Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Bab 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Aristoteles (384-322 SM) dan Smith (1723-1790) adalah tokoh yang memiliki historis
yang amat jauh dengan kita. Bahkan, di antara keduanya terdapat jarak waktu yang
sangat berbeda. Namun demikian, keduanya menjelaskan hal yang sama. Ekonomi
adalah kegiatan manusia yang melibatkan banyak orang dalam menggunakan
sumberdaya yang langka dan memiliki beberapa alternatif penggunaan, dalam rangka
memproduksi berbagai komoditi untuk menyalurkannya.
Ekonomi secara garis besar mencakup tiga aspek di atas, yaitu produksi,
konsumsi, dan distribusi. Ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan integral untuk
mewujudkan kesejahteraan kehidupan. Kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi
harus menuju pada satu tujuan yang sama, yaitu mencapai kesejahteraan yang
maksimum bagi umat manusia.
Inti ekonomi menurut Quesnay (1694-1774) adalah produksi. Tanpa produksi,
ekonomi masyarakat menjadi mati dan masyarakat tersebut tidak dapat
mengorganisasikan dirinya ke dalam masyarakat ekonomis (Zainun 2008, hal. 21).
Friedman –sebagaiamana dikutip oleh Chapra- menyatakan untuk mengadakan
alokasi sumber daya secara efisien dan pendistribusiannya secara merata, maka hal
fundamental adalah menjawab apa, bagaimana, dan untuk siapa melakukan produksi
(2000, hal. 4).
1
Ini menunjukkan berapa jumlah barang dan jasa yang harus diproduksi, siapa
yang akan memproduksinya, dengan kombinasi sumber-sumber daya apa saja dan
dengan teknologi yang bagaimana serta siapakah yang akan menikmati barang dan jasa
yang diproduksi itu.
Di antara kegiatan ekonomi yang memberi perhatian utama pada kegiatan
produksi yang melibatkan banyak orang, kaum fisiokratis memandang pertanian sebagai
salah satu model bagi kegiatan produksi. Hal ini terutama karena tujuan dasar dari
kegiatan pertanian adalah mengolah tanah, menanam benih, dan memetik hasil
pertanian. Seluruh kegiatan ini disebut produktif. Selain itu, produktivitas dalam dunia
pertanian menguntungkan (Zainun 2008, hal. 21).
Oleh karena itu, para fisiokratis berpendapat bahwa keuntungan merupakan
kunci utama kegiatan bisnis dan ia bukanlah usaha yang subsisten yang sekadar
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dan sudah semestinya, kegiatan
produksi dilakukan secara efisien dan adil sehingga sumber daya yang tersedia bisa
mencukupi kebutuhan seluruh umat manusia.
Kapitalisme, misalnya menganggap ekspansi kekayaan yang dipercepat dan
produksi yang maksimal serta pemenuhan “keinginan” menurut preferensi individual
sebagai sangat esensial bagi kesejahteraan manusia (Chapra 2000, hal. 18).
Mill (1806-1873) menambahkan, kesejahteraan suatu bangsa tidak ditandai oleh
pemenuhan kebutuhan fisik sesaat, melainkan oleh kontinuitas produksi sehingga setiap
permintaan akan produk harus dijamin melalui keinginan sang kapitalis dan sang
pekerja, yang menjamin jalannya roda produksi dan uang. Maka, kemampuan produksi
merupakan mesin yang mendorong terciptanya kemakmuran (On Liberty, London:
Penguin Books, 1974).
2
Konsumsi dalam teori Maslow tidak bisa dipisahkan dari asumsi bahwa manusia
memiliki kepentingan atas dua barang. Namun, keberadaan suatu asumsi tidak bisa
dipisahkan dari pengaruh pemikiran masyarakat mengenai kebutuhan barang dan
kegiatan sosial atau keagamaan dimana asumsi itu dibangun (Sudarsono 2007, hal. 184).
Dalam kaitannya, teori ekonomi kepuasan seseorang dalam mengkonsumsi suatu
barang dinamakan utility atau nilai guna. Kalau kepuasan semakin tinggi semakin tinggi
pula nilai gunanya. Sebaliknya, bila kepuasan semakin rendah maka semakin rendah
pula nilai gunanya (Ibid, hal. 168). Kepuasan dalam terminologi Maslow ini bisa
dimaknai bahwa sesuatu yang terjadi bila terpenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat
fisik.
Teori nilai guna adalah teori yang lebih dahulu dikembangkan di dalam
menerangkan individu di dalam melakukan pemilihan barang-barang yang akan dibeli
dan dikonsumsi. Analisis ini memberikan gambaran secara jelas tentang prinsip
pemaksimum kepuasan yang dilakukan orang berpikir secara rasional dalam memilih
jenis barang yang akan dibeli dan dikonsumsi. Tetapi, dari kenyataan teori ini terdapat
kelemahannya; karena kepuasan tidak dapat dihitung dengan angka-angka, kepuasan
adalah sesuatu yang relatif oleh karena itu tidak mudah diukur.
Selain itu, kepuasan manusia dalam memiliki barang lebih banyak dipengaruhi
beragam keinginan. Beragamnya keinginan dipengaruhi berbagai preferensi; misalnya
pengaruh media, lingkungan, sehingga rasa kepuasan setiap orang tidak dapat
disamaratakan karena ukuran pun tidak rata. Oleh karena itu, teori nilai guna kurang
mewakili untuk digunakan sebagai pengukur tingkat kepuasan (Khan 1992, 172-176).
Utilitarianisme yang diperkuat oleh materialisme, telah menyediakan rasional
logis bagi nafsu mencari kekayaan dan kenikmatan jasmaniah, ia melihat konsumsi
3
sebagai tujuan tertinggi dari kehidupan ekonomi, sumber utama “kebahagiaan Bentamit,
justifikasi tertinggi bagi semua usaha dan kerja manusia”. Ia juga memandang upaya
memaksimalkan penghasilan dan pemenuhan kebutuhan sebagai kebaikan tertinggi
(Chapra 2000, hal. 28).
Oleh karena itu, konsumsi harus berorientasi kepada kesejahteraan maksimum
sehingga tetap menjaga keseimbangan kebutuhan antarindividu dan keseimbangan
antaraspek kehidupan.
Kaum fisiokratis memandang distribusi mengandung dua dimensi, pertama
dimensi ekonomi dan kedua dimensi sosial. Dimensi ekonomi meliputi kegiatan
penjualan hasil pertanian di pasar. Keuntungan yang diperoleh di pasar memberi
jaminan bagi keberlangsungan kegiatan produksi pertanian itu sendiri. Jadi, distribusi
pertanian dalam pengertian fisiokratis berarti distribusi di pasar. Pandangan di atas
terdapat kesamaan dengan kaum merkantilis yang menyatakan pasar merupakan ruang
bagi distribusi barang dari satu orang kepada orang yang lain (Zainun 2008, hal. 22).
Adapun yang dimaksud dengan distribusi mengandung dimensi sosial, yaitu
distribusi yang menyangkut bagaimana hasil produksi pertanian di-sharing-kan dengan
banyak orang dalam suatu masyarakat. Distribusi sumber daya dan output harus
dilakukan secara adil dan merata sehingga memungkinkan setiap individu untuk
memiliki peluang mewujudkan kesejahteraan bagi kehidupannya.
Dalam istilah Sismonde (1773-1842) –sebagaimana dikutip oleh Zainun-
kesejahteraan bersama sebagai tujuan ekonomi. Sismonde menunjukkan, bahwa
ekonomi sosial merupakan suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada prinsip
kesejahteraan bersama, di atasnya, produksi barang dan layanan dapat ditangani
4
sedemikian rupa sehingga kesejahteraan dan kemakmuran manusia dapat dimaksimalkan
(2008, hal. 105).
Dalam pemikiran ekonomi sosial, kesejahteraan bersama diartikan sama dengan
kepentingan bersama anggota masyarakat. Secara lebih operasional, tugas ekonomi
sosial adalah memberi kesempatan kepada setiap anggota masyarakat untuk
merealisasikan kepentingan bersama, sehingga kebutuhan dasarnya sebagai anggota
masyarakat terpenuhi.
Dalam konteks terpenuhinya kebutuhan dasar, manusia yang lahir ke muka bumi
dibekali dengan kekuatan jasmani dan rohani serta dilengkapi perasaan, akal, dan naluri.
Kedua komponen jasmani dan rohani ini memerlukan kebutuhan yang harus dipenuhi.
Komponen jasmani memerlukan kebutuhan jasmani atau kebutuhan tubuh yang
berwujud, seperti makan, minum, pakaian, rumah, dan sebagainya. Begitu pula
komponen rohani memerlukan kebutuhan berupa ketenangan, kesenangan, dan
kenikmatan, seperti pendidikan, agama, siraman rohani, dan rekreasi. Kebutuhan
jasmani dan rohani tersebut harus dipenuhi agar hidup manusia dapat berlangsung
dengan baik dan bahagia.
Muthahhari menyatakan potret manusia sebagai makhluk material dan spiritual
dengan dimensi tersendiri. Di dalam diri manusia terdapat unsur lain yang mampu
menuntun mereka ke arah pemahaman terhadap diri dan alam mereka, sedang makhluk-
makhluk lain tidak memilikinya. Potensi gaib ini disebut sebagai ‘akal pikiran’ (1995,
hal. 125).
Lebih lanjut Muthahhari mengatakan, berkenaan dengan hasrat-hasrat yang
menguasainya, manusia dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan alam seperti halnya
makhluk yang lain. Kebutuhan untuk makan, istirahat, tidur dan melakukan hubungan
5
seksual, menarik mereka ke alam material. Tetapi, ada pesona-pesona lain yang
memandu mereka ke arah tujuan-tujuan nonmateri yang tak berbobot dan tak pula
bersubstansi, yang tak mungkin diukur dengan alat ukur duniawi (1995, hal. 126).
Kebutuhan1 berasal dari akar kata butuh yang mempunyai makna sangat perlu
menggunakan, memerlukan. Kebutuhan berarti sesuatu yang dibutuhkan baik dalam
individu maupun kelompok.
Makna kebutuhan berbeda dengan makna keinginan. Jika kebutuhan
didefinisikan dengan sesuatu yang sangat dibutuhkan, maka keinginan mempunyai
makna hasrat, hendak, mau, menginginkan, mengharapkan, menghendaki. Keinginan
berarti barang yang diingini, perihal ingin: hasrat, kehendak dan harapan (Muthahhari
1995, hal. 379).
Arti dan makna kedua kata di atas menunjukkan adanya perbedaan mendasar
antar keduanya. Jika kebutuhan diartikan dan didefinisikan sebagai sesuatu yang
dibutuhkan dan penting dalam kehidupan. Maka, keinginan lebih mengarah kepada
perihal hasrat dan keinginan belaka.
Oleh karena itu, Amalia memisahkan antara wants dan needs. Di mana keduanya
berasal dari tempat yang sama, yaitu naluri hasrta manusia. Namun, seluruh hasrat
manusia tidak bisa dijadikan sebagai needs atau kebutuhan. Hanya hasrat yang memiliki
manfaat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang bisa dijadikan sebagai
kebutuhan (2005, hal. 213).
Hal ini sangat memperjelas arti dan makna mengenai kebutuhan dan keinginan
itu sendiri. Di satu sisi keduanya dapat dilihat memiliki arti yang sama, namun dari sisi
Makna keduanya sangat kontradiktif da berbeda secara subtansi.-----------------------------1 Lihat kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan,Depdikbud: Balai Pustaka, Edisi kedua 1996, hal. 161
6
Meskipun kebutuhan manusia tampak mungkin tidak dapat dipenuhi. Namun,
menurut Keynes –sebagaiamana dikutip oleh Chapra- mereka dapat digolongkan ke
dalam dua kelas, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang mutlak harus dipenuhi dalam situasi
apa pun dan kapan pun, dan kebutuhan-kebutuhan yang relatif dalam arti pemenuhannya
akan mengangkat seseorang ke atas, membuat seseorang merasa superior terhadap teman
sejawat. Kebutuhan golongan dua yang memenuhi keinginan superioritas, mungkin
dapat dipenuhi, karena semakin tinggi derajat umum, semakin tinggi pula mereka. Ini
tidak berlaku bagi kebutuhan mutlak.
Keynes mengklasifikasikan kebutuhan manusia ke dalam dua bentuk, pertama
kebutuhan mutlak dan kedua kebutuhan relatif. Keduanya harus dipenuhi manusia.
Hal di atas senada dengan paham rasionalisme yang dipelopori oleh Descarles
yang menyatakan dengan tegas bahwa manusia itu terdiri dari jasmaninya dengan
keluasannya (extensio), serta budi dengan kesadarannya (Sudarsono 2001, hal. 239).
Komponen jasmani dan rohani akan terus berkembang sesuai pertambahan umur
manusia. Semakin bertambah umur manusia, semakin banyak dan beragam
kebutuhannya akan komponen jasmani dan rohani.
Berbeda dengan paham materialisme menyatakan bahwa, yang nyata hanyalah
materi. Paham ini didukung oleh Feuerbach (1804-1872), dan Marx (1818-1883).
Menurut Feuerbach –sebagaimana dikutip oleh Hadiwijono- hanya alamlah yang berada.
Oleh karena itu, manusia adalah makhluk alamiah. Segala usahanya didorong oleh nafsu
alamiyahnya, yaitu dorongan untuk hidup. Yang terpenting pada manusia bukan
akalnya, tetapi usahanya, sebab pengetahuan hanyalah alat untuk menjadikan segala
manusia berhasil yang pada akhirnya kebahagiaan manusia dapat dicapai di dalam dunia
ini. Oleh karena itu, agama dan metafisika harus ditolak (tt. hal. 117).
7
Paham ini menjelaskan bahwa, kebutuhan ataupun keinginanlah yang membuat
alasan manusia untuk melakukan aktivitas ekonomi. Hal tersebut dilakukan demi
kelangsungan hidup manusia. Kegiatan aktivitas ekonomi disimbolkan dengan usaha. Di
sini Feuerbach dan Marx memberi suatu rumusan tentang kesejahteraan dan
kebahagiaan, dengan cara berusaha secara optimal. Dengan cara itu, semua yang
diinginkan manusia dapat dicapai. Tatkala kebutuhan dan keinginan tersebut dicapai,
pada saat itu manusia berada dalam tingkat yang paling tinggi yaitu sejahtera.
Pada dasarnya manusia berusaha, bekerja, dan beraktivitas di sini mempunyai
tujuan tertentu, yaitu dalam rangka memenuhi kebutuhan. Karena, kebutuhan tidak
terlepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Semasa hidup, manusia membutuhkan
berbagai macam kebutuhan, seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, agama,
dan kesehatan. Kebutuhan adalah salah satu aspek psikologis yang menggerakkan
mahluk hidup dalam aktivitas-aktivitasnya dan menjadi dasar dan alasan berusaha.
Kebutuhan-kebutuhan manusia terdiri atas dua bagian, kebutuhan-kebutuhan
alamiah atau fitriah dan bukan alamiah. Kebutuhan-kebutuhan alamiah atau fitriah ialah
hal-hal yang dibutuhkan oleh manusia sebagai manusia, dan sampai saat ini belum dapat
diketahui rahasianya. Adapun kebutuhan yang bukan alamiah, yakni kebiasaan-
kebiasaan atau adat istiadat yang dilakukan oleh kebanyakan manusia, akan tetapi
mereka memiliki kemampuan untuk melepaskan diri daripadanya atau menggantikannya
dengan yang lain (Muthahhari 1995, hal. 42).
Dalam perkembangannya, kebutuhan sangat dipengaruhi oleh kebudayaan,
lingkungan, waktu, dan agama. Semakin tinggi tingkat kebudayaan suatu masyarakat,
semakin tinggi dan banyak pula macam kebutuhan yang harus dipenuhi. Oleh karena itu,
dapat diidentifikasikan bahwa manusia memiliki berbagai tingkat kebutuhan.
8
http://id.wikipedia.org/wiki/Psikologi
Sejalan dengan pandangan Montagu –sebagaimana dikutip oleh Suriasumantri-,
kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya
(2005, hal. 261).
Setiap manusia berusaha memenuhi kebutuhannya, namun tidak semua
kebutuhan dapat dipenuhi. Pemenuhan kebutuhan tergantung dari kemampuan dan usaha
masing-masing dan faktor lainnya yang mempengaruhi keinginan manusia dalam
memenuhi kebutuhannya.
Hasrat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disebut manusia sebagai
makhluk ekonomi (homo economicus). Dengan hasrat itu, manusia terus berusaha
dengan berbagai cara dan upaya agar terpenuhi kebutuhannya. Homo yang artinya
manusia, dan economicus yang berarti hidup menurut kepentingan diri sendiri. Manusia
sebagai makhluk ekonomi (homo economicus), berarti manusia dalam usahanya mencari
dan memperoleh kemakmuran selalu ingin melepaskan diri dari moral dan bertindak
sebagai makhluk ekonomi saja.
Dalam memenuhi kebutuhan, perlu diperhatikan dan dihayati bahwa manusia
tidak hidup sendirian, melainkan masih ada manusia lain di sekelilingnya yang sama-
sama ingin memenuhi kebutuhannya. Selain itu, manusia tidak dapat melakukannya
sendiri, namun memerlukan bantuan orang lain. Hasrat manusia memerlukan bantuan
orang lain disebut manusia sebagai makhluk sosial (homo socius).
Istilah homo economicus pertama kali dicetuskan oleh Smith dalam buku
pertamanya tahun 1759 (The Theory of Moral Sentiments) –sebagaimana dikutip oleh
Mubyarto- menyatakan bahwa, manusia adalah homo socius dan homo ethicus. Baru
pada buku keduanya disebut bahwa manusia adalah homo economicus. Yang dimaksud
dengan homo economicus adalah perlunya setiap manusia diberi kebebasan berusaha
9
secara individu untuk memenuhi kebutuhan sampai memperoleh kemakmuran. Jika
setiap individu memperoleh kemakmuran maka negara (masyarakat) akan makmur
((2005, (www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id, 28 Januari 2010)).
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang diberikan akal, manusia adalah makhluk
sosial dan makhluk ekonomi yang bermoral. Dengan demikian, dalam setiap
tindakannya, manusia harus memerhatikan nilai-nilai agama, norma-norma sosial, serta
memerhatikan kelestarian lingkungan. Untuk memenuhi kebutuhannya, manusia sebagai
makhluk ekonomi perlu melakukan tindakan ekonomi. Tindakan ekonomi yang
dilakukan harus berdasarkan atas motif ekonomi dan prinsip ekonomi.
Hal senada dengan apa yang diungkapkan oleh Muller dalam Smith in His Time
and Ours menyatakan:
“Smith did not try to develop a science of economics free of moral judgements or
ethical considerations....But his science of political economy was not a
moralistic science: he tried to bring about improvement not through preaching
but through designing institutions which would strengthen the incentive to act in
a socially beneficial manner” (1993, hal. 198).
Dalam konteks pemenuhan kebutuhan hidup, sampai sekarang belum ada
gambaran tegas dan jelas mengenai konsep kebutuhan dasar ataupun pokok yang
sebenarnya dan bagaimana kebutuhan dasar tersebut terpenuhi oleh golongan manusia.
Soetarno mendefinisikan kebutuhan sebagai suatu keinginan terhadap benda atau jasa
yang pemuasannya dapat dilaksanakan bersifat jasmani maupun rohanian (1986, hal.
512).
Suatu keinginan terhadap benda dan jasa ini yang pemenuhannya dengan cara
jasmani maupun rohani diidentifikasikan sebagai suatu kebutuhan.
10
http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/
Observasi Keynes -sebagaimana dikutip oleh Chapra- dalam hal kebutuhan
mengatakan bahwa:
“Meskipun kebutuhan manusia tampak mungkin tidak dapat dipenuhi. Namun,
mereka dapat digolongkan ke dalam dua kelas, yaitu kebutuhan-kebutuhan yang
mutlak harus dipenuhi dalam situasi apa pun dan kapan pun, dan kebutuhan-
kebutuhan yang relatif dalam arti pemenuhannya akan mengangkat kita ke atas,
membuat kita merasa superior terhadap teman sejawat. Kebutuhan golongan
dua yang memenuhi keinginan superioritas, mungkin dapat dipenuhi, karena
semakin tinggi derajat umum, semakin tinggi pula mereka. Ini tidak berlaku bagi
kebutuhan mutlak” (1972, hal. 326).
Klasifikasi ini mengandung implikasi bahwa, kebutuhan-kebutuhan absolut
bermuara dalam diri individu sendiri dan diperlukan sesuai kondisi manusia.
Pemenuhannya sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia, kenyamanan dan
perkembangannya. Berbeda dengan ini, kebutuhan-kebutuhan relatif, seperti yang
dinyatakan oleh Galbairth “adalah dirincikan dan diciptakan untuk dirinya” (Galbairth,
The Affluent Society, hal. 152). Kelompok ini termasuk semua jenis status simbol dan
barang-barang atau jasa-jasa yang memang tidak menambah kebahagiaannya.
Kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar -basic human needs- dapat dijelaskan
sebagai kebutuhan yang sangat penting guna kelangsungan hidup manusia, baik yang
terdiri dari kebutuhan atau konsumsi individu (makan, perumahan, pakaian ) maupun
keperluan pelayanan sosial tertentu (air minum, sanitasi, transportasi, kesehatan dan
pendidikan).
Dalam kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia, akan diperoleh kepuasan yang
mengarah pada kemakmuran dan kesejahteraan. Jika semua kebutuhan material manusia
terpenuhi maka disebut makmur, dan jika semua kebutuhan material dan immaterial
(spiritual) terpenuhi maka disebut sejahtera.
11
Hal inilah yang menjadi tujuan utama dari pemenuhan kebutuhan yaitu untuk
mencapai kesejahteraan. Kesejahteraan di sini baik bersifat individual maupun
kelompok. Hal inilah yang menjadi cita-cita dan tujuan bagi kehidupan seluruh manusia
di muka bumi ini.
Karena pada dasarnya, kegiatan maupun aktivitas ekonomi manusia di muka
bumi ini dalam rangka mencapai tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan. Untuk
mencapai cita-cita dan tujuan tersebut, berbagai macam cara dan usaha untuk dapat
merealisasikannya.
Mengenai konsep kesejahteraan, meskipun tidak ada suatu batasan substansi
yang tegas tentang kesejahteraan. Sebagai atribut agregat, kesejahteraan merupakan
representasi yang bersifat kompleks atas suatu lingkup substansi kesejahteraan tersebut.
Kesejahteraan bersifat kompleks karena multidimensi, mempunyai keterkaitan
antardimensi dan ada dimensi yang sulit direpresentasikan. Kesejahteraan tidak cukup
dinyatakan sebagai suatu intensitas tunggal yang merepresentasikan keadaan
masyarakat, tetapi juga membutuhkan suatu representasi distribusional dari keadaan itu.
Oleh karena itu, konsep kesejahteraan sering diartikan berbeda-beda oleh orang
dan negara yang berbeda pula. Perbedaan pandangan dan pemikiran tersebut
dikarenakan belum adanya suatu gambaran tegas tentang konsep kesejahteraan itu
sendiri. Mendefinisikan ‘kesejahteraan’ hal ini sangat penting bagi peneliti untuk
mengungkapkannya.
12
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka dapat
diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Kurangnya pemahaman yang komprehensif dan integral mengenai hakikat
konsep kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan manusia, baik individu
maupun kelompok.
2. Banyaknya tulisan, penelitian maupun karangan-karangan yang
mempublikasikan teori dan pandangannya tentang konsep kesejahteraan. Namun,
masih terdapat ketidakjelasan dan ketidaktegasan mengenai konsep
kesejahteraan.
3. Banyaknya kalangan baik individu maupun kelompok yang terdoktrin dan
terperangkap dengan konsep atau teori kesejahteraan Maslow dan menyakini hal
itu sebagai way of life.
Rumusan dan Batasan Masalah
Batasan Masalah
Studi ini dibatasi pada pemikiran Maslow dan al-Ghazāli dari aspek:
1. Teori
2. Indikator Kesejahteraan
3. Persamaan dan Perbedaan antara Kedua Teori
Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep kesejahteraan dalam teori Maslow dan al-Ghazāli?
2. Apa persamaan dan perbedaan antara teori kesejahteraan Maslow dan al-Ghazāli
serta implikasi dari perbedaan tersebut?
13
Tujuan Penelitian
1. Memahami konsep kesejahteraan dalam teori Maslow dan al-Ghazāli.
2. Memahami persamaan dan perbedaan serta implikasi antara teori kesejahteraan
Maslow dan al-Ghazāli.
Kegunaan Penelitian
Hasil dari penelitian ini kiranya berguna bagi:
1. Secara teoritis untuk pengetahuan bagi umat Islam mengenai perbedaan
mendasar antara pandangan Maslow dan al-Ghazāli dalam hal konsep
kesejahteraan. Dan kajian ini tentunya menambah khazanah keilmuan Islam
tentang persamaan dan perbedaan serta implikasi dari perbedaan kedua konsep
tersebut.
2. Secara praktis dapat dijadikan sebagai salah satu wacana pemikiran ekonomi
Islam kontemporer di kalangan ulama dan ekonom Indonesia.
Definisi Operasional
Untuk menghindari terjadinya kesalahan persepsi dalam menilai istilah-istilah yang
dicakup dalam penelitian ini, maka terlebih dahulu perlu dijelaskan pengertian istilah
yang akan banyak digunakan dalam penelitian ini. Istilah tersebut adalah Kesejahteraan,
Teori Ekonomi Maslow dan Teori Ekonomi al-Ghazāli.
Kata kesejahteraan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata
dasar sejahtera yang mempunyai makna aman, sentosa dan makmur; selamat atau
terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran dan sebagainya. Adapun kesejahteraan
adalah hal atau keadaan sejahtera yang mencakup jaminan sosial, keselamatan,
14
ketentraman, kesenangan hidup, dan sebagainya; kemakmuran (Lukman Ali 1996, hal.
891).
Dalam bahasa Inggris kesejahteraan dikenal dengan welfare. Welfare mempunyai
arti the good health, happiness, compfort, etc of a person or group. Dapat diartikan
kesejahteraan di sini dengan kondisi yang sehat, bahagia, nyaman dan sebagainya, baik
individu maupun kelompok (Oxford Advanced Learner’s Dictionary 1995, hal. 1352).
Sejahtera juga diterjemahkan dari kata prosperous, yang berarti maju dan sukses
terutama dalam hal pendapatan dan memperoleh kekayaan yang cukup banyak. Bahagia
(happiness) memiliki makna yang lebih luas, yang berarti kondisi atau perasaan nikmat
dan nyaman, yang bisa disebabkan oleh terpenuhinya kebutuhan material maupun
spiritual (P3EI 2008, hal. 50).
Keadaan nyaman, bahagia, sehat dengan terpenuhinya skala tingkat kebutuhan
dasar baik material maupun spiritual membawa pada tingkat kesejahteraan. Dan dapat
diartikan pula dengan keadaan maju dan sukses dalam hal pendapatan dan kekayaan
materi yang cukup banyak.
Dalam bahasa Arab, kesejahteraan berasal dari kata rofāhiyah. Yang secara
bahasa berasal dari rafaha-rifhan-wa rufūhan yang berarti kehidupan yang nyaman dan
baik. Atau dari kata rafuha-rifāhan-wa rafāhiyah yang berarti nyaman, baik, ringan,
luas, hilangnya kesusahan atau kesulitan dan penuh kenikmatan (P3EI 2008, hal. 273).
Daulah rofāhiyah mengandung makna negara yang makmur. Sebagaimana
dijelaskan di atas terdapat perbedaan arti antara kesejahteraan dan kemakmuran itu
sendiri (Ali & Muhdlor 1998, hal. 982). Namun sekiranya, perbedaan arti tersebut tidak
mengaburkan dan menghilangkan dari makna yang sesungguhnya.
15
Adapun secara istilah2, rofāhiyah adalah kondisi yang menghendaki
terpenuhimya kebutuhan dasar bagi individu atau kelompok baik berupa kebutuhan
makan, pendidikan, kesehatan, jaminan sosial. Sedangkan antitesa dari kesejahteraan
adalah kesedihan (bencana) kehidupan atau kawārits3.
Dari istilah di atas, maka timbullah istilah rofāhiyah al-Ijtima’iyyah atau
kesejahteraan sosial. Yaitu, “sistem yang mengatur pelayanan sosial dan lembaga-
lembaga untuk membantu individu dan kelompok mencapai tingkat kehidupan,
kesehatan yang layak dengan tujuan menegakkan hubungan kemasayarakatan yang
setara antar individu sesuai dengan kemampuan pertumbuhan (development) mereka,
memperbaiki kehidupan manusia sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat”.
Dari beberapa definisi kesejahteraan di atas, maka peneliti memformulasikan
konsep kesejahteraan sebagai kondisi atau perasaan nikmat dan nyaman, yang
disebabkan oleh terpenuhinya kebutuhan material maupun spiritual, baik berupa
pemenuhan akan kebutuhan pokok, makan, pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial
(terhindar dari segala macam resiko yang mengancam).
Yang dimaksud dengan Teori Ekonomi Barat di sini adalah hasil pemikiran dari
tokoh-tokoh Barat4. Pemikiran paling awal yang bisa dijejaki ialah pemikiran pada masa
Yunani Kuno yang dikaitkan dengan etika moral. Hal yang sama dapat disimpulkan
pada pemikiran-pemikiran ekonomi pada abad ke-13 yang dikembangkan oleh aliran
skolastik, yang banyak menghubungkan nilai-nilai ekonomi dengan ajaran Gereja. Teta-
pi kontribusi yang mereka berikan sangatlah kecil.-----------------------------2 Lihat Badawi, A. Zaki, Mu’jam Muşţalahātu al-‘Ulūm al-Ijtimā’iyyah, Beirut, Maktabah Lubnan: 1986,New Impression.
الرفاهية هي الحالة التي تتحقق فيها الحاجات االساسية للفضضرد و المجتمضضع من غضضداء و تعليم و صضضحة و تضضأمين ضضضد 3.كوارث الحياة
4 Lebih jelas lihat “Perkembangan Pemikiran Ekonomi” karangan Deliarnov, Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada, Cet. I, 1995.
16
Kontribusi yang lebih produktif terhadap teori ekonomi dikembangkan oleh
pemikir-pemikir ekonomi pada masa merkantilisme dan fisiokratisme pada abad ke-16.
Pemikir-pemikir ekonomi pada masa ini telah mengembangkan teknik-teknik abstrak
untuk menemukan hukum-hukum ekonomi. Pencipta model ekonomi paling dini adalah
Francais Quesnay dengan Tableau Economique-nya.
Hasil pemikiran dari tokoh-tokoh terdahulu digabung dan dikembangkan oleh
Adam Smith dalam bukunya yang sangat terkenal: The Wealth of Nations, yang ditulis
Smith tahun 1776. Sejak itu ilmu ekonomi diproklamirkan sebagai salah satu cabang
atau disiplin ilmu tersendiri. Dari sana muncullah beberapa sistem ekonomi dan secara
sederhana dapat diklasifikasikan pada tiga kelompok: pertama, sistem
liberal/kapitalistik; kedua, sistem sosialtistik/komunistik; dan ketiga, sistem ekonomi
campuran (mixed economy).
Dalam kaitannya, dalam penelitian ini pembahasannya dibatasi pada pemikiran
Maslow yang merupakan salah satu tokoh pakar ekonomi Maslow yang tumbuh dan
berkembang di Maslow. Dan tentunya, muncul dan tumbuhya pemikiran Maslow
dengan suasana, lingkungan dan sistem ekonomi yang terkenal dan dipakai pada saat itu.
Adapun Teori Ekonomi Islam, dalam hal ini kaitannya pemikiran ekonomi al-
Ghazāli terinspirasi dari kitab fiqih yang identik dengan Islam. Maka dari itu, Mannan
mendefinisikannya sebagai upaya untuk mengoptimalkan nilai-nilai Islam dalam
kehidupan ekonomi masyarakat (1993, hal. 19).
Begitu pula Khan –sebagaimana ditulis oleh Sander dalam Akram Khan’s Rush:
Creative Insights (2004, hal. 12-13) menyebut bahwa ilmu ekonomi Islam bertujuan
mempelajari kesejahteraan manusia yang dicapai dengan mengorganisir sumber-sumber
daya bumi atas dasar kerjasama dan partisipasi.
17
Selanjutnya, pembahasan dalam teori ekonomi Islam ini dibatasi dengan
pemikiran al-Ghazāli. Dalam kaitannya, al-Ghazāli adalah pemikir ekonom muslim yang
melakukan studi keislaman secara luas untuk mempertahankan ajaran agama Islam.
Karenanya, Peneliti menggunakan pemikiran dan pandangan al-Ghazali yang berkaitan
erat dengan teori kesejahteraan.
Kerangka Teori
Dalam studi ini akan dilandasi pada teori Maslow yang lebih dikenal dengan “hierarchy
of needs atau hirarkie lima tingkat kebutuhan”. Menurut Maslow, apabila seluruh
kebutuhan seseorang belum terpenuhi pada waktu yang bersamaan, pemenuhan
kebutuhan yang paling mendasar merupakan hal menjadi prioritas. Dengan kata lain,
seorang individu baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih tinggi
jika kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Lebih jauh, berdasarkan konsep hierarchy of
needs, ia berpendapat bahwa garis hierarki kebutuhan manusia berdasarkan skala
prioritasnya terdiri dari:
1. Kebutuhan Fisiologi (Physiological Needs), mencakup kebutuhan dasar manusia,
seperti makan dan minum. Jika belum terpenuhi kebutuhan dasar ini akan
menjadi prioritas manusia dan mengenyampingkan seluruh kebutuhan hidup
lainnya.
2. Kebutuhan Jaminan sosial (Safety Needs), mencakup kebutuhan perlindungan
terhadap gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi.
3. Kebutuhan Sosial (Social Needs), mencakup kebutuhan akan cinta, kasih sayang,
dan persahabatan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mempengaruhi
kesehatan jiwa seseorang.
18
4. Kebutuhan Akan Penghargaan (Esteem Needs), mencakup kebutuhan terhadap
penghormatan dan pengakuan diri. Pemenuhan kebutuhan ini akan memengaruhi
rasa percaya diri dan prestise seseorang.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri (Self-Actualization Needs), mencakup kebutuhan
memberdayakan seluruh potensi dan kemampuan diri. Kebutuhan ini merupakan
tingkat kebutuhan yang paling tinggi (Donnelly, Gibson dan Ivancevich 1998,
hal. 270-271).
Maslow menjelaskan, bahwa kebutuhan pada tingkat pertama dan kedua
biasanya diacu sebagai kebutuhan tingkat rendah. Mengandung makna kebutuhan dasar
atau pokok bagi manusia. Sedangkan kebutuhan pada tingkat tiga, empat dan lima
disebut kebutuhan tingkat yang lebih tinggi (Soetarno 1986). Aplikasinya, semua
manusia harus memenuhi skala kebutuhan ini sebelum memenuhi skala kebutuhan yang
lain.
Dan dalam studi ini juga akan menggunakan teori maşlahat adh-dharūriyat al-
khams yang digagas oleh al-Ghazāli (450 H- 505 H):
“Kemaslahatan atau kesejahteraan manusia terletak pada tercapainya tujuan
mereka dengan cara memelihara tujuan syara’ atau hukum Islam. Tujuan hukum
Islam yang ingin dicapai dari manusia ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta mereka. Setiap hukum yang mengandung tujuan
memelihara kelima hal ini disebut maşlahat atau kesejahteraan; dan setiap hal
yang meniadakannya disebut mafsadah dan menolaknya disebut maşlahat” (Al-
Mustaşfa min ‘Ilmi Uşūl, t.t., hal. 481)5.
-----------------------------ََإَن بِهِ نَعْنِي َمَضَرة, وَلَْسنَا دَفِْع أوْ َمنْفَعَة َجلِْب عَْن االْصِل فِي ِعبَاَرة فَهَِي الَمْصلََحة5 ذَلَِك, فَ
َرة دَفْعَ وَ الَمنْفَعَة َجلْب دُ الَمضَََ الَُح الَخلَِق, وَ َمقَاصَِ الَُح صَََ يِْل فِي الَخلََِق الَخلَِق, وَصََ تَْحصَِدَهُْم. لَكِنَا لََحةِ نَعْنِي َمقَاصََِ َََةِ بِالَمصََْ وْدِ عَلَي الُمَحافَظ ْرِع. وَ َمقْصََُ ُ الشَََ وْد ْرِع َمقْصََُ ِمَن الشَََ
ََوَ الَخلََِق ة, وَهُ هُْم وَ دِيْنَهُمَْ عَلَيْهِْم يَْحفََََظ أْن َخْمسَََ لَهُْم وَ عَقلَهُْم وَ نَفْسَََ ََُُل وَ نَسََْ َمََالَهُْم. فَك
19
َمفَْسدَة فَهُوَ االُصوَْل هَذِهِ يَفُوُِت َما كُُل َمْصلََحة, وَ فَهُوَ الَخْمَسَة االُصوِْل هَذِهِ ِحفَْظ َمايَتََضَمُنَمْصلََحة. دَفْعُُه وَ
Kejelasan tentang kebutuhan ini yang akhirnya dijadikan patokan dalam
menggali segala kebutuhan dari kehidupan manusia. Untuk selanjutnya, dapat dijadikan
data skala kebutuhan manusia yang nantinya akan menjadi penentu dalam memutuskan
konsep kesejahteraan dalam teori al-Ghazāli –Islam-. Kelima hal ini merupakan
kebutuhan pokok atau dasar bagi hidup dan kehidupan manusia. Dengan terpelihara dan
terjaminnya kelima hal tersebut, manusia akan meraih kesejahteraan dan kebahagiaan di
dunia dan akhirat.
Dan dalam penelitian ini juga menggunakan teori al-Ghazāli sebagaimana yang
tertuang dalam kitab Ihya Ulūmuddin dalam Rubu’ Muhlikāt6 (rubu’ yang
membinasakan):
“Hakikat dunia ada tiga, pertama ibarat benda-benda yang ada, kedua manusia
mempunyai keuntungan darinya, dan ketiga manusia mempunyai kesibukan dalam
memperbaikinya. Benda-benda tersebut kaitannya dengan manusia mempunyai dua
hubungan: pertama hubungan hati, yaitu kecintaannya kepada benda-benda itu, merasa
beruntung dan beralih cita-citanya ke benda itu, dan kedua hubungan badan dengan
memperbaiki benda-benda itu. Jikalau ia mengenal akan dirinya, ia mengenal akan
Tuhannya dan ia mengenal hikmah dunia dan rahasianya, niscaya ia tahu, bahwa
benda-benda tersebut kita namakan dunia, tidaklah dijadikan selain untuk umpan
binatang kendaraan, di mana ia akan berjalan dengan binatang kendaraan tersebut
kepada Allah”.
Di sini al-Ghazāli memberi catatan penting bahwa, ekonomi tidak akan merusak
kehidupan manusia tatkala dalam skala pemenuhan kebutuhan pokoknya dan tidak
hinggap dalam kecintaan dan kesibukan duniawi semata.
-----------------------------6 Adalah kitab keenam dari “rubu’ yang membinasakan” dari kitab Ihya Ulūmuddin yang berisi tentangtercelanya dunia, pengajaran-penajaran tercelanya dunia dan sifatnya dunia, sifat dunia dengan contoh-contohnya, hakikat dunia dan yang sebenarnya dunia itu pada hak seseorang hamba Allah, hakikat dunia,mengenai dunia itu dan kesibukan-kesibukannya yang menghabiskan cita-cita manusia. Sehingga dunia
20
itu, melupakan manusia kepada diri mereka, kepada Tuhan mereka, tempat datang dan tempat perginyamereka. Dan Dia lah yang menolong kepada yang diridhai-Nya. Lihat kitab Ihya Ulūmuddin jilid 5terjemahan Prof. Tk. H. Ismail Yakub, SH, MA, Jakarta: Cv. Faizan, 1983, hal. 80-81.Tinjauan Pustaka
Penelitian yang mefokuskan pada analisis tentang konsep kesejahteraan dalam Teori
Ekonomi Maslow dan Islam, sepengetahuan peneliti belum mendapatkannya. Namun,
peneliti mendapatkan penelitian yang memfokuskan pada analisis Masyarakat Sejahtera
dalam Perspektif Islam yang ditulis oleh Saifullah tahun 2008.
Penelitian tersebut membahas pengertian tentang masyarakat sejahtera, konsep
kesejahteraan dan model kesejahteraan sosial. Pada bab berikutnya penulis mengupas
adh-dharūriyat al-khams dan hak dasar kebutuhan ekonomi. Sedangkan bab selanjutnya,
hal yang berkaitan dengan problema ekonomi yang meliputi penanggulangan problema
ekonomi menurut sistem kapitalis, sosialis dan Islam, distribusi kekayaan dalam Islam,
pertumbuhan ekonomi.
Dalam bab akhir, penulis mengemukakan tentang prioritas pembangunan dan
dampaknya terhadap distribusi dan pertumbuhan. Di sini penulis lebih menjelaskan
konsep manusia sebagai khālifah dan sumber daya alam, hak individu atas kekayaan
umum, prioritas pembangunan sektor kebutuhan dasar ekonomi, prioritas pembangunan
dan distribusi, prioritas pembangunan dan keseimbangan sosial, dan tanggung jawab
negara berkenaan dengan prioritas pembangunan. Pokok masalah yang dibahas di dalam
buku ini adalah: masalah distribusi yang tidak terpisahkan dari proses pembangunan;
dan tingkat kemiskinan dan pengangguran serta kesenjangan ekonomi sosial masyarakat.
Peneliti juga menemukan sebuah hasil kerja riset karya Dr. M. Umer Chapra
yang berjudul Islam and The Economic Challenge (Islam dan Tantangan Ekonomi)
tahun 2000 yang diterjemahkan oleh Ihkwan Abidin Basri, MA, M.Sc. Dalam karya
ilmiah ini, beliau mengkaji terhadap tiga sistem ekonomi Maslow dan berakhir dengan
21
suatu lembaran neraca realistis dari prestasi-prestasinya maupun kegagalan-
kegagalannya. Beliau juga mengemukakan pendekatan Islam terhadap ekonomi dan
persoalan-persoalannya, serta mengajukan saran-saran konkret bagi restrukturisasi
perekonomian dunia muslim, sekaligus memperlihatkan jalan-jalan baru menuju
perencanaan pembangunan.
Secara lebih luas, resepnya bagi dunia muslim mengandung perencanaan
pembangunan dibarengi dengan aplikasi filter moral yang secara sosial disepakati dalam
mekanisme pasar, motivasi yang berbasis lebih luas bagi usaha-usaha ekonomi, dan
reformasi struktural fundamental untuk membangun suatu kerangka kerja yang
mendukung ke arah itu.
Dr. Chapra secara jelas telah mendemontrasikan bahwa kebahagiaan tidak dapat
dicapai melalui penguasaan materi semata-mata, dan bahwa efisiensi dan pemerataan
dapat menjadi konsep yang operasional hanya bila hal itu didefinisikan kembali dalam
konteks hubungannya dengan nilai-nilai moral dan struktur sosioekonomi. Kaitannya
dengan studi peneliti, tema kesejahteraan tidak hanya penguasaan pada sisi materi
semata. Namun, dibarengi oleh suatu nilai atau moral yang melekat padanya.
Dalam riset ini dibagi menjadi dua bagian, pertama sistem-sistem yang gagal dan
kedua pandangan dunia Islam. Bagian pertama terdiri dari empat bab; bab 1 sistem-
sistem yang gagal antara lain batas-batas kapitalisme, bab 2 kemunduran sosialisme, bab
3 krisis negara kesejahteraan, dan bab 4 inkosistensi ekonomi pembangunan.
Pada bagian dua, terdiri dari delapan bab; bab 5 pandangan dunia Islam dan
strateginya (antara lain pemenuhan kebutuhan pokok), bab 6 malaise, bab 7
membicarakan tentang menghidupkan faktor kemanusiaan, bab 8 menjelaskan dalam hal
22
mengurangi konsentrasi kekayaan, bab 9 restrukturisasi ekonomi, bab 10 restrukturisasi
keuangan, bab 11 perencanaan kebijakan strategis dan bab 12 kesimpulan.
Metode Penelitian
1. Pendekatan
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah pendekatan kualitatif.
Pada pendekatan kualitatif lebih menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu
situasi tertentu (dalam konteks tertentu), lebih banyak meneliti hal-hal yang
berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pendekatan kualitatif, lebih lanjut,
mementingkan pada proses dibandingkan dengan hasil akhir, oleh karena itu urut-urutan
kegiatan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi dan banyaknya gejala-gejala yang
ditemukan. Tujuan penelitian biasanya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat praktis
(Sarwono 2009, hal. 1).
Dalam penelitian ini, peneliti telah mengadakan pengkajian terhadap teori
Maslow dan al-Ghazāli yang berhubungan dengan konsep kesejahteraan, serta tulisan-
tulisan lain yang dapat mendukung data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, sehingga
didapat gambaran pemikiran Maslow dan al-Ghazāli tentang konsep kesejahteraan.
2. Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini jenis data yang digunakan adalah data kualitatif yang relevan
dengan rumusan masalah yang ada. Sehingga dalam penelitian ini peneliti menggunakan
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier yang
dijadikan bahan literatur dalam penelitian ini.
a. Bahan hukum primer ialah bahan pokok yang menjadi acuan dalam penelitian
ini, di antaranya: al-Mustaşfa min ‘Ilmi Uşūl dan Ihya Ulūmuddin, karya Imam
Abu Hāmid Muhammad bin Muhammad at-Tūsi al-Ghazāli (450 H- 505 H),
23
tanpa tahun; Motivation and Personality, karya Abraham Harold Maslow, tahun
1954; Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, karya Mulyanto Sumardi & Hans-
Dieter Evers, tahun 1982.
b. Bahan hukum sekunder ini ialah penunjang bahan primer yang berhubungan
dengan masalah tersebut, di antaranya: Manajemen dan Motivasi, karya Prof.
DR. Buchari Zainun, tahun 1989, Islam dan Tantangan Ekonomi, karya Dr. M.
Umer Chapra Jakarta, tahun 2000; Konsep Masyarakat Sejahtera dalam Islam,
karya DR. Edyson Saifullah, tahun 2008; Islam Mengentaskan Kemiskinan,
Tinjauan Kritis Analisis Tentang Hadits Ekonomi, karya M. Naşiruddin al-
AlBānī, tahun 2002, dan lain-lain.
c. Bahan hukum tersier ialah penunjang dari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder terhadap masalah tersebut, di antaranya Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Ensiklopedi, Kamus Ekonomi dan Kamus Bahasa Arab.
3. Metode Pengumpulan Data
Mengingat penelitian ini menggunakan studi kepustakaan (library research). Maka
teknik pengumpulan data melalui tahapan-tahapan sebagai berikut: (a) mengumpulkan
buku-buku atau bahan bacaan yang berkenaan dengan masalah yang diteliti: (b)
mengklasifikasikan data-data yang ada pada buku-buku atau bahan bacaan yang ada
kaitannya dengan masalah yang diteliti; (c) membaca dan menelaah serta mengolah
buku-buku atau bahan bacaan yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti.
4. Analisis Data
Tehnik menganalisa data dan materi yang disajikan dalam penelitian ini yaitu dengan
menggunakan metode deskriptif kualitatif komparatif, yaitu dengan cara content
analysis (analisis isi) tentang pendapat Maslow dan al-Ghazāli, yakni menggambarkan,
24
menguraikan, atau menyajikan seluruh pokok-pokok masalah secara tegas dan sejelas-
jelasnya. Setelah data yang diperlukan dalam penelitian ini terkumpul, maka penguraian
itu disimpulkan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan
yang bersifat umum ditarik ke khusus, sehingga penyajian hasil penelitian ini dapat
dipahami dengan mudah.
Sistematika Pembahasan
Penelitian tesis ini disusun berdasarkan 5 bab utama. Bab 1 Pendahuluan yang berisi
latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian,
metode penelitian serta sistematika pembahasan. Bab 2 Konsep Kesejahteraan Menurut
Maslow. Dalam bab ini peneliti memfokuskan pada makna, konsep, kebutuhan pokok,
indikator, bentuk dan karakteristik kesejahteraan menurut pandangan dan pendapat
Maslow. Bab 3 Konsep Kesejahteran Menurut al-Ghazāli. Dalam bab ini peneliti
membahas konsep, kebutuhan pokok menurut al-Ghazāli, dan indikator kesejahteraan
dalam al-Quran dan menurut al-Ghazāli. Bab 4 Analisis Perbandingan Konsep
Kesejahteraan Maslow dan al-Ghazāli. Di sini peneliti menganalisis dan mengupas
persamaan dan perbedaan kedua konsep tersebut, serta implikasi dari perbedaan
tersebut. Dan bab 5 kesimpulan dan saran-saran peneliti.
25
Bab 2
KONSEP KESEJAHTERAAN MENURUT MASLOW
Biografi Maslow
Abraham Harold Maslow (1908-1970 M) lahir pada 1 April 1908 di Brooklyn, New
York. Maslow dibesarkan dalam keluarga yahudi dan merupakan anak tertua dari tujuh
bersaudara, yang mereka sendiri tidak berpendidikan adalah imigran Yahudi dari Rusia
Orang tuanya. Mereka berharap untuk yang terbaik bagi anak-anak mereka di dunia
baru, mendorongnya keras untuk keberhasilan akademis. Tidak mengherankan, ia
menjadi sangat kesepian sebagai anak laki-laki, dan menemukan perlindungan di buku.
Dan ia wafat pada tahun 1970 dalam usia 62 tahun.
Maslow adalah seorang pelopor aliran psikologi7 humanistik8. Aliran ini secara
eksplisit memberikan perhatian pada dimensi manusia dari psikologi dan konteks
manusia dalam pengembangan teori psikologis(http://id.wikipedia.org).
Keluarga Maslow amat berharap ia dapat meraih sukses melalui dunia
pendidikan. Untuk menyenangkan kemauan ayahnya, Maslow sempat belajar di bidang
-----------------------------7 Psikologi berasal dari bahasa Yunani, artinya ilmu jiwa. Psikologi adalah ilmu pengetahuan yangmempelajari perilaku manusia dalam hubungan dengan lingkungannya. Akan tetapi, Tidak adaseseorangpun yang sebenarnya dapat mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan ilmu jiwa. Sehinggamenimbulkan berbagai banyak pendapat mengenai definisi ilmu jiwa (Pengantar Psikologi Umum, penulis: Sarlito W. Sarwono, penerbit : rajawali Pers).8 Humanistik adalah aliran dalam psikologi yang muncul tahun 1950an sebagai reaksi terhadapbehaviorisme dan psikoanalisis. Permasalah ini dirangkum dalam lima postulat Psikologi Humanistik dariJames Bugental (1964), sebagai berikut: 1. Manusia tidak bisa direduksi menjadi komponen-komponen; 2.Manusia memiliki konteks yang unik di dalam dirinya; 3. Kesadaran manusia menyertakan kesadaranakan diri dalam konteks orang lain; 4. Manusia mempunyai pilihan-pilihan dan tanggung jawab; 5.Manusia bersifat intensional, mereka mencari makna, nilai, dan memiliki kreativitas. Pendekatan
26
humanistik ini mempunyai akar pada pemikiran eksistensialisme dengan tokoh-tokohnya sepertiKierkegaard, Nietzsche, Heidegger, dan Sartre (http://id.wikipedia.org/wiki/Humanistik)hukum di College Kota New York (CCNY) tapi gagal. Setelah tiga semester, ia pindah
ke Cornell. Ia akhirnya mengambil bidang studi psikologi di University of Wisconsin,
dan memperoleh gelar bachelor pada 1930, master pada 1931, dan PhD pada 1934.
Maslow kembali ke CCNY dan menikah. Dia Bertha Goodman, sepupu pertama,
terhadap orang tua keinginannya. Abe dan Bertha terus memiliki dua anak perempuan.
Dia dan Bertha pindah ke Wisconsin agar ia bisa belajar di University of Wisconsin. Di
sini, ia menjadi tertarik pada psikologi, dan pekerjaan sekolahnya mulai membaik secara
dramatis. Dia menghabiskan waktu ada bekerja dengan Harry Harlow, yang terkenal
untuk eksperimen dengan bayi rhesus monyet dan perilaku lampiran.
Ia menerima gelar BA pada tahun 1930, MA pada 1931, dan gelar PhD pada
tahun 1934, semua dalam psikologi, semua dari University of Wisconsin. Setahun
setelah lulus, ia kembali ke New York untuk bekerja dengan EL Thorndike di Columbia,
dimana Maslow menjadi tertarik dalam penelitian tentang seksualitas manusia.
Maslow banyak berhubungan dengan intelektual-intelektual Eropa yang baru
bermigrasi ke Amerika Serikat seperti Alfred Adler, Erich Fromm, dan Karen Horney.
Pada tahun 1951 Maslow berjumpa dengan Kurt Goldstein, seseorang yang
mengenalkannya kepada ide tentang aktualisasi diri – yang menjadi bibit dari teorinya
tentang hirarki kebutuhan. Pada periode ini pula Dia, bersama beberapa psikolog lain
seperti Carl Roger “memproklamirkan” aliran ketiga (third force) dari psikologi yang
dikenal sebagai humanisme.
Tidak cukup “bermain-main” dengan humanisme, menjelang akhir hayatnya
Maslow mengenalkan lagi satu aliran yang dikenal sebagai mazhab keempat, yakni
Psikologi Transpersonal, yang berbasis pada filosofi dunia timur dan mempelajari hal-
27
hal semacam meditasi, fenomena parapsikologi, dan kesadaran level tinggi (Altered
States of Consciousness, ASC) (http://mustolihbrs.wordpress.com).
Dia menghabiskan tahun-tahun terakhir di semi-pensiun di California, sampai,
pada tanggal 8 Juni 1970, ia meninggal karena serangan jantung setelah bertahun-tahun
sakit. Adapun konsep teori Maslow sekaligus menjadi karya monumenal yang terkenal,
yaitu:
Pertama, Hakikat Manusia: tentang hakekat manusia Maslow berpendapat
bahwa manusia memiliki satu kesatuan jiwa dan raga yang bernilai baik, dan memiliki
potensi-potensi. Yang dimaksud baik itu adalah yang mengakibatkan perkembangan kea
rah aktualisasi diri.
Kedua, Kebutuhan Pokok Manusia: manusia memiliki kebutuhan dasar yang
akan selalu menjadi motivasi perilakunya, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan
keselamatan, kebutuhan akan memiliki dan rasa cinta, kebutuhan akan harga diri, dan
kebutuhan akan aktualisasi diri. Untuk dapat sampai pada tingkat aktualisasi diri semua
kebutuhan-kebutuhan pokok manusia pada tingkat sebelumnya harus terpenuhi. Selain
kebutuhan pokok tersebut yang disebut basic needs manusia juga memiliki metaneeds
sebagai kebutuhan pertumbuhan seperti keadilan, keindahan, keteraturan, dan kesatuan.
Ketiga, Kebutuhan Pokok sebagai Unsur Motivasi: teori Motivasi Maslow
dibentuk atas dasar teori hirarki kebutuhan pokok. Dengan kata lain pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan pokok inilah yang memotivasi manusia berbuat sesuatu. Teori ini
tidak sekedar bersifat homeostatis tetapi juga homeostatis psikologis. Bahkan pada
tingkat puncak kebutuhan yang disusun Maslow mengarah kepada mistisisme
(http://homework-uin.blogspot.com).
28
Definisi Kesejahteraan
Kesejahteraan berasal dari kata dasar sejahtera yang mempunyai makna aman, sentosa
dan makmur; selamat atau terlepas dari segala macam gangguan, kesukaran dan
sebagainya. Adapun kesejahteraan adalah hal atau keadaan sejahtera yang mencakup
jaminan sosial, keselamatan, ketentraman, kesenangan hidup, dan sebagainya;
kemakmuran (Lukman Ali 1996, hal. 891).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kesejahteraan juga memiliki padanan
kata yaitu maşlahat. Maşlahat artinya sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah, dan
guna. Sedangkan kemaslahatan berarti kegunaan, kebaikan, manfaat dan kepentingan
(hal. 634). Adapun kata “manfaat” artinya adalah guna dan faedah. Sedangkan
bermanfaat artinya, ada manfaatnya, berguna, berfaedah. Manfaat juga diartikan sebagai
kebalikan/lawan kata mudharat yang berarti rugi atau buruk (Lukman Ali 1996, hal.
626).
Sedangkan kemakmuran berasal dari kata dasar makmur yang mempunyai
makna banyak hasil, banyak penduduk dan sejahtera, serba tidak kekurangan.
Kemakmuran sendiri berarti dalam keadaan makmur (Lukman Ali 1996, hal. 619).
Sejahtera dan kesejahteraan diidentikkan dengan suasana dan kondisi kebaikan,
kegunaan, aman dan selamat dari segala macam gangguan dan kesukaran dalam hidup
atau yang lazim dikenal dengan mudharat atau kerusakan. Ia mencakup dua dimensi,
dimensi jasmani dan rohani. Sedangkan kemakmuran lebih diidentikan dengan kwantitas
suatu barang atau jasa. Ia hanya mencakup dimensi jasmani tanpa mencakup dimensi
rohani. Oleh karena itu, kesejahteraan dan kemakmuran dua kata yang berbeda makna
baik secara bahasa dan istilah.
29
Karenanya, dalam hal mensejahterakan kehidupan manusia maka sektor
konsumsi, produksi, dan distribusi harus dikelola secara maksimum dalam rangka
pemenuhan kebutuhan manusia. Ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan integral
untuk mewujudkan kesejahteraan kehidupan. Kegiatan konsumsi, produksi, dan
distribusi harus menuju pada satu tujuan yang sama, yaitu mencapai kesejahteraan yang
maksimum bagi umat manusia.
Konsumsi harus berorientasi kepada kesejahteraan maksimum sehingga tetap
menjaga keseimbangan kebutuhan antarindividu dan keseimbangan antaraspek
kehidupan. Produksi dilakukan secara efisien dan adil sehingga sumber daya yang
tersedia bisa mencukupi kebutuhan seluruh umat manusia. Distribusi sumber daya dan
output harus dilakukan secara adil dan merata sehingga memungkinkan setiap individu
untuk memiliki peluang mewujudkan kesejahteraan bagi kehidupannya.
Kegiatan di atas tersebut didefinisikan dengan aktivitas ekonomi. Yaitu adalah
semua kegiatan manusia dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan
yang tidak terbatas dengan memanfaatkan sumber daya yang terbatas. Dan dikenal
dengan aktivitas ekonomi secara umum. Hal ini penting karena aktivitas ekonomi adalah
aktivitas yang melibatkan berbagai aspek kehidupan manusia.
Plato –sebagaimana dikutip oleh Dua- ekonom klasik tersebut berpendapat
bahwa ilmu ekonomi harus dapat menjelaskan bagaimana manusia dan masyarakat
mengorganisasikan kegiatannya untuk menciptakan keuntungan dan kesejahteraan
(2008, hal. 18).
Oleh karena itu, tugas ekonomi adalah memberi alasan mendasar mengapa
ekonomi perlu memfokuskan perhatiannya pada kesejahteraan. Pada akhirnya, apabila
30
kesejahteraan dapat tercapai, maka kehidupan manusia akan nyaman dan bahagia. Hal
inilah yang menjadi tujuan dasar kehidupan manusia di muka bumi ini.
Menteri Perekonomian dan Kesejahteraan Rakyat mendefinisikan sejahtera
sebagai suatu kondisi masyarakat yang telah terpenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan
dasar tersebut berupa kecukupan dan mutu pangan, sandang, papan, kesehatan,
pendidikan, lapangan pekerjaan, dan kebutuhan dasar lainnya seperti lingkungan yang
bersih, aman dan nyaman. Juga terpenuhinya hak asasi dan partisipasi serta terwujudnya
masyarakat beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
(http://www.menkokesra.go.id).
Dalam bahasa Inggris kesejahteraan dikenal dengan welfare. Welfare mempunyai
arti the good health, happiness, compfort, etc of a person or group. Dapat diartikan
kesejahteraan di sini dengan kondisi yang sehat, bahagia, nyaman dan sebagainya, baik
individu maupun kelompok (Oxford Advanced Learner’s Dictionary 1995, hal. 1352).
John dan Hasan memberikan makna lebih mendalam tentang arti kesejahteraan sebagai
suatu keselamatan (1975, hal. 642).
Sejahtera juga diterjemahkan dari kata prosperous yang berarti maju dan sukses
terutama dalam hal pendapatan dan memperoleh kekayaan yang cukup banyak. Bahagia
(happiness) memiliki makna yang lebih luas, yang berarti kondisi atau perasaan nikmat
dan nyaman, yang bisa disebabkan oleh terpenuhinya kebutuhan material maupun
spiritual (P3EI 2008, hal. 50).
Keadaan atau kondisi yang sehat, bahagia, nyaman, aman baik secara personal
maupun masyarakat dinamakan sejahtera atau kesejahteraan. Dan tujuan akhir dari
kondisi yang sehat, bahagia, nyaman dan aman adalah keselamatan. Keselamatan dalam
dua dimensi, dunia dan akhirat.
31
Jika dirunut kata kesejahteraan dalam bahasa Arab, maka akan didapatkan kata
rofāhiyyah yang dalam bahasa Arab sendiri diartikan dengan kenyamanan dan
kemakmuran. Daulah rofāhiyyah mengandung makna negara yang makmur.
Sebagaimana dijelaskan di atas terdapat perbedaan makna antara kesejahteraan dan
kemakmuran itu sendiri (Ali & Muhdlor 1998, hal. 982).
Dari beberapa definisi kesejahteraan di atas, maka peneliti memformulasikan
konsep kesejahteraan sebagai kondisi atau perasaan nikmat dan nyaman, yang
disebabkan oleh terpenuhinya kebutuhan material maupun spiritual, baik berupa
pemenuhan akan kebutuhan pokok, makan, pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial
(terhindar dari segala macam resiko yang mengancam).
Dari definisi tersebut lahirlah9 beberapa istilah yang berkaitan dengan
kesejahteraan, yaitu (1) kesejahteraan ekonomi (economic welfare), (2) kesejahteraan
sosial (social welfare), (3) masyarakat sejahtera (welfare society) dan (4) negara
kesejahteraan (welfare state). Setiap istilah kata tersebut memiliki definisi dan makna
tersendiri.
1) Economic Welfare (kesejahteraan ekonomi)
Yang dimaksud dengan economic welfare atau kesejahteraan ekonomi adalah sebuah
sistem teoritik ilmu ekonomi yang menganalisis data ekonomi, guna memaksimalisasi
kesejahteraan umat manusia secara keseluruhan dan bukan hanya terkait dengan laba
atau keuntungan si pengusaha (Sumadji & Yudha P 2006, hal. 633).
----------------------------9 Untuk kesejahteraan ekonomi peneliti dapatkan dalam Ensiklopedi Ekonomi. Adapun istilahkesejahteraan sosial sendiri peneliti ambil dari Kamus Sosiologi Modern yang kemudian dikembangkanoleh pemikir-pemikir seperti Chapra, Soeharto dll. Masyarakat sejahtera peneliti temukan dalam disertasiEdison, Konsep Masyarakat Sejahtera dalam Perspektif Islam. Dan negara kesejahteraan, istilah tersebutpeneliti nukil dan ambil dari istilah yang diusung oleh Chapra dalam Islam dan Tantangan Ekonomi.
32
Suyanto dalam hal ini senada dengan pandangan Sumadji dan Yudha. Menurut
Suyanto, ekonomi kesejahteraan adalah kerangka kerja yang digunakan oleh sebagian
besar ekonom publik untuk mengevaluasi penghasilan yang diinginkan masyarakat.
Ekonomi kesejahteraan menyediakan dasar untuk menilai prestasi pasar dan pembuat
kebijakan dalam alokasi sumberdaya. Definisi ini merupakan seperangkat alokasi nilai
guna (utility) yang dapat dicapai dalam suatu subyek masyarakat terhadap kendala dari
citarasa dan teknologi (www.msuyanto.com).
Di sini ekonomi kesejahteraan mencoba untuk memaksimalkan tingkatan dari
kesejahteraan sosial, dengan pengujian kegiatan ekonomi dari individu yang ada dalam
masyarakat. Yang berkaitan dengan subsistensi, barang-barang dan jasa-jasa
rekreasional.
2) Social Welfare (kesejahteraan sosial)
Soekanto memberikan gambaan secara umum mengenai kesejahteraan sosial sebagai
suatu kepentingan yang tertuju pada pencapaian kehidupan sejahtera bagi pribadi dan
kelompok (1993, hal. 479-480). Tentunya, kepentingan yang mengarah pada pencapaian
kehidupan sejahtera baik aspek kebutuhan pokok, produksi, konsumsi, distribusi dan
lain-lain maka diperlukan suatu strategi yang matang. Karena, tidak dinamakan suatu
kepentingan atau kebutuhan tatkala tidak dibarengi oleh suatu usaha dan strategi.
Dalam ta’rif Badawi, kesejahteraan sosial sebagai sistem yang mengatur
pelayanan sosial dan lembaga-lembaga untuk membantu individu-individu dan
kelompok-kelompok mencapai tingkat kehidupan, kesehatan yang layak dengan tujuan
menegakkan hubungan kemasyarakatan yang setara antar individu sesuai dengan
kemampuan pertumbuhan (development) mereka, memperbaiki kehidupan manusia
33
http://www.msuyanto.com/
sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat (Mu’jam Muşţalahatul al-Ulūm al-
Ijtimā’iyyah, Beirut, Maktabah Lubnan, 1986).
Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 tahun 2009 sendiri menyebutkan
bahwa, kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual,
dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri,
sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Istilah kesejahteraan sosial (social welfare) menurut Midgley –sebagaimana
dikutip oleh Suharto- adalah suatu kondisi kehidupan manusia ketika berbagai
permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik; ketika kebutuhan manusia dapat
terpenuhi dan ketika kesempatan sosial dapat dimaksimalisasikan (hal. 3, lihat juga
dalam Adi, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, hal. 16).
Dari berbagai pandangan pemikiran kesejahteraan sosial di atas, tampaknya
Kartasapoetra dan Hartini berbeda dalam pendefinisian. Yaitu suatu kehidupan sejahtera
yang selalu diinginkan untuk kelompok profesionalnya (2007, hal. 444). Pandangan ini
memberikan interpretasi bahwa, kehidupan sejahtera merupakan suatu dambaan semua
manusia, dan ia hanyalah sebuah keinginan atau impian dalam perwujudannya.
Adapun yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial adalah sistem yang
mengatur pelayanan sosial (masalah sosial dapat dikelola dengan baik dan kesempatan
sosial dapat dimaksimalisasikan) dan lembaga-lembaga untuk membantu individu-
individu dan kelompok-kelompok mencapai tingkat kehidupan, pendidikan, kesehatan
yang layak, memperbaiki kehidupan manusia sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat, terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan dapat hidup layak dan
mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
34
Hal di atas menjadi harapan dan cita-cita manusia dalam menjalankan aktivitas
ekonominya, yaitu kesejahteraan. Kesejahteraan sendiri dapat dicapai dan diwujudkan
tatkala dibarengi oleh suatu strategi.
3) Welfare Society (masyarakat sejahtera)
Saifullah dalam hal ini memberikan definisi yang komprehensif mengenai masyarakat
sejahtera. Beliau mengatakan, sekelompok individu dalam satu komunitas yang teratur,
di bawah suatu sistem atau aturan untuk tujuan yang sama; hidup bersama alam kondisi
aman dan bahagia, terpenuhinya kebutuhan dasar akan makanan, kesehatan, pendidikan,
tempat tinggal, pendapatan dan memperoleh perlindungan dari resiko-resiko yang
mengancam kehidupannya. Kebersamaan atas kepentingan bersama, tanpa
mengorbankan kepentingan individu (2008, hal. 20).
Komunitas teratur, sistem yang sama, aman bahagia, terpenuhinya kebutuhan
dasar, terhindar dari resiko dan mengedepankan kepentingan bersama menjadi indikator
masyarakat sejahtera. Dan dapat dinamakan dan dilabelisasi masyarakat sejahtera tatkala
indikator-indikator di atas dapat terpenuhi secara bersamaan.
Dalam konteks individu merupakan bagian dari masyarakat, dan masyarakat
adalah kumpulan dari individu-individu yang ada, maka Al-badri –sebagaimana dikutip
oleh Saifullah- menyatakan masyarakat dan individu menurut Islam adalah satu kesatuan
yang tidak terpisahkan, status dan hubungan individu dengan masyarakat memberikan
jaminan keselamatan bagi semua. Masyarakat berfungsi menjadi keselamatan individu,
dan individu berbuat demi kemaslahatan segenap anggota masyarakat (2008, hal. 20).
35
Oleh karena itu, masyarakat sejahtera diidentikkan dengan pemenuhan
kebutuhan pokok atau dasar manusia, terhindar dari resiko dan ancaman, kepentingan
bersama atau persaudaraan universal, dan kehidupan yang damai dan bahagia.
4) Welfare State atau negara kesejahteraan
Dalam garis besar, negara kesejahteraan menunjuk pada sebuah model ideal
pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian
peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara
universal dan komprehensif kepada warganya. Spicker –sebagaimana dikutip oleh
Suharto- misalnya, menyatakan bahwa negara kesejahteraan “…stands for a developed
ideal in which welfare is provided comprehensively by the state to the best possible
standards” (2006).
Konsep negara kesejahteraan tidak hanya mencakup deskripsi mengenai sebuah
cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan sosial (social services).
Melainkan juga sebuah konsep normatif atau sistem pendekatan ideal yang menekankan
bahwa setiap orang harus memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya.
Sejalan dengan pandangan Chapra mengenai negara kesejahteraan, sebagai
pemberian pelayanan kesejahteraan kepada semua orang, baik kaya maupun miskin,
melalui pengeluaran pemerintah yang ditingkatkan (2000, hal. 344).
Menurut Krisna, pelayanan sosial kepada semua orang sebagaimana definisi di
atas bukanlan hal yang pokok dan substansi mengenai lahirnya negara kesejahteraan.
Krisna melihat dan mendefinisikan negara sejahtera adalah pemerintah yang dapat
menjamin suatu taraf hidup minimum bagi semua warganya, yang mencakup
terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, serta papan dan menyelenggarakan lapangan
36
kerja yang penuh. Di samping itu, negara memberikan berbagai macam pelayanan
sosial, terutama bidang pendidikan dan kesehatan, dan memberi bantuan untuk masa tua
serta cacat (1993, hal. 158).
Begitu dalam dan luas definisi dan istilah-istilah yang berkaitan dengan
kesejahteraan di atas. Economic welfare (Ekonomi kesejahteraan) misalnya, mencoba
untuk memaksimalkan tingkatan dari kesejahteraan sosial, dengan pengujian kegiatan
ekonomi dari individu yang ada dalam masyarakat. Yang berkaitan dengan subsistensi,
barang-barang dan jasa-jasa rekreasional.
Social welfare (kesejahteraan sosial) adalah sistem yang mengatur pelayanan
sosial dan lembaga-lembaga untuk membantu individu-individu dan kelompok-
kelompok mencapai tingkat kehidupan, pendidikan, kesehatan yang layak, pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan masyarakat, baik aspek material, spiritual, dan dapat hidup layak
dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Begitu juga dengan welfare society (masyarakat sejahtera) diidentifikasikan
sebagai komunitas teratur, sistem yang sama, aman bahagia, terpenuhinya kebutuhan
dasar, terhindar dari resiko dan mengedepankan kepentingan bersama menjadi indikator
masyarakat sejahtera. Dan dapat dinamakan dan dilabelisasi masyarakat sejahtera tatkala
indikator-indikator di atas dapat terpenuhi secara bersamaan.
Dan welfare state (negara kesejahteraan), pemerintah yang dapat menjamin suatu
taraf hidup minimum bagi semua warganya, yang mencakup terpenuhinya kebutuhan
pangan, sandang, serta papan dan menyelenggarakan lapangan kerja yang penuh. Di
samping itu, negara memberikan berbagai macam pelayanan sosial, terutama bidang
pendidikan dan kesehatan, dan memberi bantuan untuk masa tua serta cacat.
37
Dari istilah-istilah di atas, terlihat jelas bahwa sejahtera dan kesejahteraan
sebagai kondisi atau perasaan nikmat dan nyaman, yang disebabkan oleh terpenuhinya
kebutuhan material maupun spiritual, baik berupa pemenuhan akan kebutuhan pokok,
makan, pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial (terhindar dari segala macam resiko
yang mengancam).
Konsep Kesejahteraan
Mengenai konsep kesejahteraan, meskipun tidak ada suatu batasan substansi yang tegas
tentang kesejahteraan, namun tingkat kesejahteraan mencakup di antaranya pangan,
pendidikan, kesehatan. Dan seringkali konsep kesejahteraan diperluas kepada
perlindungan sosial lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua,
keterbebasan dari kemiskinan, dan sebagainya. Dengan kata lain lingkup substansi
kesejahteran seringkali dihubungkan dengan lingkup kebijakan sosial. Penentuan
batasan substansi kesejahteraan dan representasi kesejahteraan ini menjadi perdebatan
yang luas (Suharto tt, hal 3).
Sebagai atribut agregat, kesejahteraan merupakan representasi yang bersifat
kompleks atas suatu lingkup substansi kesejahteraan tersebut. Kesejahteraan bersifat
kompleks karena multidimensi, mempunyai keterkaitan antardimensi dan ada dimensi
yang sulit direpresentasikan. Kesejahteraan tidak cukup dinyatakan sebagai suatu
intensitas tunggal yang merepresentasikan keadaan masyarakat, tetapi juga
membutuhkan suatu representasi distribusional dari keadaan itu.
Oleh karena itu, konsep kesejahteraan sering diartikan berbeda-beda oleh orang
dan negara yang berbeda. Kapitalisme, misalnya merumuskan kesejahteraan dalam
pendekatan materialis murni. Kesejahteraan didefinisikan sebagai terpenuhinya
38
kebutuhan materil manusia sesuai dengan hasil kerja optimal masing-masing orang atau
kelompok. Pendekatan materialis biasanya menafikan kebutuhan rohani.
Sebagaimana menurut Smith dalam karyanya The Wealth of Nation (1776) –
sebagaimana dikutip oleh Saifullah- bahwa kesejahteraan diukur berdasarkan seberapa
besar hasil barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi. Karenanya, yang disebut
dengan istilah negara maju adalah yang menikmati pendapatan tinggi, tanpa
memperhatikan tingkat kehancuran nilai-nilai spiritual masyarakatnya; sedangkan
negara terbelakang adalah negara dengan pendapatan rendah (2008, hal. 1).
Sosialisme melihat kesejahteraan dengan pendekatan komunal. Kesejahteraan
bisa dicapai melalui pemerataan yang diatur oleh negara atau pemerintah, agar supaya
terjadi keadilan.
Dalam hal ini pemerintah memiliki peran yang begitu besar dan kuat dalam
menyelenggarakan dan mensukseskan kesejahteraan manusia terutama rakyat negaranya
tersebut.
Demikianlah sistem kapitalis dengan prinsip ‘kebebasan pasar’ dan sosialis
dengan prinsip-prinsip dasar, nilai-nilai dan sistem yang sama-sama dibangun atas dasar
‘materi kebendaan’ yang menguasai dan menentukan arah bahwa ‘pertumbuhan
ekonomi’ adalah tujuan utama bangsa manusia. Perbedaan antara keduanya hanya dalam
hal ‘sistem kepemilikan’ dan ‘sistem distribusi’ kekayaan. Keduanya memiliki seruan
bahwa ‘kesejahteraan individu’ di atas segalanya disertai dengan materi berlimpah akan
mewujudkan ‘kesejahteraan’ secara makro.
Murujuk pada Spicker (1995), Midgley, Tracy dan Livermore (2000), Thompson
(2005), dan Suharto (2006), pengertian dan konsep kesejahteraan sedikitnya
mengandung empat makna, yaitu:
39
1. Sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk pada
istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya
kebutuhan material dan non-material. Midgley et al (2000:ix) mendefinisikan
kesejahteraan sosial sebagai “…a condition or state of human well-being.”
Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena
kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan
pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan
dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya.
2. Sebagai pelayanan sosial. Di Inggris, Australia dan Selandia Baru, pelayanan
sosial umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan sosial (social security),
pelayanan kesehatan, pendidikan (personal social services).
3. Sebagai tunjangan sosial. Khususnya di Amerika Serikat (AS), diberikan
kepada orang miskin, cacat, penganggur, keadaan ini kemudian menimbulkan
konotasi negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan, kemalasan,
ketergantungan, yang sebenarnya lebih tepat disebut “Social Illfare” ketimbang
“Social Welfare”.
4. Sebagai proses atau usaha terencana. Hal ini baik dilakukan perorangan,
lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk
meningkatkan kualitas kehidupan (pengertian pertama) melalui pemberian
pelayanan sosial (pengertian kedua) dan tunjangan sosial (pengertian ketiga).
Konsep kesejahteraan dapat diidentifikasikan sebagai kondisi atau perasaan
nikmat dan nyaman, yang disebabkan oleh terpenuhinya kebutuhan material maupun
spiritual, baik berupa pemenuhan akan kebutuhan pokok, makan, pendidikan, kesehatan
dan jaminan sosial (terhindar dari segala macam resiko yang mengancam).
40
Terpenuhinya kebutuhan pokok baik fisik maupun nonfisik dan memiliki
kesempatan, perlindungan dan jaminan akan hal tersebut menjadi tawaran dan konsep
Kantor Menkokesra. Kantor Menkokesra –sebagaimana dikutip oleh Saifullah-,
menyatakan bahwa masyarakat sejahtera apabila kehidupan masyarakat tentram lahir
batin, setiap individu memperoleh penghidupan yang layak dengan terpenuhinya
beberapa kondisi (2008, hal. 29):
Pertama, kebutuhan pokok untuk kehidupan fisik dan nonfisik tersedia dan
terjangkau oleh masyarakat secara menyeluruh dan merata.
Kedua, setiap individu memiliki kesempatan, perlindungan dan jaminan untuk
memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, pekerjaan dan
pendapatan layak, bebas dari rasa takut dan tentram.
Rumusan sebagaimana disebutkan di atas menggambarkan, kesejahteraan
sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan jasmaniah dan rohaniah, atau keseimbangan
antara aspek material dan non-material atau spiritual. Di mana kondisi sejahtera terjadi
jika kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan,
pendidikan, tempat tinggal dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh
perlindungan dari resiko-resiko yang mengancam kehidupannya (Suharto, Negara
Kesejahteraan, t.t., hal. 3).
Peningkatan kondisi kesejahteraan atau kualitas hidup (kondisi) masyarakat
antara lain bisa melalui pengelolaan masalah sosial, pemenuhan kebutuhan hidup
masyarakat, dan pemaksimalan kesempatan anggota masyarakat untuk berkembang
(termasuk kesempatan bekerja dan berpartisipasi dalam pembangunan).
Selanjutnya, dalam konsep kesejahteraan sebagian besar yang digunakan untuk
mengukur kesejahteraan ekonomi adalah pendapatan nyata rumah tangga yang dimiliki
41
orang, yang disesuaikan dengan perbedaan ukuran rumah tanggga dan komposisi
demografi (Ravallion dan Lokshin 2000). Ini didefinisikan sebagai pendapatan total
rumah tangga dibagi dengan sebuah garis kemiskinan yang memberikan biaya dari
tingkat nilai guna (utility) beberapa referensi pada harga yang berlaku dan demografi
rumah tangga.
Teori ekonomi liberalisme menjelaskan, indikator baik atau tidaknya ekonomi
suatu negara dipandang dari nilai GNP (Gross Nasional Product/Produk Nasional
Bruto) atau GDP (Gross Domestic Product/Produk Domestik Bruto) negara tersebut.
Hal ini tentu saja sangat semu dan tidak relevan untuk menilai apakah suatu negara
dapat dikatakan mapan atau tidak. Sebab nilai GNP10 dan GD11 didapat dari jumlah
keseluruhan pertambahan nilai yang didapat dari negara tersebut tanpa memandang
kebutuhan perindividu secara khusus, sehingga bisa saja nilai GNP yang tinggi
diakibatkan oleh adanya golongan yang sangat kaya yang merupakan minoritas yang
menutupi golongan mayoritas yang tidak mampu
(http//www.kertaskuning’sweblog.com).
Sedangkan Das Kapital, Marx mengatakan bahwa ekonomi kapitalisme akan
selalu menghasilkan kelas yang sangat runcing perbedaannya dikarenakan kekuatan
modal-lah yang menggerakkan kemampuan ekonomi atau dengan kata lain pergerakan
modal tidak menyentuh seluruh golongan pada masyarakat. Sehingga apapun upaya
-----------------------------10 GNP or Produk Nasional Bruto (Gross National Product) atau PNB meliputi nilai produk berupa barangdan jasa yang dihasilkan oleh penduduk suatu negara (nasional) selama satu tahun; termasuk hasilproduksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negara yang berada di luar negeri, tetapi tidaktermasuk hasil produksi perusahaan asing yang beroperasi di wilayah negara tersebut.11 GDP or Produk domestik bruto (Gross Domestic Product) merupakan jumlah produk berupa barang danjasa yang dihasilkan oleh unit-unit produksi di dalam batas wilayah suatu negara (domestik) selama satutahun. Dalam perhitungan GDP ini, termasuk juga hasil produksi barang dan jasa yang dihasilkan olehperusahaan/orang asing yang beroperasi di wilayah negara yang bersangkutan. Barang-barang yangdihasilkan termasuk barang modal yang belum diperhitungkan penyusutannya, karenanya jumlah yangdidapatkan dari GDP dianggap bersifat bruto/kotor.
42
yang dilakukan oleh pemerintah baik itu BOS (bantuan operasional sekolah), BLT
(bantuan langsung tunai), JPS (jaringan pengaman sosial) dll tidak akan mempu
menyentuh permasalahan utama yaitu tidak bergeraknya modal di sektor riil dan
menyeluruh selama sistem perekonomian yang dipakai adalah sistem kapitalisme yang
berpegang pada pasar bebas.
Di sisi lain, menurut para ekonom bahwa semakin tinggi pendapatan akan
berpengaruh terhadap tingginya kesejahteraan. Namun pendapat ini diperdebatkan,
dengan adanya beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tingginya pendapatan (sisi
ekonomi) tidak selalu berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang, selain itu terdapat
sisi lain yaitu sosial psikologis (Saifullah 2008, hal. 25).
Mazhab neoklasik telah mengubah pandangan tentang ekonomi baik dalam teori
maupun dalam metodologinya. Teori nilai tidak lagi didasarkan pada nilai tenaga kerja
atau biaya produksi tetapi telah beralih pada kepuasan marjinal (marginal utility).
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang baru dalam teori ekonomi.
Salah satu pendiri mazhab neoklasik yaitu Gossen, dia telah memberikan
sumbangan dalam pemikiran ekonomi yang kemudian disebut sebagai Hukum Gossen I
dan II. Hukum Gossen I menjelaskan hubungan kuantitas barang yang dikonsumsi dan
tingkat kepuasan yang diperoleh, sedangkan Hukum Gossen II, bagaimana konsumen
mengalokasikan pendapatannya untuk berbagai jenis barang yang diperlukannya.
Selain Gossen, Jevons dan Menger juga mengembangkan teori nilai dari
kepuasan marjinal. Jevons berpendapat bahwa perilaku individulah yang berperan dalam
menentukan nilai barang. Dan perbedaan preferences yang menimbulkan perbedaan
harga. Sedangkan Menger menjelaskan teori nilai dari orde berbagai jenis barang,
43
menurut dia nilai suatu barang ditentukan oleh tingkat kepuasan terendah yang dapat
dipenuhinya. Dengan teori orde barang ini maka tercakup sekaligus teori distribusi.
Dalam hal ini, seseorang memiliki kecendrungan menilai kesejahteraan secara
subjektif, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain adalah tujuan dan harapan
hidup individu, serta cara mendapatkannya. Bahkan menurut Feuntes –sebagaimana
dikutip oleh Saifullah- kesejahteraan subjektif memiliki korelasi positif terhadap
kepuasan dalam memenuhi kebutuhan dasar, tetapi tidak terhadap pendapatan (2008,
hal. 26).
Oleh karena itu, dalam konsep kesejahteraan, tingkat kepuasan dan kesejahteraan
adalah dua pengertian yang saling berkaitan. Yang pertama merujuk kepada keadaan
individu atau kelompok, sedangkan yang kedua mengacu kepada keadaan komunitas
atau masyarakat luas. Berdasarkan pengertian di atas, pengertian dasar kesejahteraan
adalah kondisi agregat dari kepuasan individu-individu suatu masyarakat.
Kebutuhan Pokok dalam Teori Maslow
Kegiatan manusia di bumi yang kemudian dinamakan dengan aktivitas ekonomi dalam
rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Di jaman dulu cenderung mengalami
proses yang sama, bagaimana ia berburu, meramu dan bercocok tanam. Demikian juga
perilaku manusia di saat ini, mengalami kecendrungan ke arah yang sama, bagaimana
mendapatkan pekerjaan, mempertahankan pekerjaan yang kemudian dikembangkan
dalam produksi distribusi dan menyelesaikan pekerjaan. Hal ini menandakan bahwa
manusia mempunyai pola perilaku untuk memenuhi kebutuhan yang relatif sama
walaupun tidak persis.
44
Dalam konteks kesejahteraan, maka kesejahteraan dapat didefinisikan sebagai
kondisi terpenuhinya kebutuhan pokok/dasar manusia. Dan peneliti melihat bahwa
kondisi sejahtera terjadi manakala kebutuhan dasar manusia akan gizi, kesehatan,
pendidikan, dan tempat tinggal dapat dipenuhi. Serta manakala manusia memperoleh
perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya. Tujuan akhir
dari pemenuhan di atas adalah kesenangan dan kebahagiaan.
Karenanya, manusia selalu ingin memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, baik
kebutuhan penting maupun tidak sesuai dengan kemampuan mereka. Dan sampai
sekarang belum ada gambaran tegas mengenai konsep kebutuhan dasar ataupun pokok
yang sebenarnya dan bagaimana kebutuhan dasar tersebut terpenuhi oleh golongan
manusia.
Pemenuhan kebutuhan menjadi sangat diperlukan sekali (desirable) dalam
aktivitas kehidupan ekonomi manusia. Dalam hal ini, pemenuhan kebutuhan dasar atau
pokok menempati dan mendapatkan prioritas secara kardinal dan urgen.
Kebutuhan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari akar kata butuh
yang mempunyai makna sangat perlu menggunakan, memerlukan. Kebutuhan berarti
yang dibutuhkan (1996, hal. 161).
Makna kebutuhan sangat jauh berbeda dengan makna keinginan. Jika kebutuhan
didefinisikan dengan sesuatu yang sangat dibutuhkan, maka keinginan mempunyai
makna hasrat, hendak, mau, menginginkan, mengharapkan, menghendaki. Keinginan
berarti barang yang diingini, perihal ingin: hasrat, kehendak dan harapan (Ibid, hal. 379).
Sedangkan dalam bahasa Inggris kebutuhan dikenal dengan need, necessity and
requirement (John dan Hasan 1998, hal. 98). Sedangkan keinginan dikenal dengan want,
wish dan desire (hal. 223). John dan Hasan mendefinisikan need sebagai suatu
45
kebutuhan dan keperluan atau bersifat memberi pertolongan (hal. 392). Dan want
sebagai keinginan dan kemauan terhadap sesuatu (hal. 635).
Dan jika ditelaah lebih dalam, kebutuhan dalam hal ini need lebih bersifat kepada
kebutuhan manusia yang harus dipenuhi karena dengan tidak terpenuhinya akan
mengancam kehidupan manusia itu sendiri. Berbeda dengan keinginan (want) lebih
mengarah kepada sebatas keinginan dan kemauan yang mengitari perilaku manusia
dalam beraktivitas dan ia tidak bersifat mengancam bagi kehidupan manusia. Dan dapat
dipahami pula bahwa keinginan atau kemauan seseorang bersifat tidak terbatas.
Yang oleh Amalia digambarkan dengan dalam bahwa need adalah segala sesuatu
yang sarat dengan nilai dan want identik dengan bebas nilai (2005, hal. 211). Hal ini
mengandung arti bahwa keinginan hanya bersifat hasrat belaka, sedangkan kebutuhan
sesuatu yang mempunyai nilai penting bagi aktivitas ekonomi manusia.
Berkaitan dengan hal tersebut, kebutuhan itu dapat berarti dan mencakup dua hal
yang sering dicampuradukkan orang. Menurut Zainun, Pertama merupakan hal yang
memang harus dimiliki karena hal itu betul-betul merupakan sesuatu yang diperlukan