Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. HATI
Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh, organ ini
dapat dipandang sebagai pabrik biokimia utama tubuh (Sherwood, 2012). Hati
menyumbang sekitar 2 persen berat tubuh total, atau sekitar 1,5 kg pada rata-rata
manusia dewasa. Hati manusia mengandung 50.000 – 100.000 lobulus (Guyton,
2012). Hati melakukan banyak fungsi penting yang berbeda-beda bergantung pada
sistem aliran darahnya yang unik dan sel-selnya yang sangat khusus (Corwin,
2010).
2.1.1. Anatomi Hati
(Snell, 2012)
Gambar 2.1. Anatomi Hati
Hati mempunyai struktur yang lunak dan lentur, terletak di bagian atas
cavitas abdominalis tepat di bawah diafragma. Sebagian besar hati terletak di
bawah arcus costalis dextra dan diafragma setengah bagian kanan memisahkan
hati dari pleura, paru-paru, pericardium dan jantung (Snell, 2012). Hati
7
terbungkus oleh sebuah kapsul fibroelastik yang disebut kapsul (Corwin, 2010).
Permukaan atas hati yang cembung melengkung di bawah kubah diafragma.
Permukaan posteroinferior atau viseralis membentuk cetakan visera yang letaknya
berdekatan, karena itu bentuknya menjadi tidak beraturan. Permukaan ini
berhubungan dengan pars abdominalis esofagus, lambung, duodenum, flexura coli
dextra, ren dextra dan glandula suprarenalis dextra dan vesika biliaris (Snell,
2012).
Batas-Batas Penting Hati yaitu :
Ke anterior: Diaphragma, arcus costalis dexter dan sinister, pleura dextra
dan sinistra, serta margo inferior pulmo dexter dan sinister, processus
xiphoideus, dan dinding anterior abdomen pada angulus subcostalis.
Ke posterior: Diaphragma, ren dexter, flexura coli dextra, duodenum,
vesica biliaris, vena cava inferior, oesophagus, dan fundus gastricus (Snell,
2012)
Hati dibagi menjadi 2 lobus utama yaitu lobus kanan yang lebih besar dan
lobus kiri yang ukurannya lebih kecil (Betts, 2013). Lobus kana terbagi lagi
menjadi lobus quadratus dan lobus caudatus dibatasi oleh vesica iliaris, fissura
untuk ligamen teres hepatis, vena cava inferior dan fissura untuk ligamen
venosum (Snell, 2012). Lobus kiri terletak di epigastrik dan hipokondrim bagian
kiri (Gray, 2000). Hati dihubungkan dengan dinding abdomen dan diafragma
melalui lima lipatan peritoneal, yaitu ligamentum falsiform, ligamen koroner, dua
ligamen lateral dan ligamentum teres hepatis. Ligamentum falsiform dan
ligamentum teres hepatis merupakan bekas vena umbilikalis dan yang
memisahkan lobus kanan dan kiri dari bagian anterior (Betts, 2013).
8
Porta hepatis atau hilus hepatis terdapat di permukaan posteroinferior dan
terletak diantara lobus caudatus dan lobus quadratus (Snell, 2012). Porta hepatis
merupakan tempat dimana arteri hepatik dan vena hepatik memasuki hati. Dua
pembuluh darah ini, berjalan melewati duktus hepatis, kemudian menuju
ommentum bawah bagian lateral (Betts, 2013). Sebagain darah hati sekitar 1000
ml per menit merupakan darah vena yang berasal dari lambung, usus halus dan
usus besar, pankreas dan limpa. Darah vena kurang mengandung oksigen tetapi
kaya zat-zat gizi, termasuk glukosa (Corwin, 2010). Setelah mengaliri hati, darah
arteri dan vena berjalan diantara sel-sel hati melalui sinusoid dan dialirkan ke
vena centralis (Snell, 2012).
(Betts, 2013)
Gambar 2.2. Aliran darah di Hati
Hati menghasilkan banyak cairan limfe, sekitar sepertiga sampai
setengah dari jumlah seluruh cairan limfe tubuh. Pembuluh limfe meninggalkan
hati dan masuk ke dalam sejumlah kelenjar limfe yang ada di dalam porta hepatis.
Pembuluh eferen berjalan ke nodi coeliaci. Beberapa pembuluh limfe berialan dari
9
area nuda hepatis melalui diaphragma ke nodi lymphoidei mediastinales
posteriore (Snell, 2012). Sedangkan persarafan pada hati melalui vagus kiri dan
simpatis, masuk lewat porta dan berjalan bersamaan dengan pembuluh darah
menuju celah interlobular (Gray, 2000).
2.1.2. Histologi Hati
Sel-sel parenkim hati disebut hepatosit (Gartner, 2012). Hepatosit
membentuk suatu lempeng yang berhubungan seperti susunan batu bata di tembok
dan lempeng ini tersusun radial di sekeliling vena sentral (Mescher, 2013).
Hepatosit mampu melakukan setiap fungsi hati. Fungsi eksokrin menghasilkan
cairan empedu, dialirkan ke dalam sistem duktus biliaris, yang kemudian langsung
menuju ke kandung empedu. Selain itu, hepatosit dapat melepaskan berbagai
molekul biosintetik ke dalam aliran darah untuk digunakan di seluruh tubuh.
Selanjutnya, benda-benda asing difagosit oleh sel-sel Kupffer dalam hati, suatu
makrofag yang berasal dari monosit (Gartner, 2012).
Setiap hepatosit berbatasan dengan ruang pembuluh darah yaitu sinusoid,
paling sedikit pada satu sisi dan hepatosit lainnya pada sisi satunya lagi (Mescher,
2013). Selain sel hati, sinusoid vena dilapisi oleh dua tipe sel yang lain : (1) sel
(Wolfgang, 2010)
Gambar 2.3. Histologi Hati
10
endotel khusus dan (2) sel Kuppfer besar (yang disebut juga sel retikuloendotelial)
yang mampu memfagosit bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus
hepatikus (Guyton, 2012).
(Barret, 2013)
Gambar 2.4. lobus hati dan vena sentral
Lapisan endotel sinusoid mempunyai pori-pori yang sangat besar,
beberapa diantaranya berdiameter hampir 1 mikrometer. Di bawah lapisan ini,
terletak diantara sel endotel dan sel hati, terdapat ruang jaringan yang sangat
sempit yang disebut juga ruang Disse yang juga dikenal sebagai ruang
perisinusoidal (Guyton, 2012). Di dalam celah Disse terdapat mikrovili hepatosit,
terkadang sel penyimpan lemak (Sel Iito) dan serat retikulin halus yang
membentuk rangka hati. Sel Ito ini berfungsi menyimpan vitamin A (Mescher,
2013). Selain itu, pada gambaran histologi, akan ditemukan jaringan kolagen di
ruang Disse yang juga diproduksi oleh sel Ito atau yang lebih dikenal sebagai
HSCs (Hepatic Stellate Cells). Pada keadaan patologis, sel HSCs ini
11
berdiferensiasi menjadi miofibroblas yang memproduksi jaringan kolagen
berlebih sehinngga meyebabkan fibrosis hati ( Ross, 2011).
(Ross, 2011)
Gambar 2.5. Ruang Disse
2.1.3. Fisiologi Hati
Hati memiliki peran kunci pada metabolisme karohidrat termasuk
penyimpanan glikogen, konversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa dan
glukoneogenesis. Substrat-substrat tersebut dikirimkan ke hati setelah melalui
absorbsi di usus (intestine) (Barret, 2013). Hati terutama penting untuk
mempertahankan konsentrasi glukosa darah normal. Penyimpanan glikogen
memungkinkan hati mengambil kelebihan glukosa dari darah, menyimpannya,
dan kemudian mengembalikannya kembali ke darah bila konsentrasi glukosa
darah mulai turun terlalu rendah. Fungsi ini disebut fungsi penyangga glukosa hati
(Guyton, 2012).
Metabolisme lemak oleh hati meliputi : (1) oksidasi asam lemak untuk
menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain, (2) sintesis kolesterol, fosfoliid, dan
sebagian besar lipoprotein, (3) sintesis lemak dari protein dan karohidrat (Guyton,
2012). Hampir semua lemak yang dicerna diserap ke dalam sirkulasi limfe sebagai
12
kilomikron yang merupakan gabungan dari trigliserida, fosfolipid, kolesterol, dan
lipoprotein. Kilomikron disalurkan oleh pembuluh limfe kemudian menyatu
dengan sirkulasi sitemik. Trigliserida kemudian diubah kembali menjadi asam
lemak dan gliserol terutama oleh enzim kapiler hati. Dari kapiler, asam lemak
dapat berdifusi masuk ke sebagian besar sel (Corwin, 2010).
Kira-kira 80% kolesterol yang disintesis di hati diubah menjadi garam
empedu, yang kemudian disekresikan kembali ke dalam empedu (Guyton, 2012).
Hati mensintesis sebagian besar lipoprotein yang dibutuhkan tubuh dan menjaga
homeostasis kolesterol dengan sintesis molekul dan mengalihkan kelebihan
kolesterol menjadi asam empedu (Barret, 3013).
Selain itu, hati juga berperan dalam metabolisme protein. Jaringan utama
yang menyimpan protein di tubuh adalah hati (Corwin, 2010). Tubuh tidak bisa
menggantikan kontribusi hati pada metabolisme protein lebih dari beberapa hari
tanpa terjadi kematian (Guyton, 2012). Apabila tidak ada lagi asam amino yang
dapat disimpan sebagai protein, maka hati melakukan deaminasi asam amino dan
menggunakannya sebagai sumber energi atau mengubahnya menjadi glukosa,
glikogen, atau asam lemak (Corwin, 2010).
Hati juga berfungsi sebagai detoksifikasi darah dari benda asing. Peran ini
dimaiankan oleh sel kuppfer (Barret, 2013). Obat dan seringkali bahan toksik
dimodifikasi oleh hati dan dibuat menjadi inaktif atau larut air dengan
mengkonjugasikan dengan senyawa kimia lain. Dengan proses ini, hati memberi
sinyal pada tubuh untuk mengekskresikan zat-zat tersebut (Corwin, 2010).
Detoksifikasi tersebut bisa terjadi melalui dua mekanisme melalui
apoptosis oleh sel kuppfer dan reaksi biokimia. Tahap awal dari reaksi biokimia
13
melalui sejumlah besar enzim P450 (Cytochrome P450) yang terekspresi di
hepatosit . Enzim ini merubah xenobiotik dan toksin lain menjadi tidak aktif
(inactive). Detoksifikasi terbagi menjadi fase I (Oksidasi, hidroksilasi dan reaksi
melalui CYP450) dan fase II (esterifikasi). Kemudian, hasil metabolisme tersebut
disekresikan ke kantung empedu untuk dieliminasi melalui traktus gastrointestinal
(Barret, 2013). Begitu juga dengan sekresi seluruh hormon steroid. Kerusakan
hati dapat menyebabkan penimbunan yang berlebihan dari hormon-hormon
tersebut (Guyton, 2012).
Alkohol adalah salah satu contoh obat yang terutama dimetabolisasi di hati
(Corwin, 2010). Metabolisme alkohol di hati berlangsung melalui ADH (alcohol
dehydrogenase) yang terletak di sitosol dan MEOS (Microsomal ethanol oxidizing
system) yang berada di retkulum endoplasma (Caballeria, 2003; Corwin, 2010).
Meskipun begitu, metabolisme alkohol yang terjadi di hati menghasilkan beberapa
produk diantaranya adalah asetaldehid dan molekul reaktif yang disebut oksidatif
stres. Kemungkinan, produk-produk ini lebih bebahaya dan berperan besar pada
kerusakan hati yang diinduksi alkohol (Maher, 1997).
ADH (alcohol dehydrogenase) merupakan jalur utama dari metabolisme
oksidatif oleh ethanol. Metabolisme alkohol oleh ADH menghasilkan asetaldehid,
suatu bahan yang sangat reaktif dan toksik yang kemungkinan besar menyebabkan
kerusakan sel hati (Zakhari, 2006). Reaksi tersebut melibatkan elektron
intermediasi , nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+) yang mana akan
direduksi oleh dua elektron untuk membentuk NADH (Avalos, 2010).
Jalur MEOS terutama teraktivasi pada konsumer alkohol kronik, yang
mekanismenya membantu membersihkan bahan-bahan toksik melalui cytochrome
14
P450 (CYP2E1) (Avalos, 2010). Jalur ini menghasilkan pembentukan asetaldehid
dan radikal bebas sebagaimana yang dihasilkan oleh jalur ADH. Selain itu,
CYP450 yang digunakan dalam jalur MEOS tidak hanya berfungsi sebagai
detoksifikasi alkohol, melainkan juga untuk detoksifikasi toksin dan obat lain.
Jika CYP450 lebih banyak digunakan untuk mendetoksifikasi alkohol, maka
enzim ini tidak dapat menjalankan peran lainnya dengan optimal. Sehingga, pada
pecandu alkohol, rentan terhadap kerusakan hati akibat obat-obatan dan bahan
toksin lainnya (Corwin, 2010).
2.2. Fibrosis Hati
2.2.1 Definisi dan Epidemiologi
Fibrosis hati adalah akumulasi ECM (Extracellular matrix) yang
berlebihan di dalam hati. Fibrosis hati disebabkan oleh berbagai macam
patogenesis, zat mekanik, dan zat-zat toksik (Philippe, 2007). Fibrosis hati muncul
sebagai respon perbaikan kerusakan hati kronis yang justru merusak dan
dibungkus oleh extracellular matrix (ECM) (Reeves, 2002). Pada keadaa normal,
keseimbangan antara ECM diregulasi oleh metalloproteinases (MMP) dan
inhibitor spesifik (TIMPs) (Ramm, 2005). Fibrosis berhubungan erat dengan
perubahan dari jumlah ECM di hati terutama karena penigkatan TIMP-1
(Bertrand, 2004). Jika fibrosis hati berlangsung kronis tanpa perbaikan, maka
akan memperparah derajat fibrosis hati bahkan akan berkembang menjadi sirosis
hati dan Hepatocellular Carcinoma (HCC) (Philippe, 2007).
Sirosis hati adalah respon terhadap kerusakan kronis yang terjadi di hati
dan merupakan stadium akhir dari fibrosis hati yang ditandai dengan perubahan
abnormal dari bentuk dan fungsional sel hati (Lee, 2014). Di Amerika
15
Serikat,sirosis hati menjadi penyebab kematian di urutan ke-12 pada tahun 2007
dengan angka kematian mencapai 29.165 dan angka mortalitas 9,7 per 100.000
orang (Starr, 2011). Di eropa, sirosis hati menyebabkan 170.000 kematian setiap
tahunnya (Blachier, 2013). Sedangkan di Jepang pada tahun 2008, menurut
Nationwide Survey of Japan, sirosis hati akibat hepatitis C mencapai 60,9%
(Michitaka, 2010).
2.2.2. Etiologi dan Patogenesis
Etiologi atau penyebab dari fibrosis hati beraneka ragam, beberapa
diantaranya adalah alkohol, infeksi hepatitis C kronis, dan NAFLD (Nonalcoholic
fatty liver disease) (Zhou, 2014). Dari berbagai faktor tersebut, ada dua faktor
utama yang dapat menyebabkan terjadinya fibrosis, yaitu infeksi hepatitis C dan
penggunaan alkohol (Esparza, 2015).
Alkohol menginduksi kerusakan hati melalu dua jalur yang paling
dominan, yaitu stres oksidatif dan inflamasi(Lach, 2014). Metabolisme alkohol di
hati melalui jalur MEOS (melibatkan enzim CYP450) dan NADH menghasilkan
ROS (Reactive oxygen species) (Zakhari, 2006). Begitu juga dengan Hepatitis C
yang menyebabkan apoptosis sel hati dan kerusakan mitokondria, sehingga
menyebabkan ROS di hati meningkat (Lach, 2014).
Reactive oxygen species (ROS) memiliki peran yang penting pada
penyakit hati kronik dan fibrosis hati (Jiang, 2012). ROS akan menstimulasi
mumculnya berbagai macam mediator pro-inflamasi, salah satunya Tumor
Necroting Factor- α (TNF- α) dan sitokin-sitokin lainnya (Reeves, 2002). Sitokin
dan TNF-α mengaktivasi reaksi inflamasi yang menyebabkan sel mengalami jejas
dan kerusakan sel. Selain itu, ROS juga mengalami peroksidase di dalam
16
mitokondria menimbulkan kematian sel dan apoptosis (Zakhari, 2006). Dengan
adanya apoptosis, sel kupffer akan teraktivasi (Bataller, 2005). Aktivasi sel
kupffer meningkatkan fibrogenesis hati dengan keluarnya sitokin dan kemokin
yang nantinya menstimulasi sel HSCs (Czaja, 2014).
Hepatic Stellate Cell (HSCs) yang berada di ruang Disse, merupakan
faktor utama dari penumpukan ECM baik dalam keadaan normal maupun
fisbrosis hati (Philippe, 2007). HSCs pertama kali ditemukan oleh Von Kuppfer
pada tahun 1876, pada proses aktivasi fenotip yang terjadi saat hati mengalami
kerusakan kronis ditandai dengan banyaknya jaringan fibrin (Geerts, 2001). HSCs
yang juga dikenal sebagai liposit, sel Ito, atau sel perisinusoidal diduga
merupakan faktor utama pembentukan jaringan kolagen di hati (Bataller, 2005).
(Czaja, 2014)
Gambar 2.6. Aktivasi Fibrosis Hati
Inflamasi hati yang kronis mengaktivasi kupffer cell yang nantinya akan
meningkatkan kadar ROS, NOS, dan iNos. Kemudian terjadi apoptosis sel hati,
dan terbentuklah HSCs. HSCs ini akan mengeluarkan TGF-B yang menyebabkan
HSCs berdiferensiasi menjadi myofibroblast-like cellI. Myofibroblast-like cellI
menstimulasi terjadinya proliferas, inflamasi dan fibrogenesis. Selain itu,
myofibroblast-like cellI juga akan menghasilkan Extracellular Matrix (ECM)
yang sangat mempengaruhi terjadinya fibrosis hati
17
Saat terjadi luka kronis di hati, sel HSCs akan berdiferensiasi menjadi
myofibroblast-like cell yang menstimulasi terjadinya proliferasi, inflamasi dan
fibrogenesis (Philippe, 2007). Sel HSCs ini memproduksi terlalu banyak kolagen
yang nantinya menyebabkan fibrosis pada hati. HSCs juga memproduksi ROS
dan TGF-β. Sehingga akumulasi ROS di jaringan hati akan meningkat (Shimizu,
2012).
2.2.3. Diagnosis
Biopsi hati merupakan gold standar dalam mendiagnosis fibrosis hati.
Pemeriksaan histologis sangat berguna dalam menentukan penyebab dari fibrosis
hati dan menentukan seberapa berat inflamasi beserta stage fibrosisnya. Staging
pada fibrosis hati biasanya menggunakan Metavir (I-IV) dan Ishak Score (I-V).
Biopsi hati merupakan suatu tindakan yanng invasif intuk pasien. Scoring dapat
dilakukan juga dengan cara yang lebih mudah dan nyaman yaitu dengan
penghitungan platelet, aminotransferase serum, prothrombin time dan protein
serum (Regev, et all., 2002)
Dalam diagnosis fibrosis hati dapat juga dilakukan imaging dengan
menggunakan ultrasonography (USG) dan MRI. MRI dapat melihat perubahan
dari parenkim hati mulai dari kerusakan yang sedang hingga berat. Pada segi
biaya, USG lebih direkomendasikan daripada MRI. Namun, ketelitian pada USG
sangat bergantung pada operator (Callewaert, et all., 2004).
2.2.4. Tatalaksana dan Pencegahan
Saat ini belum ada terapi standart untuk mengobati fibrosis hati. Tetapi,
pada beberapa penelitian eksperimental mereka mencoba untuk menekan
progresifitas dari fibrosisnya, namun belum pernah dicoba efikasinya pada
18
manusia. Eliminasi dari faktor penyabab fibrosis hati juga merupakan tindakan
yang efektif untuk menekan progresifitasnya. Strategi ini lebih efektif untuk
sebagian besar penyakit kronis pada hati (Arthur, 2002)
Pada pasien dengan sirosis dan sudah mengalami komplikasi transplantasi
hati adalah satu satunya terapi yang dapat diambil. Transplantasi dapat
meningkatkan kualitas hidup pada pasien sirosis. Namun pada pasien dengan
sirosis akibat Hepatitis C Virus (HCV), virus biasanya dapat rekuren setelah
transplantasi (Arthur, 2002).
2.2.5. MDA Sebagai Produk Stress Oksidatif
Oksidatif stres yang tidak terkontrol (ketidakseimbangan antara pro-
oksidan dan antioksidan) menyebabkan kerusakan pada sel, jaringan dan organ.
Sudah diketahui sejak lama bahwa level yang tinggi pada oksidatif stres atau
reactive oxygen species (ROS) dapat menimbulkan kerusakan langsung pada lipid
(Moldovan, 2004). Peroksidase lipid atau reaksi antara oksigen dengan
unsaturated lipid menghasilkan banyak produk oksidase. Produk primer dari lipid
peroksidase yaitu lipid hidroperoksidase (LOOH). Sedangkan produk secondary
diantaranya yaitu malondialdehid (MDA), propanal, hexanal, dan 4-
hidroknonenal (4-HNE) yang secara mendalam telah diteliti oleh Estebauer dkk di
tahun 1980.
Malondialdehid (MDA) merupakan hasil akhir dari radikal bebas dan
seringsekali digunakan sebagai marker dari stres oksidatif (Grune T & Berger
MM, 2007). Pengukuran kadar MDA merupakan pengukuran aktivitas radikal
bebas secara tidak langsung sebagai indikator stres oksidatif. Pengukuran ini bisa
19
dilakukan dengan tes Thiobarbituric Acid Reactive Substances (TBARS test)
(Slater, 1984; Powers & Jackson, 2008).
2.3. Jintan Hitam
Jintan hitam (Nigella sativa) dipercaya berasal dari daerah Mediterania
namun saat ini telah dikembangbiakkan di berbagai belahan dunia, termasuk Arab
Saudi, Afrika Utara, dan sebagian Asia. Jinten hitam juga dikenal sebagai black
cumin, fennel flower, Nutmeg flower, Roman coriander, black seed, black
caraway, black onion seed, kalonji, habatussauda, dan habbat albarakah (biji
barakah) (Ramadan & Morsel, 2001). Secara tradisional biji jintan hitam telah
digunakan selama berabad-abad di Asia, Timur Tengah dan Afrika untuk
mengobati penyakit yang berhubungan dengan pernafasan, perut, saluran
pencernaan, fungsi ginjal dan liver, membantu sirkulasi darah dan sistim imun.
Minyak jintan hitam digunakan untuk mengobati sakit kulit seperti eksem dan
gejala panas-dingin (Badan POM RI, 2009).
2.3.1 Taksonomi dan Morfologi Jintan Hitam
(Sharma, et.al., 2009)
Gambar 2.7. Jinten Hitam, bunga, dan
bijinya
20
Berdasarkan ilmu toksonomi dan klasifikasi tumbuhan, jintan hitam
dikelompokkan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Order : Ranunculales
Family : Ranunculaceae
Genus : Nigella
Species : N. sativa (Sharma, et.al., 2009)
2.3.2 Kandungan Biji Jintan Hitam
Black cumin atau jintan hitam (Nigella sativa L) mengandung beberapa
senyawa aktif, yang paling utama yaitu thymoquinone (30%-48%),
thymohydroquinone, dithymoquinone, p-cymene (7%-15%), carvacrol (6%-12%),
4-terpineol (2%-7%), t-anethol (1%-4) (Ahmad, 2013). Selain itu, biji Jinten
hitam mengandung 36%-38% fixed oil, pro-tein, alkaloid, saponin dan 0,4%-
2,5% minyak esensial (Lautenbucher dalam Ali & Blunden, 2003).
2.3.3 Efek Antioksidan Jinten Hitam
Biji dan ekstrak jinten hitam telah terbukti berperan sebagai
antioksidan karena memberikan efek proteksi pada kerusakan yang disebabkan
oleh proses oksidasi. Musa et.al dalam Malhotra (2012) membuktikan bahwa
ekstrak etanol dari jinten hitam. Kemudian Ibraheem (2010) melaporkan bahwa
jinten hitam memiliki efek antagonis terhadap kalsium, serta berfungsi sebagai
antioksidan, keduanya berperan penting dalam manajemen suatu penyakit. Nour
dan Mourad (2010) membuktikan bahwa minyak jinten hitam memiliki efek
21
antioksidan pada induksi oksidatif stres yang berupa Monosodium Glutamate
(MSG) pada otak tikus, dan ekstraknya juga dapat mencegah perburukan akibat
stres oksidatif.
2.3.3.1. Thymoquinone
Thymoquinone merupakan antioksidan yang terkandung di dalam
jintan hintam (Hurairah, 2014). Sebagai antioksidan, Thymoquinone
bekerja menghambat oksidatif stres dengan meningkatkan aktivitas enzim
SOD dan menghambat reaksi lipid peroksidase (Xin, 2013). Selain itu,
Thymoquinone juga menghambat pembentukan prostaglandin yang
merupakan pro inflamasi. Tymoquinone juga dapat berfungsi sebagai anti
bakteri, memiliki choleretic effect (menstimulasi produksi empedu),
berguna untuk metabolisme lemak dan racun (Hurairah, 2014)
2.3.3.2. Flavonoid
Dalam beberapa studi terdahulu telah menunjukkan pentingnya
letak gugus OH dari suatu fenol yang berfungsi sebagai anti radikal
bebas, dua hidroksil pada cincin B ( 3’ dan 4’) yang dapat bertindak
sebagai donor elektron merupakan target dari radikal bebas (Kumar,
2007).
2.3.3.3. Linoleic acid dan β-carotene
22
Asam linoleat atau linoleic acid berfungsi sebagai antioksidan
melalui aktifitasnya menghambat reaksi lipid peroksidase, sehingga
menurunkan produk-produk dari lipid peroksidase, salah satunya
malondyaldehyde (MDA) (Sultan et al, 2009 ; Septiana, 2002). Sedangkan
β-carotene, merupakan mikronutrien terbanyak dengan senyawa yang
efektif sebagai scavanger antioksidan yang bereaksi terhadap oksigen
tunggal radikal bebas, sehingga menghambat lipid peroksidase (Sultan et
al, 2009 ; Ardhie, 2011).
2.4. CCl4 sebagai Agen Hepatotoksik
Carbon tetrachloride adalah senyawa kimia dengan rumus molekul CCL4.
Carbon tetrachloride berupa cairan bening mudah menguap dan berbau khas.
Laporan kasus keracunan carbon tetrachloride didapat dari investigasi kasus
bunuh diri menggunakan carbon tetrachloride. Dari hasil pemeriksaan carbon
tetrachloride toksik terhadap hati dan ginjal. Pada hati kerusakan terjadi pada 24
jam pertama, pada ginjal terdeteksi setelah 1-6 hari tetapi paling sering 2-3
minggu setelah keracunan. Karbon tetraklorida merupakan senyawa yang bersifat
toksik (WHO, 2004)
Karbon tetrachloride di dalam tubuh akan mengalami proses
biotransformasi oleh enzim CYP2E1 membentuk radikal bebas yaitu radikal
triklormetil (CCl3). Radikal ini kemudia akan bereaksi dengan oksigen dan
membentuk radikal triklorometil peroksi (OOCCl3) yang lebih reakti (WHO,
2004). Radikal triklorometil dapat menyebabkan terrjadinya kerusakan sitokrom
P-450. Radikal triklorometil akan berikatan secara kovalen dengan lemak
23
microsomal dan protein, dan akan bereaksi secara langsung dengan membrane
fosfolipid dan kolesterol. Reaksi ini juga menghasilkan kloroform, yang
merupakan salah satu metabolit dari karbon tetraklorida. Selain itu radikal
triklorometil dapat menginisiasi terjadinya radikal lipid yang menyebabkan
terbentuknya lipid hidroperoksidase (LOOH) dan radikal lipid alkoksil (LO)
melalui proses fragmentasi, radikal lipid alkoksi tersebut akan diubah menjadi
malondialdehid. Senyawa aldehid inilah yang akan menyebabkan kerusakan pada
membran plasma dan meningkatkan permeabilitas membran (WHO, 2004).
CCl4 merupakan agen yang paling sering digunakan sebagai eksperimen
yang menginduksi terjadinya fibrosis hati di binatang percobaan. CCl4
menginduksi fibrosis atau sirosis dengan morfologi dan patofisiologi yang hampir
sama dengan yang terjadi pada manusia (WU J & Norton, 1996). CCl4 pada
hewan percobaan menyebabkan terjadinya regenerasi sel hati, infiltrasi sel-sel
inflamasi, proliferasi dan regenerasi sel stellate serta deposisi dari jaringan ikat
merupakan perubahan histopatologi stelah induksi CCl4 selama 6-9 minggu (Jiang
Z, 1992).