5
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Percobaan bunuh diri Banyak ditemukan pada siswa SMA PGRI 1 surabaya yang tidak lulus UNAS. Baechler mengatakan bahwa bunuh diri mencakup semua perilaku yang mencari penyelesaian atas suatu masalah eksistensial dengan melakukan percobaan terhadap hidup subjek (dalam Maris dkk., 2000). Menurut Corr, Nabe, dan Corr (2003), agar sebuah kematian bisa disebut bunuh diri, maka harus disertai adanya intensi untuk mati. Meskipun demikian, intensi bukanlah hal yang mudah ditentukan, karena intensi sangat variatif dan bisa mendahului , misalnya untuk mendapatkan perhatian, membalas dendam, mengakhiri sesuatu yang dipersepsikan sebagai penderitaan, atau mengakhiri hidup. Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin suicidium”, dengan “sui” yang berarti sendiri dan “cidiumyang berarti pembunuhan. Schneidman mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan mental individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh diri sebagai satu-satunya 1

BAB 1 PNI

Embed Size (px)

DESCRIPTION

PNI

Citation preview

BAB 1PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANGPercobaan bunuh diri Banyak ditemukan pada siswa SMA PGRI 1 surabaya yang tidak lulus UNAS. Baechler mengatakan bahwa bunuh diri mencakup semua perilaku yang mencari penyelesaian atas suatu masalah eksistensial dengan melakukan percobaan terhadap hidup subjek (dalam Maris dkk., 2000). Menurut Corr, Nabe, dan Corr (2003), agar sebuah kematian bisa disebut bunuh diri, maka harus disertai adanya intensi untuk mati. Meskipun demikian, intensi bukanlah hal yang mudah ditentukan, karena intensi sangat variatif dan bisa mendahului , misalnya untuk mendapatkan perhatian, membalas dendam, mengakhiri sesuatu yang dipersepsikan sebagai penderitaan, atau mengakhiri hidup.Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin suicidium, dengan sui yang berarti sendiri dan cidium yang berarti pembunuhan. Schneidman mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan mental individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan (dalam Maris dkk., 2000). Dunia telah mengakui bahwa bunuh diri merupakan masalah kesehatan masyarkat yang sangat mendesak untuk mendapatkan perhatian. Data statistika World Helath Organization (WHO) menunjukkan setiap tahun paling tidak satu juta orang meninggal karena bunuh diri. Di Indonesia tercatat 1030 orang melakukan percobaan bunuh diri setiap tahunnya dan kurang lenih 705 orang diantaranya tewas. Di provinsi Jawa Timur tercatatat memiliki wilayah yang menempati rangking pertama dalam kasus bunuh diri yaitu Surabaya. Sejak tahun 1980-1990, Surabaya memiliki kasus bunuh diri terbanyak yaitu 94 orang, sedangkan tahun 1999-2001 terdapat 85 kasus dan tahun 2001-2011 berdasarkan data Kepolisian RI Jawa Timur terdapat 303 kasus bunuh diri. Dibandingkan dengan wilayah lain, Surabaya masih menduduki ururtan pertama. Fenomena bunuh diri di Surabaya tidak hanya monopoli pada kelompok usia lanjut, tetapi rentan perilaku dari anak-anak sampai dengan orangtua. Data kepolisian Negara RI Jawa Timur Suarabya tahun 2008 ditemukan bahwa pelaku bunuh diri paling banyak terdapat pada rentan usia tersebut 60 tahun 39% dengan 52 kasus, kelompok usia 16-45 tahun 34% dengan 45 kasus, kelompok usia 46-60 tahun 20% dengan 27 kasus, dan selanjutnya < 18 tahun 7 % dengan 9 kasus. Rentan usia pelaku bunuh diri yang cukup menjadi perhatian adalah bunuh diri pada usia remaja, meskipun bukan yang tertinggi tetapi kasus bunuh diri remaja di Surrabya relatif tinggi. Bila batasan usia remaja mengacu pada tugas perkembangan diasumsikan umur 14-24 tahun, dan dari data Polda Surabaya dari 2005 sampai maret 2009, tercatat 14 remaja bunuh diri.Menurut Djiwandono (2002), timbulnya kecemasan yang paling besar adalah pada saat siswa menghadapi tes atau ujian. Selama bertahun-tahun, siswa memberikan reaksi cemas yang hebat terhadap tes khususnya Ujian Nasional. Terlampau cemas dan takut menjelang ujian, justru akan menghalangi kejernihan pikiran dan daya ingat untuk belajar dengan efektif sehingga hal tersebut mengganggu kejernihan mental yang sangat penting untuk dapat mengatasi ujian (Goleman,1997).Cemas dan stress ini akan menimbulkan sebuah reaksi psikologis pada tubuh remaja. Remaja yang dapat mempergunakan kopingnya dengan baik maka akan dapat memanajemen rasa cemas yang berlebih ini. Namun remaja yang tidak dapat memanajemen rasa stress ini akan berespon pada tingkah laku maladapatif seperti perasaan ingin mengakhiri hidupnya karena sudah merasa tidak berguna. Remaja berpikir jika bunuh diri adalah jalan satu-satunya yang terbaik bagi mereka saat ini. Hal ini lebih baik bagi mereka daripada mereka menanggung rasa malu akibat tidak lulus UNAS. Tidak adanya internalisasi atau pendidikan karakter yang bagus disekolah juga menjadi faktor pendukung remaja yang tidak lulus UNAS untuk melakukan bunuh diri.Untuk bertahan terhadap stres dan kecemasan, sistem dukungan sering kali diperlukan. Salah satu yang dibutuhkan siswa, selain belajar yang lebih intensif, adalah adanya dukungan sosial untuk mengurangi kecemasan yang dihadapinya (Santrock,2003). Keterikatan yang dekat dan positif dengan orang lain, terutama dengan keluarga dan teman secara konsisten ditemukan sebagai pertahanan yang baik terhadap stres dalam kehidupan remaja (Gottlieb, dalam Santrock,2003). Pada penelitian yang dilakukannya, OBrien (dalam Santrock,2003) menemukan bahwa teman sebaya adalah sumber utama dukungan yang menyeluruh bagi remaja. Sebagai remaja, mereka dapat memperoleh dukungan sosial dari berbagai sumber, seperti dari keluarga, guru, orang tua, pasangan, sahabat, dan teman sebayanya (peers). Thoits (1983) mendefinisikan dukungan sosial sebagai perasaan sosial dasar yang dibutuhkan individu secara terus menerus yang dipuaskan melalui interaksi dengan orang lain. Dari interaksi ini individu menjadi tahu bahwa orang lain memperhatikan, menghargai, dan mencintai dirinya.

1.2 Rumusan MasalahAdakah hubungan antara percobaan bunuh diri dengan pendidikan remaja di sekolah ?

1.3 Tujuan Penelitian1.3.1 Tujuan UmumMenjelaskan percobaan bunuh diri yang banyak ditemukan pada siswa SMA PGRI 1 surabaya yang tidak lulus UNAS.1.3.2 Tujuan Khusus a. Menjelaskan konsep percobaan bunuh dirib. Menjelaskan konsep pendidikan remaja di sekolahc. Menjelaskan hubungan antara percobaan bunuh diri dengan pendidikan remaja di sekolah.1.4 Manfaat1.4.1 Teoritis Memberikan pengetahuan tentang hubungan antara hubungan antara percobaan bunuh diri dengan pendidikan remaja di sekolah.1.4.2 Praktis a. Bagi peneliti dapat memberikan pengetahuan tentang hubungan antara percobaan bunuh diri dengan pendidikan remaja di sekolah.b. Bagi perawat dapat memberikan pengetahuan tentang penyusunan asuhan keperawatan mengenai hubungan antara percobaan bunuh diri dengan pendidikan remaja di sekolah.

1

3