63
19 BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE ACTION Bagian ini memuat perspektif Livelihood dengan tekanan mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari pemikiran Chambers dan Conway serta pemikir lain tentang permasalahan Livelihood pedesaan yang berkelanjutan. Selain itu kajian studi literatur ini juga memuat sejumlah tinjauan mengenai social movement dan collective action. Social movement dan collective action ditempatkan di sini untuk meneropong lebih jauh aktivitas- aktivitas bersama kelompok masyarakat dalam rangka memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya. Latar Belakang Konsep Livelihood Bagian ini merupakan pembahasan tentang pemikiran Chambers dan Conway (1991) mengenai Livelihood dan Sustainable Livelihood. Istilah Livelihood dan Sustainable Livelihood yang digunakan dalam tulisan ini tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia karena beberapa tulisan tentang pokok ini dalam bahasa Indonesia dari sejumlah studi yang dibuat ada yang mengartikannya sebagai penghidupan atau mata pencaharian bahkan juga dilihat sebagai nafkah. Selanjutnya, dalam tulisan ini Livelihood dilihat atau diartikan sebagai penghidupan. Chambers dan Conway berpendapat bahwa telah terjadi perubahan yang begitu cepat dalam semua bidang kehidupan manusia. Gejala-gejala perubahan dimaksud dapat diamati pada aspek ekologi, ekonomi, intelektual, profesi, psikologi, sosial dan teknologi. Dikatakan

BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

19

BAB 2

PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN

COLLECTIVE ACTION

Bagian ini memuat perspektif Livelihood dengan tekanan

mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

pemikiran Chambers dan Conway serta pemikir lain tentang

permasalahan Livelihood pedesaan yang berkelanjutan. Selain itu

kajian studi literatur ini juga memuat sejumlah tinjauan mengenai

social movement dan collective action. Social movement dan collective action ditempatkan di sini untuk meneropong lebih jauh aktivitas-

aktivitas bersama kelompok masyarakat dalam rangka

memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya.

Latar Belakang Konsep Livelihood

Bagian ini merupakan pembahasan tentang pemikiran

Chambers dan Conway (1991) mengenai Livelihood dan Sustainable Livelihood. Istilah Livelihood dan Sustainable Livelihood yang

digunakan dalam tulisan ini tidak diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia karena beberapa tulisan tentang pokok ini dalam bahasa

Indonesia dari sejumlah studi yang dibuat ada yang mengartikannya

sebagai penghidupan atau mata pencaharian bahkan juga dilihat

sebagai nafkah. Selanjutnya, dalam tulisan ini Livelihood dilihat atau

diartikan sebagai penghidupan.

Chambers dan Conway berpendapat bahwa telah terjadi

perubahan yang begitu cepat dalam semua bidang kehidupan manusia.

Gejala-gejala perubahan dimaksud dapat diamati pada aspek ekologi,

ekonomi, intelektual, profesi, psikologi, sosial dan teknologi. Dikatakan

Page 2: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

20

secara khusus terjadi perubahan dan perkembangan yang luar biasa

pada aspirasi manusia yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan

akses informasi. Berkaitan dengan akselerasi perubahan, secara

kontekstual terdapat dua hal yang belum pernah ada sebelumnya yaitu,

pertama, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, cara-cara dan perilaku umum

yang berlaku di masyarakat ditinggalkan; kedua, kondisi masa depan

menjadi lebih pelik dan sulit diprediksi. Menurut keduanya, dalam

kondisi seperti itu kita menghadapi masa depan yang tak menentu,

berlangsung dalam perubahan yang cepat dan kita akan tertinggal

bahkan keliru mengantisipasi masa depan. Sehingga muncul suatu

prediksi, akan terjadi bencana alam dan wabah penyakit sebagai

bencana masif berkepanjangan, dan pada abad ke-21 populasi manusia

akan bertambah besar dari masa sebelumnya. Akibatnya beban

pertumbuhan akan menimbulkan meluasnya daerah-daerah miskin

dan diproyeksikan sampai tahun 2025, tiga perempat penduduk dunia

di daerah-daerah yang berpendapatan menengah akan memperoleh

pendapatan yang rendah. Keadaan ini mempunyai implikasi bagi

strategi pembangunan kota dan desa yang sangat besar. Menurut

keduanya, ketika jutaan orang terperangkap dalam kemiskinan secara

masif tanpa mengetahui sebabnya dan bila tidak diantisipasi

pertambahan penduduk yang begitu banyak di masa depan, kita sulit

mencapai tingkat kehidupan yang adil, memadai dan pantas. Keadaan

demikian merupakan situasi yang sungguh-sungguh mengkhawatirkan.

Chambers dan Conway mengungkapkan, walaupun banyak penjelasan

dan argumen dalam tulisan yang dibuat ini dapat diterapkan pada

kondisi masyarakat urban, tetapi sesungguhnya keduanya lebih

berfokus pada kondisi masyarakat pedesaan.

Chambers dan Conway lebih memperhatikan kondisi hidup

masyarakat pedesaan karena alasan-alasan berikut: pertama,

kebutuhan-kebutuhan orang miskin pedesaan nampaknya tidak akan

diperhatikan di masa depan. Hal ini disebabkan karena, aspirasi dan

kebijakan organisasi politik yang muncul serta pengaruh perkotaan

terpusat pada sumber-sumber daya di wilayah perkotaan; kedua,

sejumlah besar orang dapat hidup dengan layak di wilayah perkotaan,

tanpa tekanan dan kesulitan, tetapi banyak pengalaman dalam

Page 3: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

21

pembangunan menunjukkan perlu dicari cara-cara membangun untuk

mendukung lebih banyak orang di wilayah pedesaan; ketiga, strategi

pembangunan dan lingkungan di abad ke-21 sesungguhnya berpusat

pada masyarakat, keadilan dan hidup berkelanjutan, akan tetapi

senyatanya banyak dari antara masyarakat mengalami kerentanan dan

kertersisihan. Keaadan ini memunculkan pertanyaan yang menantang

yaitu, bagaimana dapat mempercepat dan memperbesar jumlah orang

yang dapat hidup lebih baik, sekurang-kurangnya berdasarkan

Livelihood pedesaan secara berkelanjutan?

Selanjutnya keduanya mempertanyakan, bagaimana mencari

petunjuk dan jawaban atas pertanyaan tentang beberapa aspek pokok

yang perlu diuji berkaitan dengan analisis konvensional ilmu

pengetahuan sosial. Dua hal yang disebutkan ialah perlu

memperhatikan kelemahan analisis profesional konvensional dan hal-

hal fundamental dalam Livelihood yang terdiri dari kapabilitas,

keadilan dan keberlanjutan. Dalam konteks perubahan yang begitu

cepat dan ketidakpastian, sering dipertentangkan konsep-konsep

kovensional dan konservatif, berkaitan dengan nilai-nilai, metode-

metode dan perilaku. Dikatakannya ada tiga bentuk pemikiran yang

diajarkan dan digunakan dalam analisis yang bertentangan dengan

semangat perubahan, yaitu production thinking, employment thinking dan poverty-line thinking. Pertama, menurut perspektif production thinking, berbagai masalah seperti kelaparan, ketiadaan nutrisi, dan

malnutrisi merupakan masalah produksi (penghasilan) atau berkaitan

dengan jenis-jenis makanan yang diproduksi. Kedua, dalam perspektif

employment thinking, masalah kemiskinan dilihat sebagai keadaan

tanpa pekerjaan. Dengan demikian masyarakat ideal adalah suatu

masyarakat yang berada dalam keadaan di mana setiap anggotanya

mempunyai pekerjaan. Tetapi dalam kenyataan di daerah pedesaan

banyak orang hidup dalam keadaan tidak mampu menyesuaikan diri

dengan perubahan yang terjadi. Ketiga, perspektif poverty-line thinking. Menurut perspektif ini deprivasi dipahami dalam terminologi

kemiskinan bagaikan sebuah garis lurus yang panjang berdasarkan

ukuran pendapatan atau konsumsi dan jasa semata-mata. Padahal

deprivasi dan kesejahteraan seperti yang dialami orang miskin

Page 4: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

22

pedesaan mempunyai banyak dimensi yang tidak dapat dijelaskan

dengan ukuran-ukuran tersebut. Jadi menurut Chambers dan Conway

ketiga bentuk analisis tadi mempunyai dua kelemahan, yakni pertama,

pemikiran-pemikiran tersebut merupakan cara berpikir dunia industri;

kedua, terjadi pereduksian nilai untuk mempermudah pengukuran

kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat.

Setelah melihat kelemahan analisis yang dikritik Chambers dan

Conway, perlu disimak pula penjelasan keduanya tentang hal-hal

fundamental Livelihood yang terdiri dari kapabilitas (capability),

keadilan (equity) dan keberlanjutan (sustainability). Keduanya

menyatakan, ketiga aspek tersebut saling berkaitan sebagai suatu

paradigma pembangunan yang mempunyai sisi normatif dan praktis

untuk pencapaian Livelihood yang memadai. Selain itu kerangka

berpikir ini dapat digunakan juga untuk meredam konflik dan

mendukung pencapaian tujuan hidup masyarakat secara timbal balik.

Chambers dan Conway menjelaskan, istilah kapabilitas

digunakan merujuk pada konsep Amartya Sen (1999), yakni

kemampuan yang ada dalam diri manusia yang berfungsi untuk

melakukan sesuatu, termasuk kemampuan manusia untuk mengatasi

tekanan dan goncangan serta untuk memanfaatkan peluang-peluang

yang diperoleh dalam Livelihood. Dengan kata lain kapabilitas

merupakan sesuatu yang bermakna, dapat mendukung dan

memungkinkan tercapainya Livelihood secara memadai. Dengan

demikian hidup yang berkualitas nampak pada aktivitas yang

bermakna dan terbuka bagi seseorang atau sekelompok orang untuk

memilih bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan. Jadi kapabilitas

tidak bersifat reaktif, tapi merupakan sebuah respon terhadap kondisi-

kondisi hidup manusia yang berubah. Dalam kapabilitas ada

kemampuan yang bersifat proaktif dan adaptif untuk menyesuaikan

diri secara dinamis dengan situasi yang ada, termasuk kemampuan

melihat peluang untuk mendapatkan akses dan memperoleh pelayanan

serta informasi, mengusahakan masa depan, melakukan percobaan dan

inovasi, berkompetisi dan berkolaborasi dengan yang lain, bisa

menguasai situasi baru dan sumber-sumber daya yang ada. Kemudian

Page 5: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

23

aspek equity atau keadilan. Secara konvensional equity digunakan

sebagai ukuran yang relatif berhubungan dengan distribusi

pendapatan. Tetapi dalam perkembangannya kata tersebut kemudian

juga digunakan dalam arti yang lebih luas, berkaitan dengan masalah

kapabilitas, ketidakadilan pendistribusian aset-aset dan peluang-

peluang perbaikan hidup yang hilang di masyarakat. Equity juga dapat

dikaitkan dengan persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan,

golongan minoritas dan semua orang yang lemah, seperti kaum urban

dan kaum miskin pedesaan yang tak berdaya. Sedangkan sustainability dikatakan mengandung nilai, makna dan tujuan, terkait dengan sumber

daya hidup secara berkelanjutan bagi generasi sekarang dan generasi

yang akan datang. Dari sisi pembangunan dan lingkungan,

Sustainability mengacu pada pandangan dunia global yang baru terkait

dengan polusi, pemanasan global, deforestasi, eksploitasi tak terbatas

terhadap sumber-sumber daya yang tak dapat diperbaharui dan adanya

degradasi lingkungan. Menurut keduanya, semua istilah tersebut itu

hanyalah bersifat verbalistik bila tidak ditindaklanjuti dengan langkah-

langkah konkrit jangka panjang. Langkah-langkah kongkrit

dibutuhkan karena dunia secara global mengalami ancaman

keterbatasan sumber daya alam akibat konsumsi yang boros dan polusi

di satu sisi serta dampak dari derasnya pertumbuhan populasi

penduduk dunia di sisi lain. Dalam keadaan biasa Sustainability mengandung arti berkecukupan bagi diri sendiri. Sebagai suatu ideologi

sustainability berhubungan juga dengan pengendalian diri dan nasib

manusia jangka panjang. Selain itu pandangan ini digunakan juga

untuk menyoroti gaya hidup atau life styles yang menganggap remeh

kehidupan di bumi. Misalnya berkaitan dengan penggunaan pupuk-

pupuk kimia di bidang pertanian serta rendahnya kesadaran

mengembangkan pertanian organik. Hal ini sesungguhnya dapat

dilakukan oleh institusi-institusi terkait untuk meningkatkan

pendapatan atau penghasilan, mendukung usaha-usaha masyarakat

sebagai proses pengembangan diri sendiri tanpa subsidi atau bantuan.

Livelihood, dalam konteks sosial, menggunakan Sustainability berfokus pada cara memaknai kemungkinan memelihara atau

meningkatkan aset-aset lokal dan global sesuai kapabilitas manusia

Page 6: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

24

sebagai upaya mewujudkan kemandirian Livelihood. Setelah melihat

latar belakang pemikiran Chambers dan Conway tentang permasalahan

Livelihood dan Sustainable Livelihood, khususnya di pedesaan, berikut

dibuat penjelasan lebih jauh mengenai paham-paham dimaksud.

Livelihood

Pokok ini merupakan bagian kedua dari pembahasan dalam

makalah tersebut yang berhubungan dengan paham Livelihood dan

Sustainable Sivelihood. Penjelasan pemikiran Chambers dan Conway

tentang Livelihood dibagi dalam tiga subtema. Ketiga subtema

dimaksud ialah pertama, Livelihood Sustainability sebagai suatu konsep

yang terintegrasi; kedua, faktor-faktor penentu Livelihood; ketiga,

human livelihood yang alamiah.

Sustainability Livelihood sebagai Konsep yang Terintegrasi

Seperti sudah dibahas sebelumnya bahwa aspek kapabilitas

(capabilities), keadilan (equity) dan berkelanjutan (sustainability),

merupakan satu keterpaduan dalam konsep Sustainability Livelihood.

Dikatakan demikian karena kapabilitas mendukung peningkatan usaha

yang menguntungkan dalam Livelihood. Equity dalam Livelihood berkaitan dengan hak-hak yang adil dalam pemanfaatan aset dan akses

yang menguntungkan. Sedangkan Sustainability atau berkelanjutan

berhubungan dengan perihal sumber daya kehidupan yang bermakna,

penyediaan kondisi-kondisi Livelihood yang berkelanjutan bagi

generasi yang akan datang.

Gagasan-gagasan mengenai konsep Livelihood dikembangkan

oleh World Commision on Environment and Developmnet (WCED)

dengan usulan yang disebut Sustainable Livelihood Security (SLS)

sebagai suatu konsep yang terpadu. Rumusan Sustainable Livelihood Security berbunyi sebagai berikut:

Livelihood is defined as adequate stocks and flows of food and cash to meet basic need. Security refers to secure ownership of, or access to, resources and income-earning activities, including reserves and assets to offset risk, ease

Page 7: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

25

shocks and meet contingencies. Sustainable refers to the maintainance or enhancement of resource productivity on a long-term basis. A household may be enabled to gain sustainable livelihood security in many ways-through ownership of land, livestock or trees; rights to grazing, fishing, hunting or gathering; through stable employment with adequate remuneration; or through varied repertoires of activities.

Berikut ini penulis mencoba membuat terjemahan bebas

tentang rumusan Sustainable Livelihood Security (SLS) sebagai berikut:

Livelihood didefinisikan sebagai ketersediaan barang-barang, makanan

dan uang secara memadai untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan

dasar manusia. Security merujuk pada kemungkinan-kemungkinan

seseorang atau sekelompok orang beraktivitas untuk memperoleh

barang-barang yang bersifat pribadi atau adanya akses-akses terhadap

sumber-sumber penghidupan dan pendapatan yang aman serta aset-

aset untuk penanggulangan resiko, meredakan goncangan. Unsur

Sustainable mengacu pada pemeliharaan atau pengembangan sumber-

sumber penghidupan yang produktif dalam jangka waktu yang

panjang. Dengan demikian suatu rumah tangga dimungkinkan

memperloleh livelihood berkelanjutan yang aman dengan berbagai

cara, memiliki tanah, ternak atau jenis-jenis tanaman; dengan hak-hak

sebagai peternak, nelayan, pemburu atau peramu; mempunyai

pekerjaan yang tetap dengan imbalan yang memadai; melalui aktivitas-

aktivitas yang bervariasi.

Berdasarkan definsi WCED di atas, Chambers dan Conway

mengusulkan definisi kerja tentang Sustainable Livelihood (SL)

sebagaimana termuat dalam tulisan mereka yang berjudul Sustainable Rural Livelihood: Practical Concepts for the 21st Century, berikut ini:

A livelihood comprises the capabilities, assets (stores, resources, claims and acces) and activities required for a means on living: a livelihood is sustainable which can cope with and recover from stress and shocks, maintain or enhance its capabilities and assets and provide sustainable livelihood opportunities for the next generation; and which contributes net benefits to other livelihoods at the local and global levels and in the short and long term.

Page 8: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

26

Suatu Livelihood terdiri dari kapabilitas, aset-aset (barang-

barang, sumber-sumber penghidupan, hak-hak dan akses-akses) dan

aktivitas-aktivitas yang bermakna bagi kehidupan; suatu Livelihood disebut berkelanjutan jika dapat menangkal dan memulihkan tekanan

serta goncangan, memelihara atau meningkatkan kapabilitas dan aset-

aset serta menyediakan peluang-peluang Livelihood secara berkelan-

jutan bagi generasi yang akan datang; dan dapat berkontribusi dengan

berjejaring pada Livelihood lainnya di tingkat lokal dan global dalam

jangka pendek dan jangka panjang.

Senada dengan pemikiran di atas, Lasse Krantz (2001) dalam

tulisan berjudul The Sustainable Livelihood Approach to Proverty Reduction An Introduction, menyatakan definisi tentang Livelihood pada umumnya disepakati penggunaannya oleh para ahli berkaitan

dengan kehidupan rumah tangga (household), sebagaimana dijelaskan

Chambers dan Conway. Hal yang sama juga berlaku terhadap

pandangan tentang kesejahteraan dan akses baik pada tataran individu

di dalam rumah tangga, maupun secara lebih luas pada tataran keluarga

besar (extended family), kelompok sosial, dan komunitas.

Selanjutnya dikatakan baik oleh Chambers dan Conway

maupun Krantz, jenis-jenis komponen Livelihood bersifat kompleks.

Livelihood bisa meliputi, aset dan akses. Pertama, aset-aset. Yang

dimaksud dengan aset-aset adalah sesuatu yang digunakan orang dalam

hidupnya, meliputi aset yang kelihatan (tangible) dan yang tak

kelihatan (intangible). Aset-aset yang kelihatan seperti bahan

makanan, emas, perhiasan dan uang. Aset juga bisa berupa sumber daya

alam seperti, tanah, air, pohon-pohon, ternak, kebun dan berbagai

peralatan. Di samping itu juga ada aset-aset yang tidak kelihatan seperti

cita-cita dan dukungan moral untuk melakukan sesuatu. Kedua, akses.

Akses merupakan peluang yang ada dalam hidup untuk mendapatkan

sesuatu seperti sumber daya alam, tempat berbelanja, atau akses untuk

mendapatkan pelayanan atau informasi, barang-barang, teknologi,

pekerjaan, makanan atau pendapatan. Oleh sebab itu menurut

Chambers dan Conway perlu diperhatikan kapasitas internal

Livelihood agar dapat dikembangkan kemampuan bertahan melawan

Page 9: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

27

tekanan dari luar, sehinga dapat mengatasi tekanan dan goncangan.

Tekanan (streses) di sini diartikan sebagai ancaman yang berkelanjutan

secara tipikal dan kumulatif. Tekanan yang berkelanjutan berpengaruh

menimbulkan goncangan atau shock. Keadaan tersebut secara tipikal

tersembunyi, tidak dapat diramalkan dan bersifat traumatik, seperti

ketika berhadapan dengan kebakaran, banjir, dan situasi epidemik

tertentu.

Selanjutnya menurut Krantz, sejumlah penulis ketika

mendefinisikan Livelihood Sustainability menempatkan di dalamnya

aspek makna untuk menjelaskan bahwa setiap orang mempunyai

kapabilitas untuk menjauhi atau menghindarkan diri, termasuk

kebiasaan bertahan dan kemampuan memulihkan diri dari tekanan dan

goncangan yang dihadapi. Oleh karena itu menurut Krantz, tulisan

Chambers dan Conway mempunyai arti yang penting karena

menjelaskan konsep Sustainable Livelihood, yang kemudian dapat

dikembangkan. Selain pembahasan Chambers dan Conway serta

Krantz mengenai Sustainable Livelihood, akan dijelaskan pula catatan

lain yang serupa menurut Institute for Development Studies (IDS) dan

Departement for International Development (DFID) seperti yang

terdapat dalam catatan Krantz dan Scoone (1998).

Menurut Krantz, definisi Sustainable Livilihood yang

dimodifikasi oleh Institute for Development Studies (IDS) dari

Universitas Sussex, Brington, United Kingdom (UK), sebagaimana

dilaporkan Ian Scoones, adalah sebagai berikut:

A livelihood comprises the capabilities, assets (including both material and social resources) and activities required for a means of living. A livelihood is sustainable when it can cope with and recover from stresses and shocks, maintain or enhance its capabilities and assets, while not undermining the natural resource base.

[Suatu Livelihood berisikan kapabilitas, aset-aset (termasuk

sumber-sumber daya material dan sosial) serta aktivitas-aktivitas yang

bermakna bagi suatu kehidupan. Suatu livelihood berkelanjutan

bilamana dapat menangkal dan memulihkan ketegangan dan

Page 10: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

28

goncangan, memelihara atau meningkatkan kapabilitas serta aset-aset,

namun tidak mengurangi sumber-sumber daya alam yang pokok]

Jadi menurut IDS, seperti yang dicatat Scoones, Livelihood dilihat berisikan aspek-aspek yang mengandung kapabilitas dan aset

yang terdiri dari sumber daya material maupun sumber daya sosial.

Dengan demikian Sustainable Livelihood dipahami sebagai kekuatan

yang dapat menguasai dan memulihkan tekanan dan goncangan,

memelihara atau mempertinggi kapabilitas dan aset-aset, tanpa

mengurangi sumber daya alam yang pokok. Menurut Krantz perbedaan

pokok antara definisi IDS dengan rumusan awal yang dielaborasi oleh

Chambers dan Conway tidak memasukkan aspek rekrutmen atau

pengembangan Livelihood agar sungguh-sungguh menjadi

berkelanjutan sebagai kontribusi yang bermanfaat dari hubungan

antar-livelihood. Dikatakannya, walaupun definisi Livelihood versi

IDS kurang mengandung banyak persyaratan tetapi rupanya lebih

realistik.

Sedangkan rumusan lain muncul dari Departement for International Development (DFID), yang berasal dari Inggris sebagai

kerangka tentatif untuk menganalisis Sustainable Rural Livelihoods, sebagai kontribusi IDS yang diadopsi dan dielaborasi oleh Scoone. Ada

tiga elemen penting, yaitu, a. Livelihood Resources (sumber-sumber

daya penghidupan). b. Livelihood Strategies (strategi-strategi

penghidupan). c. Institusional Processes and Organizational Studies (proses-proses institusional dan studi-studi organisasi). Pertama,

dijelaskan lebih lanjut bahwa Livelihood Resources, terdiri dari unsur-

unsur dasar yang bersifat material dan sosial serta aset yang kelihatan

dan tidak kelihatan yang digunakan masyarakat untuk membangun

hidupnya. Hal ini secara konseptual berbeda dari jenis-jenis modal

yang menekankan peranan modal-modal sebagai sumber daya utama

(Sachs, 2005), di mana Livelihood dikonstruksikan. Ada empat tipe

kapital atau modal yang diindentifikasi dalam kerangka kerja IDS,

yaitu natural capital, economic or financial capital, human capital dan

Page 11: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

29

social capital1. Menurut Scoones sebagaimana dijelaskan Krantz,

menarik untuk menggunakan secara terpadu jenis-jenis aset yang

berbeda sebagai modal masyarakat mengembangkan hidupnya. Oleh

karena itu perlu mengindentifikasi jenis-jenis Livelihood Resources sebagai modal atau kapital untuk mengembangkan strategi Livelihood melalui langkah-langkah proses analisis. Kedua, berkenaan dengan

strategi Livelihood dikatakan, masyarakat sendiri harus menjadi

subyek analisis dan konsisten memadukan aktivitas-aktivitas yang oleh

Scoone disebut “Livelihood Portofolio”. Suatu portofolio boleh jadi

merupakan spesialisasi dan berpusat pada satu atau beberapa aktivitas,

yang barangkali berbeda, dengan demikian dapat diuraikan faktor-

faktor penting di samping suatu strategi terpadu.

Selain itu, perbedaan “livelihood pathways” (peluang-peluang

kecil livelihood) bisa diusahakan melampaui waktu dan di antara masa

yang lebih panjang, antargenerasi, dan akan bergantung pada jenis-

jenis pilihan, langkah di mana rumah tangga berada dalam lingkaran

domestik atau secara lebih fundamental ada dalam perubahan secara

lokal karena kondisi eksternal. Untuk menganalisis secara terpadu

Livelihood masyarakat dapat digunakan pendekatan sejarah.

Akhirnya, dikatakan frekuensi strategi Livelihood sangat berbeda

antara individu-individu dan rumah tangga bergantung pada

perbedaan aset yang dimiliki, tingkat pendapatan, gender, usia,

golongan, status sosial dan politik. Suatu pendekatan analisis sosial

yang berbeda diperlukan bagi strategi Livelihood. Untuk memahami

kompleksitas dan proses-proses pembedaan melalui mana Livelihood

dikonstruksikan, menurut Scoones tidak cukup menganalisis aspek-

1Kerangka kerja IDS menyebutkan, Natural capital, terdiri dari persediaan sumber daya alam seperti tanah, air, udara, sumber daya alam turunan lainnya serta jasa-jasa lingkungan seperti pompa air, pengatur udara dan sebagainya. Economic or financial capital, seperti uang, sistem kredit dan debit, tabungan, dan aset-aset ekonomi lainnya termasuk infrastruktur dasar serta alat-alat produksi dan tekonologi. Semuanya ini merupakan hal-hal penting pada umumnya dicari dalam rangka mengembangkan strartegi livelihood.Human capital, terdiri dari ketrampilan, pengetahuan, kemampuan kerja, kesehatan yang baik, kemampuan fisik, penting untuk keberhasilan mencari strartegi livelihood yang berbeda. Selanjutnya Social capital, adalah sumber-sumber daya sosial seperti, jejaring sosial, hak-hak sosial, relasi sosial, afiliasi-afiliasi, asosiasi-asosiasi,

Page 12: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

30

aspek sumber daya Livelihood dan strategi yang berbeda sebagai

elemen-elemen yang terpisah. Salah satu hal yang harus juga dianalisis

bersama-sama ialah proses institusional dan struktur organisasi yang

berhubungan dengan berbagai unsur yang ada. Ketiga, secara khusus

penting adanya investigasi tentang subyek dalam konteksnya. Scoones

menunjukkan bahwa institusi-institusi yang didefinisikan sebagai

aturan-aturan praktis atau ketentuan-ketentuan perilaku terstruktur

oleh aturan dan norma-norma masyarakat yang mana digunakan secara

terus-menerus dan meluas. Institusi-institusi boleh jadi bersifat formal

atau informal, bersifat tidak stabil dan ambigu serta menginspirasi

suatu frekuensi kekuatan. Dengan begitu institusi-institusi, langsung

atau tidak langsung menjadi penghubung ke akses sumber-sumber daya

Livelihood yang mana pada gilirannya berdampak pada pilihan strategi

Livelihood dan bagi ruang lingkup Livelihood berkelanjutan. Karena

itu yang mau diggarisbawahi di sini terkait dengan insititusi ialah

institusi diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial dan dinamika

kekuatan yang tersembunyi, sebagai sesuatu yang vital.

Menurut Krantz, secara teoritis memungkinkan untuk

menganalisis dimensi-dimensi dan elemen-elemen Sustainable Livelihood yang bervariasi. Namun lebih sulit menentukan mana

faktor-faktor penting dalam situasi riil, sebab masing-masing

mempunyai situasi unik dan karena itu dibutuhkan analisis konteks

yang khusus. Sebab apa yang ditetapkan sebagai sesuatu yang penting

dan memuaskan atau tidak memadai sebagai Livelihood bersifat

subyektif. Oleh karena itu secara esensial analisis Sustainable Livelihood melibatkan orang setempat dengan pengetahuan, persepsi

dan interes mereka sebagai suatu kekuatan. Ini merupakan suatu

praktek yang menghargai orang setempat sebagai analis utama yang

menggunakan konsep-konsep mereka sendiri. Sesudah melihat

pemahaman yang terintegrasi mengenai Sustainable Livelihood baik

yang diusulkan oleh WCED yang dicacat Chambers dan Conway,

Krantz dan Scoone, berisikan konsep-konsep capabilities, equity dan

sustainability. Berikut ini akan diuraikan faktor-faktor yang

menentukan Livelihood.

Page 13: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

31

Faktor-faktor yang Menentukan Livelihood

Ada sejumlah hal yang merupakan faktor penentu keber-

langsungan Livelihood. Faktor-faktor dimaksud akan dilihat dari

beberapa sudut pandang yang diangkat oleh beberapa pemikir

Livelihood. Pertama, Chambers dan Conway (1991), berbicara

mengenai pengaruh kebiasaan-kebiasaan masyarakat seperti

pengalaman di India, termasuk kemungkinan memanfaatkan peluang

perubahan yang ada, seperti pendidikan dan migrasi. Kedua, catatan

Krantz (2001), juga merupakan masukkan penting yang melihat

kekuatan dan kelemahan Sustainable Livelihood, sekaligus

menawarkan sejumlah pendekatan untuk mengurangi kemiskinan

pedesaan. Ketiga, Saragih dkk.,(2007), dengan pengalaman di Aceh

dan Nias menawarkan pendekatan pengelolaan (manajemen)

Sustainable Livelihood dengan memperhatikan faktor-faktor penentu

keberhasilan Livelihood, yakni bersifat people-centered, holistik,

dinamis, memperhatikan hubungan aspek makro dan mikro,

keberlanjutan. Dengan demikian akan terjadi keberlanjutan

lingkungan (ekologi), ekonomi, sosial dan kelembagaan. Keempat,

tawaran berbagai strategi Sustainable Livelihood. Cambers dan Conway

(1991), Butler & Mazur (2007), menawarkan strategi pengembangan

Livelihood melalui diversifikasi Livelihood berdasarkan pengalaman

masyarakat pedesaan di Uganda. Selain Butler dan Mazur, Ian Scoones

(2009), menawarkan tiga macam strategi pengembangan Sustainable Livelihood yaitu, intensifikasi dan ekstensifikasi, diversifikasi dan

migrasi. Strategi lain juga dari Nigeria Tengah dikemukakan oleh

Morse, Mc Namara dan Acholo (2009) yakni, melakukan intervensi

pendekatan Sustainable Livelihood (SLA) terhadap penduduk di desa

melalui usaha kredit mikro.

Faktor pertama, kebiasaan dan pengaruh perubahan. Chambers

dan Conway mengemukakan, pengalaman dan kebiasaan desa-desa di

India. Keduanya menjelaskan bahwa anak-anak di India lahir dalam

golongan masyarakat yang secara sosiologis berada dalam hirarki kasta-

kasta yang mempunyai berbagai peranan. Satu, misalnya, ada yang

menjadi pembuat barang-barang tembikar, sebagai gembala ternak atau

Page 14: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

32

pencuci pakaian. Artinya secara sosial peranan laki-laki dan

perempuan dipengaruhi oleh faktor-faktor penentu aktivitas

Livelihood sebagaimana digambarkan sebelumnya. Dua, bila bukan

merupakan suatu kebiasaan, seseorang tentu lahir, berada dan menyatu

di dalam suatu Livelihood sebagai bagian dari keluarga atau masyarakat

di mana ia berada. Misalnya, seorang anak merupakan bagian dari

keluarga yang sudah mempunyai lahan dan peralatan-peralatan rumah

tangga untuk berusaha, atau sebagai seorang gembala dengan ternak-

ternak, sebagai seorang pengembara di tengah hutan atau sebagai

seorang nelayan dengan perahu dan alat penangkap ikan atau sebagai

seorang pengusaha dengan barang-barang yang dimiliki. Dengan kata

lain seseorang dapat pula berada dalam situasi Livelihood yang sudah

disediakan keluarga sebagai kekayaan yang dinikmati oleh generasi

berikut dari keluarga tersebut. Tiga, dalam kenyataan juga terjadi

bahwa setiap orang boleh berubah, menciptakan sesuatu yang baru

atau tetap melakukan pekerjaan yang sama dan seseorang sebagai

pribadi atau keluarga boleh juga memilih Livelihood lain khususnya

melalui pendidikan dan migrasi. Karena melalui pendidikan dan

migrasi, terbuka kemungkian bagi seseorang untuk memilih dan

bertumbuh secara ekonomi dengan lebih baik. Menurut keduanya, di

masa depan perubahan berlangsung cepat, maka dibutuhkan suatu

kapabilitas yang adaptif untuk mengeksploitasi peluang-peluang baru

yang dibutuhkan dan lebih merata. Jadi dapat dikatakan di sini

Livelihood amat ditentukan oleh kebiasaan dalam keluarga dan

masyarakat, dampak sosialisasi, pengaruh pendidikan serta kemampuan

adaptif seseorang memilih suatu pekerjaan dan mengembangkannya

dalam hidup sehingga dapat hidup secara lebih baik.

Faktor kedua, kekuatan dan kelemahan pendekatan Sustainable Livelihood. Menurut hemat penulis, keberhasilan Sustainable Livelihood dipengaruhi juga oleh seberapa jauh kita menyadari faktor

kekuatan dan kelemahan pendekatan Sustainable Livelihood. Untuk

menganalisis kekuatan dan kelemahan Sustainable Livelihood penulis

merujuk pada pemikiran Krantz yaitu: Satu, kekuatan Sustainable Livelihood. Kekuatan Sustainable Livelihood terletak pada

pendekatannya yang menyeluruh terkait dengan berbagai sumber daya

Page 15: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

33

seperti, sumber daya alam, maupun juga sumber daya sosial. Sumber

daya tersebut merupakan unsur-unsur yang penting bagi orang miskin

yang terlibat menilai keadaan kemiskinannya karena kemiskinan

merupakan fenomena yang kompleks. Selain itu pendekatan

Sustainable Livelihood mampu memfasilitasi pemahaman yang

terfokus pada masalah kemiskinan yang rumit di tataran yang berbeda-

beda, langsung atau tidak langsung, menentukan dan mendesak orang

miskin memperoleh akses sumber daya alam atau aset-aset yang

beragam berkaitan dengan Livelihood mereka. Kemendesakan seperti

itu bisa muncul dari institusi formal dan informal serta faktor-faktor

lain pada tingkat lokal atau boleh jadi merupakan hasil dari kebijakan

yang mengesampingkan proses ekonomi pada tataran makro. Tinjauan

mikro-makro yang dibangun dalam pendekatan Sustainable Livelihood

merupakan kemungkinan untuk mengarahkan lebih banyak

intervensi-intervensi strategis. Dengan berfokus pada cara di mana

masyarakat bisa membangun strategi Livelihood, mereka diharapkan

mampu dan berhasil menanggapi secara khusus “konteks kerentanan”,

karena pendekatan Sustainable Livelihood memungkinkan orang yang

paling miskin melihat bagaimana orang miskin aktif membuat

keputusan-keputusan dan tidak sekedar pasif saja, dalam penentuan

Livelihood mereka sendiri. Hal ini penting bagi orang miskin untuk

merencanakan aktivitas pendukung membangun diri. Juga dalam

perspektif Livelihood yang lebih dinamis, strategi-strategi oramg

miskin sebagai penguatan masyarakat dalam merespon secara personal

keadaan eksternal, sewaktu-waktu dapat berubah. Pendekatan

Sustainable Livelihood memfasilitasi terbentuknya satu pemahaman

yang mempunyai keterkaitan antara strategi-strategi Livelihood masyarakat, status aset-aset dan cara-cara masyarakat menggunakan

sumber-sumber daya alam yang tersedia. Oleh karena itu Sustainable Livelihood merupakan suatu pendekatan untuk memahami masalah,

mempromosikan ruang lingkup pembangunan berkelanjutan pada

tingkat lokal. Akhirnya, konsep Livelihood merupakan tawaran yang

lebih tepat atau cocok berdasarkan evaluasi dalam memengaruhi aspek

sosial-ekonomi proyek-proyek atau program-program yang dapat

mengurangi kemiskinan sebagai tujuan yang menyeluruh. Karena

Page 16: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

34

dalam Sustainable Livelihood tersedia kerangka kerja lebih realistik

bagi penilaian langsung dan tidak langsung terkait dengan efek-efek

kondisi kehidupan masyarakat.

Dua, kelemahan pendekatan Sustainable Livelihood. Krantz

menyebutkan kelemahan pendekatan ini terletak pada metodologi dan

praktek untuk menentukan, misalnya siapa orang miskin. Beberapa

pendekatan seperti pendekatan geografis untuk mengetahui di mana

orang miskin berada, yang dalam kenyataan hidup menyebar, tidak

membentuk suatu komunitas sosial yang homogen, bagaimana

menentukan garis kemiskinan dan rangking kekayaan berdasarkan

tingkat pendapatan dan konsumsi. Dikatakan penentuan garis

kemiskinan dan rangking kekayaan, merupakan usaha yang sulit dan

mahal serta pengklasifikasian tersebut hanya akan menghasilkan

gambaran kemiskinan yang relatif. Menurutnya yang mendasar

dilakukan ialah memahami terlebih dahulu situasi ekonomi, sosial,

budaya dan institusional setempat sebelum menentukan identitas,

karakteristik orang miskin yang hidup tanpa natural capital, economic capital, human capital dan social capital sebagai aset yang

menghidupinya. Karena tanpa memahami situasi riil masyarakat, sulit

mengenal karakteristik orang miskin. Oleh sebab itu tersingkirnya

Sustainable Livelihood sesungguhnya menandai terjadinya peremehan

identitas lokal yang dimiliki masyarakat.

Faktor ketiga, manajemen yang integratif. Sementara itu

catatan lain muncul pula dari Saragih, Lassa, Ramil (2007). Saragih dan

kawan-kawannya itu menyatakan penerapan konsep inti Sustainable Livelihood hendaknya selalu menggunakan prinsip-prinsip Sustainable Livelihood, yaitu people-centred, holistik, dinamis, membangun

kekuatan dan kapasitas lokal, memperhatikan hubungan makro-mikro

dan keberlanjutan. Gagasan ini muncul dari pengalaman praktik

penguatan organisasi masyarakat sipil (OMS) lokal di Aceh dan Nias

pasca tsunami dan konflik. Berkaitan dengan aspek keberlanjutan,

dikatakan bahwa keberlanjutan meliputi lingkungan dan ekologis,

keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial dan keberlajutan

kelembagaan. Selain itu Saragih dan kawan-kawan pun melihat adanya

Page 17: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

35

relevansi antara gagasan Sustainable Livelihood dengan praktik di

lapangan dan di tingkat kebijakan. Karena hubungan makro-mikro

menjadi ruang bagi analisis Sustainable Livelihood untuk melihat

bagaimana kebijakan, lembaga dan berbagai lapisan organisasi

pemerintah dan non-pemerintah mempengaruhi kehidupan

masyarakat dan sejauh mana masyarakat itu sendiri mempengaruhi

struktur-struktur dan proses-proses analisis.

Faktor keempat, strategi Livelihood. Chambers dan Conway

menyuguhkan strategi Sustainable Livelihood yang lebih bevariasi,

yaitu strategi penghematan, pengumpulan, perlindungan,

pengosongan, keragaman usaha, memperjuangkan hak-hak dan

menggerakkan usaha. Kemudian, Scoones (1998) menawarkan suatu

strategi pengembangan Sustainable Livelihood yang berbeda.

Menurutnya, ada tiga macam strategi yang dapat dikembangkan yaitu,

satu, agricultural intensification/extensification (melalui dukungan

input eksternal dan policy) dan adanya tenaga kerja yang mandiri; dua,

livelihood diversification (merupakan reinvestasi melalui aktivitas-

aktivitas yang bersifat akumulatif, sekaligus juga sebagai suatu

mekanisme menangani tekanan dan goncangan kelompok); tiga,

migration (ada perbedaan antara sebab-sebab migrasi (seperti gerakan-

gerakan yang sukarela dan yang bukan) serta akibat-akibat migrasi

(seperti, reinvestasi di bidang pertanian, usaha-usaha keluarga atau

tempat-tempat migrasi) serta pola-pola gerakan (yang berasal dari

tempat-tempat yang berbeda). Setelah melihat strategi yang

ditawarkan Scoones, berikut akan dibahas secara singkat pengalaman

Bultler dan Mazur di pedesaan Uganda.

Tawaran lain menurut Butler dan Mazur (2007) berdasarkan

pengalaman pembangunan pedesaan di Uganda, dikatakan bahwa

pendekatan diversifikasi Livelihood merupakan suatu strategi

pendekatan yang esensial bagi food security dan perbaikan pendapatan

untuk pembangunan manusia pada komunitas pedesaan Afrika.

Menurut keduanya, kehidupan ekonomi petani Uganda yang penuh

penderitaan berasal dari keterbatasan diversifikasi, degradasi

lingkungan, pendapatan yang rendah dan berbagai dampak negatif

Page 18: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

36

HIV/AIDS. Maka untuk merangsang dan mendorong inovasi melalui

teknologi pertanian yang produktif, bentuk-bentuk organisasi sosial

dan pasar-pasar orang miskin merupakan elemen pokok dalam

mempromosi Livelihood pedesaan berkelanjutan. Butler dan Mazur

juga menyatakan, konsep-konsep Sustainbale Livelihood telah diuji

maknanya untuk memahami situasi pembangunan pedesaan Afrika

kontemporer secara lebih baik. Keduanya melakukan identifikasi

prinsip-prinsip dan berproses secara kritis untuk mencapai Sustainble Livelihood secara kolaboratif, termasuk berdiskusi tentang hubungan-

hubungan yang kompleks dalam relasi yang seimbang untuk

keberhasilan program-program dasar komunitas pedesaan. Dalam

kaitan dengan usaha tersebut nilai-nilai dari perspektif ilmu

pengetahuan sosial diangkat sebagai proses penguatan pembangunan

desa dalam kerangka pembangunan daerah.

Unsur-unsur Livelihood

Chambers dan Conway menyatakan, dalam pengertian yang

sederhana Livelihood mengandung makna sebagai suatu realitas yang

kompleks dan terstruktur menjamin kehidupan seseorang atau

sekelompok orang.

Dari sisi definisi, Livelihood dapat dibedakan dalam dua

kelompok. Pertama, pada tataran yang terbatas dan umumnya dikenal

adalah rumah tangga. Secara deskriptif rumah tangga diartikan sebagai

kelompok manusia yang hidup bersama saling berbagi perhatian dan

apa yang dibutuhkan dalam hidup. Selain itu biasanya ada juga

penghargaan di tingkat individu atau antaranggota rumah tangga,

terkait dengan kesejahteraan dan akses-akses anggota rumah tangga

khususnya perempuan dan anak yang boleh jadi diabaikan oleh kaum

laki-laki. Karena itu Livelihood di sini dilihat sebagai Livelihood

rumah tangga. Kedua, pada tataran yang lebih luas terdapat keluarga

besar (extended family), kelompok sosial dan komuniti. Di sini

Livelihood dilihat berkaitan dengan Livelihood kelompok atau

komunitas. Namun menurut Chambers dan Conway lebih signifikan

Page 19: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

37

menggunakan rumah tangga sebagai unit analisis. Keduanya

menetapkan empat unsur pokok Livelihood rumah tangga yaitu: satu,

orang yang mempunyai kapabilitas Livelihood tertentu; dua, ada

aktivitas-aktivitas yang dilakukan; tiga, ada aset-aset berupa barang-

barang yang kelihatan (sumber daya hidup dan barang-barang lain)

secara material dan yang non-material (hak-hak dan akses-akses) yang

bermakna sosial; empat, ada keuntungan atau hasil, terkait dengan

sesuatu yang dikerjakan. Berikut ini disajikan sebuah gambar berisikan

empat unsur pokok Livelihood rumah tangga yang disebut Chambers

dan Conway.

Sumber: Diolah dari Chambers dan Conway (1991), Dp296.pdf

diunduh, 12 Februari 2016)

Gambar 2.1 Empat Kategori Pokok Livelihoods Rumah Tangga

Pengkategorian tersebut meliputi unsur manusia yang

mempunyai kapabilitas, aset-aset, aktivitas-aktivitas, dan hasil yang

diperoleh rumah tangga. Dikatakan oleh Chambers dan Conway, yang

terpenting dalam Livelihood adalah komponen-komponen pokok

berupa, kapabilitas Livelihood (livelihood capabilities), hak-hak dan

akses (claims and acces) serta barang-barang dan sumber-sumber

penghidupan (strores and resources) serta keterjalinan antara

Rumahtangga

Kapabilitas

Aset-aset

Aktivitas-aktivitas

Hasil yang diperoleh

Page 20: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

38

komponen-komponen tersebut. Berikut ini dibuat gambar komponen-

komponen yang penting dalam Livelihood.

People

Tangible Assets Intangible Assets

Sumber: Chambers and Conway (1991), Dp296.pdf (diunduh, 12 Februari 2016)

Gambar 2.2 Komponen-komponen Utama Livelihood

Chambers dan Conway menyatakan ada tiga komponen utama

Livelihood sebagaimana digambarkan di atas. Pertama, stores dan resources; kedua, livelihood capabilities; ketiga, claims dan assets. Komponen-komponen tersebut dikatakan penting karena komponen-

komponen tersebut merupakan inti dari sebuah kehidupan dan yang

saling berhubungan serta mempengaruhi satu sama lain. Komponen-

komponen utama Livelihood yang dirumuskan Chambers dan Conway

di atas, diadopsi pula oleh United Nations Development Programme

(UNDP) sebagai suatu pendekatan dalam rangka mempromosikan

Sustainable Livelihood, sebagaimana dijelaskan Krantz (2001). Berikut

penjelasan secara singkat isi dari ketiga komponen tersebut di atas.

Barang-barang dan Sumber-sumber Livelihood (Stores dan Resources)

Komponen ini terdiri dari barang-barang untuk usaha dan aset-

aset nyata yang dimiliki oleh sebuah rumah tangga.Yang termasuk

barang-barang untuk usaha adalah bahan konsumsi, barang benilai

seperti emas, perhiasaan, kain tenunan, uang tabungan. Sedangkan

sumber-sumber penghidupan meliputi, tanah, air, pohon-pohon,

Livelihood

Capabilities

A Living

Strores and

Resources

Claims and

Access

Page 21: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

39

persediaan bahan makanan, peralatan rumah dan kebun, perkakas,

perabot rumah tangga. Jadi barang-barang yang dimiliki sebagai

sumber-sumber penghidupan seperti yang disebutkan di atas

merupakan aset-aset rumah tangga. Selanjutnya akan dijelaskan apa itu

claims dan access serta apa saja yang tergolong ke dalam kedua unsur

tersebut.

Hak-hak dan Akses-akses (Claims and Access)

Menurut Chambers dan Conway, komponen-komponen claims dan acces juga merupakan aset-aset rumah tangga yang tidak kelihatan.

Yang dimaksud dengan claims di sini adalah pemenuhan hak-hak

secara material dan moral yang mendukung seseorang atau sekelompok

orang memperoleh akses-akses hidup. Untuk memenuhi hak-hak

dalam Livelihood terdapat berbagai bentuk dukungan berupa makanan,

peralatan, pinjaman-pinjaman, hadiah-hadiah atau pekerjaan.

Tuntutan terhadap hak-hak sewaktu-waktu dapat menimbulkan

tekanan dan keterkejutan atau goncangan, namun memungkinkan

pihak lain baik secara individual, maupun sebagai lembaga seperti,

Non Government Organization (NGO) atau pemerintah,

memprogramkan bantuan misalnya, program pengurangan

kemiskinan. Hal-hal tersebut merupakan contoh dari perpaduan antara

kesepakatan sosial, hak-hak, kewajiban moral dan kekuasaan.

Berkaitan dengan program pengurangan kemiskinan, Krantz

dalam tulisannya di bagian The Sustainability Livelihoods Approach to Poverty menyatakan, ada tiga faktor yang dilihat dalam pendekatan

Sustainable Livelihood dalam mengurangi kemiskinan. Faktor-faktor

tersebut adalah, pertama, pertumbuhan ekonomi sebagai sesuatu yang

esensial dalam usaha pengurangan kemiskinan. Menurut Krantz tidak

otomatis terjadi hubungan sebab akibat di antara keduanya yakni

pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi kemiskinan, karena kedua

hal tersebut tergantung pada kapabilitas orang miskin

memperjuangkan peluang-peluang ekonomi; kedua, kemiskinan bagi

orang miskin sendiri bukan semata-mata merupakan masalah

pendapatan yang rendah tetapi juga terkait di dalamnya kesehatan

yang buruk, ketidakmampuan membaca, tanpa pelayan sosial,

Page 22: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

40

termasuk adanya perasaan tidak berdaya dan sebagainya; ketiga,

adanya penghargaan bahwa orang miskin sendiri mengetahui situasi

dan kebutuhannya lebih baik dan termasuk merancang kebijakan dan

proyek yang lebih baik bagi dirinya.

Sedangkan akses, merupakan peluang-peluang dalam hidup

yang dapat digunakan untuk memanfaatkan sumber daya kehidupan,

barang-barang yang tersedia untuk pelayanan masyarakat yang

menghasilkan informasi, materi, teknologi, pekerjaan, makanan atau

pendapatan. Unsur pelayanan di sini meliputi bidang transportasi,

pendidikan, kesehatan, pertokoan dan pasar bagi masyarakat. Aspek

informasi merupakan perluasan pelayanan melalui radio, televisi dan

surat kabar. Sedangkan teknologi merupakan pengembangan di bidang

teknik, termasuk temuan hal-hal baru. Kemudian, pekerjaan dan

usaha-usaha lain, merupakan hak-hak dan sumber daya kehidupan

milik bersama suatu masyarakat atau sebagai suatu negara. Berkaitan

dengan aset-aset yang kelihatan dan tak kelihatan, masyarakat dapat

memanfaatkannya untuk merancang dan membangun kehidupan,

melalui kerja fisik, keterampilan, pengembangan pengetahuan dan

kreativitas. Keterampilan dan pengetahuan bisa didapatkan dalam

pelayanan rumah tangga dari generasi ke generasi seperti pengetahuan

teknik penduduk asli atau pribumi, atau pun melalui magang,

pendidikan formal atau melalui eksperimen dan inovasi.

Dengan demikian peningkatan Livelihood pedesaan dapat

dilakukan melalui berbagai aktivitas, seperti pengolahan tanah,

pemeliharaan ternak, pengumpulan bahan makanan, saling berbagi

beban kerja, berdagang atau menjual barang, melakukan pekerjaan

keterampilan seperti menenun dan mengukir, penyediaan pelayanan

transportasi dan lain-lain. Semua kegiatan tersebut merupakan jenis-

jenis kegiatan pendukung kehidupan untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhan hidup manusia. Di antara hal-hal tersebut terdapat aset-aset

yang bisa digunakan dalam jangka pendek, jangka menengah dan

jangka panjang, baik untuk dikonsumsi maupun untuk investasi.

Berkaitan dengan perihal investasi, Chambers dan Conway mengutip

gagasan Swift (1989), yang antara lain menyatakan bahwa kapabilitas

Page 23: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

41

dapat ditingkatkan melalui pendidikan dan latihan serta magang-

magang. Bahkan menurutnya kapablitas dapat dikembangkan lebih

luas dengan memilih situasi dan peluang penguatan kembali nilai-nilai

budaya dan moral yang mulai tak berdaya dan untuk meningkatkan

kualitas kehidupan dan pengalaman. Setelah mengulas pemikiran

Chambers dan Conway tentang Livelihood dan sejumlah aspek yang

diuraikan di dalam pokok tersebut, berikut ingin dijelaskan secara

singkat pemikiran keduanya mengenai Sustainability Livelihood.

Sustainability

Pokok Sustainability merupakan bagian ketiga dari seluruh

pembahasan Chambers dan Conway berkaitan dengan Livelihood.

Pokok ini akan ditinjau dalam dua bagian, yaitu pertama, tinjauan yang

berkaitan dengan environmental sustainability dan kedua, penjelasan

tentang social sustainability. Chambers dan Conway menjelaskan

bahwa environmental sustainability mempunyai konsern pada

pengaruh external terhadap Livelihood sedangkan pembahasan tentang

social sustainability berfokus pada kapasitas internal livelihood.

Environmental Sustainability

Menurut Chambers dan Conway, secara konvensional pemikir-

pemikir atau ahli-ahli pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada umumnya menyamakan sustainability atau

berkelanjutan dengan persoalan pemeliharaan dan peningkatan sumber

daya kehidupan produktif yang pokok, khususnya bagi generasi masa

depan. Namun dikatakan oleh keduanya, ada dua hal yang perlu

dibedakan. Pertama, kepentingan di tingkat lokal. Di sini muncul

pertanyaan, aktivitas Livelihood mana yang perlu dipelihara dan

dikembangkan atau sumber daya alam lokal mana yang berkurang dan

atau telah habis? Karena secara negatif, aktivitas Livelihood dapat

berkontribusi terhadap desertifikasi, deforestasi, erosi kesuburan tanah,

pengurangan air, salinisasi dan lain-lain. Secara positif, aktivitas

Livelihood dapat meningkatkan produktivitas sumber daya alam

terbarukan, seperti air tanah dan air sungai, kesuburan tanah dan

Page 24: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

42

pepohonan secara organik2. Kedua, kepentingan pada aras global.

Pertanyaan dari sisi lingkungan ialah, apakah aktivitas lingkungan

berkontribusi positif atau negatif terhadap Livelihood dalam jangka

panjang secara berkelanjutan. Menurut Chambers dan Conway,

pertanyaan ini muncul karena hingga saat ini kita sulit mengubah dan

membantah isu-isu seperti polusi, gas rumah kaca dan pemanasan

global serta lapisan ozon menipis. Hal ini disebabkan karena

penggunaan sumber daya alam yang tersedia dan tidak terbarukan serta

penggunaan bahan-bahan karbon dioksida oleh manusia telah

menimbulkan polusi dan krisis berkepanjangan. Jadi menurut

keduanya pemikiran Sustainability berfokus pada aset-aset yang

kelihatan, namun juga hendaknya memperhatikan perihal

pemeliharaan dan pengembangan aset-aset yang tidak kelihatan karena

pemanfaatan lingkungan pada umumnya berdampak negatif, tidak

berkelanjutan, mengabaikan hak-hak dan akses-akses masyarakat.

Pengabaian terhadap hak-hak dan akses-akses masyarakat antara lain

dilakukan melalui produk hukum, kekuasaan atau birokrasi. Pada

tingkat global, tantangan Livelihood terjadi melalui perdagangan dan

kesepakatan internasional yang mereduksi hak-hak dan akses-akses

lokal serta kepemilikan bersama di pasar global. Menurut Davies dan

Lech (1991) sebagaimana dicatat Chambers dan Conway, keterjalinan

kepentingan antara dunia global dan lokal memang penting tetapi

mudah diabaikan. Berdasarkan latar belakang pandangan Davies dan

Lech, Chambers dan Conway memberikan perhatian yang lebih besar

pada persoalan Livelihood di tingkat lokal pada negara-negara Selatan3

2Desertifikasi adalah tipe degradasi lahan di mana lahan yang relatif kering menjadi semakin gersang, kehilangan badan air, vegetasi, dan juga hewan liar. Keadaan ini umumnya disebabkan oleh berbagai faktor seperti perubahan iklim dan aktivitas manusia. Desertifikasi adalah masalah lingkungan dan ekologis global yang signifikan (https://id.wikipedia.org/wiki/Desertifikasi, diunduh, 29 Agustus 2016).Salinisasi adalah proses terakumulasinya larutan garam di dalam tanah (http://www.artikata.com/arti-348731-salinisasi.html, diunduh 29 Agustus 2016). 3Kawasan "Utara Dunia" mencakup Amerika Utara, Eropa Barat, dan negara-negara maju di Asia Timur. Kawasan "Selatan Dunia" mencakup Afrika, Amerika Latin, dan negara-negara berkembang di Asia, termasuk Timur Tengah. Empat dari lima anggota permanen Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa terletak di Utara."Utara" meliputi negara-negara Barat dan Dunia Pertama dan sebagian besar Dunia Kedua. Utara tergolong kawasan yang lebih kaya dan maju sedangkan Selatan tergolong

Page 25: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

43

karena mereka yang miskin, dari sisi Livelihood tidak berkelanjutan

secara global berada di Selatan. Sedangkan sebagian besar lingkungan

Livelihood berkelanjutan di Utara adalah negara-negara kaya. Secara

lokal, tantangan pokok adalah meningkatkan intensitas penggunaan

sumber-sumber penghidupan secara berkelanjutan, khususnya di

wilayah pedesaan di Selatan. Sedangkan secara global tantangan utama

ialah mengurangi ketidakberlanjutan Livelihood, khususnya di wilayah

perkotaan di Utara.

Dalam perspektif ekologi-ekonomi, misalnya, persoalan

dampak lingkungan seperti disebutkan di atas baik secara ekonomi

maupun dari sisi lingkungan hidup tidak sejalan dengan pendapat

Common Michael dan Stagl Sigrid (2005,8-13). Common dan Stagl

menyatakan, aspek sustainability dan sustainable development sangat

penting karena alasan berikut ini:

Sustainability is maintaining the capacity of joint economy-environment system to continue to satisfy the needs and desire of humans for a long time into the future.

Dengan kata lain Common dan Stagl mau menyatakan bahwa

sustainability dimaknai sebagai pemeliharaan kapabilitas manusia

berkaitan dengan sistem ekonomi dan lingkungan untuk melanjutkan

pemenuhan kebutuhan-kebutuhan serta keinginan manusia jangka

panjang. Implikasi pernyataan ini berkaitan dengan kepentingan

kawasan yang lebih miskin dan terbelakang. 95% penduduk Utara memiliki pangan dan tempat tinggal yang layak, juga memiliki sistem pendidikan yang berfungsi dengan baik. Sebaliknya, hanya 5% penduduk Selatan yang memiliki pangan dan tempat tinggal yang layak, tidak memiliki teknologi yang diperlukan, tak ada kestabilan politik, ekonominya berantakan, dan pendapatan valuta asingnya bergantung pada ekspor produk primer”. Utara, dihuni oleh ¼ penduduk dunia, menguasai 4/5 pendapatan dunia. 90% industri manufaktur dimiliki oleh dan terletak di Utara. Sebaliknya, Selatan, yang dihuni ¾ penduduk dunia menguasai 1/5 pendapatan dunia. Kawasan Selatan menjadi sumber bahan mentah ketika Utara "membangun pemerintahan kolonial di sebagian besar kawasan Selatan untuk menguasai pusat-pusat sumber dayanya” antara tahun 1850 dan 1914. Ketika ekonomi sebuah negara semakin maju, negara tersebut langsung tergolong "Utara" meski letak geografisnya bukan di utara, sedangkan negara yang belum layak menyandang status "maju' langsung tergolong "Selatan" (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kesenjangan Utara%E2%80%93Selatan, diunduh 15 Agustus 2016).

Page 26: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

44

seluruh manusia baik orang miskin maupun orang kaya. Jadi menurut

hemat penulis pemikiran Davies dan Lech serta Chambers dan Conway

sebenarnya sejalan dengan pandangan Commnon dan Stagl tentang

lingkungan, kehidupan ekonomi dan hidup manusia sebagai suatu

sistem yang berkelanjutan dan saling mempengaruhi. Setelah

membahas lingkungan berkelanjutan berkaitan dengan Livelihood,

selanjutnya pembahasan diarahkan pada pokok social sustainability.

Social Sustainability

Dalam perspektif Livelihood yang berkelanjutan, lingkungan

yang berkelanjutan tak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial

berkelanjutan. Kehidupan sosial berkelanjutan merujuk pada manusia

(individual, rumah tangga atau keluarga) bukan hanya pada aspek

jumlah yang terus bertambah tetapi juga dapat mengembangkan

Livelihood secara pantas dan memadai.

Menurut Chambers dan Conway ada dua dimensi pokok social sustainability, yakni yang bersifat positif dan negatif. Dimensi negatif

kehidupan sosial berkelanjutan bersifat reaktif, sebagai penangkal

tekanan dan goncangan; sedangkan dimensi positif bersifat proaktif,

yakni untuk meningkatkan kapabilitas dan kebiasaan menciptakan

perubahan yang menjamin kesinambungan. Dengan demikian dapat

dikatakan kehidupan sosial berkelanjutan mempunyai beberapa

peranan penting yaitu, dapat menjadi penangkal tekanan dan

goncangan; mengandung kapabilitas Livelihood yang dinamis,

berkelanjutan dan terintegrasi. Berikut dibuat sekilas penjelasan

tentang ketiga peranan tersebut. Pertama, social sustainability sebagai

penangkal (coping) tekanan dan keterkejutan atau goncangan.

Livelihood dan perjuangan hidup manusia baik secara individual

maupun sebagai rumah tangga, kelompok dan komunitas-komunitas,

rentan terhadap tekanan dan goncangan hidup. Ada dua aspek

kerentanan, yaitu yang bersifat eksternal dan internal. Kerentanan

bersifat eksternal, terjadi bila ada tekanan dan goncangan dari luar

terhadap seseorang; dan kerentanan bersifat internal terjadi bila

seseorang dengan kapasitasnya tidak dapat menangkal tekanan dan

goncangan dari dalam diri. Tekanan (stress) merupakan keadaan yang

Page 27: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

45

mendesak, secara tipikal berkesinambungan dan kumulatif, tidak dapat

diprediksi dan menyusahkan. Sedangkan goncangan (shock)

merupakan pengaruh-pengaruh yang tidak dapat diprediksi, traumatik

seperti kebakaran, banjir dan wabah penyakit. Kedua, kapabilitas

Livelihood yang dinamis. Menurut Chambers dan Conway, social sustainability of livelihood juga bergantung pada hal-hal yang positif

dan dinamika kompetensi, kemampuan untuk merasa, memprediksi,

menyesuaikan dan mengubah eksploitasi lingkungan alam, sosial dan

ekonomi secara berkelanjutan sebagaimana diungkapkan dalam karya

dan tulisan Ronald Bunch (1985, 1988, 1989). Dengan pendekatan ini,

petani kecil dimungkinkan untuk meningkatkan pengalaman pribadi

mereka, untuk melakukan pengembangan diri, dan berorganisasi untuk

mengatur dan mengembangkan hubungan ekonomi lebih luas.

Pengalaman inovasi dan adaptasi mempunyai berkontribusi pada

dinamika kapabilitas. Melalui kapabilitas yang dinamis Livelihood

keluarga petani dapat menjadi lebih Sustainable dalam kondisi yang

meragukan dan di mana terjadi perubahan pada pasar dan fluktuasi

harga serta di mana peluang-peluang lama menyusut dan yang baru

berkembang. Ketiga, Sustainability yang terintegrasi. Sebelum

berbicara mengenai Sustainability yang terintegrasi perlu digaris-

bawahi bahwa di dalam Livelihood sosial berkelanjutan, terdapat aspek

pemeliharaan dan pengembangan kapabilitas untuk generasi yang akan

datang. Dengan demikian dapat dikatakan Sustainability yang

terintegrasi bersifat langsung dan tidak langsung. Sustainability yang

terintegrasi dan bersifat langsung berkaitan dengan pewarisan aset-aset

seperti, tanah, pabrik-pabrik yang dijalankan, termasuk memper-

siapkan generasi masa depan yang terampil. Keterampilan-

keterampilan dan pengetahuan, berisikan hal-hal yang dialihkan dari

orangtua kepada anak-anak melalui proses belajar dalam keluarga.

Sedangkan bentuk-bentuk yang tidak langsung dari Sustainability yang

terintegrasi dilihat dari Sustainability antargenerasi, merupakan usaha

mendorong anak-anak untuk bekerja, menemukan atau menciptakan

Livelihood baru yang boleh jadi sama atau berbeda dari yang ada pada

generasi awal. Untuk meningkatkan bentuk-bentuk Sustainability yang

tidak langsung, rumah tangga-rumah tangga sering berinvenstasi di

Page 28: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

46

dalam pendidikan dan mengembangkan keterampilan bagi anak-anak

melalui apa yang ada di dalam rumah tangga. Hanya saja pengaruh

populasi penduduk yang terus bertambah, dapat mengakibatkan

dinamika kapabilitas Livelihood antargenerasi secara berkelanjutan

menjadi lebih kritis. Dikatakan oleh Chambers dan Conway bahwa

strategi-strategi ini merupakan strategi Livelihood yang bersifat

campuran. Maksudnya ialah, strategi yang diusulkan ini berasal dari

sumbangan beberapa pemikir. Strategi-strategi tersebut dapat

digunakan dengan menggabungkannya manakala seseorang atau suatu

rumah tangga mengalami dengan tekanan dan goncangan dalam hidup

karena strategi-strategi tersebut berhubungan satu dengan yang lain.

Dengan kata lain ketika seseorang atau suatu rumah tangga mengalami

tekanan dan goncangan beberapa strategi tersebut di atas dapat

digunakan bersama-sama menanggulangi tekanan dan goncangan yang

dialami. Dengan begitu diharapkan Sustainable Livelihood dapat

berfungsi menghindarkan seseorang atau suatu rumah tangga dari

tekanan dan goncangan dengan cara-cara yang tepat dan dapat

memulihkan kembali, membebaskan mereka dari situasi tertekan dan

tergoncang. Oleh karena berhadapan dengan kemungkinan adanya

tekanan dan goncangan perlu adanya perencanaan, baik sebagai

individu maupun sebagai suatu rumah tangga dengan menggunakan

aset-aset yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, untuk mengurangi

kerentanan dan memungkinkannya melawan tekanan dan goncangan

dengan resiko yang minimum untuk masa depan Livelihood. Aset-aset

menjadi sesuatu yang rentan karena rumah tangga-rumah tangga dapat

kehilangan hak-hak pribadi atas kepemilikan sumber-sumber daya

kehidupan yang menjadi hak-hak mereka, misalnya karena kematian.

Ada dua dimensi untuk pengurangan kerentanan terhadap tekanan dan

goncangan yang perlu dipahami, yakni secara eksternal dan internal.

Secara eksternal kerentanan dapat dikurangi melalui tindakan publik

seperti, pencegahan banjir, siaga bencana, penyediaan tenaga kerja

pada saat pekerja publik cuti, pencegahan penyakit dan lain-lain.

Secara internal, kerentanan dan kerugian-kerugian dapat dikurangi

secara pribadi dengan lebih efektif melalui penggunaan bantuan

anggota rumah tangga yang bertanggung jawab.

Page 29: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

47

Strategi-strategi Sustainable Livelihood

Selanjutnya Chambers dan Conway menyebut sejumlah

strategi yang dikedepankan oleh beberapa pemikir, dapat digunakan

sebagai penangkal (coping) tekanan dan goncangan yang dialami

manusia atau rumah tangga-rumah tangga dalam memperjuangkan

Livelihood yang berkelanjutan. Kemudian akan dibahas juga strategi

Sustainable Livelihood yang dikemukakan oleh Ian Scoones, Butler

dan Mazur.

Strategi-strategi Sustainable Livelihood yang ditawarkan

Chambers dan Conway adalah, pertama, penghematan (stint). Strategi

penghematan dilakukan dengan cara mengurangi konsumsi makanan

yang berkualitas rendah dan menjadikan diri sendiri sebagai tenaga

kerja; kedua, strategi pengumpulan (hoard), maksudnya berusaha

melakukan pengumpulkan bahan makanan serta aset-aset lainnya;

ketiga, strategi perlindungan (protect), berarti berusaha memelihara

dan melindungi aset-aset utama untuk memulihkan dan memantapkan

livelihood; keempat, strategi pengosongan (deplete), berarti berupaya

menggunakan persediaan bahan-bahan makanan rumah tangga sampai

habis atau menjual aset-aset; kelima, strategi keragaman usaha

(diversity), artinya berupaya mencari sumber-sumber penghidupan

seperti sumber makanan yang baru (jenis-jenis tumbuh-tumbuhan dan

binatang) serta berbagai aktivitas kerja sebagai sumber pemasukkan;

keenam, strategi memperjuangkan hak-hak (claim) maksudnya

berupaya memperjuangkan hak-hak dan prinsip-prinsip hidup

berkaitan dengan lingkungan hidup bersama masyarakat sebagai

komunitas, NGO, pemerintah, komunitas internasional berdasarkan

kemauan baik dan tindakan politik yang adil; ketujuh, strategi

menggerakan (move) maksudnya, berusaha membagi dan memberikan

aset-aset kepada anggota-anggota keluarga untuk dikelola.

Page 30: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

48

Pendekatan Sustainable Livelihood terhadap Kemiskinan4

Pendekatan Sustainable Livelihood terhadap masalah

kemiskinan di sini pertama-tama merujuk pada pemikiran Krantz yang

mengadopsi gagasan Scoones, termasuk Ferguson dan Muray serta

beberapa pemikir lain yang juga berbicara mengenai persoalan

kemiskinan. Pendekatan UNDP, CARE dan DFID untuk

menanggulangi kemiskinan juga akan dibahas pada bagian ini.

Pendekatan Livelihood memposisikan kapabilitas dan aset

(seperti, sumber daya alam, hak dan akses) serta aktivitas masyarakat

sebagai potensi yang dapat menciptakan suatu kehidupan yang

bermakna di tingkat lokal dan mempunyai kontribusi yang

menguntungkan secara berkelanjutan terhadap kehidupan generasi

berikut, baik jangka pendek maupun jangka panjang di aras lokal dan

global. Menurut Krantz pendekatan Livelihood menyodorkan beberapa

pertimbangan berkaitan dengan permasalahan kemiskinan: 1)

pertumbuhan ekonomi mungkin merupakan sesuatu yang esensial bagi

pengurangan kemiskinan tetapi keduanya tidak otomatis saling

berkaitan. Menurutnya, hal tersebut bergantung pada kapabilitas orang

miskin untuk mengambil manfaat dari peluang ekonomi yang

berkembang; 2) kemiskinan tidak hanya diakibatkan oleh pendapatan

yang rendah tetapi juga berkaitan dengan dimensi lain seperti

kesehatan yang buruk, ketidakmampuan membaca dan menulis, hidup

tanpa pelayanan sosial dan sebagainya (Bdk., Moynihan, 1969 dan

Sachs, 2005)5; 3) harus diakui bahwa orang miskin lebih memahami

dirinya sendiri, termasuk kebutuhan yang terbaik bagi hidupnya dan

oleh sebab itu mereka harus diikutkan merancang suatu kebijakan dan

4Masalah kemiskinan hingga saat ini masih dilihat sebagai masalah yang berkaitan dengan rendahnya pendapatan atau ukuran lain seperti keterbatasan konsumsi. Padahal dalam berbagai studi yang berkembang kemudian melihat kemiskinan lebih menyeluruh berkaitan dengan ketiadaan modal yang seharusnya ada agar seseorang atau sekelompok orang dapat hidup layak. 5Menurut Moynihan, kemiskinan diakibatkan oleh budaya dan lingkungan yang menghambat motivasi, keadaan sakit-sakitan, pendidikan terbatas, mobilitas rendah, pendapatan terbatas dan peluang memperoleh pendapatan terbatas. Hal senanda juga dikatakan Sachs, kemiskinan diakibatkan oleh ketiadaan modal yang seharusnya ada bagi seseorang untuk hidup.

Page 31: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

49

program untuk memperbaiki nasibnya. Karena menurut Scoones

sebagaimana dikutip Krantz (2001, 8-9), sumber daya Livelihood mengandung unsur-unsur yang bersifat material, sosial termasuk aset-

aset yang kelihatan dan yang tak kelihatan, yang digunakan

masyarakat untuk membangun hidupnya. Secara konseptual berbagai

sumber daya itu disebut tipe-tipe kapital atau modal. Ada lima jenis

kapital yang penting: (1) Natural capital; (2) Financial capital; (3)

Human capital; (4) Social capital; (5) Physical capital. Krantz

menyatakan pembedaan jenis-jenis kapital ini diperlukan hanya

sebagai langkah-langkah kunci proses analisis situasi tapi dalam

kehidupan riil biasanya digunakan secara terpadu untuk membangun

suatu kehidupan yang berhasil secara terkoordinasi. Berikut ini akan

dibuat sebuah sketsa gambar Livelihood yang berisikan aset-aset atau

modal-modal yang ada dalam kehidupan rumah tangga.

Sumber: Diolah dari Lasse Krantz (2001)

Gambar 2.3 Modal-modal (aset) dalam Livelihood

Masing-masing modal tersebut terdiri dari: (a) Human capital: keterampilan, pengetahuan, kesehatan dan kemampuan kerja; (b)

Social capital: sumber-sumber sosial termasuk jejaring, anggota resmi

kelompok, relasi-relasi yang dipercaya dapat bekerja sama, peluang

ekonomi; (c) Natural capital: sumber daya alam, tanah, minyak, air,

hutan dan perikanan: (d) Physichal capital: infratsruktur dasar, seperti

jalan, air dan sanitasi, sekolah, dan penghasil barang-barang seperti

perkakas, ternak dan perlengkapan-perlengkapan; (e) Financial capital:

Page 32: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

50

sumber-sumber keuangan, yaitu tabungan, kredit dan pendapatan dari

pekerjaan, perusahaan dan pengiriman uang. Modal-modal tersebut di

atas dapat dikatakan mirip dengan modal-modal yang disebut Sachs

(2005), yang seharusnya dimiliki dalam diri seseorang atau sekelompok

orang agar ia bisa eksis dan mampu membangun hidupnya dengan

lebih baik. Modal-modal tersebut terdiri dari: (1) Human capital. Kesehatan, gizi dan keterampilan, merupakan modal manusia yang

harus ada pada masing-masing pribadi agar dapat menjadi produktif;

(2) Business capital. Mesin-mesin, berbagai fasilitas, alat transportasi

yang diperlukan untuk kegiatan pertanian dan industri serta jasa

pelayanan lainnya sebagai modal bisnis; (3) Infrastructure. Infrakstruktur seperti jalan, listrik, air dan sanitasi, bandara dan

pelabuhan laut, sistem telekomunikasi, dibutuhkan karena menjadi

pendukung produktivitas bisnis; (4) Natural capital. Modal alam berupa

tanah yang subur dan baik untuk ditanami, ketersediaan

keanekaragaman hayati, berfungsinya ekosistem yang baik merupakan

kebutuhan bagi pelayanan lingkungan yang mendukung kehidupan

masyarakat; (5) Public institutional capital. Modal institusi publik

berupa hukum dagang, sistem peradilan, institusi pemerintah serta

kebijakan pelayanan dan pembagian kerja yang baik dibutuhkan

masyarakat untuk menjadi lebih produktif; (6) Knowledge capital. Ilmu

pengetahuan dan teknologi merupakan modal pengetahuan manusia

yang dapat membuat manusia berhasil dan produktif untuk

mengembangkan sumber-sumber alam.

Pemikiran yang serupa dengan Krantz juga muncul dari

Ferguson dan Muray. Menurut Ferguson dan Muray dalam tulisan The Sustainable Livelihoods Framework (2001), ada tiga dimensi kunci

Sustainable Livelihood yang dapat digunakan, yaitu sustainable livelihood assets (aset penghidupan berkelanjutan), vulnerability context (konteks kehidupan yang rentan) serta techniques and interventions (teknik-teknik dan intervensi-intervensi). Ferguson dan

Muray berpendapat, melalui sustainable livelihood asset, individu-

individu dan keluarga-keluarga mampu mengembangkan kapasitas diri

dalam mengatasi tantangan yang dihadapi dan menemukan kebutuhan

dasar yang berkelanjutan. Kemudian, berkaitan dengan vulnerability

Page 33: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

51

context, menurut keduanya ada banyak yang faktor muncul dan

mengekalkan kerentanan serta kemiskinan baik pada aras individu dan

lingkungannya maupun pada konteks yang lebih luas. Perhatian

langsung terhadap faktor-faktor kontekstual dan sistemik mempunyai

kontribusi terhadap peristiwa kemiskinan. Perhatian seperti ini

merupakan kebutuhan untuk mencari perubahan pada tingkat

organisasi, komunitas dan kebijakan, termasuk perkembangan aset-aset

individual dan rumah tangga-rumah tangga. Sedangkan yang berkaitan

dengan teknik dan intervensi, dikatakan perlu mengidentifikasi dua

tipe dasar intervensi yang dapat membantu sehingga komunitas dapat

bekerja mengurangi kemiskinan mereka. Intervensi yang praktis

adalah memfasilitasi usaha-usaha rumah tangga untuk membangun

aset-aset penghidupan mereka. Selain itu, program-program seperti

konseling, pendidikan, pelatihan kerja, gerakan ekonomi, program

menabung dapat mendukung pengembangan usaha kecil. Strategi ini

langsung ditujukan pada konteks setempat yang rentan. Dengan begitu

orang miskin dapat bekerja secara terencana untuk mencapai tujuan

perubahan sosial dan ekonomi. Metode-metode yang digunakan ialah

pengembangan komuniti, perorganisasian, pengembangan aliansi,

kebijakan kerja dan advokasi.

Menurut hemat penulis, kedua pendapat tersebut di atas

berkaitan dengan pendekatan Sustainable Livelihood sebagai

pendekatan pembangunan yang penting. Dikatakan demikian karena

perspektif Sustainable Livelihood memosisikan aset-aset masyarakat

sebagai capital yang dapat membuat masyarakat tetap eksis dalam

memperjuangkan hidup dan sejalan dengan paradigma pembangunan

berkelanjutan. Namun, penulis kurang sependapat dengan sikap Krantz

yang menyatakan bahwa kelemahan pendekatan ini dalam proses

pengidentifikasian kemiskinan merupakan sesuatu yang mahal, karena

alasan kelemahan metodologis ini dapat melanggengkan kemiskinan.

Oleh sebab itu, menurut hemat penulis, pendekatan livelihood yang

dikemukakan Ferguson dan Muray terhadap vulnerability context merupakan pendekatan yang tepat karena langsung bersentuhan dan

mengena pada masyarakat miskin dengan bentuk-bentuk intervensi

sesuai dengan konteks masyarakat.

Page 34: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

52

Pendekatan Sustainable Livelihood Menurut UNDP, CARE dan DFID

Pada bagian berikut ini akan dibahas secara garis besar

pendekatan United Nation Development Programme (UNDP),

Campaign for Awarness Resilience and Education (CARE) dan

Departement for International Development (DFID) dalam

penanggulangan kemiskinan berdasarkan praktek-praktek yang

dilakukan.

Ketika UNDP berbicara mengenai Sustainable Livelihood,

dibahas juga gagasan mengenai Sustainable Human Development (SHD) yang dikemukakan tahun 1995. Sustainable Human Development meliputi, pengurangan kemiskinan, pekerja dan

penghidupan (mata pencaharian) berkelanjutan, jender, perlindungan

dan regenerasi pemerintahan dan lingkungan hidup. Jadi menurut

UNDP, Sustainbale Livelihood mengandung sebuah konsep sekaligus

juga merupakan kerangka kerja program pengurangan kemiskinan

secara berkelanjutan.

Secara konseptual “Livelihood” mengandung arti sebagai,

aktivitas, pengakuan hak-hak dan aset-aset yang digunakan masyarakat

setempat untuk membangun hidupnya. Aset-aset meliputi aspek alam

atau unsur-unsur biologis, sosial, politik, manusia, unsur fisik dan

ekonomi. Aspek alam atau biologi seperti, tanah, air, sumber-sumber

kepemilikan bersama, flora, fauna; dan aspek-aspek sosial seperti,

komunitas, keluarga, jejaring sosial; unsur-unsur politik, meliputi

partisipasi, pemberdayaan dan hal-hal yang bersifat sosial; aspek

manusia seperti, pendidikan, tenaga kerja, kesehatan, nutrisi; aspek

fisik, seperti jalan, klinik, pasar, sekolah, jembatan; aspek ekonomi

seperti, pekerjaan, tabungan, kredit. Livelihood yang menekankan

Sustainable Livelihood mengandung gagasan-gagasan penanggulangan

kemiskinan berikut: a. Penanggulangan dan pemulihan kembali dari

goncangan (shocks) dan tekanan (stresses) melalui adaptasi dan strategi

penanggulangan; b. Pendekatan ekonomi yang efektif. c. Aktivitas

Livelihood yang secara ekologis tidak menimbulkan degradasi sumber

Page 35: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

53

daya alam sebagai suatu ekosistem. d. Secara sosial Livelihood perlu

dipromosikan oleh suatu kelompok untuk memengaruhi dan tidak

menutup kemungkinan bagi kelompok lain, sebagai peluang saat ini

dan di masa depan.

UNDP menawarkan tahapan-tahapan untuk merancang,

menerapkan dan mengevaluasi Sustainable Livelihood. Metode

tersebut digunakan melalui langkah-langkah yang diprogramkan dalam

tahapan-tahapan berikut: 1) melibatkan laki-laki dan perempuan dalam

suatu asesmen dan refleksi berdasarkan pengetahuan sebagai aset

setempat; 2) melakukan analisis kebijakan mikro dan makro yang dapat

memengaruhi strategi Livelihood; 3) menilai dan menetapkan potensi

kontribusi pengetahuan modern dan teknologi sebagai pelengkap

sistem pengetahuan lokal untuk memperbaiki Livelihood; 4)

mengindentifikasi mekanisme-mekanisme investasi sosial dan ekonomi

(seperti microfinance, belanja kesehatan dan pendidikan) untuk

mengembangkan strategi Livelihood dan memastikan langkah-langkah

yang telah dirancang sebagai suatu proses yang terintegrasi secara lebih

konkrit. Selain UNDP, berikut disajikan pendekatan CARE terkait

dengan Sustainable Livelihood.

CARE merupakan NGO internasional yang memberi perhatian

melalui program yang berfokus pada pertolongan orang yang paling

miskin dan paling rentan. Perhatian CARE diwujudkan melalui

program reguler pembangunan atau jejaring kerja. Sejak tahun 1994

CARE menggunakan rujukan Household Livelihood Security (HLS)

sebagai kerangka kerja untuk menganalisis, merancang, memonitoring

dan mengevaluasi program. Konsep HLS tentang Livelihoods diambil

dari definisi yang dibangun oleh Chambers and Conway (1991),

dengan memperhatikan tiga unsur fundamental yaitu, pertama,

kapabilitas yang dimiliki manusia (pendidikan, keterampilan,

kesehatan, orientasi psikologi); kedua, akses terhadap aset-aset yang

kelihatan dan tak kelihatan; dan ketiga, eksistensi aktivitas ekonomi.

Interaksi antara ketiga unsur tersebut dilihat sebagai strategi mata

pencaharian atau Livelihood rumah tangga. Berdasarkan unsur-unsur

fundamental tersebut CARE merumuskan household livelihood

Page 36: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

54

security dengan tekanan pada pendekatan pengembangan kapasitas dan

tetap aktif membantu agar masyarakat sendiri dapat

mengkonsrtuksikan Livelihood mereka, daripada hanya bersikap pasif

menerima bantun-bantuan dari luar. Namun disadari juga oleh CARE

bahwa di samping Livelihood masyarakat ada pergeseran-pergeseran

sebagai perkembangan dari organisasi secara internal, yaitu: pertama,

pergeseran konsern dari food security regional dan nasional ke konsern

terhadap food security dan pentingnya nutrisi bagi individu serta

rumah tangga; kedua, pergeseran dari perspektif “pengarusutamaan

makanan” ke perspektif Livelihood, dengan fokus bukan hanya pada

produksi makanan tetapi juga kemampuan rumah tangga dan individu

untuk memperoleh tambahan makanan yang sehat secara lebih

memadai; ketiga, pergeseran dari perspektif materialis yang berfokus

pada produksi makanan ke perspektif sosial yang berfokus pada

perbaikan kapabilitas orang-orang untuk mengamankan Livelihood

mereka sendiri. Selanjutnya CARE secara operasional melihat

dinamika pendekatan Livelihood dan program yang interaktif sebagai

suatu proses dapat dilalui dengan langkah-langkah berikut: pertama,

mengidentifikasi wilayah potensi geografi dengan menggunakan data

sekunder untuk menemukan konsentrasi orang miskin; kedua,

mengidentifikasi kelompok-kelompok rentan dan Livelihood yang

terdesak; ketiga, menghimpun data yang dapat dianalisis, membuat

catatan kecenderungan-kecenderungan dan mengindentifikasi

indikator-indikator yang akan diamati, dan menyeleksi komunitas-

komunitas untuk melakukan program intervensi. Fokus intervensi

CARE adalah memberi perhatian khusus bagi penguatan kapabilitas

orang miskin agar mereka sendiri melindungi hidupnya. Oleh sebab itu

CARE menekankan pemberdayaan sebagai dimensi pendekatan yang

fundamental pada dua aras, yaitu aras pemberdayaan personal dan aras

pemberdayaan sosial. Aras pemberdayaan personal, bertujuan

mempertinggi rasa percaya diri dan keterampilan masyarakat sebagai

human capital, baik di lingkungan rumah tangga maupun komunitas.

Sedangkan aras pemberdayaan sosial, merupakan suatu usaha menuju

pendirian dan penguatan eksistensi, dan komunitas secara representatif

berbasis organisasi melalui pengembangan kapasitas anggotanya.

Page 37: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

55

Pemberdayaan tersebut dilakukan dengan cara merencanakan dan

melaksanakan aktivitas pembangunan berdasarkan prioritas pada

makna-makna partisipasi yang bersumber pada kebutuhan dengan

membangun prinsip dan struktur demokrasi yang representatif.

Penjelasan berikut dilanjutkan dengan melihat pendekatan DFID

terhadap Sustainable Livelihood.

Menurut Krantz pendekatan Sustainable Livelihood yang

dilakukan oleh DFID diadopsi dari sebuah hasil publikasi tahun 1997

oleh UK Government White Paper on International Development. DFID mendefinisikan Sustaianble Livelihood seperti yang

dikembangkan oleh IDS dengan modifikasi dan gagasan yang berasal

dari Chambers dan Conway, sebagai berikut:

A livelihood comprises the capabilities, assets (including both material and social resources) and activities required for a means of living. A livelihood is sustainable when it can cope with and recover from stresses and shocks and maintain or enhance its capabilities and assets both now and in the future, while not undermining the natural resource base.

Prinsip-prinsip utama pendekatan DFID terhadap

pembangunan Sustainable Livelihood, berfokus pada permasalahan

kemiskinan dan aktivitas pembangunan, sebagai berikut: pertama,

berpusat pada masyarakat. Yang dimaksud dengan berpusat pada

masyarakat ialah berusaha mengeliminasi kemiskinan secara

berkelanjutan, dengan dukungan eksternal yang juga berfokus pada

persoalan-persoalan masyarakat, memahami perbedaan kelompok

dalam masyarakat dan berkerja sama dengan mereka dalam cara-cara

yang serupa dengan strategi Livelihood mereka dengan memperhatikan

lingkungan sosial dan kemampuan beradaptasi; kedua, terlibat dan

bertanggung jawab. Artinya, orang miskin sendiri harus menjadi aktor

kunci dalam pengidentifikasian dan menunjukkan Livelihood sebagai

prioritasnya, sedangkan dari orang luar dibutuhkan sikap mendengar

dan merespon orang miskin; ketiga, usaha mengeliminasi kemiskinan

merupakan suatu tantangan yang sangat besar yang hanya akan diatasi

dengan bekerja di berbagai aras atau level, juga perlu ada kepastian

berkaitan dengan kebijakan dan aktivitas pembangunan di struktur

Page 38: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

56

lingkungan tingkat mikro serta di tingkat makro yang mendukung

orang-orang berproses membangun kemampuan mereka sendiri secara

efektif; keempat, bermitra. Hal ini mengandaikan ada hubungan kerja

sama kemitraan antara sektor publik dan sektor privat; kelima,

berkelanjutan. Maksudnya, aspek keberlanjutan harus nyata pada

empat aspek kunci, yaitu ekonomi, institusi, kehidupan sosial dan

lingkungan yang berkelanjutan; dan keenam, bersifat dinamis. Yang

dimaksud dengan sifat yang dinamis ialah adanya dukungan luar yang

menghargai dinamika strategi Livelihood secara alamiah, dengan

tanggapan yang fleksibel untuk mengubah situasi masyarakat dan

berkomitmen membangun dalam waktu yang lebih lama. Oleh karena

itu DFID beranggapan bahwa pendekatan Sustainable Livelihood

harus menjadi tiang penyangga komitmen eradikasi kemiskinan.

Persamaan dan Perbedaan UNDP, CARE dan DFID

Menurut Krantz, sulit membedakan secara tegas pendekatan-

pendekatan yang dikemukakan oleh UNDP, CARE dan DFID

sehubungan dengan Sustainable Livelihood karena ketiga-tiganya

menggunakan Sustainable Livelihood sebagai strategi untuk

mengurangi kemiskinan. Ketiga lembaga tersebut mendefinisikan apa

itu Sustainable Livelihood secara serupa. Menurut Krantz seharusnya

ketiga lembaga itu menjelaskan pandangan konseptual mereka tentang

sumber daya Livelihood secara lebih luas. Bukan hanya memasukan

aset fisik dan ekonomi tetapi juga aset manusia dan sosial dengan

menekankan kebutuhan manusia sebagai pertimbangan untuk

mempengaruhi kebijakan dan struktur ekonomi yang menolak

Livelihood orang miskin.

Berikut, akan dijelaskan cacatan Krantz berkaitan dengan

beberapa perbedaan pendekatan Sustainable Livelihood yang

digunakan UNDP, CARE dan DFID. Pertama, perbedaan dalam

pendekatan. Menurut Krantz UNDP dan CARE menggunakan

pendekatan Sustainable Livelihood untuk memfasilitasi perencanaan

program-program dan proyek yang konkret. Sedangkan DFID

Page 39: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

57

menggunakan pendekatan Sustainable Livelihood sebagai kerangka

dasar bagi analisis daripada sebagai prosedur suatu program.

Pendekatan tersebut juga digunakan berkaitan dengan pertimbangan

pemanfatan aset-aset dan proyek-proyek sebagai proses yang

berkelanjutan untuk membuat mereka lebih sensitif dan tanggap

terhadap kondisi dan kebutuhan-kebutuhan orang miskin. Jadi Krantz

berpendapat, Sustainable Livelihood merupakan suatu instrumen

untuk mempertinggi orientasi bagi orang miskin dengan berbagai jenis

aktivitas yang mendukung lembaga-lembaga tersebut, dan bukan

semata-mata merupakan proyek-proyek dan program-program. Kedua,

perbedaan pada tataran implementasi. Dukungan CARE terhadap

Livelihood rumah tangga yang aman pertama-tama terarah pada

tataran komunitas. UNDP dan DFID bekerja pada tataran komunitas

tetapi juga memperhatikan kebijakan lingkungan, bentuk-bentuk

ekonomi-makro dan legislasi, yang sama penting dengan pengurangan

kemiskinan secara efektif. Jadi bagi DFID, analisis Livelihood

masyarakat biasanya terarah pada tataran rumah tangga atau

komunitas, walaupun tujuannya bukan saja untuk mengidentifikasi

kesulitan-kesulitan atau peluang-peluang tetapi agar terjadi perbaikan

sistem pelayanan masyarakat pada tataran itu.

Menurut Krantz kesamaan pandangan dalam pendekatan dan

implementasi terhadap Sustainable Livelihood penting untuk

memahami bagaimana faktor-faktor institusional dan kebijakan-

kebijakan, contohnya mengenai Livelihood masyarakat di tingkat

lokal, yang seharusnya diangkat pada aras kebijakan yang lebih tinggi.

Dikatakannya pula dua aspek lain yang diperhatikan oleh Carney dan

lain-lain tetapi tidak didokumentasikan adalah faktor-faktor

lingkungan dan wilayah-wilayah khusus. UNDP secara khusus dan

DFID secara lebih luas memasukkan kriteria lingkungan dalam definisi

Sustainable Livelihood tetapi CARE menekankan Livelihood rumah

tangga yang aman melebihi Sustainable Livelihood dan lebih

memperhatikan kebutuhan-kebutuhan nafkah hidup sekarang ini

daripada akibat-akibat lingkungan jangka panjang. Sehingga perhatian

UNDP khususnya dalam pembangunan tekhnologi dan bidang sosial

serta investasi ekonomi, cenderung memperhatikan hal-hal tersebut

Page 40: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

58

untuk memperbaiki Livelihood masyarakat. Sesudah melihat

persamaan dan perbedaan di antara UNDP, CARE dan DFID, Krantz

menyatakan pendekatan Sustainable Livelihood mempunyai beberapa

kekuatan dan kelemahan.

Menurut hemat penulis, secara sosiologis komponen-

komponen Livelihood yang berisikan berbagai kapital atau modal

sebagaimana disebutkan Chambers dan Conway, Krantz dan lain-lain,

memang dilihat saling berhubungan dan memengaruhi tetapi dampak

dari hubungan-hubungan tersebut tidak dijelaskan. Dengan merujuk

pada apa yang dilihat dalam relasi antar-kapital menurut Bourdieu

(https://www.languageascapital.wordpress,com/2012/03/25/cultural-

capital-vs-economic-capital, diunduh 17 Juli 2016), ditemukan relasi-

relasi yang saling memengaruhi bahkan saling memberi makna antar-

modal-modal tersebut. Memang Bourdieu dalam tulisan ini tidak

berbicara langsung mengenai Livelihood tetapi ia mengelompokkan

berbagai komponen modal-modal dalam tiga bentuk modal atau capital yaitu, cultural capital (berbagai pengetahuan, keterampilan,

pendidikan, kedudukan seseorang dalam masyarakat), economy capital (uang dan aset-aset) dan social capital (anggota suatu kelompok,

persaudaraan, pengaruh dan dukungan hubungan berjejaring). Ketiga

kapital tersebut saling memengaruhi satu sama lain. Gambar berikut

menunjukkan relasi antar-kapital dimaksud.

1 2

3

Sumber: Bourdieu (1986), https://www.languageascapital.wordpress.com/2012/03/25/

cultural-capital-vs-economic-capital, diunduh 17 Juli 2016.

Gambar 2.4 Hubungan antar-Jenis-jenis Kapital Menurut Bourdieu

Economic Capital

Cultural Capital Social Capital

Page 41: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

59

Menurut Bourdieu, dalam relasi yang pertama, modal ekonomi

dapat ditransfer menjadi modal kultural. Misalnya, dengan

kemampuan finansial keluarga, orang tua mendukung anda

memperoleh pengetahuan dan keterampilan, merupakan suatu bantuan

yang menambah kapital kultural anda. Dengan kemampuan, status dan

gaji yang lebih tinggi, modal ekonomi anda bertambah. Sedangkan

melalui relasi yang kedua seperti status dan penghargaan dalam

masyarakat sebagai modal kultural sampai saat ini diterima sebagai

modal sosial. Dalam relasi yang ketiga, jejaring sosial dapat

dikembangkan sebagai peluang ekonomi yang kemudian dapat

diinvestasikan kembali sebagai modal kultural.

Sesudah berbicara mengenai environmental sustainability dan

social sustainability, pada bagian berikut akan diulas secara garis besar

praktek analisis Sustainable Livelihood, yang berisikan beberapa sub-

pokok bahasan.

Analisis Praktis Sustainable Livelihood

Uraian berikut ini merupakan bagian keempat dari tulisan

Chambers dan Conway tentang Livelihood dan Sustainable Livelihoods. Untuk menjelaskan konsep-konsep Livelihood dan

sustainability ke dalam kebijakan yang tepat dan efisien, perlu ada

suatu orientasi analisis dan metode yang tepat. Ada tiga hal yang akan

dicatat di sini, yakni penghargaan masa depan Livelihood, intensitas

peningkatan Livelihood, dan jejaring Livelihood berkelanjutan.

Nilai Masa Depan Livelihood

Perencanaan bagi masa depan Livelihood terletak pada

bagaimana melihat masa depan Livelihood sebagai sesuatu yang

bernilai. Dikatakan oleh Chambers dan Conway, dalam laporan The Brundtland (WCED 1987:8), definisi tentang sustainable development atau pembangunan berkelanjutan dibuat sebagai usaha untuk

memenuhi kebutuhan generasi saat ini dan generasi yang akan datang

Page 42: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

60

tanpa kompromi dan dengan demikian meningkatkan isu-isu keadilan

bagi generasi yang akan datang.

Dalam praktek pengambilan keputusan, generasi masa depan

dan Livelihood mereka tak berarti karena empat alasan: innumeracy,

undemocratic democracy, discounting dan uncertainty. Alasan

pertama, innumeracy. Inumerasi merupakan kegagalan manusia

menghargai apa saja yang ada di dalam kehidupan. Dalam waktu

singkat secara masif akan terjadi bencana global di mana manusia gagal

diorganisir dan lambat atau cepat kita yang hidup sekarang tidak

diperhitungkan oleh generasi yang akan datang; Alasan kedua,

undemocratic democracy. Ketiadaan demokrasi merupakan

representasi masyarakat di masa depan. Intere hanya dapat

direpresentasi melalui latihan yang bersifat imaginasi kita, altruisme,

pengendalian dan tanggung jawab pekerjaan; Alasan ketiga,

discounting. Discounting diartikan sebagai masa depan yang kurang

dihargai atau masa depan yang diabaikan. Dicontohkannya, ahli-ahli

ekonomi mengabaikan tatanan masa depan untuk memaksimalkan

jejaring kerja sama yang bernilai saat ini; para politisi mengabaikan

tatanan masa depan untuk memenangkan pemungutan suara yang

dilakukan setiap lima tahun sekali; dan pebisnis mengabaikan tatanan

masa depan untuk menciptakan keuntungan pada saat ini dan untuk

membayar kembali pinjaman-pinjaman para pendukung; Alasan

keempat, uncertainty. Yang dimaksud dengan uncertainty adalah

ketidakmampuan untuk memprediksi masa depan. Dikatakannya,

innumeracy, undemocratic democracy, discounting and uncertainty merupakan kekeliruan berpikir pandangan jangka pendek. Oleh sebab

itu keempat aspek yang disebutkan ini merupakan alasan-alasan yang

kurang tepat. Sebaliknya nilai-nilai yang terintegrasi melalui sistem

demokrasi yang baik dan adil, merupakan nilai-nilai yang penting

untuk masa depan Livelihood berkelanjutan daripada hanya

memikirkan kepentingan saat ini, karena setiap generasi mempunyai

kepentingan dan interes yang berbeda. Seandainya kita sekarang ini

mempunyai pandangan yang lebih menyeluruh berkaitan dengan

perubahan sosial, ekologi dan tekonologi yang begitu cepat, prediksi

Page 43: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

61

kita tentang masa depan tentu akan lebih baik, dipengaruhi pula oleh

sistem komunikasi masa yang baru.

Intensitas Peningkatan Livelihood

Di dalam bagian ini Chambers dan Conway membahas

beberapa sub-tema yaitu pesimisme profesional dan optimisme yang

praktis. Berkaitan dengan sub-tema optimisme yang praktis, dibahas

juga perihal produktivitas dan intensitas penggunaan sumber-sumber

kehidupan serta sinergi ekonomi skala kecil.

Menurut Chambers dan Conway, ahli ekonomi dan ahli

lingkungan, sering memunculkan masalah konseptual tentang

kekayaan alam yang tersedia. Para ahli tersebut cenderung berpikir

mengenai adanya sumber daya lingkungan yang beranekaragam untuk

digunakan. Cara berpikir ini bisa dibenarkan untuk beberapa sumber

daya, seperti fosil minyak yang terbarukan tetapi bukan untuk yang

lainnya seperti, mineral-mineral. Selain itu dikatakannya bahwa kita

sulit mengurangi masalah-masalah seperti, pertumbuhan penduduk,

kerakusan manusia dan ketiadaan sumber daya hidup utama secara

masif dan global. Karena pendekatan yang negatif berfokus hanya pada

masalah-masalah dan cenderung untuk memenuhi kepentingan diri

dan keliru melihat peluang-peluang yang ada. Di balik itu terdapat

studi-studi yang lebih optimis menunjukkan apa yang bisa dibuat oleh

orang miskin. Dari sisi pengertian sumber daya yang produktif dan

intensitas Livelihood, praktek-praktek orang miskin dan petani kecil

serta para tunalahan secara aktual sebenarnya lebih berpotensi

memengaruhi Sustainable Livelihood. Maka ada dua hal yang

berpotensi untuk dikembangkan, yaitu mengembangkan intensitas dan

produktivitas sumber daya kehidupan serta bersinergi secara ekonomi

skala kecil.

Chambers dan Conway juga berpendapat bahwa sistem

pertanian yang intensif secara sinergis dalam skala kecil dapat

dikembangkan di dalam lingkungan hidup dengan keterbatasan-

keterbatasan bio-ekonomi. Berikut, dibuat suatu penjelasan singkat

mengenai apa yang dimaksud dengan jejaring Livelihood

Page 44: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

62

berkelanjutan. Menurut kedua pakar Livelihood tersebut baik konsep

kesejahteraan maupun konsep deprivasi biasanya ditetapkan

berdasarkan ukuran-ukuran tertentu seperti pendapatan atau

konsumsi. Dengan demikian deprivasi diartikan sebagai kemiskinan

karena ukuran yang digunakan adalah unsur pendapatan atau

konsumsi yang rendah. Oleh sebab itu dikatakan ide-ide tentang

jabatan, pekerjaan dan lapangan kerja merupakan hasil

pengidentifikasian kategori-kategori dengan latar belakang situasi

perkotaan dan dunia industri yang relatif berbeda dengan aktivitas

Livelihood orang miskin pedesaan.

Sebaliknya, Livelihood dan Sustainable Livelihood merupakan

konsep yang berkembang dari penelitian lapangan yang lebih terbuka

daripada survei-survei yang tertutup dan bersifat statistik. Menurut

pengamatan keduanya, realitas empiris yang dilihat bukanlah

merupakan sesuatu yang simpel. Untuk menyusun kembali definsi,

tentang Sustainable Livelihood, di dalamnya tidak hanya termasuk

pendapatan dan konsumsi-konsumsi tetapi juga kemungkinan untuk

menangani tekanan (stress) dan goncangan (shock) serta untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Sebagai suatu definisi

yang lebih luas, Sustainable Livelihood meliputi juga environmental sustainability dan pengaruh-pengaruh yang baik terhadap aspek-aspek

lain Livelihood. Sustainable Livelihood mempunyai berbagai dimensi

dan hubungan sebab akibat, berbeda-beda bentuk di dalam lingkungan

yang berbeda dengan orang yang berbeda-beda pula.

Optimisme Praktis Livelihood

Pandangan yang lebih optimis berasal dari studi tentang apa

yang dibuat orang miskin. Sekalipun dalam produktivitas sumber-

sumber daya penghidupan dan peningkatan Livelihood yang terbatas,

praktek-praktek orang miskin dan petani-petani kecil serta juga orang-

orang yang tidak mempunyai tanah, secara aktual, lebih besar potensi

pengaruhnya terhadap Livelihood berkelanjutan daripada para

profesional yang banyak diakui. Dengan begitu muncul pertanyaan,

bagaimana, dari mana sumber-sumber penghidupan yang memadai dan

Livelihood yang aman, berkelanjutan dan meningkat diperoleh?

Page 45: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

63

Pertanyaan tersebut ditanggapi dengan memperhatikan dua

aspek berikut, yakni intensitas penggunaan dan produktivitas sumber-

sumber penghidupan serta sinergi ekonomi skala kecil. Aspek pertama,

intensitas penggunaan dan produktivitas sumber-sumber penghidupan.

Potensi-potensi sumber daya Livelihood yang digunakan biasanya

diremehkan. Ada dua domain peremehan yang dibuat. Pertama, dalam

skala petani kecil, dunia pertanian sekarang dipahami sebagai bidang

kegiatan yang kompleks, berbeda dan beresiko, seperti kebanyakan

negara di bagian Selatan, produktivitas bio-ekonomi sebagai

peningkatan dan stabilisasi bukan melalui penyederhaan dengan paket

bantuan yang besar tetapi dengan berbagai jejaring usaha yang

kompleks dan berbeda. Maka meningkatkan keanekaragaman hasil

melalui, agroforestry, aquaculture, memotong dan menjual makanan

serta ternak di kedai, penciptaan dan perlindungan lingkungan hidup

yang kecil sebagai pusat kesuburan, penghasil air yang sehat dan

pekerjaan-pekerjaan lainnya, merupakan usaha-usaha yang dapat

dikembangkan sebagai tanggung jawab Livelihood yang intensif

terhadap kemungkinan resiko, dibandingkan dengan mengandalkan

tanah yang tersedia. Aspek kedua, sinergi ekonomi skala kecil. Temuan

(finding) analogi ekologi, degradasi sumber-sumber daya kehidupan

yang saat ini menjadi potensi Livelihood. Secara paradox, degradasi

sering melindungi sumber-sumber daya kehidupan bagi orang miskin.

Sebab tanah yang menyusut, gundul, longsor, berair, gundul dimakan

ternak, banjir atau tumbuh tidak berkelanjutan, itu mempunyai nilai

yang rendah. Tapi sekali lagi, ketika praktik menajemen berubah,

potensi bio-ekonomi yang luar biasa dapat direalisasi. Sejumlah tanah

berpotensi seperti di India seluas 69 juta hektare, dapat ditumbuhi

pepohonan yang memproduksi biomas secara dramatis. Hal ini

menunjukkan perkembangan luar biasa saat ini karena produksi

biomas bertambah sepuluh kali lipat daripada produksi sebelumnya.

Sejak itu Livelihood menjadi intensif, mengurangi degradasi hutan, dan

menyediakan Livelihood berkelanjutan untuk jutaan penduduk miskin.

Page 46: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

64

Sinergi Ekonomi Skala Kecil

Menurut Chambers dan Conway, dari suatu studi di pedesaan

Bangladesh pada tahun 1990 ditemukan bahwa hanya 37% pendapatan

rumah tangga berasal dari kegiatan pertanian, 44% pendapatan berasal

dari buruh termasuk buruh tani dan 19% berasal dari bisnis,

perbengkelan dan sumber-sumber lain. Kasus ini memperlihatkan

tingkat kehidupan ekonomi yang rendah, padahal ada banyak peluang

yang dapat digali pada tingkat lokal. Menurut keduanya, pengalaman

ini menunjukkan bahwa sesungguhnya dapat dilakukan sinergi melalui

resirkulasi pendapatan.

Untuk mengoptimalkan sinergi, muncul sejumlah pertanyaan

terkait dengan pasar, penduduk yang berpenghasilan, biaya teknologi,

lisensi yang diakui dan pembatasan-pembatasan (restriksi) serta

struktur kekuatan lokal. Selain itu untuk mengoptimalkan sinergi

resirkulasi pendapatan sebagai suatu isu, perlu dikonfrontasikan secara

intensif sebagai perhatian pokok, khususnya di wilayah dunia dengan

permasalahan tekanan penduduk seperti yang terjadi di Bangladesh.

Maka hipotesis yang dapat dibuat ialah resirkulasi dapat dilakukan

melalui pembelian dan persediaan barang-barang setempat, termasuk

berbagai pelayanan jasa, akan membuat Livelihood lebih intensif

daripada mengimpor berbagai kebutuhan dari luar. Keduanya juga

berpendapat bahwa untuk mengembangkan sistem pertanian yang

kompleks secara lebih intensif, dalam rangka mengembangkan sinergi

ekonomi skala kecil melalui pengembangan bio-ekonomi perlu

dilakukan juga adopsi sistem teknologi. Sesudah berbicara mengenai

sinergi ekonomi skala kecil akan dibahas juga masalah jejering dalam

mengembangkan Livelihood.

Jejaring Sustainable Livelihood

Menurut Chambers dan Conway, perlu dipertimbangkan

kembali definisi Sustainable Livelihood, karena bukan hanya terdapat

aspek pendapatan dan konsumsi tetapi juga kemampuan untuk

menangani tekanan dan goncagnan serta pemenuhan kebutuhan-

kebutuhan dasar manusia. Definisi yang lebih luas memasukkan di

Page 47: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

65

dalamnya lingkungan berkelanjutan dan akibat-akibat lain yang

bermanfaat dari Livelihood.

Sustainable Livelihood mempunyai banyak dimensi dan sebab-

sebab, berbeda bentuk bagi orang yang berbeda dalam lingkungan yang

berbeda. Selanjutnya keduanya mengusulkan perlunya jejaring

Sustainable Livelihood sebagai suatu kriteria yang dapat digabungkan

di dalam definisi tersebut, termasuk sejumlah ukuran yang berkaitan

dengan lingkungan alam dan sosial yang berkelanjutan. Selanjutnya

berdasarkan ukuran-ukuran tersebut, dikemukakan dua konsep praktis

yaitu akibat jejaring Sustainable Livelihood dan intensitas jejaring

Sustainable Livelihood. Yang dimaksud dengan akibat jejaring

Sustainable Livelihood adalah jejaring yang memadai dan Sustainable Livelihood yang dihasilkan serta didukung oleh Livelihood itu sendiri

atau oleh perusahaan-perusahaan, proyek-proyek, program-program

atau kebijakan, atau oleh sumber-sumber penghidupan lokal atau

melalui kelompok dan sistem sosial, ekonomi dan politik. Sedangkan

intensitas jejaring Sustainable Livelihood berkaitan dengan hubungan

jejaring yang memadai dan Sustainable Livelihood dilihat sebagai

pembilang dan penyebut berkaitan dengan Livelihood yang lain atau

sebagai suatu perusahaan, proyek, program atau kebijakan, atau

sebagai sumber penghidupan lokal atau kelompok dan sistem sosial,

ekonomi dan politik.

Selanjutnya, penilaian terhadap efek-efek jejaring Sustainable Livelihood, dapat mengacu pada tiga pokok yaitu, efek lingkungan

berkelanjutan, efek kehidupan sosial berkelanjutan dan efek jejaring.

Masalahnya adalah sulit menilai pengaruh atau dampak dari aktivitas

Livelihood berkaitan dengan aset-aset yang tidak kelihatan. Pertama.

Efek lingkungan berkelanjutan. Salah satu prinsip pokok di bagian ini

ialah penilaian tentang pentingnya lingkungan setempat berkelanjutan

bagi orang-orang kaya baik di Utara maupun di Selatan. Sedangkan

bagi orang miskin di Selatan yang lebih penting adalah perihal keadilan

tanpa adanya kepentingan jejaring yang menawarkan perbaikan

pendapatan per kapita mereka yang menurun. Kedua, Efek sosial

berkelanjutan. Berkaitan dengan efek sosial berkelanjutan, unsur

Page 48: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

66

kapabilitas Livelihood merupakan kunci dari kehidupan sosial

berkelanjutan dalam Livelihood. Pendidikan, kesehatan dan

kompetensi fisik sudah jelas merupakan unsur penting dalam

kehidupan sosial berkelanjutan walaupun biasanya keterampilan

sebagai aspek yang utama ditemukan sebagai kendala dalam

mengembangkan Livelihood. Kehidupan sosial yang berkelanjutan juga

terkait dengan jejaring aset-aset, khususnya aset yang kelihatan dan

mudah diindentifikasi. Selain itu juga kehidupan sosial berkelanjutan

antargenerasi mempunyai kaitan kuat dengan aset-aset yang dapat

digunakan sebagai sumber pendapatan secara berkelanjutan. Ketiga,

Efek-efek jejaring. Hal positif yang diperoleh dari efek jejaring ialah

lingkungan berkelanjutan, kehidupan sosial berkelanjutan, Livelihood

yang memadai, Livelihood berkelanjutan. Terlepas dari berbagai efek

berjejaring, studi-studi yang muncul kemudian memperlihatkan secara

sosial, suatu kelompok masyarakat dapat mengembangkan hubungan

berjejaring yang lebih luas sebagai social capital (Social Capital and Our Commnunity, A Publicatin of The University of Minnesota Extension Center for Community Vitality, http://www.extension.

umn.edu/community/civic-engagement/docs/social-capital-

comunnity.pdf, diunduh 18 Maret 2014).) Dalam sumber tersebut

dikatakan penguatan relasi sosial dapat dilakukan melalui tiga bentuk

hubungan berjejaring, yaitu bonding, bridging dan linking. Bonding networks terjadi terbatas pada keluarga, teman dan tetangga. Bridging networks, berlangsung dengan orang-orang berbeda dengan kita tetapi

berada dalam satu organisasi, pekerjaan atau asosiasi. Sedangakan

lingking networks, terjadi melalui organisasi, lembaga swadaya

masyarakat lokal dan pemerintah serta perbankan yang menandai

adanya relasi-relasi yang lebih luas. Lembaga-lembaga tersebut

biasanya mempunyai sumber-sumber penghidupan dan berada di luar

komunitas. Menurut hemat penulis, jejaring kerja yang lebih luas tentu

berdampak bukan saja pada Livelihood yang diusahakan secara

berkelanjutan tetapi juga berdampak mengembangkan kapabilitas

seseorang atau komunitas secara berkelanjutan.

Terkait dengan tawaran analisis Chambers dan Conway dalam

mengembangkan Sustainable Livelihood di tingkat pedesaan, dari

Page 49: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

67

pengalaman pelayanan masyarakat di Aceh dan Nias, Saragih, Lassa

dan Ramli (2007), mengingatkan beberapa hal. Pertama, dikatakan

bahwa konsep inti kerangka Sustainable Livelihood, mengandung ciri-

ciri, berpusat pada masyarakat, bersifat holistik, dinamis, membangun

kapasitas lokal, mempunyai hubungan makro-mikro dan

keberlanjutan. Kedua, Dimensi keberlanjutan berisikan keberlanjutan

lingkungan dan ekologis, keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial

dan keberlanjutan kelembagaan. Yang menarik ialah kerangka

Sustainable Livelihood ini nampaknya memberikan perhatian pada

aspek keberlanjutan kelembagaan setempat yakni struktur-struktur

dan proses-proses lokal yang sudah ada agar dapat terus berfungsi

terhadap pengembangan Livelihood masyarakat dalam jangka panjang.

Pada bagian berikut ini akan diuraikan secara singkat

perspektif collective action sebagai acuan untuk menganalisis sikap

masyarakat atau penduduk setempat berkaitan dengan perjuangan

mereka mempertahankan bahkan mengembangkan Livelihood secara

berkelanjutan. Karena masyarakat memperjuangkan Livelihood tidak

dilakukan secara individual tetapi dilakukan secara kolektif.

Perspektif Colletive Action

Pada bagian ini akan dibicarakan mengenai collective action

atau tindakan kolektif, akan dan dilanjutkan membahas gerakan sosial

(social movement) sebagai wujud konkrit collective action Kemudian

akan dilanjutkan dengan menguraikan resistensi sebagai ekspresi

sebuah social movement sebagai collective action kelompok

masyarakat.

Collective Action

Apa itu collective action dan bagiamana ciri-cirinya? Mancur

Olson (2002) penggagas perspektif colletive action berpendapat, setiap

organisasi atau kelompok mempunyai harapan dan interes atau

kepentingan masing-masing. Sebagai contoh disebutkannya beberapa

kelompok organisasi seperti, serikat kerja, kelompok petani, kelompok

Page 50: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

68

kartel, para pemegang saham, termasuk warga negara, mempunyai

harapan dan interes yang berbeda satu dengan yang lain.

Menurut Olson, serikat kerja mempunyai harapan dan

kepentingan berkaitan dengan gaji yang tinggi, petani mempunyai

harapan dan interes berkaitan dengan aturan-aturan dan berpihak pada

mereka. Kelompok kartel mempunyai harapan dan interes berkaitan

dengan harga-harga barang yang tinggi, para pemegang saham

mempunyai harapan dan interes tentang dividen dan harga yang

menguntungkan. Sedangkan warga negara mempunyai harapan dan

interes terhadap adanya pemerintahan yang baik. Singkatnya,

perhatian Olson ada pada kelompok-kelompok yang terorganisir dan

yang mempunyai harapan serta interes yang muncul dari individu-

individu kemudian bermuara pada kepentingan bersama sebagai

kelompok. Menurut Olson, kajiannya dilatarbelakangi oleh

pandangannya sebagai seorang ahli ekonomi tetapi seluruh analisa

yang dilakukannya dapat dikaitkan dengan kepentingan baik organisasi

sosial maupun organisasi politik.

Selain Olson, Vanni Fransesco (2014) juga berbicara mengenai

collective action tetapi berkaitan dengan dunia pertanian. Ia mengutip

beberapa penulis lain yang merumuskan peran colletive action sebagai

tindakan individu-individu dalam kelompok untuk berbagai

kepedulian bersama sebagai kelompok. Pengertian collective action yang dicatat Vanni ialah keterlibatan suatu kelompok masyarakat yang

berbagi perhatian, tindakan-tindakan kebersamaan yang bermuara

pada kebaikan bersama. Menurut Vanni dalam kasus lingkungan

pertanian perlu dibedakan collective action yang dibangun oleh suatu

organisasi yang dikontrol langsung oleh petani-petani itu sendiri dan

yang didukung oleh penguasa baik nasional maupun regional. Dalam

perspektif ini Vanni menyatakan 2 (dua) ciri atau tipe collective action

sebagaimana dirujuk pada Davies et. al (2004). Pertama, tipe kerja sama

(cooperation). Tipe ini berfokus pada kerja sama dari bawah ke atas,

sehingga tindakan kolektif dilihat sebagai petani untuk petani (Bdk.

Bandiera, Barankay dan Rasul, 2005). Dikatakannya dalam tipe ini

biasanya ada yang menerima namun ada pula yang menolak dukungan

Page 51: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

69

pemerintah; kedua, koordinasi (coordination). Pada tipe ini collective action atau tindakan kolektif berasal dari atas ke bawah, melalui agen-

agen atau perwakilan-perwakilan yang memimpin tindakan-tindakan

kolektif. Pendekatan ini dipromosi melalui kebijakan pemerintah

tetapi biasanya tidak diterima oleh sejumlah pendukung, sekalipun ada

pula yang menerima dukungan pemerintah baik nasional maupun

lokal. Dikatakannya, pengaruh kategorisasi ini terletak pada perbedaan

strategi perjuangan di tingkat pemerintahan. Dalam kasus-kasus

tertentu institusi mempunyai peran vital membagi, menciptakan dan

mengkoordinasi tindakan-tindakan di tingkat lokal.

Selanjutnya dikatakan juga oleh Vanni, hubungan sosial dalam

kelompok merupakan “social capital” karena dalam hubungan-

hubungan tersebut orang saling percaya, ada norma-norma, hubungan

bersifat timbal balik, ada penghargaan dan harapan, ada nilai-nilai,

sebagai suatu budaya, ada informasi dan pengetahuan, ada asosiasi-

asosiasi dan kelompok formal, ada institusi, aturan-aturan dan sanksi-

sanksi. Menurutnya keberhasilan strategi lokal selalu terkait dengan

institusi lokal yang kuat, di dalamnya ada aktivitas ekonomi, adanya

human capital (sumber pengetahuan), social capital (kepercayaan dan

hubungan timbal balik dan relasi-relasi sosial lain), political capital (kapasitas berpolitik). Secara khusus Vanni menekankan peran social capital dalam colletive action. Menurut Vanni, peran social capital penting karena berhubungan dengan pengaturan sumber daya kolektif

yakni: a. saling percaya dalam berelasi; b. terjadi pertukaran dalam

hubungan timbal balik; c. adanya aturan bersama, norma-norma dan

sanksi-sanksi; d. ada hubungan berjejaring dan berkelompok.

Dijelaskannya, unsur kepercayaan dalam berelasi penting karena

memungkinkan terjadinya kerja sama sebagai tindakan kolektif yang

dapat bertahan lama sebagai tradisi dalam suatu masyarakat dan

organisasi. Karena kepercayaan mempunyai hubungan yang amat kuat

dengan reputasi sosial yang ditandai oleh penghargaan dan hubungan

yang bersifat timbal balik. Kemudian sikap saling percaya dan

menghargai menjadi dasar kerja sama, dalam waktu yang lama. Namun

keberhasilan collective action juga bergantung pada nilai-nilai dan

norma-norma bersama dan sanksi dengan kriteria yang lebih terbuka

Page 52: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

70

sesuai kepentingan kelompok. Akhirnya Vanni menyatakan terkait

dengan jejaring dan kelompok-kelompok, ada tiga jenis hubungan yang

dikembangkan, yaitu bonding, bridging dan lingking networking. Jadi

konteks analisis dalam tulisan ini dihubungkan dengan peranan social capital bagi keberhasilan colletive action, secara khusus perhatian

diberikan kepada semua aspek social capital berkenaan dengan dua

jenis interaksi, yaitu, pertama, interaksi di dalam kelompok komunitas

petani; kedua interaksi antara petani-petani dan stakeholder desa

setempat.

Selain Vanni, Schutz dan Sandy (2011) mengawali tulisan

mereka tentang collective action, berdasarkan latar belakang situasi

masyarakat Amerika. Studi Schutz dan Sandy ini dibuat dengan fokus

pada colletive action komunitas yang terorganisasi. Dalam studi

tersebut keduanya kemudian membuat perbedaan antara komunitas

yang terorganisasi dan komunitas yang tidak terorganisasi. Pembedaan

komunitas tersebut dirujuk pada gagasan Saul Alinsky tentang

komunitas yang terorganisasi atau community organizing tahun 1930.

Yang dimaksud dengan komunitas yang terorganisasi sebagai institusi

ialah komunitas yang dapat bertahan lama dan mengembangkan

kepemimpinan lokal, sebagai komunitas yang bersatu, mempunyai

kekuatan kolektif untuk menolak tekanan yang ada. Menurut Schutz

dan Sandy serta Alinsky menyatakan bahwa komunitas yang

terorganisasi mempunyai peranan, pertama sebagai organisasi yang

reformis dan bukan revolusioner sebagaimana ada dalam paham kaum

sosialis. Kedua, kelompok atau komunitas yang terorganisasi sebagai

institusi sosial, berperan untuk memengaruhi, bukan untuk merusak

kehidupan yang mengalami tekanan. Schutz dan Sandy, menjelaskan

maksud pernyataan-pernyataan tentang peranan komunitas yang

terorganisasi di atas dengan membuat ilustrasi merujuk pada

pernyataan Alinsky, yang menggunakan kata “perang” antara orang

“berpunya” (the “have”) dan orang yang “tidak berpunya” (the “have not”). Pernyataan atau ungkapan tersebut secara prinsipil tidak

dimaksudkan sebagai kekerasan. Menurut keduanya, Alinsky melihat

komunitas yang terorganisasi berkaitan dengan kepentingan urusan

ekonomi. Padahal dalam pengalaman kelompok atau komunitas yang

Page 53: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

71

terorganisasi biasanya ada kritik-kritik yang keras terkait juga dengan

pelayanan sosial bagi masyarakat luas. Karena itu keduanya mengambil

sikap untuk memikirkan ulang pandangan Alinsky tersebut tentang

community organizing di atas. Schutz dan Sandy kemudian

menjelaskan, community organizing dapat dipertahankan dengan cara,

menambah anggota, menyelenggarakan pendidikan dan latihan

kepemimpinan, berusaha mencapai suatu reputasi, mengumpulkan

uang untuk menyokong kepentingan infrastruktur dan staf,

menunjukkan kapasitas mereka untuk memperoleh jumlah orang yang

lebih banyak dari luar untuk aksi-aksi publik. Karena itu keduanya

menyuguhkan sejumlah batasan mengenai komunitas yang

terorganisasi. Komunitas yang terorganisasi mempunyai tanda-tanda:

terstruktur, mempunyai pemimpin kunci, mempunyai kepercayaan

yang mendalam dan komitmen yang tinggi. Sebaliknya, komunitas

yang tidak terorganisasi menurut keduanya, ditandai oleh aktivitas

tanpa strategi dan target yang terpadu, tanpa suatu proses

pemeliharaan kekuatan yang lebih luas untuk suatu periode, dan tanpa

suatu struktur institusi yang menghimpun kebersamaan masyarakat

dan tanpa mobilisasi orang. Namun masyarakat pada umumnya

menyukai para aktivis kelompok ini sebab mereka biasanya

menggalang semangat untuk melakukan suatu tindakan sosial

(collective action), yang pada kenyataan tidak mengancam siapapun.

Namun beberapa hal dapat dipelajari antara lain tentang apa yang

diperhatikan Schutz dan Sandy (2011, 257-268) tentang taktik sebagai

collective action. Keduanya mengartikan taktik sebagai, anything that puts pressure on a target (suatu cara memberikan tekanan untuk

sebuah target). Keduanya membuat kriteria atau ciri-ciri suatu taktik

yang baik sebagai berikut: a. memberikan tekanan pada suatu target; b.

ada suatu permintaan khusus; c. mengeluarkan pengalaman sebuah

target; d. berdasarkan pengalaman anggota-anggotanya sendiri; e.

menerima lebih banyak orang masuk di dalam; f. mendidik anggota-

anggota dan mengembangkan kepemimpinan: g. menyenangkan,

menarik hati, terdidik..

Selain itu Oliver, Marwell dan Teixeira (1985) menyatakan

bahwa, colletive action dapat didukung dengan “kritik massa”. Kritik

Page 54: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

72

massa sebagai collective action secara tipikal berbeda antara satu

kelompok dengan kelompok lain. Kritik massa sewaktu-waktu

membawa kebaikan namun di saat yang lain dapat menyebabkan

kerugian secara luas bagi orang lain yang tidak terlibat apa-apa.

Sekalipun begitu, ketiganya menyatakan konsep kritik massa mendapat

tempat sentral dalam teori collective action.

Gerakan Sosial (Social Movement)

Porta Donatella Della dan Diani Mario (2006) menyatakan,

gerakan sosial (social movement) sebagai proses sosial, terdiri dari

mekanisme-mekanisme kegiatan dan tindakan kolektif para anggota

suatu kelompok gerakan sosial, yang merupakan: a. relasi-relasi yang

teridentifikasi mengandung unsur pertikaian. Collective action yang

konfliktual ditandai oleh relasi yang bersifat oposisi satu kelompok

terhadap pihak lain. Hubungan yang bersifat oposisional bisa terkait

dengan aspek politik, ekonomi dan kultural serta proses relasi tersebut

menghasilkan penilaian negatif terhadap pihak lain; b. ada keterkaitan

dukungan jejaring informal. Proses gerakan sosial (social movement) mengandung koordinasi, regulasi dan perumusan strategi negosiasi

sebagai tindakan kolektif gerakan organisasi secara menyeluruh; c.

indentitas kolektif yang jelas. Gerakan sosial bukan hanya berkaitan

dengan jumlah peristiwa dan isu-isu atau peristiwa khusus yang

diprotes tapi juga untuk membangun identitas kolektif. Di dalam

gerakan sosial (social movement), kriteria keanggotaan sebenarnya

bergantung pada dukungan timbal balik antara aktor-aktor. Ada

berbagai bentuk gerakan sosial seperti dicacat Porta dan Diani (2006,

128-131), dari studi yang dilakukan oleh Carroll dan Ratner tahun

1996. Gerakan sosial bisa berbentuk gerakan buruh (pekerja), kaum

urban (anti kemiskinan), gay dan lesbian, feminisme, gerakan aktivis

lingkungan hidup, gerakan perdamaian dan gerakan penduduk asli.

Studi tersebut menyimpulkan bahwa latar belakang gerakan sosial

tersebut ada tiga yaitu, berlatar belakang perspektif ekonomi politik,

perspektif identitas dan perspektif liberal. Dari studi tersebut

dirumuskan fungsi gerakan sosial, pertama, sebagai gerakan yang

memfasilitasi perluasan infomasi untuk mempengaruhi sebuah proses

Page 55: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

73

pengambilan keputusan; dan kedua, sebagai gerakan yang

berkontribusi menumbuhkan sikap saling percaya di antara anggota

gerakan sosial tersebut; ketiga, fungsi lain lagi ialah, fungsi mobilisasi,

yang dilakukan melalui jejaring kelompok pertemanan untuk

membentuk opini. Menurut Porta dan Diani, untuk memahami social movement, perlu memperhatikan latar belakang sejarah munculnya

gerakan tersebut dan lingkungan di mana gerakan itu bertumbuh dan

berkembang. Diani [dalam, Diani & McAdam, (Editor), 2003, 301-

306}, secara lebih singkat merumuskan social movement, sebagai

jejaring interaksi-interaksi informal antara berbagai individu,

kelompok-kelompok atau asosiasi-asosiasi, yang bergiat, berbagai

dalam konflik politik atau kultural berbasis pada identitas kolektif.

Perbedaan kedua rumusan social movement tersebut, dapat dikatakan

sebagai berikut, Porta dan Diani melihatnya sebagai suatu proses sosial

yang lebih luas, sedangkan Diani sendiri melihatnya lebih terbatas

sebagai interaksi sosial yang terjadi melalui jejaring interaksi informal.

Menurut hemat penulis, social movement perlu dilihat sebagai proses

sosial, karena di dalamnya ada aktor-aktor, mekanisme-mekanisme dan

struktur-struktur yang memengaruhi keberlangsungan proses sosial

tersebut.

Selanjutnya, dalam perspektif sosiologis, Natan Keirns at.al.,

(2013) merumuskan social movement, sebagai kegiatan

pengorganisasian kelompok yang bermaksud meraih tujuan bersama.

Kemudian, Keirns, at.al., membedakan beberapa pandangan tentang

social movement seperti perspektif fungsional, konflik dan interaksi

simbolik. Perspektif fungsional melihat gerakan sosial sebagai gerakan

yang berfungsi membangun masyarakat agar tetap eksis. Perspektif

konflik melihat gerakan sosial sebagai sistem relasi sosial yang inheren

mengandung konflik, sebagai pengendali perubahan. Sedangkan

perspektif interaksionisme simbolik melihat gerakan sosial sebagai

sesuatu yang mengandung simbol penuh makna. Selain menjelaskan

social movement, Keirns, at.al., juga merumuskan apa itu perilaku

kolektif. Perilaku kolektif diartikannya sebagai aktivitas sejumlah

orang yang sibuk bersama-sama secara sukarela untuk mencapai tujuan

tertentu. Keirns dan kawan-kawan membedakan empat bentuk

Page 56: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

74

perilaku kolektif yaitu, crowd, mass, public dan social movement. Berikut penjelasan singkat mengenai empat bentuk perilaku kolektif:

pertama, crowd. Contoh crowd, kelompok orang yang menonton

konser atau yang bermain game atau melakukan ritual keagamaan;

kedua, mass. Mass atau massa dicontohkannya seperti jumlah orang

banyak, yang mempunyai kepentingan bersama; ketiga, public.

Misalnya, kelompok yang tidak terorganisasi, melebur dalam kelompok

untuk sharing ide, seperti kelompok orang-orang dari partai politik;

keempat, social movement. Kelompok sosial merupakan kelompok

yang terorganisasi dengan tujuan tertentu, berusaha bekerja keras

untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan menurut jenis atau

tipenya, social movement dibedakan sebagai berikut: a. Reform movement: gerakan sosial yang ingin memperbaharui struktur sosial; b.

Revolutionary movement: gerakan yang ingin mengubah seluruh aspek

kehidupan masyarakat; c. Religious movement: gerakan yang ingin

menumbuhkan spirit keagamaan dalam diri individu kelompok

keagamaannya. d. Alternatif movement: gerakan yang berfokus pada

perubahan diri, keyakinan dan perilaku. e. Resistance movement: kelompok yang menolak dan ingin mencegah atau mengembalikan

struktur sosial yang berubah dan lebih pro-life.

Resistensi

Hasil studi Scott (1985) tentang pengalaman resistensi

penduduk di Sedaka Malaysia sebagai petani miskin terhadap orang

kaya, penguasa lahan-lahan perkebunan, muncul dalam berbagai

bentuk. Kasus Sedaka memperlihatkan bahwa resistensi petani

pedesaan yang miskin merupakan simbol perlawanan terhadap

penguasa atau orang kaya. Resistensi di Sedaka bukan merupakan suatu

bentuk sejarah konflik di pedesaan. Resistensi di Sedaka terjadi tanpa

kerusuhan, tanpa demonstrasi, tanpa pembakaran rumah, tanpa

tindakan organisasi sosial para petani dan tanpa kekerasan terbuka.

Resistensi yang ditemukan di sini tidak berkaitan dengan gerakan-

gerakan politik, ideologi atau kader-kader revolusi yang besar.

Singkatnya bentuk perjuangan hampir selalu murni dalam situasi

pedesaan. Namun demikian bentuk resistensi ini lebih permanen,

Page 57: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

75

berkelanjutan, sebagai strategi sehari-hari dari kelas bawah pedesaan

yang berada di bawah kondisi yang sulit.

Bentuk-bentuk resistensi di Sedaka yang rutin berlangsung

disebut Scott bagaikan senjata yang lemah, terjadi melalui berbagai

sikap seperti penipuan, pembelotan, pencopetan, bersikap pura-pura,

berlaku bodoh, memfitnah, melakukan sesuatu secara keliru, sabotase.

Perspektif lain tentang resistensi kemudian muncul dari

penjelasan Stellan Vinhagen (2007) sebagai berikut.Ia mengutip

Fernandes (1988) yang menyatakan resistensi sebagai:

the counter-hegemonic social attitudes, behaviours and actions which aim at weakening the classification among social categories and which are directed against the dominan power (s) and against those who exercise it (them), having as purpose its (their) distribution in a more equitative way”.

Ia juga menyebut pengertian resistensi sebagaimana

dirumuskan oleh Routledge (1997) sebagai:

“Any action imbued with intent that attempts to challenge, change or retain particular circumstances relating to societal relations, processes and or institutions..[which] imply some form of constation..[and] cannot be separated from practices of domination”

Pengertian lain tentang resistensi juga diambil dari Bush (1999) yang menyatakan:

“any action, individual or collective, violent or lawful, covert and overt, that is critical of, opposes, upsets or challenges the smooth running of colonial rule”.

Rumusan yang berbeda tentang resistensi dibuat oleh

Vinhagen dan Mona Lilja (2007), yang berbunyi, “Sabaltern respons to power, a practice that challenge and which might undermine power”.

Menurut Vinhagen, ada empat hal penting dalam definisi

resistensi: (1) ada suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau

sekelompok orang; (2) dalam rangka merespon kekuasaan; (3)

menghadapi tantangan kekuasaan; (4) berisikan kemungkinan

mengurangi penguasaan.

Page 58: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

76

Ia pun membedakan dua bentuk resistensi. Resistensi dengan

kekerasan yang pada umumnya digunakan melalui revolusi,

demonstrasi, pemogokan dan boikot. Selain itu terdapat pula bentuk-

bentuk resistensi tanpa kekerasan seperti: resistensi diskursif (bentuk

simbol komunikasi dengan membangun argumen yang baik, atau

sebagai laporan hasil penelitian tandingan, image tandingan, perilaku

tandingan); kompetisi, tidak bekerja sama, bekerja sama selektif,

menarik diri, menghentikan suatu proses, lelucon yang merusakkan.

Sintesa Gagasan Teoritis

Bagian ini berisikan sintesa pemikiran terkait dengan

perspektif Livelihood dengan tekanan pada Sustainable Livelihood dan

hubungannya dengan collective action, sebagai social movement yang

ditandai oleh resistensi.

Perspektif Sustainable Livelihood pada dasarnya merujuk pada

konsep yang ditawarkan Chambers dan Conway dan kemudian

dikembangkan oleh pemikir Sustainable Livelihood lainnya. Inti

pemikiran Chambers dan Conway tentang Sustainable Livelihood

dapat dilihat dari hal-hal berikut. Menurut keduanya suatu kehidupan

rumah tangga akan berlangsung sebagaimana diharapkan jika rumah

tangga-rumah tangga mempunyai empat hal pokok yaitu kapabilitas,

aset-aset, aktivitas dan hasil yang diperoleh dari apa yang dilakukan.

Karena itu menurut keduanya untuk mewujudkan kelangsungan hidup

harus ada dukungan tiga komponen utama dalam kehidupan rumah

tangga yakni adanya, 1) kapabilitas, 2) barang-barang dan sumber daya

penghidupan serta 3) hak-hak dan akses-akses. Bila unsur-unsur pokok

tersebut ada dalam kehidupan rumah tangga-rumah tangga, termasuk

prinsip-prinsip Sustainable Livelihood yakni, kapabilitas, keadilan,

lingkungan hidup dan kehidupan sosial yang berkelanjutan, maka

kehidupan rumah tangga-rumah tangga berkelanjutan akan terwujud.

Chambers dan Conway juga menawarkan sejumlah strategi untuk

melakukan coping bila seseorang atau suatu rumah tangga, kelompok

Page 59: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

77

masyarakat mengalami tekanan dan goncangan, termasuk berada

dalam sistuasi yang rentan menjadi miskin.

Setelah melihat catatan Chambers dan Conway tentang aspek-

aspek utama yang harus ada dalam mengusahakan Sustainable Livelihood, perlu dilihat juga pemikiran Scoones dan Krantz tentang

hal-hal pokok dalam Sustainable Livelihood. Scoones menyatakan

bahwa sumber daya Livelihood terdiri dari unsur-unsur material, sosial

termasuk aset-aset yang kelihatan dan yang tak kelihatan. Unsur-unsur

tersebut kemudian dirumuskan oleh Krantz sebagai aset-aset atau

modal-modal yaitu, modal manusia (human capital), modal sosial

(social capital), modal uang (financial capital), modal fisik (physical capital), modal alam (natural capital).

Untuk mewujudkan Sustainable Livelihood, perlu dihindari

hal-hal yang bersifat inumerasi atau sikap tidak menghargai sesuatu

termasuk orang lain, bersikap tidak demokratis, sikap tidak

menghargai masa depan dan ketidakmampuan memprediksi masa

depan. Selain itu diperlukan strategi-atrategi tertentu untuk

mengembangkan Sustainable Livelihood. Ada berbagai strategi yang

ditawarkan oleh pemikir Sustainable Livelihood. Beberapa bentuk

strategi yang ditawarkan oleh Chambers dan Conway yang dapat

dilakukan suatu rumah tangga ialah, penghematan baik terhadap

barang-barang maupun tenaga kerja; pengumpulan barang yang

diperlukan dan aset-aset; perlindungan atas aset-aset utama,

pengosongan dengan menjual aset-aset yang ada; diversity dilakukan

dengan cara mencari berbagai sumber penghidupan lain;

memperjuangkan hak-hak hidup yang lebih adil berkaitan dengan

berbagai unsur yang memengaruhi kehidupan penduduk atau rumah

tangga-rumah tangga; dan pergerakan maksudnya membagi aset-aset

yang dipunyai untuk dikelola. Sementara itu Scoone menawarkan

strategi khusus yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian,

diversifikasi Livelihood serta migrasi. Sedangkan Butler dan Mazur

menekankan strategi diversifisikasi Livelihood dengan tekanan pada

food security. Pendekatan ini ditawarkan berdasarkan studinya

tehadap latar belakang situasi penduduk yang mengalami penderitaan

Page 60: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

78

luar biasa karena keterbatasan diversifikasi, degradasi lingkungan,

pendapatan yang rendah, dan berbagai dampak dari HIV/AIDS.

Menurut keduanya, untuk mendorong inovasi, orang miskin sendiri

harus mempromosikan Livelihood pedesaan berkelanjutan. Sedangkan

Morse, Mc. Namara dan Ancolo menyebutkan strategi intervensi usaha

kredit mikro dapat ditawarkan untuk mendukung usaha-usaha

pengembangan Sustainable Livelihood. Semua strategi tersebut dapat

dilakukan melalui pendekatan ekonomi berskala kecil, berjejaring dan

berpusat pada penduduk itu sendiri.

Jadi usaha-usaha untuk mengembangkan Sustainable Livelihood sebagai usaha membangun masa depan yang bermakna

bagi rumah tangga-rumah tangga atau suatu kelompok masyarakat

tidak mungkin dilakukan tanpa menggunakan modal-modal yang

dipunyai. Di samping itu usaha-usaha pengembangan Livelihood perlu

didukung oleh penggunaan strategi-strategi baik yang ditawarkan oleh

pemikir Sustainable Livelihood maupun strategi-strategi berdasarkan

situasi setempat. Modal-modal dan strategi-strategi yang digunakan

hendaknya diperkuat oleh hak-hak rumah tangga dan penduduk serta

akses-akses terhadap pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, politik

dan lingkungan secara berkelanjutan. Bila rumah tangga-rumah tangga

kehilangan modal-modal yang dipunyai untuk hidup termasuk aset-

aset, hak-hak dan akses-akses maka akan muncul sebuah colletive action sebagai social movement berbentuk resistensi terhadap para

pihak yang dianggap menghalangi peluang mengembangkan

Sustainable Livelihood. Resistensi terjadi karena terdapat ketidakadilan

berkaitan dengan hilangnya berbagai modal hidup yang seharusnya,

hilangnya aset dan akses termasuk hak-hak penduduk untuk hidup.

Seperti dikatakan oleh Olson (2002) bahwa setiap kelompok

masyarakat mempunyai harapan dan kepentingan dalam hidup yang

dijalani. Harapan dan kepentingan bersama tersebut akan disalurkan

melalui tindakan kelompok agar terwujud apa yang diharapkan atau

apa yang menjadi kepentingan kelompok. Jadi collective action

merupakan sarana yang berfungsi untuk memperjuangkan harapan dan

kepentingan kelompok sebagai sesuatu yang logis atau rasional.

Collective action bisa berwujud sebagai kelompok penekan tetapi juga

Page 61: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

79

bisa dilakukan melalui lobi-lobi dan kerja sama. Namun menurut

Vanni (2014), collective action mengandung unsur kerja sama dan

koordinasi di antara anggota kelompok serta relasi-relasi berjejaring

baik ke dalam maupun keluar. Relasi-relasi berjejaring dapat

dikembangkan kelompok karena setiap kelompok dianggap

mempunyai human capital, social capital dan political capital. Selanjutnya menurut ide Schutz dan Zandy (2011), collective action

kelompok atau komunitas berperan memengaruhi dan memperbaharui

bukan untuk merusak kehidupan yang tertekan. Maka untuk

memperbahaui dan memengaruhi pihak lain diperlukan taktik

tertentu, dan nampaknya collective action dengan taktik-taktik yang

ditawarkan dapat dikakatkan sejalan dengan gagasan-gagasan strategi

yang dipakai dalam mengembangkan Sustainable Livelihood. Berbeda

dengan beberapa pendekatan collective action yang sudah disebutkan,

Oliver, Marwell dan Teixera (1985) menyatakan kritik massa dapat

menjadi suatu bentuk collective action pula.

Selanjutnya muncul pertanyaan, bagaimana collective action

dilihat sebagai social movement atau gerakan sosial. Menurut Porta dan

Diani (2006), gerakan sosial ditandai oleh ciri-ciri, relasi-relasi yang

teridentifikasi mengandung unsur pertikaian atau konflik, ada

dukungan jejaring informal dan identitas kolektif jelas. Dengan begitu

gerakan sosial dapat disebut berbentuk, crowd, mass, public dan

gerakan sosial. Lalu apa hubungan antara gerakan sosial dengan

tindakan kolektif. Salah satu ciri hubungan gerakan sosial dengan

tindakan kolektif atau collective action ada pada fenomena konflik.

Dikatakan oleh Porta dan Diani (2006), gerakan sosial merupakan

tindakan kolektif yang bersifat konfliktif, namun juga bisa

mengandung hal-hal yang bersifat konsensual. Dengan demikian social movement sebagai colletive action berfungsi memfasilitasi perluasan

informasi untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan,

berkontribusi menumbuhkan sikap saling percaya dan untuk

memobilisasi kelompok serta membentuk opini orang secara

berjejaring. Keirns at. al., membedakan gerakan sosial atau social movement dari beberapa segi yaitu, segi fungsi (fungsional, konflik dan

interaksionisme simbolik), segi perilaku kolektif (crowd, mass, public

Page 62: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

TERMARJINALISASI KELAPA SAWIT Resistensi dan Coping Orang Workwana Papua

80

dan social movement) serta dari segi jenis atau tipe (reform movement, revolutionary movement, religious movement, alternative movement dan resistance movement).

Akhirya perlu dilihat bahwa collective action yang ditandai

oleh social movement muncul dalam bentuk resitance movemet. Resistance movement sebagai collective action dalam kajian teoritis

ini merupakan ekpresi dan usaha sebagai strategi rumah tangga-rumah

tangga atau penduduk dalam menggunakan modal-modal manusia

yang dimiliki untuk memperjuangkan hak-hak, aset-aset dan akses

mengembangkan Sustainable Livelihood agar dapat memperoleh

hidup yang lebih adil dan sejahtera. Karena masyarakat yang

kehilangan hak-hak, aset-aset dan akses merupakan fenomena

pemingggiran atau marginalisasi sebagai proses pemiskisnan penduduk.

Proses marginalisasi yang ujung-ujungnya berdampak menghasilkan

kemiskinan menimbulkan kesadaran akan hak-hak, asset dan akses

yang seharusnya ada untuk hidup lebih baik. Adanya kesadaran akan

proses marginalisasi tersebut memunculkan resistance movement sebagai collective action penduduk. Berkaitan dengan resistance movement kelompok, Vinhagen (2007) menjelaskan, resistensi

dilakukan sebagai tindakan perlawanan terhadap hegemoni relasi,

proses sosial dan kekuasaan institusi yang dominan, agar dominasi

kekuasaan tersebut berkurang. Dalam studi ini nampak bahwa

dominasi dan hegemoni telah menimbulkan keterpinggiran atau

marginalisasi penduduk karena itu muncullah resistance movement. Gambar berikut ini merupakan rangkuman gagasan teorits yang sudah

dijelaskan.

1 2

1

3

Gambar 2.5 Sintesa Gagasan Teoritis

Sustainable Livelihood

Collective Action

Resistensi

Page 63: BAB 2 PERSPEKTIF LIVELIHOOD DAN COLLECTIVE …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13096/2/D_902008105_BAB I… · mengenai Sustainable Livelihood yang bersumber pertama-tama dari

Perspektif Livelihood dan Collective Action

81

Gambar 2.5 di atas dapat dijelaskan secara singkat sebagai

berikut. Berdasarkan pada kepentingan memperjuangkan Sustainable Livelihood yang terganggu (tanda panah 1), muncullah kesadaran

bersama sebagai collective action (tanda panah 2) yang berwujud pada

gerakan sosial resistensi. Gerakan resistensi sebagai suatu strategi sosial

kolekitf (tanda panah 3) bertujuan memperjuangkan hak-hak, aset dan

akses rumah tangga atau penduduk yang terganggu dalam rangka

mengembangkan Sustainable Livelihood agar terbentuk kondisi

lingkungan hidup yang aman dalam berbagai aspek, adil dan lebih

sejahtera. Proses perjuangan dan pengembangan Sustainable

Livelihood rumah tangga-rumah tangga penduduk ini berlangsung

terus secara dinamis, kreatif dan berjejaring baik ke dalam maupun ke

luar. Dengan demikian diharapkan tercipta kapabilitas penduduk yang

semakin bermutu dan pada saatnya berdampak bagi rumah tangga-

rumah tangga atau penduduk melakukan coping sehingga terjadi proses

diversifikasi Livelihood yang berkelanjutan.