Upload
dangnhi
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hati
2.1.1 Anatomi Hati
Hati merupakah organ terbesar pada tubuh, menyumbang sekitar 2
persen berat tubuh total, atau sekitar 1,5 kg pada rata-rata manusia dewasa.
Unit fungsional dasar hati adalah lobulus hati, berbentuk silindris dengan
panjang beberapa millimeter dan berdiameter 0,8 sampai 2 milimeter. Hati
manusia mengandung 50.000 sampai 100.000 lobulus. Lobulus hati berbentuk
mengelilingi sebuah vena sentralis yang mengalir ke vena hepatika dan
kemudian ke vena cava. Lobulus dibentuk dari banyak lempeng sel hati yang
menyebar dari vena sentralis seperti jeruji roda. Masing-masing lempeng hati
tebalnya dua sel, dan diantara sel terdapat kanalikuli biliaris kecil yang
mengalir ke ductus biliaris di dalam septum fibrosa yang memisahkan lobulus
hatiyang berdekatan (Guyton & Hall, 2012).
(Bataller, 2005)
Gambar 2.1 Arsitektur Normal Hati
6
(Bataller, 2005)
Gambar 2.2 Histologi Normal Hati
Didalam septum terdapat venula portal kecil yang menerima darah
terutama dari vena saluran pencernaan melalui vena porta. Dari venula darah
mengalir ke sinusoid hati gepeng dan bercabang yang terletak diantara
lempeng-lempeng hati dan kemudian ke vena sentralis. Dengan demikian, sel
hati terus-menerus terpapar dengan darah vena porta. Selain sel-sel hati,
sinusoid vena dilapisi oleh dua tipe sel antarala lain Sel endotel khusus dan
Sel Kupffer besar (sel retikuloendotelia), yang merupakan makrofag residen
yang melapisi sinusoid dan mampu memfagositosis bakteri dan benda asing
dalam darah sinus hepatikus. Diantara sel endotel dan sel hati, terdapat ruang
jaringan yang sangat sempit yang disebut ruang disse yang juga dikenal
sebagai ruang perisinusoidul. Jutaan ruang disse menghubungkan pembulu
limfe didalam septum interlobularis. Oleh karena itu, kelebihan cairan
didalam ruangan ini dikeluarkan melalui aliran limfatik. Karena besarnya pori
di endotel, zat didalam plasma bergerak bebas kedalam ruang disse bahkan
7
banyak protein plasma berdifusi dengan bebeas keruang ini (Guyton & Hall,
2012).
2.1.2 Fisiologi Hati
2.1.2.1 Fungsi Metabolisme
Tiga metabolisme dasar yang diregulasi oleh hati adalah metabolisme
karohidrat, protein, dan lemak. Fungsi metabolik lain yang terdapat dalam
hepar adalah penyimpanan vitamin, faktor koagulasi, penyimpanan besi, dan
ekskresi (obat, hormon, dan zat lain). Dalam metabolisme karbohidrat, hati
berfungsi untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah normal. Apabila
terdapat kelebihan glukosa dari darah hati akan menyimpan dan
mengembalikannya lagi kedarah apabila konsentrasi glukosa darah mulai
turun atau rendah. Selain mempertahankan konsentrasi glukosa darah normal
hati juga memiliki fungsi sebagai gluconeogenesis. Gluconeogenesis
berfungsi untuk mempertahankan konsentrasi normal glukosa darah dengan
cara mengubah asam amino dan gliseroldari trigliserida menjadi glukosa
dalam kondisi konsentrasi glukosa dalam darah mulai menurun dibawah
normal (Guyton & Hall, 2012).
Dalam metabolisme lemak walaupun banyak sel tubuh
memetabolisme lemak, namun hampir semua sintesis lemak dalam tubuh dari
karbohidrat dan protein juga terjadi di hati. Beberapa fungsi spesifik
hatidalam metabolisme lemak antara lain oksidasi asam lemak untuk
menyuplai energi bagi fungsi tubuh lainnya, sintesis kolesterol, fosfolipid
dan sebagaian besar lipoprotein (Guyton & Hall, 2012).
8
Metabolisme yang paling penting dalam hati adalah metabolisme
protein yang apabila terjadi kegagalan dan hati tidak dapat melakukan
metabolisme protein total, pasien akan mengalami kematian dalam beberapa
hari. Fungsi hati yang paling penting dalam metabolisme protein antara lain :
Deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan ammonia,
pembentukan protein plasma dan interkonversi beragam asam amino dan
sintesis senyawa lain dari asam amino (Guyton & Hall, 2012).
Hampir 90% dari protein plasma dihasilkan oleh sel hati dan albumin
merupakan protein plasma yang paling banyakdalam tubuh manusia, yaitu
sekitar 55-60% dari protein serum yang terukur. Sintesis albumin hanya
terjadi di hati dengan kecepatan maksimum pembentukan 15-50 gram/hari.
Pengukuran serum albumin dapat digunakan untuk menilai perjalanan
penyakit, menilai gangguan fungsi hati, menenetukan awal dan keberhasilan
pengobatan bagi penderita sirosis hati. Pada penyakit hati kronis (contoh
sirosis) protein plasma seperti albumin dapat turun ke nilai yang sangat
rendah, yang dapat menyebabkan edema generalisata dan asites (Guyton &
Hall, 2012;Irsan dan Titie, 2008;Nafika, Leonita, Soehartini. 2013).
2.1.3 Regenerasi Sel Hati
Hati mempunyai kemampuan untuk mengembalikan dirinya sendiri
setelah kehilangan jaringan hati yang bermakna akibat hepatektomi parsial
atau jejas hati akut, selama jejas tersebut tidak diperparah oleh inveksi atau
peradangan. Regenerasi ini berlangsung sangat cepat dan membutuhkan
waktu hanya 5 sampai 7 hari pada tikus. Selama regenerasi hati, hepatosit
9
diperkirakan mengalami replikasi sebanyak satu atau dua kali, dan setelah
mencapai ukuran dan volume hati sebelumnya, hepatosit kembali dalam
keadaan semula (Guyton & Hall, 2012).
Pengaturan regenerasi hati belum diketahui jelas, namun faktor
pertumbuhan hepatosit (hepatocyte growth factor/HGF) sepertinya merupakah
faktor yang paling penting untuk menyebabkan pembelahan dan pertumbuhan
sel hati. HGF diproduksi oleh sel mesenkimal didalam hati dan jaringan lain,
namun bukan hepatosit. Kadar HGF darah meningkat lebih dari 20 kali lipat
setelah hepatektomi parsial, namun respon mitogenik biasanya ditemukan
hanya didalam hati setelah operasi ini, menunjukkan bahwa HGF mungkin
teraktifasi hanya pada sel yang bersangkutan. Faktor pertumbuhan lain,
terutama epidermal growth factor dan sitokin sepetri tumor necrosis factor
dan interleukin 6 dapat juga terlibat dalam merangsang regenerasi hati
(Guyton & Hall, 2012).
2.2 Jinten Hitam ( Nigella sativa )
Tanaman jinten hitam (Nigella sativa) sering ditemukan di daerah timur
tengah seperti Suriah, Lebanon, Israel, India, dan sampai Eropa selatan. Rata-rata
tinggi tanaman jinten hitam mencapa 45 cm dengan panjang daun 2.5 cm-5 cm
dan memiliki bunga berwarna biru pucat dan terkadang putih. Pada tangkai
bunga terdapat kapsul berisi biji berbentuk tabung yang sedikit pipih. Biji jinten
hitam ini sering digunakan untuk pengobatan tradisional (Paarakh, 2010).
Dalam Islam, biji jinten hitam dipercaya memiliki khasiat yang besar. Dalam
Ash-Shohihain diriwayatkan hadits dari Ummu Salamah, dari Abu Hurairah R.A,
10
Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya pada jintan hitam itu terdapat obat
untuk segala macam penyakit kecuali kematian”. Ibnu Sina juga menyatakan
dalam bukunya “The Canon of Medicine” bahwa biji jinten hitam dapat
meningkatkan energi dan menyembuhkan fatigue serta kelemahan (Paarakh,
2010).
2.2.1 Taksonomi
Kerajaan (Kingdom) : Plantae
Divisi (Division) : Magnoliophyta
Kelas (Class) : Magnoliopsida
Bangsa (Order) : Ranunculales
Suku (Family) : Ranunculaceae
Marga (Genus) : Nigella
Jenis (Species) : N. sativa (Sharma, et.al., 2009)
(Paarakh, 2010)
Gambar 2.3 Biji Jinten Hitam (Nigella sativa)
11
(Sultana, 2015)
Gambar 2.4 Bunga Jinten Hitam (Nigella sativa)
2.2.2 Kandungan
Biji jinten hitam mengandung dua jenis alkaloid yaitu alkaloid
isoquinolin misalnya nigellicimin dan alkaloid pyrazol misalnya nigellidin.
Selain alkaloid, biji jinten hitam (Nigela sativa ) juga mempunyai kandungan
lain.
Tabel 2.1 Kandungan Biji Jinten Hitam (Nigella sativa)
Kandungan Presentase (%)
Protein 26,7
Lemak 28,5
Karbohidrat 24,9
Serat 8,4
Karbo 4,8
Senyawa aktif
1. Tymoquinone
2. P-cymene
3. Carvacrol
4. 4-terpineol
5. Tanethol
6. sesquiterpene longifolene
30-48
7-15
6-12
2-7
1-4
1-8
(Sultana, 2015)
12
2.2.3 Kegunaan dan Manfaat
Biji jinten hitam diketahui telah digunakan dan menjadi bahan penting
sejak zaman dahulu. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya biji jinten hitam
di makam Fir’aun, Tutankhamun, dimana dikisahkan pada ukiran sekitarnya
biji jinten hitam dipilih secara teliti oleh selirnya untuk membantu Fir’aun
menjalani kehidupan selanjutnya. Pada zaman dahulu biji jinten hitam sudah
menyebar di seluruh timur tengah dan asia selatan oleh para pedagang. Biji
jinten hitam terkenal akan manfaatnya dalam pengobatan penyakit ringan
seperti asma, bronkitis, rematik, penyakit radang, infeksi parasite, serta
meningkatkan produksi ASI. Biji jinten hitam seringnya dibuat menjadi
minyak dan dioleskan di permukaan kulit untuk mengobati eksema serta dapat
digunakan untuk mengompres saat demam. Oleh karena banyaknya manfaat
dari biji jinten hitam ini, masyarakat timur tengah memberi namaHabbatul
Barakah yang berarti biji yang diberkati (Ansari, 2013).
Di daerah Arab dan India biji jinten hitam dan minyaknya sering
digunakan dalam masakan karena akan terasa hangat dalam tubuh saat musim
dingin. Minyak biji jinten hitam juga sering ditambahkan dalam roti serta acar
agar lebih awet. Selain dalam makanan biji jinten hitam sering disimpan
bersama lipatan kain agar mencegah rayap. Manfaat yang banyak dari biji
jinten hitam ini membuatnya mudah menyebar sampai asia utara dan eropa
selatan (Ahmad, 2013).
Berdasarkan sejarah dan penggunaan tradisionalnya, biji jinten hitam
saat ini sering diteliti efek farmakologisnya. Biji jinten hitam memiliki
13
kandungan thymoquinone yang tinggi dalam minyak esensialnya. Penelitian
yang paling sering adalah mengenai efek antioksidan serta pengaruhnya dalam
perbaikan hepato-renal terhadap toksisitas. Selain itu efek antiinflamasi juga
sering diteliti dengan penginduksian karagenan dan melihat efeknya pada
telapak kaki tikus (Samani, 2015).
a. Efek Antioksidan dan antiinflamasi
Thymoquinone, kandungan utamaminyak volatil Nigella
sativa, merupakan antioksidan yang berefek tinggi untuk melindungi
tubuh dari radikal bebas yang dibentuk saat metabolisme zat-zat seperti
etanol, karbontetraklorida, ter-butilhidroperoksida, dan obat-obatan
(doxorubicin, cisplatin). Tymoquinone juga memiliki efek antioksidan
dengan mencegah pebentukan formasi antara CCL3 dengan O2 yang
membentuk radikal bebas bersifat toxic dan mengembalikan arsitektur
sel hepar serta mencegah meningkatnya enzim hati serta profil lipid
(Essawy, 2012). Thymoquinone dapat menghambat peroksidasi lipid
dengan menghambat siklooksigenase dan 5-lipoksigenase pada jalur
metabolisme asam arakhidonat, aktivitas tersebut berperan dalam
mekanisme antiinflamasi. Ekstrak Aqueous dari Nigellasativa
dilaporkan dapat menghambat produksi nitrit oksida dan sitokin
proinflamasi (TNF- α) pada tikus putih. Thymoquinone mencegah
kerusakanhepar tikus putih yang diinduksi etanoldengan menurunkan
kadar ALT, AST, ALP,IL-6, TNF- α, MDA, serta meningkatkankadar
14
GSH, SOD, CAT, DNA, RNA, Proteinhepar, melalui mekanisme
antioksidan danantiinflamasi (Juwita, 2011).
b. Efek Antifibrotik
Pada penelitian mekanisme efek antifibrotik dari ekstrak jinten
hitam pada tikus jantan Kunming yang dimodel liver fibrosis
thymoquinone dapat menurunkan ekspresi toll-like receptor (TLR4)
pada sel Kupffer, menghambat lipid peroxidase, serta menignkatkan
ekspresi TNF-related apoptosis-induced ligand (TRAIL) dalam
aktivasi sel natural killer (NK). Seluruh mekanisme tersebut bertujuan
untuk membuat hepatic stellate cell (HSC) apoptosis, HSC apoptosis
akan menurunkan sekresis TGF-ß yang dapat menginduksi platelet
untuk mensekresikan HGF yang berfungsi untuk meregenerasi
hepatosit yang rusak. Sehingga dengan adanya regenerasi hepatosit
diharapkan fungsi metabolisme protein khususnya albumin dapat
berfungsi kembali (Bai, 2014).
2.3 Fibrosis Hati
2.3.1 Definisi
Fibrosis merupakan respon intrinstik tubuh terhadap jejas akut dan
kronis, yang menyebabkan deposisi matriks ekstraselular yang berlebihan dan
menjadi jaringan parut, yang secara langsung mempengaruhi fungsi dan bentuk
hati (Saab,2014). Pembentukan jaringan parut merupakan respon penyembuhan
normal tubuh terhadap jejas, namun dalam fibrosis hati respon penyembuhan
15
ini justru semakin memperburuk keadaan hati. Jejas yang menyebabkan fibrosis
hati merupakan jejas kronis akibat berbagai macam faktor (Higleyman, 2014).
2.3.2 Etiologi dan Epidemiologi
Terdapat banyak faktor penyebab dari fibrosis hati antara lain infeksi
virus, parasit, kolestasis, penyalahgunaan alkohol, obat-obatan dan toksisitas
(Lingwal, 2015; Su, 2014). Faktor penyebab ini akan mempengaruhi satu sama
lain dan membuat jejas pada hepatosit yang akan menyebabkan akumulasi
protein Extracellular Matrix (ECM) yang dapat merusak arsitektur hati. Protein
ECM yang terakumulasi ini terdiri dari protein kolagen yang akan mengalami
crosslinking dan membentuk jaringan parut fibrosa yang dalam
perkembangannya dapat menjadi sirosis hati (Gines, 2004).
Fibrosis hati yang kemudian berkembang menjadi sirosis dapat
berakibat fatal bagi pasien dan dapat menuju kematian. Di Eropa setiap
tahunnya 170.000 kasus meninggal dunia dan di Amerika Serikat mencapai
33.539 kasus meninggal dunia. Data jumlah kematian akibat sirosis hati di
dunia terjadi peningkatan dari tahun 1980 dari 676.000 (dengan interval
452,863-1,004,530) hingga lebih dari 1 juta (dengan interval 670,216 -
1,554,530) pada tahun 2010 (Mokdad,et al. 2014). Prevalensi kematian di
Indonesia untuk fibrosis hati yang sudah berkembang menjadi sirosis yaitu
30,6% dengan penyebab utama HBV sebesar 40% dan HCV sebesar 30% serta
penyebab lain yang tidak diketahui sebesar 20% (Hasan,2006; Hutahaean,
2014).Bila sudah mencapai sirosis, satu-satunya terapi yang dapat
16
mengembalikan kualitas hidup pasien adalah transplantasi hepar (Blachier,
2013).
Tabel 2.2. Faktor Genetik dan Non-genetik dalam Progesif Fibrosis Hati
Jenis penyakit Candidate genes Faktor nongenetik
Hepatitis C HFE
Angiotensinogen
TGF-β1
TNF-α
MEH
Factor V
Konsumsi alcohol
Koinfeksi HIV & HBV
Usia
Transplantasi hepar
Diabetes mellitus
Tidak berespon terapi
Induksi alcohol IL-10
IL-1β
ADH
ALDH
CYP2E1
TNF-α
Konsumsi alcohol
Episode hepatitis alkoholik
NASH HFE
Angiotensin
TGF-β1
Usia
Beratnya obesitas
Diabetes mellitus
Hipertrigliserida
Sirosis Bilier primer IL-1β
TNF-α
Hepatitis autoimun HLA-II Hepatitis autoimun tipe II
Tidak respon terapi
(Anom, 2010)
2.3.3 Patogenesis Fibrosis Hati
Fibrosis hati merupakan hasil dari tidak seimbangnya sintesis dan
degradasi Extracellular Matrix (ECM). Fibrosis hati diawali dengan paparan
jejas yang dapat menyebabkan rusak atau apoptosit dari hepatosit. Kerusakan
dari hepatosit menyebabkan pelepasan sitokin proinflamatori Transforming
Growth Factor β1 (TGF-β1), Tumor Necrosis Factor α (TNF-α), Reactive
Oxygen Species (ROS), Platelet-Derived Growth Factor (PDGF) serta aktivasi
sel Kupffer melaluiToll-Like Receptor 4 (TLR4). Sitokin-sitokin tersebut
17
menyebabkan aktivasi Hepatic Stellate Cell (HSC) yang normalnya berfungsi
untuk memproduksi protein matriks (Xu, 2012).
HSC yang teraktivasi memproduksi glikoprotein, glikans, dan kolagen.
Selama perkembangan terjadinya fibrosis, ECM dipenuhi oleh protein-protein
tersebut dengan kolagen tipe 1 sebagai volume terbanyak. Selain protein ECM,
HSC juga memproduksi Matrix Metalloproteinase (MMP) yang berfungsi
untuk mendegenerasi tumpukan kolagen di ECM sehingga pada posisi ini
fibrosis hati memiliki potensi reversible (regresi). Potensi regresi dari fibrosis
dapat terjadi dengan aktivitas dari sel Natural Killer (NK) yang dapat
menginisasi apoptosis dari HSC. Mekanisme sel NK dalam inisiasi apoptosis
HSC adalah melalui TNF-related apoptosis-induced ligand (TRAIL). Pada
keadaan akut keseimbangan jaringan dalam hepar masih stabil dimana aktivasi
sel Kupffer, HSC, produksi kolagen, dan jumlah kematian hepatosit masih bisa
dikendalikan sehingga aktivitas dari sel NK dalam menginisiasi apoptosis HSC
masih dapat terjadi (Seki, 2015).
18
(Lingwal, 2015)
Gambar 2.5 Mekanisme Aktivasi HSC dalam fibrogenesis
Aktivasi dari HSC merupakan awal dari fibrogenesis, dimana HSC berdiferensiasi
menjadi sel myofibroblas yang berkontraktil. Jejas hepatosit yang menginisiasi sel
Kupffer serta pelepasan mediator inflamasi adalah faktor yang mengaktivasi HSC.
Aktivasi HSC meningkatkan produksi protein matriks ekstrasel seperti kolagen,
glikoprotein dan glikans.
Produksi MMP akan meningkat bila sumber jejas dihilangkan
sehingga stres oksidatif menurun. Namun apabila sumber jejas dibiarkan terus-
menerus dan semakin banyak hepatosit yang mati, HSC akan memproduksi
Tissue-Inhibitor Matrix Metalloproteinase (TIMP) yang bekerja dengan
menghambat MMP dan mempertahankan jaringan ikat kolagen di ECM
(Lingwal, 2015). Jaringan ikat kolagen di ECM berfungsi mempertahankan
arsitektur hepar disaat banyaknya sel hepar yang mati. Dalam kondisi kronis
jumlah hepatosit yang mati semakin meningkat menyebabkan aktivasi sel
Kupffer yang berlebihan dimana sel Kupffer berfungsi mengaktivasi HSC
19
melalui TLR4 dan melepaskan TGF-β1. Pelepasan TGF-β1menekan aktivitas
sel NK sehingga fungsinya dalam mengendalikan apoptosis HSC tidak dapat
dilakukan dan hal ini dapat menuju fibrosis yang progresif yang dapat berlanjut
ke sirosis (Seki, 2015).
2.3.4 Pengaruh Fibrosis Hati pada Sintesa Albumin
Pada keadaan fibrosis hati, jaringan fibrosis akan menempel pada
vena aferen dan eferen yang akan mengakibatkan penurunan perfusi darah pada
hepatosit, sehingga menyebabkan hepatosit iskemik dan nekrosis. Iskemik dan
nekrosis hepatosit juga mengakibatkan peningkatan aktivitas sel Kupffer
sehingga kadar TGF-β meningkat yang mengakibatkan kinerja platelet dalam
produksi HGF menurun. Akibatnya akan terjadi penurunan jumlah selhepatosit
akibat tidak ada mekanisme regenerasi hepatosit yang akan berpengaruh
terhadap fungsi metabolisme protein plasmadi hepatosit salah satunya adalah
sintesa albumin(Bataller, 2005; Garcia, 2013; Lingwal, 2015; Narmada, 2012).
Albumin merupakan protein plasma yang sangat penting yang hanya
disintesis oleh sel hati dan merupakan indikator untuk fungsi hati (Thapa dan
Anuj, 2007). Peningkatan serum albumin umumnya disebabkan oleh naik-
turunnya volume darah. Penurunan albumin serum tidak hanya disebabkan oleh
penurunan sintesisnya, namun melibatkan proses multifaktor yang meliputi
sintesis, kerusakan albumin, kebocoran ekstravaskuler dan asupan protein
(Irfan, Esfandiari, Choliq, 2014).
20
2.3.5 Diagnosis
Standar emas untuk diagnosis fibrosis hati adalah biopsi untuk
dilakukan pemeriksaan histopatologis. Pemeriksaan biopsi hati menjadi standar
emas dikarenakan langsung melihat jaringan hati dan dapat ditentukan staging
fibrosisnya (Lumongga, 2010). Dalam pemeriksaan histopatologis hati, staging
ditentukan umumnya menggunakan metode Metavir dan skor Ishak (Regev,
2002).
Selain pemeriksaan biopsi dapat juga dilakukan pemeriksaan
pencitraan dengan MRI atau USG. Pemeriksaan dengan pencitraan tidak
bersifat invasif namun ketelitian dan interpretasi sangat bergantung pada
operator terutama untuk USG. MRI dapat mencitrakan kerusakan hati sedang
sampai berat lebih baik daripada USG namun memiliki kekurangan dari segi
biaya (Callewaert, 2004).
Pada tikus model fibrosis yang diinduksi CCl4 menghasilkan
metabolisme yang hepatotoksik, menyebabkan pemecahan dari reticulum
endoplasmik dan merusak ribosom menjadi beberapa subunit dengan
memutuskan ikatan dari 40S subunit dan mRNA sehingga menyebabkan
penurunan serum albumin. Intoksikasi CCl4 juga dapat menyebabkan
kerusakan dari apparatus golgi dan menyebabkan pelepasan protein dari
hepatosit (Azizah,2014). Pemeriksaan laboratorium bisa dilakukan seperti
pengukuran serum albumin. Pengukuran serum albumin telah digunakan secara
umum sebagai uji laboratorik untuk mengetahui malgizi dan gangguan fungsi
hati, selain itu pengukuran serum albumin juga dapat digunakan untuk menilai
21
ramalan perjalanan penyakit, menentukan awal pengobatan dan
keberhasilannya bagi penderita sirosis hati (Nafika, Leonita, Soehartini, 2008).
2.3.6 Penanganan dan Pencegahan
Fibrosis hati merupakan penyakit kronis yang gejalanya sangat jarang
disadari oleh pasien kecuali sudah dalam kondisi yang berat. Fibrosis ringan
sebagian besar bersifat asimptomatik sehingga pasien tidak menyadari bahaya
yang akan datang. Pengaruh fibrosis pada arsitektur hati serta distorsi vena
porta merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pasien. Eliminasi
dan penanganan preventif dari etiologi fibrosis hati seperti antivirus untuk
hepatitis B atau C dapat menurunkan jumlah virus dalam tubuh, namun pada
kasus seperti NASH yang berhubungan dengan obesitas serta diabetes tipe 2
tidak dapat dilakukan penanganan preventif. Sebagian besar pasien yang datang
ke klinik dan rumah sakit diketahui berada pada tahap fibrosis berat atau
bahkan sirosis yang sudah tidak mungkin reversibel. Dewasa ini pencegahan
fibrosis untuk berkembang menjadi sirosis dengan menggunakan antifibrotik
menjadi fokus penelitian (Schuppan & Kim, 2016).
Terapi antifibrotik menjadi penting karena apabila fibrosis hati telah
berkembang menjadi sirosis, dibutuhkan transplantasi hati untuk dapat
mengembalikan kualitas hidup pasien. Namun transplantasi hati memiliki
kendala yang cukup besar bagi sebagian pasien seperti kekurangan pendonor,
komplikasi post operasi dan biaya yang sangat mahal. Selain itu pada pasien
penderita HCV, setelah dilakukan transplantasi hati dapat terjadi rekuren virus
(Anom, 2010; Eom, 2014).
22
Strategi dalam penanganan fibrosis hati secara umum menuju pada
mekanisme regresi fibrosis. Banyak penelitian saat ini fokus kepada empat
pendekatan farmakologis untuk meningkatkan mekanisme regresi fibrosis.
Fokus pertama adalah meminimalisir kerusakan pada jejas jaringan sehingga
pelepasan mediator inflamasi dan produksi protein intersisial menurun. Fokus
kedua adalah perubahan keseimbangan suasana di hepar dari pro-fibrogenik
menjadi anti-fibrogenik dengan menurunkan makrofag pro-inflamatori. Fokus
ketiga adalah deaktivasi atau apoptosis dari HSC, dimana HSC merupakan
produsen utama dari kolagen intersisial. Fokus keempat adalah degradasi
penumpukan kolagen dan protein ECM dengan menghambat crossinking
kolagen (Biswas, 2016).
(Biswas,2016)
Gambar 2.6Fokus Mekanisme Penangan Fibrosis Hati
23
2.4 Fibrosis Hati yang diinduksi Carbon Tetrachloride (CCl4)
2.4.1 Definisi
Carbon tetrachloride (CCl4) merupakan senyawa kimia yang
direkayasa dalam pabrik dan tidak didapatkan secara alami di lingkungan
sekitar. Bentuk CCl4 yaitu cairan bening dan mudah sekali untuk berevaporasi,
karena itu seringnya CCl4 ditemukan dalam bentuk gas. CCl4 memiliki aroma
yang manis dan kebanyakan orang baru dapat menciumnya saat konsentrasi
CCl4 mencapai 10 ppm. Karena CCl4 mudah sekali menguap, sehingga lapisan
ozon menjadi tempat bertumpuknya CCl4 di atmosfer. Namun CCl4akan
berdegradasi menjadi bahan kimia lain dalam hitungan tahun (Gerberding,
2005).
Produksi CCl4 dilakukan di pabrik dalam jumlah yang sangat besar
sebagai cairan kulkas dan propellan untuk tabung aerosol. Kedua produk
tersebut menyebabkan CCl4 mudah sekali menguap dan menambah endapan
CCl4 pada lapisan ozon, sehingga produksinya dihentikan. Selain sebagai cairan
kulkas dan propellan, CCl4 juga pernah digunakan sebagai pemadam api, cairan
pembersih, dan insektisida (Gerberding, 2005).
Rute pemberian CCl4biasanya adalah melalaui injeksi intraperitoneal
(ip), injeksi subkutan (sc), oral, dan inhalasi. Selain itu CCl4masuk kedalam
tubuh harus menggunakan pengantar alami yaitu (olive oil, corn oil, paraffin
oil) karena CCl4tidak dapat memeasuki tubuh jika tidak menggunakan
pengantar tersebut (Delire, 2015).
24
2.4.2 Mekanisme Toksisitas
Bila CCl4 terpapar pada tubuh manusia atau hewan, organ yang paling
sensitif adalah hepar. Diketahui hepar memiliki fungsi metabolisme dan
ekskresi zat kimia. Didalam hepar akan mengalami metabolisme oleh enzim
CYP2E1, CYP2B1, CYP2B2, atau CYP3A untuk menghasilkan CCl3 yang
merupakan radikal bebas. Radikal bebas ini akan berikatan pada molekul sel
seperti asam nukleat, protein, atau lemak. Salah satu yang paling merusak
adalah CCl3 bereaksi dengan oksigen membentuk triklorometil peroksi
(OOCCl3) yang merupakan penyebab stress oksidatif dapat merusak sitokrom
P-450 (World Health Organization, 2004).
Triklorometil peroksid kemudian akan berikatan secara kovalen dengan
lemak mikrosomal dan protein serta bereaksi langsung dengan membran
fosfolipid dan kolesterol. Reaksi ini menginisiasi terbentuknya lipid
hiroperoksidase (LOOH) dan lipid alkoksil (LO) melalui proses fragmentasi
yang akan menjadi malonaldehid. Senyawa aldehid ini akan menyebabkan
rusaknya permeabilitas mitkondrial, reticulum endoplasma, dan membrana
plasma. Kerusakan ini akan menyebabkan hilangnya kalsium dan homeostasis
dari sel yang dapat membuat sel rusak secara keseluruhan (Weber, 2003).
Pada tikus CCL4fibrosis hati terbentuk setelah 2 minggu pemberian
secara injeksi intraperitoneal, dan 6 minggu jika diberikan secara inhalasi
maupun oral (Delire,2015).
25
2.5 Tikus Putih Jantan Wistar (Rattus norvegicus)
Tikus Rattus norvegicus pertama kali ditemukan oleh Berkenhaut pada tahun
1769. Saat itu pertama diketahui hanya berada di daerah Caucasia atau Eropa
utara dan setelah itu menyebar ke Timur tengah serta Asia timur (Yigit, 1998).
Pengembangan tikus Rattus norvegicus menjadi objek eksperimen pertama kali
dilakukan di Jerman pada tahun 1880. Rattus norvegicus memiliki dua strain dari
hasil budidaya yaitu strain Wistar dan strain Sprague-Dawley. Perbedaannya
adalah strain Wistar memiliki kepala yang lebih lebar dan ekor yang lebih pendek
daripada strain Sprague-Dawley. Usia rata-rata dari strain Sprague-Dwaley juga
lebih pendek yaitu 24 bulan dibandingkan dengan strain Wistar yang rata-rata
mencapai 31 bulan. Berat badan rata-rata tikus putih Wistar adalah 450-520g
untuk jantan dan 250-300g untuk betina sang abdominal, dan 3 pasang inguinal).
Tulang tengkorak tikus pada dasarnya kuat dan rongga otak berbentuk sempit serta
lonjong. Prosessus maxillaris dari arkus zygomatikum melebar kesamping.
Foramen incisivus memanjang dari depan kebelakang sampai kepada molar (Yigit,
1998).
26
(International Food Biotechnology Comittee, 2013) Gambar 2.7 Organ dalam Tikus
Otot-otot penting dari tikus adalah M. bisep brachii di permukaan anterior
humerus, M. bisep femoris di lateral femur terdiri dari dua kepala otot, M. external
obliqus di lateral abdomen, dan M. pectoralis major/minor di bagian pectoral.
Jantung tikus berada lebih ke sentral dan terdiri dari dua atrium dan dua ventrikel.
Hepar tikus berada tepat dibawah diafragma dan tidak memiliki kantung empedu.
Posisi gaster juga tidak berada di sebelah kanan melaikan dibawah hepar, karena
biasanya hepar melintang dari dextra sampai sinistra abdomen. Spleen memiliki
warna yang serupa dengan gaster dengan posisi di bagian inferolateral dextra
gaster. Posisi ginjal tidak terlihat bila tikus dibedah dari abdomen sehingga organ
abdomen harus disingkirkan dahulu dengan ginjal dextra lebih tinggi daripada
sinistra (Sowash, 2009).
Pada tikus model fibrosis yang diinduksi CCl4 menghasilkan
metabolisme yang hepatotoksik, menyebabkan pemecahan dari reticulum