24
7 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 IT Service Management IT Service Management mendukung praktek terbaik dalam manajemen dan tata kelola infrastruktur TI saat ini, termasuk komputerisasi infrastruktur yang mendasari layanan tersebut (Chess et al., 2007). Model ITSM merepresentasikan pergeseran paradigma dari fungsi TI, karena tidak menekankan pada manajemen aset TI dan berfokus pada penyediaan kualitas layanan TI yang end-to-end. ITSM merupakan penyedia kualitas layanan pelanggan dengan memastikan bahwa kebutuhan dan ekspektasi pelanggan sudah terpenuhi setiap waktu (Tan et al., 2009). ITSM memberikan keuntungan dengan membantu organisasi TI menjadi lebih fleksibel, efisiensi biaya dan berorientasi pada layanan. ITSM mendorong perubahan dasar dalam organisasi TI, termasuk bagaimana mengelola proses- proses, aset teknologi yang dimiliki, vendor dan bagaimana karyawan TI mengembangkan peran dalam organisasi (Pollard et al., 2009). 2.1.1 Service Management Service Management adalah seperangkat kemampuan organisasi yang khusus memberikan nilai kepada pelanggan dalam bentuk layanan. Kemampuan mengambil fungsi dan proses untuk mengelola layanan dalam sebuah siklus yang

BAB 2 LANDASAN TEORI - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/WW - Bab 2.pdf · terpenuhi setiap waktu (Tan et al., 2009). ... peningkatan kemampuan akan transisi

  • Upload
    lamkien

  • View
    222

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

7  

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 IT Service Management

IT Service Management mendukung praktek terbaik dalam manajemen dan

tata kelola infrastruktur TI saat ini, termasuk komputerisasi infrastruktur yang

mendasari layanan tersebut (Chess et al., 2007).

Model ITSM merepresentasikan pergeseran paradigma dari fungsi TI,

karena tidak menekankan pada manajemen aset TI dan berfokus pada penyediaan

kualitas layanan TI yang end-to-end. ITSM merupakan penyedia kualitas layanan

pelanggan dengan memastikan bahwa kebutuhan dan ekspektasi pelanggan sudah

terpenuhi setiap waktu (Tan et al., 2009).

ITSM memberikan keuntungan dengan membantu organisasi TI menjadi

lebih fleksibel, efisiensi biaya dan berorientasi pada layanan. ITSM mendorong

perubahan dasar dalam organisasi TI, termasuk bagaimana mengelola proses-

proses, aset teknologi yang dimiliki, vendor dan bagaimana karyawan TI

mengembangkan peran dalam organisasi (Pollard et al., 2009).

2.1.1 Service Management

Service Management adalah seperangkat kemampuan organisasi yang

khusus memberikan nilai kepada pelanggan dalam bentuk layanan. Kemampuan

mengambil fungsi dan proses untuk mengelola layanan dalam sebuah siklus yang

8  

berfokus pada strategi, desain, transisi, operasional dan perbaikan yang

berkelanjutan (Cannon, 2007, p28)

2.1.2 Manfaat ITSM

Manajer sistem TI menghadapi tantangan dalam hal mengelola layanan

yang sesuai dengan ukuran dan kompleksitas yang terus berkembang. Agar

kompleksitas ini selalu dalam pengawasan, banyak organisasi TI yang besar

mengadopsi praktek terbaik dari metodologi-metodologi yang ada, disini disebut

proses formal, untuk membedakan dari istilah-istilah yang menyangkut proses TI,

yang dapat diartikan apa saja yang berasal dari program aplikasi yang sedang

berjalan menuju alur kerja maupun praktek terbaik apapun (Chess, et al., 2007).

2.2 Information Technology Infrastructure Librarty (ITIL)

Pada awal tahun 1980an, evolusi teknologi komputer bergerak dari

infrastruktur mainframe dan sentralisasi organisasi TI menuju komputer yang

terdistribusi dan terbagi menurut geografis. Ketika kemampuan untuk

mendistribusikan teknologi menjadi lebih fleksibel, dampak yang ditimbulkan

diantaranya aplikasi yang tidak konsisten dari proses pengiriman dan dukungan

teknologi. UK Office of Goverment Commerce diakui akan penggunaan praktek-

praktek yang membuat organisasi menjadi efektif dan efisien berdasarkan

tingkatan layanan, dan sejak saat itulah ITIL pertama kali dikenal hingga

sekarang. Pedoman ITIL merupakan mekanisme yang sukses dalam

mengantarkan konsistensi, efisiensi dan keunggulan bisinis dalam pengelolaan

layanan TI (OGC, 2010).

9  

Meskipun teknologi saat ini memungkinkan untuk dapat memberikan

fleksibilitas, namun tantangan timbul mengenai kerahasiaan, integritas data dan

ketersediaan layanan. Organisasi TI harus terus dapat memenuhi atau memberikan

harapan seefisien mungkin. Proses terus-menerus ini merupakan kunci untuk

efisiensi, efektifitas dan kemampuan untuk meningkatkan layanan. Proses terus-

menerus yang berkesinambungan ini yang diuraikan dalam kerangka ITIL. (OGC,

2010).

ITIL merupakan kerangka manajemen layanan TI yang paling popular di

seluruh dunia, masalah-masalah yang dihadapi dalam proses mengadopsi ini akan

mendatangkan manfaat bagi organisasi akan mendatangkan manfaat. Sebenarnya

kemampuan organisasi dalam menggunakan kerangka ini adalah dasar bagi

peningkatan layanan TI. ITIL versi kedua dikeluarkan tahun 2000 yang memiliki

bagian utama adalah layanan TI dan dua komponennya yaitu service delivery dan

service support (Mehravani et al., 2011).

Pada pertengahan 2007, dikeluarkan ITIL versi 3 yang merupakan

pengembangan proses dari ITIL versi 2 dalam sebuah siklus model. Dalam siklus

model ini, layanan TI dirancang, dibuat dan memasuki tahap transisi menuju live

environment, dukungan atas operasi dan peningkatan yang berkelanjutan. Banyak

organisasi melihat ITIL versi 3 merupakan evolusi dari ITIL versi 2, bukan

menggantikan versi sebelumnya, melainkan ITIL versi 3 sebagai keselarasan dari

proses manajemen layanan TI dalam mendukung proses bisnis. (Tan, et al., 2009).

10  

ITIL digunakan untuk membangun dan meningkatkan kemampuan dalam

manajemen layanan. ISO/IEC 20000 menyediakan standard yang formal dan

universal bagi audit dan sertifikasi dalam manajemen layanan. Ketika ISO/IEC

20000 merupakan standar untuk dicapai dan dikelola, ITIL menawarkan kerangka

yang berguna untuk mencapai standarisasi (Cannon, 2007).

2.2.1 ITIL Versi 3

Ada 5 proses service lifescycle dalam ITIL versi 3 yaitu :

1. Service Strategy

Sebagai pusat siklus layanan TI, service strategy menyediakan

pedoman bagaimana merancang, membangun dan mengimplementasikan

manajemen layanan tidak hanya sebagai sebuah kemampuan organisasi

tetapi juga sebagai a strategic asset. Pedoman disediakan pada prinsip-

prinsip yang mendasari praktek manajemen layanan yang berguna untuk

mengembangkan kebijakan manajemen layanan, kebijakan dan proses-

proses yang ada di ITIL service lifesycle. Service strategy berguna dalam

kaitannya dengan service design, service transition, service operation dan

continual service improvement (Iqbal, 2007, p25).

Yang termasuk ke dalam proses service strategy diantaranya adalah

financial management dan service portofolio management (Iqbal, 2007,

p25).

11  

2. Service Design

Service design menyediakan pedoman untuk merancang dan

pengembangan layanan dan proses manajemen layanan. Ini mencakup

rancangan prinsip dan metode untuk mengkonversi strategi objektif ke

portofolio dari layanan dan service assets. Cakupan service design tidak

sebatas pada layanan yang baru. Ini termasuk perubahan dan perbaikan-

perbaikan yang dibutuhkan untuk meningkatkan atau mengelola nilai pada

pelanggan selama siklus dari layanan, layanan yang berkelanjutan,

pencapaian tingkat layanan serta kesesuaian pada standarisasi dan regulasi

(Lloyd, 2007, p23).

Proses-proses yang mencakup service design meliputi service catalogue

management, service level nanagement, capicity management, availability

management, IT service continuity management, information security

management, dan supplier management (Lloyd, 2007, p39).

3. Service Transition

Service transition menyediakan pedoman untuk pengembangan dan

peningkatan kemampuan akan transisi dan perubahan layanan hingga

operasional. Bagian ini memberikan pedoman bagaimana persyaratan-

persyaratan service strategy dibukukan dalam service design yang secara

efektif direalisasikan dalam service operation sambil mengawasi resiko

kegagalan dan gangguan (Lacy, 2007, p27).

12  

Proses-proses yang tercakup di service transition meliputi change

management, service asset and configuration management, knowledge

management, transition planning and support, release and deployment

management, service testing and validation dan evaluation (Lacy, 2007,

p44).

4. Service Operation

Bagian ini mencakup praktek dalam pengelolaan service operational,

ini meliputi pedoman dalam mencapai efektifitas dan efisiensi dalam

mengantarkan dan mendukung layanan untuk memastikan nilai pada

pelanggan dan penyedia layanan. Pedoman juga menyediakan bagaimana

mengelola stabilitas dalam service operation yang memungkinkan

perubahan dalam rancangan, cakupan dan tingkatan layanan. Organisasi

menyediakan proses pedoman secara rinci, metode dan alat untuk

mengawasi dua perspektif : reactive dan proactive. Manajer dan praktisi

disediakan dengan pengetahuan yang membuat mereka dapat membuat

pengambilan keputusan yang lebih baik seperti mengelola ketersediaan

layanan, mengendalikan permintaan, optimalisasi penggunaan kapasitas,

penjadwalan operasi dan penyelesaiaan masalah (Cannon, 2007, p24).

Service operation bertujuan untuk mengkoordinasikan dan membawa

kegiatan dan proses yang dibutuhkan untuk mengantarkan dan mengelola

layanan sesuai level yang disetujui bagi pengguna bisnis dan pelanggan.

Service operation juga bertanggung jawab atas keberlangsungan manajemen

dari teknologi yang digunakan untuk menyampaikan dan mendukung

13  

layanan. Proses-proses yang dirancang dan diimplementasikan dengan baik

akan memberikan manfaat yang kecil jika keseharian dari proses-proses

tidak dilakukan, diawasi, dan dikelola secara tepat. Peningkatan layanan

juga tidak mungkin meningkat jika kegiatan sehari-hari untuk meninjau

kinerja, menilai metrik dan mengumpulkan data tidak sistematik dilakukan

selama service operation (Cannon, 2007, p33).

Service operation memiliki beberapa proses dan fungsi yang terdiri atas

sebagai berikut (Cannon, 2007, p35-38) :

a. Proses-proses yang ada di dalam service operation adalah :

- Even management : memantau semua event yang terjadi di seluruh

infrastruktur TI, memantau operasi yang normal dan mendeteksi

dan eskalasi kondisi yang tidak diinginkan.

- Incident dan problem management :

• Incident management : berkonsentrasi pada pemulihan atas

penurunan atau gangguan layanan kepada pengguna secepat

mungkin untuk meminimalkan dampak terhadap bisnis.

• Problem management : analisis penyebab utama untuk

menentukan dan menyelesaikan penyebab dari incident,

pencegahan untuk mendeteksi dan mencegah incident atau

problem di kemudian hari serta bagian dari proses known-error

yang membuat diagnosa dan resolusi lebih cepat jika incident

lebih lanjut terjadi.

14  

- Request fulfilment : proses untuk menangani service request,

banyak dari mereka sebenarnya kecil dan beresiko rendah, awalnya

dengan melalui service desk, tetapi menggunakan proses yang

terpisah yang mirip dengan incident management tetapi dengan

record request fulfilment yang berbeda dimana terkait dengan

record dari incident atau problem yang diprakarsai untuk request

yang diminta.

- Access Management : proses pemberian otorisasi bagi pengguna

untuk menggunakan layanan dalam membatasi akses dari

pengguna yang tidak memiliki otorisasi.

b. Fungsi-fungsi yang tercakup dalam service operation meliputi :

- Service desk : primary point kontak bagi pengguna ketika layanan

mengalami gangguan, service request dan even yang ada di request

for change. Service desk menyediakan titik komunikasi bagi

pengguna dan titik kordinasi bagi beberapa grup dan proses TI.

- Technical management : menyediakan kemampuan teknis yang

rinci dan sumber daya yang dibutuhkan dalam mendukung operasi

yang berkelanjutan dari infrastruktur TI. Technical management

juga berperan penting dalam merancang, uji coba, release dan

meningkatkan layanan TI.

- IT Operations Management : menjalankan kegiatan operasional

harian yang dibutuhkan untuk mengelola infrastruktur TI

15  

berdasarkan standarisasi yang telah dibuat selama tahap service

design.

- Application Management : bertanggung jawab untuk mengelola

aplikasi sepanjang siklus, serta berfungsi mendukung dan

mengelola aplikasi operasional dan berperan penting dalam

merancang, uji coba, dan peningkatan aplikasi yang merupakan

bagian dari layanan TI.

- Interfaces to other Service Management Lifecycle stages :

beberapa proses yang dijalankan atau didukung selama proses

service operation, tetapi juga didorong oleh fase lainnya dalam

service management life cycle.

5. Continual Service Improvement

Bagian ini memberikan panduan dalam membuat dan mengelola nilai

bagi pelanggan melalui rancangan yang lebih baik, pengenalan dan

operasional dari layanan. Ini memadukan prinsip-prinsip, practices dan

metode-metode dari manajemen yang berkualitas, change management, dan

capability improvement. Organisasi belajar akan perbaikan dalam mencapai

layanan yang berkualitas, kegiatan operasional yang efisiensi dan business

continuity. Pedoman disediakan untuk menghubungkan perbaikan atas

usaha dan hasil dengan service strategy, design dan transition. Sistem

closed-loop feedback berdasarkan model Plan–Do–Check–Act (PDCA)

yang disebutkan dalam ISO/IEC 2000, mampu untuk menerima masukkan

untuk perubahan dari setiap perspektif perencanaan (Case, 2007, p22).

16  

7 langkah untuk meningkatkan proses-proses yang ada pada siklus

ini meliputi (Case, 2007, p68) :

a. Define what you should measure.

b. Define what you can measure.

c. Gather the data.

d. Process the data.

e. Analyze the data.

f. Presenting and using the data.

g. Implement the corrective action.

Gambar 2.1 Siklus ITIL versi 3 (Cannon, 2007, p22)  

17  

2.2.2 Manfaat Penerapan ITIL

Penerapan kerangka ITIL merupakan tantangan bagi penyedia layanan TI

dari sebuah organisasi. Banyak organisasi pemerintah di Finlandia mulai

menggunakan ITIL mendefinisikan proses yang dimiliki (Jantti, 2012).

Selama beberapa tahun terakhir banyak organisasi mengadopsi ITIL untuk

menyediakan manajemen dan kontrol yang efektif terhadap penyampaian dan

dukungan layanan TI. Kerangka best practice ITIL memungkinkan manajer untuk

mendokumentasikan, mengaudit, dan meningkatkan proses manajemen layanan

TI mereka (Steel, et al., 2005).

ITIL membantu mendorong produktifitas dan penghematan biaya.

Dukungan infrastruktur sangat penting untuk service delivery dan manajemen

layanan secara keseluruhan (Fisher, 2006).

2.2.3 Faktor-faktor Penentu Kesuksesan Implementasi ITIL

Sebuah studi yang dilakukan dalam sebuah implementasi sentralisasi

manajemen layanan TI berdasarkan kerangka ITIL menyimpulkan beberapa hal

yang menjadi faktor penentu kesuksesan implementasi (Tan, et al., 2009) yaitu :

1. Komitmen dan dukungan dari manajemen senior.

2. Jadwal dan perencanaan proyek yang jelas.

3. Pengakuan akan perlunya suatu perubahan yang sesuai dengan

manajemen dalam mengubah budaya organisasi untuk fokus

berorientasi pada layanan.

4. Mengelola hubungan yang baik dengan vendor dalam menfasilitasi

transfer teknologi dengan staf perusahaan.

18  

5. Realisasi dari rencana yang telah dibuat dijalankan agar manfaat yang

nyata (tangible) dan yang tidak berwujud (intangible) dari proyek ini

dapat diketahui dan dikomunikasikan sehingga komitmen manajemen

senior dan manajer-manajer bisnis dapat dipertahankan.

6. Tata kelola proyek yang efektif dan pelaksanaan yang baik

berkontribusi dalam kesuksesan sebuah proyek manajemen layanan TI.

Dalam sebuah survei yang dilakukan dari penerapan ITIL di Australia oleh

Steel et al., (2005), ada 5 faktor tertinggi kesuksesan sebuah implementasi proyek

ITIL yang diidentifikasi oleh responden atas survei yang dilakukan yaitu :

1. Komitmen dari manajemen senior.

2. Mempromosikan ITIL.

3. Kemampuan staf TI untuk mengadaptasi perubahan.

4. Kualitas dari staf TI dalam menerapkan ITIL.

5. Pelatihan ITIL bagi staf TI.

Menurut Jantti (2012), ada beberapa faktor yang yang menyebabkan tidak

efektifnya proses ITIL :

1. Perusahaan menggunakan konsultan ITIL, konsultan ini mengetahui

kerangka ITIL dan konsep ITSM dengan sangat baik, tetapi memiliki

keterbatasan dalam konsep bisnis yang ada, metode yang digunakan,

tools, layanan dan struktur dari service desk.

2. Tidak memadai atau begitu kompleksnya tools manajemen layanan TI

yang memperlambat peningkatan proses manajemen layanan TI.

19  

3. Kurangnya proses budaya dan proses berfikir yang biasa terjadi di

perusahaan TI. ITIL merupakan proses yang berorientasi pada

kerangka. Untuk itu, tim yang mengimplementasikan ITIL harus

terlatih dan memiliki peningkatan proses yang sangat baik dan

kemampuan akan change management.

2.3 Configuration Management

Salah satu masalah yang terjadi di organisasi dalam mencatat aset

terhadap perangkat keras atau piranti lunak adalah tidak mengupdatenya jika

terjadi perubahan. Configuration management adalah proses tepat yang untuk

menangani hal ini. Configuration Management Database (CMDB) adalah bagian

dari configuration management yang mencatat dan mengupdate perubahan yang

terjadi. Ada satu penelitian yang menunjukkan 60% dari perusahaan yang disurvei

tidak mengetahui aset dari piranti lunak yang dimiliki. Masalah ini diperburuk

dengan kenyataan bahwa piranti lunak tidak terlihat dan dibayangkan dapat

digunakan secara terus-menerus serta dapat diselesaikan dengan CMDB (Sharifi

et al., 2009).

Menurut Klosterboer (2007), configuration management adalah suatu

disiplin dalam mengidentifikasi dan mengawasi berbagai komponen dari

lingkungan TI. Klosterboer juga menambahkan bahwa informasi dari

configuration management yang memungkinkan pengambilan keputusan yang

terkait dengan TI dalam sebuah organisasi.

20  

Pada literatur dari Fisher (2006), configuration management database

(CMDB) dinyatakan sebagai, "a master database which contains all relevant

details of each CI and details of the important relationships between CIs.”

Dengan mengadopsi ITIL, bisnis yang tidak hanya terkait infrastruktur

akan meningkatkan kinerja dan sangat penting bagi organisasi dari pemanfaatan

CMDB. Hal ini akan membantu sinkronisasi service desk dengan pelanggan.

Menyelaraskan TI sesuai peningkatan kebutuhan bisnis untuk penghematan biaya

(Fisher, 2006).

Implementasi proses configuration management selama service lifecycle

untuk memastikan dan mengurangi known errors yang diakibatkan dengan

implementasi release menuju production. Configuration Management harus

mengatur penamaan untuk semua dokumen. Template dokumen merupakan

standarisasi konfigurasi atas dokumen-dokumen yang dimiliki. Tanpa template

akan banyak dokumen tumpang tindih antara satu dan lainnya yang akan

membuat pelaksanaan perubahan sulit. Dan proses otomatisasi memasukkan dan

update CMDB harus dibangun untuk mengurangi kesalahan dan

mengoptimasisasi biaya. (Lacy, 2007).

CMDB lebih dari sekadar database yang menyimpan informasi mengenai

konfigurasi dari perangkat. CMDB juga memiliki menyimpan ketergantungan dan

dan hubungan dengan antar aset dimana disebut configuration item (CI) sesuai

kerangka ITIL. Dan CI tidak hanya sekedar aset perangkat keras dan piranti lunak,

tetapi juga dokumentasi, proses dan orang yang menyusun, mendukung dan

menggunakan layanan TI (Marquis, 2007).

21  

Configuration management termasuk dalam service transition dari ITIL

versi 3. Tujuan dari penerapan configuration managment (Lacy, 2007, p118)

adalah :

1. Mengidentifikasi, mengawasi, melaporkan, mengaudit dan meverifikasi

service assets dan configuration items, termasuk versi, komponen,

atribut dan hubugannya.

2. Mengelola service assets dan configuration items dalam siklus layanan

dengan memastikan komponen bisa digunakan dan diubah oleh pihak

yang memiliki otoritas.

3. Melindungi integritas service assets dan configuration items dalam

siklus layanan.

Sasaran-sasaran (goals) dari configuration management sesuai ITIL versi 3

adalah (Lacy, 2007, p118) :

1. Mendukung bisnis dan kebutuhan pelanggan.

2. Mendukung proses manajemen layanan yang efisiensi dan efektifitas

dengan menyediakan informasi konfigurasi yang akurat sehingga

memungkikan orang-orang dalam membuat keputusan pada waktu yang

tepat, contohnya adalah otorisasi perubahan dan release, menyelesaikan

insiden dan problem lebih cepat.

3. Meminimalkan isu kualitas dan compliance yang diakibatkan oleh

konfigurasi layanan dan aset yang tidak tepat.

4. Mengoptimalisasi aset, konfigurasi TI, kemampuan dan sumber daya

dari layanan.

22  

Fisher, 2006 menggambarkan hubungan proses configuration management

dengan proses-proses lainnya dalam ITIL sebagai berikut :

Gambar 2.2 Hubungan Proses Configuration Management Dengan

Proses Incident, Problem, change dan Release management (Fisher, 2006)   

Configuration item (CI) adalah “an asset, service component or other item

that is, or will be, under the control of Configuration Management.” CI bisa

atau sistem termasuk seluruh perangkat keras, piranti lunak, dokumentasi dan staf

pendukung untuk modul aplikasi tunggal atau komponen hardware minor. Item

dari CI dapat dikelompokkan dan dikelola bersamaan, misalnya sekumpulan

komponen dapat dikelompokan ke dalam sebuah release. CI harus diseleksi

dengan selection criteria yang telah ditetapkan, dikelompokkan, diklasifikasikan

dan identifikasi sedemikian rupa sehingga dapat dikelola dan dilacak pada service

lifecycle. (Lacy, 2007, p122)

     

23  

2.4 Service Desk

Service desk mefasilitasi aksesbilitas dan ketersediaan layanan TI di

organisasi TI dalam mendukung penyediaan layanan TI dengan mengadopsi

beberapa teknik. Dengan menggunakan service desk, respon dan pemecahan

masalah lebih cepat tertangani. Service desk memiliki peran vital, khususnya

dalam organisasi TI yang menyediakan layanan bagi pelanggannya. Berdasarkan

Gartner, organisasi TI yang didukung oleh service desk meningkat dari 25

menjadi 2000 dari tahun 1996 hingga 2001. Dari sudut pandang service desk,

mengelola incident dan problem yang terkait dengan organisasi TI merupakan

tujuan utama, terlepas dari kerangka yang dibutuhkan (Tehrani, et al., 2011).

Service desk menyediakan kontak sehari-hari antara pelanggan, pengguna,

layanan TI dan dukungan pihak ketiga. Service desk menyediakan keuntungan

(Cannon, 2007, p199) :

- Memperbaiki pelayanan dan kepuasan pelanggan.

- Meningkatkan aksesibilitas dengan single point of contact, komunikasi dan

informasi.

- Meningkatkan kerjasama tim.

- Peningkatan fokus dan pendekatan proaktif untuk penyediaan layanan.

- Pengelolaan infrastruktur yang lebih baik.

- Memperbaiki penggunaan sumber daya layanan TI dan meningkatkan

produktifiktas dari personel.

- Manajemen informasi yang lebih berarti untuk pengambilan keputusan.

24  

Tantangan-tantangan yang dihadapi dalam menerapkan service desk

menurut, Jantti (2012), yaitu :

1. Klasifikasi dari permintaan dukungan yang diterima oleh service desk

memerlukan klasifikasi.

2. Pelanggan tidak dapat mengklasifikasikan permintaan dukungan secara

tepat.

3. Sulitnya mengidentifikasikan perulangan incident dari sistem service

desk.

4. Tampilan antara incident management dan problem management tidak

bekerja.

5. Service desk mencatat beberapa kasus yang terjadi untuk satu incident.

6. Ide untuk perbaikan tidak tercatat ke dalam service desk.

7. Kurang updatenya configuration management database (CMDB).

2.5 Pengukuran Menggunakan Metrik dengan GQM

Metrik merupakan bagian penting dari sistem manajemen yang

mengarahkan dan mengawasi TI sesuai arah yang telah ditentukan (Brooks, 2006,

p15). Tujuan penggunaan metrik dalam ITSM adalah :

1. Menyelaraskan objektifitas bisnis dengan teknologi informasi, dengan :

- Memberikan informasi kepada manajemen mengenai ITSM.

- Mendampingi manajemen dalam memahami kinerja TI dan isu yang

terjadi.

25  

2. Membantu memenuhi kebutuhan compliance untuk operasi bisnis, dengan :

- Membantu mencapai ISO2000, COBIT maupun sertifikasi lainnya.

- Meminimalkan interupsi atau gangguan dari bisnis.

3. Mendorong operational excellence dari TI secara strategik, dengan :

- Memastikan kinerja TI dan proses-proses terkait.

- Mengawasi proses ITSM.

- Mengelola TI secara taktis.

- Memaksimalkan produktifitas kinerja dan kinerja TI.

Prinsip metode GQM adalah menyediakan model untuk membantu

manajer piranti lunak untuk merancang serangkaian metrik piranti lunak untuk

mengurangi dan mengintegarsikan bermacam-macam objek dari proses piranti

lunak dan prodk dengan pendekatan yang sistematik (Hong et al., 2010).

Goal Question Metrics Method (GQM) adalah metode yang dimulai dari

mendesain tujuan tingkat atas dari proyek, kemudian dibuatkan serangkaian

pertanyaan untuk tiap goal dimana tiap pertanyaan akan dijawab jika goal

tercapai, dan kemudian metrik digunakan untuk mengukur hasil dari pertanyaan

tersebut. Brooks (2006) menjelaskan bahwa pada ITSM, tujuan tingkat yang

dimaksud adalah goals dari proses.

Model GQM awalnya didefinisikan untuk mengeveluasi kesalahan dari

serangkaian proyek di NASA Goddard Space Flight Center. Metode ini dibangun

dengan mengidentifikasikan serangkaian kualitas dan atau produktifitas pada

tingkatan perusahaan, divisi atau proyek seperti kepuasan pelanggan, on-time

delivery dan peningkatan kinerja. hasil dari penerapan aplikasi pendekatan GQM

26  

adalah spesifikasi sistem pengukuran yang menargetkan sekumpulan isu tertentu

dan sebuah kumpulan peraturan untuk interpretasi pengukuran data (Basili et al.,

1996).

 Gambar 2.3 Struktur Model GQM (Hong et al., 2010)

 

2.6 Fishbone Diagram

Menurut Bilsel et al. (2012), masalah dan gangguan biasa terjadi dalam

semua sistem. Usaha pencegahan dihabiskan untuk memperbaiki permasalahan

yang terjadi untuk memastikan keberlangsungan sebuah sistem. Diagram

ishikawa yang juga disebut fisbone diagram atau cause and effect diagram

merupakan sebuah alat yang mudah dan efektif untuk mengidenfitifikasi beberapa

penyebab dari masalah.

Fishbone diagram terdiri dari tulang utama yang merupakan penyebab

utama masalah yang saling terhubung. Setiap penyebab utama mungkin memiliki

beberapa sub penyebab yang menyebabkan penyebab utama. Demikian pula

setiap sub mungkin memiliki penyebab tingkat ketiga (Bilsel et al., 2012).

 

27  

 

Gambar 2.4 Fishbone Diagram (Bilsel et al., 2012)

2.7 Technology Acceptance Model (TAM)

Technology Acceptance Model yang dikembangkan oleh Davis (1989)

menyatakan kesuksesan diterimanya sebuah sistem oleh pengguna ditentukan oleh

tiga faktor yaitu persepsi terhadap kemudahan penggunaa (perceived of

usefullness), persepsi terhadap kemanfaatan (perceived ease of use) dan sikap

terhadap penggunaan (attitudes towards usage).

Desain dan implementasi dari sistem informasi mahal dan mengandung

resiko. Beragam upaya dilakukan untuk memahami proses dan hasil yang

diharapkan. Hasil yang penting dari upaya ini adalah mengelompokkan beberapa

faktor ke dalam sebuah model untuk mempermudah analisa penggunaan sebuah

sistem informasi. Model ini menunjukkan persepsi kemanfaatan dan kemudahan

penggunaan sebuah teknologi atau sistem yang memperkirakan sikap terhadap

teknologi dan kebiasaan menggunakan sistem atau teknologi tersebut (Bahli et al.,

2004).

28  

Technology Acceptance Model secara luas digunakan dalam persepsi

penerimaan sebuah teknologi. Berdasarkan Tehcnology Acceptance Model akan

meningkatkan pemahaman bagaimana atribut teknologi dirasakan (persepsi

kesesuaian teknologi) dan kepercayaan internal (merasakan manfaat dan

kemudahaan penggunaan) akan mempengaruhi perilaku menerima sebuah

teknologi baru (Wen, 2008).

 

Gambar 2.5 Technology Acceptance Model (Bahli et al, 2004)

Dari teori TAM, kebiasaan penggunaan sistem informasi mayoritas

dijelaskan dengan kecenderungan perilaku untuk menggunakan sebuah sistem

ditentukan oleh persepsi kemanfaatan dan persepesi kemudahan penggunaan

terhadap sebuah sistem (Shroff et. al, 2011).

29  

2.7.1 Perceived Usefullness

Persepsi terhadap kemanfaatan atau perceived usefullness (PU)

didefinisikan sebagai sebuah ukuran dimana seseorang percaya jika menggunakan

sebuah teknologi akan meningkatkan kinerja mereka (Davis et. al, 1989).

Sun, et. al, (2006) mendukung hasil penelitian Davis (1989) bahwa

hubungan perceived usefulness dengan attitude toward use, behavior intention to

use mempunyai hasil yang konsisten, terlihat dari 72 studi hasil penelitiannya,

dengan 71 studi memperoleh hasil bahwa perceived usefulness mempunyai

hubungan yang signifikan dengan attitude toward use dan behavior intention to

use.

2.7.2 Perceived Ease of Use

Persepsi terhadap kemudahan penggunaan atau perceived ease of use

(PEU) didefinisikan sebagai ukuran dimana seseorang percaya bahwa

menggunakan sistem tertentu mudah dipahami dan digunakan (Davis, 1989).

Davis et al. (1989) membuktikan bahwa perceived ease of use mempunyai

dampak baik secara langsung atau tidak langsung pada perceived usefulnes,

melalui attitude toward use.

Hubungan antara perceived ease of use dengan perceived usefulness dari

50 studi sebelumya 43 studi menunjukkan hubungan yang signifikan sedangkan 7

studi lainnya memperoleh hasil tidak signifikan (Sun et. al, 2006).

Persepsi terhadap kemanfaatan akan sebuah sistem tidak akan membantu

memberikan manfaat apabila mereka meyakini bahwa sistem sulit digunakan

sehingga usaha yang dikeluarkan untuk mencapai kinerja tidak sepadan dengan

30  

hasil yang dicapai. Hal ini menunjukkan bahwa perceived ease of use

mempengaruhi perceived usefulness dan attitude toward to use.

2.7.3 Attitude Toward Use

Sikap terhadap penggunaan atau attitude toward use (ATT) diungkapkan

sebagai bentuk penerimaan atau penolakan bila menggunakan sebuah sistem

dalam pekerjaannya (Davis, 1993).

2.7.4 Behaviour Intention to Use

TAM menyarankan penggunaan sebenarnya sebuah sistem ditentukan oleh

kecenderungan perilaku untuk menggunakan sebuah sistem atau behaviour

intention to use (BIU) dipengaruhi oleh sikap terhadap penggunaan dan persepsi

kemanfaatan (Shroff et. al, 2011).