Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
13
Bab 2
Hermeneutik Poskolonial dengan Perspektif Ritus Oli Somba
dalam Komunitas Masyarakat Aramaba
2.1 Pendahuluan
Untuk melakukan pembacaan terhadap teks Matius 26:36-46 dalam perspektif
poskolonial, maka sangat penting bagi penulis untuk mendefinisikan apa itu poskolonial
dalam kaitannya dengan penafsiran Alkitab. Oleh karena itu, bagian pertama dalam bab ini
akan berisi definisi poskolonial dan hermeneutik poskolonial dalam Alkitab. Selanjutnya,
penulis juga akan memaparkan tentang ritus korban yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat Aramaba. Hal ini diperlukan untuk menolong penulis merekonstruksi sebuah
pemahaman baru tentang Yesus sang korban.
2.2 Poskolonial
Studi poskolonial (sering juga disebut dengan istilah “posko” atau “pascakolonial”)
merupakan studi yang relatif masih baru dalam perkembangan ilmu sosial di dunia.1 Studi
ini menimbulkan kegairahan, kebingungan maupun skeptisisme dari pelbagai pihak yang
mendalaminya.
Setelah Edward Said menggebrak dunia dengan dengan paradigma orientalismenya
di tahun 1978 dan istilah pascakolonial dipopulerkan antara lain oleh Bill Ashcroft pada
tahun 1989, sampai menjelang abad ke 21, para pakar masih saja tetap mempersoalkan
masalah-masalah yang primer menyangkut teori ini.2 Memang benar bahwa pendalaman
terhadap istilah “poskolonialisme” menjadi heterogen dan membingungkan sehingga sulit
1 Nanang Martono, SosisologI Perubahan Sosial, Perpektif Klasik, Modern, Posmodern dan
Poskolonial, ED.1 (Jakarta: Rajawali Pers, Cet. 1. 2012), 102 2 Melani Budianta, Membaca Poskolonial (di) Indonesia: Oposisi Biner dalam Wacana Kritik
Pascakolonial, Budi Susanto (edt.), (Yogyakarta: Kanisisus, 2008), 15
14
menjelaskan sepenuhnya apa yang tercakup sebenarnya dalam bidang studi ini. Kesulitan ini
sebagai akibat interdisipliner studi-studi pascakolonial yang merentang dari analisis literer
hingga ke riset atas arsip-arsip pemerintah kolonial, dari kritik atas naskah medis hingga
teori ekonomis, serta terkadang menggabungkan bidang tertentu dengan bidang lainnya.3
Teori poskolonial menganalisis praktik-praktik “penjajahan” (kolonialisme) yang
masih berlanjut sampai era modern ini. Selain penjajahan Barat atas Timur, juga penjajahan
yang dilakukan kelompok mayoritas (Barat) terhadap kelompok minoritas (Timur) dalam
struktur masyarakat (sublaterm-dalam bahasa Gayatri Chakravot Spivak). Selain itu, tokoh-
tokoh lain melihat dampak dari kolonisasi dari sudut pandang yang berbeda. Franz Fanon
misalnya, tertarik pada pembangunan nasionalisme dengan mengurai problem penjajahan
kelompok kulit putih atas kelompok kulit hitam. Ia mengartikan kolonialisme sebagai
penonmanusiawian (dehumanization) rakyat di daerah koloni. Orang-orang yang dijajah
tidak diperlakukan sebagai manusia, tetapi lebih sebagai benda. Menurutnya, rakyat terjajah
itu bukan hanya kerja mereka yang dirampas, tetapi mereka yang dalam jiwanya diciptakan
kompleks inferioritas yang diakibatkan oleh kematian dan penguburan orisinalitas budaya
lokal mereka. Kompleks inferioritas ini ditanamkan dalam kesadaran budaya masyarakat
koloni. Sementara itu, Said dan Bhabha lebih tertarik pada masalah percampuran unsur-
unsur budaya sebagai dampak kolonisasi. Pada akhirnya proses penjajahan ini akan
melahirkan hibriditas.4
Oleh karena itu, untuk masuk pada defenisi poskolonial, pertama-tama perlu
dihubungkan dengan istilah kolonialisme. Kolonialisme (dari kata Latin: Colonia=
pertanian-pemukiman) berarti penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta penduduk
asli oleh penduduk pendatang. Di dalam membentuk pemukiman baru “oleh pendatang”
3 Gading Sianipar, Hermeneutika Paskakolonial: Soal Identitas, Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto
(edt.), (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 7. 4 Nanang Martono, Sosisologi Perubahan ..., 104
15
kerap terjadi hubungan yang kompleks dan traumatik dalam sejarah manusia antara
penduduk lama dengan pendatang baru. Terkadang pembentukan komunitas (koloni) baru
ini ditandai oleh usaha membubarkan dan membentuk kembali komunitas-komunitas yang
sudah ada dengan melibatkan praktik-praktik perdagangan, penjarahan, pembunuhan masal,
perbudakan, dan pemberontakan-pemberontakan.5
Ania Loomba dalam tulisannya mengartikan kata post dengan “kejadian setelah”
yang merujuk pada dua definisi, yakni: pertama, waktu, yaitu datang setelah. Dari
pengertian ini dibatasi pada masa dimana suatu negara mengalami penjajahan oleh negara
lain yang menduduki negara tersebut. Oleh karena abad kolonialisme itu sudah lewat dan
keturunan rakyat-rakyat yang dulu dijajah itu kini hidup dimana-mana, maka seluruh dunia
adalah poskolonial. Kedua, ideologis, dalam arti menggantikan. Poskolonialisme hadir
untuk menggantikan masa kolonial yang telah berakhir. Arti ini mengalami perdebatan yang
coba diurai oleh Loomba. Para pengkritik istilah ini menyampaikan bahwa bagaimana
mengatakan poskolonialisme atau kolonialisme telah berakhir jika berbagai ketimpangan
dari pemerintah kolonial belum bisa dihapuskan? Istilah ini prematur. Sebuah negara pada
saat yang sama poskolonial (merdeka secara formal) dan juga neokolonial (tergantung
secara ekonomi dan kultural).6
Ini bukan berarti bahwa teori atau pendekatan pascakolonial sudah berjalan di
tempat. Publikasi tentang teori ini, termasuk berbagai penelitian yang menarik di macam-
macam aspek kehidupan terus dikembangkan. Masalahnya barangkali terletak pada konsep-
konsep dasar teori pascakolonial itu sendiri yang memang problematis, yakni oposisi biner
dan konstruksi identitas budaya. Masalah kedua adalah pada terminologi yang
menggabungkan kata “pasca” dengan kata “kolonialisme.” Hal ini bisa mengacu pada
wilayah yang pernah dirambah oleh kolonialisme, tetapi kemudian melampauinya.
5 Gading Sianipar, Hermeneutika Paskakolonial ..., 9.
6 Ania Loomba, Kolonialisme/Poskolonialisme, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003, 9.
16
Ketegangan antara kedua kata itu, beserta interpretasi dan aplikasinya yang beraneka
membuat batasan sehingga teori pascakolonial tidak pernah stabil.7
Poskolonial lahir dari konteks negara-negara dunia ketiga yang mengalami
penjajahan sebagai sebuah pengalaman kolektif. Realita yang dialami oleh negara-negara
dunia ketiga dapat dirangkum dalam beberapa hal, yaitu: Pertama, adanya realitas
berkelanjutan dimana terdapat kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar orang dan
kemewahan yang dinikmati hanya oleh segelintir orang. Kedua, adanya kontrol ekonomi
yang berkelanjutan dan hegemoni imperial yang dialami oleh negara-negara dunia ketiga.
Ketiga, dikeluarkannya negara-negara dunia ketiga dari berbagai proses pengambilan
keputusan penting dalam masyarakat. Keempat, terjadi militerisasi tidak hanya dalam
kehidupan politik, tetapi juga sebagai cara hidup. Kelima, adanya persaingan ideologi.8
Poskolonial mempelajari banyak masalah yang dihadapi negara-negara Timur akibat
penjajahan negara-negara Barat. Ia mencoba mengajukan beberapa kritik mengenai akibat
hegemoni dan dominasi Barat yang ternyata masih banyak terjadi dibanyak negara Timur,
meskipun negara-negara tersebut telah merdeka secara politik. Dominasi ini masih terjadi
sampai saat ini.9 Menurut Ashcroft, seperti yang dikutip Adeline, poskolonial adalah wacana
atau studi mengenai analisis pendudukan teritori oleh orang-orang Eropa, pelbagai institusi
kolonial Eropa, operasi imperialis, seluk-beluk pembentukan subjek dalam wacana kolonial
dan perlawanan dari subjek-subjek tersebut, dan yang terpenting respons berbeda atas
serangan-serangan tersebut dan warisan kolonial kontemporer dalam masa sebelum dan
sesudah kemerdekaan negara atau komunitas.10
7 Melani Budianta, Membaca Poskolonial (di) Indonesia,..., 16
8 Yusak B. Setyawan, Bahan Kuliah Hermeneutik Poskolonial: Postcolonial Studies and The Third
World Context (Hour 2), Salatiga, 2010, 1 9 Nanang Martono, SosisologI Perubahan Sosial, 101
10 Adeline M.T., Politik Informasional dan Krisis Demokrasi, dalam Hermeneutika Paskakolonial: Soal
Identitas, Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (edt), Yogyakarta: Kanisius, 2004, 63.
17
Dari segi budaya, defenisi poskolonial kerap dihubungkan dengan proses konstruksi
budaya menuju budaya “putih global.” Kebudayaan kulit putih dipandang sebagai acuan
perkembangan dan model bagi budaya yang lain. Masyarakatnya tetap dipandang sebagai
penduduk yang misterius, terbelakang, percaya takhayul, dan sebagainya, sehingga mereka
harus dididik dan diangkat agar sejajar dengan masyarakat negara lainnya.11
Dari penjelasan di atas, menunjukkan bahwa istilah poskolonial memiliki makna
yang sangat kompleks dan membingungkan. Akan tetapi, bagi penulis teori ini
menunjukkan bahwa ia tidak hanya berlaku pada satu masa atau waktu tertentu melainkan
teori ini berlaku terus menerus dari masa ke masa. Teori ini menjadi sarana untuk
menyuarakan ketidakadilan dan ketertindasan untuk mendapatkan setidaknya pembebasan
dan pemberdayaan. Indonesia menjadi salah satu negara yang sangat relevan untuk
diberlakukannya teori ini. Hal ini karena Indonesia yang sangat dipengaruhi oleh dunia
Barat, baik itu dalam bidang politik, agama, ekonomi, dan lain sebagainya.
2.3 Hermeneutik Poskolonial
Di dalam berbagai bidang ilmu termasuk di dalamnya ilmu teologi, metode
hermeneutik sangat dibutuhkan untuk menjelaskan, menginterpretasi dan menerjemahkan
teks-teks. Metode ini menurut sejarahnya telah dipakai dalam penelitian teks-teks kuno yang
autoritatif, misalnya kitab suci, kemudian juga diterapkan dalam teologi dan direfleksikan
secara filosofis, sampai pada akhirnya juga menjadi metode di dalam ilmu-ilmu sosial.
Hermeneutik terutama berurusan dengan teks-teks. Persoalannya ialah teks yang ada
seringkali berasal dari zaman dulu. Di sini tentu kita berusaha keras untuk menangkap
makna sebagaimana dimaksudkan oleh pengarangnya. Budi Hardiman menyebutnya dengan
problematik hermeneutik, bagaimana menafsir teks. Problematika ini dihadapi dalam
11
Hendar Putranto, Wacana Pascakolonial dalam Masyarakat Jaringan dalam Hermeneutika Paskakolonial: Soal Identitas, Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto (edt.), (Yogyakarta: Kanisius, 2004). 78
18
berbagai bidang sejarah menyangkut penafsiran, misalnya bidang kesusasteraan, tradisi-
tradisi religius (kitab-kitab suci, doktrin-doktrin, hukum-hukum), bidang hukum, ilmu
sejarah, musikologi, politikologi, dan sebagainya. Oleh karena itu, hermeneutik sangat
dibutuhkan untuk menambah wawasan atau cara pandang kita terhadap produk-produk
budaya masa lalu atau tradisi beserta ilmu-ilmu yang berkenaan dengannya.12
Meskipun
demikian, kita perlu menyadari bahwa suatu identifikasi total dengan pengarang teks adalah
mustahil. Hermeneutik romantis Schleiermacher dan Dilthey berusaha mencapai
identifikasi, sehingga menafsirkan teks merupakan tugas reproduktif. Menafsir berarti
menghadirkan kembali seluruh perasaan, pikiran, kehendak pengarang seasli mungkin lewat
empati dan rekonstruksi. Namun, Gadamer menyampaikan sesuatu yang berbeda karena
menurutnya metode tersebut tidaklah tepat. Ia melihat menafsirkan teks sebagai tugas
produktif atau tugas kreatif. Maksudnya ialah bahwa kita justru membiarkan diri mengalami
perbenturan antara cakrawala kita dan cakrawala pengarang, dan dengan cara ini
pemahaman kita diperkaya dengan unsur-unsur yang tak terduga. Suatu teks perlu dipahami
dalam cakrawala masa lampau dan masa depan, demi manfaatnya untuk masa kini.13
Konsep ini menunjukkan bahwa kita tidak tinggal dalam cakrawala yang tertutup juga
bukan dalam cakrawala yang unik. Selama perpaduan cakrawala menafikan konsep totalitas
dan keunikan pengetahuan, maka konsep ini akan selalu menunjukkan ketegangan yang
akrab dan yang asing, antara yang dekat dengan yang jauh; dan karenanya permainan
perbedaan dilibatkan dalam proses pertautan (konvergensi).14
Memahami teks dan istilah-istilah dalam Alkitab telah dilakukan dengan sangat
intens sebagaimana diusahakan dalam hermeneutik. Pendekatan-pendekatan hermeneutik
dalam memahami teks-teks Alkitab telah dilakukan ahli-ahli. Secara singkat terdapat tiga
12
F. Budi Hardiman, Melampaui Posistifisme dan Modernisme, Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 36-37
13 F. Budi Hardiman, Melampaui Posistifisme dan Modernisme,..., 48
14 Paul Ricoeur, Hermeneutika Ilmu Sosial, terj. Muhammad Syukri (Bantul: Kreasi Wacana, 2006),
83.
19
pendekatan hermeneutik jika dilihat dari bagaimana makna teks diperoleh. Pertama, makna
teks didapatkan dibalik teks. Teks diasumsikan sebagai jendela yang dengannya penafsir
melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi dibaliknya. Pendekatan-pendekatan yang
dikembangkan adalah pendekatan-pendekatan historis kritis dengan pelbagai variannya.
Kedua, makna didapatkan di dalam teks. Pendekatan-pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan-pendekatan naratif yang mengharuskan penafsir memasuki dunia teks,
menghayati teks dan kemudian memperoleh makna teks setelah masuk ke dalamnya. Ketiga,
makna teks ditemukan di depan teks, yakni makna yang ditemukan oleh penafsir sebelum
memahami teks. Pendekatan-pendekatan yang digunakan sangat beragam, mulai dari
pendekatan-pendekatan feminis dan pendekatan-pendekatan reader-response criticism.15
Metode penafsiran respons pembaca (the reader-response method), tumbuh dan
berkembang atas pemikiran dari Gadamer dan Ricoeur. Metode ini menekankan perlunya
keikutsertaan pembaca dan penerjemah dalam menentukan apa arti teks itu sekarang,
kemungkinan perbedaannya, dan sebagian dari pertentangan artinya.16
Yusak Setyawan berpendapat bahwa studi-studi poskolonial sangat menolong dalam
menghubungkan teologi biblika dan konteks Indonesia. Hal ini ia sampaikan tentunya
dengan tidak mengatakan bahwa berbagai pendekatan dalam teologi biblika tidak penting,
walaupun sebagian tidak terlalu relevan. Menurutnya, interaksi antara studi-studi
poskolonial dengan hermeneutik biblis menghasilkan apa yang untuk sementara disebut
sebagai hermeneutik poskolonial. Hermeneutik poskolonial menekankan kembali
hermeneutik sebagai strategi pemahaman dari sudut pandang yang melakukan pemahaman.
Mengingat pemaham berada pada konteks aktual tertentu yang walaupun bereksistensi pada
masa kini, tetapi juga memuat jalinan pengalaman masa lampau dan berpengharapan pada
15
Yusak B. Setyawan, Tuhan Yesus Kristus, Sebagai Diskursus Politik, Suatu Perspektif Poskolonial Terhadap Pernyataan Tuhan Yesus Kristus dalam Kitab Efesus, (Wasakita, Jurnal Studi Agama dan Masyarakat), 3
16 Lukman Tambunan, Khotba dan Retorika, Peranan Retorika dalam Penyampaian Firman, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2010), 111
20
masa yang akan datang, maka prapaham dalam proses interpretasi mendapatkan pengertian
yang baru. Penafsiran adalah bagian dari olah hermeneutik atau bisa juga dikatakan olah
hermeneutik memuat praktik penafsiran. Hal ini tercakup dalam konstelasi jaring-jaring
penjajahan (kolonial), tetapi yang terus berlanjut dalam kekinian (poskolonial). Lebih dari
itu, hermeneutik poskolonial melakukan perubahan radikal dengan tidak menjadikan
konteks sebagai objek berteologi, tetapi menonjolkan pentingnya konteks poskolonial
sebagai penentu untuk memahami teks-teks biblis. Dengan demikian, hermeneutik
poskolonial menekankan peran pemaham atau penafsir teks dengan perspektif, pendirian,
komitmen dan pemihakan sambil mencoba melihat teks dari dimensi konteksnya sendiri
yang mencakup konteks kesejarahan. Dengan kata lain, proses pemahaman terhadap teks
biblis tidak pernah bersifat netral, bebas nilai, dan “objektif” walaupun tetap dimensi
kesejarahan dari dan dalam teks (hostory of text dan history in text ) tetap perlu diperhatikan
dengan serius.17
Studi poskolonial mendapat perhatian dengan cepat sebagai bagian dari kategori
studi kritis yang menyangkut suara dari orang-orang minoritas dan tenggelam, diabaikan
dan ditekan dalam sejarah dan narasi-narasi. Tujuannya untuk mengangkat dan
menghadirkan suara-suara kaum minoritas dan terabaikan serta yang telah hilang dalam
sejarah. Keterlibatan konteks melibatkan pengalaman pribadi, sosial, budaya, dan politik.
Dengan demikian diharapkan akan muncul asumsi-asumsi yang mendobrak “penjajahan”
dan menata hidup dalam kemerdekaan yang sesungguhnya. Studi poskolonial menyarankan
juga teks-teks mesti harus didekati dari perpektif penafsir dalam konteks pengalamannya
sebagai orang yang mengalami kolonisasi bangsa-bangsa Barat dan dampaknya yang masih
tetap dirasakan sampai sekarang ini. Dalam kaitannya dengan hermeneutik terhadap teks-
17
Yusak B. Setyawan, Teologi Biblika dalam Arena Publik Menuju Corak Baru dalam Berteologi Boblika di Indonesia, dalam Sosiologi Agama, Pilihan Berteologi di Indonesia, Izak Lattu, R. T. Pilakoannu, E. I. Nuban Timo dan Steve Gasperz, (edt.), (Salatiga: Satya Wacana Press, 2016), 220-221
21
teks Alkitab, defenisi yang dikemukakan oleh Sugirtharajah menjadi sangat krusial. Studi-
studi poskolonial adalah strategi pembacaan terhadap teks dari perspektif orang yang
mengalami penjajahan dan dampak dari penjajahan yang sampai sekarang masih tetap
berlangsung dan peduli dengan identitas diri agar dapat memberikan alternatif pemahaman
yang barangkali merupakan perlawanan dari pemahaman-pemahaman yang didiktekan dari
konteks yang berbeda. Perspektif poskolonial menyarankan bahwa ketika penafsir
memahami teks, penafsir membawa agenda sesuai dengan pengalaman aktual dalam
konteks poskolonial. Oleh karena itu yang sangat krusial dalam hermeneutik bukan
persoalan eksegese atau eisegese sesuai dengan yang ditekankan dalam pendekatan historis
kritis, melainkan bagaimana penafsir memahami teks dengan tidak hanya menyadari
melainkan menyertakan perspektif dan kepentingannya. Di sini penafsiran tidak lagi sekadar
merupakan usaha untuk memahami teks melainkan upaya yang bersifat etis dalam
memahami teks sebagaimana dikatakan oleh Daniel Patte.18
Karena itu, sebagai penafsir dan teolog (juga sosiolog) Indonesia, yang tinggal di
Indonesia hendaknya melibatkan diri dan menyajikan konteks Indonesia dalam fokus
“pembebasan” dan “sensitivitas” kultural bersanding pada teks-teks kitab suci yang
dimaksud. Hermeneutik Postkolonial bukanlah bangunan metode yang tunggal, melainkan
jamak. Mendefinisikannya dalam bentuk definisi tunggal akan mendapat kritik pada dirinya
sendiri. Meskipun demikian, secara simplistis, Hermeneutik Postkolonial berarti bahwa teks
dipahami atau ditafsirkan dari perspektif konteks. Konteks yang dimaksud adalah identitas
diri penafsir dan identitas locus-nya. Karena itu, aspek yang mesti ada dalam proses
penafsiran menggunakan Hermeneutik Postkolonial adalah liberation focused dan cultural
sensitivity. Indonesia menjadi loci postkolonial, yang di dalamnya termaktub beberapa
problematika yang khas dalam studi-studi postkolonial, seperti: kolonialisme dan
18
Yusak B. Setyawan, Tuhan Yesus..., 4
22
imperialisme, wacana-wacana kolonial, oposisi biner, kaum subaltern, feminisme dan
gender, serta ideologi dan identitas kultural.19
Indonesia sebagai negara dalam pengalamannya yang dikolonialisasi mengalami
penjajahan yang berlapis, bahkan masuknya Kekristenan yang dihantar oleh orang Eropa
menggunakan Alkitab dalam tugas misi termasuk dalam kolonialisasi. Penginjilan dan
kolonialisasi memiliki hubungan yang berjalan beriringan. Hal ini menyebabkan integrasi
kultur dalam agama atau kepercayaan maupun gaya hidup. Secara pragmatis, Alkitab
melanggengkan ekslusivisme bagi penganutnya dan tak jarang digunakan sebagai alat untuk
menaklukkan dan menguasai yang lain, sehingga penginjilan dan teks Alkitab yang
beriringan dengan kolonialisasi mengabaikan bahkan menolak unsur-unsur lokal, termasuk
agama-agama suku yang dianggap kafir. 20
Di sini Alkitab dilihat sebagai literatur yang dipenuhi dengan indikasi-indikasi
kolonial dan berbagai upaya dominasi entah itu ras, gender, kebangsaan, dan lain
sebagainya. Ada dua jenis interpretasi dalam hermeneutik poskolonial. Pertama, interpretasi
untuk menginterogasi cerita-cerita Alkitab dan interpretasinya yang melegitimasi indikasi
kolonial. Kedua, interpretasi untuk mengikat atau menimbulkan sebuah pembacaan teks
yang emansipatif (emancipatory reading of the texts) yang dihadirkan oleh hermenutik
dalam keprihatinan poskolonial. Ketertarikan kritik poskolonial tidak terletak pada
kebenaran teks tersebut, tapi pada pertanyaan apakah ada indikasi ideologi kolonial dalam
teks tersebut.21
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa tujuan
hermeneutik poskolonial yang berfokus pada isu-isu ekspansi, dominasi, dan imperialisasi,
menjadi pusat kekuatan dalam menginterpretasi Alkitab. Poskolonial adalah teori yang
19
Bayu Laksono, Tanah yang Ditaklukkan, Tanah yang Diberikan: Ambivalensi pada kisah teks Yosua 6, Fakultas Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, 2016
20 R. Styers. Postcolonial Theory and the Study of Christian History. (Church History ,2009), 853.
21
R.S. Sugirtharajah, Asian Biblical Hermeneutics and Postcolonialism: Contesting The Interpretation, Sheffield: Sheffield Academy Press, 1999, ix.
23
memberikan kebebasan penafsir untuk mendekati teks-teks dari perspektif penafsir dalam
konteks pengalaman sebagai orang yang mengalami kolonisasi bangsa-bangsa Barat dan
dampak yang masih dirasakan sampai saat ini.22
Oleh karena itu, di dalam menafsir sebuah
teks dalam hal ini yang berhubungan dengan penelitian penulis, maka penulis akan
menggunakan pendekatan reader-response. Pendekatan ini akan memudahkan penulis untuk
membaca teks berdasarkan pengalaman yang terjadi dalam sebuah wilayah di Kabupaten
Alor-NTT. Pengalaman tentang sebuah ritus korban yang membuat penulis menyimpulkan
makna sebuah teks dalam Alkitab.
2.4 Ritus Oli Somba dalam Masyarakat Aramaba
Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa pekerjaan menafsir membutuhkan
perspektif dan konteks dari penafsir. Oleh karena itu, penulis akan memaparkan tentang
konteks ritus korban yang dalam masyarakat Aramaba yang dikenal dengan sebutan oli
somba. Hal inilah yang akan penulis gunakan untuk menafsir teks Matius 26:36-46.
Secara geografis, Aramaba merupakan salah satu desa yang terletak di Pulau Pantar.
Desa ini meruapakan bagian dari wilayah kecamatan Pantar Tengah Kabupaten Alor, Nusa
Tenggara Timur (NTT) dengan luas wilayah 10,73Km² dan 1,073Ha. Batas-batas
wilayahnya, sebagai berikut: Sebelah timur berbatasan dengan Desa To’ang, sebelah barat
berbatasan dengan Desa Mauta, sebelah utara berbatasan dengan Desa Muriabang, dan
sebelah selatan berbatasan dengan Selat Ombay.23
Desa Aramaba termasuk daerah yang beriklim tropis dan merupakan daerah dataran
rendah yang di kelilingi gunung. Oleh karena letaknya yang berada dekat gunung berapi
yakni Gunung Sirung, maka tekstur tanahnya tergolong sebagai tanah vulkanis. Hal inilah
22
Yusak B. Setyawan, Tuhan Yesus..., 4 23
Data PBS Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
24
yang menyebabkan tanahnya termasuk tanah yang gembur dan subur. Namun, oleh karena
keterbatasan air, maka daerahnya terlihat kering.24
Nama untuk desa ini merupakan sebuah nama yang diberikan oleh seorang ibu
kepada masyarakat setempat. Konon dikisahkan bahwa ibu tersebut rela mengorbankan
dirinya sebagai pemberian kepada yang Ilahi (Lahatala) karena telah memberikan sumber
mata air yang menjadi kesulitan hidup mereka. Secara harafiah nama Aramaba terdiri dari
dua kata yakni, ara dan maba. Ara artinya besar dan maba artinya dingin. Jadi, Aramaba
dapat diartikan sebagai air yang mengalir deras dan dingin. Nama itu sesuai dengan sumber
mata air yang telah ditemukan oleh ibu tersebut.25
Meskipun kontak awal dengan Agama Kristen sudah terjadi pada 1916, namun
seperti pandangan agama suku lainnya di Indoneisa, orang Pantar Barat termasuk orang
Aramaba masih setia mempertahankan pandangan mereka tentang alam semesta.
Maksudnya ialah bagaimana masyarakat Aramaba memahami hubungannya dengan suatu
kesatuan kosmis yang memberikan suatu gaya hidup tersendiri. Menurut mereka, alam
semesta merupakan kesatuan berlapis tiga, yakni: Ir tang butang atau alam atas, ir tawagang
atau alam tengah, dan ir mo’ang atau alam bawah sebagai tempat. Ir tang butang dipercaya
sebagai tempat bersemayam illah tertinggi atau dalam bahasa setempat disebut Lahatala. Ir
tawagang sebagai tempat tinggal manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Sementara itu,
ir mo’ang diyakini sebagai tempat kediaman orang mati (bena), arwah leluhur (talle tapas
gorma’ang) dan roh jahat (ir neda/ir gaiyaning). Meskipun demikian, ketiganya merupakan
suatu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, keseimbangan di
antara ketiganya harus tetap dijaga agar tidak menciptakan ketidakteraturan dalam tata tertib
alam semesta. Masyarakat Aramaba tentu saja berupaya untuk menjaga keseimbangan alam
semesta ini. Mereka meyakini bahwa jika keseimbangan alam ini tidak dijaga dan
24
Data PBS Kabupaten Alor Provisni Nusa Tenggara Timur (NTT) 25
Wawancara, Soleman Biri (Tokoh Adat), 22 April 2017, Kalabahi, Pukul 09.00 WITA
25
dipelihara dengan baik, maka akan terjadi malapetaka atau hal-hal yang tidak diinginkan
seperti, bencana banjir, gempa bumi, dan lain-lain. Selain itu, keseimbangan alam semesta
perlu untuk dijaga agar tercipta keharmonisan relasi antara mereka dengan Lahatala, roh
para leluhur, dan para jin serta memulihkan hubungan antar manusia. Harun Hadiwijono
menyatakan bahwa seluruh kekuatan alam semesta ini diyakini sebagai yang
mengorientasikan pemikiran, ucapan, tindakan, dan tujuan hidup.26
Oleh karena itu,
pelaksanaan upacara atau ritus-ritus keagamaan memainkan peranan sentral. Pihak yang
dipandang layak bertindak sebagai pelaksana ritus adalah imam (marang/labbe).27
Ada berbagai jenis upacara atau ritus keagamaan yang berlaku di dalam kehidupan
masyarakat Aramaba. Di antaranya yaitu, ritus penanaman dan penuaian padi atau hasil
kebun lainnya dan juga ritus pendamaian. Upacara atau ritus keagamaan ini tidak hanya
berlaku di Aramaba saja, tetapi secara umum berlaku juga bagi masyarakat yang tinggal di
wilayah Pantar Tengah.
Dalam hubungannya dengan tulisan ini, penulis akan membahas mengenai ritus
pendamaian. Ritus pendamaian tersebut terdiri dari beberapa jenis, yaitu ritus Galoming,
ritus Tung Pinni, ritus Ber Gasaru, ritus Tang Pi’uwang Solang, dan ritus Oli Somba. Ritus
galoming bertujuan untuk mengembalikan nama baik kepada seseorang yang telah
dicemarkan nama baiknya. Ritus Tung Pinni bertujuan untuk memulihkan harga diri atau
martabat akibat perbuatan amoral, yakni perzinahan. Ritus Ber Gasaru merupakan ritus
yang bertujuan untuk memulihkan dua pihak yang telah bermusuhan akibat perkataan atau
bahasa yang menyinggung dan menyakiti perasaan pihak lain. Ritus ini juga biasanya
disebut sebagai “acara buka hati.” Ritus Tang Pi’uwang Solang berkaitan dengan bagaimana
mendamaikan dua pihak yang berselisih (terlibat pertengkaran) yang mengakibatkan
26
Nelman Asrianaus Weny, Tang Pi’u-Wang Solang, Menyambung yang Terputus, Menambal yang Tersobek, Sebuah Kristologi Pendamaian darri Perspektif Orang Pantar Barat, dalam Sosiologi Agama, Pilihan Beteologi di Indonesia (Salatiga: Satya Wacana Press, 2016), 231
27 Nelman Asrianaus Weny, Tang Pi’u-Wang Solang,..., 232
26
kerusakan hubungan antara satu terhadap yang lainnya. Sementara itu, ritus Oli Somba
biasanya dilakukan sebagai reaksi atas terjadinya kasus pembunuhan dengan tujuan untuk
melakukan upaya pemulihan hubungan antara keluarga korban dan juga pelaku agar terlepas
dari ancaman penyakit bahkan juga kematian. Ritus ini berbeda dengan ritus lainnya karena
ada darah yang harus ditumpahkan dalam rangka upaya pemulihan atau pendamaian. Untuk
itulah, maka selanjutnya penulis akan memaparkan secara jelas ritus Oli Somba yang
berlaku di wilayah Aramaba.28
2.5 Ritus Oli Somba (Persembahan Korban) dalam Suku Aramaba
Oli Somba merupakan salah satu dari sekian ritus pendamaian yang telah menjadi
budaya orang Aramaba. Namun demikian, ritus ini bukan hanya terdapat dalam Desa
Aramaba, tetapi juga menjadi budaya dari seluruh masyarakat yang berada di wilayah
Pantar khususnya Pantar Barat (kini telah dimekarkan menjadi Pantar Tengah dan Pantar
Barat) yang meliputi wilayah Tubbe, Lamma, Mauta, dan De’ing.
Secara harafiah, Oli berarti korban dan Somba berarti sembah. Dengan demikian,
maka Oli Somba dapat diartikan sebagai persembahan korban. Oli Somba mengandung
makna korban atau pengganti hidup (awa gawenung). Ritus ini biasanya dilakukan untuk
mengakhiri suatu pertikaian atau peperangan antara suku/kampung yang diakibatkan oleh
karena terjadinya kasus pembunuhan. Di dalam ritual tersebut, pihak yang saling
bermusuhan atau yang berperang mengangkat sumpah untuk menghindari terjadinya konflik
yang berkepanjangan. Sumpah yang dilakukan dalam bahasa setempat dikenal dengan
istilah bela sakang (sumpah saudara). Ada dua jenis ritus Oli Somba yakni aname somba
(korban manusia) dan mo’bai somba (korban hewan/binatang). Meskipun demikian, ritus
yang biasanya kerap digunakan adalah aname somba, sedangkan mo’bai somba hanyalah
28
Wawancara, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 1 Juni 2017, Desa Aramaba, 10.00 WITA
27
alternatif kedua jika tidak ditemukan manusia/budak/hamba yang layak dijadikan korban.29
Berbicara mengenai budak menunjukkan bahwa dalam komunitas masyarakat Aramaba juga
berlaku sistem kasta atau pembagian kelas sosial masyarakat setempat. Zadrak Magang
dalam penelitiannya tentang kehidupan orang Aramaba menemukan tentang adanya
pembagian kelas sosial tersebut. Pembagian kelas tersebut terdiri dari kelas atas (rayang
kawasang atau penguasa/raja/bangsawan), kelas menengah (tawaka kapitang atau wakil
raja, hukung marang/labbe atau imam, kora-madda atau kepala suku/tua adat), dan kelas
bawah (tabbang-kola atau hamba/budak belian).30
Hamba/budak belian semata-mata
dipandang sebagai obyek kekuasaan kalangan atas dan menengah. Kewajiban mereka hanya
mengabdi dan takluk di bawah perintah tuannya. Seluruh milik kepunyaan mereka
sepenuhnya adalah milik raja. Dengan demikian, raja berhak menentukan setiap apa yang
menjadi keinginannya terhadap mereka tanpa ada sanggahan atau protes dari mereka atau
para hamba/budak belian tersebut. Termasuk ketika mereka dipilih untuk menjadi korban
dalam ritus oli somba/aname somba.31
Ritus oli somba dilakukan dengan melewati beberapa tahap, mulai dari tahap
persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap pasca pelaksanaan. Adapun tahap-tahap tersebut,
sebagai berikut:32
2.5.1 Tahap Persiapan
Pada tahap ini, seluruh peserta yang terlibat dikumpulkan di lokasi di mana ritus ini
akan diadakan. Peserta tersebut adalah Rayang-Kawasang (raja dan atau para bangsawan,
Tawaka-Kapitang (wakil raja), Kora-Madda (kepala suku atau para tetua adat), Hukung-
29
Wawancara, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 3 Juni 2017, Desa Aramaba, 09.00 WITA 30
Zadrak E. Maggang, Hukum Pembalasan, Suatu Konfrontasi Antara Konsep Penuntutan Darah di dalam Agama Suku Pantar Barat dengan Pengertian Paqad menurut Alkitab Perjanjian Lama, (Skripsi Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana, 1994), 8
31 Wawancara, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 1 Juni 2017, Desa Aramaba, 09.00 WITA
32 Wawancara, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 3 Juni 2017, Desa Aramaba, 09.00 WITA
28
Marang/Labbe (Imam), dan seluruh rakyat kecuali perempuan. Alasan mengapa perempuan
tidak diperbolehkan untuk mengikuti ritual tersebut oleh karena mereka menganggap
bahwa perempuan itu tidak kudus/suci (darah kotor/haid). Setelah semua peserta berkumpul,
maka akan dipilih Labbe (Imam) dari salah satu suku untuk bertugas sebagai pemimpin
ritual Oli Somba. Biasanya akan dipilih dari suku/kampung yang cukup berpengaruh atau
yang paling besar. Selain itu, dalam tahap ini akan disiapkan juga alat dan bahan yang akan
dipergunakan dalam ritual. Alat/bahan yang tersebut yaitu:
2.5.1.1 Korban
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat dua jenis korban dalam
ritus ini, yakni korban manusia (aname somba) dan korban binatang (mo-bai somba). Dalam
ritus aname somba, korban yang disiapkan adalah seorang manusia yang berasal dari kaum
lapisan bawah, yakni yang berstatus hamba/budak belian (tabbang-kola). Budak ini
biasanya dibeli dari kampung yang jauh dengan pertimbangan agar tidak terjadi komplain
dan pembalasan dendam. Dalam ritus mo’bai somba, jenis hewan yang layak dikorbankan
haruslah babi/kambing betina yang tak bercacat cela (tidak pernah dikawinkan sebelumnya).
2.5.1.2 Alat-alat/bahan
Selain korban, ada beberapa alat dan bahan lainnya yang diperlukan untuk
menjalankan ritus ini. Pertama, Kota atau Mezbah Batu (Kota), yakni sebuah batu yang
digunakan sebagai mezbah yang berbentuk bundar atau ceper. Mezbah ini dijadikan sebagai
altar dalam upacara/ritus Oli Somba. Selain itu yang disiapkan juga dar-marasa (darah
nifas), to (tuak putih), mosang (parang panjang), tawali (kuali besar), dan teku (tempurung
kelapa). Seluruh alat dan bahan yang telah disiapkan diletakkan di atas kota (mezbah) dan
selanjutnya upacara/ritus tersebut siap untuk dilaksanakan.
29
2.5.2 Tahap Pelaksanaan
Pada tahap ini, para peserta khususnya Rayang-kawasang, Tawaka-kapitang, Kora-
madda, dan Labbe berdiri mengelilingi altar. Selanjutnya, para Kora-madda memegang
korban yang akan disembelih tepat di atas tawali (kuali besar). Labbe yang bertugas sebagai
pemimpin ritus, berdiri sambil memegang mosang (parang panjang) lalu diarahkan ke langit
seraya mengucapkan mantera/doa kepada Lahatala. Ada tiga pokok doa/mantera yang
diucapkan oleh sang Labbe, yakni: pertama, Lahatala gai ber sosoli wang dogging-nattang
Gai mura-dipa aggi ma ppi’i rasa. Artinya, kiranya persembahan ini dapat memuaskan hati
Lahatala sehingga menghindarkan kami dari angkara murka. Kedua, damaya-bali’ang,
taume-anuku takalli-anuku, gaddi ma aname tanggolang Lahatala, aname tanggolang ni
marungper tang tanggolang gunnang geguaddang. Artinya, kiranya kami mendapatkan
damai sejahtera dan terciptanya hubungan atau relasi yang baik antara kami sesama manusia
dan juga antara kami manusia dengan Lahatala, termasuk alam semesta dan segala sesuatu
yang ada di kolong langit ini. Ketiga, Aggi ma pir kalalang ta, taume-anuku takalli-anuku
sinaddi ati’ang, sekang gatenang-kawwa. Artinya, kiranya persembahan ini menjadi suatu
pertanda bahwa kesatuan hati dan kesetiaan di antara kami tidak akan pernah berakhir.
Setelah mantera itu diucapkan, ia kemudian menancapkan mosang ke dalam tanah
lalu menariknya kembali dan menggorok leher korban dan membiarkan darah korban
menetes ke dalam tawali. Darah itu kemudian dicampurkan dengan bahan-bahan lainnya
yang telah disiapkan sebelumnya (tuak putih dan darah nifas). Selanjutnya, Labbe
mengambil campuran darah tersebut dengan menggunakan teku (tempurung kelapa) dan
dibagi-bagikan kepada seluruh peserta untuk diminum secara bergiliran. Selesai proses
minum darah, daging korban dibakar di atas mezbah untuk disantap bersama. Darah yang
diminum dipercaya sebagai lambang kehidupan yang mengikat secara turun temurun.
Korban yang dibakar dianggap sebagai persembahan syukur bagi leluhur terkhususnya
30
kepada Lahatala. Selain itu, daging yang disantap bersama juga sebagai pertanda bahwa
mereka sudah berdamai karena hubungan mereka telah dipulihkan. Sementara proses
pembakaran berlangsung, seluruh peserta melakukan lego-lego/sauke (merupakan tarian
adat orang Pantar) mengelilingi altar sampai daging selesai dimakan. Menjadi catatan
penting bagi mereka ialah selama ritual ini dilakukan, peserta dilarang keras untuk
bersin/pessing karena akan menggagalkan kekudusan ritual.
2.5.3 Tahap Pascapelaksanaan
Dalam tahap ini akan diadakan sumpah adat atau sumpah saudara yang dipimpin
oleh Labbe. Sumpah tersebut dalam bahasa setempat disebut bela sakkang. Bahwa mereka
yang bertikai telah berdamai dan untuk itu di antara mereka tidak diperkenankan/tidak
diperbolehkan bahkan dilarang keras untuk saling kawin/mawin.
Selain itu, jika ada sesuatu barang/benda milik kepunyaan salah satu pihak yang
diambil, baik itu secara sengaja maupun tidak sengaja, maka pihak yang kehilangan dilarang
untuk mencela atau bahkan memarahi. Jika sumpah saudara ini dilanggar, maka mereka
meyakini bahwa mereka akan mendapatkan malapetaka dalam kehidupan mereka bahkan
sampai pada keturunan mereka. Setelah sumpah ini diucapkan, mereka lalu berjabatan
tangan dan mengakhiri ritual tersebut.33
Demikian penjelasan mengenai ritual Oli Somba dimulai dari pengertian sampai
pada prosesnya. Ritus ini, diakui oleh masyarakat setempat bahwa hingga kini sudah tidak
lagi dilaksanakan. Akan tetapi, mereka meyakini bahwa kekuatan sumpah tersebut terasa
nyata dan menyatu dalam kehidupan mereka. Artinya bahwa, jika mereka melakukan
larangan-larangan yang telah diucapkan dalam proses ritual tersebut, mereka tentu akan
mendapatkan malapetaka dari para leluhur dan Lahatala.34
33
Wawancara , Zabdi Adisony (Tokoh Masyarakat), 4 Juni 2017, Desa Aramaba, 16.00 WITA 34
Wawancara, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 3 Juni 2017, Desa Aramaba, 09.00 WITA
31
Akan tetapi, setelah Kekristenan masuk di Pulau Pantar, ritus ini tidak lagi dilakukan
karena dianggap sebagai ajaran sesat sesuai dengan pemberitaan dari para penginjil yang
masuk di wilayah mereka. Selain itu, alasan mereka yang lain ialah karena mereka merasa
jijik untuk meminum darah manusia/hewan yang dijadikan sebagai korban.35
Tidak hanya
ritus oli somba yang ditiadakan tetapi beberapa ritus lainnya pun turut ditiadakan.
Kekristenan telah benar-benar menghapus budaya yang telah mengakar dalam kehidupan
masyarakat Aramaba. Sangkaan bahwa budaya yang mereka miliki adalah sebuah ajaran
sesat/kafir telah diterima dan diikuti bahkan dipercaya sebagai sebuah kebenaran dari yang
kuasa. Akan tetapi, nilai-nilai yang terkandung dalam ritus–ritus tersebut tetap dijaga hingga
saat ini. Sebagai contoh, dasar-dasar dari bela sakang juga masih dijadikan sebagai dasar
pembicaraan damai jika terjadi konflik di antara mereka.36
2.6 Makna atau Hakekat Ritus Oli Somba dalam Komunitas Aramaba
Upacara korban merupakan akta pemberian persembahan berupa makanan,
minuman atau binatang sebagai konsumsi bagi suatu makhluk supernatural. Upacara
korban sebagai suatu komunikasi non-verbal antara manusia dan mahkluk adikodrati,
meliputi persembahan, persekutuan, dan silih.37
Sindhunata menyebutkan bahwa ritus
korban adalah salah satu praktik yang terpenting bagi agama dalam mempertahankan
eksistensinya.38
Pemberian korban erat kaitannya dengan pendamaian, baik itu antara
manusia dan sesama, manusia dan alam semesta terlebih kepada yang ilahi atau yang
disebut Tuhan oleh hampir sebagian besar manusia di bumi ini. Kirchberger juga
menjelaskan bahwa pemberian korban mengandung beberapa makna. Pertama, persembahan
korban mengandung aspek persekutuan karena dilakukan dalam upacara yang dirayakan
35
Wawancara, Thomas La’a (Tokoh Masyarakat), 3 Juni 2017, Desa Aramaba, 09.00 WITA 36
Wawancara , Zabdi Adisony (Tokoh Masyarakat), 4 Juni 2017, Desa Aramaba, 16.00 WITA 37
Maria Susai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 214 38
Sindhunata, Kambing Hitam, Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), 98
32
secara bersama-sama. Kedua, kurban mengandung arti silih dosa/pemulihan hubungan
manusia dengan Allah.39
Merujuk kepada tahap-tahap pelaksanaan ritus Oli Somba di atas, maka
sesungguhnya ritus ini juga memiliki makna yang bersifat mengikat bagi semua pihak yang
terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung yang melakukan ritual tersebut. Makna
dan hakekat inilah yang akan penulis gunakan untuk menafsir teks pada bagian selanjutnya.
Penulis menyimpulkan tiga makna dari pelaksanaan ritus Oli Somba, sebagai berikut:
2.6.1 Oli Somba Sebagai Bentuk Penyatuan Masyarakat (Pendamaian)
Tujuan utama dari ritus Oli Somba adalah mendamaikan kembali dua pihak, yakni
keluarga korban dengan pelaku dan keluarga pelaku, atas peristiwa pembunuhan yang
terjadi. Oleh karena tujuan utamanya adalah mendamaikan, maka ritus ini memiliki nilai
yang tinggi. Tidak mudah bagi seseorang atau sebuah keluarga yang kehilangan anggota
keluarganya karena dibunuh, mau memaafkan apalagi berdamai dengan pelaku
pembunuhan. Kenyataan umum dalam komunitas masyarakat adalah adanya upaya balas
dendam terhadap pihak pelaku. Jadi, jika dalam sebuah komunitas masyarakat terjadi
sebuah ritual pendamaian seperti ritual Oli Somba, maka hal ini menunjukkan bahwa kedua
belah pihak, baik keluarga korban maupun pelaku dan keluarga pelaku memiliki kesadaran
tinggi akan pentingnya hidup dalam suasana damai dan rukun.
Dampak dari ritual Oli Somba bagi kedua belah pihak yang bersifat mengikat turun-
temurun merupakan bukti bahwa ritual ini memiliki kekuatan yang tidak dapat dilepaskan.
Tahap pascapelaksaan ritual Oli Somba, dimana masing-masing pihak mengucapkan
sumpah yang menguatkan pelaksanaan ritual merupakan bukti tak terbantahkan bahwa ritual
39
G. Kirchberger, Gereja, Yesus Kristus, Sakramen, Roh Kudus (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1991), 58-65
33
ini menjadi alat pendamaian yang ampuh untuk menyelesaikan sebuah persoalan hidup
bermasyarakat yang kompleks.
2.6.2 Oli Somba Sebagai Bentuk Permohonan Kepada Lahatala (Tuhan)
Sekalipun ritus Oli Somba dimaknai memiliki nilai utama sebagai alat pendamaian,
namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa ritus Oli Somba merupakan sebuah ritual yang
memiliki unsur sebagai bentuk permohonan. Akan tetapi bentuk permohonan yang nampak
dalam ritus ini, bukanlah bentuk permohonan dari pihak pelaku dan keluarga pelaku
pembunuhan kepada keluarga korban agar terjadi pendamaian diantara mereka. Bentuk
permohonan dalam ritus Oli Somba ini sebenarnya ditujukan kepada Lahatala melalui
ucapan doa/mantra yang dilakukan oleh Labbe. Dengan ketiga pokok doa yang disampaikan
dan persembahan yang diberikan dipercaya dapat memuaskan hati Lahatala sehingga dapat
menjauhkan mereka dari angkara murka. Selain itu, ritus ini dilakukan agar dapat tercipta
hubungan yang harmonis antara mereka yang melakukan ritus maupun antara manusia
dengan Lahatala. Selanjutnya, agar persembahan itu menjadi sebuah tanda kesatuan hati
dan kesetiaan dari mereka yang melakukan ritus dan kesatuan tersebut bernilai kekal.
Dengan pengertian lain, pendamaian akan terjadi diantara kedua belah pihak yang sama-
sama melakukan ritus Oli Somba, jika permohonan kepada Lahatala dinaikkan oleh Labbe
dan aturan pelaksanaan ritus tidak dilanggar oleh para peserta.
Oleh karena ritus ini juga memiliki makna sebuah bentuk permohonan, maka
dibutuhkan kesiapan dari para pihak yang terlibat dalam ritus tersebut termasuk korban
(aname somba atau mo-bai somba). Aname-somba merupakan seorang budak yang
dipastikan tidak akan menggagalkan prosesi ritus, demikian juga jika korban berupa mo-bai
somba, haruslah binatang yang tidak bercela. Kesiapan yang matang akan memungkinkan
permohonan para pihak direstui dan dikabulkan oleh Lahatala.
34
2.6.3 Persembahan Korban (Oli Somba) Sebagai Penebus Kesalahan Dengan Cara
“Pengkambinghitaman”
Sama halnya dengan ritus persembahan korban pada umumnya, Oli Somba juga
memiliki makna penebusan kesalahan. Dalam hubungannya dengan ritus ini, kesalahan yang
dimaksudkan adalah yang dilakukan oleh orang yang melakukan pembunuhan karena telah
menghilangkan nyawa seseorang dan menimbulkan pertikaian. Kesalahan yang dilakukan
oleh pembunuh merupakan sebuah kesalahan yang fatal oleh karena itu harus ada jalan atau
cara untuk menebus atau mengahapus kesalahan tersebut. Masyarakat Aramaba meyakini
bahwa jalan atau cara yang harus dilakukan yakni melalui proses pemberian persembahan
korban (Oli Somba). Artinya ada darah yang harus ditumpahkan untuk menggantikan darah
yang sebelumnya telah ada akibat peristiwa pembunuhan. Di sini darah memainkan peranan
penting dalam hubungannya dengan penebusan kesalahan. Tanpa adanya pemberian darah
sebagai pengganti, maka kesalahan yang dilakukan oleh si pembunuh tidak akan terampuni
dan akan menimbulkan pertikaian yang semakin bertambah panjang. Dengan demikian, ritus
Oli Somba sangat berperan penting juga dalam hubungannya dengan penebusan kesalahan.
Kesalahan si pembunuh dengan sendirinya akan termaafkan lewat ritus persembahan korban
ini.
Akan tetapi, penulis menemukan bahwa dalam upaya untuk menebus kesalahan
terkandung juga unsur pengalihan kesalahan atau yang disebut sebagai
“pengkambinghitaman”. Maksudnya ialah korban dalam ritus tersebut seolah menjadi
“kambing hitam” atas peristiwa peperangan/pertikaian yang terjadi. Hal ini karena korban
adalah pihak yang tidak bersalah bahkan tidak ada kaitannya dengan peristiwa yang terjadi.
Namun, oleh karena kesadaran bahwa ia berasal dari kelompok masayarakat kelas bawah
(budak), maka ia tidak dapat membantah dan bahkan dengan sukarela ia harus menyerahkan
dirinya untuk dikorbankan. Seberapa besar pun suara yang akan disampaikan tidak akan
35
diperhatikan atau didengar oleh mereka yang menyebut diri penguasa dari kelas atas. Pada
akhirnya kesalahan yang dilakukan oleh si pembunuh dalihkan kepada pihak yang siap
untuk dijadikan korban.
2.7 Kesimpulan
Studi poskolonial adalah sebuah studi yang walaupun membingungkan tetapi sangat
relevan jika diterapkan dalam konteks dunia masa kini. Studi ini sangat menolong untuk
menganalisa praktik-praktik kolonialisme dan imperialisme, oposisi biner dan lain
sebagainya yang terjadi dalam konteks dunia di era modern ini.
Kolonialisme yang dimaksudkan bukan hanya tentang apa yang dilakukan oleh
dunia Barat terhadap dunia Timur atau yang dilakukan satu negara terhadap negara lainnya,
seperti yang telah dikemukakan oleh para tokoh poskolonial. Studi ini juga menolong untuk
merekonstruksi bentuk-bentuk kolonisasi/penjajahan dalam bentuk apa pun. Maksudnya
ialah dengan studi poskolonial, kita dapat mengkritik wacana-wacana dalam sebuah teks
atau pun konteks yang berhubungan dengan kekerasan/penindasan yang dialami oleh kaum
subaltern, feminisme dan gender serta ideologi dan identitas kultur.
Teks-teks kitab suci juga menjadi teks yang bisa ditafsir dengan menggunakan studi
poskolonial. Salah satunya, yakni Alkitab yang dipercaya umat Kristen sebagi sebuah kitab
suci. Oleh karena sejak awalnya Alkitab dipandang sebagai sebuah kitab suci, maka teks ini
seolah tidak bisa diganggu gugat kebenarannya. Namun, dalam kenyataanya tidak bisa
dipungkiri bahwa Alkitab ditulis oleh manusia yang tentu saja dipengaruhi oleh politik,
ekonomi, dan sosio-budaya si penulis serta disesuaikan dengan situasi dan konteks yang
terjadi pada waktu penulisan. Situasi dan konteks yang berlaku dalam penulisan Alkitab
tentu juga mengandung unsur penjajahan dan dominasi yang terjadi pada saat itu. Untuk itu,
dengan menggunakan hermeneutik poskolonial dalam menafsir teks Alkitab, maka tentu
36
penafsir akan sangat tertolong untuk menyampaikan dan menginterpretasikan teks Alkitab
sesuai dengan konteks dari penafsir.
Ritus korban Oli Somba yang menjadi budaya di dalam kehidupan masyarakat
Aramaba menjadi salah satu konteks yang penting untuk diperhatikan kembali. Walaupun
ritus ini tidak dilakukan lagi oleh karena dianggap sebagai ajaran sesat/kafir, namun makna
serta nilai yang terkandung di dalamnya telah menyatu dalam kehidupan masyarakat
Aramaba. Beberapa makna yang ditemukan dalam ritus tersebut yakni, pertama, ritus Oli
Somba sebagai penyatuan masyarakat (pendamaian). Kedua, Oli Somba sebagai bentuk
permohonan kepada Lahatala (Tuhan). Ketiga, Oli Somba sebagai penebus kesalahan
dengan cara “pengkambinghitaman.” Ketiga makna ini melahirkan pertanyaan yang akan
penulis jadikan sebagai alat untuk menafsir teks Matius 26:36-46 yakni, bagaimana
memahami Yesus sebagai korban dari perspektif Oli Somba? Namun, sebelum melakukan
hal tersebut ternyata bahwa teks yang akan ditafsir juga memiliki konteksnya sendiri. Oleh
karena itu, dalam bab selanjutnya penulis akan memaparkan tentang konteks sosio-kultural
dari teks dimaksud.
`