Upload
doliem
View
232
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Maskapai Penerbangan
2.1.1 Konsep Umum Bisnis Penerbangan
Manurung (2010) menjelaskan bahwa jasa komersial angkutan udara di dunia
dimulai di Amerika Serikat (AS) pada tahun 1938. Amerika Serikat mengadakan
kongres yang hasilnya mempermudah entry usaha penerbangan swasta. Deregulasi
tersebut membuat industri penerbangan tumbuh dengan cepat. Antara tahun 1945
sampai 1951 muncul 90 perusahaan penerbangan lokal yang mendapatkan sertifikat
Civil Aeronautics Board (CAB). Hal tersebut mengakibatkan adanya persaingan yang
ketat di antara perusahaan-perusahaan penerbangan di pasar yang sama di AS.
Awalnya, industri penerbangan memiliki regulasi yang ketat dari otoritas
penerbangan pemerintah. Namun pada tahun 1978 di AS muncul deregulasi
penerbangan khusus kebebasan dalam kebijakan harga. Persaingan tarif pun mulai
terjadi sehingga munculah penerbangan bertarif rendah (low fare airlines). Agar
mencapai keuntungan yang diharapkan, perusahaan penerbangan pun berupaya
meningkatkan volume penjualan. Upaya-upaya yang dilakukan tersebut
15
mengakibatkan persaingan yang keras untuk memperebutkan pasar angkutan udara
(Manurung, 2010).
Manurung (2010) kembali menjelaskan, perubahan lingkungan dalam industri
penerbangan seperti yang disebutkan di atas mengarahkan harga tiket ke harga yang
lebih rendah. Namun ada juga perubahan lingkungan yang membawa harga menjadi
lebih tinggi. Pada tahun 1973, embargo Arab atas minyak dunia membawa dampak
yang luar biasa pada industri penerbangan. Harga minyak melonjak tajam hingga
mencapai 222%. Padahal proporsi fuel cost pada biaya penerbangan telah mencapai
20%-30% dan biaya tenaga kerja mencapai 45% dari total biaya operasi perusahaan
penerbangan.
Perubahan pada faktor biaya minyak dan tenaga kerja merupakan masalah
bagi industri penerbangan di AS. Dengan kondisi persaingan yang ketat lalu ditambah
dengan kenaikan kedua faktor biaya tersebut, pemerintah AS kembali melakukan
deregulasi di tahun 1978. Tujuan deregulasi tersebut adalah untuk menjadikan
industri penerbangan menjadi lebih mermutu dengan memperhatikan efisiensi,
inovasi, harga rendah, dan pilihan layanan. Ternyata deregulasi baru tersebut
mendorong perusahaan meningkatkan frekuensi penerbangan untuk mencapai skala
ekonomi, sehingga tekanan persaingan semakin tinggi di industri ini (Manurung,
2010).
Untuk mengantisipasi pertumbuhan trafik tersebut, mendorong industri lain
yang sejenis untuk mengambil langkah penyesuain. Contohnya pada perusahaan
pesawat terbang lain, perusahaan memproduksi pesawat jet berbadan lebar (wide-
body aircraft) sehingga mampu mengangkut penumpang lebih banyak. Tetapi
16
kebijakan ini tidak memperbaiki kondisi, karena berakibat load factor rata-rata anjlok
menjadi 50% di tahun 1970 dari 70% sebelumnya di tahun 1950. Demikian yang
disebutkan oleh Chan dan Barry (2005) dalam buku Manurung (2010).
Hal tersebut merupakan masalah yang ketiga, yaitu kemerosotan utilitas
kapasitas perusahan penerbangan. Ketiga masalah tersebut menurunkan pendapatan
perusahaan penerbangan dan meningkatkan pengeluaran investasi pada pembelian
pesawat baru berbadan lebar. Posisi ini yang menjadikan para pemain pada industri
penerbangan mengalami ”stuck-in-the-middle” (Manurung, 2010).
Di tengah permasalahan tersebut, muncullah maskapai Southwest Airlines
pada tahun 1970-an. Perusahaan maskapai ini menampilkan model baru pada industri
penerbangan. Inovasi yang dijalankan berorientasi pada low fare airlines. Bentuk
pelayanan yang diberikan sangat berbeda dengan full service carrier yang berelaku
pada saat itu. Mulai dari rute terbang yang pendek dari poin ke poin, memiliki
pesawat dengan tipe yang sama, tidak memiliki nomor tempat duduk, tanpa adanya
agen penjualan, dan tidak menyajikan makanan dan minuman yang menjadikan harga
menjadi lebih murah (Carpenter dan Sanders, 2007 dalam buku Manurung, 2010).
Manurung (2010) mengatakan dalam bukunya, walaupun model bisnis serba
minim dan hanya pada pasar domestik di AS, Southwest Airlines membangkitkan
kekuatan persaingan pada sektor industri penerbangan untuk meraih profit yang
konsisten. Perusahaan tersebut menduduki peringkat 10 di antara perusahaan
penerbangan dunia dalam hal passenger-kilometres pada tahun 2004, dan di peringkat
ke-3 sesudah Delta Airline dan American Airlines dalam hal jumlah penumpang.
Southwest Airlines dapat dijadikan panutan bagi perusahaan penerbangan global,
17
terutama bagi new entrants seperti Lion Air di Indonesia, Air Asia di Malaysia, Jet
Star dan Virgin Blue di Australia, Ryanair dan Eastjet di Eropa, dan lainnya.
Dengan demikian, bagi perusahaan penerbangan ada 3 dominan logic strategi,
yaitu low fare airlines, full service airlines, dan campuran antara keduanya
(Manurung, 2010).
2.1.2 Low Fare Airlines
Konsep penerbangan ”tanpa embel-embel” telah ada cukup lama, bahkan
sudah berkembang selama beberapa tahun terakhir. Maskapai yang pertama kali
mulai mengoperasikan konsep ini adalah maskapai dari AS pada tahun 1970.
Beberapa tahun setelah maskapai ini berkembang di AS, beberapa maskapai di Eropa,
Amerika Selatan, dan Asia Pasifik mulai mengikuti strategi ini. Walaupun banyak
yang menganggap pasar low cost carrier sebagai pasar yang sukses, namun banyak
perusahaan maskapai yang mengalami kegagalan di tengah kompetisi dan permintaan
pasar (Doring, 2009).
Menurut Doring (2009), ”No-Frills” (penerbangan ”tanpa embel-embel”) atau
low fare airlines dapat didefinisikan sebagai tindakan pengoperasian untuk biaya
yang lebih rendah. Tujuan dari strategi ini adalah untuk mengirimkan inti produk, di
kasus penerbangan ini adalah untuk menerbangkan penumpang dari A ke B, dan tidak
fokus pada keutamaan tertentu seperti tempat duduk yang nyaman atau makanan yang
enak. Tujuan dari konsep ini adalah harga murah bagi para konsumennya, dan untuk
18
membentuk keunggulan kompetitif dibandingkan maskapai lainnya. Poon & Waring
(2010) juga menjelaskan, model bisnis penerbangan low fare airlines merupakan
istilah untuk maskapai yang mengurangi pelayanan di dalam pesawat, perjalanan dari
poin ke poin, pemanfaatan pesawat yang tinggi, hanya memiliki satu tipe pesawat,
meminimalisir reservasi tiket dengan teknologi IT, dan para karyawannya melakukan
multi role dalam pekerjaannya.
2.1.2.1 Model Bisnis Low Fare Airlines
Dalam memilih strategi yang kompetitif, kunci dari pertimbangan untuk
strategi perusahaan adalah bagaimana mengkonfigurasikan persamaan nilai, sehingga
dapat memenuhi tuntutan pelanggan dengan yang terbaik. Untuk strategi low fare
airlines, berarti perusahaan berusaha untuk mencapai harga serendah mungkin untuk
layanan mereka. Struktur biaya merupakan perbedaaan yang jelas antara LCC dengan
maskapai yang menggunakan full service airlines (Lawton dan Salomko, 2005).
Selain itu, Lawton dan Salomko (2005) menunjukkan bahwa perbedaan utama
antara maskapai yang menggunakan full service airlines dan LSA adalah struktur
biaya, yang dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu layanan tabungan (contohnya
tanpa ada makanan dan minuman gratis), penghematan operasional (contohnya
terbang dari poin ke poin), dan overhead saving (contohnya penjualan melalui
internet dan birokrasi yang efisien).
19
Doganis (2001) dalam Manurung (2010) berpendapat bahwa LSA memulai
dengan dua keunggulan biaya yang timbul dari sifat pengoperasian LSA, yaitu
kepadatan tempat duduk yang tinggi dan pemanfaatan pesawat terbang yang lebih
tinggi sehari-harinya. Dengan menghapus kelas bisnis dan konfigurasi ulang
pesawat, FSA secara signifikan dapat meningkatkan jumlah kursi di dalam pesawat.
Secara keseluruhan, Doganis menghitung bahwa FSA harus mampu beroperasi
dengan biaya kursi yang hanya terisi 40%—50% dari keseluruhan. Jika hal ini
dikombinasikan dengan differensiasi factor beban yang dignifikan dan rendahnya
biaya distribusi, maka biaya penumpang FSA dapat turun menjadi sekitar sepertiga
dari penerbangan tradisional atau full service airlines.
2.1.2.2 Strategi Pemasaran Low Fare Airlines
Low fare airlines telah merevolusi industry penerbangan di Indonesia dan
membuat seluruh lapisan masyarakat mampu menggunakannya. Tidak ada keraguan
bahwa maskapai LFA di Indonesia telah luar biasa sukses, tetapi tidak semua
maskapai telah sukses berkompetisi di pasar ini.
Daniel Doring (2009) berpendapat bahwa maskapai-maskapai yang
berkompetisi dengan konsep LFA telah ada sejak pertengahan tahun 90-an, dengan
menyederhanakan model bisnisnya jika dibandingkan denga maskapai tradisional.
Maskapai dengan konsep low fare airlines telah menjadi sukses karena keuntungan
dari biaya per unit, yang memberikan kemungkinan untuk menawarkan harga murah.
20
Melalui strategi tersebut mereka telah merangsang permintaan pasar, dan menaikkan
pendapatan. LFA telah menciptakan pasar yang sangat kompetitif, yang juga sangat
mempengaruhi maskapai tradisional.
Daniel Doring (2009) juga mengatakan bahwa maskapai pertama
menggunakan strategi ini dengan sukses adalah Southwest Airline di AS. Strategi
LFA yang orisinil adalah sebagai berikut:
1) Harga rendah
2) Tingginya jumlah penerbangan
3) Pelayanan dari poin ke poin
4) Tidak ada makanan atau minuman gratis dalam pesawat
5) Tidak ada nomor kursi
6) Penerbangan jarak pendek
7) Penerbangan bukan ke airport utama
Penerbangan jarak pendek disini diartikan dalam buku Manurung (2010)
sebagai rute yang berjarak 400-600 mil atau 600-900km. Biasanya jarak tersebut
ditempuh dalam waktu 3-3,5 jam.
Beberapa maskapai bertujuan untuk menawarkan harga yang sangat rendah
agar dapat berkompetisi dengan transportasi yang lain, seperti kereta api, kapal laut,
dan lainnya. Untuk itu, maskapai tersebut memiki focus utama pada pemotongan
biaya di setiap bagian dari industri tersebut (Daniel Doring, 2009).
21
2.1.3 Full Service Airlines
Menurut Manurung (2010), konsep full service lebih dikenal dengan model
bisnis penerbangan tradisional (legacy carriers). Dalam konsep ini, yang ditekankan
adalah layanan yang lengkap dan berkualitas juga dengan harga yang premium.
Layanan yang diberikan dilakukan secara menyeluruh, frekuensi penerbangan yang
fleksibel, adanya pemberian fasilitas lounge, pemberian makanan dan minuman,
tempat duduk yang longgar dengan fasilitas televisi, dan sebagainya. Untuk
mendukung layanan yang berkualitas, bandara yang digunakan pun adalah bandar
udara utama.
Untuk operasional pemasaran masih mengandalkan agen tiket sebagai mitra
penjualan. Jumlah tempat duduk dan tiket yang dijual pun sudah diatur. Hal inilah
yang menjadikan sistem reservasi dan rute penumpang pada full service sangat
kompleks. Agar tercipta desain layanan yang berkualitas dan fleksibel, konsep ini
menggunakan jenis pesawat besar atau berbadan lebar, dengan tipe pesawat yang
berbeda pula, sehingga utilisasi rata-rata hanya 60% dari maksimum jam penerbangan
per hari (Manurung, 2010).
2.1.4 Low Fare Airlines Versus Full Service Airlines
Ada berbagai macam hal yang membedakan konsep low fare airlines dan full
service airline seperti dalam tabel di bawah ini:
22
Table 2.1
Karakteristik Low Fare Airlines dan Full Service Airlines
Features Low Fare Airlines Full Service Airlines
Generic Strategy Cost leadership Differentiation
Jenis Pesawat
Umumnya kecil, tetapi
pemain utama
Tipe pesawat besar
Model Operasional
- Point to point jarak
pendek (400-600
nautical miles)
- Rute utamanya short
haul
- Tipe pesawat seragam
- Utilisasi tinggi (70%-
80%)
- Rute gabungan short
haul/medium dan long-haul
- Tipe pesawat dan mesin
bermacam-macam
- Utilisasi moderate (^)%)
Pasar
Cheap travel sector of
the market,
segmentation by time of
booking dan pilihan
penerbangan dengan
kuliatas dan jasa dasar,
seperti:
Normally in competition with other
FSCs, leading to differentiation by
class (quality) of service, with high
service image, including:
- Frekuensi schedule dan
fleksibilitas penerbangan.
- Layanan dalam penerbangan
23
- Tidak ada catering
(harus membayar)
- Pengguna airport
typically secondary
extensive.
- Pengguna airport utama.
Inventory
Management
Inventory management
simplified: direct or
online bookings, ticket
less, no use of travel
agents.
Pre arranged tickets and seats:
reservation system complex, due to
feeder routes: use of travel agents.
Sumber: Manurung (2010)
Penerbangan jarak pendek disini diartikan dalam buku Manurung (2010)
sebagai rute yang berjarak 400-600 mil atau 600-900km. Biasanya jarak tersebut
ditempuh dalam waktu 3-3,5 jam.
2.1.5 PT. Indonesia AirAsia
PT. Indonesia AirAsia adalah salah satu maskapai yang menggunakan konsep
penerbangan berbiaya rendah (low fare airlines). Indonesia AirAsia membawa
konsep penerbangan berbiaya rendah yang sebelumnya telah dikembangkan oleh
maskapai penerbangan South West di Amerika dan Ryan Air di Eropa. Mengacu
pada kesuksesan mereka, induk perusahaan AirAsia yang berada di Malaysia tertarik
untuk mengembangkan konsep itersebut di Indonesia. AirAsia masuk pada tahun
24
2004 dengan menggunakan maskapai penerbangan Awair (Air Wagon International)
yang sedang bermasalah dan berhenti beroperasi. Awair berubah nama menjadi PT.
Indonesia AirAsia pada tanggal 1 Desember 2005 dan diluncurkan kembali pada
tanggal 8 Desember 2005 sebagai maskapai penerbangan berbiaya rendah dengan
menggunakan konsep yang sama dengan Grup AirAsia (AirAsia, 2007).
Visi dari AirAsia adalah menjadi maskapai penerbangan berbiaya rendah yang
terbesar di Asia dan melayani 3 milyar orang yang sekarang dilayani dengan
konektivitas yang kurang baik dan tarif yang mahal.
Misi dari AirAsia adalah:
Untuk menjadi perusahaan terbaik untuk bekerja dimana karyawan
diperlakukan sebagai bagian dari keluarga besar.
Menciptakan brand ASEAN yang diakui secara global.
Mencapai biaya terendah, sehingga setiap orang dapat terbang dengan
AirAsia.
Mempertahankan produk berkualitas tinggi, menggunakan teknologi
untuk mengurang biayam dan meningkatkan kualitas layanan.
Nilai perusahaan AirAsia adalah dengan membuat model berbiaya rendah
melalui penerapan strategi utama berikut:
- Safety first, bermitra dengan provider pemeliharaan paling terkenal di
dunia dan sesuai dengan operasi penerbangan dunia.
- Pemanfaatan pesawat tinggi
25
Ada beberapa faktor keberhasilan AirAsia yang disebutkan oleh Sen Ze dan
Jayne Ng (2007) dalam bukunya, yaitu:
1. Model bisnis yang menguntungkan.
Dengan modal capital yang begitu besar diperlukan untuk mendapatkan
pesawat dan membayar pilot beserta staf lain, selain itu pula untuk memenuhi
biaya bahan bakar yang meningkat, dan biaya lainnya, AirAsia mampu
mendapatkan keuntungan dalam tahun pertama operasinya. Ini merupakan
langkah yang diperlukan keahlian dan keberanian. Berikut model bisnis yang
menguntungkan yang menjadi salah satu faktor keberhasilan AirAsia:
Perjalanan adalah industri besar
Di seluruh dunia, milyaran orang berpindah dari satu tempat ke tempat
lainnya dengan alasan masing-masing dan hal ini akan terus
berlangsung sampai akhir masa. Jika memulai suatu bisnis, salah satu
cara untuk meningkatkan peluang keberhasilan adalah dengan berkerja
dalam suatu industri yang menjanjikan banyak prospek. Industri
perjalanan tidak diragukan lagi sebagai bisnis besar yang memberikan
peluang tersebut, dan AirAsia sadar akan hal ini. Dengan cerdasnya,
AirAsia menawarkan produk dan jasanya kepada konsumen yang
menginginkan tarif murah.
Orang selalu terbang
Tidak ada bisnis yang lebih baik dari bisnis yang berulang, dimana
konsumen yang sama merasa puas. Dalam industri perjalanan berbiaya
tinggi, konsumen yang berulang adalah yang selalu diharapkan.
26
Dengan adanya permintaan untuk transportasi secara terus-menerus,
maka masuk akala jika penyedia jasa perjalanan melihat pada
konsumen berulang sebagai pendukungnya. Cara AirAsia
melakukannya adalah dengan menawarkan diskon dan promosi tarif
rendah.
Asia adalah pasar besar
Asia merupakan benua terbesar di dunia, dengan penduduk daratan
yang padat di dunia. Begitu juga dengan Indonesia yang dengan
penduduk terbanyak keempat di dunia. AirAsia tahu, dalam jangka
waktu yang lama ke depan cukup untuk dinikmati hasilnya.
AirAsia bertahan sebagai model bisnis yang mapan
Model maskapai udara berbiaya rendah AirAsia merupakan hasil
salinan dari Eropa dan Amerika. AirAsia memilih model yang telah
terbukti keberhasilannya dengan biaya yang rendah dalam pasar yang
besar dan menggunakan model yang benar juga dengan mengontrol
biaya, membuat AirAsia meraih keberhasilannya.
Model armada biaya rendah menjaga biaya tetap rendah sampai di
tingkat minimum
Berikut beberapa cara AirAsia menurunkan biaya:
Dengan meniadakan makanan, namun tetap menjualnya bagi
mereka yang membutuhkan.
Sebagian besar penerbangan butuh waktu 3 sampai 3,5 jam
perjalanan, yang memungkinkan untuk menggunakan awak
27
kabin yang sama untuk penerbangan balik dari tujuan
kedatangan kembali ke tujuan pemberangkatan dengan
penumpang baru. Hal ini dapat menurunkan biaya gaji awak
kabin.
Tidak ada biaya yang dimasukkan untuk akomodasi awak
kabin pada tujuan kedatangan karena mereka kembali ke
rumah di hari yang sama.
AirAsia merencanakan tujuannya dengan cermat, dengan
terbang hanya ke tempat-tempat yang dapat dicapai dalam 3
sampai 3,5 jam.
Konsumen didorong untuk membeli tiket pada internet untuk
mengurangi kebutuhan akan konter tiket dan staf, dan juga
tanpa adanya tiket, tetapi hanya kode tiket dan rincian
penerbangan yang dapat dicetak sendiri oleh pelanggan.
AirAsia mencari landasan termurah.
Jika ada rute penting dan tidak dapat menghindari landasan
yang mahal, maka tidak semua fasilitas digunakan, seperti
jembatan layang. Parkiran pesawat pun berada di samping
ruangan terjauh dari pusat bandara.
Melakukan hedging terhadap biaya bahan bakar
Bahan bakar dapat mengabiskan 60% dari total biaya operasional.
AirAsia membayar bahan bakar dimuka untuk menjaga harga
terendah, sehingga meminimalkan resiko kenaikan harga bahan bakar.
28
Model bisnis yang menguntungkan
Pesawat tidak membawa muatan penuh setiap harinya, maka AirAsia
menawarkan tiket rendah. Dan kunci untuk mendapatkan keuntungan
yang lebih besar bagi AirAsia adalah dengan lebih banyak rute dan
lebih banyak pesawat.
Dengan harga rendah semacam itu, setiap orang dapat terbang
Maskapai berbiaya rendah dapat memasuki sumber prospek baru yang
belum pernah ada sebelumnya, contohnya penumpang yang tidak
dapat bepergian dengan maskapai layanan penuh. Hanya dengan
beberibu rupiah saja (jika orang tersebut bersabar menunggu harga
promosi) orang yang sebelumnya tidak mampu bepergian dengan
pesawat udara, sekarang dapat bepergian sesuai tujuan mereka.
Media menyukai kisah AirAsia
AirAsia mendapat publisitas gratis di media karena kisah
keberhasilannya. Selain itu Tony Fernandes, CEO AirAsia mengetahui
bagaimana masuk ke dalam kekuatan media.
2. Menghasilkan keuntungan walaupun menjual tiket dengan harga murah.
AirAsia menjual tiket dengan harga yang sangat murah secara reguler dan
tetap dapat menghasilkan ratusan milyar. Tidak setiap tempat duduk di setiap
pesawat akan terisi, namun AirAsia tahu berdasarkan pengalaman rute-rute
mana yang paling sibuk. Daripada membiarkan tempat duduk itu kosong,
lebih baik AirAsia menawarkan dengan harga yang sedemikian rendah. Bukan
merupakan masalah menjual tempat duduk sekali jalan dengan harga Rp 2.475
29
jika memang tempat duduk tersebut tidak akan ditempati. Sehingga AirAsia
mengumumkan harga ini ke masyarakat umum dan mendapatkan manfaat dari
publisitas yang beredar. Kalaupun tempat duduk itu tidak terjual, AirAsia
tetap memperkuat posisinya dalam benak konsumen sebagai maskapai biaya
rendah yang sebenarnya. Ringkasnya, dengan mengiklankan tempat duduk
yang sangat murah untuk tujuan tertentu, AirAsia:
Menjual tempat duduk yang jika tidak ditawarkan pun akan kosong
Pesawat yang terisi penuh dapat memberikan kesan lebih baik kepada
penumpang, yang meyakinkan bahwa maskapai tersebut berjalan
dengan baik.
Menjual tempat duduk berminggu-minggu sebelumnya, mengisi penuh
pesawat lebih dari yang dapat dilakukan sebelumnya
Banyak konsumen yang memesan tiket berbulan-bulan sebelumnya
untuk dapat terbang ke tujuan tertentu, sehingga dapat menikmati tarif
yang jauh lebih murah walaupun mereka tidak yakin dapat pergi pada
tanggal tersebut. Namun tidak masalah kehilangan Rp 50.000 dalam
suatu kegiatan yang tidak dapat mereka hadiri pada tanggal tersebut.
Menarik keingintahuan dari prospek yang bahkan tidak akan berpikir
untuk terbang
Setiap orang terbiasa akan harga tinggi untuk sebuah tiket udara,
sehingga ketika harga tiket lebih murak daripada harga bus, maka
orang akan tertarik untuk terbang.
30
Menggiring sebagian prospek menjadi pelanggan yang membayar
harga reguler jika tempat duduk termurah habis
Dapat memungkinkan untuk menggiring konsumen untuk membeli
tiket harga reguler yang masih jauh lebih murah daripada tiket yang
ditawarkan maskapai udara lain.
Memungkinkan para peragu untuk mengalami layanannya
AirAsia memberikan pengalaman terbang yang menyenangkan
walaupun dengan model harga yang rendah. Hal ini penting untuk
menunjukkan bahwa tingkat kenyamanan dan kepuasan tidak
diperuntukkan demi keuntungan semata.
Lebih jauh memperkuat posisinya sebagai maskapi biaya rendah
Iklan reguler tentang harga yang rendah merupakan hal kuat yang
secara permanen akan melekatkan nama maskapai di benak pelanggan.
Menciptakan pemasaran mulut ke mulut melalui iklan dan dari
pengalaman pelanggan
Jika konsumen puas, maka merupakan iklan yang potensial bagi
AirAsia, yang menyebarkan kata kepada ratusan teman dan kontak.
Dengan mudah meraih kesadaran cepat diingat, perlahan menyisihkan
pesaing dari benak prospek dan pelanggan
AirAsia memperoleh keberhasilan karena pemahamannya yang tepat,
dan dengan pemasaran yang agresif serta kampanye publisitas yang
terus mengisi media secara reguler.
31
3. Keuntungan sebagai yang pertama bergerak.
Model maskapai berbiaya rendah bukan model yang baru dan teruji. AirAsia
hanya menyesuaikan model yang teruji oleh Ryanair dan Easyjet. Dengan
model yang dimiliki ini, AirAsia mencanangkan dengan sebuah tagline yang
sederhana dan efektif “Now Everyone Can Fly (Sekarang Setiap Orang Dapat
Terbang).” Strategi sederhana ini member keuntungan kepada penggerak
pertama dalam sebuah pasar yang didominasi oleh maskapai udara layanan
penuh uang menetapkan tarif udara yang terlampau tinggi. AirAsia
mengiklankan ongkos rendahnya secara teratur di media, terutama surat kabar.
Tony Fernandes juga memberikan wawancara secara berkala mengenai
kemajuan AirAsia.
2.1.6 PT. Garuda Indonesia
Sejarah penerbangan komersial di Indonesia berada pada masa perjuangan
rakyat Indonesa dalam usaha mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Penerbangan
komersial pertama menggunakan pesawat DC-3 Dakota dengan registrasi RI 001 dari
Calcutta ke Rangoon pada tanggal 26 Januari 1949 dan diberi nama “Indonesian
Airways”. Selanjutnya pada tanggal 28 Desember 1949, pesawat tipe Douglas DC-3
Dakota dengan registrasi PK-DPD yang sudah dicar dengan logo “Garuda Indonesian
Airways” terbang dari Jakarta ke Yogyakarta untuk menjemput Presiden Soekarno.
Ini adalah penerbangan yang pertama kali dengan nama Garuda Indonesian Airways.
32
Pada tahun 1950, Garuda Indonesia resmi menjadi Perusahaan Negara. Saat
itu perusahaan memiliki 38 buah pesawat yang terdiri dari 22 jenis DC3, 8 pesawat
laut Catalina, dam 8 pesawat jenis Convair 240. Untuk pertama kalinya, pada tahun
1956, Garuda Indonesia membawa penumpang jamaah haji ke Makkah, dan pada
tahun 1965 memulai perjalanan terbangnya ke Eropa dengan tujuan akhir
Amsterdam.
Sepanjang tahun 80an, armada Garuda Indonesia dan kegiatan operasionalnya
mengalami restrukturisasi besar-besaran. Pada masa itu, perusahaan mendirikan Pusat
Pelatihan Karyawan, Garuda Training Center yang terletak di Jakarta Barat. Selain
pusat pelatihan, Garuda Indonesia juga membangun Pusat Perawatan Pesawat,
Garuda Maintenance Facility (GMF) di Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Garuda Indonesia menyusun strategi jangka panjang sampai tahun 2000 pada
awal tahun 90an. Selain itu juga perusahaan meningkatkan jumlah armada, sehingga
Garuda Indonesia termasuk dalam 30 besar maskapai penerbangan di dunia.
Di awal tahun 2005, Garuda Indonesia di bawah kendali manajemen yang
baru, membuat perencanaa baru bagi masa depan perusahaan. Upaya membangun
kekuatan keuangan perusahaan, Garuda Indonesia memiliki hutang sewa pembiayaan
dengan Europian Export Credit Agency (ECA) yang merupakan bagian terakhir
dalam restrukturisasi dan diselesaikan pada tanggal 21 Desember 2010.
Per akhir Desember 2010, struktur kepemilikan saham perusahaan adalah
85,8% milik Pemerintah Republik Indonesia, 10,6% milik PT. Bank Mandiri, 1,4%
milik PT. Angkasa Pura, dan 2,2% milik PT. Angkasa Pura II.
33
Sampai akhir 2010, Garuda Indonesia mengoperasikan 89 pesawat yang
terdiri dari 3 pesawat jenis Boeing 747-400, 6 pesawat jenis Airbus 330-300, 5
pesawat jenis Airbus 330-200, dan 33 pesawat jenis Boeing 737 Classic (seri 300,
400, 500) dan 42 pesawat Boeing 737-800 NG. Armada pesawat ini terbang ke 36
rute penerbangan domestic dengan rata-rata 434 kali penerbangan per minggu dan 25
rute internasional dengan 338 kali penerbangan per minggu dengan 12,5 juta
penumpang. Perusahaan memiliki 6.273 karyawan, termasuk 537 orang siswa yang
tersebar di kantor pusat maupun kantor cabang.
Garuda Indonesia memiliki 4 anak perusahaan untuk mendukung kegiatan
operasionalnya, yang focus pada produk atau jasa pendukung bisnis perusahaan
induk, yaitu PT. Abacus Distribution System, PT. Aero Wisata, PT. Garuda
Maintenance Facility Aero Asia, dan PT. Aero Systems Indonesia.
Visi dari Garuda Indonesia adalah:
“Menjadi perusahaan penerbangan yang handal dengan menawarkan
layanan yang berkualitas kepada masyarakat dunia menggunakan
keramahan Indonesia.”
Sedangkan misi Garuda Indonesia adalah:
“sebagai perusahaan penerbangan pembawa bendera bangsa (flag
carrier) Indonesia yang mempromosikan Indonesia kepada dunia
guna menunjang pembangunan ekonomi nasional dengan memberikan
pelayan yang professional.”
Selain itu, Garuda Indonesia juga memiliki nilai perusahaan, yakni:
“Tata nilai perusahaan yang disebut sebagai ‘Fly-Hi’ terdiri dari:
34
Efficient & effective, loyalty, customer centricity, honesty & openness,
dan integrity,”
Garuda Indonesia juga memiliki tujuan perusahaan, yaitu:
“Untuk mencapai visi perusahaan maka tujuan perusahaan adalah
menjadi maskapai penerbangan terkemuka dengan reputasi yang
sejajar dengan maskapai kelas dunia lainnya. Sedangkan sasaran
perusahaan yang hendak dicapai adalah menciptakan perusahaan
yang terus tumbuh dan berkembang dengan keuntungan
berkelanjutan.”
Dalam mewujudkan sasaran-sasaran strategi pertumbuhan Quantum Leap
2015, Garuda Indonesia telah mendapatkan beberapa pencapaian penting di tahun
2010, yaitu:
- Memperoleh pengakuan sebagai 4-Star Airline dan penghargaan The World’s
Most Improved Airline dari Skytrex serta Airline Turnaround of the Year dari
Center of Asia Pasific Aviation (CAPA).
- Memperoleh perpanjangan sertifikasi IOSA (IATA Oparational Safety Audit)
sampai tahun 2012 dan menerapkan Integrated Operational Control System
(IOCS) yang mengintegrasikan sistem guna memonitor pergerakan pesawat,
jadwal penerbangan, dan juga pergerakan anak pesawat.
- Menandatangani perjanjian untuk bergabung dengan aliansi global SkyTeam
dimana Garuda Indonesia diwajibkan untuk memenuhi persyaratan dari
SkyTeam dan pada tahun 2012, akan menjadi anggota penuh.
35
- Dengan mengeluarkan seragam baru bagi awak kabin dan frontliners yang
menciptakan citra dengan menampilkan desain batik khas Indonesia, Garuda
Indonesia menyempurkan konsep layanan Garuda Indonesia Experience.
- Telah menyelesaikan restrukturisasi hutang dengan seluruh kreditur termasuk
Europian Export Credit Agency (ECA).
- Telah melakukan persiapan akhir untuk go public dan siap melakukan
penawaran umum perdana saham di Bursa Efek Indonesia pada awal tahun
2011.
2.2 Penelitian Terdahulu
2.2.1 Factors Influencing Mode Selections of Low-cost
Carriers and a Full-service Airline in Thailand (Faktor-
faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Low-cost Carriers dan
Full Service Airline di Thailand)
Dalam jurnal Thanasupsin, Chaichana, & Pliankarom (2010) yang berjudul Factors
Influencing Mode Selections of Low-cost Carriers and a Full-service Airline in Thailand atau
“Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Low-cost Carriers dan Full Service Airline di
Thailand,” disebutkan ada beberapa penelitian lain mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli tiket maskapai low fare airlines atau full
service airline, yaitu sebagai berikut:
36
1. Pada penelitian Mason (2001), para pebisnis yang melakukan perjalanan jarak
pendek sangat sensitive mengenai harga tiket pesawat yang harus dibayar.
Para pebisnis yang menggunakan low fare airlines sangat mengacu pada
seberapa besarnya perusahaan tempat mereka bekerja, proses pemesanan tiket,
saluran untuk memesan tiket, harga, layanan di dalam pesawat, skema
frequent flyer, dan business lounges.
2. Pada penelitian lain di Afrika oleh Fourie dan Lubbe (2006), disebutkan ada
beberapa faktor yang mempengaruhi para business traveler dalam pemilihan
FSA dan LFA. Di antaranya adalah program frequent flyer, jadwal/jumlah
penerbangan, makanan dan minuman dalam pesawat, fasilitas airport lounge,
adanya pilihan tempat duduk business class, dan pilihan pre-seating. Hal
tersebut menunjukkan bahwa harga bukanlah factor penting dalam
menentukan FSA atau LFA.
3. AirAsia (2006) melakukan survey terhadap konsumen mengenai penerbangan
jarak pendek. Hasil survey tersebut mengungkapkan bahwa yang menjadi
perhatian konsumen dalam memilih maskapai penerbangan adalah harga,
jumlah dan rute penerbangan, dan waktu perjalanan, bukan poin frequent
flyer, makanan, ataupun kemudahan pemesanan.
4. Pada penelitian O’ Connell and Williams (2005) juga telah mempelajari
persepsi penumpang FSA dan LFA yang melibatkan Ryan Air, Aer Lingus,
AirAsia, dan Malaysia Airlines. Dilaporkan bahwa penumpang yang
bepergian dengan maskapai yang menggunakan model FSA memperhatikan
kelebihan, kualitas, jadwal penerbangan, koneksi, program frequent flyer, dan
37
kenyamanan, sedangkan konsumen yang menggunakan LFA focus terhadap
harga.
Pada penelitian Thanasupsin, Chaichana, & Pliankarom (2010) sendiri
menyimpulkan bahwa alasan pemilihan model maskapai udara pada masyarakat
Thailand adalah:
1) harga,
2) keamanan,
3) kenyamanan,
4) pelayanan,
5) saluran distribusi pembelian tiket, dan
6) ketepatan waktu.
Disebutkan pula, bahwa faktor yang paling mempengaruhi penumpang FSA
dalam memilih tiket adalah ketepatan waktu, dimana itu merupakan kelemahan dari
LFA. Sedangkan faktor yang paling mempengaruhi keputusan penumpang LFA
adalah harga, dimana harga yang merupakan kekuatan dari LFA. Dikatakan pula,
apabila LFA dalam melakukan ketepatan waktu dalam penerbangan dengan level
yang sama dengan LFA, maka konsumen akan ada kenaikkan penumpang sekitar
40%.
38
2.2.2 How do Consumers Value Airline Services Attributes? A
Stated Preferences Discrete Choice Model Approach
(Bagaimanakah Konsumen Menilai Atribut Layanan
Sebuah Maskapai Penerbangan?)
Dalam jurnal Pereira, Almeida, Menezes, dan Vieira (2007) yang berjudul
How do Consumers Value Airline Serivces Attributes? A Stated Preferences Discrete
Choice Model Approach atau “Bagaimanakah Konsumen Menilai Atribut Layanan
Sebuah Maskapai Penerbangan?” telah diadakan penelitian factor-faktor yang
mempengaruhi keputusan konsumen dalam membeli tiket maskapai penerbangan.
Penelitian tersebut dilakukan pada calon penumpang maskapai penerbangan di
bandara Funchal, Portugis kepada 325 orang calon penumpang. Atribut yang
digunakan untuk mengukur factor-faktor yang mempengaruhi keputusan pembelian
tiket tersebut adalah harga, penalty pada perubahan tiket, ketepatan waktu,
kenyamanan, dan frekuensi penerbangan.
Atribut yang digunakan pada variabel-variabel dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1) harga,
2) penalty untuk perubahan tiket,
3) makanan,
4) kenyamanan: ruang kaki di antara kursi (leg-room),
5) frekuensi penerbangan: 2, 4, dan 6 kali penerbangan per hari,
39
6) reliability (jaminan ketepatan waktu): ada atau tidaknya kompensasi untuk
keterlambatan, ada atau tidaknya tiket gratis untuk perjalanan yang sama,
dan tiket diganti uang kembali.
Kesimpulan yang didapatkan pada penelitian ini bahwa para konsumen di
bandara Funchal, Portugis bersedia membayar dengan harga lebih tinggi demi
mendapatkan pelayanan dan ketepatan waktu keberangkatan.
2.2.3 Service Quality, Satisfaction, and Behavioural Intention:
A Study of Low-cos Airline Carriers in Thailand
(Kualitas Pelayanan, Kepuasan dan Perilaku
Keinginan: Penelitian Low-cost Carriers di Thailand)
Saha dan Theingi (2009) dalam jurnalnya yang berjudul Service Quality,
Satisfaction, and Behavioural Intention: A Study of Low-cos Airline Carriers in
Thailand atau ”Kualitas Pelayanan, Kepuasan dan Perilaku Keinginan: Penelitian
Low-cost Carriers di Thailand” menuliskan bahwa kualitas pelayanan sangat
berhubungan dengan kepuasan konsumen dan keuntungan perusahaan. Dimensi
kualitas pelayanan yang tradisional, yaitu reliability (kehandalan), assurance
(jaminan), tangibility (berwujud), empathy (empati), dan responsiveness (responsif)
telah dikembangkan pada penelitian ini agar sesuai dalam mengukur kualitas layanan
40
dalam pembahasan low service airlines dan disimpulkan menjadi 4 (empat) faktor
yang luas, yaitu:
1) tangible factors (faktor-faktor yang berwujud), seperti baru/tidaknya
pesawat, tempat duduk, dan air conditioning (AC),
2) flight schedule factors (faktor-faktor jadwal penerbangan), seperti
kenyamanan jadwal dan ketepatan waktu keberangkatan dan kedatangan
penerbangan,
3) flight attendants (pramugara/i), seperti pakaian dan penampilan,
pengetahuan dalam memberikan pelayanan, dan keramahan pada
penumpang, dan
4) ground staff (staf lapangan), menyangkut hal-hal yang digunakan oleh
pramugara/i.
Keempat faktor tangible factors, flight schedule factors, flight attendants, dan
ground staff tersebut dikatakan akan mempengaruhi kepuasan konsumen. Saha dan
Theingi kembali mengukur dimensi kepuasan dengan 3 (tiga) hal, yaitu:
1) kepuasan dengan harga,
2) kepuasan dengan pelayanan, dan
3) kepuasan secara keseluruhan dengan maskapai.
Apabila konsumen mendapatkan kepuasan, maka akan mendorong konsumen
untuk melakukan keputusan pembelian lagi di masa yang akan datang. Sehingga,
dalam penelitian ini disimpulkan bahwa kualitas pelayanan mempengaruhi kepuasan
konsumen, dan kepuasan konsumen mempengaruhi keputusan pembelian.
41
Hasil yang diungkapkan dalam penelitian ini bahwa variabel jadwal memiliki
pengaruh positif yang paling kuat dan memiliki perbedaan yang signifikan
dibandingkan variabel lainnya terhadap kepuasan penumpang dan juga terhadap
keputusan pembelian.
2.2.4 Service Quality and Satisfaction for Low Cost Carriers
(Kualitas Pelayanan dan Kepuasan untuk Low Cost
Carriers)
Ariffin, et al (2010) menuliskan dalam jurnal Service Quality and Satisfaction
for Low Cost Carriers atau ”Kualitas Pelayanan dan Kepuasan untuk Low Cost
Carriers” bahwa sebagian besar penumpang melihat suatu maskapai penerbangan
dari kualitas pelayanannya sebagai variabel multi-dimensi, yang terdiri dari
kehandalan (reability), jaminan (assurance), berwujud/nyata (tangibles), empati
empathy), dan responsif (responsiveness).
Dimensi yang digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan Ariffin, et al
adalah:
1) Caring (kepedulian) dan tangible (berwujud)
- Tingkat pengetahuan karyawan dalam menanggapi pertanyaan-
pertanyaan penumpang
- Kenyamanan dari kursi maskapai
- Tingkat komunikasi dalam situasi yang tidak biasa
42
- Keramahan karyawan
- Fleksibilitas dari tiket yang dibeli
- Profesionalisme dalam menangani bagasi
- Tingkat kepercayaan yang ditransmisikan ke penumpang
- Penampilan karyawan secara keseluruhan
- Perilaku para wisatawan lainnya
2) Reliability (kehandalan)
- Keterlambatan kedatangan pesawat
- Penundaan waktu keberangkatan
- Waktu menunggu untuk klaim bagasi
- Antrian penumpang hingga duduk di pesawat
3) Responsiveness (responsif)
- Pemesanan tiket melalui call center
- Pemesanan tiket di konter tiket
- Pemesanan tiket melalui situs web
- Respon awak kabin terhadap permintaan penumpang
4) Affordability (keterjangkauan)
- Harga tiket
5) Visual Attractiveness (daya tarik visual)
- Material yang menunjang daya tarik visual (desain exterior dan
interior, desain tempat duduk, konter tiket, dll.
43
Penelitian ini mengungkapkan bahwa caring dan tangible, reliability, dan
responsiveness merupakan faktor yang paling penting yang dapat membantu
mendapatkan kepuasan penumpang. Walaupun maskapai penerbangan dengan konsep
Low Fare Airlines harus fokus pada atribut yang menciptakan keunggulan kompetitif
seperti harga, perusahaan maskapai penerbangan juga harus memperhatikan faktor-
faktor lainnya.
2.2.5 How Much Airline Customers are Willing to Pay: An
Analysis of Price Sensitivity in Online Distribution
Channels (Seberapa besar konsumen maskapai
penerbangan ingin membayar: analisis sensitivitas
harga pada saluran distribusi secara online)
Dalam jurnal Garrow, Jones, dan Parker (2006) yang berjudul How Much
Airline Customers are Willing to Pay: An Analysis of Price Sensitivity in Online
Distribution Channels atau ”Seberapa besar konsumen maskapai penerbangan ingin
membayar: analisis sensitivitas harga pada saluran distribusi secara online,”
mengatakan bahwa pada penelitian tersebut memfokuskan pada pemahaman akan
kesediaan para wisatawan yang akan bepergian untuk membayar jasa pesawat terbang
dan kesediaan mereka untuk membayar beberapa layanan tertentu di pasar Amerika
Serikat.
44
Pada penelitian ini, ada beberapa hal yang digunakan untuk meneliti faktor
yang mempengaruhi keinginan konsumen untuk membayar, yaitu:
1) Harga: ketika harga mengalami penurunan
2) Pelayanan: penerbangan non-stop vs connecting flight (penerbangan
dengan transit)
3) Adanya pilihan jadwal penerbangan (waktu keberangkatan dikatakan lebih
penting dari waktu kedatangan, dan tidak disukainya penundaan waktu
keberangkatan).
4) Perilaku pembelian secara online.
Kesimpulan yang didapat pada penelitian tersebut adalah bahwa pada
penumpang yang akan melakukan perjalanan bisnis lebih mementingkan layanan
dibandingkan penumpang yang akan liburan, seperti memilih penerbangan non-stop.
Sedangkan para penumpang yang akan liburan melakukan pemesanan secara online
dan lebih sensitif terhadap harga.
2.2.6 Pemahaman terhadap Segmentasi Pelanggan: Suatu
Usaha untuk Meningkatkan Efektifitas Pemasaran Jasa
Penerbangan
Dalam jurnal Natalisa (1999), dikatakan bahwa konsumen dalam industri
maskapai penerbangan dibagi menjadi 3 (tiga) segmen, yaitu konsumen yang
mengadakan perjalanan bisnis, perjalanan wisata, dan yang mengunjungi teman dan
45
kenalan. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat kepuasan dan
ketidakpuasan konsumen maskapai penerbangan domestik tidak dibedakan oleh
variabel harga, tetapi dibedakan oleh variabel:
1) Persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan,
2) Kesesuaian antara kualitas layanan dengan promosi, dan
3) Faktor situasi (on time performance).
Temuan lain yang diperoleh pada penelitian tersebut yang menggunakan
obyek penelitian dari ketiga segmen konsumen (bisnis, wisatawan, dan kunjungan
teman dan kenalan) menunjukkan bahwa:
1) Variabel persepsi pelanggan terhadap kualitas pelayanan merupakan variabel
yang paling signifikan yang mempengaruhi kepuasan konsumen.
2) Variabel situasi (on time performance) merupakan variabel yang
mempengaruhi kepuasan pada segmen perjalanan bisnis.
3) Variabel harga tidak terbukti sebagai variabel yang mempengaruhi kepuasan
konsumen pada segmen wisatawan dan kunjungan teman dan kenalan.
2.3 Konsep Penelitian
Dari keenam jurnal yang telah dijelaskan sebelumnya, terlihat dimensi yang
paling banyak digunakan untuk mengukur keputusan pembelian tiket dalam model
bisnis full service airlines dan low fare airlines adalah harga,dan kualitas pelayanan
seperti pada tabel 2.1. Dimensi harga dan kualitas pelayanan juga merupakan dimensi
yang paling banyak digunakan juga berpengaruh paling signifikan pada keputusan
46
pembelian tiket dalam model bisnis full service airlines dan low fare airlines. Dan
jika dikaitkan dengan kondisi keselamatan dan keamanan maskapai penerbangan di
Indonesia yang masih sangat mengkhawatirkan, maka selain harga dan kualitas
pelayanan, dalam penelitian ini penulis menambahkan dimensi keamanan untuk
mengukur sejauh mana pengaruhnya dalam keputusan pembelian tiket.
Tabel 2.2
Dimensi yang Mempengaruhi Keputusan Pembelian Tiekt dalam Model Bisnis Full
Service Airlines dan Low Fare Airlines
Dimensi
Jurnal
1
Jurnal
2
Jurnal
3
Jurnal
4
Jurnal
5
Jurnal
6
Harga v V V v v v
Keamanan v
Kualitas Pelayanan v v V v v v
Sumber: Hasil pengolahan penulis (2011)
Keterangan:
Jurnal 1 : Factors Influencing Mode Selections of Low-cost Carriers and a Full-
service Airline in Thailand
Jurnal 2 : How do Consumers Value Airline Serivces Attributes? A Stated
Preferences Discrete Choice Model Approach
47
Jurnal 3 : Service Quality, Satisfaction, and Behavioural Intention: A Study of Low-
cos Airline Carriers in Thailand
Jurnal 4 : Service Quality and Satisfaction for Low Cost Carriers
Jurnal 5 : How Much Airline Customers are Willing to Pay: An Analysis of Price
Sensitivity in Online Distribution Channels
Jurnal 6 : Pemahaman terhadap Segmentasi Pelanggan: Suatu Usaha untuk
Meningkatkan Efektifitas Pemasaran Jasa Penerbangan.
2.3.1 Harga
Dalam penelitian Dinawan (2010), menurut sudut pandang konsumen, harga
adalah sesuatu yang diberikan atau dikorbankan untuk memperoleh suatu (Zeithaml,
1998). Sedangkan menurut Ferdinand (2000), harga merupakan salah satu variabel
penting dalam pemasaran, di mana harga dapat mempengaruhi konsumen dalam
mengambil keputusan untuk membeli suatu prosuk karena alasan-alasan tertentu.
Harga yang rendah atau harga yang kompetitif adalah alasan ekonomis dari
konsumen, tetapi harga juga dapat dijadikan indikator kulaitis jika dilihat dari sisi
alasan psikologis. Oleh karena itu, harga dirancang sebagai salah satu instrumen
penjualan sekaligus sebagai kompetisi yang menentukan.
Sedangkan menurut Stanton (1994), harga diartikan sebagai sejumlah nilai
uang ditukarkan konsumen dengan manfaat dari memiliki atau menggunakan produk
atau jasa yang ditetapkan oleh pembeli atau penjual untuk satu harga yang sama
terhadap semua pembeli. Disebutkan pula bahwa harga adalah sejumlah uang
48
(ditambah dengan produk jika memungkinkan) yang dibutuhkan untuk mendapatkan
sejumlah kombinasi dari produk dan pelayanan (dalam Dinawan, 2010).
Harga merupakan indikator seberapa besar pengorbanan yang diperlukan
untuk membeli suatu produk sekaligus dijadikan sebagai indikator. Harga dari sudut
pandang konsumen seringkali digunakan sebagai indikator value jika harga tersebut
dihubungkan dengan manfaat yang dirasakan atas suatu barang dan jasa. Value
didefinisikan sebagai manfaat yang dirasakan terhadap harga (Zeithaml, 1988 dalam
Dinawan, 2010).
Harga mahal, murah, ataupun standar dari kesan konsumen akan
mempengaruhi kepuasan dan aktifitas pembelian selanjutnya. Kesan inilah yang
menciptakan nilai persepsi konsumen terhadap suatu barang. Jika konsumen kecewa
setelah membeli produk atau jasa, maka kemungkinan selanjutnya konsumen tidak
akan membeli produk atau jasa tersebut, sehingga dapat beralih ke kompetitor. Kesan
konsumen terhadap harga dipengaruhi oleh harga produk atau jasa lain yang dijadikan
referensi (reference price). Reference price merupakan apapun bentuk harga yang
dapat dijadikan konsumen sebagai dasar perbandingan untuk menilai harga barang
lain (Shiffman dan Kanuk, 2000 dalam Dinawan, 2010).
Dinawan (2010) menyebutkan, Dharmmestha (1999) menjelaskan bahwa
konsumen akan menjadi loyal pada merek berkualitas, bergengsi, dan eksklusif
apabila ditawarkan dengan harga yang wajar. Namun ada pula konsumen yang loyal
terhadapt produk atau jasa dengan harga yang murah. Namun, setelah ada merek lain
dengan harga yang lebih murah, konsumen akan beralih ke merek tersebut.
49
Harga juga merupakan seberapa besar pengorbanan (sacrifice) yang
diperlukan untuk membeli suatu produk dan dijadikan sebagai indikator kualitas
(Monroe, 1990 dalam Dinawan 2010). Penelitian Rao dan Monroe (1989) dalam
Dinawan (2010) menyebutkan bahwa konsumen memiliki anggapan adanya
hubungan yang positif antara harga dan kualitas suatu produk, makan mereka akan
membandingkan antara produk yang satu dengan yang lainnya, kemudian konsumen
akan mengambil keputusan untuk membeli suatu produk.
2.3.2 Kualitas Pelayanan
2.3.2.1 Pelayanan
Kusumah (2011) menuliskan dalam penelitiannya, menurut Kotler (2005),
pelayanan adalah setiap kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak lain
dan pada dasarnya tidak berwujud, serta tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu.
Natalisa (2005) menjelaskan bahwa pelayanan terhadap pelanggan yang
dilakukan suatu maskapai penerbangan bertujuan untuk memuaskan konsumen pada
saat melakukan perjalanan. Pelayanan yang baik maka akan menjadikan konsumen
merasa puas, sehingga akan timbul loyalitas yang tinggi, dan kemungkinan besar
akan menarik konsumen lain yang potensial, yang akan meningkatkan penjualan atau
market share. Kemudian Natalisa (2005) membagi pelayanan maskapai penerbangan
berdasarkan jenisnya:
50
Pelayanan di tempat penjualan (point-of-sale service)
Pelayanan di tempat penjualan tiket memiliki peranan yang cukup penting
karena penumpang tidak membeli barang dan jasa yang dapat disentuh
intangible product), tetapi membeli tiket dengan berharap untuk
mendapatkan kepuasan. Perencanaan pada tempat penjualan tiket
diperlukan tiga kebijakan yang berbeda, yaitu:
i. Tersedianya fasilitas bagi penumpang yang melakukan transaksi
langsung dengan maskapai penerbangan.
ii. Maskapai penerbangan berjadwal menjual sebagaian tiketnya melalui
maskapai lain. Kondisi ini dapat terjadi ketika penumpang
membeli sebuah tiket untuk perjalanan multi sektor yang
melibatkan lebih dari satu maskapai penerbangan.
iii. Maskapai penerbangan harus memberikan kesempatan kepada
penumpang untuk melakukan transaksi dengan agen perjalanan
(travel agent. Setiap maskapai penerbangan harus memberikan
pembinaaan kepada staf agen perjalanan dan memastikan bahwa
agen perjalanan mendapatkan informasi yang tepat dan akurat
mengenai produk yang ditawarkan oleh maskapai penerbangan
yang bersangkutan.
51
Pelayanan di bandara
Pelayanan di bandara merupakan pelayanan sebelum keberangkatan pada
check-in counter dan ruang tunggu, juga pada saat kedatangan pada
transfer-desk dan tempat penyerahan bagasi.
i. Pelayanan check-in
Pada umumnya, penumpang menginginkan penanganan check-in
yang cepat, ramah, sopan, dan efisien dalam penempatan tempat
duduk, penanganan transfer, dan penanganan bagasi. Maskapai
penerbangan menyediakan beberapa check-in counter dengan
mengelompokkan penumpang pada tempat yang terpisah dengan
tujuan untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan kepada
penumpang. Penumpang kelas utama dan bisnis diberikan check-in
counter yang terpisah dari penumpang kelas ekonomi. Untuk
beberapa kota besar, maskapai penerbangan bahkan memberikan
kemudahan dengan menyediakan city check-in. Penumpang dapat
melaporkan keberangkatannya dari kota tanpa harus mengantri di
bandara dengan fasilitas ini. Garuda Indonesia dan Merpati
merupakan maskapai domestik yang menawarkan city check-in
pada konsumennya.
ii. Transfer penumpang dan bagasi
Untuk melakukan transfer penumpang dan bagasi yang akan
melanjutkan perjalanannya diperlukan ketepatan, kecepatan, dan
ketelitian.
52
iii. Ruang tunggu
Maskapai penerbangan masing-masing menawarkan kelebihan
fasilitas ruang tunggu yang dimilikinya, terutama untuk
penumpang kelas bisnis dan utama, seperti menyediakan interior
ruang tunggu yang nyaman, makanan, serta minuman cuma-cuma
yang istimewa, pelayanan superior, dan fasilitas yang lengkap.
iv. Penyerahan bagasi
Setiap maskapai penerbangan harus memastikan agar bagasi segera
dapat diterima ketika penumpang tiba di tempat tujuan.
Pelayanan di udara (inflight service)
Inflight service juga merupakan produk maskapai yang sangat penting.
Komponen utama dalam inflight service, yaitu:
i. Menu makanan dan minuman (meals and drinks)
Menu makanan dan minuman setidaknya harus diperhatikan cara
penyajian makanan, rasa, jenis makanan, dan kualitasnya secara
keseluruhan. Rasa, kualitas, dan variasi untuk minuman juga harus
diperhatikan.
ii. Hiburan pada saat penerbangan (inflight entertainment)
Biasanya, hiburan yang disediakan di pesawat adalah musik dan
video. Hiburan ini sangat penting terutama untuk penerbangan
jarak jauh.
53
iii. Awak kabin
Awak kabin sangat penting dalam sebuah penerbangan, baik untuk
pelayanan selama penerbangan maupun untuk keselamatan
penerbangan. Jumlah awak kabin harus disesuaikan dengan jumlah
penumpang yang ada, agar mereka dapat membantu penumpang
dalam keadaan darurat. Awak kabin diharuskan ramah, efisien,
bersikap penolong, dan mampu berkomunikasi dengan baik
dengan penumpang.
iv. Interior pesawat
Interior pesawat seperti keadaan kabin dan tempat duduk,
kebersihan di dalam pesawat, dan kebersihan kamar kecil juga
merupakan hal-hal yang harus diperhatikan pada setiap maskapai
penerbangan.
v. Barang cetakan dan gift away
Membagikan barang cetakan secara cuma-cuma, baik majalah,
surat kabar, atau barang cetakan lainnya yang memuat informasi
tentang perusahaan untuk memenuhi harapan konsumen.
2.3.2.2 Konsep Kualitas Pelayanan
54
Kualitas pelayanan merupakan sikap yang berhubungan dengan keunggulan
suatu jasa pelayanan atau pertimbangan konsumen tentang kelebihan suatu
perusahaan (Parasuraman, et al, 1985 dalam Kusumah, 2011).
Parasuman, Zeithmal, dan Berry (1985) dalam Kusumah (2011)
mengembangkan pendekatan kualitas yang banyak dijadikan acuan dalam penelitian,
salah satunya adalah model SERVQUAL (Service Quality). Disebutkan pula bahwa
SERVQUAL dibangun atas dua faktor, yaitu persepsi pelanggan atas layanan nyata
mereka terima dengan layanan yang sesungguhnya diharapkan atau diinginkan.
Service Quality didefinisikan sebagai seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan
harapan pelanggan atas layanan yang mereka peroleh.
Dalam kualitas pelayanan, dibagi beberapa dimensi menurut Zeithaml, Bery,
dan Parasuraman dalam Kusumah (2011), yaitu:
1. Bentuk fisik yang berwujud (tangibles)
Merupakan kondisi fisik yang ada dalam memberikan pelayanan meliputi
fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi. Dimensi ini
biasanya digunakan oleh perusahaan untuk menaikkan image di mata
konsumen.
2. Kehandalan (reliabilty)
Merupakan kemampuan memberikan kinerja pelayanan yang dijanjikan
dengan handal dan akurat.
3. Daya tanggap (responsiveness)
Merupakan keinginan para staf untuk membantu pelanggan dan memberikan
pelayanan yang cepat dan cepat.
55
4. Jaminan (assurance)
Mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat yang dapat
dipercaya dari para staf untuk membangun kepercayaan pelanggan.
5. Empati (emphaty)
Merupakan perhatian secara individu yang diberikan oleh penyedia jasa agar
pelanggan merasa penting, dihargai dan dimengerti oleh perusahaan.
Dalam jurnal Saha dan Theingi (2009), kelima dimensi tradisional tersebut
(tangibles, reliability, responsiveness, assurance, dan emphaty) disesuaikan untuk
mengukur kualitas pelayanan dalam konteks maskapai penerbangan, dan
menghasilkan 4 (empat) dimensi kualitas pelayanan, yaitu:
1. Tangible factors (faktor bentuk fisik yang berwujud), seperti: pesawat baru,
kenyamanan tempat duduk, dan alat pendingin (AC).
2. Faktor jadwal penerbangan, seperti: kenyamanan jadwal penerbangan,
ketepatan waktu keberangkatan dan waktu tiba.
3. Awak kabin, seperti: pakaian dan penampilan, pengetahuan dalam
memberikan pelayanan, dan keramahan pada penumpang.
4. Ground staff (staff bandara), seperti: melayani penumpang di bandara sampai
masuk ke dalam pesawat.
2.3.2.3 Hubungan Kualitas Pelayanan dengan Keputusan
Pembelian
56
Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam kualitas pelayanan
(Parasuraman, et al, 1985) dalam Kusumah (2011), yaitu:
1. Dibandingkan kualitas barang, kualitas pelayanan lebih sulit dievaluasi
oleh pelanggan.
2. Persepsi kualitas pelayanan dihasilkan dari perbandingan antara kepuasan
pelanggan dengan pelayanan yang diberikan secara nyata.
3. Selain diperoleh dari hasil akhir sebuah layanan, evalusi kualitas juga
mengikutsertakan evaluasi dari proses layanan tersebut.
Kusumah (2011) juga menyebutkan menurut Brady dan Cronin dalam
Remiasa dan Lukman (2007), persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan terdiri
dari tiga kualitas, yaitu kualitas interaksi, kualitas lingkungan fisik dan kualitas hasil.
Ketiga kualitas ini membentuk pada keseluruhan persepsi pelanggan terhadap kualitas
layanan.
Dalam merumuskan strategi dan program pelayanan, setiap pelaku usaha
harus mengutamakan kepentingan pelanggan dan juga harus memperhatikan dimensi
kualitasnya. Agar pelanggan tidak mengurungkan niatnya ketika melakukan
keputusan pembelian.
2.3.3 Keamanan
Kata ‘keamanan’ merupakan bentuk kata benda dari kata sifat ‘aman’ yang
berasal dari kata ‘security’ yang berarti bebas dari bahaya (Wojowasito, dkk, 2004).
Dimensi ini diwujudkan oleh konsumen dalam bentuk perasaan yang bebas akan rasa
57
bahaya, resiko yang dihadapi, dan keragu-raguan dalam melakukan transaksi yang
berhubungan dengan atau melalui perusahaan. Keamaan didefinisikan oleh Crie
(2001) sebagai suatu upaya untuk memberikan perlindungan terhadap aset-aset agar
tidak terjadi atau terhindar dari kerugian atau kehilangan (Nugroho, 2006).
Sedangkan Sudjono (2009) menyebutkan bahwa di dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2009 tentang Penerbangan dijelaskan definisi keamanan penerbangan adalah
suatu keadaan yang memberikan perlindungan kepada penerbangan dari tindakan
melawan hokum melalui keterpaduan pemanfaatan sumber daya manusia, fasilitas,
dan prosedur.
Menurut Rhoades & Waguespack (1999), ada 4 (empat) faktor yang
mempengaruhi keamanan operasi maskapai penerbangan, yaitu:
1) Stabilitas keuangan,
2) Kualitas perawatan pesawat,
3) Sikap manajemen, dan
4) Kemampuan pilot.
Jenis peristiwa yang terkait dengan keamanan, yaitu:
1) Kecelakaan, merupakan kejadian yang terkait dengan pengoperasian
pesawat udara di mana setiap orang mengalami kematian atau cedera
serius.
2) Insiden, merupakan kejadian selain kecelakaan yang mempengaruhi
keselamatan operasi. Contoh: malfungsi mekasik, pemogokan burhu,
kebakaran atau asap di kabin, dll.
58
3) Tabrakan udara, merupakan peristiwa tabrakan yang mungkin terjadi saat
ketinggian pesawat kurang dari 500 kaki.
4) Penyimpangan yang dilakukan pilot, merupakan tindakan pelanggaran
yang dilakukan pilot yang melewati batas wilayah udara yang ditentukan.
Contoh: penyimpangan ketinggian udara, operasi yang dilakukan tanpa
hati-hati, dll.
Semakin rendah jumlah peristiwa yang terkait dengan keamanan terjadi, maka
semakin baik pula suatu maskapai penerbangan.
2.3.4 Keputusan Pembelian Tiket
2.3.4.1 Keputusan Pembelian
Menurut Setiadi (2003), keputusan pembelian merupakan keputusan
konsumen mengenai apa yang dibeli, membeli atau tidak, kapan, dimana, dan
bagaiman cara membayarnya. Proses pembelian meliputi:
1. Tahap pra pembelian, dimana perilaku yang terjadi meliputi mencari
infornasi dan mengambil dana.
2. Tahap pembelian, dimana perilaku konsumen meliputi tindakan yang
berhubungan dengan toko, mencari produk atau jasa, dan melakukan
transaksi.
Sedangkan menurut Howard dan Shay (1998) dalam Dinawan (2010), proses
membeli (buying intention) seorang konsumen melalui lima tahapan, yaitu:
1. Pemenuhan kebutuhan (need).
59
2. Pemahaman kebutuhan (recognition).
3. Proses mencari barang (search).
4. Proses evaluasi (evaluation).
5. Pengambilan keputusan pembelian (decision).
Yang mendasari proses pembelian adalah informasi mengenai suatu produk
yang juga memunculkan suatu kebutuhan. Konsumen akan mempertimbangkan dan
memahami kebutuhan tersebut, jika penilaian sudah jelas, maka konsumen akan
mulai mencari produk yang dibutuhkan tersebut untuk dievaluasi dan pada akhirnya
akan terciptalah suatu pengambilan keputusan untuk membeli ataupun tidak membeli
sesuai dengan pertimbangan konsumen.
Dalam Dinawan (2010) ada dua model proses pembelian yang dilakukan
konsumen menurut Swasta (1990), yaitu:
1. Model phenomenologis, yaitu model perilaku konsumen yang berusaha
melibatkan perasaan mental dan emosional yang dialami konsumen dalam
memecahkan masalaha pembelian.
2. Mode logis, yaitu model perilaku konsumen yang berusaha
menggambarkan struktur dan tahap-tahap keputusan yang diambil
konsumen mengenai:
a. Jenis, bentuk, modal, dan jumlah yang akan dibeli.
b. Tempat dan saat pembelian.
c. Harga dan cara pembayaran.
Boyd et al (2000) dalam Dinawan (2010) menjelaskan, setelah konsumen
mengumpulkan dan mendapatkan informasi suatu produk, konsumen akan
60
menggunakan informasi tersebut untuk mengevaluasi karakteristik produk, pelayanan
yang diberikan, harga, kenyamanan, personil, dan fisiknya. Konsumen biasaya akan
memilih yang memperlihatkan ciri yang paling penting bagi konsumen.
Dalam Dinawan (2010) menyebutkan pendapat Koeswara (1995) bahwa suatu
pembelian tidak langsung terjadi, tetapi dengan mengetahui, mengenal, dan kemudian
memiliki produk tersebut. Ada lima tahap dalam proses pembelian, yaitu:
1. Mengetahui masalahnya (Recognation of problem)
2. Mencari informasi (Search of information)
3. Mengevaluasi setiap alternatif (Evaluation of alternative)
4. Memilih salah satu alternatif (Choice)
5. Menentukan hasil pilihan (Outcome)
Keputusan atau niat untuk membeli merupakan sesuatu yang berhubungan
dengan sencara konsumen untuk membeli produk tertentu dan juga berapa banyak
unit yang dibutuhkan untuk periode tertentu. Setiadi (2003) mendefinisikan
keputusan pembelian sebagai pernyataan mental konsumen yang merefleksikan
rencana pembelian sejumlah produk dengan merek tertentu. Pengetahuan akan
keputusan pembelian sangat diperlukan para pemasar untuk mengetahui niat
konsumen terhadap suatu produk maupun untuk memprediksikan perilaku konsumen
di masa mendatang. Keputusan atau niat untuk membeli terbentuk dari sikap
konsumen terhadap produk keyakinan konsumen terhadap kualitas produk, sehingga
akan membatalkan keputusan atau niat membeli konsumen.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dan membentuk perilaku keputusan
pembelian konsumen menurut Kismono (2001) adalah sebagai berikut:
61
- Faktor budaya yang merupakan penentu yang paling fundamental dalam
membentuk keinginan dalam keputusan pembelian karena didasari oleh
suatu persepsi, referensi, dan proses sosialisasi lingkungan.
- Faktor sosial yang merupakan faktor yang mempengaruhi teman, keluarga,
dan peranan sosial dalam masyarakat.
- Faktor kepribadian yang perupakan faktor karakteristik pribadi yang
mempengaruhi tingkah laku.
- Faktor psikologis yang terdiri atas motivasi, persepsi, pembelajaran, dan
keyakinan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi dan membentuk perilaku proses keputusan
menurut Angel (2001) adalah:
1. Pengaruh lingkungan yang meliputi:
Budaya
Kelas sosial
Pengaruh pribadi
Sikap
Situasi
2. Perbedaan individu yang sangat penting meliputi:
Sumber daya konsumen
Motivasi dan keterbatasan
Pengetahuan
Sikap
62
Kepribadian, gaya hidup, dan demografi
3. Proses psikologis dasar, meliputi:
Pengelolaan informasi
Pembelajaran
Perubahan sikap dan perilaku
Suatu perusahaan harus mengidentifikasi konsumen, sasarannya, dan proses
keputusan mereka sebelum menencanakan pemasaran. Program pemasaran perlu
dirancang untuk menarik dan mencapai kunci keberhasilan guna menciptakan
keputusan pembelian konsumen.
2.3.4.2 Tiket
Tiket merupakan suatu dokumen perjalanan yang dikeluarkan oleh sebuah
lembaga atau perusahaan yang di dalamnya berisi rute, tanggal, harga, dan data
penumpang yang digunakan untuk melakukan suatu perjalanan. Darsono (2004)
berpendapat bahwa tiket adalah salah satu dokumen perjalanan yang dikeluarkan oleh
maskapai penerbangan dan merupakan kontrak tertulis dari salah satu pihak, yang di
dalamnya berisikan ketentuan yang harus dipenuhi oleh penumpang selama memakai
jasa penerbangan, dan data penerbangan penumpang yang mempunya masa periode
waktu tertentu. Tiket juga dapat diartikan sebagai suatu tanda terima atau kwitansi
63
dari perusahaan penerbangan kepada penumpang atas sejumlah uang yang
dibayarkan.
Saha dan Theingi (2009) mengukur dimensi keputusan pembelian tiket yaitu
dengan:
1. Membeli kembali tiket maskapai penerbangan yang sama.
2. Membeli tiket maskapai penerbangan lain yang sejenis.
2.4 Teori Desain Penelitian
Untuk membuat suatu penelitian, diperlukan menyusun suatu desain
penelitian sebelumnya. Malhotra (2004) mendefinisikan desain penelitian (research
design) sebagai kerangka kerja yang digunakan dalam melakukan sebuah penelitian.
Research design memberikan prosedur yang penting secara detail untuk mendapatkan
informasi yang dibutuhkan, sehingga dapat menjawab permasalahan dari riset
pemasaran.
Research design diklasifikasikan menjadi dua, yaitu exploratory dan conclusive
research design. Menurut Santoso dan Tjiptono (2004), pada tahap pertama
penelitian dilakukan secara exploratory. Exploratory research design dilakukan dengan
menelaah literature yang membahas kasus serupa. Pada tahap selanjutnya, conclusive
research terbagi menjadi dua, yaitu data yang bersifat deskriptif (descriptive research) dan
causal research. Causal research bertujuan untuk mendapatkan bukti hubungan sebab-
akibat atau pengaruh dari variable-variabel penelitian.
64
Santoso dan Tjiptono (2004) juga menjelaskan dalam bukunya, bahwa penelitian
deskriptif terbagi menjadi dua macam, yaitu cross-sectional dan longitudinal. Pada cross-
sectional, informasi yang didapatkan dari sampel tertentu hanya dikumpulkan satu kali.
Cross-sectional terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu single cross-sectional dan multiple
cross-sectional. Dinamakan single cross-sectional apabila hanya ada satu sampel dari
populasi target dan informasi yang dikumpulkan dari sampel tersebut hanya satu kali.
Sedangkan apabila ada dua sampel atau lebih maka disebut multiple cross-sectional.
Selanjutnya pada longitudinal, melibatkan sampel tetap dari elemen populasi yang diukur
berulang kali.
Populasi diartikan sebagai jumlah keseluruhan semua anggota yang diteliti,
sedangkan sampel merupakan bagian yang diambil dari populasi (Istijanto, 2006).
Terdapat dua teknik pengambilan sampel, yaitu probability sampling dan non
probability sampling. Probability sampling adalah metode sampling yang setiap
anggota populasinya memiliki peluang spesifik dan bukan nol untuk dapat terpilih
sebagai sampel. Sedangkan non probability sampling, setiap unsur dalam populasi
tidak memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel, bahkan probabilitas
anggota populasi tertentu untuk terpilih tidak diketahui (Santoso dan Tjiptono, 2004).
Kedua sampling tersebut memiliki jenis yang berbeda. Probability sampling
terdiri dari simple random sampling, stratified random sampling, cluster sampling,
systematic/quast random sampling, dan multistage sampling (Santoso dan Tjiptono,
2004). Simple random sampling adalah ketika setiap anggota populasi memiliki
kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel. Stratified random sampling
65
digunakan jika pengambilan sampel dilakukan berdasarkan ciri tertentu dari populasi
untuk keperluan penelitian. Pada cluster sampling, unsur-unsur populasi dibagi salam
sub kelompok, contohnya dengan menggunakan dasar wilayah administrasi
pemerintahan atau batas alam. Sedangkan dalam systematic/quasi random sampling,
unsur-unsur populasi dipilih dengan jarak interval yang sama. Dan pada multistage
sampling, sampel dipilih secara bertahap (berulang kali) sampai pada keadaan dimana
dipandang telah cukup untuk mengambil keputusan.
Santoso dan Tjiptono (2004) juga menyebutkan bahwa jenis-jenis yang
terdapat pada non probability sampling yaitu quota sampling, convenience sampling,
purposive sampling, dan snowball sampling. Quota sampling merupakan metode
memilih sampel yang mempunyai cirri-ciri tertentu dalam jumlah atau kuota yang
diinginkan. Pada convenience sampling sampel dipilih dari orang yang paling mudah
dijumpai, misalnya di pusat perbelanjaan. Jika sampel merupakan orang-orang yang
memiliki ciri-ciri khusus, maka dinamakan purposive sampling. Sedangkan pada
snowball sampling meminta responden untuk memberikan informasi mengenai rekan-
rekan lainnya, sehingga didapatkan responden tambahan.
Pengelompokkan status sosial ekonomi responden berdasarkan pengeluaran
belanja kebutuhan sehari-hari per bulan yang didapatkan dari AC Nielsen (2007),
yaitu:
SSE A1 : > Rp 3.000.000
SSE A2 : Rp 2.000.000 – Rp 3.000.000
SSE B : Rp 1.500.000 – Rp 2.000.000
SSE C1 : Rp 1.000.000 – Rp 1.500.000
66
SSE C2 : Rp 700.000 – Rp 1.000.000
SSE D : Rp 500.000 – Rp 700.000
SSE E : < Rp 500.000
Sedangkan pengelompokkan umur berdasarkan Indonesia consumer survey
2011 dari AC Nielsen, yaitu 18-29 tahun, 30-45 tahun, 46-55 tahun, dan 56-65 tahun.
Secara umum, Malhotra (2004) membagi marketing research data menjadi
data primer (primary data) dan data sekunder (secondary data). Primary data adalah
data yang dihasilkan secara langsung oleh peneliti untuk tujuan tertentu guna untuk
menjawab masalah penelitian. Sedangkan secondary data adalah data yang
dikumpulkan dari sumber-sumber yang sudah ada sebelumnya untuk berbagai macam
tujuan.