Upload
arayllayulian
View
187
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
B AB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Kasus
1. Anatomi fungsional sendi lutut
a. Persendian lutut
Sendi lutut dibentuk oleh os tibia, os femur dan os patella. Permukaan
sendi lutut berupa condylus femoris sebagi caput articularis berbentuk seperti
katrol dan condylus tibiae sebagai dasar sendi (fovea articularis) dengan bentuk
yang lebih datar (Susilowati dan Surini, 2002).
b. Meniskus
Hubungan yang asimetris antara condylus femoris dan condylus tibiae
dilapisi oleh meniscus dengan struktur fibro cartilago yang melekat pada kapsul
sendi. Meniscus lateralis berbentuk “O“ dan meniscus medialis berbentuk “C”.
Pada gerak fleksi meniscus bergerak sedikit ke dorsal, ekstensi bergerak ke
ventral. Meniscus ini akan membantu mengurangi tekanan dari condylus femoris
terhadap condylus tibiae dengan menyebarkan tekanan pada cartilago articularis
dan menurunkan distribusi tekanan antara kedua condylus serta mengurangi friksi
selama gerakan berlangsung (Tajuid, 2000).
5
5
c. Kartilago
Kartilago adalah jaringan elastik yang menyerupai jel yang terletak pada
ujung permukaan tulang yang membentuk persendian berguna untuk menahan
tekanan dan beban berat badan sewaktu berdiri maupun aktifitas tegak lainnya.
Kartilago yang sehat mempunyai 3 komponen utama yaitu (1) khondrosit, yaitu
sel-selnya tumbuh pada seluruh bagian kartilago yang berperan agar kartilago
tetap bisa mengalami regenerasi dan sehat, (2) kolagen, merupakan matrik protein
fibrus yang terbentuk seperti anyaman yang sangat kuat, (3) proteoglikan,
merupakan matrik yang tersusun oleh kombinasi protein dan gula berperan untuk
menyerap dan mempertahankan cairan. Proteoglikan bersama dengan kolagen
berfungsi untuk memelihara agar kartilago tetap bersifat fleksibel dan mampu
meredam beban fisik (Hudaya, 2002). Keseluruhan daerah sendi dikelilingi
sejenis kantong yang disebut dengan kapsul, yang terdiri dari stratum fibrosum
dibagian luar sebagai penguat dan stratum sinovial di bagian dalam sebagai
pelicin karena menghasilkan cairan sinovial (Susilowati dan Surini, 2002).
d. Ligamentum
Di luar kapsul diperkuat oleh ligamentum. Ligamentum yang
mempengaruhi stabilitas sendi lutut meliputi (1) ligamentum collaterale mediale,
(2) ligamentum collaterale laterale, (3) ligamentum cruciatum anterior dan (4)
ligamentum cruciatum posterior. Ligamentum collaterale mediale berjalan dari
epicondylus medialis femoris ke permukaan medial tibia berfungsi untuk
6
menahan beban ke arah medial, ligamentum collaterale laterale berjalan dari
epicondylus lateralis femoris ke capitulum fibula yang berfungsi untuk menahan
beban ke arah lateral. Arah dari kedua ligamentum tersebut memberikan gaya
bersilangan sehingga memperkuat stabilitas sendi lutut terutama pada posisi
ekstensi. Ligamentum cruciatum anterior berjalan dari depan eminentia
intercondyloidea tibiae ke permukaan medial condylus lateralis femoris yang
berfungsi menahan gerakan translasi os tibiae terhadap os femur ke arah anterior
sedangkan ligamentum cruciatum posterior yang berjalan dari facies lateralis
condylus medialis femur menuju ke fossa intercondyloidea tibia yang berfungsi
untuk menahan gerak translasi os tibia terhadap os femur ke arah posterior. Kedua
ligamentum tersebut pada posisi endorotasi saling bersilangan sedangkan pada
posisi eksorotasi akan sejajar (Platzer et all, 1983).
e. Otot
Otot-otot sekitar sendi lutut mempunyai fungsi sebagai stabilitas aktif.
Otot penggerak kearah ekstensi yaitu quadriceps femoris, disarafi oleh n.
femoralis L2-4 yang terdiri dari : (1) otot rectus femoris, origo pada spina iliaca
anterior inferior, superior acetabulum, insertio pada patella bagian basal, (2) otot
vastus medialis, origo pada labium mediale linea aspera, insertio pada setengah
bagian proximal medial os patella, (3) otot vastus lateralis, origo pada labium
lateral linea aspera dan anterior trochantor mayor femoris, insertio pada
proximal lateral os patella , (4) otot vastus intermedius, origo pada 2/3 proximal
dari anterior dan lateral corpus femoris, insertio pada bagian lateral os patela. Otot
7
penggerak utama ke arah fleksi adalah otot hamstring tediri dari 3 kelompok otot
yang disarafi oleh n. sciatica L5-S2 yaitu (1) otot bisep femoris, origo pada caput
longum pada tepi bawah ischiadicum, caput brevis pada labium lateral linea
aspera, insertio pada fibula bagian lateral dan condylus lateralis tibiae, (2) otot
semitendinosus, origo pada tuber ischiadicum, insertio pada bagian proximal dari
medial permukaan os tibiae, (3) otot semimembranosus, origo pada tuber
ischiadicum, insertio condylus medialis tibiae (Kenyon, 2004).
Osteokinematika yang terjadi pada sendi lutut adalah gerakan fleksi dan
ekstensi pada bidang sagital dengan luas gerak sendi fleksi antara 120-130 bila
posisi hip mencapai fleksi penuh. Untuk gerakan ekstensi luas gerak sendi 0
tetapi bisa 5-10 jika terdapat hiperekstensi lutut. Gerakan memutar pada bidang
rotasi untuk gerakan endorotasi dengan luas gerak sendi antara 30-35.
Sedangkan untuk eksorotasi antara 40-45 dari posisi awal mid posisi, gerakan ini
terjadi pada posisi lutut fleksi 90 (Kapandji, 1987).
Arthrokinematika sendi lutut yaitu saat fleksi sendi lutut, femur rolling ke
arah posterior dan sliding ke arah anterior. Saat gerak ekstensi lutut, femur rolling
ke arah anterior dan sliding ke arah posterior. Pada tibia gerakan rolling dan
sliding searah yaitu saat bergerak fleksi sendi lutut, tibia menuju ke posterior
sedangkan pada saat ekstensi lutut, tibia menuju ke anterior (Platzer et all, 1983).
8
Gambar 2.1
Meniskus, (Wikipedia, 2008)
Keterangan :
1. Tuberositas tibiae
2. Ligamentum transvers
3. Ligamentum meniscofemoral anterior
4. Meniscus lateralis
5. Ligamentum cruciatum anterior
6. Ligamentun meniscofemoral posterior
7. Ligamentum cruciatum posterior
8. Meniscus medialis
9
Gambar 2.2
Tulang, persendiaan dan ligament sendi lutut (Putz and Pabst, 2000 )
Keterangan :
1. Tendon M. Adductor magnus 2. Tendon caput medial M Gastrocnemius
3. Condylus medialis 4. Ligamen menisco femorale posterior
5. Ligamen collateral tibia 6. Tendon M semi membranosus
7. Ligamen popliteum obliqum 8. Ligamen cruciatum anterior
9. M. popliteum obliqum 10. M. Popliteus
11. Tendon caput lateralis 12. Ligamen cruciatum anterior
13. Condilus lateralis femur 14. Tendon M. Popliteus
15. Meniscus lateralis 16. Ligamen collateral fibula
17. Condylus lateralis tibia 18. Ligamen capitis fibulae posterior
19. Caput fibulae
10
1
2
3
5
6
7
4
8
10
11
19
18
17
16
15
14
13
12
9
Gambar 2.3
Otot-otot penguat sendi lutut tampak dari depan (Putz and Pabst, 2000)
Keterangan :
1. M. Psoas mayor 2. M. Illiacus
3. M. Iliopesoas 4. M. Tensor Fasiae latae
5. M. Rectus femoris 6. M. Vastus lateralis
7. M. Psoas minor 8. M. Pectineus
9. M. Adduktor 10. M. Sartorius
11. M. Adduktor magnus 12. M. Gracilis
13. M. Vastus medialis
11
Gambar 2.4
Otot-otot penguat sendi lutut tampak dari belakang (Putz and Pabst, 2000 )
12
1. Definisi
Osteoarthritis adalah suatu kerusakan pada permukaan kartilago yang
ditandai dengan perubahan histologi, klinis dan radiologi (Moll, 1984). Penyakit
ini bersifat asimetris dan tidak ada komponen sistemik (Parjoto, 2000).
2. Patologi
Osteoarthritis sendi lutut merupakan gangguan dari persendian diatrodial
yang dicirikan oleh fragmentasi dan terbelah-belahnya kartilago persendian
karena adanya degenerasi kartilago akibat ketidakseimbangan antara proses
degenerasi dan regenerasi. Lesi permukaan itu disusul oleh proses pemusnahan
kartilago secara progresif. Melalui sela-sela yang timbul akibat proses degenerasi
fibrilar pada kartilago, cairan sinovial dipenetrasikan ke dalam tulang di bawah
lapisan kartilago, yang akan menghasilkan kista-kista. Kartilago yang sudah
hancur mengakibatkan sela persendian menjadi sempit. Disamping itu juga terjadi
regenerasi di tepi tulang subkhondral berupa pembentukan tulang baru (osteofit)
yang menonjol ke tepi persendian. Pada tulang subkhondral terjadi reparasi
sehingga terjadi sklerotik tulang subkhondral (Sidharta, 1984).
3. Etiologi
Menurut American Rheumatism Association (ARA), OA diklasifikasikan
menjadi 2, yaitu (1) osteoarthritis primer yang belum diketahui penyebabnya
13
(idiopatik), namun bisa juga karena herediter, OA jenis ini paling sering
ditemukan dan (2) osteorthritis sekunder penyebabnya adalah kelainan
pertumbuhan tulang sejak lahir, penyakit metabolik, trauma, peradangan dan
faktor endokrin (Moll, 1984).
Beberapa faktor pemicu terjadinya OA meliputi:
a. Usia
Kartilago sebagai bantalan penahan tekanan semakin tua akan semakin
kurang elastisitasnya (Sidharta, 1984). Prevalensi radiologik OA sendi lutut akan
meningkat sesuai dengan umur. Pada umur di bawah 45 tahun jarang didapatkan
gambaran radiologik yang berat. Pada usia tua gambaran radiologik OA sendi
lutut yang berat mencapai 20 % (Isbagio, 1995).
b. Jenis kelamin
Penderita OA sendi lutut lebih banyak wanita daripada laki-laki. Kellgren
dan Lawrence melaporkan bahwa prevalensi terjadinya OA sendi lutut adalah
40,7% pada wanita dan 29,8% pada laki-laki dengan usia 55-64 (Virgiyanti dan
Hadi, 2006).
c. Obesitas
Pada keadaan normal, berat badan akan melalui medial sendi lutut dan
akan diimbangi dengan otot – otot paha bagian lateral sehingga resultan gaya akan
melewati bagian tengah sendi lutut. Pada obesitas resultan gaya akan bergeser ke
14
medial sehingga beban gaya yang diterima sendi lutut tidak seimbang. Pada
keadaan yang berat dapat timbul perubahan bentuk sendi menjadi varus yang akan
menggeser resultan gaya ke medial (Isbagio,1995).
Kelebihan berat badan 20 persen atau lebih dari berat badan normal akan
menempatkan orang tersebut pada resiko OA sendi lutut (Merdikoputro, 2006).
Untuk menentukan kegemukan tersebut dapat dicari dengan menggunakan rumus
Body Mass Indeks (BMI) yaitu = Berat Badan (Kg) / Tinggi Badan (m)².
Menurut Hudaya (2002), dengan kriteria penilaian yang menggunakan
skala yaitu (1) Normal : 20-25 untuk pria, dan 19-24 untuk wanita, (2)
underweight kurang dari 20, (3) overweight : batas atas normal sampai 30, (4)
obesitas lebih dari 30.
d. Faktor hormonal dan metabolisme
Perubahan degeneratif pada sendi lutut banyak ditemukan pada penderita
diabetes mellitus, hyperurecemia, dan calcium phyrophosphat (Sidharta, 1984).
e. Faktor genetik
Faktor genetik menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya
OA sendi lutut karena diperkirakan ada hubungannya dengan defek pembentukan
serabut collagen, defek pembentukan proteoglikan atau hiperaktivitas
chondrocyte, yang kesemuanya mempermudah timbulnya OA sendi lutut
(Hudaya, 2002).
15
f. Aktifitas kerja
Pekerja yang banyak membebani sendi lutut, misalnya para pekerja yang
banyak berjalan, berdiri lama, naik turun tangga, memanggul beban dan jongkok
lama akan mempunyai resiko terserang OA sendi lutut lebih banyak dari pada
pekerja yang tidak banyak membebani lutut (Isbagio, 1995).
g. Trauma
Kelainan/ perubahan struktur pada persendian hasil kecelakaan merupakan
faktor utama pemicu munculnya OA sendi lutut lebih cepat. (Isbagio, 1995). Pada
penelitian di Universitas IOWA dilaporkan bahwa 13,9% dari mereka yang
mengalami trauma lutut, termasuk trauma pada meniscus, ligament ataupun tulang
pada masa dewasa muda berkembang menjadi OA lutut dan mereka yang tidak
mengalami trauma lutut hanya 6% yang mengalami OA lutut (Virgiyanti dan
Hadi, 2006).
4. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala yang muncul bila sudah terjadi manifes pada OA lutut
sebagai berikut :
a. Nyeri
Nyeri muerupakan keluhan utama yang menyebabkan orang mencari
pengobatan. Beberapa penyebab langsung nyeri adalah sinovium, osteofit, kapsul
16
sendi dan ligament periartikular direnggangkan oleh efusi, spasme otot dan
persepsi nyeri individual (Tulaar, 2006). Nyeri muncul pada saat sendi lutut
digerakkan dan sedikit berkurang setelah istirahat. Apabila penyakitnya
bertambah buruk, maka nyeri dapat timbul meskipun dalam keadaan istirahat.
b. Kaku sendi
Kaku sendi biasanya muncul pada pagi hari atau setelah periode inaktif
dan hilang setelah 15-30 menit (Isbagio, 2005).
c. Keterbatasan LGS
Keterbatasan LGS diakibatkan adanya nyeri dan muscle spasme.
Keterbatasan LGS biasanya bersifat pola kapsuler, gerak fleksi lebih terbatas dari
pada gerak ekstensi (Kuntono, 2005).
d. Krepitasi
Krepitasi adalah bunyi yang mendesas apabila sendi digerakkan, hal ini
disebabkan oleh permukaan sendi yang kasar dan serpihan-serpihan dari kartilago
karena degenerasi (Kuntono, 2005).
e. Kelemahan otot dan atrofi otot sekitar sendi lutut
Pasien OA mengalami kelemahan otot akibat tidak aktif, karena otot dapat
kehilangan 30 % massa dalam seminggu, serta 5% kekuatan dalam sehari apabila
istirahat total (Tulaar, 2006). Otot quadriceps merupaka otot yang berperan
17
dalam memelihara sendi lutut dan paling cepat terjadi atrofi, jika otot tersebut
mengalami kelemahan dapat mengakibatkan semakin parahnya OA pada sendi
lutut (Samble et al, 1990 dikutip oleh Suyono, 2000).
e. Bengkak
Pembengkakaan kadang-kadang ditemukan pada OA sendi lutut karena
adanya pengumpulan cairan dalam ruang sendi (Isbagio, 1995).
f. Deformitas
Osteoarthritis sendi lutut yang berat akan menyebabkan destruksi
kartilago, tulang dan jaringan. Deformitas varus terjadi bila adanya kerusakan
pada kompartemen medial dan kendornya ligamentum collateral lateral, serta
variasi subluksasi karena perpindahan titik tumpu pada lutut atau diakibatkan oleh
pembatasan adanya osteofit yang besar (Kuntono, 2005).
g. Instabilitas sendi lutut
Instabilitas sendi disebabkan oleh berkurangnya kekuatan otot sekitar
sendi lutut mencapai sepertiga dari otot normal dan juga oleh kendornya ligamen
sekitar lutut (Kuntono, 2005).
5.Komplikasi/faktor penyulit
Komplikasi/faktor penyulit pada kondisi OA sendi lutut antar lain adanya
nyeri apabila sendi digunakan untuk melakukan aktivitas jalan jauh, sebab saat
18
melakukan aktivitas tersebut sendi menumpu berat badan yang berlebihan,
akibatnya pasien enggan melakukan aktivitas atau gerak sehingga terjadi
kekakuan sendi. Komplikasi lainnya yang terjadi pada pasien OA sendi lutut
adalah disuse atrophi, deformitas valgus atau varus serta adanya kelemahan otot
(Parjoto, 2000).
6. Diagnosis
Untuk diagnostik dari OA sendi lutut digunakan kriteria klasifikasi dari
American of Rheumatology seperti pada tabel 2.1.
TABEL 2.1
KRITERIA OA SENDI LUTUT
Klinik & Laboratorik Klinik & Radiografik Klinik
Nyeri lutut (+) minimal 5
dari 9 kriteria berikut:
a. Umur > 50 tahun
b. Kaku pagi < 30 menit
c. Krepitasi (+)
d. Nyeri tekan
e. Pembesaran tulang
f. Tidak panas dalam
perabaan
g. LED <40 mm/jam
h. RF <1 : 40
i. Analisis cairan sendi
Nyeri lutut (+) minimal 1
dari 3 kriteria berikut:
a. Umur > 50 tahun
b. Kaku pagi < 30 menit
c. Krepitasi (+)
d. Osteofit
Nyeri lutut (+) minimal
1 dari 3 kriteria berikut :
a. Umur > 50 tahun
b. Kaku pagi < 30
menit
c. Krepitasi (+)
d. Nyeri tekan
e. Pembesaran tulang
f. Tidak panas dalam
perabaan
Sumber : Adnan, 2007
19
Kriteria Lawrence dan Kellgren dalam hubungannya dengan gradasi OA
yaitu (1) grade 0 = Normal, (2) grade 1 = OA meragukan, sendi normal, osteofit
minimal, (3) grade 2 = OA minimal, osteofit di dua tempat, terdapat sklerosis
subkhondral dan kista tidak ada, celah sendi masih baik, (4) grade 3 = OA
moderat, osteofit moderat, deformitas ujung tulang, celah sendi sempit, (5) grade
4 = OA berat, osteofit besar, deformitas ujung tulang, sklerosis subkhondral, sela
sendi hilang, terdapat kista (Moll, 1984).
7. Prognosis
Menurut Hudaya (2002), prognosis dari penderita OA sendi lutut ini dapat
dilihat dari beberapa aspek meliputi (1) Quo ad vitam yaitu mengenai hidup
matinya penderita, pada penderita OA sendi lutut prognosis quo ad vitam baik
karena OA sendi lutut merupakan penyakit yang tidak mengancam jiwa penderita,
(2) Quo ad sanam (sanationam) yaitu mengenai penyembuhan, pada OA sendi
lutut prognosis quo ad sanam ragu-ragu/dubia karena OA sendi lutut
penyembuhannya bersifat simtomatik karena kerusakan kartilago tidak mampu
diperbaiki tetapi dapat dikontrol, (3) Quo ad cosmeticam yaitu ditinjau dari segi
kosmetik dapat dikatakan jelek jika sudah terjadi deformitas baik valgus atau
varus, (4) Quo ad fungsionam yaitu ditinjau dari fungsinya, jika sudah berat maka
prognosisnya jelek karena sudah merubah fungsi dan menghambat aktifitas dari
fungsi sendi lutut.
8. Diagnosis banding
20
Diagnosis banding dengan penyakit sendi terutama jenis penyakit arthritis
yang paling sering ditemukan di masyarakat atau dalam praktek seperti arthritis
reumatoid dan gout arthritis. Arthritis reumatoid, umumnya didahului gejala-
gejala prodomal, pada pemeriksaan laboratorium ditemukan anemia ringan,
peningkatan laju endap darah (LED), C-Reactive Protein (CRP) positif, kadar
globulin dan faktor rheumatik positif. Gout arthitis, pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan kadar asam urat yang tinggi, pada pria lebih dari 7 mg%
dan wanita lebih dari 6 mg% (Hudaya, 2002).
B. Deskripsi Problematika Fisioterapi
Problematik yang timbul pada penyakit OA sendi lutut dapat dibedakan
dalam tiga tingkatan meliputi:
1. Impairment
Impairment berupa (1) nyeri saat beraktifitas dan sesaat setelah aktifitas
pada sendi lutut akibat osteofit dan instabilitas, (2) bengkak sendi lutut pada
stadium kronis aktualitas tinggi akibat akumulasi cairan, (3) spasme otot karena
nyeri, (4) kekakuan sendi lutut akibat spasme otot penggerak sendi lutut, (5)
keterbatasan LGS sendi lutut akibat gerak sendi lutut yang terbatas, (6) kelemahan
otot penggerak lutut terutama otot quadriceps akibat nyeri dan inaktifitas, (7)
instabilitas sendi lutut akibat kelemahan otot dan kendornya ligamen.
2. Functional limitation
21
Functional Limitation berupa, keterbatasan gerak untuk posisi jongkok
berdiri atau gangguan pola jalan karena kelemahan otot dan instabilitas sendi
lutut, potensial terjadi penurunan kemampuan fungsional karena kurangnya
aktifitas pasien.
3. Participation restriction
Participation Restriction berupa ketidakmampuan pasien untuk melakukan
aktifitas yang berhubungan dengan pekerjaan, hobi dan interaksi dengan
masyarakat sekitar sebagai akibat dari impairment dan functional limitation.
C. Teknologi Intervensi Fisioterapi
1. Microwave diathermy
Microwave diathermy (MWD) merupakan modalitas fisioterapi yang
menggunakan energi elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus listrik bolak-balik
dengan frekuensi 2450 MHz dan panjang gelombang 12,25 cm yang digunakan
untuk pengobatan (Sujatno dkk, 2002).
Microwave diathermy (MWD) dalam memperoleh frekuensi yang tinggi
memerlukan valve (tabung khusus) yang disebut magnetron. Magnetron
memerlukan waktu pemanasan, sehingga output belum diperoleh langsung setelah
mesin dihidupkan. MWD juga dilengkapi tombol stand by switch yang mana
mesin tetap hidup dengan dosis nol sehingga antara pengobatan satu dengan
22
berikutnya valve tetap masih mendapatkan arus tetapi dosis yang ke pasien
nilainya tetap nol (Low, 2000).
Arus listrik dihantarkan ke emiter melalui co-axial cable (kabel yang
terdiri dari serangkaian kawat di tengah yang diselubungi oleh selubung logam
yang dikelilingi oleh isolator) (Low, 2000).
Emiter adalah suatu area yang memancarkan gelombang mikro dan
dibungkus oleh bahan yang dapat meneruskan gelombang elektromagnetik agar
mampu mengarah ke jaringan tubuh. Emiter mempunyai bermacam-macam
bentuk dan ukuran dengan sifat dalam memancarkan gelombang elektromagnetik
berbeda-beda. Dalam teknik aplikasi, antara emiter dan kulit terdapat jarak,
semakin jauh jaraknya maka energi elektomgnetik akan menyebar pada area yang
lebih luas dan kepadatan gelombang akan semakin berkurang karena diserap oleh
jaringan. Jarak antara emiter dan kulit tergantung pada jenis emiter, output mesin
dan spesifikasi jaringan yang diobati (Foster and Palastanga, 1981). Jarak emiter
dengan kulit, jika area yang dituju sempit/kecil yaitu ± 2-5 cm, jika area yang
dituju luas maka jaraknya ± 10-15 cm (Low, 2000).
Microwave diathermy (MWD) cocok untuk jaringan superficial dan
struktur artikular yang dekat dengan permukaan kulit, misalnya pada permukaan
anterior pergelangan tangan dan lutut. Salah satu tujuan utama terapi MWD
adalah untuk memanaskan jaringan otot sehingga didapat peningkatan aliran
darah intramuskuler, hal ini terjadi karena adanya peningkatan temperatur yang
signifikan (Low, 2000).
23
Efek fisiologi MWD yaitu gelombangnya mampu diserap oleh jaringan
yang banyak mengandung air sehingga jaringan yang banyak cairannya akan
menyerap panas lebih banyak. Jaringan yang diberi gelombang MWD akan timbul
kenaikan suhu pada area setempat sehingga metabolisme meningkat dan sirkulasi
darah lancar. Peningkatan metabolisme dan sirkulasi darah akan meningkatkan
pengangkutan produk-produk pemicu nyeri seperti prostagladin, bradikinin dan
histamin. Efek fisiologi lainnya yaitu terjadi peningkatan elastisitas jaringan ikat
5-10 kali, dan peningkatan elastisitas pembungkus jaringan saraf, nerve
conduction dan ambang rangsang saraf. MWD akan memberi efek yang lebih
besar pada otot-otot yang superficial saja, sekitar 3 cm dari tubuh (Foster and
Palastanga, 1981).
Microwave diathermy selain menimbulkan efek fisiologi juga efek
teraputik. Efek teraputik MWD antara lain (1) meningkatkan proses reparasi
jaringan fisiologis pada jaringan lunak yang trauma, (2) menurunkan nyeri, (3)
normalisasi tonus otot lewat efek sedatif, (3) perbaikan metabolisme, (4)
meningkatkan elastisitas jaringan lemak sehingga mampu mengurangi proses
kontraktur jaringan, (5) elastisitas dan treshold jaringan saraf semakin membaik
sehingga konduktivitas jaringan saraf membaik pula, prosesnya lewat efek
fisiologis. Efek lain yang ditimbulkan saat pengobatan mengunakan MWD yaitu
merasa lemah badan, pusing dan mengantuk (Sujatno dkk, 2002).
Microwave diathermy akan menghasilkan hasil yang optimal biasanya jika
diberikan tidak lebih dari 20 menit karena dalam waktu tersebut akan terjadi
24
kenaikan suhu jaringan setempat dan peningkatan sirkulasi darah mencapai
maksimal (Wadsworth, 1983).
Microwave diathermy diindikasikan pada kelainan-kelainan pada sistem
muskuloskeletal, misalnya (1) sprain, (2) strain, (3) kelemahan otot dan tendon,
(4) lesi kapsuler, (5) penyakit sendi degeneratif, (6) Rheumatoid Arthritis kronis
dan (7) joint stiffness pada sendi superficial. MWD juga diindikasikan pada
inflamasi superficial kondisi infeksi seperti tenosynovitis, bursitis dan synovitis
(Wadsworth, 1983). Intensitas yang diberikan yaitu hangat dan nyaman sesuai
toleransi pasien, tidak boleh terlalu panas karena akan menimbulkan luka bakar
(Low, 2000).
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan indikasi dari
pemakaian MWD yaitu (1) stadium dari proses penyembuhan luka, (2) sifat
jaringan yang mengalami kerusakan, (3) lokalisasi dari jaringan yang mengalami
kerusakan (Sujatno dkk, 2002).
Kontraindikasi dalam penggunaan MWD pada OA sendi lutut yaitu (1)
terdapat logam pada tubuh seperti pen (implant) sekitar lutut, (2) TB tulang, (3)
infeksi akut dan demam, (4) ganguan peredaran darah atau pembuluh darah, (5)
nilon atau bahan lain yang tidak menyerap keringat, (6) gangguan sensibilitas
misalnya pada neuropati akibat DM dan angiopati diabetika, (7) setelah menjalani
terapi rontgen, (8) jaringan yang mitosisnya sangat cepat misalnya pada epiphysis
tulang sekitar sendi lutut (Wadsworth, 1983).
2. Terapi latihan
25
Manfaat terapi latihan secara umum pada pendirita OA sendi lutut adalah
meliputi (1) meningkatkan dan mempertahankan LGS, (2) menguatkan otot
penggerak sendi lutut, (3) meningkatkan ketahanan statik maupun dinamis, (4)
meningkatkan kenyamanan penderita, (5) mengurangi bengkak, (6) meningkatkan
kemampuan sendi untuk berfungsi secara biomekanik lebih baik dan (7)
meningkatkan densitas tulang (Tulaar, 2006).
Bentuk terapi latihan pada penderita OA sendi lutut misalnya bersepeda,
berenang dan aktifitas lain yang tidak menumpu berat badan, sedangkan bentuk
aktifitas yang dihindari adalah jongkok berdiri, naik turun tangga dan aktifitas lain
yang dapat membebani lutut karena latihan tersebut dapat memberi tekanan
pada cairan sendi sehingga akan menimbulkan nyeri (Kuntono, 2005).
Jenis terapi latihan yang digunakan antara lain :
a. Hold Relax yang dimodifikasi
Hold Relax adalah teknik yang menggunakan kontraksi optimal secara
isometrik (tanpa terjadi gerakan) kelompok otot antagonis yang dilanjutkan
dengan rileksasi kelompok otot tersebut (prinsip reciprocal inhibition dengan
mengulur dan menambah LGS lutut pada arah berlawanan dengan otot tersebut).
Tujuan dari hold relax adalah (1) memperbaiki rileksasi pola antagonis (2)
memperbaiki mobilisasi, (3) menurunkan nyeri, (4) menguatkan pola gerak agonis
sehingga dapat menambah LGS (Kisner and Colby, 1996).
b. Free active exercise
26
Free active exercise merupakan terapi latihan yang dalam
penyelenggaraan gerakan dikerjakan oleh kekuatan otot yang bersangkutan,
dengan tidak menggunakan suatu tahanan dari luar, kecuali grafitasi (Priatna,
1985).
Efek-efek yang dihasilkan dari free active exercise yaitu (1) rileksasi otot,
gerakan yang bergantian antara kontraksi dan rileksasi dapat membuat rileksasi
pada grup-grup otot tertentu (2) meningkatkan koordinasi, dapat dikembangkan
dengan latihan berulang karena latihan yang membutuhkan konsentrasi dan kerja
otot dapat mengembangkan neuromusculair coordination (3) meningkatkan
sirkulasi darah, saat exercise berlangsung kapiler darah pada otot melebar
sehingga kapasitas darah bertambah dengan demikian pertukaran cairan jaringan
dan pembuangan zat-zat yang tidak berguna menjadi lebih lancar, (4) memelihara
LGS (Priatna, 1985).
c. Ressisted active movement
Ressisted active movement pada prinsipnya adalah latihan aktif dengan
memberikan tahanan (resistance) dari luar terhadap otot-otot yang sedang
berkontraksi dalam membentuk suatu gerakan. Bermacam-macam bentuk tahanan
dapat diberikan pada otot yang berkontraksi, antara lain : (1) manual, (2) weight
(pemberat), (3) spring/per (Priatna, 1985). Dalam hal ini penulis menggunakan
tahanan mekanik yaitu quadriceps setting exercise yang mempunyai tujuan untuk
meningkatkan kekuatan otot quadriceps dengan menggunakan alat EN-Tree.
27
EN-Tree merupakan alat yang menggunakan tali dan katrol yang mana
ujung tali diikatkan dengan suatu pemberat. Gerakan yang dilakukan adalah
gerakan fleksi dan ekstensi sendi lutut, dibagian pergelangan kaki diberikan
beban.
Ressisted active movement menggunakan EN-Tree merupakan jenis
latihan penguatan otot quadriceps. Latihan penguatan otot quadriceps pada OA
sendi lutut bermanfaat untuk memperbaiki kekuatan dan fungsi jaringan sekeliling
persendian misalnya kapsul sendi, ligamentum dan tendon yang sering rusak
akibat adanya OA pada sendi lutut karena adanya peningkatan peredaran darah
pada persendian dan nutrisi pada tulang rawan (Pothier dan Allen, 1991 dikutip
oleh Suyono, 2000). Otot quadriceps sangat penting diberikan penguatan karena
merupakan otot yang berperan dalam memelihara sendi lutut dan paling cepat
terjadi atrofi, jika otot tersebut mengalami kelemahan dapat mengakibatkan
semakin parahnya OA pada sendi lutut (Samble et al, 1990 dikutip oleh Suyono,
2000). Penelitian yang dilakukan oleh Maurer et al (1999), menyimpulkan bahwa
peningkatan kekuatan otot quadriceps mampu mengurangi nyeri karena dengan
bertambahnya kekuatan otot quadriceps sendi lutut menjadi stabil sehingga
jaringan sekitar sendi lutut dapat lebih rilek (Wahyono, 2001).
Dosis pelaksanaan latihan menggunakan metode Holten, sebelumnya
dicari 1 Repetation Maximum (RM) yaitu jumlah tahanan maksimal yang mampu
dilawan pasien dengan satu gerakan saja. Ada beberapa jenis metode latihan
tergantung dari tujuan yang ingin dicapai seperti dapat dilihat dalam tabel 2.2.
Dosis latihan yang dipilih penulis pada penderita OA sendi lutut menggunakan
28
metode 1 RM Holten dengan intensitas 30-65% RM yang bertujuan
meningkatkan kekuatan aerobik lokal. Dengan intensitas 30-65% dari 1 RM,
maka beban yang diberikan rendah sehingga dapat mengurangi stress sepanjang
sendi, mengurangi ketegangan gerakan dan mengurangi nyeri akibat faktor
mekanik lokal. Dengan berkurangnya nyeri dan meningkatnya kekuatan otot lokal
diharapkan kapasitas fungsional seperti kemampuan berjalan, duduk berdiri dan
naik-turun tangga meningkat (Kusumawati dan Parjoto, 2003).
TABEL 2.2
METODE LATIHAN HOLTEN
Metode Intensitas
Dari 1 RM
Repetisi
(kali)
Seri Istirahat
(detik)
Tujuan
Mobilisasi 10 – 30 % 5 – 15 1- 4 60 Memperbaiki
mobilitas lokal
Koordinasi 10 – 35 % 10 – 20 2 – 6 30 – 60 Mempelajari
kembali gerakan
Endurance 30 – 65 % > 20 1 – 3 0 – 30 Meningkatkan
kekuatan aerobik
lokal
Velocity 70 – 80 % 11 – 22 3 – 4 90 – 150 Melatih,
kecepatan massa
otot
Hipertrofi 75 – 85 % 6 – 12 3 – 5 2 – 5 Menigkatkan
massa otot
Kekuatan
absolut
90-100 % 1 - 4 3 – 6 3 – 6 Menigkatkan
kekuatan absolut
Sumber: Setiawan, 2007
29