Upload
dinhcong
View
221
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
19
BAB 2
PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN
COLLECTIVE ACTION
Bagian ini memuat perspektif Livelihood dengan tekanan
mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari
pemikiran Chambers dan Conway serta pemikir lain tentang
permasalahan Livelihood pedesaan yang berkelanjutan. Selain itu
kajian studi literatur ini juga memuat sejumlah tinjauan mengenai
social movement dan collective action. Social movement dan collective action ditempatkan di sini untuk meneropong lebih jauh aktivitas-
aktivitas bersama kelompok masyarakat dalam rangka
memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya.
Latar Belakang Konsep Livelihood
Bagian ini merupakan pembahasan tentang pemikiran
Chambers dan Conway (1991) mengenai Livelihood dan Sustainable Livelihood. Istilah Livelihood dan Sustainable Livelihood yang
digunakan dalam tulisan ini tidak diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia karena beberapa tulisan tentang pokok ini dalam bahasa
Indonesia dari sejumlah studi yang dibuat ada yang mengartikannya
sebagai penghidupan atau mata pencaharian bahkan juga dilihat
sebagai nafkah. Selanjutnya, dalam tulisan ini Livelihood dilihat atau
diartikan sebagai penghidupan.
Chambers dan Conway berpendapat bahwa telah terjadi
perubahan yang begitu cepat dalam semua bidang kehidupan manusia.
Gejala-gejala perubahan dimaksud dapat diamati pada aspek ekologi,
ekonomi, intelektual, profesi, psikologi, sosial dan teknologi. Dikatakan
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
20
secara khusus terjadi perubahan dan perkembangan yang luar biasa
pada aspirasi manusia yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan
akses informasi. Berkaitan dengan akselerasi perubahan, secara
kontekstual terdapat dua hal yang belum pernah ada sebelumnya yaitu,
pertama, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, cara-cara dan perilaku umum
yang berlaku di masyarakat ditinggalkan; kedua, kondisi masa depan
menjadi lebih pelik dan sulit diprediksi. Menurut keduanya, dalam
kondisi seperti itu kita menghadapi masa depan yang tak menentu,
berlangsung dalam perubahan yang cepat dan kita akan tertinggal
bahkan keliru mengantisipasi masa depan. Sehingga muncul suatu
prediksi, akan terjadi bencana alam dan wabah penyakit sebagai
bencana masif berkepanjangan, dan pada abad ke-21 populasi manusia
akan bertambah besar dari masa sebelumnya. Akibatnya beban
pertumbuhan akan menimbulkan meluasnya daerah-daerah miskin
dan diproyeksikan sampai tahun 2025, tiga perempat penduduk dunia
di daerah-daerah yang berpendapatan menengah akan memperoleh
pendapatan yang rendah. Keadaan ini mempunyai implikasi bagi
strategi pembangunan kota dan desa yang sangat besar. Menurut
keduanya, ketika jutaan orang terperangkap dalam kemiskinan secara
masif tanpa mengetahui sebabnya dan bila tidak diantisipasi
pertambahan penduduk yang begitu banyak di masa depan, kita sulit
mencapai tingkat kehidupan yang adil, memadai dan pantas. Keadaan
demikian merupakan situasi yang sungguh-sungguh mengkhawatirkan.
Chambers dan Conway mengungkapkan, walaupun banyak penjelasan
dan argumen dalam tulisan yang dibuat ini dapat diterapkan pada
kondisi masyarakat urban, tetapi sesungguhnya keduanya lebih
berfokus pada kondisi masyarakat pedesaan.
Chambers dan Conway lebih memperhatikan kondisi hidup
masyarakat pedesaan karena alasan-alasan berikut: pertama,
kebutuhan-kebutuhan orang miskin pedesaan nampaknya tidak akan
diperhatikan di masa depan. Hal ini disebabkan karena, aspirasi dan
kebijakan organisasi politik yang muncul serta pengaruh perkotaan
terpusat pada sumber-sumber daya di wilayah perkotaan; kedua,
sejumlah besar orang dapat hidup dengan layak di wilayah perkotaan,
tanpa tekanan dan kesulitan, tetapi banyak pengalaman dalam
Perspektif Livelihood dan Collective Action
21
pembangunan menunjukkan perlu dicari cara-cara membangun untuk
mendukung lebih banyak orang di wilayah pedesaan; ketiga, strategi
pembangunan dan lingkungan di abad ke-21 sesungguhnya berpusat
pada masyarakat, keadilan dan hidup berkelanjutan, akan tetapi
senyatanya banyak dari antara masyarakat mengalami kerentanan dan
kertersisihan. Keaadan ini memunculkan pertanyaan yang menantang
yaitu, bagaimana dapat mempercepat dan memperbesar jumlah orang
yang dapat hidup lebih baik, sekurang-kurangnya berdasarkan
Livelihood pedesaan secara berkelanjutan?
Selanjutnya keduanya mempertanyakan, bagaimana mencari
petunjuk dan jawaban atas pertanyaan tentang beberapa aspek pokok
yang perlu diuji berkaitan dengan analisis konvensional ilmu
pengetahuan sosial. Dua hal yang disebutkan ialah perlu
memperhatikan kelemahan analisis profesional konvensional dan hal-
hal fundamental dalam Livelihood yang terdiri dari kapabilitas,
keadilan dan keberlanjutan. Dalam konteks perubahan yang begitu
cepat dan ketidakpastian, sering dipertentangkan konsep-konsep
kovensional dan konservatif, berkaitan dengan nilai-nilai, metode-
metode dan perilaku. Dikatakannya ada tiga bentuk pemikiran yang
diajarkan dan digunakan dalam analisis yang bertentangan dengan
semangat perubahan, yaitu production thinking, employment thinking dan poverty-line thinking. Pertama, menurut perspektif production thinking, berbagai masalah seperti kelaparan, ketiadaan nutrisi, dan
malnutrisi merupakan masalah produksi (penghasilan) atau berkaitan
dengan jenis-jenis makanan yang diproduksi. Kedua, dalam perspektif
employment thinking, masalah kemiskinan dilihat sebagai keadaan
tanpa pekerjaan. Dengan demikian masyarakat ideal adalah suatu
masyarakat yang berada dalam keadaan di mana setiap anggotanya
mempunyai pekerjaan. Tetapi dalam kenyataan di daerah pedesaan
banyak orang hidup dalam keadaan tidak mampu menyesuaikan diri
dengan perubahan yang terjadi. Ketiga, perspektif poverty-line thinking. Menurut perspektif ini deprivasi dipahami dalam terminologi
kemiskinan bagaikan sebuah garis lurus yang panjang berdasarkan
ukuran pendapatan atau konsumsi dan jasa semata-mata. Padahal
deprivasi dan kesejahteraan seperti yang dialami orang miskin
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
22
pedesaan mempunyai banyak dimensi yang tidak dapat dijelaskan
dengan ukuran-ukuran tersebut. Jadi menurut Chambers dan Conway
ketiga bentuk analisis tadi mempunyai dua kelemahan, yakni pertama,
pemikiran-pemikiran tersebut merupakan cara berpikir dunia industri;
kedua, terjadi pereduksian nilai untuk mempermudah pengukuran
kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat.
Setelah melihat kelemahan analisis yang dikritik Chambers dan
Conway, perlu disimak pula penjelasan keduanya tentang hal-hal
fundamental Livelihood yang terdiri dari kapabilitas (capability),
keadilan (equity) dan keberlanjutan (sustainability). Keduanya
menyatakan, ketiga aspek tersebut saling berkaitan sebagai suatu
paradigma pembangunan yang mempunyai sisi normatif dan praktis
untuk pencapaian Livelihood yang memadai. Selain itu kerangka
berpikir ini dapat digunakan juga untuk meredam konflik dan
mendukung pencapaian tujuan hidup masyarakat secara timbal balik.
Chambers dan Conway menjelaskan, istilah kapabilitas
digunakan merujuk pada konsep Amartya Sen (1999), yakni
kemampuan yang ada dalam diri manusia yang berfungsi untuk
melakukan sesuatu, termasuk kemampuan manusia untuk mengatasi
tekanan dan goncangan serta untuk memanfaatkan peluang-peluang
yang diperoleh dalam Livelihood. Dengan kata lain kapabilitas
merupakan sesuatu yang bermakna, dapat mendukung dan
memungkinkan tercapainya Livelihood secara memadai. Dengan
demikian hidup yang berkualitas nampak pada aktivitas yang
bermakna dan terbuka bagi seseorang atau sekelompok orang untuk
memilih bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan. Jadi kapabilitas
tidak bersifat reaktif, tapi merupakan sebuah respon terhadap kondisi-
kondisi hidup manusia yang berubah. Dalam kapabilitas ada
kemampuan yang bersifat proaktif dan adaptif untuk menyesuaikan
diri secara dinamis dengan situasi yang ada, termasuk kemampuan
melihat peluang untuk mendapatkan akses dan memperoleh pelayanan
serta informasi, mengusahakan masa depan, melakukan percobaan dan
inovasi, berkompetisi dan berkolaborasi dengan yang lain, bisa
menguasai situasi baru dan sumber-sumber daya yang ada. Kemudian
Perspektif Livelihood dan Collective Action
23
aspek equity atau keadilan. Secara konvensional equity digunakan
sebagai ukuran yang relatif berhubungan dengan distribusi
pendapatan. Tetapi dalam perkembangannya kata tersebut kemudian
juga digunakan dalam arti yang lebih luas, berkaitan dengan masalah
kapabilitas, ketidakadilan pendistribusian aset-aset dan peluang-
peluang perbaikan hidup yang hilang di masyarakat. Equity juga dapat
dikaitkan dengan persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan,
golongan minoritas dan semua orang yang lemah, seperti kaum urban
dan kaum miskin pedesaan yang tak berdaya. Sedangkan sustainability dikatakan mengandung nilai, makna dan tujuan, terkait dengan sumber
daya hidup secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan generasi
yang akan datang. Dari sisi pembangunan dan lingkungan,
Sustainability mengacu pada pandangan dunia global yang baru terkait
dengan polusi, pemanasan global, deforestasi, eksploitasi tak terbatas
terhadap sumber-sumber daya yang tak dapat diperbaharui dan adanya
degradasi lingkungan. Menurut keduanya, semua istilah tersebut itu
hanyalah bersifat verbalistik bila tidak ditindaklanjuti dengan langkah-
langkah konkrit jangka panjang. Langkah-langkah kongkrit
dibutuhkan karena dunia secara global mengalami ancaman
keterbatasan sumber daya alam akibat konsumsi yang boros dan polusi
di satu sisi serta dampak dari derasnya pertumbuhan populasi
penduduk dunia di sisi lain. Dalam keadaan biasa Sustainability mengandung arti berkecukupan bagi diri sendiri. Sebagai suatu ideologi
sustainability berhubungan juga dengan pengendalian diri dan nasib
manusia jangka panjang. Selain itu pandangan ini digunakan juga
untuk menyoroti gaya hidup atau life styles yang menganggap remeh
kehidupan di bumi. Misalnya berkaitan dengan penggunaan pupuk-
pupuk kimia di bidang pertanian serta rendahnya kesadaran
mengembangkan pertanian organik. Hal ini sesungguhnya dapat
dilakukan oleh institusi-institusi terkait untuk meningkatkan
pendapatan atau penghasilan, mendukung usaha-usaha masyarakat
sebagai proses pengembangan diri sendiri tanpa subsidi atau bantuan.
Livelihood, dalam konteks sosial, menggunakan Sustainability berfokus pada cara memaknai kemungkinan memelihara atau
meningkatkan aset-aset lokal dan global sesuai kapabilitas manusia
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
24
sebagai upaya mewujudkan kemandirian Livelihood. Setelah melihat
latar belakang pemikiran Chambers dan Conway tentang permasalahan
Livelihood dan Sustainable Livelihood, khususnya di pedesaan, berikut
dibuat penjelasan lebih jauh mengenai paham-paham dimaksud.
Livelihood
Pokok ini merupakan bagian kedua dari pembahasan dalam
makalah tersebut yang berhubungan dengan paham Livelihood dan
Sustainable Sivelihood. Penjelasan pemikiran Chambers dan Conway
tentang Livelihood dibagi dalam tiga subtema. Ketiga subtema
dimaksud ialah pertama, Livelihood Sustainability sebagai suatu konsep
yang terintegrasi; kedua, faktor-faktor penentu Livelihood; ketiga,
human livelihood yang alamiah.
Sustainability Livelihood sebagai Konsep yang Terintegrasi
Seperti sudah dibahas sebelumnya bahwa aspek kapabilitas
(capabilities), keadilan (equity) dan berkelanjutan (sustainability),
merupakan satu keterpaduan dalam konsep Sustainability Livelihood.
Dikatakan demikian karena kapabilitas mendukung peningkatan usaha
yang menguntungkan dalam Livelihood. Equity dalam Livelihood berkaitan dengan hak-hak yang adil dalam pemanfaatan aset dan akses
yang menguntungkan. Sedangkan Sustainability atau berkelanjutan
berhubungan dengan perihal sumber daya kehidupan yang bermakna,
penyediaan kondisi-kondisi Livelihood yang berkelanjutan bagi
generasi yang akan datang.
Gagasan-gagasan mengenai konsep Livelihood dikembangkan
oleh World Commision on Environment and Developmnet (WCED)
dengan usulan yang disebut Sustainable Livelihood Security (SLS)
sebagai suatu konsep yang terpadu. Rumusan Sustainable Livelihood Security berbunyi sebagai berikut:
Livelihood is defined as adequate stocks and flows of food and cash to meet basic need. Security refers to secure ownership of, or access to, resources and income-earning activities, including reserves and assets to offset risk, ease
Perspektif Livelihood dan Collective Action
25
shocks and meet contingencies. Sustainable refers to the maintainance or enhancement of resource productivity on a long-term basis. A household may be enabled to gain sustainable livelihood security in many ways-through ownership of land, livestock or trees; rights to grazing, fishing, hunting or gathering; through stable employment with adequate remuneration; or through varied repertoires of activities.
Berikut ini penulis mencoba membuat terjemahan bebas
tentang rumusan Sustainable Livelihood Security (SLS) sebagai berikut:
Livelihood didefinisikan sebagai ketersediaan barang-barang, makanan
dan uang secara memadai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasar manusia. Security merujuk pada kemungkinan-kemungkinan
seseorang atau sekelompok orang beraktivitas untuk memperoleh
barang-barang yang bersifat pribadi atau adanya akses-akses terhadap
sumber-sumber penghidupan dan pendapatan yang aman serta aset-
aset untuk penanggulangan resiko, meredakan goncangan. Unsur
Sustainable mengacu pada pemeliharaan atau pengembangan sumber-
sumber penghidupan yang produktif dalam jangka waktu yang
panjang. Dengan demikian suatu rumah tangga dimungkinkan
memperloleh livelihood berkelanjutan yang aman dengan berbagai
cara, memiliki tanah, ternak atau jenis-jenis tanaman; dengan hak-hak
sebagai peternak, nelayan, pemburu atau peramu; mempunyai
pekerjaan yang tetap dengan imbalan yang memadai; melalui aktivitas-
aktivitas yang bervariasi.
Berdasarkan definsi WCED di atas, Chambers dan Conway
mengusulkan definisi kerja tentang Sustainable Livelihood (SL)
sebagaimana termuat dalam tulisan mereka yang berjudul Sustainable Rural Livelihood: Practical Concepts for the 21st Century, berikut ini:
A livelihood comprises the capabilities, assets (stores, resources, claims and acces) and activities required for a means on living: a livelihood is sustainable which can cope with and recover from stress and shocks, maintain or enhance its capabilities and assets and provide sustainable livelihood opportunities for the next generation; and which contributes net benefits to other livelihoods at the local and global levels and in the short and long term.
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
26
Suatu Livelihood terdiri dari kapabilitas, aset-aset (barang-
barang, sumber-sumber penghidupan, hak-hak dan akses-akses) dan
aktivitas-aktivitas yang bermakna bagi kehidupan; suatu Livelihood disebut berkelanjutan jika dapat menangkal dan memulihkan tekanan
serta goncangan, memelihara atau meningkatkan kapabilitas dan aset-
aset serta menyediakan peluang-peluang Livelihood secara berkelan-
jutan bagi generasi yang akan datang; dan dapat berkontribusi dengan
berjejaring pada Livelihood lainnya di tingkat lokal dan global dalam
jangka pendek dan jangka panjang.
Senada dengan pemikiran di atas, Lasse Krantz (2001) dalam
tulisan berjudul The Sustainable Livelihood Approach to Proverty Reduction An Introduction, menyatakan definisi tentang Livelihood pada umumnya disepakati penggunaannya oleh para ahli berkaitan
dengan kehidupan rumah tangga (household), sebagaimana dijelaskan
Chambers dan Conway. Hal yang sama juga berlaku terhadap
pandangan tentang kesejahteraan dan akses baik pada tataran individu
di dalam rumah tangga, maupun secara lebih luas pada tataran keluarga
besar (extended family), kelompok sosial, dan komunitas.
Selanjutnya dikatakan baik oleh Chambers dan Conway
maupun Krantz, jenis-jenis komponen Livelihood bersifat kompleks.
Livelihood bisa meliputi, aset dan akses. Pertama, aset-aset. Yang
dimaksud dengan aset-aset adalah sesuatu yang digunakan orang dalam
hidupnya, meliputi aset yang kelihatan (tangible) dan yang tak
kelihatan (intangible). Aset-aset yang kelihatan seperti bahan
makanan, emas, perhiasan dan uang. Aset juga bisa berupa sumber daya
alam seperti, tanah, air, pohon-pohon, ternak, kebun dan berbagai
peralatan. Di samping itu juga ada aset-aset yang tidak kelihatan seperti
cita-cita dan dukungan moral untuk melakukan sesuatu. Kedua, akses.
Akses merupakan peluang yang ada dalam hidup untuk mendapatkan
sesuatu seperti sumber daya alam, tempat berbelanja, atau akses untuk
mendapatkan pelayanan atau informasi, barang-barang, teknologi,
pekerjaan, makanan atau pendapatan. Oleh sebab itu menurut
Chambers dan Conway perlu diperhatikan kapasitas internal
Livelihood agar dapat dikembangkan kemampuan bertahan melawan
Perspektif Livelihood dan Collective Action
27
tekanan dari luar, sehinga dapat mengatasi tekanan dan goncangan.
Tekanan (streses) di sini diartikan sebagai ancaman yang berkelanjutan
secara tipikal dan kumulatif. Tekanan yang berkelanjutan berpengaruh
menimbulkan goncangan atau shock. Keadaan tersebut secara tipikal
tersembunyi, tidak dapat diramalkan dan bersifat traumatik, seperti
ketika berhadapan dengan kebakaran, banjir, dan situasi epidemik
tertentu.
Selanjutnya menurut Krantz, sejumlah penulis ketika
mendefinisikan Livelihood Sustainability menempatkan di dalamnya
aspek makna untuk menjelaskan bahwa setiap orang mempunyai
kapabilitas untuk menjauhi atau menghindarkan diri, termasuk
kebiasaan bertahan dan kemampuan memulihkan diri dari tekanan dan
goncangan yang dihadapi. Oleh karena itu menurut Krantz, tulisan
Chambers dan Conway mempunyai arti yang penting karena
menjelaskan konsep Sustainable Livelihood, yang kemudian dapat
dikembangkan. Selain pembahasan Chambers dan Conway serta
Krantz mengenai Sustainable Livelihood, akan dijelaskan pula catatan
lain yang serupa menurut Institute for Development Studies (IDS) dan
Departement for International Development (DFID) seperti yang
terdapat dalam catatan Krantz dan Scoone (1998).
Menurut Krantz, definisi Sustainable Livilihood yang
dimodifikasi oleh Institute for Development Studies (IDS) dari
Universitas Sussex, Brington, United Kingdom (UK), sebagaimana
dilaporkan Ian Scoones, adalah sebagai berikut:
A livelihood comprises the capabilities, assets (including both material and social resources) and activities required for a means of living. A livelihood is sustainable when it can cope with and recover from stresses and shocks, maintain or enhance its capabilities and assets, while not undermining the natural resource base.
[Suatu Livelihood berisikan kapabilitas, aset-aset (termasuk
sumber-sumber daya material dan sosial) serta aktivitas-aktivitas yang
bermakna bagi suatu kehidupan. Suatu livelihood berkelanjutan
bilamana dapat menangkal dan memulihkan ketegangan dan
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
28
goncangan, memelihara atau meningkatkan kapabilitas serta aset-aset,
namun tidak mengurangi sumber-sumber daya alam yang pokok]
Jadi menurut IDS, seperti yang dicatat Scoones, Livelihood dilihat berisikan aspek-aspek yang mengandung kapabilitas dan aset
yang terdiri dari sumber daya material maupun sumber daya sosial.
Dengan demikian Sustainable Livelihood dipahami sebagai kekuatan
yang dapat menguasai dan memulihkan tekanan dan goncangan,
memelihara atau mempertinggi kapabilitas dan aset-aset, tanpa
mengurangi sumber daya alam yang pokok. Menurut Krantz perbedaan
pokok antara definisi IDS dengan rumusan awal yang dielaborasi oleh
Chambers dan Conway tidak memasukkan aspek rekrutmen atau
pengembangan Livelihood agar sungguh-sungguh menjadi
berkelanjutan sebagai kontribusi yang bermanfaat dari hubungan
antar-livelihood. Dikatakannya, walaupun definisi Livelihood versi
IDS kurang mengandung banyak persyaratan tetapi rupanya lebih
realistik.
Sedangkan rumusan lain muncul dari Departement for International Development (DFID), yang berasal dari Inggris sebagai
kerangka tentatif untuk menganalisis Sustainable Rural Livelihoods, sebagai kontribusi IDS yang diadopsi dan dielaborasi oleh Scoone. Ada
tiga elemen penting, yaitu, a. Livelihood Resources (sumber-sumber
daya penghidupan). b. Livelihood Strategies (strategi-strategi
penghidupan). c. Institusional Processes and Organizational Studies (proses-proses institusional dan studi-studi organisasi). Pertama,
dijelaskan lebih lanjut bahwa Livelihood Resources, terdiri dari unsur-
unsur dasar yang bersifat material dan sosial serta aset yang kelihatan
dan tidak kelihatan yang digunakan masyarakat untuk membangun
hidupnya. Hal ini secara konseptual berbeda dari jenis-jenis modal
yang menekankan peranan modal-modal sebagai sumber daya utama
(Sachs, 2005), di mana Livelihood dikonstruksikan. Ada empat tipe
kapital atau modal yang diindentifikasi dalam kerangka kerja IDS,
yaitu natural capital, economic or financial capital, human capital dan
Perspektif Livelihood dan Collective Action
29
social capital1. Menurut Scoones sebagaimana dijelaskan Krantz,
menarik untuk menggunakan secara terpadu jenis-jenis aset yang
berbeda sebagai modal masyarakat mengembangkan hidupnya. Oleh
karena itu perlu mengindentifikasi jenis-jenis Livelihood Resources sebagai modal atau kapital untuk mengembangkan strategi Livelihood melalui langkah-langkah proses analisis. Kedua, berkenaan dengan
strategi Livelihood dikatakan, masyarakat sendiri harus menjadi
subyek analisis dan konsisten memadukan aktivitas-aktivitas yang oleh
Scoone disebut “Livelihood Portofolio”. Suatu portofolio boleh jadi
merupakan spesialisasi dan berpusat pada satu atau beberapa aktivitas,
yang barangkali berbeda, dengan demikian dapat diuraikan faktor-
faktor penting di samping suatu strategi terpadu.
Selain itu, perbedaan “livelihood pathways” (peluang-peluang
kecil livelihood) bisa diusahakan melampaui waktu dan di antara masa
yang lebih panjang, antargenerasi, dan akan bergantung pada jenis-
jenis pilihan, langkah di mana rumah tangga berada dalam lingkaran
domestik atau secara lebih fundamental ada dalam perubahan secara
lokal karena kondisi eksternal. Untuk menganalisis secara terpadu
Livelihood masyarakat dapat digunakan pendekatan sejarah.
Akhirnya, dikatakan frekuensi strategi Livelihood sangat berbeda
antara individu-individu dan rumah tangga bergantung pada
perbedaan aset yang dimiliki, tingkat pendapatan, gender, usia,
golongan, status sosial dan politik. Suatu pendekatan analisis sosial
yang berbeda diperlukan bagi strategi Livelihood. Untuk memahami
kompleksitas dan proses-proses pembedaan melalui mana Livelihood
dikonstruksikan, menurut Scoones tidak cukup menganalisis aspek-
1Kerangka kerja IDS menyebutkan, Natural capital, terdiri dari persediaan sumber daya alam seperti tanah, air, udara, sumber daya alam turunan lainnya serta jasa-jasa lingkungan seperti pompa air, pengatur udara dan sebagainya. Economic or financial capital, seperti uang, sistem kredit dan debit, tabungan, dan aset-aset ekonomi lainnya termasuk infrastruktur dasar serta alat-alat produksi dan tekonologi. Semuanya ini merupakan hal-hal penting pada umumnya dicari dalam rangka mengembangkan strartegi livelihood.Human capital, terdiri dari ketrampilan, pengetahuan, kemampuan kerja, kesehatan yang baik, kemampuan fisik, penting untuk keberhasilan mencari strartegi livelihood yang berbeda. Selanjutnya Social capital, adalah sumber-sumber daya sosial seperti, jejaring sosial, hak-hak sosial, relasi sosial, afiliasi-afiliasi, asosiasi-asosiasi,
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
30
aspek sumber daya Livelihood dan strategi yang berbeda sebagai
elemen-elemen yang terpisah. Salah satu hal yang harus juga dianalisis
bersama-sama ialah proses institusional dan struktur organisasi yang
berhubungan dengan berbagai unsur yang ada. Ketiga, secara khusus
penting adanya investigasi tentang subyek dalam konteksnya. Scoones
menunjukkan bahwa institusi-institusi yang didefinisikan sebagai
aturan-aturan praktis atau ketentuan-ketentuan perilaku terstruktur
oleh aturan dan norma-norma masyarakat yang mana digunakan secara
terus-menerus dan meluas. Institusi-institusi boleh jadi bersifat formal
atau informal, bersifat tidak stabil dan ambigu serta menginspirasi
suatu frekuensi kekuatan. Dengan begitu institusi-institusi, langsung
atau tidak langsung menjadi penghubung ke akses sumber-sumber daya
Livelihood yang mana pada gilirannya berdampak pada pilihan strategi
Livelihood dan bagi ruang lingkup Livelihood berkelanjutan. Karena
itu yang mau diggarisbawahi di sini terkait dengan insititusi ialah
institusi diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial dan dinamika
kekuatan yang tersembunyi, sebagai sesuatu yang vital.
Menurut Krantz, secara teoritis memungkinkan untuk
menganalisis dimensi-dimensi dan elemen-elemen Sustainable Livelihood yang bervariasi. Namun lebih sulit menentukan mana
faktor-faktor penting dalam situasi riil, sebab masing-masing
mempunyai situasi unik dan karena itu dibutuhkan analisis konteks
yang khusus. Sebab apa yang ditetapkan sebagai sesuatu yang penting
dan memuaskan atau tidak memadai sebagai Livelihood bersifat
subyektif. Oleh karena itu secara esensial analisis Sustainable Livelihood melibatkan orang setempat dengan pengetahuan, persepsi
dan interes mereka sebagai suatu kekuatan. Ini merupakan suatu
praktek yang menghargai orang setempat sebagai analis utama yang
menggunakan konsep-konsep mereka sendiri. Sesudah melihat
pemahaman yang terintegrasi mengenai Sustainable Livelihood baik
yang diusulkan oleh WCED yang dicacat Chambers dan Conway,
Krantz dan Scoone, berisikan konsep-konsep capabilities, equity dan
sustainability. Berikut ini akan diuraikan faktor-faktor yang
menentukan Livelihood.
Perspektif Livelihood dan Collective Action
31
Faktor-faktor yang Menentukan Livelihood
Ada sejumlah hal yang merupakan faktor penentu keber-
langsungan Livelihood. Faktor-faktor dimaksud akan dilihat dari
beberapa sudut pandang yang diangkat oleh beberapa pemikir
Livelihood. Pertama, Chambers dan Conway (1991), berbicara
mengenai pengaruh kebiasaan-kebiasaan masyarakat seperti
pengalaman di India, termasuk kemungkinan memanfaatkan peluang
perubahan yang ada, seperti pendidikan dan migrasi. Kedua, catatan
Krantz (2001), juga merupakan masukkan penting yang melihat
kekuatan dan kelemahan Sustainable Livelihood, sekaligus
menawarkan sejumlah pendekatan untuk mengurangi kemiskinan
pedesaan. Ketiga, Saragih dkk.,(2007), dengan pengalaman di Aceh
dan Nias menawarkan pendekatan pengelolaan (manajemen)
Sustainable Livelihood dengan memperhatikan faktor-faktor penentu
keberhasilan Livelihood, yakni bersifat people-centered, holistik,
dinamis, memperhatikan hubungan aspek makro dan mikro,
keberlanjutan. Dengan demikian akan terjadi keberlanjutan
lingkungan (ekologi), ekonomi, sosial dan kelembagaan. Keempat,
tawaran berbagai strategi Sustainable Livelihood. Cambers dan Conway
(1991), Butler & Mazur (2007), menawarkan strategi pengembangan
Livelihood melalui diversifikasi Livelihood berdasarkan pengalaman
masyarakat pedesaan di Uganda. Selain Butler dan Mazur, Ian Scoones
(2009), menawarkan tiga macam strategi pengembangan Sustainable Livelihood yaitu, intensifikasi dan ekstensifikasi, diversifikasi dan
migrasi. Strategi lain juga dari Nigeria Tengah dikemukakan oleh
Morse, Mc Namara dan Acholo (2009) yakni, melakukan intervensi
pendekatan Sustainable Livelihood (SLA) terhadap penduduk di desa
melalui usaha kredit mikro.
Faktor pertama, kebiasaan dan pengaruh perubahan. Chambers
dan Conway mengemukakan, pengalaman dan kebiasaan desa-desa di
India. Keduanya menjelaskan bahwa anak-anak di India lahir dalam
golongan masyarakat yang secara sosiologis berada dalam hirarki kasta-
kasta yang mempunyai berbagai peranan. Satu, misalnya, ada yang
menjadi pembuat barang-barang tembikar, sebagai gembala ternak atau
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
32
pencuci pakaian. Artinya secara sosial peranan laki-laki dan
perempuan dipengaruhi oleh faktor-faktor penentu aktivitas
Livelihood sebagaimana digambarkan sebelumnya. Dua, bila bukan
merupakan suatu kebiasaan, seseorang tentu lahir, berada dan menyatu
di dalam suatu Livelihood sebagai bagian dari keluarga atau masyarakat
di mana ia berada. Misalnya, seorang anak merupakan bagian dari
keluarga yang sudah mempunyai lahan dan peralatan-peralatan rumah
tangga untuk berusaha, atau sebagai seorang gembala dengan ternak-
ternak, sebagai seorang pengembara di tengah hutan atau sebagai
seorang nelayan dengan perahu dan alat penangkap ikan atau sebagai
seorang pengusaha dengan barang-barang yang dimiliki. Dengan kata
lain seseorang dapat pula berada dalam situasi Livelihood yang sudah
disediakan keluarga sebagai kekayaan yang dinikmati oleh generasi
berikut dari keluarga tersebut. Tiga, dalam kenyataan juga terjadi
bahwa setiap orang boleh berubah, menciptakan sesuatu yang baru
atau tetap melakukan pekerjaan yang sama dan seseorang sebagai
pribadi atau keluarga boleh juga memilih Livelihood lain khususnya
melalui pendidikan dan migrasi. Karena melalui pendidikan dan
migrasi, terbuka kemungkian bagi seseorang untuk memilih dan
bertumbuh secara ekonomi dengan lebih baik. Menurut keduanya, di
masa depan perubahan berlangsung cepat, maka dibutuhkan suatu
kapabilitas yang adaptif untuk mengeksploitasi peluang-peluang baru
yang dibutuhkan dan lebih merata. Jadi dapat dikatakan di sini
Livelihood amat ditentukan oleh kebiasaan dalam keluarga dan
masyarakat, dampak sosialisasi, pengaruh pendidikan serta kemampuan
adaptif seseorang memilih suatu pekerjaan dan mengembangkannya
dalam hidup sehingga dapat hidup secara lebih baik.
Faktor kedua, kekuatan dan kelemahan pendekatan Sustainable Livelihood. Menurut hemat penulis, keberhasilan Sustainable Livelihood dipengaruhi juga oleh seberapa jauh kita menyadari faktor
kekuatan dan kelemahan pendekatan Sustainable Livelihood. Untuk
menganalisis kekuatan dan kelemahan Sustainable Livelihood penulis
merujuk pada pemikiran Krantz yaitu: Satu, kekuatan Sustainable Livelihood. Kekuatan Sustainable Livelihood terletak pada
pendekatannya yang menyeluruh terkait dengan berbagai sumber daya
Perspektif Livelihood dan Collective Action
33
seperti, sumber daya alam, maupun juga sumber daya sosial. Sumber
daya tersebut merupakan unsur-unsur yang penting bagi orang miskin
yang terlibat menilai keadaan kemiskinannya karena kemiskinan
merupakan fenomena yang kompleks. Selain itu pendekatan
Sustainable Livelihood mampu memfasilitasi pemahaman yang
terfokus pada masalah kemiskinan yang rumit di tataran yang berbeda-
beda, langsung atau tidak langsung, menentukan dan mendesak orang
miskin memperoleh akses sumber daya alam atau aset-aset yang
beragam berkaitan dengan Livelihood mereka. Kemendesakan seperti
itu bisa muncul dari institusi formal dan informal serta faktor-faktor
lain pada tingkat lokal atau boleh jadi merupakan hasil dari kebijakan
yang mengesampingkan proses ekonomi pada tataran makro. Tinjauan
mikro-makro yang dibangun dalam pendekatan Sustainable Livelihood
merupakan kemungkinan untuk mengarahkan lebih banyak
intervensi-intervensi strategis. Dengan berfokus pada cara di mana
masyarakat bisa membangun strategi Livelihood, mereka diharapkan
mampu dan berhasil menanggapi secara khusus “konteks kerentanan”,
karena pendekatan Sustainable Livelihood memungkinkan orang yang
paling miskin melihat bagaimana orang miskin aktif membuat
keputusan-keputusan dan tidak sekedar pasif saja, dalam penentuan
Livelihood mereka sendiri. Hal ini penting bagi orang miskin untuk
merencanakan aktivitas pendukung membangun diri. Juga dalam
perspektif Livelihood yang lebih dinamis, strategi-strategi oramg
miskin sebagai penguatan masyarakat dalam merespon secara personal
keadaan eksternal, sewaktu-waktu dapat berubah. Pendekatan
Sustainable Livelihood memfasilitasi terbentuknya satu pemahaman
yang mempunyai keterkaitan antara strategi-strategi Livelihood masyarakat, status aset-aset dan cara-cara masyarakat menggunakan
sumber-sumber daya alam yang tersedia. Oleh karena itu Sustainable Livelihood merupakan suatu pendekatan untuk memahami masalah,
mempromosikan ruang lingkup pembangunan berkelanjutan pada
tingkat lokal. Akhirnya, konsep Livelihood merupakan tawaran yang
lebih tepat atau cocok berdasarkan evaluasi dalam memengaruhi aspek
sosial-ekonomi proyek-proyek atau program-program yang dapat
mengurangi kemiskinan sebagai tujuan yang menyeluruh. Karena
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
34
dalam Sustainable Livelihood tersedia kerangka kerja lebih realistik
bagi penilaian langsung dan tidak langsung terkait dengan efek-efek
kondisi kehidupan masyarakat.
Dua, kelemahan pendekatan Sustainable Livelihood. Krantz
menyebutkan kelemahan pendekatan ini terletak pada metodologi dan
praktek untuk menentukan, misalnya siapa orang miskin. Beberapa
pendekatan seperti pendekatan geografis untuk mengetahui di mana
orang miskin berada, yang dalam kenyataan hidup menyebar, tidak
membentuk suatu komunitas sosial yang homogen, bagaimana
menentukan garis kemiskinan dan rangking kekayaan berdasarkan
tingkat pendapatan dan konsumsi. Dikatakan penentuan garis
kemiskinan dan rangking kekayaan, merupakan usaha yang sulit dan
mahal serta pengklasifikasian tersebut hanya akan menghasilkan
gambaran kemiskinan yang relatif. Menurutnya yang mendasar
dilakukan ialah memahami terlebih dahulu situasi ekonomi, sosial,
budaya dan institusional setempat sebelum menentukan identitas,
karakteristik orang miskin yang hidup tanpa natural capital, economic capital, human capital dan social capital sebagai aset yang
menghidupinya. Karena tanpa memahami situasi riil masyarakat, sulit
mengenal karakteristik orang miskin. Oleh sebab itu tersingkirnya
Sustainable Livelihood sesungguhnya menandai terjadinya peremehan
identitas lokal yang dimiliki masyarakat.
Faktor ketiga, manajemen yang integratif. Sementara itu
catatan lain muncul pula dari Saragih, Lassa, Ramil (2007). Saragih dan
kawan-kawannya itu menyatakan penerapan konsep inti Sustainable Livelihood hendaknya selalu menggunakan prinsip-prinsip Sustainable Livelihood, yaitu people-centred, holistik, dinamis, membangun
kekuatan dan kapasitas lokal, memperhatikan hubungan makro-mikro
dan keberlanjutan. Gagasan ini muncul dari pengalaman praktik
penguatan organisasi masyarakat sipil (OMS) lokal di Aceh dan Nias
pasca tsunami dan konflik. Berkaitan dengan aspek keberlanjutan,
dikatakan bahwa keberlanjutan meliputi lingkungan dan ekologis,
keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial dan keberlajutan
kelembagaan. Selain itu Saragih dan kawan-kawan pun melihat adanya
Perspektif Livelihood dan Collective Action
35
relevansi antara gagasan Sustainable Livelihood dengan praktik di
lapangan dan di tingkat kebijakan. Karena hubungan makro-mikro
menjadi ruang bagi analisis Sustainable Livelihood untuk melihat
bagaimana kebijakan, lembaga dan berbagai lapisan organisasi
pemerintah dan non-pemerintah mempengaruhi kehidupan
masyarakat dan sejauh mana masyarakat itu sendiri mempengaruhi
struktur-struktur dan proses-proses analisis.
Faktor keempat, strategi Livelihood. Chambers dan Conway
menyuguhkan strategi Sustainable Livelihood yang lebih bevariasi,
yaitu strategi penghematan, pengumpulan, perlindungan,
pengosongan, keragaman usaha, memperjuangkan hak-hak dan
menggerakkan usaha. Kemudian, Scoones (1998) menawarkan suatu
strategi pengembangan Sustainable Livelihood yang berbeda.
Menurutnya, ada tiga macam strategi yang dapat dikembangkan yaitu,
satu, agricultural intensification/extensification (melalui dukungan
input eksternal dan policy) dan adanya tenaga kerja yang mandiri; dua,
livelihood diversification (merupakan reinvestasi melalui aktivitas-
aktivitas yang bersifat akumulatif, sekaligus juga sebagai suatu
mekanisme menangani tekanan dan goncangan kelompok); tiga,
migration (ada perbedaan antara sebab-sebab migrasi (seperti gerakan-
gerakan yang sukarela dan yang bukan) serta akibat-akibat migrasi
(seperti, reinvestasi di bidang pertanian, usaha-usaha keluarga atau
tempat-tempat migrasi) serta pola-pola gerakan (yang berasal dari
tempat-tempat yang berbeda). Setelah melihat strategi yang
ditawarkan Scoones, berikut akan dibahas secara singkat pengalaman
Bultler dan Mazur di pedesaan Uganda.
Tawaran lain menurut Butler dan Mazur (2007) berdasarkan
pengalaman pembangunan pedesaan di Uganda, dikatakan bahwa
pendekatan diversifikasi Livelihood merupakan suatu strategi
pendekatan yang esensial bagi food security dan perbaikan pendapatan
untuk pembangunan manusia pada komunitas pedesaan Afrika.
Menurut keduanya, kehidupan ekonomi petani Uganda yang penuh
penderitaan berasal dari keterbatasan diversifikasi, degradasi
lingkungan, pendapatan yang rendah dan berbagai dampak negatif
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
36
HIV/AIDS. Maka untuk merangsang dan mendorong inovasi melalui
teknologi pertanian yang produktif, bentuk-bentuk organisasi sosial
dan pasar-pasar orang miskin merupakan elemen pokok dalam
mempromosi Livelihood pedesaan berkelanjutan. Butler dan Mazur
juga menyatakan, konsep-konsep Sustainbale Livelihood telah diuji
maknanya untuk memahami situasi pembangunan pedesaan Afrika
kontemporer secara lebih baik. Keduanya melakukan identifikasi
prinsip-prinsip dan berproses secara kritis untuk mencapai Sustainble Livelihood secara kolaboratif, termasuk berdiskusi tentang hubungan-
hubungan yang kompleks dalam relasi yang seimbang untuk
keberhasilan program-program dasar komunitas pedesaan. Dalam
kaitan dengan usaha tersebut nilai-nilai dari perspektif ilmu
pengetahuan sosial diangkat sebagai proses penguatan pembangunan
desa dalam kerangka pembangunan daerah.
Unsur-unsur Livelihood
Chambers dan Conway menyatakan, dalam pengertian yang
sederhana Livelihood mengandung makna sebagai suatu realitas yang
kompleks dan terstruktur menjamin kehidupan seseorang atau
sekelompok orang.
Dari sisi definisi, Livelihood dapat dibedakan dalam dua
kelompok. Pertama, pada tataran yang terbatas dan umumnya dikenal
adalah rumah tangga. Secara deskriptif rumah tangga diartikan sebagai
kelompok manusia yang hidup bersama saling berbagi perhatian dan
apa yang dibutuhkan dalam hidup. Selain itu biasanya ada juga
penghargaan di tingkat individu atau antaranggota rumah tangga,
terkait dengan kesejahteraan dan akses-akses anggota rumah tangga
khususnya perempuan dan anak yang boleh jadi diabaikan oleh kaum
laki-laki. Karena itu Livelihood di sini dilihat sebagai Livelihood
rumah tangga. Kedua, pada tataran yang lebih luas terdapat keluarga
besar (extended family), kelompok sosial dan komuniti. Di sini
Livelihood dilihat berkaitan dengan Livelihood kelompok atau
komunitas. Namun menurut Chambers dan Conway lebih signifikan
Perspektif Livelihood dan Collective Action
37
menggunakan rumah tangga sebagai unit analisis. Keduanya
menetapkan empat unsur pokok Livelihood rumah tangga yaitu: satu,
orang yang mempunyai kapabilitas Livelihood tertentu; dua, ada
aktivitas-aktivitas yang dilakukan; tiga, ada aset-aset berupa barang-
barang yang kelihatan (sumber daya hidup dan barang-barang lain)
secara material dan yang non-material (hak-hak dan akses-akses) yang
bermakna sosial; empat, ada keuntungan atau hasil, terkait dengan
sesuatu yang dikerjakan. Berikut ini disajikan sebuah gambar berisikan
empat unsur pokok Livelihood rumah tangga yang disebut Chambers
dan Conway.
Sumber: Diolah dari Chambers dan Conway (1991), Dp296.pdf
diunduh, 12 Februari 2016)
Gambar 2.1 Empat Kategori Pokok Livelihoods Rumah Tangga
Pengkategorian tersebut meliputi unsur manusia yang
mempunyai kapabilitas, aset-aset, aktivitas-aktivitas, dan hasil yang
diperoleh rumah tangga. Dikatakan oleh Chambers dan Conway, yang
terpenting dalam Livelihood adalah komponen-komponen pokok
berupa, kapabilitas Livelihood (livelihood capabilities), hak-hak dan
akses (claims and acces) serta barang-barang dan sumber-sumber
penghidupan (strores and resources) serta keterjalinan antara
Rumahtangga
Kapabilitas
Aset-aset
Aktivitas-aktivitas
Hasil yang diperoleh
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
38
komponen-komponen tersebut. Berikut ini dibuat gambar komponen-
komponen yang penting dalam Livelihood.
People
Tangible Assets Intangible Assets
Sumber: Chambers and Conway (1991), Dp296.pdf (diunduh, 12 Februari 2016)
Gambar 2.2 Komponen-komponen Utama Livelihood
Chambers dan Conway menyatakan ada tiga komponen utama
Livelihood sebagaimana digambarkan di atas. Pertama, stores dan resources; kedua, livelihood capabilities; ketiga, claims dan assets. Komponen-komponen tersebut dikatakan penting karena komponen-
komponen tersebut merupakan inti dari sebuah kehidupan dan yang
saling berhubungan serta mempengaruhi satu sama lain. Komponen-
komponen utama Livelihood yang dirumuskan Chambers dan Conway
di atas, diadopsi pula oleh United Nations Development Programme
(UNDP) sebagai suatu pendekatan dalam rangka mempromosikan
Sustainable Livelihood, sebagaimana dijelaskan Krantz (2001). Berikut
penjelasan secara singkat isi dari ketiga komponen tersebut di atas.
Barang-barang dan Sumber-sumber Livelihood (Stores dan Resources)
Komponen ini terdiri dari barang-barang untuk usaha dan aset-
aset nyata yang dimiliki oleh sebuah rumah tangga.Yang termasuk
barang-barang untuk usaha adalah bahan konsumsi, barang benilai
seperti emas, perhiasaan, kain tenunan, uang tabungan. Sedangkan
sumber-sumber penghidupan meliputi, tanah, air, pohon-pohon,
Livelihood
Capabilities
A Living
Strores and
Resources
Claims and
Access
Perspektif Livelihood dan Collective Action
39
persediaan bahan makanan, peralatan rumah dan kebun, perkakas,
perabot rumah tangga. Jadi barang-barang yang dimiliki sebagai
sumber-sumber penghidupan seperti yang disebutkan di atas
merupakan aset-aset rumah tangga. Selanjutnya akan dijelaskan apa itu
claims dan access serta apa saja yang tergolong ke dalam kedua unsur
tersebut.
Hak-hak dan Akses-akses (Claims and Access)
Menurut Chambers dan Conway, komponen-komponen claims dan acces juga merupakan aset-aset rumah tangga yang tidak kelihatan.
Yang dimaksud dengan claims di sini adalah pemenuhan hak-hak
secara material dan moral yang mendukung seseorang atau sekelompok
orang memperoleh akses-akses hidup. Untuk memenuhi hak-hak
dalam Livelihood terdapat berbagai bentuk dukungan berupa makanan,
peralatan, pinjaman-pinjaman, hadiah-hadiah atau pekerjaan.
Tuntutan terhadap hak-hak sewaktu-waktu dapat menimbulkan
tekanan dan keterkejutan atau goncangan, namun memungkinkan
pihak lain baik secara individual, maupun sebagai lembaga seperti,
Non Government Organization (NGO) atau pemerintah,
memprogramkan bantuan misalnya, program pengurangan
kemiskinan. Hal-hal tersebut merupakan contoh dari perpaduan antara
kesepakatan sosial, hak-hak, kewajiban moral dan kekuasaan.
Berkaitan dengan program pengurangan kemiskinan, Krantz
dalam tulisannya di bagian The Sustainability Livelihoods Approach to Poverty menyatakan, ada tiga faktor yang dilihat dalam pendekatan
Sustainable Livelihood dalam mengurangi kemiskinan. Faktor-faktor
tersebut adalah, pertama, pertumbuhan ekonomi sebagai sesuatu yang
esensial dalam usaha pengurangan kemiskinan. Menurut Krantz tidak
otomatis terjadi hubungan sebab akibat di antara keduanya yakni
pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan, karena kedua
hal tersebut tergantung pada kapabilitas orang miskin
memperjuangkan peluang-peluang ekonomi; kedua, kemiskinan bagi
orang miskin sendiri bukan semata-mata merupakan masalah
pendapatan yang rendah tetapi juga terkait di dalamnya kesehatan
yang buruk, ketidakmampuan membaca, tanpa pelayan sosial,
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
40
termasuk adanya perasaan tidak berdaya dan sebagainya; ketiga,
adanya penghargaan bahwa orang miskin sendiri mengetahui situasi
dan kebutuhannya lebih baik dan termasuk merancang kebijakan dan
proyek yang lebih baik bagi dirinya.
Sedangkan akses, merupakan peluang-peluang dalam hidup
yang dapat digunakan untuk memanfaatkan sumber daya kehidupan,
barang-barang yang tersedia untuk pelayanan masyarakat yang
menghasilkan informasi, materi, teknologi, pekerjaan, makanan atau
pendapatan. Unsur pelayanan di sini meliputi bidang transportasi,
pendidikan, kesehatan, pertokoan dan pasar bagi masyarakat. Aspek
informasi merupakan perluasan pelayanan melalui radio, televisi dan
surat kabar. Sedangkan teknologi merupakan pengembangan di bidang
teknik, termasuk temuan hal-hal baru. Kemudian, pekerjaan dan
usaha-usaha lain, merupakan hak-hak dan sumber daya kehidupan
milik bersama suatu masyarakat atau sebagai suatu negara. Berkaitan
dengan aset-aset yang kelihatan dan tak kelihatan, masyarakat dapat
memanfaatkannya untuk merancang dan membangun kehidupan,
melalui kerja fisik, keterampilan, pengembangan pengetahuan dan
kreativitas. Keterampilan dan pengetahuan bisa didapatkan dalam
pelayanan rumah tangga dari generasi ke generasi seperti pengetahuan
teknik penduduk asli atau pribumi, atau pun melalui magang,
pendidikan formal atau melalui eksperimen dan inovasi.
Dengan demikian peningkatan Livelihood pedesaan dapat
dilakukan melalui berbagai aktivitas, seperti pengolahan tanah,
pemeliharaan ternak, pengumpulan bahan makanan, saling berbagi
beban kerja, berdagang atau menjual barang, melakukan pekerjaan
keterampilan seperti menenun dan mengukir, penyediaan pelayanan
transportasi dan lain-lain. Semua kegiatan tersebut merupakan jenis-
jenis kegiatan pendukung kehidupan untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan hidup manusia. Di antara hal-hal tersebut terdapat aset-aset
yang bisa digunakan dalam jangka pendek, jangka menengah dan
jangka panjang, baik untuk dikonsumsi maupun untuk investasi.
Berkaitan dengan perihal investasi, Chambers dan Conway mengutip
gagasan Swift (1989), yang antara lain menyatakan bahwa kapabilitas
Perspektif Livelihood dan Collective Action
41
dapat ditingkatkan melalui pendidikan dan latihan serta magang-
magang. Bahkan menurutnya kapablitas dapat dikembangkan lebih
luas dengan memilih situasi dan peluang penguatan kembali nilai-nilai
budaya dan moral yang mulai tak berdaya dan untuk meningkatkan
kualitas kehidupan dan pengalaman. Setelah mengulas pemikiran
Chambers dan Conway tentang Livelihood dan sejumlah aspek yang
diuraikan di dalam pokok tersebut, berikut ingin dijelaskan secara
singkat pemikiran keduanya mengenai Sustainability Livelihood.
Sustainability
Pokok Sustainability merupakan bagian ketiga dari seluruh
pembahasan Chambers dan Conway berkaitan dengan Livelihood.
Pokok ini akan ditinjau dalam dua bagian, yaitu pertama, tinjauan yang
berkaitan dengan environmental sustainability dan kedua, penjelasan
tentang social sustainability. Chambers dan Conway menjelaskan
bahwa environmental sustainability mempunyai konsern pada
pengaruh external terhadap Livelihood sedangkan pembahasan tentang
social sustainability berfokus pada kapasitas internal livelihood.
Environmental Sustainability
Menurut Chambers dan Conway, secara konvensional pemikir-
pemikir atau ahli-ahli pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada umumnya menyamakan sustainability atau
berkelanjutan dengan persoalan pemeliharaan dan peningkatan sumber
daya kehidupan produktif yang pokok, khususnya bagi generasi masa
depan. Namun dikatakan oleh keduanya, ada dua hal yang perlu
dibedakan. Pertama, kepentingan di tingkat lokal. Di sini muncul
pertanyaan, aktivitas Livelihood mana yang perlu dipelihara dan
dikembangkan atau sumber daya alam lokal mana yang berkurang dan
atau telah habis? Karena secara negatif, aktivitas Livelihood dapat
berkontribusi terhadap desertifikasi, deforestasi, erosi kesuburan tanah,
pengurangan air, salinisasi dan lain-lain. Secara positif, aktivitas
Livelihood dapat meningkatkan produktivitas sumber daya alam
terbarukan, seperti air tanah dan air sungai, kesuburan tanah dan
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
42
pepohonan secara organik2. Kedua, kepentingan pada aras global.
Pertanyaan dari sisi lingkungan ialah, apakah aktivitas lingkungan
berkontribusi positif atau negatif terhadap Livelihood dalam jangka
panjang secara berkelanjutan. Menurut Chambers dan Conway,
pertanyaan ini muncul karena hingga saat ini kita sulit mengubah dan
membantah isu-isu seperti polusi, gas rumah kaca dan pemanasan
global serta lapisan ozon menipis. Hal ini disebabkan karena
penggunaan sumber daya alam yang tersedia dan tidak terbarukan serta
penggunaan bahan-bahan karbon dioksida oleh manusia telah
menimbulkan polusi dan krisis berkepanjangan. Jadi menurut
keduanya pemikiran Sustainability berfokus pada aset-aset yang
kelihatan, namun juga hendaknya memperhatikan perihal
pemeliharaan dan pengembangan aset-aset yang tidak kelihatan karena
pemanfaatan lingkungan pada umumnya berdampak negatif, tidak
berkelanjutan, mengabaikan hak-hak dan akses-akses masyarakat.
Pengabaian terhadap hak-hak dan akses-akses masyarakat antara lain
dilakukan melalui produk hukum, kekuasaan atau birokrasi. Pada
tingkat global, tantangan Livelihood terjadi melalui perdagangan dan
kesepakatan internasional yang mereduksi hak-hak dan akses-akses
lokal serta kepemilikan bersama di pasar global. Menurut Davies dan
Lech (1991) sebagaimana dicatat Chambers dan Conway, keterjalinan
kepentingan antara dunia global dan lokal memang penting tetapi
mudah diabaikan. Berdasarkan latar belakang pandangan Davies dan
Lech, Chambers dan Conway memberikan perhatian yang lebih besar
pada persoalan Livelihood di tingkat lokal pada negara-negara Selatan3
2Desertifikasi adalah tipe degradasi lahan di mana lahan yang relatif kering menjadi semakin gersang, kehilangan badan air, vegetasi, dan juga hewan liar. Keadaan ini umumnya disebabkan oleh berbagai faktor seperti perubahan iklim dan aktivitas manusia. Desertifikasi adalah masalah lingkungan dan ekologis global yang signifikan (https://id.wikipedia.org/wiki/Desertifikasi, diunduh, 29 Agustus 2016).Salinisasi adalah proses terakumulasinya larutan garam di dalam tanah (http://www.artikata.com/arti-348731-salinisasi.html, diunduh 29 Agustus 2016). 3Kawasan "Utara Dunia" mencakup Amerika Utara, Eropa Barat, dan negara-negara maju di Asia Timur. Kawasan "Selatan Dunia" mencakup Afrika, Amerika Latin, dan negara-negara berkembang di Asia, termasuk Timur Tengah. Empat dari lima anggota permanen Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa terletak di Utara."Utara" meliputi negara-negara Barat dan Dunia Pertama dan sebagian besar Dunia Kedua. Utara tergolong kawasan yang lebih kaya dan maju sedangkan Selatan tergolong
Perspektif Livelihood dan Collective Action
43
karena mereka yang miskin, dari sisi Livelihood tidak berkelanjutan
secara global berada di Selatan. Sedangkan sebagian besar lingkungan
Livelihood berkelanjutan di Utara adalah negara-negara kaya. Secara
lokal, tantangan pokok adalah meningkatkan intensitas penggunaan
sumber-sumber penghidupan secara berkelanjutan, khususnya di
wilayah pedesaan di Selatan. Sedangkan secara global tantangan utama
ialah mengurangi ketidakberlanjutan Livelihood, khususnya di wilayah
perkotaan di Utara.
Dalam perspektif ekologi-ekonomi, misalnya, persoalan
dampak lingkungan seperti disebutkan di atas baik secara ekonomi
maupun dari sisi lingkungan hidup tidak sejalan dengan pendapat
Common Michael dan Stagl Sigrid (2005,8-13). Common dan Stagl
menyatakan, aspek sustainability dan sustainable development sangat
penting karena alasan berikut ini:
Sustainability is maintaining the capacity of joint economy-environment system to continue to satisfy the needs and desire of humans for a long time into the future.
Dengan kata lain Common dan Stagl mau menyatakan bahwa
sustainability dimaknai sebagai pemeliharaan kapabilitas manusia
berkaitan dengan sistem ekonomi dan lingkungan untuk melanjutkan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan serta keinginan manusia jangka
panjang. Implikasi pernyataan ini berkaitan dengan kepentingan
kawasan yang lebih miskin dan terbelakang. 95% penduduk Utara memiliki pangan dan tempat tinggal yang layak, juga memiliki sistem pendidikan yang berfungsi dengan baik. Sebaliknya, hanya 5% penduduk Selatan yang memiliki pangan dan tempat tinggal yang layak, tidak memiliki teknologi yang diperlukan, tak ada kestabilan politik, ekonominya berantakan, dan pendapatan valuta asingnya bergantung pada ekspor produk primer”. Utara, dihuni oleh ¼ penduduk dunia, menguasai 4/5 pendapatan dunia. 90% industri manufaktur dimiliki oleh dan terletak di Utara. Sebaliknya, Selatan, yang dihuni ¾ penduduk dunia menguasai 1/5 pendapatan dunia. Kawasan Selatan menjadi sumber bahan mentah ketika Utara "membangun pemerintahan kolonial di sebagian besar kawasan Selatan untuk menguasai pusat-pusat sumber dayanya” antara tahun 1850 dan 1914. Ketika ekonomi sebuah negara semakin maju, negara tersebut langsung tergolong "Utara" meski letak geografisnya bukan di utara, sedangkan negara yang belum layak menyandang status "maju' langsung tergolong "Selatan" (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kesenjangan Utara%E2%80%93Selatan, diunduh 15 Agustus 2016).
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
44
seluruh manusia baik orang miskin maupun orang kaya. Jadi menurut
hemat penulis pemikiran Davies dan Lech serta Chambers dan Conway
sebenarnya sejalan dengan pandangan Commnon dan Stagl tentang
lingkungan, kehidupan ekonomi dan hidup manusia sebagai suatu
sistem yang berkelanjutan dan saling mempengaruhi. Setelah
membahas lingkungan berkelanjutan berkaitan dengan Livelihood,
selanjutnya pembahasan diarahkan pada pokok social sustainability.
Social Sustainability
Dalam perspektif Livelihood yang berkelanjutan, lingkungan
yang berkelanjutan tak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial
berkelanjutan. Kehidupan sosial berkelanjutan merujuk pada manusia
(individual, rumah tangga atau keluarga) bukan hanya pada aspek
jumlah yang terus bertambah tetapi juga dapat mengembangkan
Livelihood secara pantas dan memadai.
Menurut Chambers dan Conway ada dua dimensi pokok social sustainability, yakni yang bersifat positif dan negatif. Dimensi negatif
kehidupan sosial berkelanjutan bersifat reaktif, sebagai penangkal
tekanan dan goncangan; sedangkan dimensi positif bersifat proaktif,
yakni untuk meningkatkan kapabilitas dan kebiasaan menciptakan
perubahan yang menjamin kesinambungan. Dengan demikian dapat
dikatakan kehidupan sosial berkelanjutan mempunyai beberapa
peranan penting yaitu, dapat menjadi penangkal tekanan dan
goncangan; mengandung kapabilitas Livelihood yang dinamis,
berkelanjutan dan terintegrasi. Berikut dibuat sekilas penjelasan
tentang ketiga peranan tersebut. Pertama, social sustainability sebagai
penangkal (coping) tekanan dan keterkejutan atau goncangan.
Livelihood dan perjuangan hidup manusia baik secara individual
maupun sebagai rumah tangga, kelompok dan komunitas-komunitas,
rentan terhadap tekanan dan goncangan hidup. Ada dua aspek
kerentanan, yaitu yang bersifat eksternal dan internal. Kerentanan
bersifat eksternal, terjadi bila ada tekanan dan goncangan dari luar
terhadap seseorang; dan kerentanan bersifat internal terjadi bila
seseorang dengan kapasitasnya tidak dapat menangkal tekanan dan
goncangan dari dalam diri. Tekanan (stress) merupakan keadaan yang
Perspektif Livelihood dan Collective Action
45
mendesak, secara tipikal berkesinambungan dan kumulatif, tidak dapat
diprediksi dan menyusahkan. Sedangkan goncangan (shock)
merupakan pengaruh-pengaruh yang tidak dapat diprediksi, traumatik
seperti kebakaran, banjir dan wabah penyakit. Kedua, kapabilitas
Livelihood yang dinamis. Menurut Chambers dan Conway, social sustainability of livelihood juga bergantung pada hal-hal yang positif
dan dinamika kompetensi, kemampuan untuk merasa, memprediksi,
menyesuaikan dan mengubah eksploitasi lingkungan alam, sosial dan
ekonomi secara berkelanjutan sebagaimana diungkapkan dalam karya
dan tulisan Ronald Bunch (1985, 1988, 1989). Dengan pendekatan ini,
petani kecil dimungkinkan untuk meningkatkan pengalaman pribadi
mereka, untuk melakukan pengembangan diri, dan berorganisasi untuk
mengatur dan mengembangkan hubungan ekonomi lebih luas.
Pengalaman inovasi dan adaptasi mempunyai berkontribusi pada
dinamika kapabilitas. Melalui kapabilitas yang dinamis Livelihood
keluarga petani dapat menjadi lebih Sustainable dalam kondisi yang
meragukan dan di mana terjadi perubahan pada pasar dan fluktuasi
harga serta di mana peluang-peluang lama menyusut dan yang baru
berkembang. Ketiga, Sustainability yang terintegrasi. Sebelum
berbicara mengenai Sustainability yang terintegrasi perlu digaris-
bawahi bahwa di dalam Livelihood sosial berkelanjutan, terdapat aspek
pemeliharaan dan pengembangan kapabilitas untuk generasi yang akan
datang. Dengan demikian dapat dikatakan Sustainability yang
terintegrasi bersifat langsung dan tidak langsung. Sustainability yang
terintegrasi dan bersifat langsung berkaitan dengan pewarisan aset-aset
seperti, tanah, pabrik-pabrik yang dijalankan, termasuk memper-
siapkan generasi masa depan yang terampil. Keterampilan-
keterampilan dan pengetahuan, berisikan hal-hal yang dialihkan dari
orangtua kepada anak-anak melalui proses belajar dalam keluarga.
Sedangkan bentuk-bentuk yang tidak langsung dari Sustainability yang
terintegrasi dilihat dari Sustainability antargenerasi, merupakan usaha
mendorong anak-anak untuk bekerja, menemukan atau menciptakan
Livelihood baru yang boleh jadi sama atau berbeda dari yang ada pada
generasi awal. Untuk meningkatkan bentuk-bentuk Sustainability yang
tidak langsung, rumah tangga-rumah tangga sering berinvenstasi di
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
46
dalam pendidikan dan mengembangkan keterampilan bagi anak-anak
melalui apa yang ada di dalam rumah tangga. Hanya saja pengaruh
populasi penduduk yang terus bertambah, dapat mengakibatkan
dinamika kapabilitas Livelihood antargenerasi secara berkelanjutan
menjadi lebih kritis. Dikatakan oleh Chambers dan Conway bahwa
strategi-strategi ini merupakan strategi Livelihood yang bersifat
campuran. Maksudnya ialah, strategi yang diusulkan ini berasal dari
sumbangan beberapa pemikir. Strategi-strategi tersebut dapat
digunakan dengan menggabungkannya manakala seseorang atau suatu
rumah tangga mengalami dengan tekanan dan goncangan dalam hidup
karena strategi-strategi tersebut berhubungan satu dengan yang lain.
Dengan kata lain ketika seseorang atau suatu rumah tangga mengalami
tekanan dan goncangan beberapa strategi tersebut di atas dapat
digunakan bersama-sama menanggulangi tekanan dan goncangan yang
dialami. Dengan begitu diharapkan Sustainable Livelihood dapat
berfungsi menghindarkan seseorang atau suatu rumah tangga dari
tekanan dan goncangan dengan cara-cara yang tepat dan dapat
memulihkan kembali, membebaskan mereka dari situasi tertekan dan
tergoncang. Oleh karena berhadapan dengan kemungkinan adanya
tekanan dan goncangan perlu adanya perencanaan, baik sebagai
individu maupun sebagai suatu rumah tangga dengan menggunakan
aset-aset yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, untuk mengurangi
kerentanan dan memungkinkannya melawan tekanan dan goncangan
dengan resiko yang minimum untuk masa depan Livelihood. Aset-aset
menjadi sesuatu yang rentan karena rumah tangga-rumah tangga dapat
kehilangan hak-hak pribadi atas kepemilikan sumber-sumber daya
kehidupan yang menjadi hak-hak mereka, misalnya karena kematian.
Ada dua dimensi untuk pengurangan kerentanan terhadap tekanan dan
goncangan yang perlu dipahami, yakni secara eksternal dan internal.
Secara eksternal kerentanan dapat dikurangi melalui tindakan publik
seperti, pencegahan banjir, siaga bencana, penyediaan tenaga kerja
pada saat pekerja publik cuti, pencegahan penyakit dan lain-lain.
Secara internal, kerentanan dan kerugian-kerugian dapat dikurangi
secara pribadi dengan lebih efektif melalui penggunaan bantuan
anggota rumah tangga yang bertanggung jawab.
Perspektif Livelihood dan Collective Action
47
Strategi-strategi Sustainable Livelihood
Selanjutnya Chambers dan Conway menyebut sejumlah
strategi yang dikedepankan oleh beberapa pemikir, dapat digunakan
sebagai penangkal (coping) tekanan dan goncangan yang dialami
manusia atau rumah tangga-rumah tangga dalam memperjuangkan
Livelihood yang berkelanjutan. Kemudian akan dibahas juga strategi
Sustainable Livelihood yang dikemukakan oleh Ian Scoones, Butler
dan Mazur.
Strategi-strategi Sustainable Livelihood yang ditawarkan
Chambers dan Conway adalah, pertama, penghematan (stint). Strategi
penghematan dilakukan dengan cara mengurangi konsumsi makanan
yang berkualitas rendah dan menjadikan diri sendiri sebagai tenaga
kerja; kedua, strategi pengumpulan (hoard), maksudnya berusaha
melakukan pengumpulkan bahan makanan serta aset-aset lainnya;
ketiga, strategi perlindungan (protect), berarti berusaha memelihara
dan melindungi aset-aset utama untuk memulihkan dan memantapkan
livelihood; keempat, strategi pengosongan (deplete), berarti berupaya
menggunakan persediaan bahan-bahan makanan rumah tangga sampai
habis atau menjual aset-aset; kelima, strategi keragaman usaha
(diversity), artinya berupaya mencari sumber-sumber penghidupan
seperti sumber makanan yang baru (jenis-jenis tumbuh-tumbuhan dan
binatang) serta berbagai aktivitas kerja sebagai sumber pemasukkan;
keenam, strategi memperjuangkan hak-hak (claim) maksudnya
berupaya memperjuangkan hak-hak dan prinsip-prinsip hidup
berkaitan dengan lingkungan hidup bersama masyarakat sebagai
komunitas, NGO, pemerintah, komunitas internasional berdasarkan
kemauan baik dan tindakan politik yang adil; ketujuh, strategi
menggerakan (move) maksudnya, berusaha membagi dan memberikan
aset-aset kepada anggota-anggota keluarga untuk dikelola.
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
48
Pendekatan Sustainable Livelihood terhadap Kemiskinan4
Pendekatan Sustainable Livelihood terhadap masalah
kemiskinan di sini pertama-tama merujuk pada pemikiran Krantz yang
mengadopsi gagasan Scoones, termasuk Ferguson dan Muray serta
beberapa pemikir lain yang juga berbicara mengenai persoalan
kemiskinan. Pendekatan UNDP, CARE dan DFID untuk
menanggulangi kemiskinan juga akan dibahas pada bagian ini.
Pendekatan Livelihood memposisikan kapabilitas dan aset
(seperti, sumber daya alam, hak dan akses) serta aktivitas masyarakat
sebagai potensi yang dapat menciptakan suatu kehidupan yang
bermakna di tingkat lokal dan mempunyai kontribusi yang
menguntungkan secara berkelanjutan terhadap kehidupan generasi
berikut, baik jangka pendek maupun jangka panjang di aras lokal dan
global. Menurut Krantz pendekatan Livelihood menyodorkan beberapa
pertimbangan berkaitan dengan permasalahan kemiskinan: 1)
pertumbuhan ekonomi mungkin merupakan sesuatu yang esensial bagi
pengurangan kemiskinan tetapi keduanya tidak otomatis saling
berkaitan. Menurutnya, hal tersebut bergantung pada kapabilitas orang
miskin untuk mengambil manfaat dari peluang ekonomi yang
berkembang; 2) kemiskinan tidak hanya diakibatkan oleh pendapatan
yang rendah tetapi juga berkaitan dengan dimensi lain seperti
kesehatan yang buruk, ketidakmampuan membaca dan menulis, hidup
tanpa pelayanan sosial dan sebagainya (Bdk., Moynihan, 1969 dan
Sachs, 2005)5; 3) harus diakui bahwa orang miskin lebih memahami
dirinya sendiri, termasuk kebutuhan yang terbaik bagi hidupnya dan
oleh sebab itu mereka harus diikutkan merancang suatu kebijakan dan
4Masalah kemiskinan hingga saat ini masih dilihat sebagai masalah yang berkaitan dengan rendahnya pendapatan atau ukuran lain seperti keterbatasan konsumsi. Padahal dalam berbagai studi yang berkembang kemudian melihat kemiskinan lebih menyeluruh berkaitan dengan ketiadaan modal yang seharusnya ada agar seseorang atau sekelompok orang dapat hidup layak. 5Menurut Moynihan, kemiskinan diakibatkan oleh budaya dan lingkungan yang menghambat motivasi, keadaan sakit-sakitan, pendidikan terbatas, mobilitas rendah, pendapatan terbatas dan peluang memperoleh pendapatan terbatas. Hal senanda juga dikatakan Sachs, kemiskinan diakibatkan oleh ketiadaan modal yang seharusnya ada bagi seseorang untuk hidup.
Perspektif Livelihood dan Collective Action
49
program untuk memperbaiki nasibnya. Karena menurut Scoones
sebagaimana dikutip Krantz (2001, 8-9), sumber daya Livelihood mengandung unsur-unsur yang bersifat material, sosial termasuk aset-
aset yang kelihatan dan yang tak kelihatan, yang digunakan
masyarakat untuk membangun hidupnya. Secara konseptual berbagai
sumber daya itu disebut tipe-tipe kapital atau modal. Ada lima jenis
kapital yang penting: (1) Natural capital; (2) Financial capital; (3)
Human capital; (4) Social capital; (5) Physical capital. Krantz
menyatakan pembedaan jenis-jenis kapital ini diperlukan hanya
sebagai langkah-langkah kunci proses analisis situasi tapi dalam
kehidupan riil biasanya digunakan secara terpadu untuk membangun
suatu kehidupan yang berhasil secara terkoordinasi. Berikut ini akan
dibuat sebuah sketsa gambar Livelihood yang berisikan aset-aset atau
modal-modal yang ada dalam kehidupan rumah tangga.
Sumber: Diolah dari Lasse Krantz (2001)
Gambar 2.3 Modal-modal (aset) dalam Livelihood
Masing-masing modal tersebut terdiri dari: (a) Human capital: keterampilan, pengetahuan, kesehatan dan kemampuan kerja; (b)
Social capital: sumber-sumber sosial termasuk jejaring, anggota resmi
kelompok, relasi-relasi yang dipercaya dapat bekerja sama, peluang
ekonomi; (c) Natural capital: sumber daya alam, tanah, minyak, air,
hutan dan perikanan: (d) Physichal capital: infratsruktur dasar, seperti
jalan, air dan sanitasi, sekolah, dan penghasil barang-barang seperti
perkakas, ternak dan perlengkapan-perlengkapan; (e) Financial capital:
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
50
sumber-sumber keuangan, yaitu tabungan, kredit dan pendapatan dari
pekerjaan, perusahaan dan pengiriman uang. Modal-modal tersebut di
atas dapat dikatakan mirip dengan modal-modal yang disebut Sachs
(2005), yang seharusnya dimiliki dalam diri seseorang atau sekelompok
orang agar ia bisa eksis dan mampu membangun hidupnya dengan
lebih baik. Modal-modal tersebut terdiri dari: (1) Human capital. Kesehatan, gizi dan keterampilan, merupakan modal manusia yang
harus ada pada masing-masing pribadi agar dapat menjadi produktif;
(2) Business capital. Mesin-mesin, berbagai fasilitas, alat transportasi
yang diperlukan untuk kegiatan pertanian dan industri serta jasa
pelayanan lainnya sebagai modal bisnis; (3) Infrastructure. Infrakstruktur seperti jalan, listrik, air dan sanitasi, bandara dan
pelabuhan laut, sistem telekomunikasi, dibutuhkan karena menjadi
pendukung produktivitas bisnis; (4) Natural capital. Modal alam berupa
tanah yang subur dan baik untuk ditanami, ketersediaan
keanekaragaman hayati, berfungsinya ekosistem yang baik merupakan
kebutuhan bagi pelayanan lingkungan yang mendukung kehidupan
masyarakat; (5) Public institutional capital. Modal institusi publik
berupa hukum dagang, sistem peradilan, institusi pemerintah serta
kebijakan pelayanan dan pembagian kerja yang baik dibutuhkan
masyarakat untuk menjadi lebih produktif; (6) Knowledge capital. Ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan modal pengetahuan manusia
yang dapat membuat manusia berhasil dan produktif untuk
mengembangkan sumber-sumber alam.
Pemikiran yang serupa dengan Krantz juga muncul dari
Ferguson dan Muray. Menurut Ferguson dan Muray dalam tulisan The Sustainable Livelihoods Framework (2001), ada tiga dimensi kunci
Sustainable Livelihood yang dapat digunakan, yaitu sustainable livelihood assets (aset penghidupan berkelanjutan), vulnerability context (konteks kehidupan yang rentan) serta techniques and interventions (teknik-teknik dan intervensi-intervensi). Ferguson dan
Muray berpendapat, melalui sustainable livelihood asset, individu-
individu dan keluarga-keluarga mampu mengembangkan kapasitas diri
dalam mengatasi tantangan yang dihadapi dan menemukan kebutuhan
dasar yang berkelanjutan. Kemudian, berkaitan dengan vulnerability
Perspektif Livelihood dan Collective Action
51
context, menurut keduanya ada banyak yang faktor muncul dan
mengekalkan kerentanan serta kemiskinan baik pada aras individu dan
lingkungannya maupun pada konteks yang lebih luas. Perhatian
langsung terhadap faktor-faktor kontekstual dan sistemik mempunyai
kontribusi terhadap peristiwa kemiskinan. Perhatian seperti ini
merupakan kebutuhan untuk mencari perubahan pada tingkat
organisasi, komunitas dan kebijakan, termasuk perkembangan aset-aset
individual dan rumah tangga-rumah tangga. Sedangkan yang berkaitan
dengan teknik dan intervensi, dikatakan perlu mengidentifikasi dua
tipe dasar intervensi yang dapat membantu sehingga komunitas dapat
bekerja mengurangi kemiskinan mereka. Intervensi yang praktis
adalah memfasilitasi usaha-usaha rumah tangga untuk membangun
aset-aset penghidupan mereka. Selain itu, program-program seperti
konseling, pendidikan, pelatihan kerja, gerakan ekonomi, program
menabung dapat mendukung pengembangan usaha kecil. Strategi ini
langsung ditujukan pada konteks setempat yang rentan. Dengan begitu
orang miskin dapat bekerja secara terencana untuk mencapai tujuan
perubahan sosial dan ekonomi. Metode-metode yang digunakan ialah
pengembangan komuniti, perorganisasian, pengembangan aliansi,
kebijakan kerja dan advokasi.
Menurut hemat penulis, kedua pendapat tersebut di atas
berkaitan dengan pendekatan Sustainable Livelihood sebagai
pendekatan pembangunan yang penting. Dikatakan demikian karena
perspektif Sustainable Livelihood memosisikan aset-aset masyarakat
sebagai capital yang dapat membuat masyarakat tetap eksis dalam
memperjuangkan hidup dan sejalan dengan paradigma pembangunan
berkelanjutan. Namun, penulis kurang sependapat dengan sikap Krantz
yang menyatakan bahwa kelemahan pendekatan ini dalam proses
pengidentifikasian kemiskinan merupakan sesuatu yang mahal, karena
alasan kelemahan metodologis ini dapat melanggengkan kemiskinan.
Oleh sebab itu, menurut hemat penulis, pendekatan livelihood yang
dikemukakan Ferguson dan Muray terhadap vulnerability context merupakan pendekatan yang tepat karena langsung bersentuhan dan
mengena pada masyarakat miskin dengan bentuk-bentuk intervensi
sesuai dengan konteks masyarakat.
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
52
Pendekatan Sustainable Livelihood Menurut UNDP, CARE dan DFID
Pada bagian berikut ini akan dibahas secara garis besar
pendekatan United Nation Development Programme (UNDP),
Campaign for Awarness Resilience and Education (CARE) dan
Departement for International Development (DFID) dalam
penanggulangan kemiskinan berdasarkan praktek-praktek yang
dilakukan.
Ketika UNDP berbicara mengenai Sustainable Livelihood,
dibahas juga gagasan mengenai Sustainable Human Development (SHD) yang dikemukakan tahun 1995. Sustainable Human Development meliputi, pengurangan kemiskinan, pekerja dan
penghidupan (mata pencaharian) berkelanjutan, jender, perlindungan
dan regenerasi pemerintahan dan lingkungan hidup. Jadi menurut
UNDP, Sustainbale Livelihood mengandung sebuah konsep sekaligus
juga merupakan kerangka kerja program pengurangan kemiskinan
secara berkelanjutan.
Secara konseptual “Livelihood” mengandung arti sebagai,
aktivitas, pengakuan hak-hak dan aset-aset yang digunakan masyarakat
setempat untuk membangun hidupnya. Aset-aset meliputi aspek alam
atau unsur-unsur biologis, sosial, politik, manusia, unsur fisik dan
ekonomi. Aspek alam atau biologi seperti, tanah, air, sumber-sumber
kepemilikan bersama, flora, fauna; dan aspek-aspek sosial seperti,
komunitas, keluarga, jejaring sosial; unsur-unsur politik, meliputi
partisipasi, pemberdayaan dan hal-hal yang bersifat sosial; aspek
manusia seperti, pendidikan, tenaga kerja, kesehatan, nutrisi; aspek
fisik, seperti jalan, klinik, pasar, sekolah, jembatan; aspek ekonomi
seperti, pekerjaan, tabungan, kredit. Livelihood yang menekankan
Sustainable Livelihood mengandung gagasan-gagasan penanggulangan
kemiskinan berikut: a. Penanggulangan dan pemulihan kembali dari
goncangan (shocks) dan tekanan (stresses) melalui adaptasi dan strategi
penanggulangan; b. Pendekatan ekonomi yang efektif. c. Aktivitas
Livelihood yang secara ekologis tidak menimbulkan degradasi sumber
Perspektif Livelihood dan Collective Action
53
daya alam sebagai suatu ekosistem. d. Secara sosial Livelihood perlu
dipromosikan oleh suatu kelompok untuk memengaruhi dan tidak
menutup kemungkinan bagi kelompok lain, sebagai peluang saat ini
dan di masa depan.
UNDP menawarkan tahapan-tahapan untuk merancang,
menerapkan dan mengevaluasi Sustainable Livelihood. Metode
tersebut digunakan melalui langkah-langkah yang diprogramkan dalam
tahapan-tahapan berikut: 1) melibatkan laki-laki dan perempuan dalam
suatu asesmen dan refleksi berdasarkan pengetahuan sebagai aset
setempat; 2) melakukan analisis kebijakan mikro dan makro yang dapat
memengaruhi strategi Livelihood; 3) menilai dan menetapkan potensi
kontribusi pengetahuan modern dan teknologi sebagai pelengkap
sistem pengetahuan lokal untuk memperbaiki Livelihood; 4)
mengindentifikasi mekanisme-mekanisme investasi sosial dan ekonomi
(seperti microfinance, belanja kesehatan dan pendidikan) untuk
mengembangkan strategi Livelihood dan memastikan langkah-langkah
yang telah dirancang sebagai suatu proses yang terintegrasi secara lebih
konkrit. Selain UNDP, berikut disajikan pendekatan CARE terkait
dengan Sustainable Livelihood.
CARE merupakan NGO internasional yang memberi perhatian
melalui program yang berfokus pada pertolongan orang yang paling
miskin dan paling rentan. Perhatian CARE diwujudkan melalui
program reguler pembangunan atau jejaring kerja. Sejak tahun 1994
CARE menggunakan rujukan Household Livelihood Security (HLS)
sebagai kerangka kerja untuk menganalisis, merancang, memonitoring
dan mengevaluasi program. Konsep HLS tentang Livelihoods diambil
dari definisi yang dibangun oleh Chambers and Conway (1991),
dengan memperhatikan tiga unsur fundamental yaitu, pertama,
kapabilitas yang dimiliki manusia (pendidikan, keterampilan,
kesehatan, orientasi psikologi); kedua, akses terhadap aset-aset yang
kelihatan dan tak kelihatan; dan ketiga, eksistensi aktivitas ekonomi.
Interaksi antara ketiga unsur tersebut dilihat sebagai strategi mata
pencaharian atau Livelihood rumah tangga. Berdasarkan unsur-unsur
fundamental tersebut CARE merumuskan household livelihood
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
54
security dengan tekanan pada pendekatan pengembangan kapasitas dan
tetap aktif membantu agar masyarakat sendiri dapat
mengkonsrtuksikan Livelihood mereka, daripada hanya bersikap pasif
menerima bantun-bantuan dari luar. Namun disadari juga oleh CARE
bahwa di samping Livelihood masyarakat ada pergeseran-pergeseran
sebagai perkembangan dari organisasi secara internal, yaitu: pertama,
pergeseran konsern dari food security regional dan nasional ke konsern
terhadap food security dan pentingnya nutrisi bagi individu serta
rumah tangga; kedua, pergeseran dari perspektif “pengarusutamaan
makanan” ke perspektif Livelihood, dengan fokus bukan hanya pada
produksi makanan tetapi juga kemampuan rumah tangga dan individu
untuk memperoleh tambahan makanan yang sehat secara lebih
memadai; ketiga, pergeseran dari perspektif materialis yang berfokus
pada produksi makanan ke perspektif sosial yang berfokus pada
perbaikan kapabilitas orang-orang untuk mengamankan Livelihood
mereka sendiri. Selanjutnya CARE secara operasional melihat
dinamika pendekatan Livelihood dan program yang interaktif sebagai
suatu proses dapat dilalui dengan langkah-langkah berikut: pertama,
mengidentifikasi wilayah potensi geografi dengan menggunakan data
sekunder untuk menemukan konsentrasi orang miskin; kedua,
mengidentifikasi kelompok-kelompok rentan dan Livelihood yang
terdesak; ketiga, menghimpun data yang dapat dianalisis, membuat
catatan kecenderungan-kecenderungan dan mengindentifikasi
indikator-indikator yang akan diamati, dan menyeleksi komunitas-
komunitas untuk melakukan program intervensi. Fokus intervensi
CARE adalah memberi perhatian khusus bagi penguatan kapabilitas
orang miskin agar mereka sendiri melindungi hidupnya. Oleh sebab itu
CARE menekankan pemberdayaan sebagai dimensi pendekatan yang
fundamental pada dua aras, yaitu aras pemberdayaan personal dan aras
pemberdayaan sosial. Aras pemberdayaan personal, bertujuan
mempertinggi rasa percaya diri dan keterampilan masyarakat sebagai
human capital, baik di lingkungan rumah tangga maupun komunitas.
Sedangkan aras pemberdayaan sosial, merupakan suatu usaha menuju
pendirian dan penguatan eksistensi, dan komunitas secara representatif
berbasis organisasi melalui pengembangan kapasitas anggotanya.
Perspektif Livelihood dan Collective Action
55
Pemberdayaan tersebut dilakukan dengan cara merencanakan dan
melaksanakan aktivitas pembangunan berdasarkan prioritas pada
makna-makna partisipasi yang bersumber pada kebutuhan dengan
membangun prinsip dan struktur demokrasi yang representatif.
Penjelasan berikut dilanjutkan dengan melihat pendekatan DFID
terhadap Sustainable Livelihood.
Menurut Krantz pendekatan Sustainable Livelihood yang
dilakukan oleh DFID diadopsi dari sebuah hasil publikasi tahun 1997
oleh UK Government White Paper on International Development. DFID mendefinisikan Sustaianble Livelihood seperti yang
dikembangkan oleh IDS dengan modifikasi dan gagasan yang berasal
dari Chambers dan Conway, sebagai berikut:
A livelihood comprises the capabilities, assets (including both material and social resources) and activities required for a means of living. A livelihood is sustainable when it can cope with and recover from stresses and shocks and maintain or enhance its capabilities and assets both now and in the future, while not undermining the natural resource base.
Prinsip-prinsip utama pendekatan DFID terhadap
pembangunan Sustainable Livelihood, berfokus pada permasalahan
kemiskinan dan aktivitas pembangunan, sebagai berikut: pertama,
berpusat pada masyarakat. Yang dimaksud dengan berpusat pada
masyarakat ialah berusaha mengeliminasi kemiskinan secara
berkelanjutan, dengan dukungan eksternal yang juga berfokus pada
persoalan-persoalan masyarakat, memahami perbedaan kelompok
dalam masyarakat dan berkerja sama dengan mereka dalam cara-cara
yang serupa dengan strategi Livelihood mereka dengan memperhatikan
lingkungan sosial dan kemampuan beradaptasi; kedua, terlibat dan
bertanggung jawab. Artinya, orang miskin sendiri harus menjadi aktor
kunci dalam pengidentifikasian dan menunjukkan Livelihood sebagai
prioritasnya, sedangkan dari orang luar dibutuhkan sikap mendengar
dan merespon orang miskin; ketiga, usaha mengeliminasi kemiskinan
merupakan suatu tantangan yang sangat besar yang hanya akan diatasi
dengan bekerja di berbagai aras atau level, juga perlu ada kepastian
berkaitan dengan kebijakan dan aktivitas pembangunan di struktur
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
56
lingkungan tingkat mikro serta di tingkat makro yang mendukung
orang-orang berproses membangun kemampuan mereka sendiri secara
efektif; keempat, bermitra. Hal ini mengandaikan ada hubungan kerja
sama kemitraan antara sektor publik dan sektor privat; kelima,
berkelanjutan. Maksudnya, aspek keberlanjutan harus nyata pada
empat aspek kunci, yaitu ekonomi, institusi, kehidupan sosial dan
lingkungan yang berkelanjutan; dan keenam, bersifat dinamis. Yang
dimaksud dengan sifat yang dinamis ialah adanya dukungan luar yang
menghargai dinamika strategi Livelihood secara alamiah, dengan
tanggapan yang fleksibel untuk mengubah situasi masyarakat dan
berkomitmen membangun dalam waktu yang lebih lama. Oleh karena
itu DFID beranggapan bahwa pendekatan Sustainable Livelihood
harus menjadi tiang penyangga komitmen eradikasi kemiskinan.
Persamaan dan Perbedaan UNDP, CARE dan DFID
Menurut Krantz, sulit membedakan secara tegas pendekatan-
pendekatan yang dikemukakan oleh UNDP, CARE dan DFID
sehubungan dengan Sustainable Livelihood karena ketiga-tiganya
menggunakan Sustainable Livelihood sebagai strategi untuk
mengurangi kemiskinan. Ketiga lembaga tersebut mendefinisikan apa
itu Sustainable Livelihood secara serupa. Menurut Krantz seharusnya
ketiga lembaga itu menjelaskan pandangan konseptual mereka tentang
sumber daya Livelihood secara lebih luas. Bukan hanya memasukan
aset fisik dan ekonomi tetapi juga aset manusia dan sosial dengan
menekankan kebutuhan manusia sebagai pertimbangan untuk
mempengaruhi kebijakan dan struktur ekonomi yang menolak
Livelihood orang miskin.
Berikut, akan dijelaskan cacatan Krantz berkaitan dengan
beberapa perbedaan pendekatan Sustainable Livelihood yang
digunakan UNDP, CARE dan DFID. Pertama, perbedaan dalam
pendekatan. Menurut Krantz UNDP dan CARE menggunakan
pendekatan Sustainable Livelihood untuk memfasilitasi perencanaan
program-program dan proyek yang konkret. Sedangkan DFID
Perspektif Livelihood dan Collective Action
57
menggunakan pendekatan Sustainable Livelihood sebagai kerangka
dasar bagi analisis daripada sebagai prosedur suatu program.
Pendekatan tersebut juga digunakan berkaitan dengan pertimbangan
pemanfatan aset-aset dan proyek-proyek sebagai proses yang
berkelanjutan untuk membuat mereka lebih sensitif dan tanggap
terhadap kondisi dan kebutuhan-kebutuhan orang miskin. Jadi Krantz
berpendapat, Sustainable Livelihood merupakan suatu instrumen
untuk mempertinggi orientasi bagi orang miskin dengan berbagai jenis
aktivitas yang mendukung lembaga-lembaga tersebut, dan bukan
semata-mata merupakan proyek-proyek dan program-program. Kedua,
perbedaan pada tataran implementasi. Dukungan CARE terhadap
Livelihood rumah tangga yang aman pertama-tama terarah pada
tataran komunitas. UNDP dan DFID bekerja pada tataran komunitas
tetapi juga memperhatikan kebijakan lingkungan, bentuk-bentuk
ekonomi-makro dan legislasi, yang sama penting dengan pengurangan
kemiskinan secara efektif. Jadi bagi DFID, analisis Livelihood
masyarakat biasanya terarah pada tataran rumah tangga atau
komunitas, walaupun tujuannya bukan saja untuk mengidentifikasi
kesulitan-kesulitan atau peluang-peluang tetapi agar terjadi perbaikan
sistem pelayanan masyarakat pada tataran itu.
Menurut Krantz kesamaan pandangan dalam pendekatan dan
implementasi terhadap Sustainable Livelihood penting untuk
memahami bagaimana faktor-faktor institusional dan kebijakan-
kebijakan, contohnya mengenai Livelihood masyarakat di tingkat
lokal, yang seharusnya diangkat pada aras kebijakan yang lebih tinggi.
Dikatakannya pula dua aspek lain yang diperhatikan oleh Carney dan
lain-lain tetapi tidak didokumentasikan adalah faktor-faktor
lingkungan dan wilayah-wilayah khusus. UNDP secara khusus dan
DFID secara lebih luas memasukkan kriteria lingkungan dalam definisi
Sustainable Livelihood tetapi CARE menekankan Livelihood rumah
tangga yang aman melebihi Sustainable Livelihood dan lebih
memperhatikan kebutuhan-kebutuhan nafkah hidup sekarang ini
daripada akibat-akibat lingkungan jangka panjang. Sehingga perhatian
UNDP khususnya dalam pembangunan tekhnologi dan bidang sosial
serta investasi ekonomi, cenderung memperhatikan hal-hal tersebut
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
58
untuk memperbaiki Livelihood masyarakat. Sesudah melihat
persamaan dan perbedaan di antara UNDP, CARE dan DFID, Krantz
menyatakan pendekatan Sustainable Livelihood mempunyai beberapa
kekuatan dan kelemahan.
Menurut hemat penulis, secara sosiologis komponen-
komponen Livelihood yang berisikan berbagai kapital atau modal
sebagaimana disebutkan Chambers dan Conway, Krantz dan lain-lain,
memang dilihat saling berhubungan dan memengaruhi tetapi dampak
dari hubungan-hubungan tersebut tidak dijelaskan. Dengan merujuk
pada apa yang dilihat dalam relasi antar-kapital menurut Bourdieu
(https://www.languageascapital.wordpress,com/2012/03/25/cultural-
capital-vs-economic-capital, diunduh 17 Juli 2016), ditemukan relasi-
relasi yang saling memengaruhi bahkan saling memberi makna antar-
modal-modal tersebut. Memang Bourdieu dalam tulisan ini tidak
berbicara langsung mengenai Livelihood tetapi ia mengelompokkan
berbagai komponen modal-modal dalam tiga bentuk modal atau capital yaitu, cultural capital (berbagai pengetahuan, keterampilan,
pendidikan, kedudukan seseorang dalam masyarakat), economy capital (uang dan aset-aset) dan social capital (anggota suatu kelompok,
persaudaraan, pengaruh dan dukungan hubungan berjejaring). Ketiga
kapital tersebut saling memengaruhi satu sama lain. Gambar berikut
menunjukkan relasi antar-kapital dimaksud.
1 2
3
Sumber: Bourdieu (1986), https://www.languageascapital.wordpress.com/2012/03/25/
cultural-capital-vs-economic-capital, diunduh 17 Juli 2016.
Gambar 2.4 Hubungan antar-Jenis-jenis Kapital Menurut Bourdieu
Economic Capital
Cultural Capital Social Capital
Perspektif Livelihood dan Collective Action
59
Menurut Bourdieu, dalam relasi yang pertama, modal ekonomi
dapat ditransfer menjadi modal kultural. Misalnya, dengan
kemampuan finansial keluarga, orang tua mendukung anda
memperoleh pengetahuan dan keterampilan, merupakan suatu bantuan
yang menambah kapital kultural anda. Dengan kemampuan, status dan
gaji yang lebih tinggi, modal ekonomi anda bertambah. Sedangkan
melalui relasi yang kedua seperti status dan penghargaan dalam
masyarakat sebagai modal kultural sampai saat ini diterima sebagai
modal sosial. Dalam relasi yang ketiga, jejaring sosial dapat
dikembangkan sebagai peluang ekonomi yang kemudian dapat
diinvestasikan kembali sebagai modal kultural.
Sesudah berbicara mengenai environmental sustainability dan
social sustainability, pada bagian berikut akan diulas secara garis besar
praktek analisis Sustainable Livelihood, yang berisikan beberapa sub-
pokok bahasan.
Analisis Praktis Sustainable Livelihood
Uraian berikut ini merupakan bagian keempat dari tulisan
Chambers dan Conway tentang Livelihood dan Sustainable Livelihoods. Untuk menjelaskan konsep-konsep Livelihood dan
sustainability ke dalam kebijakan yang tepat dan efisien, perlu ada
suatu orientasi analisis dan metode yang tepat. Ada tiga hal yang akan
dicatat di sini, yakni penghargaan masa depan Livelihood, intensitas
peningkatan Livelihood, dan jejaring Livelihood berkelanjutan.
Nilai Masa Depan Livelihood
Perencanaan bagi masa depan Livelihood terletak pada
bagaimana melihat masa depan Livelihood sebagai sesuatu yang
bernilai. Dikatakan oleh Chambers dan Conway, dalam laporan The Brundtland (WCED 1987:8), definisi tentang sustainable development atau pembangunan berkelanjutan dibuat sebagai usaha untuk
memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan generasi yang akan datang
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
60
tanpa kompromi dan dengan demikian meningkatkan isu-isu keadilan
bagi generasi yang akan datang.
Dalam praktek pengambilan keputusan, generasi masa depan
dan Livelihood mereka tak berarti karena empat alasan: innumeracy,
undemocratic democracy, discounting dan uncertainty. Alasan
pertama, innumeracy. Inumerasi merupakan kegagalan manusia
menghargai apa saja yang ada di dalam kehidupan. Dalam waktu
singkat secara masif akan terjadi bencana global di mana manusia gagal
diorganisir dan lambat atau cepat kita yang hidup sekarang tidak
diperhitungkan oleh generasi yang akan datang; Alasan kedua,
undemocratic democracy. Ketiadaan demokrasi merupakan
representasi masyarakat di masa depan. Intere hanya dapat
direpresentasi melalui latihan yang bersifat imaginasi kita, altruisme,
pengendalian dan tanggung jawab pekerjaan; Alasan ketiga,
discounting. Discounting diartikan sebagai masa depan yang kurang
dihargai atau masa depan yang diabaikan. Dicontohkannya, ahli-ahli
ekonomi mengabaikan tatanan masa depan untuk memaksimalkan
jejaring kerja sama yang bernilai saat ini; para politisi mengabaikan
tatanan masa depan untuk memenangkan pemungutan suara yang
dilakukan setiap lima tahun sekali; dan pebisnis mengabaikan tatanan
masa depan untuk menciptakan keuntungan pada saat ini dan untuk
membayar kembali pinjaman-pinjaman para pendukung; Alasan
keempat, uncertainty. Yang dimaksud dengan uncertainty adalah
ketidakmampuan untuk memprediksi masa depan. Dikatakannya,
innumeracy, undemocratic democracy, discounting and uncertainty merupakan kekeliruan berpikir pandangan jangka pendek. Oleh sebab
itu keempat aspek yang disebutkan ini merupakan alasan-alasan yang
kurang tepat. Sebaliknya nilai-nilai yang terintegrasi melalui sistem
demokrasi yang baik dan adil, merupakan nilai-nilai yang penting
untuk masa depan Livelihood berkelanjutan daripada hanya
memikirkan kepentingan saat ini, karena setiap generasi mempunyai
kepentingan dan interes yang berbeda. Seandainya kita sekarang ini
mempunyai pandangan yang lebih menyeluruh berkaitan dengan
perubahan sosial, ekologi dan tekonologi yang begitu cepat, prediksi
Perspektif Livelihood dan Collective Action
61
kita tentang masa depan tentu akan lebih baik, dipengaruhi pula oleh
sistem komunikasi masa yang baru.
Intensitas Peningkatan Livelihood
Di dalam bagian ini Chambers dan Conway membahas
beberapa sub-tema yaitu pesimisme profesional dan optimisme yang
praktis. Berkaitan dengan sub-tema optimisme yang praktis, dibahas
juga perihal produktivitas dan intensitas penggunaan sumber-sumber
kehidupan serta sinergi ekonomi skala kecil.
Menurut Chambers dan Conway, ahli ekonomi dan ahli
lingkungan, sering memunculkan masalah konseptual tentang
kekayaan alam yang tersedia. Para ahli tersebut cenderung berpikir
mengenai adanya sumber daya lingkungan yang beranekaragam untuk
digunakan. Cara berpikir ini bisa dibenarkan untuk beberapa sumber
daya, seperti fosil minyak yang terbarukan tetapi bukan untuk yang
lainnya seperti, mineral-mineral. Selain itu dikatakannya bahwa kita
sulit mengurangi masalah-masalah seperti, pertumbuhan penduduk,
kerakusan manusia dan ketiadaan sumber daya hidup utama secara
masif dan global. Karena pendekatan yang negatif berfokus hanya pada
masalah-masalah dan cenderung untuk memenuhi kepentingan diri
dan keliru melihat peluang-peluang yang ada. Di balik itu terdapat
studi-studi yang lebih optimis menunjukkan apa yang bisa dibuat oleh
orang miskin. Dari sisi pengertian sumber daya yang produktif dan
intensitas Livelihood, praktek-praktek orang miskin dan petani kecil
serta para tunalahan secara aktual sebenarnya lebih berpotensi
memengaruhi Sustainable Livelihood. Maka ada dua hal yang
berpotensi untuk dikembangkan, yaitu mengembangkan intensitas dan
produktivitas sumber daya kehidupan serta bersinergi secara ekonomi
skala kecil.
Chambers dan Conway juga berpendapat bahwa sistem
pertanian yang intensif secara sinergis dalam skala kecil dapat
dikembangkan di dalam lingkungan hidup dengan keterbatasan-
keterbatasan bio-ekonomi. Berikut, dibuat suatu penjelasan singkat
mengenai apa yang dimaksud dengan jejaring Livelihood
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
62
berkelanjutan. Menurut kedua pakar Livelihood tersebut baik konsep
kesejahteraan maupun konsep deprivasi biasanya ditetapkan
berdasarkan ukuran-ukuran tertentu seperti pendapatan atau
konsumsi. Dengan demikian deprivasi diartikan sebagai kemiskinan
karena ukuran yang digunakan adalah unsur pendapatan atau
konsumsi yang rendah. Oleh sebab itu dikatakan ide-ide tentang
jabatan, pekerjaan dan lapangan kerja merupakan hasil
pengidentifikasian kategori-kategori dengan latar belakang situasi
perkotaan dan dunia industri yang relatif berbeda dengan aktivitas
Livelihood orang miskin pedesaan.
Sebaliknya, Livelihood dan Sustainable Livelihood merupakan
konsep yang berkembang dari penelitian lapangan yang lebih terbuka
daripada survei-survei yang tertutup dan bersifat statistik. Menurut
pengamatan keduanya, realitas empiris yang dilihat bukanlah
merupakan sesuatu yang simpel. Untuk menyusun kembali definsi,
tentang Sustainable Livelihood, di dalamnya tidak hanya termasuk
pendapatan dan konsumsi-konsumsi tetapi juga kemungkinan untuk
menangani tekanan (stress) dan goncangan (shock) serta untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Sebagai suatu definisi
yang lebih luas, Sustainable Livelihood meliputi juga environmental sustainability dan pengaruh-pengaruh yang baik terhadap aspek-aspek
lain Livelihood. Sustainable Livelihood mempunyai berbagai dimensi
dan hubungan sebab akibat, berbeda-beda bentuk di dalam lingkungan
yang berbeda dengan orang yang berbeda-beda pula.
Optimisme Praktis Livelihood
Pandangan yang lebih optimis berasal dari studi tentang apa
yang dibuat orang miskin. Sekalipun dalam produktivitas sumber-
sumber daya penghidupan dan peningkatan Livelihood yang terbatas,
praktek-praktek orang miskin dan petani-petani kecil serta juga orang-
orang yang tidak mempunyai tanah, secara aktual, lebih besar potensi
pengaruhnya terhadap Livelihood berkelanjutan daripada para
profesional yang banyak diakui. Dengan begitu muncul pertanyaan,
bagaimana, dari mana sumber-sumber penghidupan yang memadai dan
Livelihood yang aman, berkelanjutan dan meningkat diperoleh?
Perspektif Livelihood dan Collective Action
63
Pertanyaan tersebut ditanggapi dengan memperhatikan dua
aspek berikut, yakni intensitas penggunaan dan produktivitas sumber-
sumber penghidupan serta sinergi ekonomi skala kecil. Aspek pertama,
intensitas penggunaan dan produktivitas sumber-sumber penghidupan.
Potensi-potensi sumber daya Livelihood yang digunakan biasanya
diremehkan. Ada dua domain peremehan yang dibuat. Pertama, dalam
skala petani kecil, dunia pertanian sekarang dipahami sebagai bidang
kegiatan yang kompleks, berbeda dan beresiko, seperti kebanyakan
negara di bagian Selatan, produktivitas bio-ekonomi sebagai
peningkatan dan stabilisasi bukan melalui penyederhaan dengan paket
bantuan yang besar tetapi dengan berbagai jejaring usaha yang
kompleks dan berbeda. Maka meningkatkan keanekaragaman hasil
melalui, agroforestry, aquaculture, memotong dan menjual makanan
serta ternak di kedai, penciptaan dan perlindungan lingkungan hidup
yang kecil sebagai pusat kesuburan, penghasil air yang sehat dan
pekerjaan-pekerjaan lainnya, merupakan usaha-usaha yang dapat
dikembangkan sebagai tanggung jawab Livelihood yang intensif
terhadap kemungkinan resiko, dibandingkan dengan mengandalkan
tanah yang tersedia. Aspek kedua, sinergi ekonomi skala kecil. Temuan
(finding) analogi ekologi, degradasi sumber-sumber daya kehidupan
yang saat ini menjadi potensi Livelihood. Secara paradox, degradasi
sering melindungi sumber-sumber daya kehidupan bagi orang miskin.
Sebab tanah yang menyusut, gundul, longsor, berair, gundul dimakan
ternak, banjir atau tumbuh tidak berkelanjutan, itu mempunyai nilai
yang rendah. Tapi sekali lagi, ketika praktik menajemen berubah,
potensi bio-ekonomi yang luar biasa dapat direalisasi. Sejumlah tanah
berpotensi seperti di India seluas 69 juta hektare, dapat ditumbuhi
pepohonan yang memproduksi biomas secara dramatis. Hal ini
menunjukkan perkembangan luar biasa saat ini karena produksi
biomas bertambah sepuluh kali lipat daripada produksi sebelumnya.
Sejak itu Livelihood menjadi intensif, mengurangi degradasi hutan, dan
menyediakan Livelihood berkelanjutan untuk jutaan penduduk miskin.
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
64
Sinergi Ekonomi Skala Kecil
Menurut Chambers dan Conway, dari suatu studi di pedesaan
Bangladesh pada tahun 1990 ditemukan bahwa hanya 37% pendapatan
rumah tangga berasal dari kegiatan pertanian, 44% pendapatan berasal
dari buruh termasuk buruh tani dan 19% berasal dari bisnis,
perbengkelan dan sumber-sumber lain. Kasus ini memperlihatkan
tingkat kehidupan ekonomi yang rendah, padahal ada banyak peluang
yang dapat digali pada tingkat lokal. Menurut keduanya, pengalaman
ini menunjukkan bahwa sesungguhnya dapat dilakukan sinergi melalui
resirkulasi pendapatan.
Untuk mengoptimalkan sinergi, muncul sejumlah pertanyaan
terkait dengan pasar, penduduk yang berpenghasilan, biaya teknologi,
lisensi yang diakui dan pembatasan-pembatasan (restriksi) serta
struktur kekuatan lokal. Selain itu untuk mengoptimalkan sinergi
resirkulasi pendapatan sebagai suatu isu, perlu dikonfrontasikan secara
intensif sebagai perhatian pokok, khususnya di wilayah dunia dengan
permasalahan tekanan penduduk seperti yang terjadi di Bangladesh.
Maka hipotesis yang dapat dibuat ialah resirkulasi dapat dilakukan
melalui pembelian dan persediaan barang-barang setempat, termasuk
berbagai pelayanan jasa, akan membuat Livelihood lebih intensif
daripada mengimpor berbagai kebutuhan dari luar. Keduanya juga
berpendapat bahwa untuk mengembangkan sistem pertanian yang
kompleks secara lebih intensif, dalam rangka mengembangkan sinergi
ekonomi skala kecil melalui pengembangan bio-ekonomi perlu
dilakukan juga adopsi sistem teknologi. Sesudah berbicara mengenai
sinergi ekonomi skala kecil akan dibahas juga masalah jejering dalam
mengembangkan Livelihood.
Jejaring Sustainable Livelihood
Menurut Chambers dan Conway, perlu dipertimbangkan
kembali definisi Sustainable Livelihood, karena bukan hanya terdapat
aspek pendapatan dan konsumsi tetapi juga kemampuan untuk
menangani tekanan dan goncagnan serta pemenuhan kebutuhan-
kebutuhan dasar manusia. Definisi yang lebih luas memasukkan di
Perspektif Livelihood dan Collective Action
65
dalamnya lingkungan berkelanjutan dan akibat-akibat lain yang
bermanfaat dari Livelihood.
Sustainable Livelihood mempunyai banyak dimensi dan sebab-
sebab, berbeda bentuk bagi orang yang berbeda dalam lingkungan yang
berbeda. Selanjutnya keduanya mengusulkan perlunya jejaring
Sustainable Livelihood sebagai suatu kriteria yang dapat digabungkan
di dalam definisi tersebut, termasuk sejumlah ukuran yang berkaitan
dengan lingkungan alam dan sosial yang berkelanjutan. Selanjutnya
berdasarkan ukuran-ukuran tersebut, dikemukakan dua konsep praktis
yaitu akibat jejaring Sustainable Livelihood dan intensitas jejaring
Sustainable Livelihood. Yang dimaksud dengan akibat jejaring
Sustainable Livelihood adalah jejaring yang memadai dan Sustainable Livelihood yang dihasilkan serta didukung oleh Livelihood itu sendiri
atau oleh perusahaan-perusahaan, proyek-proyek, program-program
atau kebijakan, atau oleh sumber-sumber penghidupan lokal atau
melalui kelompok dan sistem sosial, ekonomi dan politik. Sedangkan
intensitas jejaring Sustainable Livelihood berkaitan dengan hubungan
jejaring yang memadai dan Sustainable Livelihood dilihat sebagai
pembilang dan penyebut berkaitan dengan Livelihood yang lain atau
sebagai suatu perusahaan, proyek, program atau kebijakan, atau
sebagai sumber penghidupan lokal atau kelompok dan sistem sosial,
ekonomi dan politik.
Selanjutnya, penilaian terhadap efek-efek jejaring Sustainable Livelihood, dapat mengacu pada tiga pokok yaitu, efek lingkungan
berkelanjutan, efek kehidupan sosial berkelanjutan dan efek jejaring.
Masalahnya adalah sulit menilai pengaruh atau dampak dari aktivitas
Livelihood berkaitan dengan aset-aset yang tidak kelihatan. Pertama.
Efek lingkungan berkelanjutan. Salah satu prinsip pokok di bagian ini
ialah penilaian tentang pentingnya lingkungan setempat berkelanjutan
bagi orang-orang kaya baik di Utara maupun di Selatan. Sedangkan
bagi orang miskin di Selatan yang lebih penting adalah perihal keadilan
tanpa adanya kepentingan jejaring yang menawarkan perbaikan
pendapatan per kapita mereka yang menurun. Kedua, Efek sosial
berkelanjutan. Berkaitan dengan efek sosial berkelanjutan, unsur
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
66
kapabilitas Livelihood merupakan kunci dari kehidupan sosial
berkelanjutan dalam Livelihood. Pendidikan, kesehatan dan
kompetensi fisik sudah jelas merupakan unsur penting dalam
kehidupan sosial berkelanjutan walaupun biasanya keterampilan
sebagai aspek yang utama ditemukan sebagai kendala dalam
mengembangkan Livelihood. Kehidupan sosial yang berkelanjutan juga
terkait dengan jejaring aset-aset, khususnya aset yang kelihatan dan
mudah diindentifikasi. Selain itu juga kehidupan sosial berkelanjutan
antargenerasi mempunyai kaitan kuat dengan aset-aset yang dapat
digunakan sebagai sumber pendapatan secara berkelanjutan. Ketiga,
Efek-efek jejaring. Hal positif yang diperoleh dari efek jejaring ialah
lingkungan berkelanjutan, kehidupan sosial berkelanjutan, Livelihood
yang memadai, Livelihood berkelanjutan. Terlepas dari berbagai efek
berjejaring, studi-studi yang muncul kemudian memperlihatkan secara
sosial, suatu kelompok masyarakat dapat mengembangkan hubungan
berjejaring yang lebih luas sebagai social capital (Social Capital and Our Commnunity, A Publicatin of The University of Minnesota Extension Center for Community Vitality, http://www.extension.
umn.edu/community/civic-engagement/docs/social-capital-
comunnity.pdf, diunduh 18 Maret 2014).) Dalam sumber tersebut
dikatakan penguatan relasi sosial dapat dilakukan melalui tiga bentuk
hubungan berjejaring, yaitu bonding, bridging dan linking. Bonding networks terjadi terbatas pada keluarga, teman dan tetangga. Bridging networks, berlangsung dengan orang-orang berbeda dengan kita tetapi
berada dalam satu organisasi, pekerjaan atau asosiasi. Sedangakan
lingking networks, terjadi melalui organisasi, lembaga swadaya
masyarakat lokal dan pemerintah serta perbankan yang menandai
adanya relasi-relasi yang lebih luas. Lembaga-lembaga tersebut
biasanya mempunyai sumber-sumber penghidupan dan berada di luar
komunitas. Menurut hemat penulis, jejaring kerja yang lebih luas tentu
berdampak bukan saja pada Livelihood yang diusahakan secara
berkelanjutan tetapi juga berdampak mengembangkan kapabilitas
seseorang atau komunitas secara berkelanjutan.
Terkait dengan tawaran analisis Chambers dan Conway dalam
mengembangkan Sustainable Livelihood di tingkat pedesaan, dari
Perspektif Livelihood dan Collective Action
67
pengalaman pelayanan masyarakat di Aceh dan Nias, Saragih, Lassa
dan Ramli (2007), mengingatkan beberapa hal. Pertama, dikatakan
bahwa konsep inti kerangka Sustainable Livelihood, mengandung ciri-
ciri, berpusat pada masyarakat, bersifat holistik, dinamis, membangun
kapasitas lokal, mempunyai hubungan makro-mikro dan
keberlanjutan. Kedua, Dimensi keberlanjutan berisikan keberlanjutan
lingkungan dan ekologis, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial
dan keberlanjutan kelembagaan. Yang menarik ialah kerangka
Sustainable Livelihood ini nampaknya memberikan perhatian pada
aspek keberlanjutan kelembagaan setempat yakni struktur-struktur
dan proses-proses lokal yang sudah ada agar dapat terus berfungsi
terhadap pengembangan Livelihood masyarakat dalam jangka panjang.
Pada bagian berikut ini akan diuraikan secara singkat
perspektif collective action sebagai acuan untuk menganalisis sikap
masyarakat atau penduduk setempat berkaitan dengan perjuangan
mereka mempertahankan bahkan mengembangkan Livelihood secara
berkelanjutan. Karena masyarakat memperjuangkan Livelihood tidak
dilakukan secara individual tetapi dilakukan secara kolektif.
Perspektif Colletive Action
Pada bagian ini akan dibicarakan mengenai collective action
atau tindakan kolektif, akan dan dilanjutkan membahas gerakan sosial
(social movement) sebagai wujud konkrit collective action Kemudian
akan dilanjutkan dengan menguraikan resistensi sebagai ekspresi
sebuah social movement sebagai collective action kelompok
masyarakat.
Collective Action
Apa itu collective action dan bagiamana ciri-cirinya? Mancur
Olson (2002) penggagas perspektif colletive action berpendapat, setiap
organisasi atau kelompok mempunyai harapan dan interes atau
kepentingan masing-masing. Sebagai contoh disebutkannya beberapa
kelompok organisasi seperti, serikat kerja, kelompok petani, kelompok
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
68
kartel, para pemegang saham, termasuk warga negara, mempunyai
harapan dan interes yang berbeda satu dengan yang lain.
Menurut Olson, serikat kerja mempunyai harapan dan
kepentingan berkaitan dengan gaji yang tinggi, petani mempunyai
harapan dan interes berkaitan dengan aturan-aturan dan berpihak pada
mereka. Kelompok kartel mempunyai harapan dan interes berkaitan
dengan harga-harga barang yang tinggi, para pemegang saham
mempunyai harapan dan interes tentang dividen dan harga yang
menguntungkan. Sedangkan warga negara mempunyai harapan dan
interes terhadap adanya pemerintahan yang baik. Singkatnya,
perhatian Olson ada pada kelompok-kelompok yang terorganisir dan
yang mempunyai harapan serta interes yang muncul dari individu-
individu kemudian bermuara pada kepentingan bersama sebagai
kelompok. Menurut Olson, kajiannya dilatarbelakangi oleh
pandangannya sebagai seorang ahli ekonomi tetapi seluruh analisa
yang dilakukannya dapat dikaitkan dengan kepentingan baik organisasi
sosial maupun organisasi politik.
Selain Olson, Vanni Fransesco (2014) juga berbicara mengenai
collective action tetapi berkaitan dengan dunia pertanian. Ia mengutip
beberapa penulis lain yang merumuskan peran colletive action sebagai
tindakan individu-individu dalam kelompok untuk berbagai
kepedulian bersama sebagai kelompok. Pengertian collective action yang dicatat Vanni ialah keterlibatan suatu kelompok masyarakat yang
berbagi perhatian, tindakan-tindakan kebersamaan yang bermuara
pada kebaikan bersama. Menurut Vanni dalam kasus lingkungan
pertanian perlu dibedakan collective action yang dibangun oleh suatu
organisasi yang dikontrol langsung oleh petani-petani itu sendiri dan
yang didukung oleh penguasa baik nasional maupun regional. Dalam
perspektif ini Vanni menyatakan 2 (dua) ciri atau tipe collective action
sebagaimana dirujuk pada Davies et. al (2004). Pertama, tipe kerja sama
(cooperation). Tipe ini berfokus pada kerja sama dari bawah ke atas,
sehingga tindakan kolektif dilihat sebagai petani untuk petani (Bdk.
Bandiera, Barankay dan Rasul, 2005). Dikatakannya dalam tipe ini
biasanya ada yang menerima namun ada pula yang menolak dukungan
Perspektif Livelihood dan Collective Action
69
pemerintah; kedua, koordinasi (coordination). Pada tipe ini collective action atau tindakan kolektif berasal dari atas ke bawah, melalui agen-
agen atau perwakilan-perwakilan yang memimpin tindakan-tindakan
kolektif. Pendekatan ini dipromosi melalui kebijakan pemerintah
tetapi biasanya tidak diterima oleh sejumlah pendukung, sekalipun ada
pula yang menerima dukungan pemerintah baik nasional maupun
lokal. Dikatakannya, pengaruh kategorisasi ini terletak pada perbedaan
strategi perjuangan di tingkat pemerintahan. Dalam kasus-kasus
tertentu institusi mempunyai peran vital membagi, menciptakan dan
mengkoordinasi tindakan-tindakan di tingkat lokal.
Selanjutnya dikatakan juga oleh Vanni, hubungan sosial dalam
kelompok merupakan “social capital” karena dalam hubungan-
hubungan tersebut orang saling percaya, ada norma-norma, hubungan
bersifat timbal balik, ada penghargaan dan harapan, ada nilai-nilai,
sebagai suatu budaya, ada informasi dan pengetahuan, ada asosiasi-
asosiasi dan kelompok formal, ada institusi, aturan-aturan dan sanksi-
sanksi. Menurutnya keberhasilan strategi lokal selalu terkait dengan
institusi lokal yang kuat, di dalamnya ada aktivitas ekonomi, adanya
human capital (sumber pengetahuan), social capital (kepercayaan dan
hubungan timbal balik dan relasi-relasi sosial lain), political capital (kapasitas berpolitik). Secara khusus Vanni menekankan peran social capital dalam colletive action. Menurut Vanni, peran social capital penting karena berhubungan dengan pengaturan sumber daya kolektif
yakni: a. saling percaya dalam berelasi; b. terjadi pertukaran dalam
hubungan timbal balik; c. adanya aturan bersama, norma-norma dan
sanksi-sanksi; d. ada hubungan berjejaring dan berkelompok.
Dijelaskannya, unsur kepercayaan dalam berelasi penting karena
memungkinkan terjadinya kerja sama sebagai tindakan kolektif yang
dapat bertahan lama sebagai tradisi dalam suatu masyarakat dan
organisasi. Karena kepercayaan mempunyai hubungan yang amat kuat
dengan reputasi sosial yang ditandai oleh penghargaan dan hubungan
yang bersifat timbal balik. Kemudian sikap saling percaya dan
menghargai menjadi dasar kerja sama, dalam waktu yang lama. Namun
keberhasilan collective action juga bergantung pada nilai-nilai dan
norma-norma bersama dan sanksi dengan kriteria yang lebih terbuka
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
70
sesuai kepentingan kelompok. Akhirnya Vanni menyatakan terkait
dengan jejaring dan kelompok-kelompok, ada tiga jenis hubungan yang
dikembangkan, yaitu bonding, bridging dan lingking networking. Jadi
konteks analisis dalam tulisan ini dihubungkan dengan peranan social capital bagi keberhasilan colletive action, secara khusus perhatian
diberikan kepada semua aspek social capital berkenaan dengan dua
jenis interaksi, yaitu, pertama, interaksi di dalam kelompok komunitas
petani; kedua interaksi antara petani-petani dan stakeholder desa
setempat.
Selain Vanni, Schutz dan Sandy (2011) mengawali tulisan
mereka tentang collective action, berdasarkan latar belakang situasi
masyarakat Amerika. Studi Schutz dan Sandy ini dibuat dengan fokus
pada colletive action komunitas yang terorganisasi. Dalam studi
tersebut keduanya kemudian membuat perbedaan antara komunitas
yang terorganisasi dan komunitas yang tidak terorganisasi. Pembedaan
komunitas tersebut dirujuk pada gagasan Saul Alinsky tentang
komunitas yang terorganisasi atau community organizing tahun 1930.
Yang dimaksud dengan komunitas yang terorganisasi sebagai institusi
ialah komunitas yang dapat bertahan lama dan mengembangkan
kepemimpinan lokal, sebagai komunitas yang bersatu, mempunyai
kekuatan kolektif untuk menolak tekanan yang ada. Menurut Schutz
dan Sandy serta Alinsky menyatakan bahwa komunitas yang
terorganisasi mempunyai peranan, pertama sebagai organisasi yang
reformis dan bukan revolusioner sebagaimana ada dalam paham kaum
sosialis. Kedua, kelompok atau komunitas yang terorganisasi sebagai
institusi sosial, berperan untuk memengaruhi, bukan untuk merusak
kehidupan yang mengalami tekanan. Schutz dan Sandy, menjelaskan
maksud pernyataan-pernyataan tentang peranan komunitas yang
terorganisasi di atas dengan membuat ilustrasi merujuk pada
pernyataan Alinsky, yang menggunakan kata “perang” antara orang
“berpunya” (the “have”) dan orang yang “tidak berpunya” (the “have not”). Pernyataan atau ungkapan tersebut secara prinsipil tidak
dimaksudkan sebagai kekerasan. Menurut keduanya, Alinsky melihat
komunitas yang terorganisasi berkaitan dengan kepentingan urusan
ekonomi. Padahal dalam pengalaman kelompok atau komunitas yang
Perspektif Livelihood dan Collective Action
71
terorganisasi biasanya ada kritik-kritik yang keras terkait juga dengan
pelayanan sosial bagi masyarakat luas. Karena itu keduanya mengambil
sikap untuk memikirkan ulang pandangan Alinsky tersebut tentang
community organizing di atas. Schutz dan Sandy kemudian
menjelaskan, community organizing dapat dipertahankan dengan cara,
menambah anggota, menyelenggarakan pendidikan dan latihan
kepemimpinan, berusaha mencapai suatu reputasi, mengumpulkan
uang untuk menyokong kepentingan infrastruktur dan staf,
menunjukkan kapasitas mereka untuk memperoleh jumlah orang yang
lebih banyak dari luar untuk aksi-aksi publik. Karena itu keduanya
menyuguhkan sejumlah batasan mengenai komunitas yang
terorganisasi. Komunitas yang terorganisasi mempunyai tanda-tanda:
terstruktur, mempunyai pemimpin kunci, mempunyai kepercayaan
yang mendalam dan komitmen yang tinggi. Sebaliknya, komunitas
yang tidak terorganisasi menurut keduanya, ditandai oleh aktivitas
tanpa strategi dan target yang terpadu, tanpa suatu proses
pemeliharaan kekuatan yang lebih luas untuk suatu periode, dan tanpa
suatu struktur institusi yang menghimpun kebersamaan masyarakat
dan tanpa mobilisasi orang. Namun masyarakat pada umumnya
menyukai para aktivis kelompok ini sebab mereka biasanya
menggalang semangat untuk melakukan suatu tindakan sosial
(collective action), yang pada kenyataan tidak mengancam siapapun.
Namun beberapa hal dapat dipelajari antara lain tentang apa yang
diperhatikan Schutz dan Sandy (2011, 257-268) tentang taktik sebagai
collective action. Keduanya mengartikan taktik sebagai, anything that puts pressure on a target (suatu cara memberikan tekanan untuk
sebuah target). Keduanya membuat kriteria atau ciri-ciri suatu taktik
yang baik sebagai berikut: a. memberikan tekanan pada suatu target; b.
ada suatu permintaan khusus; c. mengeluarkan pengalaman sebuah
target; d. berdasarkan pengalaman anggota-anggotanya sendiri; e.
menerima lebih banyak orang masuk di dalam; f. mendidik anggota-
anggota dan mengembangkan kepemimpinan: g. menyenangkan,
menarik hati, terdidik..
Selain itu Oliver, Marwell dan Teixeira (1985) menyatakan
bahwa, colletive action dapat didukung dengan “kritik massa”. Kritik
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
72
massa sebagai collective action secara tipikal berbeda antara satu
kelompok dengan kelompok lain. Kritik massa sewaktu-waktu
membawa kebaikan namun di saat yang lain dapat menyebabkan
kerugian secara luas bagi orang lain yang tidak terlibat apa-apa.
Sekalipun begitu, ketiganya menyatakan konsep kritik massa mendapat
tempat sentral dalam teori collective action.
Gerakan Sosial (Social Movement)
Porta Donatella Della dan Diani Mario (2006) menyatakan,
gerakan sosial (social movement) sebagai proses sosial, terdiri dari
mekanisme-mekanisme kegiatan dan tindakan kolektif para anggota
suatu kelompok gerakan sosial, yang merupakan: a. relasi-relasi yang
teridentifikasi mengandung unsur pertikaian. Collective action yang
konfliktual ditandai oleh relasi yang bersifat oposisi satu kelompok
terhadap pihak lain. Hubungan yang bersifat oposisional bisa terkait
dengan aspek politik, ekonomi dan kultural serta proses relasi tersebut
menghasilkan penilaian negatif terhadap pihak lain; b. ada keterkaitan
dukungan jejaring informal. Proses gerakan sosial (social movement) mengandung koordinasi, regulasi dan perumusan strategi negosiasi
sebagai tindakan kolektif gerakan organisasi secara menyeluruh; c.
indentitas kolektif yang jelas. Gerakan sosial bukan hanya berkaitan
dengan jumlah peristiwa dan isu-isu atau peristiwa khusus yang
diprotes tapi juga untuk membangun identitas kolektif. Di dalam
gerakan sosial (social movement), kriteria keanggotaan sebenarnya
bergantung pada dukungan timbal balik antara aktor-aktor. Ada
berbagai bentuk gerakan sosial seperti dicacat Porta dan Diani (2006,
128-131), dari studi yang dilakukan oleh Carroll dan Ratner tahun
1996. Gerakan sosial bisa berbentuk gerakan buruh (pekerja), kaum
urban (anti kemiskinan), gay dan lesbian, feminisme, gerakan aktivis
lingkungan hidup, gerakan perdamaian dan gerakan penduduk asli.
Studi tersebut menyimpulkan bahwa latar belakang gerakan sosial
tersebut ada tiga yaitu, berlatar belakang perspektif ekonomi politik,
perspektif identitas dan perspektif liberal. Dari studi tersebut
dirumuskan fungsi gerakan sosial, pertama, sebagai gerakan yang
memfasilitasi perluasan infomasi untuk mempengaruhi sebuah proses
Perspektif Livelihood dan Collective Action
73
pengambilan keputusan; dan kedua, sebagai gerakan yang
berkontribusi menumbuhkan sikap saling percaya di antara anggota
gerakan sosial tersebut; ketiga, fungsi lain lagi ialah, fungsi mobilisasi,
yang dilakukan melalui jejaring kelompok pertemanan untuk
membentuk opini. Menurut Porta dan Diani, untuk memahami social movement, perlu memperhatikan latar belakang sejarah munculnya
gerakan tersebut dan lingkungan di mana gerakan itu bertumbuh dan
berkembang. Diani [dalam, Diani & McAdam, (Editor), 2003, 301-
306}, secara lebih singkat merumuskan social movement, sebagai
jejaring interaksi-interaksi informal antara berbagai individu,
kelompok-kelompok atau asosiasi-asosiasi, yang bergiat, berbagai
dalam konflik politik atau kultural berbasis pada identitas kolektif.
Perbedaan kedua rumusan social movement tersebut, dapat dikatakan
sebagai berikut, Porta dan Diani melihatnya sebagai suatu proses sosial
yang lebih luas, sedangkan Diani sendiri melihatnya lebih terbatas
sebagai interaksi sosial yang terjadi melalui jejaring interaksi informal.
Menurut hemat penulis, social movement perlu dilihat sebagai proses
sosial, karena di dalamnya ada aktor-aktor, mekanisme-mekanisme dan
struktur-struktur yang memengaruhi keberlangsungan proses sosial
tersebut.
Selanjutnya, dalam perspektif sosiologis, Natan Keirns at.al.,
(2013) merumuskan social movement, sebagai kegiatan
pengorganisasian kelompok yang bermaksud meraih tujuan bersama.
Kemudian, Keirns, at.al., membedakan beberapa pandangan tentang
social movement seperti perspektif fungsional, konflik dan interaksi
simbolik. Perspektif fungsional melihat gerakan sosial sebagai gerakan
yang berfungsi membangun masyarakat agar tetap eksis. Perspektif
konflik melihat gerakan sosial sebagai sistem relasi sosial yang inheren
mengandung konflik, sebagai pengendali perubahan. Sedangkan
perspektif interaksionisme simbolik melihat gerakan sosial sebagai
sesuatu yang mengandung simbol penuh makna. Selain menjelaskan
social movement, Keirns, at.al., juga merumuskan apa itu perilaku
kolektif. Perilaku kolektif diartikannya sebagai aktivitas sejumlah
orang yang sibuk bersama-sama secara sukarela untuk mencapai tujuan
tertentu. Keirns dan kawan-kawan membedakan empat bentuk
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
74
perilaku kolektif yaitu, crowd, mass, public dan social movement. Berikut penjelasan singkat mengenai empat bentuk perilaku kolektif:
pertama, crowd. Contoh crowd, kelompok orang yang menonton
konser atau yang bermain game atau melakukan ritual keagamaan;
kedua, mass. Mass atau massa dicontohkannya seperti jumlah orang
banyak, yang mempunyai kepentingan bersama; ketiga, public.
Misalnya, kelompok yang tidak terorganisasi, melebur dalam kelompok
untuk sharing ide, seperti kelompok orang-orang dari partai politik;
keempat, social movement. Kelompok sosial merupakan kelompok
yang terorganisasi dengan tujuan tertentu, berusaha bekerja keras
untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan menurut jenis atau
tipenya, social movement dibedakan sebagai berikut: a. Reform movement: gerakan sosial yang ingin memperbaharui struktur sosial; b.
Revolutionary movement: gerakan yang ingin mengubah seluruh aspek
kehidupan masyarakat; c. Religious movement: gerakan yang ingin
menumbuhkan spirit keagamaan dalam diri individu kelompok
keagamaannya. d. Alternatif movement: gerakan yang berfokus pada
perubahan diri, keyakinan dan perilaku. e. Resistance movement: kelompok yang menolak dan ingin mencegah atau mengembalikan
struktur sosial yang berubah dan lebih pro-life.
Resistensi
Hasil studi Scott (1985) tentang pengalaman resistensi
penduduk di Sedaka Malaysia sebagai petani miskin terhadap orang
kaya, penguasa lahan-lahan perkebunan, muncul dalam berbagai
bentuk. Kasus Sedaka memperlihatkan bahwa resistensi petani
pedesaan yang miskin merupakan simbol perlawanan terhadap
penguasa atau orang kaya. Resistensi di Sedaka bukan merupakan suatu
bentuk sejarah konflik di pedesaan. Resistensi di Sedaka terjadi tanpa
kerusuhan, tanpa demonstrasi, tanpa pembakaran rumah, tanpa
tindakan organisasi sosial para petani dan tanpa kekerasan terbuka.
Resistensi yang ditemukan di sini tidak berkaitan dengan gerakan-
gerakan politik, ideologi atau kader-kader revolusi yang besar.
Singkatnya bentuk perjuangan hampir selalu murni dalam situasi
pedesaan. Namun demikian bentuk resistensi ini lebih permanen,
Perspektif Livelihood dan Collective Action
75
berkelanjutan, sebagai strategi sehari-hari dari kelas bawah pedesaan
yang berada di bawah kondisi yang sulit.
Bentuk-bentuk resistensi di Sedaka yang rutin berlangsung
disebut Scott bagaikan senjata yang lemah, terjadi melalui berbagai
sikap seperti penipuan, pembelotan, pencopetan, bersikap pura-pura,
berlaku bodoh, memfitnah, melakukan sesuatu secara keliru, sabotase.
Perspektif lain tentang resistensi kemudian muncul dari
penjelasan Stellan Vinhagen (2007) sebagai berikut.Ia mengutip
Fernandes (1988) yang menyatakan resistensi sebagai:
the counter-hegemonic social attitudes, behaviours and actions which aim at weakening the classification among social categories and which are directed against the dominan power (s) and against those who exercise it (them), having as purpose its (their) distribution in a more equitative way”.
Ia juga menyebut pengertian resistensi sebagaimana
dirumuskan oleh Routledge (1997) sebagai:
“Any action imbued with intent that attempts to challenge, change or retain particular circumstances relating to societal relations, processes and or institutions..[which] imply some form of constation..[and] cannot be separated from practices of domination”
Pengertian lain tentang resistensi juga diambil dari Bush (1999) yang menyatakan:
“any action, individual or collective, violent or lawful, covert and overt, that is critical of, opposes, upsets or challenges the smooth running of colonial rule”.
Rumusan yang berbeda tentang resistensi dibuat oleh
Vinhagen dan Mona Lilja (2007), yang berbunyi, “Sabaltern respons to power, a practice that challenge and which might undermine power”.
Menurut Vinhagen, ada empat hal penting dalam definisi
resistensi: (1) ada suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang; (2) dalam rangka merespon kekuasaan; (3)
menghadapi tantangan kekuasaan; (4) berisikan kemungkinan
mengurangi penguasaan.
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
76
Ia pun membedakan dua bentuk resistensi. Resistensi dengan
kekerasan yang pada umumnya digunakan melalui revolusi,
demonstrasi, pemogokan dan boikot. Selain itu terdapat pula bentuk-
bentuk resistensi tanpa kekerasan seperti: resistensi diskursif (bentuk
simbol komunikasi dengan membangun argumen yang baik, atau
sebagai laporan hasil penelitian tandingan, image tandingan, perilaku
tandingan); kompetisi, tidak bekerja sama, bekerja sama selektif,
menarik diri, menghentikan suatu proses, lelucon yang merusakkan.
Sintesa Gagasan Teoritis
Bagian ini berisikan sintesa pemikiran terkait dengan
perspektif Livelihood dengan tekanan pada Sustainable Livelihood dan
hubungannya dengan collective action, sebagai social movement yang
ditandai oleh resistensi.
Perspektif Sustainable Livelihood pada dasarnya merujuk pada
konsep yang ditawarkan Chambers dan Conway dan kemudian
dikembangkan oleh pemikir Sustainable Livelihood lainnya. Inti
pemikiran Chambers dan Conway tentang Sustainable Livelihood
dapat dilihat dari hal-hal berikut. Menurut keduanya suatu kehidupan
rumah tangga akan berlangsung sebagaimana diharapkan jika rumah
tangga-rumah tangga mempunyai empat hal pokok yaitu kapabilitas,
aset-aset, aktivitas dan hasil yang diperoleh dari apa yang dilakukan.
Karena itu menurut keduanya untuk mewujudkan kelangsungan hidup
harus ada dukungan tiga komponen utama dalam kehidupan rumah
tangga yakni adanya, 1) kapabilitas, 2) barang-barang dan sumber daya
penghidupan serta 3) hak-hak dan akses-akses. Bila unsur-unsur pokok
tersebut ada dalam kehidupan rumah tangga-rumah tangga, termasuk
prinsip-prinsip Sustainable Livelihood yakni, kapabilitas, keadilan,
lingkungan hidup dan kehidupan sosial yang berkelanjutan, maka
kehidupan rumah tangga-rumah tangga berkelanjutan akan terwujud.
Chambers dan Conway juga menawarkan sejumlah strategi untuk
melakukan coping bila seseorang atau suatu rumah tangga, kelompok
Perspektif Livelihood dan Collective Action
77
masyarakat mengalami tekanan dan goncangan, termasuk berada
dalam sistuasi yang rentan menjadi miskin.
Setelah melihat catatan Chambers dan Conway tentang aspek-
aspek utama yang harus ada dalam mengusahakan Sustainable Livelihood, perlu dilihat juga pemikiran Scoones dan Krantz tentang
hal-hal pokok dalam Sustainable Livelihood. Scoones menyatakan
bahwa sumber daya Livelihood terdiri dari unsur-unsur material, sosial
termasuk aset-aset yang kelihatan dan yang tak kelihatan. Unsur-unsur
tersebut kemudian dirumuskan oleh Krantz sebagai aset-aset atau
modal-modal yaitu, modal manusia (human capital), modal sosial
(social capital), modal uang (financial capital), modal fisik (physical capital), modal alam (natural capital).
Untuk mewujudkan Sustainable Livelihood, perlu dihindari
hal-hal yang bersifat inumerasi atau sikap tidak menghargai sesuatu
termasuk orang lain, bersikap tidak demokratis, sikap tidak
menghargai masa depan dan ketidakmampuan memprediksi masa
depan. Selain itu diperlukan strategi-atrategi tertentu untuk
mengembangkan Sustainable Livelihood. Ada berbagai strategi yang
ditawarkan oleh pemikir Sustainable Livelihood. Beberapa bentuk
strategi yang ditawarkan oleh Chambers dan Conway yang dapat
dilakukan suatu rumah tangga ialah, penghematan baik terhadap
barang-barang maupun tenaga kerja; pengumpulan barang yang
diperlukan dan aset-aset; perlindungan atas aset-aset utama,
pengosongan dengan menjual aset-aset yang ada; diversity dilakukan
dengan cara mencari berbagai sumber penghidupan lain;
memperjuangkan hak-hak hidup yang lebih adil berkaitan dengan
berbagai unsur yang memengaruhi kehidupan penduduk atau rumah
tangga-rumah tangga; dan pergerakan maksudnya membagi aset-aset
yang dipunyai untuk dikelola. Sementara itu Scoone menawarkan
strategi khusus yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian,
diversifikasi Livelihood serta migrasi. Sedangkan Butler dan Mazur
menekankan strategi diversifisikasi Livelihood dengan tekanan pada
food security. Pendekatan ini ditawarkan berdasarkan studinya
tehadap latar belakang situasi penduduk yang mengalami penderitaan
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
78
luar biasa karena keterbatasan diversifikasi, degradasi lingkungan,
pendapatan yang rendah, dan berbagai dampak dari HIV/AIDS.
Menurut keduanya, untuk mendorong inovasi, orang miskin sendiri
harus mempromosikan Livelihood pedesaan berkelanjutan. Sedangkan
Morse, Mc. Namara dan Ancolo menyebutkan strategi intervensi usaha
kredit mikro dapat ditawarkan untuk mendukung usaha-usaha
pengembangan Sustainable Livelihood. Semua strategi tersebut dapat
dilakukan melalui pendekatan ekonomi berskala kecil, berjejaring dan
berpusat pada penduduk itu sendiri.
Jadi usaha-usaha untuk mengembangkan Sustainable Livelihood sebagai usaha membangun masa depan yang bermakna
bagi rumah tangga-rumah tangga atau suatu kelompok masyarakat
tidak mungkin dilakukan tanpa menggunakan modal-modal yang
dipunyai. Di samping itu usaha-usaha pengembangan Livelihood perlu
didukung oleh penggunaan strategi-strategi baik yang ditawarkan oleh
pemikir Sustainable Livelihood maupun strategi-strategi berdasarkan
situasi setempat. Modal-modal dan strategi-strategi yang digunakan
hendaknya diperkuat oleh hak-hak rumah tangga dan penduduk serta
akses-akses terhadap pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, politik
dan lingkungan secara berkelanjutan. Bila rumah tangga-rumah tangga
kehilangan modal-modal yang dipunyai untuk hidup termasuk aset-
aset, hak-hak dan akses-akses maka akan muncul sebuah colletive action sebagai social movement berbentuk resistensi terhadap para
pihak yang dianggap menghalangi peluang mengembangkan
Sustainable Livelihood. Resistensi terjadi karena terdapat ketidakadilan
berkaitan dengan hilangnya berbagai modal hidup yang seharusnya,
hilangnya aset dan akses termasuk hak-hak penduduk untuk hidup.
Seperti dikatakan oleh Olson (2002) bahwa setiap kelompok
masyarakat mempunyai harapan dan kepentingan dalam hidup yang
dijalani. Harapan dan kepentingan bersama tersebut akan disalurkan
melalui tindakan kelompok agar terwujud apa yang diharapkan atau
apa yang menjadi kepentingan kelompok. Jadi collective action
merupakan sarana yang berfungsi untuk memperjuangkan harapan dan
kepentingan kelompok sebagai sesuatu yang logis atau rasional.
Collective action bisa berwujud sebagai kelompok penekan tetapi juga
Perspektif Livelihood dan Collective Action
79
bisa dilakukan melalui lobi-lobi dan kerja sama. Namun menurut
Vanni (2014), collective action mengandung unsur kerja sama dan
koordinasi di antara anggota kelompok serta relasi-relasi berjejaring
baik ke dalam maupun keluar. Relasi-relasi berjejaring dapat
dikembangkan kelompok karena setiap kelompok dianggap
mempunyai human capital, social capital dan political capital. Selanjutnya menurut ide Schutz dan Zandy (2011), collective action
kelompok atau komunitas berperan memengaruhi dan memperbaharui
bukan untuk merusak kehidupan yang tertekan. Maka untuk
memperbahaui dan memengaruhi pihak lain diperlukan taktik
tertentu, dan nampaknya collective action dengan taktik-taktik yang
ditawarkan dapat dikakatkan sejalan dengan gagasan-gagasan strategi
yang dipakai dalam mengembangkan Sustainable Livelihood. Berbeda
dengan beberapa pendekatan collective action yang sudah disebutkan,
Oliver, Marwell dan Teixera (1985) menyatakan kritik massa dapat
menjadi suatu bentuk collective action pula.
Selanjutnya muncul pertanyaan, bagaimana collective action
dilihat sebagai social movement atau gerakan sosial. Menurut Porta dan
Diani (2006), gerakan sosial ditandai oleh ciri-ciri, relasi-relasi yang
teridentifikasi mengandung unsur pertikaian atau konflik, ada
dukungan jejaring informal dan identitas kolektif jelas. Dengan begitu
gerakan sosial dapat disebut berbentuk, crowd, mass, public dan
gerakan sosial. Lalu apa hubungan antara gerakan sosial dengan
tindakan kolektif. Salah satu ciri hubungan gerakan sosial dengan
tindakan kolektif atau collective action ada pada fenomena konflik.
Dikatakan oleh Porta dan Diani (2006), gerakan sosial merupakan
tindakan kolektif yang bersifat konfliktif, namun juga bisa
mengandung hal-hal yang bersifat konsensual. Dengan demikian social movement sebagai colletive action berfungsi memfasilitasi perluasan
informasi untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan,
berkontribusi menumbuhkan sikap saling percaya dan untuk
memobilisasi kelompok serta membentuk opini orang secara
berjejaring. Keirns at. al., membedakan gerakan sosial atau social movement dari beberapa segi yaitu, segi fungsi (fungsional, konflik dan
interaksionisme simbolik), segi perilaku kolektif (crowd, mass, public
TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua
80
dan social movement) serta dari segi jenis atau tipe (reform movement, revolutionary movement, religious movement, alternative movement dan resistance movement).
Akhirya perlu dilihat bahwa collective action yang ditandai
oleh social movement muncul dalam bentuk resitance movemet. Resistance movement sebagai collective action dalam kajian teoritis
ini merupakan ekpresi dan usaha sebagai strategi rumah tangga-rumah
tangga atau penduduk dalam menggunakan modal-modal manusia
yang dimiliki untuk memperjuangkan hak-hak, aset-aset dan akses
mengembangkan Sustainable Livelihood agar dapat memperoleh
hidup yang lebih adil dan sejahtera. Karena masyarakat yang
kehilangan hak-hak, aset-aset dan akses merupakan fenomena
pemingggiran atau marginalisasi sebagai proses pemiskisnan penduduk.
Proses marginalisasi yang ujung-ujungnya berdampak menghasilkan
kemiskinan menimbulkan kesadaran akan hak-hak, asset dan akses
yang seharusnya ada untuk hidup lebih baik. Adanya kesadaran akan
proses marginalisasi tersebut memunculkan resistance movement sebagai collective action penduduk. Berkaitan dengan resistance movement kelompok, Vinhagen (2007) menjelaskan, resistensi
dilakukan sebagai tindakan perlawanan terhadap hegemoni relasi,
proses sosial dan kekuasaan institusi yang dominan, agar dominasi
kekuasaan tersebut berkurang. Dalam studi ini nampak bahwa
dominasi dan hegemoni telah menimbulkan keterpinggiran atau
marginalisasi penduduk karena itu muncullah resistance movement. Gambar berikut ini merupakan rangkuman gagasan teorits yang sudah
dijelaskan.
1 2
1
3
Gambar 2.5 Sintesa Gagasan Teoritis
Sustainable Livelihood
Collective Action
Resistensi
Perspektif Livelihood dan Collective Action
81
Gambar 2.5 di atas dapat dijelaskan secara singkat sebagai
berikut. Berdasarkan pada kepentingan memperjuangkan Sustainable Livelihood yang terganggu (tanda panah 1), muncullah kesadaran
bersama sebagai collective action (tanda panah 2) yang berwujud pada
gerakan sosial resistensi. Gerakan resistensi sebagai suatu strategi sosial
kolekitf (tanda panah 3) bertujuan memperjuangkan hak-hak, aset dan
akses rumah tangga atau penduduk yang terganggu dalam rangka
mengembangkan Sustainable Livelihood agar terbentuk kondisi
lingkungan hidup yang aman dalam berbagai aspek, adil dan lebih
sejahtera. Proses perjuangan dan pengembangan Sustainable
Livelihood rumah tangga-rumah tangga penduduk ini berlangsung
terus secara dinamis, kreatif dan berjejaring baik ke dalam maupun ke
luar. Dengan demikian diharapkan tercipta kapabilitas penduduk yang
semakin bermutu dan pada saatnya berdampak bagi rumah tangga-
rumah tangga atau penduduk melakukan coping sehingga terjadi proses
diversifikasi Livelihood yang berkelanjutan.