53
BAB 1 PENDAHULUAN I. PENGANTAR FIQH DAN USHUL FIQH A. Pengertian Fiqh, Syari`ah dan Ushul Fiqh Kata fiqh / ُ هْ قِ فْ ل ا(fi`ilnya: ُ هَ قْ فَ ي- َ هِ قَ ف) secara bahasa berarti: ُ مْ لِ عْ ل ا(pengetahuan) atau ُ مْ هَ فْ ل ا(pemahaman) saja, baik pemahaman itu secara mendalam ataupun dangkal. 1 Sementara itu Abu Zahrah mengatakan bahwa arti al-fiqh secara bahasa tidak sekadar pemahaman saja tapi ُ مْ هَ فْ ل ا اُ قْ يِ مَ عْ لyaitu pemahaman yang mendalam. 2 Adapun pengertian fiqh menurut istilah adalah: ُ مْ لِ عْ لَ اِ امَ كْ حَ لْ اِ # بِ ةَ ّ يِ عْ رَ ّ * ش ل اِ ةَ ّ يِ لَ مَ عْ ل اُ # بَ سَ تْ كُ مْ ل اْ 4 نِ م اَ هِ تَ ّ لِ دَ ا: ِ ةَ ّ يِ لْ يِ صْ فَ ّ ت ل ا3 "Ilmu tentang hukum-hukum syar`i yang praktis yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci." atau: ُ مْ لِ عْ لَ ا ىِ ذَ ّ الُ 4 نِ ّ E يَ # يُ E يَ امَ كْ حَ لْ اَ ةَ ّ يِ عْ رَ ّ * ش ل ا ىِ تَ ّ ل اُ قَ ّ لَ عَ تَ L يِ الَ عْ فَ اِ # بَ 4 نْ يِ فَ ّ لَ كُ مْ ل اُ ةَ طَ # بْ S نَ يْ سُ مْ ل اْ 4 نِ م اَ هِ تَ ّ لِ دَ ا: ِ ةَ ّ يِ لِ صْ فَ ّ ت ل ا4 "Ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syar`i yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan para mukallaf yang dikeluarkan dari dalil-dalilnya yang terperinci." 1

BAB 1 PENDAHULUAN.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

BAB 1

PENDAHULUAN

I. PENGANTAR FIQH DAN USHUL FIQH

A. Pengertian Fiqh, Syari`ah dan Ushul Fiqh

Kata fiqh / ف�ق�ه�� ف�قه� :fi`ilnya) ال فق�ه- ي ) secara bahasa berarti: م�� �ع�ل ال(pengetahuan) atau ه�م�ف� saja, baik pemahaman itu secara (pemahaman) الmendalam ataupun dangkal.1 Sementara itu Abu Zahrah mengatakan bahwa

arti al-fiqh secara bahasa tidak sekadar pemahaman saja tapi ه�م�ف� ال�ق�ا �عم�ي ل yaitu pemahaman yang mendalam.2

Adapun pengertian fiqh menurut istilah adalah:

�م� �ع�ل ل � ا ام ح�ك�� �أل �ا �ة� ب ي ع� ر� �ة� الش�� ��ي�� �عمل ب� ال س�� �ت �م�ك ا م�ن� ال �ه�� �ت د�ل ا�ة� �ي �ل �ف�ص�ي 3 الت

"Ilmu tentang hukum-hukum syar`i yang praktis yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci."

atau:

�م� �ع�ل ل �ذ�ى ا +ن� ال ي �ب ام ي ح�ك �أل �ة ا ي ع� ر� ��ت�ى الش �ق� ال عل ت ف�عال� ت �ا ب�ن �ف�ي ل �م�ك طة� ال �ب ن ت �م�س� �ها م�ن� ال �ت د�ل �ة� ا �ي �ف�ص�ل 4 الت

"Ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syar`i yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan para mukallaf yang dikeluarkan dari dalil-dalilnya yang terperinci."

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fiqh bukanlah hukum syar`i itu sendiri, tetapi interpretasi terhadap hukum syar`i (baca: syari`ah). Sementara syari`ah dalam pengertian masa awal adalah agama Islam yakni segala ketentuan Allah yang disyari`atkan kepada hamba-hamba-Nya, baik menyangkut aqidah, ibadah, akhlaq dan mu`amalah.5 Namun dalam perkembangan selanjutnya kata syari`ah lebih ditujukan penggunaannya untuk hukum Islam yang bersifat praktis (`amali). Syari`ah adalah:

ار�ع� خ�طاب� ��م� الش عل�ق�ال ف�عال� ت �ا �ن ب �ف�ي ل �م�ك ا ال ب��7 و� طل ا أ ر7 �ي��� ي خ� ت

و� 6 وض�ع7ا أ

1

Page 2: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

“Titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf, baik berupa tuntutan (untuk melaksanakan atau meninggalkan), pilihan, maupun berupa wadh`i (syarat, sebab, halangan, sah, batal, dan rukhshah).”

Dari definisi fiqh yang kedua di atas, dapat pula diketahui bahwa obyek ilmu fiqh adalah segala perkataan dan perbuatan para mukallaf dari segi hukum. Mukallaf adalah orang yang sudah terbebani tanggung jawab karena sudah âqil dan bâligh.

Selain istilah fiqh di atas, dikenal juga istilah ushul fiqh ( ص�و�ل�� أ

�ف�ق�ه� yang secara bahasa berarti dasar-dasar ilmu fiqh. Sedangkan ( الmenurut istilah, ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk mengistinbâthkan (menggali/mengeluarkan) hukum Islam dari dalil-dalilnya yang terinci. Hal-hal yang dibicarakan dalam ushul fiqh adalah kaidah-kaidah fiqhiyyah, kaidah-kaidah ushuliyyah, kaidah-kaidah bahasa, dan metode-metode dalam berijtihad.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah fiqh mengacu kepada ilmu yang membahas masalah-masalah hukum Islam yang praktis, sedangkan istilah ushul fiqh mengacu pada ilmu yang membahas kaidah-kaidah mengenai metode dalam menggali hukum dari dalil-dalilnya yang sudah terinci. Contoh: Mengapa shalat dan zakat itu wajib? Seorang ahli fiqh akan menjawab dengan mendasarkannya pada firman Allah SWT antara lain dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 43:

ق�يم�وا ة وأ �وا الص�ال اة وءات ك �ع�وا الز ك �ع�ين مع وار� اك �الر“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku.”

Tetapi bila muncul pertanyaan, kenapa dari ayat tersebut bisa disimpulkan bahwa shalat itu wajib, maka ahli ushûl al-fiqh akan menjawab dengan mendasarkannya pada kaidah bahasa yang berbunyi:

م�ر� ف�ى األص�ل� �أل �و�ج�وب� ا �ل ل“Pada dasarnya perintah itu (menunjukkan) pada wajib.”

Dan kata ahli ushûl al-fiqh lebih lanjut bahwa: م�ر� �أل ئ� ا ��الش ه�يJ ب عن� ن ”.Perintah kepada sesuatu berarti larangan kepada kebalikannya“ ض�د+ه�

B. Pembagian Fiqh

Secara garis besar fiqh dibagi menjadi dua macam, yaitu:1. Fiqh Ibadah (dalam arti sempit = `ibâdah mahdlah/`ibâdah khâshshah)

yaitu: perkataan dan perbuatan para mukallaf yang berkaitan langsung dengan Allah SWT. Hal yang dibahas dalam fiqh ibadah adalah masalah-masalah thaharah, shalat, zakat, puasa dan haji.

2

Page 3: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

2. Fiqh Mu`amalat (dalam arti luas) yaitu perkataan dan perbuatan para mukallaf yang berkaitan dengan sesamanya. Lingkup pembahasan fiqh mu‘amalah sekitar masalah jual-beli, perkawinan dan perceraian, waris, peradilan, hukum pidana, masalah kenegaraan, dan hubungan internasional.

C. Sumber dan Dasar Hukum Islam

Pada dasarnya sumber hukum Islam hanya ada dua yakni Al-Qur'an dan al-Sunnah. Segala persoalan yang muncul harus dikembalikan pada kedua sumber tersebut.7 Dalam hal ini, Al-Qur’an merupakan sumber rujukan utama (QS. 2: 2, 185; 25: 1; 4: 105; 7: 3), sedangkan al-Sunnah yang diceritakan melalui hadis Nabi saw adalah sumber hukum kedua yang berfungsi sebagai penjelas (bayân) kehendak Allah dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman:

ا �ن ل �ز ن �ك وأ ي �ل �ر إ +ن الذ+ك ي �ب �ت �اس� ل �لن ل ما ل �ز+ �ه�م� ن ي �ل �ه�م� إ عل ولون �ر� فك ت ي

“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur'an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. Al-Nahl/16: 44).

Kehujjahan Al-Qur’an sebagai sumber hukum antara lain didasarkan pada firman Allah SWT:

�ا �ن ا إ �ن ل �ز ن �ك أ ي �ل اب إ �ت �ك �حق+ ال �ال �م ب ح�ك �ت �ن ل ي �اس� ب �ما الن باك ر

�ه� أ اللSesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu. (QS. Al-Nisa’/4: 105) Dan firman-Nya yang lain:

�ع�وا �ب �ز�ل ما ات ن� �م� أ �ك ي �ل �م� م�ن� إ +ك ب �ع�وا وال ر �ب ت �ه� م�ن� ت اء د�ون �ي و�ل

أ�يال ون ما 7قل �ر� ذك ت

Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (QS. Al-A‘raf/7: 3)

Sedangkan kehujjahan al-Sunnah sebagai sumber hukum kedua adalah karena banyaknya ayat Al-Quran yang memerintahkan untuk taat kepada Nabi Muhammad saw setelah perintah taat kepada Allah SWT (QS. 3: 32, 33; 4: 59). Bahkan manifestasi dari ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya yakni dengan mentaati Rasul-Nya (QS. 4: 80). Dan memang tidaklah pantas bagi mu'min laki-laki dan perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang

3

Page 4: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, dalam kesesatan yang nyata. (QS. Al-Ahzab/33: 36) Selanjutnya kata Allah SWT:

اق�ق� ومن� �ش ول ي س� �ع�د� م�ن� الر �ن ما ب ي ب ه� ت �ه�دى ل �ع� ال �ب ت وي�ر �يل� غي ب �ين س �م�ؤ�م�ن +ه� ال �ول ول�ى ما ن �ه� ت �ص�ل �م ون هن ج

اءت� ا وس مص�ير7Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali (QS. 4: 115).

Atas dasar inilah Allah SWT kemudian memerintahkan untuk mengambil pelajaran apa saja yang datang dari Rasul-Nya, dan menjauhi apa saja yang dilarangnya:

�م� وما اك ول� ءات س� ��م� وما فخ�ذ�وه� الر هاك �ه� ن ه�وا عن �ت فان�ق�وا �ه وات �ن� الل �ه إ د�يد� الل �ع�قاب� ش ال

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. Al-Hasyr/59: 7).

Namun ketika ada permasalahan baru yang tidak ditemukan hukumnya secara jelas dan tegas dalam Al-Qur'an maupun al-Sunnah, maka diharuskan melakukan ijtihâd yaitu mengerahkan segala kemampuan dalam menggali hukum syar‘i untuk mendapatkan suatu kepastian hukum dengan mengacu kepada prinsip-prinsip pokok ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur'an dan al-Sunnah. Di sinilah ijtihad memegang peranan yang sangat strategis dalam menyelesaikan berbagai masalah hukum Islam kontemporer.

Bila ijtihad ini dilakukan oleh ulama fiqh (mujtahid) di seluruh dunia tentang suatu persoalan dalam satu masa dan kemudian disepakati hukumnya, maka ia disebut dengan ijmâ` atau sebagian ulama menyebutnya dengan ijtihâd jamâ`iy. Namun bila hanya disepakati oleh sebagian mujtahid di beberapa negara yang tidak mewakili seluruh lapisan masyarakat muslim lainnya maka belumlah dapat dikatakan sebagai ijmâ`.

Dengan demikian, untuk kondisi saat ini, khususnya karena melihat penyebaran agama Islam ke seluruh penjuru bumi, adanya perbedaan keadaan geografis dan perbedaan budaya, maka sangatlah sulit terjadi ijma`. Bahkan Daud bin Ali dan Imam Ahmad mengatakan bahwa ijma` hanya pernah sekali terjadi pada masa sahabat, sedangkan masa sesudahnya tidak mungkin lagi terjadi ijma`. Kalaupun ada ulama yang berpendapat bahwa masih memungkinkan terjadi ijma`, maka ia hanya dapat disebut sebagai ijma` lokal. Pada umumnya ijma` lokal ini juga didasarkan pada `urf (adat kebiasaan) yakni budaya lokal atau tradisi masyarakat setempat. Dalam hal

4

Page 5: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

ini, Imam Hanafi menjadikan `urf sebagai salah satu dalil syar`i, dengan catatan selama tidak bertentangan dengan ketentuan Syara`.8

Mengenai kehujjahan ijmâ`, jumhur ulama seperti Imam Hanafi, Syafi`i, termasuk Abdul Wahab Khallaf berpendapat bahwa ijma` dapat dijadikan sebagai hujjah dengan catatan bahwa ijma` tersebut adalah ijmâ` sharîh dan bukan ijma` sukuti. Ijmâ` sharîh yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa atas hukum suatu permasalahan dengan menampilkan pendapat secara jelas, sedangkan ijmâ` sukûti yaitu seluruh atau sebagian ulama berdiam diri, tidak menyatakan pendapatnya, baik ia menyetujuinya ataupun menolaknya.

Adapun tentang qiyâs (penganalogian suatu masalah baru kepada nash karena adanya kesamaan `illat yaitu sifat pengenal penyebab adanya hukum), istihsân (berpindah dari suatu hukum kepada hukum lain karena adanya dalil syara` yang menghendaki demikian), istishlâh atau mashlahah mursalah (menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya, dengan didasarkan pada kemaslahatan semata) dan istishhâb (membiarkan tetap berlangsungnya suatu hukum di masa lampau karena belum adanya dalil yang merubahnya), sesungguhnya lebih merupakan metode dalam berijtihad

yang kemudian dijadikan sebagai dasar / dalil hukum Islam ( �ة� د�ل األ�ة� ي ع� ر� � dan bukan sebagai sumber hukum. Sementara Al-Qur’an dan ,(الشal-Sunnah, di samping sebagai sumber hukum juga sekaligus menjadi dasar hukum Islam.

D. Tujuan Hukum Islam

Semua hukum yang disyari`atkan Allah SWT mesti memiliki tujuan. Tujuan

ini dalam istilah ilmu fiqh dikenal dengan istilah اص�د�قة� م� �ع�ي ر�ي �ش� الت :

tujuan pensyari‘atan atau biasa juga disebut dengan اص�د�قة� مع� ر�ي �الش : tujuan hukum Islam. Dan tujuan inti hukum Islam disyariatkan oleh Allah SWT adalah untuk kemashlahatan manusia.9

Kemashlahatan itu sendiri bertingkal-tingkat, yaitu pertama, tingkat dlarûriyat yakni mutlak harus ada karena sifatnya yang sangat esensial, penting dan mendesak. Jika tidak segera dipenuhi maka akan menimbulkan kerusakan yang dapat mengancam eksistensi agama dan manusia. Hal yang bersifat dlarûry mengacu kepada pemeliharaan terhadap lima hal, yang secara berurutan dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Pemeliharaan agama ( �ن ح�ف�ظ� �الد+ي )

2. Pemeliharaan jiwa ( �ف�س ح�ف�ظ� �الن )

3. Pemeliharaan akal ( �العق�ل ح�ف�ظ� )

4. Pemeliharaan keturunan ( �س�ل ح�ف�ظ� �الن ), dan

5. Pemeliharaan harta dan kehormatan ( ل ح�ف�ظ� والع�ر�ض �الم�ا ).10

5

Page 6: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

Kedua, tingkat hâjjiyat dalam arti sangat dibutuhkan untuk menghilangkan kesulitan dan kesempitan, tapi tidak sampai menimbulkan kerusakan.

Ketiga, tingkat tahsîniyat atau takmîliyat yaitu sebaiknya ada untuk mewujudkan kesempurnaan dan kebaikan hidup. Kalaupun hal ini tidak dipenuhi maka tidak akan menimbulkan kesulitan, apalagi kemadharatan dalam hidup.11

E. Asal-asas Hukum Islam

Ada lima asas hukum Islam12 yang dijadikan sebagai prinsip dasar penetapan hukum Islam, yaitu:

1. Meniadakan kesempitan ( ف�ي� ج� ن �حر ال )Hal ini didasarkan pada firman Allah antara lain dalam QS. Al-Hajj/22 : 78:

�م� جعل وما … �ك ي �ن� ف�ي عل جa م�ن� الد+ي … حر"… dan Dia tidaklah menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan …"

Juga dalam QS. Al-Baqarah/2 : 185:

�د� … �ر�ي �م� الله� ي �ك ر ب �س� �ي ال �د� وال �ر�ي �م� ي �ك ر ب �ع�س� … ال"… Allah menghendaki kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian …"

Juga dalam QS. Al-Baqarah/2 : 286 :

ل+ف� ال �ك ا الله� ي ف�س7 � ن �ال عها إ … و�س�"Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya…”

Ayal-ayat di atas kemudian dipertegas dengan sabda Nabi saw: ��ن الد+ين إ Jر �س� -Sesungguhnya agama itu mudah.” (HR. Al-Bukhari dan Al“ : ي

Nasa’i) dan pesan beliau terhadap dua utusannya: ا ر س+ ي ا وال ر �عس+ ت : “Mudahkanlah dan jangan mempersulit” (HR. Muttafaq `alaih)

2. Menyedikitkan beban ( �ك �يلل�قت �ف�االت �ي ل ) Hal ini didasarkan dalam QS. Al-Ma'idah/5 : 101 :

ا cها ي ي �ن أ �ذ�ي �و�ا ال آمن �و�ا ال ل

أ س� اء عن� ت ي ش� �ن� أ �د إ �ب �م� ت ك �م� ل ؤ�ك س� ت…

"Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kalian, justru akan menyusahkan kalian …"

6

Page 7: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

Di sinilah salah satu letak kemujizatan Al-Qur'an karena hanya memuat masalah umum yang kemudian disusun kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip umum sehingga dapat berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Itu pulalah sebabnya kenapa jumlah ayat yang berkenaan dengan hukum hanya berkisar 350-an ayat dari jumlah ayat secara keseluruhan dalam Al-Qur'an sebanyak 6236 13 ayat lebih.

3. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum ( ج� cرد� �ع� ف�ى الت ر�ي �ش� الت )Bagaimanapun juga, masyarakat Arab pada waktu itu telah mempunyai kebudayaan dan tradisi jahiliyah yang sudah mengakar kuat. Oleh karena itu, untuk kepentingan dakwah Islamiyah maka perintah dan larangan tidak bisa disampaikan secara sekaligus dan secara hitam putih. Itulah sebabnya kenapa Al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur, surat demi surat atau ayat demi ayat dan kadang-kadang menurut peristiwa-peristiwa tertentu.Contoh yang sering dikemukakan adalah pelarangan terhadap khamr (minuman keras) dan judi. Pertama kali, Allah SWT menurunkan QS. Al-Nahl/16: 67 yang menceritakan aktifitas dalam memproduksi minuman memabukkan. Kemudian Allah SWT menurunkan QS. Al-Baqarah/2: 219 yang isinya pun belum melarang secara tegas minuman keras dan judi.

ك �و�ن ل أ س� ر� عن� ي �خم��� ر� ال �س��� �مي ل� وال ا ق��� �ه�م�� �مJ ف�ي �ث رJ إ �ي��� ب ك

اف�ع� �اس� ومن �لن �م�ه�ما ل �ث ر� وإ �ب ك ف�ع�ه�ما م�ن� أ … ن

“Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan maisir (judi). Katakanlah, pada keduanya terdapat dosa (madharat) yang besar dan ada beberapa manfaat bagi manusia. Namun dosa pada keduanya lebih besar dari pada manfaatnya …” (QS. Al-Baqarah/2: 219)

Pada tahapan ini, Allah SWT belum secara tegas melarang minum khamr yang sudah menjadi tradisi masyarakat Arab saat itu. Ayat ini hanya menyatakan bahwa keduanya (khamr dan judi) mengandung dosa (madharat) yang lebih besar di samping memang diakui ada beberapa manfaatnya. Pernyataan Allah SWT dalam kalimat seperti ini sebenarnya sekaligus memberikan pelajaran penting bahwa dalam bertindak hendaknya senantiasa mengikutkan pertimbangan madharat dan manfaatnya. Ketika kebiasaan minum khamr ini dalam prakteknya ternyata mengganggu kegiatan shalat maka larangan pada tahap ketiga pun turun:

cها ي اأ �ذ�ين ي وا ال ءامن��� وا ال ب��� ق�ر ة ت ال ��م� الص�� �ت ن ارى وأ ك حت�ى س���

م�وا ع�ل �ون ما ت ق�ول ... ت“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan...” (QS. Al-Nisa’/4: 43)

7

Page 8: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

Setelah akal dan jiwa mereka dapat menerima pertimbangan madharat dan manfaatnya dan mulai terbiasa dengan pola pemikiran tersebut, barulah Allah SWT menurunkan QS. Al-Ma`idah/5: 90-91 yang berisi larangan tegas terhadap minuman keras dan judi.

آ �ها ي ي �ن أ �ذ�ي �وا ال من ا آ �م�� �ن ر� إ �خم��� ر� ال �س��� �مي اب� وال �ص�� ن �أل وا

م� ال ز� �أل �طان� عمل� م�ن� ر�ج�سJ وا ي ��وه� الش �ب ن ت اج� �م� ف�� �ك عل ل�ح�ون �ف�ل �ما ت �ن �د� . إ �ر�ي �طان� ي ي �ن� الش �و�ق�ع أ �م� ي ك �ن ي �عداوة ب ال

غ�ضاء �ب �خم�ر� ف�ي وال ر� ال �س� �مي �م� وال ص�دcك �ر� عن� وي الله� ذ�ك

ة� وعن� �م� فهل� الص�ال �ت ن ه�ون أ �ت م�ن“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamr, judi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji yang termasuk dalam perbuatan syaitan. Maka jauihilah perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran meminum khamr dan berjudi, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan dari shalat. Maka tidakkah kamu berhenti (dari mengerjakan itu)” (QS. Al-Maidah/5: 90-91)

4. Sejalan dengan kemashlahatan manusia ( اد� �صال�ح �ع�ب ال )Sesungguhnya hukum atau syari`at Islam ditetapkan oleh Allah SWT tidak lain kecuali hanya untuk kemaslahatan (kebaikan) umat manusia semata. Menurut Al-Syatibi bahwa tidak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan.14 Sesuatu yang tidak mungkin terjadi pada hukum Allah. Dan hukum Islam disyariatkan sebesar-besarnya untuk kemashlahatan manusia di dunia dan di akhirat secara bersama-sama.15 Prinsipnya, Hukum Islam tidak akan mungkin mengharamkan sesuatu yang memang betul-betul dibutuhkan oleh manusia kapanpun dan di manapun, sebagaimana ia (Islam) tidak membolehkan sesuatu yang membahayakan manusia.

5. Mewujudkan keadilan yang merata.Dalam penetapan dan penegakan hukum menurut Islam maka prinsip keadilan menjadi perhatian utama dalam Al-Qur’an (QS. Al-Hadîd/57: 25). Konsep persamaan kedudukan manusia di muka hukum harus mengacu kepada konsep Tuhan yang menyamakan kedudukan manusia di hadapan Allah SWT. Oleh karenanya, konsep keadilan haruslah senantiasa ditegakkan dalam penetapan hukum sebagaimana firman Allah SWT:

آ cها ي ي �ن أ �ذ�ي �وا ال من �وا آ �و�ن �ن ك �ه� قو�ام�ي �ل هدآء ل �ق�س�ط� ش� �ال ب �م� وال �ك ج�ر�من ان� ي ئ ن a ش � على قو�م ال ع�د�لو�ا أ �ع�د�لو�ا ت ه�و ا

ب� ق�ر �ق�وى أ �لت … ل8

Page 9: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

"Hai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang senatiasa menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berbuat tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa…" (QS. Al-Ma`idah/5: 8)

Juga firman Allah SWT:

آ cها ي ي �ن أ �ذ�ي �وا ال �وا آمن �و�ن �ن ك �ق�س�ط� قو�ام�ي �ال هدآء ب �ه� ش� �ل لو� �م� على ول ك �ف�س� ن و� أ

�ن� أ �دي �وال �ن ال �ي ب ق�ر �أل �ن� وا �ن� إ �ك rا ي �ي غنو� ا أ �ر7 و�لى فالله� فق�ي

�ه�ما أ ب �ع�وا فال �ب ت �هوى ت ن� ال د�لو�ا أ ع��� ت…

“Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap (kepentingan) dirimu sendiri, atau kedua orang tuamu dan karib kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin maka Allah lebih tahu kemashlahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsumu karena ingin menyimpang dari kebenaran …” (QS. Al-Nisa`/4: 135)

Kedua ayat di atas menegaskan bahwa keadilan hukum harus senantiasa ditegakkan terhadap siapapun juga meskipun terhadap orang-orang yang kita cintai atau yang kita benci, atau bahkan terhadap persoalan yang melibatkan kepentingan diri sendiri.

Ayat inilah yang kemudian menginspirasi Nabi saw dalam menegakkan keadilan ketika seorang wanita terhormat Quraisy mencuri dan akan menjalani had potong tangan. Para tokoh Quraisy kemudian melakukan pendekatan terhadap pemuda kesayangan Nabi yang bernama Usamah bin Zaid untuk menyampaikan permohonan pembebasan hukuman kepada Nabi saw. Mendengar hal ini Nabi saw menegur Usamah:

�ما �ن ك إ ه�ل�� ذ�ين أ ��م� ال�� ك �ل �ه�م� قب ن �وا أ ان �ذا ك�� ق إ ر ف�يه�م� س��

ر�يف� �وه� الش ك��� ر �ذا ت ق وإ ر ع�يف� ف�يه�م� س�� �ام�وا الض�� ق�� أه� ي��� د� عل �ح�� �م� ال ه� واي �و� الل�� ن� ل�� ة أ �ت فاط�م�� �ن دa ب � م�حم��

قت� ر قطع�ت� س دها ل ي“Sesungguhnya orang (terdahulu) sebelum kamu binasa lantaran jika yang mencuri adalah orang terhormat di kalangan mereka, mereka membiarkannya. Namun jika yang mencuri adalah orang lemah di kalangan mereka, mereka melaksanakan hukuman tersebut. Demi Allah, sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, maka aku sendiri yang memotong tangannya.” (HR. Jama`ah16, dari Usamah)

9

Page 10: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

F. Kaidah-kaidah Fiqhiyyah dan Ushuliyyah

Kaidah fiqhiyyah ( د� �قواع� �ة� ال �ف�ق�ه�ي ال ) adalah kaidah atau teori yang disusun oleh ulama fiqh yang bersumber dari Syari`at dengan didasarkan pada asas dan tujuan pensyari`atan. Tujuan pensyari`atan yang dikenal

dengan istilah اص�د�قة� م� �ع�ي ر�ي �ش� الت adalah untuk merealisir kemaslahatan dan menolak kemadharatan. Inilah yang ditegaskan oleh Syeikh Izzuddin bin Abdussalam (wafat 660 H)—sufi dan ahli fiqh dari kalangan Syâfi`iyyah-- bahwa segala masalah fiqhiyyah itu sesungguhnya hanya kembali kepada dua

kaidah, yakni: ؤ� د� در� �مفاس� ال (menolak segala yang merusak); dan ب�� ل ج

�ح� �مصال 17 Al-Syâtibi.(menarik segala yang membawa kemaslahatan) ال

(wafat 684 H) kemudian mempopulerkan sebuah kaidah: ة� �ر �ع�ب �مقاص�د� ال ب�عة� ر�ي �.Ketentuan hukum didasarkan pada tujuan syari`at : الش

Selain kaidah fiqhiyyah ada pula kaidah ushuliyah ( د� �قواع� ال�ة� �ي yaitu kaidah-kaidah yang dipakai oleh ulama ushul berdasarkan ,(األص�و�لmakna dan tujuan ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli bahasa. Itulah sebabnya sebagian ulama menyebutkan kaidah ushuliyah sebagai kaidah bahasa karena dibangun berdasarkan logika bahasa. Contohnya antara lain:

�ه�ي� ف�ى األص�ل� �لن � ا �م �ح�ر�ي �لت ل“Pada dasarnya larangan itu (menunjukkan) pada pengharaman.”

م�ر� �أل ع�د ا �ه�ي� ب �د� الن �ف�ي ة ي اح اإلب“Perintah setelah larangan menunjukkan pada kebolehan.”

ة� �ر �ع�ب � ال �ع�م�وم �ف�ظ�، ب الل �خ�ص�وص� ال ب� ب ب �الس“Ketentuan hukum didasarkan pada keumuman lafadz, bukan pada kekhususan sebab.”

Termasuk dalam kaidah ushuliyah yakni kaidah perantara. Hal ini karena tidaklah logis bila suatu perbuatan diwajibkan sedangkan perantaranya dilarang, atau sebaliknya, suatu perbuatan dilarang sedangkan perantaranya dibolehkan. Sehubungan dengan hal tersebut maka ada dua kaidah perantara yang penting untuk diperhatikan, yakni:

م�ر� 18 .1 ء� األ ي� ��الش م�رJ ب �ه� أ �ل ائ �وس ا و ب �وس �ل �ل� ل �م� ئ ح�ك

�مقاص�د� ال“Perintah kepada sesuatu adalah perintah (juga) kepada perantaranya, dan bagi perantara, hukumnya sama dengan hukum yang dituju.”

10

Page 11: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

Kaidah yang senada dengan kaidah di atas adalah:

cم� �ت ي � واج�بJ ماال �ال �ه� إ واج�بJ فه�و ب“Sesuatu yang menjadikan kewajiban tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu itu, maka iapun menjadi wajib adanya.”

2. cد �عة� س الذ�ر�ي“Menutup jalan yang menuju ke perbuatan terlarang.”

Saddudz-dzari'ah ini didasarkan pada firman Allah dalam QS. Al-An`am/6: 108:

cوا وال ب س� �ن ت �ذ�ي د�ع�و�ن ال cوا الله� د�و�ن� م�ن� ي ب س��� د�و7ا الل��ه في ع����ر� �غي a ب �م ل … ع�

“Dan janganlah kamu memaki sembahal-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampai batas tanpa dasar pengetahuan…”

Ayat di atas berisi cegahan atau larangan memaki sesembahan orang musyrik yang bisa berakibat mereka akan memaki Allah Yang Maha Suci. Demikian pula ada hadis Nabi saw riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim tentang larangan memaki kedua orang tua seseorang karena bisa berakibat orang tersebut balas memaki orang tua yang memaki pertama.

Selanjutnya akan dijelaskan lima kaidah fiqhiyyah yang pokok (Qawâ'idul-khams) beserta kaidah lain yang muncul seiring dengan adanya kaidah-kaidah tersebut:

�م�و�ر� .1 �أل �مقاص�اد�ها ا ب “Segala urusan tergantung pada tujuannya.”

Kaidah ini dibangun berdasarkan QS. Ali Imran/3: 145, dan hadis Nabi saw tentang niat:

�ما �ن ع�مال� إ �ات� األ� +ي �الن �ما ب �ن �ل+ وإ �ك وى ما ام�ر�ئa ل ن

Semua amal mesti disertai dengan niat dan semua orang dibalas sesuai dengan apa yang diniatkannya. (HR. Al-Bukhari & Muslim dari Umar bin Khathab ra)

Kaidah yang kemudian muncul seiring dengan adanya kaidah tersebut, misalnya:

�ف�ظ� مقاص�د� �ة� على الل �ي �ف�ظ� ن الال“Maksud lafal itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya.”

Contoh: Pada kasus thalaq kinayah (talak dengan sindiran), tidaklah sekaligus jatuh talak bila belum ditanyakan maksud dari ucapannya itu.

11

Page 12: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

Jika ucapan itu memang diniatkan untuk talak maka jatuhlah talaknya. Namun bila ternyata tidak dimaksudkan untuk talak maka tidaklah jatuh talaknya meskipun dari segi akhlak dia tercela karena mempermainkan kata-kata talak.

�ن� .2 ق�ي �ي ال� ال ز ي ك+ ال ��الش ب

“Keyakinan tidak dapat dihapus dengan keraguan.”

Kaidah ini dibangun berdasarkan sabda Rasulullah saw.:

�ك ما دع� ر�يب �لى ي ما إ �ك ال ر�يب … ي”Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada yang tidak meragukanmu…” (HR. Al-Tirmidzi, al-Nasâ’i, Ahmad dan al-Dârimi)

Kaidah ini juga didasarkan pada hadis Nabi saw:

�ذا ك� إ �م� ش حد�ك �ه� ف�ي أ ت م� صال د�ر� فل م� ي�� ل�ى ك ال ص�� اث ث��7م� ع7ا أ ب ر�

ح� أ ط�ر �ي ك� فل ��ن� الش ب �ي �قن ما على ول ي ت … اس�“Apabila salah seorang kalian ragu dalam shalatnya, ia tidak mengetahui berapa raka`at yang telah ia kerjakan, apakah tiga atau empat, maka hendaklah tinggalkan yang meragukan dan binalah menurut apa yang meyakinkan...” (HR. Muslim, al-Nasâ’i, Abu Daud)

Kaidah yang muncul kemudian antara lain:

a. ن�م �ك ف�عل ش 7ا أ �ئ ي م� ش أ ص�ل� ال �أل �ه� فا ن

م� أ �ه� ل ف�عل ي “Barang siapa ragu-ragu apakah ia sudah mengerjakan sesuatu atau tidak, maka menurut asalnya ia dianggap belum mengerjakannya.”

b. ن�م ن� قي ت �ف�ع�ل ي ك� ال �ل� ف�ى وش �ي �قل �ر� ال �ي ث �ك و�ال ح�م+ل أ

�ل� على �ي �قل ال “Barangsiapa yang yakin melakukan pekerjaan namun ia ragu tentang sedikit atau banyaknya, maka harus dibawa ke yang sedikit.”

Pada hadis riwayat Imam Tirmidzi dan Nasa’i, jika ragu dalam jumlah raka`at shalat, dituntunkan untuk memilih (menetapkan) rakaat yang terkecil, karena lebih pasti dan meyakinkan. Hal ini karena dalam menghitung, sebelum sampai pada hitungan yang besar mesti lebih dulu melalui hitungan yang kecil.

c. Dalam soal mu`amalah duniawiyah, muncul kaidah dasar (ushûliyah):

ص�ل� �أل اء� ف�ى ا ي ش� ة� اال� اح �ب �ال د�ل� حت�ى ا �ل� ي �ي � على الد�ل �م �ح�ر�ي الت

“Asal segala sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.”

12

Page 13: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

Sedangkan kaidah dasar dalam soal ibadah adalah:

ص�ل� �أل ادة� ف�ى ا �ع�ب ن� ال �ط�ال �ب ق�وم حت�ى ال �لJ ي �ي م�ر� على دل �أل ا

“Asal ibadah itu batal ( Jام haram) sampai ada dalil yang/حرmemerintahkannya.”

Kaidah ini antara lain didasarkan pada hadis Nabi saw :

ح�دث من� ا ف�ى أ م�ر�ن �س ما هذا أ ي د~ فه�و ف�يه� ل ر

“Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusanku ini sesuatu yang tidak ada padanya, maka hal tersebut ditolak.” (Muttafaq `alayh, dari `Aisyah)

d. ص�ل� �أل �ل+ ف�ى ا اد�ثa ك ه� ح �ر� ق�د�ي ب� ت ق�ر �أ �ه� ب من ز

“Asal setiap peristiwa penetapannya menurut masa yang terdekat dengannya.”

Misalnya: Dalam kasus jual beli hewan. Setelah si pembeli bersepakat dengan si penjual dan membayar harganya, kemudian hewan tersebut dibawa pulang lalu diberi makan dan minum. Ternyata keesokan harinya hewan yang dibeli tersebut mati. Atas kejadian itu si pembeli menggugat si penjual dengan alasan bahwa hewan yang dijual itu ternyata sudah sakit-sakitan. Dalam hal ini gugatan si pembeli tidak dapat dibenarkan, kerena kematiannya tidak dapat dikaitkan dengan sebelum pembelian, tetapi harus dikaitkan dengan peristiwa yang terdekat sesudah akad selesai dan sebelum kematian yakni pada saat pemberian makal-minum.

ق�ة� .3 �مش ل ل�ب� ا ج� �ر ت ي �س� �ي الت

“Kesukaran itu menarik kemudahan.”

Kaidah ini bersumber dari firman Allah dalam QS. Al-Baqarah/2: 185, Al-Ma'idah/5: 6 dan hadis Nabi saw tentang keringanan dan kemudahan.Kaidah di atas sekaligus menjadi sumber adanya rukhshah (kemurahan) dan takhfîf (keringanan) dalam melaksanakan tuntunan Syari`at yang karena sebab atau keadaan tertentu sangat sulit untuk dilaksanakan, seperti: karena sedang bepergian, sakit, terpaksa, lupa, kurang mampu dan kesukaran yang umum dialami.Keringanan itu sendiri bermacam-macam, yaitu keringanan yang berupa pengurangan kewajiban (seperti: mengqashar shalat bagi yang bepergian), pengajuan atau pengunduran waktu pelaksanaan kewajiban (seperti: shalat dengan jama` taqdîm atau jama` ta'khîr), penggantian bentuk kewajiban (seperti: bertayammum sebagai ganti wudhu/mandi bila sakit atau tidak menemukan air), keringanan yang berupa perubahan hukum (seperti: shalat dengan posisi berubah-ubah dalam keadaan sedang berperang), dan bahkan pengguguran kewajiban (seperti: gugurnya kewajiban berhaji dan berjihad bagi yang tidak mampu/ada uzur, gugurnya kewajiban shalat bagi wanita haid atau nifas). Namun

13

Page 14: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

yang harus diingat bahwa kemurahan tersebut tidak boleh dikaitkan dengan kemaksiatan. Kaidah yang kemudian muncul dalam kaitannya dengan kemurahan, yakni:

خص� cلر اط� ا �ن ت �معاص�ى ال �ال ب“Rukhshah-rukhshah itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan.”

ر� .4 لض�ر ال� ا �ز ي“Kemadharatan itu harus dilenyapkan.”

Kaidah ini didasarkan pada firman Allah dalam QS. al-Qashash/28: 77 dan sabda Rasulullah saw.:

ر ضر ار ال ض�ر ماجة( ابن و مالك )رواه وال“Tidak berbahaya dan tidak pula membahayakan.”(HR. Malik dan Ibn Majah)

Kaidah-kaidah yang muncul kemudian, antara lain:

a. ة� و�ر �ح� الض�ر� �ي �ب ات� ت �مح�ظ�و�ر ال “Keadaan dharurat itu membolehkan yang dilarang.”

Menurut para Fuqaha bahwa kaidah ini didasarkan pada QS. Al-Baqarah/2: 173, Al-An`am/6: 145 dan 119.

b. ح�� �ي ة� مااب و�ر �لض�ر� �قد�ر� ل �قد�ر�ها ي ب“Sesuatu yang dibolehkan karena dharurat ditetapkan hanya sekadar kedharuratannya.”

Atau dengan kaidah yang senada: ام از �ع�ذ�رa ج طل ل �ه� ب وال �ز ب“Sesuatu yang diperbolehkan karena uzur, batal lantaran hilangnya uzur.”

c. ر� لض�ر ال� ا �ز ي �ه� ال �ل �م�ث ب“Kemadharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemadharatan yang sama.”

d. ء� د� در� �مفاس� ل�ب� على م�قد�مJ ال �ح� ج �مصال ال “Menolak kerusakan harus didahulukan dari pada menarik kemaslahatan.”

e. اذ� ض إ عار ان� ت دت و�ع�ي مف�س ع�ظم�ها ر� ا أ ر7 ضراب� �ك ت �ار� خف+ه�ما ب أ

14

Page 15: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

“Apabila dua kerusakan saling berlawanan (bertemu), maka haruslah lebih diperhatikan yang lebih besar madharatnya dengan melaksanakan yang lebih ringan madharatnya dari keduanya.”

Atau biasa disebut secara singkat: cفخ �ن� أ ي ر الض�ر�“Yang lebih ringan (madharatnya) dari dua madharat.”

�عادة� .5 �مة� ال م�حك“Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum.”

Kaidah ini didasarkan pada sebuah riwayat.:

ى أ �م�ون فمار ل �م�س� 7ا ال ن �د فه�و حس ن �ه� ع� نJ الل … حس“Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka di sisi Allah pun baik.” (HR. Ahmad, dari Ibnu Mas`ud. Hadis ini dinilai mawqûf)

Imam Malik dalam hal ini lebih banyak menetapkan hukum dengan berdasarkan amalan penduduk Madinah. Demikian pula Imam Syafi`i setelah pindah dari Baghdad ke Mesir mengganti fatwanya sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat yang berlaku di negara "baru" itu. Karenanya fatwa-fatwa beliau dapat dibedakan dengan qawl qadīm (pendapat terdahulu) ketika beliau masih di Baghdad dan qaul jadīd (pendapat terbaru) ketika sudah di Mesir.

Kaidah yang kemudian muncul misalnya:

ر� ال �ك �ن cر� ي غي � ت ام ح�ك �ال �ة) ا �ي �ن ة� على �المب ح ف� المص�ل �ع�ر� (والcر� غي �ت مان� ب ز� �ال ا

“Tidak dapat diingkari adanya perubahan hukum (yang dibangun oleh mashlahat dan `urf) lantaran adanya perubahan zaman.”

Atau :

cر� غي � ت ام ح�ك �ال �ة) ا �ي �ن �لمب ة� على �ا ح ف� المص�ل �ع�ر� cر�(وال غي �ت بة� م�ن ز� �ال ة� ا �ن م�ك �ال ح�وال� وا �ال وا

“Perubahan hukum (yang dibangun oleh mashlahat dan `urf) bisa terjadi sesuai dengan perubahan masa, tempat dan keadaan.”

G. Metode Penetapan Hukum Islam

Sebelum melakukan ijtihad sebagai usaha mencari kepastian hukum maka yang harus diingat bahwa masalah yang akan dicari jawabannya benar-benar persoalan baru yang rincian hukumnya tidak dijelaskan di dalam Al-Qur'an maupun di dalam al-Sunnah. Dari sini bisa dipahami bahwa lapangan ijtihad

15

Page 16: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

tidak memasuki wilayah hukum yang bersifat qath`i (sudah jelas dan pasti hukumnya), tapi hanya dalam masalah-masalah yang secara eksplisit tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah, atau masalah-masalah yang bersifat zhanni al-dalâlat (bersifat relativ atau tidak pasti penunjukan hukumnya, artinya masih memungkinkan untuk dibawa pada pengertian lain). Oleh karena lapangan ijtihad adalah hal-hal yang bersifat zhanni maka hasil ijtihadnya pun zhanni (tidak pasti) pula.

Untuk itu langkah awal dalam mencari kepastian hukum adalah dengan merujuk pada sumber hukum utama dalam Islam yakni Al-Qur'an kemudian merujuk pada Sunnah Nabi saw yang diceritakan melalui hadis-hadis maqbûl. Bila pada keduanya juga tidak ditemukan kepastian hukumnya, maka barulah

melakukan ijtihâd yaitu mengerahkan segala kemampuan akal ( ذ�ل� ب

ع� �و�س� dalam menggali hukum Syar‘i untuk mendapatkan kepastian (الhukumnya dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip hukum yang telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah.

Langkah praktis-sistematis yang harus dilakukan dalam melakukan ijtihad adalah sebagai berikut:1. Mencari definisi yang tepat terhadap masalah baru yang akan dibahas.2. Melakukan penelusuran dan pengumpulan data tentang seberapa besar

kemadharatal-kemadharatan yang mungkin ditimbulkan oleh masalah tersebut dan seberapa besar manfaat atau kemashlahatal-kemashlahatan yang bisa diraih. Pada langkah ini, harus melibatkan pakar/ilmuwan yang menekuni masalah yang sedang dibahas dan bisa pula mengikutsertakan para pakar dari disiplin ilmu lain yang berkompeten di dalamnya. Kehadiran para pakar tersebut diharapkan dapat menyingkap masalah baru yang tadinya tidak jelas (syubhat atau meragukan) menjadi jelas sehingga masalah tersebut dapat diselesaikan secara lebih tepat dan komprehensip.

3. Melakukan ijtihad dengan menggunakan metode ijtihad yang dijadikan sebagai dasar ijtihad, seperti: qiyâs, istishlâh, istihsân, dan lain-lain.

4. Menyimpulkan hasil ijtihad.

Menyadari bahwa proses ijtihad tidaklah gampang maka ada beberapa syarat yang mutlak harus dipenuhi bagi seorang mujtahid, yakni: 1. Seorang mujtahid harus menguasai materi hukum yang terdapat dalam

Al-Qur’an dan hadis Nabi saw berikut ilmu-ilmu Al-Qur’an dan ilmu-ilmu hadis. Di antara ilmu Al-Qur’an dan ilmu hadis yang harus dikuasai adalah ilmu tafsir dan kaidah-kaidah penafsiran, ilmu asbâb al-nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat atau surat), asbâb al-wurûd hadis, tartîb al-nuzûl (urutan turunnya), munâsabah (hubungan/kaitan) antar ayat dan antar surat, permasalahan hadis shahîh, hasan dan dla‘îf.

2. Menguasai ilmu fiqh dan ushul fiqh seperti maqâshid al-tasyri` (maksud pensyari`atan), kaidah fiqhiyyah dan ushûliyyah, metode ijtihad yang dijadikan sebagai dasar hukum, dan metode dalam menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan.

16

Page 17: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

3. Memahami benar terhadap masalah yang sedang dibahas dengan cara meminta penjelasan dari para pakar yang berkompeten. Mujtahid tidak boleh menyimpulkan sesuatu hanya berdasarkan perkiraan atau asumsi belaka.

4. Seorang mujtahid harus memiliki integritas kepribadian sebagai muslim yang memiliki aqidah yang benar dan akhlaq yang baik, seperti: jujur, adil/obyektif, amanah, dan semacamnya.

Dalam hal ini akan dijelaskan secara ringkas mengenai metode yang paling sering dijadikan dasar pijakan para ulama fiqh dalam berijtihad yaitu qiyâs, isitishlâh dan istihsân.

1. Qiyâs ( اس� �ق�ي ( الPengertian Qiyâs (analogi) menurut Ahli Ushul Fiqh adalah :

اق� �ح��� �ل ص� واقع���ةa ا ن ه� على ال �م���� ةa ح�ك �واق�ع��� د ب صc ور ن�م�ها �ح�ك � ف�ى ب �م �ح�ك �ذ�ى ال د ال �صc ور او�ى الن �س �ت �ن� ل ي واق�عت ال���

�ةa ف�ى ل � هذا ع� �م �ح�ك 19 ال

“Menyamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nash mengenai hukumnya, dengan suatu peristiwa yang ada nash hukumnya, karena adanya kesamaan `illat.”

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa rukun qiyâs ada empat, yaitu:

a. ص�ل� �أل yaitu masalah yang telah ada hukumnya berdasarkan ,(pokok) ا

nash. Ashl ini disebut juga maqîs `alayh (tempat mengqiaskan) atau musyabbah bih (tempat menyamakan).

b. ع� �فر� ل yaitu masalah baru yang belum ada hukumnya. Far`u ,(cabang) اini disebut juga dengan maqîs (yang diqiaskan) atau musyabbah (yang disamakan).

c. �م� ص�ل� ح�ك �أل ا (Hukum ashl) yaitu hukum yang telah ada pada ashl yang

berdasarkan nash.

d. �ة� yaitu sesuatu yang ada pada ashl yang di ,(illat hukum`) الع�لatasnyalah dibina hukum dan karenanyalah dapat ditetapkan wujudnya hukum pada far`u.

‘Illat inilah bagian terpenting dalam masalah qiyâs. Begitu pentingnya `illat dalam menetapkan hukum far`u sehingga Ahli Ushul pun menyusun kaidah fiqhiyyah:

�م� �ح�ك ل د�و�ر� ا �ة� مع ي �ع�ل عدم7ا و و�ج�و�د7ا ال“Hukum itu berputar bersama `illatnya dalam mewujudkan dan meniadakan hukum.”

Adapun syarat `illat hukum adalah:

17

Page 18: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

1) Merupakan suatu sifat yang nyata, yakni dapat disaksikan panca indra.2) Merupakan sifat yang sudah pasti, tegas, bukan perkiraan (asumsi)

dan tidak elastis/berubah-ubah.3) Merupakan sifat yang sesuai dengan hikmah hukum.4) Merupakan sifat yang tidak hanya terdapat pada ashl saja, tetapi bisa

juga terdapat pada beberapa masalah yang bukan ashl.

Cara untuk mengetahui `illat adalah sebagai berikut:a. Melalui nash itu sendiri

Apabila nash Al-Qur'an atau al-Sunnah menunjukkan bahwa `illat hukumnya adalah sifat yang ditunjuk oleh nash itu, maka sifat itulah sebagai `illat hukumnya. `illat seperti ini disebut sebagai manshûsh `alaih.

Penunjukan nash (dalâlah nash) ini adakalanya dengan jelas (sharahah), dan adakalanya dengan isyarat (isyârah).Contoh dalâlah sharahah (penunjukan dengan jelas) yakni firman Allah:

� ق�م ة أ �و�ك� الص�ال �د�ل م�س� ل ��لى الش ق� إ �ل� غس �ي … الل"Dirikanlah shalat karena tergelincirnya matahari sampai gelap malam." (QS. Al-Isra'/17: 78)

Huruf "lam" pada kalimat li dulûkisy-syamsi yang berarti ta`lîl (karena), menunjukkan dengan jelas `illat hukumnya.Contoh dalâlah isyârah (penunjukan dengan isyarat) yakni firman Allah SWT :

… �وه�ن� وال ب ق�ر ن حت�ى ت ط�ه�ر� … ي“Janganlah kamu mendekati istri-istri sampai mereka suci…” (QS. Al-Baqarah/2: 222)

Syar`i (hukum Islam) yang ditetapkan pada ayat di atas, yang membedakan antara larangan mengumpuli istri dalam keadaan menstruasi dengan kebolehan mengumpuli istri dalam keadaan suci, mengisyaratkan bahwa batasan “sampai mereka suci” adalah sebagai `illat dibolehkannya mengumpuli istri, dan “keadaan kotor” yang dipahami dari arti kebalikannya (mafhûm mukhālafah) adalah sebagai `illat dilarangnya mengumpuli istri.

b. Melalui penetapan ijma`Apabila para mujtahid dalam suatu masa sepakat bahwa yang menjadi `illat bagi suatu hukum adalah suatu sifat dan tidak satupun yang menentangnya, maka sifat itulah yang menjadi `illat hukumnya.

c. Dengan cara meneliti dan memisahkan ( ر�� ب ��م� و الس ي �ق�س� الت )Apabila ada nash tentang suatu hukum di mana tidak ada nash ataupun ijma` yang menunjukkan `illat hukumnya, maka para mujtahid biasanya menempuh cara al-sabru wal-taqsîm yaitu meneliti secara cermat sifal-

18

Page 19: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

sifat yang terdapat pada kejadian itu dan memilih di antara sifal-sifat itu yang paling tepat dijadikan `illat hukum.

Perbedaan antara `illat hukum dengan hikmah hukum.‘Illat adalah suatu sifat yang sangat penting dalam menetapkan ada-

tidaknya suatu hukum. Biasanya `illat ini dapat ditemukan dalam nash. Sedangkan hikmah hukum adalah sesuatu yang bersesuaian dengan maksud pensyari`atan, yakni kemashlahatan yang harus diraih dan kemadharatan yang harus dihindari ataupun kesempitan yang harus dihilangkan. Biasanya hikmah ini masih perlu digali di belakang nash. Contoh: hikmah kebolehan mengqashar shalat bagi musafir adalah untuk menghilangkan kesempitan, sedangkan `illah-nya adalah keadaan musafir (sedang bepergian). Demikian pula dalam kasus kebolehan membatalkan puasa Ramadhan, karena (`illal-nya) sakit atau sedang bepergian, sedang hikmahnya ada di belakang nash yakni untuk menghilangkan kesempitan dan kesusahan.

Contoh qiyâs: Narkoba (Narkotika dan obat terlarang, seperti: ekstasi, putaw, shabu-shabu, dan semacamnya) merupakan suatu yang belum dikenal pada masa Nabi Muhammad saw sehingga tidak ada keterangan langsung dari Nabi saw mengenai hukumnya. Narkoba dalam hal ini disebut sebagai masalah baru (al-far`u) yang belum diketahui hukumnya. Namun ada sesuatu yang bernama khamr yang diharamkan Allah karena adanya unsur yang dapat menghilangkan kesadaran (memabukkan) dan merusak bahkan membahayakan pada si pemakainya dan kepada orang lain di sekitarnya. Khamr inilah yang disebut dengan al-ashl yakni masalah pokok yang telah ada kejelasan hukumnya berdasarkan nash. Hukum pada ashl ini sudah jelas yakni haram. `illat hukumnya adalah karena adanya unsur memabukkan (menghilangkan kesadaran), merusak kesehatan dan membahayakan jiwa, khususnya bagi si pemakai dan umumnya bagi masyarakat luas. Oleh karena narkotik dan sejenisnya memiliki kesamaan `illat dengan khamr bahkan jauh lebih membahayakan dibanding khamr, maka secara umum hukum narkoba adalah haram.

2. Istihsân ( ان� �ح�س ت �س� (االArti istihsân secara bahasa adalah mengikuti yang lebih baik karena lebih tepat atau menganggap baik terhadap sesuatu. Sedangkan istihsân menurut istilah adalah berpindah dari suatu hukum kepada hukum lain karena adanya dalil Syara` yang lebih tepat yang menghendaki demikian.

Dari definisi si atas dapat disimpulkan bahwa penetapan istihsân ini bersifat kasuistik. Oleh karena bersifat kasuistis maka definisi istihsân yang diberikan oleh sebagian Ahli Ushul adalah meninggalkan kias yang nyata (qiyâs jaliy) menuju kias yang samar (qiyâs khafiy) atau meninggalkan hukum kulliy (kaidah umum) menuju kepada hukum juz`iy (kasuistik) karena adanya dalil lain yang mengharuskannya demikian yang lebih sesuai dengan

19

Page 20: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

jiwa syari`at Islam, yakni ف�نج� �ي �حر ق�ة� ال �مش وال (menghilangkan beban dan kesukaran).

Istihsan ini didasarkan pada Al-Qur’an dan hadis. Allah SWT berfirman:

�ذ�ين م�ع�ون ال ت س� �قو�ل ي �ع�ون ال �ب ت ه� في ن ح�س �ك أ ئ �ول �ذ�ين أ ال�ه� هداه�م� �ك الل ئ �ول �ول�و ه�م� وأ اب� أ �ب ل األ�

“Mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Al-Zumar/39: 18) dan ayat 55:

�ع�وا �ب ن وات ح�س �ز�ل ما أ ن� �م� أ �ك ي �ل �م� م�ن� إ +ك ب … ر

“Dan ikutilah apa yang paling baik yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” (QS. Al-Zumar/39: 55)

Dan sebuah riwayat:

ى أ �م�ون فمار ل �م�س� 7ا ال ن د فه�و حس ن��� ه� ع� �نJ الل�� ا حس�� و�ا وم�� أ ر

7ا +ئ ي �د فه�و س ن �ه� ع� +ئJ الل ي س“Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka di sisi Allah pun baik, sedang apa yang mereka pandang jelek maka di sisi Allah pun jelek.” (HR. Ahmad, dari Ibnu Mas`ud. Hadis ini dinilai mawquf)

Istihsân berbeda dengan qiyâs. Pada qiyâs terdapat dua peristiwa, sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa. Pada awalnya peristiwa tersebut sudah ditetapkan hukumnya berdasarkan dalil syara`. Namun karena adanya dalil syara` lain yang dianggap ‘lebih kuat’ (baca: lebih tepat) untuk kasus tersebut, maka beralih ke hukum yang ‘lebih kuat’ oleh karena situasi dan kondisi saat itu memang menuntut demikian. Jadi berpindahnya ke hukum lain itu karena adanya faktor lain yang dipandang justru lebih dekat kepada asas hukum dan tujuan syara`.

Berangkat dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa istihsân dibagi menjadi dua macam, yaitu:a. Istihsân qiyâs, yakni berpindah dari qiyâs jaliy kepada qiyâs khafiy

karena adanya dalil lain yang lebih tepat yang mengharuskannya demikian.

b. Istihsân dlarûrat, yakni berpindah dari kaidah umum kepada kaidah khusus karena adanya dalil lain yang mengharuskannya demikian.

Golongan yang menjadikan istihsân sebagai salah satu metode dalam mengistinbatkan (menggali) hukum adalah para pengikut Imam Hanafi. Sedangkan Imam Syafi`i menolak penggunaan istihsân sebagai metode istinbâth (penggalian) hukum. Alasan penolakan Imam Syafi`i bahwa menggunakan istihsan sama dengan memperturutkan hawa nafsu dan mencari enaknya saja tanpa mendasarkan pada dalil-dalil Syar`i, yakni Al-Qur`an dan al-Sunnah yang sudah sempurna (QS. 5: 3) dan tidak mungkin

20

Page 21: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

ada yang terlupakan (QS. 6: 38). Namun menurut golongan Hanafiyah, kehujjahan istihsân juga didasarkan pada Al-Qur`an dan hadis Nabi, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Bila dicermati lebih jauh pada dua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya Imam Syafi`i tidak serta merta menolak praktek penggunaan istihsân selama masih menggunakan nash (Al-Qur’an dan Al-Sunnah), ijma` atau qiyas yang paling kuat. Keberatan Imam Syafi`i ada pada penggunaan istilah istihsân sebagai dasar menetapkan hukum yang menimbulkan kesan seakal-akan ada pilihan terbaik yang tidak disinggung atau dilupakan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulillah saw.

Contoh Istihsân:Contoh istihsân qiyâs. Apabila seseorang mewakafkan tanah pertaniannya, maka menurut istihsan, hak-hak yang berhubungan dengan tanah itu, seperti hak mengolah, tanah tersebut, sudah tercakup di dalamnya meskipun tidak disebutkan secara terperinci pada saat tanah wakaf diserahkan. Sedang menurut qias, hak-hak itu tidak secara otomatis masuk di dalamnya, kecuali ada kejelasan seperti pada perjanjian jual-beli.

Adapun wajah istihsannya adalah bahwa tujuan berwakaf itu adalah untuk memberikan manfaat suatu barang kepada si penerima wakaf. Pemanfaatan barang wakaf yang berupa tanah pertanian tidak mungkin tercapai apabila hak-hak yang berpautan dengan pengolahan tanah tidak mengikuti hukum tanahnya, yakni sebagai tanah wakaf. Oleh karena itu, meskipun hak-hak itu tidak disebutkan secara rinci saat diwakafkan, namun sudah mengandung pengertian sekaligus dengan pengolahan tanah wakaf sebagaimana yang terjadi pada perjanjian sewa-menyewa.

Jika berpatokan pada qiyâs jaliy (kias yang nyata), wakaf itu disamakan dengan jual beli, karena adanya unsur pelepasan hak milik pada pihak lain. Oleh karenanya harus jelas hak-hak apa saja yang harus ikut dalam pelepasan hak milik itu. Sedang menurut qiyâs khafiy (kias yang samar), wakaf itu identik dengan sewa-menyewa, karena mengandung tujuan memanfaatkan tanah. Karena itu, seperti halnya pada perjanjian sewa menyewa tanah pertanian, hak mengolah tanah secara otomatis masuk di dalamnya, biarpun tidak disebutkan secara rinci.

Contoh istihsân dlarûrat. Seluruh tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan telapak tangan. Akan tetapi bila wanita tersebut dalam keadaan sakit pada salah satu bagian anggota badannya yang menuntut pemeriksaan pada bagian tersebut, maka di sini terjadi pertentangan kaidah. Di satu sisi disebutkan bahwa seluruh badan wanita adalah aurat. Di sisi lain, adanya satu keadaan di mana akan terjadi kesulitan yang mungkin akan mengarah pada kondisi yang lebih parah bila tidak dilakukan pemeriksaan pada bagian yang sakit. Dalam keadaan seperti ini dipakailah istihsân dlarurat.

3. Istishlâh ( ح� �ص�ال ت �س� ( االArti istishlâh secara bahasa adalah mencari kemaslahatan. Sebagian ulama menyebutnya dengan mashlahah mursalah.

21

Page 22: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

Adapun pengertian istishlah menurut istilah adalah:

�ع� ر�ي ش��� � ت �م �ح�ك ةa ف�ى ال ص� واق�ع�� ن ا ال �ه�� ف�ي اع وال �ج�م�� اء7 ا �ن�� باعاة� على ةa م�ر ح ةa مص�ل ل س ي� م�ر�

قةa أ 20 م�ط�ل

“Menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nash dan ijma`nya, yang dibangun dengan dasar untuk menjaga kemaslahatan semata.”

Jumhur ulama menganggap istishlah sebagai hujjah syar`iyyah (dalil syar`i) dengan alasan karena kemaslahatan manusia terus berkembang dan bertambah seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia. Sekiranya kemaslahatan manusia yang terus berkembang itu tidak diperhatikan, sedangkan yang diperhatikan hanyalah kemaslahatan yang ada nashnya saja, maka akan banyak kemaslahatan yang mengalami kekosongan hukum dan akibat lainnya adalah perkembangan hukum Islam akan banyak menemui kendala karena tidak dapat mengikuti perkembangan zaman yang bersesuaian dengan kemaslahatan manusia di era modern. Padahal tujuan Syari`at itu adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di setiap masa dan tempat.

Alasan lain bahwa para sahabat, tabi`in dan imam-imam mujtahid telah menetapkan hukum berdasarkan kemaslahatan semata. Misalnya, Abu Bakar ash-Shiddiq memerintahkan para sahabat untuk mengumpulkan Al-Qur'an yang masih tersebar di beberapa tempat, yang kemudian Usman bin `Affan pada masa kekhalifahannya memerintahkan untuk membakar lembaral-lembaran lain dan hanya menggunakan satu mushaf Al-Qur'an saja yang kemudian dikenal dengan mushaf Utsmâni.

Syaral-syarat berhujjah dengan istishlâh ada 3 yaitu:a. Kemaslahatan tersebut haruslah kemaslahatan yang hakiki artinya

haruslah benar-benar dapat mendatangkan kemanfaatan dan menghindarkan kemadharatan, bukan hanya berdasarkan perkiraan belaka.

b. Kemaslahatan itu haruslah kemaslahatan yang umum.c. Kemaslahatan itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar yang telah

digariskan oleh nash atau ijma`.

Contoh Istishlâh: Para sahabat mengumpulkan lembaral-lembaran Al-Qur’an yang tersebar di tangan para sahabat lainnya untuk kemudian dilakukan pembukuan dalam satu mushaf Al-Qur’an. Padahal hal ini tidak pernah diperintahkan oleh Nabi Muhammad saw. Alasan yang mendorong mereka melakukan hal tersebut semata-mata karena pertimbangan maslahat saja.

Demikian pula Khalifah Umar bin Khaththab pernah memerintahkan para penguasa (pejabat tinggi negara) agar memisahkan antara harta kekayaan pribadi dengan harta yang diperoleh dari hasil selama ia menjadi pejabat.

Adanya usulan tentang perlunya pembatasan masa jabatan presiden di Indonesia maksimal dua kali masa jabatan. Hal ini karena pertimbangan kemashlahatan semata yaitu bertujuan agar kinerja kepala negara dapat terus

22

Page 23: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

terjaga dengan baik. Padahal Nabi Muhammad saw tidak pernah membatasi masa jabatan kepala negara, demikian pula para Khulafa’ Rasyidun.

H. Menyelesaikan Dalil-dalil yang “Bertentangan”

Kadangkala ditemukan adanya “pertentangan” antara dalil yang sama-sama maqbûl (dapat diterima sebagai hujjah) tentang masalah yang sama. Penyebab utama pertentangan ini terjadi karena memang ungkapan teks-teks dalil –biasanya pada teks hadis-- tidak tunggal. Teks ini kemudian dipahami dari sudut pandang dan metode yang berbeda oleh para ahli hukum (fuqahâ’) yang hidup dari latar belakang lingkungan sosial yang berbeda pula. Pertentangan

seperti ini dikenal dengan istilah ض� �عار� �ن الت ي �ة� ب �ألد�ل ا 21 (pertentangan

antar dalil) atau biasa disingkat ض� عار� �ة� ت �ألد�ل ا . Di kalangan para mujtahid pada umumnya meyakini bahwa sebenarnya

yang terjadi bukanlah pertentangan dalam arti hakiki yakni antara nash dengan nash apalagi sama-sama sahih dan kuat, sebab yang menetapkan hukum itu adalah satu yakni Allah SWT. Biasanya yang terjadi adalah pertentangan dari lahirnya saja yang disebabkan karena mungkin kita belum mengetahui secara tepat tentang latar belakang sosial ketika sebuah persoalan hukum ditetapkan atau belum tepat memahami tujuan pensyari`atan sebuah hukum.22

Dalam menyelesaikan pertentangan tersebut, para ulama menempuh beberapa metode dan prosedur. Tetapi metode yang paling banyak diikuti oleh para ulama adalah: (1) al-jam`u wa al-tawfîq (pengkompromian); (2) al-tarjîh (mencari dalil yang paling kuat di antara dalil yang sama-sama kuat); (3) al-nâsikh wa al-mansûkh (yang menghapus dan yang dihapus, yakni dalil yang datang belakangan menghapus hukum dalil yang datang lebih dahulu); dan (4) al-tawaqquf23(mendiamkannya untuk sementara waktu). Cara inilah yang ditempuh oleh Syafi`iyah, Malikiyah, dan Dzahiriyah.

Umumnya ulama mengutamakan pengkompromian (al-jam`u) dalam menghadapi pertentangan dalil karena kedua dalil tersebut sama-sama sahih sehingga yang terbaik adalah memberlakukan semuanya tanpa ada dalil yang dinafikan hukumnya. Cara pengkompromian yang biasa mereka lakukan, antara lain: 1. Dengan cara al-tanwî` wa al-tabdîl, yaitu dalil yang satu menjadi

mukhashshish (pen-takhshîsh) terhadap dalil `âm (umum) yang lain dalam satu hukum, sedangkan dalil yang lain tadi menjadi mukhashshish terhadap dalil yang pertama dalam satu macam hukum yang lain. Misalnya `iddah (masa tunggu bagi wanita untuk tidak menikah) wanita yang ditinggal mati suaminya dalam QS. Al-Baqarah: 234, dinyatakan 4 bulan 10 hari, sedangkan bila ia hamil maka sampai ia melahirkan (QS. Al-Thalaq/65: 4). Masalah akan muncul bila wanita tersebut melahirkan sebelum masa 4 bulan 10 hari, atau sebaliknya. Kedua dalil tersebut tampak bertentangan sehingga perlu dikompromikan. Cara

23

Page 24: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

pengkompromiannya adalah jika wanita tersebut tidak hamil maka `iddahnya 4 bulan 10 hari (QS. 2: 234), namun jika wanita tersebut hamil, agar tidak bertentangan dengan `iddah hamil (yakni sampai melahirkan, QS. 65: 4), maka `iddahnya selain menunggu 4 bulan 10 hari juga menunggu sampai melahirkan. Demikan pula sebaliknya, jika wanita tersebut melahirkan sebelum 4 bulan 10 hari, agar tidak bertentangan dengan `iddah tidak hamil yakni 4 bulan 10 hari (QS. 2: 234), maka haruslah menunggu sampai terpenuhinya waktu tersebut. 24

2. Dengan cara takhshîsh, yaitu menetapkan dalil yang satu bersifat `âm (umum) sedang yang lainnya adalah khâsh (bersifat khusus). Misal: QS. 24: 4 tentang hukuman dera 80 kali bagi orang yang menuduh zina terhadap wanita baik-baik tanpa bisa menghadirkan 4 saksi kadang dianggap bertentangan dengan QS. 24: 6 tentang pembatalan hukuman dera dengan sumpah li`an bagi saksi yang tidak bisa menghadirkan saksi hingga 4 orang. Pengkompromiannya adalah ayat 4 surat al-Nur bersifat umum bagi siapa saja yang menuduh zina istrinya atau orang lain, sedangkan ayat 6 bersifat khusus.

3. Dengan cara taqyîd, yaitu menetapkan dalil yang satu bersifat muthlaq (apa adanya, tanpa batasan) sedang yang lainnya taqyîd (bersifat membatasi).

4. Membawa kepada penakwilan lain sehingga tidak bertentangan dengan nash yang lain.

5. Menentukan hukum masing-masing pada masalah yang berbeda. Contoh: hadis riwayat Imam Daruquthni yang satu menyatakan: “Tidak ada (baca: tidak pantas) shalat bagi orang yang bertetangga dengan masjid kecuali di masjid.” Hadis ini dianggap bertentangan dengan riwayat beliau yang lain yang menyatakan: “Shalatlah di rumahmu dan janganlah kalian tinggalkan shalat sunat di rumah.” Cara pengkompromiannya adalah dengan mengumpulkan dalil-dalil yang lain agar dapat diputuskan secara tepat bahwa hadis pertama dimaksudkan untuk shalat wajib, sedangkan hadis kedua dimaksudkan untuk shalat sunat.25

Apabila ternyata antara dalil-dalil yang bertentangan tersebut benar-benar tidak dapat dikompromikan maka ditempuh cara al-tarjîh yaitu meneliti mana di antara dalil-dalil tersebut yang lebih kuat dengan cara menunjukkan keutamaan salah satu dalil dari dalil yang lain. Tarjih ini hanya berlaku pada dua dalil yang berstatus dzanni, bukan pada yang qath`î. Hal ini karena antara dalil qath`î dianggap tidak saling mengungguli dengan dalil qath`î yang lain.

Beberapa kaidah yang bisa dijadikan pegangan dalam melakukan tarjih antara lain:

�ذا ض إ عار م� ت �م�حر+ +ح� ال ي �م�ب ج+ح وال م� ر� �م�حر+ ال“Apabila bertentangan antara yang mengharamkan dengan yang membolehkan maka dikuatkan yang mengharamkan.”

�فق� �م�ت �ه� ال ي لف� على م�قد�مJ عل ت �م�خ� �ه� ال ف�ي

24

Page 25: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

“Yang disepakati atasnya didahulukan atas yang diperselisihkan.”

Apabila ternyata ada kemashlahatan yang belum bisa diraih sepenuhnya karena keadaan yang belum memungkinkan maka janganlah ditinggalkan seluruhnya.

ك� ماال �د�ر cه� ي ل ك ك� ال �ر �ت cه� ي ل ك“Apa yang tidak bisa dicapai seluruhnya, tidaklah ditinggalkan seluruhnya.”

Jika cara tarjih pun belum dapat menyelesaikan pertentangan itu, maka dengan cara al-nasakh yaitu meneliti sejarah datangnya nash tadi. Nash yang datang belakangan ditetapkan sebagai nâsikh (yang menghapus) terhadap nash yang datang duluan (mansûkh: yang dihapus hukumnya).

Jika tetap tidak bisa diselesaikan dengan cara nâsikh-mansûkh maka para ulama --seperti Syafi’iyyah dan Malikiyyah—biasanya men-tawaqquf-kannya sampai ditemukan dalil lain yang lebih kuat yang bisa menyelesaikan masalah tersebut. Namun terhadap masalah yang dianggap sangat mendesak (dlarûri), para ulama pada umumnya tidak lagi menempuh langkah al-tawaqquf, apalagi para ulama yang hidup di era teknologi modern seperti sekarang ini di mana akses ilmu dan informasi dengan mudah didapatkan.

II. PENGANTAR IBADAH

A. Pengertian Ibadah

Secara bahasa, kata `ibâdah adalah bentuk dasar (mashdar) dari fi`il (kata

kerja) د �د� عب ع�ب ي - yang berarti taat ( �خ�ض�و�ع�) tunduk ,(الط�اعة� ,(ال

hina ( cلcالذ) dan pengabdian ( ك� cس �ن .(التBerangkat dari arti ibadah secara bahasa, Ibnu Taimiyah mengartikan

ibadah sebagai puncak ketaatan dan ketundukan yang di dalamnya terdapat unsur cinta (al-hubb). Seseorang belum dikatakan beribadah kepada Allah kecuali bila ia mencintai Allah lebih dari cintanya kepada apapun dan siapapun juga. Ketaatan tanpa unsur cinta maka tidak bisa diartikan sebagai ibadah dalam arti yang sebenarnya. Dari sini pula dapat dikatakan bahwa akhir dari perasaan cinta yang sangat tinggi adalah penghambaan diri, sedangkan awalnya adalah ketergantungan.26

Sementara itu Ibnu Faris mengatakan bahwa kata عد�بJ mempunyai

pengertian yang bertolak belakang. Kata عد�بJ memiliki arti :1. Sesuatu yang dimiliki (hamba sahaya)2. Tumbuhan yang memiliki aroma yang harum3. Anak panah yang lebar dan pendek

25

Page 26: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

Arti yang pertama menggambarkan kerendahan, arti yang kedua kelemahlembutan dan yang ketiga adalah kekuatan dan kekokohan.

Adapun definisi ibadah menurut Muhammadiyah adalah:

ب� cرق� �لى الت ال� الله� إ �ث �ام�ت وام�ر�ه� ب اب� أ �ن ت �ه� واج� واه�ي �عمل� ن وال

�ما ذ�ن ب �ه� أ ار�ع� ب � الش“Mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangal-Nya serta mengamalkan apa saja yang diperkenankan oleh-Nya." (Himpunan Putusan Tarjih, hlm. 276)

Sedangkan definisi ibadah menurut Ulama Fiqh, yaitu:

ت� �د+ي �غاء7 ماأ �ت ه� اب �وج� 7ا الله� ل ب �ه� وطل واب �ث ة� ل خ�ر �أل ف�ىا“Apa yang dikerjakan untuk mendapatkan keridhaan Allah SWT dan mengharap pahalaNya di Akhirat.”

B. Pembagian Ibadah

Ditinjau dari segi ruang lingkupnya, ibadah dibagi menjadi dua bagian:1. `Ibâdah khâshshah, yaitu ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan oleh

nash, seperti: thaharah, shalat, zakat, dan lain-lain.2. `Ibâdah `âmmah, yaitu semua perbuatan baik yang dilakukan dengan niat

karena Allah SWT. semata (ikhlas), misalnya: berdakwah, melakukan amar ma`ruf nahi munkar di berbagai bidang, menuntut ilmu, bekerja, rekreasi dan lain-lain yang semuanya itu diniatkan semata-mata karena Allah SWT.

C. Mengapa Kita Harus Beribadah?

Seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini dicipta dan dipelihara (rububiyatullah), dimiliki dan dikuasai secara mutlak oleh Allah SWT (mulkiyyatullah). Tentang penciptaan dan pemeliharaan tersebut, Allah SWT berfirman:

cها ي اأ �اس� ي �د�وا الن �م� اع�ب �ك ب �ذ�ي ر �م� ال قك ل �ذ�ين خ �م� م�ن� وال �ك �ل قب

�م� �ك عل �ق�ون ل ت ت“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah/2: 21)

��ن �م� هذ�ه� إ �ك م�ت� م�ة7 أ

� ا واح�دة7 أ ن �م� وأ cك ب �د�ون� ر فاع�ب“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.”(QS. Al-Anbiya’/21: 92)

26

Page 27: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

Tentang pemilikan dan penguasaan Allah terhadap segala sesuatu, Allah berfirman:

�ه� �ل موات� ف�ي ما ول �ض� ف�ي وما الس ر� �لى األ� �ه� وإ ع� الل ج �ر� ت

�م�ور� األ�Kepunyaan Allahlah segala yang ada di langit dan di bumi; dan kepada Allahlah dikembalikan segala urusan. (QS. Ali Imrân/3: 109)

Sebagai milik Allah, maka –suka atau tidak suka—semuanya pasti dikembalikan dan berserah diri kepada Allah SWT:

ه� م ول ل س� موات� ف�ي من� أ �ض� الس ر�

ا طو�ع7ا واأل� ه��7 ر� ه� وك ي��� �ل وإجع�ون �ر� ي

“…kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa, dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (QS. Ali ‘Imrân/3: 83)

�ه� �ل �ب� ول موات� غي �ض� الس ر� �ه� واأل� ي �ل ع� وإ ج �ر� م�ر� ي cه� األ� �ل ك

�د�ه� �ل� فاع�ب وك �ه� وت ي cك وما عل ب �غاف�لa ر �ون عم�ا ب ع�مل ت“Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.”(QS. Hûd/11: 123)

Atas dasar itulah, maka sesungguhnya tidak ada pilihan lain bagi manusia kecuali berserah diri secara mutlak kepada Allah Dzat Yang Maha Mencipta dan Maha Memelihara (tawhîd rububiyah), Maha Memiliki dan Menguasai seluruh hidup dan kehidupan kita serta seluruh alam semesta (tauhîd mulkiyah). Atas dasar itu pula manusia tidak dibenarkan memisahkan aktivitas hidupnya, sebagian untuk Allah dan sebagiannya lagi untuk yang lain. Semuanya harus dipersembahkan hanya kepada Allah SWT:

�ن� ق�ل� �ي إ ت �س�ك�ي صال اي ون ي �ي ومح� �ه� وممات �ل ب+ ل �ن ر م�ي �عال ال“Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Pemelihara alam semesta.“ (QS. Al-An`am/6: 162)

Selain itu, manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling sempurna (QS. Al-Tin/95: 4) dan paling dimuliakan Allah dengan memberikan kelebihan yang lebih banyak dibanding makhluk yang lain (QS. Al-Isra’/17: 70). Penciptaan dan pemuliaan Allah terhadap manusia dengan memberikan fasilitas yang lebih, tentunya bukan tanpa tujuan. Pertanyaan reflektif dari Allah SWT :

�م� �ت ب فحس� �ما أ ن �م� أ اك ق�ن ل 7ا خ ث �م� عب �ك ن ا وأ �ن ي �ل إ جع�و�ن ال �ر� ت

27

Page 28: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

"Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian hanya sia-sia dan mengira bahwa kalian tidak kembali kepada Kami?!" (QS. Al-Mu'minun/23: 115)

Maksud ayat di atas bahwa setelah manusia diciptakan kemudian dikaruniai berbagai kelebihan untuk melakukan aktifitas hidup di dunia lalu dikembalikan kepada Allah Sang Maha Pencipta, tentunya ada tujuan Allah untuk semua itu.

Penciptaan manusia dengan memberikannya berbagai kelebihan tersebut dimaksudkan karena manusia akan diberikan tugas mulia oleh Allah sebagai khalifah di bumi (QS. Al-Baqarah/2: 30) yang bertugas memakmurkannya (QS. Hûd/11: 61). Untuk melaksanakan tugal-tugas kekhalifahan dengan baik maka harus didasarkan pada pengabdian (ibadah) yang murni hanya karena Allah SWT semata. Untuk itulah Allah SWT berfirman:

ق�ت� وما ل �ج�ن� خ �س ال �ن �إل � وا �ال �د�ون� إ ع�ب �ي ل"Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk

beribadah kepada-Ku" (QS. Adz-Dzariyat/51: 56). (Lihat juga QS. Al-Bayyinah/98: 5).

Dengan beribadah kepada Allah SWT maka manusia bisa menjadi manusia yang bertaqwa. Firman Allah SWT:

ا cها ي ي �اس� أ �د�و�ا الن �م� اع�ب �ك ب �ذ�ي ر �م� ال قك ل �ن خ �ذ�ي �م� م�ن� وال �ك �ل قب

�م� �ك عل �ق�و�ن ل ت ت“Hai manusia, sembahlah (beribadahlah) kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah/2: 21).

Dengan bekal taqwa, seseorang akan mampu memfungsikan dirinya sebagai khalifah Allah di bumi sehingga ia mampu menyelesaikan tugas kekhalifahannya dengan baik ketika di dunia untuk kemudian dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT di akhirat kelak.

D. Prinsip-prinsip Ibadah

Untuk memberikan pedoman ibadah yang bersifat final, Islam memberikan prinsip-prinsip ibadah27 sebagai berikut:1. Prinsip utama dalam ibadah adalah hanya menyembah kepada Allah

semata sebagai wujud hanya mengesakan Allah SWT (al-tauhid bi-llah). Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:

�اك �ي �د� إ ع�ب �اك ن �ي �ن� وإ ع�ي ت س� ن“Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu kami minta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah/1: 5)

28

Page 29: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

�د�و�ا الله واع�ب �و�ا وال ر�ك �ش� �ه� ت 7ا ب �ئ ي … ش“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya dengan sesuatu apapun…” (QS. Al-Nisa’/4: 36)

قد� ا ول �ن عث �ل� ف�ي ب م�ةa ك� 7 أ و�ال س� ن� ر

�د�وا أ �و�ا الله اع�ب �ب ن ت واج�… الط�اغ�و�ت

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada setiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah dan jauhilah Thagut…”(QS. Al-Nahl/16: 36)

1 Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmy wa Adillatuh, hlm. 15, catatan kaki no. 1.2 Lebih lanjut lihat Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, hlm. 6 3 Al-Jurjani, Al-Ta`rifât, hlm. 168; Al-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islâmy Wa Adillatuh, hlm. 16 4 TM. Hasby Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam I, hlm. 25.5 Manna` al-Qaththan, Al-Tasyri` wal-Fiqh fil-Islâm, hlm. 15 6 `Abdul Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, hlm 100; Muhammad Abu Zahrah, Ushûl

al-Fiqh, hlm. 267PP. Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah, hlm. 278;

Fatchurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Pengantar M. Amien Rais, hlm. ix, 70.

8 TM. Hasby Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, hlm. 1379 Al-Syatibi, Al-Muwafaqât, Juz II, hlm. 6; Lihat Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman,

Dasar-dasar Pembinaan Hukum., hlm. 48610 `Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, hlm. 200-20111 Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, hlm. 366-367; A. Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh:

Metodologi Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Press, hlm. 144-14812 Zarkasyi & Oman Fathurrahman, Pengantar Fiqh dan Ushul Fiqh, hlm. 11-17;

Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, hlm. 66-7513 Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan jumlah keseluruhan ayat Al-Qur’an.

Jumlah 6236 ini sendiri didapatkan dari penjumlahan 1456 ayat dari kelompok surat Madaniah dan 4780 ayat dari kelompok surat Makkiyah. Lebih lanjut lihat Al-Qur’an dan Terjemahnya, Khadim al-Haramain, hlm. 16 dan 1123. Namun Harun Nasution dalam Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya menyebutkan 6360 ayat dan hanya 368 ayat yang menyinggung permasalahan hukum.

14 Al-Syatibi, Al-Muwafaqât, hlm. 15015 Al-Syatibi, Al-Muwafaqât, hlm. 6; Ibid, II, hlm. 54. 16 CD. Mawsû`at al-Hadîts al-Syarîf, Al-Bukhari: 3475 17 Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar., hlm. 48618 Abdul Hamid Hakim, Al-Bayân, hlm. 2119 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushûl al-Fiqh, hlm. 5220 Abdul Wahab Khallaf, Mashâdir al-Ahkâm, hlm. 85-8621 Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, hlm. 30822 Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, hlm. 308-309.23 Khallaf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, hlm 229. Dengan urutan yang berbeda, Ibn Shalah

menempuh tiga cara, yaitu: (1) al-jam`u; (2) al-nasikh wal-mansukh; (3) al-tarjih, dan Al-`Asqalani serta Abu Zahrah menambahkan cara keempat yaitu: (4) al-tawaqquf. Sementara itu ulama` Hanafiyah dan Hanabilah menempuh metode nasakh lebih dulu, kemudian tarjih dan al-jam`u wal-tawfîq. Bila kedua dalil tetap tidak bisa dikompromikan maka mereka tawaqquf-kan.

24 Muhlish Usman, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyyah, hlm. 88; Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, hlm. 480-481.

25 Tim Depag. RI., Ushul Fiqh I, hlm. 182-183.26 Ibnu Taimiyah, Al-Ubudiyyah, hlm. 44.27 A. Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam, hlm. 7

29

Page 30: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

Lawan tauhid adalah syirik (mempersekutukan Allah) yang merupakan dosa terbesar di antara dosa-dosa besar (QS. Luqman/31: 13 dan HR. Bukhari-Muslim, dari Abu Bakrah) sehingga Allah tidak akan mengampuninya (QS. Al-Nisa’/4: 48, 116) kecuali jika bertobat.

2. Ibadah tanpa perantara. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:

�ذا ك وإ ل أ اد�ي س ب +ي عن+ي ع� �ن �بJ فإ �ب� قر�ي ي ج�� دع�وة أ

�ذا الد�اع�ي �و�ا دعان� إ �ب ي ج� ت س� �ي �و�ا ل�ي فل �ؤ�م�ن �ي �ي ول ب�ه�م� عل د�و�ن ل ش� ر� ي

“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), “Sesungguhnya Aku sangatlah dekat.” Aku kabulkan permohonan (do`a) orang yang berdo`a apabila ia memohon kepadaKu. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepadaKu agar mereka selalu mendapat bimbingan.” (QS. Al-Baqarah/2: 186)

قد� ا ول ق�ن ل ان خ �س �ن �إل م� ا ع�ل ا ون و�س� م�� �وس��� ه� ت ه� ب��� ف�س��� نح�ن� ب� ون ق�ر �ه� أ ي �ل �ل� م�ن� إ ب �د� ح �ور�ي ال

“Dan sungguh benar-benar Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh jiwanya. Dan Kami sangat dekat daripada urat lehernya.” (QS. Qaf/50: 16)

�م� وه�و �ن معك ي �م� ما أ �ت �ن �ما والله� ك �و�ن ب ع�مل �رJ ت ص�ي ب“Dan Dia (Allah) bersama kamu di manapun kamu berada, dan Allah terhadap apa yang kamu kerjakan Maha Melihat.”(QS. Al-Hadîd/57: 4)

Oleh karena Allah SWT berada sangat dekat dengan hamba-hamba-Nya dan Maha Mengetahui segala apa yang dilakukan oleh hamba-Nya, maka dalam berdo`a sebagai intisari dari ibadah kita kepada Allah sudah seharusnya langsung dimohonkan kepada Allah, dan tidak melalui perantara siapapun dan apapun juga.

3. Ibadah harus dilakukan secara ikhlas yakni dengan niat yang murni semata hanya mengharap keridhaan Allah SWT. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:

وا وما �م�ر� � أ �ال �د�و�ا إ ع�ب �ي �ن الله ل ل�ص�ي ه� م�خ� �ن ل فاء الد+ي ن ح�“Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.”(QS. Al-Bayyinah/98: 5)

30

Page 31: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

Juga hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Umar yang menyatakan bahwa setiap perbuatan tergantung pada niatnya, dan hadis Nabi saw yang lain yang berbunyi:

��ن �ه إ الل ل� ال ق�ب �عمل� م�ن ي � ال �ال ان ما إ ه� ك ال�ص7ا ل �غ�ي خ �ت �ه� واب بوج�ه�ه�

"Allah tidak menerima amalan kecuali dikerjakan dengan ikhlas dan hanya mencari ridhaNya." (HR. Al-Nasâ`i)

Berdasarkan dalil di atas bahwa hanya ibadah yang dilakukan secara ikhlas saja yang akan diterima oleh Allah SWT. Sedangkan ibadah yang dilakukan secara tidak ikhlas, seperti karena ada unsur riya’ (karena ingin dilihat/dipuji), tidak akan punya nilai apa-apa di hadapan Allah. Jadi, amal yang lahirnya baik apabila motifnya riya’, tidak akan menjadi ibadah yang diterima Allah SWT.

4. Ibadah harus sesuai dengan tuntunan. Allah SWT berfirman:

ان فمن� و� ك ج� ر� �قاء ي +ه� ل ب ع�مل� ر �ي 7 فل ا عمال �ح7 صال ر�ك� وال �ش� يادة� �ع�ب +ه� ب ب حد7ا ر أ

“Barangsiapa yang mengharapkan pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah mengerjakan amal shaleh dan ia jangan mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Tuhannya.”(QS.Al-Kahfi/18: 110)

Arti kata shalih adalah baik karena sesuai/tepat. Seseorang dikatakan beramal shaleh bila dalam beribadah kepada Allah sesuai dengan cara yang disyari`atkan Allah melalui para Nabi-Nya, bukan dengan cara yang dibuat oleh manusia sendiri. Nabi saw bersabda:

دث من� ح��� ا ف�ي أ م�ر�ن�� ذا أ ا ه�� �س م�� ي و ف�ي��ه� ل د~ فه��� ر

عليه( )متفق“Barangsiapa yang mengadakan sesuatu dalam perkara kami ini yang tidak ada tuntunan (Islam) di dalamnya maka ditolak.” (Hadis ini disepakati oleh Al-Bukhâri dan Muslim)Begitu berbahayanya akibat dari penyimpangan agama sehingga Nabi Muhammad saw memperingatkan dengan sabdanya:

…��ن �ر فإ ي �حد�يث� خ اب� ال �ت ه� ك �ر� الل�� ي��� دى وخ �ه��� دى ال ه���aد�رc م�حم �م�ور� وش �ها األ� ات �لc م�ح�دث �د�عةa وك ةJ ب ل ال )رواه ض��

�لc:النسائى لفظ فى و والدار�مى.( وأحمد ماجة وابن مسلم وكaة �ار� ف�ي ضالل الن

“Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah Kitabullah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik bimbingan, adalah bimbingan Muhammad, sedang sejelek-jelek perkara adalah mengada-ada padanya, dan setiap bid`ah

31

Page 32: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

(penyimpangan dengan mengada-ada) adalah sesat.” (HR. Muslim, Ibn Majah, Ahmad dan Darimi) Dalam redaksi Al-Nasa’i (ada tambahan): “... dan setiap yang sesat, di neraka.”

Hadis ini dimaksudkan sebagai peringatan agar orang tidak mudah melakukan penyimpangan (bid`ah) dalam masalah ibadah mahdlah.

Contoh : Dalam masalah shalat, Nabi Muhammad saw. bersabda:

cوا ما صل �ي ك �م�ون �ت ي أ صل+ي ر

� البخارى( )رواه أ“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari, dari Malik bin Al-Huwairits) Nabi Muhammad saw telah mengajarkan tentang tata cara shalat secara lengkap melalui hadis-hadisnya yang maqbûl, dari sejak niat yang tidak dilafalkan, bacaan dan gerakan shalat, jumlah raka`at, waktu shalat, dan lain-lain. Dalam masalah ibadah mahdlah (khusus) yang jelas-jelas sudah ada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh ada hasil kreasi pemikiran manusia yang boleh masuk di dalamnya.

5. Seimbang antara unsur jasmani dengan rohani. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:

غ� �ت �ما واب اك ف�ي ة الد�ار الله� آت �آلخ�ر ا �س وال ن ك ت �ب ص�ي م�ن نا �ي … الدcن

“Dan carilah apa yang Allah berikan kepadamu berupa (kebahagiaan) negeri akhirat, namun jangan kamu lupa bahagianmu (nasibmu) dari (kenikmatan) dunia...”(QS. Al-Qashash/28: 77)

cها ي اأ �ن ي �ذ�ي �و�ا ال �ق�و�ا آمن �ظ�ر� الله ات ن �ت ف�سJ ول قد�مت� ما ن

aد �غ�� و�ا ل �ق��� �ن� الل��ه وات رJ الل��ه إ �ي��� ب ا خ �م�� و�ن ب ع�مل��� ت . وال�و�ا �و�ن ك �ن ت �ذ�ي ال و�ا ك س� اه�م� الله ن �س ن ه�م� فأ �ف�س�� ن ك أ ئ��� �ول أ

ق�و�ن ه�م� �فاس� ال “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah lalu untuk hari esok. Dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Waspada terhadap apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu menjadi orang yang seperti lupa kepada Allah, lalu Allah akan menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasiq.” (QS. Al-Hasyr/59: 18, 19)

ا �ن ب ا ر �ن ا ف�ي آت �ي ة7 الدcن ن ة� وف�ي حس �آلخ�ر ة7 ا ن ا حس عذاب وق�ن�ار� الن

32

Page 33: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

“Tuhan kami, barilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jagalah kami dari siksa api neraka.”(QS. Al-Baqarah/2: 201)

6. Mudah dan meringankan. Allah SWT berfirman:

ل+ف� ال �ك �ه� ي ا الل ف�س7 � ن �ال عها إ …و�س�“Allah tidak membebani seorang manusia kecuali sesuai dengan kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah/2: 286)

Syariat yang diciptakan Allah SWT mesti sudah sesuai dengan porsi kemanusiaan manusia. Hal ini karena Allah sebagai pencipta alam semesta termasuk manusia, tentunya paling tahu tentang ciptaal-Nya dan paling tahu tentang apa yang terbaik bagi ciptaal-Nya itu. Allah juga Maha Mengtahui akan keterbatasal-keterbatasan yang dimiliki ciptaal-Nya, sehingga dalam keadaan yang tidak normal (baca: menyulitkan atau tidak memungkinkan) maka selalu ada jalan keluar (keringanan atau rukhshah) yang ditawarkan Allah dalam Syarial-Nya. Itulah sebabnya Allah SWT berfirman:

�م� جعل وما �ك ي �ن� ف�ي عل … حرج م�ن� الد+ي“Dan tidaklah Dia (Allah) menjadikan agama bagimu sebagai beban...” (QS. Al-Hajj/22: 78). Lihat juga QS. Al-Ma'idah/5: 6.

33

Page 34: BAB 1 PENDAHULUAN.doc

Catatan Kaki:

34