Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Humor
2.1.1 Definisi Humor
Humor adalah bentuk motivasi sosial dan cara mengekpresikan
kebencian. Humor menyediakan sarana untuk mengekspresikan dan
mencapai agresi karena humor “dianggap tidak serius.” Humor sering
melibatkan konten agresif dan digunakan untuk menunjukkan superioritas
atau untuk meningkatkan status sosial, namun substansi saraf yang
mendasari kognisi sosial dan agresi reaktif humor yang mewakili daya tarik
afektif belum dapat dipahami dengan baik (Chan et al., 2016). Humor juga
sering dilabeli dengan attention-gaining strategy, serta cara menciptakan
efek positif (Savage et al., 2017).
Humor adalah stimulus yang sering ditemukan dalam kehidupan kita
sehari-hari dan evaluasi materi humor dapat dianggap sama dengan
kehidupan nyata (Vrticka et al., 2013). Humor juga dapat dikatakan sebagai
apapun yang orang katakan atau lakukan yang dianggap lucu dan dapat
membuat orang lain tertawa (Martin, 2007). Humor dapat digunakan
sebagai cara mengkomunikasikan gagasan, memperkuat hubungan,
meningkatkan harmoni kelompok, dan mengekspresikan agresivitas dengan
cara yang positif (Wu et al., 2018). Humor adalah alat yang paling penting
dan fleksibel untuk interaksi sosial dan mampu mengurangi tekanan dalam
7
hidup seseorang (Vrticka et al., 2013; Kao, Levi, & Goodman, 2015). Oleh
karena itu, penting untuk mengekspresikan dan memahami humor untuk
berkomunikasi dengan lebih efektif (Vrticka et al., 2013).
2.1.2 Aspek Humor
Martin & Kuiper (2016) menyebutkan bahwa humor terdiri dari
beberapa aspek yaitu :
1. Kognitif
Aspek kognitif yaitu persepsi ketidaksesuaian, yang juga disebut
sebagai “bisociation” atau “cognitive synergy”. Hal ini tampaknya
melibatkan aktivasi simultan dari dua atau lebih interpretasi yang
tidak sesuai dari suatu situasi dalam pikiran. Ini juga cenderung
dikaitkan dengan kerangka berpikir yang menyenangkan dan tidak
serius dan beberapa tingkat pengurangan, yang mana hal-hal tersebut
dipandang kurang penting atau lebih mengagumkan daripada
biasanya. Unsur-unsur kognitif inilah yang membuat sesuatu
menjadi lucu (Martin & Kuiper, 2016).
2. Komponen emosional
Komponen emosional adalah proses kognitif mengaktifkan respon
emosional yang unik, yang disebut sebagai “mirth”. Dalam bahasa
Inggris, kata “mirth” tampaknya sempurna sebagai istilah teknis
untuk aspek emosional humor. Mirth berhubungan dengan sukacita,
tetapi agak berbeda karena unsur "funniness" yang terlibat. Hal ini
8
disertai dengan aktivasi sirkuit kesenangan dalam sistem limbik serta
berbagai respon otonom dan endokrin, dan inilah yang membuat
humor begitu menyenangkan (Martin & Kuiper, 2016).
3. Sosial atau interpersonal
Humor dapat menjadi kegiatan sosial yang fundamental. Kita jauh
lebih mungkin untuk tertawa dengan orang lain daripada saat
sendirian, dan sebagian besar humor muncul sebagai respon terhadap
perilaku orang lain atau sifat mirip manusia pada hewan non-
manusia. Dari perspektif evolusi, humor berkembang sebagai
mekanisme untuk meningkatkan kohesi kelompok (Martin &
Kuiper, 2016).
4. Tawa
Aspek tawa sebagai ekspresi non-verbal terprogram atau cara
mengkomunikasikan emosi kegembiraan. Tawa juga terjadi pada
primata lain, sehingga memiliki sejarah evolusi panjang yang akan
kembali jauh sebelum kita berevolusi dalam hal bahasa dan
kemampuan kognitif lainnya yang lebih tinggi. Tawa adalah cara
kita memberi tahu orang lain tentang kegembiraan yang kita alami
dan itu juga mampu memunculkan emosi yang sama yang dirasakan
oleh pendengar. Ini adalah alasan mengapa tawa sangat menular.
Tawa yang kuat juga dapat mengintensifkan dan memperkuat emosi
kegembiraan. Biasanya ini terjadi ketika orang-orang berada dalam
kelompok kecil, dan mereka terlibat dalam serangan tawa yang
9
intens yang sangat menyenangkan dan menciptakan perasaan kuat
dari kohesi kelompok (Martin & Kuiper, 2016).
2.1.3 Proses Pemahaman Humor
Proses pemahaman humor mirip seperti proses pemecahan masalah
yang kompleks dan terdiri dari tiga tahap yaitu: constructing, reckoning, dan
resolving (Weems, 2014). Proses pemahaman humor terdiri dari tiga tahap
yaitu: incongruity detection, incongruity resolution, dan feelings of
amusement during humor elaboration (Chan et al., 2013). Teori yang lain
menyebutkan bahwa pengolahan humor terdiri dari dua tahap: incongruity
detection (tahap pertama) dan incongruity resolution (tahap kedua) (Shibata
et al., 2016). Teori yang paling diterima adalah incongruity detection and
resolution, yang menyatakan bahwa humor membutuhkan pengenalan
ketidaksesuaian harapan, diikuti oleh resolusi yang terkait dengan
kenikmatan atau kesenangan (Aykan & Nalcaci, 2018). Oleh karena itu,
humor membutuhkan proses yang kompleks dan proses berpikir tingkat
tinggi yang melibatkan kognitif, perilaku, fisiologis, emosional, dan sosial
(Martin, 2007).
Menurut Weems (2014), humor merupakan proses berpikir yang
kompleks dan tercipta melalui tiga tahapan yang terjadi di dalam otak, yaitu:
1. Constructing
Tahap ini menunjukkan seberapa aktif kita dalam memproses
lingkungan sekitar. Saat memecahkan masalah, kita tidak hanya mencari
ingatan tentang kemungkinan-kemungkinan solusi yang sudah ada.
10
Sebaliknya, otak akan bekerja menghasilkan banyak kemungkinan
jawaban, beberapa di antaranya berguna (membahagiakan) dan yang
lainnya tidak (menyakitkan). Kita melakukan hal yang sama saat
membaca lelucon. Dalam tahap ini, otak akan membangun teori,
persepsi, atau harapan dari informasi yang diterimanya. Meskipun dalam
kasus ini, misdirection muncul sebelum punch line, anterior cingulate
sangat berperan penting dalam tahap ini (Weems, 2014).
Anterior cingulate di dalam otak berfungsi sebagai pengawas
seluruh kegiatan otak, lokasinya di atas corpus callosum dan
menggabungkan dua hemisfer cerebral. Di bagian depan anterior
cingulate adalah lobus frontal, pusat penalaran utama dan area yang
bertanggung jawab untuk memulai gerakan. Bagian belakang ada lobus
parietal dan temporal, yang membantu penalaran, serta fungsi bahasa
dan memori, dan sebagai bagian dari wilayah limbik otak, anterior
cingulate terhubung erat dengan amigdala, nucleus accumbens, dan
ventral tegmented area (VTA), yaitu daerah yang merupakan inti dari
dopamine reward circuit. Anterior cingulate akan lebih aktif daripada
bagian-bagian otak yang lain ketika ada suatu masalah, karena ia tidak
akan timbul seketika dengan solusi, namun lebih berorientasi untuk
mengontrol atau menangani masalah (Weems, 2014).
Spesialisasi tugas anterior cingulate tergambar melalui
fenomena stroop effect. Fenomena ini membuktikan bahwa kita masih
mampu mengenali warna dalam sebuah kata-kata yang dicetak dengan
11
tinta yang berbeda, misalnya: B-I-R-U, dicetak dengan tinta merah.
Pikiran alami manusia selalu berkeinginan untuk membaca. Maka, kita
menjadi lebih lambat dan kurang akurat dalam menginterpretasi warna
yang tercetak dalam kata tersebut. Anterior cingulate bertugas menjaga
regio otak yang berfungsi untuk membaca menjadi tetap tenang dan
membiarkan bagian otak yang berfungsi untuk mengenali sebuah warna
untuk menganalisis warna apa yang ada dalam kata tersebut. Namun,
dalam suasana hati yang kurang baik, stroop effect akan menghilang
karena kinerja anterior cingulate dipengaruhi mood (suasana hati) dan
happiness (kebahagiaan). Suasana hati yang positif akan membantu
anterior cingulate untuk menolak respon yang tidak diinginkan (Weems,
2014).
Manusia tidak hanya menerima informasi begitu saja, namun
lebih condong membuat informasi dengan cara membuat teori-teori baru
dengan informasi yang sudah ada, kemudian merevisi kembali informasi
tersebut jika diperlukan. Semua kejadian ini berhubungan dengan
pemahaman humor tentang bagaimana persepsi kita terhadap suatu hal
atau informasi yang kita miliki tentang suatu hal atau teori. Oleh karena
itu, jika ada suatu hal yang muncul dengan sudut pandang yang tidak
sesuai dengan persepsi kita, maka terciptalah humor. Dalam tahap ini,
humor mempengaruhi persepsi maupun informasi yang sudah kita
simpan di dalam otak kita (Weems, 2014).
2. Reckoning
12
Bagian terpenting dari humor adalah kejutan. Kesenangan
muncul ketika kita memulai persepsi sesuatu dengan asumsi yang salah,
kemudian argumen kita dipatahkan dengan punch line yang
mengejutkan. Reckoning adalah proses reevaluasi mispersepsi, yang
menggiring ke sebuah kejutan yang menggembirakan. Kejutan
merupakan suatu emosi yang bernilai, sebagai dasar dari kebahagiaan
atau kebanggaan. Dopamin (DA) dan anterior cingulate sangat aktif di
tahap ini. Humor membutuhkan punch line untuk membuatnya menjadi
sesuatu yang lucu. Pada tahap ini, otak memperhitungkan semua
kemungkinan kesalahan yang mungkin dibuat dalam interpretasi suatu
informasi (Weems, 2014).
3. Resolving
Humor tidak cukup hanya memuat kejutan, namun juga
dibutuhkan perubahan perspektif. Dalam tahap ini, seseorang akan
menyelesaikan suatu pemahaman humor dengan perspektif yang
berbeda, otak berusaha mencari tahu mengapa informasi yang
sebenarnya atau yang ada dalam persepsinya tidak sesuai dengan
kerangka acuan aslinya. Penyelesaian dari pemrosesan informasi ini
adalah dengan sebuah kejutan yang melibatkan kemampuan kognitif
(Weems, 2014).
13
(Weems, 2014)
Gambar 2.1
Regio Otak Manusia
2.1.4 Humor Style
Menurut Martin (2007), empat dimensi humor style antara lain:
1. Affiliative humor
Affiliative humor mengacu pada kecenderungan untuk
mengatakan hal-hal yang bersifat lucu, untuk menceritakan lelucon-
lelucon, dan untuk
terlibat dalam olok-olok cerdas yang spontan, untuk menghibur orang
lain, untuk memfasilitasi hubungan, serta untuk mengurangi
ketegangan interpersonal (misalnya, "Saya menikmati saat-saat
membuat orang lain tertawa") (Martin, 2007). Dalam menggunakan
jenis humor ini, kita akan memperjelas bahwa segala sesuatu berada
pada level yang menyenangkan, dan bahwa niat kita adalah
berinteraksi pada tingkat itu dengan orang lain. Hal ini terkait dengan
ekstraversi, atraksi interpersonal, harga diri, kepuasan dalam suatu
14
hubungan dan, secara umum, perasaan dan emosi positif (Mendiburo-
Seguel, Pẚez, & Martỉnez-Sẚnchez, 2015). Affiliative humor
melibatkan interaksi berbagi humor melalui lelucon atau komentar
cerdas, tanpa menghina atau melukai siapapun (Martin & Kuiper,
2016; Cann & Collette, 2014).
2. Self–enhancing humor
Self-enhancing humor mengacu pada kecenderungan untuk
mempertahankan pandangan humor tentang kehidupan bahkan ketika
seseorang tidak bersama orang lain, untuk sering geli karena
ketidaksesuaian hidup, untuk mempertahankan perspektif humor
bahkan dalam menghadapi stres atau kesulitan, dan untuk
menggunakan humor dalam mengatasi permasalahan (misalnya,
“Pandangan hidup saya yang lucu membuat saya tidak terlalu kesal
atau tertekan tentang berbagai hal”). Hal ini memungkinkan kita untuk
mempertahankan pandangan positif dan realistis dalam situasi yang
merugikan (Martin, 2007).
Self-enhancing humor akan mengurangi emosi negatif seperti
kecemasan, depresi dan neurotisisme (Mendiburo-Seguel, Pẚez, &
Martỉnez-Sẚnchez, 2015). Self-enhancing humor digunakan untuk
mendukung diri sendiri dengan menggunakan humor untuk
mempertahankan perspektif positif dari kehidupan seseorang (Cann &
Collette, 2014; Martin & Kuiper, 2016).
3. Aggressive humor
15
Aggressive humor bersifat tidak menyehatkan dan maladaptif,
karena gaya humor ini menggunakan humor untuk menyerang atau
merendahkan orang lain untuk meningkatkan diri (Cann & Collette,
2014; Martin & Kuiper, 2016).
Aggressive humor adalah kecenderungan untuk menggunakan
humor untuk tujuan mengkritik atau memanipulasi orang lain, seperti
dalam sarkasme, ejekan, cemoohan, atau humor yang sifatnya
melecehkan, serta penggunaan bentuk-bentuk humor yang berpotensi
menghina (misalnya, rasis atau seksis atau misalnya, "Jika seseorang
membuat kesalahan, saya akan sering menggodanya". Ini juga
termasuk ekspresi humor yang kompulsif bahkan ketika itu tidak
pantas secara sosial. Jenis humor ini dipandang sebagai sarana
meningkatkan diri dengan mengorbankan hubungan seseorang dengan
orang lain (Martin, 2007). Jenis humor ini sedikit kurang baik dalam
hal kontrol penyampaiannya, yang nantinya kemungkinan berdampak
kepada yang lain, sehingga dikaitkan dengan agresi, permusuhan, dan
neurotisisme (Mendiburo-Seguel, Pẚez, & Martỉnez-Sẚnchez, 2015).
4. Self-defeating humor
Self-defeating humor adalah gaya humor yang berfokus kepada
diri sendiri (Cann & Collette, 2014). Self-defeating humor melibatkan
penggunaan humor yang terlalu meremehkan diri sendiri, mencoba
untuk menghibur orang lain dengan melakukan atau mengatakan hal-
hal lucu dengan usaha sendiri, dan tertawa bersama orang lain ketika
16
diejek atau diremehkan (misalnya, “Saya sering mencoba membuat
orang suka atau menerima saya lebih banyak dengan mengatakan
sesuatu yang lucu tentang kelemahan, kesalahan, atau kesalahan saya
sendiri”). Self-defeating humor sifatnya menyesatkan, karena
mengolok-olok diri sendiri, terlibat dalam ejekan diri yang berlebihan,
dengan tujuan untuk mendapatkan penerimaan dari orang lain (Cann
& Collette, 2014; Martin & Kuiper, 2016).
Hal ini juga melibatkan penggunaan humor sebagai bentuk
penyangkalan defensif, untuk menyembunyikan perasaan negatif
seseorang yang mendasarinya atau menghindari berurusan secara
konstruktif dengan masalah. Gaya humor ini dilihat sebagai upaya
untuk mendapatkan perhatian dan persetujuan orang lain dengan usaha
sendiri (Martin, 2007).
(Martin, 2003)
Gambar 2.0.2
Peran Humor sebagai Emosi
17
2.1.5 Instrumen penilaian Humor Style
Humor style dinilai menggunakan Humor Style Questionnaire
(HSQ) (Martin et al., 2003). Dalam skala ini terdapat dua jenis item yang
berbeda, yaitu favorable (mendukung obyek sikap yang hendak diungkap),
dan unfavorable (tidak mendukung obyek sikap yang hendak diungkap).
Skala yang akan digunakan adalah skala model Likert yang menggunakan
respon skala empat. Skala yang disajikan tersebut disusun dalam empat
jenjang dengan maksud untuk menghindari jawaban tengah. Setiap item
favorable akan diberikan sistem penilaian jawaban sebagai berikut: skor 4
(sangat setuju), skor 3 (setuju), skor 2 (tidak setuju), skor 1 (sangat tidak
setuju). Sedangkan untuk item unfavorable akan diberikan sistem penilaian
jawaban sebagai berikut: skor 1 (sangat setuju), skor 2 (setuju), skor 3 (tidak
setuju), skor 4 (sangat tidak setuju) (Azwar, 2011).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Martin et al. (2003), skala
HSQ sudah terbukti sebagai alat ukur humor style dengan responden
sejumlah 1195 orang, dengan jumlah laki-laki sebanyak 470 orang dan
perempuan sebanyak 725 orang. Tabel reliabilitas skala HSQ menunjukkan
bahwa tiap aspek sudah terbukti secara internal konsisten, dengan Alpha
Cronbach 0,77-0,81 (Martin, 2003).
Tabel 2.1 Reliabilitas Humor Style Questionnaire
Alpha
Cronbach
Affiliative
Self-
enhancing
Aggressive
Self-
defeating
0,80 0,81 0,77 0,80
18
(Martin, 2003)
2.2 Self-Esteem
2.2.1 Definisi Self-Esteem
Self-esteem adalah aspek evaluatif dari pengetahuan diri yang
berkaitan dengan sejauh mana seseorang menyukai diri mereka sendiri.
Dengan kata lain, harga diri menangkap jumlah nilai pribadi yang
ditempatkan individu pada diri mereka, secara keseluruhan, atau dalam
domain yang berbeda (Ford, Lappi, & Holden, 2016).
Keinginan manusia untuk memiliki self-esteem adalah sebagai suatu
keharusan yang mendesak, sebagai kebutuhan dasar. Individu
mengidentifikasi masalah itu secara eksplisit atau implisit, dia tidak dapat
melarikan diri dari perasaan bahwa self-esteem adalah kepentingan hidup
dan mati. Tidak ada yang
bisa acuh pada pertanyaan tentang bagaimana dia menilai dirinya sendiri;
sifat alaminya tidak mengizinkan manusia pada pilihan itu (Branden et al,
2001).
2.2.2 Aspek-aspek Self-Esteem
Rosenberg (1965) menyebutkan bahwa ada 3 aspek dalam self-esteem yaitu:
1. Physical Self-Esteem, adalah aspek yang berhubungan dengan
kondisi fisik yang dimiliki seseorang. Hal ini berkaitan dengan
penerimaan individu terhadap keadaan fisiknya, apakah ia menerima
keadaan fisiknya atau ada beberapa bagian yang ingin diubah.
19
2. Social Self-Esteem, adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan individu dalam bersosialisasi, yang juga mengukur
kemampuan seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain, dan
apakah seseorang membatasi orang lain untuk menjadi temannya
atau menerima berbagai macam orang untuk dapat menjadi
temannya.
3. Performance Self-Esteem, adalah aspek yang berhubungan dengan
kemampuan dan prestasi seseorang, apakah individu merasa puas
dan merasa percaya diri dengan prestasi serta kemampuan dirinya
atau tidak.
2.2.3 Dimensi Self-Esteem
Menurut Tafarodi, Tam, & Milne (2001), dimensi self-esteem terdiri
dari dua hal yaitu:
1. Self-Competence
Self-competence merupakan penilaian atau persepsi terhadap
kemampuan atau kompetensi yang ia miliki setelah mengalami
semua pengalaman-pengalaman dalam hidup, kemampuan untuk
mampu bertindak efektif, serta kemampuan untuk mengontrol diri.
Tafarodi, Tam, & Milne (2001) juga menyebutkan bahwa self-
competence didefinisikan sebagai pengalaman valuatif dari diri
sendiri sebagai agen kausal, makhluk dapat mewujudkan niatnya dan
dengan hasil yang diinginkannya secara sengaja. Sebagai ciri umum,
ini merujuk pada keseluruhan orientasi positif atau negatif terhadap
20
diri sendiri sebagai sumber kekuatan yang kuat dan efektif dalam
melakukan segala hal, yang akan muncul sebagai karakteristik setiap
individu.
Self-competence tergantung dari keselarasan antara keinginan
individu dan hasil yang cukup obyektif setelah semua usaha telah
dilakukan untuk mencapai keinginannya tersebut. Seseorang yang
memiliki self-competence yang tinggi akan memiliki karakter afektif
dan penilaian yang positif terhadap dirinya. Sebaliknya, self-
competence yang rendah berkaitan dengan turunnya motivasi,
kecemasan, dan depresi (Tafarodi & Swann, 2001).
2. Self-Liking
Self-liking berkaitan dengan self-esteem yang muncul sebagai
penilaian diri sebagai obyek sosial. Self-liking tidak sama dengan
persepsi kita tentang nilai yang orang lain berikan kepada kita,
meskipun ini nanti juga berpengaruh secara berkelanjutan.
Sebaliknya, self-liking merupakan nilai sosial yang kita anggap pada
diri kita sendiri, sesuai dengan kriteria pribadi kita untuk "kebaikan",
misalnya: pesona diri, keindahan diri,
integritas, kebaikan hati, dan identitas sosial yang ada pada diri
(Tafarodi & Swann, 2001).
Kesuksesan seseorang adalah sumber langsung dari nilai
sosial sama seperti nilai sosial seseorang, yang secara tidak langsung
dapat meningkatkan pencapaian pribadi. Mereka yang merasa tidak
21
layak di lingkungan sosial, akan cenderung menilai diri mereka tidak
mampu atau tidak memilki kompetensi, sama seperti mereka yang
merasa layak, akan cenderung menilai diri mereka sebagai orang
yang mampu atau memiliki kompetensi (Tafarodi & Swann, 2001).
2.2.4 Stabilitas Self-Esteem
Dalam penelitian yang dilakukan Erol dan Orth (2011) yang
melibatkan 7100 orang berusia 14-30 tahun, dilaporkan bahwa
walaupun self-esteem mengalami perubahan selama masa remaja,
ternyata self-esteem akan cenderung stabil pada usia dewasa dengan
perubahan yang sangat minimal.
(Erol & Orth, 2011)
2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-Esteem
Mruk (2006) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
self-esteem adalah sebagai berikut:
1. Parental
Faktor parental terdiri dari beberapa faktor lagi yaitu:
1.1 Genetik
Gambar 2.3
Perkembangan Self-Esteem Menurut Usia
22
Faktor biologi atau genetik dianggap dapat menjadi salah
satu faktor predisposisi yang mampu mempengaruhi self-esteem
seseorang, walaupun pengaruhnya tidak terlalu signifikan. Seseorang
yang dilahirkan di dalam keluarga yang mampu menerima
karakternya dan kemampuannya dengan baik, relatif mempunyai
self-esteem yang tinggi. Keluarga yang mampu menerima apa
adanya akan menciptakan lingkungan yang positif dan membuat
seseorang merasa lebih dihargai dan lebih bernilai dalam
kehidupannya, hal itu yang membuat ia memiliki self-esteem yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan lingkungan keluarga yang
tidak mendukung (Mruk, 2006).
1.2 Parental Support (keterlibatan orangtua)
Parental support adalah salah satu anteseden pertama self-
esteem yaitu tentang menerima perhatian. Keterlibatan orangtua
yang suportif mampu menghasilkan kekuatan positif. Dukungan dari
ibu lebih berkorelasi pada pengembangan sense of worth pada anak-
anak, sedangkan dukungan dari ayah tampaknya lebih terkait dengan
pengembangan kompetensi. Anak-anak yang memilki orangtua yang
selalu mendukungnya, akan memberi kekuatan positif dan hal ini
sangat membantu dalam pengembangan self-esteem. Pada para
orangua yang bersikap acuh terhadap anak-anaknya, akan cenderung
mempunyai anak dengan self-esteem yang rendah (Mruk, 2006).
1.3 Parental warmth (penerimaan)
23
Kualitas dan kehangatan orangtua atau penerimaan, sangat
penting untuk pengembangan self-esteem. Istilah parental warmth
atau penerimaan paling sering digunakan untuk menggambarkan
kesediaan orang tua untuk melihat kekuatan dan kelemahan, potensi,
dan keterbatasan anak. Penerimaan adalah "kehangatan" yang
seimbang, tidak buta, yang berarti persetujuan sederhana tidak
terkait dengan harga diri. Namun, penerimaan dan pujian yang
berlebihan juga dapat menyebabkan masalah seperti narsisme dan
sebagainya. Dengan melihat kekuatan dan keterbatasan seorang anak
dalam situasi tertentu, orangtua dapat mendorong anak untuk
menjelajahi dunianya dengan caranya sendiri berdasarkan
kemampuan, preferensi, kompetensi, ketakutan, minat, dan
sebagainya, di usia tertentu, yang semuanya terhubung dengan
pengembangan suatu keahlian (Mruk, 2006).
Kekurangan penerimaan yang hangat atau penuh cinta
merusak perkembangan self-esteem karena, individu akan menjadi
pribadi yang cenderung mendasarkan sense of worth mereka pada
faktor ekstrinsik daripada intrinsik, yang membuat mereka menjadi
vulnerable. Orangtua yang kasar dan menghina atau yang
menggunakan pemanggilan nama dan tidak memberikan kasih
sayang pada anak-anaknya, dapat memberikan efek negatif pada self-
esteem (Mruk, 2006).
24
1.4 Parental Expectations and Consistency
Orangtua yang mampu menetapkan harapan dan batasan-
batasan yang jelas pada anak-anaknya, sering dikaitkan dengan
perkembangan self-esteem yang positif. Menyusun tujuan dan
menetapkan standar tetrentu akan membuat anak memahami
kebiasaan-kebiasaan yang pantas, bagus, dan patut diperjuangkan.
Terlalu membebaskan anak membuat anak menjadi lebih impulsif
dan agresif, sedangkan terlalu ketat pada anak membuat anak
menjadi mudah cemas dan menjadi seorang pribadi yang menahan
diri (Mruk, 2006).
1.5 Parenting Style
Pola asuh orangtua dengan cara membiasakan kedisiplinan
akan berdampak lebih baik terhadap perkembangan self-esteem
daripada pola asuh orangtua yang bersifat otoriter atau bahkan terlalu
membebaskan. Pola asuh kedisiplinan yang dimaksud adalah pola
asuh yang menerapkan diskusi masalah dan negosiasi konflik, dengan
tidak melakukan tindak kekerasan sedikitpun sehingga, anak lebih
merasa dihargai. Penelitian membuktikan bahwa pola asuh dari ibu
ternyata lebih berpengaruh pada anak, jika dibandingkan dengan pola
asuh dari ayah. Orangtua yang menerima anak-anaknya, nurturant,
dan responsif, cenderung memilki anak-anak dengan self-esteem yang
tinggi jika daripada para orangtua yang tidak mudah menerima anak-
anaknya, acuh, dan tidak responsive (Mruk, 2006).
25
1.6 Birth Order
Seorang anak tunggal akan cenderung memiliki self-esteem
yang tinggi jika dibandingkan dengan seseorang yang mempunyai
saudara. Hal ini disebabkan perhatian orangtuanya hanya berpusat
padanya dan lebih sering melakukan interaksi dengan orangtuanya.
Namun, perlu diketahui bahwa interaksi yang dimaksud adalah
interaksi yang berkualitas, tidak hanya diukur secara kuantitas (Mruk,
2006).
1.7 Modeling
Anak-anak cenderung meniru perilaku orangtua yang mereka
lihat secara langsung daripada nasihat maupun perintah yang
dikeluarkan secara verbal. Orangtua yang berperilaku untuk selalu
tertantang dan berusaha keras untuk menghadapi kesulitannya dan
selalu ingin memecahkan masalah, akan mampu memperlihatkan pada
anak-anaknya tentang strategi penyelesaian masalah dengan lebih dini,
yang akan membuat anak memilki self-esteem yang lebih matang atau
berkembang memiliki jika dibandingkan dengan orangtua yang selalu
mengeluh dan menghindari masalah-masalah dalam kegiatan sehari-
hari (Mruk, 2006).
2. Social Values
26
Menurut teori subcultural hypothesis, kelompok subkultur lebih
berpengaruh terhadap self-esteem daripada kelompok sosial yang lebih
besar, yaitu: orangtua, tetangga dan lingkungan sekitar, dapat
mempengaruhi self-esteem seseorang, karena kelompok subkultur lebih
sering bertemu dengan kita, mampu mempengaruhi kita secara langsung,
dan frekuensi pertemuannya dengan kita lebih sering, sehingga mereka
cenderung mempunyai pengaruh yang lebih kuat. Orang-orang yang
sering berinteraksi dengan kita, juga dapat berpengaruh terhadap self-
esteem kita, terutama yang berinteraksi dengan kita dalam jangka waktu
yang lama (Mruk, 2006).
3. Self-Values
Self-values yang juga disebut dengan self-concept merupakan
konsepsi yang diinginkan pada diri sendiri sebagai akibat dari self-
judgment dan direpresentasikan pada standar-standar yang ditetapkan
sendiri. Tindakan ini akan menimbulkan persepsi pada diri sendiri bahwa
semua manusia itu sama derajatnya dan setiap manusia mempunyai
karakter yang unik, terlepas dari status sosial atau latar belakang tertentu.
Hal ini yang nantinya akan mempengaruhi karakter, cara berperilaku,
yang pada akhirnya akan berpengaruh ke self-esteem seseorang (Mruk,
2006).
4. Jenis kelamin
Self-esteem pada perempuan lebih dipengaruhi oleh hubungan
(relationship) yaitu tentang penerimaan dan penolakan, sedangkan pada
27
laki-laki lebih dipengaruhi oleh keberhasilan meraih tujuannya, yaitu
tentang kesuksesan dan kegagalan. Orientasi agentik yang muncul selama
masa remaja diprediksi dapat meningkatkan self-esteem pada laki-laki
tapi tidak pada perempuan. Sedangkan orientasi komunal diprediksi
mampu meningkatkan self-esteem pada perempuan, namun tidak
berpengaruh pada laki-laki. Wanita dan pria dewasa juga menunjukkan
pola yang sama seperti ini (Mruk, 2006).
5. Ras, etnis, dan ekonomi
Urutan self-esteem dari tingkat tinggi ke rendah berdasarkan ras
dimulai dari Ras Negro, Kaukasia, Hispanik, Indian Amerika, dan Asia.
Pada golongan ekonomi rendah, self-esteem akan cenderung rendah. Hal
ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa jika suatu masyarakat
secara umum memandang rendah suatu golongan, maka orang yang
berada pada golongan yang dipandang rendah tersebut juga akan
memandang rendah dirinya, karena orang tersebut menginternalisasi
dalam dirinya sama dengan apa yang diasumsikan masyarakat terhadap
golongannya dan self-esteem akan terpengaruh oleh diskriminasi
masyarakat kepada golongannya (Mruk, 2006).
2.2.6 Karakteristik Self-Esteem
Menurut Coopersmith (1967), terdapat beberapa karakteristik individu yang
berhubungan dengan self-esteem yaitu:
a. Physical attribute
28
Karakteristik ini berhubungan dengan kondisi fisik yang dimiliki oleh
seseorang, tentang bagaimana seorang individu memandang dan menghargai
kondisi fisik yang ada pada dirinya. Kondisi fisik yang dimaksud di sini
diantaranya seperti, tinggi badan, berat badan, warna kulit, dan lain-lain.
b. General capacities, ability, and performance
Karakteristik ini berhubungan dengan kemampuan dan prestasi individu
secara umum, terkait dengan apakah seorang individu menghargai prestasi
dan kemampuan dirinya atau tidak.
c. Affective state
Karakteristik ini berhubungan dengan kebahagiaan, kemampuan afeksi, dan
kepuasan terhadap diri sendiri. Individu dengan penilaian diri yang rendah
biasanya memiliki ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan diri, sedangkan
individu dengan penilaian diri yang tinggi memiliki kepercayaan diri yang
positif dan lebih ekspresif.
d. Self values
Karakteristik ini berhubungan dengan bagaimana seorang individu menilai
seberapa berharganya dirinya sesuai dengan nilai yang berlaku dan
pemikiran ideal yang dimilikinya.
2.2.7 Tingkat Self-Esteem
Menurut Rosenberg (1965), individu dengan tingkat self-esteem tinggi dan
rendah memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Gambar 2.4 Perbedaan Self-Esteem Tinggi dan Self-Esteem Rendah
Self-Esteem Tinggi Self-Esteem Rendah
Merasa puas dengan dirinya Merasa tidak puas dengan dirinya
29
Bangga dengan dirinya sendiri Ingin menjadi orang lain atau berada
di posisi orang lain
Lebih sering mengalami rasa senang
dan bahagia
Lebih sering mengalami emosi yang
negatif (stress, sedih, marah)
Dapat menerima kegagalan dan
bangkit dari kekecewaan akibat
gagal
Sulit menerima kegagalan dan
kecewa berlebihan saat gagal
Memandang hidup secara positif dan
dapat mengambil sisi positif dari
kejadian yang dialami
Memandang hidup dan berbagai
kejadian dalam hidup sebagai hal
yang negatif
Menghargai tanggapan orang lain
sebagai umpan balik untuk
memperbaiki diri
Menganggap tanggapan orang lain
sebagai kritik yang mengancam
Menerima peristiwa negatif dalam
diri dan berusaha memperbaikinya
Membesar-besarkan peristiwa
negatif yang telah dialaminya
Mudah untuk berinteraksi,
berhubungan dekat, dan percaya
pada orang lain
Sulit untuk berinteraksi,
berhubungan dekat, dan percaya
pada orang lain
Berani mengambil risiko Menghindar dari risiko
Bersikap positif pada orang lain atau
institusi yang terkait dengan dirinya
Bersikap negatif (sinis) pada orang
lain atau institusi yang terkait
dengan dirinya
Optimis Pesimis
Berpikir konstruktif (dapat
mendorong diri sendiri)
Berpikir yang tidak membangun
(merasa tidak dapat membantu diri
sendiri)
(Rosenberg, 1965)
Self-esteem yang tinggi mengekspresikan perasaan bahwa individu
tersebut cukup baik. Individu akan merasa berharga, menghargai dirinya,
namun tidak mengagumi dirinya, dan tidak berharap orang lain mengagumi
dirinya, dan tidak menganggap dirinya lebih superior dibanding yang lain
(Mruk, 2006).
2.2.8 Instrumen Penilaian Self-Esteem
Penilaian self-esteem dilalukan menggunakan Rosenberg Self-
Esteem Scale (RSES) (1965) yang terdiri dari sepuluh item pernyataan
(misalnya, "Saya merasa bahwa saya adalah orang yang berharga,
30
setidaknya dalam bidang yang sama dengan orang lain.") (Rosenberg,
1965). Responden menanggapi setiap item dalam skala mulai dari 1 (sangat
tidak setuju) hingga 4 (sangat setuju). Hasilnya akan dirata-rata untuk
membentuk ukuran agregat dari self-esteem. Skor yang lebih tinggi
menunjukkan self-esteem yang lebih tinggi. Cronbach Alpha untuk skala 10
item adalah .80. (Ford, Lippon, & Holden, 2016). Jika skor yang dihasilkan
< 15 berarti self-esteem rendah, dan skor > 25 berarti self-esteem tinggi Skor
diantaranya dikategorikan sebagai rata-rata (Rosenberg, 1965).
2.3 Hubungan antara Humor Style dengan Self-Esteem
Proses pemahaman humor mirip seperti proses pemecahan masalah
yang kompleks dan terdiri dari tiga tahap yaitu: constructing, reckoning, dan
resolving (Weems, 2014). Menurut Chan et al., (2013), proses pemahaman
humor terdiri dari tiga tahap yaitu: incongruity detection, incongruity
resolution, dan feelings of amusement during humor elaboration. Teori yang
lain menyebutkan bahwa pengolahan humor terdiri dari dua tahap:
incongruity detection (tahap pertama) dan incongruity resolution (tahap
kedua) (Shibata et al., 2016). Teori yang paling diterima adalah incongruity
detection and resolution, yang menyatakan bahwa humor membutuhkan
pengenalan ketidaksesuaian harapan, diikuti oleh resolusi yang terkait
dengan kenikmatan atau kesenangan (Aykan & Nalcaci, 2018). Oleh karena
itu, humor membutuhkan proses yang kompleks dan proses berpikir tingkat
tinggi yang melibatkan kognitif, perilaku, fisiologis, emosional, dan sosial
(Martin, 2007).
31
Proses pemahaman humor berhubungan dengan aktivitas neuron
yang berhubungan dengan proses pemahaman bahasa dan semantik, yang
nantinya akan menimbulkan lexical-semantic stage di otak (Shibata et al.,
2016). Ambiguitas dalam humor muncul karena perbedaan persepsi makna
dalam setiap kata (Joloud, 2015). Ambiguitas merupakan bagian penting
dalam humor mencakup incongruity dan potential resolution yang kompleks
dan inilah yang akan menimbulkan linguistic analysis (Shibata et al., 2016;
Joloud, 2015).
Dalam penelitian yang dilakukan Shibata et al (2016) pada 18 orang
yang bertujuan untuk memeriksa time course dan lokalisasi aktivitas otak
dalam pemahaman humor yang bersifat verbal berdasarkan incongruity
detection-resolution model menyebutkan bahwa, hasil analisis standardized
low resolution brain electromagnetic tomography (sLORETA) terhadap
komponen P2 event-related potential (ERP) membuktikan bahwa kondisi
lucu mampu membangkitkan kepadatan arus yang lebih besar di temporal-
parietal region daripada kondisi yang tidak lucu, terutama di right
temporal-parietal (RTP) region pada fase incongruity-resolution process,
stimulus humor yang bersifat verbal dalam fase incongruity-detection
process, juga mampu meningkatkan aktivitas left superior frontal region
(left SFG) dan left middle prefrontal cortex (left mPFC). Penelitian
terdahulu yang bertujuan untuk mengetahui lokalisasi aktivitas otak yang
dilakukan menggunakan functional magnetic resonance imaging (fMRI)
juga menyebutkan hasil yang sama (Shibata et al, 2014). Sawahata et al
32
(2013) juga menyebutkan bahwa temporoparietal junction (TPJ) berperan
penting dalam proses pemahaman humor.
Dalam stimulus ERP dengan interval gelombang 600 sampai 800
millisecond (ms), dipole analysis menunjukkan peningkatan aktivitas di
anterior cingulate cortex (ACC) dalam resolusi cognitive conflict setelah
incongruity detection (Shibata et al., 2016). Cognitive factors
mempengaruhi incongruity-resolution process, misalnya: proses pemecahan
masalah (Suls, 1972; Coulson, 2001; Amir et al., 2015).
Ketidaksesuaian antara harapan atau persepsi yang kemudian
berbeda dengan punch line yang diterima, akan menimbulkan sesuatu yang
lucu atau disebut juga funny punch line (Shibata et al., 2016; Weems,
2014;). Hal ini akan menyebabkan aktivasi mesolimbic dopaminergic
reward system (Shibata et al., 2016; Weems, 2014). Bagian terpenting
dalam humor yaitu nucleus accumbens yang nantinya akan meningkatkan
produksi DA dan menyebabkan mirth (Weems, 2014; Guyton, 2012;
Martin, 2003).
Studi neuroimaging telah menemukan bahwa terjadi peningkatan
aktivasi ACC di saat fungsi emosional dan eksekutif kognitif terjadi, yang
nantinya akan mempengaruhi respon perilaku seseorang (Gasquoine, 2013).
ACC yang berperan dalam cognitive conflict yang muncul dalam humor
berperan dalam emotional regulation (ER) (Sebastian & Ahmed, 2018).
Penggunaan adaptive humor dalam kehidupan sehari-hari mampu
mempermudah seseorang dalam mengontrol ER, sedangkan penggunaan
33
maladaptive humor justru mengurangi kemampuan seseorang dalam
mengontrol ER (Mathews, 2016). Oleh karena itu, orang-orang yang
memiliki humor style yang bersifat adaptif cenderung memiliki emosi
positif yang stabil atau stable positive emotion dan penerapan humor style
yang bersifat maladaptif akan menyebabkan seseorang cenderung memiliki
emosi negatif yang stabil atau stable negative emotion (Cann & Collette,
2014).
Secara umum, orang-orang yang memiliki self-esteem yang tinggi
akan lebih bahagia, karena self-esteem yang tinggi berkorelasi positif
dengan optimisme, sedangkan self-esteem rendah berkorelasi positif dengan
perasaan putus asa, sehingga self-esteem berhubungan dengan kebahagiaan,
dengan cara mempengaruhi seseorang untuk melihat diri mereka sendiri
bermakna dan mampu memegang harapan positif tentang kehidupan mereka
(Ford, Lappi, & Holden, 2016).
Self-esteem adalah faktor universal dan penting yang terkait dengan
level kebahagiaan dan terbukti berkorelasi positif dengan kebahagiaan (Sato
& Yuki, 2014). Humor yang dikaitkan dengan cara menghadapi stres,
membuktikan bahwa orang dengan skor humor yang lebih tinggi cenderung
merasa berpotensi dan menganggap peristiwa yang menegangkan sebagai
tantangan, sedangkan mereka dengan humor rendah cenderung melihat hal
tersebut sebagai ancaman (Martin & Kuiper, 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Van Zalk et al. (2010), menunjukkan
bahwa remaja dengan tingkat simptomatologi depresi yang tinggi cenderung
34
memiliki jenis humor style yang aggressive atau self-defeating humor. Hal
ini sebagian besar konsisten dengan penjelasan bahwa self-defeating humor
berhubungan positif dengan depresi (Martin et al., 2003; Dyck & Holtzman,
2013; Tucker et al., 2013). Emosi negatif dapat memicu timbulnya stress
(Kumar et al., 2013). Stres adalah keadaan homeostasis yang terancam yang
disebabkan oleh dorongan negatif yang bersifat intrinsik atau ekstrinsik
(stresor) dan bertentangan dengan respon fisiologis dan perilaku yang
bertujuan untuk mempertahankan atau membangun kembali keseimbangan
tubuh yang optimal (eustasis) (Tsigos et al., 2016). Stresor dapat
menyebabkan pelepasan epinefrin dari adrenal melalui ancaman yang
dipersepsi oleh panca indera, diteruskan ke korteks serebri, kemudian ke
sistem limbik dan RAS (Reticular Activating System), lalu ke hipotalamus
dan hipofisis (Kaplan et al., 2017). Hal ini menyebabkan Hipothalamic-
Pituitary-Adrenal (HPA) axis dan Sympathetic Adrenal Medullary (SAM)
system, Corticotrophin-Releasing-Hormone – Corticotrophin-Releasing-
Factor (CRH-CRF) dan Arginine Vasopressin (AVP) menjadi teraktivasi
(Tsigos et al., 2016). Pengeluaran CRH-CRF akan menyebabkan
peningkatan produksi ACTH dari kelenjar posterior yang kemudian
merangsang disekresinya kortisol dari korteks adrenal. SAM system akan
menstimulasi medula adrenal untuk merilis epinefrin dan norepinefrin (NE)
(Guyton & Hall, 2008). Peningkatan prduksi ACTH akan menyebabkan
ledakan kortisol di sirkulasi sistemik (Tsigos et al., 2016). Efek kombinasi
kortisol yang dibawa melalui aliran darah ditambah aktivitas neural cabang
35
simpatik dari sistem saraf otonomik disebut sebagai „fight or flight
response’ (Guyton & Hall, 2008).
Kelenjar adrenal akan merespon dengan cara menyekresikan
katekolamin dan terjadilah stimulasi saraf otonom, hiperaktivitas sistem
saraf otonom akan mempengaruhi berbagai sistem organ dan menyebabkan
gejala tertentu, misalnya: kardiovaskuler (contohnya: takikardi),
gastrointestinal (contohnya: diare) dan pernapasan (contohnya: takipnea)
(Guyton & Hall, 2008). Tubuh juga akan merespon perubahan
neurotransmitter ini dalam bentuk perubahan emosi dan perilaku seperti:
kehilangan semangat, penurunan rasa percaya diri, merasa pesimis, depresi
berkepanjangan, dan keluhan fisik lainnya (Frank, 2003).
Keadaan emosi negatif yang mendorong keadaan negatif,
dihipotesiskan berasal dari disregulasi unsur-unsur neurokimia utama yang
terlibat dalam insentive salience di otak dan sistem stres (Koob, 2015).
Humor style ini bersifat merusak dan merendahkan self-esteem seseorang
serta dapat membuat seseorang selalu merasa tidak cukup dengan dirinya,
sehingga orang tersebut akan meningkatkan standar self-evaluative yang
negatif dalam dirinya (Liu, 2012). Individu dengan aggressive humor yang
tinggi akan membuat orang-orang di sekitarnya menghindarinya dan
kebahagiaan mereka akan turun, karena dukungan sosial atau social support
kepadanya menurun. Self-defeating humor berkorelasi negatif dengan well-
being (kesejahteraan) dan dukungan sosial, tetapi berhubungan positif
dengan kecemasan, depresi, permusuhan, dan agresi (Liu, 2012).
36
Individu dengan aggressive humor yang tinggi akan membuat orang-
orang di sekitarnya menghindarinya dan kebahagiaan mereka akan turun,
karena dukungan sosial atau social support kepadanya menurun. Self-
defeating humor berkorelasi negatif dengan well-being (kesejahteraan) dan
dukungan sosial, tetapi berhubungan positif dengan kecemasan, depresi,
permusuhan, dan agresi (Liu, 2012). Humor style ini bersifat merusak dan
merendahkan self-esteem seseorang serta dapat membuat seseorang selalu
merasa tidak cukup dengan dirinya, sehingga orang tersebut akan
meningkatkan standar self-evaluative yang negatif dalam dirinya (Liu,
2012). Penggunaan humor yang bersifat maladaptif menyebabkan
rendahnya self-esteem seseorang (Cann & Collette, 2014).
Affiliative humor mampu meningkatkan keintiman antar pribadi dan
dukungan sosial, sedangkan self-enhancing humor mampu membantu diri
seseorang untuk membentuk pola berpikir positif yang menghasilkan
kebahagiaan, harapan, dan optimisme serta membantu perkembangan self-
esteem (Yue & Liu, 2014; Mathews, 2016). Kebahagiaan mampu
menyebabkan emosi positif yang akan menyebabkan aktivasi sistem limbik,
terutama VTA yang menjadi pusat produksi DA (Sadock, Sadock, & Ruiz,
2015). (Mensen et al., 2014). Emosi positif yang menciptakan kebahagiaan
juga merangsang peningkatan produksi serotonin dan endorfin di sistem
limbik (Dfarhud, Malmiir, & Khanahmadi, 2014). Oleh karena itu, orang-
orang yang menggunakan adaptive humor akan cenderung mempunyai
emosi positif yang stabil atau stable positive emotion (Cann & Collette,
37
2014). Kuiper & McHale (2009) juga menyatakan bahwa semakin tinggi
level affiliative humor seseorang, maka semakin tinggi pula level self-
esteem dan semakin tinggi level self-enhancing humor seseorang, maka
akan semakin meningkatkan self-esteem pada orang tersebut.
Teori neurokimia yang paling berpengaruh dari positive mood
disajikan oleh Ashby et al. (1999), dua elemen utama dari teori mereka
adalah bahwa: positive mood sering dikaitkan dengan peningkatan kadar DA
di otak dan beberapa perubahan kognisi yang diamati dalam positive mood
biasanya terjadi karena peningkatan kadar DA yang terkait dengan positive
mood. Humor style jenis ini juga mampu mengurangi emosi negatif seperti
kecemasan, depresi, dan neurotisisme (Mendiburo-Seguel, Pẚez, &
Martỉnez-Sẚnchez, 2015).
Humor juga mampu memberikan pengaruh psikologis yang mirip
latihan aerobik yang intens seperti: menurunkan kortisol, meningkatkan
sensasi euforia, dan mengurangi rasa sakit serta mampu meningkatkan
produksi DA dan serotonin (5HT2) (Mahoney et al., 2010; Granadilo &
Mendez, 2016; Grant & Zies, 2017). Sensasi euforia meningkat karena
pelepasan endorfin, sehingga rasa sakit, dan stres bisa berkurang (Mahoney
et al., 2010). Humor yang bersifat adaptif mampu meningkatkan character
strength yang berakibat pada peningkatan life-satisfaction, sehingga
berpengaruh positif terhadap self-esteem seseorang (Liu, 2012).