Upload
fathulalim-nuran
View
56
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tetanus
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman
clostridium tetani yang dimanifestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan
diikiuti kekakuan seluruh badan.Kekauan tonus otot ini selalu nampak pada otot
masester dan otot rangka.Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang,ramping
berukuran 2-5 x 0,4 – 0,5 milimikron.Kuman ini berspora termasuk golongan Gram
positif dan hidupnya anaerob,spora dewasa mempunyai bagian yang berbentuk bulat
yang tempatnya di ujung penabuh genderang (drum stick).Kuman mengeluarkan
toksin yang bersifat neurotoksik.Toksin ini (tetanospasmin) mula-mula akan
menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Toksin ini labil pada
pemansan,pada suhu 650C akan hancur dalam 5 menit. Disamping itu dikenali pula
tetanolisinyang bersifat hemolisis,yang perannya kurang berarti dalam proses
penyakit.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa definisi dari tetanus ?
1.2.2 Apa etiologi dari tetanus ?
1.2.3 Apa patofisiologi dari tetanus ?
1.2.4 Apa manifestasi klinis dari tetanus ?
1.2.5 Apa evaluasi diasnoktik dari tetanus ?
1.2.6 Bagaimana penatalaksanaan dari tetanus ?
1.2.7 Bagaimana askep dari tetanus ?
1.2.8 Bagaimana pencegahan primer,sekunder,tersier dari tetanus?
1.3 Tujuan
1.3.1 Umum
1.3.1.1 Untuk mengetahui tetanus asuhan keperawatan pada pasien tetanus.
1.3.2 Khusus
1.3.2.1 Mengetahui definisi dari tetanus.
1.3.2.2 Mengetahui etiologi dari tetanus.
1.3.2.3 Mengetahui patofisiologi dari tetanus.
1.3.2.4 Mengetahui manifestasi klinis dari tetanus.
1.3.2.5 Mengetahui evaluasi diasnoktik dari tetanus.
1.3.2.6 Mengetahui penatalaksanaan dari tetanus.
1.3.2.7 Mengetahui asuhan keperawatan dari tetanus.
1.3.2.8 Mengetahui pencegahan primer,sekunder,tersier dari tetanus.
1.4 Manfaat
Dari makalah ini diharapkan mahasiswa dan pembaca dapat memahami
pengertian dan asuhan keperawatan dari tetanus. Dan dapat mencegah terjadinya
penyakit tersebut. Mengetahui tanda dan gejala sehingga kita sebagai perawat mampu
bertindak sesuai dengan asuhan keperawatan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh toksin kuman
Clostridium tetani, dimanifestasikan dengan kejang otot secara paroksimal dan diikuti
kekuatan otot seluruh badan.Kekakuan tonus otot ini tampak pada otot master dan
otot-otot rangka (Hendarwanto cit Soeparman,1987).
Tetanus adalah penyakit akut yang disebabkan oleh clostridium tetani yang
dihasilkan oleh exsotoksin (Ns.Haryanto,S.Kep).
Tetanus adalah penyakit yang akut dan kadang fatal yang disebabkan oleh
neurotoksin(tetanospasmin) yang dihasilkan oleh clostridium tetani yang sporanya
masuk melalui luka (kamus kedokteran dorlan).
Tetanus adalah penyakit akibat infeksi luka oleh bakteri clostridium tetani
dengan gejala kejang-kejang(Ahmad A.K Miuda,kamus kedokteran).
Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut yang disebabkan oleh clostridium
tetani,pada kulit/luka.Tetanus merupakan manifes dari intoksikasi terutama pada
disfungsi neuromuscular,yang disebabkan oleh tetanospasmin, toksin yang dilepas
oleh clostridium tetani.Keadaan sakit diawali dengan terjadinya spasme yang kuat
pada otot rangka dan diikuti adanya kontraksi paroksismal.Kekakuan otot terjadi pada
rahang(lockjaw) dan leher pada awalnya,setelah itu akan masuk ke seluruh tubuh
(BrookI.,2000).
Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena
mempengaruhi sistem saraf dan otot.Kata tetanus di ambil dari bahasa Yunani yaitu
tetanos dari teitenin yang berarti menegang.Penyakit ini adalah penyakit infeksi di
mana spasme otot tonik dan hiperrefleksia menyebabkan trimus (lockjaw),spasme otot
umum,melengkungnya punggung (opistotonus),spasme glotal,kejang dan spasme dan
paralisis pernafasan.
Tetanus adalah gangguan neurologi yang ditandai dengan meningkatnya tonus
otot dan spasme,yang disebabkan oleh tetanospasmin,suatu toksin protein yang kuat
yang dihasilkan oleh clostridium tetani.Terdapat beberapa bentuk klinis tetanus
termasuk didalamnya tetanus neunatorum,tetanus generalisata dan gangguan
neurologis lokal (Gatoet Ismanoe,Ilmu Penyakit Dalam jilid 3 edisi 4,2006).
2.2 Etiologi
Penyakit tetanus disebabkan oleh kuman Clostridium Tetani. Kuman ini banyak
terdapat dalam kotoran hewan memamah biak seperti sapi,kuda dan lain-lain.Sehingga
luka yang tercemar dengan kotoran hewan banyak berbahaya bila kemasukan kuman
tetanus.Tusukan paku yang berkarat sering juga membawa clostridium tetani kedalam
luka lalu berkembang baik.Bayi yang baru lahir ketika tali pusarnya dipotong bila alat
pemotong yang kurang bersih dapat juga kemasukan kuman tetanus.
Clostrodium tetani merupakan basil berbentuk batang yang bersifat
anaerob,membentuk spora (tahan panas),gram-positif,mengeluarkan eksotoksin yang
bersifat neurotoksin(yang efeknya mengurangi aktivitas kendali SSP), patogenesis
bersimbiosis dengan mikroorganisme piogenik(pyogenic).
Basil ini banyak ditemukan pada kotoran kuda, usus kuda,dan tanah yang
dipupuk kotoran kuda.Penyakit tetanus banyak terdapat pada luka dalam,luka
tusuk,luka dengan jaringan mati(corpus alienum)karena merupakan kondisi yang baik
untuk proliferasi kuman anaerob.Luka dengan infeksi piogenik di mana bakteri
piogenik mengonsumsi eksogen pada luka sehingga suasana menjadi anaerob yang
penting bagi tumbuhnya basil tetanus.
2.3 Patofisiologi
Virus yang masuk dan berada dalam lingkungan aneorobit berubah menjadi
bentuk fegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toksindalam jaringan yang
anaerobit ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya
tekanan oksigen jaringan akibat adanya pus,nekrosis jaringan,garam kalsium yang
dapat diionisasi.Secara intra aksonal toksin disalurkan ke sel syaraf yang memakan
waktu sesuai dengan panjang aksonnya dan aktivitas serabutnya.Belum terdapat
perubahan elektrik dan fungsi sel syaraf walaupun toksin telah terkumpul dalam
sel.Dalam sumsum tulang belakang toksin menjalar dari sel syaraf lower motorneuron
keluksinafs dari spinal inhibitorineurin.Pada daerah inilah toksin menimbulkan
gangguan pada inhibitoritransmiter dan menimbulkan kekakuan.
Clostridium tetani harus bersimbiosis dengan organisme piogenik.Basil tetanus
tetap berada di daerah luka dan berkembang baik sedangkan eksotoksinnya beredar
mengikuti sirkulasi darah sehingga terjadi toksemia (toksemia murni tanpa disertai
bakteremia maupun sepsis).
Hipotesis cara bekerjanya toksin,yaitu pertama toksin diserap oleh ujung-ujung
syaraf motorik dan mencapai sel-sel kornu anterior medula spinalis,melalui axis
silinder (kemudianmenyebabkan kegiatan motorik seperti kejang).Kedua toksin
diangkut oleh aliran darah ke SSP,hal ini dapat dibuktikan dengan baik,ATS bereaksi
pada toksin yang hanya ada di darah.
2.4 Manifestasi Klinis
Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai
kejang yanghebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut awitan
penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik.
Manifestasi klinis pada tetanus ada 4 macam yaitu :
a. Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka
kematian dengan 1%.Gejalanya meliputi kekauan dan spesesme yang menetap
disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka.Tetanus luka yang
berkembang menjadi tetanus umum.
b. Tetanus sefalik
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inskubasi 1-2 hari,yang
disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis.Gejalanya berupa
trismus,disfagia,rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial.Tetanus sefal
jarang terjadi,dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya
biasanya jelek.
c. Tetanus umum
Bentuk tetanus yang sering ditemukan. Gejala klinis berupa
trimus,iritable,kekakuan leher,susah menelan,kekakuan dada dan perut
(opisthotonus), fleksi dan abduksi lengan serta ekstensi tungkai,rasa sakit dan
kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan
ringan seperti sinar,suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tepat baik.
d. Tetanus neonatorum
Tetanus pada bayi baru lahir,disebabkan adanya infeksi tali pusat,umumnya karena
tekhnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi
yang adekuat.Gejala yang sering timbul adalah ketidak kemampuan untuk
menetek, kelemahan,irritable, diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh
klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang
berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada
siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal,
ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi
jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia,
kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.
Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s :
a. Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia
tidak ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.
b. Derajat II (sedang)
Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan
disfagia ringan.
c. Derajat III (berat)
Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic spell, disfagia
berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi.
d. Derajat IV (sangat berat)
Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem
kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan
bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan
dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik.
Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka
derajat tetanus berat meliputi derajat III dan IV.
2.5 Evaluasi Diagnostik
2.6 Penatalaksanaan
1. Dasar
a. Memutuskan invasi toksin dengan antibiotik dan tindakan bedah.
a) Antibiotik
Penggunaan antibiotik ditujukan untuk memberantas kuman tetanus
bentuk vegetatif. Clostridium peka terhadap penisilin grup beta laktam
termasuk penisilin G, ampisilin, karbenisilin, tikarsilin, dan lain-lain.
Kuman tersebut juga peka terhadap klorampenikol, metronidazol,
aminoglikosida dan sefalosporin generasi ketiga.
Penisilin G dengan dosis 1 juta unit IV setiap 6 jam atau penisilin
prokain 1,2 juta 1 kali sehari.Penisilin G digunakan pada anak dengan dosis
100.000 unit/kgBB/hari IV selama 10-14 hari.Pemakaian ampisilin 150
mg/kg/hari dan kanamisin 15 mg/kgBB/hari digunakan bila diagnosis
tetanus belum ditegakkan, kemudian bila diagnosa sudah ditegakkan diganti
Penisilin G.
Rauscher(1995) menganjurkan pemberian metronidazole awal secara
loading dosis 15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 7,5 mg/kgBB selama 1
jam perinfus setiap 6 jam.Hal ini pemberian metronidazole secara bermakna
menunjukkan angka kematian yang rendah, perawatan di rumah sakit yang
pendek dan respon yang baik terhadap pengobatan tetanus sedang.Pada
penderita yang sensitif terhadap penisilin maka dapat digunakan tetrasiklin
dengan dosis 25-50 mg/kg/hari,dosis maksimal 2 gr/hari dibagi 4 dosis dan
diberikan secara peroral.
Bila terjadi pneumonia atau septikemia diberikan metisilin 200
mg/kgBB/hari selama 10 hari atau metisilin dengan dosis yang sama
ditambah gentamisin 5-7,5 mg/kgBB/hari.
b) Perawatan luka
Luka dibersihkan atau dilakukan debridemen terhadap benda asing
dan luka dibiarkan terbuka. Sebaiknya dilakukan setelah penderita
mendapat anti toksin dan sedasi. Pada tetanus neonatorum tali pusat
dibersihkan dengan betadine dan hidrogen peroksida, bila perlu dapat
dilakukan omphalektomi.
b. Netralisasi toksin
a) Anti tetanus serum
Dosis anti tetanus serum yang digunakan adalah 50.000-100.000
unit,setengah dosis diberikan secara IM dan setengahnya lagi diberikan
secara IV, sebelumnya dilakukan tes hipersensitifitas terlebih dahulu. Pada
tetanus neonatorum diberikan 10.000 unit IV.
Udwadia (1994) mengemukakan sebaiknya anti tetanus serum tidak
diberikan secara intrathekal karena dapat menyebabkan meningitis yang
berat karena terjadi iritasi meningen. Namun ada beberapa pendapat juga
untuk mengurangi reaksi pada meningen dengan pemberian ATS intratekal
dapat diberikan kortikosteroid IV, adapun dosis ATS yang disarankan 250-
500 IU.
b) Human Tetanus Immunuglobulin (HTIG)
Human tetanus imunoglobulin merupakan pengobatan utama pada
tetanus dengan dosis 3000-6000 unit secara IM, HTIG harus diberikan
sesegera mungkin. Kerr dan Spalding (1984) memberikan HTIG pada
neonatus sebanyak 500 IU IV dan 800-2000 IU intrathekal. Pemberian
intrathekal sangat efektif bila diberikan dalam 24 jam pertama setelah timbul
gejala.Namun penelitian yang dilakukan oleh Abrutyn dan Berlin (1991)
menyatakan pemberian immunoglobulin tetanus intratekal tidak memberikan
keuntungan karena kandungan fenol pada HTIG dapat menyebabkan kejang
bila diberikan secara intrathekal. Pemberian HTIG 500IU IV atau IM
mempunyai efektivitas yang sama.
Dosis HTIG masih belum dibakukan, Miles (1993) mengemukakan
dosis yang dapat diberikan adalah 30-300IU/kgBB IM, sedangkan Kerr
(1991) mengemukakan HTIG sebaiknya diberikan 1000 IU IV dan 2000 IU
IM untuk meningkatkan kadar antitoksin darah sebelum debridemen luka.
c. Menekan efek toksin pada SSP
a) Benzodiazepin
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering
digunakan.Obat ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan
pelemas otot yang kuat. Pada tingkat supraspinal mempunyai efek sedasi,
tidur, mengurangi ketakutan dan ketegangan fisik serta penenang dan pada
tingkat spinal menginhibisi refleks polisinaps. Efek samping dapat berupa
depresi pernafasan,terutama terjadi bila diberikan dalam dosis besar.Dosis
diazepam yang diberikanpada neonatus
adalah0,3-0,5mg/kgBB/kalipemberian.Udwadia(1994),pemberian diazepam
pada anak dan dewasa 5-20 mg 3 kali sehari, dan pada neonatus diberikan
0,1-0,3 mg/kgBB/kali pemberian IV setiap 2-4 jam. Pada tetanus ringan
obat dapat diberikan per oral, sedangkan tetanus lain sebaiknya diberikan
drip IV lambat selama 24 jam.
b) Barbiturat
Fenobarbital (kerja lama) diberikan secara IM dengan dosis 30 mg
untuk neonatus dan 100 mg untuk anak-anak tiap 8-12 jam, bila dosis
berlebihan dapat menyebabkan hipoksisa dan keracunan. Fenobarbital
intravena dapat diberikan segera dengan dosis 5 mg/kgBB, kemudian 1
mg/kgBB yang diberikan tiap 10 menit sampai otot perut relaksasi dan
spasme berkurang. Fenobarbital dapat diberikan bersama-sama diazepam
dengan dosis 10 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis melalui selang nasogastrik.
c) Fenotiazin
Klorpromazin diberikan dengan dosis 50 mg IM 4 kali sehari (dewasa), 25
mg IM 4 kali sehari (anak), 12,5 mg IM 4 kali sehari untuk neonatus.
Fenotiazin tidak dibenarkan diberikan secara IV karena dapat menyebabkan
syok terlebih pada penderita dengan tekanan darah yang labil atau hipotensi.
b. Umum
Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang
pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal. Pemberian cairan dan
elektrolit serta nutrisi harus diperhatikan. Pada tetanus neonatorum, letakkan
penderita di bawah penghangat dengan suhu 36,2-36,5oC (36-37oC), infus IV
glukosa 10% dan elektrolit 100-125 ml/kgBB/hari. Pemberian makanan dibatasi 50
ml/kgBB/hari berupa ASI atau 120 kal/kgBB/hari dan dinaikkan bertahap. Aspirasi
lambung harus dilakukan untuk melihat tanda bahaya. Pemberian oksigen melalui
kateter hidung dan isap lendir dari hidung dan mulut harus dikerjakan.
Trakheostomi dilakukan bila saluran nafas atas mengalami obstruksi oleh
spasme atau sekret yang tidak dapat hilang oleh pengisapan. Trakheostomi
dilakukan pada bayi lebih dari 2 bulan. Pada tetanus neonatorum, sebaiknya
dilakukan intubasi endotrakhea.
Bantuan ventilator diberikan pada :
1. Semua penderita dengan tetanus derajat IV.
2. Penderita dengan tetanus derajat III dimana spasme tidak terkendali dengan
terapi konservatif dan PaO2.
3. Terjadi komplikasi yang serius seperti atelektasis, pneumonia dan lain-lain.
c. Pembedahan
a) Problema pernafasan:trakeostomi (k/p) dipertahankan beberapa
minggu:instubasi trakeostomi atau laringostomi untuk bantuan nafas.
b) Debridemen atau amputasi pada lokasi infeksi yang tidak terdeteksi.
2.7 Pencegahan pada Tetanus
Pencegahan penyakit tetanus meliputi :
1. Anak mendapatkan imunisasi DPT diusia 3-11 bulan.
2. Ibu hamil mendapatkan suntikan TT minimal 2x.
3. Pencegahan terjadinya luka dan merawat luka secara adekuat.
4. Pemberian anti tetanus serum.
2.8 Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama,
pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan,
dan penanggung biaya.
2. Keluhan Utama
Panas badan tinggi
Kejang
Penurunan tingkat kesadaran.
3. Riwayat Penyakit Saat Ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk mengetahui
predisposisi penyebab sumber luka. Di sini harus ditanya dengan jelas tentang
gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah
buruk. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian
lebih dalam, bagaimana sifat timbulnya kejang, stimulus apa yang sering
menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah diberikan dalam upaya
menurunkan keluhan kejang tersebut.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan
dengan toksin tetanus yang menginflamasi jaringan otak. Keluhan perubahan
perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit dapat terjadi
letargi, tidak responsif, dan koma.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau adanya predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkah klien mengalami tubuh terluka dan luka tusuk yang dalam misalnya
tertusuk paku, pecahan kaca, terkena kaleng, atau luka yang menjadi kotor;
karena terjatuh di tempat yang kotor dan terluka atau kecelakaan dan timbul
luka yang tertutup debu/kotoran juga luka bakar dan patah tulang terbuka.
Adakah porte d’ entree lainnya seperti luka gores yang ringan kemudian
menjadi bernanah dan gigi berlubang dikorek dengan benda kotor.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Secara patologi tetanus tidak diturunkan karena tidak adanya peran
herediter dilhat dari penyebab tetanus itu sendiri. Perawat perlu menanyakan
apakah penyakit ini pernah dialami oleh anggota keluarga lainnya.
6. Pemeriksaan Fisik (ROS : Review of System)
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan
fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pada klien tetanus biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari
normal 38-40oC. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi
dan toksin tetanus yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh.
Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan penurunan perfusi jaringan otak.
Apabila disertai dengan peningkatan frekuensi pernafasan sering berhubungan
dengan peninglatan laju metabolisme umum. TD biasanya normal.
B1 (Breathing)
a. Inspeksi
1. Batuk
2. Produksi sputum
3. Sesak nafas
4. Penggunaan otot bantu nafas
5. Peningkatan frekuensi pernafasan
b. Palpasi thorak
1. Taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
c. Auskultasi
1. Ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi secret
2. Kemampuan batuk yang menurun.
B2 (Blood)
a. Syok hipovolemik
b. TD biasanya normal
c. Peningkatan heart rate
d. Adanya anemis karena hancurnya eritrosit.
B3 (Brain)
a. compos mentis
b. Penurunan pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien
sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai
tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitorng pemberian
asuhan.
Fugsi serebri
a. Status mental: observasi penampilan klien dengan tingkah lakunya.
b. Nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik
yang pada klien tetanus tahap lanjut biasanya status mental klien
mengalami perubahan.
Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I. Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan dan fungsi penciuman
tidak ada kelainan.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, VI. Dengan alasan yang tidak diketahui, klien tetanus mengeluh
mengalami fotofobia atau sensitif yang berlebihan terhadap cahaya. Respons
kejang umum akibat stimulus rangsang cahaya perlu diperhatikan perawat
untuk memberikan intervensi menurunkan stimulasi cahaya tersebut.
Saraf V. Reflek masester meningkat. Mulut mencucu seperti mulut ikan (ini
adalah gejala khas dari tetanus)
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran membuka mulut
(trismus)
Saraf XI. Didapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang dan leher
(mendadak).
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi, dan indra
pengecapan normal.
Sistem motorik
a. Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan.
b. Koordinasi pada tetanus tahap lanjut mengalami perubahan.
Pemeriksaan refleks
a. Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, atau
periosteum derajat refleks pada respons normal.
Gerakan involunter
a. Tidak ditemukan adanya tremor, Tic, dan distonia.
b. Kejang umum terutama pada anak dengan tetanus disertai peningkatan
suhu tubuh yang tinggi. Kejang berhubungan sekunder akibat area fokal
kortikal yang peka.
Sistem sensorik
a. Perasaan raba normal.
b. Perasaan nyeri normal.
c. Perasaan suhu normal, idak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh..
d. Perasaan proprioseptif normal dan perasaan diskriminatif normal.
B4 (Bladder)
a. Penurunan volume haluaran urine berhubungan dengan penurunan perfusi
dan penurunan curah jantung ke ginjal.
b. Adanya retensi urine karena kejang umum. Pada klien yang sering kejang
sebaiknya pengeluaran urine dengan menggunakan kateter.
B5 (Bowel)
a. Mual sampai muntah dihubungkan dengan penigkatan produksi asam
lambung.
b. Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menurun karena anoreksia dan
adanya kejang, kaku dinding perut (perut papan) merupakan tanda khas
pada tetanus.
c. Adanya spsme otot menyebabkan kesulitan BAB.
B6 (Bone)
a. Adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien.
b. Menurunkan aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila klien mengalami
patah tulang terbuka yang memungkinkan port d’ entree kuman
Clostridium tetani, sehingga memerlukan perawatan luka yang optimal.
Adanya kejang memberikan risiko pada fraktur vertebra pada bayi,
ketegangan, dan spasme otot pada abdomen.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan
sputum pada trakea dan spame otot pernafasan.
2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat
spasme otot-otot pernafasan.
3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efek toksin
(bakterimia).
4. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan
otot pengunyah.
5. Risiko terjadi cedera berhubungan dengan sering kejang.
6. Risiko terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
intake yang kurang dan oliguria.
7. Hubungan interpersonal terganggu berhubungan dengan kesulitan bicara.
8. Gangguan pemenuhan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kondisi
lemah dan sering kejang.
9. Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit tetanus dan
penanggulangannya berhbungan dengan kurangnya informasi.
10. Kurangnya kebutuhan istirahat berhubungan dengan seringnya kejang.
C. Intervensi Keperawatan
1. Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum
pada trakea dan spame otot pernafasan.
Tujuan : Jalan nafas efektif
Kriteria Hasil :
- Klien tidak sesak, lendir atau sleam tidak ada
- Pernafasan 16-18 kali/menit
- Tidak ada pernafasan cuping hidung
- Tidak ada tambahan otot pernafasan
- Hasil pemeriksaan laboratorium darah analisa gas darah dalam batas normal
(pH = 7,35-7,45 ; PCO2 = 35-45 mmHg, PO2 = 80-100 mmHg)
Intervensi Rasional
Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi
kepala ekstensi
Secara anatomi posisi kepala ekstensi
merupakan cara untuk meluruskan rongga
pernafasan sehingga proses respiransi tetap
berjalan lancar dengan menyingkirkan
pembuntuan jalan nafas.
Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi
mendengarkan suara nafas (adakah ronchi)
tiap 2-4 jam sekali
Ronchi menunjukkan adanya gangguan
pernafasan akibat atas cairan atau sekret yang
menutupi sebagian dari saluran pernafasan
sehingga perlu dikeluarkan untuk
mengoptimalkan jalan nafas.
Bersihkan mulut dan saluran nafas dari
sekret dan lendir dengan melakukan suction
Suction merupakan tindakan bantuan untuk
mengeluarkan sekret, sehingga mempermudah
proses respirasi
Oksigenasi Pemberian oksigen secara adequat dapat
mensuplai dan memberikan cadangan oksigen,
sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya
gangguan nafas disertai dengan kerja jantung
yang menurun timbul takikardia dan capilary
refill time yang memanjang/lama.
Observasi timbulnya gagal nafas. Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi
diperlukan intervensi yang kritis dengan
menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical
ventilation)
Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer
sekresi(mukolitik)
Obat mukolitik dapat mengencerkan sekret
yang kental sehingga mempermudah
pengeluaran dan memcegah kekentalan
2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme
otot-otot pernafasan.
Tujuan : Pola nafas teratur dan normal
Kriteria Hasil :
- Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuahn oksigen
- Tidak sesak, pernafasan normal 16-18 kali/menit
- Tidak sianosis.
Intervensi Rasional
Monitor irama pernafasan dan respirati rate Indikasi adanya penyimpangan atau kelaianan
dari pernafasan dapat dilihat dari frekuensi,
jenis pernafasan,kemampuan dan irama nafas.
. Atur posisi luruskan jalan nafas. Jalan nafas yang longgar dan tidak ada
sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan
lancar.
Observasi tanda dan gejala sianosis Sianosis merupakan salah satu tanda
manifestasi ketidakadekuatan suply O2 pada
jaringan tubuh perifer
. Oksigenasi Pemberian oksigen secara adequat dapat
mensuplai dan memberikan cadangan oksigen,
sehingga mencegah terjadinya hipoksia
Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya
gangguan nafas disertai dengan kerja jantung
yang menurun timbul takikardia dan capilary
refill time yang memanjang/lama.
Observasi timbulnya gagal nafas. Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi
diperlukan intervensi yang kritis dengan
menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical
ventilation).
Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas
darah.
Kompensasi tubuh terhadap gangguan proses
difusi dan perfusi jaringan dapat
3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin
(bakterimia).
Tujuan : suhu tubuh normal
Kriteria : 36-37oC, hasil lab. sel darah putih (leukosit) antara 5.000-10.000/mm3
Intervensi Rasional
Atur suhu lingkungan yang nyaman. Iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi
dan suhu tubuh individu sebagai suatu proses
adaptasi melalui proses evaporasi dan konveksi.
Pantau suhu tubuh tiap 2 jam Identifikasi perkembangan gejala-gajala ke arah
syok exhaustion
Berikan hidrasi atau minum ysng cukup
adequate
Cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan
merupakan kompresi badan dari dalam
Lakukan tindakan teknik aseptik dan
antiseptik pada perawatan luka.
Perawatan lukan mengeleminasi kemungkinan
toksin yang masih berada disekitar luka.
Berikan kompres dingin bila tidak terjadi
ekternal rangsangan kejang.
Kompres dingin merupakan salah satu cara untuk
menurunkan suhu tubuh dengan cara proses
konduksi.
Laksanakan program pengobatan antibiotik
dan antipieretik
Obat-obat antibakterial dapat mempunyai
spektrum lluas untuk mengobati bakteeerria gram
positif atau bakteria gram negatif. Antipieretik
bekerja sebagai proses termoregulasi untuk
mengantisipasi panas.
Kolaboratif dalam pemeriksaan lab
leukosit.
Hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih
dari 10.000 /mm3 mengindikasikan adanya
infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan
pengobatan yang diprogramkan
4. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot
pengunyah.
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil :
- BB optimal
- Intake adekuat
- Hasil pemeriksaan albumin 3,5-5 mg %
Intervensi Rasional
Jelaskan faktor yang mempengaruhi
kesulitan dalam makan dan pentingnya
makanabagi tubuh
Dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan
dari otot pengunyah sehingga klien mengalami
kesulitan menelan dan kadang timbul refflek
balik atau kesedak. Dengan tingkat pengetahuan
yang adequat diharapkan klien dapat
berpartsipatif dan kooperatif dalam program diit.
Kolaboratif :
Pemberian diit TKTP cair, lunak atau bubur
kasar.
Pemberian carian per IV line
Pemasangan NGT bila perlu
Diit yang diberikan sesuai dengan keadaan klien
dari tingkat membuka mulut dan proses
mengunyah.
Pemberian cairan perinfus diberikan pada klien
dengan ketidakmampuan mengunyak atau tidak
bisa makan lewat mulut sehingga kebutuhan
nutrisi terpenuhi.
NGT dapat berfungsi sebagai masuknya
makanan juga untuk memberikan obat
5. Risiko terjadi cedera berhubungan dengan sering kejang.
Tujuan : cedera tidak terjadi
Kriteria Hasil :
- Klien tidak ada cedera
- Tidur dengan tempat tidur yang terpasang pengaman
Intervensi Rasional
Identifikasi dan hindari faktor pencetus Menghindari kemungkinan terjadinya cedera
akibat dari stimulus kejang
Tempatkan pasien pada tempat tidur pada Menurunkan kemungkinan adanya trauma jika
pasien yang memakai pengaman terjadi kejang
Sediakan disamping tempat tidur tongue
spatel
Antisipasi dini pertolongan kejang akan
mengurangi resiko yang dapat memperberat
kondisi klien
Lindungi pasien pada saat kejang Mencegah terjadinya benturan/trauma yang
memungkinkan terjadinya cedera fisik
Catat penyebab mulai terjadinya kejang Pendokumentasian yang akurat, memudah-kan
pengontrolan dan identifikasi kejang
6. Risiko terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
intake yang kurang dan oliguria.
Tujuan : klien tidak memperlihatkan kekurangan velume cairan yang dengan.
Kriteria Hasil:
- Membran mukosa lembab
- Turgor kulit baik
Intervensi Rasional
Kaji intake dan out put setiap 24 jam Memberikan informasi tentang status cairan
/volume sirkulasi dan kebutuhan penggantian
Kaji tanda-tanda dehidrasi, membran
mukosa, dan turgor kulit setiap 24 jam
Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan
hidrasi seluler
Berikan dan pertahankan intake oral dan
parenteral sesuai indikasi ( infus 12 tts/m,
NGT 40 cc/4 jam) dan disesuaikan dengan
perkembangan kondisi pasien
Mempertahankan kebutuhan cairan tubuh
Monitor berat jenis urine dan
pengeluarannya
Mempertahankan intake nutrisi untuk kebutuhan
tubuh
Pertahankan kepatenan NGT Penurunan keluaran urine pekat dan peningkatan
berat jenis urine diduga dehidrasi/ peningkatan
kebutuhan cairan
D. Evaluasi
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data
subyektif dan obyektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan
keperawatan sudah dicapai atau belum. Bila perlu langkah evaluasi ini merupakan
langkah awal dari identifikasi dan analisa masalah selanjutnya ( Santosa.NI,
1989;162).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan oleh toksin kuman Clostridium
tetani,dimanifestasikan dengan kejang otot secara paroksimal dan diikuti kekuatan
otot seluruh badan.Kekakuan tonus otot ini tampak pada otot master dan otot-otot
rangka (Hendarwanto cit Soeparman,1987).
2. Penyakit tetanus disebabkan oleh kuman Clostridium Tetani. Kuman ini banyak
terdapat dalam kotoran hewan memamah biak seperti sapi,kuda dan lain-lain.
3. Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai
kejang yanghebat.
4. Penatalaksanaannya dengan, memutuskan invasi toksin dengan antibiotik,
netralisasi toksin (anti tetanus serum, HTIG), menekan efek toksin pada SSP
(benzodiazepine, barbiturate, fenotiazin) dan pembedahan.
5. Pencegahan penyakit tetanus meliputi :
a. Anak mendapatkan imunisasi DPT diusia 3-11 bulan.
b. Ibu hamil mendapatkan suntikan TT minimal 2x.
c. Pencegahan terjadinya luka dan merawat luka secara adekuat.
d. Pemberian anti tetanus serum.
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
Agus. 2010. Asuhan Keperawatan pada Tetanus.
http://pastakyu.wordpress.com/2010/01/21/asuhan-keperawatan-pada-tetanus/.
Diakses tanggal 19 Oktober 2012 Pukul 13.04 WIB
B.Batticaca, Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika
Ridzwan. 2010. Tetanus.http:// tetanus .blogspot.com . Diakses pada tanggal 30 Oktober
2012 Pukul 21.45 WIB
Rizfalda.2011.Tetanus.http:// tetanus. medicastore.com . Diakses pada tanggal 25 Oktober
2012 Pukul 09.23 WIB
Sudoyo,Aru. 2006. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Jakarta Pusat: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Wahyu, Kadek. 2012. AskepTetanus. http://sixxmee.blogspot.com/2012/03/askep-
tetanus.html . Diakses tanggan 19 Oktober 2012 Pukul 13.07 WIB