Upload
others
View
31
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Daging Ayam Broiler
Daging ayam broiler banyak diminati masyarakat disebabkan oleh
teksturnya yang elastis, artinya jika ditekan dengan jari, daging dengan cepat akan
kembali seperti semula. Jika ditekan daging tidak terlalu lembek dan tidak berair.
Warna daging ayam segar adalah kekuning-kuningan dengan aroma khas daging
ayam broliler tidak amis, tidak berlendir dan tidak menimbulkan bau busuk (Kasih
dkk. 2012). Mutu daging ayam yang baik dapat dilihat pada Gambar 1.
Menurut Kasih dkk. (2012), saat ini masyarakat Indonesia lebih banyak
mengenal daging ayam broiler sebagai daging ayam potong yang biasa
dikonsumsi karena kelebihan yang dimiliki seperti kandungan atau nilai gizi yang
tinggi sehingga mampu memenuhi kebutuhan nutrisi dalam tubuh, mudah di
peroleh, dagingnya yang lebih tebal, serta memiliki tekstur yang lebih lembut
dibandingkan dengan daging ayam kampung dan mudah didapatkan di pasaran
maupun supermarket dengan harga yang terjangkau. Namun selain kelebihan,
daging ayam broiler, mempunyai kelemahan. Kandungan gizi daging ayam broiler
yang cukup tinggi menjadi tempat yang baik untuk perkembangan
mikroorganisme pembusuk yang akan menurunkan kualitas daging sehingga
berdampak pada daging menjadi mudah rusak.
Ciri – ciri daging broiler yang baik menurut (SNI 01-4258-2010), antara lain
adalah sebagai berikut :
a) Warna putih kekuningan cerah (tidak gelap, tidak pucat, tidak kebiruan,
tidak terlalu merah).
5
b) Warna kulit ayam putih kekuningan, cerah, mengkilat dan bersih. Bila
disentuh, daging terasa lembab dan tidak lengket (tidak kering).
c) Bau spesifik daging (tidak ada bau menyengat, tidak berbau amis, tidak
berbau busuk).
d) Konsistensi otot dada dan paha kenyal, elastis (tidak lembek). Bagian
dalam karkas dan serabut otot berwarna putih agak pucat, pembuluh darah dan
sayap kosong (tidak ada sisa – sisa darah).Persyaratan mutu karkas ayam bisa
dilihat pada Tabel 1.
Setelah penyembelihan (slaughtering), maka daging akan mengalami
masa post mortem. Tedapat perbedaan karakteristik fisikokimia dari daging
sebelum penyembelihan (pre mortem) dan setelah penyembelihan (post mortem).
Beberapa reaksi biokimia dan kimia akan menyebabkan terjadinya perubahan
fisikokimia dari daging ini (Lonergan, Zhang dan Lonergan, 2010). Daging terdiri
dari tiga jaringan utama yaitu jaringan otot, jaringan lemak dan jaringan ikat. Pada
awalnya setelah pasca pemotongan (slaughtering), dagingnya bersifat lentur dan
lunak namun demikian setelahnya terjadi perubahan-perubahan dimana jaringan
otot pada daging akan menjadi lebih keras, kaku (fase rigor mortis) dan juga sulit
untuk digerakan (Huff-lonergan dan Lonergan, 2005). Namun demikian, keadaan
ini tidak akan berlangsung lama, beberapa waktu kemudian daging akan menjadi
empuk lagi (fase pasca rigor).
Setelah hewan dipotong atau disembelih dan mati maka aliran darah akan
terhenti, hal ini menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada jaringan otot.
Setelah hewan mati, sirkulasi darah akan terhenti,hal ini akan menyebabkan
fungsi darah sebagai pembawa oksigen terhenti pula akibatnya proses oksidasi-
6
reduksi pun ikut terhenti. Peristiwa tersebut diikuti oleh terhentinya respirasi dan
berlangsungnya glikolisis anaerob. Selanjutnya daging hewan akan mengalami
serangkaian perubahan biokimia dan fisikokimia seperti perubahan pH, perubahan
struktur jaringan otot, perubahan kelarutan protein dan perubahan daya ikat air
(Muchtadi, 2010).
Rigormortis adalah suatu proses yang terjadi setelah ternak disembelih
diawali fase prarigor dimana otot-otot masih berkontraksi dan diakhiri dengan
terjadinya kekakuan pada otot. Pada saat kekakuan otot itulah disebut sebagai
terbentuknya rigor mortis sering diterjemahkan dengan istilah kejang mayat
(Abustam, 2009).Perubahan otot menjadi daging yang terjadi secara biokimia dan
biofisika yang ditandai dengan penurunan pH lewat pembentukan asam laktat dan
glikolisis secara anaerobik.Mekanisme anaerobik ini terjadi karena otot-otot tidak
mendapatkan lagi oksigen akibat terhentinya peredaran darah, sementara itu otot
masih tetap hidup dengan menghabiskan cadangan energinya (Abustam dan Ali,
2004). Proses kontraksi menyebabkan otot menjadi keras dan kaku sedangkan
proses relaksasimenyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk. Fase-fase
yang dialami jaringan otot hewan setelah dipotong adalah fase prerigor mortis,
rigor mortis, dan pascarigor mortis. Pada fase pre rigor mortis daging masih lunak
karena daya ikat air dari jaringan otot masih tinggi, lama fase pre rigor mortis
berkisar antara 5-8 jam, tergantung dari jenis hewan. Penemuan baru
menunjukkan bahwa ada penyusutan otot pada fase prerigor, oleh karena
itubertambah kerasnya otot dapat dikurangi dengan menyimpan daging pada
temperatur 20°C pada fase prerigor mortis (Abustam, 2009). Darah yang keluar
dari tubuh ternak mengakibatkan hilangnya mekanisme pengendalian temperatur
7
didalam otot oleh sistem sirkulasi. Panas dari dalam tubuh tidak ada lagi yang
diangkut ke paru-paru dan permukaan tubuh lain, sehingga terjadi kenaikan
temperatur didalam otot dan tubuh setelah pemotongan, kenaikan temperatur
dalam tubuh tergantung pada laju produksi panas metabolik dan lama produksi
serta pelepasan panas. Faktor yang menyebabkan kenaikan temperatur otot
postmortem, juga menyebabkan pH otot pascamerta (Soeparno, 2005).
Pada fase rigor mortis jaringan otot menjadi keras dan kaku.Fase ini sangat
tergantung pada kondisi penyimpanan.Penyimpanan pada suhu rendah dapat
menyebabkan fase rigor mortis berlangsung cukup lama.Sedangkan fase
pascarigor adalah fase pembentukan aroma, pada fase ini daging kembali menjadi
lunak dan empuk karena daya ikat air dalam otot kembali meningkat.Lama
pelayuan daging berhubungan dengan selesainya proses rigor mortis (proses
kekakuan daging), dalam hal ini apabila proses rigor mortis belum selesai dan
daging terlanjur dibekukan maka akan menurunkan kualitas daging atau daging
mengalami proses cold-shortening (pengkerutan dingin) ataupun thaw rigor
(kekakuan akibat pencairan daging) pada saat thawing sehingga akan
menghasilkan daging yang tidak empuk (alot).
Waktu yang dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis tergantung pada
jumlah ATP yang tersedia pada saat ternak mati. Jumlah ATP yang tersedia
terkait dengan jumlah glikogen yang tersedia pada saat menjelang ternak mati.
Pada ternak yang mengalami kelelahan atau stress dan kurang istirahat menjelang
disembelih akan menghasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses rigor
mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi pada saat ternak
8
disembelih akanmempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh enzim
ATPase sehingga rigor mortis akan berlangsung cepat (Abustam, 2009).
Fase postrigor daging menjadi lunak kembali, karena terjadinya penurunan
pH yang menyebabkan enzim katepsin akan aktif melonggarkan struktur protein
serat otot (aktin dan miosin), sehingga menyebabkan daya ikat air oleh otot
kembali meningkat (Tien dan Sugiyono, 1992). Menurut Herman Tabrany (2001)
fase ini adalah fase pembentukan aroma. Fase ini terjadi pemecahan ATP menjadi
asam inosinat, fosfat, dan amonia. Asam inosinat akan didegradasi menjadi fosfat,
ribose, dan hipoxantine (Lawrie, 2001). Hipoxantine atau prekursornya asam
inosinat dapat meningkatkat flavor cita rasa (Lawrie, 2001).
Daging ayam dapat dengan mudah terkontaminasi, baik oleh mikroba
pembusuk maupun mikroba patogen, karena memiliki berbagai kandungan zat
gizi (Hardjosworo dan Rukmiasih, 2000). Mikroorganisme dapat terbawa sejak
ternak masih hidup atau masuk di sepanjang rantai pangan hingga ke piring
konsumen.Selain mikroorganisme, cemaran bahan berbahaya juga mungkin
ditemukan dalam pangan asal ternak, baik cemaran hayati seperti cacing, cemaran
kimia seperti residu antibiotik, maupun cemaran fisik seperti pecahan kaca dan
tulang. Berbagai cemaran tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada
manusia yang mengkonsumsinya (Goris, 2005).
Sumber pencemaran pada daging ayam dapat berupa cemaran fisik, kimia,
maupun biologi.Cemaran biologi merupakan faktor pencemar yang berpotensi
paling besar dalam mencemari daging ayam.Salmonella dan Campylobacter sp.
merupakan dua sumber pencemar biologi yang paling banyak ditemukan pada
daging ayam (Mead, 2004). Selain Salmonella dan Campylobacter sp.,
9
Clostridium perfringens, Listeria monocytogenes, Arcobacter sp., dan E. Coli
O157:H7 adalah beberapa jenis mikroorganisme lainnya yang juga berpotensi
mencemari daging ayam (Mead, 2004; Baran dan Gulmez, 2000).Menurut Buckle
dkk, (2009) karkas ayam sesaat setelah dipotong mula-mula mengandung jumlah
bakteri antara 600-8.100 unit koloni/cm2 pada permukaan kulitnya. Setelah
mengalami berbagai proses jumlahnya dapat meningkat menjadi 11.000–93.000
unit koloni/cm2. Persyaratan maksimum mutu mikrobiologi daging ayam dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Syarat Mutu Mikrobiologis (SNI, 3924:2009)
No Jenis Satuan Persyaratan
1
2
3
4
5
6
Total Plate Count
Coliform
Staphylococcus
aureus
Salmonella sp.
Esherichia coli
Campylobacter sp
cfu/g
cfu/g
cfu/g
per 25 g
cfu/g
per 25 gr
Maksimum 1 x 106
Maksimum 1 x 102
Maksimum 1 x 102
Negatif
Maksimum 1 x 101
Negatif
Sumber : SNI2009
Beberapa usaha yang dilakukan dalam menangani daging ayam pasca mortem
antara lain :
1. Pelayuan Daging
Tujuan pelayuan daging adalah agar proses pembentukan asam laktat dapat
berlangsung sempurna sehingga akan terjadi penurunan pH daging. Nlai pH
daging yang rendah dapat menghambat pertumbuhan bakteri, sehingga proses
kebusukan juga dihambat, pengeluaran darah menjadi lebih sempurna, karena
darah merupakan media terbaik bagi pertumbuhan mikroba pembusuk dari luar
dapat ditahan, serta untuk memperoleh daging yang memiliki keempukan
optimum, serta citarasa yang khas (Muchtadi, 2010).
10
2. Pembekuan
Penyimpanan daging beku dilakukan pada suhu antara -17 sampai -400C.
Pada daging unggas dapat bertahan dalam keadaan yang baik selama satu tahun
bila disimpan pada suhu -17.8o C. Pada suhu ini daging unggas dalam keadaan
beku, dengan pembekuan pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim dapat
dihambat, sehingga proses pembusukan atau kerusakan daging unggas dapat
dihambat pula (Muchtadi, 2010).
Perubahan-perubahan yang dapat terjadi selama pembekuan antara lain
glikolisis, denaturasi protein, perubahan akibat aktifitas enzim dan mikroba.
Perubahan kimia dan biokimia, seperti glikolisis berlangsung dengan kecepatan
menurun selama penyimpanan beku, bahkan terhenti sama sekali setelah
penyimpanan selama dua bulan pada suhu -17o C (Muchtadi, 2010).
Selama penyimpanan beku terjadi pula denaturasi protein. Denaturasi
protein akibat suhu rendah (pembekuan dan penyimpanan beku) karena
meningkatnya konsentrasi padatan intraseluler akibat keluarnya cairan dari sel
membentuk kristal es. Denaturasi protein dapat dihambat dengan cara penurunan
suhu penyimpanan serendah mungkin (Muchtadi, 2010).
Selama proses pembekuan reaksi-reaksi enzimatik dan non
enzimatik yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan dan kebusukan akan
berlangsung lambat. Selain itu, suhu pembekuan dapat menghancurkan miroba,
karena terjadinya kenaikan konsentrasi intraseluler (Muchtadi, 2010).Mutu
didefinisikan sebagai keseluruhan karakteristik makanan yang mempengaruhi
penerimaan atau kesukaan konsumen terhadap makanan tersebut. Standar mutu
daging ayam berdasarkan SNI dapat dilihat pada Tabel 2.
11
Tabel 2. Persyaratan Tingkat Mutu Fisik Karkas (SNI, 3924:2009)
No Faktor Mutu Tingkatan Mutu
Mutu I Mutu II Mutu III
1 Konformasi Sempurna Ada sedikit
kelainan pada
tulang dada atau
paha
Ada kelainan
pada tulang dada
dan paha
2 Perdagingan Tebal Sedang Tipis
3 Perlemakan Banyak Banyak Sedikit
4 Keutuhan Utuh Tulang utuh,
kulit sobek
sedikit tetapi
tidak pada
bagian dada
Tulang ada yang
patah, ujung
sayap terlepas
ada yang sobek
pada bagian dada
5 Perubahan
Warna
Bebas dari
memar dan
atau “freeze
burn”
Ada memar
sedikit tetapi
tidak pada
bagian dada dan
tidak “freeze
burn”
Ada memar
sedikit tetapi
tidak ada “freeze
burn”
6 Kebersihan Bebas dari
bulu tunas
Ada bulu tunas
sedikit yang
menyebar,
tetapi tidak
pada bagian
dada
Ada tunas bulu
1. Pengawetan dengan Bahan Alami
Pengawetan adalah cara yang digunakan untuk memperpanjang masa
simpan daging dan produk daging serta penyimpanan daging segar dan produk
daging proses (Soeparno, 2011). Pengawetan pangan dapat dilakukan dengan
penggunaan asam, garam, gula, dan bahan pengawet kimia(Buckle, 2009). Proses
yang digunakan dalam pengawetan daging pada prinsipnya menghambat
pertumbuhan mikroba melalui terciptanya lingkungan yang kurang baik dalam
daging. Bahan pengawetan adalah substansi yang mempunyai kemampuan untuk
12
menghambat, menunda atau melawan proses fermentasi, mengasamkan, atau
penurunan kualitas lainnya dari bahan makanan atau merupakan tameng atau
topeng dari setiap peristiwa pembusukan(Lawrie, 2003).
Penggunaan lengkuas merah (Alpinia purpurata k. schum) sebagai salah
satu alternatif pengawet untuk mencegah kerusakan pada daging ayam broiler
disebabkan oleh kontaminasi mikroorganisme. Lengkuas merah mengandung zat-
zat kimia aktif seperti pada rimpang lengkuas terdapat zat fenol, flavonoid dan
tanin. (Permadi, 2008). Pada konsentrasi rendah fenol bekerja dengan merusak
membran sitoplasma dan dapat menyebabkan kebocoran isi sel. Sedangkan pada
konsentrasi besar zat tersebut berkoalugasi dengan protein seluler. Aktifitas
tersebut sangat efektif ketika bakteri dalam tahap pembelahan, dimana lapisan
fosfolipid di sekeliling sel sedang dalam kondisi sangat tipis sehingga fenol dapat
penetrasi dan dengan mudah merusak sel (Parwata, 2008). Flavonoid berikatan
dengan protein melalui ikatan hidrogen sehingga mengakibatkan struktur protein
menjadi rusak, ketidak stabilan dinding sel dan membran sitoplasma menjadi
terganggu. Gangguan integritas sitoplasma menyebabkan lolosnya makromolekul
dari ion sehingga sel kehilangan bentuknya dan menjadi lisis (Oonmetta-aree
,2006). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penggunaan berbagai
konsentrasi ekstrak lengkuas merah (10%, 20%, 30%) berpengaruh menurunkan
total bakteri dan memperlambat terjadinya awal kebusukan, tetapi tidak
berpengaruh terhadap pH. Tingkat konsentrasi larutan ekstrak lengkuas merah
30% menghasilkan jumlah total bakteri paling rendah (16,02 x 106 cfu/g) dan
terjadinya awal kebusukan paling lambat (802,2 menit).
13
Gambar 1. Daging Ayam Broiler
(Sumber : Anonim, 20 September 2018)
2.2 Bunga Lawang (Illicium verum)
Tanaman ini merupakan jenis pohon-pohonan atau perdu, dengan tinggi
mencapai 4-6 m. Memiliki daun tunggal, berbintik dengan ujung
runcing.Bunganya berwarna kuning kehijau-hijauan.Buah terdiri atas 6-8 folikel,
masing-masing folikel berisi 1 biji (Tjitrosoepomo, 2005). Buah berdiameter 2,5-
4,5 cm. Buah ini tergolong rempah-rempah dan terlihat seperti bintang berkepala
empat simetris (Ong, 2008). Buah masak berwarna coklat dan akan pecah pada
bagian tengahnya yang bentuknya menyerupai bintang. Pada setiap folikel buah
yang pecah tadi terdapat biji berwarna coklat, mengkilap dan tidak berbulu (Ali,
dkk, 2010). Karakteristik bunga lawang dapat dilihat pada Gambar 2.
Bunga lawang adalah pohon berukuran sedang sekitar 8-15 (-20m) dan
kedalaman 30 cm dengan batang lurus bulat dan hijau, cabang goyah. Kulitnya
berwarna putih sampai abu-abu terang.Panjang daun – daunnya 6-12 cm,
bergantian, sederhana, kasar, utuh, bersinar, goyah, biasanya bergerumbul di
bundel di akhir cabang. Bunga besar, biseksual, diameter 1-1,5 cm, putih merah
muda sampai merah atau kuning kehijauan, aksila dan soliter. Buah berbentuk
kapsul seperti, agregat berbentuk bintang, memancar berbentuk runcinglima
14
sampai sepuluh, rata-rata berbentuk sekitar delapan runcing.Masing-masing
lengan adalah biji polong.Sulit berkulit dan warnanya kecoklatan, panjangnya
mencapai 3 cm (1-1 / 4 "). Buah diambil sebelum matang dan dikeringkan. Benih
berwarna coklat mengkilap atau kemerahan dengan kandungan minyak tinggi
(Prajapati dkk., 2007 ; Fritz dkk, 2008).Bunga lawang (Illiciumverum) adalah
buah berbentuk bintang kecil dari cemara keluarga Illiciaceae(Chempakam dan
Balaji, 2008).Karena tingginya tingkat minyak volatil fenolik, minyak esensial
bisa dijadikan antioksidan alternatif yang potensial untuk menggantikan
antioksidan sintetis.
Sistematika Tjitrosoepomo (2005):
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Illiciales
Famili : Illiciaceae
Genus :Illicium
Spesies :Illicium verum Hook.f.
Sinonim dari tanaman bunga lawang (Illicium verum Hook.f.) adalah
Illicium san-ki Perrottet, badian star anise, chinese anise, chinese star anise,
indian anise, star anise, true star anise (Lim, 2012), sternanis, fructus anisi
stellati (Tjitrosoepomo, 2005; Upton dkk, 2011).Bunga lawang digunakan untuk
pengobatan gangguan pencernaan, obat batuk, antirematik, antidiare, antibakteri
(Parthasarathy, et al, 2008), pengobatan infeksi saluran pernafasan, dispepsia
15
(Fritz dkk, 2008), stimulan, karminatif (Tjitrosoepomo, 2005), antifungi,
antioksidan (Saraswathy, 2013).
Gambar 2. Bunga Lawang
(Sumber: Anonim 6 April 2014)
2.3 Senyawa Aktif yang Terkandung pada Bunga Lawang
Bunga lawang adalah tanaman aromatik yang menghasilkan minyak
seperti anetholdan mengandung beberapa polifenol, termasuk flavonol (quercetin
dan kaempferol),asam antosianin, tanin dan fenolik seperti asam shikimik dan
asam galat (Fardeau et al., 2013).Bunga lawang mengandung minyak atsiri
(anethole 85-90%), resin, lemak, tanin, pektin, terpen, limoeonene, estradol,
safrol, timokuinon, flavonoid, glukosida, saponin, (Ali dkk, 2010). Bijinya
mengandung minyak atsiri dan resin (Parthasaratthy dkk, 2008). Buah I.verum
dilaporkan memiliki aktivitas antijamur (Huang et al., 2010), antimikroba
(Nanthachit, 2002), antioksidan (Yang et al., 2012) dan juga menunjukkan
aktivitas penghambatan asetil cholinesterase dan butyryl cholinesterase dilihat
secara in-vitro (Bhadra et al., 2011) serta potensi antikanker yang signifikan (Shu
et al., 2010).
Komponen utama minyak esensial bunga lawang dikenal sebagai trans-
anethole.Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa minyak esensial memiliki
16
insektida, sifat antimikroba dan antioksidan(Singh., dkk, 2006).Flavonoid dapat
berperan secara langsung sebagai antibiotik dengan mengganggu fungsi dari
metabolisme mikroorganisme seperti bakteri atau virus. Mekanisme antibiotik
flavonoid ialah dengan cara mengganggu aktivitas transpeptidase peptidoglikan
sehingga pembentukan dinding sel bakteri atau virus terganggu dan sel mengalami
lisis. Alkaloid mempunyai pengaruh sebagai bahan antimikroba dengan
mekanisme penghambatannya adalah dengan cara mengkelat DNA (Suliantari
dkk, 2008). Menurut Tang dkk, (2010) Illiciumverum Hook menyajikan efek
antimikroba, anti jamur, anti inflamasi, anti allergi dan antikanker. Ekstrak bunga
lawang menunjukkan aktivitas antioksidan yang tinggi yaitu lebih dari 80%, yang
disebabkan oleh kandungan anethole (Padmashree dkk, 2007).
Zhou, dkk (2005) meneliti kandungan anethole secara kuantitatif
menggunakan GC-MS pada buah Illicium verum dari beberapa tempat di provinsi
Guangxi. Rata – rata hasil dan RSD menunjukkan 102,31% dan 73,8%.
Kandungan anethole pada buah Illicium verum dari beberapa tempat yakni lebih
dari 4,5%. Hasil analisa buah bunga lawang dengan GC-MS menampilkan 25
senyawa, dimana terhitung 99,9% dari total seluruh kandungan (Padmashree dkk,
2007). Sebagian besar adalah senyawa anethole (93,9%), estragol (1,05%) dan
limonen (1,05%). 15 komponen yang di identifikasi dari ekstrak dengan aseton,
terhitung 80,27% dari seluruh total. Trans-anethole (51,81%) ditemukan sebagai
komponen terbesar, dengan asam linoleat (11,6%), 1-(4-metoksipenil)-prop-2-one
(6,71%), fonikulin (5,29%) dan asam palmitat (1,47%).
17
2.4 Aktivitas Antibakteri Ekstrak Bunga Lawang
Menurut Liang dkk, (2008) cara ekstraksi komponen aktif dalam bunga
lawang melalui tahapan antara lain bunga lawang dikumpulkan, dicuci,
dikeringkan denganudara, kemudian ekstraksi dengan etanol dengan, buah 500 ml
etanol 95% selama semalam dengan kecepatan shaker pada 200 rpm dan 37
°C.Menurut Chouksey dkk, (2010) ekstrak bunga Lawang memiliki aktivitas
antibakteri terhadap mikrobia patogen yang berasal dari tanah, air, udara dan
makanan. Ektrak kasar bunga lawang menggunakan pelarut etanol telah
dibuktikan mampu menghambat pertumbuhan S.aureus ATCC 25923, E.coli
ATCC 2592, P.aeruginosa ATCC 27853, C albicans ATCC, A. mentagrophyte
menggunakan metode difusi agar. Sedangkan ektrak kasar dengan pelarut heksan
dan dikloromethane dapat menghambat pertumbuhan S. aureuse ATCC25923 C
albicans ATCC, A. Mentagrophyte dengan konsentrasi 2500µg/ml, sedangkan
konsentrasi 625µg/ml dapat menghambat A. flavus.
Aktivitas antimikrobia disebabkan oleh adanya senyawa anethole dalam
ekstrak bunga Lawang.Penelitian dengan isolat anethole (dibandingkan dengan
standar anethole) menunjukkan bahwa bunga lawang efektif melawan bakteri,
kapang, dan jamur (De., dkk., 2002). Menurut Sing, dkk (2006) minyak volatil
menghambat pertumbuhan Furasium miniliforme secara sempurna dengan dosis
6µl. Ekstrak memiliki zona hambat mycelial hingga 50% untuk Penicillium
citrinumdan P. Viridicatum. Bagaimanapun, minyak ditemukan efektif untuk
mengendalikanpertumbuhan F. moniliforme dan Aspergillus niger, sedangkan
ekstrak telah ditemukan sangat efektif untuk A. flavus. Ekstrak telah
menunjukkan aktivitas yang lebih baik untuk Staphylococcus aureus dan Bacillus
18
cereus dalam perbandingan dengan minyak atsiri dan bakterisida komersial,yaitu
Ampisilin. Namun, minyak atsiri memiliki aktivitas yang lebih baik untuk
Salmonella aeruginosa dan B. Subtilis.
2.5 Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses pemisahan berdasarkan perbedaan kelarutan
bahan. Proses ekstraksi memiliki dua perbedaan kelarutan bahan (Berk, 2009).
Ekstrak disaring dengan kain saring agar terpisah antara ampas dengan filtratnya
(Anditasari dkk, 2014). Menurut Rahayu (2009), ekstraksi adalah pemisahan suatu
zat dari campurannya dengan pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut
yang tidak dapat tercampur untuk mengambil zat terlarut tersebut dari satu pelarut
ke pelarut lain.
1. Maserasi
Maserasi merupakan metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut
diam atau dengan adanya pengadukan beberapa kali pada suhu ruangan. Metoda
ini dapat dilakukan dengan cara merendam bahan dengan sekali-sekali dilakukan
pengadukan. Pada umumnya perendaman dilakukan selama 24 jam, kemudian
pelarut diganti dengan pelarut baru. Maserasi juga dapat dilakukan dengan
pengadukan secara sinambung (maserasi kinetik). Kelebihan dari metode ini yaitu
efektif untuk senyawa yang tidak tahan panas (terdegradasi karena panas),
peralatan yang digunakan relatif sederhana, murah, dan mudah didapat. Namun
metode ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu waktu ekstraksi yang lama,
membutuhkan pelarut dalam jumlah yang banyak, dan adanya kemungkinan
bahwa senyawa tertentu tidak dapat diekstrak karena kelarutannya yang rendah
pada suhu ruang (Sarker dkk.,2006).
19
Metode ini menggunakan pelarut yang akan berdifusi masuk kedalam sel
bahan yang selanjutnya senyawa aktif akan keluar akibat dari tekanan osmosis,
biasanya juga dilakukan pengadukan dan pemanasan untuk mempercepat proses
ekstraksi. Pelarut yang sering digunakan yaitu aseton dan etanol.Keuntungan
metode ini yaitu sederhana, mudah, dan biaya yang murah (Ginting, 2013).
Kekurangan metode ini adalah membutuhkan waktu yang lama dalam ekstraksi.
Selain itu, rendemen yang dihasilkan tidak bebas dari pelarut organik (Putra dkk.,
2014).
2. Ekstraksi Bunga Lawang
Ekstraksi bunga lawang dapat dilakukan dengan beberapa metode, di
adaptasi dari penelitian – peneltian terdahulu. 50 g bunga lawang di blender
selama 20 detik, kemudian direndam dalam pelarut etanol (perbandingan bunga
lawang dengan etanol 1 : 5 b/v) selama 1, 3, 5, 7 dan 9 hari pada tempetur 30, 40,
50, 60, dan 70 °C. Setelah di ekstraksi, dipisahkan antara pelarut dan ekstrak
menggunakan kertas saring Whatman. Selanjutnya di evaporasi hingga 100 ml
menggunakan evaporator vakum dengan suhu 40 °C. 100 ml ekstrak ditambahkan
dengan 100 ml petroleum eter dan 100 ml dH2O. Selanjutnya di berikan
goncangan. Setelah beberapa saat, petroleum eter yang berada dilapisan atas di
keringkan menggunakan Na2SO4. Pelarut petroleum eter di hilangkan
menggunakan rotary evaporator. Metode ini diadaptasi dari Thuat dan Ngoc
(2010).
Metode lainnya dengan cara mencuci bahan utama, kemudian
dikeringkan dan disimpan dalam refrigerator sebelum di ekstraksi. Untuk
ekstraksi etanol, bunga lawang kering (100 g) di ekstraksi dengan 500 ml etanol
20
95% selama semalam pada inkubator dan diberi goncangan 200 rpm serta suhu 37
°C (Liang, dkk,. 2008). Ekstrak kasar dipisahkan menggunakan pelarut heksane,
etil eter, kloroform dan etil asetat berdasarkan polaritas. Ekstak yang di dapatkan
kemudian di evaporasi menggunakan evaporator vakum. Metode ekstraksi lainnya
yaitu menggunakan ekstraksi fluida superkritis yakni dengan memasukkan 5 g
bubuk bunga lawang berukuran 1 – 2 mm ke dalam ekstraktor selama 5 menit
kemudian diekstrak sampai rasio dari CO2 dan ekstrak seimbang menjadi 30.
Ekstrak di evaporasi menggunakan evaporator vakum.
2.6 Pelarut
Pelarut merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam proses
ekstraksi, sehingga banyak faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan
pelarut (Guenther 2006). Terdapat dua pertimbangan utama dalam memilih jenis
pelarut, yaitu pelarut harus mempunyai daya larut yang tinggi dan pelarut tidak
berbahaya atau tidak beracun. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dapat
melarutkan ekstrak yang diinginkan saja, mempunyai kelarutan yang besar, tidak
menyebabkan perubahan secara kimia pada komponen ekstrak, dan titik didih
kedua bahan tidak boleh terlalu dekat (Guenther 2006).Untuk titik didih dari
berbagi macam pelarut dan komponen terlarut dapat dilihat pada Tabel 3. Di
antara pelarut-pelarut tersebut yang paling sering digunakan adalah air, etanol, etil
asetat, petroleum eter, kloroform, dan heksana.
Etanol biasa disebut etil alkohol, hidroksietan atau alkohol diproduksi
melalui fermentasi gula, karbohidrat dan pati, biasa digunakan sebagai pelarut,
antiseptik, obat penenang, industri parfum dan obat-obatan. Etanol merupakan
pelarut organik (Lewis 1993 diacu dalam Ferdiansyah 2006).Etanol termasuk ke
21
dalam alkohol rantai tunggal, dengan rumus kimia C2H5OH dan rumus empiris
C2H6O. Senyawa ini merupakan isomer konstitusional dari dimetil eter. Etanol
sering disingkat menjadi EtOH, dengan "Et" merupakan singkatan dari gugus etil
(C2H5) (Lei dkk., 2002).
Tabel 3. Jenis pelarut dan komponen terlarut serta titik didihnya
Jenis pelarut Titik didih (°C)
Air 100
Etanol 78,4
Etil Asetat 77
Petroleum eter 70
Kloroform Kloroform
Heksana 71
Asam askorbat > 190
Flavanoid > 160
Karotenoid > 580
Alkaloid >100
Steroid > 135
Sumber : Weissenberg (2001)
Sifat-sifat fisika etanol utamanya dipengaruhi oleh keberadaan gugus
hidroksil dan pendeknya rantai karbon etanol. Gugus hidroksil dapat berpartisipasi
ke dalam ikatan hidrogen, sehingga membuatnya cair dan lebih sulit menguap
daripada senyawa organik lainnya dengan massa molekul yang sama. Etanol
termasuk dalam alkohol primer, yang berarti bahwa karbon yang berikatan dengan
gugus hidroksil paling tidak memiliki dua hidrogen atom yang terikat dengannya
juga (Lei., dkk, 2002).
Etanol merupakan pelarut polar yang banyak digunakan untuk
mengekstrak komponen polar suatu bahan alam dan dikenal sebagai pelarut
universal. Komponen polar dari suatu bahan alam dalam ekstrak etanol dapat
diambil dengan teknik ekstraksi melalui proses pemisahan (Santana., dkk, 2009).
Menurut Sudarmadji (2003) etanol dapat mengekstrak senyawa aktif yang lebih
22
banyak dibandingkan jenis pelarut organik lainnya. Etanol mempunyai titik didih
yaitu 79oC sehingga memerlukan panas yang lebih sedikit untuk proses
pemekatan. Sifat-sifat etanol dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Sifat Fisik Senyawa Etanol
Parameter Karakteristik
Rumus Molekul C2H2OH
Massa Molar 46,07 g/mol Penampilan cair tak
berwarna
Densitas 0,789 g/cm3
Titik Lebur -114,3
Titik Didih 78,4
Kelarutan Dalam air tercampur penuh
Keasaman (pKa) 15,9
Viskositas 1,200 cP (200 °C)
Sumber : Treyball, 1980 di dalam Mc. Cabe, (1993)
Pengekstrak organik berdasarkan konstanta dielektrikum dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu pelarut polar dan pelarut non-polar. Konstanta dielektrikum
dinyatakan sebagai gaya tolakmenolak antara dua partikel yang bermuatan listrik
dalam suatu molekul. Semakin tinggi konstanta dielektrikumnya maka pelarut
semakin bersifat polar.Besaran konstanta dielektrikum suatu pelarut ditunjukkan
pada Tabel 5.
Tabel 5. Konstanta Dielektrum Pelarut Organik
Pelarut Konstanta dielektrum
n-heksan 1,89
Petroleum eter 1,90
n-oktan 1,95
n-dektan 1,99
n-dodekan 2,01
n-toulen 2,38
Etanol 24,30
Metanol 33,60
Asam formiat 58,50
Air 80,40
(Sumber: Sudarmadji dkk., 1989)
23
Menurut Hardiningtyas (2009), meskipun air mempunyai konstanta
dielektrikum paling besar (paling polar) namun penggunaannya sebagai pelarut
pengekstrak jarang digunakan karena mempunyai beberapa kelemahan seperti
menyebabkan reaksi fermentatif (mengakibatkan perusakan bahan aktif lebih
cepat), pembekakan sel dan larutannya mudah terkontaminasi.