15
SESI 2 - 3: STRATEGI MEMBINA RAPPORT Must to know key-points: 1. Membuat pasien dan diri anda nyaman: Mengenali tanda-tanda Merespons tanda-tanda 2. Menemukan penderitaan pasien – Perlihatkan kepedulian Menilai penderitaan pasien Berespons dengan empati 3. Menilai tilikan pasien dan menjadi pendamping bagi pasien Derajat tilikan Memisahkan bagian yang sakit dari diri pasien Menetapkan tujuan terapi 4. Menunjukkan keahlian 5. Membangun sikap kepemimpinan 6. Menyeimbangkan Peran Metode Pembelajaran: Tugas Baca (diberikan sebelum sesi ini) Diskusi interaktif Demonstrasi / Role-play Persiapan Sesi dalam kelas: Pasien/pemeran pasien Alat Bantu Latih (bila memungkinkan dan tersedia fasilitasnya): o Video contoh wawancara 11

b - SESI 2-3 Membina Rapport - V1

  • Upload
    inprast

  • View
    46

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

modul rapport

Citation preview

Page 1: b - SESI 2-3 Membina Rapport - V1

SESI 2 - 3:

STRATEGI MEMBINA RAPPORT

Must to know key-points:

1. Membuat pasien dan diri anda nyaman:

Mengenali tanda-tanda

Merespons tanda-tanda

2. Menemukan penderitaan pasien – Perlihatkan kepedulian

Menilai penderitaan pasien

Berespons dengan empati

3. Menilai tilikan pasien dan menjadi pendamping bagi pasien

Derajat tilikan

Memisahkan bagian yang sakit dari diri pasien

Menetapkan tujuan terapi

4. Menunjukkan keahlian

5. Membangun sikap kepemimpinan

6. Menyeimbangkan Peran

Metode Pembelajaran:

Tugas Baca (diberikan sebelum sesi ini)

Diskusi interaktif

Demonstrasi / Role-play

Persiapan Sesi dalam kelas:

Pasien/pemeran pasien

Alat Bantu Latih (bila memungkinkan dan tersedia fasilitasnya):

o Video contoh wawancara

Alat bantu latih di luar kelas:

Daftar tilik ketrampilan membina rapport (terlampir).

11

Page 2: b - SESI 2-3 Membina Rapport - V1

DAFTAR TILIK MEMBINA RAPPORT

Daftar tilik yang dapat digunakan untuk menilai keterampilan pewawancara dalam

membina dan mempertahankan rapport :

Nama peserta didik: __________________

Ya Tidak Tidak ada

1. Saya membuat pasien merasa nyaman ______ ______ _______

2. Saya mengetahui keadaan mental pasien ______ ______ _______

3. Saya membicarakan apa yang menjadi distres pasien ______ ______ _______

4. Saya membantu pasien beradaptasi di awal wawancara ______ ______ _______

5. Saya membantu pasien mengatasi kecurigaan ______ ______ _______

6. Saya dapat mengendalikan sikap intrusif pasien ______ ______ _______

7. Saya menstimulasi pasien untuk bicara ______ ______ _______

8. Saya mengendalikan pembicaraan pasien yang melantur ______ ______ _______

9. Saya memahami penderitaannya ______ ______ _______

10. Saya memperlihatkan empati terhadap yang dirasakan ______ ______ _______

11. Saya menyesuaikan diri terhadap afek pasien ______ ______ _______

12. Saya membicarakan afek pasien ______ ______ _______

13. Saya mengetahui derajat tilikan pasien ______ ______ _______

14. Saya dapat menyimpulkan pandangan pasien terhadap penyakitnya

______ ______ _______

15. Saya mempunyai persepsi yang jelas tentang tujuan terapi bagi pasien

______ ______ _______

16. Saya menyampaikan tujuan terapi pada pasien ______ ______ _______

17. Saya menyampaikan pada pasien bahwa saya sudah biasa menghadapi gangguan

seperti ini ______ ______ _______

18. Pertanyaan-pertanyaan saya meyakinkan pasien bahwa saya memahami gejala-

gejala dari gangguan yang dihadapi pasien ______ ______ _______

19. Saya memberi tahu pasien bahwa tidak hanya ia sendiri yang memiliki penyakit

seperti ini ______ ______ _______

20. Saya menyampaikan keinginan untuk membantunya ______ ______ _______

12

Page 3: b - SESI 2-3 Membina Rapport - V1

21. Pasien mengetahui keahlian yang saya miliki ______ ______ _______

22. Pasien menghormati otoritas saya ______ ______ _______

23. Pasien tampak kooperatif _______ ______ _______

24. Saya mengetahui sikap pasien terhadap penyakitnya _______ ______ _______

25. Pasien mengambil jarak dalam memahami penyakitnya ______ ______ _______

26. Pasien menampilkan dirinya sebagai penderita yang butuh simpati

______ ______ _______

27. Pasien menampilkan dirinya sebagai orang yang penting (VIP)

______ ______ _______

28. Pasien bersaing dengan diri saya dalam memperebutkan kedudukan pemimpin

_______ ______ _______

29. Pasien bersikap submisif _______ ______ _______

30. Saya menyesuaikan peran terhadap peran pasien _______ ______ _______

31. Pasien berterima kasih pada saya dan membuat janji pertemuan berikutnya

_______ ______ _______

Komentar/Ringkasan:

________________________________________________________________________

________________________________________________________________________

________________________________________________________________________

________________________________________________________________

Rekomendasi:

________________________________________________________________________

________________________________________________________________________

__________________________________________________________________

Tanda tangan penilai _______________________ (dr. _________________ )

Tanggal _______________

13

Page 4: b - SESI 2-3 Membina Rapport - V1

MATERI ACUAN

STRATEGI MEMBINA RAPPORT

Definisi rapport : interaksi atau relasi antara pasien dengan pewawancara. Tipe

wawancara berorientasi psikodinamik, mengkonsepkan rapport dalam terminologi

transference-contertransference, dan melihat adanya pengulangan hubungan di masa lalu

dalam situasi wawancara kali ini. Sementara dalam tipe wawancara berorientasi deskriptif,

rapport dideskripsikan sebagai interaksi pasien dan pewawancara yang di dalamnya

terdapat understanding dan trust.

Strategi yang digunakan dalam membina rapport dengan pasien :

1. Buat pasien dan pewawancara sendiri merasa nyaman

Saat pasien psikiatri datang pertama kali, umumnya ia menghadapi perasaan

skeptis, cemas, gugup, ketidakyakinan atau bingung. Selain itu pasien juga perlu

menghadapi stigma untuk bertemu dengan profesional kesehatan jiwa. Sebaliknya,

pewawancara seringkali pula merasa cemas, gugup atau kehilangan kontrol dalam

mengahadapi pasien. Kondisi ini dapat diatasi dengan cara membuka wawancara dengan

percakapan dasar dan ringan, bertujuan untuk lebih mengenal atau dekat dengan pasien

dan bukan untuk mencari diagnosis secara dini.

Wawancara dapat dibuka dengan memperkenalkan diri pewawancara dan

tanyakan nama pasien serta bagaimana sebaiknya pewawancara memanggil pasien.

Kemudian dapat dilanjutkan dengan pertanyaan ringan seperti bagaimana pasien

mencapai tempat pewawancara saat itu atau bagaimana perjalanan pasien sampai ke

tempat pewawancara. Selanjutnya pewawancara menanyakan identitas pasien, seperti

usia, tempat tinggal, asal, pekerjaan, pendidikan, dan status menikah. Dalam percakapan

ini dapat diobservasi kondisi pasien, apakah ia tampak lebih tenang, tetap cemas atau

bertambah cemas. Pada pasien cemas seringkali ia tampak tetap cemas, sementara

untuk pasien obsesif kompulsif sering kali percakapan seperti ini dianggap menghabiskan

waktu dan uang. Kondisi pasien yang perlu diobservasi adalah perilaku nonverbal, suara,

dan ekspresi pasien.

14

Page 5: b - SESI 2-3 Membina Rapport - V1

- Kenali tanda-tanda

Saat menghadapi pasien, status mental mereka akan tampak dari tanda-tanda

(signs) yang ada pada pasien tersebut. Tanda (sign) adalah bahasa nonverbal dari wajah,

tubuh, dan suara yang seringkali sulit dikontrol oleh pasien. Bina rapport juga dengan

membaca tanda-tanda :

Territorial (locomotor) : bagaimana pasien menempatkan jarak dengan

pewawancara secara fisik maupun emosional.

Behavioral (psychomotor) : bagaima perilaku psikomotor pasien saat itu.

Emotional (expressive) : bagaimana postur, gestur, ekspresi wajah, kontak mata,

nada bicara saat berhadapan dengan pewawancara.

Verbal (Suara dan ekspresi verbal) : bagaimana pemilihan kosa kata yang

digunakan, apakah pasien sering menggunakan metafora. Hal ini dapat juga

untuk menilai cara pikir pasien dan bagaimana persepsi pasien terhadap

dunianya.

- Merespons tanda-tanda

Untuk mengenali dan berespon terhadap tanda-tanda yang ditunjukkan pasien,

pewawancara juga perlu berada dalam kondisi yang nyaman, tidak tegang atau cemas.

Seringkali pewawancara gagal untuk melihat tanda yang terdapat pada pasien karena

pewawancara memfokuskan perhatian pada dirinya sendiri. Teknik yang paling baik untuk

menghindari self-consciousness dan perasaan insecure adalah dengan mengalihkan

fokus perhatian dari diri sendiri ke pasien, dengarkan pasien dan hindari memberi tekanan

pada diri sendiri untuk mendapatkan “pertanyaan yang tepat”.

Jika pasien menunjukkan tanda penghindaran terhadap pewawancara, biarkan

pasien tetap berdiri pada tempatnya dan secara perlahan pewawancara dapat bergerak

menuju pasien. Perlihatkan bahwa dokter peduli terhadap kondisi pasien dan perlihatkan

sikap untuk mengundangnya lebih dekat dengan pewawancara. Pada pasien cemas yang

ditemani oleh anggota keluarga, dokter dapat juga mengajak anggota keluarga tersebut ke

tempat pemeriksaan. Pada pasien yang gelisah, marah, merusak, dokter dapat menjaga

jarak dengan pasien.

Dari tanda emosional yang ditunjukkan pasien, dokter dapat berespon dengan

menunjukkan ekspresi nonverbal seperti mengangguk, mengangkat alis, tersenyum atau

15

Page 6: b - SESI 2-3 Membina Rapport - V1

memandang atau menurunkan/meninggikan suara. Pewawancara yang memperlihatkan

ekspresi emosi yang berlebih atau tanpa emosi sama sekali dapat menghambat respon

emosi pasien, sementara pewawancara dengan ekpresi emosi yang cukup dapat

memfasilitasi respon emosi pasien.

Jika pasien memberikan respon verbal dengan metafora, dokter dapat merespon

dengan menggunakan metafora tersebut. Pada awalnya, dokter dapat menggunakan kata-

kata yang digunakan pasien untuk bertanya lebih lanjut dan tidak menggunakan istilah-

istilah psikiatri. Hal ini akan membuat pasien merasa dimengerti oleh dokternya.

2. Temukan penderitaan pasien, dan perlihatkan kepedulian terhadap hal tersebut

- Nilai hal-hal yang membuat pasien tidak nyaman

Untuk menentukan hal-hal yang membuat pasien merasa tidak nyaman, dapat

digunakan pertanyaan-pertanyaan, seperti :

- apa yang sedang mengganggu anda?

- apa yang saat ini sedang terjadi pada anda?

- apa yang saat ini anda rasakan?

Bantu pasien untuk dapat menggambarkan apa yang dialaminya sebagai keluhan

utama. Pada fase awal wawancara seringkali penting untuk membiarkan pasien ventilasi

terhadap keluhannya dengan bebas. Hal ini dapat digunakan juga untuk mengevaluasi

mood dan afek pasien, mendeteksi kemungkinan adanya depresi, kecemasan, atau

kemarahan, dan juga untuk membantu membina rapport.

- Respon dengan empati

Saat pasien mengutarakan perasaannya, katakan bahwa anda dapat memahami

apa yang dirasakan oleh pasien. Pewawancara perlu memperlihatkan empati pada pasien

agar terbina kepercayaan (trust). Respon terapis bisa berupa :

- anda pasti merasa tidak enak dengan keadaan tersebut.

- anda pasti merasa tertekan

- saya dapat melihat bagaimana hal tersebut mengganggu anda

- hal tersebut pasti membuat anda tidak nyaman

Beberapa terapis seringkali mengalami kesulitan untuk berempati dengan pasien. Jika

terapis memang secara kronis tidak mampu berempati, sebaiknya tetap fokuskan

perhatian dan berikan pertanyaan yang sesuai untuk menunjukkan terapis tertarik dengan

16

Page 7: b - SESI 2-3 Membina Rapport - V1

apa yang dikeluhkan pasien. Jika terapis telah berempati dengan pasien, namun pasien

menarik diri, nilailah apakan respon empati yang diberikan terapis benar-benar tulus

(genuine). Untuk membina rapport dengan pasien, terapis perlu fokus pada kemampuan

untuk berempati terhadap pasien dan berkomunikasi secara tulus.

3. Menilai tilikan pasien dan menjadi pendamping bagi pasien

- Derajat tilikan

Nilai derajat tilikan pasien terhadap penyakitnya, apakah memiliki tilikan penuh,

parsial atau tidak ada sama sekali. Pasien yang menyadari adanya gejala-gejala psikiatri

dan gangguan pada dirinya, memiliki tilikan penuh. Pasien sering kali menyadari

gangguan yang dialaminya sebagai ego-distonik, dan keadaan tersebut tidaklah normal.

Pada pasien gangguan psikotik, bipolar, depresi atau penggunaan zat seringkali memiliki

tilikan yang kurang terhadap penyakitnya. Mereka sering menyangkal dan menyalahkan

penyakitnya pada kondisi-kondisi di luar dirinya, yang disebut dengan tilikan parsial.

Sementara pasien yang menyangkal sama sekali akan adanya gangguan dan penyakit

pada diri mereka disebut sebagai pasien yang memiliki tilikan buruk atau tidak memiliki

tilikan (no insight). Pemahaman terhadap tilikan pasien dapat membantu membina rapport

antara dokter dan pasien. Bicarakan pada pasien tentang keluhannya dari sudut pandang

pasien dan coba memahami hal tersebut dengan empati.

- Pisahkan bagian sakit dari diri pasien

Setelah terapis memahami gangguan yang dialami pasien, cobalah temukan

bagaian yang sehat dari diri pasien dan tawarkan padanya untuk membantu mengatasi

masalah tersebut. Pada pasien dengan tilikan penuh, dapat dijelaskan penyebab dan

perjalanan penyakit, pilihan terapi dan implementasinya. Pasien dengan tilikan yang baik

bukanlah berarti dapat mengerti dan menerima penyakitnya, kemudian dapat

meninggalkan perilaku patologisnya begitu saja. Misalnya pada pasien fobia, pasien ini

dapat saja memiliki pemahaman penuh tentang penyakitnya, namun ia tidak mampu

menghilangkan perilakunya. Selanjutnya terapis juga perlu menilai adanya distorsi pada

pikiran pasien. Pasien depresi kadang kala juga kurang obyektif dalam mendeskripsikan

gejala-gejala yang dialaminya, karena mereka memandang penyakitnya tidak mempunyai

harapan. Pada pasien dengan tilikan yang terganggu, sering sulit menemukan bagian

sehat dari dirinya. Terapis perlu menerima waham yang dimiliki pasien sebagai suatu

17

Page 8: b - SESI 2-3 Membina Rapport - V1

realita. Jika pasien merasa ketakutan akibat keyakinannya akan adanya mahluk asing

yang ingin mencelakakannya, sampaikan pada pasien bahwa tentulah hal ini tidaklah

menyenangkan bagi pasien. Kemudian tawarkan perawatan rumah sakit dan obat pada

pasien untuk membantu menyelamatkan pasien dari mahluk asing yang ingin

mencelakakannya tersebut.

- Menetapkan tujuan terapi

Saat berhubungan dengan pasien, terapis dapat menetapkan dua buah tujuan

terapi. Tujuan yang pertama adalah yang didiskusikan dengan pasien, tentang hal-hal apa

yang ingin dicapai. Tujuan kedua merupakan tujuan terapi yang dibuat oleh terapis sendiri

berdasarkan perjalanan penyakit pasien. Pada pasien dengan tilikan yang baik, kedua

tujuan yang ditetapkan dapatlah sama. Misalnya pada pasien depresi, terapis dan pasien

dapat menetapkan bahwa gejala-gejala menurunnya mood yang dimiliki pasien

merupakan hal yang menjadi target terapi dan dapat ditangani. Pada pasien dengan tilikan

parsial atau buruk, misalnya pada pasien yang menganggap bahwa tetangganya ingin

berbuat jahat padanya, tujuan terapi yang ditetapkan bersama pasien adalah mengatasi

perbuatan jahat dari tentangganya. Tujuan terapi yang ditetapkan oleh dokter adalah

mengatasi pikiran waham pasien, namun jika tujuan ini disampaikan pada pasien, pasien

akan sulit menerimanya.

4. Tunjukan keahlian

Selain empati dan perhatian, seorang terapis perlu menunjukkan kompetensi dan

keahlian dalam menghadapi masalah pasien. Gunakan teknik ini untuk meyakinkan

pasien, bahwa terapis memahami masalah pasien :

1. Buat pasien memahami bahwa tidak hanya pasien sendiri yang menghadapi masalah seperti sekarang.

2. Sampaikan pada pasien bahwa terapis familiar dengan masalah ini – tunjukkan pengetahuan yang dimiliki terapis.

3. Bicarakan hal-hal yang diragukan oleh pasien tentang kemampuan terapis, bersama dengan keluarga atau teman yang mengantar pasien dengan profesional.

4. Bangkitkan semangat pasien akan masa depannya.

5. Bangun sikap kepemimpinan

Jika empati berasal dari perhatian terapis terhadap apa yang dialami pasien dan

sikap keahlian (expertise) dari pengetahuan terapis terhadap masalah yang dihadapi

18

Page 9: b - SESI 2-3 Membina Rapport - V1

pasien, sikap kepemimpinan berasal dari kemampuan memotivasi dan mengarahkan

pasien. Sikap kepemimpinan terapis dapat ditunjukkan dengan tetap memegang kontrol

dalam berinteraksi dengan pasien, tunjukkan ketertarikan terapis untuk membantu

kesembuhan pasien, dan motivasi pasien untuk berubah. Cara yang dapat digunakan

untuk menilai kemampuan kepemimpinan adalah melihat bagaimana sikap pasien untuk

menerima penjelasan terapis dan bagaimana keinginan pasien untuk patuh dalam

pengobatan.

Namun demikian sering kali terapis terlalu bersikap otoriter dan menganggap

bahwa kedudukan pasien adalah lebih rendah dari dirinya, serta bersikap kurang empati.

Jika pasien bersikap resisten atau kurang patuh maka nilailah apakah terapis terlalu

memaksa atau menakutkan bagi pasiennya. Sering kali juga pasien yang bersikap

memaksa terapisnya, mengidolakan atau memuja terapisnya. Untuk hal ini, buat pasien

menyadari bahwa harapan yang ada pada dirinya bersifat kurang realistik dan nantinya

dapat menimbulkan kekecewaan pasien. Pada pasien dengan kecurigaan, sikap

antisososial terhadap terapis, yang tidak dapat menerima sikap kepemimpinan terapis dan

mencoba untuk mengontrol terapis dapat dicoba untuk mendiskusikan sikapnya ini.

Tanyakan apakah pasien juga mempunyai pengalaman yang kurang menyenangkan

dengan sikapnya ini saat berhubungan dengan orang lain, atau terapis lain sebelumnya.

Jika ya, maka terapis dapat mencoba mengajak pasien mengenal penyebab kesulitannya

ini dan berikan respek/pujian pada pasien untuk mampu mengutarakan masalahnya.

Katakan pada pasien bahwa dengan bersikap terbuka, maka akan membantu pasien

mengatasi problem psikososial yang dihadapinya.

6. Seimbangkan Peran

Baik pasien maupun dokter saat pertama kali bertemu di tempat pemeriksaan

memiliki harapan-harapan tersendiri. Pada beberapa kasus, pasien mengharapkan terapis

berperan sebagai figur otoriter, pendengar empatik, penyelamat, atau petugas penegak

hukum. Jika terapis memahami peran yang diharapkan oleh pasiennya, maka terapis akan

dapat memperkirakan bagaimana respon yang lebih baik bagi pasiennya.

Reference:

Othmer E, Othmer SC. The clinical interview using DSM-IV. Volume1: Fundamentals. Washington: American Psychiatric Press Inc., 1994., hal. 13 – 42

19