Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Daun Ginseng Jawa (Talinum triangulare)
2.1.1. Taksonomi
Divisi : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Sub-Class : Caryophyllidae
Ordo : Caryophyllales
Famili : Portulacaceae
Genus : Talinum
Spesies : Talinum triangulare (Jacq.) Willd. (Steenis, 2008)
(Andarwulan et al, 2012)
Gambar 2.1. Daun Ginseng Jawa
2.1.2. Morfologi
Ginseng jawa ditanam sebagai tanaman hias atau tanaman obat,
kadang ditemukan tumbuh liar. Tumbuhan ini berasal dari Amerika
tropis. Di Jawa tumbuh pada ketinggian 5 - 1.250 m dpl. Ada tahunan,
6
tegak, tinggi 30 - 60 cm, batang bercabang di bagian bawah dan
pangkalnya mengeras. Daun tunggal, letak berhadapan, bertangkai
pendek, bundar telur sungsang, tepi rata, ujung dan pangkal runcing,
panjang 3 - 10 cm, lebar 1,5 - 5 cm. Perbungaan majemuk dalam malai
di ujung tangkai, berbentuk anak payung menggarpu yang mekar di sore
hari, warnanya merah ungu. Buahnya buah kotak, diameter 3 mm, bijinya
kecil, hitatn, bulat gepeng (Andarwulan et al., 2012).
2.1.3. Kandungan
Ginseng jawa (Talinum triangulare) merupakan salah satu
tumbuhan berkhasiat obat. Daun ini mengandung senyawa flavonoid,
alkaloid, saponin, dan tannin (Andarwulan et al, 2010). Jenis flavonoid
juga diketahui dalam penelitian terdahulu oleh Andarwulan (2012) yaitu
quersetin, kaempferol, antosianin, asam klorogenat, asam kafeat dan
asam ferulat. Daun ginseng jawa (Talinum triangulare) mengandung
flavonoid yang 90% adalah kaempferol (Aja et al., 2010). Kaempferol
diketahui memiliki beberapa aktivitas farmakologis, seperti antioksidan,
antimikroba, anti inflamasi, anti-kanker, neuroprotective, antidiabetik,
analgesic, dan anti alergi (Calderón-Montaño, 2011). Beberapa hasil dari
penelitian terdahulu menunjukkan bahwa konsumsi makanan kaya
kaempferol menurunkan resiko beberapa penyakit termasuk penyakit
kardiovaskuler (Suchal et al., 2016). Alkaloid mempunyai efek dalam
bidang kesehatan berupa pemicu sistem saraf, menaikkan tekanan darah
(He et al, 2016). Saponin dapat mengurangi resiko hiperkolesterolemia
karena kemampuannya dalam mengikat kolesterol (Song et al., 2016).
7
Tabel 2.1. Kandungan Fitokimia Daun Ginseng Jawa
Nama Fitokimia Kering (mg/100 mg) Basah (mg/100 mg)
Flavonoid 69,8 ± 4,42 58,33 ± 9,00
Alkaloid 55,56 ± 5,00 13,89 ± 5,00
Saponin 1,48 ± 0,20 1,37 ± 0,60
Tannin 1,44 ± 0,73 1,09 ± 0,26
(Aja et al., 2010).
Tabel 2.2. Kandungan Antioksidan Daun Ginseng Jawa
Komponen zat Kandungan per 100 gr
Total Fenol 64,64 mg
Quersetin 0,41 mg
Kaemferol 3,52 mg
Antosianin 0,22 mg
Asam Klorogenat 0,38 mg
Asam Kafeat 0,41 mg
Asam Ferulat 0,09 mg
(Andarwulan et al., 2012)
Kandungan total fenol dalam daun ginseng jawa adalah 64,64 mg dengan
kaemferol sebagai fenol paling dominan dengan kadar 3,52 mg
(Andarwulan et al, 2012).
2.2. Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa pemberi elektron (electron donor) atau
reduktan. Antioksidan dapat didefinisikan sebagai suatu zat yang dapat
menghambat atau memperlambat proses oksidasi. Oksidasi adalah jenis reaksi
kimia yang melibatkan pengikatan oksigen, pelepasan hidrogen atau pelepasan
electron. Proses oksidasi adalah peristiwa alami yang terjadi di alam dan dapat
terjadi dimana-mana, tak terkecuali di dalam tubuh kita. Dalam pengertian
kimia, antioksidan adalah senyawa-senyawa pemberi electron, tetapi dalam arti
biologis pengertian antioksidan lebih luas lagi, bersifat lipofilik, sehingga dapat
berperan pada membrane sel untuk mencegah peroksidase lipid (Suwandi,
2012).
2.2.1 Flavonoid
Flavonoid merupakan salah satu jenis komponen yang terkandung
dalam tanaman, dan dapat ditemukan pada semua tanaman vaskuler.
8
Flavonoid adalah komponen yang mempunyai berat molekul rendah, dan
pada dasarnya merupakan phenylbenzopyrones (phenylchromones)
dengan berbagai variasi pada struktur dasarnya, yaitu tiga cincin utama
yang saling melekat. Struktur dasar ini terdiri dari dua cincin benzene (A
dan B) yang dihubungkan melalui cincin heterosiklik piran atau piron
(dengan ikatan ganda) yang disebut cincin “C” dan struktur dasar
flavonoid adalah rangkaian cincin karbon C6C3C6 (Park, 2016).
(Park, 2016)
Gambar 2.2. Struktur kimia flavonoid.
Senyawa-senyawa flavonoid adalah senyawa-senyawa polifenol
yang mempunyai 15 atom karbon, terdiri dari dua cincin benzene yang
dihubungkan menjadi satu oleh rantai linier yang terdiri dari tiga atom
karbon. Senyawa-senyawa flavonoida adalah senyawa 1,3 diaril propana,
senyawa isoflavonoida adalah 1,1 diaril propana. Istilah flavonoida
deiberikan pada suatu golongan besar senyawa yang berasal dari
kelompok senyawa yang paling umum, yaitu senyawa flavon; suatu
jembatan oksigen terdapat diantara cincin A dalam kedudukan orto, dan
atom karbon benzil yang terletak disebelah cincin B. Senyawa
heterosiklik ini, pada tingkat oksidasi yang berbeda terdapat dalam
9
kebanyakan tumbuhan. Flavon adalah bentuk yang mempunyai cincin C
dengan tingkat oksidasi paling rendah dan dianggap sebagai struktur
induk dalam nomenklatur kelompok senyawa-senyawa ini (Hutauruk,
2010). Flavonoid termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai
antioksidan dan mempunyai bioaktifitas sebagai obat. Senyawa-senyawa
ini dapat ditemukan pada batang, daun, bunga dan buah (Csepregi et al,
2013).
2.2.2. Saponin
Saponin adalah fitokimia, terutama ditemukan di tanaman, yang
menunjukkan karakteristik berbusa dan terdiri dari polisiklik aglycone
melekat satu atau lebih rantai samping gula. Bagian dari aglycone, yang
juga disebut sapogenin, berupa steroid (C27) atau triterpen (C30).
Kemampuan berbusa saponin disebabkan oleh kombinasi dari hidrofobik
(larut dalam lemak) sapogenin dan hidrofilik (larut dalam air) bagian
gula. Saponin secara khas memiliki rasa pahit dan beberapa diketahui
menjadi racun (Majinda, 2012).
Jumlah rantai sakarida melekat pada sapogenins (aglycone) dapat
bervariasi seperti dapat panjang setiap rantai. Sakarida yang rantai
panjang, sejauh ini, bervariasi dari 1 sampai 11 residu gula, dengan
nomor 2-5 yang paling sering ditemui dengan kedua linear dan rantai
bercabang. Semua saponin memiliki penempelan setidaknya satu rantai
gula aglycone dan dapat digambarkan sebagai mono, di, atau
tridesmosidic tergantung pada jumlah rantai sakarida yang melekat
aglycone tersebut. Pada rantai tunggal, biasanya melekat pada C-3 dari
10
aglycone, sehingga didapatkanmonodesmosidic saponin, sementara dua
rantai gula, sering melekat melalui linkage eter pada C-3, dan satu
melalui ester linkage (asil glikosida) di C-28 (triterpen saponin) atau
linkage eter pada C-26 (furostanol saponin). Saponin Tridesmosidic
memiliki tiga rantai gula dan biasanya jarang terjadi, meskipun jumlah
ini baru-baru ini dilaporkan dalam, antara lain, astragalus spesies
(Fabaceae), Chenopodium quinoa (Amaranthaceae) dan Solidago virga-
aurea (Compositae) (Majinda, 2012).
2.3. Profil Lipid
Lipid adalah setiap kelompok heterogen lemak dan substansi serupa
lemak, termasuk asam lemak, lemak netral, lilin, dan steroid, yang bersifat larut
dalam air dan larut dalam pelarut nonpolar. Lipid, yang mudah disimpan dalam
tubuh, berfungsi sebagai sumber bahan bakar, merupakan bahan yang
terpenting dalam struktur sel dan mempunyai fungsi biologik yang lain
(Dorland, 2012).
Di samping asam lemak bebas, ada empat kelompok utama lipoprotein
yang telah diidentifikasi; keempat kelompok lipoprotein ini mempunyai makna
yang penting secara fisiologis dan untuk diagnosis klinis. Keempat kelompok
ini adalah (1) kilomikron yang berasal dari penyerapan triasilgliserol di usus;
(2) lipoprotein dengan densitas yang sangat rendah atau very low density
lipoprotein (VLDL atau pre-β-lipoprotein) yang berasal dari hati untuk
mengeluarkan triasilgliserol; (3) lipoprotein dengan densitas rendah atau low
density lipoprotein (LDL atau β-lipoprotein) yang memperlihatkan tahap akhir
di dalam katabolisme VLDL; dan (4) lipoprotein dengan densitas tinggi atau
11
high density lipoprotein (HDL atau α-lipoprotein) yang terlibat dalam
metabolisme VLDL dan kilomikron serta pengangkutan kolesterol.
Triasilgliserol merupakan unsur lipid yang dominan pada kilomikron dan
VLDL, sedangkan kolesterol dan fosfolipid masing-masing dominan pada
LDL dan HDL (Murray, 2014).
Perubahan patologis kadar keempat lipoprotein tersebut menyebabkan
dislipidemia. Dislipidemia merupakan kelainan metabolisme lipid yang
ditandai dengan peningkatan maupun penurunan fraksi lipid dalam plasma.
Kelainan fraksi lipid yang paling utama adalah kenaikan kadar kolesterol total
(≥240mg/dl), kolesterol LDL (≥160mg/dl), kenaikan kadar trigliserida
(≥200mg/dl) serta penurunan kadar HDL (<40mg/dl). Klasifikasi rentang
fraksi lipid dapat dilihat pada tabel 2 (Jacobson, 2014).
2.3.1. Jenis Lipid
2.3.1.1. Kolesterol Total
Kolesterol total adalah alkohol steroid yang strukturnya
mempunyai inti siklo-pentano-perhidro-fenanten. Dalam tubuh
manusia, sterol ini merupakan kunci yang memperantai
berbagai biosintesis sterol antara lain asam empedu, hormon
adrenokortikal. Dalam tubuh manusia kolesterol terdapat dalam
bentuk tidak teresterifikasi dan dalam bentuk kolesterol ester.
Dalam keadaan normal dua pertiga kolesterol total plasma
terdapat dalam bentuk ester. Sekitar 60-75% kolesterol di
angkut oleh LDL dan dalam jumlah lebih sedikit tetapi sangat
bermakna (15-25%) diangkut oleh HDL (Hall, 2012).
12
2.3.1.2. High Density Lipoprotein (HDL)
HDL terbentuk dari protein dan lipid. Apolipoprotein A-1
(Apo A-1) merupakan komponen utama yang menentukan
bentuk HDL. Kemudian HDL disekresi oleh hepatosit sebagai
lipoprotein small cholesterol yang mengandung apoprotein
A,C, dan E. Lalu komponen permukaan remnant kilomikron dan
VLDL dalam plasma dipindahkan ke HDL selama proses
lipolisis. HDL membawa kelebihan kolesterol dari sel perifer ke
hati, melindungi LDL oksidasi, menghambat ekspresi molekul
adhesi dalam sel endotel, mencegah pergerakan monosit ke arah
dinding pembuluh darah (Hall, 2012).
2.3.1.3. Low Density Lipoprotein (LDL)
Partikel LDL adalah produk akhir dari cascade VLDL-
IDL(Intermediate Density Lipoprotein) -LDL. LDL adalah
kolesterol utama berhubungan dengan lipoprotein plasma dan
setiap partikel LDL ini mengandung molekul Apo-B. Partikel
LDL berperan utama dalam proses terjadinya aterosklerosis.
Reseptor LDL yang ada di dalam hati akan mengikat LDL yang
berasal dari sirkulasi. Terikatnya LDL oleh reseptor LDL ini
penting dalam hal pengkontrolan kolesterol darah, di samping
itu dalam pembuluh darah terdapat sel-sel perusak LDL.
Melalui jalur ini (scavenger pathway), molekul LDL dioksidasi,
sehingga tidak dapat masuk kembali ke dalam aliran darah
(Hall, 2012).
13
2.3.1.4. Trigliserida
Trigliserida merupakan salah satu jenis lemak yang
terdapat dalam darah dan berbagai organ dalam tubuh. Dari
sudut ilmu kimia, trigliserida merupakan substansi yang terdiri
dari gliserol yang mengikat gugus asam lemak. Trigliserida
berfungsi sebagai sumber dan cadangan energi utama dalam
tubuh dan disimpan dalam jaringan adiposa. Dalam keadaan
normal, simpanan trigliserida cukup untuk memenuhi
kebutuhan energi selama dua bulan (Sherwood, 2010).
2.4. Metabolisme Lipid
Lipid darah diangkut dengan 2 cara yaitu jalur eksogen dan endogen:
1. Jalur Eksogen: Trigliserida dan kolesterol yang berasal dari makanan dalam
usus berbentuk kilomikron, akan diangkut dalam saluran limfe melalui
duktus thorasikus menuju ke darah. Trigliserid dalam kilomikron
mengalami hidrolisis oleh lipoprotein lipase pada permukaan sel endotel
membentuk asam lemak dan kilomikron remnan. Kolesterol juga dapat
disintesis dari asetat dibawah pengaruh enzim HMG Co A reduktase yang
menjadi aktif jika terdapat kekurangan kolestrol endogen. Asupan kolesterol
dari darah juga diatur oleh jumlah reseptor LDL yang terdapat pada
permukaan sel hati (Murray, 2014).
2. Jalur Endogen
Trigliserid dan kolesterol yang disintesis oleh hati diangkut secara
endogen dalam bentuk VLDL kaya trigliserid dan mengalami hidrolisis
dalam sirkulasi oleh lipoprotein lipase yang juga menghidrolisis
14
kilomikron menjadi partikel lipoprotein yang lebih kecil yaitu IDL dan
LDL. LDL mengalami katabolisme melalui reseptor LDL yang terdapat
pada permukaaan sel hati dan jalur non reseptor. Jalur katabolisme
reseptor dapat ditekan oleh produksi kolesterol endogen.
Kenaikan kadar kolesterol kira-kira 25 mg/dl yang juga tergantung
umur. Di Amerika, rata-rata kenaikan 18 kg berat badan pada usia 25-50
tahun, kenaikan berat badan ini diikuti dengan kadar kolesterol yang
meningkat.
(Sudoyo, 2014)
Gambar 2.3. Jalur Eksogen dan Endogen
Pada jalur eksogen, kolesterol diambil dari makanan yang masuk ke
saluran cerna untuk selanjutnya diubah ke dalam bentuk kilomikron dan
diangkut ke hepar. Sedangkan jalur endogen, kolesterol yang sudah
disintesis di hepar akan dihidrolisis oleh lipoprotein lipase menjadi IDL
dan LDL (Sudoyo, 2014).
15
3. Lipogenesis
Lipogenesis adalah pembentukan lemak (perubahan dari bahan
makanan bukan lemak menjadi lemak tubuh). Proses lipogenesis berkenaan
dengan konversi glukosa dan zat antara (piruvat, laktat, dan asetil-KoA)
menjadi lemak, merupakan fase anabolik. Status gizi organisme dan
jaringan adalah faktor utama yang mengendalikan lipogenesis. Sintesis
asam lemak rantai panjang dikendalikan oleh modifikasi alosterik, kovalen
enzim, perubahan perubahan dalam kecepatan sistesis dan degradasi enzim.
Reaksi yang membatasi kecepatan dalam lipogenik adalah langkah asetil-
KoA karboksilase. Molekul asetil-KoA berantai panjang menghambat
asetil-KoA karboksilase dengan bersaing dengan aktivator sitrat (Murray,
2014).
(Murray, 2014).
Gambar 2.4. Skema Lipogenesis.
Pembentukan lipid ini berasal dari konversi glukosa dan zat
perantara (piruvat, laktat dan asetil-KoA) dan berlangsung di matriks
mitokondria. Hasil akhir dari proses ini yaitu terbentuknya asam
lemak (fatty acids).
16
4. Lipolisis
Lipolisis adalah dekomposisi atau pemecahan lemak. Karbohidrat
dikonversi menjadi trigliserol sebelum dipakai sebagai energi. Trigliserid
lipoprotein dalam kilomikron atau VLDL tidak dapat diambil oleh jaringan
tetapi harus lebih dahulu mengalami hidrolisis oleh lipoprotein lipase untuk
membentuk asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak yang dibebaskan
diambil oleh jaringan menjadi asetil-KoA dan re-esterifikasi dengan gliserol
menjadi trigliserid. Keseimbangan dalam aktifitas lipolisis dan esterifikasi
menentukan kecepatan pelepasan asam lemak bebas. Lipolisis dipengaruhi
oleh faktor-faktor lipotropik (metionin,kolin,betain) dan bila terjadi
defisiensi menyebabkan trigliserid menumpuk cenderung terbentuknya
fatty liver (Murray, 2014).
(Murray, 2014).
Gambar 2.5. Skema Lipolisis
Pemecahan lemak atau lipolisis ini melibatkan pemecahan asam lemak menjadi
asetil-KoA dan re-esterifikasi dengan gliserol menjadi trigliserid. Dari proses ini
juga akan didapatkan reaksi samping kolesterolo-genesis, steroid-genesis dan
ketogenesis (Murray, 2014).
17
2.5. Hiperkolesterolemia
2.5.1. Definisi
Hiperkolesterolemia adalah suatu kondisi dimana meningkatnya
konsentrasi kolesterol dalam darah yang melebihi nilai normal (Hall,
2012). Hiperkolesterolemia didefinisikan sebagai kadar kolesterol
plasma yang melebihi ambang batas normal. Kadar kolesterol total
yang normal dalam plasma orang dewasa adalah sebesar 120 sampai
200 mg/dl. Keadaan hiperkolesterolemia terjadi bila konsentrasi
kolesterol total ≥ 240 mg/dl, LDL ≥ 160 mg/dl, dan trigliserida ≥ 150
mg/dl (Jellinger et al., 2012).
Hiperkolesterolemia dapat merupakan hiperkolesterol familial
atau dapat disebabkan karena konsumsi kolesterol tinggi. Menurut
Prawitasari dkk. (2011), hiperkolesterolemia familial (HF) merupakan
kelainan genetik tersering penyebab terjadinya aterosklerosis.
Hiperkolesterol terutama fraksi LDL, adalah faktor terpenting
terbentuknya aterosklerosis (Rao et al., 2015).
2.5.2. Patofisiologi
Kolesterol adalah sterol terbanyak yang ada di dalam tubuh,
bentuknya dapat sebagai kolesterol bebas ataupun terikat pada asam
lemak sebagai kolesterilester. Umumnya kolesterol dalam darah dan
limfe terlihat sebagai kolesterilester sedangkan dalam sel-sel darah otot,
hepar, dan jaringan lain dalam bentuk bebas. Struktur kimia dasar dari
kolesterol adalah berupa steroid. Senyawa kolesterol ini disintesis
dalam banyak jaringan dari asetil-KoA dan akhirnya dikeluarkan dari
18
tubuh melalui empedu sebagai garam kolesterol atau empedu (Jellinger
et al., 2012).
Patofisiologi terjadinya hiperkolesterolemia adalah lemak yang
berasal dari makanan akan mengalami proses pencernaan di dalam usus
menjadi asam lemak bebas, trigliserid, fosfolipid dan kolesterol.
Kemudian diserap ke dalam bentuk kilomikron. Sisa pemecahan
kilomikron beredar menuju hati dan dipilah-pilih menjadi kolesterol.
Sebagian kolesterol ini dibuang ke empedu sebagai asam empedu dan
sebagian lagi bersama-sama dengan trigliserida akan bersekutu dengan
protein tertentu (apoprotein) dan membentuk Very Low Density
Lipoprotein (VLDL), yang selanjutnya dipecah oleh ensim lipoprotein
menjadi Intermediet Density Lipoprotein. (IDL) yang tidak bisa
bertahan 2-6 jam karena langsung akan diubah menjadi Low Density
Lipoprotein (LDL) (Aguilar, 2014).
2.5.3. Faktor Penyebab dan Faktor Resiko
Faktor-faktor yang memicu terjadinya hiperkolesterolemia, antara lain:
a. Faktor genetik
Hiperkolesterolemia cenderung terjadi dalam keluarga, mendukung
bahwa hal itu mungkin memiliki suatu penyebab genetic. Dalam dunia
medis hiperkolesterolemia yang diturunkan sebagai HF. HF merupakan
penyakit genetik yang diturunkan secara dominan autosomal
(kromosom yang bukan untuk reproduksi) dalam sel manusia.
Departemen Biokimia dan Biomolekuler Universitas Queensland,
Brisbane, Australia meneliti bahwa penyebab penyakit ini adalah
19
adanya mutasi yang terjadi pada reseptor kolesterol LDL. Reseptor LDL
berfungsi untuk mempertahankan homeostasis kolesterol (Barbara et al,
2015).
b. Faktor pola makan
Junk food telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat di
Indonesia. Junk food banyak mengandung sodium, lemak jenuh dan
kolesterol. Terlalu banyak konsumsi sodium menyebabkan tekanan
darah tinggi dan dapat berpengaruh munculnya gangguan penyakit
jantung (Junior, 2016). Lemak jenuh berbahaya bagi tubuh karena
merangsang hati untuk memproduksi banyak kolesterol. Kolesterol yang
mengendap lama-kelamaan akan menghambat aliran darah dan oksigen
sehingga mengganggu metabolisme sel otot jantung (Csonka et al, 2015).
c. Faktor obesitas
Obesitas adalah kelebihan berat badan yang dihasilkan dari makan
terlalu banyak dan aktifitas terlalu sedikit. Obesitas merupakan hasil
interaksi kompleks antara faktor-faktor genetik, perilaku dan
lingkungan, menyebabkan ketidakseimbangan antara asupan dan
pengeluaran energi. Orang dengan obesitas maka di dalam tubuhnya
cenderung akan banyak timbunan lemak yang berlebih, dan timbunan
lemak yang ada di dalam tubuh akan menyebabkan penyempitan pada
pembuluh darah (Loffredo et al, 2010).
d. Faktor kebiasaan merokok.
Seorang perokok memiliki kadar HDL yang rendah dan kadar LDL
yang tinggi. Bahan dasar rokok mengandung zat-zat kimia yang
20
berbahaya bagi kesehatan. Terdapat lebih kurang 4.000 jenis bahan
kima, 40 persen di antaranya beracun. Bahan kimia yang paling
berbahaya terutama nikotin, tar, hidrokarbon, karbon monoksida, dan
logam berat dalam asap rokok. Nikotin dalam rokok dapat mempercepat
proses penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah. Penyumbatan
dan penyempitan ini bisa terjadi pada pembuluh darah koroner, yang
bertugas membawa oksigen ke jantung. Selain memperburuk profil
lemak atau kolesterol darah, rokok juga dapat meningkatkan tekanan
darah dan nadi (Najafipour, 2012).
e. Kurang keteraturan berolahraga
Aktifitas yang efektif yang dapat menurunkan kadar kolesterol yaitu
berupa olahraga yang teratur yang dilakukan minimal tiga kali seminggu
masing- masing dengan lama waktu antara kurang lebih 45 menit.
Olahraga yang dianjurkan adalah olahraga yang melibatkan otot-otot
besar tubuh seperti paha, lengan atas serta pinggul, seperti senam,
aerobik, jalan kaki, berenang, jogging, atau bersepeda (Menafoglio,
2015).
f. Faktor stress
Dalam sebuah penelitian menunjukkan orang yang stress 1,5x lebih
besar mendapatkan resiko PJK daripada orang yang tidak stress, karena
dengan adanya stress terjadi peningkatan kadar kolesterol darah dan
tekanan darah dalam tubuh (Cohen, 2015).
2.5.4. Klasifikasi
21
Keadaan hiperkolesterolemia terjadi bila konsentrasi kolesterol
total ≥ 240 mg/dl, LDL ≥ 160 mg/dl, dan trigliserida ≥ 200 mg/dl. Bila
kadar kolesterol darah berkisar antara 200-239 mg/dl, tetapi tidak ada
faktor risiko PJK lainnya, maka biasanya tidak perlu penanggulangan
yang serius. Akan tetapi bila dengan kadar tersebut didapatkan PJK atau
2 faktor risiko PJK lainnya, maka perlu pengobatan yang intensif seperti
halnya penderita dengan kadar kolesterol yang tinggi atau >240 mg/dl
(Jacobson et al, 2014).
Klasifikasi kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan
trigliserida dalam mg/dl dapat dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3. Klasifikasi Kolesterol Total, LDL, HDL, Trigliserida
(NCEP ATP III, 2002).
2.6. Terapi
2.6.1. Statin
Dalam 10 tahun terakhir ini di seluruh dunia, inhibitor 3‐hidroksi‐3‐
metilglutaril koenzim A reduktase—biasa disebut sebagai STATIN—
Profil Lipid Interpretasi
Kolesterol Total
<200 Optimal
200-239 Borderline
≥240 Tinggi
Kolesterol LDL
<100 Optimal
100-129 Mendekati optimal
130-159 Borderline
160-189 Tinggi
≥190 Sangat Tinggi
Kolesterol HDL
<40 Rendah
≥60 Tinggi
Trigliserida
<150 Optimal
150-199 Borderline
200-499 Tinggi
≥500 Sangat Tinggi
22
menjadi obat yang paling banyak diresepkan sebagai obat penurun kadar
lipid. Obat golongan ini memblok secara parsial reaksi konversi 3‐
hidroksi‐3‐metilglutaril koenzim A menjadi asam mevalonat (Miller,
2011).
Peningkatan yang sifatnya minor pada kadar enzim hati sering
dijumpai pada 5 bulan pertama terapi statin yang biasanya akan
sembuh/normal kembali dengan sendirinya. Peningkatan yang bermakna
terjadi pada 2% pasien pada awal terapi tergantung pada dosis statin yang
digunakan, dan akan normal kembali jika dosis statin diturunkan anatau
dihentikan (Miller, 2011).
Efek samping lain yang dijumpai pada 5% pasien adalah miopati ,
muncul sebagai gejala nyeri pada otot dan persendian tanpa adanya
perubahan kadar kreatin kinase (CK). Miopati yang parah
(rhaddomiolisis fatal) dialami oleh 0,2% pasien, disertai dengan
peningkatan CK (10 kali batas atas kadar normal, CK normal adalah 10‐
150 IU/L), dan dalam hal ini penggunaan statin harus segera dihentikan.
Jika CK berkisar antara 3‐10 kali batas atas normal, statin tetap
dilanjutkan tetapi CK harus terus dipantau sampai diketahui apakah
keadaan membaik atau memburuk (sehingga memerlukan penghentian
statin) (Lee, 2013).
2.7. Mekanisme Kerja Antioksidan Sebagai Anti Hiperkolesterolemia
Flavonoid merupakan salah satu contoh senyawa antioksidan yang ada
pada daun ginseng jawa. Flavonoid ini dapat berfungsi sebagai senyawa yang
dapat meningkatkan HDL dan juga dikatakan mampu menaikkan densitas dari
23
reseptor LDL di liver dan mengikat apolipoprotein B (Gabriela, 2013). Selain
itu, menurut studi yang dilakukan bahwa flavonoid bekerja menurunkan kadar
4 kolesterol dari dalam darah dengan menghambat kerja enzim 3 metilglutaril
koenzim-A reduktase (HMG Co-A reduktase). Flavonoid juga dapat
menurunkan penyerapan kolesterol dan asam empedu serta dapat
meningkatkan aktivitas reseptor kolesterol LDL (Sekhon, 2012). Flavonoid
sebagai inhibitor kompetitif berikatan dengan HMG-CoA reduktase yang
membuat asam melanovat (senyawa biosintesis kolesterol) tidak akan
terbentuk sehingga pembentukan kolesterol dalam hati menjadi terhambat
(Sekhon, 2012). Selain itu, flavonoid dalam bentuk quersetin memiliki
mekanisme yang serupa dengan simvastatin dalam menurunkan kadar Low
Density Lipoprotein (LDL) darah pada tikus putih (An,2013). Mekanisme kerja
senyawa antioksidan tersebut dalam menurunkan kadar kolesterol total dan
trigliserida darah bekerja dengan cara meningkatkan aktivitas Lecithin
Cholesterol Acyl Taransferase (LCAT). LCAT merupakan enzim yang dapat
mengkonversi kolesterol bebas menjadi ester kolesterol yang lebih hidrofobik,
sehingga ester kolesterol dapat berikatan dengan partikel inti lipoprotein untuk
membentuk HDL baru. Hal ini akan meningkatkan kadar HDL serum.
Kandungan aktif lain yang didapatkan di daun ginseng jawa ini yaitu
saponin. Saponin sebagai antioksidan memiliki mekanisme hipolipidemia
melalui penurunan sintesis kolesterol dengan cara menghambat aktivitas
HMG-coA reductase dan peningkatan ekskresi asam empedu. Saponin juga
mengubah absorbsi kolesterol dan asam empedu dengan menginterupsi formasi
24
misel, sehingga kolesterol tidak dapat diabsorbsi (Setyaningrum & Inandha,
2014).
2.8. Tikus
Lebih dari 90% dari semua hewan uji yang digunakan di dalam berbagai
penelitian adalah binatang pengerat, terutama mencit (Mus musculus L.) dan
tikus (Rattus norvegicus L.). Hal ini disebabkan karena secara genetik, manusia
dan kedua hewan uji tersebut mempunyai banyak sekali kemiripan. Terdapat
beberapa galur tikus yang sering digunakan dalam penelitian. Galur-galur
tersebut antara lain : Wistar, Sprague-Dawley, Long Evans, dan Holdzman.
Jenis mencit dan tikus yang paling umum digunakan adalah jenis albino galur
Sprague Dawley dan galur Wistar (Wolfenshon dan Lloyd, 2013).
Tabel 2.4. Data Fisiologis Tikus Putih (Rattus novergicus).
(Krinke, 2010)
Menurut Krinke (2010) klasifikasi Tikus putih (Rattus norvegicus) adalah:
Kingdom : Animalia
Nilai Fisiologis Kadar
Berat tikus dewasa Jantan 450-520 gram
Betina 250-300 gram
Kebutuhan makan 5-10g/100g berat badan
Kebutuhan minum 10ml/100g berat badan
Jangka hidup 3-4 tahun
Temperatur rektal 36oC - 40oC
Detak jantung 250-450 kali/menit
Tekanan darah
Sistol
Diastol
84-134 mmHg
60 mmHg
Laju pernafasan 70-115 kali/meint
Serum protein 5.6 – 7.6 g/dl
Albumin 3.8 – 4.8 g/dl
Globulin 1.8 – 3 g/dl
Glukosa 50 – 135 mg/dl
Nitrogen urea darah 15 – 21 mg/dl
Kreatinin 0.2 – 0.8 mg/dl
Total bilirubin 0.2 – 0.55 mg/dl
Kolesterol 40 – 130 mg/dl
25
Divisi : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Rattus
Spesies : Rattus norvegicus L.
Tikus putih atau yang lebih dikenal dengan tikus albino ini lebih banyak
dipilih karena tikus yang dilahirkan dari perkawinan antara tikus albino jantan
dan betina mempunyai tingkat kemiripan genetis yang besar, yaitu 98%,
meskipun sudah lebih dari 20 generasi. Bahkan setelah terjadi perkawinan
tertutup di antara tikus albino ini, mereka masih mempunyai kemiripan genetis
yang sangat besar yaitu 99,5%. Hal inilah yang menyebabkan mereka
dikatakan hampir menyerupai hewan hasil klon.
(Krinke, 2010).
Gambar 2.6. Tikus Putih (Rattus norvegicus strain wistar)