Upload
others
View
25
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pengelasan
Pengelasan adalah salah satu teknik penyambungan logam dengan cara mencairkan
sebagian logam induk dan logam pengisi dengan atau tanpa tekanan. Dengan atau logam
tambahan dan menghasilkan sambungan yang kontinue ( Sonawan,2004). Berdasarkan definisi
dari Deutche Industri Normen (DIN) las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam atau
logam padun yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Dari definisi tersebut dapat
dijabaran lebih lanjut bahwa las adalah sambungan dari beberapa batang logam dengan
menggunakan energi panas ( Wiryosumarto dan Okumura,2000 ).
2.2 Proses Dasar Pengelasan
Proses pengelasan merupakan proses penyambungan dua bagian logam atau lebih
dengan menggunakan energi panas. Energi panas pada pengelasan tersebut akan menimbulkan
terjadinya siklus termal tersebut dan mengakibatkan terjadinya tegangan sisa, distorsi serta laju
pendingan pada logam las dan daerah sekitarnya. Struktur mikro logam las sangat dipengaruhi
oleh laju pendinginan dan komposisi kimia bahan (logam induk dan elektroda). Pada akhirnya
tegangan sisa dan struktur mikro logam tersebut akan mempengaruhi sifat mekanis dari logam
lasan. Sambungan lasan banyak digunakan dengan pertimbangan bahwa konstruksi ringan,
murah dan pengerjaan cepat. Perancangan las dan cara pengelasan harus betul–betul
memperhatikan kesesuaian antara sifat-sifat las dengan kegunan konstruksi serta keadaan di
sekitarnya. Kekuatan sambungan las secara umum dipengaruhi oleh komposisi dan sifat logam
pengisi (elektroda ), proses pengelasan, daerah pemansan langsung, daerah yang terkena
pengaruh panas dan adanya tegangan sisa ( Johnson dkk,1985).
2.3 Las Busur Listrik
Las Busur Listrik adalah satu cara menyambung logam dengan menggunakan nyala busur
listrik yang diarahkan ke permukaan logam yang akan disambung. Pada bagian yang terkena
busur listrik tersebut akan mencair, demikian juga elektroda pada busur listrik yang akan
mencair dan merambat terus sampai habis. Logam cair dari elektroda dan dari sebagian benda
yang akan disambung tercampur dan mengisi celah dari kedua logam yang akan disambung,
kemudian membeku dan tersambunglah kedua logam tersebut.
7
2.4 Klasifikasi Pengelasan
2.4.1 FCAW (Flux Cored Arch Welding)
Las FCAW adalah kombinasi antara proses pengelasan GMAW, SAW. Dalam
pengelasan FCAW ini sumber energi menggunakan arus listrik DC atau AC yang
diambil dari pembangkit listrik atau melalui trafo dan atau rectlifier.
Pengelasan FCAW merupakan salah satu jenis las yang proses kerjaanya
memasok filler elektroda atau kawat las secara mekanis terus menerus ke dalam busur
listrik (Jones,2014)
Gambar 2.1 : Skema Las FCAW
( Sumber : Jones,2014 )
Kawat las atau Elektroda yang digunakan untuk pengelasan FCAW terbuat
dari logam tipis yang digulung cylindrical kemudian dalamnya di isi dengan flux yang
sesuai dengan kegunaannya. Proses Pengelasan FCAW ini sebenarnya sama dengan
pengelasan GMAW, namun membedakan adalah kawat las atau elektroda nya yang
berbentuk tubular yang berisi fluks sedangkan GMAW berbentuk solid.
8
Gambar 2.2 : Kawat Las FCAW Tubular
( Sumber : Jones,2014 )
Berdasarkan metode pelindung, pengelasan FCAW dapat dibedakan menjadi 2
yaitu :
A) Self shielding FCAW (Pelindungan sendiri), yaitu merupakan proses melindungi
logam las yang mencair dengan menggunakan gas dari hasil penguapan atau reaksi
dari inti fluks.
B) Gas shielding FCAW (perlindungan gas) adalah perlindungan dengan dual gas,
yaitu melindungi logam las yang mencair dengan menggunakan gas sendiri juga
ditambah gas pelindung yang berasal dari luar sistem.
Dua metode di atas sama-sama menghasilkan terak las yang berasal dari flux
dalam kawat las yang berfungsi untuk melindungi logam las saat proses pembekuan.
Namun, perbedaan metode di atas terletak pada tambahan sistem pemasok gas dan
welding torch (welding gun) yang digunakan. Pengelasan FCAW berdasarkan cara
pengoperasiannya dibedakan menjadi 2:
1. Otomatik (machine otomatik)
2. Semi otomatik (semi automatic)
Sifat-sifat utama (Principal features) yang dimiliki FCAW dalam proses
pengelasan :
1. FCAW mempunyai sifat metalurgi las yang bisa dikontrol dengan pemilihan fluks.
2. Las FCAW mempunyai produktivitas yang tinggi, karena dapat pasokan elektroda
las yang kontinu.
3. Saat pembentukan manik atau rigi rigi las yang cair dapat dilindungi oleh slag yang
tebal.
9
Pengelasan FCAW umumnya menggunakan gas CO2 atau campuran CO2
dengan Argon sebagai gas pelindung. Tetapi untuk menghindari logam las
terkontaminasi udara luar atau menghindari porosity maka harus dilakukan pemilihan
fluks yang mengandung mempunyai sifat pengikat oxygen atau deoxydizer.
Aplikasi atau Penggunaan utama Pengelasan FCAW :
1. Baja karbon (carbon steel)
2. Pengerasan & pelapisan permukaan (Steel hard facing and cladding)
3. Baja tahan karat (Stainless steel)
4. Besi tuang (Cast Iron)
5. Baja karbon Alloy rendah (Low alloy carbon steel)
6. Las titik baja tipis (Sheet steel spot welding)
2.4.2 GMAW (Gas Metal Arch Welding)
Pada proses GMAW (Gas Metal Arc Welding), elektrodanya adalah kawat
menerus dari 1 gulungan yang disalurkan melalui pemegang elektroda (alat yang
berbentuk pistol seperti pada gambar 2.3). Perlindungan dihasilkan seluruhnya dari gas
atau campuran gas yang diberikan dari luar (Fuadi, 2015).
Gambar 2.3 : Skema Las GMAW.
(Sumber: Metode-metode Pengelasan, Fuadi, 2015)
Mula-mula metode ini dipakai hanya dengan perlindungan gas mulia (tidak
reaktif) sehingga disebut MIG (Metal Inert Gas/gas logam mulia). Gas yang reaktif
10
biasanya tidak praktis, kecuali CO2 (karbon dioksida). Gas CO2, baik CO2 saja atau
dalam campuran dengan gas mulia, banyak digunakan dalam pengelasan baja (Fuadi,
2015).
Argon sebenarnya dapat digunakan sebagai gas pelindung untuk pengelasan semua
logam, namun, gas ini tidak dianjurkan untuk baja karena mahal serta kenyataan bahwa
gas pelindung dan campuran gas lain dapat digunakan. Untuk pengelasan baja karbon
dan beberapa baja paduan rendah baik (1) 75% argon dan 25% CO, ataupun (2) 100%
CO2 lebih dianjurkan. Untuk baja paduan rendah yang keliatannya (toughness),
disarankan pemakaian campuran dari 60-70% helium, 25-30% argon, dan 4-5% C02
(Fuadi, 2015).
Selain melindungi logam yang meleleh dari atmosfir, gas pelindung mempunyai
fungsi sebagai berikut.
1) Mengontrol karakteristik busur nyala dan pernindahan logam.
2) Mempengaruhi penetrasi, lebar peleburan, dan bentuk daerah las.
3) Mempengaruhi kecepatan pengelasan.
4) Mengontrol peleburan berlebihan (undercutting).
Pencampuran gas mulia dan gas reaktif membuat busur nyala lebih stabil dan kotoran
selama pemindahan logam lebih sedikit. Pemakaian CO2 saja untuk pengelasan baja
merupakan prosedur termurah karena rendahnya biaya untuk gas pelindung, tingginya
kecepatan pengelasan, lebih baiknya penetrasi sambungan, dan baiknya sifat mekanis
timbunan las. Satu-satunya kerugian ialah pernakaian CO2 menimbulkan kekasaran dan
kotoran yang banyak (Fuadi, 2015).
11
2.4.3 GTAW (Gas Tungsten Arch Welding) atau TIG (Tungsten Inert Gas)
Gas Tungsten Arc Welding (GTAW) atau sering juga disebut Tungsten Inert
Gas (TIG) merupakan salah satu dari bentuk las busur listrik (Arc Welding) yang
menggunakan inert gas sebagai pelindung dengan tungsten atau wolfram sebagai
penghantar arus listrik untuk menghasilkan las ( Harsono dan Okumura 2000).
Gambar 2.4 : Gambar Skema Pengelasan TIG
( Sumber : Harsono dan Okumura 2000 )
2.4.4 Pengelasan Elektroda Terbungkus (SMAW)
Proses pengelasan di mana panas dihasilkan dari busur listrik antara ujung
elektroda dengan logam yang dilas. Elektroda terdiri dari kawat logam sebagai
penghantar arus listrik ke busur dan sekaligus sebagai bahan pengisi (filler). Kawat
ini dibungkus dengan bahan fluks. Biasanya dipakai arus listrik yang tinggi (10-500
A) dan potensial yang rendah (10-50 V). Selama pengelasan, fluks mencair dan
membentuk terak (slag) yang berfungsi sebagai lapisan pelindung logam las terhadap
udara sekitarnya. Fluks juga rnenghasilkan gas yang bisa melindungi butiran-butiran
logam cair yang berasal dari ujung elektroda yang mencair dan jatuh ke tempat
sambungan (Wiryosumarto dan Okumura, 2000).
12
Gambar 2.5 : Skema Las SMAW
( Sumber : Wiryosumarto dan Okumura,2000 )
2.5 Definisi Baja Paduan
Baja paduan adalah baja yang didalamnya terkandung besi (Fe) + unsur kimia.
Komposisi kimia yang terkandung tersebut sangat beragam. Besaran persentase dan jenis
komposisi kimia yang terkandung di dalam baja tersebutlah yang membuat baja paduan
mempunyai beragam karakteristik yang berbeda-beda dan membuat baja tersebut juga
berbeda dalam kegunaanya ( Hendra, 2016 ).
2.6 Baja Karbon Rendah ASTM A36
Penelitian ini menggunakan baja SS400/JIS G3101/ASTM A36, baja sejenis “Steinless
Steel" (baja tahan karat) yang diterangkan bahwa SS400 bukanlah baja steinless steel. SS
berarti “Structural Steel” atau baja kontruksi. Berbeda dengan penamaan pada SS304,
SS316 SS410, dsb. Pada SS304, SS316, SS410, dsb, memang jenis baja steinless steel dari
standard ASTM (American Society fot Testing Materials). Adapun steinless steel srandard
JIS (Japanese Industrial Standard) mereka memberi kode dengan awalan SUS (Steel Use
Stainless) misalnya SUS304, SUS316, SUS410, dsb.Pada kasus SS400, SS disini bukanlah
kepanjangan dari steinlees steel tapi “Structural Steel”.
SS400/JIS G3101/ASTM A36 ialah baja umum (Mild Steel dimana komposisi
kimianya hanya karbon (C), Manganese (Mn), Silikon (Si), Sulfur (S) dan Pospor (P) yang
diaplikasikan untuk struktur/kontruksi umum (General Purpose Structural Steel) misalnya
13
jembatan, plat kapal laut, oil tank dll. SS400/JIS G3011 ekivalen dengan DIN : St37-2,
ENS235JR, ASTM : A283C dan UNI : FE360B, SS400/JIS G3101/ASTM A36, baja
dengan kadar karbon rendah (max 0,17% C) Low C Steel, material ini tidak dapat
dikeraskan / pelakuan panas melalui proses quench and temper. Material ini dapat
dikeraskan melalui pengerasan permukaan seperti karburisasi, nitriding atau
carbonnitriding, dimana kekerasan permukaan bisa mencapai 500 Brinell (kira – kira 500
HRC) pada kedalaman permukaan 10 sampai 20 mikron tergantung prosesnya.
Baja A36 memiliki kekuatan tarik yang tepat, baik ketangguhan, plastisitas, pengolahan
properti, digulung menjadi pelat baja, berbentuk steel dan baja profil, yang biasanya
digunakan untuk membangun lokakarya, jembatan, kapal dan sebagainya. Baja ASTM A36
komposisi kimia % : C : 0.25 - 0.29 Mn : 0.80 – 1.20 P : 0.04 S : 0.05 Si : 0.15 – 0.40 Cr:
0.20 (Steelindo Metals, 2013).
Peralatan Mekanis Metrik Imperial
Kekuatan Tarik, Ultimate 400- 550 MPa 58.000 - 79.800 psi
Kekuatan Tarik, Yield 250 MPa 36300 psi
Elongasi pada istirahat ( di
200 mm )
20,0 % 20,0 %
Elongasi pada istirahat ( di
50 mm )
23,0 % 23,0 %
Modulus Elastisitas 200 GPa 29000 ksi
Modulus Bulk ( khas untuk
baja )
140 GPa 20300 ksi
Poisson Ratio 0,260 0,260
Modulus Geser 79,3 GPa 11500 ksi
Massa Jenis 7,85 g/cm 3 0,284 Ib/ di 3
Tabel 2.1 : Sifat Mekanis Baja A36
( Sumber : Steelindo Metals, 2013 )
14
2.7 Teori Perpindahan Panas Pada Pengelasan
2.7.1 Masukan Panas (Heat Input)
Masukan panas (heat Input) adalah besarnya energi panas tiap satuan panjang las
ketika sumber panas bergerak (Subeki, 2007). Heat input merupakan parameter penting
karena seperti halnya pemanasan awal dan temperatur interpass, heat input juga
mempengaruhi laju pendinginan yang akan berpengaruh pada mechanical properties dan
struktur metalurgi dari HAZ. Rumus yang digunakan untuk menentukan besarnya heat
input yaitu :
HI = 𝜂 𝑥 𝑇𝑒𝑔𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑙𝑎𝑠 (𝑉)𝑥 𝐴𝑟𝑢𝑠 𝑙𝑎𝑠(𝐼)
𝐾𝑒𝑐𝑒𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐿𝑎𝑠(𝑣) ...................................... (Wibowo, 2016)
Dimana,
𝜂 : Efesiensi panas las
HI : Heat Input (Kj/mm) v : Kecepatan pengelasan (mm/s)
V : Tegangan Las (Volt) I : Arus listrik (Amper)
Apabila heat input dari suatu pengelasan terlalu tinggi maka daerah HAZ akan
menjadi lebar sehingga mudah terjadi cacat seperti undercut. Akan tetapi apabila heat
input terlalu kecil maka juga akan menimbulkan cacat las seperti inclusion (Riyadi,
2011). Pada penggunaan heat input yang semakin tinggi akan meningkatkan prosentase
ferit acicular, upper bainit, dan ferit widmanstaten (Subeki, 2007).
Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengontrol distorsi dan tegangan sisa
sehingga dapat meningkatkan sifat mekanik sambungan las. Salah satu metodenya adalah
dengan thermal tensioning, Metode thermal tensioning untuk mengontrol distorsi dan
tegangan sisa telah dilakukan oleh (Burak dkk, 1977; Burak dkk,1979) dengan membuat
15
tegangan tarik di daerah las sebelum dan selama pengelasan dengan mengatur gradien
suhu. yaitu dengan cara pemberian panas lokal di sekitar jalur las selama pengelasan.
1) STT (Static Thermal Tensioning)
Merupakan salah satu metode yang sedang dikembangkan untuk
mengurangi distorsi dan tegangan sisa yang terjadi pada hasil pengelasan. Prinsip
kerja metode ini berupa pemberian tegangan termal (thermal tensioning ) untuk
melawan tegangan termal akibat pengelasan.
Penelitian tentang STT telah dilakukan oleh Burak, dkk (1979) menggunakan
efek termal pada pelat dengan ketebalan lebih dari 4 mm dan untuk penggunaan
pesawat luar angkasa dengan ketebalan pelat yang tipis (4 mm), maka penelitian
tentang STT dilanjutkan oleh Guan,dkk (1988) dengan mengembangkan
pengendalian distorsi dan tegangan sisa yang sebelumnya dilakukan oleh Burak,dkk
(1979). Hasil penelitian menunjukkan bahwa efek termal tensioning dapat
mengurangi distorsi yang terjadi secara signifikan pada pelat 4 mm. Deo dan Miclaeris
(2003) melaporkan bahwa penentuan temperature pemanasan (Preheating)
merupakan factor yang sangat kritis dimana temperatur yang tidak sesuai berakibat
ditorsi yang terjadi tidak akan hilang secara maksimal.
2) TTT (Transient Thermal Tensioning)
Perlakuan transient thermal tensioning (TTT) pada pengelasan dilakukan untuk
mengurangi distorsi, tekukan, dan tegangan sisa (Michaleris dan Sun, 2004).
Penelitian tentang TTT (transient thermal tensioning) telah dilakukan Michaleris, dkk
(1997) melakukan simulasi menggunakan finite element analysis (FEA) pada teknik
pengelasan TTT ( transient thermal tensioning ) dan menghasilkan bahwa tegangan
sisa termal yang terjadi berkurang secara signifikan. (Michaleris dan Sun, 2004)
“Perlakuan transient thermal tensioning (TTT) pada pengelasan dilakukan untuk
16
mengurangi distorsi, tekukan, dan tegangan sisa.” (Tsai dkk., 1999) dengan
peregangan komponen, optimalisasi pemotongan dan urutan pengelasan, pengurangan
masukan panas dan transient thermal tensioning.
2.7.2 Siklus Termal
Dareah lasan terdiri dari 3 bagian yaitu logam lasan, daerah pengaruh panas (Heat
Affected Zone). Selama proses pengelasan berlangsung, logam las dan daerah pengaruh
panas akan mengalami serangkaian siklus thermal yang berupa pemanasan sampai
mencapai suhu maksimum dan diikuti dengan pendinginan. Pada pengelasan baja,
kandungan C pada logam las biasanya dibuat rendah yaitu 0,1 % massa, dengan tujuan
untuk mempertahankan sifat mampu las atau weldability. Sebagai akibatnya, jika kondisi
kesetimbangan (equilibrium) tercapai maka logam las akan mengalami
serangkaiantransformasi fasa selama proses pendinginan, yaitu dari logam las cair
berubah menjadi ferit-δ kemudian γ (austenit) dan akhirnya menjadi α (ferrit). Pada
umumnya laju pendinginan pada proses pengelasan cukup tinggi sehingga kondisi
kesetimbangan tidak terjadi dan akibatnya struktur mikro yang terbentuk tidak selalu
mengikuti diagram fasa (Subeki, 2007).
Gambar 2.6 : Siklus Thermal Las
(Sumber : Subeki, 2007).
17
2.7.3 Diagram Fasa Fe3C
Gambar 2.7 Diagram Fasa Fe-C
(Sumber : Dany, 2015)
Diagram fasa Fe-C sangat penting di bidang metalurgi karena sangat bermanfaat di dalam
menjelaskan perubahan-perubahan fasa Baja (paduan logam Fe-C). Baja merupakan logam
yang banyak dipakai di bidang teknik karena kekuatan tarik yang tinggi dan keuletan yang
baik. Paduan ini mempunyai sifat mampu bentuk (formability) yang baik dan sifat-sifat
mekaniknya dapat diperbaiki dengan jalan perlakuan panas atau perlakuan mekanik (Dany,
2015).
Beberapa istilah dalam Gambar 2.7 yang terdapat didalam diagram diatas akan
dijelaskan dibawah ini. Berikut adalah batas-batas temperatur kritis pada diagram Fe3C
sebagai berikut:
• A1 adalah temperatur reaksi eutektoid yaitu perubahan fasa γ menjadi α+Fe3C
(perlit) untuk baja hypoeutektoid.
• A2 adalah titik Currie (temperatur 769oC), dimana sifat magnetik besi berubah
dari feromagnetik menjadi paramagnetik.
18
• A3 adalah temperatur transformasi dari fasa γ menjadi α (ferit) yang ditandai pula
dengan naiknya batas kelarutan karbon seiring dengan turunnya temperature.
• Acm adalah temperatur transformasi dari fasa γ menjadi Fe3C (sementit) yang
ditandai pula dengan penurunan batas kelarutan karbon seiring dengan
turunnya temperatur.
• A123, adalah temperatur transformasi γ menjadi α+Fe3C (perlit) untuk baja
hiperetektoid.
1. Ferrite atau Besi Alpha (α-Fe)
Ferrite ialah suatu komposisi logam yang mempunyai batas maksimum kelarutan Carbon
0,025%C pada temperature 723oC, struktur kristalnya BCC (Body Center Cubic) dan pada
temperature kamar mempunyai batas kelarutan Carbon 0,008%C. Secara umum fase ini
bersifat lunak (soft), ulet (ductile), dan magnetik(magnetic) (Sibuea, 2014).
2. Austenite atau Besi Gamma (γ-Fe)
Austenite ialah suatu larutan padat yang mempunyai batas maksimum kelarutan Carbon
2%C pada temperature 1130oC, struktur kristalnya FCC (Face Center Cubic). Fase ini
bersifat non magnetik dan ulet (ductile) pada temperatur tinggi (Sibuea, 2014).
3. Besi Karbida atau Sementit
Cementid ialah suatu senyawa yang terdiri dari unsur Fe dan C dengan perbandingan
tertentu (mempunyai rumus empiris) dan struktur kristalnya Orthohombic (Sibuea,
2014).
4. Perlite
Pearlite ialah campuran Eutectoid antara Ferrite dengan Cementid yang dibentuk pada
temperature 723oC dengan kandungan Carbon 0,83%C (Sibuea, 2014).
5. Martensite
Martensite merupakan salah satu metode penguatan struktur atom pada logam yang
terjadi ketika material baja yang memiliki kadar karbon yang relatif tinggi dan kemudian
19
dilakukan proses quenching atau Pendinginan secara tiba-tiba kedalam media yang laju
pendinginannya cepat seperti air .Baja yang dipanaskan hingga suhu austensit ditahan
(Holding Time) lalu di celiupkan ke dalam air . selama proses ini terjadi transformasi fasa
dari γ (austensit) yang FCC menjadi martensit BCT dengan mekanisme geser. Fasa
martensit ini mempunyai sifat keras dan Getas, sehingga untuk mengurang sifat getasnya
dilakukan proses temper, karena fasa yang keras ini akan meghambat gerakan dislokasi
(Sibuea, 2014).
2.7.4 Diagram TTT (Time Temperature Transformation)
Untuk mengetahui perubahan fasa yang terjadi dapat dilihat pada diagram TTT
(Time Temperature Transformation) untuk baja.
Gambar 2.8 : Diagram TTT
(Sumber : Anonim E, 2012).
20
Pada kurva sebelah kiri menunjukkan saat mulainya transformasi isothermal dan
kurva sebelah kanan menunjukkan saat selesainya transformasi isothermal. Diatas garis
A1, austenit dalam keadaan stabil (tidak terjadi transformasi walaupun waktu
penahannya bertambah). Di bawah temperatur kritis A1 pada daerah di sebelah kiri
kurva awal transformasi austenit tidak stabil (austenit akan bertransformasi) dan
disebelah kanan kurva akhir transformasi terdapat hasil transformasi isothermal
dari austenit, sedang pada daerah diantara dua kurva tersebut terdapat sisa austenit
(yang belum bertransformasi) dan hasil transformasi isotermalnya.
Titik paling kiri dari kurva awal transformasi disebut hidung (nose) diagram ini.
Transformasi austenit diatas nose akan menghasilkan perlit sedangkan di
bawah nose akan menghasilkan bainit. Tetapi bila transformasi berlangsung pada
temperatur yang lebih rendah lagi (dibawah garis Ms = Martensite start) akan
diperoleh martensit (Anonimous, 2012).
2.7.5 Diagram Tegangan Regangan
Dalam perancanaan komponen – komponen maka perlu sekali untuk mengetahui
bagaimana material itu berfungsi dalam pelayaannya. Untuk itu karakteristik atau sifat
– sifat dari material harus dikenal. Sifat mekanik biasanya banyak digunakan dalam
praktek dan umumnya diketahui dari standard tegangan tarik. Penelitian ini terdiri dari
pembebanan bertahap dari sebuah benda uji standard material, kemudian mencatat
hubungan harga beban dan perpanjangan hingga material mengalami putus, beban yang
bekerja diperoleh dari harga yang di tunjukan oleh mesin uji. Hubungan antara tegangan
dan regangan dapat diketahui pada diagram tegangan yang berdasarkan data yang
diperoleh dalam pengujian tarik seperti pada diagram regangan berikut
Gambar 2.9 : Kurva Tegangan Regangan
( Sumber : Sastranegara, 2009)
21
2.7.6 Area Sebaran Panas
Panas yang terjadi akan mengalami perpindahan secara konduksi, untuk melakukan
analisa terhdapat hal tersebut maka yang perlu diperhatikan adalah menentukan daerah
material yang dihasilkan dari kondisi batas tertentu. Oleh karena itu perlu diketahui
distribusi temperature yang menunjukkan bagaimana varisi temperature sesui fungsi
pada material. Pada proses pengelasan dihasilkan siklus panas yang rumit pada lasan.
Siklus panas ini menyebabkan perubahan struktur mikromaterial pada daerah sekitar
lasan ( heat – affected zone ) dan transient thermalstres, hingga akhirnya tercipta
tegangan sisa ( residual stress ) dan perubahan bentuk ( distorsi ) ( Andrean, 2017 ).Yao
Wei, Wang Jian, Liao Guangxuan (2007) melakukan penelitian yang hasilnya berupa
simulasi perpindahan panas suatu material yang didalamnya terdapat sumber panas
yang seragam. Dimana kondisi batas disetiap sisinya dibuat 0oC. Pada Gambar 1 :
Gambar 2.10 : Distribusi temperature pada sumber panas
( Sumber : Yao Wei, Wang Jian, Liao Guangxuan (2007)
Abrahim (2005) telah melakukan penelitian tentang analisa numerik perpindahan
panas konduksi pada sebuah TFG (thin film gauge) yang mengasumsikan
konduktivitas thermalnya konstan dan kondisinya steady. Distribusi temperatur pada
TFG tersebut dapat dilihat pada Gambar 2 didalamnya :
22
Gambar 2.11 : Distribusi temperatur analisis numerik dari TFG
( Sumber : Abrahim (2005 )
2.8 Hukum Hooke (Hooke’s Law)
Hubungan antara beban atau gaya yang diberikan berbanding lurus dengan
perubahan panjang bahan yang disebut linier atau linier zone. Pada daerah ini kurva
pertambahan panjang dan beban mengikuti hokum hooke yaitu rasio tergangan dan
regangan adalah konstan. Stress adalah beban dibagi luas penampang bahan dan strain
merupakan pertambahan panjang dibagi panjang awal bahan.
Dirumuskan,
1. Stress (tegangan mekanis)
σ = F / A ……….(2.3)
F = gaya tarikan
A = luas penampang
2. Strain (regangan)
ε = ΔL / L……(2.4)
ΔL = Pertambahan panjang
L = panjang awal
Maka hubungan antara stress dan strain dirumuskan E = σ / ε
23
2.9 Distorsi
Distorsi adalah terjadinya perubahan bentuk atau penyimpangan bentuk karena
panas, termasuk akibat dari proses pengelasan. Terjadinya pemuaian benda kerja
mengakibatkan melengkung atau ertarik bagian – bagian benda kerja di sekitar daerah
pengelasan. Semua logam akan mengalami pengeambangan jika terkena panas , terjadi
penyusutan jika mengalami pendingingan , kejadian tersebut merupakan sifat dari
logam itu sendiri. Seorang operator las harus memiliki kemampuan bagaimana suatu
proses pengelasan dapat menghasilkan bentuk sambungan sesuai rencana yang
dikehendaki dengan melakukan pengendalaian terhadap pemuaian dan penyusutan yang
berlebihan.
Penyebab utama distorsi yang sering terjdi pada pengelasan logam maupun
pengelasan industri adalah sebagai berikut :
a) Tegangan Sisa
Tegangan sisa adalah seluruh bahan logam yang di gunakan dalam industri misalnya
batangan, lembaran atau yang lain yang diproduksi dengan proses menahan tegangan
di dalam bahan. Tegangan sisa ini tidak selalu menimbulkan masalah, namun jika
bahan kerja menerima panas akibat pengelasan atau pemotongan dengan panas, maka
tegangan sisa akan menghilang secara tidak merata dan akan terjadi distorsi.
b) Pengelasan atau Pemotongan dengan Panas
Ketika melakukan proses mengelas atau memotong menggunakan api, sumber
panas dari nyala busur akan mengakibatkan pertambahan panjang dan penyusutan
tidak merata dan akan terjadi distorsi.
Jenis ditorsi secara garis besar terdiri dari tiga jenis, yaitu sebagai berikut :
1) Distorsi Arah Melintang ( Transversal )
Distorsi arah melintang adalah jika mengelas salah satu ujung, dan sisi yang lain
bertambah panjang akibat pemuaian. Kemudian saat pendinginan, sisi logam akan
saling menarik satu sama lain.
2) Distorsi Arah Memanjang ( Longitudinal )
Distorsi arah memanjang apabila hasil las berkontraksi dan kemudian memendek
sepanjang garis pengelasan setelah pendinginan.
24
Gambar 2.12 : Distorsi Arah Memanjang
( Sumber : Edzona, 2013 )
3) Distorsi Arah Menyudut ( Angular )
Distorsi menyudut jika sudut dari benda yang di las berubah akibat konstraksi
lebih besar pada permukaan pengelasaan karena jumlah hasil pengelasan yang
lebih banyak.
Gambar 2.13 : Distorsi Arah Menyudut
( Sumber : Edzona, 2013 )
2.10 Pengujian Distorsi
Dial gauge indicator adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur tingkat
distorsi kerataan yang terbentuk dari hasil penyambungan dengan proses penelasan
FCAW.
25
Gambar 2.14 : Gambar dan Keterangan dial gauge indicator
( Sumber : http://alatukur.web.id )
Dial gauge atau ada yang menyebutkan dial indicator adalahalat ukur yang
digunakan untuk memeriksa penyimpangan yang sangat kecil dari bidang datar ,
bidang silinder atau permukaan bulat dan kesejajaran. Pada dual indicator terdapat 2
skala. Yang pertama yang besar ( terdiri dari 100 strip ) dan skala yang lebih kecil.
Pada skala yang besar stripnya bernilai 0,001 mm. Jadi ketika jarum panjang berputar
1 kali penuh maka menunjukkan pengukuran tersebut sejauh 1mm, sedangkan skala
yang kecil merupakan penghitungan putaran dari jarum panjang pada skala yang
besar. Adapaun metode pengukuran yang di gunakan pada pengujian ini adalah benda
kerja ditaruh diatas meja kerataan dan di jepit jig dan fixture agar plat tidak goyah,
dial indikator bergerak atau digerakan dari titik yang sudah ditentukan.
2.11 Pengujin Tarik
Untuk mengetahui kekuatan dan cacat yang terjadi pada sambungan logam
hasil pengelasan dapat dilakukan dengan pengujian merusak dan pengujian tidak
merusak. Pengujian merusak dapat dilakukan dengan uji mekanik untuk mengetahui
kekuatan sambungan logam hasil pengelasan, yang salah satunya dapat dilakukan
suatu uji tarik yang telah distandarisasi. Kekuatan tarik sambungan las sangat
dipengaruhi oleh sifat logam induk, daerah HAZ (Wiryosumarto, 2000).
Pengujian tarik merupakan salah satu dari beberapa pengujian yang umum
digunakan untuk mengetahui sifat mekanik dari satu material. Dalam bentuk yang
26
sederhana, uji tarik dilakukan dengan menjepit kedua ujung spesimen uji tarik pada
rangka beban uji tarik. Gaya tarik terhadap specimen uji tarik diberikan oleh mesin uji
tarik (Universal Testing Machine) yang menyebabkan terjadinya pemanjangan
spesimen uji dan sampai terjadi patah.
Gambar 2.15 : Profil Uji Tarik
(Sastranegara, 2009)