19
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengaturan Simpang Tak Bersinyal Secara lebih rinci, pengaturan simpang tak bersinyal dapat dibedakan sebagai berikut : 1. Aturan Prioritas Ketentuan dari aturan lalu lintas pada simpang tak bersinyal lalu lintas sangat mempengaruhi pergerakan arus lalu lintas yang saling berpotongan terutama pada simpang yang merupakan perpotongan dari ruas – ruas jalan yang mempengaruhi kelas yang sama. 2. Rambu dan Marka Pada simpang tak bersinyal ditempatkan rambu dan marka untuk mengatur arus lalu lintas. Adapun perbedaan antara rambu dan marka yang dapat dilihat pada perletakan di lapangan, rambu terpancang pada sisi jalan (misal: rambu yield), sedangkan marka terdapat pada perkerasan (misal : zebra cross) a. Rambu Yield (Yield Sign) Pengaturan ini digunakan untuk melindungi arus lalu lintas dari salah satu ruas jalan pada dua ruas jalan yang saling berpotongan tanpa arus berhenti sama sekali. Sehingga, pengendara tidak terlalu terhambat bila dibandingkan dengan pengaturan rambu stop. Rambu yield juga digunakan pada simpang yang diatur dengan kanalisasi yang digunakan untuk mengatur laju kendaraan belok kiri pada lajur percepatan. Gambar 2.1 Rambu yield

b. Rambu Stop - IMISSU Single Sign On of Udayana … dan sisi pulau lalu lintas sebaiknya diberi jarak dari pinggir arus lalu lintas berbeda. Ataudapat juga dilengkapi dengan adanya

Embed Size (px)

Citation preview

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengaturan Simpang Tak Bersinyal

Secara lebih rinci, pengaturan simpang tak bersinyal dapat dibedakan sebagai

berikut :

1. Aturan Prioritas

Ketentuan dari aturan lalu lintas pada simpang tak bersinyal lalu lintas

sangat mempengaruhi pergerakan arus lalu lintas yang saling berpotongan

terutama pada simpang yang merupakan perpotongan dari ruas – ruas jalan

yang mempengaruhi kelas yang sama.

2. Rambu dan Marka

Pada simpang tak bersinyal ditempatkan rambu dan marka untuk mengatur

arus lalu lintas. Adapun perbedaan antara rambu dan marka yang dapat dilihat

pada perletakan di lapangan, rambu terpancang pada sisi jalan (misal: rambu

yield), sedangkan marka terdapat pada perkerasan (misal : zebra cross)

a. Rambu Yield (Yield Sign)

Pengaturan ini digunakan untuk melindungi arus lalu lintas dari salah satu

ruas jalan pada dua ruas jalan yang saling berpotongan tanpa arus berhenti

sama sekali. Sehingga, pengendara tidak terlalu terhambat bila

dibandingkan dengan pengaturan rambu stop.

Rambu yield juga digunakan pada simpang yang diatur dengan kanalisasi yang

digunakan untuk mengatur laju kendaraan belok kiri pada lajur percepatan.

Gambar 2.1 Rambu yield

5

b. Rambu Stop

Pengaturan simpang dengan menggunakan rambu stop digunakan apabila

pengendara pada kaki simpang tersebut harus berhenti secara penuh sebelum

memasuki simpang. Pengaturan rambu ini digunakan pada pertemuan antara

jalan minor dan jalan mayor.

Gambar 2.2 Rambu stop

c. Kanalisasi

Kanalisasi yang mempunyai maksud utama sebagai berikut (Alamsyah,

2005):

Pemisahan arus lalu lintas berdasarkan arah, gerakan, dan kecepatan

membeloknya.

Pemisahan tempat tunggu pejalan kaki terhadap arus lalu lintas

dengan menyediakan “batu loncatan” memotong arus kendaraan.

Pengontrolan sudut pendekatan dan kecepatan kendaraan dengan

mengarahkan arus sehingga memudahkan pengemudi dan

memberikan kemudahan dalam pengoperasian kendaraan.

Pemisahan waktu dan jarak pergerakan, terutama pada belokan

yang kompleks membutuhkan penyederhanaan gerakan secara

bertahap.

Pencegahan gerakan terlarang dengan menempatkan pulau lalu

lintas pada jalur terlarang, pada jalur masuk atau keluar dari sebuah

jalan.

Gambar 2.3 Pulau lalu l

Beberapa hal yang perlu

pulau lalu lintas adalah se

Beberapa pulau yang besar dianjurkan daripada pulau kecil dalam

jumlah yang besar

Sebuah pulau lalu lintas yang berupa monumen setidaknya

memiliki l

Apabila suatu pulau lintas hendak dipasang sinyal,

rambu stop, paling tidak pulau tersebut memiliki panjang = 6 m,

lebar = 1,2 m atau 1,8 m

Pulau lalu lintas setidaknya ditempatkan dan dirancang agar marka

jalan d

lintas dapat dilakukan dengan lancar dan bertahap.

Pendekat dan sisi pulau lalu lintas sebaiknya diberi jarak dari

pinggir arus lalu lintas berbeda. Ataudapat juga dilengkapi dengan

adanya marka

Bagian ujung dari seluruh pulau yang berada pada suatu

hendaknya dapat terlihat jelas oleh pengendara yang bergerak

mendekati pulau lalu lintas yang bersangkutan.

Pencegahan gerakan terlarang dengan menempatkan pulau lalu

lintas pada jalur terlarang, pada jalur masuk atau keluar dari sebuah

Gambar 2.3 Pulau lalu lintas (Warpani, 2002)

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengatur lalu lintas dengan

pulau lalu lintas adalah sebagai berikut (Underwood, 1990):

Beberapa pulau yang besar dianjurkan daripada pulau kecil dalam

jumlah yang besar

Sebuah pulau lalu lintas yang berupa monumen setidaknya

memiliki luas daerah sebesar 8 m².

Apabila suatu pulau lintas hendak dipasang sinyal, zebra cross

rambu stop, paling tidak pulau tersebut memiliki panjang = 6 m,

lebar = 1,2 m atau 1,8 m

Pulau lalu lintas setidaknya ditempatkan dan dirancang agar marka

jalan dapat terlihat jelas, sehingga perubahan arah pergerakan lalu

lintas dapat dilakukan dengan lancar dan bertahap.

Pendekat dan sisi pulau lalu lintas sebaiknya diberi jarak dari

pinggir arus lalu lintas berbeda. Ataudapat juga dilengkapi dengan

adanya marka pada bagian yang diperkeras.

Bagian ujung dari seluruh pulau yang berada pada suatu

hendaknya dapat terlihat jelas oleh pengendara yang bergerak

mendekati pulau lalu lintas yang bersangkutan.

6

Pencegahan gerakan terlarang dengan menempatkan pulau lalu

lintas pada jalur terlarang, pada jalur masuk atau keluar dari sebuah

diperhatikan dalam mengatur lalu lintas dengan

Beberapa pulau yang besar dianjurkan daripada pulau kecil dalam

Sebuah pulau lalu lintas yang berupa monumen setidaknya

zebra cross, atau

rambu stop, paling tidak pulau tersebut memiliki panjang = 6 m,

Pulau lalu lintas setidaknya ditempatkan dan dirancang agar marka

apat terlihat jelas, sehingga perubahan arah pergerakan lalu

Pendekat dan sisi pulau lalu lintas sebaiknya diberi jarak dari

pinggir arus lalu lintas berbeda. Ataudapat juga dilengkapi dengan

Bagian ujung dari seluruh pulau yang berada pada suatu simpang

hendaknya dapat terlihat jelas oleh pengendara yang bergerak

7

2.2 Konflik Pergerakan pada Simpang

Tujuan utama perencanaan simpang adalah untuk mengurangi konflik baik itu

kendaraan bermotor maupun tidak bermotor dan memberikan fasilitas kemudahan,

kenyamanan, dan keamanan terhadap pemakai jalan yang melalui simpang. Alih

gerak kendaraan yang berbahaya dibedakan menjadi 4 jenis yaitu:

1. Berpencar (diverging)

2. Bergabung (merging)

3. Bersilang (weaving)

4. Berpotongan (crossing)

Gambar 2.4 Konflik pergerakan pada simpang

Karakteristik simpang tak bersinyal diterapkan dengan maksud sebagai berikut:

Pada umumnya digunakan di daerah pemukiman perkotaan dan daerah

pedalaman untuk simpang antara jalan setempat yang arus lalu lintasnya

rendah.

Untuk melakukan perbaikan kecil pada geometrik simpang agar dapat

mempertahankan tingkat kinerja lalu lintas yang di inginkan.

8

Dalam perencanaan simpang tak bersinyal disarankan sebagai berikut:

Sudut simpang harus mendekati 90 demi keamanan lalu lintas.

Harus disediakan fasilitas agar gerakan belok kiri dapat dilepaskan dengan

konflik yang terkecil terhadap gerakan kendaraan yang lain.

Lajur terdekat dengan kerb harus lebih lebar dari yang biasa untuk

memberikan ruang bagi kendaraan tak bermotor.

Lajur membelok yang terpisah sebaiknya di rencanakan menjauhi garis utama

lalu lintas, panjang lajur membelok harus mencukupi untuk mencegah antrian

terjadi pada kondisi arus tinggi yang dapat menghambat pergerakan pada lajur

terus.

Pulau lalu lintas tengah harus digunakan bila lebar jalan lebih dari 10 m untuk

memudahkan pejalan kaki menyebrang.

Jika jalan utama memiliki median, sebaiknya paling sedikit lebarnya 3 – 4 m,

untuk memudahkan kendaraan dari jalan kedua menyebrang dalam 2 langkah

Daerah konflik simpang sebaiknya kecil dan dengan lintasan yang jelas bagi

gerakan yang berkonflik.

2.3 Tujuan Pengaturan Simpang

Tujuan utama dari pengaturan lalu lintas umumnya adalah mengurangi konflik

yang terjadi, menjaga keselamatan lalu lintas dengan memberikan petunjuk yang jelas

dan terarah tanpa menimbulkan keraguan pada pengguna jalan tersebut. Pengaturan

lalu lintas pada simpang dapat dicapai dengan menggunakan sinyal lalu lintas, marka

dan rambu – rambu yang mengatur, mengarahkan dan memperingati serta pulau –

pulau lalu lintas.

Kemudian dari pengaturan simpang tersebut dapat ditentukan tujuan yang ingin

dicapai yaitu:

1. Mengurangi maupun menghindari kemungkinan terjadinya kecelakaan yang

berasal dari berbagai kondisi titik konflik.

9

2. Menjaga kapasitas simpang agar dalam operasinya dapat dicapai dari

pemanfaatan simpang yang sesuai dengan rencana.

3. Memberikan petunjuk yang sederhana namun tampak jelas dan mengatur arus

lalu lintas pada tempat yang sesuai

4. Mengurangi konflik antara pengguna kendaraan bermotor maupun tidak

bermotor serta memberikan kemudahan dan keamanan bagi pemakai jalan

yang melalui simpang.

2.4 Prosedur Analisis pada Simpang Tak Bersinyal

Prosedur perhitungan yang digunakan adalah Manual Kapasitas Jalan Indonesia

(MKJI) 1997. Dimana perhitungan analisis kinerja pada simpang tak bersinyal

digunakan:

1. Data Masukan

2. Perhitungan Kapasitas

3. Derajat Kejenuhan

4. Tundaan

5. Peluang Antrian

Formulir – formulir yang akan digunakan untuk mengetahui kinerja pada

simpang tak bersinyal adalah sebagai berikut:

1. Formulir USIG-1 geometrik dan arus lalu lintas.

2. Formulir USIG-II analisis mengenai lebar pendekat dan tipe simpang,

kapasitas dan perilaku lalu lintas.

Berikut penjelasan lebih rinci terhadap perhitungan analisis kinerja pada

simpang tidak bersinyal:

2.4.1 Data Masukan

Pemasukan data yang dimaksud adalah hasil survei di lapangan, data – data

yang diperlukan adalah sebagai berikut:

10

a. Kondisi Geometrik

Sketsa pola geometrik jalan yang dimasukkan ke dalam formulir USIG-I.

Harus ada pembeda antar jalan mayor dan jalan minor dengan cara

pemberian nama. Dalam menggambarkan sketsa pola geometrik yang

baik suatu simpang sebaiknya diuraikan secara jelas dan rinci mengenai

informasi tentang kerb, lebar jalan, lebar bahu dan median. Pada

simpang pendekat jalan utama (mayor road) yaitu jalan yang

dipertimbangkan terpenting

b. Kondisi Lalu Lintas

Kondisi lalu lintas yang dianalisa, perhitungan dilakukan atas dasar periode

15 menit dan dinyatakan ke dalam smp/jam dengan mengalikan arus dalam

kend/jam dengan nilai ekivalensi mobil penumpang. Adapun nilai

ekivalensi mobil penumpang dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Nilai ekivalensi mobil penumpang

Jenis kendaraan Emp untuk tipe kendaraan

Kendaraan Berat/Heavy Vehicle (HV) 1.3

Kendaraan Ringan/Light Vehicle (LV) 1.0

Sepeda Motor/Motorcycle (MC) 0.5

Sumber: Departemen PU, 1997

Data masukkan kondisi lalu lintas terdiri dari tiga bagian antara lain

menggambarkan situasi lalu lintas, sketsa arus lalu lintas dan variabel-

variabel masukkan lalu lintas, yang dimasukkan kedalam fomulir USIG-

I sebagaimana diuraikan di bawah:

1) Periode dan soal (alternatif), dimasukkan pada sudut kanan atas

formulir USIG I.

2) Sketsa arus lalu lintas menggambarkan berbagai gerakan dan arus

lalu lintas. Arus sebaiknya diberikan dalam kendaraan/jam. Jika arus

11

diberikan dalam Lalu lintas Harian Rata-rata Tahunan faktor untuk

konversi menjadi arus per jam harus juga dicatat dalam formulir

USIG-I pada baris I, kolom 12.

3) Komposisi lalu lintas dicatat pada formulir USIG-I kolom 12.

c. Kondisi Lingkungan

Data kondisi lingkungan yang dibutuhkan untuk perhitungan yaitu berupa

ukuran kota, tipe lingkungan, dan kelas hambatan samping

1) Ukuran Kota

Masukkan perkiraan jumlah penduduk yang didapat dari seluruh daerah

perkotaan dalam juta. Tolak ukur ukuran Kota berdasarkan jumlah

penduduk dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut:

Tabel 2.2 Kelas ukuran kota

Ukuran Kota Jumlah Penduduk (juta)

Sangat kecil < 0,1

Kecil ≥ 0,1 - 0,5 <

Sedang ≥ 0,5 - 1,0 <

Besar ≥ 1,0 - 3.0 <

Sangat besar ≥ 3,0

Sumber: Departemen PU, 1997

2) Tipe Lingkungan Jalan

Lingkungan jalan diklasifikasikan dalam kelas menurut tata guna lahan

dan aksebilitas jalan tersebut dari aktifitas sekitarnya hal ini ditetapkan

secara kualitatif dari pertimbangan teknik lalu lintas. Tabel lingkungan

jalan menurut tata guna lahan dan aksesibilitas jalan dapat dilihat pada

Tabel 2.3.

12

Tabel 2.3 Tipe lingkungan jalan

Komersial Tata guna lahan komersial (misalnya pertokoan,

rumah makan, perkantoran) dengan jalan masuk

langsung bagi pejalan kaki dan kendaraan.

Pemukiman Tata guna lahan tempat tinggal dan jalan masuk

langsung bagi pejalan kaki dan kendaraan

Akses

terbatas

Tanpa jalan masuk atau jalan masuk terbatas

(misalnya karena adanya penghalang fisik, jalan

samping, dsb)

Sumber: Departemen PU, 1997

2.4.2 Perhitungan Kapasitas

kemampuan suatu simpang untuk mengalirkan arus lalu lintas secara

maksimum. Kapasitas simpang tak bersinyal dihitung dari rumus :

C = Co x FW x FM x FCS x FRSU x FRT x FLT x FMI (2.1)

Dimana :

C = Kapasitas (smp/jam)

Co = Nilai Kapasitas Dasar (smp/jam)

Fw = Faktor koreksi lebar masuk

FM = Faktor koreksi median jalan utama

FCS = Faktor koreksi ukuran kota

FRSU = Faktor koreksi tipe lingkungan dan hambatan samping

FLT = Faktor koreksi persentase belok kiri

FRT = Faktor koreksi persentase belok kanan

FMI = Faktor koreksi rasio arus jalan minor

a. Kapasitas Dasar (Co)

Nilai kapasitas dasar ditentukan menurut tipe simpang. Nilai kapasitas dasar

berdasarkan MKJI pada simpang tak bersinyal dapat dilihat pada Tabel 2.4

13

Tabel 2.4 Kapasitas dasar simpang tak bersinyal

Tipe Simpang Kapasitas Dasar (Co) smp/jam

322

342

324 atau 344

422

424 atau 444

2700

2900

3200

2900

3400

Sumber: Departemen PU, 1997

b. Faktor Penyesuaian Lebar Pendekat (Fw)

Penyesuaian lebar pendekat diperoleh dari gambar, dan dimasukkan dalam

formulir USIG-II. Variabel masukan adalah lebar rata – rata pendekat simpang W1

dan tipe simpang IT. Batas – batas waktu nilai yang diberikan dalam gambar

adalah batas nilai untuk dasar empiris dari manual. Faktor penyesuaian lebar

pendekat dapat dilihat pada Gambar 2.5

Gambar 2.5 Faktor penyesuaian lebar pendekat

14

c. Faktor Penyesuaian Median Jalan Utama (FM)

Faktor penyesuaian median jalan utama bernilai 1 apabila simpang yang

ditinjau tersebut tidak memiliki median jalan utama ataupun hanya memiliki lebar

sebesar < 3 m.dengan menggunakan Tabel 2.5 berikut.

Tabel 2.5 Faktor penyesuaian median jalan utama

Uraian Tipe M Faktor koreksi median (FM)

Tidak ada median jalan utama Tidak ada 1,0

Ada median jalan utama, lebar < 3m Sempit 1,0

Ada median jalan utama, lebar > 3m Lebar 1,2

Sumber: Departemen PU, 1997

d. Faktor Penyesuaian Ukuran Kota (Fcs)

Faktor penyesuaian ukuran kota dapat dilihat berdasarkan Jumlah Penduduk

Kota (juta jiwa) ataupun berdasarkan Ukuran Kota (CS). Dapat dilihat pada Tabel

2.6 berikut:

Tabel 2.6 Faktor penyesuaian ukuran kota (Fcs)

Ukuran Kota (Cs) Jumlah Penduduk Kota

(juta jiwa)

Faktor Penyesuaian Ukuran

Kota (FCS)

Sangat kecil

Kecil

Sedang

Besar

Sangat besar

< 0.1

0,1 – 0,49

0,5 – 0,99

1,0 – 3,0

> 3,0

0,82

0,83

0,94

1,00

1,05

Sumber: Departemen PU, 1997

e. Faktor Penyesuaian Tipe Lingkungan Jalan, Hambatan Samping, dan Kendaraan

Tidak Bermotor

Menurut MKJI 1997, hambatan samping disebabkan oleh 4 jenis yaitu:

1. Pejalan Kaki (bobot = 0.5)

15

2. Kendaraan parkir/ berhenti (bobot = 1,0)

3. Kendaraan keluar/masuk (bobot = 0,7)

4. Kendaraan bergerak lambat (bobot = 0,4)

Frekwensi tiap kejadian hambatan samping dicacah dalam rentang 200 m ke

kiri dan ke kanan potongan melintang yang diamati kapasitasnya, lalu dikalikan

dengan bobotnya masing – masing yaitu pejalan kaki sebesar 0,5, kendaraan

parkir/henti sebesar 1,0, kendaraan keluar/masuk sebesar 0,7 dan kendaraan bergerak

lambat sebesar 0,4, yang dapat dilihat diatas besar bobot dari hambatan samping

tersebut berdasarkan acuan dari MKJI. Penentuan kelas hambatan samping dan faktor

penyesuaian hambatan samping dapat dilihat pada Tabel 2.7 dan Tabel 2.8 dibawah

ini:

Tabel 2.7 Penentuan kelas hambatan samping

Kelas Hambatan

Samping (SFC)

Kode Jumlah berbobot

kejadian per 200 m

Per jam (dua sisi)

Kondisi khusus

Sangat Rendah VL

(Very Low)

< 100 Daerah permukiman : jalan

samping tersedia

Rendah L

(Low)

100 – 299 Daerah permukiman :

beberapa angkutan umum

Sedang M

(Medium)

300 – 499 Daerah industri : beberapa

toko pada sisi jalan

Tinggi H

(High)

500 – 899 Daerah komersial : aktivitas

sisi jalan tinggi

Tinggi sekali VH

(Very High)

> 900 Daerah komersial : aktivitas

pasar sisi jalan

Sumber: Departemen PU, 1997

16

Tabel 2.8 Faktor penyesuaian hambatan samping (FSF)

Lingkungan Jalan Hambatan

Samping

Rasio Kendaraan Tak Bermotor

0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 ≥ 0,25

Komersial (COM) Tinggi

Sedang

Rendah

0,93

0,94

0,95

0,88

0,89

0,90

0,84

0,85

0,86

0,79

0,80

0,81

0,74

0,75

0,76

0,70

0,71

0,72

Pemukiman (RES) Tinggi

Sedang

Rendah

0,96

0,97

0,98

0,91

0,92

0,93

0,86

0,87

0,88

0,81

0,82

0,83

0,78

0,79

0,80

0,72

0,73

0,74

Akses Terbatas (RA) Tinggi / Sedang /

Rendah

1,00 0,95 0,90 0,85 0,80 0,75

Sumber: Departemen PU, 1997

f. Faktor Penyesuaian Belok Kiri (FLT)

Faktor penyesuaian belok kiri ditentukan berdasarkan Gambar 2.6 dimana yang

menjadi variabel masukan adalah belok kiri (PLT).

FLT = 1 – PLT x 0,16 (2.2)

Dimana :

PLT = Rasio belok kiri pada pendekat

FLT = Faktor penyesuaian belok kiri:

Gambar 2.6 Faktor penyesuaian belok kiri

17

g. Faktor Penyesuaian Belok Kanan (FRT)

Faktor penyesuaian belok kanan ditentukan pada Gambar 2.7 dimana yang

menjadi variabel adalah rasio belok kanan (PRT). Untuk simpang 4 lengan FRT = 1,0.

Faktor koreksi terhadap arus belok kanan pada pendekat yang ditinjau, dapat

ditentukan dari Gambar 2.7 di bawah:

Gambar 2.7 Faktor penyesuaian belok kanan

h. Faktor Penyesuaian Rasio Arus Jalan Minor (FMI)

Faktor penyesuaian terhadap rasio arus jalan simpang yang ditinjau dapat

ditentukan dari Gambar 2.8 dan Tabel 2.9 di bawah ini:

Gambar 2.8 Faktor penyesuaian rasio arus jalan minor

18

Tabel 2.9 Faktor penyesuaian rasio arus jalan minor

IT FMI PMI

422 1,19 x PMI² - 1,19 x PMI + 1,19 0,1 – 0,9

424 16,6 x PMI� - 33,3 x PMI� + 25,3 x PMI² - 8,6 X PMI + 1,95 0,1 – 0,3

444 1,11 x PMI² - 1,19 x PMI + 1,11 0,3 – 0,9

322 1,19 x PMI² - 1,19 x PMI + 1,19 0,1 – 0,5

– 0,595 x PMI² + 0,595 x P MI� + 0,74 0,5 – 0,4

342 1,19 x PMI² - 1,19 x PMI +1,19 0,1 – 0,5

2,38 x PMI ² - 2,38 x PMI + 1,49 0,5 – 0,9

324 16,6 x PMI� – 33,3 x PMI� + 25,3 x PMI² - 8,6 x PMI + 1,95 0,1 – 0,3

344 1,11 x PMI² - 1,11 x PMI + 1,11 0,3 – 0,5

-0,555 x PMI² + 0,555 x PMI + 0,69 0,6 – 0,4

Sumber: Departemen PU, 1997

Keterangan:

IT = Tipe simpang

FMI = Faktor penyesuaian arus jalan minor

PMI = Rasio arus jalan minor

2.4.3 Derajat Kejenuhan

hasil arus lalu lintas terhadap kapasitas biasanya dihitung perjam. Derajat

kejenuhan (DS) dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

DS = �TOT

� (2.3)

Dimana:

QTOT = Arus total (smp/jam)

C = Kapasitas (smp/jam)

2.4.4 Tundaan

Tundaan (D) rata-rata adalah rata-rata waktu tunggu tiap kendaraan yang

masuk dalam pendekat.

19

a. Tundaan lalu lintas simpang (DTI)

Tundaan lalu lintas simpang ditentukan dari kurva empiris antara DTI

dan DS, lihat Gambar 2.9

Gambar 2.9 Tundaan lalu lintas simpang (DTI)

Sumber: Departemen PU, (1997)

b. Tundaan lalu lintas jalan utama (DTMA)

Tundaan lalu lintas jalan utama adalah tundaan lalu lintas rata-rata

semua kendaraan bermotor yang masuk simpang dari jalan utama. DTMA

ditentukan dari kurva empiris antara DTMA dan DS, Lihat Gambar 2.10

Gambar 2.10 Tundaan lalu lintas jalan utama (DTMA)

Sumber: Departemen PU, (1997)

20

c. Tundaan lalu lintas jalan minor (DTMI)

Tundaan lalu lintas jalan minor rata-rata, ditentukan berdasarkan

tundaan simpang rata-rata dan tundaan jalan utama rata-rata.

DTMI = (QTOT x DTI – QMA x DTMA) / QMI .................... 2.4

Dimana:

DTMI = Tundaan untuk jalan minor (det/smp)

DTMA = Tundaan untuk jalan mayor (det/smp)

QTOT = Arus total (smp/jam)

QMA = Arus total pada jalan mayor (smp/jam)

QMI = Arus total pada jalan minor (smp/jam)

d. Tundaan geometrik simpang (DG)

Tundaan geometrik simpang adalah tundaan geometrik rata-rata seluruh

kendaraan bermotor yang masuk simpang, DG dihitung dari rumus

berikut:

Untuk DS < 1, 0 ;

DG = (1-DS) x (PT x 6 + (1-PT) x 3) + DS x 4 (det/ smp)Rumus 2.5

Untuk DS ≥ 1,0 : DG = 4

Dimana:

DG = Tundaan geometrik simpang (det/smp)

DS = Derajat kejenuhan

PT = Rasio belok total

e. Tundaan simpang (D)

Tundaan simpang dihitung sebagai berikut :

D = DG + DTI ................................................Ru mus 2.6

Dimana:

21

DG = Tundaan geometrik simpang (det/smp)

DTI = Tundaan lalu lintas simpang (det/smp)

2.4.5 Peluang Antrian (QP%)

Peluang antrian dinyatakan pada range nilai yang didapat dari kurva

hubungan antara peluang antrian (QP%) dengan derajat kejenuhan (DS), yang

merupakan peluang antrian dengan lebih dari dua kendaraan di daerah pendekat

yang mana saja, pada simpang tak bersinyal. Rentang nilai peluang antrian (QP%)

ditentukan dari hubungan empiris antara peluang antrian (QP%) dan derajat

kejenuhan (DS) sebagai variabel. Lihat Gambar 2.11

Gambar 2.11 Batas-batas antrian QP (%) terhadap derajat kejenuhan DS

Sumber: Departemen PU, (1997)

2.4.6 Penilaian Kinerja Lalu Lintas

Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) ini terutama direncanakan untuk

memperkirakan kapasitas dan perilaku lalu lintas pada kondisi tertentu berkaitan

dengan rencana geometrik jalan, lalu lintas dan lingkungan. Karena hasilnya

biasanya tidak dapat diperkirakan sebelumnya, mungkin diperlukan beberapa

perbaikan dengan pengetahuan para ahli lalu lintas, terutama kondisi geometrik,

22

untuk memperoleh perilaku lalu lintas yang diinginkan berkaitan dengan

kapasitas, tundaan dll. Sasaran yang dipilih diisikan dalam formulir USIG–II

kolom 38.

Cara yang tepat untuk menilai hasil adalah dengan melihat derajat

kejenuhan (DS). Jika nilai DS yang diperoleh terlalu tinggi (>0,85), maka dapat

merubah geometrik jalan berupa lebar pendekat dan sebagainya dan membuat

perhitungan baru. Hal ini akan membutuhkan formulir yang baru dengan soal yang

baru. Penilaian tentang perhitungan ini dimasukkan dalam formulir USIG-II,

kolom 39.

2.4.7 Tingkat Pelayanan Simpang

Tingkat pelayanan simpang adalah suatu ukuran kualitatif yang memberikan

gambaran dari pengguna jalan mengenai kondisi lalu lintas aspek dari tingkat

pelayanan dapat berupa kecepatan dan waktu tempuh, kepadatan, tundaan

kenyamanan, keamanan, dan lain - lain. Pada analisis kapasitas didefinisikan enam

tingkat pelayanan, yang terbaik adalah pelayanan A, sedangkan tingkat pelayanan

terburuk adalah F.

Hubungan tundaan (delay) dengan tingkat pelayanan sebagai acuan penilaian

simpang, seperti pada Tabel 2.10 di bawah ini:

Tabel 2.10 Kriteria tingkat pelayanan simpang

Tundaan (detik/smp) Tingkat Pelayanan

≤ 5 A

> 5,0 dan ≤ 10,0 B

> 10,0 dan ≤ 20,0 C

> 20,0 dan ≤ 30,0 D

> 30,0 dan ≤ 45,0 E

> 45,0 F Sumber: Departemen Perhubungan, 2006