Upload
dirafq
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan dapat dikatakan merupakan suatu organisasi yang
bergerak dalam bidang pelayanan kesehatan. Organisasi sebagai wadah kerjasama
manusia untuk mencapai tujuan bersama dapat dipahami sebagai sebuah sistem
sosial oleh karena sumber daya utamanya adalah manusia. Pengertian pelayanan
kesehatan banyak macamnya.
Pendapat Levey dan Loomba ( 1973) menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri
atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta
memulihkan kesehatan perorangan, kelompok dan ataupun masyarakat.
Sesuai dengan batasan yang seperti ini, dapat dipahami bahwa bentuk dan
jenis pelayanan kesehatan yang dapat ditemukan banyak macamnya karena
kesemuanya ini amat ditentukan oleh :1) pengorganisasian pelayanan, apakah
dilaksanakan secara sendiri ataupun secara bersama-sama dalam organisasi; 2)
ruang lingkup kegiatan, apakah hanya mencakup kegiatan pemeliharaan
kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit,
pemulihan kesehatan atau kombinasi dari padanya; 3) sasaran pelayanan
kesehatan, apakah untuk perorangan, keluarga, kelompok ataupun masyarakat
secara keseluruhan. Ada beberapa hal yang menjadi syarat pokok pelayanan
kesehatan antara lain:
12
13
2.1.1 Tersedia dan berkesinambungan
Syarat pokok pertama pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan
kesehatan tersebut harus tersedia dimasyarakat ( available) serta bersifat
berkesinambungan ( continous ). Artinya semua jenis pelayanan kesehatan yang
dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya dalam
masyarakat adalah pada setiap saat dibutuhkan.
2.1.2 Dapat diterima dan wajar
Syarat kedua pelayanan kesehatan yang baik adalah yang dapat diterima (
acceptable ) oleh masyarakat serta wajar ( appropriate ). Artinya pelayanan
kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan
masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bertentangan dengan adat istiadat,
kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan masyarakat , serta bersifat tidak wajar
bukanlah suatu pelayanan kesehatan yang baik.
2.1.3 Mudah dicapai
Syarat pokok ketiga pelayanan kesehatan yang baik adalah yang mudah
dicapai ( accesible ) oleh masyarakat. Pengertian ketercapaian yang dimaksud
disini terutama dari sudut lokasi. Dengan demikian untuk dapat mewujudkan
pelayanan kesehatan yang baik maka pengaturan distribusi sarana kesehatan
menjadi sangat penting. Pelayanan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di daerah
perkotaan saja dan sementara itu tidak ditemukan didaerah bukanlah pelayanan
kesehatan yang baik.
14
2.1.4 Mudah dijangkau
Syarat pokok keempat pelayanan yang baik adalah yang mudah dijangkau
(affordable) oleh masyarakat. Arti keterjangkauan yang dimaksud disini terutama
dari sudut biaya. Untuk dapat mewujudkan keadaan yang seperti ini harus dapat
diupayakan biaya pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan
ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal dan hanya dinikmati
sebagian kecil masyarakat bukanlah pelayanan kesehatan yang baik.
2.1.5 Bermutu
Syarat pokok yang kelima adalah pelayanan kesehatan harus bermutu
artinya menunjukkan pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang
diselenggarakan. Pelayanan kesehatan yang bermutu satu pihak harus dapat
memuaskan para pemakai jasa pelayanan dan pihak lain tata cara
penyelengggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah ditetapkan.
2.2 Kualitas Pelayanan Kesehatan
2.2. 1 Pengertian Kualitas Pelayanan
Kualitas pelayanan kesehatan dalam arti sempit menurut Donabedian
(Azwar, 1996 ), adalah penampilan teknis (technical performance ) individu
praktisi pelayanan kesehatan. Dalam perspektif yang lebih luas kualitas pelayanan
meliputi interaksi praktis medis dengan pasien, kontribusi pasien dalam
pelayanan, kenyamanan pelayanan, akses (accessibility) terhadap fasilitas
pelayanan.
Kualitas atau mutu menurut Goetsh dan Davis (1994) merupakan suatu
kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan
lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Kualitas meliputi setiap aspek
15
dari suatu perusahaan dan sesungguhnya merupakan suatu pengalaman emosional
bagi pelanggan. Pelanggan ingin merasa senang dengan pembelian mereka,
merasa bahwa mereka telah mendapatkan nilai terbaik dan ingin memastikan
bahwa uang mereka telah dibelanjakan dengan baik, dan mereka merasa bangga
akan hubungan mereka dengan sebuah perusahaan yang bercitra mutu tinggi
(Lovelock dan Wright, 2005).
Kualitas sangat bersifat subjektif, tergantung pada persepsi, sistem nilai,
latar belakang sosial, pendidikan, ekonomi, budaya, dan banyak faktor lain pada
masyarakat atau pribadi yang terkait dengan jasa pelayanan perusahaan tersebut.
Menurut Goetsch dan Davis (1997), kualitas adalah keadaan dinamik yang
diasosiasikan dengan produk jasa, orang, proses, dan lingkungan yang mencapai
atau melebihi harapan.
Mutu adalah keadaan produk yang selalu mengacu pada kepuasan
pelanggan, karena kepuasan pelanggan merupakan kunci utama yang menjadikan
organisasi mampu bersaing dan dapat menjaga kelangsungan hidup organisasi
dalam jangka panjang. Selanjutnya dikatakan suatu produk hanya dapat dijamin
dengan menerapkan Total Quality Management yang dapat dilandasi metode
manajemen yang dipicu oleh pelanggan.
Kualitas dapat diartikan sebagai alat organisasi untuk meningkatkan
produktivitas, alat organisasi untuk mengurangi pemborosan, alat untuk
menurunkan biaya atau untuk meningkatkan financial return atau sisa hasil usaha
(Sabarguna, 2004).
Menurut lovelock dan Wright (2005), kualitas pelayanan dapat diukur
dengan membandingkan persepsi antara pelayanan yang diharapkan (expected
16
service) dengan pelayanan yang diterima dan dirasakan (perceived service) oleh
pelanggan. Jika perceived services sesuai dengan expected services, jasa
pelayanan kesehatan dapat dikatakan berkualitas dan pengguna jasa pelayanan
kesehatan puas.Dalam pengukuran mutu pelayanan, menurut Kotler (1997), harus
bermula dari mengenali kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi
pelanggan. Hal ini berarti bahwa gambaran kualitas pelayanan harus mengacu
pada pandangan pelanggan dan bukan pada penyedia jasa, karena pelanggan
mengkonsumsi dan memakai jasa. Pelanggan layak menentukan apakah pelayanan
itu berkualitas atau tidak.
Menurut Robert dan Prevest dalam Lupiyoadi (2001), kualitas pelayanan
kesehatan bersifat multidimensi. Ditinjau dari pemakai jasa pelayanan kesehatan
(health consumer) maka pengertian kualitas pelayanan lebih terkait pada
ketanggapan petugas memenuhi kebutuhan pasien, kelancaran komunikasi antara
petugas dengan pasien, keprihatinan serta keramahtamahan petugas dalam
melayani pasien, kerendahan hati dan kesungguhan. Ditinjau dari penyelenggara
pelayanan kesehatan (health provider) maka kualitas pelayanan lebih terkait pada
kesesuaian pelayanan yang diselenggarakan dengan perkembangan ilmu dan
teknologi kedokteran mutakhir. Hal ini terkait pula dengan otonomi yang dimiliki
oleh masing-masing profesi dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai
dengan kebutuhan pasien.
Menurut Azwar (1996), pengertian kualitas pelayanan kesehatan perlu
dilakukan pembatasan yang secara umum dapat disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan kualitas pelayanan kesehatan adalah mengacu pada tingkat kesempurnaan
pelayanan kesehatan. Pada satu sisi dapat menimbulkan kepuasan kepada pasien,
17
sedang pada sisi lain prosedurnya harus sesuai dengan kode etik standar profesi
yang ditetapkan.
Suatu layanan kesehatan yang dibutuhkan, dalam hal ini akan ditentukan
oleh profesi layanan kesehatan dan sekaligus diinginkan baik oleh pasien/
konsumen ataupun masyarakat serta terjangkau oleh daya beli masyarakat.
Kualitas jasa pelayanan kesehatan akan sangat ditentukan apabila
kebutuhan atau ekspektasi para pengguna jasa bias terpenuhi dan diterima tepat
waktu. Para penyedia jasa pelayanan harus mampu memenuhi harapan
pelanggan. Hal yang mempengaruhi kualitas jasa adalah expected services dan
perceveid services. Jika perceived services sesuai dengan expected services, jasa
pelayanan kesehatan dapat dikatakan berkualitas dan pengguna jasa pelayanan
kesehatan puas.
2.2.2 Dimensi Kualitas Pelayanan Kesehatan
Menurut Zeithaml (1985), mutu layanan kesehatan bersifat multidimensi .
dimensi kualitas pelayanan kesehatan,antara lain :
2.2.2.1 Dimensi kompetensi teknis
Dimensi kompetensi teknis menyangkut ketrampilan, kemampuan dan
penampilan atau kinerja pemberi layanan kesehatan. Dimensi ini berhubungan
dengan bagaimana pemberi layanan kesehatan menngikuti standar layanan
kesehatan yang telah disepakati, meliputi kepatuhan, ketapatan, kebenaran dan
konsistensi. Tidak terpenuhinya dimensi kompetensi teknis ini akan
mengakibatkan penyimpangan terhadap stadar pelayanan kesehatan sampai dapat
menurunkan mutu layanan kesehatan dan membahayakan jiwa pasien.
18
2.2.2.2 Dimensi keterjangkauan atau aksesibilitas (accessibility)
Dimensi keterjangkauan atau aksesibilitas (accessibility) artinya layanan
kesehatan itu harus dapat dicapai oleh masyarakat, kemudahan yakni jarak
terjangkau, tidak terhalang oleh keadaan geografis , sosial, dan ekonomi. Secara
harfiah akses layanan kesehatan dapat diartikan sebagai jalan bagi seseorang
untuk bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya.
Pengguna jasa layanan akan merasakan bahwa institusi penyedia
pelayanan jasa, lokasi, jam kerja, dan sistemnya dirancang dengan baik untuk
memudahkan para pengguna mengakses pelayanan sesuai dengan kondisi
pengguna jasa, yaitu disesuaikan dengan keadaan sakit pasien, jarak yang harus
ditempuh , tarif pelayanan, dan kemampuan ekonomi pasien atau keluarga untuk
membayar tarif pelayanan.
Akses geografis diukur dengan jarak, lama perjalanan , biaya perjalanan,
jenis transportasi atau hambatan fisik lain yang dapat menghalangi seseorang
untuk mendapatkan layanan kesehatan. World Bank mendefinisikan transportasi
sebagai kegiatan untuk menghubungkan orang ke tempat – tempat dan sumber
daya. Karena transportasi adalah sarana untuk meningkatkan kemampuan (atau
mobilitas) bagi orang untuk mencapai akses (access) kesehatan pelayanan dan
fasilitas yang dibutuhkan (Noveniawata,2008).
Akses ekonomi berkaitan dengan kemampuan membayar biaya layanan
kesehatan. Akses social/ budaya berhubungan dengan dapat diterima atau
tidaknya layanan kesehatan itu secara social atau nilai budaya, kepercayaan, dan
perilaku. Akses bahasa, artinya pasien harus dilayani serta diberi informasi
mengenai penyakit yang ia derita dengan bahasa yang dipahami oleh pasien.
19
Petugas kesehatan harus memberikan sebuah komunikasi ketika melayani
pasien dengan komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal adalah
interaksi tatap muka antara dua atau beberapa orang, di mana pengirim dapat
menyampaikan pesan secara langsung, dan penerima pesan dapat menerima dan
menanggapi secara langsung.
2.2.2.3 Dimensi efektivitas layanan kesehatan
Dimensi efektivitas layanan kesehatan artinya harus mampu mengobati
atau menguragi keluhan yang ada , mencegah terjadinya penyakit atau
berkembangnya penyakit yang ada. Efektifitas layanan kesehatan bergantung pada
bagaimana standar pelayanan digunakan dengan tepat, konsisten dan sesuai
dengan situasi tempat. Dimensi efektivitas sangat berkaitan dengan dimensi
kompetensi teknis, terutama dalam pemilihan alternative dalam menghadapi
relative risk dan ketrampilan dalam mengikuti prosedur yang terdapat dalam
standar layanan kesehatan.
2.2.2.4 Dimensi efisiensi
Sumber daya kesehatan sangat terbatas. Layanan kesehatan yang efisien
adalah layanan kesehatan yang dapat melayani lebih banyak pasien atau
masyarakat. Layanan kesehatan umumnya berbiaya mahal, kurang nyaman bagi
pasien, memerlukan waktu lama, dan menimbulkan resiko lebih besar kepada
pasien.
2.2.2.5 Dimensi kesinambungan layanan kesehatan
Dimensi kesinambungan layanan kesehatan artinya pasien pasien harus
dapat dilayani sesuai kebutuhannya, termasuk rujukan jika diperlukan tanpa
mengulangi prosedur diagnosis dan terapi yang tidak perlu.
20
2.2.2.6 Dimensi keamanan
Dimensi keamanan maksudnya layanan kesehatan harus aman baik bagi
pasien, pemberi layanan , maupun bagi masyarakat sekitar. Layanan kesehatan
yang bermutu harus aman dari resiko cedera, infeksi, efek samping atau bahaya
lain yang ditimbulkan oleh layanan kesehatan itu sendiri.
2.2.2.7 Dimensi kenyamanan
Dimensi kenyamanan mempengaruhi kepuasaan pasien untuk datang
berobat kembali ke tempat tersebut. Kenyamanan dapat menimbulkan
kepercayaan pasien kepada layanan kesehatan. Kenyamanan terkait dengan
penampilan fisik layanan kesehatan, pemberi pelayanan, peralatan medis dan non
medis. Misalnya tersedianya TV dalam suatu ruang tunggu akan memberikan
kenyamanan tersendiri sehingga waktu untuk menunggu menjadi tidak
membosankan.
2.2.2.8 Dimensi informasi
Dimensi informasi artinya harus mampu memberikan informasi yang jelas
tentang apa, siapa, kapan, dimana, dan bagaimana layanan kesehatan itu akan atau
telah dilaksanakan.
2.2.2.9 Dimensi ketepatan waktu
Layanan kesehatan harus dilaksanakan dalam waktu dan cara yang tepat
agar berhasil oleh pemberi pelayanan dan menggunakan peralatan dan obat yang
tepat serta dengan biaya yang efisien.
2.2.210 Dimensi hubungan antar manusia
Hubungan antar manusia merupakan interaksi antara pemberi layanan
kesehatan (provider) dengan pasien, antarsesama pemberi pelayanan kesehatan,
21
hubungan antara atasan dan bawahan, dinas kesehatan, rumah sakit, puskesmas
dan lain-lain. Hubungan antarmanusia yang baik akan menimbulkan kepercayaan
atau kredibilitas, dengan cara saling menghargai, menghormati, member perhatian
dan lain – lain.
2.3. Kepuasan Pasien
Kepuasan adalah respons pemenuhan dari konsumen. Kepuasan adalah hasil
penilaian dari konsumen bahwa produk atau pelayanan telah memberikan tingkat
kenikmatan dimana tingkat pemenuhan lebih atau kurang.
Menurut Rowland, et al (dalam Sabarguna,2004), kepuasan berarti
keinginan dan kebutuhan seseorang terpenuhi sehingga ini adalah merupakan
aspek yang paling menonjol dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Harapan pasien dalam proses pengobatan akan menimbulkan suatu kepuasan,
dimana diharapkan dapat mempercepat proses penyembuhan.
Menurut Irawan (2002), kepuasan sebagai persepsi terhadap produk atau
jasa yang telah memenuhi harapannya. Karena itu pelanggan tidak akan puas
apabila pelanggan mempunyai persepsi bahwa harapannya belum terpenuhi.
Pelanggan akan merasa puas jika persepsinya sama atau lebih dari yang
diharapkan.
Menurut Lupiyoadi (2001), dalam menentukan tingkat kepuasan pelanggan
terdapat lima faktor utama yang harus diperhatikan oleh perusahaan yaitu; 1)
Kualitas produk, pelanggan akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka
menunjukkan bahwa produk/jasa yang mereka dapatkan berkualitas. 2) Kualitas
pelayanan, pelanggan akan merasa puas bila mereka mendapatkan pelayanan yang
baik atau sesuai dengan yang diharapkan. 3) Emosional, pelanggan akan merasa
22
bangga dan mendapatkan keyakinan bahwa orang lain akan kagum terhadap dia
bila menggunakan produk dengan merek tertentu yang cenderung mempunyai
tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Kepuasan yang diperoleh bukan karena
kualitas dari produk, tetapi nilai social atau self esteem yang membuat pelanggan
menjadi puas terhadap merek tertentu. 4)Harga, produk yang mempunyai kualitas
yang sama tetapi harga relatif murah akan memberikan nilai yang lebih tinggi
kepada pelanggannya. 5). Biaya, pelanggan yang tidak perlu mengeluarkan biaya
tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan suatu produk
atau jasa cenderung puas terhadap produk atau jasa itu.
Dapat disimpulkan, bahwa kepuasan pelanggan adalah hasil akumulasi dari
konsumen atau pelanggan dalam menggunakan produk atau jasa. Oleh karena itu,
setiap transaksi atau pengalaman baru akan memberikan pengaruh terhadap
kepuasan pelanggan.
2.3.1 Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pegguna Jasa Pelayanan
Kesehatan
Menurut Muninjaya (2004) kepuasan pengguna jasa pelayanan kesehatan
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
2.3.1.1. Pemahaman pengguna jasa tentang jenis pelayanan yang akan
diterimanya. Dalam hal ini aspek komunikasi memegang peranan penting karena
pelayanan kesehatan adalah high personnal contact.
2.3.1.2 Empati (sikap peduli) yang ditunjukkan oleh petugas kesehatan. Sikap ini
akan menyentuh emosi pasien. Faktor ini akan berpengaruh pada tingkat
kepatuhan pasien (complience).
23
2.3.1.3. Biaya (cost). Tingginya biaya pelayanan dapat dianggap sebagai sumber
moral hazard bagi pasien dan keluarganya.
2.3.1.4. Penampilan fisik (kerapian) petugas, kondisi kebersihan dan kenyamanan
ruangan (tangibility).
2.3.1.5. Jaminan keamanan yang ditunjukkan oleh petugas kesehatan (assurance).
Ketepatan jadwal pemeriksaan dan kunjungan dokter termasuk dalam faktor ini.
2.3.1.6. Keandalan dan keterampilan (reliability) petugas kesehatan dalam
memberikan perawatan. Kecepatan petugas memberikan tanggapan terhadap
keluhan pasien (responsiveness)
2.4. Puskesmas
2.4.1 Pengertian Puskesmas
Puskesmas adalah satuan organisasi fungsional yang menyelenggarakan
upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, hasil pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknlogi tepat guna dengan biaya yang dapat ditanggung oleh
pemerintah dan masyarakat.( Depkes RI,2000).
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota
yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu
wilayah kerja. Puskesmas adalah unit pelaksana fungsional yang berfungsi
sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan peran serta masyarakat
dalam bidang kesehatan serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang
menyelenggarakan kegiatannya secara menyeluruh (Azwar,1996).
Upaya kesehatan tersebut diselenggarakan dengan menitikberatkan pada
pelayanan untuk masyarakat luas, guna mencapai derajat kesehatan yang optimal
tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan.
24
Yang dimaksud dengan pelayanan yang menyeluruh adalah pelayanan
kesehatan yang meliputi promotif (peningkatan kesehatan), preventif (pencegahan
penyakit), kuratif (penyembuhan kesehatan), dan rehabilitatif (pemulihan
kesehatan) yang ditujukan kepada semua golongan umur maupun jenis penyakit.
Untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan tersebut diselenggarakan
berbagai upaya kesehatan secara menyeluruh, berjenjang, dan terpadu. Puskesmas
adalah penanggung jawab penyelenggara upaya kesehatan untuk jenjang tingkat
pertama. Pada saat ini puskesmas telah didirikan di hampir seluruh pelosok tanah
air.
Untuk menjangkau seluruh wilayah kerjanya, puskesmas diperkuat dengan
puskesmas pembantu serta puskesmas keliling. Kecuali itu untuk daerah yang
jauh dari sarana pelayanan rujukan, puskesmas dilengkapi dengan fasilitas rawat
inap (Trikono, 2005).
Sebagai sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama di Indonesia,
pengelolaan program kerja Puskesmas berpedoman pada empat azas pokok,
yakni; 1. Azas pertanggung jawaban wilayah. 2. Azas peran serta masyarakat. 3.
Azas keterpaduan. 4. Azas rujukan (Azwar, 1996).
Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas adalah
tercapainya Kecamatan Sehat menuju terwujudnya Indonesia Sehat. Kecamatan
Sehat adalah gambaran masyarakat kecamatan masa depan yang ingin dicapai
melalui pembangunan kesehatan, yakni masyarakat yang hidup dalam lingkungan
dan dengan perilaku sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan yang mutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang
25
setinggitingginya. Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh
puskesmas adalah mendukung tercapainya :
2.4.1.1. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah
kerjanya
Puskesmas adalah selalu menggerakkan pembangunan sektor lain yang
diselenggarakan di wilayah kerjanya, agar memperhatikan aspek kesehatan yaitu
pembangunan yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan,
setidak-tidaknya terhadap lingkungan dan perilaku masyarakat.
2.4.1.2. Mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat
di wilayah kerjanya.
Puskesmas akan selalu berupaya agar setiap keluarga dan masyarakat yang
bertempat tinggal di wilayah kerjanya makin berdaya di bidang kesehatan, melalui
peningkatan pengetahuan dan kemampuan menuju kemandirian untuk hidup
sehat.
2.4.1.3. Memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan keterjangkauan
pelayanan kesehatan yang diselenggarakan.
Puskesmas akan selalu berupaya menyelenggarakan pelayanan kesehatan
yang sesuai dengan standar dan memuaskan masyarakat, mengupayakan
pemerataan pelayanan kesehatan serta meningkatkan efisiensi pengelolaan dana
sehingga dapat dijangkau oleh seluruh anggota masyarakat.
2.4.1.4. Memelihara dan meningkatkan kesehatan perorangan, keluarga dan
masyarakat.
Puskesmas akan selalu berupaya memelihara dan meningkatkan kesehatan,
mencegah, dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan
26
perorangan, keluarga, dan masyarakat yang berkunjung dan yang bertempat
tinggal di wilayah kerjanya, tanpa diskriminasi dan dengan menerapkan kemajuan
ilmu dan teknologi kesehatan yang sesuai. Upaya pemeliharaan dan peningkatan
yang dilakukan puskesmas mencakup pula aspek lingkungan dari yang
bersangkutan (Kepmenkes RI No.128 Tahun 2004).
2.4.2. Pengembangan Fungsi Puskesmas
Pengembangan fungsi puskesmas di perkotaan merupakan pengembangan
aspek pengelolaan masalah kesehatan yang ada. Sebagai sarana pelayanan
kesehatan strata pertama, Puskesmas harus melaksanakan upaya kesehatan wajib
yang terdiri dari upaya promosi kesehatan, upaya kesehatan lingkungan, upaya
kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana, upaya perbaikan gizi, upaya
pencegahan dan pemberantasan penyakit menular dan upaya pengobatan.
Disamping upaya kesehatan wajib, puskesmas perkotaan memiliki peluang untuk
melaksanakan usaha kesehatan pengembangan yang dilaksanakan berdasarkan
prioritas masalah dan ketersediaan pelayanan kesehatan di puskesmas.
Pengembangan upaya pelayanan penunjang di puskesmas dapat dilakukan
dalam bentuk : 1. Pemenuhan kebutuhan akan pelayanan yang lebih lengkap
dengan mengadakan peralatan yang modern. 2. Meningkatkan sistem pencatatan
dan pelaporan di puskesmas perkotaan seperti penggunaan komputer. 3.
Pengembangan kegiatan perawatan kesehatan masyarakat seperti pengadaan rawat
inap (Depkes RI, 2005).
2.4.3. Pengembangan Sarana dan Prasarana Puskesmas
Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat sesuai
kebutuhan dan tuntutan masyarakat, puskesmas perlu meningkatkan berbagai
27
sarana pendukung pelayanan dengan tetap memperhatikan kemampuan
sumberdaya yang ada.
Dalam mewujudkan pelayanan yang bermutu, profesionalisme, aman dan
nyaman ditujukan melalui penyediaan :1. Tenaga kesehatan yang sesuai dengan
upaya yang diselenggarakan, misalnya mengadakan dokter spesialis di puskesmas.
2. Peralatan medis dan non medis untuk penunjang upaya kesehatan. 3.
Penambahan ruangan pelayanan, pengaturan tata ruang , serta penyediaan fasilitas
rawat inap di puskesmas. 4. Sarana transportasi dan komunikasi. 5. Fasilitas
penunjang seperti tempat tidur, kursi, papan alur pelayanan, tempat parkir dll
(Depkes, 2005).
2.4.5 Fungsi Puskesmas yaitu :
2.4.5.1 Sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat di wilayahnya
(Depkes,1992).
2.4.5.2 Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka
meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat(Depkes,1992).
2.4.5.3 Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada
masyarakat diwilayah kerjanya.
2.4.6 Fasilitas Penunjang
2.4.6.1 Puskesmas pembantu
Puskesmas adalah unit pelayanan kesehatan yang sederhana yang berfungsi
menunjang dan membantumelaksanakan kegiatan- kegiatan yang dilakukan
Puskesmas dalam ruang lingkup wilayah yang lebih kecil.
28
2.4.6.2 Puskesmas Keliling
Merupakan unit pelayanan kesehatan keliling yang dilengkapi dengan
kendaraan bermotor roda empat atau perahu bermotor dengan peralata kesehatan,
peralatan komunikasi serta sejumlah tenaga yang berasal dari Puskesmas
(Effendy,1998).
2.4.7 Program Pelayanan Kesehatan gigi dan mulut di puskesmas
2.4.7.1 Kegiatan pelayanan kesehatan gigi masyarakat atau keluarga dengan
pendekatan PKMD atau UKGMD (Depkes,1999)
2.4.7.2 Pelayanan kesehatan gigi pada anak usia sekolah atau UKGS
(Depkes,1999)
2.4.7.3 Pelayanan kesehatan gigi pada penderita atau pengunjung Puskesmas atau
BPG (Depkes,1999).
2.4.8 Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Gigi dan Mulut di Puskesmas
Pelayanan di Puskesmas ditujukan kepada :
2.4.8.1 Penderita atau masyarakat yang datang berobat ke Puskesmas
2.4.8.2 Penderita yang dirujuk dari BKIA, sekolah, posyandu, puskesmas
pembantu, puskesmas lain yang tidak memiliki fasilitas kesehatan gigi.
Untuk memperluas jangkauan pelayanan bagi masyarakat atau penderita
yang letaknya jauh dari puskesmas dapat dijangkau dengan mengadakan
pendekatan pelayanan melalui puskesmas keliling maupun klinik gigi
lapangan untuk anak sekolah.
2.4.9 Jenis pelayanan di puskesmas
Menurut Depkes RI (1999) yaitu :
2.4.9.1 Didalam gedung Puskesmas, meliputi :
29
BPG yaitu tumpatan gigi tetap, tumpatan Gigi sulung, perawatan pulpa,
pencabutan gigi tetap, pencabutan gigi sulung, pengobatan periodontal, rujukan,
baik yang bersifat vertikal maupun horizontal, rujukan vertikal misalnya rujukan
dari kader UKGMD atau dari UKGS ke puskesmas dan sebaliknya, sedangkan
rujukan horizontal, misalnya KIA dirujuk ke BPG atau dari Puskesmas yang satu
ke Puskesmas yang lain yang lebih lengkap fasilitasnya dan sebaliknya, dan lain –
lain.
2.4.9.2 Diluar gedung Puskesmas
2.4.9.2.(i) UKGS
Kegiatan UKGS yang dilaksanakan di sekolah yang dinaungi oleh
puskesmas meliputi penyuluhan, plak control, tumpatan gigi tetap dan sulung,
perawatan pulpa (rujukan), pencabutan gigi sulung (dengan kasus sederhana : gigi
goyang , sisa akar) dan pengobatan periodontal (dirujuk).
2.4.9.2.(ii) UKGMD
Jenis kegiatan yang dilakukan oleh Unit Kesehatan Gigi Masyarakat Desa
(UKGMD) antara lain melatih ketrampilan kader dalam hal cara pemeriksaan
pasien, penyuluhan kesehatan gigi dan mulut pada masyarakat, cara pengobatan
sederhana dan pelaporan hasil pekerjaan.Serta pembinaan kader UKGMD melalui
penataran atau kursus kader UKGMD, mengadakan pertemuan kader untuk
mengevaluasi kegiatan kader tiap 3 bulan sekali.
2.4.10 Tugas Kewajiban dan Peranan Tenaga Kesehatan Gigi
2.4.10.1 Tugas kewajiban tenaga kesehatan
Menurut Depkes RI, 1983 tugas dan kewajiban tenaga kesehatan adalah
mengembangkan peran serta masyarakat sehingga kegiatan promotif – preventif
30
dijalankan oleh masyarakat. Oleh karena itu, maka yang wajib dilakukan oleh
tenaga kesehatan adalah menjadi teladan dan mencontohkan tindakan promotif –
preventif sebagai kebiasaan hidup setiap hari, mengembangkan kemampuan
masyarakat untuk menjalankan tindakan promotiv – preventif, dan
mengembangkan keyakinan masyarakat tentang pentingnya dan perlunya
melaksanakan tindakan promotiv – preventif untuk meningkatkan taraf kesehatan
serta mengembangkan sikap masyarakat sedemikian rupa, sehingga tindakan
promotiv – preventif dilakukan secara sukarela sebagai kebiasaan hidup sehari –
hari.
2.4.11 (b) Peran Tenaga Kesehatan Gigi
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam
bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan ketrampilan melalui pendidikan
di bidang kesehatan untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan melakukan
upaya kesehatan (Depkes RI,1999)
Semua petugas kesehatan baik dilihat dari jenis dan tingkatnya pada
dasarnya adalah pendidik kesehatan di tengah – tengah masyarakat. Petugas
kesehatan menjadi panutan di bidang kesehatan. Untuk itu maka petugas
kesehatan harus mempunyai sikap dan perilaku yang positif. Sikap dan perilaku
petugas kesehatan merupakan pendorong atau penguat untuk mencapai
keberhasilan perawatan pulpa (endodonsia) (Notoatmojo,1999).
Dalam Depkes RI,1995 peran tenaga kesehatan mencakup beberapa hal yaitu
melakukan persiapan atau lokakarya mini dengan pelaksanaan program terkait dan
pengarahan kepada pelaksanaan tersebut, pemeriksaan gigi dan mulut secara teliti
pada penderita yang dirujuk, memberikan penyuluhan kepada anak sekolah dasar
31
sesuai dengan masalah yang ada, pengobatan gigi dan mulut sesuai dengan
kewenangan, pembersihan karang gigi, penambalan dan pencabutan, pemberian
pengobatan, merujuk kasus yang tidak tertanggulangi, pencatatan pelaporan dan
evaluasi serta perbaikan kesehatan gigi dan mulut.
2.5 Sarana Pelayanan
2.5.1 Penataan Ruangan
Ruangan untuk pelayanan kesehatan gigi diatur sedemikian rupa sehingga
memberikan kenyamanan bekerja bagi petugas kesehatan sehingga tidak akan
cepat merasa lelah dan untuk memberikan kenyamanan bagi pasien sehingga
merasa senang selama dilakukan perawatan (Depkes RI,1999).
2.5.2 Peralatan kesehatan
Peralatan tidak habis pakai adalah peralatan yang dapat dipakai untuk
beberapa tahun. Untuk barang – barang inilah diperlukan perawatan dan
pemeliharaan (Depkes RI,1999).
2.5.3 Peralatan dan bahan
Peralatan di Balai Pengobatan Gigi adalah dental unit, alat penambalan gigi,
alat pencabutan gigi , dan alat untuk control dan pembersihan karang gigi. Dan
bahan gigi adalah bahan untuk penambalan gigi (Depkes RI,1999).
2.6 Pengetahuan
2.6.1 Pengertian
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengeinderaan terjadi
melaluai pancaindera manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperolah melaluai mata dan
32
telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt behavior) (Soekijo,2007).
Pengetahuan adalah pembentukan pemikiran asosiatif yang
menghubungkan atau menjamin sebuah pikiran dengan kenyataan atau dengan
pikiran lain berdasarkan pengalaman yang berulang-ulang tanpa pemahaman
mengenai kualitas (sebab akibat) yang hakiki dan universal (prof.dr.ir.soetriono.
filsafat ilmu&metodologi penelitian, 2009). Cit Notoatmodjo (2003),
mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru di dalam orang
tersebut terjadi proses berurutan, yakni :
2.6.1.1 Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek)
2.6.1.2 Interest (merasa tertarik), terhadap stimulus atau obyek tersebut. Di sini
sikap subyek sudah mulai timbul
2.6.1.3 Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi,
2.6.1.4 Trial, dimana subyek mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan
apa yang dikehendaki oleh stimulus,
2.6.1.5 Adaption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikap terhadap stimulus.
2.7 Karies
2.7.1 Pengertian
Karies adalah penyakit jaringan gigi yang ditandai dengan kerusakan
jaringan, dimulai dari permukaan gigi (pit, fissure dan daerah aproximal) meluas
kearah pulpa (BRAUER).
33
Karies gigi adalah penyakit jaringan gigi yang ditandai dengan kerusakan
jaringan, dimulai dari permukaan gigi, atau lebih dan dapat meluas ke bagian yang
lebih dalam dari gigi. Karies gigi dapat dialami oleh setiap orang.
Adapun penyebab karies antara lain : karbohidrat, mikroorganisme dan air
ludah, permukaan dan bentuk gigi (Tarigan, 1990).
2.7.2 Proses Terjadinya Karies
Sisa makanan yang tertinggal di permukaan gigi akan diolah bakteri yang
terdapat dalam plak, sehingga akan terjadi proses peragian yang akan
menghasilkan asam susu yang dapat melunakkan jaringan keras gigi enamel dan
penyebab karies (Tarigan,1995).
2.7.3 Penjalaran karies
Pada tahap awal, kerusakan dimulai pada lapisan luar gigi (email
gigi), karies pada tahap ini disebut karies awal. Bila pada tahap ini karies
dibiarkan tanpa perawatan maka proses karies akan berlanjut ke bagian lapisan
paling dalam, sehingga menyerang lapisan dentin, akibatnya dentin menjadi
keropos (berlubang).
Tahap ini disebut karies agak lanjut. Bila keadaan ini tetap dibiarkan maka
proses karies akan tetap berlanjut, sehingga menyerang pulpa/ syaraf gigi, tahap
ini disebut karies lanjut. kemudian lambat laun pulpa akan mati dan membusuk
(Depkes RI, 1995).
2.7.4 Akibat Penjalaran Karies
Pada keadaan yang lebih buruk akan terjadi pembengkakan pada gusi dan
pipi. Jika ini tetap tidak diobati, maka peradangan dapat menjalar kejaringan
sekitarnya seperti mata dan leher (Depkes RI,1995)
34
2.7.5 Tindakan Bila Terjadi Karies
Harus diketahui bahwa gigi yang sakit atau berlubang tidak dapat sembuh
dengan sendirinya atau pemberian obat – obatan saja. Gigi tersebut hanya dapat
diobati dan dikembalikan ke fungsi pengunyahan semula dengan melakukan
pengeboran. Atau bagian yang pecah hanya dapat dikembalikan bentuknya
dengan cara penambalan. Jadi, untuk menambal gigi selain jaringan yang sakit
juga jaringan yang sehat harus dibuang, karena biasanya bakteri – bakteri tersebut
telah masuk ke bagian – bagian gigi yang lebih dalam. Sebaliknya bagian – bagian
gigi yang diduga telah terinfeksi, dibor / dibuang sehingga dapat meniadakan
kemungkinan terjadinya infeksi ulang setelah itu baru dilakukan penambalan
(Tarigan, 1989).
2.8 Perawatan pulpa (endodontia)
2.8.1 Definisi
Perawatan pulpa (endodontia) ialah bagian dari ilmu kedokteran gigi yang
menyangkut diagnosis serta perawatan penyakit atau cedera pada jaringan pulpa.
2.8.2 Penyebab utama kelainan pulpa/ cedera pulpa
Karies gigi bukan merupakan satu – satunya penyebab cedera pulpa tetapi
reaksi pertahanan jaringannya akan tetap sama apapun stimulus yang
dihantarkannya. Rangsangan yang membangkitkan reaksi pertahanan adalah
rangsangan dari bakteri (pada karies), rangsang mekanis (pada trauma, fraktur gigi
dan preparasi kavitas) serta bisa juga disebabkan oleh rangsangan zat kimia
misalnya asam dari makananan, bahan kedokteran gigi yang toksik dapat merusak
pulpa.
35
2.8.2 Tujuan Perawatan pulpa(endodontia)
Tujuan Perawatan pulpa (endodontia) adalah mengembalikan keadaan
gigi yang sakit agar dapat diterima secara biologik oleh jaringan sekitarnya.
2.8.3 Tahap dasar perawatan pulpa(endodontia)
Biasanya tidak semua lubang gigi dapat langsung ditambal. Pada keadaan
dimana kerusakan gigi telah mengenai pulpa (telah terjadi infeksi pada pulpa gigi)
maka harus dilakukan suatu perawatan pulpa (endodontia) dahulu sebelum
dilakukan penambalan gigi (Tarigan,1995).
Biasanya perawatan saluran akar yang dilakukan adalah mumifikasi yaitu
jaringan gigi yang masih tertinggal di dalam saluran akar diawetkan
(dimumifikasi) dengan bahan mumifikasi atau digabung dengan perawatan
pulpektomi dimana jaringan pulpa gigi dikeluarkan dan kemudian diisi kembali
dengan bahan – bahan semen, gutta percha, silver point dan lain sebagainya baru
setelah itu diadakan penambalan. Di dalam perawatan pulpa biasanya dokter gigi
mempergunakan obat – obatan keras untuk mematikan pulpa, mendesinfeksi
ruang pulpa dan lain sebagainya,oleh karena itu perawatan pulpa memerlukan
beberapa kali kunjungan, minimal 2 kali kunjungan untuk penggantian obat.
Maka hendaknya si pasien tepat datang kembali ke praktek untuk penggantian
obat, karena bila terlalu lama terkadang proses obat tersebut sudah melewati batas,
sehingga perawatan pulpa yang dilakukan berakhir kegagalan. (Tarigan, 1995).
Ada tiga tahap dasar dalam perawatan pulpa(endodontia). Pertama adalah
tahap diagnosis, yang meliputi penentuan penyakit dan perencanaan perawatan.
Kedua, tahap preparasi. Pada tahap ini isi saluran akar dikeluarkan dan saluran
akar di preparasi untuk menerima bahan pengisi. Ketiga adalah tahap pengisian.
36
Pada tahap terakhir ini saluran akar diisi dengan bahan yang dapat menutupnya
secara hermetik sampai batas dentin dan semen.
2.8.4 Indikasi perawatan pulpa(endodontia)
Indikasi untuk perawatan pulpa(endodontia) yaitu umumnya gigi dengan
kelainan yang telah mengenai jaringan pulpa dan atau kelainan jaringan
periapeks, sebagai pencegahan untuk menghindari infeksi jaringan periapikal, gigi
tanpa kelainan jaringan pulpa atau kelainan jaringan periapeks yang akan
mendapatkan tempat pasak bagi retensi restorasinya, masih didukung jaringan
penyangga gigi yang baik, gigi yang dipertahankan untuk menyangga suatu
overlay denture atau abunment gigi tiruan.
2.8.5 Jenis Perawatan Pulpa (endodontik)
Jenis perawatan pulpa konvensional meliputi pulp capping direk dan
indirek, pulpotomi, perawatan saluran akar pulpektomi dan endointrakanal, dan
apeksifikasi
2.9 Akibat jika tidak dirawat perawatan pulpa
Akibat jika tidak dilakukan perawatan pulpa akan menyebabkan
perubahan pada jaringan apeks dan pulpa mengalami peradangan yaitu pulpitis
koronalis, pulpitis radikularis, gangraen pulpa, periodontitis sehingga
menyebabkan gigi tidak bisa dilakukan perawatan dan harus dilakukan
pencabutan agar tidak menimbulkan penyakit lain (Tarigan, 1993).