Arubah. Menurutnya, dengan merujuk

pendapat Qatadah bin Muzahim seorang tabi’in, syir’ah dan minhaj

adalah jalan dan pranata. Dan pranata itu sendiri sangat beragam sesuai

dengan tkitab induk sebagai sumbernya, seperti pranata dalam Taurat,

dalam Inji, Al-Qur‟an, yang masing-masing berlaku dan menjadi panutan

bagi yang mengimaninya.11

Frasa atau kalimat “untuk setiap umat diantara kamu, kami berikan

aturan dan jalan yang terang” penting di sini untuk di garisbawahi.

Apalagi jika duhubungkan dengan kalimat selanjutnya: “Kalau Allah

menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja”. Beberapa

literature tafsir memang memiliki perbedaan ketika menjelaskan. Namun

11 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kenegaraan (Tafsir Al-Qur`an Tematik) h. 308

Page 47: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

29

demikian, jika dilihat dalam konteks pembicaraan ayat, mafhuum

muwaafaqah yang bisa dipetik adalah masing-masing kelompok atau

umat di beri cara dan jalan untuk mengatur diri mereka. Plus

dimungkinkan juga pemahaman akan beragamnya cara serta jalan dalam

memegangi ajaran serta pranata keagamaan. Ketika dinyatakan dalam

ayat bahwa Allah tidak menghendaki umat hanya satu saja, itu artinya

keragaman diakui keberadaannya oleh Al-Qur‟an. Masing-masing

kelompok, komunitas memiliki pranata, baik yang berdasarkan ajaran-

ajaran keagamaan yang bersumber dari sebelum datangnya Islam,

maupun hasil kreativitas akal budi. Studi budaya dan antropologi lazim

menyebut dengan local wisdom atau kearifan local, yakni pranata, nilai

dan tatanan yang hidup deitengah masyarakat.12

B. Prinsip-prinsip Toleransi dalam Islam

Yang sangat penting dalam pembahasan mengenai toleransi adalah,

tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip agama, sebagaimana keyakinan

agama tidak boleh dikorbankan demi toleransi. Pada awal masa Islam,

tokoh-tokoh kaum musyrik Mekkah menawarkan kompromi menyangkut

pelaksanaan tuntunan agama/kepercayaan. Usul mereka adalah agar Nabi

saw bersama umatnya mengikuti kepercayaan mereka dan mereka pun

akan mengikuti ajaran Islam. Kami menyembah Tuhanmu, hai

Muhammad, setahun dan kamu juga menyembah tuhan kami setahun.

Kalau agamamu benar, kami mendapatkan keuntungan karena kami juga

menyembah Tuhanmu dan jika agama kami benar, kamu juga tentu

memperoleh keuntungan. Demikian lah kurang lebih usul mereka kepada

Nabi Muhammad saw.13

12 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kenegaraan (Tafsir Al-Qur`an Tematik) h. 308 13 M. Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, h. 183

Page 48: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

30

Usul kaum musyrik itu ditolak oleh Rasulullah saw karena tidak

mungkin dan tidak logis pula terjadi penyatuan agama-agama. Setiap

agama berbeda dengan agama lain, baik dalam ajaran pokok, demikian

sekian banyak perinciannya. Kerena itu, tidak mungkin perbedaan-

perbedaan itu digabungkan dalam jiwa seorang yang tulus terhadap

agama/keyekinannya. Masing-masing penganut agama harus yakin

sepenuhnya dengan ajaran agama/kepercayaannya. Selama mereka telah

yakin, mustahil mereka akan membenarkan ajaran yang tidak sejalan

dengan ajaran agama/kepercayaannya.14

Usul kaum musyrik diataslah yang menjadi sebab turunnya QS. Al-

Kafirun [109], yang antara lain menegaskan lakum dinukum wa liya din-

Bagi kamu agama kamu dan bagiku agama ku. Ini merupakan pengakuan

eksistensi timbal balik secara de facto sehingga dengan demikian, masing-

masing pihak dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar dan baik,

tanpa memutlakan pendapat kepada pihak lain, tetapi sekaligus tanpa

mengabaikan keyakinan masing-masing. Memang, kemutlakan ajaran

agama adalah siakp jiwa ke dalam, tidak menuntut pernyataan atau

kenyataan di luar bagi yang tidak meyakininya.15

Kalau toleransi yang demikian tinggi telah ditetapkan dan diterapkan

oleh rasuk saw terhadap umat yang tidak seiman, maka tentu lebih-lebih

lagi kepada sesama kaum beriman, bahkan sesame kaum Muslim. Dalam

konteks ini, sungguh menarik semboyan yang dikumandanglkan oleh

ulama dan pemikir Muslim yang moderat dan berwawasan luas, yakni

semboyan yang menyatakan: “Kita bersatu dalam akidah dan bertoleransi

dalam khilafiyah/furu’iyah.” Ajaran Islam ada yan gharus dipercayai da

nada juga yangharus diamalkan. Akidah adalah ajaran yang harus

14 M. Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, h. 183-184 15 M. Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, h. 184

Page 49: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

31

dipercayai. Akidah adalah jaran Islam yang berkaitan dengan kepercayaan

yang sedemikian mantap sehingga kalau ia dipaksa mengubahnya, maka

kendati lidahnya berucap yang bertentangan denga akidahnya, hatinya

tidak ikut bergerak dan menyimpang. Memang, seringkali ditemukan

dalam buku-buka mengenai uraian-uraian yang dinamai akidah, sering

kali terdapat uraian yang berbeda-beda dan sangat rinci sehingga lahirlah

aneka kelompok dalam bidang akidah. Akidah Ahlu as-Sunnah wa al-

Jama’ah, ini pun bermacam-macam. Ada Salafiyah, ada Asy‟Ariyah, ada

Maturidiyah. Ada lagi Mu‟tazilah. Syi‟ah dan sebagainya. Argumentasi

masing-masing kelompok pun tidak meyakinkan kelompok yang lain,

apalagi ada yang memperluas sumber pemahamannya sehingga mencakup

semua hadis dan pendapat ulama-ulama masa lalu. Ada yang

mengandalkan akal, da nada juga yang mengabaikannya, ada lagi yang

mendahulukan akal atas teks atau sebaliknya, dan lain-lain.16

Dari sini, akidah yang dimaksud dalam semboyan tersebut adalah

yang argumentasinya bersifat qath’iy, yakni pasti tidak dapat diragukan.

Argumentasi yang demikian itu bagi umat Islam hanyalah yang bersumber

dari Al-Qur`an dan hadis yang mutawatir, yakni yang diriwayatkan oleh

banyak orang dan yang mustahil menurut adat kebiasaan, mereka itu

sepakat berbohong, lalu makna yang ditarik dari kedua sumber ajaran itu

harus pula bersifat pasti, tidak ada celah baginya untuk menerima makna

lain. Itu demikian karena terhimpun padanya banyak indikator yang

mendukung makna tersebut. Lidi jika berdiri sendiri maka rapuh, tetapi

jika telah terhimpun sehingga menjadi sapu lidi, maka ia menjadi sangat

kuat.17

16 M. Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, h. 185 17 M. Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, h. 185

Page 50: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

32

Umat Muslim bersatu dalam akidah, antara lain yang tercermin dalam

rukun Iman yang enam; percaya kepada Allah SWT, Malaikat, Kitab-

kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari Kemudian, dan takdir-Nya yang baik

dan buruk. Rincian dari masing-masing hal diatas dapat berbeda-beda

karena argumentasi masing-masing menyangkut rincian itu mengandung

kemungkinan makna lain. Disinilah umat Islam dituntut bertoleransi

antara sesame Muslim, yakni membiarkan masing-masing menganut ap a

yang ia perceya dan pahami walau berbeda dengan paham dan

kepercayaan yang bertoleransi itu. Jika ini dapat dilaksanakan, tidak aka

nada tuduhan kafir-mengkafirkan karena akidah bersemai di hati dan tidak

seorangpun yang mampu menyelaminya dank arena itu pula, para ulama

menekankan bahwa jika anda telah menemukan 99% dalil yang

menunjukan kekufuran seseorang, jangan tetapkan kekufurannya sampai

bulat 100%.18

C. Ayat-ayat Toleransi dalam Al-Qur`an

Ayat-ayat mengenai toleransi seringkali di temukan di beberapa buku.

Berikut uraian ayat-ayat toleransi yang penulis rangkum dari beberapa

buku:

1. Ayat-ayat Toleransi dalam “Tafsir Al-Qur`an Tematik (Al-Qur`an

dan Kebhinekaan)” oleh DEPAG

a. Tidak ada Paksaan dalam Beragama (QS. Al-Baqarah [2]: 256)

Salah satu ajaran Islam yang sangat mulia adalah penerimaan

terhadap kebinekaan dalam agama. Islam dating dengan membawa

pengakuan terhadap realitas kehidupan manusia dengan berbagai

agama yang mereka peluk. Islam sama sekali tidak datang untuk

memaksa mereka berpindah agama dari non Islam ke Islam. Dalam

18 M. Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, h. 186

Page 51: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

33

surah al-Baqarah ayat 256 ini dengan tegas menyatakan bahwa tidak

ada paksaan dalam beragama.19

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya

telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu

Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,

Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat

kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha

mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256)

Kata ( )“Tidak ada paksaan” merupakan bentuk

toleransi.

b. Iman adalah Pilihan (QS. Al-Kahfi [18]: 29)

Keyakinan bahwa Islam merupakan satu-satunya agama yang

benar dan tidak lantas menafikan eksistensi agama yang lain.

Keimanan dan kekufuran adalah sebuah pilihan.

19 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kebimekaan (Tafsir Al-Qur`an Tematik), (Jakarta:

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2011), h. 71-72

Page 52: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

34

“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka

Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan

Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami

telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya

mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka

akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang

menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat

istirahat yang paling jelek”. (QS. Al-Kahfi [18]: 29)

Kata ( ) merupakan

bentuk toleransi dalam ayat ini.

Keimanan yang lahir dari sebuah paksaan hanya akan

mengantarkan pada kemunafikan.20

Nilai toleransi pada ayat ini

sangat terlihat jelas.

c. Tugas dari Seorang Nabi dan Ulama-ulama adalah Berdakwah (QS.

Al-Ghâsyiah [88]: 21-22)

Tugas dari seorang nabi dan ulama-ulama pewaris kenabian

adalah berdakwah, bukan memaksa non muslim berkonversi menjadi

muslim. Sejak Nabi Muhammad saw. berada di Mekkah, Allah Swt.

telah menugaskan tugas ini dalam firman-Nya:

20 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kebimekaan (Tafsir Al-Qur`an Tematik), (Jakarta:

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2011), h. 72

Page 53: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

35

“Maka berilah peringatan, karena Sesungguhnya kamu

hanyalah orang yang memberi peringatan. Kamu bukanlah orang

yang berkuasa atas mereka”. (QS. Al-Ghâsyiah [88]: 21-22)

Bagaimanapun keyakinan seseorang akan suatu hal tidak bisa

dijadikan alas an untuk memaksakannya kepada orang lain.21

d. Agama di sisi Allah adalah Islam (QS. Ali-„Imrân [3]: 19)

Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah

Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali

sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian

(yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-

ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (QS.

Ali-„Imrân [3]: 19)

Sebagai seorang muslim, sudah sepatutnya kita mengakui

bahwa Islam adalah agama yang hanya di ridhai Allah Swt.

Dalam menerima kebinekaan ada sejumlah ketentuan yang

patut diajukan di sini. Pertama, mengakui adanya keragaman afiliasi

keagamaan dalam satu masyarakat atau Negara. Kedua, menghargai

keragaman serta menerima konsekuensinya, yakni perbedaan akidah

dan ibadah. Ketiga, merumuskan formulasi yang tepat untuk

mengungkapkan keberagaman tersebut dalam satu kerangka kerja

21 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kebimekaan (Tafsir Al-Qur`an Tematik), (Jakarta:

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2011), h. 73

Page 54: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

36

yang baik dan dalam bentuk yang mampu mencegah pecahnya

konflik keagamaan yang berpotensi mengancam keselamatan

masyarakat. Keempat, mengakui dan menerima hadirnya kepercayaan

lain tidak berarti melebur satu kepercayaan dengan lainnya. Yang

terakhir ini bukan lagi kebinekaan, tapi telah mengarah kepada

pemaksaan penyatuan yang cenderung menghilangkan identitas

masing-masing kepercayaan.22

e. Menyelenggarakan Kehidupan Bermasyarakat yang Toleran (QS. Hûd

[11]: 118)

Mengakui eksistensi agama-agama di luar Islam bukan berarti

mengakui kebenarannnya. Ini merupakan dua hal yan berbeda yang

tak boleh di campur-adukkan. Yang pertama dalam rangka

menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat yang majemuk secara

damai da penuh toleransi sebegaimana di perintahkan oleh Islam serta

membumikan titah cipta Tuhan sebagaimana secara eksplisit

difirmankan dalam surah Hûd :

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat

yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat”. (QS. Hûd

[11]: 118)

Manusia memiliki pilihan-pilihan dan bertindak secara

beragam sesuai pilihan masing-masing. Diantara mereka ada

golongan yang beriman dan berjalan di jalan yang lurus, dan banyak

22 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kebimekaan (Tafsir Al-Qur`an Tematik), (Jakarta:

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2011), h. 74-75

Page 55: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

37

pula yan berada di jalan yang ssesat. Selalu begitu hingga akhir hari

kelak.23

Sementara hal yang kedua, yakni pengakuan terhadap

kebenaran agama lain di luar Islam, menyangkut masalah akidahIslam

yang bersifat eksklusif dalam arti kebenarannya tak mungkin di gugat

lagi oleh para pemeluknya. Bagi umat Islam, agama Islam

sebagaimana diajarkan oleh nabi Muhammad adalah sebuah

kebenaran mutlak.24

2. Ayat-ayat Toleransi dalam Buku “Yang Hilang dari Kita: Akhlak”

Karya M.Quraish Shihab

a. Manusia akan terus berbeda dan berselisih, kecuali yang rahmati Allah

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat

yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat”. (Hûd [11]:

117-118)

b. Supaya Manusia Saling Mengenal

23 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kebimekaan (Tafsir Al-Qur`an Tematik), (Jakarta:

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2011), h. 75 24 Tim Penulis, Al-Qur`an dan Kebimekaan (Tafsir Al-Qur`an Tematik), (Jakarta:

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2011), h. 75

Page 56: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

38

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang

laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -

bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah

ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah

Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”. (QS. Al-Hujurât [49]: 13)

c. Menghindari Konflik Melalui Toleransi

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845]

dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang

baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang

siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui

orang-orang yang mendapat petunjuk”. (An-Nahl [16]: 125)

Tidak jarang melalui dialog ditemukan apa yang diduga

berbeda, pada hakikatnya hanya dalam permukaan atau rumusan

redaksi, bahkan kalaupun berbeda sunstansinya, maka dengan dialog

dapat ditemukan jalan untuk menghindari konflik melalui toleransi

itu. Ini tentu saja bila dialog itu berdasar sikap saling menghargai dan

dilakukan sebagaimana tuntunan Al-Qur`an, yakni dengan cara

terbaik. 25

25 Quraish Shihab, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, (Ciputat: Lentera Hati, 2019), h.

182

Page 57: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

39

d. Menyerahkan Keputusan Kepada Allah Swt. Siapa yang Benar

Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang

dosa yang Kami perbuat dan Kami tidak akan ditanya (pula) tentang

apa yang kamu perbuat". Katakanlah: "Tuhan kita akan

mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan antara

kita dengan benar. dan Dia-lah Maha pemberi keputusan lagi Maha

Mengetahui". (QS. Saba‟ [34]: 25-26)

e. Izin Allah Bagi yang Teraniaya Untuk Melakukan Pembelaan Diri

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi,

karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan Sesungguhnya

Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,(yaitu) orang-

orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan

yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan Kami hanyalah

Allah". dan Sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian

manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-

biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan

masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.

Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-

Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha

perkasa”. (QS. Al-Hâjj [22]: 39-40 )

Page 58: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

40

f. Bagimu Agamamu dan Bagiku Agamaku

Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa

yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku

sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu

sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan

yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”.

(Al-Kâfirun [109]: 1-6)

3. Ayat-ayat Toleransi dalam Buku “Ayat-ayat Toleransi” Karya Zuhairi

Misrawi

a. Tuhan Sebagai Sumber Kasih Sayang

“Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan Sesungguhnya (isi)nya:

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha

Penyayang”. (QS. An-Naml [27]: 30)

b. Nabi Muhammad Teladan Praktis Kasih Sayang

“Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)

rahmat bagi semesta alam”. (Al-Anbiya` [21]: 107)

c. Tidak Ada Paksaan dalam Agama

Page 59: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

41

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya

telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu

Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,

Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat

kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha

mengetahui”. (Al-Baqarah [2]/256)

d. Prinsip Toleransi dalam Dakwah

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan

pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.

Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa

yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui

orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. An-Nahl [16]: 125)

e. Iman dan amal Shaleh Sebagai Basis Toleransi

Page 60: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

42

“Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan saleh, kelak

akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di

dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah

membuat suatu janji yang benar. dan siapakah yang lebih benar

perkataannya dari pada Allah ? (Pahala dari Allah) itu bukanlah

menurut angan-anganmu yang kosong[353] dan tidak (pula) menurut

angan-angan ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan,

niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak

mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari

Allah”. (QS. An-Nisa`[3]: 122-123)

f. Satu Umat, Beragam Nabi

“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan),

Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan

Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi

keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka

perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang

yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang

kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki

antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang

yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka

perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi

Page 61: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

43

petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”. (QS.

Al-Baqarah[2]: 213)

g. Kitab Taurat Sebagai Petunjuk dab Cahaya

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya

(ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu

diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang

menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan

pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan

memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi

terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia,

(tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-

Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan

menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-

orang yang kafir”. (QS. Al-Mâidah [5]: 44)

h. Kitab Injil Sebagai Petunjuk dan Cahaya

“Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi Nabi Bani Israil) dengan Isa

putera Maryam, membenarkan kitab yang sebelumnya, Yaitu: Taurat.

dan Kami telah memberikan kepadanya kitab Injil sedang didalamnya

(ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan

kitab yang sebelumnya, Yaitu kitab Taurat. dan menjadi petunjuk

Page 62: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

44

serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-

Mâidah [5]: 46)

i. Ahli Kitab Sebagai Orang-orang Shaleh

“Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang

Berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa

waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang).

Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka

menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang Munkar dan

bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu

Termasuk orang-orang yang saleh”.(QS. Ali-„Imrân [3]: 113-114)

j. Toleransi di Tengah Keragaman Makhluk Tuhan

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang

laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -

bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah

ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah

Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurât[49]: 13 )

Page 63: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

45

k. Kesetaraan Umat Agama

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-

orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka

yang benar-benar beriman kepada Allah[57], hari kemudian dan

beramal saleh[58], mereka akan menerima pahala dari Tuhan

mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula)

mereka bersedih hati”.( (QS. Al-Baqarah[2]: 62)

l. Kebebasan Beragama

“Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka

Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan

Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami

telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya

mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka

akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang

menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat

istirahat yang paling jelek”. (QS. Al-Kahfi [18]: 29)

m. Larangan Menebar Kebencian

Page 64: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

46

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-

laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan

itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan

merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu

lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1409] dan

jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan.

seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah

iman[1410] dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka

Itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Hujurât [49]: 11)

n. Larangan Menebarkan Kekerasan

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu

(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan

bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada

orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan

janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya

Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS.

Al-Qashas [28]: 77 )

Page 65: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

47

o. Penghargaan Islam atas Pemuka Agama Keristen

“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras

permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-

orang Yahudi dan orang-orang musyrik. dan Sesungguhnya kamu

dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang

beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Kami ini

orang Nasrani". yang demikian itu disebabkan karena di antara

mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan

rahib-rahib, (juga) karena Sesungguhnya mereka tidak

menymbongkan diri. Dan apabila mereka mendengarkan apa yang

diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu Lihat mata mereka

mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah

mereka ketahui (dari Kitab-Kitab mereka sendiri); seraya berkata:

"Ya Tuhan Kami, Kami telah beriman, Maka catatlah Kami bersama

orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan

kenabian Muhammad s.a.w.). “. (QS. Al-Mâidah [5]: 82-83)

p. Tuhan Sebagai Hakim atas Perbedaan

Page 66: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

48

“Allah akan mengadili di antara kamu pada hari kiamat tentang apa

yang kamu dahulu selalu berselisih padanya. Apakah kamu tidak

mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang

ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat

dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian

itu Amat mudah bagi Allah”. (QS Al-Hajj [22]: 69-70).

q. Mengutamakan Jalan Damai

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah

kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah

yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS. Al-Anfâl [8]:

61)

Berdasarkan uraian ayat-ayat toleransi yang disepakati oleh

Departemen Agama (Depag), M. Quraish Shihab, dan Zuhairi Misrawi

diatas, ada beberapa ayat yang sama di antara ketiganya, antara lain:

1. QS. Al-Baqarah [2]: 256

2. QS. Al-Kahfi [18]: 29

3. QS. Hûd [11]: 18

4. QS. Al-Hujurât [49]: 13

5. QS. An-Nahl [16]: 125

Page 67: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

49

BAB III

BIOGRAFI MUFASSIR DAN PROFIL KITAB TAFSIR AHKAM

A. Biografi Penulis dan Profil Kitab Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-

Quran al-Qurthubî

1. Profil Penulis dan Karya-karyanya

a. Lahir dan Pendidikan al-Qurthubî

Nama lengkapnya adalah Imam abu Abdillah bin Ahmad bin Abî

Bakar bin Farh al-Anshâri al-Khazrâji al-Andalûsi al-Qurthubî. Beliau

merupakan seorang mufassir, dilahirkan di Cordova, Andalusia (sekarang

Spanyol). Disanalah beliau memepelajari bahasa Arab dan syair, di

samping itu juga mempelajari Al-Qur`an. Di sana pula ia memperoleh

pengetahuan yang luas dalam bidang fikih, nahwu, dan qira`at.

Sebagaimana beliau juga mempelajari ilmu balaghah, `ulum Al-Qur`an,

dan juga ilmu-ilmu lainnya. Setelah itu ia datang ke Mesir dan menetap

di sana. Beliau meninggal di Mesir pada malam Senin, tepatnya pada

tanggal 9 Syawal tahun 671 H. makamnya berada di Elmeniya, di timur

sungai Nil, dan sering di ziarahi banyak orang.1

Imam al-Qurthubî merupakan seorang fakih besar dan mufasir (ahli

tafsir Al-Qur‟an) dari abad ke-7 H. Informasi tentang kehidupannya

sedikit sekali diketahui. Tentang kelahirannya, hanya diketahui bahwa ia

terlahir di Spanyol. Al-Qurthubî adalah seorang ulama besar yang

terkenal sebagai hamba Allah SWT. yang saleh dan wara‟. Ia termasuk

1 Muhammad Ibrahim Al-Hinafwi, Tafsîr al-Qurthubiî, (Jakarta: Pustaka Azzam,

2007), h. xv

Page 68: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

50

ulama fikih besar yang memiliki kearifan dan wawasan luas. Ia berprilaku

zahid (tidak menjadikan kesenangan dan kemewahan dalam kehidupan

keduniaan sebagai cita-cita, harapan, dan dambaan). Untuk

menggambarkan kezuhudannya, para penulis biografinya menuliskan

bahwa imam al-Qurthubî senantiasa meninggalkan atau menghindari

kesenangan duniawi. Ketika berjalan ia merasa cukup dengan hanya

menggunakan sehelai kain dan memakai kopiah.2

Dia merupakan salah seorang hamba Allah yang shalih dan ulama

yang sudah mencapai tingkatan ma‟rifatullah. Dia sangat zuhud terhadap

kehidupan dunia (tidak menyenanginya), bahkan dirinya selalu di sibukan

oleh urusan-urusan akhirat. Usianya dihabiskan dengan beribadah kepada

Allah dan menyusun kitab. Mengenai sosok Imam al-Qurthubi ini, syaikh

adz-Dzahabi menjelaskan:

“Dia adalah seorang Imam ynag memiliki ilmu yang luas dan

mendalam. Dia memiliki sejumlah karya yang sangat bermanfaat dan

menunjukan betapa luas pengetahuannya dan sempurna

kepadaiannya,”3

Selain sebagai fakih, Imam al-Qurthubî juga di kenal sebagai mufasir

yang andal. Bahkan tafsir merupakan karyanya yang terbesar. Dari buku

tafsirnya banyak diketahui pemikirannya tentang hukum. Sebagai seorang

ulama, al-Qurthubi termasuk fakih dari kalangan mazhab Maliki. Ia

meninggalkan sikap fanatisme jauh-jauh serta menghargai setinggi-

tingginya perbedaan pendapat. Imam al-Qurthubî tidak senantiasa

sependapat dengan imam mazhabnya dengan ulama lain, baik di dalam

maupun di luar mazhabnya.4

2 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve,

1997 ) h. 1462 3 Muhammad Ibrahim Al-Hinafwi, Tafsîr al-Qurthubî, h. xvi 4 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopi Hukum Islam, h. 1462

Page 69: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

51

b. Karir Intelektual al-Qurthubî

Kehidupan ilmiah di Maghrib (Maroko) dan Andalusia (Spanyol) pada

masa al-Muwahhidin (514-668 H) berkembang sangat cepat. Masa

tersebut merupakan masa yang di dalamnya al-Qurhubî menjalani

beberapa fase dari kehidupannya, tepatnya ketika ia masih tinggal di

Andalusia dan sebelum pindah ke Mesir. Di antara fakstor yang

menambah cepat laju gerakan ilmiah pada masa ini adalah:

1) Muhammad bin Tumar, pendiri daulah al-Muwahhidin (United

State), merupakan salah seorang ulama terkemuka pada masanya. Dia

telah menyebarluaskan seruan untuk mencari ilmu pengetahuan dan

telah memberikan dorongan kepada rakyatnya untuk memperoleh

ilmu pengetahuan.

2) Banyaknya buku-buku dan karya tulis yang ada di Andalusia.

Cordova merupakan sebuah negeri di Andalusia yang memiliki buku

paling banyak serta memiliki penduduk yang paling

besarperhatiannya terhadap perbendaharaan buku. Suasana ilmiah

yang telah menjadi ciri khas pemerintahan khalifah-khalifah dari

dinasti al-Muwahhidin ini, serta banyaknya buku-buku dan karya-

karya yang telah memenuhi negeri Andalusia pada saat itu, telah

memberikan dorongan kepada para ulama untuk terus berkarya dan

telah meramaikan bursa ilmu pengetahuan.5

Dari sini, maka jumlah lembaga-lembaga keilmuan yang muncul di

Andalusia, baik di pusat kota maupun di daerah-daerah sekitarnya pun

semakin banyak. Sementara ilmu-ilmu agama seperti fikih, hadits, tafsir,

dan ilmu qira‟at pun berkembang pesat, sebagaimana ilmu bahasa Arab,

nahwu, sejarah, sastra dan syair juga berkembang pesat. Sungguh semua

5 Muhammad Ibrahim Al-Hinafwi, Tafsîr al-Qurthubiî, h. xvi

Page 70: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

52

itu memiliki pengaruh yang besar terhadap proses pembentukan jiwa

keilmuan dalam diri Imam al-Qurthubî.6

Kehidupan ilmiah di Mesir pada saat itu, tepatnya setelah Imam al-

Qurthubî berpindah ke sana pada masa pemerintahan dinasti al-

Ayyubiyyin, juga tidak kalah majunya dengan kehiduan ilmiah di

Andalusia pada masa pemerintahan al-Muwahhidin. Barangkali faktor-

faktor yang menyebabkan semakin majunya gerakan ilmiah di Mesir

hampir sama, atau bahkan sama, dengan faktor-faktor yang menyebabkan

semakin majunya gerakan ilmiah di Andalusia.7

c. Karya-Karya al-Qurthubî

Para ahli sejarah menyebutkan sejumlah hasil karya al-Qurthubi selain

kitabnya yang berjudulr al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî,

diantarany adalah:

1) At-Tadzkirah fî Ahwâl al-Mautâ wa Umûr al-Âkhirah, merupakan

sebuah kitab yang masih di cetak hingga sekarang.

2) At-Tidzkâr fî Afdhal Al-Adzkâr, merupakan sebuah kitab yang masih

terus di cetak hingga sekarang.

3) Al-Asna fî Syarh Asmâ‟illâh Al-Husnâ.

4) Syarh At-Taqashshî.

5) Al-I‟lâm bi Mâ fî ad-Dîn an-Nashârâ min al-Mafashid wa al-Auhâm

wa Idzhâr Mahâsin ad-Din al-Islâm.

6) Qam‟u Al-Harsh bi Az-Zuhd wa Al-Qanâ‟ah.

7) Risâlah fî Al-Qam Al-Hadîts.

8) Kitab Al-Aqdhiyyah.

6 Muhammad Ibrahim Al-Hinafwi, Tafsîr al-Qurthubiî, h. xvii 7 Muhammad Ibrahim Al-Hinafwi, Tafsîr al-Qurthubiî, h. xvii

Page 71: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

53

9) Al-Misbâh fî Al-Jam‟I baina Al-Af‟âl wa Ash-Shahhah. Sebuah kitab

tentang bahasa Arab yang merupakan hasil ringkasan al-Qurthubi

terhadap kitab Al-Af‟âl karya Abu al-Qasim Ali bin Ja‟far al-Qaththa‟

dan kitab Ash-Shahhah karya al-Jauhari. Dalam kitab tafsirnya, al-

Qurthubi juga telah menyebutkan beberapa hasil karyanya,

diantranya:

10) Al-Muqtasab fî Syarh Muwaththa‟ Malik bin Anas.

11) Al-Lumâ‟ fî Syarh al-„Isyrinat an-Nabawiyyah.8

d. Guru-Guru al-Qurthubî

Di antara guru-guru al-qurthubi adalah:

1) Ibnu Rawwaj, yaitu al-Imam al-Muhaddits (ahli hadits) Abu

Muhammad Abdul Wahhab bin Rawwaj. Nama asliny adalah Zhafir

bin ali bin Futuh al-Azdi al-Iskandarani al-Maliki. Dia wafat pada

tahun 648 H.

2) Ibnu Al-Jumaizi, yaitu al-Allamah Baha`uddin Abu al-Hasan Ali bin

Hibatullah bin Salamah al-Mashri asy-Syafi‟i. dia wafat pada tahun

649 H. dia merupakan salah seorang ahli dalam bidang hadits, fikih

dan ilmu qira‟at.

3) Abu Al-Abbas Ahmad bin Umar bin Ibrahim al-Maliki al-Qurthubi,

wafat pada tahun 656 H. dia adalah penulis kitab Al-Mufhim fî Syarh

Shahîh Muslim.

4) Al-Hasan Al-Bakari, yaitu al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad

bin Amaruk at-Taimi an-naisaburi ad-Dimasyqi, atau biasa di panggil

dengan Abu Ali Shadruddin al-Bakari. Dia wafat pada tahun 656 H.9

8 Muhammad Ibrahim Al-Hinafwi, Tafsîr al-Qurthubiî, h. xviii 9 Muhammad Ibrahim Al-Hinafwi, Tafsîr al-Qurthubiî, h. xvii-xviii

Page 72: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

54

2. Profil Kitab Tafsir al-Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân al-Qurthubî

a. Aliran Pemikiran dan Mazhab Fiqh al-Qurthubî dalam Tafsir al-

Jâmi` li al-Ahkâmi Al-Qurân

Al-Qurthubî dalam perjalanan intelektualnya tentunya di barengi

dengan pemahaman teologi dan madzhab sebagai bagian cara berpikirnya

dalam menuangkan kitab tafsirnya. Dalam beberapa literature disebutkan

bahwa al-Qurthubî merupakan seorang penganut sunni asy‟ari dan beliau

membela dan mempertahankan ahlu sunnah. Dan beliau tidak

membiarkan terhadap serangan-serangan mu‟tazilah terhadap pemikiran

sunni apakah dalam persoalan hokum maupun akidah.10

Dalam persoalan madzhab beliau adalah seorang Malikiyyah. Dan

hal ini dapat di lihat dalam penafsirannya mengenai persoalan

hukum/fikih, sebagaimana yang terlihat dalam surat al-Mâidah ayat 6:

“Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan

sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”

Imam al-Qurthubî dalam memahami kata (maka

basuhlah mukamu) Allah menyebutkan empat anggota tubuh:

1) Wajah; yang di wajibkan untuknya membasuh (nya)

10 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah) h. 20

Page 73: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

55

2) Kedua tangan, yang diwajibkan untuk keduanya adalah membasuh

keduanya.

3) Kepala; yang di wajibkan untuknya adalah menyapu (nya). Hal ini

sesuai dengan kesepakantan (ijtima‟)

4) Kedua kaki; terjadi silang pendapat tentang apa yang di wajibkan

untuk keduanya. Lebih lanjut beliau memaparkan bahwa saat

membasuh wajah, air harus di pindahkan ke wajah, dan tangan pun

harus diusapkan kepadanya. Inilah hakikat membasuh menurut

mazhab kami (Maliki).11

b. Sumber (mashdir) Tafsir al-Qurthubî

Kitab tafsir al-Qurthubî yang di kenal sebagai kitab tafsir yang

banyak mengurai isi ayat-ayat kandungan Al-Qur`an yang objek

kajiannya lebih prioritas terhadap persoalan hukum, sehingga dengan

objek kajiannya ini beliau menamai tafsirnya dengan “al-Jâmi‟ li Ahkâm

al-Qur`an wa al-Mubayyin lima Tadhammanah min al-Sunnah wa Ayi al-

Furqân” yang berarti (Penghimpunan hukum-hukum Al-Qur`an dan

penjelas bagi sunnah dan ayat-ayat pembeda antara yang haq dan yang

bathil). Dalam buku “Membahas Kitab Tafsir-tafsir Klasik-Modern”

karya Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, disebutkan bahwa

bebrapa literature dan penjelasan beberapa kitab, maka Imam al-Qurthubî

dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an yaitu dengan bil ma‟tsur

(periwayatan). Dan ini dapat di buktikan bahwa al-Qurthubî setiap

11 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 21

Page 74: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

56

menafsirkan Al-Qur`an beliau lebih banyak memunculkan hadis-hadis

Nabi maupun pendapat para sahabat.12

c. Metode (manhaj) Penulisan Tafsir al-Qurthubî

Metode tafsir adalah cara-cara yang di tempuh oleh seorang mufassir

untuk sampai kepada makna-makna Al-Qur`an. Nasrudi Baidan

mendefinisikan metode sebagai seperangkat pedoman dan aturan yang di

pilih oleh seorang mufassir untuk melakukan pendekatan terhadap ayat-

ayat Al-Qur`an demi tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapainya.13

Sebagaiman ayang telah di singgung oleh al-Farmawi, metode yang

di gunakan dalam penafsiran Al-Qur`an, dapat di kategorikan menjadi

empat. Pertama, tafsir tahlili yaitu dengan upaya seorang mufassir untuk

menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur`an dari berbagai seginya

dengan memperhatikan runtututan ayat-ayat Al-Qur`an sebagaimna yang

telah tercantum dalam mushaf. Kedua, tafsir ijmali, yaitu menafsirkan

ayat-ayat Al-Qur`an secara global. Dalam metode ini mufassir hanya

berupaya menjelaskan makna-makna Al-Qur`an dengan uraian singkat,

menggunakan bahasa yang komukatif sehingga mudah dicerna oleh

pembaca maupun pendengar. Ketiga, tafsir muqarran, yaitu menassirkan

Al-Qur`an dengan cara melakukan perbandingan. Perbandingan itu dapat

berbentuk 1). Menafsirkann ayat-ayat yang memiliki persamaan atau

kemiripan redaksi dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang

berbeda dalam kasus yang sama; 2). Membandingkan ayat-ayat Al-Qur`an

dengan hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan; 3).

Membandingkan dengan berbagai pendapat ulama tafsir dalam

12

Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 22 13 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 25

Page 75: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

57

menafsirkan ayat Al-Qur`an dengan cara menghimpun seluruh ayat Al-

Qur`an yang memiliki tema dan subtansial yang sama. Setelah itu jika

mungkin di susun berdasarkan kronologi turunnya dengan memperhatikan

sebab nuzulnya.14

d. Corak (Laun) Tafsir al-Qurthubî

Dalam kajian kitab-kitab tafsir klasik atau modern itu semuanya

mempunyai karakter atau corak tertentu yang menjadi khas sebagai kajian

yang mendominasi dalam kitab tafsir tersebut. Salah satunya daalah kitab

tafsir karya monumental imam al-Qurthubî. Sebagaimana yang dibahas

oleh Husain al-Dzahabi dalam kitabnya yang sangat terkenal dikalangan

pengkaji tafsir “al-Tafsîr wa al-Mufassirûn” beliau menjelaskan bahwa

tafsir al-Qurthubi yang judul aslinya “al-Jâmi‟ li Ahk âm al-Qur`an”

adalah kitab tafsir yang di golongkan tafsir yang bercorak fiqih.15

Al-Qashâbi Mahmud Zalath juga menyimpulkan bahwa tafsir al-

Qurthubî memiliki kecenderungan fikih yang sangat kental. Hal ini dapat

di buktikan dengan uraian-uraian al-Qurthubî yang secara panjang dan

detail tentang hukum ketika memahami sebuah yata-ayat yang

menyangkut tentang hokum. Oleh karena dominasi kajian tafsir al-

Qurthubî adalah tentang hokum-hukum, maka beliau menamai kitab

tafsirnya al-Jâmi‟ li Ahk âm al-Qur`an yang berarti penghimpun hukum-

hukum Al-Qur`an.16

14

Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 26 15

Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 28 16 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 28

Page 76: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

58

e. Sistematika Penulisan Tafsir al-Qurthubî

Sistematika penulisan kitab tafsir al-Jâmi‟ li Ahk âm al-Qur`an karya

al-Qurthubî termasuk dalam kategori sistematika mushafi. Beliau

memulai tafsirnya dari QS. Al-Fâtihah sampai dengan QS. Al-Nâs sesuai

dengan urutan surat dan ayat yang ada dalam mushaf Al-Qur`an. Dalam

kitab tafsirnya, mula-mula menyebutkan nama surat disertai dengan

argument tentang makiyyah dan madaniyyah nya. Jika terdapat perbedaan

pendapat tentang makiyyah dan madaniyyah –nya ia menegaskan ba hwa

hal itu sebagai ijma‟ karena dalam Al-Qur`an banyak surat yang termasuk

dalam kelompok madaniyyah justru dalam beberapa isi ayatnya termasuk

dalam kelompok makiyyah dan justru sebaliknya.17

Sebelum melangkah pada penafsiran ayat, al-Qurthubî juga terkadang

menguraikan riwayat tentang keutamaan dan faedah membaca surat

tertentu.18

B. Biografi Penulis dan Profil Kitab Tafsir Al-Munîr fi Al-`Aqidah wa

Al-Syari`ah wa Al-Manhaj

1. Profil Penulis dan Karya-karyanya

a. Lahir dan Pendidikan Wahbah az-Zuhaili

Wahbah az-Zuhaili dilahirkan di Dir Athiyah, tepatnya didaerah

Qalmun, Damascus, Syiria pada tanggal 6 Maret 1932 M/ 1351 H.

Berasal dari kalangan keluarga yang religius. Ayahnya bernama Musthafa

az-Zuhaili terkenal dengan keshalihan dan ketakwaannya selain hafal Al-

Qur'an, beliau juga bekerja sebagai petani dan senantiasa mendorong

putra-putranya untuk menuntut ilmu.

17 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 34 18 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 34

Page 77: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

59

Wahbah az-Zuhaili mendapat pendidikan dasar di desanya. Pada

tahun 1946, beliau melanjutkan pendidikannya ke tingkat menengah di

Damascus. Setamatnya dari sekolah menengah ini, beliau melanjutkan

pendidikannya di Universitas al-Azhar Kairo, pada jurusan Syariah

hingga mendapat ijazah strata satu (LC). Disaat yang bersamaan Wahbah

juga mengikuti kuliah di Universitas Ain Syams Kairo, jurusan bahasa

Arab, ilmu yang kelak sangat membantunya sebagai pakar tafsir dan

fikih.19

Tidak berhenti di jenjang ini, Wahbah kemudian melanjutkan

pendidikannya ketingkat pascasarjana di Universitas Kairo yang ditempuh

selama dua tahun dan memperoleh gelar MA dengan tesis berjudul ”al-

Zira‟i as-Syasiyasah asy-Syar‟iyyah wa al-Fiqh al-Islami. Merasa belum

puas dengan pendidikannya beliau melanjutkan ke program doktoral yang

diselesaikannya pada tahun 1963 M dengan judul disertasi “Atsar al-Harb

fî al-Fiqh al-Islami” di bawah bimbingan Dr. Muhammad Salam Madkur.

b. Karir Intelektual Wahbah az-Zuhaili

Karir akademisnya dimulai ketika ia diangkat sebagai tenaga

pengajar pada tahun 1963 M, di Fakultas Syari'ah Universitas Damaskus

dan secara berturut-turut ia menjabat sebagai ketua Jurusan Fiqh al-Islami

wa Madzhabihi, wakil Dekan, kemudian Dekan di Fakultas yang sama.

Setelah mengabdi selama lebih dari dua belas tahun dan dikenal sebagai

pakar dalam bidang Fikih, Tafsir dan Dirâsah Islamiyyah, Wahbah

memperoleh gelar Profesornya pada tahun 1975.

19 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah) h. 163

Page 78: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

60

Aktivitas ilmiahnya tidak hanya di isi dengan kegiatan mengajar, tapi

juga dengan menulis puluhan karya ilmiah, menghadiri berbagai

pertemuan ilmiah di dalam dan diluar negri, disamping mengajar di

beberapa Negara, seperti di fakultas Hukum Universitas Ben Ghazi Libia

(1972-1974), di Fakultas Syari'ah wa al-Qonun Universitas Uni Emirat

Arab (1974-1979) dan Universitas Khurtum di sudan.20

c. Karya-Karya Wahbah az-Zuhaili

Wahbah az-Zuhaili menulis buku, kertas kerja dan artikel dalam

berbagai ilmu Islam. Buku-bukunya melebihi 133 buah buku dan jika

dicampur dengan risalah-risalah kecil melebihi lebih 500 makalah. Satu

usaha yang jarang dapat dilakukan oleh ulama pada zaman ini. Diantara

buku-buku hasil karyanya diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Atsâr al-Harb fî al-Fiqh al-Islami - Dirasat Muqaranah, Dâr al-Fikr,

Damsyiq, 1963.

2) Al-Wasîth fî Ushûl al-Fiqh, Universiti Damsyiq, 1966.

3) Al-Fiqh al-Islami fî Ushûl al-Jadîd, Maktabah al-Hadithah, Damsyiq,

1967.

4) Al-Ushûl al-Ammah li Wahdah al-Dîn al-Haq, Maktabah al-Abassiyah,

Damsyiq, 1972.

5) Al-Alaqât al-Dawliah fî al-Islam, Muassasah al-Riisalah, Beirut, 1981.

6) Al-Fiqh al-Islami wa „Adilatuh, (8 jilid), Dâr al Fikr, Damsyiq, 1984.

7) Ushûl al-Fiqh al-Islami (dua jilid), Dâr al-Fikr, Damsyiq, I986.

8) Fiqh al-Mawaris fî al-Syari‟at al-Islamiyah, Dâr al-Fikr, Damsyiq,

1987.

20 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 165

Page 79: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

61

9) Al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari‟at wa al-Manhaj, (16

jilid), Dâr al-Fikr, Damsyiq, 1991.

10) Al-Qur'an al-Karim al-Bunyatuh al-Tasyri‟iyyah wa Khasâ‟isuh al-

Hadariah, Dâr al-Fikr, Damsyiq, 1993.

11) Al-Rukhsah al-Syarî‟at – Ahkamuha wa Dawabituha, Dâr al-Khair,

Damsyiq, 1994.

12) Khasâ‟is al-Kubrâ li Huqûq al-Insân fî al-Islam, Dâr al-Maktabi,

Damsyiq, 1995.

13) Al-„Ulûm al-Syarî‟at Bayn al-Wahdah wa al-Istiqlâl, Dâr al-Maktab,

Damsyiq, 1996.

14) Al-Asâs wa al-Masâdir al-Ijtihâd al-Musytarikat bayn al-Sunnah wa

al-Syiah, Dâr al-Maktabi, Damsyiq, 1996.21

d. Guru-Guru Wahbah Az-Zuhaili

Adapun guru-gurunya adalah;

1) Muhammad Hashim al-Khâtib al-Syafie, (w. 1958M) seorang khatib

di Masjid Umawi.

2) Mempelajari ilmu fiqh dari Abdul Razak al-Hamasi (w. 1969 M)

3) Ilmu Hadis dari Mahmud Yasin (w. 1948 M)

4) Ilmu Faraidl dan wakaf dari Judat al-Mardini (w. 1957 M), Hassan

al-Shati) w. 1962 M)

5) Ilmu Tafsir dari Hassab Habnakah al-Midani (w. 1978 M)

6) Ilmu Bahasa Arab dari Muhammad Shaleh Farfur (w. 1986 M)

7) Ilmu Ushul Fiqh dan Musthalah Hadis dari Muhammad Lutfi al-

Fayumi (w. 1990 M)

8) Ilmu Akidah dan Kalam dari Mahmud al-Rankusi.22

21 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 165-166

Page 80: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

62

Sementara selama di Mesir, beliau berguru pada;

1) Muhammad Abu Zuhrah (w. 1395 H)

2) Mahmud Shaltut (w. 1963 M)

3) Abdul Rahman Taj

4) Isa Manun (1376 H)

5) Ali Muhammad Khafîf (w. 1978 M)

6) Jad al-Rabb Ramadhan (w. 1994 M)

7) Abdul Ghâni Abdul Khâliq (W. 1983 M)

8) Muhammad Hafiz Ghanim.

Di samping itu beliau amat terkesan dengan buku-buku tulisan Abdul

Rahman Azam seperti al-Risâlah al-Khalîdah dan buku karangan Abu

Hassan al-Nadwi berjudul Ma dza Khasira al„alam bi inkhitât al-

Muslimin.

2. Profil Kitab Tafsir Al-Munîr fî Al-`Aqîdah wa Al-Syarî`ah wa Al-

Manhaj

a. Motivasi dam Tujuan Menafsirkan Tafsir Al-Munîr

Dalam kata pengantar karya tafsirnya Wahbah az-Zuhaili

mengatakan bahwa tujuan dari penulisan tafsirnya adalah

menghubungkan umat Islam dengan kitab sucinya Al-Qur'an dengan

ikatan yang bersifat ilmiah, karena Al-Qur'an adalah petunjuk kehidupan

(dustûr a1-hayat) bagi seluruh manusia dan bagi kaum Muslimin

khususnya. Oleh sebab itu dalam membahas hukum-hukumnya ia tidak

terpaku hanya pada masalah-masalah hukum yang biasa dibahas para

pakar Fikih saja, tetapi ia membahasnya secara umum dan mengupasnya

22 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 163

Page 81: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

63

secara meluas, sehingga pembacanya betul-betul memahami

kandungannya seperti “Aqidah, akhlak, metode dan cara bertingkah laku

dan faedah yang bisa dipetik dari ayat-ayat Al-Qur'an, baik dalam bentuk

indikasi atau isyarat, baik itu menyangkut bangunan sosial setiap

masyarakat yang maju atau menyangkut kehidupan pribadi setiap muslim.

Yang penting tafsir ini bisa membantu setiap muslim yang ingin menelaah

Al-Qur'an dan mentadabburinya.23

Sebagaimana yang diperintahkan Allah dalam Al-Qur'an Surah Shâd

38/29:

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh

dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan

supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran.”

Dalam hal ini, Ali Ayazi berdasarkan penelitiannya menambahkan

bahwa tujuan penulisan tafsir al-Munîr ini adalah memadukan

keorisinilan tafsir klasik dan keindahan tafsir kontemporer, karena

menurut Wahbah az-Zuhaili banyak orang yang menyudutkan tafsir

klasik yang dianggap tidak mampu memberikan solusi terhadap

problematika masyarakat di era kontemporer, sedangkan para mufassir

kontemporer banyak melakukan penyimpangan interpretasi terhadap ayat

Al-Qur‟an dengan dalih pembaharuan. Seperti penafsiran Al-Qur‟an

yang dilakukan oleh beberapa mufassir yang basic keilmuannya sains,

oleh karena itu, menurutnya tafsir klasik harus dikemas dengan gaya

23Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 166

Page 82: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

64

bahasa kontemporer dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu

pengetahuan modern tanpa ada penyimpangan interpretasi.24

b. Aliran Pemikiran dan Madzhab Fiqh Wahbah az-Zuhaili dalam

Tafsir Al-Munîr

Dalam masalah teologis, Wahbah cenderung mengikuti faham ahlu

al-sunnah dan mazhab Salafi, tetapi tidak terjebak dalam fanatisme

mazhab yang menuntunnya untuk menghujat mazhab lain. Ini terlihat

dalam pembahasannya tentang masalah yang diperdebatkan seputar

kemungkinan “Melihat Tuhan” di dunia dan di akhirat yang terdapat pada

QS al-An'âm 6/103:

“Dia tidak bisa dijangkau dengan penglihatan mata, sedang Dia

dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah yang Maha halus

dan Maha teliti.”

Ketika menafsirkan ayat ini Wahbah menukil hadist yang

diriwayatkan oleh Ibn Abbas bahwa Allah memang tidak bisa dilihat di

dunia tapi bisa dilihat di akhirat. Hal ini dilandasi oleh QS Al-Qiyamah

75/22-23:

“Wajah-wajah (orang-orang yang beriman) pada hari itu berseri-seri

memandang Tuhannya.”

Wahbah juga menukil hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan

Muslim bahwa Rasulullah telah bersabda:

24 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 166

Page 83: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

65

“Kelak kamu akan melihat Tuhan mu seperti kamu melihat bulan

pada malam purnama, sebagaimana engkau melihat matahari ketika

(langit) tidak berawan.”

Berdasarkan hadits-hadits ini Wahbah meyakini bahwa orang

mukmin akan melihat Allah SWT. di surga dengan matanya.

Mengenai mazhab fiqhnya, Wahbah menganut mazhab fiqh Imam

Hanafi, karena ia dibesarkan di kalangan ulama-ulama mazhab Hanafi,

yang membentuk pemikirannya dalam madzhab fiqh. Walaupun

bermadzhab Hanafi, ia tidak fanatik dan dapat menghargai pendapat-

pendapat mazhab lain, hal ini dapat dilihat pada bentuk penafsirannya

ketika mengupas ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum fikih. Dalam

membangun argumennya selain menggunakan analisis yang lazim dipakai

dalam fikih ia juga juga memberikan informasi yang seimbang dari

masing-masing mazhab, kenetralannya juga terihat dalam penggunaan

beragam referensi, tidak terfokus pada buku-buku fikih ulama Hanafi saja.

Misalnya ia mengutip dari Ahkâm al-Qur'an karya al-Jashash untuk

pendapat madzhab Hanafi, dan Ahkâm al-Qur'an karya al-Qurthubî untuk

pendapat Mazhab Maliki.25

c. Sumber (mashdir) Tafsir Al-Munîr

Muhammad Ali Iyazi dalam bukunya, Al-Mufassirun hayatuhum wa

Manahijuhum, mengatakan bahwa sumber pembahasan kitab tafsir ini

menggunakan gabungan antara tafsir bi al-Ma‟tsûr dengan tafsir bi ar-

ra‟yi. Hal ini juga diakui oleh Wahbah sendiri, bahwa dalam menafsirkan

al-Qur'an ia tidak hanya berpegang pada tafsir bi al-ma‟tsûr saja, akan

tetapi juga tetap berpegang pada tafsir bi al-ra‟yi atau pada riwayat.

25 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 168

Page 84: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

66

Landasan menggabungkan dua sumber penafsiran ini adalah QS an-Nahl

16/44:

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan

pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka [829]

dan supaya mereka memikirkan.”

Berdasarkan ayat ini Wahbah menilai bahwa lafazh ayat “li tubayyina

linnas” (untuk kamu jelaskan kepada manusia), adalah tentang kedudukan

Nabi yang mempunyai otoritas penuh untuk memberikan penjelaan dan

penafsiran makna ayat-ayat Al-Qur'an maupun aplikasinya dalam

kehidupan manusia dan demi kemaslahatan mereka. Sedangkan lafal ayat

“la'allahum yatafakkarun” (agar mereka memikirkannya), adalah perintah

Allah kepada manusia untuk berusaha memahami ayat-ayat Al-Qur'an

dengan pemikiran yang bersumberkan akal yang jernih, melalui tadabbur

dan tela‟ah yang mendalam, dengan segenap kemampuan akal, untuk

menemukan pesan-pesan Al-Qur'an sebagaimana yang dikehendaki

Allah.26

d. Referensi Tafsir Al-Munîr

Sedangkan referensi-referensi yang digunakan Wahbah az-Zuhaili

dalam tafsir al-Munîr diantaranya adalah sebagai berikut27

:

1) Bidang Tafsir

26 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 169-170 27 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 170-172

Page 85: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

67

a) Ahkâm al-Qur‟an karya al-Jashshas

b) Al-Kasyâf karya Imam Zamakhsyari

c) Al-Manâr karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho

d) Al-jami' fi Ahkam al-Qur'an karya Al-Qurtubî

e) TafsirAth-Thabary karya Muhammad bin Jarir Abu Ja far ath-

Thabari

f) At-Tafsir al-Kabîr karya Imam Fakhruddin ar-Razi

g) Ta'wil Musykîl al-Qur'an karya Ibn Qutaibah

h) Tafsir al-Alûsi karya Syihab ad-Din Mahmud bin Abdillah

i) Tafsir Al-Bahr al-Muhîth karya Imam Abu Hayyan Muhammad

bin Yusuf

j) Tafsir Ibn Kastîr Ismail bin Umar bin Katsir

2) Bidang Ulum al-Qur'an

a) Al-Itqân karya Imam suyuti

b) Mabâhits fî 'Ulûm Al-Qur'an karya Shubhi Shalih

c) Lubab an-Nuqul fî Asbâb an-Nuzûl karya Imam Suyuthi

d) Asbâb an-Nuzûl karya al-Wahidi

e) I‟jaz Al-Qur'an karya Imam al-Baqilani

f) Al-Burhân fî 'Ulûm Al-Qur‟an karya Imam Zarkasyi

3) Bidang Hadist

a) Shahih al-Bukhari karya Muahammad bin Isma'il bin Ibrahim al-

Bukhari

b) Shahih Muslim karya Muslim bin Hajjaj Abu al-Husain

c) Al-Mustadrâk karya Imam Hakim

d) Ad-dalâil an-Nubuwwah karya Imam Baihaqi

e) Sunan Tirmidzi karya Muhammad bin „Isa Abu „Isa at-Tirmidzi

Page 86: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

68

f) Musnad Ahmad bin Hanbal

g) Sunan Ibn Majah karya Abu Abdillah bin Muhammad bin Yazid

al-Qazwaini

h) Sunan Abi Dawud karya Sulaiman bin Asy‟ast bin Syadad

i) Sunan an-Nasai karya Ahmad bin Syu'aib Abu Abd arRahman

an-Nasai

4) Bidang Ushul Fiqh dan Fiqh

a) Bidâyat al-Mujtahid karya Ibn Rusyd al-Hâfidz

b) Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh karya Wahbah az-Zuhaili

c) Ushûl al-Fiqh al-Islami karya Wahbah az-Zuhaili

d) Ar-Risâlah karya Imam Syafi'i

e) Al-Mushtafa karya Imam al-Ghazali

5) Bidang Teologi

a) Al-Kafi karya Muhammad bin Ya‟qub

b) Asy-Syafi Syarh Ushûl al-Kafi karya „Abdullah Mudhhaffar

c) Ihya 'Ulûm ad-Dîn karya Imam al-Ghazali

6) Bidang Luhgat

a) Mufradât al-Gharîb karya al-Ashfahani

b) Al-Furûq karya al-Qirafi

c) Lisân al-„Arab karya Ibn al-Mandhur

e. Metode (Manhaj) Penulisan Tafsir Munir

Salah satu ciri dari ciri-ciri metode penulisan tahlili atau analisis

adalah penafsiran yang di mulai dari surah al-Fâtihah dan diakhiri pada

surah an-Nâs. Atau dengan kata lain dengan metode penulisan tahlil

Page 87: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

69

adalah penulisan materi tafsir yang mengikuti susunan surah-surah dan

ayat-ayat sebagaimana yang termaktub dalam Mushhaf al-Qur‟an.

Mengamati metode penulisan tafsir al-munir dari sisi runtun

penafsiran, yang dimulai dari surah al-Fâtihah dan diberakhir pada surah

an-Nas, bisa kita katakan metode penulisannya adalah tahlili. Berdasarkan

metode ini Wahbah menuliskan tafsirnya dari berbagai sisi secara rinci,

dimulai dari mebahas keutamaan surah, membahas makna kosa kata,

mengulas kandungan sastranya, menafsirkan kandungan ayatnya

kemudian menyimpulkan kandungan ayat tersebut di bawah tema fiqh al-

hayah, tanpa mengabaikan sisi munasabah antara ayat dan sebab

nuzulnya.

Di sisi lain kita juga melihat pengelompokan ayat, berdasarkan

keterkaitan isi yang dikandung ayat-ayat tersebut, dan pembarian tema

sesuai dengan kandungannya. Dalam penafsiran ayat-ayat dari surah-

surah lain, yang terkait dengan ayat yang sedang di tafsirkannya,

menjelaskan tujuan utama surah dan ayat dan petunjuk-petunjuk yang

dapat dipetik darinya, untuk lebih memperjelas ulsannya, sehingga

penafsiarannya menjadi lebih utuh dan meyeluruh. Metode penulisan

dengan langkah- langkah seperti yang disebutkan diatas menurut para

pakar tafsir bisa di golongkan dalam metode tafsir semi tematik

(maudhu‟i). Yaitu metode yang ditetrapkan pertama kali oleh Syaikh Al-

Azhar Mahmud Syaltut dalam karya tafsirnya “Tafsir Al-Quran Al-

karim”.

Dengan langkah-langkah tersebut diatas, maka bisa disimpulkan

bahwa metode penafsiran yang dipakai Wahbah dalam tafsir Al-Munîr

adalah kolaborasi antar metode tahlili dan semi tematik, karena disamping

beliau menafsirkan Al-Quran susuai dengan urutan surah-surah

sebagaimana termaktub dalam mushaf, ia juga memmberi tema pada

Page 88: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

70

setiap kajian ayat yang seusai dengan kandungannya dan mengaitkannya

dengan surah secra keseluruhan. Contoh jelasnya seperti dalam

menafsirkan surah al-Baqaroh ayat 1-5, beliau memberi tema “sifat-sifat

orang mu‟min dan balasan bagi orang-orang yang bertakwa”.28

f. Corak (Laun) Tafsir Al-Munîr

Corak tafsir yang sudah dideteksi oleh pakar-pakar tafsir dari buku-

buku tafsir yang sudah terbit sampai saat ini memang banyak dan

beragam, diantaranya corak tafsir lughawi, corak tafsir as-Sufi, corak

tafsir al-Fiqh, corak tafsir al-Falsafi, corak tafsir al-„Ilmi dan tafsir adabi

ijtima‟i. Namun kalau kita cermati definisi corak atau tafsir, yaitu

kecenderungan mufassir yang dilatar belakangi oleh pendidikannya,

lingkungan hidupnya, baik itu situasi soscial kemasyarakatan, ekonomi

maupun politik, buku-buku yang di bacanya, maka corak tafsir al-Munîr

bisa kita kelompokkan dalam corak tafsir al-Fiqh atau mungkin corak

itulah yang paling dominan dalam tafsirnya.

Kesimpulan ini dilandasi tidak hanya oleh latar belakang pendidikan

Wahbah yang memang seorang pakar dalam disiplin ilmu syariah dan al-

Qonun. Tetapi tafsir al-Munîr ini juga di pengaruhi oleh karya

monumentalnya yang lain, yang ditulis sebelumnya, yaitu kitab “Al-Fiqh

Al-Islami wa Adilatuh”. Karena sebuah kitab bisa saja berafilisasi kepada

corak tafsir, tergantung keilmuan dan kecenderungan mufasirnya. Maka

corak lain yang bisa dideteksi dari tafsir al-Munir selain corak fiqh adalah

corak tafsir adabi ijtima‟i, yaitu disamping mengutamakan fokus

pembahsannya pada persoalan sosial kemasyarakatan, atau dengan kata

lain mengungkap hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan situasi

28 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 172

Page 89: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

71

social dan budaya yang berkembang di masyarakat. Hal ini dimungkinkan

karena Wahbah selain memiliki kepakaran dalam bidang ilmu syari‟ah

dan al-Qonun, ia juga memiliki basic kebahasaan yang memadai,

mengingat ia juga lulusan fakultas bahasa dan sastra Arab. Dengan

keilmuan sepeti ini Wahbah mampu mengulas dan menyajikan tafsirnya

dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat lugas, teliti dan mudah di

mengerti.29

g. Karakteristik Tafsir Al-Munîr

Karakteristik tafsir al-Munîr ada beberapa bagian, diantaranya yaitu:

1) Mengikuti pendapat salafi dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyâ

bihât.

Hal ini bisa dilihat dari penafirannya terhadap firman Allah “Ar-

Rahman „ala „arsyistawâ”. Wahbah menjelaskan dalam tafsirnya

bahwa Allah maha tinggi, dan agung, bersemayam di atas „Arsy.

Tidak seorang pun manusia yang mengetahui bagaimana Allah

bersemayam. Oleh sebab itu, Wahbah menyarankan agar umat Islam

beriman sebagaimana yang dipahami oleh ulama salaf yang sholeh,

yang mengimani sifat-sifat Allah dengan ketetapan yang telah

ditetapkan dalam kitab suci dan sunnah rasulnya, tanpa mengubah

atau menyelewengkan maknanya, tanpa memaksakan diri untuk

menakwilkannya. Kita harus mengimani “istiwa‟nya” Allah tanpa

mempertanyakan bagaimana atau seperti apa.

Meskipun Wahbah menunjukkan sikap condong berpihak kepada

pendapat ulama salaf dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat,

29 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 173-174

Page 90: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

72

namun beliau terkadang menafsirkan ayat yang menyebutkan „ain´

atau wajah Allah dengan makna metaforis. Misalnya ketika

menafsirkan QS Thâha 20 /39

“dan aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang

dari-Ku dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku,”

Wahbah menafsirkan kata „aini bukan dengan makna mata seperti

yang dimiliki manusia, tapi beliau mengalihkan maknanya secara

metaforis dengan perawatan, pengawasan dan perlindungan Allah

SWT. Begitu juga ketika menafsirkan lafal “bi yaminih” pada QS.

Az-Zumar surat ke 39, Wahbah menafsirkannya dengan makna

metaforis yaitu al-Qudrah dan al-quwwah (kemampuan dan

kekuatan-Nya). begitu juga ketika menafsirkan ayat amru robbika

(perintah tuhanmu) dalam QS. Al-Fajr surat ke 89, Wahbah

menafsirkannya dengan “Allah datang untuk memberikan hukuman

yang adil kepada hambanya.30

2) Mengaitkan hukum fikih ketika menafsirkan ayat-ayat ahkâm tanpa

fanatisme.

Dalam pembahasannya dibawah sub judul “Fiqh al-hayah” dan

setelah menjelaskan kandungan ayat secara umum, Wahbah

menjelaskan kandungan hukum dari ayat yang bernuansa hukum

yang sedang ditafsirkannya secara rinci dan panjang lebar, baik

dengan pendapat sendiri dalam ijtihadnya maupun dengan

mengemukakan opini para pakar fiqh dari berbagai mazhab, selain

30 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 175-176

Page 91: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

73

mazhabnya sendiri, terhadap permasalahan yang dibahas. Pemaparan

pendapat para ulama fiqh dari berbagai mazhab selain mazhabnya ini,

jelas menunjukkan sikapnya yang tidak fanatik mazhab.

3) Pengaruh Qira`at terhadap Tafsir al-Mun r sikap Wahbah terhadap

Qira`at

Wahbah az-Zuhaili dalam menafsirkan ayat-ayat hukum tidak

terlepas dari pembahasan qira`ah. Sebab adanya perbedaan istinbath

hukum dipicu oleh perbedaan qira`at al-Qur`an. Dalam muqaddimah

tafsirnya Wahbah menyebutkan bahwa referensi terpenting dari

pembahasan qira`ah dalam tafsirnya bersumber dari buku tafsir

Haqaiq at-Tanzil tafsir karya an-Nasafi, tafsir al-Bahr al-Muhîth

karya Abu Hayyan, dan buku qira`ah an-Nasyr fî al-Qira`ah al-

Asyarah karya Ibn al-Jazariy.31

4) Berusaha menghindari riwayat-riwayat israiliat

Dalam pandangan Wahbah, Fiqh Islam harus bersumber dari dalil-

dalil yang shahih yaitu Al-Qur`an dan hadis-hadis shahih selain

ijtihad penafsirnya. Hal ini dimungkinkan karena fokus penafsirannya

adalah ayat-ayat ahkam, bukan kisah-kisah yang ada dalam Al-

Qur`an, sedangkan israiliat erat kaitannya dengan kisah-kisah

tersebut, bukan dengan ayat-ayat hukum.32

Diantara keunggulan tafsir ini adalah bahwa penulisannya

berpedoman pada kaidah tafsir Al-Qur`an bi Al-Qur`an, hadis shahih,

asbab al-nuzûl, juga melakukan takhrij dan kritik atas beberapa hadis

yang ada. Tafsir ini juga menghindari riwayat yang syadz (jarang),

perbedaan beberapa teori ilmiah, meski tetap berusaha konsisten

31 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 178 32 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 179

Page 92: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

74

dalam keilmiahan. az-Zuhaili juga berbiacara masalah ilmu kalam,

namun yang sesuai dengan akidahnya, Ahl as-Sunnah, tanpa

ta‟ashshub yang berlebihan.33

h. Sistematika Penulisan Tafsir Al-Munîr

Berikut beberapa poin dari sistematika penulisan tafsir dalam kitab

tafsir al-Munîr:

1) Di setiap awal surat Wahbah selalu mendahulukan pembahasan

tentang keutamaan dan kandungan surat tersebut secara global.

2) Pengelompokkan ayat-ayat yang memiliki keterkaitan isi dan

kandungannya dibawah tema yang sesuai dengan kandungan ayat-

ayat tersebut.

3) Menyajikan ulasan kebahasaan dan sastra yang terkandung dalam

ayat, seperti pemaknaan kosa kata, menjelaskan posisi kata dalam

kalimat (i‟rab) dan menjelaskan aspek-aspek sastra (balaghah) yang

dikandung ayat.

4) Menjelaskan munasabah dan sebab nuzul.

5) Menjelaskan kandungan ayat secara rinci di bawah tema “tafsir wal

bayân”.

6) Membuat kesimpulan dengan menyebutkan poin-poin penting yang

terkandung dalam ayat-ayat yang ditafsirkan di bawah tema “fiqh al-

hayât wa al-ahkâm”.

7) Mencantumkan catatan kaki (foot note) dalam pengutipan karya

orang lain.34

Az-Zuhaili memulai tulisannya dengan menyebutkan latar belakang

penulisan dan manhaj yang dipedomaninya. Kemudian menjelaskan ilmu-

33A. Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 231 34 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 179

Page 93: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

75

ilmu pendukung yang terkait erat dengan masalah kealqur`anan.

Diantaranya adalah definisi Al-Qur`an, nama-nama lain Al-Qur`an, cara

penurunan Al-Qur`an, makiyyah-madaniyyah, awal dan akhir ayat yang

turun, siapa yang melakukan pengumpulan Al-Qur`an serta kronologisnya

sampai masa kodifikasi , teknik penulisan Al-Qur`an, rasm „utsm n ,

ilmu qira`at, pembuktian kembali tentang Al-Qur`an sebagai kalam Allah

disertai penjelasan kemukjizatannya, alasan penggunaan bahasa Arab

sebagai bahasa Al-Qur`an, hukum menerjkemahkan Al-Qur`an ke dalam

bahasa lain, faw ti al-suwar, dan diakhir dengan penjelasan tentang

ilmu balaghah, seperti tasyb h, isti` rah, maj z, kin yah dan

sebagainya.35

i. Penulisan dan Penerbitan Tafsir al-Munîr

Tafsir ini ditulis selama rentang waktu 16 tahun setelah selesai

menulis dua buku lainnya, yaitu Ushul al-Fiqh al-Islamiy (2 jilid) dan al-

Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu (8 jilid)

Tafsir al-Munir diterbitkan pertama kali oleh Dar al-Fikr, Beirut,

Lebanon, dan Dar al-Fikr Damsyiq, Suria dalam 16 pada tahun 1991

Dengan melihat fakta dan data di atas, maka Wahbah az-Zuhaili

memenuhi sebagian besar kriteria yang diajukan Khalid Abd Rahman

bagi seorang mufassir, diantara kriterianya sebagai berikut36

:

1) Muthâbaqat tafsir dan mufassir; dengan tidak mengurangi penjelasan

makna yang diperlukan, tidak ada tambahan yang tidak sesuai dengan

tujuan dan makna serta menjaga penyimpangan makna yang

dikehendaki oleh Al-Qur`an.

35 A. Husnul Hakim, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, h. 230 36 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, h. 180

Page 94: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

76

2) Menjaga makna hakiki dan makna majazi, yang dimaksud makna

haqiqi tapi dibawa dalam keadaan makna majazi atau sebaliknya.

3) Muraat‟ ta‟lif antara makna dan tujuan yang sesuai deengan

pembicaraan dan kedekatan antar kata.

4) Menjaga tabasubil ayat.

5) Memperhatikan asbabun nuzûl.

6) Memulai dengan bahasa, sharf dan isytiqaq yang berhubungan

dengan lafadz disertai dengan pembahasan dengan tarakib.

7) Menghindari idd‟a pengulangan al-Qur`an.

Page 95: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

77

BAB IV

PENAFSIRAN AL-IMAM AL-QURTHUBÎ DAN WAHBAH AZ-

ZUHAILÎ MENGENAI AYAT-AYAT TOLERANSI

Ayat-ayat yang dianalisa tafsirnya terkait toleransi pada bab ini

mengacu pada ayat-ayat toleransi yang merupakan kombinasi menurut

tafsir Kemenang (Kementerian Agama), menurut M. Quraish Shihab dan

menurut Zuhairi Misrawi.

Hubungan antar agama dapat diilakukan hanya sebatas pada persoalan

sosial (mu‟âmalah) semata. Sehingga segala bentuk hubungan atau

komunikasi yang melampaui permasalahan mu‟âmalah adalah dilarang,

terutama dalam persoalan teologi (akidah).1

A. Larangan Memaksa Orang Yang Tidak Beriman Menjadi

Beriman (QS. Yûnus [10]: 99)

1. Penafsiran Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Ansh

âri al-Qurthubî

“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang

yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak)

memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman

semuanya ?” (QS. Yûnus [10]: 99)

1 Muhammad Sabir, Wawasan Hadis Tentang Tasamuh (Toleransi), h. 8

Page 96: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

78

Imam al-Qurthubî dalam menafsirkan ayat ini tidak dikelompokan

dengan ayat yang lain, tidak menyebutkan munasabah dan juga tidak

menyebutkan asbâb nuzûl, tetapi langsung pada makna ayat.

a. Makna ayat

Dalam penjelasannya Imam al-Qurthubî membagi ayat ini menjadi

dua penggalan ayat. Yakni penggalan ayat yang pertama,

( )

“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua

orang yang di muka bumi seluruhnya.” Maksudnya adalah,

seandainya Allah Swt. berkehendak niscaya semua umat di muka

bumi ini akan dipaksa untuk beriman.

Adapun pembahasan nahwu dalam penggalan ayat ini adalah:

1) Lafazh

Imam al-Qurthubi memaparkan lafadz yang berarti

“Seluruhnya,” dalam penggalan ayat ini adalah penguat untuk

lafadz yang berarti “manusia”.

2) Lafazh

Page 97: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

79

Pada lafazh ini Imam al-Qurthubî mengutip pendapat

Imam Sibawaih dan Imam Al-Akhfasy. Menurut Imam Sibawaih

lafazh dibaca nashab karena berfungsi sebagai hâl.2

Adapun menurut Imam Al-Akhfasy lafazh di sebutkan

setelah lafadz karena berfungsi sebagai penguat atau

penegas (ta‟kid atau taukîd)3, seperti firman Allah SWT:

“Allah berfirman: Janganlah kamu menyembah dua Tuhan;

Sesungguhnya Dialah Tuhan yang Maha Esa, Maka hendaklah

kepada-Ku saja kamu takut.” (QS. An-Nahl [16]: 51)

Dengan kata lain, lafazh menurut Imam Sibawaih

mempunyai kedudukan sebagai hâl, sedangkan menurut Imam Al-

Akhfasy lafazh mempunyai kedudukan sebagai ta`kid atau

penguat.

2 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, ter. Tafsir al-Jâmi li al-Ahkâmi Al-Qurân

al-Qurthubî oleh Dudi Rosyadi, Faturrahman, Fachrurazi, jilid 8, (Jakarta: Pustaka

Azzam, 2009), cet. Pertama, h. 925

3 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 8, h. 925

Page 98: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

80

Penggalan ayat keedua,

( ) “Maka Apakah kamu

(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang

beriman semuanya ?”

Dalam menafsirkan ayat ini, beliau tidak banyak memberikan

penjelasan tetapi langsung mengutip riwayat Imam Ibnu Abbas yang

mengatakan bahwa Nabi saw. sangat menjaga dan ingin agar semua

manusia beriman, maka Allah memberitahu beliau bahwa sebagian

manusia tidak beriman kecuali yang telah ditentukan, dan tidak juga

disesatkan kecuali yang sudah ditetapkan.4

Kemudian al-Qurthubî menjelaskan penafsiran dari lafazh

yang di kutip dari pendapat Ibnu Abbas, bahwa yang di maksud

dengan lafazh tersebut adalah adalah Abu Thalib.5 Sehingga

ayat tersebut dapat di artikan “Apakah Engkau (Muhammad) Abu

Thalib untuk menjadi orang yang beriman?”

2. Penafsiran Wahabah Az-Zuhaili

4 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 8, h. 926

5 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 8, h. 926

Page 99: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

81

“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang

yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak)

memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman

semuanya ?” (QS. Yûnus [10]: 99)

Wahbah az-Zuhaili dalam menafsirkan ayat ini menjelaskan

tentang i‟râb, munâsabah, tafsir dan penjelasan. Pada ayat ini Wahbah

az-Zuhaili tidak menjelaskan asbâb nuzûl. Berikut pemaparan dari

poin-poin di atas:

a. i‟râb

1) lafazh . Menurut wahbah az-Zuhaili lafzh pada ayat

ini berfungsi sebagai penguat dara lafazh

2) Lafazh . Wahbah az-Zuhaili mengutip pendapat Imam

Sibawaih dan Imam Al-Akhfasy. Menurut Imam Sibawaih lafazh

dibaca nashab karena berfungsi sebagai hâl.6 Adapun

menurut Imam Al-Akhfasy lafazh terletak setelah lafazh

ل karena berfungsi sebagai penguat seperti firman Allah SWT:

6 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 8, h. 925

Page 100: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

82

Janganlah kamu menyembah dua Tuhan; Sesungguhnya Dialah

Dengan kata lain, lafazh menurut Imam Sibawaih

mempunyai kedudukan sebagai hâl, sedangkan menurut Imam Al-

Akhfasy lafazh mempunyai kedudukan sebagai ta`kid atau

penguat.

b. Munâsabah

Ayat ini berhubungan dengan ayat sebelumnya yaitu QS.

Yûnus ayat 97 yang menjelaskan bahwa orang-orang yang telah di

pastikan mendapat ketetapan Tuhannya, tidak akan beriman

meskipun mereka mendaptanda-tanda (kebesan Allah Swt.),

hingga mereka mendapatkan azab yang sangat pedih.

c. Tafsir dan penjelasan

Dalam memjelaskan makna dari ayat ini Wahbah az-

Zuhaili membaginya menjadi dua penggalan ayat. Pertama,

“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua

orang yang di muka bumi seluruhnya”.

Beliau menjelaskan bahwa jika Tuhanmu menghendaki wahai

Muhammad bahwa memberikan izin kepada penghuni bumi

semuanya untuk beriman dengan apa yang kamu bawa kepada

Page 101: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

83

mereka, dan menciptakan keimanan dalam diri setiap mereka,

niscaya Dia akan melakukannya dan akan beriman kepada mereka

semuanya. Akan tetapi Allah mempunyai hikmah terhadap apa

yang dilakukan-Nya, sebagaimana firman-Nya,

“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia

umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat),

kecuali orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah

Allah menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah

tetap, “Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin

dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (QS. Hûd: 118-119)

Maksud dari penjelasan beliau diatas yaitu, tidak ada yang

mustahil bagi Allah Swt. untuk membuat seluruh umat di muka

bumi ini beriman kepada-Nya. Akan tetapi, Allah Swt.

mempunyai hikmah bagi umat manusia terhadap apa yang

dilakukan-Nya, termasuk tidak menyamaratakan seluruh umat

manusia untuk beriman kepada-Nya.

Kata ( ) dalam ayat ini maksudnya adalah meliputi

dan mencakup. Adapun kata () maksudnya adalah semuanya

Page 102: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

84

beriman, melaksanakan aturan dan tidak berselisih.7 Yang berarti,

semua umat manusia di muka bumi ini beriman kepada Allah

Swt., melaksanakan aturan-Nya dan tidak berselisih satu sama

lain.

Kedua,

( ) Apakah kamu wahai Muhammad hendak

mengharuskan manusia dan memaksa mereka untuk beriman.

Tidaklah sepatutnya kamu berbuat seperti itu dan tidak pula kamu

dipaksa, tetapi hanya di tangan Allah-lah paksaan itu dan atas

kehendak-Nya, karena iman tidak akan sempurna dengan paksaan

dan tekanan juga kekerasan, tetapi iman akan sempurna dengan

kelembutan dan kebebasan.8

3. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran

Dalam tafsir al-Qurthubî dan tasir al-Munîr sama-sama

menjelaskan bahwa keimanan seseorang tidak bisa dipaksakan hanyak

Allah yang menentukan beriman dan kafirnya seeorang.

Tindakan memaksakan orang agar beriman merupakan tindakan

yang justru bertentangan dengan Al-Qur`an itu sendiri. Karena dala

ayat ini berdasarkan kedua tafsir diatas, berpesan bahwa untuk urusan

keimanan seseorang tidak boleh di paksakan. Jadi memaksakan orang

lain yang belum beriman agar beriman dengan cara paksaan, itu tindak

7 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, terj. Tafsir al-

Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj oleh Abdul Hayyie al-Kattani dkk,

jilid 6, (Jakarta: Gema Insani, 2013), cet. Pertama, h. 260

8 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 6, h. 260

Page 103: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

85

intoleran yang justru tidak sejalan dengan Al-Qur`an. Bahwa

berdakwah itu wajib, mengajak orang untuk beriman itu wajib, tetapi

tidak dengan cara paksaan. Ini juga berkorelasi atau bermuansabah

dengann ayat al-Qur‟an yang berbunyi,

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya

telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu

Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada

Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang

Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi

Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 256

B. Izin dari Allah Kepada Muslim Untuk Bergaul atau

Bersilaturahmi dengan non Muslim (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8)

1. Penafsiran Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Ansh

âri al-Qurthubî

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil

terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan

tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah

menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60]:

8)

Page 104: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

86

Imam al-Qurthubî dalam menafsirkan ayat ini tidak

dikelompokan dengan ayat yang lain, tidak menyebutkan munasabah,

tetapi langsung pada makna ayat dan menjelaskan adanya asbâb nuzûl.

a. Penjelasan makna ayat

Imam al-Qurthubî membagi ayat ini menjadi dua

penggalan ayat. Yakni penggalan ayat yang pertama,

( )

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil

terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama”

mengenai penggalan ayat ini dibahas tiga masalah:

Dalam penggalan ayat ini Imam al-Qurthubî membahas tiga

masalah, yaitu:

1) ayat ini merupakan bentuk keringanan dari Allah swt. untuk

membina hubungan silaturahim dengan kaum non Muslim selama

mereka tidak memusuhi kaum Muslim. al-Qurthubî mengutip

pendapat Imam Ibnu Zaid bahwa hal ini berlaku pada masa awal-

awal Islam ketika kewajiban perintah perang belum ada.9

Beliau juga mengutip pendapat Qatadah yang meyatakan

bahwa ayat ini telah di nasakh dengan QS. At-Taubah ayat 5,

9 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, ter. Tafsir al-Jâmi li al-Ahkâmi Al-Qurân

al-Qurthubî oleh Dudi Rosyadi, Faturrahman, Fachrurazi, jilid 18, (Jakarta: Pustaka

Azzam, 2009), cet. Pertama, h. 360

Page 105: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

87

“Maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu

jumpai mereka, dan tangkaplah mereka.” (QS. At-Taubah [9]: 5)

Berikut pendapat-pendapat ulama lainnya yang di kutip

oleh Imam al-Qurthubî mengenai ayat di bolehkannya membina

hubungan silaturahim dengan kaum non Muslim yang tidak

memusuhi dan memerangi kaum Muslim:

a) Menurut satu pendapat, adanya hukum ini (boleh membina

hubungan silaturahim dengan orang-orang yang tidak

memusuhi dan mengusir kaum mukminin) merupakan sebuah

alasan supaya terciptanya perdamaian.10

b) Menurut Al-Hasan, ayat ini di khususkan untuk sekutu-sekutu

Nabi dan orang-orang yang terikat perjanjian dengan Nabi

Muhammad saw. serta tidak melanggarnya.

c) Menurut Al-Kalbi dan Abu Shalih, yang di maksud dengan

orang-orang yang tidak memusuhi dan memerangi kaum

Muslim adalah kabilah Khuza‟ah dan Bani Al-Harits bin Abdi

Manaf.11

d) Mujahid berpendapat bahwa ayat ini dikhususkan untuk orang-

orang yang beriman namun tidak melakukan hijrah.

e) Sebagian mufassir berpendapat, yang di maksud dalam ayat ini

adalah kaum perempuan dan anak-anak, yang mana mereka

termasuk kaum yang lemah dan tidak memungkin kan bisa

memerangi kaum Muslim. Dalam hal ini, Allah memberikan

izin untuk berbuat baik kepada mereka.12

10 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 360

11 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 360

12

Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 361

Page 106: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

88

f) Mayoritas ahli takwil (ulama yang selalu melakukan

interpetasi atas teks ayat) berpendapat bahwa ayat ini

merupakan ayat muhkamah. Mereka berargumentasi dengan

menyatakan bahwa Asma binti Abi Bakr pernah bertanya

kepada Nabi saw. apakah ia boleh membina hubungan

silaturahim dengan ibunya yang datang kepadanya dalam

keadaan musyrik? Beliau kemudain menjawab, “Ya, (Boleh).

Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.13

2) lafazh ( ) “untuk berbuat baik” lafadz . berada pada

posisi jar karena menjadi badal dari lafadz . Maksudnya

Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik kepada orang-

orang yang yang tidak memerangi kalian, yaitu kabilah Khuza‟ah,

dimana mereka telah berdamai dengan Nabi dan tidak akan

memerangi beliau dan tidak pula akan membantu seseorang

menentang beliau. Allah memerintahkan untuk berbuat baik dan

memenuhi janji terhadap merekka sampai batas waktunya.

Demikianlah yang diriwayatkan Al-Farra‟.14

Firman Allah ( ) “Dan berlaku adil terhadap

orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)

mengusir kamu dari negerimu.” Maksudnya dalah memberikan kepada

13 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 361

14

Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 362

Page 107: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

89

sebagian dari harta kalian sebagai upaya membina hubungan

silaturahim. Yang dimaksud oleh firman Allah itu bukanlah bersikap

adil. Sebab bersikap adil adalah sebuah keharusan, baik terhadap orang

yang memerangi maupun terhadap orang yang tidak memerangi.

Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu „Arabi.15

3) Al-Qadhi Abu Bakar bin Al-Arabi berkata dalam kitab Ahkâm-nya,

“Ayat itu dijadikan argumentasi oleh sebagian orang yang terlipat

jari kelingkingnya tentang kewajiban seorang anak yang muslim

untuk memberikan nafkah kepada ayahnya yang kafir. Ini

merupakan senuah kekeliruan yang besar. Sebab ada atau tidak

adanya izin terhadap sesuatu tidaklah menunjukan bahwa sesuatu

itu wajib. Akan tetapi, izin itu hanya memberikan hukum boleh

padamu. Kami telah menjelaskan bahwa Isma‟il bin Ishak Al-

Qadhi ditemui oleh seorang kafir dzimmi dan dia memuliakannya.

Orang-orang yang hadir (pada saat itu) kemudian menyampaikan

keberatan kepadanya dalam hal itu. Lalu dia pun membacakan ayat

ini kepada mereka.” 16

b. Asbâb nuzûl

Menurut satu pendapat, sebab di turunkannya ayat yang

berkaitan dengan “membina hubungan silaturahim dengan orang-

orang yang tidak memerangi dan mengusir kaum mukminin” ini

adalah Abu Bakar Ash-Shidiq yang menceraikan istrinya,

Qutailah, pada masa jahiliyah.

Sebagaimana riwayat dari Amir bin Abdullah bin Az-

Zubair, bahwa Abu Bakar Ash-Shidiq menceraikan istrinya,

15 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 362

16 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 363

Page 108: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

90

Qutailah, pada masa jahiliyah. Qutailah adalah ibu dari Asma‟

binti Abu Bakar. Pada saat itu Qutailah datang menemui mereka

yang mana sedang berlangsung terjadinya gencatan senjata antara

Rasulullah saw. dan orang-orang yang musyrik. Beliau kemudian

memberikan hadiah berupa anting-anting dan beberapa benda

(lainnya) kepada Asma‟ binti Abu Bakar ash-Shiddiq, namun

Asma‟ tidak mau menerimanya, sebelum beliau menanyakan

perihal tersebut kepada Rasulullah saw. Kemudian dia mendatangi

Rasulullah saw. dan menuturkan hal itu kepada beliau. Allah swt

kemudian menurunkan:

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil

terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama

dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.”

Dalam riwayat ini diceritakan bahwa Asma‟ binti Abu

Bakar ash-Shiddiq menerima hadiah dari ibunya, Qutailah

meskipun ibunya tersebut bukan orang Muslim. Hadis ini juga di

riwayatkan oleh Al-Mawardi dan Abu Daud Ath-Thayalisi dalam

musnadnya.17

17 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 362

Page 109: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

91

2. Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil

terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan

tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah

menyukai orang-orang yang Berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah [60]:

8)

Wahbah az-Zuhaili dalam menafsirkan ayat ini menjelaskan

tentang i‟râb, asbâb nuzûl, tafsir dan penjelasan. Pada ayat ini Wahbah

az-Zuhaili tidak menjelaskan munâsabah. Berikut pemaparan dari

poin-poin di atas:

a. i‟râb

1) lafazh . Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa lafazh

tersebut berkedudukan sebagai jar yang merupakan badal isytimâl

dari kalimat . Menurut beliau ada juga yang

berpendapat bahwa kalimat ini berkedudukan nashab sebagai maf‟

ûl li ajlih.

2) Lafazh . Merupakan fi‟il muta‟addî dengan huruf jar ilâ

karena dilihat dan dipahami dalam konteks makna fi‟il tuhsinû.

Seakan-akan dikatakan disini tuhsinû ilaihim.

Page 110: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

92

b. Asbâb nuzûl

Imam Ahmad, al-Bazzar, Hakim, dan yang lainnya meriwayatkan

dari Abdullah bin zubair r.a., ia berkata,

“Qutailah binti Abdul uzza datang mengunjungi putrinya Asma`

binti Abu Bakar r.a sambil membawa beberapa buah tangan

(hadiah) – yaitu shinaan (makanan yang terbuat dari biji sawi dan

zabib), aqith (keju) dan samn (mentega) – sedang waktu itu ia

adalah perempuan musyrik. Lalu Asma` pun menolak untuk

menerima hadiah itu dan menolak untuk mempersilahkannya

masuk, sehingga ia megutus seseorang untuk menemui aisyah r.a

untuk meminta tolong kepadanya agar menayakannya hal tersebut

kepada rasulullah saw. Lalu Aisyah punmenyampaikan hal itu

kepada beliau, lalu beliau pun menyuruh asma` agar menerima

hadiah dari ibunya itu dan mempersilhakannya masuk. Kemudian

Allah Swt pun menurunkan QS. Al-Mumtahanah ayat 8.”

Dalam riwayat ini diceritakan bahwa Asma‟ binti Abu

Bakar ash-Shiddiq menerima hadiah dan mempersilahkan ibunya,

Qutailah untuk masuk ke dalam rumahnya, meskipun ibunya

tersebut bukan orang Muslim.

c. Tafsir dan penjelasan

Wahbah az-Zuhaili menjelaskan bahwasannya Allah Swt.

tidak melarang kaum Muslim untuk bersikap baik kepada orang-

orang kafir yang bersikap damai, tidak memerangi karena agama

dan tidak mengusir kaum Muslim dari kampung halaman dan

rumah-rumah nya. Allah Swt. tidak melarang untuk berbuat baik

kepada orang-orang kafir yang seperti itu, seperti halnya menjalin

Page 111: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

93

silaturahim, berbuat baik kepada tetangga, menjamu dan

menyambut kunjungan mereka dengan baik. Allah Swt. juga tidak

melarang untuk berbuat adil satu sama lain dengan mereka, seperti

memenuhi janji kepada mereka, menunaikan amanah, dan

membayar harga barang yang dibeli secara utuh tanpa dikurang-

kurangi. Sesungguhnya Allah swt mencintai orang-orang yang

senantiasa berbuat adil dan meridhai mereka, serta membenci

orang-orang yang berlaku dzalim dan menghukum mereka.18

Yang dimaksud ayat ini adalah bahwasannya Allah Swt.

tidak melarang untuk berbuat baik kepada kaum kafir yang

menjalin perjanjian damai dengan kaum Muslim untuk tidak

memerangi dan mencelakai kaum Muslim. Allah Swt. juga sama

sekali tida melarang untuk memperlakukan mereka dengan adil,

seperti bani Khuza‟ah dan yang lainnya yang membuat perjanjian

dengan Rasulullah saw. bahwa mereka tidak memerangi beliau

dan kaum Muslim.19

3. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran

Pada kedua tafsir di atas sama-sama menjelaskan bahwa kaum

muslimin boleh bersikap baik kepada kaum kafir selama mereka

tidak memerangi kaum muslim dan tidak membantu yang lainnya

untuk menghancurkan kaum muslim.

Imam al-Qurthubî memiliki tiga pendapat dalam menafsirkan

ayat ini yaitu:

18 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, terj. Tafsir al-

Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj oleh Abdul Hayyie al-Kattani dkk,

jilid 14, (Jakarta: Gema Insani, 2013), cet. Pertama, h. 510

19

Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 14, h. 510

Page 112: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

94

Pertama, ayat ini merupakan keringanan dari Allah swt. untuk

membina hubungan silaturahim dengan orang-orang yang tidak

memusuhi kaum mukminin dan tidak pula memerangi mereka.

Menurut Imam al-Qurthubî hukum boleh membina hubungan

silaturahim ini ada karena adanya sebuah alasan, yakni perdamaian.

Kedua, orang-orang yang disebut sebagai yang tidak memerangi

adalah kaum perempuan dan anak-anak, maka allah menganjurkan

berbuat baik kepada mereka.

Menurut Wahbah Zuhaili dalam tafsir al-Munîr, Allah swt tidak

melarang untuk berbuat baik kepada kaum kafir yang menjalin

perjanjian damai dengan kaum Mukminin untuk tidak memerangi

dan mencelakai kaum Mukminin. Allah swt juga sama sekali tida

melarang untuk memperlakukan mereka dengan adil, seperti

Khuza‟ah dan yang lainnya yang membuat perjanjian dengan

Rasulullah saw bahwa mereka tidak memerangi beliau dan kaum

Mukminin.

Nilai toleransi pada ayat ini terlihat jelas dimana kaum muslim

dianjurkan untuk berbuat baik kepada non muslim, dengan catatan

selama hubungan yang terjalin dikedua pihak berjalan dengan baik

serta saling menjaga kepercayaan masing-masing dan juga jika

umat non muslim tidak menyerang, dan tidak memerangi umat

Islam.

Page 113: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

95

C. Larangan Muslim Bergaul dan Ber-muwâlah dengan non Muslim

yang Membahayakan Islam (QS. Al-Mumtahannah [60]: 9)

1. Penafsiran Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Ansh

âri al-Qurthubî

“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai

kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan

mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk

mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan,

Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah

[60]: 9)

Imam al-Qurthubî dalam menafsirkan ayat ini tidak

dikelompokan dengan ayat yang lain, tidak menyebutkan munasabah

dan juga tidak menyebutkan asbâb nuzûl, tetapi langsung pada makna

ayat. Disini beliau membagi beberapa penggalan ayat dalam

penafsirannya, penggalan ayat yang pertama yaitu,

( )

“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai

kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama.”

Maksudnya adalah Allah Swt. melarang kaum Muslim untuk

bergaul dengan orang-orang non Muslim yang memerangi dan

Page 114: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

96

menyusahkan kaum Muslim karena agama.20

Ayat ini

berkesinambungan dengan ayat yang sebelumnya yakni QS. Al-

Mumtahanah ayat 8, dimana dijelaskan bahwa allah Swt tidak

melarang kaum Muslim untuk bergaul dengan non Muslim selama

mereka tidak memerangi kaum Muslim.

Penggalan ayat kedua, ( ) yang

bermakna “Dan mengusir kamu dari negerimu.” Menurut imam al-

Qurthubî mereka adalah penduduk Mekkah yang membangkang, yang

mengusir kaum Muslim dari Mekkah.

Penggalan ayat ketiga, ( ) yang bermakna “Dan

membantu.” Maksudnya adalah kaum musyrikin Mekkah yang

membantu sesamanya untuk mengusir kaum Muslim dari negerinya.21

Penggalan ayat keempat, ( ) yang bermakna

“Menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu

karena agama dan mengusir kamu dari negeri mu dan membantu

(orang lain) untuk mengusirmu.” Lafazh berada pada posisi jarr

20 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 364

21 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 364

Page 115: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

97

karena menjadi badal dari kata sebelumnya yang terdapat pada

kalimat yang bermakna “ Untuk berbuat baik. ”22

Penggalan ayat kelima, ( ) yang bermakna “Dan

barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan” maksudnya adalah

menjadikan kaum non Muslim yang selalu memerangi umat muslim

tersebut sebagai kawan, penolong, dan kekasih.

Penggalan ayat keenam, ( ) yang

bermakna “Maka mereka itulah orang-orang yang dzalim.”23

Maksudnya adalah, jika kaum Muslim masih memaksakan

berteman atau bergaul dengankaum non muslim yang mempunyai

kriteria diatas, yaitu, memerangi kaum muslim, mengusir kaum

muslim dari negerinya maka termasuk pada golongan orang-orang

yang dzalim, baik itu bagi dirinya sendiri ataupun dzalim terhadap

yang Maha Kuasa.

22 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 364

23 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 18, h. 365

Page 116: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

98

2. Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili

“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai

kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan

mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk

mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan,

Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah

[60]: 9)

Wahbah az-Zuhaili dalam ayat ini tidak mengelompokan ayat,

tidak menjelaskan i‟râb, munâsabah, dan asbâb nuzûl. Akan tetapi,

beliau langsung menjelaskan makna ayat.

Wahbah az-Zuhaili memaparkan bahwasannya Allah Swt. dalam

ayat ini menjelaskan siapa saja kah orang-orang kafir yang kaum

Muslim dilarang menjalin hubungan baik dengan mereka.

Allah Swt. hanya melarang kaum Muslim menjalin muwâlâh

dengan orang-orang kafir yang memusuhi Islam, yaitu para tokoh

kaum kafir Quraisy dan orang-orang yang seperti mereka yang selalu

memusuhi kaum Muslimin, serta yang membantu, menyokong, dan

mendukung pihak-pihak yang memerangi dan mengusir kaum Muslim.

Mereka adalah segenap kaum kafir Mekah yang memusuhi kaum

Muslimin dan orang-orang yang memihak mereka dalam memerangi

dan mengusir kaum muslimin. Allah Swt. melarang untuk menjadikan

Page 117: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

99

mereka sebagai wali (teladan, penolong, teman setia), bahkan Allah

Swt. memerintahkan kaum Muslim untuk memusuhi mereka.24

Kemudian Allah Swt. mempertegas ancaman terhadap orang yang

menjalin muwâlâh dengan orang-orang kafir yang seperti itu dan

menjadikan mereka sebagai wali, membantu mereka dan bersikap pro

kepada mereka, orang-orang yang berbuat hal seperti itu merupakan

orang-orang yang telah mendzalimi dirinya sendiri. Mereka menjalin

muwâlâh dengan orang yang seharusnya dimusuhi. Sebab orang-orang

non Muslim yang seperti itu merupakan musuh Allah SWT., Rasul-

Nya dan kitab-Nya.25

Dengan kata lain, pernyataan seperti bukan hanya ditujukan pada

kaum kafir Quraisy ketika itu, tapi juga berlaku untuk kaum non

Muslim saat ini.

3. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran

Penjelasan tafsir pada surat Al-Mumtahanah ayat 9 ini

berkaitan dengan ayat sebelumnya pada ayat 8. Dalam kedua tafsir

ini dijelaskan bahwa Allah swt melarang kaum muslim untuk

menjalin hubungan dengan orang-orang kafir yang memusuhi kaum

muslim, serta yang membantu, menyokong, dan mendukung pihak-

pihak yang memerangi dan mengusir kaumm muslim.

Wahbah Zuhaili dalam tafsir al-Munîr mempertegas tentang

ancama Allah swt. terhadap orang yang menjalin muwâlâh dengan

24 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, terj. Tafsir al-

Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj oleh Abdul Hayyie al-Kattani dkk,

jilid 14cet. Pertama, h. 510

25 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, terj. Tafsir al-

Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj oleh Abdul Hayyie al-Kattani dkk,

jilid 14, cet. Pertama, h. 510

Page 118: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

100

orang-orang kafir. dan menjadikan mereka sebagai wali , dengan

menyatakan bahwa barang siapa yang menjadikan orang-orang kafir

seperti itu dan menjadikan mereka sebagai wali, dengan

menyatakan bahwa barangsiapa yang menjadikan orang-orang kafir

seperti itu sebagai wali, membantu mereka dan bersikap pro kepada

mereka, orang-orang yang berbuat seperti itu adalah orang-orang

yang telah mendzalimi dirinya sendiri. Mereka menjalin muwâlâh

dengan orang yang seharusnya dimusuhi disebabkan ia adalah

musuh Allah swt, Rasul-Nya dan kitab-Nya.

Wahbah az-Zuhaili dalam tafsir al-Munîr juga menjelaskan

bahwa kaum kafir yang dimaksud dalam ayat ini adalah kaum kafir

Quraisy. Namun, menurut hemat penulis, hukum ini berkaitan

dengan orang-orang kafir mana saja, bukan hanya kaum kafir

Quraisy. Dengan catatan, bahwa larangan bergaul dengan non

muslim atau ber-muwâlâh dengan non muslim ini, adalah jika non

muslimnya membahayakan, memerangi atau ikut membantu

mendukung upaya-upaya yang memerangi umat Islam. Jadi dalam

memahami ayat ini perlu dilihat kaitannya (munasabahnya) dengan

ayat Al-Quran lainnya yang mengatakan bahwa Allah

membolehkan umat Islam bergaul dengan umat non muslim selagi

mereka tidak menyerang umat Islam.

Page 119: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

101

D. Larangan Memaki Sesembahan Kaum non Muslim (QS. Al-

An’âm [6]: 108)

1. Penafsiran Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-Ansh

âri al-Qurthubî

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka

sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah

dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami

jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian

kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan

kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al-An`âm

[6]: 108)

Imam al-Qurthubî dalam menjelaskan ayat ini tidak

mengelompokan ayat, tidak membahas i‟râb, munâsabah dan

asbâb nuzûl. Akan tetapi beliau langsung menjelaskan makna ayat.

Imam al-Qurthubî menjelaskan makna ayat ini dengan cara dengan

beberapa penggalan.

Penggalan ayat pertama,

) (

Yang bermakna “Dan janganlah kamu memaki sembahan-

sembahan yang mereka sembah selain Allah,” Yang mana ayat di

atas menurut Wahbah az-Zuhaili merupakan larangan yang mutlak,

Page 120: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

102

bahwasannya kaum Muslim di larang untuk memaki sesembahan

kaum kafir Quraisy.

Penggalan ayat kedua, ( ) yang bermakna“Karena

mereka nanti akan memaki Allah,” menurut Wahbah az-Zuhaili

adalah akibat dari larangan tersebut. Dalam ayat ini Allah Swt.

melarang orang-orang yang beriman memaki berhala-berhala orang

kafir, Karena Dia mengetahui bahwa apabila orang-orang yang

beriman memaki berhala-berhala tersebut, maka orang-orang kafir

akan semakin menjauh dan bertambah kufur.26

Wahbah az-Zuhaili mengutip pendapat Ibnu Abbas ra yang

mengatakan, “Orang-orang kafir Quraisy pernah berkata kepada

Abu Thalib, „Kamu melarang Muhammad dan para sahabatnya

memaki tuhan-tuhan kami dan menghinanya atau kami akan balik

memaki tuhannya dan menghinanya.‟ Maka turunlah ayat ini.27

Wahbah az-Zuhaili mengutip pendapat para ulama yaitu,

“Hukum ayat ini tetap ada pada umat ini dalam keadaan apapun.

Selama kaum Muslim tidak mengolok-olok sesembahan kaum

musyrik, maka mereka tidak akan menghina Allah Swt, Islam, dan

juga Nabi Muhammad saw. Sudah di tegaskan bahwasannya kaum

Muslim tidak boleh memaki, menghina, atau mengusik salib, agama

dan gereja mereka, serta tidak boleh melakukan hal-hal yang

26 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, ter. Tafsir al-Jâmi li al-Ahkâmi Al-Qurân

al-Qurthubî oleh Dudi Rosyadi, Faturrahman, Fachrurazi, jilid 7, cet. Pertama, h. 153 27 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, ter. Tafsir al-Jâmi li al-Ahkâmi Al-Qurân

al-Qurthubî oleh Dudi Rosyadi, Faturrahman, Fachrurazi, jilid 7, cet. Pertama, h. 153

Page 121: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

103

membawa pada hal tersebut. Sebab perbuatan itu sama dengan

mendorong untuk melakukan kemaksiatan.”28

Tujuan penggunaan kata الذي untuk berhala, padahal ia tidak

termasuk yang berakal, menunjukan bahwa yang dimaksud adalah

orang-orang yang berkeyakinan kufur.29

Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwasannya ayat ini

menunjukan salah satu bentuk gencatan senjata atau perdamaian

dan merupakan dalil wajib yang mencegah terjadinya kerusakan.

Dalam ayat ini juga terdapat dalil bahwa orang yang benar

terkadang harus menahan diri untuk tidak mengambil haknya

apabila akan menimbulkan dampak negatif yang mungkin terjadi

pada agama.

Semakna dengan ini, Wahbah az-Zuhaili mengutip apa yang

diriwayatkan oleh Umar bin Khaththab ra, dia berkata, “Jangan

terlalu keras memutuskan hukum antara orang-orang yang yang

memiliki hubungan kerabat, karena khawatir hubungan kekerabatan

akan terputus.”

Wahbah az-Zuhaili juga mengutip pendapat Ibnu al-„Arabi

yang berkata, “Jika hak itu adalah hak wajib, maka dia boleh

mengambilnya dalam keadaan apapun. Jika hak itu adalah hak tidak

wajib, maka inilah yang dimaksud oleh perkataan tersebut.” 30

28 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 7, h. 153

29 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 7, h. 154

30 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 7, h. 154

Page 122: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

104

Penggalan ayat ketiga, () yang memiliki arti “karena

kejahilan dan kedzaliman”.31

Penggalan ayat keempat,

) (

Yang memiliki arti “Demikianlah Kami jadikan setiap umat

menganggap baik pekerjaan mereka,” menurut wahbah az-Zuhaili

maksudnya adalah sebagaimana Kami jadikan mereka menganggap

baik perbuatan mereka.

Wahbah az-Zuhaili mengutip pendapat Ibnu Abbas r.a

yaitu, “Dijadikan ahli ketaatan memganggap baik ketaatan dan

dijadikan ahli kekufuran menganggap baik kekufuran. Ini sama

seperti firman Allah swt,

„Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki

siapa yang dikehendaki-Nya.‟ (QS. Fâthir [35]: 8)

Dalam ayat ini terdapat bantahan terhadap kelompok Qadariyah.”32

31 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 7, h. 155

32 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 7, h. 155

Page 123: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

105

1. Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka

sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan

melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan

Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada

Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada

mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al-An”âm [6]: 108)

Wahbah az-Zuhaili dalam ayat ini tidak mengelompokan ayat,

tidak menjelaskan munâsabah dan i‟râb. Beliau menjelaskan mufradât

lughawiyyah, asbâb nuzûl dan makna tafsir. Berikut poin-poin yang di

bahas pada penjelasan tafsir ini:

a. Mufradât lughawiyyah

1) Lafazh , yang berarti “berdoa pada

berhala-berhala”. Menurut Wahbah az-Zuhaili penggunaan

redaksi berhala dengan ( ) [kata sambung untuk yang

berakal], padahal mereka (berhala-berhala) itu tidak berakal untuk

menyesuaikannya dengan keyakinan orang-orang kafir dengan

berhala-berhala itu.

Page 124: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

106

2) Lafazh , yang mempunyai makna “melampui batas dan dzalim”.

3) Lafazh , yang mempunyai makna “tanpa ilmu dan di

dasari dengan kebodohan mereka”.

4) Lafazh , yang mempunyai makna “sebagaimana Kami

jadikan mereka menganggap baik perbuatan mereka”.

5) Lafazh , yang bermakna “Kami juga

menjadikan setiap umat menganggap baik perbuatan mereka, baik

yang terpuji maupun yang tercela”.

6) Lafazh , yang bermakna “tempat kembali ke akhirat”.

7) Lafazh , yang mempunyai makna

“lalu Allah membalsa mereka karena perbuatan mereka”.

b. Asbâb nuzûl

Wahbah az-Zuhaili mengutip pendapat Abdurrazaq yang

mengatakan, kaum Muslim pada saat itu pernah mencaci berhala-

berhala orang-orang kafir, lalu mereka pun balik mencaci Allah

Swt. Kemudian turunlah ayat ini. Kemudian beliau juga mengutip

pendapat Ibnu Abbas dalam riwayat al-Walibi yang mengatakan

Page 125: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

107

bahwa mereka (orang-orang kafir) berkata, “Wahai Muhammad,

berhentilah mencaci tuhan-tuhan kami atau kami akan mencela

tuhan kamu”. Lalu Allah Swt melarang kaum Muslim untuk

mencela sesembahan mereka yang dapat menyebabkan mereka

berbalik mencela Allah Swt. karena kebencian dan kebodohan

mereka.33

c. Makna penafsiran

Wahbah az-Zuhaili mengutip pendapat Ibnu Abbas

bahwasannya Allah Swt. melarang rasul-Nya dan orang-orang

Muslim agar tidak mencaci sesembahan orang-orang musyrik

meskipun di dalamnya ada manfaat. Pasalnya, hal itu akan

berakibat kerugian yang lebih besar, yaitu balasan mereka untuk

mencaci Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia.34

Beliau juga memaparkan bahwasannya kaum Muslim

jangan menghina tuhan orang-orang musyrik yang telah mereka

sembah selain Allah. Boleh jadi, dari situ lah mereka akan

menghina Allah Swt. dengan dasar permusuhan. Mereka

melakukannya dengan melampui batas untuk membuat marah

orang-orang Muslim sebab mereka tidak mengetahui kebesaran

dan keagungan Allah Swt. Hal ini menunjukan bahwa sebuah

ketaatan atau kemaslahatan jika menyebabkan kemaksiatan atau

kerugian, harus ditinggalkan. Allah swt juga memerintahkan Nabi

33 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, terj.

Tafsir al-Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj oleh Abdul Hayyie al-

Kattani dkk, jilid 4, cet. Pertama, h. 290

34 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 4, h. 291

Page 126: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

108

Musa dan Nabi Harun untuk bersikap lemput dalam berbicara

dengan Fir‟aun.35

“Maka berbicarah kamu berdua kepadanya (Fir‟aun) dengan

kata-kata ya ng lemah lembut, mudah-mudahan ia sadar atau

takut.” (QS. Thâha: 44)

Dari penjelasan beliau di atas, dapat disimpulkan bahwa

mengolok-olok sesembahan kaum musyrik meskipun itu ada

manfaatnya, sangatlah di larang keras. Sebab akan berdampak

sangat buruk jika mereka berbalik membalasnya dengan mengina

Allah Swt serta Rasul-Nya.

Sebagaimana Allah menjadikan sebuah kaum menyukai

berhala-berhala dan membelanya, demikian halnya dengan setiap

umat, Allah Swt jadikan perbuatan buruk yang mereka lakukan

yang berupa kekufuran dan kesesatan, disukai pula oleh mereka.

Ini adalah sunnatullah bagi makhluk-Nya. Mereka menganggap

baik adat kebiasaan mereka yang telah mereka lakukan, baik

karena ikut-ikutan maupun karena ketidaktahuan mereka atau

mereka tahu, namun membangkang. Allah swt. membiarkan

mereka dengan urusan mereka itu. Perbuatan buruk yang dianggap

baik ini adalah bagian dari ikhtiar (pilihan) mereka tanpa ada

paksaan atau desakan. Bukan Allah swt yang menanamkan dalam

hati mereka rasa cinta pada kekufuran dan kejahatan, sebagaimana

35

Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 4, h. 291

Page 127: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

109

rasa cinta kepada keimanan dan kebaikan yang Allah berikan

kepada yang lainnya. Jika tidak demikian, berarti keimanan,

kekufuran, kebaikan dan keburukan adalah naluri sehingga dkwah

menuju perbaikan di anggap hal yang sia-sia. Sungguh Allah swt

jauh dari hal itu. Selain itu juga, pahala dan siksa, pengutusan

rasul, dan penurunan kitab-kitab menjadi tidak bermakna dan tidak

ada keadilan di dalamnya.36

2. Analisis Persamaan dan Perbedaan Penafsiran

Dalam kedua tafsir ini sama-sama menegaskan dan melarang

kaum muslim untuk memaki, menghina dan merendahkan sesembahan

agama-agama lainnya. Karena hal ini akan sangat memicu pembalasan

dendam mereka terhadap apa yang kita yakini, dan parahnya lagi

mereka akan mencaci maki Nabi Muhammad saw. dan juga Allah swt.

Jika ada sesuatu yang membuat kita marah atas sikap mereka, kita

harus menahan diri untuk tidak menyinggung sesembahan mereka,

karena dampak nya akan lebih besar.

Dewasa ini sangat mudah sekali melihat tindakan intoleran

semacam ini di kehidupan sehari-hari terutama di social media, untuk

mengatasinya kita dianjurkan untuk tidak membalas ucapan mereka

yang menyinggung keyakinan kita, adapun jika kita membalasnya

harus dengan kata-kata yang lebih bijak.

Page 128: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

110

E. Ajakan Toleransi Beragama

1. Penafsiran Abu Abdillah Muhammad bin Muhammad al-

Anshâri al-Qurthubî

Imam al-Qurthubî dalam menjelaskan ayat ini tidak

mengelompokan ayat, tidak membahas i‟râb, munâsabah. Akan

tetapi beliau menjelaskan asbâb nuzûl dan makna ayat. Imam al-

Qurthubî menjelaskan makna ayat ini dengan cara dengan beberapa

penggalan.

Penggalan ayat pertama,

Yang memiliki arti “Katakanlah: "Hai orang-orang kafir”, Imam

al-Qurthubî mengutip pendapat Ibnu Ishak dan ulama lainnya

yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas: Sebab turunnya ayat ini

adalah, ketika beberapa pemuka Quraisy di antaranya Al-Walid

bin Al-Mughirah, Al-Ash bin Wail, Al-Aswad bin Abdil

Muthallib,dan Umayah bin Khalaf, bertemu dengan Nabi saw.

mereka berkata, “Wahai Muhammad, kami akan menyetujui

ajakanmu untuk menyembah Tuhan yang engkau sembah, namun

dengan syarat kamu juga harus menyembah Tuhan yang kami

sembah. Dengan begitu kami dan kamu dapat berbagi dalam

segala hal, maksudnya apabila ajaran yang kamu bawa lebih baik

dari pada yang kami percayai maka kami sudah berusaha untuk

mengikutimu dan kami pasti akan mendapatkan apa yang kami

usahakan, dan apabila yang kami percayai ini lebih baik daripada

ajaran yang kamu bawa, maka kamu sudah berusaha untuk ikut

Page 129: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

111

bersama kami, dan kamu pasti akan menerima hasil dari usahamu

itu”. Lalu diturunkan firman Allah SWT.

“Katakanlah: "Hai orang-orang kafir”.37

Imam al-Qurthubî mengutip pendapat Abu Shalih yang

meriwayatkan, dari Ibnu Abbas, ia berkata: mereka (para pemuka

kaum Quraisy) berkata kepada Nabi saw., “Apabila kamu bersedia

untuk mencium sebagian dari Tuhan yang kami sembah ini (atau

mengusapnya, sebagai tanda penghormatan atau meminta

keberkahannya) maka kami akan mempercayai ajaran yang kamu

bawa.” Lalu malaikat Jibril pun turun dari langit untuk

memberikan surah ini kepada Nabi saw. Maka setelah itu mereka

pun menyerah untuk menyeret Nabi saw. dalam kemusyrikan

mereka, lalu mereka menggantinya dengan menyakiti hati dan

raga Nabi saw., dan tidak sampai di situ saja, mereka juga

menyakiti dan menyiksa para sahabat beliau.

Imam al-Qurthubî mengutip pendapat beberapa ulama

mengenai surah ini yang diserasikan dengan perkataan kaum

Quraisy, yaitu: “Kamu menyembah Tuhan-Tuhan kami dan kami

akan menyembah Tuhan kamu, kemudian kamu menyembah

Tuhan-Tuhan kami dan kami akan menyembah Tuhan kamu,

kemusiaan kamu menyembah Tuhan-Tuhan kami dan kami akan

menyembah Tuhan kamu”. Dan begitu seterusnya. Lalu

dijawablah setiap perkataan mereka itu dengan kabalikannya,

37

Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, ter. Tafsir al-Jâmi li al-Ahkâmi Al-

Qurân al-Qurthubî oleh Dudi Rosyadi, Faturrahman, Fachrurazi, jilid 20, cet. Pertama,

h. 831

Page 130: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

112

yakni: sesungguhnya itu tidak akan terjadi, walaupun kalian

mengatakannya dari tahun ke tahun, dari masa ke masa, dan

hingga selama-lamanya.38

Imam al-Qurthubî mengutip pendapat Ibnu Abbas yang

meriwayatkan, pada saat itu kaum Quraisy berkata kepada Nabi

saw., “Kami akan memberikan harta apa saja yang kamu minta,

hingga kamu menjadi orang yang paling kaya di kota Makkah, dan

kami juga akan memberikan wanita mana saja yang kamu ingin

nikahi, dan kami juga akan berjalan di belakang kamu (kiasan

untuk merendahkan diri). Asalkan, kamu mau berhenti mencibir

Tuhan-Tuhan kami. Apabila kamu tidak juga mau melakukannya,

maka kami akan menawarkan satu hal yang dapat mendatangkan

perdamaian di antara kita semua, yaitu kamu menyembah Tuhan-

Tuhan kami, Latta dan Uzza selama satu tahun, dan sebagai

gantinya kami akan menyembah Tuhan kamu selama satu tahun.”

Kemudian diturunkan surah ini.

Penggalan ayat kedua,

Yang memiliki makna “Aku tidak akan menyembah apa yang

kamu sembah.”. Menurut Imam al-Qurthubî adanya pengulangan

pada ayat tersebut dikarenakan kaum Quraisy mengulang-ulang

perkataan mereka terus menerus, yaitu untuk saling menyembah

tuhan mereka selama waktu yang di tentukan.39

38 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 20, h. 834 39

Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 20, h. 835

Page 131: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

113

Lalu Imam al-Qurthubî mengutip beberapa pendapat

bahwa pengulangan ini memiliki makna ancaman. Menurut Al-

Akhfasy dan Al-Mubarrad yang dikutip oleh Wahbah az-Zuhaili

ini bahwa makna dari surah ini adalah: aku tidak akan menyembah

apa yang kamu sembah walaupun dalam satu jam, hingga kamu

tidak perlu menyembah Tuhan yang aku sembah selama satu jam.

Dan aku juga tidak akan pernah menyembah apa yang kamu

sembah di masa yang akan datang, dan kamu juga tidak perlu

menyembah Tuhan yang aku sembah pada masa yang akan

datang.40

Imam al-Qurthubî juga mengutip pendapat beberapa ulama

lainnya yang menyebutkan, bahwa ketika itu mereka menyembah

beberapa berhala, dan apabila mereka merasa bosan terhadap satu

berhala dan jenuh menyembahnya, maka mereka akan membuang

berhala tersebut lalu mengambil berhala lainnya sesuka hati

mereka, begitu pula jika mereka menemukan batu yang mereka

sukai maka mereka akan membentuknya dan menyembahnya,

sedangkan berhala mereka yang lama akan mereka buang agung-

agungkan dan sejajarkan dengan Tuhan-Tuhan lain yang mereka

masih sukai. Oleh karena itulah Nabi saw. diperintahkan untuk

berkata kepada mereka: Aku tidak menyembah Tuhan-Tuhan yang

ada dihadapan kalian saat ini yang kalian sembah-sembah, dan

kalian jika tidak akan menyembah apa yang aku sembah karena

kalian selalu menyembah berhala yang kalian buat sendiri yang

ada di hadapan kalian saat ini, dan aku juga tidak menyembah

Tuhan-Tuhan kalian yang telah kalian buang, dan kalian juga

40

Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 20, h. 835

Page 132: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

114

tidak menyembah Tuhan yang aku sembah dari dulu hingga

sekarang.41

Kaum kafir Quraisy membuat sesembahan mereka sendiri

dan terus mengganti sesembahan mereka itu ketika mereka bosan,

kemudian membuang sesembahan mereka yang lama. Nabi

Muhammad saw. juga menegaskan tidak akan pernah menyembah

berhala-berhala mereka baik itu yang ada di hadapan mereka

ataupun yang sudah mereka buang. Nabi Muhammad saw.

melarang kaum kafir Quraisy untuk menyembah Allah Swt.,

dikarenakan beliau mengetahui tidak ada sedikitpun keimanan

kaum kafir Quraisy terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya, yang ada

pada diri mereka hanyalah kemusyrikan.

Penggalan ayat ketiga

Yang mempunyai makna “Aku tidak akan menyembah apa yang

kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku

sembah”. Menurut Imam al-Qurthubî bahwa kedua ayat ini

menerangkan tentang masa yang akan datang. Dalam artian, Nabi

Muhammad saw tidak akan menyembah tuhan mereka pada masa

yang akan datang.

Penggalan ayat keempat,

41

Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 20, h. 836

Page 133: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

115

Yang bermakna “Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa

yang kamu sembah”. Imam al-Qurthubî menjelaskan bahwa ayat

ini menerangkan bahwa Nabi saw. tidak pernah menyembah

Tuhan mereka di masa-masa yang lalu.42

Pada ayat ini juga Nabi Muhammad saw. menegaskan

tidak menyembah tuhan-tuhan mereka pada masa lampau

sekalipun.

Penggalan ayat kelima,

Yang bermakna,“Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi

penyembah Tuhan yang aku sembah”. Menurut Imam al-Qurthubî

ayat ini merupakan pengulangan lafadz saja, bukan pengulangan

maknanya, karena dilihat dari sisi kebalikannya yang seharusnya

dikatakan adalah wa lâ antum „âbidûna mâ „abadtum, (dengan

menggunakan fi‟il madhi seperti kata „abadtum yang disebutkan

sebelumnya). Lalu kata bentuk lampau itu dirubah menjadi fi‟il

mudhari‟ (simple present tense) sebagai pemberitahuan secara

tersirat bahwa Tuhan yang disembah oleh Nabi saw. di masa yang

lalu adalah Tuhan yang disembah oleh Nabi saw. di masa yang

akan datang, walaupun bentuk kata lampau dan masa depan

selalau dapat saling menggantikan tempat jika berkaitan dengan

ke Tuhanan, karena memang Allah Swt. telah ada sebelum yang

42

Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 20, h. 836

Page 134: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

116

lain ada, masih ada dan akan terus ada walaupun yang lain sudah

tidak ada.43

Beliau juga mengutip pendapat yang menafsirkan, bahwa

prediksi dari ayat-ayat ini sebenarnya adalah: katakanlah wahai

Muhammad, wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah

berhala yang kalian sembah, dan kalian juga tidak menyembah

Allah yang aku sembah, karena kalian menyekutukan-Nya dan

menjadikan berhala-berhala itu sebagai sesembahan kalian,

apabila kalian mengira bahwa sebenarnya kalian menyembah

Allah maka kalian telah berdusta, karena kalian menyembah-Nya

dengan menyekutukan-Nya. Aku tidak akan menyembah seperti

yang penyembahan yang kalian lakukan, (penafsiran ini tidak lain

berdasarkan atas fakta bahwa pada awalnya kaum Quraisy

menyembah berhala hanya untuk mendapatkan visualisasi Tuhan,

dan sebenarnya yang mereka sembah tetaplah Allah, mereka juga

masih mengakui Allah sebagai Tuhan mereka, namun mereka

menyekutukan-Nya melalui sesembahan mereka terhadap

berhala).44

Dengan demikian maka kata pada kalimat ini adalah

mâ mashdariyah, begitu pula dengan kata yang terdapat pada

kalimat

43 Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 20, h. 836 44

Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 20, h. 837

Page 135: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

117

Yang maknanya adalah: “kalian tidk menyembah seperti

penyembahan yang aku lakukan (yakni mengesakan Allah), dan

aku juga tidak menyembah seperti penyembahan yang kalian

lakukan (yakni tidak mengesakan Allah)”.45

Penggalan ayat keenam,

“untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

Untuk ayat ini Imam al-Qurthubî hanya membahass satu masalah

saja, yaitu: pada ayat ini terdapat ancaman. Yakni maknanya

adalah, kalian telah ridha dengan agama yang kalian anut, dan

kami juga telah ridha dengan agama yang kami anut.

Ayat ini diturunkan sebelum adanya perintah untuk

berjihad, dan setelah diturunkannya kewajiban untuk berjihad

maka ayat ini secara otomatis telah dinasakh. Namun, beberapa

ulama lainnya berpendapat bahwa tidak ada satu ayat pun dari

surah ini telah dinasakh oleh ayat manapun, karena surah ini

hanya berisi keterangan saja, bukan ayat perintah ataupun ayat

larangan.

Adapun makna dari kalimat ( ) adalah kamu akan

mendapat ganjaran menurut agamamu, dan aku juga akan

45

Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 20, h. 837

Page 136: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

118

mendapat ganjaran menurut agamaku. Dan sebab penyebutan

“agama” atas ajaran yang mereka jalankan, kerena mereka

mempercayainya dan menjalannya.

Lalu ada juga yang berpendapat, bahwa makna ayat ini

adalah: kalian akan mendapatkna balasannya dan aku juga akan

mendapatkan balasanku. Karena, makna ad-Dî n adalah balasan.

46

Dengan kata lain, bagimu balasan agama mu dan bagiku

balasan agamaku.

2. Penafsiran Wahbah Az-Zuhaili

“Katakanlah (Muhammad): "Hai orang-orang kafir, aku tidak akan

menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah

Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah

apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi

penyembah Tuhan yang aku sembah. untukmu agamamu, dan un

tukkulah, agamaku." (QS. Al-Kâfirûn[109]: 1-6)

Dalam menafsirkan surah ini, Wahbah az-zuhaili memaparkan

penamaan surah, munâsabah ayat, asbâb nuzûl dan makna tafsir.

a. Penamaan surah

Menurut Wahbah az-Zuhaili alasan penamaan surah ini

karena Allah Swt. memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk

berbicara kepada orang-orang kafir bahwa beliau tidak akan

46

Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 20, h. 838

Page 137: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

119

pernah menyembah berhala-berhala dan patung-payung yang

mereka sembah. Selain nama Al-Kâfirûn yang telah di sematkan

pada surah ini, juga memiliki nama lain yaitu Surah Al-

Munâbadzah, Al-Ikhlâsh dan Muqasyqasyah.47

b. Munâsabah ayat

Wahbah az-Zuhaili memaparkan bahwa pada surah sebelumnya

Allah Swt memerintahkan Nabi untuk ikhlas beribadah kepada-

Nya. Sementara itu surah ini berisi tentang pengesaan dan

pembebasan dari segala macam kesyirikan. Dalam surah ini juga

terdapat pengikraran yang jelas dan tegas bahwa Nabi saw.

mempunyai ibadah tersendiri yang berbeda dengan ibadah kaum

kafir. Beliau hanya menyembah Allah Swt dan tidak menyembah

berhala-berhala dan patung-patung yang di sembah oleh kaum

kafir.48

c. Makna tafsir

Dalam menjelaskan tafsir ini, Wahbah az-Zuhaili membagi

pada beberapa penggalan ayat.

1) QS. Al-Kâfirûn[109]: 1-2

Katakanlah (Muhammad): "Hai orang-orang kafir! Aku tidak

akan menyembah apa yang kamu sembah. (QS. Al-Kâfirûn[109]:

1-2)

47 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, terj. Tafsir al-

Munîr fi al-`Aqîdah wa al-Syarî`ah wa al-Manhaj oleh Abdul Hayyie al-Kattani dkk,

jilid 15, cet. Pertama, h. 698 48

Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 15, h. 698

Page 138: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

120

Wahbah az-Zuhaili memaparkan pada ayat ini

bahwasannya Nabi Muhammad saw tidak akan menyembah

berhala dan patung yang kaum kafir Quraisy sembah secara

mutlak. Dan tidak akan menyembahnya dalam keadaan apapun.

Ayat tersebut mencakup seluruh orang kafir di muka bumi ini.

Fungsi dari kata () adalah Nabi saw. diperintahkan untuk

bersikap lemah lembut di segala hal, berbicara kepada manusia

dengan cara yang paling baik. Ketika terjadi dialog dalam

keadaan keras, Allah Swt membolehkan dan memerintahkannya

untuk berbicara keras. Bukan berarti Nabi saw. menyebutkan hal

itu dari keinginan beliau sendiri.49

Akan tetapi berdasarkan

perintah Allah Swt.

2) QS. Al-Kâfirûn[109]: 3)

“Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah.” (QS. Al-

Kâfirûn[109]: 3)

Beliau menjelaskan ayat ini, Selagi mereka (kaum kafir

Quraisy) masih berada dalam kesyirikan dan kekufuran, mereka

tidak akan menyembah Allah yang aku (Muhammaad) sembah.

Dialah Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya.

Kedua ayat ini (ayat dua dan tiga) menunjukkan perbedaan

yang disembah, Nabi saw menyembah Allah Swt. yang Maha

49

Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 15, h. 701

Page 139: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

121

Esa, sedangkan orang-orang kafir Quraisy menyembah berhala

dan patung. Wahbah az-Zuhaili mengutip pendapat Imam

Zamakhsyari bahwasannya “Di masa yang akan datang aku tidak

menyembah apa yang kalian sembah saat ini.” Bisa juga

maknanya adalah –untuk mencegah terjadinya pengulangan-.50

Ringkasan maknanya adalah di masa yang akan datang

Nabi Muhammad saw tidak akan melakukan permintaan kaum

kafir Quraisy untuk menyembah tuhan-tuhan mereka juga tidak

akan meminta mereka untuk menyembah Allah Swt.

3) QS. Al-Kâfirûn[109]: 4-5

“Dan aku tidak pernah menjadai penyembah apa yang akan

sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa

yang aku sembah.” (QS. Al-Kâfirûn[109]: 4-5)

Menurut Wahbah az-Zuhaili yang dimaksud dengan “Aku

tidak akan menyembah apa yang telah kalian sembah” adalah

hanya akan menyembah Allah Swt. dengan cara yang Dia

senangi dan hanya mengharapkan ridha dari-Nya. Kaum musyrik

jelas tidak akan mengikuti perintah-perintah Allah dan syaria‟at-

Nya dalam beribadah kepada-Nya. Bahkan mereka telah

menciptakan agama sesembahan mereka sendiri. Ibadah

Rasulullah saw. dan para pengikut beliau murni hanya kepada

Allah Swt. Tidak ada kesyirikan dan kelalaian kepada Zat yang

disembah. Mereka (kaum Muslimin) menyembah Allah dengan

50

Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 15, h. 702

Page 140: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

122

apa yang telah Dia syari`atkan. Oleh karena itu kalimat Islam

الله“ إلا Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah) ”لاإله

utusan Allah) yakni tiada zat yang patut disembah kecuali Allah

dan tiada ibadah untuk menggapai Ridha-Nya melainkan risalah

yang dibawa oleh Rasulullah saw.51

Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwasannya kaum

musyrikin menyembah selain Allah dengan sebuah ibadah yang

tidak pernah diridhai oleh Allah Swt. Semuanya adalah

kesyirikan dan tata caranya berasal dari perbuatan hawa nafsu

dan setan. Kedua ayat tersebut (ayat empat dan lima)

menunjukan perbedaan dalam ibadah itu sendiri. Wahbah az-

Zuhaili mengutip pendapat Imam zamaksyari yang mengatakan,

“Di masa sekarang dan lampau, sekali-kali aku tidak menyembah

apa yang kalian sembah, yakni aku tidak pernah menyembah

berhala di masa jahiliyyah, bagaimana kesyirikan itu diharapkan

dariku di masa Islam?! Kalian juga tidak menyembah

(beribadah) sebagaimana aku beribadah. Ada yang berpendapat

bahwa dalam ayat tersebut terdapat tikrâr (pengulangan) yang

bertujuan untuk ta`kid (penguat) untuk memutus keinginan kaum

kafir agar Rasulullah saw menerima permintaan mereka untuk

menyembah tuhan-tuhan mereka.52

Dapat disimpulkan bahwasannya ajakan kaum kafir

Quraisy untuk bertukar akidah dengan mereka selama waktu

51 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 15, h. 702 52

Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 15, h. 702

Page 141: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

123

yang ditentukan tersebut tidak akan pernah terjadi baik itu ketika

masa jahiliyah, dan pada masa-masa selanjutnya.

4) QS. Al-Kâfirûn[109]: 6

“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-

Kâfirûn[109]: 6)

Wahbah az-Zuhaili maksud dari “bagi kalian kesyirikan

dan kekufuran kalian, dan bagiku agamaku”, yaitu bagiku agama

agama tauhid dan ikhlas atau Islam. Agama kesyirikan kalian

adalah khusus bagi kalian saja dan tidak bagiku. Agama tauhidku

terbatas untukku bukan untuk kalian. Ada yang berpendapat

bahwa maksud ad-Dîn dalam ayat ini adalah al-Jazâ`

(balasan),mudhafnya dihilangkan, yakni, bagi kalian balasan

agama kalian dan bagiku balasan agamaku. Ada juga yang

berpendapat bahwa maksud ad-Dîn disini adalah ibadah.53

Surah ini tidak dimansukh dengan ayat perang. Para ulama

juga berpendapat bahwa ini tidak dinasakh, akan tetapi

maksudnya adalah tauhid (ancaman). Itu sebagaiman firman

Allah Swt,

53 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 15, h. 702

Page 142: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

124

“Lakukanlah apa yang kamu kehendaki!” (QS. Fushshilat: 40)

Ayat ini juga sama dengan ayat,

“Dan jika mereka (tetap) mendustakanmu (Muhammad), Maka

Katakanlah: "Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu.

Kamu tidak bertanggung jawab terhadap apa yang aku kerjakan

dan akupun tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu

kerjakan”. (QS. Yûnus: 41)

Dan firman-Nya,

“Bagi Kami amal-amal Kami dan bagimu amal-amalmu”. (QS.

Al-Qashshah: 41)

Menurut Wahbah az-Zuhaili maksud dari semua ayat

tersebut adalah ancaman, bukan keridhaan dengan agama lain.

Wahbah az-Zuhaili mengutip pendapat Imam Asy-Syafî‟I

mengenai ayat ini ( ) bahwa seluruh kekufuran

merupakan satu agama. Orang-orang Yahudi mewarisi dari orang-

orang Nasrani dan sebaliknya diantara keduanya terdapat

Page 143: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

125

hubungan atau sebab untuk saling mewarisi. Seluruh agama selain

Islam seperti satu dalam kebathilan.54

3. Analisis Persamaan dan Perbedaan

Nabi Muhammad saw. menolak dengan tegas tawaran kaum

Quraisy untuk menyembah tuhan mereka sebab tidak mungkin

Rasulullah menerima ajaran yang bertolak belakang dengan wahyu

yang sudah diterima dari Allah.

Quraish Shihab menjelaskan bahwa Nabi Muhammad

diperintahkan oleh Allah Swt untuk mengatakan kepada orang-orang

yang membencinya untuk menjelaskan keyakinannya secara jelas dan

konsisten kepada orang-orang kafir Quraisy. Sampai kapan pun. Sebab

mereka menyembah berhala yang berbeda-beda tergantung tempat,

situasi dan kondisi.55

Wahbah az-Zuhaili dan al-Qurthtûbi menjelaskan Nabi

Muhammad dan pngikutnya tidak akan menyembah sesembahan kaum

kafir Quraisy hingga masa-masa yang akan datang. Kaum Muslim

hanya akan menyembah Allah Swt dengan penuh ketaatan serta meraih

ridha-Nya. Adapun sebaliknya kaum kafir Quraisy dianjurkan untuk

menyembah tuhan mereka dengan sepenuh hati.

Kata ad-Dîn pada ayat ke enam menurut al-Qurthubi merupakan

sebuah ancaman. Sedangkan menurut wahbah az-Zuhaili adalah

balasan dan ibadah.

54 Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir: Akidah, Syari‟ah, & Manhaj, jilid 1, h. 703 55

Quraish M Shihab. Tafsir Al-Misbah, jilid 15, (Tangerang: PT Lentera Hati, 2016)

Page 144: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

126

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penjelasan dalam setiap bagian penelitian yang telah diuraikan diatas

merupakan merupakan jawaban dari permasalahan dalam penelitian ini.

Pandangan imam al-Qurthubi dan Wahbah Az-Zuhaili mengenai ayat-ayat

toleransi yang dibahas oleh penulis memiliki kesamaan dan perbedaan

dalam penafsirannya. Selanjutnya uraian tersebut dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1. Imam al-Qurthubî dan Wahbah az-Zuhaili menafsirkan ayat-ayat

yang berkenaan dengan toleransi hanya sebatas pada persoalan sosial

(mu’âmalah) semata. Sehingga segala bentuk hubungan atau

komunikasi yang melampaui permasalahan mu’âmalah adalah

dilarang, terutama dalam persoalan teologi (akidah). Poin utama nilai

toleransi pada tafsir al-Qurthubî dan Wahbah az-Zuhaili ini adalah

umat Muslim dianjurkan untuk berhubungan baik dengan kaum non

Muslim selama tidak melanggar syari’at Islam dan tidak ada

penyerangan dari kaum non Muslim tersebut.

2. Persamaan dan perbedaan penafsiran Imam al-Qurhubî dan Wahbah

az-Zuhaili mengenai ayat-ayat toleransi.

Adapun persamaan dalam penafsiran Imam al-Qurthubî dan

Wahbah az-Zuhaili adalah:

a. Keduanya sama-sama berpendapat behwasannya dengan adanya

sikap toleransi antar umat beragama khususnya, dapat

menciptakan kehidupan yang damai.

Page 145: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

127

b. Menurut keduanya, dasar hukum mengenai iman dan kepercayaan

harus dilandasi dengan kerelaan, anjuran untuk bergaul dengan

kaum non Muslim, larangan mencela sesembahan agama lain,

ajakan toleransi untuk meyakini agama masing-masing dengan

ridha, memiliki tujuan yang sangat mulia. Selain bertujuan untuk

menciptakan kehidupan yang damai juga merupakan upaya

melindungi setiap jiwa manusia dari tindakan intoleran yang

seringkali berujung pada tindakan kekerasan.

Adapun perbedaan dari penafsiran Imam al-Qurthubî dan

Wahbah az-Zuhaili adalah:

a. Menurut Wahbah az-Zuhaili term “bagimu agamamu dan bagiku

agamaku” yang terdapat dalam Surah Al-Kâfirûn ayat 6,

mempunyai makna “bagi kalian balasan agama kalian dan

bagiku balasan agamaku”. Adapun menurut Imam al-Qurthubî,

bermakna, “kamu akan mendapat ganjaran menurut agamamu,

dan aku juga akan mendapat ganjaran menurut agamaku”.

b. Menurut Imam al-Qurthubî ajakan kaum kafir Quraisy kepada

Nabi Muhammad saw. untuk bertukar keyakinan dengan mereka

selama beberapa beberapa waktu, mencakup pada satu jam

lamanya.

c. Menurut Imam al-Qurthubî mengenai ayat larangan memaksa

orang yang tidak beriman menjadi beriman, ditujukan kepada

Abu Thalib.

B. Saran-saran

Penulis menyadari begitu banyak kekurangan dalam penelitian ini.

Masih terbuka lebar adanya penelitian-peneelitian lain yang terkait

Page 146: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

128

dengan tema toleransi ataupun kajian atas pemikiran Imam al-Qurthubî

dan Wahbah az-Zuhaili.

Page 147: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abu, Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits

Shahih Al-Bukhari 1, Jakarta: Penerbit Almahira, 2013.

Abdillah, Abi, Muhammad bin Ismail bin Ibahim bin Bardizbah Al-Ju’fi

Al-Bukhari, Shohih Al-Bukhari, Dar Al-Fikr: Mesir, 1422 H.

Abdullah, Abu, Muhammad bin Yazid Al-Qazwini Ibnu Majah,

Ensiklopedia Hadits Sunan Ibnu Majah, Jakarta: Penerbit

Almahira, 2013, Cet. 1.

Al-Bukhârî, Abȗ Abdullâh Muhammad Isma’îl, Ensiklopedia Hadits,

Shahih al-Bukhârî, terj. Masyhar dan Muhammad Suhadi, Jakarta:

Almahira, 2011.

_______, Shahih al-Bukhâr, Kairo: Dâr al-Hadits, 1425 H.

Baidan, Nashrudin. Metodologo Penafsiran Al-Qur`an, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2000.

Daradjat, Zakiah, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta:

Gunung Agung, 1973.

Departemen agama RI, Penafsiran Al-Qur`an Tematik: Hubungan Antar-

Umat Beragama, Jakarta: Departemen Agama RI, 2008.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Al-Qattân, Mannâ’ Khalîl, Studi Ilmu-Ilmu Qur`an, terj. Mudzakir Bogor:

Pustaka Litera AntarNusa, 2010.

Al-Qur’an dan Transliterasi Per Kata dan Terjemah Per Kata, (Bekasi:

Cipta Bagus Segara, 2016.

Al-Qur’an Hafalan dan Terjemahan. Jakarta: Penerbit Almahira, 2015.

Page 148: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

Al-Qurthubi, Imam, Tafsir Al-Qurthubi, ter. Dudi Rosyadi, Faturrahman,

Fachrurazi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.

Asbandi. Konsep Toleransi Menurut Buya Hamka dalam Kitab Tafsir Al-

Azhar, Skripsi Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan

Kalijaga Yogyakarta, 2017.

Az-Zuhailî, Wahbah, Ulama Karismatik Kontemporer – sebuah Biografi,

terj. Ardiansyah, Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2010

________________, al-Tafsîr al-Munîr fî al- „Aqîdah wa al-Sharî‟ah wa

al-Manhaj, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998

________________, Tafsir al-Munir, Aqidah, Syari‟ah dan Manhaj, terj.

Abdul Hayyie al-Kattani, dkk., Jakarta: Gema Insani, 2015

Bakry, Muammar, Pengembangan Karakter Toleran Dalam

Problematika Ikhtilaf Mazhab Fikih, Al-Ulum, vol. 14 no. 1,

2014.

Dahlan, Abdul Aziz, Ensiklopi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van

Hoeve, 1997.

Farid, Syaikh Ahmad, 60 Biografi Ulama Salaf, Jakarta: Pustaka Al-

Kautsar, 2006.

Hakim, A. Husnul, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir, Depok: Lingkar Studi

al-Qur`an (eLSiQ), 2013

Halim, Muhammad Abdul, Memahami Al-Qur`an: Pendekatan Gaya dan

Tema, Bandung: Penerbit Marja`, 2002.

Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, ter. Dudi Rosyadi, Faturrahman,

Fachrurazi, jilid 4, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.

Imam al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, ter. Dudi Rosyadi, Faturrahman,

Fachrurazi, jilid 18, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009.

Page 149: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

Jamarudin, Ade, “Membangun Tasamuh Keberagamaan Dalam

Perspektif Al-Qur`an,” Skripsi (Riau: UIN Sultan Syarif Kasim

Riau), Tidak diterbitkan (t.d)

Makmunah, Nur Lu’lu’il, “Konsep Toleransi Beragama Dalam Al-Qu‟an

(Studi Komparatif atas Tafsir Al-Azhar dan Tafsir An-Nur),”

Skripsi (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2016), Tidak diterbitkan (t.d)

Masyhuri MP. dan Zinuddin MA., Metodologi Penelitian Pendekatan

Praktis dan Aplikatif, Bandung: PT Refika Aditama, 2011.

Misrawi, Zuhairi, Al-qur‟an Kitab Toleransi, Jakarta: Pustaka Oasis,

2010.

Muhtador, Moh. , “Teologi Persuasif: Sebuah Tafsir Relasi Umat

Beragama,” Skripsi (Yogyakarta: UIN sunan Kalijaga), Tidak

diterbitkan (t.d)

Nasrudin, Abdul Basri, “Pemahaman Intelektual Muslim Indonesia atas

Ayat-ayat Hubungan antar Umat Beragama,” Skripsi (Jakarta:

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017), Tidak diterbitkan (t.d)

Penulis, Tim, Al-Qur`an dan Kenegaraan (Tafsir Al-Qur`an Tematik),

Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur`an, 2011.

Phoenix, Team Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pustaka

Phoenix, 2007.

Rahmalia, “Toleransi Beragama Dalam Perspektif Tafsir Fi Dzilalil

Qur`an,” Skripsi (Lampung: UIN Lampung, 2017), Tidak

diterbitkan (t.d)

Ritajuddiroyah, Alifah, “Menemukan Toleransi Dalam Tafsir Fi Zilal al-

Qur`an; Sayyid Qutub,” Skripsi (Yogyakarta: UIN Sunan

Kalijaga), Tidak diterbitkan (t.d)

Page 150: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

Sabir, Muhammad, Wawasan Hadis Tentang Tasamuh (Toleransi)

Shidiq, Muh. Yasir, “Toleransi Antar Umat Beragama (Studi Tematik

Ayat-Ayat Toleransi dalam Al-Qur`an),” Skripsi (Ponorogo: IAIN

Ponorogo, 2017 ), Tidak diterbitkan (t.d)

Quraish M. Shihab, M. Quraish, Yang Hilang Dari Kita: Akhlak, Ciputat:

Penerbit Lentera Hati, 2016.

Quraish, M. Sihab, Wawasan al-Qur‟an Tafsir Tematik atas Pelbagai

Persoalan Umat, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2007.

Quraish M Shihab. Tafsir Al-Misbah. Tangerang: PT Lentera Hati, 2016.

Sunaryo, Agus, “Fikih Tasamuh: Membangun Kembali Wajah Islam

yang Toleran”, Jurnal Akademika, vol. 18 no. 2, 2013Syarbini,

Amirullah, Al-Qur`an dan Kerukunan Hidup Umat Beragama,

Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2011.

Syibromalisi, Faizah Ali, dan Azizy, Jauhar, Membahas Kitab Tafsir

Klasik-Modern, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif

Hidayatullah.

Tahido Yanggo, Huzaemah, Pengantar Perbandingan Mazhab, Ciputat:

Gaung Persada P ress, 2011.

Wahidah, Nur Robi, dkk, Fiqh Toleransi Dalam Perspektif Alqur‟an

Departemen Agama RI. Maghza, Vol. 1, No. 2.

http://aceh.tribunnews.com/2019/01/01/sindir-cara-wudhu-sandiaga-uno-

mahfud-md-air-di-gayung-itu-suci-tapi-tidak-mensucikan, diakses

tanggal 19 Mei 2019.

https://www.voaindonesia.com/a/perlu-gerakan-nasional-menangani-

kasus-intoleransi-dan-radikalisme/3695507.html, diakses tanggal

17 Juli 2019.

Page 151: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

Riza, M. Fajhru, https://islami.co/mengkritisi-tuduhan-syiah-quraish-

shihab/, diakses tanggal 17 Juli 2019.

“Wikipedia” https://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian_kualitatif, diakses

tanggal 15 Agustus 2019

“Blogspot” http://ryan-febrianti.blogspot.com/2015/03/memahami-

metode-penelitian-kepustakaan.html, diakses tanggal 15 Agustus

2019

Page 152: AYAT-AYAT TOLERANSI PADA KITAB TAFSIR AHKÂM

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Sita Sulastri lahir di Garut, 07 Mei 1995.

Pendidikan formalnya dimulai dari Sekolah Dasar

Negeri (SDN) Padasuka I dari kelas 1-2 SD.

Kemudaian melanjutkan pendidikan SD nya di SDN

Wirautama di bawah naungan Yayasan Pondok

Pesantren Kanak-Kanak Al-Qur`an Asy-Syifa

Cijantung II, Cikoneng Ciamis. Setelah lulus ia

melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Terpadu Ar-Risalah

Cijantung IV Ciamis, dengan pendidikan formal Sekolah Menengah Pertama

Terpadu (SMPT) selama tiga tahun dan lulus pada tahun 2010. Lalu ia

melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Al-Basyariah Bandung dan

lulus pada tahun 2014 serta aktif dalam Organisasi Pelajar Al-Basyariah

(OSPA) dengan bidang perpustakaan, dan aktif dalam kepengurusan

pesantren dalam bidang ta’lim. Setelah lulus dari Al-Basyariah, ia

melanjutkan studinya di Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta dan ia

mengambil Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin

dan Dakwah. Di sana ia aktif dalam kegiatan Madin (Madrasah

Takmiliyyah) yang diadakan di Pesantren Takhassus IIQ Jakarta selama dua

tahun.