40
BAB 2 LANDASAN TEORI MENGENAI BIAYA BANGUNAN GREEN BUILDING MENGGUNAKAN VALUE ENGINEERING 2.1 ISU LINGKUNGAN HIDUP Lingkungan hidup didefenisikan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Isral, 2008, p.7). Menurut V. Darsono (1995), lingkungan hidup dibagi menjadi tiga yaitu (Irsal, 2008, p.8): 1. Lingkungan alami, yaitu segala sesuatu yang berada disekitar manusia baik yang hidup (flora, fauna) maupun yang tidak hidup. 2. Lingkungan buatan, yaitu segala sesuatu yang dibuat dan dibangun oleh manusia untuk menunjang kehidupannya (misalnya gedung, bendungan/irigasi, dan sebagainya) 3. Lingkungan sosial, yaitu manusia lain yang ada disekitar kita. Lingkungan sosial adalah refleksi dari sifat sosial manusia yaitu bahwa manusia adalah makhluk sosial. Ketiga komponen ini membentuk satu-kesatuan yang utuh dan menyeluruh yang disebut ekosistem. Dalam ekosistem ini manusia berfungsi sebagai pengontrol yang selalu mencari kemudahan untuk dapat bertahan hidup. Berbagai cara dilakukan oleh manusia untuk mengeksplorasi apa yang ada disekitarnya demi menciptakan sesuatu yang baru. Titik kumulasi dari eksplorasi manusia adalah revolusi industri, yang menjadi latar belakang isu lingkungan hidup. Isu mengenai lingkungan mulai muncul dalam beberapa dekade belakangan ini. Kesadaran manusia akan lingkungan yang telah rusak membuat isu tentang lingkungan ini mencuat. Isu yang paling penting dalam lingkungan adalah mengenai terjadinya pemanasan global. Pemanasan global disebabkan bertambahnya jumlah CO2 di atmosfir yang menyebabkan energi panas yang seharusnya dilepas ke luar atmosfir bumi dipantulkan kembali ke permukaan bumi 12 Universitas Indonesia Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

bab 2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

penerapan metode value engineering pada green building...bab loro...

Citation preview

Page 1: bab 2

BAB 2

LANDASAN TEORI MENGENAI BIAYA BANGUNAN GREEN

BUILDING MENGGUNAKAN VALUE ENGINEERING

2.1 ISU LINGKUNGAN HIDUP

Lingkungan hidup didefenisikan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1982 sebagai kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk

hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan

perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Isral, 2008,

p.7). Menurut V. Darsono (1995), lingkungan hidup dibagi menjadi tiga yaitu

(Irsal, 2008, p.8):

1. Lingkungan alami, yaitu segala sesuatu yang berada disekitar manusia baik

yang hidup (flora, fauna) maupun yang tidak hidup.

2. Lingkungan buatan, yaitu segala sesuatu yang dibuat dan dibangun oleh

manusia untuk menunjang kehidupannya (misalnya gedung,

bendungan/irigasi, dan sebagainya)

3. Lingkungan sosial, yaitu manusia lain yang ada disekitar kita. Lingkungan

sosial adalah refleksi dari sifat sosial manusia yaitu bahwa manusia adalah

makhluk sosial.

Ketiga komponen ini membentuk satu-kesatuan yang utuh dan menyeluruh

yang disebut ekosistem. Dalam ekosistem ini manusia berfungsi sebagai

pengontrol yang selalu mencari kemudahan untuk dapat bertahan hidup. Berbagai

cara dilakukan oleh manusia untuk mengeksplorasi apa yang ada disekitarnya

demi menciptakan sesuatu yang baru. Titik kumulasi dari eksplorasi manusia

adalah revolusi industri, yang menjadi latar belakang isu lingkungan hidup.

Isu mengenai lingkungan mulai muncul dalam beberapa dekade belakangan

ini. Kesadaran manusia akan lingkungan yang telah rusak membuat isu tentang

lingkungan ini mencuat. Isu yang paling penting dalam lingkungan adalah

mengenai terjadinya pemanasan global. Pemanasan global disebabkan

bertambahnya jumlah CO2 di atmosfir yang menyebabkan energi panas yang

seharusnya dilepas ke luar atmosfir bumi dipantulkan kembali ke permukaan bumi

12

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 2: bab 2

13

dan menyebabkan meningkatnya suhu permukaan bumi. Berikut ini gambar

distribusi gas karbondioksida:

Gambar 2.1 :Tingkat distribusi CO2 per kapita di dunia

Sumber : Prof. Dr. Michael Bauer,Peter Mösle, dan Dr. Michael Schwarz. (2007). Green

Building – Guidebook for Sustainable Architecture (p.13)

Selain pemasanan global, isu lingkungan yang sedang menjadi fokus saat ini

adalah konsumsi energi. Berikut ini adalah diagram konsumsi impor energi pada

tahun 2004:

Gambar 2.2. Digram Impor Energi dari Tahun 1993 – 2004

Sumber : Prof. Dr. Michael Bauer,Peter Mösle, dan Dr. Michael Schwarz. (2007).Green

Building – Guidebook for Sustainable Architecture (p.11)

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 3: bab 2

14

Dari diagram diatas dapat dilihat bahwa impor energi dari tahun ke tahun

terus meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi energi dari tahun ke tahun

pun terus meningkat.

Selain pemanasan global dan konsumsi energi, isu lingkungan lainnya yang

menjadi fokus dalam green building adalah konsumsi air dan menipisnya sumber

daya alam akibat penggunaan yang berlebihan.

2.2 PERAN KONSTRUKSI BANGUNAN DALAM ISU LINGKUNGAN

(BANGUNAN DAN DAMPAKNYA BAGI LINGKUNGAN)

Bangunan adalah struktur yang modern dunia. Mereka menggambarkan

kecerdikan masyarakat dan kemampuan kita dalam memanipulasi lingkungan,

dalam bentuk menyajikan tujuan kita. Dalam beberapa cara, bentuk bangunan dan

fungsinya adalah cerminan dari kebudayaan manusia yang lebih besar. William

Mcdonough menggambarkan sebuah bangunan maju yang modern sebagai kapal

uap/api, mengotori, mencemari, dan menghabiskan lingkungan sekeliling, dan

mengandalkan cahaya alam dan udara segara yang jumlahnya sedikit. Orang pada

dasarnya bekerja dalam gelap, dan mereka sering bernafas dengan udara yang

tidak sehat. Bayangkan, sebaliknya, sebuah bangunan sebagai sebuah pohon yang

akan membersihkan udara, menambah sinar matahari, dan menghasilkan lebih

banyak energi daripada konsumsi, menciptakan tempat berteduh dan tempat

tinggal, menyuburkan tanah, dan mengubahnya dengan musim.

Jika kita mengubah masyarakat kita menuju masa depan yang berkelanjutan

(sustainable future), memerlukan perombakan hal – hal yang tidak sustainable

saat ini terhadap pertumbuhan ekonomi dan akhirnya mengatasi ketidakefisiensian

dan sampah yang mendukungnya. Bangunan adalah sebuah komponen utama

dalam transformasi ini.

Penulis Worldatch Institute mencatat bahwa bangunan hanya

mengkonsumsi dua per lima dari produksi energi dunia. Ini tidak termasuk energi

yang dibutuhkan untuk memanen, memproduksi dan mengirim material untuk

konstruksi dan pemeliharaan bangunan. Seperenam air yang dipompa dari alam di

konsumsi bangunan. Seperenam dari semua kayu yang dipanen berakhir

dibangunan (tidak memperhitungkan jumlah kayu yang digunakan untuk interior).

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 4: bab 2

15

Gabungan dari konsumsi energi, air, kayu pada sebuah bangunan inilah yang

menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan di planet ini (Lenssen N. and

D.M. Roodman, 1995). Berikut ini adalah peran bangunan dalam isu lingkungan :

1. Persentase konsumsi energi

Gambar 2.3. Diagram Konsumsi Energi oleh Bangunan

Sumber : Roodman, D. and N. Lenssen. "A Building Evolution: How Ecology and Health

Concerns Are Transforming Construction". World Watch Paper #124, March 1995.

2. Persentase dari konsumsi air oleh bangunan

Gambar 2.4. Diagram Konsumsi Air oleh Bangunan

Sumber: Roodman, D. and N. Lenssen. "A Building Evolution: How Ecology and Health

Concerns Are Transforming Construction". World Watch Paper #124, March 1995.

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 5: bab 2

16

3. Presentase konsumsi kayu oleh bangunan

Gambar 2.5. Diagram Konsumsi Kayu oleh Bangunan

Sumber : Roodman, D. and N. Lenssen. "A Building Evolution: How Ecology and Health

Concerns Are Transforming Construction". World Watch Paper #124, March 1995.

Pada pergantian milenium, ada 81 juta bangunan yang sedang beroperasi di

Amerika dan akan meningkat sebanyak 38 juta bangunan pada tahun 2010 . Ini

menggambarkan bahwa dalam kurun waktu satu dekade pertumbuhan bangunan

di Amerika telah mencapai 47%. Bangunan merupakan 50% dari kekayaan

nasional yang mempekerjakan banyak orang. Di Kanada, pertumbuhan industri

konstruksi per tahunnya mencapai 2%. Sedangkan di Indonesia, pertumbuhan

konstruksi bisa mencapai rata – rata 7% per tahun (Muhanda,2010).

2.3 GREEN BUILDING KONSEP GEDUNG BERWAWASAN

LINGKUNGAN

Revolusi green building tidak hanya dikenalkan di Amerika tetapi juga

dibanyak negara. Revolusi ini diilhami oleh bangkitnya pengetahuan bahwa

bangunan menggunakan sumber daya alam, berdampak pada manusia, dan

berbahaya bagi lingkungan (Yudelson, 2008). Adanya revolusi ini juga didorong

oleh pengetahuan bahwa dunia memiliki waktu yang sedikit untuk merespon

perkembangan berbahaya dari perubahan iklim khususnya global warming dan

bangunan itu memiliki peran yang sangat besar dalam emisi karbondioksida yang

merupakan salah satu penggerak perubahan iklim global (Yudelson,2008).

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 6: bab 2

17

Menurut penelitian yang dilakukan oleh McKinsey (2007), sebuah

perusahaan konsultan internasional, menunjukkan bahwa perubahan dalam desain

bangunan dan konstruksi dapat mengurangi hingga enam milyar ton emisi karbon

tiap tahunnya “melalui pengukuran dengan nol atau negatif net life cycle cost”

(Yudelson, 2008). Jumlah ini diperlukan untuk menjaga agar emisi karbon

dibawah 450 bagian per milyar pada tahun 2030. Dengan kata lain, green building

menghemat emisi karbon dan uang pada saat bersamaan, melalui isolasi yang

efektif, air- conditioning (AC), pencahayaan dan ukuran efisiensi energi lainnya

(Yudelson, 2008).

Revolusi green building adalah bagian dari sebuah paradigma kearah

ketahanan, sebuah realisasi pertumbuhan bahwa cara hidup saat ini, yang sebagian

besar karena murah dan berlimpahnya bahan bakar fosil, tidak menyokong

kehidupan untuk kurun waktu jangka panjang. Revolusi green building bekerja

untuk semua industri, dalam semua kelompok pendapatan, dan dalam semua

kelompok tingkat sosial (Yudelson, 2008).

2.3.1 Sejarah Green Building

Pada akhir tahun 1980-an, American Institute of Architects (AIA)

menciptakan Committee on Environment (COTE)). Di seluruh Amerika dan

Kanada, arsitek mempunyai komitmen untuk membuat desain ke arah sustainable,

yang bekerja melalui COTE lokal yang sama baiknya dengan US Green Building

Counsil (Yuldeson, 2007).

Diciptakan pada tahun 1993, US green Building Council (USGBC)

bertujuan untuk mengubah bangunan industri ke dalam bentuk aktivitas yang

lebih ramah terhadap lingkungan (Yudelson, 2007). Dimulai pada pertengahan

tahun 1990-an, USGBC, dengan bantuan finansial dari Departemen Energi

Amerika Serikat, mengembangkan sebuah penilaian dan sistem evaluasi mengenai

hal-hal apa saja yang mewakili green building (Yudelson, 2007). Sistem pertama,

diberi nama Leadership in Energy and Environmental Design (LEED), untuk

konstruksi baru dan renovasi besar, dikemudikan atau diuji pada tahun 1998 dan

1999 pada sekitar 50 proyek di Amerika Serikat (Yuldeson, 2007). Pada Maret

2000, versi 2.0 dari LEED dikenalkan sebagai pembaharuan, revisi dan perluasan

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 7: bab 2

18

versi dari LEED versi 2.0 yang asli dimana sejak versi 2.0 sudah ada banyak

perubahan besar (Yuldeson, 2007). Versi terbaru dari LEED adalah versi 3.0 yang

diluncurkan pada tanggal 27 April 2009 (US Green Building Counsil, 2009).

USGBC tumbuh dengan cepat sejak tahun 1998 dimana pada saat itu hanya

memiliki 100 anggota dan pada awal tahun 2007, jumlah anggotanya lebih dari

7700 badan hukum, institusi, organisasi pemerintah dan lembaga (tidak termasuk

anggota individual) (Yuldeson, 2007). Kemudian pada tahun 2004 didirikan

Canada Green Building Council (CaGBC), yang saat ini telah memiliki angota

lebih dari 1.300 anggota dengan cabang dibeberapa provinsi. CaGBC

menggunakan sistem evaluasi LEED tetapi telah mengalami penyesuaian dengan

kondisi di Kanada. Pada tahun 2007, 225 proyek mendaftar untuk sertifikasi

standar LEED Kanada (Yuldeson,2007). Green building di Kanada tumbuh

dengan cepat, dengan spesial fokusnya pada efisiensi energi dan kualitas udara

dalam ruangan yang cocok untuk Kanada bagian utara dan iklim yang lebih

dingin.

2.3.2 Definisi Green Building

Berikut ini definisi dari Green Building:

1. Robert dan Brenda Vale, mendefinisikan green building sebagai sebuah

pendekatan hijau untuk membangun lingkungan, meliputi sebuah

pendekatan holistik untuk mendesain bangunan; semua sumber daya yang

masuk dalam sebuah gedung, material mereka, bahan bakar atau konstribusi

dari pengguna perlu dipertimbangkan, jika sebuah bangunan berkelanjutan

yang ingin dihasilkan (Woolley, Kimmin, Paul Harrison, and Rob Harison,

1997, p.5).

2. Menurut kamus dari jaringan A Public Private Partnership for Advancing

Housing Tecnology, green building adalah sebuah pendekatan konsep

desain dan penilaian bangunan yang memperkecil dampak lingkungan dan

mengurangi konsumsi energi dari bangunan dan mendukung kesehatan serta

produktivitas penghuninya (Aziz, 2005, p.60).

3. Menurut EPA pada publikasi website-nya menyatakan bahwa green

building adalah sebuah praktek dari menciptakan bangunan lebih sehat dan

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 8: bab 2

19

lebih dari sekedar model efisiensi sumberdaya dari konstruksi, renovasi,

operasi, pemeliharaan, dan perobohan (Aziz, 2005, p.60).

4. Menurut International Initiative for a Sustainable Built Environment

(ITSBE), green building adalah kesatuan bangunan yang utuh yang

mempunyai perfoma sempurna dengan parameter kunci yang mencakup

konsumsi energi, emisi, dampak ekologis dan lingkungan dalam ruangan.

Bangunan berkelanjutan adalah suatu bangunan “hijau” (green building)

yang juga mempertimbangkan faktor sosial dan ekonomi (Aziz, 2005, p.61).

5. Menurut Green Building Program Austin Energy, dari Kota Austin, Texas

menyatakan bahwa green building adalah suatu bangunan utuh dengan

pendekatan sistem untuk disain dan teknik konstruksi yang memperkecil

dampak lingkungan dan mengurangi konsumsi energi dari bangunan yang

berkonstribusi pada kesehatan dan produktivitas penghuninya (Aziz, 2005,

p.61).

6. Menurut Building Services Research and Information Association (BSRIA),

sebuah badan industri konstruksi tendensi, mendefinisikan konstruksi

berkelanjutan (sustainable construction) sebagai penciptaan dan tanggung

jawab pengelolaan lingkungan yang sehat yang didasarkan pada efisiendi

energi dan prinsip ekologis[18]. BSRIA menjelaskan bahwa prinsip

ekologis dalam konstruksi berkelanjutan meliputi (Woolley, Kimmin, Paul

Harrison, and Rob Harison, 1997, p.6):

- Meminimalkan konsumsi sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui

- Meningkatkan lingkungan alam

- Menghilangkan dan meminimalkan penggunaan racun

Jadi, green building merupakan kombinasi efisiensi energi dan

dampak material pada penghuni. Konsultan, Sustainable Development

Services di Settle, USA, yang menyediakan pelayanan konsultasi khusus

kepada klien, menjelaskan bahwa mereka menyediakan analisis dan

mengintegrasikan solusi pada area fungsi sebagai berikut (Woolley,

Kimmin, Paul Harrison, and Rob Harison, 1997, p.6):

- Konservasi energi

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 9: bab 2

20

- Pencegahan polusi

- Efisiensi energi

- Integrasi sistem

- Life cycle costing

Dari definisi-definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa green building

adalah bangunan yang berwawasan lingkungan, sehingga definisi green building

menurut peneliti adalah sebuah konsep penilainan atas bangunan gedung yang

berkelanjutan (sustainable building) yang ramah terhadap lingkungan, menghemat

penggunaan bahan bakar, mempertimbangkan faktor sosial dan ekonomi serta

berkonstribusi dalam peningkatan kesehatan dan produktivitas penghuninya.

Bangunan yang berkelanjutan mempertimbangkan penggunaan upaya

penghematan dan penggunaan bahan baku ramah lingkungan. Konsep bangunan

berkelanjutan ini mempertimbangkan penggunaan sumber daya secara bijaksana

agar bermanfaat untuk generasi sekarang dan generasi berikutnya.

2.3.3 Prinsip Green Building

Prinsip dasar dari green building adalah:

a. Desain berkelanjutan(Woolley, Kimmin, Paul Harrison, and Rob Harison,

1997; MoU,2006; Fischer,2010;

Kunci dari prinsip ini adalah:

- Meminimalkan kerusakan yang tidak dibutuhkan terhadap nilai lahan,

habitat, dan ruang hijau.

- Mendorong pengembangan perkotaan yang kepadatannya lebih tinggi,

pengembangan kembali perkotaan dan pembaharuan perkotaan, dan

pengembangan brownfield sebagai sebuah arti untuk menjaga ruang

hijau. Kunci menjaga pengaturan lingkungan adalah melalui pengujian

secara hati-hati setiap lahan.

- Menggunakan desain dan proses konstruksi yang seminimal mungkin

menggangu lahan dan nilainya, menjaga dan memperbaiki dengan

sungguh-sungguh atau memperbaharui habitat yang berharga, ruang

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 10: bab 2

21

hijau dan eko-sistem merupakan hal yang vital untuk mendukung

kehidupan.

b. Konservasi dan kualitas air (Woolley, Kimmin, Paul Harrison, and Rob

Harison, 1997;MoU,2006; Fischer,2010; kats,2003;

Untuk menjaga konservasi dan kualitas air dapat dilakukan dengan

mempertahankan siklus air alami yang sudah ada. Selain itu, juga dapat

dilakukan dengan meminimalkan penggunaan yang tidak perlu dan tidak

efisien dari air minum. Sementara itu memaksimalkan daur ulang dan

penggunaan kembali air, termasuk penggunaan air hujan, storm water, dan

gray water (air bekas kamar mandi, tidak termasuk air dari toilet).

c. Lingkungan dan energi (Woolley, Kimmin, Paul Harrison, and Rob Harison,

1997;MoU,2006; Fischer,2010;

Kunci dari prinsip ini adalah:

- Meminimalkan dampak yang merugikan pada lingkungan (udara, air,

sumberdaya alami) melalui optimasi lahan bangunan, optimasi desain

bangunan, pemilihan material, dan agresif menggunakan pengukur

konservasi energi.

- Menghasilkan bangunan yang prestasinya melebihi tingkat

pemenuhan International Energy Code (IEC) mencapai 30 – 40 %

atau lebih. Memaksimalkan penggunaan energi terbaharukan dan

sumber energi yang berdampak rendah terhadap lingkungan.

d. Kualitas lingkungan ruangan (Woolley, Kimmin, Paul Harrison, and Rob

Harison, 1997;

Kunci prinsip ini adalah menyediakan kesehatan, kenyamanan, dan

produktivitas lingkungan ruangan untuk penghuni dan pengunjung

bangunan. Kunci prinsip ini lainnya adalah menghasilkan sebuah desain

bangunan, yang memiliki kondisi yang paling baik yang berhubungan

dengan kualitas udara dalam ruangan, ventilasi, suhu yang nyaman, akses

ventilasi dan pencahayaan alami pada waktu siang hari.

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 11: bab 2

22

e. Sumber daya dan material (Woolley, Kimmin, Paul Harrison, and Rob

Harison, 1997; Fischer, 2010; kats,2003;

Kunci dari prinsip ini adalah meminimalkan penggunaan material

konstruksi yang tidak dapat diperbaharui dan sumberdaya lainnya seperti

energi dan air melalui teknik, desain, perencanaan, dan konstruksi yang

efisien dan daur ulang yang efektif dari robohan konstruksi. Selain itu juga

memaksimalkan penggunaan material daur ulang, material modern yang

efisien, dan sumberdaya komposit yang efisien terhadap bentuk struktur.

2.3.4 LEED

Menurut USBGC, LEED (Leadership in Energy and Enviromental Design)

Green Building Rating System adalah sebuah volunter, standar nasional

berdasarkan konsensus untuk mengembangkan prestasi yang tinggi untuk

bangunan berkelanjutan (MAPEI, 2006, p.4). LEED memberikan pemilik

bangunan dan operator alat yang mereka perlukan untuk merasakan dampak

langsung dan terukur pada kinerja bangunan mereka. LEED mempromosikan

seluruh pendekatan pembangunan berkelanjutan dengan mengakui kinerja dalam

lima bidang utama kesehatan manusia dan lingkungan: pengembangan lahan

berkelanjutan, penghematan air, efisiensi energi, pemilihan bahan dan kualitas

lingkungan dalam ruangan (Yudelson, 2008, p.13-14). LEED diciptakan untuk

(MAPEI, 2006, p.4):

- Mendefinisikan “green building”dengan menetapkan sebuah standar umum

untuk pengukuran.

- Mempromosikan secara terpadu, praktek desain bangunan secara

keseluruhan

- Memperkenalkan kepemimpinan lingkungan dalam industri bangunan

- Merangsang kompetisi “hijau”

- Meningkatkan kesadaran konsumen akan keuntungan green building

- Mengubah pasar bangunan

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 12: bab 2

23

Ada beberapa hal yang meliputi luasnya sebagian besar proyek LEED,

adalah sebagai berikut (Galzone, 2006):

LEED untuk konstruksi baru, atau LEED – NC

LEED untuk Core dan Shell (bangunan spekulatif), atau LEED- CS

LEED Untuk interior komersial (memperbaiki sewa dan mengubah bentuk),

atau LEED – CI

LEED untuk bangunan eksiting (meningkatkan, pengoperasian dan

perawatan), atau LEED EB

LEED untuk perumahan, LEED – H

LEED Neigborhood development, LEED – ND

LEED Aplication Guides (Retail, komplek bangunan/ kampus, sekolah,

pusat kesehatan, laboratorium, penginapan)

Setiap sistem pemilihan LEED memiliki bilangan yang berbeda dari total

point, sehingga penilaian dapat dibandingkan hanya dalam setiap sistem,

meskipun metode untuk memberi penghargaan prestasi adalah identik. Sertifikasi

LEED yang diberikan adalah sebagai berikut [22]:

Certified : proyek memiliki nilai lebih dari 40% dari dasar, atau utama, pada

point dalam sistem

Silver; proyek memiliki nilai lebih dari 50% dari poin utama

Gold proyek memiliki nilai lebih dari 60% dari poin utama.

Platinum : proyek memiliki nilai lebih dari 80% dari poin utama.

2.3.5 Greenship Rating Tools

Pemberian rating green building di Indonesia menggunakan Greenship

Rating System yang disusun oleh Indonesia Green Building Council. Penyusunan

greenship ini didukung oleh Wold Green Building Council. Greenship Rating

System adalah suatu alat yang berisi butir-butir dari aspek penilaian yang disebut

rating dan setiap butir rating mempunyai nilai (credit point/poin). Apabila suatu

bangunan berhasil melaksanakan butir rating, maka bangunan tersebut akan

mendapatkan poin nilai dari butir tesebut. Bila jumlah poin nilai yang berhasil

dikumpulkan mencapai suatu jumlah yang ditentukan, maka bangunan tersebut

dapat disertifikasi untuk tingkat sertifikasi tertentu. Namun sebelum mencapai

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 13: bab 2

24

tahap penilaian rating terlebih dahulu dilakukan kajian bangunan untuk

pemenuhan persyaratan awal penilaian (eligibilitas). Berikut ini aspek-aspek

penilainan dalam Greenship (Green Building Counsil Indonesia, n.d):

Tepat Guna Lahan (Appropriate Site Development/ASD)

Pemilihan dan pembangunan tapak yang mempertimbangkan prinsip-prinsip

ekologi serta mengikuti ilmu guna lahan dan bangunan, dapat mengurangi

dampak negatif pada lingkungan lahan dan bangunan, meningkatkan

kenyamanan manusia, serta memberikan kemudahan dalam aktivitas sehari-

hari. Dengan demikian, pembangunan yang terjadi diharapkan tidak

membebani daya dukung tapak melebihi dari daya dukung maksimum.

Efisiensi Energi & Refrigeran (Energy Efficiency & Refrigerant/EER)

Melakukan konservasi energi dengan menyadari dampaknya terhadap

lingkungan dan menggunakan refrigeran ramah lingkungan.

Konservasi Air (Water Conservation/WAC)

Melakukan upaya penghematan air dalam mewujudkan kesinambungan

penyediaan air bersih untuk masa depan misalnya dengan cara lansekap

hemat air, mengurangi pemakaian air, mengatur keluaran air, dan lain-lain.

Sumber & Siklus Material (Material Resources & Cycle/MRC)

Mengoptimalkan suatu material sehingga dapat memperpanjang daur

hidupnya.

Kualitas Udara & Kenyamanan Udara (Indoor Air Health & Comfort/IHC)

Manjaga kualitas udara dalam ruang yag berdampak penting bagi kesehatan

dan kenyamanan manusia.

Manajemen Lingkungan Bangunan (Building & Enviroment Management)

Menciptakan suatu panduan pengelolaan gedung yang mengarah dan

memperhatikan etika lingkungan.

2.3.6 Perkembangan Green Building di Indonesia

Pesatnya perkembangan infrastruktur di Indonesia masih miskin konsep

green building atau bangunan hijau yang ramah lingkungan. Meskipun Indonesia

mengalami perkembangan infrastruktur yang pesat beberapa tahun terakhir ini,

namun kemajuannya belum disertai dengan pemahaman para pengembang untuk

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 14: bab 2

25

mendirikan bangunan dengan konsep ramah lingkungan. Konsep green building

di Indonesia masih tahap awal dan memerlukan banyak sosialisasi.

Salah satu bentuk komitmen Indonesia terhadap konsep bangunan ramah

lingkungan adalah dengan didirikannya Konsil Bangunan Hijau Indonesia atau

Green Building Council Indonesia (GBCI) pada tahun 2009. GBCI melakukan

berbagai kegiatan pendidikan masyarakat secara luas serta menyelenggarakan

Sertifikasi Bangunan Hijau di Indonesia berdasarkan perangkat penilaian yang

dikenal dengan nama Greenship.

2.4 VALUE ENGINEERING

Bagian ini terdiri dari sejarah munculnya value engineering (VE) , definisi

tentang VE, definisi nilai, tahapan – tahapan dalam melalukan VE, serta

perkembangan VE di Indonesia.

2.4.1 Sejarah dan filosofi VE

Value Engineering (VE) dikembangkan pertama kali oleh Lawrence D.

Miles pada tahun 1940-an di perusahaan General Electric, guna menyelesaikan

masalah kurangnya material penting dari produk yang akan mereka produksi

selama perang dunia kedua (Priyanto, 2010). Pada awalnya, VE bernama analisis

nilai (Value Analysis/VA) dengan pondasi kunci adalah fungsi. Pada mulanya

fungsi ini mengkaji setiap komponen bagian dari perubahan/bagian dari produk

eksiting. Pada perkembangannya, metode analisis ini mengalami perubahan

konteks, yaitu dari pengkajian terhadap bagian produk eksiting ke peningkatan

rancangan konsep, oleh karena itu nama value enguneering (VE) muncul sebagai

bentuk penyesuaian terhadap perubahan konteks tersebut (Priyanto, 2010).

Selama perkembangannnya banyak pengetahuan dan inovasi yang dihasilkan oleh

para praktisis VE. Guna berbagai pengetahuan dan inovasi, pada tahun 1959, para

praktisi membentuk asosiasi pembelajaran di Washington, DC dengan nama

‘Society of American Value Engineers (SAVE)’ (Priyanto, 2010). Dalam waktu

yang relatif singkat, metode ini telah tersebar luas diseluruh dunia dan banyak

tools, teknik, dan proses lain yang dikembangkan dalam metode ini. Untuk

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 15: bab 2

26

menarik para pengembang dan praktisi dari tools, teknik, dan proses lain menjadi

anggota SAVE, maka pada tahun 1996, nama asosiasi ini diubah menjadi ‘SAVE

International (Priyanto, 2010).

Dalam uraian singkat mengenai perkembangan VE yang dimuat dalam buku

standar SAVE International (2007), tersirat adanya filosofi VE yang memberi

kemudahan bagi upaya memahami konsep VE. Filosofi VE tersebut adalah

menyediakan cara pengelolaan nilai (value) dan upaya peningkatan inovasi yang

sistematik guna memberikan keunggulan daya saing bagi sebuah produk yang

akan dirakit, karena produk-produk dibeli untuk apa yang dapat mereka lakukan

(fungsi dari produk), baik melalui pekerjaan yang mereka dapat lakukan atau

kualitas estetika yang mereka sediakan (Priyanto, 2010). Untuk dapat fokus pada

pemahaman fungsi, maka fungsi di definisikan dengan menggunakan gabungan

kata aktif (active verb) dan kata benda yang diukur (measure noun) yang dapat

memberikan karakteristik manfaat dari fungsi yang dimaksud. Oleh karena itu,

metode ini menempatkan analisis fungsi sebagai pondasi kunci. Analisis fungsi

terus dikembangkan dan menjadi tool untuk membantu individu dan tim

memahami sebuah konsep melalui fungsi-fungsinya guna memutuskan apakah

desain dapat ditingkatkan atau diadakan material atau konsep lain yang dapat

memenuhi fungsi tersebut.

2.4.2 Definisi dan Konsep Nilai (Value)

Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa nilai

(value) merupakan ‘sesuatu’ yang dikelola dalam pengelolaan nilai. Nilai (value)

dari sebuah subyek tidak dapat digeneralisir dan tidak dapat didefiniskan secara

akurat karena nilai merupakan fungsi waktu, orang, subyek, dan kondisi. Menurut

Snodgrass dan Kasi (1986), sebuah nilai tidak bisa ditetapkan hanya dengan

mempertimbangkan subyek itu sendiri, oleh karena itu tim harus menetapkan

terlebih dahulu alat ukur nilai (value) (Priyanto, 2010). Masing-masing

komponen seharusnya diukur kinerjanya dengan alat ukur ini.

Menurut standar SAVE (2007), Nilai (value) adalah sebuah pernyataan

hubungan antara fungsi-fungsi dan sumber daya. Secara umum nilai (value)

digambarkan melalui hubungan sebagai berikut (Priyanto, 2010):

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 16: bab 2

27

Nilai (Value) ≈Fungsi / Sumber Daya

Dimana fungsi diukur dalam kinerja yang dipersyaratkan oleh pelanggan.

Sedangkan sumber daya diukur dalam jumlah material, tenaga kerja, harga,

waktu, dan nilai – nilai yang diperlukan untuk menyelesaikan fungsi tersebut.

Sementara itu, menurut Dell Isola (1997) ada 3 elemen dasar yang

diperlukan untuk mengukur sebuah nilai (value) yaitu fungsi (function), kualitas

(quality), dan biaya (cost) (Dell’ Isola). Tiga elemen ini dapat diinterprestasikan

melalui hubungan dibawah ini :

Value = Function+Quality

Cost

Dimana ;

Function = pekerjaan tertentu yang sebuah desain/ item harus lakukan

Quality = kebutuhan, keinginan, dan harapan pemilik atau pengguna

Cost = biaya siklus hidup dari sebuah produk/ proyek

Definisi lain datang datang dari Carlos Fallon dalam buku Mohd. Mazlan

Haji Che Mat (2002) berjudul Value Management : Principle And Aplications :

Towards Achieving Better Value For Money, Pearson Malaysia Sdn. Bhd.,p.3

(Priyanto, 2010).

Value = Worth

Cost

Dimana ;

Worth = Biaya yang paling minimum untuk menyediakan fungsi yang

diperlukan dan kinerja yang dipersyaratkan dengan cara

membandingkan biaya dari Unit – unit yang memiliki fungsi

yang sama.

Cost = Biaya siklus hidup dari produk / proyek

Menurut Kelly t.al, nilai didefinisikan sebagai hubungan antara biaya, mutu,

dan waktu dimana mutu tersebut terdiri dari sejumlah variabel yang ditentukan

berdasar pengetahuan dan pengalaman seorang individu atau beberapa individu

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 17: bab 2

28

dalam sebuah kelompok, yang dibuat eksplisit untuk maksud membuat pilihan

diantara berbagai pilihan yang cocok secara fungsi (Priyanto, 2010). Oleh karena

itu, sistem nilai yang dibuat eksplisit merupakan gambaran pada waktu tertentu

dari berbagai variabel terhadap semua keputusan yang mempengaruhi bisnis inti

atau proyek, sehingga dapat diaudit.

Berdasarkan definisi nilai diatas, Kellly et.al.,(2004) menjelaskan bahwa nilai

desain bangunan gedung dapat diuraikan dan diukur melalui beberapa komponen

berikut ini (Priyanto, 2010):

- Time, dari saat ini hingga selesainya proyek, titik ketika poryek berakhir

dan masuk kembali ke bisnis pelanggan inti.

- Capital Cost (CAPEX) adalah semua biaya yang diasosiasikan dengan

semua biaya modal dari proyek.

- Operating Cost (OPEX) mengacu pada semua biaya yang dikeluarkan

terkait dengan aktivitas operasional dan pemeliharaan.

- Environment mengacu pada sejauh mana proyek-proyek tersebut

menghasilkan sebuah pendekatan simpatik terhadap lingkungan, yang

diukur dengan dampaknya terhadap pendekatan lingkungan lokal dan

global, penguasaan energi, penggunaan energi, dan isu-isu “green”

lainnya.

- Excange atau resale adalah nilai uang dari proyek.

- Flexibility menggambarkan sejauh mana parameter-parameter proyek

harus mencerminkan sebuah perubahan lingkungan yang terus menerus di

dalam desain.

- Esteem adalah sejauh mana pelanggan berkeinginan untuk memenuhi

komitmen terhadap penyediaan sumber daya bagi estetika atau

menggambarkan penghargaan/kemuliaan (esteem) organsasi, secara

internal dan eksternal.

- Comfort adalah kenyamanan fisik bdan psikologis dari bangunan gedung

sebagai tempat untuk bekerja dan tinggal.

- Politics adalah sebuah dimensi eksternal yang mengacu pada sejauh mana

isu-isu komunitas, popularitas, dan kepedulian lingkungan (good

neighbour) merupakan hal-hal penting bagi pelanggan.

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 18: bab 2

29

Berdasarkan definis-definisi nilai diatas, maka defini oleh Kelly et. El., yang

paling cocok digunakan pada definisi VE dalam penerapan VE untuk efisiensi

biaya bangunan berkonsep green building.

2.4.3 Definisi VE

Definisi VE perlu dipahami untuk memberiakan gambaran yang jelas

mengenai VE. Definisi VE tersebut antara lain sebagai berikut (Priyanto, 2010):

1. Value Engineering (VE) adalah aplikasi metodologi nilai (value

methodology) pada sebuah proyek atau layanan yang telah direncanakan

atau dikonsepkan untuk mencapai peningkatan nilai (value). Metodologi

nilai adalah sebuah proses sistematis yang digunakan oleh disiplin untuk

meningkatkan nilai (value) dari sebuah pryek melalui analisa terhadap

fungsi-fungsinya. (standar SAVE, 2007).

2. Value Engineering (VE) adalah sebuah upaya terorganisir diarahkan pada

analisa fungsi-fungsi dari sistem, perlengkapan, fasilitas, jasa layanan dan

jasa penyediaan untuk mencapai tujuan yang signifikan pada siklus hidup

(life-cycle cost) yang paling rendah, konsisten dengan persyaratan kinerja

(perfomance), kepercayaan (reliability), mutu(quality) dan keamanan

(safety) (PBS – PQ250. 1992, PBS – PQ251, 1993)

3. Value Engineering (VE) adalah suatu sistem pemecahan masalah yang

dilaksanakan dengan menggunakan kumpulan teknik tertentu, ilmu

pengetahuan, tim ahli, pendekatan kreatif terorganisir yang memiliki tujuan

untuk mendefinisikan dan menghilangkan biaya-biaya yang tidak diperlukan

seperti biaya yang tidak memberikan konstribusi bagi mutu, kegunaan,

umur, dan penampilan produk serta daya tarik konsumen (Miles, 1972).

4. Value Engineering (VE) adalah suatu pendekatan tim profesional yang

dalam penerapannya berorientasi pada fungsi dan dilakukan secara

sistematis yang digunakan untuk menganalisis dan meningkatkan nilai

(value) suatu produk, desain fasilitas, sistem, atau layanan. VE merupakan

suatu metodologi yang baik untuk memecahkan masalah dan atau

mengurangi biaya namun tetap dapat meningkatkan persyaratan kinerja atau

kualitasyang ditetapkan (Siciety of American Value Engineers, 2009).

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 19: bab 2

30

5. Value Engineering adalah sebuah prosedur ketat yang diarahkan pada

pencapaian fungsi yang dibutuhkan dengan biaya minimum tanpa

mengurangi mutu, tingkat kepercayaan, kinerja dan waktu penyerahan

(delivery) (Short et al.,2007).

6. Value Engineering (VE) adalah pendekatan tim yang berorientasi fungsi

yang terorganisir dan terarah untuk menganalis fungsi-fungsi dari produk,

sistem, atau proses penyediaan, untuk tujuan meningkatkan nilainya (value)

dengan mengidentifikasi dan menghilangkan biaya-biaya yang tidak

diperlukan dan mencapai kinerja yang dibutuhkan pada biaya siklus hidup

proyek paling rendah (Fong, 1998).

7. Value Enginnering (VE) adalah sebuah upaya terorganisir yang diarahkan

pada analisis fungsi dari barang-barang dan jasa-jasa layanan dengan

maksud untuk mencapai fungsi-fungsi dasar biaya total paling kecil,

konsistensi dengan pencapaian karakteristik yang diperlukan. VE adalah

sebuah proses dengan menggunakan tim dari berbagai disiplin ilmu untuk

mengkaji proyek dan menggunakan standar untuk mengidentifikasi fungsi-

fungsi biaya tinggi beserta potensi peningkatanya. Tim mengikuti

keseluruhan rangkaian job plan VE yang sistematik dan kreatif untuk

menetapkan nilai (value) optimum dari fungsi yang dipilih. Berbagai

alternatif, yang akan menyediakan fungsi yang diperlukan dengan biaya

modal awal dan atau biaya siklus hidup yang paling ekonomis,

dikembangkan yang secara konsisten memenuhi persyaratan keamanan,

mutu, operasional, pemeliharaan, dan estetika (Younker, 2003).

8. Value Engineering adalah sebuah teknik pemecahan masalah yang

menyediakan sebuah pendekatan terorganisir/terstruktur dengan

menekankan pada pertimbangan yang cermat terhadap faktor-faktor penting

dalam analisa fungsi dan pengembangan solusi-solusi kreatif. (Kasi dan

Snodgrass, 1994).

9. Value Engineering adalah pendekatan yang sistematis, terorganisisr,

berorientasi pada fungsi dan tim yang multi disiplin (Shen dan Liu, 2007).

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 20: bab 2

31

Berdasarkan uraian mengenai definisi VE diatas maka dapat diambil

kesimpulan bahwa VE adalah sistem penyelesaian masalah dengan berorientasi

pada nilai (value) dan dilakukan dengan pendekatan yang sistematis, kreatif dan

terorganisir dengan pertimbangan yang cermat terhadap faktor-faktor penting, dan

bertujuan untuk meminimalkan biaya tanpa mengurangi mutu, kegunaan, umur,

dan penampilan produk.

Menurut Leuuw (2010), dalam praktek VE, pemahaman yang kurang tepat

tentang konsep VE banyak terjadi dikalangan praktisi industri konstruksi, seperti

VE dianggap sebagai review desain, atau upaya pemotongan biaya (cost cutting),

atau sebagai upaya standarisasi (Priyanto, 2010).Berbagai pendapat para pakar

mengenai VE adalah sebagai berikut (Priyanto, 2010):

1. VE bukan apa yang selama ini dilakukan secara rutin oleh para perencana

dan perancang denga reputasi yang bagus. VE bukan bagian dari proses

pengambangan rencana. Upaya VE dilakukan lebih serius dibandingkan

dengan sebuah upaya review proyek/ desain.

2. VE bukan upaya pendekatan untuk pengurangan biaya (cost reduction).

Dalam VE, pengurangan biaya dicapai dengan membuat desain yang lebih

efisien tanpa mengurangi kinerja (perfomance) tingkat kepercayaan

(reliability), atau kemampuan untuk tetap terpelihara (maintainability).

Sebaliknya, upaya pengurangan biaya (cost reduction) menekankan pada

sustitusi material, mengurangi atau menghilangkan elemen-elemen tertentu.

Pendekatan ini seringkali berhasil dengan menurunkan kualitas, atau

mengurangi kinerja.

3. Pelaksanaan VE tidak sama dengan review quality assurance (QA). Secara

tradisional QA akan menjawab pertanyaan seperti apakah desain telah

memenuhi persyaratan peraturan?; akankah desain dapat bekerja?; dan

apakah desain telah memenuhi standar praktek pada umumnya?. Sementara

VE akan menjawab pertanyaan tersebut: apakah ada yang lain yang akan

mencapai fungsi yang sama dengan LCC yang lebih rendah?; dan fungsi-

fungsi apa yang tidak berhubungan dengan kinerja proyek?

4. VE tidak dimaksudkan untuk mempermasalahkan atau memperburuk upaya-

upaya yang telah dilakukan oleh para perencana. VE adalah tool manajemen

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 21: bab 2

32

yang dimaksudkan untuk memasukkan beberapa perbaikan kedalam

pekerjaan yang sudah dilakukan dengan sangat baik.

5. Banyak dari para perencana profesional dan kontraktor menganggap VE

sama dengan review desain (design review) dan perencana biaya (cost

planning). Beberapa kelemahan dari review desain (desain review) dan

perencanaan biaya (cost planning) (Mohd. Mazlan Haji Che Mat, 2002),

yaitu :

a) Tidak berorinetasi pada fungsi.

b) Tidak melibatkan tim multidisiplin.

c) Tidak memiliki berbagai tool dan teknik untuk membuat keputusan

d) Jarang memanfaatkan “ sudut pandang lain” dari profesiaonal yang

sangat berpengalaman.

e) Jarang mempertimbangkan LCC dalam mengambil keputusan.

f) Jarang melibatkan pelanggan atau yang mewakilinya.

g) Tidak menghasilkan banyak solusi alternatif.

6. Beberapa profesional jasa konstruksi menganggap VE terhadap “ apa yang

mereka telah dilakukan selama ini”. Untuk beberapa hal tertentu, hal ini

mungkin saja benar. Karena praktek yang ada selama ini bisa mendapatkan

value for money hanya beberapa kali, VE justru mendapatkan value for

money dengan baik setiap kali digunakan (Connaughton, JN AND Green,

S.D., 1996).

7. Berdasarkan definisi VE yang ada, Leuuw(2001) berpendapat bahwa VE

bukanlah sebuah:

a) Review desain yang berpotensi konflik.

b) Upaya pemotongan biaya (cost cutting).

c) Upaya standarisasi.

2.4.5 Alasan – Alasan untuk Unnecessary Cost

Pelaksanaan proyek konstruksi sering terjadi overbuget, hal ini terjadi

kareana adanya biaya-biaya yang tidak perlu (Unnecessery Cost).

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 22: bab 2

33

Dell’ Isola (1997) menguraikan mengenai alasan-alasan biaya yang tidak perlu

antara lain (p.xxii):

1. Kurangnya Informasi,

Data yang tidak cukup mengenai fungsi owner/ pengguna

inginkan/butuhkan dan informasi material baru, produk, yang dapat

mempertemukan kebutuhan ini

2. Kekurangan ide.

Kegagalan untuk mengembangkan solusi alternatif, di beberapa kasus,

pembuat keputusan menerima solusi pertama yang terlintas dipikirannya.

Kecenderungn ini selalu mendatangkan unnecessery cost , yang dapat

dieliminasi dengan menuntut pengembangan ide alternatif tambahan dan

kemudian membuat keputusan yang didasarkan pada ekonomi dan prestasi.

3. Keadaan sementar

Desain, jadwal dan pengiriman yang mendesak dapat memaksa pembuat

keputusan mencapai kesimpulan cepat untuk memenuhi persyaratan waktu

tanpa memperhatikan nilai yang baik.

4. Kepercayaan yang salah

Unnecesery cost juga sering disebabkan oleh keputusan yang didasarkan

pada apa yang pembuat keputusan percaya sebagai keputusan yang benar,

daripada mempertimbangkan pada kondisi nyata. Hal ini dapat menghalangi

ide bagus.

5. Kebiasaan dan perilaku

Manusia menciptakan kebiasaan. Sebuah kebiasaan adalah bentuk dari

respon, melaukan hal yang sama, cara yang sama, pada kondisi yang sama.

Kebiasaan adalah reaksi dan respon yang orang pelajari secara otomatis,

tanpa berpikir atau memutuskan. Kebiasaan adalah bagian yang penting

dari kehidupan, tetapi ada satu hala yang harus dipertanyakan, “Apakah

saya melakukan cara ini karena ini adalah cara yang terbaik, karena saya

merasa nyaman dengan metode ini, atau karena saya selalu melakukan cara

ini!”

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 23: bab 2

34

6. Perubahan kebutuhan owner

Sering, kebutuhan baru owner memaksa perubahan selama desain atau

konstruksi yang meningkatkan biaya dan merubah jadwal. Pada banyak

kasus ower tidak mempertimbangkan dampak dari perubahan ini.

7. Kurangnya komunikasi dan koordinasi

Kurangnya komunikasi dan informasi adalah alasan utama untuk

unnecesery cost. VE membuka saluran komunikasi bahwa alat diskusi

persoalan dan mengijinkan mengepresikan pendapat.

8. Standar dan spesifikasi yang Kuno. Beberapa standar dan spesifikasi yang

digunakan dalam konstruksi berumur kurang dari sepuluh tahu. Sebagai

teknologi yang baru, pembaharuan berkelanjutan terhadap data diperlukan,

tetapi ini sering kali tidak sempurna. VE membantu untuk mengisolasi dan

fokus pada teknologi dan standar baru dimana biaya tinggi dan nilai jelek

mungkin terjadi.

Setiap alasan untuk nilai yang jelek ini menyediakan sebuah kesempatan

untuk memperbaiki keputusan yang dibuat dan sebuah area dimana upaya value

engineering adalah tindakan yang tepat.

2.4.5 Elemen – Elemen Penting Dalam VE

Elemen – elemen VE ini digunakan untuk membantu dalam analisis VE

Elemen ini terdiri dari (Ustoyo, 2007):

1. pemilihan komponen proyek untuk studi VE

2. pembiayaan untuk nilai

3. permodelan biaya

4. pendekatan fungsional

5. Teknik sistem analisa fungsi (Functional Analysis System Technique –

FAST)

6. Rancana kerja VE

7. Kreativitas

8. Penentuan dan pembiayaan program VE

9. Kedinamisan manusia, dan

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 24: bab 2

35

10. Pengaturan hubungan antara pemilik, perancang, dan konsultan VE

Setiap elemen tersebut diatas harus digunakan dalan studi VE untuk sebuah

proyek.

2.4.6 Metodelogi Value Engineering

Pada bagian ini akan dibahas mengenai metodologi Value engineering dan

tools yang digunakan untuk studi VE.

2.4.6.1 Metodologi Baku Value Engineering

Metodologi baku untuk melalukan kajian VE menurut SAVE 2007 dibagi

menjadi 3 tingkat yaitu:

Gambar 2.6. Diagram Flow Proses Studi nilai

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 25: bab 2

36

1. Pre-Workshop Activities

Tahap ini bertujuan untuk merencanakan dan mangatur Value Study.

Pertanyaan dasar yang digunakan pada tahap ini adalah “ apa yang harus

dilakukan untuk menyiapkan Value Study?”

Aktivitas yang dilakukan pada tahap ini adalah:

- Mendapatkan persetujuan dari manajemen senior dan dukungan yang

berhubungan dengan job plan, peraturan-peraturan dan tanggung jawab.

- Mengembangkan scope dan sasaran value study.

- Mendapatkan data dan informasi proyek.

- Mendapatkan dokumen kunci seperti lingkup definisi pekerjaan, gambar,

laporan spesifikasi, dan perkiraan proyek.

- Mengidentifikasi dan memprioritaskan strategi masalah yang sedang

diperhatikan.

- Menentukan scope dan sasaran penyelidikan.

- Mengembangkan jadwal penyelidikan.

- Melakukan analisis benchmarking yang kompetitif.

- Mengidentifikasi anggota Value Team.

- Mendapatkan komitmen dari anggota tim yang telah dipilih untuk mencapai

sasaran proyek.

- Mereview biaya proyek.

- Mengumpulkan informasi konsumen/pengguna proyek.

- Jika waktunya tepat, mengundang suppliers, konsumen, atau stakeholder

untuk berpartisipasi dalam Value Study.

- Mendistribusikan informasi ke anggota tim untuk direview.

- Mengembangkan diagram dan model informasi tentang proyek.

- Menentukan tanggal, waktu, lokasi penyelidikan dan logika lain yang

diperlukan.

- Mendefinisikan secara jelas, dengan manajemen senior, persyaratan untuk

kesuksesan hasil Value Study.

2. Workshop (Job Plan) Activities

Workshop (Job Plan) activities ini terdiri dari 6 tahap yang yaitu:

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 26: bab 2

37

a. Tahap Informasi

Menurut Zimmerman(1982) sesuai dengan yang dikutip saudara

Afandi, tahap informasi dalam VE ditunjukkan untuk mendapatkan

informasi seoptimal mungkin dari tahap desain suatu proyek (Afandi,

2010). Informasi tersebut antara lain berupa latar belakang yang

memberikan informasi yang membawa kepada desain proyek, asumsi-

asumsi yang digunakan, dan sensitivitas dari biaya yang diperlukan dalam

bangunan green building. Menurut standar SAVE 2007, aktifitas-aktifitas

yang umum dilaksanakan pada tahap ini adalah:

1. Mendapatkan data proyek dan informasi dan dokumen kunci seperti

scope definisi pekerjaan, gambar-gambar, laporan

spesifikasi,informasi detail biaya proyek, data kualitas, inforamsi

pemasaran, flow charts proses, dan lain-lain. Tool yang digunakan

antara lain: Quality Function Deployment, Voice of Customer.

2. Mengidentifikasi dan memprioritaskan pada masalah yang sedang

diamati. Selanjutnya mendefinisikan scope dan sasaran studi. Tool

yang dapat digunakan antara lain: SWOT (Strengths, Weakness,

Opportunities, and Threats), Project Charter.

3. Tim proyek mempresentasikan konsep proses/ produk/ desain saat ini

dan yang asli.

4. Menyelenggarakan analisis benchmarking yang kompetitif. Tool yang

apat digunakan adalah Bechmarking, Tera Down Analysis, Pareto

Analysis, Design For Assembly.

5. Menentukan jadwal studi; tanggal, waktu, lokasi dan kebutuhan

lainnya.

6. Mendistribusikan informasi proyek kepada anggota tim VE untuk

direview.

7. Memahami lingkup proyek, jadwal, budget, biaya, risiko, kinerja non

moneter .

8. Mengkonformasi konsep proyek yang paling baru.

9. Mengidentifikasi fungsi proyek pada level tinggi.

10. Mengujungi lokasi dan fasilitas.

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 27: bab 2

38

11. Mengkonfirmasi parameter kesuksesan.

Menurut Dell’ Isola (1982), beberapa pertanyaan yang bisa diajukan

dalam tahap pengumpulan informasi antara lain:

a. Apakah ini ?

b. Apa yang dikerjakannya?

c. Apa yang harus dikerjakannnya?

d. Berapa biayanya?

e. Berapa nilainya?

Dengan mengajukan informasi tersebut bisa diperoleh informasi dasar

dan mendapatkan lingkup bagian yang dikaji secara lebih terperinci.

Pertanyaan tersebut dapat memberikan alur pemikiran sebagai berikut

(Afandi, 2010):

a. Apakah ini?, akan membawa kepada pengertian fitrah atau nature dari

proyek beserta bagian-bagian dan komponen-komponennya.

b. Apa yang dikerjakannya?, akan membawa kepada peran atau fungsi

pada umumnya dari proyek beserta bagian-bagian dan komonen-

komponen.

c. Apa yang harus dikerjakannya? Akan membawa kepada fungsi primer

dari proyek beserta bagian-bagian dan komponen-komponen atau

merupakan alasan dasar diadakannya proyek tersebut.

d. Berapa biayanya?, akan membawa kepada biaya produksi dan biaya

pelaksanaan dari proyek beserta bagian-bagian dan komponen-

komponennya.

e. Berapa nilainya?, akan membawa kepada penghargaan atas manfaat

yang akan diperoleh dari proyek beserta bagian-bagian dan

komponen-komponennya oleh klien atau dalam hal ini pemilik

proyek.

Fase ini akan membawa semua anggota untuk mengetahui proyek

pada level dasar, meliputi taktik, operasional, dan spesifikasi subyek.

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 28: bab 2

39

Pemahaman mengenai fungsi merupakan dasar untuk mengidentifikasi dan

alternatif bencmark dan mismatches dan mengatur agenda untuk inovasi.

Pada fase ini konsultan perencana mempresentasikan proyek kepada

tim VE, setelah ketua tim VE membuka acara workshop. Anggota tim VE

akan mengajukan pertanyaan yang muncul selama pengkajian dokumen

proyek selama tahap persiapan.

Jika dianggap perlu dilakukan survey lapangna oleh anggota tim VE

yang ditunjuk. Survey ini dilakukan setelah presentasi oleh konsultan

perencana. Tujuan dilakukan survey adalah untuk membuat rekonstruksi

proyek. dengandilakukan survey lapangan dapat diperoleh beberapa catatan

yang tidak dapat dilakukan dengan cara wawancara atau didapat dari

dukumen tetapi sangat penting artinya bagi sebuah pemahaman yang

lengkap dari sebuah masalah nilai.

b. Tahap Analisis Fungsi

Setelah mengumpulkan informasi kemudian dilakukan analisis fungsi.

Tahap analisis fungsi merupakan tahap yang paling penting dalam value

engineering karena analisis fungsi ini yang membedakan VE dengan teknik

penghemtan biaya lainnya. Pada tahap ini akan dilakukan analisis fungsi

sehingga diperoleh biaya terendah yang diperlukan untuk melaksanakan

fungsi-fungsi utama, fungsi-fungsi pendukung, dan mengidentifikasi biaya-

biaya yang dapat dikurangi atau dihilangkan tanpa mempengaruhi kinerja

atau mutu poduk.

Pendekatan fungsional mengandung pengertian uraian, kajian, dan

analisis yang akan dilakukan terhadap proyek tersebut akan mengacu

kepada aspek fungsi dari proyek. Menurut Hario Sabrang (1998) fungsi dari

sesuatu adalah peran dari sesuatu tersebut yang melingkupinya (Afandi,

2010). Peran atau kegiatan yang terjadi dalam proyek tersebut adalah untuk

mendukung tercapainya tujuan sistem yang melingkupinya.

Menurut Mitchell (1982) pendekatan fungsional ini sangat strategis

dalam melakukan analisis VE karena pendekatan ini akan membedakan

penghematan VE dengan teknik penghematan biaya lainnya (Afandi, 2010).

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 29: bab 2

40

Fungsi suatu barang dan jasa merupakan jawaban atas “dapat melakukan

apa benda, barang, jasa tersebut”. Dimana fungsi dalam VE ada dua yaitu

(Dell’ Isola, 1974):

1. Fungsi primer, fungsi yang mendasi dasar diadakannya barang atau

jasa tersebut, fungsi ini untuk menjawab pertanyaan “ apa yang harus

dilakukan” oleh barang atau jasa tersebut.

2. Fungsi sekunder yaitu fungsi yang sangat situasional serta kondisional

dan bergantung pada pembeli dan pemanfaatannya. Sehingga bisa

berbagai macamnya.

Bagian yang paling sulit pada analisis fungsi adalah memperkirakan

nilai kegunaan (worth) setiap subsistem atau komponen untuk

membandingkannya dengan biaya yang diperkirakan. Nilai keguanaan

(worth) memberikan identifikasi value artinya biaya terendah yang

diperlukan untuk terlaksananya suatu fungsi tertentu. Untuk itu tidak perlu

ketelitian yang sangat besar. Nilai kegunaan (worth) hanya digunakan

sebagai suatu mekanisme untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah dengan

potensi penghematan dan perbaikan nilai (value) yang tinggi. Subsistem

yang melaksanakan fungsi sekunder tidak memiliki worth karena tidak

berhubungan langsung dengan fungsi dasar (Afandi, 2010).

Sebagai bagian dari analisi fungsi, tim VE membandingkan rasio cost-

to-worth berbagai alternatif untuk keseluruhan fasilitas dan subsistemnya.

Rasio cost-to-worth ini diperoleh dengan membagi biaya yang diperkirakan

untuk sistem atau subsistem dengan total worth untuk fungsi dasar sistem

atau subsistem. Rasio cost-to-worth yang lebih besar daripada dua biasanya

mengindikasikan wilayah dimana terdapat potensi penghematan biaya dan

perbaikan nilai (value) (Afandi 2010). Menurut SAVE (2007), tools yang

dapat digunakan sebagai alat bantu pada tahap ini adalah Random Functions

Identification, FAST, Function Tree, Cost to Function Analisis. Pada

penelitian ini tools yang digunakan adalah FAST Diagram.

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 30: bab 2

41

Standar SAVE (2007) mengenal 4 model diagram FAST, yaitu :

1. Classical FAST Model : fungsi yang menggambarkan kesaling

terhubungan antara fungsi yang satu dengan fungsi yang lain didalam

logika HOW – WHY. Model ini dikembangkan oleh Charles

Bytheway.

2. Hierarchy Function Model : sebuah grafik hirarki dari fungsi-fungsi

yang disusun secara vertikal. Model ini menempatkan fungsi dasar

dipuncak grafik. Fungsi dari masing-masing sistem utama ditetapkan

dibawah fungsi dasar. Kemudian fungsi pendukung ditempatkan pada

garis bawah fungsi utama. Fugsi ini dilakukan hingga tingkat detail

tertentu diana tim VE merasa cukup mencapai maksu dari

dilakukannya studi.

3. Technical FAST Model : sebuah bentuk lain dari Classical FAST yang

menambahkan “all the item” function, “one time” function dan “same

time” function atau “caused by” function.

4. Customer-Oriented FAST Model : jenis diagram FAST ini

dikembangkan untuk mencerminkan bahwa pelanggan adalah pihak

yang menentukan ilai (value) dalam proses analisis fungsi. Customer-

oriented FAST menambahkan fungsi-fungsi pendukung : attract users,

satisfy users, assure dependenability, dan assure convenience. Fungsi-

fungsi proyek yang mendukung fungsi-fungsi pelanggan ini ditentukan

dengan menggunakan logika HOW-WHY

Fungsi pendukung: tidak penting bagi kinerja task tetapi fungsi-

fungsi ini adalah fungsi-fungsi yang sangat penting di dalam membangun

daya terima produk, sistem, dan lain-lain dikalangan pelanggan dan di

dalam menjual produk atau layanan.

- Assure convinience adalah semua fungsi yang membuatnya cocok

(tidak menyusahkan) untuk menggunakan (seperti, fungsi-fungsi

terkait dengan hubungan ruangan dalam sebuah bangunan gedung)

- Assure dependability : Semua fungsi yang akan mengurangi biaya

pemeliharaan dan melindungi pengguna dari kondisi alam yang tidak

menyenangkan (seperti dari angin atau rasa dingin).

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 31: bab 2

42

- Satisfy User : semua fungsi yang membuatnya nyaman untuk

ditinggali atau digunakan (seperti dengan memasang sebuah air

konditioner)

- Attract User : semua fungsi yang memenuhi semua harapan estetika

dari pemilik/ pengguna.

c. Tahap Kreatif

Fase ini merupakan fase untuk mengembangkan sebuah kuantiti ide-

ide yang berhubungan dengan cara lain untuk kinerja fungsi. Menurut

Hutabarat (1995), tahap kreatif adalah tahap mengembangkan sebanyak

mungkin alternatif yang bisa memenuhi fungsi primer atau pokoknya

(Ustoyo, 2007). Untuk itu diperlukan adanya permunculan ide-ide guna

memperbanyak alternatif-alternatif yang akan dipilih. Alternatif tersebut

dapat dikaji dari segi desain, bahan, waktu pelaksanaa, metode pelaksanaan,

dan lain-lain. sebagai bahan pertimbangan dalam mengusulkan alternatif

dapat disebutkan keuntungan dan kerugiannya. Sebagai dasar

penilaian/pertimbangan untuk dilakukan analisis VE dapat dipilih kriteria-

kriteria dari item pekerjaan. Kriteria-kriteria tersebut nantinya sebagai bahan

evalusi untuk memilih alternatif yang dipilih. Kegiatan-kegiatan umum yang

dilakukan pada tahap ini adalah(SAVE,2007):

1. Melakukan latihan pemanasan kreatif.

2. Menetapkan peraturan-peraturan yang melindungi lingkungan kreatif

yang dikembangkan. Tools yang digunakan : Creativity “Ground

Rules”.

3. Menggunakan teknik stimulasi ide yang dapat meningkatkan nilai. Tools

yang digunakan: Brainstroming, Gordon Technique, Nominal Group

Technique, TRIZ, Synetics

4. Mengembangkan ide alternatif yang dapat meningkatkan nilai.

Pada akhir fase ini akan dihasilkan daftar ide-ide yang memuat

alternatif-alternatif lain untuk menjalankan masing-masing fungsi yang

memiliki peluang potensi bagi peningkatan nilai (fungsi dengan nilai rasio

cost to worth lebih besar dari 1:1).

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 32: bab 2

43

d. Tahap Evaluasi

Fase evaluasi merupakan tahap mengurangi kuantiti ide-ide yang

harus diidentifikasi untuk daftar pendek ide-ide dengan potensi yang besar

untuk meningkatkan proyek. Ide-ide yang ingin dihasilkan pada tahap ini

adalah ide-ide yang terkait dengan berbagai alternatif lain untuk

menjalankan fungsi tertentu, fungsi yang berpotensi bagi peningkatan nilai

proyek. banyak tool yang dapat digunakan untuk memunculkan ide kreatif.

Pada umumnya, memunculakan ide kreatif bagi para engineer bukanlah hal

yang mudah karena mereka cenderung untuk menemukan solusi dengan

cepat. Untuk mengendalikan hal ini, maka engineer harus mengikuti seluruh

tahapan yang ada dalam job plan dan menaaati semua aturan dalam fase ini.

Kegiatan-kegiatan umum yang dilakukan padatahap ini adalah (SAVE,

2007):

1. Menjelaskan dan mengkategorikan setiap ide untuk mengembangkan

sebuah pemahaman.

2. Mendiskusikan bagaimana ide-ide berdampak pada biaya proyek, dan

kinerja parameter-parameter. Tools yang digunakan: T-Charts.

3. Memilih dan memprioritaskan ide-ide untuk pengembangan

selanjutnya. Tools yang digunakan: Pugh Analysis, Kepner-Tregoe,

Life Cycle Coasting.

4. Menjelaskan bagaimana ide-ide dituliskan sebagai stand-alone risk-

reward invesment proposals.

Pada tahap ini, ide-ide yang nampak jelas tidak layak dibuang.

Kemudian ide-ide atau alternatif yang terpilih dianalisis keuntungan dan

kerugiaannya, biaya siklus hidupnya (life cycle cost), dan dibuat bobotnya.

1. Analisis keuntungan dan kerugian.

Ide-ide yang muncul dari tahap sebelumnya dianalisis keuntungan dan

kerugian yang ditimbulkan dari setiap ide tersebut. Dalam melakukan

analisis keuntungan dan kerugian ini dapat digunakan tabel yang

menunjukkan keuntungan dan kerugian.

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 33: bab 2

44

2. Analisis paired comparison dan decision matrix

Paired comparison adalah untuk menentukan tingkat kepentingan

(bobot) masing-masing parameter. Pada analisis paired comparison,

parameter-parameter yang digunakan saling dibandingkan satu sama

lain. Tujuannya adalah untuk mengetahui bobot masing-masing

parameter. Setelah analisis analisis paired comparison, dilakukan

analisis dengan decision matrix. Decision matrix bertujuan untuk

mengevaluasi ide menurut beberapa faktor atau kriteria.

3. Biaya Siklus Hidup Proyek

Setelah diketahui keuntungan dan kerugiaanya, ide tersebut dianalisi

biaya siklus hidupnya.

Ide yang terpilih ini kemudian dianalis pada tahap perikutnya yaitu

tahap pengembangan.

e. Tahap Pengembangan

Fase ini merupakan fase analisis lanjutan dan mengembangkan daftar

pendek ide-ide dan pengembangan ini dengan memperhitungkan alternatif-

alternatif value. Kegiatan-kegiatan umum pada fase ini adalah:

1. Membandingkan kesimpulan studi dengan syarat kesuksesan selama

fase informasi dan fase analisis fungsi.

2. Menyiapan sebuah tuliasan menganai alternatif nilai untuk setia ide

yang dipilih untuk pengembangan selanjutnya.

3. Menaksir dan mengalokasikan risiko dan biaya denga tepat

4. Mengadakan analisa cost-benefit.

5. Mengembangkan sketsa dan infomasi yang diperlukan untuk

menyampaikan konsep.

6. Mengkonfirmasi sebuah alternatif yang akan dikembangkan

selanjutnya.

7. Mengakhiri perkembangan alternatif awal.

8. Mengembangkan sebuah rencana tindakan untuk mendefinisikan

langkah-langkah implementasi untuk setiap alternatif nilai (value).

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 34: bab 2

45

Pada tahap ini ide-ide terpilih akan dikembangkan menjadi berbagai

alternatif perubahan sesuai dengan fase pengembangan proyek. masing-

masing alternatif ini akan ditentukan kelayakannya. Alternatif- alternatif

yang tidak layak, tidak bekerja, akan dibuang. Setelah diperoleh alternatif,

selanjutnya bihitung biayanya dan biaya siklus hidup bagi masing-masing

alternatif terbaik. Alternatif terbaik ini perlu didukung sebanyak mungkin

informasi-informasi teknis. Bentuk dukungan informasi teknis dapat

meliputi (Priyanto, 2010, p.116):

- Uraian tertulis tentang konsep asli dan alternatif yang diajukan.

- Backup teknis, tapi tidak dibatasi pada, seperti perhitungan, catalogue

cut, informasi vendor.

- Keuntungan dan kerugian alternatif.

- Pembahasan tentang berbagai alternatif untuk mengkomunikasikan ide

secara jelas kepada para pengkaji, termasuk informasi berkaitan

dengan pelaksanaan seperti biaya, jadwal, potensi konflik.

- Informasi biaya meliputi biaya awal dan biaya siklus-hidup (life-cycle

cost), yang menanyakan perbedaan antara biaya rancangan asli dan

biaya alternatif secara jelas.

Pada akhir fase ini akan dihasilkan berbagai alternatif yang didukung

oleh informasi teknik yang memadai. Berbagai alternatif ini akan

dikomunikasikan kepada perencana, pengguna/pemilik, atau kelompok atau

individu lain yang terlibat pada fase presenatsi.

f. Tahap Presentasi

Tahap ini dapat berupa presentasi atau laporan secara tertulis atau

lisan yang ditujukan kepada semua pihak yang terlibat dalam memahami

alternatif-alternatif yang akan dipilih dalam usulan tim VE. Usulan yang

dipilih dapat disampaikan secara singkat, jelas, cepat dan tanpa

memojokkan salah satu pihak. Rekomendasi ini nantinya digunakan untuk

meyakinkan manajemen, owner, dan stakeholder lain yang berperan dalam

pengambil keputusan. Aktifitas umum pada fase ini:

a. Menyiapkan presentasi dan dokumen pendukung.

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 35: bab 2

46

b. Membandingkan kesimpulan pembelajaran persyaratan keberhasilan

yang ditetapkan selama informasi dan fase analisis fungsi.

c. Menawarkan kepada manajemen skenarion inovasi “ risk-reward”

untuk memilih nilai alternatif yang akan diterapkan.

d. Bertukar informasi dengan tim proyek.

e. Meyakinkan manajemen sehingga mereka dapat membuat keputusan.

f. Bagan rencana pelaksanaan antisipasi.

g. Menyiapkan format laporan.

Presentasi dilakukan dihadapan para perencana, pengguna/pemilik,

atau kelompok atau individu lainnya yang terlibat dalam memberikan

pemahaman terhadap maksud dari masing-masing alternatif sebelum mereka

mengevaluasi lebih lanjut untuk menentukan implementasi dari berbagai

alternatif tersebut. Pada kesempatan ini juga disampaikan laporan awal

tertulis sehingga penerapan/implementasi alternatif tidak terlambat. Laporan

dimaksud memuat informasi minimal, sebagai berikut:

- Tujuan proyek

- Uraian proyek

- Ruang lingkup studi analisis nilai

- Prosedur VA

- Alternatif VA dan pengembangannya.

Pada fase ini juga perlu memastikan bahwa manajemen memiliki

seluruh informasi yang objektif sebagai dasar pembuatan keputusan serta

menguraikan rencana pelaksanaan alternatif yang diusulkan.

3. Post-Workshop Activities

Tahap ini terdiri dari dua aktifitas yaitu:

a. Kegiatan pelaksanaan

Memastikan alternatif yang diterima diterapkan dan manfaat yang

diproeksikan oleh Value Study telah direalisasikan. Bertanyaan dasar pada

fase ini adalah “ apa program berubah dan bagaimana tim proyek

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 36: bab 2

47

mengaturnya?”. Kegiatan-kegiatan umum yang dilakukan pada fase ini

antara lain:

1) Mereview laporan premilinary.

2) Melakukan pertemuan pelaksanaan untuk menentukan disposisi dari

setiap alternatif nilai.

3) Menentukan tindakan rencana untuk alternatif yang diterima dan

dokumen yang rasional untuk alternatif yang ditolak.

4) Mendapatkan komitmen untuk implementasi.

5) Mengatur sebuah kerangka waktu untuk mereviw dan melaksanakan

setiap alternatif nilai.

6) Menghargai prestasi sebagai hasil dari alternatif yang diterapkan.

7) Mengakhiri deliverable.

8) Memvalidasi keuntungan dari implementasi perubahan.

9) Meyakinkan bahwa praktek baru menjadi embedded dengan

menentukan dan mengatur sebuah rencana implementasi.

Output dari fase ini adalah stakeholder proyek menetukan apa yang

akan diubah dalam proyek sebagai hasil dari Value Study. Ini merupakan

perubahan konsep yang asli atau konsep dasar dari suatu studi, sebagai hasil

alternatif nilai, yang perkembangan proyek akan gabungkan dalam kegiatan

pengembambangan prodak dan besain di masa depan.

b. Kegiatan Value Study Follow-Up

Fase ini merupakan Follow Up pada pelaksanaan hasil Value Study dan

memperbaiki aplikasi dari methodologi nilai untuk studi di masa

mendatang.pertanyaan dasar pada fase ini adalah “ apa yang telah kita

pelajari tentang bagaiman cara yang paling baik dalam menciptakan atau

mengingkatkan nilai dari suatu subjek dibawah pembelajaran/”. Kegiatan

umum yang dilakukan pada fase ini adalah:

1) Mempersiapakan laporan hasi studi, pembelajaran pelajaran, atau item

lain untuk direkam/ diurutkan melalui implementasi.

2) Mengidentifikasi dimana kesempatan-kesempatan yang hilang,.

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 37: bab 2

48

3) Mengidentifikasi roadblocks untuk inovasi dan mengetahui mengapa

mereka ada.

4) Mengadakan wawancara dan merekam pelajaran yang dipelajari.

5) Mengintegrasi hasil Value Study dalam laporan program.

6) Mencerminkan pada Value Study dan menentukan bagaimana

pengalaman mengembangkan kapasitas baru.

Outcome dari fase ini adalah individu menjadi pencipta nilai yang

lebih baik dengan dicerminkan pada teori yang mereka pegang sebelum

Value Study.

2.4.7 Perkembangan Value Engineering di Indonesia

Value engineering (VE) mulai diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1986

oleh bapak Dr. Ir. Suriana Chandra melalui seminar-seminar di berbagai kota

(Fauzan, 2008). Pada tahun itu juga, metode ini digunakan pada Proyek

Pembangunan Jalan Layang Cawang. Selanjutnya, pada tahun 1987, Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Departemen Keuangan, dan

Direktorat Jenderal Cipta Karya mengajukan pemakaian VE di Indonesia untuk

seluruh pembangunan rumah dinas dan gedung negara di atas satu milyar rupiah

(Fauzan, 2008).

Periode sejak berikutnya yaitu tahun 1990-an sampai awal tahun 2003,

perkembangan VE di Indonesia tidak banyak diketahui. Jika ditinjau dari regulasi

yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan konstruksi pada periode tersebut

adalah sebagai berikut (Fauzan, 2008, p. 15):

1. Undang – undang Perumahan Dan Pemukiman Nomor 24 tahun 1992;

2. Undang – Undang Jasa Konstruksi Nomor 18 tahun 1999;

3. Undang – Undang Tentang bangunan Gedung Nomor 28 Tahun 2002;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 28,29,30 Tahun 2000;

5. Keputusan Menteri (Kepmen) Pemukiman dan Prasarana Wilayah

(Kimpraswil) Nomor 332/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis

Pembangunan Gedung Negara.

Maka tampaknya anjuran Bappenas tahun 1987 untuk menerapkan value

engineering pada pembangunan rumah dinas dan gedung negara, tidak dilanjuti

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 38: bab 2

49

dengan penyusunan regulasi yang lebih tinggi tingkatan hukumnya, karena tidak

ada satu klausaul pada regulasi periode tersebut yang menyinggung mengenai

penerapan VE. Beberapa paraktisi memperkirakan bahwa perkembangan VE

pada periode ini telah terhenti.

Pada beriode berikunya mulai tahun 2003 sejak dikeluarkannya Keppres 80

tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa Instansi Pemerintah sampai awal

tahun 2007, VE di Indonesia masih belum menunjukan tanda-tanda

perkembangan yang berarti (Fauzan, 2008). Pada periode ini kewajiban

menerapkan Keppres 80 dianggap menghambat perkemangan penerapan VE

khususnya pada proyek-proyek yang dibiayai oleh pemerintah. Keppes 80, disatu

sisi menyatakan bahwa pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan penyedian

jasa dan barang harus menghindari terjadinya pemborosan dan kebocoran

keuangan, disisi lain tidak menyediakan ruang bagi penyedia jasa untuk berkreasi

mengupayakan penghematan dengan metode-metode dan inovasi-inovasi baru

yang lebih baik.

Value egineering yang dalam aplikasinya memerlukan keleluasaan untuk

berkreasi dan inovasi terhadap desain awal seringkali tidak terakomondasi atau

tidak dipahami oleh owner (panitian pengadaan) dan aparat penegak hukum.

Keterlambatan pemahaman aparat penegak hukum terkait dengan pelaksanaan

konstruksi menyebabkan mereka berpegang pada aturan-aturan kaku yang

sebenarnya masih harus disempurnakan. Hal ini yang menyebabkan value

engineering masih jarang digunakan di Indonesia.

2.5 VALUE ENGINEERING PADA BANGUNAN BERKONSEP GREEN

BUILDING

Dari tahun ke tahun, industri konstruksi di Indonesia terus mengalami

perkembangan yang signifikan. Tetapi perkembangan yang terjadi ini masih

minim konsep green building yang dinilai lebih ramah terhadap lingkungan.

Selain itu, masih banyak kalangan yang berpendapat bahwa bangunan berkonsep

ini memerlukan biaya besar sehingga masih sedikit owner yang menerapkan

konsep ini untuk bangunan yang mereka miliki.

Universitas Indonesia

Penerapan value ..., Sri Puji Lestari, FT UI, 2011

Page 39: bab 2

50

Hal ini berlawanan dengan pernyataan yang dibuat oleh Alexia Nalewaik,

CCE MRICS, and Valerie Venters, CCC dalam the AACE international Journal of

Cost Estimation, Cost/ Schedule Control, and Project Managemet yang terbit

bulan Februari 2009 yang menyatakan bahwa konsep bangunan berkelanjutan

menghemat life cycle cost pada biaya utilitas dan biaya perawatan yang menarik

para owner untuk menerapkan konsep ini. Dalam jurnal ini dijelaskan bahwa

konsep bangunan berkelanjutan mencerminkan value engineering. Berikut ini

potensi besar penghematan biaya yang samar-samar dikaitan dengan konsep

desain “hijau” dan VE (Nalewaik and Venters, 2009):

Desain yang fleksibel dan perencanaan lokasi yang hati-hati mengurangi

footprint dari bangunan, ukuran yang benar dari fasilitas selagi memuaskan

kebutuhan pemilik.

Efisiensi dalam infrasutruktur misalnya penghematan area paving.

Mengurangi peralatan mekanikal dan elektrikal, melalui penggunaan cahaya

matahari, ventilasi alami, dan lain-lain. Serupa dengan sistem efisiensi

tinggi dan perletakan bangunan yang tepat.

Generasi tenaga/power melalui penggunaan photovoltaics dan generasi

lainnya, mengurangi penggunaan energi.

Menggunakan sumber daya lokal dan material daur ulang, yang tidak hanya

mendorong ekonomi lokal tetapi juga mengurangi biaya transportasi.

Memilih dan mengurangi atau tidak menggunakan sama sekali material

khususnya untuk penyelesaian interior.

Page 40: bab 2