Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Bab 2
LANDASAN TEORI
Kepemimpinan Kepala Madrasah
Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan aspek penting yang sangat menentukan berhasil tidaknya
suatu organisasi, yakni menyangkut perilaku seorang pemimpin dalam rangka
mempengaruhi para pegawai/karyawannya, sehingga para pegawai mau bekerjasama
dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi. Kepemimpinan menyangkut keberadaan
figure/sosok orang yang dipercaya menjadi pemimpin, yang dipandang memiliki
kemampuan dan atau keterampilan lebih baik dibandingkan rata-rata dari pegawai
lainnya. Kepemimpinan seseorang dalam organisasi sangat menentukan berhasil
tidaknya organisasi yang dipimpinnya. Keberhasilan manajemen sekolah juga sangat
tergantung pada kepemimpinan atau pemimpin sekolah tersebut.
Vaughan dan Hogg (dalam Nazarudin, 2007,118) menyatakan bahwa
kepemimpinan didefinisikan sebagai “ leadership is getting other people to achieve the
group’s goals”, dengan demikian kepemimpinan adalah usaha menggerakkan orang lain
untuk dapat mencapai tujuan bersama (kelompok). Jadi ciri adanya kepemimpinan
apabila dipenuhinya elemen-elemen seperti keberadaan anggota (orang lain) yang
dipimpin, ada orang yang memimpin, adanya kesepakatan bersama tentang tujuan yang
akan dicapai. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada setiap organisasi pasti
terdapat proses kepemimpinan, agar organisasi dapat berjalan dengan baik dalam rangka
mencapai tujuan organisasi.
Robert E. Coffey dkk dalam Nazarudin, (2007:189) menjelaskan “leadership is
the process of providing direction, energizing others, and obtaining their commitment to
the leader’s cause”. Kepemimpinan merupakan proses pengarahan, memberi semangat
dan tenaga kepada bawahan, menyepakati komitmen, sebagaimana diharapkan
pemimpin). Dari semua definisi diatas, ada beberapa yang saling berbeda, terutama pada
penekanan peran antara pemimpin dan bawahan, dan lebih banyak hal-hal yang sama.
Namun semuanya itu terarah bagaimana kelompok dapat mencapai tujuan bersama
secara berdayaguna. Pada setiap pemimpin mempunyai ciri atau gaya yang berbeda-beda
yangmerupakan corak atau warna kepemimpinan yang ditampilkan.
Definisi kepemimpinan selanjutnya adalah “leadership is the process of
influencing the behavior of other people toward group goals in a way that fully respects
their freedom” (http://www.dor.org/leadership/definition of leadership.htm.). Dari
definisi tersebut ada beberapa hal berkaitan dengan aktifitas kepemimpinan. Pertama
adalah sebuah proses (a process of), yakni bahwa kepemimpinan bukan sesuatu yang
terjadi sesaat, akan tetapi berkaitan dengan rentang waktu dan perilaku pemimpin yang
ditampilkan. Membuat kepemimpinan yang efektif bukan merupakan suatu yang
sederhana. Kedua, adalah mempengaruhi (influencing), dan perlu ditegaskan bahwa
kepemimpinan bukanlah pemberian komando dan mengawasi, tetapi mempengaruhi,
agar mereka mau melakukan aktifitas dalam rangka mencapai tujuan. Ketiga, adalah …
perilaku orang lain…(the behavior of other people) yaitu bahwa kepemimpinan
difokuskan kepada perubahan perilaku orang lain. Keempat, adalah …tertuju kepada
tujuan kelompok… (..toward group goals..), yaitu bahwa perilaku kepemimpinan
2
ditujukan kepada pencapaian tujuan kelompok. Jadi kepemimpinan adalah suatu
kegiatan seorang pemimpin untuk mempengaruhi orang lain baik individual maupun
kelompok, agar mereka secara sadar dan rela untuk dapat mencapai tujuan bersama.
Kemampuan mempengaruhi orang lain inilah yang membedakan seorang pemimpin
dengan yang bukan pemimpin.
Kepemimpinan Sekolah/Madrasah
William A. Pasmore (1994;5) mengatakan bahwa “the ability of organization to respond
to further change”, oleh karenanya sekolah mestinya tidak tertinggal oleh perubahan itu.
Banyak sekali perkembangan dan perubahan lingkungan yang tidak dapat direspon oleh
sekolah, disebabkan oleh cara berpikir para kepala sekolah yang kaku, kurang fleksibel
yang disebabkan oleh visi yangdangkal, tanpa mampu memandang jauh ke depan.
Fleksibilitas suatu sekolah yang perlu menjadi pemikiran para kepala sekolah adalah
bagaimana agar sekolah dapat menangkap aspirasi masyarakat, sehingga kebutuhan
masyarakat yangdilayani. Kekakuan layanan sekolah seperti yang selama ini terjadi,
justru hanya menjauhkan sekolah dari masyarakatnya.
Menurut Covey (1990;1), “pemikiran yang sinergi terjadi pada waktu pikiran
atasan dan bawahan saling merangsang satu sama lain, dimana gagasan yang satu
mengundang munculnya gagasan yang lain”. Seorang kepala sekolah yang mengajukan
gagasan kepada bawahan, dan kemudian muncul gagasan baru lainnya dari bawahan,
atau sebaliknya, hal ini merupakan awal dari suatu sinergi.
3
Ciri dari suatu sinergi menurut Covey (1990;1) adalah bahwa “satu ditambah
satu ada tiga atau lebih”. Jadi gagasan ke satu dan gagasan kedua dapat memunculkan
gagasan ketiga, dan gagasan lainnya.
Dubrin (dalam William A. Pasmore, 1994;5) mengemukakan bahwa “autocratic
leaders retain most of the authority for themselves. They typically make a decision and
then announce it to their group”. Kematangan bawahan akan menentukan bagaimana
perilaku kepemimpinan yang ditampilkan oleh seorang pemimpin pada saat berusaha
mempengaruhi bawahannya. Jika seorang pemimpin memahami makna dari tingkat
kematangan tersebut maka ia akan mampu memilih pendekatan mana yang tepat untuk
dilakukan.
Kepemimpinan otokratik mempunyai makna atau pengertian yang hampir sama
dengan teori Y yang dikemukakan oleh McGregor seperti yang dikutip Dubrin (dalam
William A. Pasmore, 1994;263) sebagai berikut ”the theory X or autocratic, manager
makes these assumptions about worker; people dislike work and must be coerced,
controlled, and directed toward organizational goals, most people like to be treated this
way so they can avoid respon sibility”. Kepemimpinan seperti ini lebih tepat digunakan
pada organisasi yang masih baru dimana para pengawalnya masih baru dan belum
mempunyai banyak pengalaman lapangan untuk melakukan tugas. Sekolah-sekolah baru
yang dipimpin oleh kepala sekolah yang baru diangkat ataupun kepala sekolah yang
berpengalaman, tetapi yang dihadapi adalah guru baru, maka kepemimpinan otoriter
lebih tepat.
4
Dijelaskan oleh Gibb (dalam J. Salusu, 1996;2003) ada empat unsur utama dalam
kepemimpinan, yaitu: (1) pemimpin yang menampilkan kepribadian pemimpin, (2)
kelompok, (3) pengikut yang muncul dengan berbagai kebutuhannya, sikap, serta
masalah-masalahnya, dan (4) situasi, yang meliputi keadaan fisik dan tugas kelompok.
Keempat unsur tersebut akan mempengaruhi efektifitas kepemimpinan. Seorang
pemimpin tergantung oleh kekuatan pada dirinya, kekuatan pada anggotanya dan
kekuatan pada situasi. Keberhasilan seorang pemimpin karena adanya bantuan dari
anggota yang dipimpinnya. Anggota tidak hanya belerja untuk dirinya dalam kerangka
kepentingan organisasi, tetapi mereka juga bekerja untuk memenuhi keinginan mereka
sendiri. Blake dan Mouton menjelaskan enam unsur yang lain untuk menggambarkan
efektifnya suatu kepemimpinan. Tiga unsur pertama berkaitan dengan bagaimana
seorang pemimpin menggerakkan pengaruhnya terhadap dunia luar, yaitu: inisiatif,
menyelidiki dan dukungan serta dorongan. Tiga unsur kedua berhubungan dengan
bagaimana seorang pemimpin memanfaatkan sumber daya yang tersedia dalam
organisasi untuk mencapai hasil yang maksimum, yakni : memecahkan masalah,
pengambilan keputusan, dan kritik.
Unsur inisiatif memungkinkan seorang pemimpin untuk memulai sesuatu ide
baru untuk dilakukan atau bahkan menghentikan sesuatu yang sedang dikerjakan.
Inisiatif memerlukan dukungan anggota dengan penuh antusias. Pada unsur menyelidiki,
seorang pemimpin memerlukan informasi yang bersifat komprehensif mengenai bidang
yang menjadi tanggung jawabnya. Diperlukan kecermatan untuk mempelajari suatu
masalah, prosedur yang harus ditempuh dan orang-orang yang terlibat di dalam
5
pekerjaan yang dibidanginya. Aspek memberikan dukungan dan dorongan sangat
penting bagi kepemimpinan seseorang. Seorang pemimpin perlu mendukung ide yang
baik dalam suatu organisasi dan menyakinkan orang lain untuk mendukung ide tersebut.
Seorang pemimpin harus mampu mengambil keputusan yang baik yang dapat
memebrikan keuntungan kepada orang lain dan organisasinya. Unsur terakhir yaitu
kritik diartikan sebagai menilai sesuatu yang telah diperbuat sehingga cenderung
berorientasi pada pekerjaan untuk meningkatkan efektifitas. Kepemimpinan sering
diartikan sebagai pelaksanaan otoritas dan pembuatan keputusan Robert Dubin,
(1987;7).
George R. Terry dalam Ridwan, (2001;78) merumuskan kepemimpinan sebagai
aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang agar diarahkan mencapai tujuan organisasi.
Konsep kepemimpinan dan kekuasaan sangat memiliki keterkaitan. Kekuasaan menurut
Stogdill dalam Paul Hersey, (1982;176) merupakan sarana bagi pemimpin untuk
mempengaruhi perilaku pengikut-pengikutnya. Selanjutnya dikatakan oleh Hersey,
Blanchard dan Natemeyer bahwa pemimpin hendaknya tidak hanya menilai perilaku-
perilaku mereka agar mengerti bagaimana besarnya mereka mempengaruhi orang lain
dan cara menggunakan kekuasaannya. Setiap organisasi adalah sistem yang
memungkinkan seseorang dapat mengembangkan kekuasaannya untuk berbuat sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu.
Abraham Zaleznik dalam tulisan Robins (1996;38) , menjelaskan bahwa
pemimpin dan manajer itu sangat berbeda. Pemimpin dan manajer berbeda dalam
motivasi, cara berpikir, dan cara bertindak. Manajer cenderung mengambil sikap
6
impersonal, jika tidak pasif terhadap tujuan, sedangkan pemimpin mengambil sikap
pribadi dan aktif terhadap tujuan. Manajer cenderung memandang kerja sebagai suatu
proses yang memungkinkan, mencakup suatu kombinasi dari orang dan gagasan yang
berinteraksi untuk menetapkan strategi dan mengambil keputusan. Pemimpin bekerja
dari posisi berisiko tinggi, sering secara temperamental ingin mencari risiko dan bahaya.
Manajer lebih suka bekerja dengan orang, menghindari aktivitas soliter (sendirian).
Manajer berhubungan dengan orang-orang menurut peran yang mereka mainkan dalam
suatu urutan peristiwa atau dalam proses pengambilan keputusan. Pemimpin yang
memperhatikan gagasan, berhubungan dengan orang-orang dalam cara yang lebih
intuitif dan empatik.
John Kotter dalam tulisan yang sama menjelaskan bahwa kepemimpinan berbeda
dari manajemen, dengan alasan yang berbeda. Manajemen akan berhubungan dengan
mengatasi kerumitan, dan menghasilkan tata tertib dan konsistensi dengan menyusun
rencana-rencana formal, merancang struktur organisasi yang ketat, dan memantau hasil
lewat perbandingan dengan rencana. Kepemimpinan, menyangkut hal mengatasi dan
menyikapi perubahan. Pemimpin menetapkan arah dengan mengembangkan suatu visi
tentang masa depan, kemudian mereka mempersatukan orang-orang dengan cara
mengkomunikasikan dan mengilhami mereka untuk mengatasi rintangan. Kotter
beranggapan, baik kepemimpinan yang kuat maupun manajer yang kuat, merupakan hal
penting bagi keefektifan organisasi. Namun menurutnya, fokus terbaik lebih diarahkan
ke pengembangan kepemimpinan.
7
Menurut Wexley dan Yukl (1977;190), kepemimpinan efektif merupakan hal
penting bagi kelangsungan hidup dan keberhasilan organisasi. Tiga aspek kepemimpinan
dalam organisasi adalah: 1). Sifat-sifat pemimpin, 2). Perilaku kepemimpinan, dan 3).
Kekuasaan serta pengaruh pemimpin.
Beberapa penelitian terhadap pendekatan sifat-sifat kepemimpinan telah gagal
untuk dapat dengan tepat meramalkan sebagai suatu sifat yang menyebabkan
kepemimpinan menjadi efektif. Sifat-sifat seorang pemimpin akan sangat dipengaruhi
antara lain oleh situasi kepemimpinan yang dihadapi, tingkat stabilitas organisasi,
teknologi yang digunakan organisasi, dan tujuan organisasi. Sedangkan perilaku
kepemimpinan dapat dikaitkan secara langsung pada proses kepemimpinan dan
persyaratan posisi manajerial. Hasil penelitian terhadap perilaku kepemimpinan
mengungkapkan adanya dimensi yang ekivalen dengan consideration, yaitu tingkat
dimana seorang pemimpin bertindak dengan cara yang hangat, supportive serta
menunjukkan perhatian pada bawahan; dan initiating structure, yaitu tingkat dimana
seorang pemimpin mendefinisikan dan merancang peran dirinya serta peran-peran
bawahannya ke arah pencapaian tujuan kelompok. Perilaku kepemimpinan yang lain
adalah kategori perilaku keputusan pemimpin. Perilaku keputusan pemimpin
menerapkan konsiderasi (partisipasi) pada bawahannya atau anggota kelompoknya
sesuai dengan jenis keputusan yang akan di ambil disesuaikan dengan keinginan
bawahan atau anggotanya. Perilaku keputusan pemimpin sangat berbeda dengan
considerate (bijaksana) dan initiating structure. Keputusan-keputusan yang diambil
seorang pemimpin tentang kewajiban bekerja dan pelaksanaannya misalnya, merupakan
8
tindakan initiating structure tetapi tidak perlu membuat semua keputusan ini dengan
otokratis. Pada kategori perilaku keputusan pemimpin ini, seorang pemimpin dapat
melakukan tindakan-tindakan yang dapat menjamin berfungsinya kelompok secara
efisien. Kategori yanglain dari perilaku kepemimpinan adalah integrasi kelompok kerja
atau fasilitas interaksi. Perilaku ini meningkatkan keterjalinan kelompok, meningkatkan
kerjasama dan kerja tim, serta mengendalikan konflik. Berbeda dengan consideration,
karena perilaku ini memelihara hubungan baik di antara pemimpin dengan para
anggotanya, sedangkan fasilitas interaksi membangun hubungan baik di antara bawahan
itu sendiri. Dari hasil studi tentang perilaku kepemimpinan, tampak bahwa faktor situasi
sangat diperlukan untuk pelaksanaan kerja kelompok yang efektif.
Analisis tentang kekuasaan (power) seorang pemimpin, merupakan pendekatan
ketiga yang digunakan dalam studi kepemimpinan. Kekuasaan merupakan kapasitas
mempengaruhi perilaku orang lain. Beberapa penjelasan tentang hubungan antara
kekuasaan pemimpin dengan efektivitas pemimpin, adalah: 1). Kekusaan pemimpin
tergantung atas situasi apabila para anggotanya kurang memiliki motivasi yang tinggi
dalam mencapai tujuan organisasi, atau jika para anggota memiliki motivasi tinggi tetapi
kurang sepakat untuk mencapai tuuan organisasi; 2). Meskipun kekuasaan pemimpin
penting, namun pemilikan position power tidak menjamin efektifitas, jika pemimpin
tidak memiliki keahlian mempergunakan position power secara efektif. Dari pengkajian
berbagai pendekatan dalam studi kepemimpinan, maka semakin jelas bahwa efektifitas
kepemimpinan sangat ditentukan oleh interaksi yang cukup rumit antara karakteristik
pemimpin dan karakteristik situasi yang dihadapi.
9
Studi tentang efektivitas kepemimpinan yang lain yang berhubungan dengan
pendekatan perilaku kepemimpinan adalah pendekatan gaya kepemimpinan. Pada
dasarnya ada tiga kategori gaya kepemimpinan seperti yang dikembangkan oleh Lewin,
Lippi dan White, yaitu otokratik, demokratik, dan laisser-faire. Gaya kepemimpinan
yang otokratik, pemimpin cenderung bertindak sebagai diktator terhadap anggota-
anggota kelompoknya. Memimpin adalah identik dengan menggerakkan dan memaksa
kelompok dan kekuasaan pemimpin yang otokratis hanya dibatasi oleh undang-undang.
Penafsiran sebagai pemimpin adalah menunjukkan dan memberi perintah. Kewajiban
anggota hanyalah mengikuti dan menjalankan.
Gaya kepemimpinan yang demokratik, menafsirkan kepemimpinan sebagai
pemimpin di tengah-tengah anggota kelompoknya. Sedangkan gaya kepemimpinan
laisses faire, sebenarnya pemimpin tidak memberi pimpinan. Tipe ini diartikan sebagai
sikap membiarkan orang-orang berbuat sekehendaknya. Pemimpin seperti ini tidak
pernah memberikan kontrol dan koreksi terhadap pekerjaan/tugas anggota-anggotanya.
Gatto (1992;212) kemudian mencoba melengkapi empat gaya kepemimpinan,
yaitu : gaya direktif, gaya konsultatif, gaya partisipatif, dan gaya delegasi. Pada gaya
direktif, pada umumnya pemimpin membuat keputusan-keputusan penting dan terlibat di
dalam pelaksanaannya. Pemimpin hanya memberi sedikit kebebasan pada orang lain
untuk bertindak sesuai dengan izinnya. Gaya konsultatif, dibangun atas gaya direktif,
tetapi kurang otoriter. Pemimpin lebih banyak melakukan interaksi dengan anggota
organisasi. Fungsi pemimpin lebih banyak memberikan bimbingan, motivasi, dan
konsultasi untuk mencapai tujuan. Pada gaya partisipatif, dan anggota. Pemimpin
10
memberikan kepercayaan pada kemampuan para anggota untuk menyelesaikan
pekerjaan sebagai tanggung jawab mereka. Dalam gaya ini, para pemimpin lebih banyak
mendengar, bekerja sama, serta memberikan dorongan dalam proses pengambilan
keputusan. Sedangkan gaya delegasi, lebih mendorong kemampuan anggota untuk
mengambil inisiatif. Pada gaya ini pemimpin kurang memberikan kontrol dan interaksi
sehingga hanya tepat digunakan apabila anggota memperlihatkan tingkat kompetensi
yang tinggi dalam mencapai tujuan organisasi. Pada dasarnya tidak satu pun gaya
kepemimpinan diterapkan sepenuhnya oleh seorang pemimpin. Masing-masing gaya
akan memberikan kontribusi pada perilaku yang ditampilkan oleh pemimpin sesuai
dengan situasi kepemimpinan yang dihadapi.
Davis dan Newstroom dalam Nazarudin, (2007;207) menambahkan penjelasan
bahwa dua gaya kepemimpinan yang berbeda dapat diterapkan pada anggota kelompok,
yaitu consideration dan structure yang juga dikenal sebagai gaya kepemimpinan yang
berorientasi pada pekerja atau anggota dan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada
tugas atau pekerjaan. Seorang pemimpin yang berorientasi pada tugas akan
mengarahkan dan mengawasi anggotanya secara tertutup untuk menjamin tugas
diselesaikan sesuai dengan yang diharapkan. Pemimpin dengan gaya kepemimpinan ini
lebih memperhatikan pelaksanaan pekerjaan daripada pengembangan dan pertumbuhan
anggotanya. Sedangkan seorang pemimpin yang berorientasi pada anggotanya, mencoba
untuk memberikan motivasi dibandingkan dengan mengawasi mereka. Pemimpin
mendorong para anggotanya untuk melaksanakan tugas dengan memebrikan kesempatan
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, menciptakan suasana kerja yang penuh
11
persahabatan serta menjalin hubungan yang saling mempercayai dan menghormati
dengan sesama anggota kelompok.
Gagasan tentang gaya kepemimpinan yang menekankan pada gaya yang secara
aktif melibatkan anggota dengan menggunakan teknik-teknik manajemen partisipatif,
dan memusatkan perhatian pada para anggota organisasi dan pelaksanaan tugas, telah
didukung oleh beberapa penelitian dalam kepemimpinan yang dilakukan dari tahun 1940
sampai tahun 1960-an. Penelitian kepemimpinan telah dilakukan McGregor dengan
konsep yangpaling terkenal yaitu bahwa strategi kepemimpinan dipengaruhi anggapan-
anggapan seorang pemimpin tentang sifat dasar manusia, dan menyimpulkan bahwa
seorang pemimpin yangmenganut anggapan-anggapan teori X akan cenderung menyukai
gaya kepemimpinan otokratik. Sebaliknya, pemimpin yang mengikuti teori Y akan lebih
menyukai gaya kepemimpinan partisipatif atau demokratik. Sedangkan penelitian yang
dilakukan di University of Michigan, para peneliti Ohio State University menemukan
antara lain bahwa efektivitas seorang pemimpin tidak tergantung pada gaya tertentu dari
pemimpin, tetapi pada situasi dimana gaya tersebut digunakan.
Blake dan Mouton dalam Davis dan Newstroom, (1999;209), dengan sistem misi
manajerial (Managerial Grid), mengidetifikasikan selang perilaku manajemen atas dasar
berbagai cara yang membuat gaya berorientasi kepada tugas dan gaya yangberorientasi
pada karyawan atau anggota. Menurut Blake dan Mouton, perilaku manajemen ini
masing-masing dinyatakan sebagai suatu rangkaian kesatuan pada skala 1 sampai 9 yang
berinteraksi satu dengan yang lainnya. Gaya pemimpin 1.1 tergolong pemimpin dengan
perhatian rendah terhadap orang dan rendah terhadap tugas. Gaya pemimpin 1.9 adalah
12
kekeluargaan (perhatian tinggi pada anggota), tetapi rendah perhatian terhadap tugas.
Gaya pemimpin 9.1 gaya otoriter, yaitu perhatian tinggi pada tugas tetapi rendah pada
anggota. Gaya 5.5 adalah gaya manajemen jalan tengah baik terhadap orang maupun
terhadap tugas. Gaya 9.9 adalah demokratis, perhatian tinggi baik terhadap tugas
maupun orang.
Jika dalam managerial grid, Blake dan Mouton berhasil mengidentifikasikan
gaya-gaya kepemimpinan yang secara tidak langsung berhubungan dengan efektifitas,
maka William J. Reddin dalam Miftah Thoha, hlm. 272 menambahkan, gaya
kepemimpinan itu selalu berhubungan antara pemimpin dengan tugas hubungan kerja.
Menurut Reddin, gaya di tengah yaitu gaya 5.5 dari Blake dan Mouton dapat menjadi
gaya yang efektif dan tidak efektif. Gaya yang efektif, merupakan pengembangan dari
gaya dasar yang berada di tengah (gaya 5.5). Ada empat gaya yang efektif, yaitu :
Eksekutif, gaya ini banyak memberikan perhatian pada tugas-tugas pekerjaan dan
hubungan kerja.
Pencinta pengembangan (Developer), gaya ini memberikan perhatian penuh terhadap
hubungan kerja dan perhatian yang kurang terhadap tugas-tugas.
Otokratis yang baik hati (Benevolent autocrat), gaya ini memberikan perhatian yang
penuh terhadap tugas dan perhatian yang kurang terhadap hubungan kerja.
Birokrat, gaya ini memberikan perhatian yang kurang pada tugas maupun hubungan
kerja.
Sedangkan gaya yang tidak efektif terdiri dari :
13
Kompromis (Compromiser), gaya ini menekankan pada tugas dan hubungan kerja
dalam suatu situasi yang kompromistis.
Missionari, gaya ini menekankan penuh pada hubungan kerja, tetapi perhatiannya
kurang terhadap tugas sekalipun perilaku yang tidak sesuai.
Otokrat, gaya ini memberikan perhatian yang penuh terhadap tugas dan kurang
terhadap hubungan kerja dengan perilaku yang tidak sesuai.
Lari dari tugas (Deserter), gaya ini sama sekali tidak memberikan perhatian baik
pada tugas maupun pada hubungan kerja.
Para ahli peneliti persoalan kepemimpinan menyimpulkan bahwa perilaku
pemimpin ketika mempengaruhi anggotanya terhadap pelaksanaan kerjanya dan kriteria-
kriteria lain sangat dipengaruhi oleh situasi yang tidak pernah tetap. Pentingnya situasi
telah banyak diakui oleh para ahli sangat memberikan pengaruh yang berarti terhadap
gaya kepemimpinan yang ditampilkan seorang pemimpin pada saat mempengaruhi
anggotanya. Jumlah tipe perilaku kepemimpinan tertentu diperlukan untuk pelaksanaan
kerja kelompok yang efektif. Tidak ada gaya kepemimpinan yang tepat untuk setiap
pemimpin dengan kondisi yang berbeda-beda.
Terdapat tiga perbedaan pandangan di dalam mendefinisikan gaya
kepemimpinan, yaitu : 1). Hubungan dengan anggota lawan tugas (Socio-Emotional
versus Task), 2). Pemimpin-pemimpin otokratik lawan partisipatif (Autocratic versus
Participative Leaders), dan 3). Kepemimpinan transformasional dibandingkan
kepemimpinan transaksional (Transformational versus Transactional Leadership).
Hubungan dengan anggota lawan tugas (Socio-Emotional versus Task), merupakan dua
14
gaya kepemimpinan yang berbeda. Kepemimpinan yang berorientasi pada tugas akan
mengarahkan dan mengawasi anggotanya secara ketat untuk menjamin keberhasilan
pelaksanaan tugas, dan agak mengabaikan pengembangan staf. Sedangkan pemimpin
yang berorientasi pada hubungan dengan anggota akan lebih memotivasi anggotanya
dibandingkan mengawasi mereka. Pemimpin akan mendorong anggota kelompok untuk
melaksanakan tugas dengan memberi kesempatan berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan, dan saling percaya serta menghormati antar anggota dalam kelompoknya. Di
samping itu pemimpin memberikan dukungan pengembangan, penghargaan terhadap
pencapaian hasil yang maksimal, dan mengelola konflik yang mungkin terjadi di antara
anggota (http://www.cba.uri.edu/Scholl/Notes/Leadership_Approaches.html).
1). Kepemimpinan otokratik lawan partisipatif. Kepemimpinan otokratik lebih
menekankan pada gaya yang didasarkan atas kekuatan posisi dan penggunaan
otoritas dari jabatannya. Sedangkan gaya partisipatis bertolak dari gaya konsultatif
yang dapat berkembang ke arah saling mempercayai antara pemimpin dengan para
anggotanya. Pemimpin cenderung untuk memberi kepercayaan kepada anggotanya
untuk menyelesaikan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya.
2). Kepemimpinan transformasional vs kepemimpinan transaksional. Pemimpin
transformasional merupakan pemimpin yang memberikan pertimbangan dan
rangsangan intelektual kepada setiap individu pengikut, dan memiliki karisma
(gezag). Sedangkan pemimpin transaksional adalah pemimpin yang memandu atau
memotivasi anggota ke arah tujuan dengan memperjelas peran dan tuntutan tugas.
15
Dari berbagai teori kepemimpinan di atas dapat didefinisikan bahwa gaya
kepemimpinan merupakan pola perilaku pemimpin yang ditampilkan oleh seseorang
ketika mempengaruhi aktivitas orang lain dalam organisasi. Sebagai seorang kapala
sekolah di dalam mempengaruhi aktivitas bawahan atau anggota kelompok, dapat
menerapkan berbagai gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi kepemimpinan
yang dihadapi. Untuk mewujudkan tujuan yang ingin dicapai oleh sekolah, seorang
kepala sekolah dapat menerapkan gaya kepemimpinan yang akan disesuaikan dengan :
(1). Visi yang dianut oleh kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan, (2).
Pemahamannya terhadap kondisi bawahan, dan (3). Wawasan tentang
kepemimpinannya.
Jadi yang dimaksud gaya kepemimpinan adalah suatu pola perilaku
kepemimpinan yang ditampilkan oleh seorang pemimpin pada saat mempengaruhi
aktivitas orang lain dalam suatu organisasi. Dengan pengetahuan seperti ini, seorang
pemimpin dapat memposisikan dirinya dengan melihat dan memahami jenis perilaku
sesuai dengan gaya yang dipilihnya. Pemahaman terhadap tingkat kematangan kerja staf,
juga dapat mempengaruhi gaya kepemimpinan yang ditetapkan.
Kepala Madrasah Sebagai Manajer dan Pemimpin
Pakar pendidikan sejagat berpendapat, bahwa kepala sekolah merupakan tokoh kunci
keberhasilan suatu sekolah. Kepala sekolah sama dengan kepala madrasah. Dengan kata
lain, kepala madrasah adalah kunci keberhasilan pendidikan di madrasah. Karena itu,
Sudarwan Danim (2004 : 96) menyebut kepala sekolah (baca madrasah) sebagai the key
person -- penanggungjawab utama atau faktor kunci – untuk membawa madrasah
16
menjadi center of excellence, pusat keunggulan dalam mencetak dan mengembangkan
sumberdaya manusia madrasah. Apakah madrasah itu menjadi efektif, menjadi madrasah
yang sukses atau sebaliknya, semua tergantung dengan peran seorang kepala madrasah.
Ini berarti, profesionalisme kepala madrasah menjadi sebuah keharusan.
Keller (1979) memperjelas pernyataan ini dengan ungkapan sebagai berikut : “The
key to the educational cookie is the principal. The principal is the motivational yeast :
how high the students and the teachers rise to their challenge is the principal’s
responsibility”, (Sudarwan Danim, 2006 : 97). Bahkan De Roche (1987)
mengungkapkan bahwa tidak ada sekolah yang baik tanpa kepala sekolah yang baik.
Tegasnya, pemeran utama dan penanggungjawab utama adalah kepala sekolah. Karena
itu, Sergiovanni (1987) membuat kesimpulan bahwa tidak ada siswa yang tidak dapat
dididik. Yang ada adalah guru yang tidak berhasil mendidik. Selanjutnya, tidak ada guru
yang tidak berhasil mendidik, yang ada adalah kepala sekolah yang tidak mampu
membuat guru berhasil menjadi pendidik.
Secara operasional kepala madrasah adalah orang yang paling
bertanggungjawab mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyelaraskan semua
sumber daya (resources) madrasah. Kepemimpinan kepala madrasah merupakan faktor
pendorong untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran madrasah yang dipimpinnya
menuju madrasah yang bermutu. Bermutu dibidang pelayanan, dibidang
pembelajaran, dibidang sarana prasarana, pengembangan SDM, dibidang prestasi
akademik dan non akademik. Itulah tugas suci seorang kepala madrasah:
menciptakan madrasah yang bermutu.
17
Karena tugas keseharian kepala madrasah bergelut dengan mutu, sudah
seharusnya pengangkatan kepala madrasah diprioritaskan untuk guru-guru senior
yang paling bermutu, yang memiliki kualifikasi untuk menduduki jabatan itu. Di
Jepang, calon kepala sekolah yang direkrut, selalu berasal dari kalangan guru
yang dipandang terbaik untuk menduduki jabatan itu.
Sedikit berbeda dengan kalangan madrasah di Indonesia. Walaupun
sebagian provinsi sudah memberlakukan rekrutmen calon kepala madrasah lewat
tes lisan dan tertulis, tetapi praktik finalnya masih banyak didominasi oleh aspek
loyalitas dan kedekatan dengan pejabat struktural, masih ada aroma kolusi dan
nepotisme dengan birokrat-birokrat pendidikan, sehingga mengabaikan aspek
kompetensi dan profesionalitas. Cara seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi.
Karena menetapkan seorang kepala madrasah berbeda dengan menetapkan
kepala kantor urusan agama kecamatan, atau kepala seksi di Kandepag dan lain
sebagainya.
Ketika birokrasi pendidikan di Departemen Agama ingin menunjuk
seorang kepala madrasah, sebelumnya akan lebih bagus jika merujuk lebih dahulu
kepada hasil studi yang dilakukan oleh Gilberg Austin terhadap semua kepala
sekolah di Amerika Serikat. Hasil studi itu menunjukkan perbedaan yang tajam
antara sekolah yang berprestasi tinggi dengan yang berprestasi rendah,
disebabkan oleh pengaruh yang besar dari kepala sekolahnya. Sehingga Ruth Love
dalam Edward Deroche (1996) menyatakan : “I never seen a good school without a
good principals”. Atau seperti yang dinyatakan oleh James B. Conant (1996), “the
18
difference between a good and a poor school is often the difference between a good
and a poor principals” (Sudarwan Danim, 2006 : 97).
Dewasa ini, salah satu aspek yang paling lemah dalam dunia madrasah
adalah aspek manajemen. Banyak guru senior yang trampil dan berpengalaman
dalam mengajar, tetapi miskin dengan management ability. Padahal pemberdayaan
madrasah hanya dapat dilakukan apabila kepala madrasah memiliki kemampuan
manajerial yang lebih dari pada kemampuan yang dimiliki sekarang, untuk
membawa madrasah menjadi madrasah yang berkualitas.
Kepala Madrasah Sebagai Manajer
Dalam teori manajemen pendidikan, kepala madrasah sebenarnya menyandang dua
jabatan penting untuk menjamin kelangsungan penyelenggaraan pendidikan di
madrasah. Pertama, sebagai manager pendidikan dan kedua sebagai leader pendidikan
di madrasahnya
Sebagai manager pendidikan, kepala madrasah bertanggungjawab penuh
memanage madrasah. Memanage berarti mengatur seluruh potensi madrasah agar
berfungsi secara optimal untuk mencapai tujuan madrasah. Kepala madrasah
bertanggungjawab melaksanakan administrasi madrasah dengan seluruh substansinya,
memobilisasikan sumber daya madrasah, merencanakan dan mengevaluasi program,
melaksanakan kurikulum dan pembelajaran, mengelola personalia, memberdayakan
sarana dan sumber belajar, mengadministrasikan keuangan, melakukan pelayanan siswa,
mengelola hubungan dengan masyarakat, dan menciptakan iklim madrasah yang
19
kondusif. Disamping itu, kepala madrasah bertanggung jawab terhadap kualitas
pengembangan dan pemberdayaan sumberdaya manusia di madrasah agar mereka
mampu melaksanakan tugas-tugas kependidikan secara efektif. Dengan kata lain, kepala
madrasah sebagai pengelola pendidikan memiliki tugas mengembangkan kinerja para
guru dan pegawai, menjadi guru dan pegawai yang profesional.
Dilain pihak, Fred Luthans (1995) mengemukakan lima jenis keterampilan yang
dibutuhkan oleh seorang manajer pendidikan, yang mencakup : (1) cultural flexibility;
(2) communication skills (3) human resources development skills ; (4) creativity ; dan (5)
self management of learning.
Pertama, cultural flexibility adalah keterampilan yang merujuk kepada kesadaran
dan kepekaan budaya, di mana seorang manajer dituntut untuk dapat menghargai nilai
keberagaman kultur yang ada di dalam madrasahnya. Sebagai manajer, seorang kepala
madrasah diharuskan untuk menghargai keberagaman kultur yang tumbuh dari seluruh
civitas madrasah, baik guru, tenaga administrasi, para siswa dan masyarakat lainnya.
Kedua, communication skill adalah kemampuan dan keterampilan manajer untuk
berkomunikasi dalam bentuk lisan, tulisan maupun non verbal. Keterampilan
berkomunikasi penting dimiliki oleh seorang kepala madrasah, karena hampir sebagian
besar tugas dan pekerjaan kepala madrasah senantiasa melibatkan dan berhubungan
dengan orang lain. Komunikasi yang dilakukan bukanlah komunikasi biasa, tetapi dalam
bentuk komunikasi efektif untuk mempengaruhi para guru, pegawai, siswa dan orangtua
untuk bersama-sama mencapai tujuan dan keberhasilan madrasah.
20
Ketiga, human resources development skills merupakan keterampilan manajer
yang berkenaan dengan pengembangan iklim pembelajaran (learning climate),
mendesain program pembelajaran dan pelatihan guru/pegawai, penilaian kinerja
guru/pegawai, penyediaan konseling karier, menciptakan perubahan organisasi, dan
penyesuaian bahan-bahan pembelajaran. Dalam perspektif kemadrasahan, kepala
madrasah diharuskan memiliki keterampilan untuk mengembangkan seluruh sumber
daya manusia yang tersedia di madrasahnya, agar mereka menjadi berdaya dan
memberikan kontribusi untuk meningkatkan kualitas madrasahnya.
Keempat, creativity merupakan keterampilan manajer dalam menciptakan iklim
kreativitas di lingkungan madrasah untuk mendorong seluruh civitas madrasah untuk
mengembangkan berbagai kreativitas dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya.
Ketrampilan creativity tidak hanya berkenaan dengan pengembangan kreativitas dirinya
sendiri, akan tetapi juga keterampilan untuk menyediakan iklim yang mendorong semua
orang untuk menjadi kreatif.
Kelima, self-management of learning merupakan keterampilan manajer yang
merujuk kepada kebutuhan akan belajar yang berkesinambungan untuk mendapatkan
berbagai pengetahuan dan keterampilan baru. Dalam hal ini, kepala madrasah dituntut
untuk senantiasa berusaha memperbaharui pengetahuan dan keterampilan manajemen
yang dimilikinya.
Disamping lima ketrampilan yang harus dimiliki seorang manajer pendidikan
diatas, kepala madrasah harus memiliki “management ability” yaitu kemampuan yang
dimiliki dalam hal–hal yang berkaitan dengan fungsi-fungsi manajemen dan cara-cara
21
menerapkannya dalam manajemen madrasah. Secara etimologis ability diartikan sebagai
“power to do things” , “power to perform, skill to achieve” , “state of being able,
possession of qualities necessary “ ( kekuasaan atau kualitas tertentu yang diperlukan
untuk melakukan sesuatu). Maknanya, kepala madrasah harus menguasai fungsi-fungsi
manajemen seperti planning (perencanaan), organizing (pengorganisasian), actuating
(penggerakan) dan controlling (pengawasan) beserta komponen-komponen lainnya yang
berkaitan dengan fungsi-fungsi manajerial madrasah.
Dalam kaitannya dengan manajemen madrasah, paling tidak ada 13 fungsi
manajemen yang harus dikuasai dan dilaksanakan oleh seorang kepala madrasah, yaitu :
(1) manajemen kurikulum; (2) manajemen pembelajaran ; (3) manajemen personalia; (4)
manajemen kesiswaan; (5) manajemen keuangan; (6) manajemen sarana dan prasarana;
(7 manajemen bimbingan dan konseling; (8) manajemen peningkatan mutu; (9)
manajemen mutu terpadu; (10) manajemen konflik; (11) manajemen komunikasi dan
hubungan dengan masyarakat, (12) manajemen kewirausahaan dan (13) manajemen
layanan khusus (labor dan perpustakaan). Pelaksanaan ketiga belas fungsi manajemen
ini menjadi tanggungjawab kepala madrasah. Dengan demikian maka tugas dan fungsi
seluruh personil madrasah selain dapat terkendali dan terkontrol, juga dapat tepat arah
dan tujuan, sebab sudah jelas apa, bagaimana dan siapa yang bertanggung jawab.
Sebagai manager, kepala madrasah adalah penanggungjawab seluruh kegiatan
proses pendidikan di madrasah. Dengan sumberdaya yang bervariasi, kepala madrasah
dituntut untuk menyatukan seluruh sumberdaya madrasah menjadi suatu kekuatan yang
terintegrasi dan terarah pada proses pencapaian bersama, menjadi suatu paduan orkestra,
22
bersinergi, menyuarakan sebuah lagu : mewujudkan madrasah yang bermutu.
Sebagaimana dikemukakan oleh Susan Moore Johnson dan Katherine C. Boles bahwa
“Principals are expected to develop but not to announce the vision and mission of the
school and they are expected by their staff to orchestrate the implementation of the
mission” . ( Herbert G. Heineman, 1981 : 40)
Semua itu menunjukan bahwa peran kepala madrasah sangat penting dan sangat
berat dalam mengelola madrasah guna mencapai tujuan pendidikan madrasah. Atau
seperti yang disebut Oteng Sutisna, yang menyatakan bahwa administrasi/manajemen
sekolah/madrasah yang efektif memerlukan pengetahuan yang mendalam tentang
seluruh tugas administrasi dalam sebuah sekolah/madrasah dan pemahaman yang jelas
tentang cara bagaimana kepala sekolah melaksanakan seluruh tugas administrasi.
Kepala Madrasah Sebagai Leader (Pemimpin)
Agar proses penyelenggaraan pendidikan di madrasah berjalan dengan baik, kepala
madrasah perlu dan harus bertindak sebagai pemimpin (leader), bukan bertindak sebagai
boss. Ada perbedaan di antara keduanya. William Glasser (1992) mengemukakan
metapora yang membedakan antara leader dan boss. Boss suka mengendalikan,
mengandalkan kekuasaan, menciptakan rasa takut, menyalahkan anak buah, dan
membuat suasana kerja kadang-kadang menyebalkan. Sedangkan leader perilakunya
memimpin dan mengayomi, mengandalkan kerjasama dengan bawahan, menganggap
bawahan sebagai mitra, menciptakan rasa percaya diri, memperbaiki kesalahan bawahan
dan membuat pekerjaan menjadi menarik. Perbedaan tersebut dapat kita pahami dari
23
ungkapan-ungkapan metaporik berikut ini : (1) A boss drives. A leader leads; (2) A boss
relies on authority. A leader relies on co-operation; (3) A boss says “I”. A leader says
“We”; (4) A boss creates fear. A leader creates confidence; (5) A boss knows how. A
leader shows how; (6) A boss creates resentment. A leader breeds enthusiasm; (7) A
boss fixes blame. A leader fixes mistakes; (8) A boss makes work drudgery. A leader
makes work interesting.
Kepemimpinan kepala madrasah pada manajemen pendidikan modern sebaiknya
menerapkan konsep ‘kepemimpinan sebagai suatu seni’ (leadership is an art). Pemimpin
yang profesional menurut Sudarwan Danim adalah seorang “seniman” dalam memimpin
(Sudarwan Danim, 2005 : 215 ). Dengan seni memimpin, kita dapat membedakan
kepemimpinan setiap orang. Seni memimpin dilakukan dalam bentuk gaya memimpin,
teknik memimpin, cara atau kiat memimpin. Setiap orang memiliki seni memimpin
sendiri-sendiri.
Tetapi untuk ketrampilan umum yang dibutuhkan seorang pemimpin pada
prinsipnya sama. Robert L. Katz mengemukan tiga jenis keterampilan (Sudarwan
Danim, 2005 : 217) yang harus dimiliki oleh kepala sekolah/madrasah, sebagai
administrator yang efektif, yaitu : (1) technical skill (keterampilan teknis), yakni
keterampilan menerapkan pengetahuan teoritis ke dalam tindakan praktis, kemampuan
memecahkan masalah, dan kemampuan menyelesaikan tugas secarasistematis dan
teknik-teknik dalam menyelesaikan tugas-tugas tertentu, (2) human relation skill
(keterampilan hubungan manusiawi), yakni keterampilan menjalin komunikasi dengan
menciptakan kepuasan dengan para guru dan pegawai, bersikap terbuka, ranmah tamah,
24
menghargai dan memotivasi para guru, pegawai, siswa dan orangtua untuk kemajuan
madrasah, dan (3) conceptual skill (keterampilan konseptual), yakni keterampilan
memformulasikan pikiran, memahami konsep dan teori serta mampu
mengaplikasikannya dalam pekerjaan sehari-hari, menyusun planning, budgetting,
organizing, staffing, actuating, coordinating, communicating, controlling, ealuating and
reporting dan mengembangkan sikap kesejawatan yang akrab dengan civitas madrasah.
Untuk memungkinkan tercapainya tujuan pendidikan di madrasah, kepala
madrasah bukan hanya melakukan fungsi sebagai leader dan manager saja, tetapi ada
peran-peran lainnya yang harus dilakoni dan melekat dengan kepala madrasah dalam
tugas operasionalnya sehari-hari. Mulyasa (2004 : 97-120) menuliskan tujuh peran
kepala sekolah yang harus diamalkan dalam bentuk tindakan nyata di sekolah/madrasah
yang disingkat dengan EMASLIM, yaitu peran sebagai educator, manager,
administrator, supervisor, leader, innovator dan motivator.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2006), terdapat
tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai : (1) educator (pendidik); (2) manager;
(3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim
kerja yang kondusif (creator of working environment , dan (7) wirausahawan
(entrepreneur ). http://endang965.wordpress.com/thesis-3/ - _ftn65 Jika kedua
pendapat diatas digabungkan berarti kepala sekolah atau madrasah memiliki sembilan
peran. Tetapi, dari pengalaman sehari-hari, peran kepala madrasah tidak terbatas pada
sembilan peran itu saja. Ada dua peran lagi yang biasa dilakukan oleh seorang kepala
madrasah pada moment-moment tertentu, yaitu peran sebagai mediator dan negosiator
25
yang dilakukan dengan wali siswa, dunia usaha, birokrasi dan stakeholders madrasah
lainnya. Kesebelas peran kepala madrasah tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh
yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.
Dalam perspektif lain, Idochi Anwar (2000 : 34) menjelaskan peran dan tugas
kepala madrasah lebih luas lagi, tidak terbatas pada sebelas peran itu saja. Yang
namanya manajer dan pimpinan pendidikan menurut Idochi harus mampu menguasai,
memahami dan melaksanakan delapan dimensi administrasi/manajemen pendidikan
yaitu : (1) social and cultural dimension, (2) effective learning process dimension, (3)
economic and finance dimension, (4). organizational behaviour dimension (5) law and
profession dimension (6) empowering and developement of human resources
dimension, (7) political dimension, dan (8) information tecnology
dimension.http://endang965.wordpress.com/thesis-3/ - _ftn66
Kedelapan dimensi tersebut menunjukkan bahwa masalah manajemen
pendidikan mempunyai cakupan yang luas, mulai dari aspek sosial budaya, aspek
proses pembelajaran efektif, aspek ekonomi dan keuangan, aspek perilaku organisasi,
aspek hukum dan profesi, aspek pengembangan dan pemberdayaan SDM, aspek politik
sampai dengan aspek teknologi informasi. Artinya, manajemen pendidikan tidak bisa
dilihat hanya dari aspek teknis proses pembelajaran yang sempit semata, melainkan
harus juga memperhatikan lingkungan sosial dan dinamika masyarakat yang terus
mengalami perubahan dengan cepat.
Uraian diatas memberikan kejelasan, bahwa kompetensi manajerial seorang
kepala madrasah tidaklah sesederhana seperti yang sering kita perbincangkan.
26
Tanggungjawab untuk membawa madrasah menjadi madrasah yang efektif dan unggul
sebagai center of excellent pengembangan sumberdaya manusia yang berkualitas dan
modern, menuntut sosok seorang kepala madrasah yang memiliki kemampuan dan
ketrampilan dibidang manajerial (management ability dan principal’s ability) melebihi
guru-guru biasa. Seorang kepala madrasah harus memiliki kemampuan tentang tujuan,
proses dan teknologi pendidikan, serta komitmen pada perbaikan profesional dan
kualitas pendidikan madrasah secara terus menerus.
Konsep Kinerja
Asumsi dasar tentang organisasi pemerintah di banyak Negara akan selalu dihadapkan
pada permasalahan kinerja seperti pungli dan inefisiensi. Tetapi demikian dalam hal
tertentu ada juga beberapa organisasi pemerintah yang memiliki kinerja baik. Suatu
organisasi khususnya organisasi pemerintah dapat dikatakan mempunyai kinerja yang
baik apabila kompleksitas dan ketidakberaturan yang dihadapi oleh organisasi dapat di
atasi, pertentangan nilai dan kekacauan yang dihadapi oleh organisasi dapat diselesaikan
dengan baik, mampu mengelola dan mengatasi krisis atau kegagalan, berkurangnya
tekanan dari publik dan politik serta ketercukupan anggaran (Darwin, 1994 : 45).
1. Pengertian Kinerja
Kata kinerja merupakan terjemahan dari performance (Bahasa.Inggris) yang
sering diartikan sebagai “prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja atau hasil
kerja/unjuk kerja/penampilan kerja” (Sedarmayanti, 2001:50). Sama seperti pengertian
27
di atas, Badudu (dalam Sianipar, 2001:50-51) juga menyatakan bahwa kinerja adalah
“apa yang dicapai atau prestasi kerja yang terlihat, kemampuan kerja”.
Agus Surya Prawitosentono (2000:34) mendefinisikan performance atau
kinerja dengan ungkapan sebagai berikut:
Performance adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atausekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dantanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuanorganisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai denganmoral maupun etika.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa kinerja
adalah pelaksanaan suatu pekerjaan atau kegiatan tertentu dalam waktu tertentu yang
dilakukan berdasarkan rencana atau program yang telah disusunse belumnya serta
mengindahkan nilai moral dan etika. Dengan kata yang lebih sederhana kinerja dapat
dikatakan sebagai wujud nyata dari suatu pekerja yang dilakukan dengan sengaja dan
berdasarkan acuan yang sudah disepakati. Kinerja yang dimaksud di atas pada gilirannya
nanti akan dikaitkan dengan suatu organisasi yaitu komite madrasah. Oleh karena itu
memahami kinerja di sini tidaklah lengkap jika tidak dihubungankan dengan organisasi,
sehingga menjadi kinerja organisasi.
Menurut Prawirosentono (1999 : 2) kinerja adalah " Hasil kerja yang dapat
dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang ". Sedangkan pengertian organisasi
menurut Gibson (1996 : 6) adalah " Wadah yang memungkinkan masyarakat dapat
meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat dicapai oleh individu secara sendiri-sendiri.
Dengan demikian yang dimaksud dengan kinerja organisasi disini adalah hasil kerja
28
yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai
dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai
tujuan dari organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai
dengan moral maupun etika.
Dari pengertian di atas maka dapat dikemukakan bahwa kinerja organisasi
adalah hasil yang dapat dicapai atas pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung jawab
organisasi melalui hasil kerja seseorang dan atau kelompok orang dalam suatu organisasi
dalam kurun waktu tertentu dengan cara yang benar.
Setiap pekerjaan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu
organisasi selalu ada hasilnya. Kalau setiap orang atau sekelompok kerja dapat mencapai
kinerja yang ditetapkan, maka kinerja setiap bidang tugas dalam suatu unit atau
organisasi akan tercapai dengan baik. Kalau setiap bidang atau unit kerja dapat mencapai
kinerja yang ditargetkan maka kinerja organisasi akan tercapai dengan baik. Dengan
demikian kinerja organisasi merupakan komulasi kinerja individu-individu dan
kelompok kerja dalam suatu organisasi (Sianipar, 2001:51). Atas dasar ini maka ada
dugaan bahwa semakin baik kinerja individu maka akan semakin baik pula kinerja
organisasi.
Berdasarkan uraian di atas diharapkan setiap anggota organisasi memahami
bidang tugas yang menjadi tanggungjawabnya dan hasil yang diinginkan dapat tercapai
atas pelaksanaan tugas dimaksud. Dengan demikian hal pertama yang harus ada adalah
program kerja atau kegiatan selanjutnya pelaksanaan program atau tindakan-tindakan
nyata yang dilakukan berdasarkan apa-apa yang telah diprogramkan.
29
2. Pencapaian Kinerja
Pada dasarnya, dalam diri setiap seorang tenaga kerja (guru, karyawan atauanggota organisasi) terdapat kebutuhan atau keinginan menampilkan prestasi kerja atauaktualisasi diri melalui karya-karya yang cemerlang. Tetapi dalam kenyataan banyakdijumpai laporan-laporan mengenai kinerja guru, pegawai yang kurang memuaskan. Adaanggapan kalau kualifikasi guru atau pegawai sesuai dengan kebutuhan organisasi,kinerjanya akan lebih baik dibandingkan dengan yang tidak memenuhi kualifikasi.Kendatipun ada dua atau lebih pegawai memiliki kualifikasi yang tepat, tetapi kinerjamereka berbeda. Berarti ada factor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilanpegawai mencapai kinerja yang ditetapkan. Ada sejumlah alasan mengapa organisasitidak dapat menampilkan kinerja terbaik, antara lain:
a. Kemampuan melihat dan menggambarkan (merumuskan) suatu keadaanmasa depan yang jauh lebih baik yakni visi dan misi.
b. Kemampuan memahami tujuan dan sasaran sebagai output dari misi. Outputdari tujuan dan sasaran sebagai suatu target kinerja atau hasil kerja.
c. Kemampuan atau kecakapan melakukan atau mengerjakan, membuat,memproses sesuatu dengan baik tanpa cacat atau lebih baik dari pesaing.
d. Kemampuan memahami keadaan sumber daya sebagai factor pendukung.
e. Kemampuan menyiapkan input atau masukan yang tepat untuk diproses.
f. Kemampuan menciptakan sinergi antar kekuatan organisasi ataumenentukan strategi dan rencana aksi (Sianipar, 2001:53).
Atas dasar alasan yang dikemukakan di atas maka semakin urgen untukmembuat suatu analisis manajemen guna mengetahui keadaan factor-faktor yangmempengaruhi kinerja, guna menentukan tindakan yang harus dilakukan dalam rangkapeningkatan kinerja itu sendiri.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja
Dalam pembahasan di atas, secara implisit, telah dikemukakan sedikitmengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja, antara lain lemahnya pemahamanterhadap visi, misi dan kedudukan dan tugas seseorang dalam sebuah organisasitermasuk lembaga pendidikan seperti madrasah. Faktor lain yang diduga turutmempengaruhi kinerja anggota suatu organisasi (Moekijat, 1998:98) adalah “pemberianupah dan insentif, penerimaan dan penempatan dan promosi” .
a. Pemberian upah dan insentif
Pada dasarnya tenaga kerja bekerja menginginkan balas jasa atau imbalan yanglayak. Dari balas jasa inilah mereka menginginkan agar kebutuhan-kebutuhanmereka dapat terpenuhi. Dalam arti cukup memberikan kepuasan individu parapekerja. Imbalan jasa inilah yang disebut dengan upah.
30
Ada beberapa pengertian upah yang dikemukakan para ahli, antara lain sebagaiberikut:
Menurut Hadi Purwono (2003:19), “upah adalah jumlah keseluruhan yangditetapkan sebagai pengganti jasa yang dikeluarkan oleh tenaga kerja meliputi masaatau syarat-syarat tertentu”. Menurut Dewan Penelitian Pengembangan Nasional,“upah adalah suatu penerimaan sebagai salah satu imbalan dari pemberian kerjakepada penerima kerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang akan dilaksanakan …”(Hadi Purwono, 2003:19).
Selain upah adalah istilah insentif. Menurut Manulang (1985:135), insentifadalah suatu perangsang atau dorongan yang diberikan dengan sengaja kepadakeryawan (penerima pekerjaan) agar dalam diri mereka timbul semangat yang lebihbesar untuk berprestasi”.
Adapun macam-macam insentif yang diberikan dapat digolongkan ke dalamdua golongan yaitu :”Financial incentive dan non financial incentive”.
Gaji dan upah masuk ke dalam financial incentive. Keduanya merupakanimbalan yang diberikan kepada karyawan atas pelaksanaan pekerjaannya. Dalamhubungan personalia yang lebih modern upah dan gaji memegang peranan pentingyang dapat digunakan sebagai alat memotivasi kerja. Secara tidak langsung upahdapat dimasukkan dalam incentive, tetapi bila dilihat dari frekuensi pemberian ataupenerimaan maka incentive pemberiannya tidak terus menerus. Incentive diberikanpada waktu-waktu tertentu untuk meningkatkan semangat kerja pegawai. Incentivedapat berupa pakaian seragam, hadian lebaran (THR = Tunjangan Hari Raya), ataubonus dari kegiatan-kegiatan tertentu.
Selain financial incentive, ada fakor lain yang dapat meningkatkan kinerjapegawai yaitu non financial incentive. Non finacial incentive dapat berupapemberian kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan latihan. Pendidikan danlatihan adalah salah satu kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan untukmeningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap para karyawan, sesuai dengankebutuhan perusahaan.
Selain pendidikan dan pelatihan non financial incentive dapat juga berupalingkungan kerja. Kegairahan kerja para karyawan dalam melaksanakan tugas-tugasyang dibebankan pada mereka selalu dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunyaadalah lingkungan kerja.
Lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar karyawan yangdapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang diberikankepadanya. Untuk itulah factor-faktor yang termasuk lingkungan kerja haruslahdiusahakan sedemikian rupa agar membawa pengaruh yang positif bagi karyawandalam menunaikan tugas. Diantara faktor-faktor lingkungan itu antara lain adalahwarna cat ruangan kantor, kebersihan, rasa aman, ventilasi yang baik dan lain-lain.
31
Bentuk lain dari non financial incentive adalah penghargaan. Penghargaanmerupakan suatu keistimewaan dari seseorang karyawan yang berprestasi dalampekerjaannya. Adanya penghargaan akan mendorong karyawan untuk meningkatkansemangat kerja yang lebih baik.
b. Penerimaan dan penempatan
Masalah penentuan tenaga kerja/karyawan tidak hanya menyangkut bagianpersonalia tetapi juga untuk seluruh bagian di dalam perusahaan atau organisasitersebut. Tenaga kerja tersebut mungkin bekerja pada bagian yang sesuai dengankebutuhan. Oleh karena itu rekrutmen atau penerimaan dan penempatan tenaga kerjaperlu dilakukan secara selektif (diseleksi).
Alex S Nitisemito (1995:44) memberikan pengertian seleksi sebagai kegiatansuatu perusahaan atau organisasi untuk dapat memilih tenaga kerja yang paling tepatdan dalam jumlah yang tepat pula”. Seseorang yang tidak memiliki kepedulianterhadap pendidikan atau tidak memenuhi syarat kulifikasi suatu organisasi sepertikomite sekolah tidak perlu ditarik untuk terlibat di dalam organisasi tersebut.
c. Promosi
Salah satu faktor yang dapat mendorong seseorang untuk bekerja denganbaik pada perusahaan atau organisasi tertentu adalah adanya promosi ataukesempatan untuk memperoleh kedudukan, karir yang lebih tinggi. Promosi,menurut Heidjrachman dan Suad Husnan (1992:11) adalah “perpindahan dari suatujabatan ke jabatan lain yang mempunyai status tanggung jawab yang lebih tinggi”.
Promosi dilakukan setelah melaksanakan penilaian pada prestasi kerja secaratepat. Hal ini merupakan salah satu yang penting dalam tata personalia. Tanpapenilaian maka promosi tersebut akan menimbulkan intrik-intrik yang tidak sehatseperti kecemburan dan lain-lain.
3. Penilaian Kinerja
Kinerja, seperti dikatakan di atas identik dengan prestasi kerja. Jadi berbicara
mengenai penilaian kinerja sama juga halnya dengan berbicara mengenai penilaian
prestasi kerja. Penilaian prestasi kerja atau penilaian kinerja erat kaitannya dengan
standar kinerja. Artinya standar kinerja perlu dirumuskan guna dijadikan tolok ukur
dalam mengadakan perbandingan antara apa yang telah dilakukan dengan apa yang
diharapkan, kaitannya dengan pekerjaan atau jabatan yang telah dipercayakan kepada
32
seseorang. Standar dimaksud dapat pula dijadikan sebagai ukuran dalam mengadakan
pertanggung jawaban terhadap apa yang telah dilakukan.
Menurut Wantjik (dalam Hami Handoko, 1999:467), penilaian prestasi kerja
atau kinerja adalah evaluasi sistematik terhadap job performance dan potensi untuk
pengembangan seorang pekerja”. Berdasarkan pendapat ini dapat dikemukakan bahwa
penilaian kinerja atau prestasi kerja itu lebih ditekankan pada hasil kerja dan bukan
dilihat dari kesungguhan dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Pelaksanaan kerja,
menurut Sondang P Siagian (1990:123) meliputi “keinginan bekerja, kemampuan kerja,
kemahiran kerja dan lingkungan kerja”. Kesemuanya ini dapat dinilai dari out put-out
put yang dihasilkannya serta kecepatan dalam mengerjakan pekerjaan yang diberikan
kepada seseorang yang ditugaskan untuk melakukan suatu pekerjaan.
Selanjutnya system penilaian prestasi kerja atau kinerja ini dapat dibagi ke
dalam beberapa bagian yaitu “perbandingan antar karyawan, satu pekerjaan dibanding
dengan pekerjaan lain, dan daftar isian.
Perbandingan antar karywan dimaksud di sini adalah melakukan suatu
perbandingan mengenai hasil pekerjaan dengan menggunakan rengking dari sangat
memuaskan hingga tidak memuaskan. Kemudian mebandingkan suatu pekerjaan dengan
pekerjaan lainnya yang dianggap memiliki kinerja yang tinggi. Selanjutnya daftar isian.
Daftar isian ini memuat beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan hasil pekerjaan
tersebut.
33
TR. Mitchell dalam kaitannya dengan standar kinerja menyatakan bahwa
kinerja meliputi beberapa aspek yaitu “quality of work, promptness, initiative,
capability, communication. Kelima aspek tersebut dapat dijadikan ukuran dalam
mengadakan pengkajian tingkat kinerja seseorang. Disamping itu, dikatakan
Sedarmauamto (2001: 51) pula bahwa untuk mengadakan pengukuran terhadap kinerja,
ditetapkan: performance = ability x motivation”.
Dari pernyataan tersebut, jelas bahwa untuk mendapatkan gambaran tentang
kinerja seseorang maka diperlukan pengkajian khusus tentang kemampuan dan motivasi.
Motivasi merupakan suatu proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap,
kebutuhan, persepsi dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang. Dan motivasi
sebagai proses psikologis timbul diakibatkan oleh factor di dalam seseorang itu sendiri
yang disebut intrinsik dan faktor dari luar yang disebut ekstrinsik.
Penilaian kinerja merupakan suatu kegiatan yang penting karena dapat
digunakan sebagai ukuran keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai misinya. Untuk
organisasi publik, informasi mengenai kinerja tentu sangat berguna untuk menilai
seberapa jauh kinerja dari organisasi itu dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat, apakah pelayanan itu telah memenuhi harapan dan memuaskan pengguna
jasa dalam hal ini masyarakat. Dengan melakukan penilaian terhadap kinerja maka
upaya untuk memperbaiki kinerja bisa dilakukan secara terarah dan sistematis. Informasi
mengenai kinerja juga penting untuk menciptakan tekanan bagi para pejabat
penyelenggara pelayanan untuk melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi.
34
Dengan adanya informasi mengenai kinerja maka benchmarking dengan mudah bisa
dilakukan dan dorongan untuk memperbaiki kinerja bisa diciptakan.
Kompetensi Guru sebagai Alat Penilaian Kinerja
Kinerja seseorang dapat dipengaruhi oleh kompeten atau tidaknya orang tersebut dalam
melakukan suatu pekerjaan. Seorang guru yang tidak kompeten dalam bidangnya atau
katakanlah kompetensinya sebagai guru tidak baik maka kinerja guru tersebut cendrung
akan tidak baik pula. Tidak ahli sama dengan tidak profesional.
Dalam hal ini Rasulullah bersabda (Hussein Bahreisy 1989, hlm. 72), “suatu
pekerjaan yang diserahkan kepada seseorang yang bukan ahlinya, maka tuggulah saat
kehancurannya”. Kata ahlinya dalam terjemah hadits di atas oleh Martinis Yamin (2006,
hlm. 3) diidentikkan dengan profesional.
Jadi profesi adalah keahlian. Guru yang prosefesional sama dengan guru yang
memiliki keahlian dalam bidang keguruan. Volmer dan Mills (dalam Syafrudin 2005,
hlm. 13) seorang yang menekuni satu bidang pekerjaan berdasarkan keahlian,
kemampuan, teknik, dan prosedur berlandaskan intelektualitas.
Mc. Cully (dalam Syafrudin 2005, hlm. 13) menyatakan bahwa “profession is a
vocation in which professed knowledge of some department of learaning or science is
used in its application to the affairs of other or in the practice of an art founded upon
it”.
Dalam kamus Bahasa Indonesia, istilah profesi adalah bidang pekerjaan yang
dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan dan kejuruan dan sebagainya) tertentu.
35
Berbagai pengertian profesi di atas menimbulkan makna, bahwa profesi yang
disandang oleh tenaga kependidikan atau guru adalah sesuatu pekerjaan yang
membutuhkan pengetahuan, keterampilan, kemampuan, keahlian, dan keteladanan untuk
menciptakan anak yang memiliki prilaku yang sesuai dengan harapan.
Masalah utama pekerjaan profesi adalah implikasi dan konsekuensi jabatan
terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Tinggi rendahnya pengakuan profesionalisme
bergantung kepada keahlian dan tingkat pendidikan yang ditempuh. Setiap guru harus
memahami fungsinya karena sangat besar pengaruhnya terhadap cara bertindak dan
berbuat dalam menunaikan tugasnya sehari-hari di sekolah dan dimasyarakat. Menurut
Hadari Nawawi (1989, hlm. 123) bahwa “Pengetahuan dan pemahamannya tentang
kompetensi guru akan mendasari pola kegiatannya dalam menunaikan profesi guru”.
Dengan demikian seseorang yang telah memilih guru sebagai profesinya harus
benar-benar professional dibidangnya. Di samping juga harus memiliki kecakapan dan
kemampuan dalam mengelola interaksi belajar mengjar. Hal ini dapat dipahami bahwa
profesionalitas seorang guru dapat menentukan keberhasilan proses belajar siswa.
Seorang guru madrasah sebagai guru yang mempunyai profesionalitas di
bidangnya, sejatinya menguasai betul seluk beluk pendidikan di Madrasah terutama
mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Pendidikan di Madrasah memiliki
karakteristik tersendiri di banding pendidikan di lembaga formal lain, karena Madrasah
mengandung ciri khas dimana mata pelajaran pendidikan agama Islam di Madrasah di
klasifikasi menjadi 4 (empat) mata pelajaran yaitu Fiqih, Aqidah Akhlak, Qur’an Hadits
dan Sejarah Kebudayaan Islam.
36
Secara lugas dapat dikemukakan bahwa kompetensi profesional guru Madrasah
itu antara lain (Abdul Hamid 2003, hlm. 153-154) adalah sebagai berikut:
1 Menguasai bahan atau materi 2 Mampu mengelola program belajar mengajar3 Mampu mengelola kelas4 Mampu mengelola dan menggunakan media serta sumber belajar5 Mampu menilai prestasi belajar mengajar6 Memahami prinsip-prinsip pengelolaan lembaga dan program pendidikan
di sekolah7 Terampil memberikan bimbingan dan bantuan kepada siswa8 Menguasai metode berpikir9 Meningkatkan kemampuan dalam menjalankan profesinya10 Memiliki wawasan tentang penelitian pendidikan11 Mampu menyelenggarakan penelitian secara sederhana untuk keperluan
pengajaran12 Mampu memahami karakteristik siswa13 Mampu menyelenggarakan administrasi sekolah14 Memiliki wawasan tentang inovasi pendidikan15 Berani mengambil keputusan16 Memahami kurikulum dan perkembangannya17 Mampu bekerja terencana dan terprogram18 Mampu menggunakan waktu secara tepat
Demikian kompetensi profesional yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam
kaitannya dengan proses belajar mengajar. Kinerja guru yang menjadi fokus pembahasan
dalam tesis ini dapat diukur melalui kemampuan-kemampuan atau kompetensi
sebagaimana termaktub di atas.
Selanjutnya berikut ini akan dikemukakan macam-macam kompetensi yang
sejatinya harus melekat pada diri seorang guru.
Jika mengacu pada Undang-undang Guru dan Dosen, secara formal terdapat
empat kompetensi yang wajib dimiliki para guru, yakni kompetensi paedagogik yang
meliputi kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik, perancangan dan
pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk
37
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki peserta didik. Kompetensi
profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan
mendalam yang memungkinkan guru untuk membimbing peserta didik memenuhi
standar kompetensi yang ditetapkan. Kompetensi sosial meliputi kemampuan dosen
sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan
peserta didik, sesama dosen, wali mahasiswa dan masyarakat sekitar. Dan kompetensi
kepribadian meliputi kemampuan dan memiliki karakter kepribadian yang mantap,
stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi mahasiswa dan berakhlak
mulia.
Penguasaan kompetensi profesional menuntut guru memiliki pengetahuan yang
luas terhadap materi mata pelajaran yang diasuhnya, seperti kemampuan
mengorganisasikannya untuk disajikan kepada siswa di kelas. Kemampuan ini
menyangkut juga kemampuan penguasaan metodologi pembelajaran yang baik. Seperti
yang dikemukakan Arikunto (1990: 240) penguasaan kompetensi profesional meliputi
kemampuan berikut:
1. Menguasai bahan bidang studi dalam silabus yang berlaku dan penguasaan atas
bahan ajar guna pendalaman dan pengayaan.
2. Mengelola program pembelajaran, merumuskan tujuan instruksional, mengenal dan
menggunakan metodologi pembelajaran, memilih dan menyusun prosedur
pembelajaran yang tepat, melaksanakan program, mengenal entry behavior dan
merencanakan serta melaksaakan remedial.
38
3. Mengelola kelas yang meliputi mengatur tata ruang untuk pembelajaran dan
menciptakan suasana belajar yang kondusif.
4. Merancang, membuat dan menggunakan media dan sumber belajar, membuat alat
bantu mengajar yang terjangkau, menggunakan fasilitas belajar seperti laboratorium,
micro teaching, perpustakaan, dll.
5. Menguasai landasan pendidikan.
6. Mengelola interaksi belajar mengajar.
7. Menilai prestasi peserta didik untuk kepentingan pengajaran
8. Mengenal fungsi dan program bimbingan akademik
9. Mengenal dan melaksanakan administrasi akademik
10. Menguasai prinsip dan penelitian pendidikan untuk keperluan pembelajaran.
Dengan melaksanakan semua aktivitas yang terkait dengan sepuluh kegiatan di
atas, dipastikan standar profesionalitas seorang dosen dapat diketahui tingkat
kualifikasinya. Karena dengan penguasaan kemampuan profesional tersebut pada
dasarnya dapat dikatakan bahwa dosen yang bersangkutan telah melaksanakan proses
pembelajaran secara utuh yang meliputi kegiatan persiapan, proses pelaksanaan dan
penilaian.
Selain penguasaan atas kompetensi profesional, seorang dosen guru diharapkan
memiliki kemampuan paedagogik yang baik. Kompetensi paedagogik ini terkait dengan
kemampuan dosen mengelola pembelajaran dengan penampilan pembelajaran yang
secara psikologis mampu membentuk suasana belajar yang dinamis. Aplikasi
39
pendekatan pembelajaran dan melakukan evaluasi yang utuh atas proses belajar peserta
didik adalah bagian dari kompetensi paedagogik ini.
Tidak kalah pentingnya dimiliki para guru adalah selain penguasaan kompetensi
profesional dan paedagogik ini, juga kompetensi kepribadian dan sosial. Kompetensi
kepribadian ini meliputi komponen stabilitas emosi dan kesehatan mental, personal
appearence, kesehatan dan vitalitas, kejujuran dan karakter, penyesuaian, kerjasama,
kemampuan berkomunikasi, kepemimpinan dan solidaritas (Mansyur, 1994: 164).
Sedangkan kompetensi sosial ditunjukkan oleh kemampuan melakukan kontak sosial
(social interaction) dengan semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan di
institusi pendidikan, yang meliputi hubungan dengan sejawat, karyawan, pimpinan
maupun anggota masyarakat di lingkungannya. Seorang dosen idealnya memiliki
kepekaan sosial yang tinggi dan mampu menangkap fenomena sosial yang terjadi di
sekitar lingkungan belajar.
Kepekaan sosial ini pada tataran tertentu memberikan kemampuan bagi dosen
untuk melakukan pembelajaran dengan pendekatan contextual teaching and learning
(CTL) yang saat ini terus dikembangkan sebagai pendekatan pembelajaran yang mampu
melatih kecerdasan intelektual dan sosial peserta didik. Gabungan keempat kompetensi
yang dikemukakan di atas dalam diri seorang dosen dipastikan mampu mengantarkan
para dosen pada kesuksesan pembelajarannya.
40
41