Upload
hoangthien
View
241
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
3
sehingga dapat digunakan sebagai release enhancer substances karena dapat
meningkatkan kelarutan zat aktif pada sediaan. Sedangkan tween 80 dapat
digunakan sebagai release enhancer substances karena sifat tween 80 pada
konsentrasi rendah dapat menurunkan tegangan antar muka antara obat dan
medium, serta menaikkan laju kelarutan obat dalam medium (Noudeh et al.,
2008).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dapat
dirumuskan permasalahan yaitu :
1. Bagaimanakah pengaruh penambahan release enhancer substances gliserin,
propilen glikol, dan tween 80 pada chitosan terhadap sifat fisik patch bukal
mukoadhesif ekstrak daun sirih ?
2. Bagaimanakah pengaruh penambahan release enhancer substances gliserin,
propilen glikol, dan tween 80 pada chitosan terhadap daya antibakteri patch
bukal mukoadhesif ekstrak daun sirih ?
C. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan informasi dalam bidang farmasi
mengenai pengaruh penggunaan release enhancer substances yaitu gliserin,
propilen glikol, dan tween 80 terhadap daya antibakteri dan sifat fisik patch bukal
mukoadhesif ekstrak daun sirih. Dengan demikian formulasi patch dengan
penambahan release enhancer substances yang memberikan hasil optimal dapat
4
digunakan sebagai sediaan patch antibakteri di masyarakat. Sehingga masyarakat
dapat merasakan kenyamanan dalam penggunaan patch tersebut.
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan
release enhancer substances gliserin, propilenglikol, dan tween 80 yang telah
dikombinasikan dengan chitosan dan ekstrak daun sirih terhadap aktivitas
antibakteri dan sifat fisik patch.
E. Tinjauan Pustaka
1. Tanaman Sirih (Piper betle L.)
Tanaman sirih (Piper betle L.) merupakan tanaman yang berkhasiat
sebagai antisariawan, antibatuk, dan antiseptik (Depkes, 1980). Foto tanaman sirih
ditunjukkan pada gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Sirih (Junaidi, 2011)
5
a. Sistematika Tanaman
Kindom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledone
Bangsa : Diperales
Suku : Diperaceae
Marga : Piper
Jenis : Piper betle Linn (Depkes, 2000)
b. Nama simplisia : Piperis Folium (daun sirih).
c. Deskripsi Tanaman
Tanaman tumbuh merambat, tinggi dapat mencapai 15 m. Batang
sirih berwarna coklat kehijauan, berbentuk bulat, beruas dan merupakan
tempat keluarnya akar. Daunnya yang tunggal berbentuk jantung,
berujung runcing, tumbuh berselang-seling, bertangkai, dan
mengeluarkan bau yang sedap bila diremas. Panjangnya sekitar 5 - 8 cm
dan lebar 2 - 5 cm. Bunganya majemuk berbentuk bulir dan terdapat
daun pelindung ± 1 mm berbentuk bulat panjang. Pada bulir jantan
panjangnya sekitar 1,5 - 3 cm dan terdapat dua benang sari yang pendek
sedang pada bulir betina panjangnya sekitar 1,5 - 6 cm dimana terdapat
kepala putik tiga sampai lima buah berwarna putih dan hijau
kekuningan. Buahnya buah buni berbentuk bulat berwarna hijau keabu-
6
abuan. Akarnya tunggang, bulat dan berwarna coklat kekuningan
(Mursito dan Heru, 2002)
d. Kandungan Kimia
Daun sirih mengandung minyak atsiri, terdiri atas chavicol,
chavibetol, allylpyrocatechol, karvakrol, eugenol methylether, cineole
(Dalimartha, 2000). Hydroxychavicol dapat digunakan sebagai
antibakteri (Nalina dan Rahim, 2007).
2. Ekstraksi
Ekstraksi adalah penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dari
bagian tanaman obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat
aktif terdapat di dalam sel, namun sel tanaman dan hewan berbeda demikian
pula ketebalannya, sehingga diperlukan metode ekstraksi dengan pelarut tertentu
dalam mengekstraksinya.
1. Metode Ekstraksi
Ekstrak tanaman diperoleh dengan cara mengekstraksi dari simplisia
dengan metode tertentu. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor
seperti sifat dari bahan baku, daya penyesuaian dengan tiap metode ekstraksi
dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak (Ansel, 1989).
Ada beberapa macam metode ekstraksi, di antaranya :
1) Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan
7
penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke
dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan
karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam
sel dengan yang di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar.
Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi
antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Depkes, 1986).
Maserasi biasanya dilakukan pada temperatur 15-200C dalam
waktu selama 3 hari sampai bahan-bahan yang larut akan melarut.
Ekstrak hasil maserasi dipisahkan ampasnya dengan menapis atau
menyari melalui ayakan atau saringan ke dalam wadahnya (Ansel,
1989).
2. Perkolasi
Perkolasi dapat dinyatakan sebagai proses penyarian simplisia
yang sudah halus dalam pelarut yang sesuai. Penyarian dilakukan
dengan cara melewatkan penyari perlahan-lahan dalam suatu kolom.
Perkolasi dilakukan dalam wadah silindris atau kerucut (perkolator)
yang memiliki jalan masuk dan keluar yang sesuai. Penyari
dimasukkan secara kontinyu dari atas kolom, mengalir lambat melintasi
simplisia yang umumnya berupa serbuk kasar. Hasil ekstraksi berupa
bahan aktif yang tinggi, ekstraksi yang kaya ekstrak (Ansel, 1989;
Voigt, 1994)
8
3. Soxhletasi
Soxhletasi merupakan salah satu metoda ekstraksi yang
berkesinambungan dengan menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi yang
kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya
pendingin balik (Depkes, 2000). Kekurangan dari metode ini adalah
waktu yang dibutuhkan untuk ekstraksi cukup lama sehingga kebutuhan
energinya tinggi.
4. Infundasi
Infundasi merupakan proses penyarian yang paling umum
dilakukan untuk menyari kandungan zat aktif yang larut dalam air dari
bahan-bahan nabati. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang
tidak stabil dan mudah tercemar oleh bakteri dan kapang karena bakteri
dan kapang mudah tumbuh pada media berair.
Infundasi dilakukan dengan menyari simplisia dengan derajat
halus yang sesuai dalam panci dengan air secukupnya, dipanaskan di
penangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu air mencapai 90oC
sambil sesekali diaduk. Infus diserkai melalui kain flanel selagi panas,
kemudian ditambah air panas secukupnya melalui ampas hingga
diperoleh volume infus yang dikehendaki (jika tidak dikatakan lain,
dibuat infus 10 %) (Depkes, 2000).
9
3. Uraian Tentang Antibakteri
Antibakteri merupakan senyawa kimia atau obat yang digunakan untuk
membasmi bakteri, khususnya bakteri patogen yang merugikan manusia.
Beberapa istilah yang digunakan untuk menjelaskan proses pembasmian bakteri
yaitu germisida, bakterisida, bakteriostatik, antiseptik, dan desinfektan (Pelczar
dan Chan, 1988).
Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri
atau membunuhnya, masing-masing dikenal sebagai kadar hambat minimal
(KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Antibakteri tertentu aktivitasnya
dapat ditingkatkan dari bakteriostatika menjadi bakterisida bila kadar
antibakterinya ditingkatkan melebihi KHM.
Pada prinsipnya terdapat lima mekanisme kerja antibakteri menurut
Ganiswara (1995), yakni :
a. mengganggu metabolisme sel mikroba,
b. menghambat sintesis dinding sel mikroba,
c. mengganggu permeabilitas membran sel mikroba,
d. menghambat atau merusak asam nukleat sel mikroba.
4. Penentuan Golongan Senyawa Aktif Antibakteri
a. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah metode pemisahan
fisikokimia. KLT digunakan untuk memisahkan senyawa secara tepat,
prosedurnya sederhana, mudah dideteksi walaupun tidak secara langsung, dan
10
memerlukan jumlah cuplikan yang sedikit. Lapisan yang memisahkan terdiri
atas bahan berbutir-butir (fase diam) ditempatkan pada penyangga berupa
pelat gelas, logam, atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisahkan
berupa larutan, ditotolkan berupa pita atau bercak (Stahl, 1985).
Fase gerak adalah medium dan terdiri atas satu atau lebih pelarut,
bergerak di dalam fase diam yakni lapisan berpori karena adanya gaya kapiler
(Stahl, 1985). Fase gerak yang digunakan dalam pemisahan sangat tergantung
dari polaritas senyawa yang akan dideteksi. Sebaiknya menggunakan
campuran pelarut organik yang memiliki polaritas serendah mungkin. Salah
satu alasannya adalah mengurangi serapan dari setiap komponen pada
campuran pelarut. Pengembangan kromatografi dilakukan dalam bejana yang
sekecil mungkin (Sastrohamidjojo, 2002).
Hasil elusi dari metode KLT berupa bercak-bercak yang terpisah pada
pelat KLT (kromatogram). Deteksi atau identifikasi senyawa dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Deteksi kuantitatif
dapat dilakukan dengan densitometri. Detektor ini dilengkapi dengan
spektrofotometer yang panjang gelombangnya dapat diatur antara 200 nm
sampai 700 nm (Stahl, 1985). Lazimnya identifikasi pada KLT digunakan
harga Rf (Retention factor) yang menunjukkan jarak pengembangan senyawa
pada kromatogram. Angka Rf berkisar antara 0,0 sampai 1,0. Nilai Rf sering
dikonversi menjadi hRf yaitu 100 x Rf (Sastrohamidjojo, 2002).
Rf =
11
b. Identifikasi Golongan Senyawa
Deteksi kualitatif dapat dilakukan dengan menggunakan sinar UV
pada panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Bercak yang meredam (dark
zones) pada UV254 menunjukkan adanya senyawa yang mengabsorbsi sinar
UV254. Senyawa yang tereksitasi oleh sinar UV (λ 366) dapat mengemisikan
sinar fluoresen atau fosforesen berwarna kuning, merah, orange, hijau, biru
atau ungu (Sherma dan Fried, 1996).
Apabila deteksi ini tidak tampak maka dapat dilakukan deteksi warna
dan kimia seperti penggunaan anisaldehid-H2SO4 sebagai pereaksi semprot
umum yang biasanya digunakan untuk mendeteksi golongan terpenoid dan
pereaksi semprot FeCl3 untuk mendeteksi adanya golongan fenol (Wagner
dan Bladt, 1984).
c. Bioautografi
Bioautografi merupakan metode yang spesifik dan efisien untuk
menentukan senyawa aktif sebagai antibakteri sehingga dimungkinkan
melakukan isolasi senyawa aktif tersebut. Keuntungan metode bioautografi
adalah efisien untuk mendeteksi adanya senyawa antimikroba karena letak
bercak dapat ditentukan walaupun berada dalam campuran yang kompleks
sehingga dimungkinkan untuk mengisolasi senyawa aktif tersebut. Sedangkan
kerugiannya adalah tidak dapat untuk menentukan harga KHM dan KBM
(Pratiwi, 2009).
Bioautografi terdiri dari 2 metode, yaitu bioautografi langsung dan
bioautografi overlay. Pada bioautografi langsung, pelat KLT dielusi dengan
12
sistem elusi tertentu lalu disemprot suspensi mikroba atau dengan menyentuh
pelat KLT selama beberapa waktu pada permukaan media kultur. Hambatan
pertumbuhan mikroba berupa zona jernih dengan latar belakang keruh. Pada
bioautografi overlay, pelat KLT dituangi media agar yang telah ditanami
mikroba lalu diinkubasi setelah media memadat. Zona hambatan dilihat
melalui penyemprotan permukaan media dengan garam tetrazolium seperti
INT (iodonitrotetrazolium klorida) dan MTT (metilthiazoiltetrazolium
klorida). Garam tetrazolium menunjukkan aktivitas dehidrogenase bakteri.
Zona hambatan tampak sebagai zona jernih dengan latar belakang berwarna
ungu (Pratiwi, 2009).
d. Gas Chromatography – Mass Spectrometry (GC-MS)
Gas Chromatography – Mass Spectrometry adalah metode pemisahan
senyawa organik menggunakan dua metode analisis yakni kromatografi gas
untuk menganalisis jumlah senyawa secara kuantitatif dan spektrometri massa
untuk menganalisis struktur molekul senyawa analit (Agusta, 2000).
Kromatografi gas merupakan teknik pemisahan untuk identifikasi senyawa
volatil (mudah menguap) yang bermigrasi melalui kolom yang mengandung
fase diam dengan kecepatan tertentu tergantung pada rasio distribusinya.
Senyawa terelusi berdasarkan peningkatan titik didihnya dan interaksi antara
solut dengan fase diam (Gandjar dan Rohman, 2004). Spektroskopi massa
adalah metode analisis untuk mendapatkan berat molekul dengan mencari
perbandingan massa terhadap muatan dari ion muatan yang diketahui, dengan
13
mengukur jari-jari orbit melingkarnya dalam medan magnetik seragam
(Sastrohamidjojo, 1991).
5. Karies Gigi
a. Karies Gigi
Karies dan maloklusi merupakan dua kelainan gigi yang paling umum.
Karies gigi berarti erosi pada gigi, sedangkan maloklusi berarti adanya
kegagalan proyeksi gigi atas dan gigi bawah untuk saling berinterdigitasi
dengan tepat (Guyton dan Hall, 1997). Karies adalah proses patologis yang
terjadi karena adanya interaksi antara faktor-faktor di dalam mulut yang
meliputi faktor gigi dan saliva, agen yang berhubungan dengan
mikroorganisme, serta faktor luar seperti umur, jenis kelamin, perilaku
kesehatan gigi dan mulut, sosial ekonomi, dan ras (Sugito, 2000). Karies
disebabkan oleh pengaruh kerja bakteri pada gigi dan bakteri yang paling
umum adalah S. mutans. Peristiwa awal timbulnya karies adalah pengendapan
plak. Plak gigi didefinisikan sebagai berbagai macam populasi
mikroorganisme yang ditemukan pada permukaan gigi dalam bentuk biofilm
yang melekat pada matriks ekstraselular dari polimer pada inang (Marsh,
2004). Sejumlah besar bakteri menempati plak dan siap menyebabkan karies.
Bakteri bergantung pada karbohidrat, bila tersedia karbohidrat, maka sistem
metabolismenya sangat diaktifkan dan bakteri tersebut memperbanyak diri.
Selain itu bakteri memproduksi asam dan enzim proteolitik. Asam ini
merupakan bahan perusak utama yang menyebabkan timbulnya karies sebab
14
pada media yang sangat asam secara lambat garam-garam kalsium gigi akan
dilarutkan, dan sekali garam diabsorpsi, maka matriks yang tersisa dengan
cepat dicerna oleh enzim proteolitik. Dibandingkan dengan dentin, enamel
lebih tahan terhadap proses demineralisasi oleh asam, hal ini terutama terjadi
karena kristal yang terdapat pada enamel sangat padat dan juga volume-nya
kira-kira 200 kali lebih besar dari pada volume kristal pada dentin. Oleh
karena itu enamel pada gigi dianggap sawar utama terhadap kemungkinan
tumbuhnya karies (Guyton dan Hall, 1997).
b. Bakteri Streptococcus mutans
Streptococcus mutans adalah pencetus timbulnya plak gigi oleh karena
bakteri ini bertindak sebagai fasilitator berbagai kuman lain. Plak gigi adalah
penyebab utama terbentuknya karies gigi dan penyakit jaringan penyangga
gigi (Ismiyatin, 2001).
Streptococcus mutans termasuk dalam kelompok Streptococcus
hemolitik alfa, atau disebut juga S. viridans. Streptococcus mutans dapat
mensintesis banyak polisakarida seperti dekstran dan levans dari sukrosa dan
memiliki peranan penting pada proses pembentukan plak gigi (Brooks et al.,
2001). Habitat utama dari S. mutans adalah pada mulut, faring, dan usus
(Loesche, 1986). Streptococcus mutans memiliki peranan yang cukup besar
pada terbentuknya karies (Marsh, 2003; Desoet et al., 1990). Adanya S.
mutans pada rongga mulut biasanya diikuti dengan terjadinya karies pada
waktu ke 6-24 bulan (Mayooran et al., 2000).
15
6. Patch Bukal Mukoadhesif
Beberapa tahun terakhir, perhatian tertuju pada pengembangan sistem
penghantaran obat patch mukoadhesif menggunakan polimer mukoadhesif yang
dapat dilekatkan pada jaringan terkait atau lapisan permukaan jaringan sebagai
target berbagai macam absorptive mucosa seperti buccal (Jain, 2002). Ukuran
ketipisan patch bukal antara 0,5-1,0 mm, apabila lebih kecil akan menyulitkan
dalam pemakaiannya.
Patch bukal mukoadhesif membutuhkan suatu polimer dengan sifat yang
spesifik untuk memfasilitasi proses mukoadhesi. Menurut Grabovac et al.
(2005), polimer mukoadhesif adalah makromolekul natural atau sintetis yang
mampu bekerja pada permukaan mukosa. Polimer mukoadhesif sudah
dikenalkan pada teknologi farmasi sejak 40 tahun yang lalu, namun baru
beberapa tahun terakhir metode ini dapat diterima. Polimer mukoadhesif
dianggap dapat sebagai terobosan baru sebagai sediaan lepas lambat dan
meningkatkan sistem penghantaran obat secara lokal. Polimer mukoadhesif
tersebut dibagi ke dalam dua kelompok (Kumar et al., 2010) :
1. Hydrophilic polymer
Terdiri dari kelompok karboksilat yang menunjukkan sifat
mukoadhesif paling baik, seperti polyvinyl pyrolidon (PVP), methyl
cellulose, sodium carboxy methylcellulose (SCMC), hidroxy propyl
cellulose (HPC), dan derivat selulosa.
16
2. Hydrogels
Merupakan kelas polimer biomaterial yang menunjukkan
karakteristik dasar hidrogel untuk mengembang dan mengabsorbsi air
dengan cara adhesi pada mukus yang menutupi epitel. Hidrogel dibagi
menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Kelompok anionik
Carbopol, poliakrilat, dan modifikasi silang keduanya
b. Kelompok kationik
Kitosan dan derivatnya
c. Kelompok netral
Eudragit-NE30D
Polimer mukoadhesif harus memiliki beberapa sifat agar memperoleh
profil mukoadhesif yang baik, antara lain berat molekul (hingga 100000),
viskositas (hingga optimum), konsentrasi polimer adhesif optimum,
fleksibilitas ikatan polimer, spatial confirmation, densitas cross-linked
polimer optimum, muatan dan derajat ionisasi polimer
(anion>kation>nonionik), pH optimum media, hidrasi polimer optimum,
durasi pemakaian, dan lama waktu kontak awal (Khainar et al., 2009).
Patel et al. (2007) mengungkapkan bahwa kelekatan waktu
mukoadhesi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain massa
molekul dari polimer, waktu kontak antara polimer dan mukosa, rata-rata
indeks pengembangan polimer dan membran biologi yang digunakan.
17
7. Mekanisme Mukoadhesif
Konsep penggunaan bioadhesif polimer untuk memperlama waktu
kontak telah mendapat perhatian dalam penghantaran obat secara transmukosal.
Mekanisme bioadhesi beberapa makromolekul melalui permukaan membran
mukosa belum diketahui secara pasti. Untuk membuat kontak yang baik,
mukoadhesif harus tersebar pada permukaan untuk memicu kontak dan
meningkatkan permukaan kontak, serta menginduksi difusi rantai makromolekul
dengan membran mukosa. Agar bioadhesi dapat terjadi dengan baik, gaya tarik-
menarik harus lebih mendominasi dari gaya tolak-menolak, keduanya terdapat
selama proses adhesi (Kaul dan Kaur, 2011). Setiap langkah yang terlibat selama
bioadhesi dapat dipengaruhi oleh sifat-sifat dari sediaan obat dan rute dimana
sediaan tersebut dihantarkan, misalnya polimer yang terhidrasi sebagian dapat
diabsorpsi oleh substrat dikarenakan tarik-menarik dengan permukaan air
sehingga mekanisme mukoadhesi pada umumnya memiliki dua langkah yaitu
tahap kontak dan tahap konsolidasi (Smart, 2005). Tahapan proses mukoadhesi
ditunjukkan pada gambar 2.
Gambar 2. Tahapan proses mukoadhesi (Kaul et al., 2011)
18
Tahap pertama, terjadi kontak antara bioadhesif dan membran yang
disebabkan karena pembasahan permukaan bioadhesif yang baik atau swelling
dari bioadhesif (Hagerstrom et al., 2003). Ketika partikel mendekati membran
mukosa, partikel akan mengalami kontak dengan gaya tolak (tekanan osmotik,
tolakan elektrostatik) dan gaya tarik (gaya Van der Waals) sehingga partikel
harus menghadapi penghalang ini untuk membuat kontak yang baik (Huang et
al., 2000). Pada tahap kedua, ketika kontak telah terjadi, material bioadhesif
berpenetrasi ke dalam celah-celah permukaan jaringan atau membentuk ikatan
kimia. Hal ini dikarenakan interpenetrasi dari rantai bioadhesif ke membran
mukosa.
8. Release Enhancer Substances pada Sistem Bukal Mukoadhesif
Dalam formulasi sediaan semi solid, seringkali ditambahkan bahan
humektan untuk memperbaiki konsistensinya yang juga dapat berfungsi sebagai
kosolven yang dapat meningkatkan kelarutan bahan obat. Dengan meningkatnya
kelarutan, maka bahan obat akan lebih mudah lepas dari basis yang selanjutnya
akan berpengaruh pada efektifitasnya (Barry, 1983). Basis yang baik adalah
basis yang tidak mengikat bahan obat terlalu kuat, karena obat harus lepas dari
basis sebelum menembus kulit (Idson, 1975). Dua tahapan kerja obat secara
topikal untuk dapat memberikan efek adalah obat harus dapat lepas dari basis
dan menuju ke permukaan kulit, selanjutnya berpenetrasi melalui membran kulit
untuk mencapai tempat aksinya (Melani et al., 2005). Propilen glikol dan
gliserin berfungsi sebagai kosolven yang dapat meningkatkan kelarutan bahan
19
obat. Propilen glikol sebagai humektan dan kosolven pada kadar 10-24%
(Boylan, 1994). Sedangkan tween 80 berfungsi sebagai surfaktan yang dapat
meningkatkan persen pelepasan obat apabila konsentrasi surfaktan yang
digunakan di bawah Critical Micelle Concentration (CMC). Konsentrasi di atas
CMC diasumsikan dapat berinteraksi kompleks dengan obat yang dapat
mempengaruhi persen pelepasan obat (Sudjaswadi, 1991).
9. Pemerian Bahan yang Digunakan
a. Chitosan
Chitosan merupakan jenis polimer alam yang mempunyai bentuk
rantai linier, sebagai produk deasetilasi kitin melalui proses reaksi kimia
menggunakan basa kuat (Muzarelli, 1988). Chitosan adalah poly-D-
glucosamine (tersusun lebih dari 5000 unit glukosamin dan
asetilglukosamin) dengan berat molekul lebih dari satu juta dalton,
merupakan dietary fiber (serat yang bisa dimakan) kedua setelah selulosa.
(Simunek et al., 2006).
Chitosan mempunyai nama kimia poly D-glucosamine [beta (1-4) 2-
amino-deoxy-D-glucose], bentuk chitosan padatan amorf berwarna putih
dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal chitin murni. Chitosan
mempunyai rantai yang lebih pendek daripada rantai chitin. Kelarutan
chitosan dalam larutan asam serta viskositas larutannya tergantung dari
derajat deasetilasi dan derajat degradasi polimer. Chitosan kering tidak
mempunyai titik lebur. Bila chitosan disimpan dalam jangka waktu yang
20
relatif lama pada waktu sekitar 100oF maka sifat kelarutannya dan
viskositasnya akan berubah. Bila chitosan disimpan lama dalam keadaan
terbuka (terjadi kontak dengan udara) maka akan terjadi dekomposisi,
warnanya menjadi kekuningan dan viskositas larutan menjadi berkurang.
Kelarutan chitosan sangat dipengaruhi oleh bobot molekul, derajat
deasetilasi, dan rotasi spesifiknya. Beragamnya rotasi spesifik bergantung
pada sumber dan metode isolasi serta transformasinya. Dalam bentuk
netralnya, chitosan mampu mengkompleks ion logam berat berbahaya
seperti Cu, Cr, Cd, Mn, Co, Pb, Hg, Zn, dan Pd (Sugita et al., 2009).
Chitosan hasil dari deasetilasi kitin, larut dalam asam encer seperti asam
asetat dan asam formiat. Sifat fisik yang khas dari chitosan yaitu mudah
dibentuk menjadi spons, larutan, gel, pasta, membran dan serat yang
sangat bermanfaat dalam aplikasinya (Kaban, 2007). Struktur chitosan
ditunjukkan pada gambar 3.
Gambar 3. Struktur Chitosan (Rifai, 2007)
b. Asam Asetat
Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia,
asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam
21
makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini
seringkali ditulis dalam bentuk CH3-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H.
Asam asetat murni (disebut asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis
tak berwarna, dan memiliki titik beku 16.7oC.
Atom hidrogen (H) pada gugus karboksil (-COOH) dalam asam
karboksilat seperti asam asetat dapat dilepaskan sebagai ion H+ (proton),
sehingga memberikan sifat asam. Asam asetat adalah asam lemah
monoprotik dengan nilai pKa = 4.8. Basa konjugasinya adalah asetat
(CH3COO-). Sebuah larutan 1.0 M asam asetat (kira-kira sama dengan
konsentrasi pada cuka rumah) memiliki pH sekitar 2.4.
Gambar 4. Struktur Asam Asetat (Rowe et al., 2009)
Struktur asam asetat pada gambar 4 menunjukkan bahwa molekul-
molekul asam asetat berpasangan membentuk dimer yang dihubungkan
oleh ikatan hidrogen. Dimer juga dapat dideteksi pada uap bersuhu 120oC.
Dimer juga terjadi pada larutan encer di dalam pelarut tak berikatan
hidrogen, dan kadang-kadang pada cairan asam asetat murni. Dimer
dirusak dengan adanya pelarut berikatan hidrogen, misalnya air. Entalpi
disosiasi dimer tersebut diperkirakan 65.0-66.0 kJ/mol, entropi disosiasi
22
sekitar 154-157 J mol-1
K-1
. Sifat dimerisasi ini juga dimiliki oleh asam
karboksilat sederhana lainnya.
c. Gliserin
Gliserin merupakan cairan jernih, viskus, tidak berwarna, tidak
berbau, higroskopis, dan memiliki rasa yang manis. Gliserin berfungsi
sebagai kosolven, emolient, humektan, plasticizer, solven, pemanis, dan
pengatur tonisitas.
Kelarutan gliserin pada suhu 20oC antara lain sedikit larut dalam
aseton, praktis tidak larut dalam benzena, kloroform, minyak, larut dalam
metanol, etanol 95%, dan air, larut dalam 1:500 dalam eter, dan 1:11
dalam etil asetat. Struktur gliserin ditunjukkan pada gambar 5.
Gambar 5. Struktur Gliserin (Rowe et al., 2009)
Dalam teknologi farmasetik, gliserin digunakan dalam berbagai
macam formulasi termasuk oral, opthalmic, topical dan sediaan parenteral.
Dalam formulasi farmasetikal topikal dan kosmetik, gliserin digunakan
sebagai humektan dan emolient. Gliserin ditambahkan dalam gel dan juga
sebagai aditif pada patch.
23
Gliserin bersifat higroskopis. Gliserin murni tidak mudah teroksidasi
tetapi terdekomposisi pada panas menjadi zat yang toksik. Campuran
gliserin dan air, etanol 95%, dan propilen glikol stabil secara kimia.
Gliserin dapat mengkristal bila disimpan pada temperatur rendah. Kristal
tidak meleleh dengan pemanasan sampai 20oC. Gliserin sebaiknya
disimpan di ruang kedap udara, sejuk, dan kering (Rowe et al., 2009).
d. Propilen glikol
Propilen glikol menurut Rowe et al. (2003), propilen glikol
mempunyai nama kimia 1,2 propanediol. Beberapa sinonim dari propilen
glikol dikenal dengan nama-nama 1,2 Dihydroxypropane, E1520, 2-
hydroxypropanol, methyl ethylene glycol, propane 1,2-diol. Propilen glikol
mempunyai rumus kimia C3H8O2, rumus struktur propilen glikol terlihat
pada gambar 6. Propilen glikol biasanya difungsikan sebagai preservatif,
humektan, plasticizer, pelarut dan stabilizer untuk vitamin.
Gambar 6. Rumus Struktur Propilenglikol (Rowe et al., 2009)
Propilen glikol dalam teknologi farmasi biasanya dikembangkan
sebagai pelarut, ekstraktan dan preservatif untuk formulasi sediaan
24
parenteral maupun nonparenteral. Propilen glikol juga digunakan sebagai
platicizer pada penyalutan. Propilen glikol mempunyai pemerian berupa
cairan kental, jernih, tidak berwarna, rasa khas, praktis tidak berbau dan
menyerap air pada udara lembab. Kelarutan propilen glikol dapat
bercampur dengan air, aseton, eter, dan beberapa minyak. Propilen glikol
pada temperatur dingin tetap stabil, tetapi pada temperatur tinggi akan
teroksidasi menjadi propionaldehid, asam laktat, asam piruvat dan asam
asetat. Propilen glikol termasuk zat kimia yang tetap stabil ketika
tercampur dengan etanol (95%), gliserin, air, dan larutan yang telah
disterilisasi dengan autoklaf (Rowe et al., 2003). Pada sediaan
mukoadhesif, propilen glikol digunakan sebagai plasticizer (Semalty et al.,
2008). Selain itu juga penambahan propilen glikol pada sediaan topikal
juga dapat meningkatkan laju difusi (Agoes dan Darijanto, 1983).
e. Tween 80
Polysorbate 80 atau Tween 80 merupakan rangkaian dari asam
lemak ester pada sorbitol dan anhidridanya dikopolimerisasi dengan kira-
kira 20, 5, atau 4 mol etilen oksida untuk masing-masing mol sorbitol dan
anhidridanya. Oleh karena itu, produk akhirnya merupakan campuran
molekul dengan berbagai macam ukuran (Rowe et al., 2009).
Tween 80 memiliki karakteristik bau, hangat, dan rasa agak pahit.
Pada suhu 25oC berwarna kuning dan memiliki bentuk fisik berupa cairan
berminyak. Komposisi asam lemak pada tween 80 antara lain ≤ 5.0% asam
25
miristat; ≤ 16.0% asam palmitat; ≤ 8.0% asam palmitoleat; ≤ 6.0% asam
stearat; ≤ 58.0-85.0% asam oleat; dan ≤ 4.0% asam linolenat (Rowe et al.,
2009).
Tween 80 berfungsi sebagai emulsifier, surfaktan nonionik,
solubilizer, bahan pembasah, bahan perdispersi atau suspending agent
pada kosmetik, produk makanan, sediaan farmasetik oral, parenteral, dan
topikal, serta umumnya dianggap sebagai bahan yang nontoksik dan
noniritan. Struktur tween 80 ditunjukkan pada gambar 7.
Gambar 7. Struktur Tween 80 (Sumaryani, 2009)
Tween 80 stabil pada elektrolit, asam lemah, dan basa lemah.
Saponifikasi bertahap terjadi dalam asam kuat dan basa kuat. Ester asam
oleat sensitif terhadap oksidasi. Tween 80 bersifat higroskopis dan harus
diperiksa kadar airnya sebelum digunakan dan dikeringkan jika
dibutuhkan. Selain itu, pada umumnya dengan surfaktan polyoxyethylene
dalam penyimpanan jangka lama dapat menyebabkan terbentuknya
peroksida. Tween 80 harus disimpan di dalam kontainer yang tertutup
baik, terlindungi dari cahaya, dan disimpan di dalam tempat yang dingin
serta kering (Rowe et al., 2009).
26
Fenol, tannin, tar, dan tarlike materials menyebabkan terjadinya
perubahan warna dan/atau presipitasi pada tween 80. Aktivitas
antimikroba pengawet paraben direduksi oleh adanya tween 80. WHO
memiliki standar estimasi asupan tween 80 per hari, yang dihitung sebagai
polysorbate ester ester total, yaitu hingga 25 mg/kg berat badan (Rowe et
al., 2009).
Tween 80 pada konsentrasi rendah dapat menurunkan tegangan
antarmuka antara obat dan medium, serta menaikkan laju kelarutan obat
dalam medium sedangkan tween 80 pada kadar yang lebih tinggi akan
berkumpul membentuk agregat yang disebut misel. Selain itu, penggunaan
tween 80 dengan kadar tinggi sampai CMC diasumsikan mampu
berinteraksi kompleks dengan obat tertentu dan dapat mempengaruhi
permeabilitas membran tempat absorbsi obat karena tween 80 dan
membran memiliki komponen penyusun yang sama (Noudeh et al., 2008)
F. Landasan Teori
Plak, gingivitis dan karies gigi disebabkan oleh bakteri Streptococcus
mutans yang merupakan bakteri patogen pada mulut (Pratama, 2005) dan salah
satu bakteri Gram positif fakultatif anaerob yang paling banyak ditemukan dalam
biofilm (plak gigi) pada rongga mulut (Loesche, 2006). Plak dan karies gigi dapat
dicegah dengan pemberian antibakteri (Mollet dan Grubenmann, 2001). Ekstrak
daun sirih memiliki aktivitas antibakteri (Fathilah et al., 2000). Daun sirih
mengandung minyak atsiri, terdiri atas chavicol, chavibetol, allylpyrocatechol,
27
karvakrol, eugenol methylether, cineole (Dalimartha, 2000). Hydroxychavicol
sebagai antibakteri (Nalina dan Rahim, 2007).
Polimer mukoadhesif terdiri dari polimer anionik (PAA, Karbopol, PCP,
Na-CMC, Na-Hialuronik, Na-Alginat), polimer kationik (Chitosan), polimer non-
ionik (hidroksietilsellulosa, hidroksipropilsellulosa, PVP4400, PEG6000) dan
polimer thiomer (konjugat cysteine dan PAA, polikarbopil dan Na-CMC
(Grabovac et al., 2005). Chitosan banyak dipakai dalam pembuatan bukal adhesif
karena bersifat biodegradable, non-toksik, dapat melekat pada mukosa mulut,
dan dapat meningkatkan absorpsi obat (Rasool dan Khan, 2010). Chitosan sebagai
polimer pada sistem bukal mukoadhesif dikombinasikan dengan release enhancer
substances untuk meningkatkan pelepasan zat aktif dari dalam sediaan sehingga
dapat meningkatkan efikasi. Gliserin, propilen glikol dan tween 80 digunakan
sebagai release enhancer substances karena bahan-bahan tersebut dapat
mempengaruhi karakteristik bukal adhesif dan pelepasan zat aktif. Pada sediaan
mukoadhesif, propilen glikol digunakan sebagai plasticizer (Semalty et al., 2009).
Selain itu penambahan propilen glikol pada sediaan topikal juga dapat
meningkatkan laju difusi (Agoes et al., 1983). Tween 80 pada konsentrasi rendah
dapat menurunkan tegangan antarmuka antara obat dan medium, serta menaikkan
laju kelarutan obat dalam medium (Noudeh et al., 2008). Gliserin berfungsi
sebagai kosolven, emolient, humektan, plasticizer, solven, pemanis, dan pengatur
tonisitas (Rowe et al., 2009).
Sediaan bukal patch diformulasikan dengan variasi penambahan release
enhancer substances yaitu gliserin, propilen glikol dan tween 80 sebesar 1%.
28
Variasi penambahan release enhancer substances diperkirakan mampu
meningkatkan swelling index yang berbanding lurus dengan peningkatan
pelepasan obat dari matriks sehingga zat aktif yang terlepas dari sediaan juga
diperkirakan berbanding lurus dengan diameter penghambatan bakteri.
Uji in vitro release merupakan salah satu cara evaluasi terhadap pelepasan
obat dari sediaan patch bukal. Aktivitas antibakteri dari patch bukal dapat
diketahui dengan uji in vitro pada bakteri.
G. Hipotesis
Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan hipotesis :
1. Penambahan release enhancer substances gliserin, propilen glikol, dan tween
80 pada chitosan dapat berpengaruh terhadap sifat fisik patch bukal
mukoadhesif ekstrak daun sirih.
2. Penambahan release enhancer substances gliserin, propilen glikol, dan tween
80 pada chitosan dapat berpengaruh terhadap aktivitas antibakteri patch bukal
mukoadhesif.