Upload
lamkien
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 IT Service Management
IT Service Management mendukung praktek terbaik dalam manajemen dan
tata kelola infrastruktur TI saat ini, termasuk komputerisasi infrastruktur yang
mendasari layanan tersebut (Chess et al., 2007).
Model ITSM merepresentasikan pergeseran paradigma dari fungsi TI,
karena tidak menekankan pada manajemen aset TI dan berfokus pada penyediaan
kualitas layanan TI yang end-to-end. ITSM merupakan penyedia kualitas layanan
pelanggan dengan memastikan bahwa kebutuhan dan ekspektasi pelanggan sudah
terpenuhi setiap waktu (Tan et al., 2009).
ITSM memberikan keuntungan dengan membantu organisasi TI menjadi
lebih fleksibel, efisiensi biaya dan berorientasi pada layanan. ITSM mendorong
perubahan dasar dalam organisasi TI, termasuk bagaimana mengelola proses-
proses, aset teknologi yang dimiliki, vendor dan bagaimana karyawan TI
mengembangkan peran dalam organisasi (Pollard et al., 2009).
2.1.1 Service Management
Service Management adalah seperangkat kemampuan organisasi yang
khusus memberikan nilai kepada pelanggan dalam bentuk layanan. Kemampuan
mengambil fungsi dan proses untuk mengelola layanan dalam sebuah siklus yang
8
berfokus pada strategi, desain, transisi, operasional dan perbaikan yang
berkelanjutan (Cannon, 2007, p28)
2.1.2 Manfaat ITSM
Manajer sistem TI menghadapi tantangan dalam hal mengelola layanan
yang sesuai dengan ukuran dan kompleksitas yang terus berkembang. Agar
kompleksitas ini selalu dalam pengawasan, banyak organisasi TI yang besar
mengadopsi praktek terbaik dari metodologi-metodologi yang ada, disini disebut
proses formal, untuk membedakan dari istilah-istilah yang menyangkut proses TI,
yang dapat diartikan apa saja yang berasal dari program aplikasi yang sedang
berjalan menuju alur kerja maupun praktek terbaik apapun (Chess, et al., 2007).
2.2 Information Technology Infrastructure Librarty (ITIL)
Pada awal tahun 1980an, evolusi teknologi komputer bergerak dari
infrastruktur mainframe dan sentralisasi organisasi TI menuju komputer yang
terdistribusi dan terbagi menurut geografis. Ketika kemampuan untuk
mendistribusikan teknologi menjadi lebih fleksibel, dampak yang ditimbulkan
diantaranya aplikasi yang tidak konsisten dari proses pengiriman dan dukungan
teknologi. UK Office of Goverment Commerce diakui akan penggunaan praktek-
praktek yang membuat organisasi menjadi efektif dan efisien berdasarkan
tingkatan layanan, dan sejak saat itulah ITIL pertama kali dikenal hingga
sekarang. Pedoman ITIL merupakan mekanisme yang sukses dalam
mengantarkan konsistensi, efisiensi dan keunggulan bisinis dalam pengelolaan
layanan TI (OGC, 2010).
9
Meskipun teknologi saat ini memungkinkan untuk dapat memberikan
fleksibilitas, namun tantangan timbul mengenai kerahasiaan, integritas data dan
ketersediaan layanan. Organisasi TI harus terus dapat memenuhi atau memberikan
harapan seefisien mungkin. Proses terus-menerus ini merupakan kunci untuk
efisiensi, efektifitas dan kemampuan untuk meningkatkan layanan. Proses terus-
menerus yang berkesinambungan ini yang diuraikan dalam kerangka ITIL. (OGC,
2010).
ITIL merupakan kerangka manajemen layanan TI yang paling popular di
seluruh dunia, masalah-masalah yang dihadapi dalam proses mengadopsi ini akan
mendatangkan manfaat bagi organisasi akan mendatangkan manfaat. Sebenarnya
kemampuan organisasi dalam menggunakan kerangka ini adalah dasar bagi
peningkatan layanan TI. ITIL versi kedua dikeluarkan tahun 2000 yang memiliki
bagian utama adalah layanan TI dan dua komponennya yaitu service delivery dan
service support (Mehravani et al., 2011).
Pada pertengahan 2007, dikeluarkan ITIL versi 3 yang merupakan
pengembangan proses dari ITIL versi 2 dalam sebuah siklus model. Dalam siklus
model ini, layanan TI dirancang, dibuat dan memasuki tahap transisi menuju live
environment, dukungan atas operasi dan peningkatan yang berkelanjutan. Banyak
organisasi melihat ITIL versi 3 merupakan evolusi dari ITIL versi 2, bukan
menggantikan versi sebelumnya, melainkan ITIL versi 3 sebagai keselarasan dari
proses manajemen layanan TI dalam mendukung proses bisnis. (Tan, et al., 2009).
10
ITIL digunakan untuk membangun dan meningkatkan kemampuan dalam
manajemen layanan. ISO/IEC 20000 menyediakan standard yang formal dan
universal bagi audit dan sertifikasi dalam manajemen layanan. Ketika ISO/IEC
20000 merupakan standar untuk dicapai dan dikelola, ITIL menawarkan kerangka
yang berguna untuk mencapai standarisasi (Cannon, 2007).
2.2.1 ITIL Versi 3
Ada 5 proses service lifescycle dalam ITIL versi 3 yaitu :
1. Service Strategy
Sebagai pusat siklus layanan TI, service strategy menyediakan
pedoman bagaimana merancang, membangun dan mengimplementasikan
manajemen layanan tidak hanya sebagai sebuah kemampuan organisasi
tetapi juga sebagai a strategic asset. Pedoman disediakan pada prinsip-
prinsip yang mendasari praktek manajemen layanan yang berguna untuk
mengembangkan kebijakan manajemen layanan, kebijakan dan proses-
proses yang ada di ITIL service lifesycle. Service strategy berguna dalam
kaitannya dengan service design, service transition, service operation dan
continual service improvement (Iqbal, 2007, p25).
Yang termasuk ke dalam proses service strategy diantaranya adalah
financial management dan service portofolio management (Iqbal, 2007,
p25).
11
2. Service Design
Service design menyediakan pedoman untuk merancang dan
pengembangan layanan dan proses manajemen layanan. Ini mencakup
rancangan prinsip dan metode untuk mengkonversi strategi objektif ke
portofolio dari layanan dan service assets. Cakupan service design tidak
sebatas pada layanan yang baru. Ini termasuk perubahan dan perbaikan-
perbaikan yang dibutuhkan untuk meningkatkan atau mengelola nilai pada
pelanggan selama siklus dari layanan, layanan yang berkelanjutan,
pencapaian tingkat layanan serta kesesuaian pada standarisasi dan regulasi
(Lloyd, 2007, p23).
Proses-proses yang mencakup service design meliputi service catalogue
management, service level nanagement, capicity management, availability
management, IT service continuity management, information security
management, dan supplier management (Lloyd, 2007, p39).
3. Service Transition
Service transition menyediakan pedoman untuk pengembangan dan
peningkatan kemampuan akan transisi dan perubahan layanan hingga
operasional. Bagian ini memberikan pedoman bagaimana persyaratan-
persyaratan service strategy dibukukan dalam service design yang secara
efektif direalisasikan dalam service operation sambil mengawasi resiko
kegagalan dan gangguan (Lacy, 2007, p27).
12
Proses-proses yang tercakup di service transition meliputi change
management, service asset and configuration management, knowledge
management, transition planning and support, release and deployment
management, service testing and validation dan evaluation (Lacy, 2007,
p44).
4. Service Operation
Bagian ini mencakup praktek dalam pengelolaan service operational,
ini meliputi pedoman dalam mencapai efektifitas dan efisiensi dalam
mengantarkan dan mendukung layanan untuk memastikan nilai pada
pelanggan dan penyedia layanan. Pedoman juga menyediakan bagaimana
mengelola stabilitas dalam service operation yang memungkinkan
perubahan dalam rancangan, cakupan dan tingkatan layanan. Organisasi
menyediakan proses pedoman secara rinci, metode dan alat untuk
mengawasi dua perspektif : reactive dan proactive. Manajer dan praktisi
disediakan dengan pengetahuan yang membuat mereka dapat membuat
pengambilan keputusan yang lebih baik seperti mengelola ketersediaan
layanan, mengendalikan permintaan, optimalisasi penggunaan kapasitas,
penjadwalan operasi dan penyelesaiaan masalah (Cannon, 2007, p24).
Service operation bertujuan untuk mengkoordinasikan dan membawa
kegiatan dan proses yang dibutuhkan untuk mengantarkan dan mengelola
layanan sesuai level yang disetujui bagi pengguna bisnis dan pelanggan.
Service operation juga bertanggung jawab atas keberlangsungan manajemen
dari teknologi yang digunakan untuk menyampaikan dan mendukung
13
layanan. Proses-proses yang dirancang dan diimplementasikan dengan baik
akan memberikan manfaat yang kecil jika keseharian dari proses-proses
tidak dilakukan, diawasi, dan dikelola secara tepat. Peningkatan layanan
juga tidak mungkin meningkat jika kegiatan sehari-hari untuk meninjau
kinerja, menilai metrik dan mengumpulkan data tidak sistematik dilakukan
selama service operation (Cannon, 2007, p33).
Service operation memiliki beberapa proses dan fungsi yang terdiri atas
sebagai berikut (Cannon, 2007, p35-38) :
a. Proses-proses yang ada di dalam service operation adalah :
- Even management : memantau semua event yang terjadi di seluruh
infrastruktur TI, memantau operasi yang normal dan mendeteksi
dan eskalasi kondisi yang tidak diinginkan.
- Incident dan problem management :
• Incident management : berkonsentrasi pada pemulihan atas
penurunan atau gangguan layanan kepada pengguna secepat
mungkin untuk meminimalkan dampak terhadap bisnis.
• Problem management : analisis penyebab utama untuk
menentukan dan menyelesaikan penyebab dari incident,
pencegahan untuk mendeteksi dan mencegah incident atau
problem di kemudian hari serta bagian dari proses known-error
yang membuat diagnosa dan resolusi lebih cepat jika incident
lebih lanjut terjadi.
14
- Request fulfilment : proses untuk menangani service request,
banyak dari mereka sebenarnya kecil dan beresiko rendah, awalnya
dengan melalui service desk, tetapi menggunakan proses yang
terpisah yang mirip dengan incident management tetapi dengan
record request fulfilment yang berbeda dimana terkait dengan
record dari incident atau problem yang diprakarsai untuk request
yang diminta.
- Access Management : proses pemberian otorisasi bagi pengguna
untuk menggunakan layanan dalam membatasi akses dari
pengguna yang tidak memiliki otorisasi.
b. Fungsi-fungsi yang tercakup dalam service operation meliputi :
- Service desk : primary point kontak bagi pengguna ketika layanan
mengalami gangguan, service request dan even yang ada di request
for change. Service desk menyediakan titik komunikasi bagi
pengguna dan titik kordinasi bagi beberapa grup dan proses TI.
- Technical management : menyediakan kemampuan teknis yang
rinci dan sumber daya yang dibutuhkan dalam mendukung operasi
yang berkelanjutan dari infrastruktur TI. Technical management
juga berperan penting dalam merancang, uji coba, release dan
meningkatkan layanan TI.
- IT Operations Management : menjalankan kegiatan operasional
harian yang dibutuhkan untuk mengelola infrastruktur TI
15
berdasarkan standarisasi yang telah dibuat selama tahap service
design.
- Application Management : bertanggung jawab untuk mengelola
aplikasi sepanjang siklus, serta berfungsi mendukung dan
mengelola aplikasi operasional dan berperan penting dalam
merancang, uji coba, dan peningkatan aplikasi yang merupakan
bagian dari layanan TI.
- Interfaces to other Service Management Lifecycle stages :
beberapa proses yang dijalankan atau didukung selama proses
service operation, tetapi juga didorong oleh fase lainnya dalam
service management life cycle.
5. Continual Service Improvement
Bagian ini memberikan panduan dalam membuat dan mengelola nilai
bagi pelanggan melalui rancangan yang lebih baik, pengenalan dan
operasional dari layanan. Ini memadukan prinsip-prinsip, practices dan
metode-metode dari manajemen yang berkualitas, change management, dan
capability improvement. Organisasi belajar akan perbaikan dalam mencapai
layanan yang berkualitas, kegiatan operasional yang efisiensi dan business
continuity. Pedoman disediakan untuk menghubungkan perbaikan atas
usaha dan hasil dengan service strategy, design dan transition. Sistem
closed-loop feedback berdasarkan model Plan–Do–Check–Act (PDCA)
yang disebutkan dalam ISO/IEC 2000, mampu untuk menerima masukkan
untuk perubahan dari setiap perspektif perencanaan (Case, 2007, p22).
16
7 langkah untuk meningkatkan proses-proses yang ada pada siklus
ini meliputi (Case, 2007, p68) :
a. Define what you should measure.
b. Define what you can measure.
c. Gather the data.
d. Process the data.
e. Analyze the data.
f. Presenting and using the data.
g. Implement the corrective action.
Gambar 2.1 Siklus ITIL versi 3 (Cannon, 2007, p22)
17
2.2.2 Manfaat Penerapan ITIL
Penerapan kerangka ITIL merupakan tantangan bagi penyedia layanan TI
dari sebuah organisasi. Banyak organisasi pemerintah di Finlandia mulai
menggunakan ITIL mendefinisikan proses yang dimiliki (Jantti, 2012).
Selama beberapa tahun terakhir banyak organisasi mengadopsi ITIL untuk
menyediakan manajemen dan kontrol yang efektif terhadap penyampaian dan
dukungan layanan TI. Kerangka best practice ITIL memungkinkan manajer untuk
mendokumentasikan, mengaudit, dan meningkatkan proses manajemen layanan
TI mereka (Steel, et al., 2005).
ITIL membantu mendorong produktifitas dan penghematan biaya.
Dukungan infrastruktur sangat penting untuk service delivery dan manajemen
layanan secara keseluruhan (Fisher, 2006).
2.2.3 Faktor-faktor Penentu Kesuksesan Implementasi ITIL
Sebuah studi yang dilakukan dalam sebuah implementasi sentralisasi
manajemen layanan TI berdasarkan kerangka ITIL menyimpulkan beberapa hal
yang menjadi faktor penentu kesuksesan implementasi (Tan, et al., 2009) yaitu :
1. Komitmen dan dukungan dari manajemen senior.
2. Jadwal dan perencanaan proyek yang jelas.
3. Pengakuan akan perlunya suatu perubahan yang sesuai dengan
manajemen dalam mengubah budaya organisasi untuk fokus
berorientasi pada layanan.
4. Mengelola hubungan yang baik dengan vendor dalam menfasilitasi
transfer teknologi dengan staf perusahaan.
18
5. Realisasi dari rencana yang telah dibuat dijalankan agar manfaat yang
nyata (tangible) dan yang tidak berwujud (intangible) dari proyek ini
dapat diketahui dan dikomunikasikan sehingga komitmen manajemen
senior dan manajer-manajer bisnis dapat dipertahankan.
6. Tata kelola proyek yang efektif dan pelaksanaan yang baik
berkontribusi dalam kesuksesan sebuah proyek manajemen layanan TI.
Dalam sebuah survei yang dilakukan dari penerapan ITIL di Australia oleh
Steel et al., (2005), ada 5 faktor tertinggi kesuksesan sebuah implementasi proyek
ITIL yang diidentifikasi oleh responden atas survei yang dilakukan yaitu :
1. Komitmen dari manajemen senior.
2. Mempromosikan ITIL.
3. Kemampuan staf TI untuk mengadaptasi perubahan.
4. Kualitas dari staf TI dalam menerapkan ITIL.
5. Pelatihan ITIL bagi staf TI.
Menurut Jantti (2012), ada beberapa faktor yang yang menyebabkan tidak
efektifnya proses ITIL :
1. Perusahaan menggunakan konsultan ITIL, konsultan ini mengetahui
kerangka ITIL dan konsep ITSM dengan sangat baik, tetapi memiliki
keterbatasan dalam konsep bisnis yang ada, metode yang digunakan,
tools, layanan dan struktur dari service desk.
2. Tidak memadai atau begitu kompleksnya tools manajemen layanan TI
yang memperlambat peningkatan proses manajemen layanan TI.
19
3. Kurangnya proses budaya dan proses berfikir yang biasa terjadi di
perusahaan TI. ITIL merupakan proses yang berorientasi pada
kerangka. Untuk itu, tim yang mengimplementasikan ITIL harus
terlatih dan memiliki peningkatan proses yang sangat baik dan
kemampuan akan change management.
2.3 Configuration Management
Salah satu masalah yang terjadi di organisasi dalam mencatat aset
terhadap perangkat keras atau piranti lunak adalah tidak mengupdatenya jika
terjadi perubahan. Configuration management adalah proses tepat yang untuk
menangani hal ini. Configuration Management Database (CMDB) adalah bagian
dari configuration management yang mencatat dan mengupdate perubahan yang
terjadi. Ada satu penelitian yang menunjukkan 60% dari perusahaan yang disurvei
tidak mengetahui aset dari piranti lunak yang dimiliki. Masalah ini diperburuk
dengan kenyataan bahwa piranti lunak tidak terlihat dan dibayangkan dapat
digunakan secara terus-menerus serta dapat diselesaikan dengan CMDB (Sharifi
et al., 2009).
Menurut Klosterboer (2007), configuration management adalah suatu
disiplin dalam mengidentifikasi dan mengawasi berbagai komponen dari
lingkungan TI. Klosterboer juga menambahkan bahwa informasi dari
configuration management yang memungkinkan pengambilan keputusan yang
terkait dengan TI dalam sebuah organisasi.
20
Pada literatur dari Fisher (2006), configuration management database
(CMDB) dinyatakan sebagai, "a master database which contains all relevant
details of each CI and details of the important relationships between CIs.”
Dengan mengadopsi ITIL, bisnis yang tidak hanya terkait infrastruktur
akan meningkatkan kinerja dan sangat penting bagi organisasi dari pemanfaatan
CMDB. Hal ini akan membantu sinkronisasi service desk dengan pelanggan.
Menyelaraskan TI sesuai peningkatan kebutuhan bisnis untuk penghematan biaya
(Fisher, 2006).
Implementasi proses configuration management selama service lifecycle
untuk memastikan dan mengurangi known errors yang diakibatkan dengan
implementasi release menuju production. Configuration Management harus
mengatur penamaan untuk semua dokumen. Template dokumen merupakan
standarisasi konfigurasi atas dokumen-dokumen yang dimiliki. Tanpa template
akan banyak dokumen tumpang tindih antara satu dan lainnya yang akan
membuat pelaksanaan perubahan sulit. Dan proses otomatisasi memasukkan dan
update CMDB harus dibangun untuk mengurangi kesalahan dan
mengoptimasisasi biaya. (Lacy, 2007).
CMDB lebih dari sekadar database yang menyimpan informasi mengenai
konfigurasi dari perangkat. CMDB juga memiliki menyimpan ketergantungan dan
dan hubungan dengan antar aset dimana disebut configuration item (CI) sesuai
kerangka ITIL. Dan CI tidak hanya sekedar aset perangkat keras dan piranti lunak,
tetapi juga dokumentasi, proses dan orang yang menyusun, mendukung dan
menggunakan layanan TI (Marquis, 2007).
21
Configuration management termasuk dalam service transition dari ITIL
versi 3. Tujuan dari penerapan configuration managment (Lacy, 2007, p118)
adalah :
1. Mengidentifikasi, mengawasi, melaporkan, mengaudit dan meverifikasi
service assets dan configuration items, termasuk versi, komponen,
atribut dan hubugannya.
2. Mengelola service assets dan configuration items dalam siklus layanan
dengan memastikan komponen bisa digunakan dan diubah oleh pihak
yang memiliki otoritas.
3. Melindungi integritas service assets dan configuration items dalam
siklus layanan.
Sasaran-sasaran (goals) dari configuration management sesuai ITIL versi 3
adalah (Lacy, 2007, p118) :
1. Mendukung bisnis dan kebutuhan pelanggan.
2. Mendukung proses manajemen layanan yang efisiensi dan efektifitas
dengan menyediakan informasi konfigurasi yang akurat sehingga
memungkikan orang-orang dalam membuat keputusan pada waktu yang
tepat, contohnya adalah otorisasi perubahan dan release, menyelesaikan
insiden dan problem lebih cepat.
3. Meminimalkan isu kualitas dan compliance yang diakibatkan oleh
konfigurasi layanan dan aset yang tidak tepat.
4. Mengoptimalisasi aset, konfigurasi TI, kemampuan dan sumber daya
dari layanan.
22
Fisher, 2006 menggambarkan hubungan proses configuration management
dengan proses-proses lainnya dalam ITIL sebagai berikut :
Gambar 2.2 Hubungan Proses Configuration Management Dengan
Proses Incident, Problem, change dan Release management (Fisher, 2006)
Configuration item (CI) adalah “an asset, service component or other item
that is, or will be, under the control of Configuration Management.” CI bisa
atau sistem termasuk seluruh perangkat keras, piranti lunak, dokumentasi dan staf
pendukung untuk modul aplikasi tunggal atau komponen hardware minor. Item
dari CI dapat dikelompokkan dan dikelola bersamaan, misalnya sekumpulan
komponen dapat dikelompokan ke dalam sebuah release. CI harus diseleksi
dengan selection criteria yang telah ditetapkan, dikelompokkan, diklasifikasikan
dan identifikasi sedemikian rupa sehingga dapat dikelola dan dilacak pada service
lifecycle. (Lacy, 2007, p122)
23
2.4 Service Desk
Service desk mefasilitasi aksesbilitas dan ketersediaan layanan TI di
organisasi TI dalam mendukung penyediaan layanan TI dengan mengadopsi
beberapa teknik. Dengan menggunakan service desk, respon dan pemecahan
masalah lebih cepat tertangani. Service desk memiliki peran vital, khususnya
dalam organisasi TI yang menyediakan layanan bagi pelanggannya. Berdasarkan
Gartner, organisasi TI yang didukung oleh service desk meningkat dari 25
menjadi 2000 dari tahun 1996 hingga 2001. Dari sudut pandang service desk,
mengelola incident dan problem yang terkait dengan organisasi TI merupakan
tujuan utama, terlepas dari kerangka yang dibutuhkan (Tehrani, et al., 2011).
Service desk menyediakan kontak sehari-hari antara pelanggan, pengguna,
layanan TI dan dukungan pihak ketiga. Service desk menyediakan keuntungan
(Cannon, 2007, p199) :
- Memperbaiki pelayanan dan kepuasan pelanggan.
- Meningkatkan aksesibilitas dengan single point of contact, komunikasi dan
informasi.
- Meningkatkan kerjasama tim.
- Peningkatan fokus dan pendekatan proaktif untuk penyediaan layanan.
- Pengelolaan infrastruktur yang lebih baik.
- Memperbaiki penggunaan sumber daya layanan TI dan meningkatkan
produktifiktas dari personel.
- Manajemen informasi yang lebih berarti untuk pengambilan keputusan.
24
Tantangan-tantangan yang dihadapi dalam menerapkan service desk
menurut, Jantti (2012), yaitu :
1. Klasifikasi dari permintaan dukungan yang diterima oleh service desk
memerlukan klasifikasi.
2. Pelanggan tidak dapat mengklasifikasikan permintaan dukungan secara
tepat.
3. Sulitnya mengidentifikasikan perulangan incident dari sistem service
desk.
4. Tampilan antara incident management dan problem management tidak
bekerja.
5. Service desk mencatat beberapa kasus yang terjadi untuk satu incident.
6. Ide untuk perbaikan tidak tercatat ke dalam service desk.
7. Kurang updatenya configuration management database (CMDB).
2.5 Pengukuran Menggunakan Metrik dengan GQM
Metrik merupakan bagian penting dari sistem manajemen yang
mengarahkan dan mengawasi TI sesuai arah yang telah ditentukan (Brooks, 2006,
p15). Tujuan penggunaan metrik dalam ITSM adalah :
1. Menyelaraskan objektifitas bisnis dengan teknologi informasi, dengan :
- Memberikan informasi kepada manajemen mengenai ITSM.
- Mendampingi manajemen dalam memahami kinerja TI dan isu yang
terjadi.
25
2. Membantu memenuhi kebutuhan compliance untuk operasi bisnis, dengan :
- Membantu mencapai ISO2000, COBIT maupun sertifikasi lainnya.
- Meminimalkan interupsi atau gangguan dari bisnis.
3. Mendorong operational excellence dari TI secara strategik, dengan :
- Memastikan kinerja TI dan proses-proses terkait.
- Mengawasi proses ITSM.
- Mengelola TI secara taktis.
- Memaksimalkan produktifitas kinerja dan kinerja TI.
Prinsip metode GQM adalah menyediakan model untuk membantu
manajer piranti lunak untuk merancang serangkaian metrik piranti lunak untuk
mengurangi dan mengintegarsikan bermacam-macam objek dari proses piranti
lunak dan prodk dengan pendekatan yang sistematik (Hong et al., 2010).
Goal Question Metrics Method (GQM) adalah metode yang dimulai dari
mendesain tujuan tingkat atas dari proyek, kemudian dibuatkan serangkaian
pertanyaan untuk tiap goal dimana tiap pertanyaan akan dijawab jika goal
tercapai, dan kemudian metrik digunakan untuk mengukur hasil dari pertanyaan
tersebut. Brooks (2006) menjelaskan bahwa pada ITSM, tujuan tingkat yang
dimaksud adalah goals dari proses.
Model GQM awalnya didefinisikan untuk mengeveluasi kesalahan dari
serangkaian proyek di NASA Goddard Space Flight Center. Metode ini dibangun
dengan mengidentifikasikan serangkaian kualitas dan atau produktifitas pada
tingkatan perusahaan, divisi atau proyek seperti kepuasan pelanggan, on-time
delivery dan peningkatan kinerja. hasil dari penerapan aplikasi pendekatan GQM
26
adalah spesifikasi sistem pengukuran yang menargetkan sekumpulan isu tertentu
dan sebuah kumpulan peraturan untuk interpretasi pengukuran data (Basili et al.,
1996).
Gambar 2.3 Struktur Model GQM (Hong et al., 2010)
2.6 Fishbone Diagram
Menurut Bilsel et al. (2012), masalah dan gangguan biasa terjadi dalam
semua sistem. Usaha pencegahan dihabiskan untuk memperbaiki permasalahan
yang terjadi untuk memastikan keberlangsungan sebuah sistem. Diagram
ishikawa yang juga disebut fisbone diagram atau cause and effect diagram
merupakan sebuah alat yang mudah dan efektif untuk mengidenfitifikasi beberapa
penyebab dari masalah.
Fishbone diagram terdiri dari tulang utama yang merupakan penyebab
utama masalah yang saling terhubung. Setiap penyebab utama mungkin memiliki
beberapa sub penyebab yang menyebabkan penyebab utama. Demikian pula
setiap sub mungkin memiliki penyebab tingkat ketiga (Bilsel et al., 2012).
27
Gambar 2.4 Fishbone Diagram (Bilsel et al., 2012)
2.7 Technology Acceptance Model (TAM)
Technology Acceptance Model yang dikembangkan oleh Davis (1989)
menyatakan kesuksesan diterimanya sebuah sistem oleh pengguna ditentukan oleh
tiga faktor yaitu persepsi terhadap kemudahan penggunaa (perceived of
usefullness), persepsi terhadap kemanfaatan (perceived ease of use) dan sikap
terhadap penggunaan (attitudes towards usage).
Desain dan implementasi dari sistem informasi mahal dan mengandung
resiko. Beragam upaya dilakukan untuk memahami proses dan hasil yang
diharapkan. Hasil yang penting dari upaya ini adalah mengelompokkan beberapa
faktor ke dalam sebuah model untuk mempermudah analisa penggunaan sebuah
sistem informasi. Model ini menunjukkan persepsi kemanfaatan dan kemudahan
penggunaan sebuah teknologi atau sistem yang memperkirakan sikap terhadap
teknologi dan kebiasaan menggunakan sistem atau teknologi tersebut (Bahli et al.,
2004).
28
Technology Acceptance Model secara luas digunakan dalam persepsi
penerimaan sebuah teknologi. Berdasarkan Tehcnology Acceptance Model akan
meningkatkan pemahaman bagaimana atribut teknologi dirasakan (persepsi
kesesuaian teknologi) dan kepercayaan internal (merasakan manfaat dan
kemudahaan penggunaan) akan mempengaruhi perilaku menerima sebuah
teknologi baru (Wen, 2008).
Gambar 2.5 Technology Acceptance Model (Bahli et al, 2004)
Dari teori TAM, kebiasaan penggunaan sistem informasi mayoritas
dijelaskan dengan kecenderungan perilaku untuk menggunakan sebuah sistem
ditentukan oleh persepsi kemanfaatan dan persepesi kemudahan penggunaan
terhadap sebuah sistem (Shroff et. al, 2011).
29
2.7.1 Perceived Usefullness
Persepsi terhadap kemanfaatan atau perceived usefullness (PU)
didefinisikan sebagai sebuah ukuran dimana seseorang percaya jika menggunakan
sebuah teknologi akan meningkatkan kinerja mereka (Davis et. al, 1989).
Sun, et. al, (2006) mendukung hasil penelitian Davis (1989) bahwa
hubungan perceived usefulness dengan attitude toward use, behavior intention to
use mempunyai hasil yang konsisten, terlihat dari 72 studi hasil penelitiannya,
dengan 71 studi memperoleh hasil bahwa perceived usefulness mempunyai
hubungan yang signifikan dengan attitude toward use dan behavior intention to
use.
2.7.2 Perceived Ease of Use
Persepsi terhadap kemudahan penggunaan atau perceived ease of use
(PEU) didefinisikan sebagai ukuran dimana seseorang percaya bahwa
menggunakan sistem tertentu mudah dipahami dan digunakan (Davis, 1989).
Davis et al. (1989) membuktikan bahwa perceived ease of use mempunyai
dampak baik secara langsung atau tidak langsung pada perceived usefulnes,
melalui attitude toward use.
Hubungan antara perceived ease of use dengan perceived usefulness dari
50 studi sebelumya 43 studi menunjukkan hubungan yang signifikan sedangkan 7
studi lainnya memperoleh hasil tidak signifikan (Sun et. al, 2006).
Persepsi terhadap kemanfaatan akan sebuah sistem tidak akan membantu
memberikan manfaat apabila mereka meyakini bahwa sistem sulit digunakan
sehingga usaha yang dikeluarkan untuk mencapai kinerja tidak sepadan dengan
30
hasil yang dicapai. Hal ini menunjukkan bahwa perceived ease of use
mempengaruhi perceived usefulness dan attitude toward to use.
2.7.3 Attitude Toward Use
Sikap terhadap penggunaan atau attitude toward use (ATT) diungkapkan
sebagai bentuk penerimaan atau penolakan bila menggunakan sebuah sistem
dalam pekerjaannya (Davis, 1993).
2.7.4 Behaviour Intention to Use
TAM menyarankan penggunaan sebenarnya sebuah sistem ditentukan oleh
kecenderungan perilaku untuk menggunakan sebuah sistem atau behaviour
intention to use (BIU) dipengaruhi oleh sikap terhadap penggunaan dan persepsi
kemanfaatan (Shroff et. al, 2011).