Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi Pankreas
Pankreas merupakan organ pipih yang terdapat diantara lambung dan usus.
Pankreas mempunyai fungsi eksokrin dan endokrin. Kelenjar eksokrin ini adalah
untuk biosintesis dan juga di duodenum berfungsi untuk sekresi berbagai enzim
pencernaan, untuk fungsi endokrin ialah yang berkaitan dengan sekresi hormon
yang berkaitan dengan metabolisme karbohidrat (Sloane, 2003).
Gambar 2. 1 Anatomi Fisiologi Pankreas (Daniel, 2014)
Pankreas berupa kelenjar lunak dan memanjang yang memiliki unit
fungsional yang utama, yaitu asinus dan duktus. Kumpulan dari kelenjar eksokrin
disebut sel asinar. Sel asinar berfungsi khusus untuk mensintesis, menyimpan, dan
mensekresi enzim pencernaan. Hormon dan neurotransmitter berikatan dengan
reseptor cyclic adenosine monophosphate (cAMP) pada membran basolateral yang
berfungsi untuk merangsang pankreas untuk mengeuarkan enzim dan menghasilkan
6
peningkatan intraseluler bebas Ca2+. Intraseluler ini mengaktifkan retikulum
endoplasma untuk meningkatkan sintesis protein. Enzim ini akhirnya dilepaskan
melalui sekresi duktus asinar ke dalam duktus interlobular dan akhirnya ke duktus
pankreas utama (Dua and Shaker, 2016).
Produk eksokrin pankreas dapat diklasifikasikan menjadi konstituen
anorganik dan organik. Komponen anorganik utama adalah air, natrium, kalium,
klorida, dan bikarbonat. Sekresi ini jernih, alkali, dan isotonik dan berfungsi untuk
mengirimkan enzim pencernaan ke lumen duodenum. Aliran sekresi pankreas dapat
meningkat dari 0,2 ml / menit saat istirahat menjadi 4 ml / menit ketika distimulasi,
dengan volume sekresi harian total 2,5 L. Konstituen organik terdiri dari enzim
pencernaan, termasuk amilase dan lipase. Amilase manusia terutama di sekresi oleh
kelenjar ludah dan pankreas dan merupakan enzim utama untuk mencerna pati dan
glikogen. Lipase pankreas terdiri dari tiga jenis utama, yaitu trigliserida lipase,
fosfolipase A 2, dan karboksilesterase (Dua and Shaker, 2016).
Gambar 2. 2 Anatomi fisiologi dari pulau Langerhans di Pankreas (Guyton and
Hall, 2016)
Pulau Langerhans berada di dalam bagian endokrin, bagian ini berisi pulau-
pulau pankreas/ langerhans yang menyebar di dalam jaringan pankreas dan
berfungsi menghasilkan glukagon dan insulin di dalam tubuh (Guyton and Hall,
2016). Menurut Mescher (2010) Pulau-pulau pankreas ini terdiri dari beberapa
bagian sel, diantaranya
7
▪ Sel alfa berfungsi untuk memproduksi hormon glukagon (25% dari
pulau Langerhans)
▪ Sel beta berfungsi untuk memproduksi hormon insulin (70% dari pulau
Pankreas)
▪ Sel delta berfungsi menghasilkan hormon somatostatin (< 5% dari pulau
Pankreas)
▪ Sel gamma berfungsi untuk memproduksi polipeptida pankreas (< 1%
dari pulau Langerhans)
Diabetes melitus atau penyakit gula disebabkan karena pankreas kurang
dalam mengsekresi insulin (DM tipe 1) atau dapat dikarenakan sekresi yang tidak
cukup untuk insulin mengkompensasi penurunan sensitivitas terhadap efek insulin
(diabetes tipe 2). Dengan tidak adanya insulin yang cukup, penggunaan normal
glukosa untuk metabolisme dicegah. Sebaliknya, asam asetoasetat merupakan
bagian dari lemak yang dipecah, dimana asam asetoasetat di metabolis oleh jaringan
untuk menghasilkan energi yang terletak di dalam glukosa. Dengan diabetes melitus
yang parah, jumlah asam asetoasetat dalam darah dapat naik cukup tinggi, sehingga
mengakibatkan kondisi metabolik asidosis yang parah. Dalam upaya untuk
mengkompensasi asidosis ini, jumlah besar asam di ekskresikan dalam urin.
kadang-kadang sebanyak 500 mmol / hari (Guyton and Hall, 2016).
2.2 Definisi Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan suatu kelainan proses metabolisme dalam tubuh
berupa gangguan metabolik kronik berupa adanya tanda-tanda peningkatan glukosa
dalam darah yang berkaitan dengan tidak normalnya metabolis protein, karbohidrat,
dan lemak yang terjadi dikarenakan adanya sensitivitas dan kelainan insulin
ataupun dari kedua nya yang dapat menyebabkan komplikasi kronis (Dipiro et al,
2015). Perkeni., 2015, mendefinisikan suatu gangguan metabolis dengan adanya
hiperglikemia dikarenakan akibat ketidaknormalan kerja dan sekresi insulin.
Sedangkan ADA., 2013, mendefinisikan berupa kelainan metabolik berupa tanda-
tanda meningkatnya glukosa dikarenakan ketidakmampuan pankreas
mensekresikan insulin.
Pada beberapa populasi, definisi diabetes dalam pendistribusian gula darah
ialah mendistribusikan glukosa menyeluruh dengan penyaluran glukosa kepada
8
berbagai individu yang memiliki gejala diabetes. Dalam hal lain pendistribusian
gula ini dapat juga menjadi patokan atau dengan artian nilai definisi diagnosa bagi
pederita diabetes berdasar dari value pendistribusian glukosa pada cakupan
populasi bukan pada kesanggupan latihan jasmani nya. Komplikasi makrovaskular
dan mikrovaskular dapat menimbulkan hal yang fatal hingga berujung kematian.
pengucapan ini didukung dengan adanya kadar gula yang tidak semestinya, dimana
ditunjukan dengan kardiovaskular yang timbul (Mogensen, 2007).
2.3 Batasan Diabetes Melitus (DM)
Menurut ADA., 2018 dan PERKENI., 2015 Kriteria diagnosis Diabetes
Melitus (DM) ialah Gula darah plasma puasa ≥ 126 mg/dl dengan disertai gejala;
Glukosa 2 jam setalah pembebanan ≥200 mg/dl; Gula darah plasma sewaktu ≥200
mg/dl bila terdapat keluhan klasik DM seperti banyak kencing (poliuria) dan juga
disertai gejala-gejala seperti banyak makan (polifagia), banyak minum (polidipsia),
dan penurunan berat badan yang tidak jelas asal-usulnya. Sedangkan parameter
diagnosa DM menurut persatuan endokrin PERKENI., 2015 ialah Pemeriksaan
glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa merupakan kondisi tidak ada asupan
kalori minimal 8 jam, atau Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah
TTGO dengan beban glukosa 75 g, atau pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200
mg/dl dengan adanya gejala polifagia, poliuria, polidipsia dan penurunan berat
badan secara tiba-tiba, dan juga pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan penggunaan
metode yang telah di standarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization
Program (NGSP). Berikut kriteria untuk diagnosis diabetes mellitus menurut
(Longo et al., 2015), yaitu:
A. Glukosa plasma puasa ≥7.0 mmol / L (≥126 mg / dL)
B. Gejala diabetes plus konsentrasi glukosa darah acak (GDA) ≥11.1 mmol / L
(≥200 mg / dL)
C. Glukosa plasma 2 jam ≥11,1 mmol / L (≥200 mg / dL) selama tes toleransi
glukosa oral 75 g.
D. Hemoglobin A1c> 6,5%
Kriteria tersebut harus dikonfirmasi dengan pengujian ulang pada hari yang
berbeda, kecuali terdapat hiperglikemia. Dua kategori menengah juga telah
ditetapkan, yaitu:
9
A. Gangguan glukosa puasa (IFG) untuk kadar glukosa plasma puasa 5,6-6,9
mmol / L (100-125 mg / dL)
B. Gangguan toleransi glukosa (IGT) untuk kadar glukosa plasma 7,8-11,1 mmol
/ L (140–199 mg / dL) 2 jam setelah 75-g beban glukosa oral
Individu dengan IFG atau IGT tidak memiliki resiko DM, tetapi berisiko besar
untuk mengembangkan DM tipe 2 dan penyakit kardiovaskular di masa depan.
Skrining dengan kadar glukosa plasma puasa dianjurkan setiap 3 tahun untuk
individu di atas usia 45 tahun, serta untuk individu yang lebih muda yang kelebihan
BB (indeks masa tubuh ≥25 kg / m2) dan memiliki satu atau lebih faktor resiko
tambahan. Dan berikut kriteria diagnosis untuk diabetes menurut (Katzung, 2018)
Tabel II. 1 Kriteria diagnosis penderita Diabetes Melitus (Katzung, 2018)
Toleransi Glukosa
Normal, mg/dL
(mMol/L)
Prediabetes
Diabetes Melitus2
Glukosa darah
puasa mg/dL
(mmol/L)
< 100 (5,6) 100-125 (5,6-6,9)
(Glukosa puasa
terganggu)
≥ 126
(7,0)
Gula darah 2 jam
post prandial
mg/dL (mmol/L)
< 140 (7,8) ≥140-199
(7,8-11,0)
(Toleransi
glukosa
terganggu)
≥ 200
(11,1)
HbA1c (%)
(Kriteria ADA)
< 5,7 5,7-6,4 ≥6,5
2.4 Etiologi Diabetes Melitus
Faktor resiko DM bisa dibagi menjadi dua, yakni yang dapat dirubah dan
yang tidak dapat dirubah. Faktor resiko yang tidak dapat dirubah yaitu usia, jenis
kelamin, etnik, ras, asal-usul keluarga penderita DM, riwayat bayi baru lahir dengan
BB > 4Kg, dan riwayat lahir dengan BB lahir rendah yakni < 25Kg. Sedangkan
faktor resiko DM yang dapat dirubah banyak keterikatan dengan perilaku hidup
yang buruk, yaitu berat badan berlebih, obesitas sentral atau abdominal, kurangnya
10
latihan jasmani, tekanan darah tinggi, displidemia, diet tidak benar, riwayat TGT
atau terganggu GDP terganggu, dan merokok (Riskesdas Kemenkes RI, 2013).
Berikut gambar etiologi terkait diabetes melitus beserta penjelasannya.
Gambar 2. 3 Etiologi Diabetes Melitus Tipe 2 (McCorry, et al 2019)
Penyebab diabetes bersumber dari pankreas yang tidak bisa menghasilkan
insulin sesuai dengan apa yang diperlukan tubuh (Charles dan Anne, 2010).
Diabetes melitus tipe 2 Paling umum terjadi pada pria gemuk berusia antara 40 dan
60 tahun. Pada saat diagnosis, sekresi insulin mungkin normal atau bahkan dapat
meningkat. Kelebihan produksi insulin yang berkelanjutan oleh sel beta, dapat
menyebabkan kehancuran sel beta. Komplikasi akut diabetes tipe 2 dapat berupa
hiperosmolar hiperglikemik sindrom (McCorry, et al 2019). Berikut faktor-faktor
penyebab diabetes melitus
2.4.1 Pola makan
Salah satu penyebab timbulnya penyakit DM adalah dari pola konsumsi
makanan yang berlebih serta jumlah kalori yang tidak terkontrol yang masuk ke
11
dalam tubuh. Makan yang berlebih dan tidak pada porsi nya serta tidak
diimbangkan dengan jumlah sekresi insulin yang mencukupi dapat mengakibatkan
kadar glukosa dalam darah meningkat (Hasdianah, 2012).
2.4.2 Faktor genetik
Resiko terserang penyakit DM kemungkinan lebih rentan terjadi pada
anggota keluarga yang memiliki riwayat diabetes melitus dibanding dengan
anggota keluarga yang tidak terkena diabetes mellitus. Para ahli menuturkan bahwa
DM adalah penyakit yang berhubungan dengan kromosom seks. Dalam hal ini
besar kemungkinan penderita sesungguhnya ialah laki-laki. Sedangkan untuk
perempuan hanya sebagai pembawa gen yang diturunkan kepada anak nya
(Maulana, 2008).
2.4.3 Pola hidup
Faktor penyebab diabetes melitus juga datang dari pola hidup yang tidak
sehat. Malas berolahraga adalah salah satu faktor penyebab diabetes melitus, karena
fungsi dari berolahraga itu sendiri untuk pembakaran kalori yang berlebih di dalam
tubuh. Kalori yang menimbun dalam tubuh inilah yang menjadi salah satu faktor
penyebab diabetes melitus (Hasdianah, 2012).
2.4.4 Obesitas
Obesitas adalah suatu ketidakseimbangan antara berat bedan dengan tinggi
badan yang disebabkan oleh penimbunan lemak di dalam tubuh sehingga
mengakibatkan berat badan berlebih (Sumanto, 2009). Obesitas biasanya terjadi
pada tubuh bagian atas yang menyebabkan kurangnya reseptor insulin pada
jaringan lemak dan otot skeletal (Smeltzer, et al, 2008). Obesitas juga dapat
mempengaruhi sel-sel lemak menghasilkan zat adipositokin dengan jumlah yang
banyak. Zat inilah yang menyebabkan terjadinya resistensi insulin (Hartini, 2009).
Pengukuran lemak tubuh berdasarkan tingkat populasi dengan kriteria BB
diatas kriteria dan obesitas pada orang dewasa, dapat dilaksanakan dengan indikator
index massa tubuh (IMT) (Sugondo, 2006). Berikut klasifikasi indeks masa tubuh
menurut Asia Pasifik.
2.5 Epidemiologi Diabetes Mellitus
Prevalensi DMT2 ini meningkat setiap tahun nya. Dapat dikarenakan aktivitas
keseharian yang cenderung tidak sehat. Menurut World Health Organization
(WHO), 2016 menyebutkan bahwa jumlah masyarakat indonesia yang memiliki
12
penyakit DM terjadi penaikan angka yang cukup tinggi untuk kedepannya.
Kenaikan prevalensi penderita DMT2 di Indonesia diprediksi WHO mengalami
peningkatan yang cukup tinggi, yaitu pada tahun 2000 sekitar ± 8,5 juta penduduk
menjadi di kisaran 22 juta penduduk di 30 tahun kedepan (WHO, 2011). Di Jawa
Timur sendiri prevalensi diabetes mellitus menurut Riskesdas., 2018, kejadian
terbesar terdapat di kota madiun, sedangkan daerah Blitar menempati urutan ke 16
dari 38 wilayah kabupaten/kota (Riskesdas, 2018).
Tabel II. 2 Klasifikasi IMT (Sugondo, 2006)
Klasifikasi BMI (Kg/m2)
BB kurang < 18,5
Normal 18,5 – 22,9
BB berlebih ≥ 23
Beresiko 23 – 24,9
Obesitas I 25 – 29,9
Obesitas II ≥ 30
Menurut (Depkes, 2003) IMT adalah index sederhana dari BB terhadap
tinggi badan yang digunakan untuk klasifikasi BB dan obesitas dengan kriteria
dewasa, berikut rumus penentuan index masa tubuh (IMT)
IMT = BB (Kg)
TB (m) x TB (m)
2.6 Klasifikasi Diabetes Melitus
Berdasarkan ADA., 2014, penyakit DM dapat diklasifikasikan menjadi 4 yaitu
DM tipe 1, DM tipe 2, diabetes gestasional, dan diabetes tipe lainnya. Diabetes
melitus merupakan penyakit yang tidak ada tanda-tanda atau gejala yang terlihat,
hal ini mengakibatkan banyak penderita masuk RS dengan diagnosa penyakit
kronis disertai komplikasi. Pada tipe 1 terjadi kerusakan sel pankreas yang sering
berakibat kurangnya insulin yang mutlak. DM tipe 1 ini terbagi lagi menjadi 2 tipe
yaitu immune-mediates diabetes, ialah merupakan kerusakan sel pankreas akibat
proses autoimun dan yang kedua idiopathic diabetes, penyebab tipe ini tidak
diketahui, namun tidak ada bukti terjadi proses autoimun. Sedangkan DM tipe 2 ini
diderita oleh 90-95% penderita diabetes. Mayoritas pasien mengalami kelebihan
BB dan kondisi tersebut menimbulkan resistensi insulin. Pasien DM yang normal
berdasarkan kriteria BB tradisional, kemungkinan mengalami peningkatan
13
distribusi lemak pada regio abdomen. Ketoasidosis hampir tidak pernah terjadi pada
tipe ini. Risiko mengalami diabetes melitus tipe 2 naik seiring bertambahya usia,
obesitas, dan aktivitas jasmani yang kurang (ADA, 2018)
2.6.1 Diabetes Melitus Tipe 1
DM tipe 2 ditandai dengan adanya kelainan sistemik yang terjadi akibat
gangguan metabolisme gula yang ditandai oleh hiperglikemia kronis. Keadaan ini
diakibatkan oleh rusaknya sel beta pankreas oleh proses autoimun ataupun idiopatik
sehingga terhentinya pembuatan insulin itu sendiri. produksi insulin yang tidak
mencukupi menyebabkan terganggunya metabolism protein, lipid, dan karbohidrat.
DM tipe-1 ini banyak terjadi pada pasien anak dengan rentang usia 5-6 tahun dan
sampai 12 tahun. Perlu diketahui lebih dari setengah persen penderita baru tipe 1
berusia >19 tahun. (World Diabetes Foundation, 2015)
2.6.2 Diabetes Melitus Tipe 2
DM Tipe 2 dikarakterkan dengan hiperglikemia dan didapatkan dari
resistensi insulin perifer yang dikombinasikan serta ketidakmampuan sekresi
insulin oleh sel beta pancreas, walaupun penyebab spesifik nya belum diketahui,
destruksi autoimun sel beta tidak ada (ADA, 2018). 90 % dari keseluruhan penderita
diabetes mellitus merupakan penderita dengan tipe ini. Diabetes melitus tipe ini
dapat terjadi karena gaya hidup yang salah (kalori berlebih, kurang olahraga dan
obesitas) dan atau faktor genetik. Tanda-tanda yang muncul hampir mirip dengan
diabetes melitus tipe 1. Tetapi seringkali gejala ini tidak tampak, sehingga
penyakitnya terdeteksi baru beberapa tahun setelah penderita mengalami onset-nya.
Kebanyakan tipe ini terjadi pada orang dewasa, tetapi saat ini ada juga yang dialami
oleh anak-anak yang obesitas (PERKENI, 2015).
2.6.3 Diabetes Melitus Gestasional
DM tipe ini merupakan toleransi dari karbohidrat terganggu yang
menyebabkan kadar glukosa naik, dan kali pertama diketahui pada waktu hamil.
Angka frekuensi kejadian 1–14% dari semua kehamilan (data di Indonesia:1,9-
3,6%). Sedangkan frekuensi DM pada kehamilan maupun DMG yang tidak
terdiagnosis 10-25% yg menjadikan naiknya angka kesakitan dan kematian, baik
ibu maupun bayi (WHO, 2013).
14
2.6.4 Diabetes Melitus Tipe Lain
DM tipe lain terjadi akibat penyebab yang lain, yaitu berupa munculnya
gangguan genetik fungsi sel beta, kerja insulin yang terganggu, gangguan eksokrin
pankreas, infeksi, endokrinopati, sebab imunologi yang jarang dan sindroma
genetik lainnya yang kadang dihubungkan dengan diabetes melitus (ADA, 2018).
2.7 Manifestasi Klinis Diabetes Melitus
Gejala DM tipe 1 dan tipe 2 hampir sama, tetapi gejala tersebut biasanya
bervariasi dalam hal intensitas. DM tipe 1 biasanya lebih parah dan lebih cepat
terjadi. Gejalanya terkait dengan efek osmotik glukosa dan kelainan partisi energi.
Gejala umum termasuk poliuria dan polidipsia. Gejala sering disertai dengan
merasa cepat lelah karena glukosa tidak dapat bekerja maksimal disertai penurunan
BB yang ditandai dengan kerusakan lipid dan protein dalam tubuh sebagai alternatif
energi bagi glukosa. Sedangkan untuk DM tipe 2 memiliki onset berbahaya
hiperglikemia, dengan sedikit atau tanpa gejala klasik. Ini khususnya terjadi pada
orang gemuk. gejala seperti Infeksi berulang, misalnya, saluran kemih, dada,
jaringan lunak, sering terjadi karena hiperglikemia berkelanjutan yang dapat
menyebabkan gangguan fungsi fagosit yang parah, dan peningkatan kadar glukosa
yang berfungsi menyediakan media pertumbuhan bagi bakteri. kombinasi
neuropati, penyakit pembuluh darah perifer (PVD) dan infeksi dapat bermanifestasi
sebagai ulserasi kaki atau gangrene dengan keadaan hiperglikemia hiperosmolar
(HHS) di mana kadar glukosa lebih dari 35 mmol / dan menyebabkan dehidrasi
berlebihan. Namun dalam hal lain, penderita DM tipe 2 memiliki komplikasi
ketoasidosis diabetes, terutama pada infeksi berat atau pada keturunan Afrika /
Karibia. (Walker and Whittlesea, 2012). Berikut gejala-gejala yang biasanya
disebabkan oleh diabetes melitus, diantaranya
2.7.1 Polyuria (Pengeluaran Urin)
Merupakan gejala umum pada penyandang DM yang ditandai dengan banyak
kencing. Pengeluaran urin yang berlebih dikarenakan kadar glukosa terlalu tinggi,
sehingga memicu ginjal terus menerus mengekskresikan urin bersama kadar gula
tersebut. Gejala utamanya muncul di malam hari dan disebabkan karena adanya
gangguan pengaturan cairan dan solut pada penyebab dan patofisiologi yang
berbeda-beda (Pardede, 2003).
15
2.7.2 Polydipsia (Timbul Rasa Haus)
Merupakan akibat reaksi tubuh karena banyak mengeluarkan urin.
Mekanisme nya tubuh tidak dapat memproses glukosa yang masuk ke dalam tubuh,
sehingga terjadi tekanan osmotik di dalamnya. Akhirnya banyak urin yang keluar
yang mengandung glukosa sehingga tubuh menjadi terdehidrasi dan merasa haus.
Semakin banyak pengeluaran urin, maka tubuh mengalami dehidrasi yang
mengakibatkan timbul nya rasa haus yang berlebihan. Gejala yang ditimbulkan
merupakan usaha tubuh untuk mengatasi dehidrasi atau kekurangan cairan
(Hembing, 2008).
2.7.3 Polyphagia (Timbul Rasa Lapar)
Penyebab gejala ini ialah semakin kurangnya penyimpanan glukosa yang
terdapat di tubuh walaupun kadar glukosa tinggi. Tidak berhasilnya insulin
menyalurkan glukosa untuk sumber tenaga menjadikan tubuh merasa letih seperti
tidak ada energi, polyfagia terjadi akibat glukosa tidak dapat menembus sel
sehingga terjadi rangsangan kedalam otak agar selalu merasa lapar, efek yang
ditimbulkan penyandang banyak makan (Hembing, 2008).
2.7.4 Penurunan Berat Badan
Penurunan BB adalah satu dari kesekian ciri yang timbul karena penyakit
diabetes melitus. Penurunan BB sangat dipengaruhi oleh metabolisme karbohidrat
yang terganggu. Terganggu nya metabolisme ini berpengaruh pada kegagalan
pembentukan energi dalam tubuh. Hal inilah penyebab tubuh diabetes akan
cenderung mengalami penurunan berat badan (Firdaus, 2017).
2.8 Data Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan GDP (Puasa merupakan keadaan tidak adanya asupan kalori
minimal 8 jam
2. Pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO)
3. Pemeriksaan HbA1c (Dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh NGSP
16
Tabel II. 3 Tes Laboratorium untuk diagnosa diabetes dan prediabetes (Perkeni,
2015)
HbA1c (%) Glukosa darah
puasa (mg/Dl)
Glukosa plasma 2 jam
setelah TTGO (mg/Dl)
Positif
Diabetes
≥ 6,5 ≥ 126 MG/Dl ≥ 200 mg/dL
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Sehat < 5,7 < 100 < 140
Tes laboratorium terkait diabetes melitus menurut Pagana., 2019, meliputi
tes glukagon dengan normal 50-100pg/Ml atau 50-100ng/L, glukagon ini
merupakan hormon yang dikeluarkan oleh sel-sel alfa pankreas pulau
Langerhans. Kedua tes gula darah puasa (GDP) dengan nilai normal pada saat
puasa 70-110 mg/dL dengan catatan puasa kalori 8 jam sebelum tes. Ketiga tes
glukosa 2 jam postprandial (GD2PP) dengan nilai normal umur 0-50 tahun
<140mg/dL, umur 50-60 tahun <150mg/dL dan untuk umur 60 tahun keatas
<160mg/dL. Keempat tes glukosa toleransi (GTT) dengan nilai normal pada
saat puasa <110mg/dL dan didukung dengan tes urin yang negatif. Kelima tes
hormon pertumbuhan (GH) dengan nilai normal pada laki-laki <5ng/mL dan
perempuan <10ng/mL. tes terakhir yang dilakukan adalah tes HbA1c dengan
nilai normal 4-5,9% dan nilai normal kontrol diabetes baik dengan nilai <7%.
Berikut korelasi antara HbA1c dengan rata-rata glukosa plasma
Tabel II. 4 Nilai HbA1c dengan rata-rata glukosa plasma (Pagana, 2019)
A1c (%) Approximate MPG (mg/dL) Interpretation
4 65 Rentang tidak diabet
5 100 Rentang tidak diabet
6 135 Rentang tidak diabet
7 170 Target ADA
8 205 Perlu tindakan
17
2.9 Patogenesis Diabetes Melitus tipe 2
Gambar 2. 4 The 8 Ominous Octet Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2
(DeFronzo, 2009)
Menurut DeFronzo (2009) berikut patogenesis DMT2 yang dipicu oleh 8
point (omnious octet), yaitu:
2.9.1 Gagalnya sel beta pankreas
Pada waktu diagnosis DMT2 ditegakkan, kegunaan sel beta sudah tidak
optimal pada pankreas. Obat OAD yang diberikan untuk bekerja pada jalur ini ialah
golongan meglitinide, sulfonilurea, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor (DeFronzo,
2009).
2.9.2 Liver
Pada pasien DMT2 telah terjadi kondisi kekebalan insulin yang parah
sehingga menimbulkan gluconeogenesis dan menjadikan pembuatan glukosa saat
keadaan basal di dalam livre (HGP=hepatic glucose production) cukup tinggi.
Terapi yang diberikan untuk bekerja pada jalur ini ialah golongan obat DM yang
mempunyai sensitivitas terhadap insulin yaitu metformin, yang gunanya sebagai
penekan proses gluconeogenesis (DeFronzo, 2009).
2.9.3 Otot
Pada pasien DMT2 terjadi hambatan kerja dari insulin yang multipel di
intramyocellular, akibatnya gangguan dari fosforilasi tiroksin menyebabkan
terganggunya transpor glukosa didalam otot, turunnya sintesis glikogen, serta
penurunan oksidasi gula darah. Terapi yang diberikan untuk bekerja pada jalur ini
ialah thiazolidinedione dan juga metformin (DeFronzo, 2009).
18
2.9.4 Sel lemak
Adiposit yang kebal terhadap efek antilipolytic dari insulin, mengakibatkan
naiknya kejadian lipolisis dan kadar adiposit bebas (FFA=Free Fatty Acid) dalam
darah. Meningkatnya FFA dapat mempengaruhi terjadinya glukoneogenesis, dan
mengakibatkan resisten insulin dalam otot dan liver. FFA juga dapat mengganggu
sekresi insulin. FFA yang mengganggu disebut sebagai lipotoxcity. Terapi yang
diberikan pada jalur ini ialah tiazolidindion (DeFronzo, 2009).
2.9.5 Usus
Glukosa yang dikonsumsi dapat memicu respon insulin jauh lebih banyak
dibandingkan bila diberikan secara IV. Efek yang disebut sebagai efek incretin ini
dilakukan oleh dua hormon, yaitu GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) serta GIP
(glucosa dependent insulintrophic polypeptide atau gastric inhibitori polypeptida).
Pada pasien DMT2 dihasilkan defisiensi GLP-1 dan kekebalan terhadap GIP.
Dalam hal lain, incretin akan dirubah dengan keberadaan enzim DPP-4, sehingga
intensitas bekerja hanya dalam hitungan menit. Terapi yang dapat diberikan pada
jalur ini untuk menghambat kinerja DPP-4 ialah golongan DPP-4 inhibitor. Saluran
cerna juga memiliki tugas untuk menyerap karbohidrat melewati kinerja enzim α-
glukosidase yang merubah polisacarida menjadi monosacarida yang selanjutnya
diserap oleh usus yang mengakibatkan meningkatnya gula darah setelah makan.
Terapi uang dapat diberikan pada jalur ini untuk prenghambat kinerja enzim α-
glukosidase ialah acarbose (DeFronzo, 2009).
2.9.6 Sel Alfa Pankreas
Sel alfa pankreas adalah organ ke enam yang berperan dalam hiperglikemi
dan sudah ada sejak 1960. Sel alfa mempunyai fungsi dalam mensintesis glukagon
yang pada saat puasa jumlahnya di dalam darah akan tinggi. Peningkatan ini
mengakibatkan HGP dalam kondisi basal naik secara substansial disbanding
seseorang yang normal. Terapi yang dapat diberikan pada jalur ini untuk
mengsekresi ataupun menghambat glukagon ialah golongan GLP-1 agonis, DPP- 4
inhibitor dan amylin (DeFronzo, 2009).
2.9.7 Ginjal
Ginjal adalah organ yang berfungsi untuk patogenesis DMT2. Ginjal
menyaring ± 163g glukosa setiap hari. 90% dari glukosa yang tersaring akan
terserap lagi oleh SGLT-2 (Sodium Glucosa co Transporter) di organ convulated
19
tubulus proksimal. Sedangkan sepuluh persen sisa nya akan di absorpsi oleh SGLT-
1 pada tubulus descended dan ascenden, dan pada akhirnya tidak ada glukose dalam
urin. Pada pasien diabetes melitus terjadi kenaikan expresi gen SGLT-2. Terapi
yang menghambat kerja SGLT-2 akan menghalangi penyerapan glucose kembali
pada tubulus ginjal sehingga glukosa akan diekskresikan melalui urin. Terapi yang
dapat diberikan pada jalur ini ialah SGLT-2 inhibitor. Contohnya dapaglifozin
(DeFronzo, 2009).
2.9.8 Otak
Insulin berperan kuat dalam menekan nafsu makan. Pada seseoran yang
mengalami obesitas baik yang DM ataupun tidak, didapatkan hyperinsulinemia
yang merupakan mekanisme kompensasi dari resisten isnulin. Pada keadaan
hiperinsulinemia asupan makanan cenderung meningkat, mengakibatkan adanya
kekebalan insulin yang terjadi di otak. Terapi yang dapat diberikan pada jalur ini
ialah GLP-1 agonis, bromokriptin, dan amylin (DeFronzo, 2009).
Maka dari itu kedelapan omnious octet diatas penting untuk dimengerti
sebab dasar patofisiologi diatas memberikan konsep tentang:
A. Pemberian terapi harus ditujukan untuk memperbaiki ganguan patogenesis,
bukan sekedar untuk penurunan HbA1c saja
B. Pemberian terapi kombinasi yang dibutuhkan harus didasarkan atas kerja
obat pada gangguan multiple dari patofisiologi DMT2.
C. Pemberian terapi wajib dimulai sejak dini agar dapat mencegah atau
memperlama progresivitas kegagalan sel β yang sudah terlaksana pada
penderita gangguan toleransi glukosa. (PERKENI, 2015)
2.10 Patofisiologi Diabetes Melitus
Diabetes melitus adalah penyakit yang disebakan karena defisiensi inuslin
baik secara absolut ataupun relatif. Defisiensi inuslin dapat terjadi melalui tiga jalur,
yaitu yang pertama karena penurunan reseptor glukosa pada kelenjar pankreas
(dessentisasi), yang kedua rusaknya reseptor insulin pada jaringan perifer, dan yang
terakhir rusaknya beragam sel beta pancreas karena pengaruh dari luar (virus, zat
kimia tertentu, dll) (Manaf, 2009).
2.10.1 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 1
Pankreas merupakan kelenjar ludah perut yang berfungsi menghasilkan
insulin di dalam tubuh yang letaknya di belakang lambung. Di dalamnya terdapat
20
pulau-pulau Lagerhans yang membentuk kumpulan sel yang membentuk seperti
pulau pada peta. Jaringan ini mengekskresikan hormon insuline yang dapat
mengatur jumlah glukosa darah. Insulin ini diibaratkan sebagai anak kunci yang
bertindak untuk pembuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, untuk kemudian
glukosa tersebut di metabolisme menjadi energi di dalam sel. Bila tidak ada insulin,
menyebabkan glukosa dalam darah tidak bisa masuk ke dalam sel sehingga jumlah
glukosa dalam darah menjadi meningkat. Kondisi ini yang mengakibatkan
terjadinya diabetes melitus tipe 1 (Subekti, 2009).
2.10.2 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2
Total cakupan insulin saat kondisi DMT2 ini cenderung normal, bahkan
dapat lebih besar jumlahnya, akan tetapi jumlah penangkap (reseptor) insulin
kurang pada permukaan sel. Penangkap insulin dapat diartikan sebagai lubang
kunci pintu untuk masuk ke dalam sel. Dalam kasus DMT2 ini, jumlah dari lubang
kuncinya kurang, sehingga menyebabkan glukosa yang akan masuk ke dalam sel
sedikit, walaupun anak kunci nya (insulin) banyak. Hal ini mengakibatkan sel tidak
cukup bahan bakar (glukosa) sehingga menyebabkan kadar glukosa dalam sirkulasi
tinggi. Keadaan ini yang mengakibatkan terjadinya DMT2. Dan juga diabetes
melitus tipe 2 ini juga dapat terjadi karena terganggunya transport glukosa yang
berada di dalam sel sehingga mengakibatkan kegagalan glukosa sebagai bahan
bahan untuk metabolism energi (Subekti, 2009).
Gambar 2. 5 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2 (Silbernagl dan Lang, 2000)
21
Sebagian besar pasien DMT2 memiliki berat badan berlebih, dan bahkan
hampir 90% disebabkan oleh obesitas. Seperti terlihat pada gambar 2.5 dijelaskan
bahwa obesitas muncul dikarenakan oposisi dari gen bawaan, asupan makan yang
tidak terkontrol, dan olahraga yang jarang. Ketidakseimbangan inilah yang
mengakibatkan peningkatan konsentrasi asam lemak di dalam darah. Hal ini
kemudian akan menurunkan penggunaan glukosa di jaringan lemak dan otot, yang
mengakibatkan terjadinya resistensi insulin yang mendorong untuk meningkatkan
pelepasan insulin. Selain obesitas penyebab lain DMT2 ialah disposisi genetik yang
menyebabkan turunnya sensitivitas dari insulin. Penurunan ini mempengaruhi efek
insulin pada metabolisme glukosa, sehingga mengakibatkan hiperglikemia berat
tanpa adanya gangguan metabolisme lemak (Silbernagl and Lang, 2000).\
2.11 Komplikasi Diabetes Melitus
Komplikasi yang terjadi oleh penderita diabetes melitus dibagi menjadi 2,
yakni komplikasi akut dan komplikasi kronis
2.11.1 Komplikasi Akut
Merupakan komplikasi dari penyakit diabetes melitus yang penting dan ada
hubungan dengan kesetimbangan kadar gula darah dalam rentang waktu yang
singkat, ketiga komplikasi tersebut, yakni:
A. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah komplikasi penting dari terapi penurun glukosa pada
pasien dengan diabetes, karena kontrol glikemik intensif selalu meningkatkan risiko
hipoglikemia. Peningkatan enam kali lipat dalam kematian akibat diabetes telah
dikaitkan dengan pasien yang mengalami hipoglikemia berat dibandingkan dengan
yang tidak mengalami hal itu. Episode berulang hipoglikemia dapat menyebabkan
gangguan sistem kontra-regulasi. Komplikasi jangka pendek dan jangka panjang
dari hipoglikemia terkait diabetes dilaporkan termasuk infark miokard, disfungsi
neurokognitif, kematian sel retina dan kehilangan penglihatan, dan cedera dari jatuh
(Fried and Carlton, 2019).
Hipoglikemia ini biasanya terjadi karena adanya terapi farmakologi, seperti
contoh karena adanya penggunaan insulin dan sulfonylurea. Berikut tatalaksana
komplikasi akut hipoglikemia menurut (ADA, 2019)
22
Tabel II. 5 Klasifikasi Hipoglikemia (ADA, 2019)
Level Kriteria Glikemia Deskripsi
Hipoglikemia
stage 1
≤70 mg/dL (3,9
mmol/L)
Cukup rendah untuk pengobatan
dengan karbohidrat aksi cepat dan
penyesuaian dosis terapi penurun
glukosa
Hipoglikemia
secara klinis
signifikan (lvl 2)
< 54 mg/dL (3,0
mmol/L)
Cukup rendah untuk menunjukkan
hipoglikemia serius dan penting
secara klinis
Hypoglycemia
akut (level 3)
Tidak ada nilai
ambang glukosa
spesifik
Hipoglikemia yang berhubungan
dengan gangguan kognitif berat yang
membutuhkan bantuan eksternal
untuk pemulihan
Edukasi diberikan terhadap penderita rawat jalan yang memakai terapi
penggunaan insulin untuk mengontrol kadar gula darah. Terapi insulin perlu
digunakan dengan benar dengan tujuan mengurangi terjadinya hipoglikemia.
Edukasi terdiri dari konsep tentang gula darah basal serta prandial, fungsi insulin
basal serta prandial, dan juga pemantauan glukosa darah secara mandiri (Perkeni,
2015).
Menurut ADA.,2019, jika pasien mengalami hipoglikemia dengan kadar
glukosa <70 mg/dL, dapat diberikan asupan gula sebanyak 15-20 gram. Sedangkan
kadar gula darah <54 mg/dL dapat diberikan Glucagon.
B. Ketoacidosis Diabetikum (KAD)
Peningkatan keton darah dalam tubuh yang disebabkan oleh DM. badan
keton ini larut dalam air dan diproduksi oleh hati dari asam lemak selama asupan
makanan rendah atau puasa, diet ketat karbohidrat, kelaparan, olahraga
berkepanjangan, atau pada kasus DM tipe 1 yang tidak diobati. Pada KAD, kadar
keton yang tinggi dihasilkan sebagai respon terhadap kadar insulin yang rendah dan
kadar hormon kontra regulasi yang tinggi. Pada KAD akut, konsentrasi keton tubuh
dapat meningkat 10 kali lipat (Fried and Carlton, 2019).
23
Pada pasien yang mengalami KAD umumnya terjadi ketonuria, yang
dimana pada pemeriksaan urin keton (>2+) atau terjadi ketonemia dimana kadar
urin keton >3,0 mmol/L, kadar pH <7,3 dan bicarbonate (HCO3) < 15 mmol/L,
hiperglikemia, dan hipokalemia. Pada penderita yang terkena KAD dapat diberikan
terapi, yaitu (Dhatariya and Vellanki, 2007)
1. Insulin IV (bukan subkutan) dalam dosis 0,1 IU/Kg/jam
2. Nacl 0,9% 15-20 ml/kg/jam
3. Preparat kalium dapat diberikan jika terjadi hipokalemia
4. Infus natrium bikarbonat dapat diberikan jika terjadi kondisi asidosis yang
berat Ph <6.9.
C. Hiperosmolar Hiperglikemik State (HHS)
HHS dapat juga disebut sebagai hiperglikemia hyperosmolar non ketotik
(HHNK) yang berupa kondisi yang didominasi oleh hiperosmolaritas dan
hiperglikemia yang ditandai dengan adanya perubahan dari tingkat kesadaran.
Terkadang keadaan ini terjadi kondisi ketosis ringan. Keadaan hiperglikemia
persisten mengakibatkan diuresis osmotic yang dapat menyebabkan kehilangan
cairan dan elektrolit. Pada sindrom ini kelainan yang mendasar ialah kekurangan
sejumlah insulin efektif. Berbeda dengan KAD, di HHS ini masih terdapat insulin
tetapi tidak dapat mencegah hiperglikemia, sehingga masih dapat menghasilkan
badan keton (Smeltzer and Bare, 2002)
Terdapat perbedaan diagnosa antara UK dan USA, namun pada pasien yang
mengalami HHS tidak terjadi ketonuria/ketonemia dan asidosis. Pada pasien HHS
dapat diberikan terapi, yaitu ((Dhatariya and Vellanki, 2007).
1. Insulin IV (bukan subkutan) dengan dosis 0,1 IU/Kg/jam. Jika penurunan gula
darah lebih kecil dari (< 50-70 mg/dL/jam) dosis insulin dapat digandakan. Dan
jika glukosa darah telah mecapai kadar 250-300 mg/dL maka dosis insulin
dapat direndahkan menjadi 0,02-0,05 IU/kg/jam (ADA, 2018).
2. Infus NaCl 0,9% sebanyak 1-1,5 l (ADA, 2019).
24
Tabel II. 6 Perbedaan Diagnosa HHS UK VS USA
United Kingdom Amerika
Hiperglikemia >30 mmol/L
(540mg/dL)
>33,3 mmol/L
(600 mg/dL)
Hiperosmolariti Kalkulasi >320 mOsm/kg
2 x Na (mmol/L)
+ glucose
(mmol/L) + urea
(mmol/L)
>320 mOsm/kg
2 x Na
(mcQ/L) +Glukosa
(mg/dL)/18+nitrogen
urea darah
(mg/dL)/2.8
Berkuranganya
asidosis
Keton
pH
Bicarbonat
Rendah
> 7,3
>15 mmol/L
Rendah
>7,3
>20 mmol/L
Perubahan status
mental
Tersajikan Tersajikan
2.11.2 Komplikasi Kronik
Komplikasi kronik pada kasus DM terjadi bila kadar gula darah dalam tubuh
secara terus-menerus tidak dapat terkontrol dengan baik sehingga menyebabkan
berbagai komplikasi kronis pada DM. Komplikasi ini terdiri dari komplikasi
makrovaskuler dan mikrovaskuler. Komplikasi makrovaskuler utamanya
didasarkan oleh adanya resisten insulin, sedangkan komplikasi mikrovaskuler lebih
dikarenakan hiperglikemia kronis. Kerusakan vaskuler dimulai dari kejadian
malfungsi endotel yang di akibat kan proses glikosilasi dan stress oksidativ pada sel
endotel (Decroli, 2019).
1. Kerusakan Makrovaskuler
A. Peripheral vascular disease (PVD)
Penyakit arteri perifer adalah masalah sirkulasi umum dimana adanya
penyempitan arteri yang mengakibatkan berkurangnya laju darah ke kaki.
Penyakit ini sering dialami oleh pasien DMT2. Kerusakan ini menyebabkan
nyeri pada kaki dan menyebabkan rawan terhadap infeksi. Penyakit arteri perifer
ditandai dengan kaki terasa dingin, bulu di kaki rontok, nyeri pada kaki. Penyakit
25
ini dapat menyebabkan infeksi akut, dimana biasanya kaki penderita harus
diamputasi (Kimble, 2009).
B. Coronary artery disease
Penyakit arteri koroner terjadi saat pembuluh darah utama yang menyuplai
darah, nutrisi dan oksigen ke jantung menjadi rusak. Hal ini dapat
mengakibatkan nyeri dada (angina), susah bernafas, atau adanya tanda gejala
arteri koroner (Richman, 2012).
C. Cerebral arterioscleriosis vascular disease
Cerebral arterioscleriosis vascular disease adalah hasil penebalan dan
pengerasan dinding arteri di otak. Gejala arteriosklerosis otak termasuk sakit
kepala, nyeri wajah, dan gangguan penglihatan (NINDS, 2011).
2. Kerusakan Mikrovaskuler
A. Nefropati
Nephropathy adalah penyakit atau kerusakan pada ginjal. Diabetic
nephropathy adalah kerusakan ginjal yang disebabkan oleh DM. Hal ini terjadi
karena glomerulus tidak dapat menyaring protein dan glukosa, sehingga
protein dan glukosa tidak dapat direabsorbsi dan keluar bersama urin. Namun
tidak semua pasien DM mengalami kerusakan ginjal. Proteinuria terjadi pada
15-40% pasien dengan DM tipe 1 sementara 5- 20% terjadi pada penderita
dengan DMT2. Faktor risiko yag dapat dimodifikasi untuk nefropati diabetes
adalah penurunan tekanan darah 10mmHg dikaitkan dengan penurunan
komplikasi mikrovaskular sebesar 13% dengan risiko minimal pada pasien
dengan tekanan sistolik <120mmHg. Displidemia dengan peningkatan LDL
juga terkait dengan tingkat kejadian nefropati (Kimble, 2009).
B. Retinopati
Diabetic retinopathy ialah komplikasi dari Diabetes Melitus yang terjadi di
mata. Penyebab dari komplikasi ini berupa rusaknya pembuluh darah dari
jaringan yang peka terhadap cahaya di retina. Pada awalnya diabetic
retinopathy bisa terjadi tanpa gejala atau hanya masalah penglihatan ringan
tetapi pada akhirnya dapat menyebabkan kebutaan. Diabetic retinopathy dapat
berkembang pada penderita DMT1 atau DMT2. Semakin tinggi kadar gula
26
dalam darah kemungkinan untuk terjadinya komplikasi ini akan semakin tinggi
(Kimble, 2009).
C. Neuropati
Diabetic neuropathy adalah kerusakan saraf yang dapat terjadi pada pasien
DM. Kadar glukosa tinggi dapat mencederai seluruh jaringan tubuh, akan tetapi
diabetic neuropathy paling banyak berinvasi di saraf pada kaki. Gejala diabetic
neuropathy dapat dirasakan dari rasa sakit dan mati rasa pada kaki, kaki terasa
terbakar dan bergerak sendiri, sistem pencernaan yang bermasalah, saluran
kencing, pembuluh darah dan jantung. Pada beberapa penderita DM berbagai
gejala ini merupakan gejala ringan, namun bagi penderita DM yang lain gejala
tersebut dapat menyakitkan, melumpuhkan dan bahkan membahayakan.
Diabetic neuropathy adalah komplikasi serius dari penyakit DM, tetapi
diabetic neuropathy bisa dicegah atau diperlambat dengan mengontrol kadar
glukosa yang ketat dan gaya hidup sehat (ADA, 2018).
2.12 Penetalaksanaan Diabetes Melitus
Tatalaksana secara umum yakni untuk memperbaiki kualitas hidup
penderita diabetes. Tujuan pelaksanaan ada tiga yaitu tujuan jangka pendek,
tujuan jangka panjang, dan tujuan akhir pengelolahan. Untuk jangka pendek
yaitu untuk memperbaiki kualitas hidup, meminimalkan keluhan dan
mengurangi resiko komplikasi akut. Sedangkan jangka panjang untuk
mengantisipasi dan menghambat laju penyulit mikroangiopati dan
makroangiopati, dan tujuan pengelolaan terakhir untuk menurunkan mortalitas
serta morbiditas diabetes melitus itu sendiri (Perkeni, 2015). Ada empat pilar
penatalaksanaan diabetes melitus yang utama dan termasuk kedalam
penatalaksanaan khusus, yaitu (Perkeni, 2015).
A. Edukasi
Promosi hidup sehat adalah tujuan edukasi yang perlu selalu dilakukan
untuk upaya pencegahan dan juga berperan penting dalam penatalaksanaan
DM secara menyeluruh. Materi edukasi meliputi materi edukasi pertama yang
diselenggarakan di faskes primer yang meliputi intervensi non farmakologi dan
farmakologi dan target pengobatan dan selanjutnya materi edukasi dilakukan
di faskes sekunder ataupun tersier yang meliputi pengetahuan mengenai
27
penyulit menahun DM serta penatalaksanaan DM selama menderita penyakit
lain (Perkeni, 2015).
B. Terapi gizi medis
Problem utama penyakit diabetes ialah mengendalikan pola makan yang
awalnya sebagai penyebab paling utama seseorang dapat terkena diabetes.
Faktor pola makan tidak hanya sebagai penyebab, tetapi juga sebagai dampak
dari penyakit diabetes itu sendiri, yaitu pola makan yang semakin liar dan juga
cenderung tidak terkendali. Dan yang harus dilakukan ialah diet karbohidrat
yang meliputi reducted, replaced, dan modified cara mengolah makanannya
(Hendro, 2017)
Pada dasarnya diet diabetes dibagi menjadi enam waktu makan sesuai
intervalnya. Yakni dengan aturan 3 kali makanan utama serta 3 kali makanan
kudapan atau (snacks) dengan interval waktu tiga jam setiap jadwal makan.
Untuk snacks dapat berupa pisang atau roti yang dapat diberikan pada pasien
hipoglikemia. Atas dasar penelitian juga bawang putih, bawang merah, buncis
dan worter baik untuk diet diabetes. Wortel mempunyai sifat antiradikal bebas,
Bawang putih mempunyai kekuatan sepuluh kali dari bawang merah, sedangkan
buncis dan bawang merah mempunyai efek menurunkan lemak dan gula darah
berlebih (Tjokroprawiro, 2006).
C. Latihan Jasmani
Latihan jasmani atau singkatnya olahraga baik dilakukan untuk membantu
pengendalian gula drah dan berat badan. Ada tiga prinsip dalam berolahraga
yang dapat menjadi pedoman untuk diabetes, yaitu terus menerus, berirama, dan
berselang. Berikut adalah contoh olahraga yang dapat dilakukan selain olahraga
senam (Novitasari, 2012)
Tabel II. 7 Olahraga untuk Penderita Diabetes (Novitasari, 2012)
Macam
aktivitas fisik
Durasi Itensitas Total kalori yang
dibakar
Jalan kaki 30 mnt 53m/mnt 56 kalori
Berenang 30 mnt 15m/mnt 181 kalori
Bersepeda 30 mnt 266m/mnt 113 kalori
Lari santai 30 mnt 114m/mnt 136 kalori
28
D. Terapi Farmakologi
Dalam pengobatan konvensional, diabetes umumnya dapat ditangani dengan
satu dari dua cara yang ada. Yaitu terdiri dari obat oral atau suntikan insulin.
Suntikan insulin diperlukan untuk pengobatan DM tipe 1 dan kasus DM tipe 2
yang parah. Sebagian besar penderita diabetes tipe 2 dapat diobati dengan satu
atau lebih obat oral ataupun insulin (D’Adamo et al, 2009).
2.13 Terapi Farmakologi
Pemeriksaan HbA1C (A1C) sangat penting untuk penentuan
kombinasi obat OAD. Berdasarkan range, penderita dapat diklasifikasikan menjadi
tiga, yaitu A1c < 7.5%, A1c > 7.5% dan A1c > 9%. Untuk pasien diabetes dengan
A1C < 7.5 disarankan untuk pengobatan lini pertama dengan Monoterapi
metformin. Alasannya metformin memiliki keunggulan dalam kontrol kadar
glukosa dan menurunkan BB berlebih pada pasien obes. Dosis yang disarankan
yakni sehari tiga kali 500 mg. Tetapi, pada sebagian pasien yang alergi atau
intoleran terhadap metformin, penggunaan terapi Tiazolidindion, penghambat
SGLT-2, DPP-IV inhibitor, Agonist GLP-1, Penghambat alfa glikososidase dan
Sulfonilurea dapat dipertimbangkan.
Jika pasien menunjukkan kadar A1c > 7.5% atau penderita tidak berhasil
menggunakan single terapi metformin (di monitoring selama tiga bulan), maka
perlu dipertimbangkan penggunaan gabungan dua obat OAD. Prinsip penggunaan
gabungan 2 obat OAD ialah metformin (atau obat lini pertama yang lain) + obat lini
kedua yang memiliki efek teraupetik yang tidak sama.
Untuk pasien dengan A1C>9% dengan ditunjukan dengan salah satu tanda-
tanda diabetes yang nampak: penurunan BB, kaki gangrene, krisis hiperglikemi,
komorbid gangguan fungsi ginjal dan hati yang berat maka harus diberikan insulin
injeksi. Namun jika tidak, penggunaan kombinasi tiga obat OAD dapat
dipertimbangkan. Prinsip terapi kombinasi tiga OAD adalah: kombinasikan obat
lini pertama dan kedua dengan obat ketiga yang memiliki efek teraupetik yang
berbeda. Berikut tata laksana diabetes melitus tipe 2 menurut (ADA, 2019).
29
Gambar 2. 6 Algoritma Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 (Perkeni, 2015)
1. metformin merupakan terapi lini pertama pada pasien DM tipe 2
2. jika pasien mengalami DM tipe 2 dan ASCVD (atherosclerosis cardiovascular
disease) maka metformin dapat dikombinasi dengan golongan GLP1 jika
GFR/Crcl tidak adekuat. Jika GFR adekuat, maka metformin dapat
dikombinasi dengan golongan Sglt 2 inhibitor.
3. Jika pasien mengalami DM tipe 2 dan Heart failure/ gagal jantung maka
metformin dapat dikombinasi dengan Sglt2 inhibitor. Hal ini dikarenakan Sglt2
inhibitor dapat menurunkan mortalitas pada pasien gagal jantung.
4. Jika ingin meminimalkan efek hipoglikemi maka metformin dapat dikombinasi
dengan DPP4 inhibitor atau GLP 1 agonis atau Sglt2 inhibitor atau
thiazolindion
5. Jika ingin menurunkan berat badan, metformin dapat dikombinasi dengan
GLP1 agonis atau Sglt2 inhibitor (ADA, 2019).
30
2.13.1 Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, OAD dibagi menjadi lima golongan yang
semuanya berfungsi sebagai anti-hiperglikemia, yaitu:
A. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
Ada 2 macam OAD yg berfungsi sebagai Insulin Secretagogue yaitu golongan
Sulfonilurea dan Glinid. Untuk sulfonilurea, obat golongan ini memiliki efek utama
meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pancreas. ES utama adalah hipoglikemia
dan peningkatan BB. Generasi ke-1 sulfonilurea yaitu Tolbutamide,
Chlorpropamide, Tolazamide, dan Acetohexamid. Generasi ke-1 ini sudah jarang
digunakan dalam praktek klinis dikarenakan obat ini di metabolisme oleh hepar
dimana metabolitya tidak aktif dan juga di ekskresikan melalui ginjal, dan hanya
Tolbutamide yang masih dan dapat digunakan sampai sekarang. Generasi ke-2 nya
yaitu Glyburide, Glipizide, Gliclazide, dan Glimepiride. Generasi ke-2 ini
mempunyai kekuatan 100-200 lebih kuat dari Tolbutamide. Obat ini digunakan
secara hati-hati pada pasien dangan komplikasi penyakit kardiovaskular dan pasien
tua, karena dapat mengakibatkan hipoglikemia yang sangat berbahaya. Yang kedua
adalah golongan glinid. Ada 3 macam obat dengan golongan glinid, yaitu
Repaglinide, Metiglinide, dan Nateglinide. Repaglinide memiliki mula kerja aksi
yang cepat, dengan konsentrasi dan efek puncak dalam waktu 1 jam setelah
dikonsumsi, dan obat ini diindikasikan untuk mengendalikan post prandial. Untuk
Meglitinide mirip dengan Repaglinide dalam efek klinisnya. Sementara untuk
Nateglinade merupakan turunan d-fenilanin, memberikan efek teraupetik bila
diberikan sendiri atau kombinasi dengan OAD non-secretagogue (seperti
metformin). Efek samping utamanya ialah hipoglikemia dan obat ini dapat
digunakan untuk pasien dengan gangguan ginjal dan juga pada orang tua (Katzung,
2018).
B. Sensitivitas terhadap Insulin
Ada 2 OAD yang termasuk dalam golongan ini, yaitu Metformin dan
Tiazolindidion (TZD). Metformin merupakan obat dalam kelas biguanide.
Metformin meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap insulin, terutama di hati
mengurangi hepatic glukeogenesis. Metformin memliki paruh plasma 6 jam dan
dihilangkan secara eksklusif oleh ginjal. Metformin memiliki indeks terapi yang
sempit karena dosis efektif minimal adalah 1500mg/ hari dan dosis maksimal 1g 2
31
kali sehari atau 850mg 3 kali sehari. Metformin disukai penderita DM tipe 2
obesitas dikarenakan memiliki 3 kelebihan yaitu tidak menyebabkan penambahan
berat badan, tidak menyebabkan hipoglikemia, dan mengurangi komplikasi DM itu
sendiri. Sedangkan Tiazolindidion (TZD) dalam penggunaan klinis saat ini
(Rosiglitazone, Pioglitazone) meningkatkan aksi insulin pada hati, jaringan adipose
dan otot rangka. Hal ini menghasilkan peningkatan glukosa dan mengurangi
glukeogenesis hati (Page, et al 2006).
C. Penghambat Absorpsi Glukosa di saluran pencernaan
Contoh OAD pada golongan ini adalah Acarbose. Berfungsi untuk menghambat
Alfa Glukosidase dengan mengurangi pencernaan karbohidrat sehingga
mengganggu aktivitas glukosidase gastro-intestinal dan mengurangi post-prandial
puncak hiperglikemia. Efek samping yang paling umum yaitu diare. Acarbose
merupakan pilihan terapi pada penderita DM tipe 2 yang tidak cukup terkontrol
dengan diet dan penggunaan agen hipoglikemik oral lainnya (Whittlesea, 2019).
D. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)
Contoh OAD pada golongan ini adalah sitagliptin, vildagliptin, saxagliptin,
alogliptin dan linagliptin. Obat ini bekerja pada sistem incretin. Incretin berperan
dalam meningkatkan insulin endogen untuk merespon glukosa yang tinggi
termasuk post prandial. Dengan memblokir DPP-4, obat ini memperpanjang
aktivitas incretin dan menghambat pelepasan glukagon yang menghasilkan
penurunan glukosa darah dan peningkatan sekresi insulin (Whittlesea, 2019).
E. Penghambat SGLT-2 (Sodium glucose Co-transporter 2)
Contoh OAD pada golongan ini adalah Canagliflozin, Empagliflozin,
Dapagliflozin, Ipragliflozin. Adalah obat oral OAD jenis baru yang kerjanya
menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara
menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2 (Perkeni, 2015).
2.13.2 Obat Antihiperglikemia Suntik/ Insulin
Insulin merupakan pengobatan yang efektif untuk penderita DM tipe 2.
Terapi insulin ini dapat pula dikombinasi dengan agen penurun glukosa lainnya.
Hipoglikemia dan penambahan berat badan merupakan masalah utama dari
pemakaian terapi insulin ini. Menurut Crasto, et al (2016) Indikasi utama untuk
terapi insulin pada penderita DM tipe 2 adalah
32
1. Kegagalan tercapainya target glikemik (dekompensasi metabolik dengan nilai
HbA1c > 9%)
2. Gejala iindividu (Penurunan BB yang cepat, poliuria, nocturia, neuropati akut)
3. Intoleransi/ kontraindikasi terhadap terapi non-insulin
4. Diabetes yang diinduksi oleh steroid
5. Diabetes gestasional tidak terkontrol dengan perencanaan waktu makan
6. Neuropati hiperglikemik
7. Pasien usia muda dengan komplikasi terkait DM tipe 2
2.14 Tinjauan Insulin
Istilah insulin menurut Crasto et al., 2016, berasal dari bahasa latin Insula
atau ‘pulau’ untuk menggambarkan asal-usul insulin dari pulau pankreas
Langerhans. Sel-sel β yang terletak di dalam pulau-pulau ini menghasilkan insulin
dan hormon peptida yang berfungsi untuk memfasilitasi masuknya glukosa ke
dalam organ target seperti otot, lemak, dan hati untuk metabolisme lebih lanjut.
Berikut gambar untuk struktur biokimia dari insulin.
Gambar 2. 7 Rantai Biokimia Insulin (Crasto, et al, 2016)
Molekul insulin terdiri atas 2 rantai polipeptida yang dihubungkan oleh dua
jembatan disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30
asam amino. Setelah dilepaskan, insulin menempel pada reseptor glikoprotein pada
permukaan sel target. Subunit α pada reseptor glikoprotein mengikat hormon
insulin, dan subunit β (tirosinase spesifik dari protein kinase) memediasi aksi
insulin pada metabolisme dan pertumbuhan (Crasto et al, 2016). Berikut
mekanisme kerja dari insulin. Jalur pensinyalan insulin mengarah pada aktivasi
glukosa transport ke dalam sel. Pengikatan insulin dengan reseptor insulin
mengaktifkan PI3K yang kemudian memediasi aktivasi Akt dan PKC. GLUT4
33
terdapat di dalam sel adiposa dan otot, sehingga gula untuk dapat masuk kedalam
sel, perlu translokasi GLUT4 dengan adanya insulin yang berikatan dengan
reseptornya di membran sel, sehingga akan mengaktifkan jalur PI3K yang akan
mengangkut glukosa kedalam sel. Sedangkan PTP dan PTEN Bertindak sebagai
modulator negatif untuk jalur pensinyalan insulin (Soumaya, 2013). Penjelasan
berikut dapat dilihat pada gambar dibawah.
Gambar 2. 8 Mekanisme Aksi Insulin di dalam Sel (Soumaya, 2013)
Berikut klasifikasi dan karakteristik berbagai sediaan insulin, yaitu:
Tabel II. 8 Karakteristik Sediaan Insulin (Perkeni, 2015)
Macam Insulin Onset Peak Duration Sediaan
Insulin Analog Kerja Cepat (Rapid-Action)
Insulin Aspart
(Aspart)
Insulin Lispro
(Humalog)
Insulin
Gluilisin
(Glulisine)
5-15 menit
1-2 jam
4-6 jam
Pens/ Crtrdge
Pens, vial
Pens
Insulin manusia kerja pendek = Insulin Reguler (Short-Action)
Humulin R
Actrapid
30-60
menit
2-4 jam
6-8 jam
Vial,
pen/Cartridge
Insulin manusia kerja menengah = NPH (Intermediate-Action)
Insuman Basal
Humulin N
Insulatard
1,5-4 jam
4-10 jm
8-12 jam
Vial, pen/
Cartridge
Insulin analog kerja panjang (Long-Action)
Insulin Glargin
(Glargine)
Insulin Detemir
(Detemir)
Glargine 300
1-3 jam
Hampir tanpa
puncak
12-24 jam
Pen
34
Sifat insulin yang penting secara klinis terbagi menjadi tiga, yaitu onset,
peak, dan duration. Onset ialah keadaan dimana saat insulin pertama kali mulai
bekerja didalam tubuh, Peak merupakan waktu puncak atau waktu ketika insulin
mengerahkan tindakan maksimum, dan Duration adalah lama waktu insulin berada
didalam tubuh. Beragam insulin telah dikembangkan untuk mempercepat atau
menunda onset dan memperpanjang durasi aksi obat didalam tubuh (Susan M.Ford,
2018).
Gambar 2. 9 Luas dan Lama Kerja Berbagai Jenis Insulin (Katzung, 2018)
Luas dan lama kerja obat berbagai jenis insulin seperti ditunjukkan oleh laju
infus glukosa (Mg/Kg/Menit) yang dibutuhkan untuk mempertahankan konsentrasi
glukosa yang stabil. Lama kerja obat yang ditunjukkan adalah khas dari dosis rata-
rata 0,2-0,3 U/Kg. dapat dilihat durasi insulin reguler dan insulin NPH meningkat
secara signifikan ketika dosis ditingkatkan (Katzung, 2018).
Tujuan pemberian insulin yaitu untuk mengontrol kadar basal dan post
prandial, karena pada pasien DM tipe 2 terjadi gangguan sekresi insulin basal
(puasa) dan prandial (setelah makan). Formulasi insulin dengan tingkat awal kerja
(onset) dan lama kerjanya (duration) yang berbeda sering dikombinasi untuk
tercapainya tujuan ini. Berikut adalah klasifikasi insulin menurut (Katzung, 2019).
2.14.1 Insulin kerja cepat (rapid-Action insulin)
Termasuk dalam insulin prandial. Insulin tipe ini terdiri dari 3 analog insulin
injeksi yang bekerja cepat, yakni insulin aspart, insulin lispro, dan insulin glulisin.
3 insulin yang bekerja cepat ini hanya sedikit memberikan perubahan dalam urutan
35
asam amino utama yang memperlaju masuknya sirkulasi tanpa mempengaruhi
interaksi dengan reseptor insulin. Insulin rapid-Action di injeksikan segera sebelum
makan dan merupakan insulin yang lebih disukai untuk perangkat infus SC yang
berkelanjutan. Insulin tipe ini juga dapat digunakan untuk perawatan ketoasidosis
diabetic tanpa komplikasi.
A. Insulin Lispro
Merupakan analog insulin manusia rekombinan yang bekerja secara rapid-
Action. Untuk dosis dapat diberikan sesaat sebelum makan melalui injeksi subkutan
atau injeksi intravena ataupun infus intravena sesuai dengan kebutuhan, atau bila
perlu setelah makan. Sediaan insulin lispro yang biasanya terdapat di pasaran ialah
insulin Humalog dengan dosis 100 unit/mL (BNF 61, 2011).
• Farmakodinamik: Insulin lispro membalikan asam amino pada posisi 28 dan
29 dari rantai B sehingga berbeda dengan insulin manusia. Perubahan-
perubahan ini mengakibatkan berkurangnya kapasitas untuk asosiasi insulin itu
sendiri dibandingkan dengan insulin manusia normal. Asosiasi insulin sendiri
untuk bentuk molekul yang lebih tinggi menjadi upaya untuk membatasi laju
dalam mencapai respon biologis setelah injeksi subkutan. Modifikasi yang
melekat dalam insulin lispro memberi perilaku monomer, menghasilkan
penyerapan yang lebih cepat setelah injeksi SC, efek puncak sebelumnya, dan
durasi aksi yang lebih pendek dan lebih konsisten dibandingkan dengan insulin
reguler manusia. Karakteristik ini meniru dinamika insulin plasma pada subjek
non diabetes sebagai respon terhadap makanan (Rodney, 2013).
• Farmakokinetik: Insulin lispro cepat diserap setelah pemberian SC. Kadar
puncak insulin lispro insulin subkutan terjadi lebih awal (30–90 menit)
dibandingkan dengan insulin reguler manusia subkutan (50-120 menit), lebih
tinggi, dan durasinya lebih pendek. Insulin lispro memiliki volume distribusi
0,26-0,36 L / kg. Waktu paruh eliminasi tergantung pada dosis (26-52 menit)
setelah dosis subkutan. Humalog Mix 75/25, 70/30, dan 50/50 mempunyai
puncak awal sesuai dengan onset aksi insulin lispro yang cepat dan puncak
akhir yang berhubungan dengan suspensi protamin insulin lispro (Rodney,
2013).
36
B. Insulin Aspart
Merupakan analog insulin manusia rekombinan yang bekerja se cara rapid-
Action. Diberikan melalui injeksi subkutan dan dapat diberikan sebelum atau
sesudah makan (sesuai persyaratan). Dapat juga diberikan melalui infus subkutan
secara terus menerus menggunakan pompa infus portabel, teknik ini bermanfaat
untuk penderita hipoglikemia berulang. Sedian insulin aspart yang biasanya
terdapat di pasaran ialah insulin Aspart dengan dosis 100 unit/mL (BNF 74, 2018).
• Farmakodinamik: Insulin aspart (Novolog) adalah substitusi tunggal prolin
oleh asam aspartat pada posisi B28. Aktivitas utama insulin aspart adalah untuk
pengaturan metabolisme glukosa. Pada manusia, efek insulin analog lebih
cepat dalam onset dan durasinya lebih pendek, dibandingkan dengan insulin
manusia biasa setelah injeksi subkutan. Substitusi tunggal asam amino prolin
dengan asam aspartat pada posisi B28 dalam insulin aspart mengurangi
kecenderungan molekul untuk membentuk hexamers seperti yang diamati
dengan insulin manusia biasa. Oleh karena itu, insulin aspart lebih cepat
diserap setelah injeksi SC dibandingkan dengan insulin manusia biasa
(Rodney, 2013).
• Farmakokinetik: insulin aspart merupakan insulin kerja cepat dan memiliki
kerja puncak 1 jam dan berkelanjutan selama 2 jam dan memiliki waktu paruh
atau T1/2 1,3 jam (Rodney, 2013). NovoLog mempunyai waktu paruh rata-rata
81 menit dibandingkan dengan 141 menit untuk insulin manusia biasa
(Rodney, 2018).
C. Insulin Gluilisin
merupakan analog insulin manusia rekombinan yang bekerja secara rapid-
Action. Diberikan melalui injeksi subkutan atau juga bisa dengan injeksi intravena,
untuk dosis anak dan dewasa diberikan sebelum makan atau bila perlu sesudah
makan sesuai dengan persyaratan. Sediaan insulin gluilisin yang biasanya terdapat
di pasaran ialah insulin Aprida SoloStar dengan dosis 100 unit/mL (BNF 74, 2018).
• Farmakodinamik: Insulin glulisine berfungsi untuk mengatur metabolisme.
Glukosa darah diturunkan oleh insulin ini dengan merangsang pengambilan
glukosa perifer oleh lemak dan otot rangka, dan dengan menghambat
pembuatan glukosa hepatik. Proteolysis dan lipolisis dihambat oleh insulin
37
gluilisin, dan sintesis protein ditingkatkan. Insulin glulisine menurunkan
glukosa secara identik dengan insulin manusia endogen ketika diberikan secara
IV, tetapi ketika diberikan SC, insulin glulisine memiliki mula kerja yang lebih
cepat dan durasi kerja yang lebih pendek (Rodney, 2013).
• Farmakoterapi: penyerapan pada insulin gluilisin lebih cepat dibandingakan
dengan insulin manusia biasa (regular human insuline). Distribusi dan
eliminasi insulin glulisine dan insulin manusia reguler setelah pemberian IV
sama dengan volume distribusi 13 dan 21 L dan waktu paruh atau T1/2 masing-
masing 13 dan 17 menit. Setelah pemberian SC, insulin glulisine dihilangkan
lebih cepat daripada insulin manusia biasa dengan waktu paruh atau T1/2 42
menit dibandingkan dengan 86 menit (Rodney, 2013).
2.14.2 Insulin kerja pendek (Insulin Short-action)
Insulin kerja pendek merupakan insulin reguler, termasuk dalam insulin
prandial, digunakan secara IV dalam keadaan darurat, seperti contoh ketoasidosis
diabetik. juga bisa diberikan secara SC dalam rejimen perawatan biasa, single atau
di kombinasi dengan insulin intermediet atau Long Action. Sebelum pengembangan
insulin rapid-Action, insulin Short action ini menjadi bentuk utama dari insulin
yang digunakan untuk mengendalikan konsentrasi glukosa post prandial, tetapi
membutuhkan waktu pemberian 1 jam atau lebih sebelum makan. Bentuk dari
insuline Short-Action ini adalah soluble insulin atau insulin netral.
Soluble insulin
insulin ini merupakan regular human insulin dan untuk mekanisme kerja nya
sama dengan insulin rapid-Action. Insulin Short-Action dapat diberikan melalui
injeksi subkutan secara terus menerus menggunakan pompa infus portabel. Insulin
ini dapat membantu mengaktifkan dari insulin basal pada dosis bolus pada waktu
makan. Beberapa insulin dalam golongan ini tidak dianjurkan digunakan melalui
pompa injeksi insulin subkutan karena dapat mengendap dalam kateter atau jarum.
Sediaan insulin soluble yang biasanya terdapat di pasaran ialah insulin Actrapid dan
insulin Humulin yang dimana sebagai insulin soluble manusia dengan dosis 100
unit/ mL (BNF 74, 2018). Insulin ini mencapai puncak kerja dalam 2-3 jam setelah
injeksi subkutan dan memiliki durasi kerja 5-8 jam. Insulin ini harus disuntikkan
30-45 menit sebelum makan untuk mencapai penurunan kadar glukosa yang tepat.
38
Insulin ini efektif untuk pasien DM dengan diagnosa ketoasidosis diabetik, pada
pembedahan dan juga infeksi akut (ADA, 2005).
• Farmakodinamik: Insulin reguler terbentuk dengan teknik DNA rekombinan
untuk memproduksi suatu molekul yang identik dengan human insulin. Pada
konsentrasi yang tinggi, molekul insulin reguler mengalami self-aggregation
dengan cara antiparalel membentuk dimer yang stabil di sekitaran ion seng dan
menciptakan heksamer insulin. Sifat inilah yang menyebabkan penundaan
onset dan memperlambat waktu untuk mencapai puncak kerja. Penundaan
absorpsi mengakibatkan ketidaksesuaian antara kesediaan insulin dengan
kebutuhannya (Katzung, 2011).
• Farmakokinetik: Waktu paruh atau T1/2 dari Soluble insulin saat disuntikkan
secara intravena memiliki T1/2 yang sangat pendek yakni hanya sekitar 5 menit
dan efeknya menghilang dalam 30 menit (BNF, 61). Sedangkan menurut
Rodney., 2013, pada insulin Short Action memiliki onset dalam 30 menit,
puncak kerja 1-3 jam, dan berlangsung selama 8 jam.
2.14.3 Insulin kerja menengah (Insulin intermediate-action)
Insulin NPH adalah salah satu insulin kerja menengah dan termasuk insulin
basal yang merupakan kombinasi dari reguler insulin, protamine, dan zinc. Insulin
NPH mempunyai onset kerja sekitar 2-5 jam dan duration 4-12 jam. Insulin NPH
terkadang dikombinasikan dengan insulin Short dan juga insulin rapid-Action.
Insulin NPH (Neutral Protamine Hagedorn)
Contoh dari golongan ini yaitu insulin Lente dan insulin Novomix. Bekerja
dengan massa kerja menengah atau sedang disertai absorbsi dan onset kerja yang
sedikit lama. Insulin NPH ini memiliki mula kerja 2-5 jam dan lama kerja 4-12 jam
(Katzung, 2010). NPH merupakan human insulin yang berbentuk suspensi sehingga
pemberiannya tidak boleh secara intravena.
• Farmakodinamik: Insulin NPH termasuk dalam insulin manusia, dimana
insulin ini merupakan hormon alami yang diproduksi oleh sel beta pancreas.
Insulin meningkatkan penyerapan glukosa seluler, terutama di otot dan
jaringan adiposa, mendorong penyimpanan energi melalui glikogenesis,
menentang katabolisme penyimpan energi, meningkatkan replikasi DNA dan
sintesis protein dengan merangsang penyerapan asam amino oleh hati, otot dan
39
jaringan adiposa, dan memodifikasi aktivitas banyak enzim yang terlibat dalam
sintesis glikogen dan glikolisis. Insulin ini juga meningkatkan pertumbuhan
dan diperlukan untuk aksi hormon pertumbuhan (mis. Sintesis protein,
pembelahan sel, sintesis DNA) (Wishart et al, 2018).
• Farmakokinetik: Insulin NPH memiliki disposisi insulin sistemik (waktu paruh
akhir) setelah inhalasi oral 4 sampai 48-unit insulin manusia mencapai 120-206
menit (Wishart et al, 2018).
2.14.4 Insulin kerja panjang (Insulin Long-action)
Insulin Long-Action termasuk dalam insulin basal, dalam contohnya yang
termasuk dalam insulin basal ini adalah insulin glargine, insulin detemir, dan insulin
degludec. Ketiga insulin ini merupakan contoh bentuk dari modifikasi bentuk
human insulin yang merupakan tingkat insulin basal yang memberikan puncak yang
panjang lebih dari 20 jam, yang berfungsi membantu mengendalikan kadar glukosa
basal tanpa menyebabkan hipoglikemia.
A. Insulin Glargine
Merupakan insulin Long yang tidak memiliki puncak masa kerja. Insulin ini
dibuat untuk penggunaan terapi yang stabil dan nyaman, hal ini dikarenakan
dilepaskannya monomer insulin secara pelan-pelan dari kumpulan presipitat pada
jaringan sekitar lokasi penyuntikan sehingga membuat insulin ini stabil dan
kontinyu. Onset kerja insulin ini lambat sekitar (60-90 menit) dan mencapai kerja
maksimal dalam 4-6 jam dan bertahan selama 11-24 jam. Dosis diberikan dengan
sekali suntik sehari, atau diberikan dua kali sehari bila mengalami resistensi
ataupun hipersensitivitas terhadap insulin. Insulin glargine ini tidak dapat
dikombinasikan dengan insulin lainnya, karena dapat menurunkan efikasinya, hal
ini disebabkan karena glargine harus dilarutkan dalam suasana asam. Untuk pola
absorbsinya tidak terikat dengan letak penyuntikan (ADA, 2005).
• Farmakodinamik: aktivitas utama insulin glargine adalah mengatur metabolisme
gukosa. Insulin ini mengendap dalam kulit setelah injeksi subkutan, sehingga
penyerapan menjadi tertunda. Pada pH 4 injeksi Glargine sepenuhnya larut.
Setelah disuntikkan ke jaringan subkutan, larutan asam dinetralkan, sehingga
terjadi pembentukan mikropresipitat dimana sejumlah kecil insulin glargine
dilepaskan secara perlahan dan menghasilkan konsentrasi / waktu profil yang
40
relatif konstan selama 24 jam tanpa puncak yang nyata. Profil ini memungkinkan
dosis sekali sehari sebagai insulin basal pasien. (Rodney, 2013).
• Farmakokinetik: Insulin glargine ditandai oleh penyerapan yang lambat dari
tempat injeksi subkutan dan profil insulin plasma datar. Pola penyerapannya
serupa setelah injeksi subkutan ke lengan, perut, atau paha. Sebuah studi pada
pasien dengan diabetes tipe 1 menemukan bahwa median waktu antara injeksi
dan akhir efek farmakologis adalah 14,5 jam (kisaran 9,5-19,3 jam) untuk insulin
manusia NPH, dan 24 jam (kisaran 10,8 hingga> 24 jam; 24 jam adalah akhir
periode observasi) untuk insulin glargine. Efek gangguan ginjal pada
farmakokinetik insulin lispro belum diteliti. Namun, beberapa penelitian dengan
insulin manusia telah menunjukkan peningkatan kadar insulin pada pasien
dengan gagal ginjal. Pemantauan glukosa yang hati-hati dan penyesuaian dosis
insulin, termasuk insulin lispro, mungkin diperlukan pada pasien dengan
disfungsi ginjal (Rodney, 2013).
B. Insulin Detemir
Merupakan insulin kerja panjang yang mempunyai efek hipoglikemik yang
rendah dibandingkan dengan insulin NPH. Insulin ini mempunyai onset kerja 1-2
jam dengan duration 24 jam. Dosis untuk insulin detemir yaitu diberikan 2 kali
sehari untuk tercapainya efek teraupetik yang tepat (ADA, 2005).
• Farmakodinamik: Insulin detemir mengatur metabolisme glukosa dengan
mengikat resptor insulin. Untuk menurunkan glukosa darah, insulin yang
terikat reseptor yang memfasilitasi penyerapan glukosa seluler ke dalam otot
rangka dan lemak menghambat keluaran glukosa dari hati. Selanjutnya, insulin
menghambat lipolysis dalam adiposit sehingga menghambat proteolysis dan
menngkatkan sintesis protein (Rodney, 2013).
• Farmakokinetik: Serum insulin detemir menunjukan konsentrasi yang lebih
lambat setelah injeksi subkutan pada subjek sehat dan pasien dengan diagnosis
diabetes melitus. Penyerapan lebih dari 24 jam lebih lama dibandingkan
dengan insulin manusia NPH. Konsentrasi serum maksimum (Cmax) dicapai
antara 6-8 jam setelah pemberian dan tergantung dosisnya. T1/2 atau waktu
paruh dari insulin ini adalah 5-7 jam. Insulin detemir memiliki volume
distribusi yang kecil sekitar 0,1 L / kg. Pada anak-anak, area plasma detemir
41
insulin di bawah kurva (AUC) dan Cmax masing-masing meningkat 10% dan
24%, dibandingkan dengan orang dewasa. Insulin detemir memiliki AUC
hingga 35% lebih tinggi pada orang tua yang sehat (≥68 tahun) (Rodney, 2013).
C. Insulin Degludec
Merupakan insulin kerja panjang generasi ke dua, berbeda dengan insulin
glargine dan insulin detemir yang merupakan insulin kerja panjang generasi ke 1.
Dengan telah dikembangkannya insulin generasi ke dua ini, memberikan
fleksibilitas yang lebih besar dalam penentuan dosis dengan mempertahankan
kontrol glikemik dan bermanfaat untuk pasien yang aktif dan memiliki aktivitas dan
padat (Crasto, et al 2016).
• Farmakodinamik: Insulin degludec merupakan insulin multimer yang
membentuk agregat lunak. Agregat insulin multimerik ini secara perlahan
berubah menjadi insulin monomer selama 24 jam untuk memberikan efek
insulin basal yang dapat diprediksi. Efek jangka panjang ini mengatasi apa
yang disebut hipoglikemia nokturnal karena kekurangan insulin (Rodney,
2013) Dalam analog insulin ini, treonin pada posisi B30 telah dihilangkan dan
lisin pada posisi B29 terkonjugasi menjadi asam heksadekanoat melalui
gamma-l-glutamyl spacer. Ketika disuntikkan secara subkutan, insulin
mengasosiasikan diri ke dalam rantai multihexameric besar yang tersusun dari
ribuan dihexamers. Rantai pelan-pelan larut dalam jaringan subkutan, dan
monomer insulin terus dilepaskan ke sirkulasi sistemik (Katzung, 2018)
• Farmakokinetik: insulin degludec memiliki respon berkelanjutan selama 24
jam dan mula kerja obat adalah 4-6 jam sedangkan waktu paruh atau T1/2 dari
insulin ini adalah 25 jam. Awak mula kerja adalah dalam 30-90 menit, dan
durasinya adalah lebih dari 42 jam. Direkomendasikan agar insulin disuntikkan
sekali atau dua kali sehari untuk tercapainya cakupan basal yang stabil. Insulin
degludec tersedia dalam 2 konsentrasi, yakni U100 dan U200, dan dibagikan
dengan pena sekali pakai yang telah diisi sebelumnya (Katzung, 2018).
42
Gambar 2. 10 Mula Kerja, Puncak Efek, dan Lama Kerja Berbagai Jenis Insulin
(Katzung, 2018)
2.15 Terapi Kombinasi pada Diabetes Melitus Tipe 2
Mekanisme pengobatan menggunakan terapi gabungan obat oral OAD baik
terpisah maupun fixed dose combination, wajib memakai 2 macam obat dengan
mekanism kerja yang berbeda. Dan apabila kadar gula darah belum normal dengan
penggunaan terapi gabungan obat antihiperglikemia oral, dapat dilakukan
pemberian terapi kombinasi 2 obat antihiperglikemia dengan menggunakan insulin.
Terapi kombinasi awal yang diberikan yaitu gabungan antara obat
antihiperglikemia oral dengan insulin basal (intermediate-Action atau Long-
Action). Dosis awal yang diberikan untuk penggunaan insulin basal dalam terapi
kombinasi ini cukup kecil yaitu 6-10-unit untuk tercapainya kendali gula darah
yang diharapkan dan dilanjutkan dengan penambahan dosis secara bertahap (2 unit)
apabila kadar glukosa belum tercapai. Dan apabila penggunaan terapi masih belum
dapat mengendalikan kadar gula darah, maka perlu pemberian terapi kombinasi
insulin basal dan prandial (Perkeni, 2015).
Untuk terapi kombinasi awal dapat dilakukan bila nilai HbA1c mencapai ≥
9% (75 mmol/ mol) agar mempercepat tercapainya target HbA1c <7 %. Terapi
kombinasi insulin injeksi lebih efektif dibandingkan terapi oral OAD saat terjadi
hiperglikemia parah, terutama jika telah muncul tanda dan gejalanya seperti berat
badan turun dan ketosis. Terapi kombinasi insulin injeksi dilakukan ketika kadar
glukosa darah ≥300-350 mg/ dL (16,7-19,4 mmol/ L) dan atau HbA1c≥10-12% (86-
108 mmol/ mol) (ADA, 2014). Ada pula terapi diabetes melitus tipe 2 dimulai
43
dengan dosis rendah di uptitrasi/naikkan secara perlahan dengan melihat
toleransi/respon pasien menurut (ADA, 2019) yaitu:
1. Jika monoterapi OAD tidak mampu mengontrol glukosa darah, maka dual
terapi OAD dapat dipertimbangkan, jika dual terapi OAD tidak mampu
mengontrol glukosa darah maka pertimbangkan triple terapi OAD
2. Jikta triple OAD terapi tidak mampu mengontrol glukosa darah, maka
diperlukan terapi insulin eksogen (insulin basal). Sehingga terapinya akan
menjadi OAD+insulin
3. Jika OAD+insulin tidak adekuat dalam mengontrol glukosa darah, maka
pertimbangkan kombinasi insulin prandial + insulin basal.
2.16 Terapi Kombinasi Insulin Long dan Short Action
Terapi kombinasi bisa diberikan dengan penggabungan antara insulin basal
dan insulin prandial. Insulin basal terdiri dari insulin Intermediate dan Long Action
sedangkan insulin prandial terdiri dari insulin Rapid-Action dan Short-Action.
Terapi kombinasi yang tepat harus ditentukan pada setiap individu. Menurut (BNF
61, 2011) contoh rejimen insulin yang direkomendasikan, yaitu
A. Terapi insulin kombinasi: Insulin Short-action sebelum makan dengan insulin
Long-action dengan dosis satu atau dua kali sehari
B. Insulin Short-action dikombinasikan dengan insulin Long-action dengan dosis
sekali atau sehari dua kali sebelum makan
C. Insulin Long-action dengan dosis sekali atau dua kali sehari dikombinasikan
atau tanpa insulin Short-action sebelum makan
D. Infus insulin subkutan secara terus menerus.
44
Gambar 2. 11 Algoritma Terapi Kombinasi Insulin (Cheng dan Zinman, 2005)
Pemberian insulin prandial sekitar 60% diberikan insulin waktu makan yaitu
rapid-Action (aspart/lispro) yang diberikan sebelum makan. Makan pagi
membutuhkan dosis insulin yang jauh lebih tinggi dari makanan lain untuk kalori
yang dikonsumsi. Sisanya 40% dari perkiraan TDI harus diberikan insulin basal
(NPH, ultralente, glargine) pada waktu tidur. Insulin prandial digunakan dalam
kombinasi dengan insulin basal dalam upaya mensimulasikan sekresi insulin
fisiologis.
2.17 Studi Penelitian tentang Insulin Long dan Short Action
Pada penelitian yang dilakukan Wihardiyanti 2013, dilakukan pengumpulan
data untuk mengetahui pola penggunaan insulin serta mengkaji efektivitas antar
terapi insulin di RSD dr. Soebandi Jember mulai periode Mei 2013 sampai Februari
2014. Diperoleh sampel sebanyak 23 pasien yang dimana seluruh pasien dengan
diagnosa diabetes melitus dengan kehamilan. pasien terbanyak berusia 35-39 tahun
sebanyak 8 pasien 30,77%. Jenis insulin yang digunakan adalah Aspart 46%, RHI
46%, NPH 38%, Detemir 15%, campuran (Aspart dan NPA) 15%. Obat insulin
Dosis makan pagi =
1/3 dari IPT, mis: 1/3
x 18 unit = 6 unit
Dosis makan siang =
1/3 dari IPT, mis: 1/3
x 18 unit = 6 unit
Dosis makan malam =
1/3 dari IPT, mis: 1/3
x 18 unit = 6 unit
IPT (Lispro, Aspart,
Reguler) = 60% dari IHT,
rg: 60% x 30 unit = 18 unit
IHT = 0,5 unit x BB (kg) atau (penjumlahan
dosis terakhir) Misal BB 60kg, IHT = 30 unit
ef
asdhb
Atau
(penjymlahan dosis terakhir)
Misal BB 60kg, IHT = 30 unit
Dosis sebelum tidur = 40%
dari IBT, mis: 40% x 12
unit = 4 unit
IBT (NPH, Glargin,
Ultralente) = 40% dari
IHT, Mis: 40% x 30 unit =
12 unit
45
yang digunakan yaitu Actrapid sebanyak 10 pasien dengan presentase 71.43% dan
Aspart sebanyak 4 pasien 28.57%. Tidak ada perbedaan antara efektivitas insulin
Short Action dan Rapid Action yaitu, Actrapid dan Aspart. Maka dari itu perlu
dilakukan pencatatan kadar glukosa rutin setelah pemberian insulin sehingga
efektifitas penggunaan insulin dapat diukur untuk mencegah terjadinya efek
samping serta penggunaan insulin yang benar (WIhardiyanti, et al,2013).
Penelitian Abouglila 2018 yang dilaksanakan di Diabetes Centre, Rumah
Sakit Universitas Durham Utara, Durham, Inggris. Seorang pasien wanita 62 tahun
dengan diabetes melitus tipe 2 dikarenakan resistensi insulin dilaporkan.
Hiperglikemia nya tidak menanggapi kombinasi terapi insulin konvensional.
Namun, ia merespons dengan sangat baik terhadap penggunaan dua kombinasi
insulin basal yang tidak konvensional dengan tambahan insulin kerja pendek.
Insulin humalog (U200) 80 unit setiap hari pada waktu makan dan insulin degludec
(40 unit setiap hari) diberikan pada pukul 22:00 dan Glargine 25 unit sekali sehari
(U300) diberikan pada pukul 8:00 pagi. Total dosis harian terapi insulin yang
dihitung adalah 145 unit dibandingkan dengan dosis insulin sebelumnya 800 unit
setiap hari. Semua suntikan insulin diberikan oleh perangkat pena. Empat bulan
setelah perawatan, kontrol glikemik meningkat secara dramatis; gejala osmotik
sembuh sepenuhnya dengan menurunkan hasil HbA1c menjadi sekitar 64 mmol /
mol (8,0%). Kebutuhan insulin nya menurun lebih dari 75% dari dosis awalnya
karena pengobatan dari kombinasi insulin Long dan Short Action (Abouglila,2018).