32
10 B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I Indonesia sebagai negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, hampir dengan sendirinya orang berasumsi bahwa agama dan negara itu satu. Dalam dokrin Islam dikenal yang disebut din wa dawla, yaitu bahwa Islam bukan sekedar agama melainkan juga negara. Pemahaman ini begitu melekat dalam diri orang Indonesia, sehingga orang menjadi heran apabila ada yang mengatakan bahwa sesungguhnya konsep negara Islam tidak terdapat dalam Al Qur‟an. Yewangoe 1 sebagaimana mengutip Gus Dur dalam buku Ilusi Negara Islam mengemukakan bahwa sistem negara Islam baru terjadi di era para khafila, yaitu para pengganti nabi Muhamad. Dalam sejarah lahirnya UUD 1945 partai Islam mencoba untuk mencantumkan syariat sebagai dasar Negara, tetapi hal tersebut mendapat tantangan dari masyarakat di Indonesia bagian timur. Ucapan Bung Karno di dalam pidato lahirnya pancasila, mengatakan bahwa Indonesia hendaknya menjadi Negara yang ber-Tuhan. 2 Masing-masing agama mengamalkan ajarannya untuk dapat menciptakan hidup rukun dan sejahtera serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran, sehingga kemerdekaan yang dicapai dapat berarti dan bermakna bagi terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Untuk itu berkaitan dengan inti pembahasan tesis ini, penulis akan memberikan penjelasan teoritik menyangkut 3 [tiga] pokok bahasan, yaitu: 1 Andreas A. Yewangoe Teologi Politik, (Makasar: Yayasan Oase Intim, 2013),125. 2 Panitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha- Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Jakarta: Sekretariat Negara republik Indonesia 1998), 101 .

B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

10

B A B II

TEOLOGI POLITIK:

L A N D A S A N T E O R I

Indonesia sebagai negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, hampir

dengan sendirinya orang berasumsi bahwa agama dan negara itu satu. Dalam dokrin

Islam dikenal yang disebut din wa dawla, yaitu bahwa Islam bukan sekedar agama

melainkan juga negara. Pemahaman ini begitu melekat dalam diri orang Indonesia,

sehingga orang menjadi heran apabila ada yang mengatakan bahwa sesungguhnya

konsep negara Islam tidak terdapat dalam Al Qur‟an.

Yewangoe1 sebagaimana mengutip Gus Dur dalam buku Ilusi Negara Islam

mengemukakan bahwa sistem negara Islam baru terjadi di era para khafila, yaitu para

pengganti nabi Muhamad. Dalam sejarah lahirnya UUD 1945 partai Islam mencoba

untuk mencantumkan syariat sebagai dasar Negara, tetapi hal tersebut mendapat

tantangan dari masyarakat di Indonesia bagian timur.

Ucapan Bung Karno di dalam pidato lahirnya pancasila, mengatakan bahwa

Indonesia hendaknya menjadi Negara yang ber-Tuhan.2 Masing-masing agama

mengamalkan ajarannya untuk dapat menciptakan hidup rukun dan sejahtera serta

memperjuangkan keadilan dan kebenaran, sehingga kemerdekaan yang dicapai dapat

berarti dan bermakna bagi terciptanya masyarakat yang adil dan makmur. Untuk itu

berkaitan dengan inti pembahasan tesis ini, penulis akan memberikan penjelasan teoritik

menyangkut 3 [tiga] pokok bahasan, yaitu:

1 Andreas A. Yewangoe Teologi Politik, (Makasar: Yayasan Oase Intim, 2013),125.

2 Panitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-

Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Jakarta: Sekretariat Negara republik Indonesia 1998), 101 .

Page 2: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

11

[a]. Hubungan Gereja dan Negara, [b]. Teologi politik dan faktor-faktor pendukung. [c].

Peranan dan Fungsi Gereja di Indonesia.

1. Hubungan Gereja dan Negara

Di kalangan gereja-gereja lebih santer dikemukakan pendapat bahwa relasi agama

(gereja) dan negara mestinya dipisahkan (de scheding van kerk en staat). Artinya

urusan-urusan agama sebaiknya diselesaikan oleh agama itu sendiri tanpa campur

tangan negara. Tetapi dilain pihak perlu dipahami bahwa pluralisme agama-agama di

Indonesia menyebabkan negara harus ikut berperan dalam menciptakan hidup rukun

antar pemeluk agama. Agama mayoritas tidak boleh menekan yang minoritas tetapi

sebaliknya mereka saling mendukung dalam mencapai kesejahteraan bersama. Di

sinilah akan diuji sampai sejauh mana kenetralan negara dalam menyelesaikan

persoalan agama dalam suatu negara demokasi seperti Indonesia.

Dalam pandangan Wogaman gereja mula-mula menunjukan sikap yang ambivalen

terhadap pemerintahan. Disatu pihak pemerintah dianggap berasal dari Allah (jika ia

melakukan kebaikan), dan dipihak lain pemerintah dianggap sebagai iblis (jika

melakukan ketidakbenaran/jahat).3 Terhadap masalah ini Wogaman mencoba

menawarkan beberapa pikiran dasar yang merupakan “theological entry points” untuk

membangun etika politik Kristen. Pertama, Allah merupakan pemerintahan tertinggi, di

mana kekuatan dan kekuasaan yang paling tinggi hanya pada Allah, maka dalam

konteks kemanusiaan dan kekuasaan/kekuatan dunia tidak ada yang disebut dengan

kekuasan/kekuasaan absolute. Sebab bagi Wogaman dalam kehidupan ini kita perlu

memiliki kekuasaan tertinggi namun semua kekuasaan itu harus tunduk pada satu

pemerintahan, yaitu pemerintahan Allah (Roma 13). Kedua, Transendensi Allah.

3J Philip Wogaman, Christian Prespectives on Politics, (Louisville John Knox Press 2000), 36.

Page 3: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

12

Maksud pokok ini adalah bahwa dengan keberadaan Allah yang transenden itu,

maka setinggi apapun manusia itu berkuasa ia tetap tidak sama dengan Allah. Ketiga,

keterbatasan manusia. Sama dengan halnya Alkitab, dari sudut pandang antropologi

juga memperlihatkan dengan jelas bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas. Hidup

manusia sama singkat di dunia ini, kepandaian manusiapun sangat terbatas bahkan

kekuasaan yang diraihpun akan lenyap. Dalam keterbatasan seperti itu, seharusnya

manusia mempunyai kesadaran akan keterbatasannya untuk tidak saling menghakimi

dan menjahtuhkan satu sama lain dengan mengatasnamakan kehendak Tuhan untuk

memperoleh kekuasaan. Keempat, dokrin tentang penciptaan alam semesta dan manusia

menjadi sangat melekat di hati orang Yahudi agar bersikap takut, tunduk dan taat pada

Allah. Dalam teologi Yahudi, pemerintah haruslah dilihat dari konteks perjanjian antara

Yehweh dan umat-Nya di mana Ia sendiri menjadi Allah mereka dan mereka menjadi

umat-Nya. Kelima, dokrin tentang dosa, salib dan anugerah.

Dokrin tentang dosa mula-mula telah menempatkan manusia di dalam

ketidakberdayaan. Dalam konteks ini Thomas Bobbes mempertanyakan apakah ada

kemungkinan manusia mencapai kemajuan melalui proses politis untuk mencapai

kekuasaan. Apakah tidak berbahaya bila manusia dalam kondisi kejahatannya diberi

kekusaan apalagi kekuasaan absolute bila ia sendiri tidak dapat mengendalikan dirinya.

Keenam, eskatologi dan ekklesiologi. Dokrin eskatologi dalam prespektif Kristen

merujuk pada keyakinan akan berakhirnya sejarah yang dalam istilah teologis disebut

sebagai penggenapan, di mana semua kekuasaan manusia akan berakhir oleh kekuasaan

yang tertinggi yaitu kekuasaan Allah. Namun orang-orang Kristen masih berada di

tengah dunia dan selaku gereja di tengah dunia, dirinya melakukan perjumpaan dengan

segala konsekuensi-konsekuensi politis yang mengitarinya. Namun justru disinilah letak

Page 4: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

13

panggilan orang Kristen selaku komunitas iman bersama dengan saudara-saudaranya

yang lain (yang tidak seiman) tetap melaksanakan panggilan politisnya tanpa harus

menarik diri hanya karena semata-mata ia orang beriman.4

Hubungan gereja dan pemerintah (politik) bagi Wogaman memiliki beberapa

model antara lain:

Model Teokrasi

Model Erasionisme

“Pemisahan” secara Damai

Pemisahan yang tidak bersahabat yang mengakibatkan Permusuhan

1.1. Model Teokrasi

Pada model teokrasi menurut Wogaman, Negara berada di bawah kekuasaan

pemimpin-pemimpin atau lembaga-lembaga agama guna kepentingan keagamaan

contohnya dapat kita lihat sebagian besar pada masyarakat primitife, dalam masyarakat

Ibrani zaman dahulu dan pada wilayah-wilayah muslim pada masa yang berbeda

(contohnya Iran). Bentuk ini dapat juga ditemukan dalam bentuk katolisisme modern

seperti dibebarapa kota zaman Vatikan II5.

Ia selanjutnya menjelaskan bahwa teokrasi telah merupakan komitmen orang atas

usaha yang tidak biasa terhadap pandangan politik tertentu. Jika salah satu pandangan

agama benar, maka mengapa tidak memasukkan kekuasaan negara untuk

mendukungnya? Sedikit para teolog yang berpikir bahwa mungkin dengan cara

demikian mengusahakan orang lain untuk beriman. Tetapi kekuasaan negara sedikitnya

dapat menghambat kompetensi dan menciptakan kondisi nyata yang lebih menolong.

Inilah yang terjadi di Eropa post-constantinian, di mana kekristenan berubah dari status

4J. Philip Wogaman ...., 163-177.

5 Ibid., 250.

Page 5: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

14

minoritas menjadi suatu dominasi kebudayaan yang mendukung kekaisaran Romawi.

Kekuasaan Negara tak pasti menjamin penyebaran suatu agama, tetapi siapa yang dapat

membantah bahwa hal tersebut dapat sangat memfasilitasi penyebaran agama?

Hanya sedikit orang pada masa itu yang menyarankan keutuhan teokrasi dari

penyatuan gereja dan negara, tetapi aspek-aspek tertentu dan model teokrasi sangat

mendukung. Di Amerika Serikat berbagai usaha dilakukan oleh para penginjil yang

cemburu, menginginkan negara secara konstitusional menandatangani pengesahan

“Negara Kristen” dan memperkenalkan kembali pengenalan agama-agama di sekolah-

sekolah publik.

Tetapi hal ini merupakan suatu bahaya yang harus diambil oleh orang Kristen ini

merupakan suatu cara mencapai ilusi. Beberapa ilusi tersebut bersifat praktis dan politis.

Mereka yang berusaha mengontrol negara bagi tujuan agama, kadang pada akhirnya

menemukan bahwa pada akhirnya gerejalah yang digunakan untuk kepentingan politik.

Terdapat juga masalah praktis tentang bagaimana membedakan antara kebaikan

dan ketidak-baikan iman dalam suatu masyarakat di mana badan-badan keagamaan

berkuasa. Kekuasaan memiliki penghargaan atas dirinya bagaimana gereja dapat

mengatakan perbedaan antara mereka yang mengakui iman sebagai wujud ketaatan

yang murni pada agama dengan mereka yang hanya mencari penghargaan. Sebuah

negara teokrasi dapat saja berilusi bahwa apa yang mereka lakukan akan di dukung oleh

publik, tetapi dapat saja pada kenyataannya tidak demikian.

Teokrasi hadir dalam penempatan bahwa kebenaran dapat dikenal baik untuk

membuat sesuatu perbedaan utama antara mereka yang dalam kebenaran dan mereka

yang tidak. Mereka yang dalam kebenaran diizinkan untuk memerintah, sementara

mereka yang tidak secara hukum tidak bisa memerintah. Ilusi yang terjadi di sini tidak

Page 6: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

15

hanya bahwa mereka yang tampaknya dalam kebenaran dapat saja merupakan oportunis

yang mengambil keutungan dari hak istimewa mereka untuk dapat memerintah.

Konsep akan Tuhan lebih terbuka semacam itu merupakan suatu kekuasaan yang

mendukung demokrasi, dan dapat juga menjadi alasan terkuat menolak teokrasi, karena

teokrasi telah menentukan siapa orang yang dapat dipakaioleh Tuhan dan siapa yang

tidak dapat di pakai oleh Tuhan.6

1.2. Model Erastianisme

Menurut Wogaman, untuk mengindentifikasi teokrasi secara tepat sangatlah

sukar, ini dikarenakan apa yang dianggap bahwa pemimpin agama mengontrol negara

bagi kepentingan agama, pada kenyataannya yang terjadi adalah sebaliknya, pemimpin

politik mengontrol agama bagi kepentingan negara. Agama sangat dieksploitasi bagi

kepentingan-kepentingan politik, yakni digunakan untuk mengusahakan persatuan

dalam suatu komunitas masyarakat, memberi kekuasaan bagi negara, memberi suatu

sanksi atas kebijakan politik lainnya. Sebagian besar kaisar Romawi yang

memerintahkan adanya penyembahan atas diri mereka ini tidak sebanding dengan apa

yang mereka dapatkan dari jabatan mereka. Penolakan orang Kristen untuk menyembah

Kaisar telah dilihat sebagai suatu ketidak-taatan terhadap kekuasaan, dan bukan sebagai

suatu ketegasan atas kekuatan-kekuatan keagaman.

Perlu di pahami bahwa Erastianisme adalah agama yang digunakan bagi

kepentingan negara (setelah abad enam belas Erastus Thomas asal Swiss). Pendekatan

Erastian terhadap negara berusaha untukm mengotrol gereja telah diikuti oleh para

politikus dalam tujuan agama. Hal ini terbukti dalam negara yang dikontrol baik legal

maupun institusional Penyembahan Shinto di Jepang adalah lebih bersifat Erastian

6 Ibid., 253-254.

Page 7: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

16

dibanding Teokrasi, dan dapat dianggap benar oleh sebagian besar masyarakat Budha di

Asia Tenggara.7

Menurut Wogaman, tujuan politik zaman itu diabsolutkan penguasaan lembaga-

lembaga agama oleh negara semuanya demi kepentingan politik, sampai penolakan

formal akan Tuhan yang transenden. Menurutnya, agama sipil dapat konsisten dalam

pemahaman akan Tuhan yang transenden-sebagaimana yang dikatakan oleh Abraham

Lincoln, dimana negara dipahami berada di bawah pengadilan Tuhan. Juga Robert

Bellah mengatakan, mengusahakan suatu agama sipil yang lebih baik bukanlah suatu

erastian. Walaupun kita menaruh perhatian bahwa terdapat suatu sumber dari legitimasi

transenden agama bagi negara demokrasi.8

Menurutnya juga, bahwa memahami negara berada di bawah pengawasan Tuhan

dan bukanlah manipulator dari lembaga keagamaan guna suatu tujuan temporere yang

murni: simbolisasi semacam itu dapat lebih dari penyembahan atas negara sebagai

kebaikan tertinggi, atau dapat saja menjadi, seperti Amerika, penyembahan kepada

realitas yang lebih tinggi yang mengatasi standar-standar yang berusaha dibangun oleh

republik. Ketika negara itu sendiri diperlakukan sebagai kebaikan tertinggi maka

integritas dan lembaga keagamaan itu secara fatal ditanyakan. Mereka tidak lagi

dianggap serius, di atas landasan iman yang mereka bangun. Mereka hanya menjadi

penting bagi kepentingan politis mereka.

Beberapa tingkatan Erastianisme pada kenyataan dapat dihindari, bagi gereja-

gereja yang ada dalam masyarakat dan pada tingkatan tertentu diperintah oleh negara.

Kenyataan tersebut berarti bahwa integritas gereja harus selalu menjadi usaha dalam

7 Ibid., 250.

8 Ibid., 255.

Page 8: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

17

perjuangan-perjuangan teologis. Tetapi erastianisme yang sempurna, dimana negara

mengontrol gereja secara penuh, pada prinsipnya merupakan suatu pengidolaan.9

1.3. Pemisahan secara Damai

Pada model ini, Wogaman mengemukakan bahwa di beberapa negara, lembaga-

lembaga agama dan politik secara hukum terpisah, tetapi tanpa kebencian atau

permusuhan. Bentuk inilah yang secara esensial terjadi di Amerika Serikat. Dengan

mengabaikan panggilan untuk suatu hubungan yang lebih erat, prinsip akan tidak

dibangunnya agama dalam lembaga-lembaga negara di AS dipahami bukan sebagai

suatu yang negatif, tetapi tidak adanya keterlibatan agama dalam negara dapat dilihat

sebagai suatu usaha yang positif bagi integritas dan kemandirian badan-badan

keagamaan.10

Versi yang bersahabat dari gereja dan negara ditemukan di beberapa negara Barat

yang demokrstis. Ini merupakan bagian penting dari hukum dan tradisi di AS, di mana

kunci institusional yang dihasilkan dalam amandemen Pertama adalah “Kongres tidak

membuat hukum apapun menyangkut keberadaan agama, atau melarang kebebasan

beragama,” pernyataan ini yang merupakan landasan dan tradisi Amerika” pemisahan

agama dan negara”, yang kadang diterjemahkan dengan cara yang berbeda.11

Interpretasi Thomas Jefferson (yang dikutip Wogaman) akan pernyataan ini dapat

ditemukan dalam surat terkenal kepada Asosiasi Babtis Danburry.

Sama seperti yang anda yakin bahwa agama hanya merupakan suatu

permasalahan tentang manusia dan tuhannya, yang mana ia tidak bertanggung-

jawab terhadap orang lain atas keyakinan dan ibadahnya, demikian juga

kekuasaan legislatif dari pemerintah dapat melakukan tindakan dan bukan

pendapat. Mengacu kepada penyataan masyarakat Amerika sebelumnya yang

menyatakan bahwa legislatif harus “tidak membuat aturan apapun menyangkut

9 Ibid., 255-256.

10

Ibid.

11

Ibid., 256.

Page 9: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

18

keberadaan agama atau melarang bebebasan beragama”, karenanya hal itu

membangun suatu dinding pemisahan antara gereja dan negara.12

Beberapa pemimpin agama dan teolog tidak senang disebut “religius”. Teolog

Karl Barth dan Hendrik Kraemer, membedakan antara “iman Kristen” dan “agama”,

bagi mereka agama merupakan usaha manusia untuk mengenal Tuhan, sedangkan iman

merupakan respon manusia akan pemberian iman yang dihasilkan dari usaha Tuhan

menjangkau manusia lewat Yesus Kristus. Bagaimanapun bagi Barth dan Kraemer

menginginkan mereka mengatakan iman mereka sebagai orang Kristen berada di bawah

perlindungan Amandemen pertama. Tetapi negara harus berhati-hati untuk

mendefenisikan agama dalam cara untuk menciptakan peluang bagi mereka yang

menyebut diri mereka religius akan mendapatkan keuntungan dari hak istimewa dari

agama.13

1.4. Pemisahan Yang Tidak Bersahabat

Dalam dua abad terakhir ini, sering dikembangkannya pemisahan yang tidak

bersahabat antara gereja dan negara. Sebagian besar negara-negara Marxisme

(contohnya Perancis) melembagakan suatu kebencian atau prasangka terhadap lembaga-

lembaga agama.

Pada kenyataan di sebagian besar negara-negara seperti itu, lembaga-lembaga

agama, penginjil-penginjil dan lainnya disediakan beberapa pendanaan publik yang juga

disertai pula dengan kontrol publik. Tetapi sikap yang jelas dalam negara-negara

semacam ini adalah agama di toleransi hingga masyarakat menjadi dewasa menuju

suatu pandangan yang ilmiah. Pada akhir abad, 19 kelompok-kelompok agama masih

menemui kesulitan untuk menembus negara-negara Marxis.

12 Ibid.

13

Ibid., 258.

Page 10: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

19

Mengenai beberapa tradisi nasional adalah penting untuk mengingat bahwa

praktek yang sebenarnya dapat sangat berbeda dengan teori konstitusional. Lebih jauh

lagi, apa yang berlaku dalam suatu masyarakat dengan sejarah tradisinya yang unik-unik

bisa saja tidak berlaku di negara lainnya dan bahkan di situasi yang sangat berbeda,

orang kristen dapat terus mengingat bahwa martir itu telah menjadi benih bagi gereja.

Akhirnya pemisahan yang tidak bersahabat adalah berlawanan dengan apa yang

diharapkan oleh orang Kristen atas Civil society. Tingkat yang bagaimana negara harus

mendukung lembaga dan praktek-praktek agama dapat diperdebatkan. Tetapi secara

teologis dan berdasarkan prinsip demokrasi sebaiknya tidak harus ditentang.14

Mengenai hubungan gereja dan negara, Robert N. Bellah dan Phillip E, Hammond

mengemukakan bahwa hampir seluruh rentang sejarah Barat, terjadi ketegangan antara

gereja dan negara yang sangat dalam. Dalam banyak peristiwa sejarah, negara

mendominasi gereja dan mengekploitasinya, dan suatu waktu, negara dapat dikuasai

oleh gereja, bahkan menggunakannya bagi kepentingan dirinya dan menduniawikan

loyalitas spiritualitasnya ke dalam suatu bentuk nasionalisme keagamaan.15

Menurut

mereka “hingga saat ini belum ada pemecahan yang pernah menghilangkan ketegangan-

ketegangan mendasar. Kecenderungan yang telah terjadi bagi setiap pemecahan

persoalan ketegangan itu adalah memposisikan agama sebagai pelayan negara atau

negara sebagai pelayan agama”16

. Sebagai reaksi atas permasalahan tersebut, kemudian

muncullah gagasan tentang pemisahan gereja dan negara disertai dengan Undang-

14 Ibid., 251-252.

15

Robert N. Bellah dan Philip E, Hammond, Varieties of Civil Religion, penerjemah, Imam

Khoiri, dkk, (Jogja: IRGiSoD), 26-28.

16

Ibid.

Page 11: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

20

undang yang melarang suatu pembentukan agama melindungi kebebasan menjalankan

(ajaran) agama. Hal tersebut dilanjutkan dengan ide tentang kebebasan beragama.

Kekebasan agama akhirnya hanya menjadi sebuah hak untuk menyembah Tuhan apapun

yang disukai atau tidak sama sekali. Dengan implikasi bahwa agama adalah semata-

mata urusan pribadi yang tidak berkaitan atau tidak ada hubungannya dengan

masyarakat politik (political society)17

.

Di Perancis awal hingga sekarang, liberalisme mencapai salah satu tujuannya,

yaitu pemisahan total gereja dan negara, yang berarti gereja sangat bebas dari tekanan

politik. Sebenarnya hubungan seperti ini mau menggambarkan adanya kecenderungan

orang untuk memisahkan gereja sama sekali dari negara dan memisahkan negara sama

sekali dari agama/gereja sehingga tidak ada lagi saling mempengaruhi dan kerjasama

antara gereja dan negara. Meskipun demikian, kebebasan mereka untuk melakukan

kegiatan sangat terbatas karena keuangan mereka sangat tergantung pada dukungan

perorangan. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Jerman, hubungan gereja

dan negara di Jerman sangat dekat sehingga gereja-gereja diperbolehkan menarik pajak

gereja yang dibayar oleh semua anggota. Pajak itu mulai dikumpulkan melalui struktur

administrasi negara, meskipun gereja-gereja harus membayar biaya andministrasi.

Bahkan gereja-gereja diberi dukungan keaungan oleh negara untuk menunjang

pelayanan gereja di bidang sosial, kesehatan dan pendidikan.18

17 Ibid., 29-30.

18

Wolfgang Schmidt, Agama Negara dan Bangsa: Suatu Perdebatan Baru Beberapa

Permasalahan dalam Perdebatan Eropa, dalam Soegeng Hardiyanto et al (dewan Redaksi), Agama dalam

Dialog Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan. Punjung tulis 60 Tahun Prof Dr Olaf Schumann

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 330-331.

Page 12: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

21

2. Teologia Politik Dan Faktor-Faktor Pendukung19

Istilah “teologi politik” digunakan secara luas sejak 1960-an dan merupakan

salah satu usaha yang dilakukan oleh para teolog Katolik dan Protestan untuk mengatasi

krisis kebudayaan dengan dasar-dasar Kekristenan dalam terang abad XX. Setelah

Perang Dunia I, teologi mencapai semacam ekuilibrium, dimana ada tiga tokoh teolog

Protestan seperti K.Barth (1968); R.Bultmann (1976) dan P.Tillich (1965) mengembang

sayap-sayap refleksi teologis hingga mencapai ketinggian sekaligus kedalaman yang

menakjubkan. Sementara itu orang-orang Katolik masih mengembangkan rona

skolastisisme yang digaungkan kembali oleh Leo XIII (1879), yang menyeru agar

diadakan pembaruan teologi-filosofis Thomisme.20

Dapat jadi, orang yang mendengar untuk pertama kalinya istilah “teologi politik”

merasa bingung dengan arti dan maknanya. Kebingungan ini bukan karena istilah

“teologi politik” memberikan sebuah fenomena yang tidak familier, melainkan karena

terminologi itu mengesankan berupaya menggabungkan 2 (dua) hal yang tidak

kompatibel, bagaikan air dan minyak.

Dikalangan para teolog, teologi politik yang dicetuskan oleh Johann Babtist

Metz 21

sering dikualifikasikan dengan ungkapan Teologi Politik Baru. Kualifikasi ini

dibutuhkan, sebab memang sudah ada teologi politik lama sejak zaman Yunani Kuno.

Pada Stoa kita telah menemukan pembagian teologi ke dalam tiga kelompok: teologi

mitis, teologi naturalis, dan teologi politik. Di dalam era Romawi kuno teologi politik

dipakai sebagai legitimasi kekuasaan negara. Teologi politik adalah teologi publik yang

mendasarkan kekuasaan absolut dan infalibel negara. Pandangan tentang legitimasi

19 John B. Cobb,Jr, Process Theology as Political Theology, (Philadelphia: Manchester

University, 1982), 8-25.

20

A.Eddy Kristiyanto, Teologi Politik, (Jakarta: Yayasan Bumi Karsa 2003), 1-2.

21

Dikutip oleh Paulus Budi Kleden, dalam buku yang berjudul Teologi Terlibat, 67.

Page 13: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

22

teologis atas politik negara masih diwakili oleh filsuf seperti Thomas Hobbes, yang

berangkat dari anggapan bahwa manusia dari alamnya memiliki kecenderungan untuk

menghancurkan orang lain, sebab itu dibutuhkan dominasi negara yang mesti

dilegitimasikan secara teologis demi terciptanya sebuah kondisi yang baik di dalam

kehidupan bersama.

Kleden mengutip pendapat Metz dengan menyebut teologia politik adalah

keseluruhan konstruksi pengetahuan, sistem nilai dan tatanan masyarakat yang

menentukan kehidupan bersama manusia.22

Teologi politik tidak mempunyai maksud

lain selain mengungkapkan relefansi politis dari iman. Yang dimaksudkan ialah,

bukanlah iman itu mempunyai satu dimensi politis, yang mesti dibedakan dari dimensi

personal. Seluruh iman itu bersifat politis, juga aspek personal dari iman adalah sebuah

ungkapan dari ciri politis iman. Yang personal, yang bersifat individual senantiasa

mengungkapkan dirinya dalam kebersamaan dan membutuhkan perlindungan dan

pengakuan dari dunia politik.

Karena itu teologi sebagai pembicaraan tentang iman mesti menyadari tendensi-

tendensi dan mengungkapkan kekuatan-kekuatan masyarakat, untuk dapat

mempertahankan aspek personal dari iman. Teologi seperti ini hendak menjawab

tantangan yang dilemparkan oleh kritik agama sebegai kritik idiologi dari sudut

marxisme. Untuk itu teologi politik harus menyadari implikasi-implikasi sosial politis

dari pengertian-pengertiannya. Metz mengingatkan setiap teologi untuk bertanya “siapa

berbicara, kapan dan dimana, untuk siapa dan dengan maksud apa Allah?” berbicara.23

Teologi perlu membongkar kesadaran akan kepentingan yang melatarinya dan

mempertanggungjawabannya. Bagi Metz semua yang mungkin secara teknis dapat

22 Ibid., 69.

23 Paulus Budi Kleden, mengutip artikel JB.Metz yang berjudul Politische Theologie, 394

Page 14: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

23

diperbolehkan secara etis. Dengan demikian tidak ada lagi ruang untuk segala

kemungkinan lain, untuk semua ideal dan alternatif lainnya. Karena itu tugas pertama

dari teologi politik yang hendak memantau dan mendampingi secara kritis sebuah

masyarakat adalah menunjukan keterbukaan manusia kepada masa depan dan serentak

menyingkapkan ketakmestian dan keterbatasan dunia nyata.

Teologi mesti menjadi teologi yang berorientasi ke masa depan, namun oreintasi

ini sekaligus bersifat kritis terhadap diktator pada masa sekarang. Di sini teologi mesti

menjadi sebuah eskatologi, menjadi sebuah teologi harapan. Dimensi eskatologi dari

teologi bukannya hendak mengembalikan teologi kepada pembicaraan tentang dunia

akhirat, melainkan menanamkan kesaradan bahwa yang ada ini belum yang semestinya.

Pada latar kesadaran akan status “belum” dari yang ada, yang ada sekarang akan tampil

sebagai yang mesti di ubah. Di bawah cahaya dari “yang masih akan datang”, yang ada

sekarang akan kehilangan kemutlakannya. Kritik atas yang ada dan penghadiran diri

“yang akan datang” itu dilakukan dalam praktek perubahan itu sendiri. Dengan

demikian maka tidak ada sesuatu yang mutlak tetapi semuanya berada dalam proses

untuk mencapai kesempurnaan.24

Tiga tokoh dalam teologi politik Jerman yakni Johann Baptist Metz, Jurgen

Moltmann dan Dorothe Solle menyampaikan pemikirannya tentang teologi politik yang

di kutip oleh John B.Cobb,Jr mengungkapkan bahwa pada pertengahan tahun

enampuluhan Metz berkonsentrasi pada bagaimana hubungan manusia dalam dunia,

karena manusia menyatu dengan dunia maka ia tidak bisa dipisahkan dari

keberadaannya di tengah lingkungan dan masyarakat. Setiap pengalaman dunia

24 Ibid.,71.

Page 15: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

24

berlangsung dalam cakrawala eksistensi manusia bersama, bukan hanya dalam masalah

“pribadi” tetapi dalam “politik” menyangkut eksistensi sosial di masyarakat.

Jadi setiap pengalaman tentang sejarah manusia terjadi dalam konteks dunia

dimana manusia itu berada. Sehingga berbicara tentang teologi, harus dimuali dari

dunia. Teologia dunia harus dimualai dari kreatifitas, harapan, militan, yang berbasis

kepada dunia dan masyarakat untuk mengalami perubahan. Metz pada tahun 1961-1967

menulis sekumpulan esei yang berjudul “Teologia Dunia” dan artikel yang berjudul

“Gereja dan Dunia dalam terang teologi politik”. Tulisannya itu menimbulkan banyak

diskusi dan perdebatan.

Sesuadah tahun 1969 ia menerbitkan sebuah buku untuk menjawab perdebatan.

Dalam pikirannya itu ia mengidentisikasikan tiga hal yang berkaitan dengan teologi

politik. Yang pertama, adalah tugas seorang „hermeneutik‟ teologis dalam konteks

sosial kontemporer. Ini disebut juga hermeneutika politik. Kedua, teologi politik baru

harus menjadi „kritis korektif terhadap kecenderungan prifatisasi tertentu dalam teologi

terkini, ketiga, karena teologi dan gereja benar-benar memiliki kepentingan politik yang

sangat besar maka teologi politik harus memiliki fungsi penting dalam gereja‟. Jurgen

Moltmann pada tahun 1971 menerbitkan sebuah esei tentang „teologi politik‟ dimana

dia mengungkapkan pikirannya bahwa orang kristen dewasa ini harus mengungkapkan

kebebasannya berdasarkan tradisi mereka sendiri, tetapi itu belum tercapai dalam

hubungannya dengan dunia politik.

Disamping itu ia melihat teologia politik sebagai teologia untuk mengkritik diri

sendiri (hermeneutis), kritik itu akan membuat kita sadar akan lingkungan sosial dan

konteks dimana kita berada. Ketika kita menyadari akan setting sosial dimana kita

berada maka kita akan mengembangkan suatu hermeneutik politik. Kita akan berpindah

Page 16: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

25

dari eksistensialisme dan interpretasi teks tradisionil ke hermeneutik politik tradisi

yakni pemahaman kepada sebuah eksegesis representasi keagamaan tradisional dalam

arti praktis.

Solle tidak memberikan kepada kita suatu penjelasan yang penting tentang telogi

politik tetapi dia menawarkan sesuatu yang sangat eksplesit yang berfokus kepada

hermeneutik. Dia menyatakan bahwa teologi politik paling baik dipahami sebagai

„interpretasi politik injil‟. Solle, seperti Metz dan Bultmann, menyatakan bahwa dasar

dari teologi politik adalah kritis baik dalam gereja maupun struktur dalam masyarakat.

Akhirnya akan melibatkan otokritik, dan pengakuan tentang bagaimana seseorang

terikat dalam dosa masyarakat dan memiliki kecenderungan yang mengarah pada

tindakan yang jahat.

Dari ketiga tokoh teologi politik di atas menurut John B.Cobb.Jr mereka juga

mempunyai kesamaan. Ketiganya melihat teologi politik sebagai suatu hermeneutik,

yaitu kritik terhadap gereja dan teologi serta realitas sosial dalam masyarakat. Beberapa

pertanyaan yang perlu dilontarkan adalah apakah semua teologi harus menjadi teologi

politik? dan apakah politik menjadi satu-satunya sumber bagi pekerjaan teologis? serta

apakah hanya ada keselamatan pribadi tanpa keselamatan sosial. Menurut Solle bahwa

sudah waktunya sekarang seluruh teologi harus menjadi teologi politik. Sebab tidak ada

keselamatan pribadi.

Melalui prinsip hermeneutis dapat membimbing kita memahami arti kehidupan

bagi semua orang. Ini bukan berarti bahwa persoalan individu di abaikan atau

dikesampingkan, tetapi pertanyaannya bagaimana persoalan individu berkaitan dengan

kondisi sosial dalam konteks dimana kita berada. Sebab pada prinsipnya manusia

sebagai makhluk sosial selalu berhubungan dan berkaitan dengan manusia yang lain.

Page 17: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

26

Jadi tidak ada keselamatan sendiri-sendiri. Subjektivitas dimasukkan ke dalam proses

sosial dengan tujuan bukan untuk mencari pemahaman diri sendiri saja, melainkan

percaya dan memahami bahwa keselamatan itu berada dalam dunia. Pandangan

keutuhan keselamatan bagi semua secara konsisten berakar pada keyakinan bahwa

semua realitas dunia yang ada adalah kenyataan sosial.

2.1. Teologia Politik dan Kritik Atas Ketidakadilan

Pertanyaan tentang kebutuhan masyarakat akan pentingnya agama muncul

kembali selama jaman Renaisance dan Pencerahan. Klem kekiristenan sebagai agama

negara dianggap sebagai salah satu hambatan pada abad XVII. Masyarakat pada saat itu

menginginkan adanya suatu agama yang memenuhi kebutuhan komunitas manusia akan

suatu agama politis, atau yang disebut Russeau agama sipil. Para pemimpin dari

Restorasi Katolik menekankan pentingnya agama bagi masyarakat untuk menghadapi

arus sekularisasi di jaman Pencerahan dan Renaisace. Walaupun pada mulanya argumen

ini digunakan untuk mendukung suatu bentuk aliran konservatif gereja katolik namun

bagi mereka yang memilki aliran sosial yang positif yang dapat diterima oleh

masyarakat.

Pada abad ke-20, pembahasan tentang teologia politik dikemukakan oleh Carl

Schmitt yang menggunakan istilah tersebut sebagai suatu judul buku tahun 1922. Ia

mengemukakan pendapat dengan melihat monarki sebagai sesuatu yang berhubungan

dengan konsep ketuhanan yakni pemerintahan teokrasi yang bertentangan dengan

demokrasi. Thesis Scmitt menghasilkan perdebatan yang membawa koreksi bagi gereja

dan orang Kristen. Gereja harus dapat melihat masalah-masalah sosial dan politik

sebagai tanggung jawabnya, dan bukan menjadi tanggung jawab pemerintah dan negara

Page 18: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

27

saja. Hal tersebut menjadi koreksi gereja karena kekuasaan Hitler menjadi sesuatu yang

menakutkan bagi keberadaan umat manusia di masa mendatang.

Kekejaman dan ketidak adilan meraja lela tanpa ada perlawanan. Seakan-akan Hitler

menjadi Allah di dunia ini bagi sesamanya.

Solle menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Di balik Ketaatan Semata”.

Pemikirannya tentang teologia politik dituangkan dalam buku ini. Ia menunjukkan

bagaimana hubungan yang erat dari iman dengan ketaatan yang buta terhadap Tuhan,

yang dipicu oleh ketaatan teologia Kristen kepada peraturan-peraturan yang

dimanifestasikan pada Hitler di Jerman.25

Solle tidak menyediakan suatu daftar yang

memadai dari bentuk-bentuk asli dari teologi politik, tetapi dia lebih menekankan

kepada hermeneutik politik. Artinya teologi politik harus dipahami sebagai „interpretasi

politik dari Injil‟. Bagi Solle, seperti juga Metz dan Molmann, teologi politis pada

dasarnya merupakan teologi kritis. Kritik terhadap teologi dan gereja dalam menyikapi

struktur masyarakat yang tidak adil. Persoalan yang dihadapi adalah bagaimana

seseorang terikat dengan dosa masyarakat yang kecenderungannya melakukan

perbuatan jahat yang merugikan orang lain. Sebuah tindakan kritik terhadap masyarakat

yang membiarkan kaum kapitalis atau para penjaga kamp konsentrasi yang selalu ada di

sekitar kita.

Metz melihat bahwa penderitaan Yesus adalah bagian dari tindakan politik. Dan

gereja harus benar-benar kritis terhadap situasi politik yang terjadi. Ia mengambil

contoh penindasan Israel kepada bangsa Palestina. Dalam hal ini penilaian kita bukan

pada masalah aktualnya namun pada implikasinya terhadap peran dan fungsi gereja

dalam menegakskan keadilan. Banyak dari mereka yang kehilangan, harta benda,

25 Ibid.,17-19.

Page 19: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

28

tempat tinggal dan keluarga. Gereja harus bertindak atas sebuah komitmen tanpa syarat

untuk mencapai keadilan, kebebasan dan kedamain bagi semua.

Satu hal yang sangat penting dari teologi politik menurut Whitehead sebagai

seorang pemikir kristen adalah „kebebasan‟ merupakan suatu keharusan. Jika tidak ada

kebebasan, keberanian tidak ada gunanya. Ia mengemukakan bahwa kebebasan dan

persamaan menjadi satu karena hal yang terpenting dari „persamaan‟ adalah kebebasan.

Dengan kebebasan setiap orang akan memperjuangkan haknya tanpa ada perbedaan dan

diskriminasi. Dan sebaliknya tidak ada gunanya kalau seseorang itu bebas tapi masih

ada perbedaan, dalam hubungannya dengan hak wanita, ras, atau agama.26

Metz ingin

semua orang memahami sepenuhnya tentang diri mereka sebagai subyek yang bebas.

Sama halnya dengan Whitehead yang berfokus pada kesadaran akan kebebasan.

Komitmen Whitehead memperjuangkan kebebasan dengan mengatakan bahwa

Allah ada bersama orang-orang yang tertindas, dan kita dipanggil untuk bersolidaritas

dengan mereka. Ia mengambil contoh tentang struktur pendidikan yang memihak

kepada orang kaya menyebabkan orang miskin akan terus tergusur dan tidak

memperoleh tempat untuk menikmati pendidikan yang lebih baik. Ada juga penindasan

dan perlakuan yang tidak adil kepada masyarakat kulit hitam di Amerika Latin.

Oleh karena itu gereja dan orang kristen harus terpanggil dengan sepenuh hati

untuk berpartisipasi dalam pekerjaan Allah menuju kepada keselamatan seluruh dunia,

dengan melibatkan semua dimensi, publik dan sosial. Semua orang harus dipanggil

untuk membagi tugas dan perannya masing-masing. Mereka harus diyakinkan tentang

pengampunan Allah melalui penderitaan Yesus Kristus. Untuk memahami iman kristen

dengan cara ini merupakan suatu kemajuan yang sangat besar. Namun itu baru

26 Ibid.,146.

Page 20: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

29

permulaan. Orang-orang Kristen setuju bahwa keselamatan mencakup seluruh dunia,

meliputi aspek manusia dan alam, semuanya berada dalam kerangka rencana

keselamatan Allah. Untuk itu Ia akan tetap menjaga dan melestarikan alam untuk

kelangsungan dan kesejahteraan bersama. Begitu pula dalam hubungan dengan sesama

sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Pintu harus terbuka terhadap pluralitas. Bagaimana pengalaman penderitaan

orang kulit hitam di amerika Serikat dan di Amerika Latin, bahkan para wanita di

Atlantis Utara. Selain itu juga kita tidak boleh melupakan pengalaman orang Yahudi

yang telah menderita oleh tangan orang-orang Kristen pada abad 19. Dan masih banyak

lagi yang kita lihat penindasan terhadap kaum minoritas. Kebanyakan orang di dunia

dibentuk dalam presepsi dan harapan oleh tradisi religius dari Yudaisme dan

Kekristenan. Apa yang mereka lihat sangat berbeda dengan apa yang kita lihat,

semuanya sangat berbeda dengan ajaran dan pemahaman iman Kristen itu sendiri.

Dewan gereja-gereja sedunia telah menyediakan sebuah forum untuk

menampung semua suara-suara yang sangat menyakitkan dan menyedihkan. Karena

selama ini mereka tidak didengarkan serta tidak mendapatkan tempat untuk

mengungkapkan segala penderitaan yang mereka alami. Semuanya ini dilakukan dengan

visi akan masyarakat yang adil, berpartisipasi dan berkelanjutan untuk dunia yang

diselamatkan.27

2.2. Dimensi Politik Manusia

Moltmann membagi dimensi politik menjadi empat sebagaimana dikutip oleh

John B, Cobb Jr, antara lain:28

27 Ibid.,154.

28

Ibid., 90-91.

Page 21: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

30

1. Dalam dimensi kehidupan ekonomi, kebebasan berarti kepuasan kebutuhan

material manusia akan kesehatan, makanan, pakaian dan tempat tinggal. Lebih

jauh dari ini adalah keadilan sosial yang dapat memberikan semua anggota

masyarakat berbagi kepuasan dan keadilan dari produk yang mereka hasilkan.

Sejauh lingkaran setan kemiskinan dihasilkan oleh eksploitasi dan dominasi kelas,

keadilan sosial hanya dapat dicapai dengan redistribusi kekuatan ekonomi. Jika

dan sejauh sosialisme, berarti kepuasan dan kebutuhan material dan keadilan

sosial dalam demokrasi material, sosialisme adalah simbol pembebasan manusia

dari lingkaran setan kemiskinan.

2. Dalam dimensi kehidupan politik, demokarasi adalah pembebasan dari lingkaran

setan penindasan. Dengan ini, dapat dimengerti bahwa martabat manusia akan

menjadi penting apabila dia dapat menerima tanggung jawab politik. Ini termasuk

partisipasi dalam hal pengendalian dan pelaksanaan kekuasaan ekonomi dan

politik. Pada tingkatan ini demokrasi berarti penghapusan hak istimewa dan

pembentukan hak asasi manusia. Demokrasi adalah simbol pembebasan manusia

dari lingkaran setan kekerasan.

3. Dalam dimensi kehidupan budaya, pembebasan dari lingkaran setan keterasingan

berarti identitas dalam pengakuan terhadap orang lain. Dengan ini kita

mengartikan 'emansipasi manusia dari manusia' (Marx), di mana manusia

mendapatkan rasa hormat dan kepercayaan diri dalam pengakuannya terhadap

orang lain dan dalam persekutuan dengan mereka. Jika dan sejauh emansipasi

berarti personalisasi dalam sosialisasi dan menemukan identitas seseorang dalam

pengakuan terhadap orang lain. Emansipasi adalah simbol pembebasan dari

lingkaran setan keterasingan.

Page 22: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

31

4. Dalam hubungan masyarakat dengan alam, pembebasan dari lingkaran setan

polusi industri menandakan bahwa manusia telah berdamai dengan alam. Tidak

ada pembebasan orang dari kesulitan ekonomi, penindasan politik dan

keterasingan manusia akan berhasil yang tidak bebas dari eksploitasi alam yang

tidak manusiawi dan yang tidak memenuhi/memuaskan alam. Oleh karena itu

tahap panjang pembebasan manusia dari alam dalam 'perjuangan untuk bertahan

hidup harus diganti oleh fase pembebasan alam dari kebiadaban demi 'perdamaian

yang eksis'. Pada tingkat bahwa transisi orientasi meningkat dalam kuantitas

hidup untuk menghargai kualitas hidup, dan dengan demikian dari kepemilikan

alam dengan sukacita yang ada di dalamnya dapat mengatasi krisis ekologi.

Perdamaian dengan alam adalah simbol pembebasan manusi dari lingkaran setan

ini. Semuanya itu terjadi karena keserakahan manusia.

2.3. Metodologi Teologia Politik

Teologi politik harus memiliki karakter atau ciri khas baik itu metode maupun

dokrin-dokrin yang tepat maupun sesuai dengan konteks dan persoalan gereja di tengah

kehidupan masyarakat. Dalam pembahasan ini kita akan melihat metodologi Teologi

politik yang di jelaskan oleh John B Cobb Jr,29

dengan membandingkan pemikiran

beberapa ahli teologi politik diantaranya Metz, Moltmann dan Solle.

a). Hermeneutik Teologi.30

Ketiga teolog ini menekankan bahwa hermeneutik sebagai pusat dari teologi

politik. Sehingga lewat kajian-kajian hermeneutik politik, gereja akan memahami

tanggung jawabnya di tengah dunia yang modern dalam kerangka menjawab tantangan

iman dalam konteks di mana gereja dan orang percaya itu berada. Semua itu harus

29 Ibid., 44-61.

30

Hermeneutik Teologi berarti interpretasi atau penafsiran tentang Alkitab.

Page 23: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

32

membutuhkan teologis proses yakni penafsiran atau interpretasi terhadap Alkitab.

Karena pembacaan Alkitab saja tidaklah cukup menjawab persoalan yang ada, harus

dilakukan penafsiran dari teks ke konteks serta aplikasinya. Masalahnya adalah bahwa

banyak orang Kristen menganggap bahwa apa yang telah di tulis dalam teks Alkitab

tidak bisa dirubah sama sekali. Itu harus diyakini sebagai suatu kebenaran mutlak yang

tidak bisa diganggu gugat. Oleh karena itu harus ada beberapa proses untuk dapat

memahami teks Alkitab sehingga teks-teks tersebut dapat dimengerti dan dipahami

isinya serta relefan dengan kehidupan yang terjadi. Bultman dan Solle sebagaimana

dikutip oleh John B, Cobb Jr, menawarkan studi kritis yang menekankan konteks

“sosio-historis”. Hal ini lebih menekankan kepada fungsi publik dari teks itu sendiri.

Dengan menggunakan pendekatan kritik teks, sebab pemahaman dari ketiga tokoh

tersebut bahwa tidak ada dokrin yang tidak bisa dikritik, semuanya berada dalam

proses.

Dalam pemahaman seperti itu kita dapat melihat seluruh kehidupan iman berada

dalam rencana dan kehendak Tuhan untuk masa depan. Tidak ada bagian dari

kehidupan itu sendiri yang kebal terhadap perubahan. Beberapa bagian dari kehidupan

ini mungkin tidak berubah sementara yang lain berubah dengan drastis, dan tidak ada

takdir yang menentukan apa yang akan berubah dan berapa banyak perubahannya.

Persoalannya adalah bukan apakah akan ada perubahan? Tetapi apakah perubahan itu

merupakan perkembangan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam menjawab

tantangan dan persoalan baru. Dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan di atas, para

ahli mengatakan bahwa sudah saatnya gereja harus merubah para digma dalam

mengahadapi dunia yang terus berubah. Solle mengambil contoh tentang bagaiman

Yesus menghadapai dan mengatasi realitas sosial pada saat itu. Tidak ada sesuatu yang

Page 24: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

33

mutlak, bagaimana kita menghadapi sistem yang menindas, dan tidak adil. Yesus

mengadakan trasformasi teologis terhadap struktur sosial, dalam kerangka Ia berpikir

dan bertindak. Cara bagaimana Yesus berpikir dan bertindak secara de facto membuka

dan mengubah struktur sosial di mana Ia berada.

Jadi melalui pemahaman ini yang mau dikatakan bahwa orang Kristen harus

terlibat dalam meluruskan kesalahan-kesalahan sosial yang menurunkan derajat

kemanusiaan. Kalau pemahaman kita berakar dari Alkitab maka kita juga harus

mengikuti apa yang Yesus lakukan yaitu keprihatinannya kepada orang yang miskin dan

tertindas. Pertanyaan yang perlu diajukan adalah bukan apakah Yesus seorang

revolusioner? Tetapi bagaimana Ia berdiri dan melawan kekerasan, ketidak adilan dan

diskriminasi. Yang terpenting disini adalah bukan perkataan tetapi bagaimana perbuatan

dan tindakan. Semuanya ini terjadi dalam konteks dan perjalan sejarah. Oleh karena itu

kita harus memahami secara sosial historis. Berdasarkan prespektif ini kita tidak akan

meremehkan pentingnya penafsiran kitab suci, tetapi melalui hermeneutik kitab suci,

kita dapat memahami dan mengerti bahwa ada bagian-bagian yang berbeda dari Alkitab

yang di tulis dengan kepentingan-kepentingan dan maksud tertentu. Yesus, Paulus dan

Yohanes serta para nabi lain yang terdapat dalam Perjanjian Lama maupun Baru

mempunyai perjalanan sejarah tersendiri dalam konteks budaya dan masyarakat tertentu

dengan problem sosial dan masalah tersendiri. Oleh karena itu tugas teologi bukan

hanya bisa menafsirkan teks yang tertulis, tetapi harus juga dapat menemukan teks yang

relevan dalam waktu dan tempat yang berbeda serta dapat menjawab problem dan

masalah yang timbul dalam masyarakat, sesuai tantangan saman.31

b). Pendekatan Memori dan Narasi.

31 Ibid., 51.

Page 25: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

34

H.Richard Niebuhr mengembangkan pendekatan terhadap pengakuan beberapa

cerita sebagai cara menerima dan memahami pluralisme. Ia menunjukan bahwa tidak

gampang dua masyarakat hidup bersama dan saling menerima satu sama lain. Misalnya

Protestan dan Katolik dapat tumbuh dan hidup bersama dengan benar apabila mereka

memiliki pengalaman hidup yang sama dan tidak terpisahkan satu dengan yang lain.

Konsili Trent harus menjadi bagian dari sejarah Protestan, dan Luther dan Anababtis

harus menjadi bagian dari Katolik.32

Jika demikian maka apapun yang terjadi dalam persoalan kelembagaan mereka

tetap mempunyai pengalaman yang sama tentang kekristenan secara umum. Menurut

Metz yang dikutip oleh John Cobb, Jr bahwa hanya dengan proses sejarah semua orang

dapat menemukan makna kehidupan. Semua orang mempunyai arti dan makna

pengalaman hidup. Menurut Metz masalah utama yang ada pada orang Kristen ialah

bukan pada dokrin dan ajaran tetapi pada tindakan terhadap komitmen kesetiaan. Ia

lebih menekankan kepada tindakan praksis. Bagaimana kita dapat meniru Kristus dalam

sikap dan tindakan serta perbuatan. Kristus yang menderita, mati dan bangkit semuanya

terjadi dalam perjalanan sejarah kehidupan manusia. Manusia menjadi pusat karya dan

penyelamatan Allah. Semua orang dipanggil untuk menjadi subyek dalam hadirat Allah.

Model praksis atau tindakan dilihat lebih baik dalam hubungan interaksi dengan

masyarakat. Kita punya pengalaman yang berbeda, teori yang berbeda, pandangan dan

makna yang berbeda. Melalui semuanya itu dapat menjadi kesempatan yang berharga

untuk bertumbuh dalam kebenaran.

Pertumbuhan dalam kebenaran tidak bisa merubah keyakinan yang lama atau

menambahkan keyakinan yang baru, tetapi semuanya itu dapat terjadi apabila ada

32 Ibid., 54.

Page 26: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

35

kompromi atau kesepakatan bersama. Pertumbuhan terjadi ketika keyakinan yang

bertentangan di ubah oleh pikiran kresatif ke dalam apa yang disebut Whitehead

kontras. Artinya, integritas dan kekuatan yang berbeda di pertahankan pada hubungan

yang saling menguntungkan. Tapi pemahaman atau perspektif baru dapat dicapai

apabila kebenaran dari masing-masing dapat direalisasikan bersama dalam keterbatasan

masing-masing. Dalam kaitan ini masing-masing kemudian diubah oleh hubungan baru

satu sama lain tersebut, dan keseluruhan pengalaman itu akhirnya menjadi luas dan

diperkaya oleh satu dengan yang lain demi mencapai tujuan dan kepentingan bersama.

2.4. Ruang Lingkup Teologia Politik

2.4.1. Teologia Politik adalah Sebuah Koreksi Kritis.

Teologi Politik adalah sebuah koreksi kritis atas tendensi untuk membatasi

teologi pada wilayah pribadi dan personal, seperti dalam bentuk-bentuk transendental,

eksistensial dan personalis. Ada kecenderungan untuk mereduksi “inti” warta Kristen

dan praksis iman pada keputusan individu yang terpisah dari dunia, suatu rekasi

terhadap separasi antara agama dam masyarakat. Disini Teologi Politik ikut campur,

bukan dalam arti suatu identitas yang berbeda dari agama dan masyarakat, melainkan

suatu usaha sengaja untuk membangun relasi agama dan masyarakat. Dalam usaha ini,

Teologi Politik bertujuan “nationalization” sambil memperhatikan konsep teologis,

bahasa pewartaan dan spiritualitas. Teologi ini berupaya mengatasi esoterisme yang

berlebikan berkenaan dengan diskursus mengenai Allah, oposisi yang sulit didamaikan

antara kehidupan rohani pribadi dan kebebasan sosial, yang dengan jelas memperluas

jurang antara teologi dan pewartaan serta apa yang dalam kenyataan dihayati orang

Kristen.

2.4.2. Teologia Politik Sebagai Warta Eskatologis Kristen.

Page 27: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

36

Teologi Politik merupakan usaha memformulasikan warta eskatologis Kristen

dalam kondisi masyarakat dewasa ini, seraya memperhitungkan perubahan-perubahan

struktural dalam kehidupan publik. Dengan kata lain teologi politik merupakan usaha

“keluar dari” hermeneutika yang semata-mata “pasif” dan “buta” terhadap konteks

masyarakat dewasa ini. Masyarakat dipandang sebagai sasaran sekunder aktivitas

Krsiten. Dalam teologi politik masyarakat pertama-tama diyakini sebagai medium

hakiki bagi penemuan kebenaran teologis dan pewartaan Kristen pada umumnya.33

Dengan demikian “Teologi Politik” bukan semata-mata suatu jenis “teologi

tarapan”. Ia juga tak dapat diidentikan begitu saja dengan “etika politik” atau “teologi

sosial”. Teologi politik mengklem menjadi unsur dasariah dalam keseluruhan struktur

pemikiran teologis-kritis, terdorong oleh suatu paham baru tentang relasi antara teori

dan praktek, dengan itu maka semua teologi harus menjadi “praksis” dari dirinya

sendiri. Jadi teologi politik berorientasi pada aksi. Tidakan dan sikap gereja terhadap

masalah-masalah sosial kemasyarakat dalam menyikapim isu-isu politik.

3. Peranan dan Fungsi Gereja dalam Politik

Sejak awal bangsa Indonesia menyadari, bahwa keberadaannya dimungkinkan

oleh campur tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Alinea ketiga dari Pembukaan UUD

1945 menyatakan, bahwa atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan didorongkan

oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat

Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemerdekaan yang

diproklamasikan oleh bangsa Indonesia itu disadari sebagai terjadi atas berkat dan

rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Menurut John Titaley, ini adalah pernyataan

religiusitas karena dalam kenyataan kemerdekaan itu diperjuangkan oleh bangsa

33 A.Eddy Kristiyanto, Teologi Politik, (Jakarta: Yayasan Bumi Karsa, 2003), 2-3.

Page 28: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

37

Indonesia dengan korban jiwa. Dengan mengatakan hal yang demikian, bangsa

Indonesia mau menunjukan rasa keagamaan dirinya, bahwa selain perjuangan dan

pengorbanan yang telah dilakukannya, apa yang dicapainya tidak bisa dilepaskan begitu

saja dari adanya campur tangan Tuhan yang diyakini itu.34

Gereja sebagai warga masyarakat Indonesia yang ikut berjuang mempertahankan

dan merebut kemerdekaan, tidak akan menyaia-nyiakan arti kemerdekaan itu, tetapi

harus berperan aktif dalam menciptakan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi

seluruh rakyat Indonesia. Reformasi yang dialami bangsa kita seharusnya dilihat

sebagai suatu loncatan baru menuju kepada Indonesia yang adil makmur dan sejahtera.

Pertanyaannya bagaimana gereja menunjukan perannya di tengah situasi bangsa yang

sedang bergejolak karena arus reformasi yang begitu deras mengancam sendi-sendi

kehidupan berbangsa dan bernegara? Albert Patty35

menjelaskan ada [4] empat, peran

utama agama (gereja) dalam situasi politik di Indonesia.

1. Agama (gereja) berperan dalam memberikan pendidikan politik bagi rakyat.

Pendidikan politik itu berguna agar rakyat mampu berpartisipasi secara aktif dalam

proses politik. Berpartisipasi secara aktif berarti memiliki kemampuan untuk

bersikap kritis baik terhadap pemerintah, terhadap sikap keberagaman maupun

terhadap persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Berpartisipasi secara

aktif juga berarti memiliki kemampuan untuk melakukan reinterpretasi terhadap

fungsi negara, terhadap kecenderungan demonisme agama yang mempersetankan

kemanusiaan diri sendiri maupun kemanusiaan sesama yang berbeda. Berpartisipasi

secara aktif berarti memiliki kemampuan untuk melakukan transformasi terhadap

34 John Titaley, Religiusitas Di Alinea Tiga (Salatiga: Satya Wacana University 2013), 50.

35

Albertus Patty, Kristen dan Situasi Politik Indonesia Kontemporer, (Editor: Einar M.Sitompul,

2004), 19-20.

Page 29: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

38

negara, sikap keberagamaannya dan terhadap berbagai kondisi sosial yang

berlenggu dan menderitakan rakyat.

2. Agama (gereja) berperan dalam mempersiapkan pemimpin-pemimpin politik masa

depan yang memiliki intelektualitas tinggi, berwawasan luas, memiliki integritas

dan spiritualitas yang tangguh. Pemimpin yang dibutuhkan pada masa sekarang dan

di masa depan adalah mereka yang bisa mengubah kultur konflik dan kekerasan

menjadi kultur persaudaraan. Pemimpin yang bangsa ini butuhkan adalah pemimpin

yang mampu mengtransenden dirinya dari ikatan-ikatan primordialisme baik agama

maupun suku bangsa. Persoalan kita sekarang adalah bahwa kita memiliki terlalu

banyak pemimpin yang hanya mementingkan kepentingan diri maupun kepentingan

kelompoknya saja.

3. Agama (gereja) berperan dalam meletakan landasan etik dalam kehidupan sosial

dan dalam kehidupan berpolitik bangsa. Landasan etik dalam kehidupan sosial

mengatur relasi horisontal yang menghargai kemajemukan bangsa. Dalam konteks

ini agen itu sendiri memainkan peranan penting dalam mempererat relasi para aktor

demokrasi baik yang berada di tengah masyarakat maupun para elit. Dalam konteks

ini agama justru harus belajar dari rakyat. Di tengah situasi konflik, rakyat telah

berhasil menciptakan suatu kultur akternatif yaitu kultur persaudaraan.

4. Agama (gereja) bisa berperan dalam tataran spiritual. Yang dimaksud tataran

spiritual adalah kemampuan mentransenden diri. Transisi demokrasi hanya bisa

berhasil bila kita berhasil mentransenden diri kita, dan sesama kita melampawi

mentalitas korban.Transisi demokrasi bisa berhasil bila “korban-korban” saling

bekerja dan saling menyembuhkan.

Page 30: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

39

Dengan demikian maka apabila kekristenan hanya memperhatikan kesalehan

pribadinya sendiri tanpa peduli terhadap perubahan yang terjadi maka, tindakannya itu

bisa menjadi bumerang untuk membahayakan dirinya. Reformasi yang terjadi di

Indonesia karena rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Dan gereja merasa

nyaman dengan keadaan demikian tanpa ada tindakan kritis dan koreksi terhadap

kebijakan pemerintahan Orde Baru. Ada anggapan bahwa lebih baik kita hidup dalam

pemerintahan orde baru dengan kepemimpinan Soeharto dari gereja akan berhadapan

dengan pemikian Islam yang fundamental dan radikal.

Untuk menyikapi masalah ini ada tiga sikap politik orang Kristen antara lain:36

Pertama, mereka yang apolitik, yang menganggap politik sebagai urusan duniawi yang

kotor yang tidak perlu dicampuri gereja yang dianggap sebagai lembaga yang

mengurusi sorga saja. Bagi mereka doa dan ibadah akan menyelesaikan segala sesuatu.

(contoh: aliran pietisme) Kedua, adalah kelompok yang ingin merebut kekuasaan

politik (paling sedikit mempunyai kekuatan signifikan dalam struktur pemerintahan)

agar dapat mementukan jalannya negeri ini. (Contoh: PDS). Ketiga, mereka yang

berpendapat bahwa orang Kristen di Indonesia terpanggil sebagai garam dan terang

dunia yang melalui iman Kristianinya dapat melakukan transformasi politik secara

positif, kritis, kreatif, dan realistis. (Contoh: PGI).

4. Kesimpulan :

1. Wogaman membagi hubungan gereja dan negara menjadi empat model:

a).Teokrasi. b).Erasionisme. c).“Pemisahan” secara Damai. d). Pemisahan

yang tidak bersahabat yang mengakibatkan Permusuhan.

36 Richard Daulay, Kekristenan Dan Politik, (Jakarta: Waskita Publishing, 2013), 15-16.

Page 31: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

40

2. Teologi politik adalah teologi publik yang mengoreksi secara kritis

dominasi negara dan struktur masyarakat yang menindas.

3. Inti teologi politik adalah kritik terhadap gereja, teologi dan realitas sosial

yang terjadi dalam masyarakat.

4. Teologia Politik mendasari pemikirannya kepada teologia proses, dengan

pemahaman bahwa tidak ada sesuatu yang mutlak terjadi dalam dunia ini,

semuanya melewati proses menuju kepada suatu tujuan yang dikehendaki

Allah. Dan gereja sebagai tubuh Kristus harus dapat menjawab tantangan

dan pergumulannya sesuai dengan konteks dimana gereja itu berada.

5. Ketidakadilan, diskriminasi, kehancuran alam semesta, disebabkan karena

egoisme manuisa dan struktur masyarakat yang tidak memihak kepada

kaum miskin dan minoritas.

6. Keselamatan yang diperjuangkan bukan keselamatan “pribadi” tetapi

keselatan seluruh alam ciptaan.

Page 32: B A B II TEOLOGI POLITIK: L A N D A S A N T E O R I II.pdfPanitia Persiapan Kemerdekaan IndonesiaSekretariat, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

41